71793700 kti jiwa menarik diri
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi hidup manusia.
Menurut WHO, sehat diartikan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik,
mental dan sosial serta bukan saja keadaan terhindar dari sakit maupun
kecacatan (Sujono dan Teguh 2009 : 1). Sedangkan menurut Undang-Undang
Kesehatan No. 9 tahun 1960 definisi kesehatan merupakan keadaan sejahtera
yang meliputi fisik, mental dan sosial, cacat dan kelemahan (Suliswati, 2005)
Berdasarkan Undang-Undang No 3 tahun 1966, kesehatan jiwa adalah
suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan
keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat harmonis dan
memperhatikan segi kehidupan manusia dan cara berhubungan dengan orang
lain (Sujono dan Teguh 2009 : 1). Menurut Rasmun (2001: 11) sehat mental
adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Sedangkan definisi gangguan jiwa menurut
Undang-Undang No 3 tahun 1966 tentang kesehatan jiwa. Gangguan jiwa
adalah adanya gangguan pada fungsi kejiwaan. Fungsi kejiwaan adalah
proses, emosi, kemauan dan perilaku psikomotorik termasuk bicara
(Suliswati, 2005)
Kehidupan manusia dewasa ini yang semakin sulit dan kompleks serta
1
semakin bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat modern
yang cenderung lebih sekuler, menyebabkan manusia tidak dapat
menghindari tekanan-tekanan hidup yang mereka alami. Kondisi kritis ini
membawa dampak terhadap peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit
mental-emosional manusia. Kondisi diatas dapat menyebabkan timbulnya
gangguan jiwa khususnya pada gangguan isolasi sosial : menarik diri dalam
tingkat ringan ataupun berat yang memerlukan penanganan di rumah sakit
baik di rumah sakit jiwa atau di unit perawatan jiwa dirumah sakit umum
(Nurjannah, 2005: 1).
Setiap tahun jumlah penderita gangguan jiwa semakin meningkat.
Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2007, jumlah penderita gangguan
jiwa di Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori
gangguan jiwa ringan 11,6 persen dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa
berat (http://www.kompas.com/ , diakses tanggal 18 Juli 2011: 11.00 WIB).
Hasil penelitian WHO di Jawa Tengah tahun 2009 menyebutkan dari setiap
1.000 warga Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami ganguan jiwa.
Sementara 19 orang dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah mengalami stress
(Depkes RI, 2009).
Berdasarkan hasil pencatatan rekam medik di Rumah Sakit Jiwa Prof.
dr. Soeroyo Magelang selama periode 2010, dari 9075 pasien yang dirawat di
ruang inap terdapat pasien dengan Menarik Diri 280, Isolasi Sosial 273.
(Buku Rekam Medik RSJP Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2010)
Salah satu bentuk dari gangguan kesehatan jiwa adalah Schizophrenia.
2
Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, seta memecahkan masalah,
menurut Gail W. Stuart (2006 : 240). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa
berupa perubahan pada psikomotor, kemauan, afek emosi dan persepsi.
Akibat dari gejala yang muncul, timbul masalah-masalah bagi klien meliputi,
kurang perawatan diri, resiko menciderai diri dan orang lain, menarik diri,
dan harga diri rendah (Townsend, 1998: 188).
Dalam hal ini penulis akan membahas masalah kejiwaan yaitu
gangguan berhubungan sosial : menarik diri. Menurut Sujono Riyadi &
Teguh Purwanto (2009 : 151) gangguan hubungan sosial merupakan suatu
gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian
yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam berhubungan sosial Dan ada juga pendapat yang
mengemukakan bahwa Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau
kelompok mengalami, atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih
terlibat dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi tidak mampu
mewujudkannya (Carpenito, 2009: 1045)
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat
masalah-masalah ini menjadi masalah keperawatan utama dalam pembuatan
karya tulis ilmiah dengan judul : “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. M
dengan Isolasi Sosial : Menarik Diri di Wisma Antareja Rumah Sakit
Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang”.
3
B. TUJUAN PENULISAN
Untuk lebih konkritnya apa yang ingin dicapai dalam karya tulis ini,
penulis mengemukakan pokok tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Tujuan umum
Untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata tentang
pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien Tn. M dengan isolasi sosial :
menarik diri selama satu hari pada tanggal 12 Juli 2011 di ruang Antareja
RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang. Melalui pendekatan proses
keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah untuk :
a. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan pengkajian
pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik diri.
b. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam membuat diagnosa
keperawatan dan penetapan rencana asuhan keperawatan pada klien
dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik diri.
c. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan tindakan
keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik
diri.
d. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial:
menarik diri.
4
e. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam pendokumentasian
asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial :
menarik diri.
f. Dapat membandingkan kesenjangan antara teori dengan kenyataan
yang penulis dapatkan.
C. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam laporan pengelolaan ini terdiri dari 5
BAB. BAB I Pendahuluan, meliputi : Latar belakang masalah, tujuan
penulisan dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, meliputi :
konsep dasar medis dan konsep dasar keperawatan. BAB III Tinjauan Kasus,
meliputi : pengkajian, analisa data, pohon masalah, diagnosa, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi BAB IV Pembahasan, pembahasan berisi
pengkajian, diagnose keperawatan yang muncul, perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi dan hambatan. BAB V Penutup, meliputi kesimpulan dan saran.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang konsep dasar mengenai isolasi sosial :
menarik diri yang ditinjau dari dua segi yaitu medis dan keperawatan.
A. Konsep Dasar Medis
1. Pengertian Menarik Diri
Banyak sekali pendapat mengenai menarik diri diantaranya
menurut Sujono & Teguh dalam bukunya halaman 151. Gangguan
hubungan sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang
terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam
berhubungan sosial. Tiap individu mempunyai potensi untuk terlibat
dalam hubungan sosial pada berbagai tingkat hubungan, yaitu hubungan
intim biasa sampai hubungan saling ketergantungan. Keintiman saling
ketergantungan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai kebutuhan
setiap hari, individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya tanpa adanya
hubungan dengan lingkungan sosial. Oleh karena itu individu perlu
membina hubungan interpersonal.
Sedangkan menurut referensi yang lain mengatakan bahwa isolasi
sosial adalah pengalaman kesendirian secara individu dan dirasakan segan
terhadap orang lain dan sebagai keadaan yang negatif atau mengancam
(Nanda, 2005 : 208). Ada juga pendapat yang mengemukakan bahwa
6
Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau kelompok
mengalami, atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat
dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi tidak mampu mewujudkannya
(Carpenito, 2009: 1045)
Jadi isolasi sosial : menarik diri adalah gangguan berhubungan
yang ditandai dengan isolasi sosial dan usaha untuk menghindari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa dia kehilangan hubungan akrab dan
tidak mempunyai kesempatan untuk membagi rasa, pikiran, prestasi,
kegagalan. Kondisi tersebut menjadikannya mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain.
2. Rentang respon
Menurut Gail W. Stuart (2006 : 275) Gangguan kepribadian
biasanya dapat dikenali pada masa remaja atau lebih awal dan berlanjut
sepanjang masa dewasa. Gangguan tersebut merupakan pola respon
maladaptif, tidak fleksibel, dan menetap yang cukup berat menyebabkan
disfungsi perilaku atau distress yang nyata.
Respon adaptif Respon maladaptif
Solitude Kesepian Manipulasi
Autonomi Penarikan diri Impulsif
Mutuality Tergantung Narcissisme
Interdependen
Gambar 2.1 : Rentang respon sosial (Gail W. Stuart, 2006 : 275).
7
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut
Sujono & Teguh (2009 : 155) respon ini meliputi :
a. Solitude atau menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan
apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri
dalam menentukan rencana-rencana.
b. Autonomy atau otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial. Individu
mampu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
c. Mutuality atau kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling
memberi, dan menerima dalam hubungan interpersonal.
d. Interdependen atau saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling
tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama
dan masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009 : 155) respon maladaptif
tersebut adalah :
8
a. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai obyek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan
terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa
pada orang lain.
b. Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu
merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin
penilaian.
c. Narkisisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
egosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari
orang lain.
d. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
9
3. Penyebab
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya menarik
diri, adapun faktor tersebut adalah, antara lain :
a. Faktor predisposisi
Menurut Sujono & Teguh (2009 : 156-157) faktor predisposisi
pada gangguan isolasi sosial : menarik diri yaitu :
1) Faktor perkembangan
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas-tugas
perkembangan yang harus terpenuhi. Apabila tugas tersebut tidak
terpenuhi maka akan mempengaruhi hubungan sosial. Misalnya
anak yang kurang kasih sayang, dukungan, perhatian, dan
kehangatan dari orang tua akan memberikan rasa tidak aman dan
menghambat rasa percaya.
2) Faktor biologis
Organ tubuh dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
hubungan sosial. Misalnya kelainan struktur otak dan struktur
limbik diduga menyebabkan skizofrenia. Pada klien skizofrenia
terdapat gambaran struktur otak yang abnormal otak atropi,
perubahan ukuran dan bentuk sel limbik dan daerah kortikal.
3) Faktor sosial budaya
Norma-norma yang salah di dalam keluarga atau
lingkungan dapat menyebabkan gangguan hubungan sosial.
Misalkan pada pasien lansia, cacat, dan penyakit kronis yang
10
diasingkan dari lingkungan.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan
dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan
dengan lingkungan diluar keluarga.
b. Faktor presipitasi
Menurut Sujono & Teguh (2009 : 157) faktor presipitasi pada
klien dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri yaitu :
1) Stresor sosial budaya
Adalah stres yang ditimbulkan oleh sosial dan budaya
masyarakat. Kejadian atau perubahan dalam kehidupan sosial
budaya memicu kesulitan berhubungan dengan orang lain dan cara
berperilaku.
2) Stresor psikologi
Adalah stres yang disebabkan karena kecemasan yang
berkepanjangan dan terjadinya individu untuk tidak mempunyai
kemampuan mengatasinya.
11
4. Manifestasi Klinik
Menurut buku panduan diagnosa keperawatan NANDA (2005-
2006:208-209) isolasi sosial memiliki batasan karakteristik meliputi:
Data Obyektif :
1) Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman,
kelompok)
2) Perilaku permusuhan
3) Menarik diri
4) Tidak komunikatif
5) Menunjukan perilaku tidak diterima oleh kelompok kultural dominant
6) Mencari kesendirian atau merasa diakui di dalam sub kultur
7) Senang dengan pikirannya sendiri
8) Aktivitas berulang atau aktivitas yang kurang berarti
9) Kontak mata tidak ada
10) Aktivitas tidak sesuai dengan umur perkembangan
11) Keterbatasan mental/fisik/perubahan keadaan sejahtera
12) Sedih, afek tumpul
Data Subyektif:
1) Mengekpresikan perasaan kesendirian
2) Mengekpresikan perasaan penolakan
3) Minat tidak sesuai dengan umur perkembangan
4) Tujuan hidup tidak ada atau tidak adekuat
5) Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
12
6) Ekspresi nilai sesuai dengan sub kultur tetapi tidak sesuai dengan
kelompok kultur dominant
7) Ekspresi peminatan tidak sesuai dengan umur perkembangan
8) Mengekpresikan perasaan berbeda dari orang lain
9) Tidak merasa aman di masyarakat
5. Patopsikologi
Individu yang mengalami Isolasi Sosial sering kali beranggapan
sumber / penyebab Isolasi Sosial itu berasal dari lingkungannya. Padahal
rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik
terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, marah, sepi
dan takut ditinggal orang yang dicintai, tidak dapat dikatakan segala
sesuatu yang dapat mengancam harga diri (self esteem) dan kebutuhan
keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Untuk dapat mengatasi masalah-
masalah yang bekaitan dengan ansietas diperlukan suatu mekanisme koping
yang adekuat. Sumber-sumber koping meliputi ekonomi, kemampuan
menyelesaikan masalah, tekhnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi.
Sumber koping sebagai model ekonomi dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil. Semua orang betapapun terganggu
perilakunya tetap mempunyai beberapa kelebihan personal yang mungkin
meliputi : aktivitas keluarga, hobi, seni kesehatan dan perawatan diri,
pekerjaan kecerdasaan dan hubungan interpersonal. Dukungan sosial dari
peningkatan respon psikofisiologis yang adaptif, motivasi berasal dari
13
dukungan keluarga ataupun individu sendiri sangat penting untuk
meningkatkan kepercayaan diri pada individu (Stuart dan Sundeen, 1998).
Adapun rentang respon biopsikososial menurut Rasmun (2001 : 13) adalah :
Faktor predisposisi
(Perkembangan biologi, sosiobudaya)
Faktor presipitasi
(Sosial, budaya, psikologi )
Penilaian terhadap stresor
Sumber koping
Mekanisme koping
Idealisme Devaluasi Harga diri Peranan Perpecahan Identifikasi diri
Kontruktif Destruktif
RENTANG RESPON SOSIAL
Adaptif Respon Maladaptif
- Menyendiri - Kesepian - Manipulasi
- Otonomi - Menarik Diri - Impulsif
- Kebersamaan
- Saling ketergantungan - Ketergantungan - Narkisme
Gambar 2.2 : Patways patopsikologi Isolasi sosial (Gail W. Stuart, 2006 : 275).
14
6. Sumber Koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman
terhadap pengaruh gangguan otak pada perilaku. Kekuatan dapat meliputi
seperti model intelegensia atau kreatifitas yang tinggi. Orang tua harus
secara aktif mendidik anak dan dewasa muda tentang ketrampilan koping
karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Sumber
keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang
cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk memberikan
dukungan secara berkesinambungan (Stuart & Sundeen, 1998).
Ada 5 sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi
dengan stressor yaitu ketrampilan dan kemampuan, ekonomi, tekhnik
pertahanan, dukungan sosial dan motivasi (Rasmun, 2001 : 16).
Menurut Stuart & Sundeen (1998 : 349) Contoh sumber koping
yang berhubungan dengan respon sosial maladaptif termasuk :
a. Keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman.
b. Hubungan dengan hewan peliharaan.
c. Gunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal
seperti kesenian, musik atau tulisan.
7. Mekanisme Koping
Individu yang mempunyai respon sosial maladaptif menggunakan
berbagai mekanisme dalam upayanya mengatasi ansietas. Menurut Stuart
& Sundeen (1998 : 349-350) mekanisme koping yang berkaitan dengan
jenis spesifik dari masalah yaitu:
15
a. Koping yang berkaitan dengan gangguan kepribadian antisosial.
1) Proyeksi.
2) Pemisahan.
3) Merendahkan orang lain.
b. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
“Borederline”.
1) Pemisahan.
2) Reaksi formasi.
3) Proyeksi.
4) Isolasi.
5) Idealisasi orang lain.
6) Merendahkan orang lain.
7) Identifikasi proyektif.
Jika individu berada pada kondisi stress, ia akan menggunakan
berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu
atau lebih sumber koping yang tersedia (Rasmun, 2001 : 16).
8. Penatalaksaan medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan Isolasi sosial
Terapi medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut
Depkes (2000), menurut Rasmun (2003,89-91) jenis obat psikofarmaka
adalah
16
a. Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, berdaya berat
dalam fungsi-fungsi mental. Waham, halusinasi gangguan perasaan
dan perilkau yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam
fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial
dan melakukan kegiatan rutin. Mekanisme kerja dopamine pada pasca
sinap di otak khususnya system pyramidal. Efek sampingnya adalah
sedasi, gangguan otonomi (hipotensi, antikolinergik/parasimpatik,
mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat,
mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung),
gangguan ekstra pyramidal (dystonia akut, akatsia, sindroma
parkinsontremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin
(amenorhoe, ginekomasti), metabolic (jaundice). Kontra indikasinya
yaitu klien dengan penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan
jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan
kesadaran disebabkan CNS depresan.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realita
dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.
Mekanisme kerja dari obat ini adalah obat anti psikosis dalam
memblock dopamine pada reseptor paska sinaptik neuron di otak
khususnya system limbic dan system ekstra pyramidal.
17
Efeksampingnya meliputi sedasi dan inhibisi psikomotor, Efek
sampingnya adalah sedasi, gangguan otonomi (hipotensi,
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan
defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama jantung). Kontra indikasnya adalah bagi
pasien yang mempunyai penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan
kesadaran.
c. Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk segala jenis penyakit Parkinson, termasuk
paska ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat
misalnya resenpira dan fenotiazine. Mekanisme kerja sinergis dengan
linidine, obat anti depresan trisklik dan kolinergik lainnya. Efek
samping dari obat ini adalah mulut kering, penglihatan kabur, pusing,
mual, muntah, bingung, agitas, konstipasi, takikardia dilatasi ginjal
retensi urine. Kontra indikasinya meliputi hypersensitive terhadap
Trihexiphenidyl, glaucoma sudut sempit, psikosis berat,
psikoneurosis, hypertropi prostat dan obstruksi saluran cerna.
B. Konsep Dasar Keperawatan
Dalam melakukan asuhan keperawatan ada enam fase atau langkah
dari proses keperawatan yaitu pengkajian, perumusan diagnosis
keperawatan, pengidentifikasian outcome, perencanaan, implementasi dan
evaluasi ( Stuart & Sundeen, 1995).
18
1. Pengkajian
Menurut Nurjannah (2005 : 30) pengkajian merupakan tahap
awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian
terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau atau
masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis,
psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat
pula berupa factor predisposisi, factor presipitasi, penilaian terhadap
stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien
(Stuart & Sundeen, 1998). Cara pengkajian lain berfokus pada 5
dimensi yaitu: fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Untuk
memperoleh data yang dibutuhkan umumnya dikembangkan formulir
pengkajian dan petunjuk tekhnis pengkajian agar mempermudah dalam
pengkajian, isinya meliputi:
a. Identitas
Dalam pengkajian kita mencantumkan identitas klien (nama
klien, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan) dan
identitas penanggung jawab (nama, umur, alamat, pekerjaan).
b. Keluhan utama dan alasan masuk.
Pengkajian alasan masuk kita kaji apa yang menyebabkan
klien dibawa oleh keluarga ke rumah sakit untuk saat ini, apa yang
sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah klien dan
bagaimana hasilnya.
19
c. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Secara teori, kurangnya stimulasi, kasih sayang dan
kehangatan dari ibu (pengasuh) pada bayi akan memberikan
rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya.
2) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
gangguan jiwa.
3) Faktor sosiokultural
Isolasi sosial dapat terjadi, salah satunya pada tuntutan
lingkungan yang terlalu tinggi.
d. Faktor presipitasi
1) Merupakan faktor yang dianggap menyebabkan pasien sakit
jiwa atau yang menyebabkan pasien mengalami kekambuhan.
2) Pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami pasien
selama fase perkembangan (kegagalan, kehilangan, perpisahan,
kematian, trauma selama tumbang) yang pernah dialami klien.
3) Bila tidak ditemukan adanya kejadian atau pengalaman
tersebut, tetapi ada riwayat putus obat atau berhenti minum
obat, maka dapat dianggap bahwa faktor presipitasi pasien
mengalami kekambuhan adalah putus obat.
e. Aspek fisik atau biologis.
20
Pada klien menarik diri didapatkan masalah nutrisi,
kebersihan diri, dan tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan.
f. Aspek psikososial.
Meliputi genogram yang dibuat 3 generasi, gambarkan
adanya riwayat perceraian, adanya anggota keluarga yang
meninggal & penyebab meninggal, pasien tinggal dengan siapa.
Kita kaji juga mengenai konsep diri, hubungan sosial dan spiritual
pasien. Pengkajian konsep diri, hubungan sosial dan spiritual tidak
dapat dilakukan pada pasien yang masih agitasi/gaduh gelisah,
bicaranya kacau, ada gangguan memori, pasien yang autistik dan
mutisme.
g. Status mental
Beberapa hal yang perlu dikaji dari status mental yaitu
1) Penampilan fisik : kondisi rambut, kuku, kulit, gigi dan cara
berpakaian
2) Pembicaraan : pembicaraan pasien apakah cepat, keras, gagap,
membisu, apatis atau lambat
3) Aktivitas motorik : lesu, pasif (hipomotorik), segala aktivitas
sehari-hari dengan bantuan perawat atau orang lain, tegang,
gelisah, tidak bias tenang (hipermotorik)
4) Alam perasaan : dalam hal ini didapatkan melalui hasil
wawancara dengan pasien meliputi adanya perasaan sedih,
putus asa, gembira, khawatiran takut (hasil wawancara
21
divalidasi dengan hasil observasi, apakah disforia, eforia)
5) Afek : appropriate (tepat), in appropriate (tidak tepat: datar,
tumpul, labil, tidak sesuai)
6) Interaksi selama wawancara : interaksi selama wawancara
apakah bermusuhan, tidak kooperatif atau mudah tersinggung,
kontak mata selama wawancara.
7) Persepsi : kaji adanya pengalaman halusinasi atau ilusi
8) Proses pikir : sirkumtansial, tangensial, kehilangan asosiasi,
flight of ideas, blocking, reeming
9) Isi pikir : kaji adanya waham
10) Tingkat kesadaran dan orientasi : bungung, sedasi, stupor
11) Memori : data diperoleh melalui wawancara adakah gangguan
daya ingat jangka panjang, gangguan daya ingat jangka pendek
dan saat ini
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
13) Kemampuan penilaian
14) Daya tilik diri
h. Kebutuhan persiapan pulang
Kita kaji apakah dari hasil observasi klien sudah mampu
melakukan activity daily live secara mandiri atau masih dengan
bantuan selama di rumah sakit dan di rumah
i. Mekanisme koping
22
Data dari hasil wawancara meliputi koping adaptif sampai
dengan koping maladaptif
j. Masalah psikososial dan lingkungan.
Adanya penolakan di lingkungan tempat tinggal atau
masyarakat, adanya penolakan di tempat kerja atau sekolah, adanya
penolakan dari keluarga terhadap pasien
k. Pengetahuan
Berisi tentang pemahaman pasien mengenai penyakit,
tentang kekambuhan, pemahaman tentang manajemen hidup sehat.
l. Aspek medik
Diagnosa medis dan program therapy atau pengobatan yang
sedang dijalani oleh pasien.
(Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ
Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007)
23
2. Pohon Masalah
Pohon masalah pada klien dengan Isolasi sosial : menarik diri, yaitu:
Akibat
Penyebab
Penyebab
Gambar 2.2 : Pohon masalah isolasi sosial : menarik diri (Keliat, B. A., 2005:20)
3. Diagnosa Keperawatan
Keliat, B. A. (2005 : 20) merumuskan diagnosa keperawatan pada
klien dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri, sebagai berikut :
Ketidakefektifan
koping keluarga:
ketidakmampuan
keluarga merawat klien
di rumah
Gangguan konsep diri:
Harga diri rendah kronis
Isolasi sosial: menarik diri
Masalah utama
Defisit perawatan
diri: Mandi dan
berhias
Gangguan
pemeliharaan
kesehatan
Gangguan
sensori/persepsi:
halusinasi pendengaran
Ketidakefektifan
penatalaksanaan
program terapeutik
Risiko perilaku
kekerasan terhadap
diri sendiri
24
a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Defisit perawatan diri
f. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
4. Intervensi Keperawatan
Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan
Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu :
a. Diagnosa 1. Isolasi Sosial
Tujuan:
Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
I. Pasien
SP 1 (pasien) :
1.1. Membina hubungan saling percaya
1.2. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.
1.3. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi
dengan orang lain.
1.4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain.
1.5. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
25
1.6. Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
SP 2 (pasien) :
2.1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2.2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara
berkenalan dengan dua orang.
2.3. Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
SP 3 (pasien) :
3.1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
3.2. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan
dua orang atau lebih.
3.3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan
harian.
II. Keluarga
SP 1 (keluarga) :
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
26
SP 2 (keluarga) :
2.1. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan
isolasi sosial.
2.2. Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial.
SP 3 (keluarga) :
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
b. Diagnosa 2. Perubahan konsep diri : harga diri rendah
Tujuan:
Pasien mempunyai konsep diri yang positif
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien.
1.2. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih
dapat digunakan.
1.3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai
dengan kemampuan pasien.
1.4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan.
1.5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
27
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai
kemampuan
2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah
yang dialami pasien beserta proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
harga diri rendah
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien harga diri rendah
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (Discharge planning)
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
28
c. Diagnosa 3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Tujuan :
Pasien dapat mengontrol halusinasinya.
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien
1.2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien
1.3. Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien
1.4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien
1.5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
1.6. Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi
1.7. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan menghardik
1.8. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan berbincang
dengan orang lain
2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
SP 3 (Pasien)
3.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan kegiatan (yang
29
biasa dilakukan pasien).
3.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP IV (Pasien)
4.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Menjelaskan cara kontrol halusinasi dengan teratur minum
obat (prinsip 5 benar minum obat)
4.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, dan jenis
halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien halusinasi
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
halusinasi
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien halusinasi
30
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
d. Diagnosa 4. Koping individu tidak efektif
Tujuan :
Koping individu kembali efektif
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Identifikasi koping yang selama ini digunakan.
1.2. Membantu menilai koping yang biasa digunakan.
1.3. Mengidentifikasi cita-cita atau tujuan yang realistis.
1.4. Melatih koping: berbincang / assertif technics (meminta,
menolak, dan mengungkapkan / membicarakan masalah secara
baik).
1.5. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
SP 2 (Pasien)
2.4. Validasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.5. Melatih koping: beraktivitas.
2.6. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
SP 3 (Pasien)
3.1. Validasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Melatih koping: olah raga.
31
3.3. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
SP 4 (Pasien)
4.1. Validasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Melatih koping: relaksasi.
4.3. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala koping individu
inefektif yang dialami pasien beserta proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien koping individu
inefektif
SP 2 (Keluarga)
2.7. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien koping
individu inefektif
2.8. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pasien
koping individu inefektif
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah
termasuk minum obat
3.2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau oleh
keluarga
32
e. Diagnosa 5. Defisit perawatan diri
Tujuan:
Pasien dapat mandiri melakukan perawatan diri
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri
1.2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
1.3. Melatih pasien cara menjaga kebersihan diri
1.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 (Pasien)
2.9. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.10. Menjelaskan cara makan yang baik
2.11. Melatih pasien cara makan yang baik
2.12. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 3 (Pasien)
3.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik
3.3. Melatih cara eliminasi yang baik.
3.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
33
SP 4 (Pasien)
4.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Menjelaskan cara berdandan
4.3. Melatih pasien cara berdandan
4.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.7. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.8. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri
dan jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta
proses terjadinya
1.9. Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
defisit perawatan diri
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien defisit perawatan diri
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (Discharge planning)
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
34
f. Diagnosa 6. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan
lingkungan
Tujuan:
Pasien dapat mengontrol resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Mengidentifikasi penyebab PK
1.2. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
1.3. Mengidentifikasi PK yang dilakukan
1.4. Mengidentifikasi akibat PK
1.5. Mengajarkan cara mengontrol PK
1.6. Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam).
1.7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih pasien cara kontrol PK fisik II (memukul bantal /
kasur / konversi energi).
2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 3 (Pasien)
3.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
35
3.2. Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal (meminta,
menolak dan mengungkapkan marah secara baik).
3.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 4 (Pasien)
4.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa,
berwudhu, sholat).
4.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 5 (Pasien)
5.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
5.2. Menjelaskan cara kontrol PK dengan minum obat (prinsip 5
benar minum obat).
5.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
1.2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya PK.
1.3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.
36
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
PK.
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien PK.
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
37
BAB III
TINJAUAN KASUS
Asuhan keperawatan jiwa pada Tn. M dengan isolasi sosial : menarik diri
yang telah dilaksanakan selama satu hari pada tanggal 12 Juli 2011 dari pukul
08.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Bangsal P 8 Wisma Antareja RSJP Prof.
dr. Soeroyo Magelang, didokumentasikan dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan mulai dari pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan,
implementasi sampai dengan evaluasi.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan tanggal 12 Juli 2011 pada pukul 08.30 WIB di
Bangsal P 8 Wisma Antareja RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang. Data yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan perawat ruangan. Ada pula
data sekunder yang didapatkan dari status rekam medik selama klien dirawat
di rumah sakit.
1. Identitas
Dari pengkajian didapatkan data klien bernama Tn. M, umur 39
tahun, berjenis kelamin laki-laki, alamat di Magelang, status klien
bercerai,. pendidikan terakhir SD, pekerjaan klien sebelum masuk ke
rumah sakit sebagai buruh, klien masuk rumah sakit tanggal 30 Mei 2011
dengan nomor register 60556. Penanggung jawab klien adalah Tn. E,
berusia 42 tahun beralamat di Magelang, hubungan dengan klien adalah
saudara kandung klien.
38
2. Riwayat Keperawatan
Klien masuk RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang pada tanggal 30
Mei 2011, diantar oleh keluarga dengan alasan klien sering berdiam diri,
tidak mau bicara dan tidak mau beraktifitas, Dari hasil pengkajian, klien
telah mengalami gangguan jiwa sejak 3 tahun yang lalu setelah istrinya
menceraikannya. Kemudian klien mulai mengalami perubahan perilaku.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pengkajian
pasien adalah tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76x/menit, pernafasan
25x/menit, suhu 37 ˚C. Dari hasil pemeriksan antropometri didapat tinggi
badan klien 163 cm dan berat badan klien 54 kg. Sedangkan dari
pemeriksaan head to toe kulit kepala klien kotor, rambut kusam, gigi klien
nampak kotor dan terdapat karies gigi.
Dari pengkajian status psikososial klien sudah bercerai dengan
istrinya sejak 3 tahun yang lalu. Dalam keluarganya ada yang menderita
gangguan jiwa yaitu ayah kandungnya.
a. Konsep Diri Klien
Dari hasil wawancara dengan klien gambaran diri, identitas
diri, peran diri, ideal diri dan harga diri klien tidak terkaji karena
klien tidak kooperatif selama komunikasi. Klien mengalami autistik
dan mutisme.
b. Status Mental
Klien berpenampilan kurang rapi, gigi nampak kotor dan
terdapat karies gigi, klien ganti baju 2x sehari sesuai dengan aturan
39
bangsal. Ketika dilakukan waawancara, klien kurang kooperatif,
klien berbicara lambat dan tidak bisa memulai pembicaraan. Selama
di rumah sakit, klien sering menyendiri dan melamun, jarang
berinteraksi dengan klien lain, aktifitas masih dibimbing oleh
perawat.
Klien mengatakan sering merasa sedih bila mengingat masa
lalu. Klien mempunyai afek datar yaitu saat wawancara klien tidak
menunjukan roman muka atau ekspresi wajah, juga saat diberikan
stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan. Saat dilakukan
wawancara klien tampak tidak ada kontak mata, mudah beralih atau
mengalihkan pandangannya bila diajak bicara. Klien mengalami
disorientasi waktu dan gangguan daya ingat jangka panjang, yaitu
klien tidak bisa mengingat kejadian yang lebih dari satu bulan.
Selama wawancara, klien tidak dapat berhitung.
Klien dapat makan, berpakaian dan beraktifitas seperti
teman-temannya di bangsal walaupun dengan bimbingan dari
perawat. Klien makan 3x sehari, porsi makan habis, mandi 2x sehari
dengan bantuan minima, BAB 1x sehari, BAK 4-5x/hari, klien tidur
siang 2-3 jam dan tidur malam kurang lebih 7 jam. Klien minum
obat secara teratur, dan obat dipersiapkan oleh perawat.
c. Mekanisme koping
Selama klien dirawat di RS, klien mengatakan jika
mengalami masalah, klien lebih banyak diam.
40
3. Data Penunjang
Diagnosa medis klien yaitu F 20. 2. Adapun terapi per oral yang
diperoleh tanggal 12 Juli 2011 yaitu Trifluoperazine 2 x 5 mg, Amitriptilin
2 x 25 mg, Triheksipenidil 2 x 2 mg, Chlorpromazine 1 x 50 mg.
B. ANALISA DATA
Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011
pukul 08.30 WIB, penulis mengelompokan data menjadi data subjektif dan
data obyektif. Kemudian dianalisa untuk membuat kesimpulan yang
dinyatakan dalam diagnosa keperawatan:
1. Masalah keperawatan : Gangguan Konsep diri : harga diri rendah.
Data subjektif : klien mengatakan sering bersedih. Data objektif : klien
tampak sering duduk menyendiri, tidak ada kontak mata saat
berkomunikasi.
2. Masalah keperawatan : isolasi sosial : menarik diri.
Data subyektif : tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama diajak
komunikasi. Data obyektif : Klien sering duduk menyendiri, klien tampak
pendiam, klien tampak menundukan kepala, klien tidak mampu memulai
pembicaraan, tidak ada kontak mata saat berkomunikasi, wajah klien
tampak murung, klien juga memiliki afek datar, klien tampak asing dengan
klien lain, dan juga klien tampak kurang antusias dalam kegiatan ruangan
dan kelompok.
3. Masalah keperawatan : Defisit perawatan diri
41
Data subyektif : tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama diajak
komunikasi. Data obyektif : Aktifitas / ADL klien masih dibantu perawat,
badan tampak kotor, dandanan tidak rapi, makan berantakan, gigi dan
mulut klien kotor.
C. POHON MASALAH
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pohon masalah tersebut di atas dapat dirumuskan dalam diagnosa
keperawatan di bawah ini :
1. Isolasi sosial : Menarik diri
2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3. Defisit perawatan diri
E. PRIORITAS MASALAH
Isolasi sosial : Menarik diri
F. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan
Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu :
Defisit Perawatan Diri
Isolasi sosial : Menarik diri
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Akibat
Masalah utama
Penyebab etiologi
42
Diagnosa 1. Isolasi Sosial
Tujuan:
Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
I. Pasien
SP 1 (pasien) :
1.1. Membina hubungan saling percaya
1.2. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien.
1.3. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain.
1.4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain.
1.5. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
1.6. Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
SP 2 (pasien) :
2.1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2.2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara
berkenalan dengan satu orang.
2.3. Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
SP 3 (pasien) :
3.3. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
43
3.4. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua
orang atau lebih.
3.5. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
II. Keluarga
SP 1 (keluarga) :
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
SP 2 (keluarga) :
2.4. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan
isolasi sosial.
2.5. Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial.
SP 3 (keluarga) :
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning).
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
G. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan selama 1 hari, pada tanggal 12 juli 2011
pukul 10.00 WIB. SP I : membina hubungan saling percaya dengan
membina hubungan terapeutik sambil berjabat tangan, menganggukan
44
kepala dan tersenyum, memperkenalkan nama lengkap klien dan panggilan
kesukaan klien, menjelaskan tujuan interaksi dengan klien dan
menunjukan sikap empati; mengobservasi penyebab menarik diri pada
klien; mendiskusikan dengan klien tentang penyebab menarik diri;
menanyakan tanda-tanda menarik diri pada klien; menberikan
reinforcement positif pada klien karena mau mengungkapkan perasaannya
tentang menarik diri; menanyakan pada klien tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain; mendiskusikan dengan klien tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain; mendiskusikan dengan klien
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain; memberikan
kesempatan pada klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain; memberikan reinforcement pada klien karena mengungkapkan
perasaannya tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain; mengkaji kemampuan
klien membina hubungan dengan orang lain, mendorong dan membantu
klien berhubungan dengan orang lain, membantu klien untuk
mengevaluasi manfaat berhubungan dengan orang lain, mendiskusikan
jadwal harian yang dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu,
memotivasi klien untuk memasukan kegiatan latihan berbincang – bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian.
H. EVALUASI
Implementasi yang telah dilakukan selama satu hari pada tanggal
12 Juli 2011 penulis mengevaluasinya. Adapun hasil evaluasi yaitu
45
diagnosa pertama SP I menyimpulkan data obyektif yang didapat bahwa
hubungan saling percaya belum dapat terjalin dengan baik, terbukti bahwa
klien tidak kooperatif selama wawancara klien tidak menjawab salam,
tidak mampu menyebutkan nama sendiri dan nama panggilan yang
disukainya, kontak mata tidak ada. Selanjutnya klien masih belum bisa
menceritakan karena pembicaraan yang lambat dan belum fokus pada apa
yang dibicarakan. Klien juga belum mengerti tentang keuntungan dari
berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain ditandai dengan klien tidak menganggukan kepala saat ditanya
tentang apa yang sudah dibicarakan. Klien juga belum bisa
mendemonstrasikan cara berkenalan dengan orang lain. Assesment yang
didapat bahwa SP I belum tercapai secara optimal.
Penulis mendelegasikan kepada perawat ruangan untuk kembali
melaksanakan SP I (Pasien) karena belum tercapai. Untuk SP II (Pasien)
mengevaluasi tentang mempraktekan cara berkenalan dengan satu orang
(klien lain) dan SP III (Pasien) cara berkenalan dengan dua orang atau
lebih yang belum bisa terlaksana karena SP I belum tercapai sehingga
belum bisa dilanjutkan ke SP II klien dan SP III klien. Sehingga penulis
mendelegasikan kepada kepala ruang untuk melaksanakan SP I sampai
klien bisa mempraktekan. Untuk SP Keluarga belum bisa dilaksanakan
karena tidak ada keluarga yang menjenguk.
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang hasil pendokumentasian asuhan
keperawatan jiwa yang telah dilakukan selama satu hari pada Tn. M dengan
masalah utama isolasi sosial : menarik diri di bangsal P 8 wisma Antareja RSJP
Prof. dr. Soeroyo Magelang. Pembahasan ini mencakup seluruh proses asuhan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Pengkajian diperoleh melalui wawancara
dengan klien, laporan teman sejawat, catatan keperawatan atau tenaga kesehatan
lainnya dan melalui pengkajian fisik. Pembahasan yang diuraikan dimulai dari
tahap pengkajian sampai dengan evaluasi serta ditinjau dari teori keperawatan
jiwa. Kesenjangan antara teori dan kondisi nyata dilahan praktek diuraikan juga
pada bab ini.
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011 pukul 08.30 WIB,
di ruang Antareja Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Dari
hasil pengkajian yang dilakukan, dengan cara autoanamnesa maupun
alloanamnesa. Autoanamnesa yaitu interaksi antara perawat-klien secara
langsung dimana interaksi tersebut merupakan suatu kegiatan untuk
menjalin hubungan komunikasi yang baik antara perawat-klien. Tujuannya
adalah untuk memenuhi kebutuhan klien, membantunya dalam
pengalaman kehidupan sehari-hari agar dapat melakukan kegiatan
sebagaimana mestinya dan mencari tahu latar belakangnya dirawat di
47
rumah sakit jiwa. Pengkajian dengan cara alloanamnesa dengan melihat
catatan medik klien.
Menurut Nurjannah (2005) bahwa pengkajian merupakan tahap
awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan masalah klien. Data
yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Hal-hal yang perlu dikaji pada klien menarik diri adalah biodata klien,
alasan masuk, keluhan utama, faktor predisposisi, status mental, faktor-
faktor psikososial, kebutuhan persiapan pulang serta mekanisme koping
yang sering digunakan. Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (1998)
pengkajian pada pasien dengan gangguan jiwa isolasi sosial : menarik diri
meliputi faktor predisposisi, faktor presipitasi, perilaku, fisik, status emosi,
intelektual, status sosial dan spiritual.
Berdasarkan data pengkajian pada Tn. M dan data dokumentasi
keperawatan yang ada didapatkan faktor predisposisi yang mendukung
munculnya masalah pada klien yaitu klien telah mengalami gangguan jiwa
sejak 3 tahun yang lalu, klien diantar oleh keluarga tanggal 30 Mei 2011
ke Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang dengan alasan klien
sering berdiam diri, tidak mau bicara dan tidak mau beraktifitas. Faktor
presipitasinya klien mengalami perubahan perilaku semenjak diceraikan
istrinya 3 tahun yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pengkajian
pasien adalah tidak ada kelainan pada pemeriksaan tanda-tanda vital. Dari
48
hasil pemeriksan antropometri didapat tinggi badan klien 163 cm dan berat
badan klien 54 kg. Sedangkan dari pemeriksaan head to toe kulit kepala
klien kotor, rambut kusam, gigi klien nampak kotor dan terdapat karies
gigi.
Pada genogram dalam pengkajian psikososial, didapatkan bahwa
Dari pengkajian status psikososial klien sudah bercerai dengan istrinya
sejak 3 tahun yang lalu. Dalam keluarganya ada yang menderita gangguan
jiwa yaitu ayah kandungnya.
Pengkajian konsep diri menurut Stuart dan Sundeen (1998:227),
Dari hasil wawancara dengan klien gambaran diri, identitas diri, peran diri
dan ideal diri klien tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama
komunikasi. Klien mengalami autistik dan mutisme. Sedangkan harga diri
klien, Tn. M menganggukan kepala bahwa dirinya serba tidak mampu, dan
sering menyesali keadaan dirinya.
Menurut Sunaryo (2004 : 34) Harga diri rendah timbul jika
individu merasakan kehilangan kasih sayang, cinta kasih dan penghargaan
dari orang lain dan tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan cita-cita ideal yang ada dalam dirinya, sehingga individu akan
mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam hubungan interpersonalnya
dengan orang lain di lingkungan sosial.
Pengkajian persepsi sensori klien bahwa dirinya tidak pernah
mendengar suara-suara apapun. Kebutuhan persiapan pulang klien masih
membutuhkan sedikit bantuan perawat dalam kegiatan harian di ruangan.
49
Pada mekanisme koping ditemukan bahwa mekanisme koping
klien tidak efektif karena klien lebih suka menyendiri, klien mengatakan
jika ada masalah yang menimpanya, klien lebih suka memendamnya
sendiri, enggan bercerita, klien selalu menyalahkan dirinya sendiri jika ada
masalah yang menimpanya. Menurut Stuart and Sunden (1998: 230)
Mengkritik diri sendiri atau orang lain, gangguan dalam berhubungan,
perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif tentang tubuhnya
sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis,
menarik diri secara sosial, khawatir, merupakan manifestasi dari harga diri
rendah.
Pengkajian tanda dan dan gejala pada klien gangguan isolasi
sosial: menarik diri adalah malas berinteraksi, menganggap orang lain
tidak mau menerima dirinya,curiga dengan orang lain,mendengar suara-
suara/melihat bayangan, merasa malu untuk berbicara dengan orang lain,
menyendiri dalam ruangan, tidak bias memulai pembicaraan, tidak mau
berkomunikasi dengan orang lain (autistik/mutisme), tidak melakukan
kontak mata, sikap mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak
berinisiatif berhubungan dengan orang lain, banyak menunduk saat diajak
bicara, afek dapat tumpul atau datar, posisi tidur tampak meringkuk di
tempat tidur dengan punggung menghadap ke pintu. (Workshop Standar
Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo
Magelang, 2007). Pada perilaku klien dengan gangguan isolasi sosial:
menarik diri yaitu kurang sopan, apatis, sedih, afek tumpul, kurang
50
perawatan diri, komunikasi verbal turun, menyendiri, kurang peka
terhadap lingkungan, kurang energy, harga diri rendah dan posisi tidur
seperti janin (Sujono & Teguh, 2009).
Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. M didapatkan data
subyektif klien yaitu klien merasa sedang sedih. Dan data obyektifnya
adalah klien tampak menyendiri, klien tampak diam, klien tampak
menundukan kepala, tidak ada kontak mata, klien tampak sedih, wajah
klien tampak murung, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain
(autistik/mutisme), afek datar, kurang perawatan diri. Berdasarkan data
pengkajian yang muncul ada kesenjangan teori dengan keadaan yang
dialami oleh klien.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa data yang didapatkan dari
klien, penulis merumuskan diagnosa keperawatan untuk membantu proses
keperawatan klien selama dirawat di ruang Antareja Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
Adapun diagnosa keperawatan yang ditemukan penulis yaitu
gangguan isolasi sosial : menarik diri, gangguan konsep diri : harga diri
rendah, dan defisit perawatan diri.
1. Isolasi sosial : menarik diri
Penulis menetapkan diagnosa keperawatan gangguan isolasi
sosial : menarik diri sebagai prioritas masalah keperawatan. Isolasi
sosial adalah pengalaman kesendirian secara individu dan dirasakan
51
segan terhadap orang lain dan sebagai keadaan yang negatif atau
mengancam (NANDA, 2005:208).
Data yang mendasari pengangkatan diagnosa keperawatan
gangguan isolasi sosial : menarik diri berupa data obyektifnya adalah
klien tampak menyendiri, klien tampak diam, klien tampak
menundukan kepala, tidak ada kontak mata, klien tampak sedih, wajah
klien tampak murung, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain
(autistik/mutisme), afek datar, kurang perawatan diri.
Alasan kenapa diagnosa “gangguan isolasi sosial : menarik
diri” menjadi prioritas pertama karena apabila masalah isolasi sosial :
menarik diri tidak ditangani / tidak dilakukan intervensi lebih lanjut,
maka akan menyebabkan perubahan persepi sensori : halusinasi dan
resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain bahkan lingkungan.
Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan
intoleransi aktifitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap
ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri (Sujono
dan Teguh, 2009).
2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
Data yang ditemukan saat pengkajian yaitu data subjektif :
klien mengatakan sering bersedih. Data objektif : klien tampak sering
duduk menyendiri, tidak ada kontak mata saat berkomunikasi.
Menurut Keliat ( 1998 : 23 ) harga diri rendah merupakan
suatu keadaan dimana evaluasi diri atau dapat di gambarkan sebagai
52
perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya
percaya diri, harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, tidak
berdaya, tidak ada harapan dan putus asa. Ada sepuluh cara individu
mengekspresikan secara langsung harga diri rendah yaitu mengejek
dan mengkritik diri sendiri, merendahkan atau mengurangi martabat
diri sendiri, rasa bersalah atau khawatir, manisfestasi fisik : tekanan
darah tinggi, psikosomatik, dan penyalahgunaan zat, menunda dan
ragu dalam mengambil keputusan, gangguan berhubungan, menarik
diri dari kehidupan sosial, menarik diri dari realitas, merusak diri,
merusak atau melukai orang lain (Stuart and Sundeen, 1998:230).
Menurut Sunaryo (2004:34) Harga diri rendah timbul jika
individu merasakan kehilangan kasih sayang, cinta kasih dan
penghargaan dari orang lain dan tidak memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan cita-cita ideal yang ada dalam dirinya,
sehingga individu akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam
hubungan interpersonalnya dengan orang lain di lingkungan sosial.
Diagnosa ini dijadikan diagnosa kedua karena muncul
Berdasarkan stressor di atas penulis menegakkan diagnosa kedua
dengan adanya gangguan konsep diri karena klien merasa gagal
mencapai keinginanya menikah dengan wanita yang di cintainya. Jika
tidak ditegakan klien akan tetap pendiam dan lebih suka menyendiri
dan jarang berinteraksi dengan orang lain.
53
3. Defisit perawatan diri
Data yang mendasari pengangkatan diagnosa keperawatan
defisit perawatan diri sebagai prioritas ketiga berupa data obyektifnya
adalah Data obyektif : Aktifitas harian / ADL klien masih dibantu
perawat, badan tampak kotor, dandanan tidak rapi, makan berantakan,
gigi dan mulut klien kotor.
Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa
menyebabkan intoleransi aktifitas yang akhirnya bisa berpengaruh
terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri
(Sujono dan Teguh, 2009).
C. Intervensi
Intervensi dan implementasi yang digunakan oleh penulis adalah
menggunakan SP (Strategi Pelaksanaan) yaitu SP I sampai SP III , karena
berdasarkan Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang (2007) implementasi yang
digunakan saat ini adalah menggunakan SP. Menurut David A Tomb
(2004) SP I terdiri dari : mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien,
berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berhubungan dengan orang
lain, berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain, mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang,
menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian. SP II terdiri dari : mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien, memberikan kesempatan kepada pasien
54
mempraktekan cara berkenalan dengan satu orang, membantu pasien
memasukan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah
satu kegiatan harian. SP III terdiri dari : memasukan jadwal kegiatan
harian pasien, memberikan kesempatan pasien berkenalan dengan dua
orang atau lebih, menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan
harian.
D. Implementasi
Pada hari Selasa (12 Juli 2011) penulis melakukan implementasi
SP I yaitu mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien, berdiskusi
dengan pasien tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain,
berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain, mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang,
menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian. Implementasi tersebut dapat
dilakukan cukup mudah, karena penulis menggunakan komunikasi
terapeutik.
Menurut As Hornby (1974) dikutip oleh Teguh Purwanto (2009)
komunikasi terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan
seni dari penyembuhan. Sedangkan menurut Wahyu Purwaningsih
(2009:11) dapat diartikan pula komunikasi yang direncanakan secara
sadar, berlangsung secara verbal dan non verbal, tujuan dan kegiatannya
difokuskan untuk menyembuhkan klien. Faktor yang perlu diperhatikan
dalam melakukan komunikasi terapeutik secara efektif adalah pengenalan
55
kesadaran diri sendiri dan mengenal orang lain yang akan diajak untuk
berhubungan, sehingga individu dapat menggunakan dirinya secara efektif
dan tujuan komunikasi dapat tercapai (Nurjannah, 2005:92).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998:22), Teknik komunikasi yang
diterapkan adalah Silence atau (diam) yang bertujuan untuk memberi
kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara dengan cara
memberikan waktu kepada klien untuk berpikir dan menghayati,
memperlambat tempo interaksi dan dorong klien untuk mengawali
percakapan sementara itu perawat menyampaikan dukungan, pengertian
dan penerimaannya. Hal ini akan memberikan kesan bahwa perawat /
komunikator mau mendengarkan, mau menerima dan mengerti.
Dengan tekhnik komunikasi terapeutik yang dilakukan maka
diharapkan hubungan saling percaya dapat tercapai. Hubungan saling
percaya adalah dasar yang diperlukan dalam pengelolaan klien dan
kemampuan klien dalam mengikuti anjuran dan saran perawat didasarkan
atas kualitas hubungan ini (Stuart & Sundeen, 1998). Dilakukannya
identifikasi penyebab isolasi sosial : menarik diri agar dapat mengurangi
beban dan tekanan yang dirasakan oleh klien. Tekhnik komunikasi yang
dilakukan oleh penulis ketika melakukan implementasi mengidentifikasi
penyebab isolasi sosial adalah mendengar dengan empati. Menurut Smith
(1992) dalam Intansari (2005) empati adalah kemampuan menempatkan
diri kita pada diri orang lain dan bahwa kita telah memahami bagaimana
perasaan orang lain tersebut dan apa yang menyebabkan reaksi mereka
56
tanpa emosi kita terlarut dalam emosi orang lain, karena dengan empati
dapat meningkatkan perasaan berhubungan dengan orang lain, perasaan ini
akan menurunkan perasaan negatif dan kesendirian dan isolasi. Dengan
adanya tekhnik komunikasi tersebut mempermudah penulis dalam
membina hubungan saling percaya dan mengidentifikasi penyebab isolasi
sosial : menarik diri.
Terapi psikofarmaka yang diperoleh klien yaitu Trifluoperazine 2 x
5 mg, Amitriptilin 2 x 25 mg, Triheksipenidil 2 x 2 mg, Chlorpromazine 1
x 50 mg. Menurut Depkes (2000) Psikofarmaka adalah terapi
menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala gangguan jiwa.
E. Evaluasi
Implementasi SP I yang telah dilakukan belum dapat dilakukan
dengan baik karena klien tidak kooperatif selama diajak komunikasi, klien
tampak autistik dan mutisme. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi dengan
data Obyektif “Klien mau berjabat tangan, tetapi kontak mata tidak ada,
klien nampak autistik dan mutisme, tidak mau berkomunikasi dengan
perawat, klien belum bisa bercerita mengenai penyebab menarik diri”
sehingga SP I membina hubungan saling percaya dan mengidentifikasi
penyebab isolasi sosial : menarik diri belum tercapai.
Pada pukul 12.00 WIB penulis melanjutkan implementasi SP I
yaitu mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain dan mendiskusikan dengan klien tentang kerugian tidak
57
berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan klien cara berkenalan dengan
satu orang dan menganjurkan klien memasukan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan orang lain. Dari implementasi SP I yang telah
dilakukan oleh penulis, implementasi tersebut belum dapat dilakukan
secara optimal. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi dengan data Obyektif
“Klien belum mampu menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang
lain dan belum mampu menyebutkan kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain, Klien mau berjabat tangan dengan penulis namun belum ada
kontak mata, klien masih belum mau berkomunikasi dengan orang lain”.
Dapat disimpulkan SP I belum tercapai.
Penulis tidak dapat melakukan SP II karena SP I masih perlu
dioptimalkan lagi. Implementasi (SP) yang seharusnya dilakukan pada
keluarga tidak dapat penulis lakukan, hal ini dikarenakan pada saat itu
keluarga klien tidak berada di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo
Magelang.
F. Hambatan
Hambatan yang ditemui selama proses keperawatan pada Tn. M dengan
Gangguan isolasi sosial : menarik diri adalah:
1. Dari intervensi yang dilaksanakan penulis merasa masih ada hambatan
yang ditemukan saat berinteraksi yaitu klien sering terdiam sehingga
mengalami kesulitan dalam menggali data yang diperlukan. Dalam
berkomunikasi suara pelan sehingga tidak jelas, saat interaksi kontak
mata klien kurang.
58
2. Tidak lengkapnya data pendukung pada catatan keperawatan klien,
sehingga penulis mengalami kesulitan dalam pengumpulan data yang
diperlukan.
3. Tindakan keperawatan untuk diagnosa I, SP I belum tercapai secara
optimal karena klien kurang kooperatif. Klien nampak autistik dan
mutisme, sehingga penulis belum bisa melanjutkan ke SP selanjutnya.
4. Keterbatasan waktu yang disediakan oleh penguji sehingga untuk
mengoptimalkan SP I belum dapat dilakukan.
5. Dalam melakukan tindakan keperawatan, penulis tidak melibatkan
pihak keluarga sebagai sistem pendukung untuk kesembuhan klien
karena tidak adanya keluarga yang menjenguknya.
Untuk mengatasi kendala tersebut telah dilakukan :
1. Memberi nasehat dan contoh kepada Tn. M agar mengeraskan
suaranya secara halus.
2. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik dan Silence (diam).
Dengan ini bertujuan untuk memberi kesempatan berpikir dan
memotivasi klien untuk bicara dengan cara memberikan waktu kepada
klien untuk berpikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi
dan dorong klien untuk mengawali percakapan sementara itu perawat
menyampaikan dukungan, pengertian dan penerimaannya. Hal ini akan
memberikan kesan bahwa perawat / komunikator mau mendengarkan,
mau menerima dan mengerti.
59
3. Memberikan reinforcement positif baik verbal maupun non verbal atas
setiap keberhasilan dalam intervensi.
4. Mendelegasikan tindakan keperawatan yang belum tercapai kepada
perawat ruangan.
60
BAB V
PENUTUP
Setelah dilakukan pembahasan mengenai asuhan keperawatan pada klien
Tn. M di Ruang Antareja Rumah Sakit Prof. dr. Soeroyo Magelang ditemukan
masalah keperawatan yaitu Isolasi sosial : menarik diri didapatkan hasil bahwa
menarik diri adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif
dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial (Sujono & Teguh,
2009:151). Dari hasil asuhan keperawatan tersebut dapat diambil kesimpulan dan
saran sebagai berikut:
A. KESIMPULAN
1. Perawat kesulitan dalam berkomunikasi dengan klien karena klien
masih kurang fokus dalam diskusi yang dilakukan. Hal ini mempersulit
dalam perawat melakukan asuhan keperawatan yang disesuaikan
dengan teori yang ada.
2. Saat melakukan pengkajian status kesehatan klien dengan gangguan
hubungan social : menarik diri. Pengkajian juga dilakukan dengan
melihat status klien (dokumen rekam medis), sehingga dapat diperoleh
data yang tepat sesuai dengan kondisi klien dan sesuai masalah yang
timbul.
3. Perencanaan asuhan keperawatan terutama dalam perencanaan asuhan
keperawatan pada klien menarik diri, dibuat berdasarkan yang
61
diperoleh dari pengkajian, disesuaikan juga dengan kondisi klien,
dengan demikian dapat membantu proses penyembuhan secara
optimal.
4. Menyesuaikan konsep teori yang ada dimana perawat lebih mengenal
dan mengetahui kondisi kliennya, maka perlu membina hubungan
saling percaya, supaya perawat dapat mengetahui penyebab, tanda,
gejala, faktor presipitasi dan jangan lupa peran aktif keluarga.
Diharapkan mempercepat proses penyembuhan klien dan peran
perawat dapat mengimplementasikan tindakan keperawatan dengan
mudah.
5. Dokumentasi yang lengkap dalam asuhan keperawatan akan
mempermudah perawat dalam intervensi dan implementasi tindakan
keperawatan yang sesuai kondisi klien.
B. SARAN
1. Dalam memberikan asuhan keperawatan harus dibutuhkan ketelitian
serta ketajaman dalam pengkajian dan analisa masalah, sangat
diperlukan oleh seorang perawat, sehingga perawat mampu mengenal
dan mengetahui gangguan hubungan social : menarik diri.
2. Saat melakukan pengkajian hendaknya dilakukan secara terperinci dan
secara sistematis sehingga dapat memperoleh data yang sesuai dengan
kondisi klien agar memudahkan perawat dalam melakukan analisa
data, intervensi, implementasi dan pendokumentasian.
62
3. Penerapan teori keperawatan, terutama dalam memberikan asuhan
keperawatan jika hendaknya perawat menguasai konsep teori yang ada,
sehingga memudahkan perawat dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan halusinasi penglihatan.
4. Pada saat melakukan komunikasi perlu adanya reinforcement positif
yang diberikan kepada klien. Dengan adanya reinforcement tersebut
maka akan dapat meningkatkan harga diri klien sehingga klien akan
dapat merubah perilaku menarik dirinya.
5. Pada saat berkomunikasi diusahakan pada tempat yang tenang. Dengan
tempat yang tenang maka klien akan dapat lebih fokus dan kontak
mata tidak akan teralihkan pada hal yang terjadi di sekitar.
6. Dalam membina hubungan saling percaya dengan klien diri perlu
adanya kontak sering dan singkat secara bertahap serta ciptakan
lingkungan yang menyenangkan.
7. Dalam melaksanakan komunikasi dengan klien menarik diri perlu
adanya teknik komunikasi broad opening (pertanyaan terbuka).
Dimana dengan teknik ini perawat dapat memberi kesempatan pada
klien untuk memilih topik pembicaraan yang diinginkan sehingga klien
dapat mengeksplorasikan perasaannya dan pikirannya.
63