7 hikmah pernikahan nabi

Upload: hafidh-wahyu-purnomo

Post on 14-Jul-2015

126 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

7 HIKMAH PERNIKAHAN NABI

Pernikahan Nabi Muhammad saw seolah tak pernah sepi dari sasaran hujatan orangorang kafir dan sepertinya juga belum akan usai. Seorang mukmin sejati akan selalu yakin bahwa Islam dengan seluruh aspek dan sisnya adalah sempurna, tiada cacat tak bernoda. Hal ini juga mencakup masalah Nabi Muhammad saw beserta kehidupan beliau, termasuk dalam masalah pernikahan. Tapi bila dilihat dari sudut pandang lain, sesungguhnya hal ini merupakan kebenaran dari firman Allah SWT yang terukir dalam Surah Al-Baqarah ayat ke seratus dua puluh, Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka...

Tujuh Kebaikan Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran. {QS. Al-Qamar (54) : 22} Allah SWT telah memberikan kita perintah agar selalu berfikir dan merenungi segala ayat Allah, baik yang berupa peraturan dan syariat, maupun ayat-Nya yang tersebar di alam semesta. Dengan begitu kita insya Allah akan bisa menangkap dan menyingkap segala kebaikan yang terkandung dalam syariat tersebut, termasuk dalam kasus pernikahan Nabi saw ini. Dan ternyata, pernikahan agung Nabi Muhammad saw memang mengandung berbagai macam kebaikan, di antaranya : a. Bentuk Kesempurnaan Islam. Pernikahan Nabi akan menjadi teladan nyata bagi umat Islam dalam melakukan pernikahan dan membina keluarga. Rumah tangga sendiri merupakan suatu hal yang fundamental karena sebagai landasan pembentuk sebuah negara. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Islam merupakan petunjuk yang sempurna bagi manusia menata hidupnya, tidak hanya untuk akhirat, tapi juga di dunia.

b. Memuliakan kehidupan para janda. Dalam budaya Arab kala itu (dan mungkin juga budaya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia sampai sekarang), seorang laki-laki cenderung lebih senang menikah dengan seorang wanita yang masih perawan. Padahal, para janda harusnya juga berhak mendapat perlindungan dan kasih sayang. Dengan pernikahan Nabi Muhammad saw dengan para janda, dan faktanya bahwa hampir semua istri Nabi berstatus janda, akan membuka mata semua orang bahwa janda adalah sesosok wanita yang harusnya dilindungi dan dihormati, serta dilimpahi kasih sayang sebagaimana para wanita yang masih berstatus perawan saat dinikahi. Nabi meneladani masalah ini dengan menikahi Saudah binti Zamah dan Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah yang suami mereka insya Allah telah syahid. Juga pernikahan beliau dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan yang telah berpisah dengan suaminya yang telah memeluk agama Nasrani dan wafat saat hijrah di Habsyah. c. Hubungan kekerabatan. Pernikahan juga merupakan salah satu bentuk untuk memepererat tali kekerabatan. Hal ini mirip dengan kasus seorang raja yang menikahi seorang putri dari raja kerajaan lain dengan harapan hubungan dua kerajaan tersebut berjalan dengan baik. Dalam kasus ini, kedua shahabat baik Nabi, Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar ibn Khaththab telah menikahkan putrinya, Aisyah ra dan Hafshah ra dengan Nabi. Begitu juga putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kultsum yang dinikahkan dengan Utsman ibn Affan, Fathimah yang dinikahkan dengan Ali ibn Abi Thalib. d. Menghapus tradisi Arab kuno terkait pernikahan. Dalam tradisi Arab dahulu, seorang mantam istri dari anak angkat tidak boleh dinikahi sang bapak angkat. Hal ini karena dulu anak angkat disamakan dengan anak kandung. Dengan turunnya Islam, hukum anak kandung dan anak angkat menjadi berbeda, oleh karenanya, seorang bapak angkat boleh menikahi mantan istri anak angkatnya. Allah SWT berfirman, Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat

mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. {QS. Al-Ahzab (33) : 37} Hal ini terjadi dalam pernikahan Nabi dengan mantan istri anak angkatnya, Zaid ibn Haritsah yang bernama Zainab binti Jahsy ra. Pernikahan Nabi dengan Zainab ini juga sekaligus mematahkan anggapan bahwa Islam berasal dari budaya Arab, karena pernikahan ini sendiri sangat bertentangan dengan budaya Arab kala itu. Bahkan Nabi Muhammad saw sampai ditegur oleh Allah SWT lantaran pada mulanya beliau sungkan melanggar tradisi Arab ini. e. Proses Penghapusan Perbudakan. Walau tidak melarang secara gamblang perbudakan, Islam memberi kesempatan yang lebih luas agar para budak lebih mudah untuk bebas dan merdeka. Seperti jika melanggar beberapa syariat Allah SWT, hukumannya adalah membebaskan budak. Salah satu hikmahnya adalah karena sistem perbudakan sudah mengakar kuat dalam masyarakat zaman itu. Tentu diperlukan proses agar umat manusia mau menghapus tersebut, karena sangat sulit jika menghapus sistem budak hanya dengan satu kalimat larangan. Jika diibaratkan, seperti pelarangan televisi. Apakah bisa pemerintah melarang televisi hanya dengan satu undang-undang tanpa proses terlebih dahulu? Ini bukan pernyataan haramnya televisi, hanya sebagai perbandingan kasus semata. Pernikahan Nabi dengan mantan budak juga menjadi sinyal agar masyarakat memuliakan budak dan menghapus sistem ini secara perlahan. Mantan budak yang menjadi istri Nabi di antaranya Shafiyah binti Huyay dan Maria Al-Qibthiyah. Bahkan saat Nabi membebaskan dan menikahi Juwairiyyah binti Al-Harits, putrid ketua Bani Mustaliq, semua keluarga Bani Mustaliq yang jumlahnya seratusan orang, dibebaskan dari perbudakan oleh para shahabat karena orang yang satu suku dengan Juwairiyyah dianggap merupakan besan Rasulullah. f. Realisasi Nyata Persamaan Suku dan Bangsa di Hadapan Allah. Shafiyah binti Huyay adalah seorang Bani Israil, bukan bangsa Arab. Istri beliau yang lain, Maria binti Syamun Al-Qibthiyah adalah seorang Mesir. Dan pada akhirnya mereka juga mendapat gelar Ummul Mukminin, Ibu dari orang-orang yang beriman. Status itu hampir sama dengan seorang ibu negara, ratu, ataupun permaisuri dalam sebuah negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam Islam, tidak peduli dari

suku dan negeri mana ia berasal, asal ia memiliki ketaqwaan, maka ia akan memperoleh kedudukan tinggi dalam Islam, seperti yang telah difirmankan dalam Surah Al-Hujurat ayat ke tiga belas. g. Memurnikan Keesaan Allah SWT. Sekilas ini memang kurang nyambung dengan konteks. Tapi jika lebih dicermati, justru hal inilah point paling fundamental tentang hikmah pernikahan Nabi. Nabi merupakan sosok manusia yang sulit dicari bandingannya. Pemimpin spiritual yang sukses, negarawan yang handal, pemimpin yang bijaksana, shahabat yang menyenangkan, suami yang penuh kasih, dan sosok ayah yang penuh kelembutan. Dengan melekatnya berbagai kriteria tadi dalam seorang diri Nabi, akan sangat mungkin di kemudian hari banyak manusia yang mengultuskan dan mengagungkan beliau berlebih sampai derajat ketuhanan, seperti yang terjadi pada Isa ibn Maryam yang dituhankan umat Nasrani. Pernikahan beliau akan menjadi saksi nyata bahwa beliau juga merupakan manusia biasa yang juga menikah. Hal ini juga membuktikan bahwa Islam merupakan satusatunya agama di dunia yang benar-benar menjaga keesaan Allah SWT, bahkan dengan cara yang tidak terduga seperti ini. Allah SWT berfirman, Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan bergantung segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang setara dengan Dia. {QS. Al-Ikhlas (112)} Wallahu alam.

IDENTITAS Nama No. Telp / HP Alamat : : : Hafidh Wahyu P. 0896 7311 7003 Tegalharjo, RT 4 / III, Jebres, Surakarta. 57128.