75620046-skenario-1
DESCRIPTION
tutorialTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 1
KELAINAN KONGINETAL SKELETAL DAN MALOKLUSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Blok Dentomaksilofasial II
Disusun Oleh :
Kelompok Tutorial VI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2009
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK
Ketua : Dian Retno Utari (081610101057)
Scriber Papan : Anggita Prawitasari (081610101033)
Scriber Meja : Wulan Pratiwi (081610101070)
Anggota :
1. Idwan Tunggal Sugiarto (081610101006)
2. Hafida Mariyatin (081610101014)
3. Satriana Mustika W. (081610101023)
4. Aisyah Dewi Fauzia (081610101031)
5. Merizza Hidayati (081610101033)
6. Adib Amar (081610101049)
7. Paulina Samuellia (081610101078)
8. Ary Kurniawan (081610101100)
9. Ayung Wandira Machsa (081610101109)
10. Yeni Sugiarto (081610101110)
11. Malakatus Syawat (081610101116)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelainan kongenital merupakan kelainan bawaan pada struktur, fungsi,
metabolisme tubuh yang ditemukaan pada bayi yang dilahirkan. Sebagian
besar kasus kelainan bawaan belum diketahui penyebabnya. Namun diantara
beberapa kasus yang terjadi ada yang disebabkan oleh faktor genetik, faktor
lingkungan atau kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada
berbagai macam kelainan kongenital yang terjadi saat tahap embriogenesis.
Salah satu kelainan kongenital yaitu kelainan kongenital skeletal.
Kelainan kongenital juga ada bermacam-macam, diantaranya celah
bibir (bibir sumbing) dan celah palatum. Celah bibir dan celah palatum yang
merupakan kelainan kongenital ini sering kali menyebabkan penurunan fungsi
bicara, pengunyahan, dan penelanan yang sangat berat. Sering kali juga terjadi
peningkatan prevalensi gangguan yang berhubungan dengan malformasi
kongenital seperti ketidakmampuan bicara sekunder serta menurunnya fungsi
pendengaran.
Pada skenario yang berjudul “Kelainan Kongenital Skeletal dan
Maloklusi” ini dipaparkan mengenai kondisi kelainan bawaan yang berupa
celah pada bibir dan palatum yang ditemukan sejak lahir beserta dampak dari
adanya kelainan tersebut. Selain itu dari hasil pemeriksaan diketahui adanya
maloklusi yang termasuk klasifikasi Angle klas 2, gigi berdesakan dan
diastema.
Maka dari itu akan dibahas mengenai apa saja yang menjadi etiologi
dan patogenesis terjadinya kelainan kongenital skeletal terutama yang
menyebabkan celah bibir dan celah palatum. Selain itu, perlu juga diketahui
etiologi dan patogenesis maloklusi serta pemeriksaan radiologis dan
klasifikasinya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja etiologi kelainan kongenital skeletal (celah bibir dan celah
palatum) dan bagaimana patogenesisnya?
1.2.2 Bagaimana klasifikasi dan pemeriksaan radiologis celah bibir dan
celah palatum?
1.2.3 Apa saja etiologi maloklusi dan bagaimana patogenesisnya?
1.2.4 Bagaimana klasifikasi dan pemeriksaan radiologis celah bibir dan
celah palatum?
1.3 Tujuan
1.2.1 Mengetahui etiologi kelainan kongenital skeletal (celah bibir dan celah
palatum) dan patogenesisnya.
1.2.2 Mengetahui klasifikasi dan pemeriksaan radiologis celah bibir dan
celah palatum.
1.2.3 Mengetahui etiologi maloklusi dan patogenesisnya.
1.2.4 Mengetahui klasifikasi dan pemeriksaan radiologis celah bibir dan
celah palatum.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Celah Bibir dan Palatum
a. Etiologi
Penyebab utama kelainan celah bibir dan celah palatum adalah gagal
berfusinya jaringan selama perkembangan janin. Namun penyebab pasti gagal
berfusinya jaringan selama perkembangan janin, sehingga dapat menimbulkan
kelainan celah bibir dan palatum belum dapat diketahui.
Menurut Janti Sudiono, dalam buku “Gangguan Tumbuh Kembang
Dentokraniofasial”, mengatakan bahwa penyebab sumbing bibir dan palatum tidak
diketahui pasti. Sebagian besar kasus sumbing bibir dan palatum dapat dijelaskan
dengan teori multifaktor. Teori tersebut menyatakan bahwa gen-gen yang beresiko
berinteraksi satu dengan lainnya dan dengan lingkungan, menyebabkan cacat pada
perkembangan janin. Sumbing bibir dan palatum akibat kegagalan bersatunya
jaringan selama perkembangan(Sudiono:2008,6).
Teori genetik ini juga didukung oleh Bishara dalam buku “Textbook of
Orthodontic”. Ia mengatakan selama perkembangan palatum maupun bibir dapat
terjadi kegagalan fusi karena faktor genetik, sehingga menimbulkan celah bibir atau
celah palatum. Dia juga menambahkan kegagalan fusi tersebut bermacam-macam
sehingga hasilnyapun bermacam-macam pula (Bishara:2001,25).
Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa teratogen dapat menimbulkan
celah bibir dan celah palatum. Teratogen adalah zat yang dapat meningkatkan resiko
kecacatan pada janin. Beberapa teratogen yang dapat menimbulkan celah bibir dan
celah palatum adalah aspirin, rokok/merokok (hypoxia), dilatin, 6-Mercaptopurine,
dan valium (Proffit:2007,131).
Asam nikotinik dan 3-acetil-pyridine pada rokok memblokade transport
elektron dengan berikatan pada NAD+, sedangkan asam boric dan phenytoin melalui
oksidasi arene, memblokade transport elektron dengan berikatan pada NADH
dehydrogenase dan carbon monoxida menghambat oksidasi cytocrome dan
menurunkan kadar oksigen. Hypoxia juga menurunkan kadar oksigen
Menurut smith dan Johnson, celah bibir terjadi pada 1 : 1000 kelahiran pada
orang kulit putih sedangkan pada orang kulit hitam 1 : 788 kelahiran. Di Jerman
bagian selatan dan Denmark terjadi pada 1 : 600-700 kelahiran. Fogh anderson
menemukan bahwa di Denmark terdapat 20% celah bibir dan langit-langit serta 25%
hanya celah langit-langit. Selain itu celah wajah lebih banyak pada laki-laki (63%)
daipada wanita (37%). Juga dikatakan bahwa terjadinya celah pada wajah sebelah kiri
lebih sering daripada celah pada wajah sebelah kanan. Secara garis besar, faktor yang
diduga menjadi penyebab terjadinya celah bibir dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:
1. Herediter
Brophy (1971) beberapa kasus anggota keluarga yang mempunyai kelainan
wajah dan palatal yang terdapat pada beberapa generasi. Kelainan ini tidak selalu
serupa, tetapi bervariasi antara celah bibir Unilateral dan Bilateral. Pada beberapa
contoh, tampaknya mengikuti Hukum Mendel dan pada kasus lainnya distribusi
kelainan itu tidak beraturan. Schroder mengatakan bahwa 75% dari factor keturunan
yang menimbulkan celah bibir adalah resesif dan hanya 25% bersifat dominan. Patten
mengatakan bahwa pola penurunan herediter adalah sebagai berikut :
a) Mutasi gen
• Ditemukan sejumlah sindroma/gejala menurut hukum Mendel secara
otosomal,dominant,resesif dan X-Linked.
• Pada otosomal dominan, orang tua yang mempunyai kelainan ini
menghasilkan anak dengan kelainan yang sama.
• Pada otosomal resesif adalah kedua orang tua normal tetapi sebagai pembawa
gen abnormal.
• X-Linked adalah wanita dengan gen abnormal tidak menunjukan tanda-tanda
kelainan sedangkan pada pria dengan gen abnormal menunjukan kelainan ini
b) Kelainan Kromosom
Celah bibir terjadi sebagai suatu expresi bermacam-macam sindroma akibat
penyimpangan dari kromosom, misalnya Trisomi 13(patau), Trisomi 15,
Trisomi 18 (edwars) dan Trisomi 21.
2. Faktor lingkungan
1. Faktor usia ibu
• Dengan bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula
resiko dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan
menyebabkan bayi dengan kehamilan trisomi
• Wanita dilahirkan dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak
memproduksi gamet-gamet baru selama hidupnya.
• Jika seorang wanita umur 35tahun maka sel-sel telurnya juga berusia
35 tahun
• Resiko mengandung anak dengan cacat bawaan tidak bertambah besar
sesuai dengan bertambahnya usia ibu
3. Obat-obatan
Obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit
ibu, tetapi hampir selalu janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat.
Penggunaan asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan
trimeseter pertama dapat menyebabkan terjadinya celah bibir Beberapa obat
yang tidak boleh dikonsumsi [rifampisin, fenasetin, sulfonamide,
aminoglikosid, indometasin, asam flufetamat, ibu profen dan penisilamin,
diazepam, kortikosteroid. Beberapa obat antihistamin yang digunakan sebagai
antiemetik selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya celah langit-
langit. Obat-obat antineoplastik terbukti menyebabkan cacat ini pada
binatang.
4. Nutrisi
Insidensi kasus celah bibir dan celah langit-langit lebih tinggi pada
masyarakat golongan ekonomi kebawah penyebabnya diduga adalah
kekurangan nutrisi.
5. Daya pembentukan embrio menurun
Celah bibir sering ditemukan pada anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang
mempunyai anak banyak.
6. Penyakit infeksi
Penyakit sifilis dan virus rubella dapat menyebabkan terjadinya cleft lips dan
cleft palate.
7. Radiasi
Efek teratogenik sinar pengion telah diakui dan diketahui dapat
mengakibatkan timbulnya celah bibir dan celah langit-langit. Efek genetic
yaitu yang mengenai alat reproduksi yang akibatnya diturunkan pada generasi
selanjutnya, dapat terjadi bila dosis penyinaran tidak menyebabkan
kemandulan. Efek genetik tidak mengenal ambang dosis.
8. Stress Emosional
• Korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebih
• Pada binatang percobaan telah terbukti bahwa pemberian
hidrokortison yang meningkat pada keadaan hamil menyebabkan cleft
lips dan cleft palate
9. Trauma
Celah bibir bukan hanya menyebabkan gangguan estetika wajah, tetapi juga
dapat menyebabkan kesukaran dalam berbicara, menelan, pendengaran dan
gangguan psikologis penderita beserta orang tuanya. Permasalahan terutama
terletak pada pemberian minum, pengawasan gizi dan infeksi. Salah satu
penyebab trauma adalah kecelakaan atau benturan pada saat hamil minggu
kelima.
10. Campuran
a)Radiasi
Efek teratogenik sinar pengion jelas bahwa merupakan salah satu
faktor lingkungan dimana dapat menyebabkan efek genetik yang nantinya bisa
menimbulkan mutasi gen. Mutasi gen adalah faktor herediter
b)Faktor usia ibu dan daya pembentukan embrio menurun
Bahwa dengan bertambahnya usia ibu waktu hamil daya pembentukan
embrio pun akan menurun (factor lingkungan). Bertambah pula risiko dari
ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan menyebabkan bayi dengan
kelainan kromosom (faktor herediter).
a. Patogenesis
Pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut merupakan
suatu proses yang sangat kompleks. Bila terdapat gangguan pada waktu
pertumbuhan dan perkembangan wajah serta mulut embrio, akan timbul
kelainan bawaan (kongenital). Kelainan bawaan adalas suatu kelainan pada
struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika
dia dilahirkan. Salah satunya adalah celah bibir dan langit-langit. Kelainan
wajah ini terjadi karena ada gangguan pada organogenesis antara minggu
keempat sampai minggu kedelapan masa embrio. Gangguan pertumbuhan ini
tidak saja menyulitkan penderita, tetapi juga menimbulkan kesulitan pada
orangtua, terutama ibu. Tidak saja dalam hal pemberian makan, tetapi juga
efek psikologis karena mempunyai anak yang “tidak sempurna”.
Beberapa teori yang menggambarkan terjadinya celah bibir :
a. Teori Fusi
Disebut juga teori klasik. Pada akhir minggu ke-6 dan awal minggu ke-7 masa
kehamilan, processus maxillaris berkembang ke arah depan menuju garis
median, mendekati processus nasomedialis dan kemudian bersatu. Bila terjadi
kegagalan fusi antara processus maxillaris dengan processus nasomedialis
maka celah bibir akan terjadi.
b.Teori Penyusupan Mesodermal
Disebut juga teori hambatan perkembangan. Mesoderm mengadakan
penyusunan menyebrangi celah sehingga bibir atas berkembang normal. Bila
terjadi kegagalan migrasi mesodermal menyeberangi, celah bibir akan
terbentuk.
b. Teori Mesodermal sebagai Kerangka Membran Brankhial
Pada minggu kedua kehamilan, membran brankhial memrlukan jaringan
mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi ke arah
muka. Bila mesodermal tidak ada maka dalam pertumbuhan embrio membran
brankhial akan pecah sehingga akan terbentuk celah bibir.
c.Gabungan Teori Fusi dan Penyusupan Mesodermal
Patten (1971), pertama kali menggabungkan kemungkinan terjadinya celah
bibir, yaitu adanya fusi processus maxillaris dan penggabungan kedua
processus nasomedialis yang kelak akan membentuk bibir bagian tengah.
Terjadinya celah palatum, yaitu:
Penggabungan ketiga komponen embrionok dari palatum mencakup
sinkronisasi yang rumit dari gerak lereng dengan pertumbuhan dan penarikan lidah
serta dengan pertumbuhan mandibula dan kepala. Terganngunya salah satu tahap
penting ini adalah baik karna faktor lingkungan, atau genetik, dapat menyebabkan
kegagalan penmggabungan yang mengakibatkan terbentuknya celah palatum.
Terjebaknya sisa atau pearl epitel pada garis penggabungan lereng palatum,
terutama raphe garis tengah dari palatum keras, dapat menimbulkan kista sisa palatal
medial. Salah satu akibat paling sering dari terjebaknya epitel ini adalah terbentuknya
kista epitel atau nodula yang disebut epstein pearl, di sepanjang raphe median
palatum keras dan pada pertemuan palatum keras dan lunak. Kista retensi kelenjar
mukosa yang kecil (bohn nodule) juga dapat terbentuk pada permukaan bukal dan
lingual ridge alveolar, sedang kista lamina gigi yang terdiri dari sisa epitel lamina
juga dapat terbentuk pada crest ridge alveolar. Semua kista superfisial dari palatum
ini pada bayi yang baru lahir biasanya menghilang pada bulan ke tiga postnatal. Kista
maksila pada bagian depan garis tengan biasnyan terbentuk pada daerah palatum
primer, bukan berasal dari daerah fisur, tetapi kista duktus nasopalatina yang
umumnta terletak di bagian depan palatum. Kista jarang terlihat pada palatum lunak
karena terjadinya penggabungan mesensimal pada daerah ini walaupun celah
submukosa memeang dapat terjadi di sini.
Penundaan pengangkatan lereng palatal dari vertikal ke horisontal ketika
kepala terus berkembang dapat menimbulkan celah yang lebar antar lereng sehingga
lereng tidak dapat saling bertemu dan tidak dapat bergabung. Bila lereng ini menjadi
horisontal akan terbentuk celah palatum (Geoffrey:1991).
c. Klasifikasi
Klasifikasi Veau untuk sumbing bibir dan palatum digunakan secara luas oleh
klinikus untuk menggambarkan variasi sumbing bibir dan palatum. Klasifikasi
sumbing bibir terbagi dalam empat kategori utama berdasarkan derajat sumbing,
antara lain:
• Kelas I : celah/takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai
bibir.
• Kelas II : bila celah pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak
mengenai dasar hidung.
• Kelas III : sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir ke
dasar hidung.
• Kelas IV : setiap sumbing bilateral pada bibir menunjukkan celah tak
sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna.
Menurut sisitem Veau, sumbing palatum dapat dibagi dalam empat tipe klinis,
yaitu:
• Kelas I : sumbing yang terbatas pada palatum lunak.
• Kelas II : cacat pada palatum keras dan lunak, meluas tidak melampaui
foramen insisivum dan terbatas hanya pada palatum sekunder.
• Kelas III : sumbing pada palatum sekunder dapat komplet atau tidak
komplet. Sumbing palatum komplet meliputi palatum lunak dan keras sampai
foramen insisivum. Sumbing tidak komplet meliputi palatum lunak dan
bagian palatum keras, tetapi tidak meluas sampai foramen insisivum.
Sumbing unilateral yang komplet dan meluas dari uvula sampai foramen
insisivum di garis tengah dan prosesus alveolaris unilateral juga termasuk
kelas III.
• Kelas IV : sumbing bilateral komplet meliputi palatum lunak dan keras
serta prosesus alveolaris pada kedua sisi premaksila, meninggalkan daerah itu
bebas dan seringkali bergerak.
Sumbing submukosa tidak termasuk sistem klasifikasi ini, tetapi dapat
diidentifikasi secara klinis dengan adanya bifid uvula, celah yang lunak pada bagian
posterior pada palatum keras dan lunak serta adanya daerah cerah pada selaput tipis
translusen yang menutupi daerah yang cacat.
II.2 Maloklusi
a) Etiologi
Maloklusi gigi adalah morfologis, tetapi sering kali fisiologis yaitu terjadi
penyimpangan tanda-tanda dentofasial yang dapat diterima manusia. Etiologi
maloklusi dapat berupa faktor genenik, faktor kongenital, post nakal, lokal
sistemik, traumatik, intrinsik, ekstrinsik, fungsional atau yang didapat.
• Menurut Graber, menentukan klasifikasi faktor-faktor etiologi maloklusi
yang meliputi :
- Faktor umum, yaitu faktor yang tidak berpengaruh langsung pada gigi,
yang meliputi :
1. Herediter
Pada ras yang berbeda memiliki bentuk kepala yang berbeda. Pada
individu dengan bentuk muka yang lebar memiliki bantuk lengkung
rahang yang lebar pula, demikan juga pada bentuk muka sempit
terdapat lengkung rahang yang sempit pula.
2. Kelainan konginetal
Kelainan konginetal sangat berhubungan dengan keturunan. Contoh
kelainan kongenital adalah cleft palate dan cleft lip. Pada unilateral
cleft, gigi pada daerah atau sisi cleft biasanya terdapat cross bite, gigi
rahang atas malposisi, gigi insisiv lateral mungkin missing atau
bentuknya tidak normal.
3. Lingkungan
- Lingkungan prenatal : posisi abnormal pada fetus dapat
menyebabkan cacat kranial atau asimetri muka, diet dan
metabolisme ibu dapat menyebabkan kelainan pertumbuahan,
obat-obatan, trauma, menyebabkan kelainan konginetal dan
maloklusi.
- Lingkungan post natal : proses kelahiran dengan forceps,
kecelakaan, jatuh yang mengakibatkan faraktur pada kondili dapat
menyebabkan asimetri muka. Luka bakar juga dapat menyebabkan
maloklusi.
4. Penyakit atau gangguan metabolisme
Eksanthematous fevers dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
danm perkembangan gigi yaitu dapat mempengaruhi waktu erupsi,
resorbsi dan tanggal prematur.
5. Problema diet
Problem utamanya adalah terjadi gangguan waktu pertumbuhan gigi
yaitu akan terjadi tanggal prematur, erupsi gigi permanen yang lam,
kesehatan jaringan yang buruk dan pola erupsi yang abnormal yang
dapat menimbulkan maloklusi.
6. Kebiasaan buruk (abnormal pressure habits) dan aberasi
fungsional
- abnornal sucking
- thumb and finger sucking
- tongue thurst and tongue sucking
- lip and nail bitting
- abnormal swallowing habits
- speech defects
- respiratory abnormalities
- tonsils and adenoids
- bruxism
7. Posture
Posisi tubuh yang kurang baik dapat menimbukana maloklusi. Posisi
dimana kepala menggantung dengan dagu menempel di dada akan
menyebabkan mandibula retusi. Kepala diletakkan pada tangan, tidur
pada lengan dan guling dapat menyebabkan maloklusi juga.
8. Trauma dan Kecelakaan
Gigi sulung non vital akibat trauma menyebabkan pola resorbsi
abnormal dan dapat mempengaruhi gigi geligi penggantinya. Gigi non
vital harus diperiksa secara radiogravi pada interval waktu tertentu
untuk mengetahui resorbsi akar dan kemungkinan terjadinya resorbsi
apikal.
- Faktor lokal
1. Anomali Jumlah Gigi
a. Kelebihan Jumlah Gigi
Kelebihan Jumlah gigi pada lengkung rahang biasanya dapat
menyebabkan suatu kadaan crowded atau berdesakan. Belum
dapat dipastikan kapan mulai terjadinya kelebihan jumlah
gigi. Beberapa sarjana mengatakan kelebihan jumlah gigi
terjadi sejak postnatal atau paling lambat pada saat usia 10
samapai 12 tahun.
b. Kekurangan jumlah gigi
Kekurangan jumlah gigi atau hippodonsia adalah tidak
tumbuhnya satu atau lebih elemen gigi yang secara normal
dijumpai pada gigi geligi akibat agenesis yaitu tidak
terbentuknya benih gigi.
2. Anomali Ukuran Gigi
a. Makrodonsi
Istilah makrodonsi dapat diartikan gigi yang ukurannya
melebihi ukuran normal. Kelainan ini menyebabkan
kekurangan tempet pada lengkung rahang sehingga elemen-
elemen pengganti terakhir tidak dapat tumbuh atau tumbuh
pada tempat yang salah.
b. Mikrodonsi
Merupakan kebalikan dari makrodonsi. Gigi-gigi yang
mengalami mikrodonsi adalah gigi-gigi yang ukurannya lebih
kecil dari normal.
c. Anomali bentuk gigi
Kelainan ini sangat erat hubungannya dengan kelainan ukuran
gigi. Frekuensi paling sering terjadi adalah insisivus sentral
rahang atas, insisivus lateral rahang atas, dan premolar kedua
rahang bawah biasanya terdapat extra lingual cups.
d. Frenulum labial yang tinggi
Frenulum labial yang tinggi pada rahang atas terkadang dapat
menyebabkan malposisi dari gigi, terutama pada kedua gigi
insisivus sentral. Frenulum labial pada masa bayi, normalnya
mempunyai daerah perlekatan yang rendah di dekat puncak
prosesus alveolaris di atas garis tengah.
e. Tanggal premature gigi sulung
Salah satu fungsi dari gigi sulung adalah menyediakan tempat
bagi gigi permanen penggantinya, dan secara tidak langsung
juga mempertahankan panjang lengkung gigi. Apabila terjadi
loss prematur maka akan terjadi pula perubahan panjang
lengkung geligi hal ini disebabkan karena tempat gigi sulung
yang tanggal akan ditempatioleh gigi-gigi sebelahnya sehingga
apabila benih gigi permanen penggantinya akan erupsi akan
kekurangan tempat sehingga gigi geligi menjadi salng tumpang
tindih.
f. Letak Salah Benih
Pada umumnya letak salah benih menyebabkan erupsi gigi
yang bersangkutan tidak pada lengkung yang benar. Secara
klinis letak salah benih biasanya ditandai dengan adanay rotasi
atau versi, dimana rotasi merupakan perputaran sumbu gigi
pada arah vertical sedangkan versi merupakan perputaran
sumbu gigi dalam arah horizontal.
g. Persistensi
Persistensi dapat didefinisikan sebagai gigi sulung yang tidak
tanggal dimana gigi permanen penggantinya sudah mulai
erupsi, jadi jelas bahwa kelainan ini hanya terjadi pada gigi
sulung saja. Kelainan ini berhubungan erat dengan kelainan
letak salah benih dimana gigi permanen pengganti yang
mengalami kelainan salah benih tidak akan meresorbsi gigi
sulungnya.
h. Karies Proksimal
Pada pasien fase geligi pergantian dengan indeks karies tinggi
dapat dipastikan bahwa nantinya akan terjadi berdesakan bila
ia telah memasuki fase geligi tetap.
i. Pekerjaan Tumpatan Yang Kurang Baik
Umumnya yang sangat berpengaruh adalah tumpatan pada
daerah proksimal, apabila terdapat kontak yang berat pada
daerah proksimal pada saat gigi beroklusi dengan gigi lawan
akan terjadi tekanan yang berlebihan pada daerah oklusal,
beban ini akan disalurkan ke lateral sehingga akan terdapat
tekanan yang berlebihan pula pada gigi sebelah menyebelah
dari gigi yang ditumpat. Bila hal ini terjadi akan menyebabkan
perpanjangan lengkung rahang sehingga menyebabkan
diastema.
• Menurut Moyers, maloklusi dapat disebabkan karena faktor-faktor berikut:
@ Herediter :
- sistem neuromuskuler
- tulang
- geligi
- jaringan lunak selain otot dan saraf
@ Kelainan perkembangan karena sebab yang tidak diketahui
a. Trauma :
i. Trauma prenatal dan kelahiran
ii. Trauma postnatal
b. Agen phisik
i. prenatal
ii. postnatal
c. Kebiasaan :
i. penyakit
ii. kelaianan endokrin
iii. penyakit lokal
d. Malnutrisi
• Menurut Salzmann, mengatakan bahwa maloklusi dapat disebabkan karena :
1. Faktor prenatal :
a. genetik
b. diferensiasi
c. kongenital
2. faktor postnatal :
d. perkembangan
e. fungsional
f. lingkungan
b) Klasifikasi
• Menurut klasifikasi Angle, maloklusi dibagi menjadi 3 kelas sebagai
berikut :
1. Maloklusi Angle kelas I
Keadaan dimana lengkubng gigi atas mempunyai hubungan
mesiodistal yang normal terhadap lengkung gigi bawah. Tonjolan
mesiobukal dari molar pertama tetap atas pada oklusi terletak di lekuk
bukal dari gigi molar pertama tetap bawah.
2. Maloklusi Angle kelas II
Keadaan dimana gigi geligi di lengkung gigi bawah mempunyai
hubungan distal terhadap gigi geligi di lengkung gigi atas. Tonjolan
mesiobukal dari gigi molar pertama tetap atas pada oklusi terletak
dalam ruangan antara tonjolan mesiobukal gigi molar pertama tetap
bawah dan sudut bawah.
3. Maloklusi Angle kelas III
Keadaan dimana gigi geligi di lengkung gigi bawah mempunyai
hubungan mesial terhadap gigi geligi di lengkung gigi atas. Tonjolan
mesiobukal gigi molar pertama tetap atas pada oklusi terletak dalam
ruangan antara sudut distal dari tonjolan distal gigi molar pertama
tetap bawah dan sudut mesial dari tonjolan mesial gigi molar kedua
tetap bawah.
Oleh Dr. Lischer klasifikasi Dr. Angle diubah sebagai berikut :
1. Kelas I Angle disebut neutroklusi
Lengkungan gigi atas dan bawah mempunyai hubungan mesio-distal
yang normal. Dimana mesio-buccal cusp dari M1 atas terletak di buccal
groove M1 bawah, dan mesio-palatal cusp dari M1 atas terletak di sentral
fossa M1 bawah, disto-buccal cusp dari M1 atas terletak diantara enbrassure
M1 bawah dan M2 bawah. Letak C atas interlock antara C bawah dan P1
bawah.
2. Kelas II Angle disebut distoklusi
Gigi-gigi pada rahang bawah letaknya lebih mesial daripada keadaan
normal dalam hubungannya dengan gigi-gigi dan lengkungan gigi dirahang
atas. Mesio-buccal cusp M1 atas letaknya lebih ke mesial dati buccal groove
M1 bawah.
3. Kelas III Angle disebut mesioklusi
Gigi-gigi rahang bawah letaknya lebih mesial daripada normal dalam
hubungannya dengan gigi-gigi rahang atas. Mesio-buccal cusp M1 atas
letaknya lebih ke distal daripada di buccal groove M1 bawah.
Oleh Dr. Martin Dewey, maka kelas I maloklusi dari Angle dibagi menjadi
atas beberapa tipe yakni:
• Type 1:Gigi-gigi insisiv berjejal-jejal dan gigi caninus sering terletak di labial.
• Type 2: Protrusi atau labioversi dari insisiv atas
• Type 3: Satu atau lebih dari satu gigi insisiv atas adalah lebih dari kearah
lingual terhadap gigi insisiv bawah (cross bite gigi depan/anterior cross bite).
• Type 4: Cross bite pada gigi-gigi molar atau premolar (posterior cross bite).
• Type 5: Mesial drifting dari molar yang disebabkan karena tanggalnya gigi
depannya.
• Type 6: Spacing, open bite, dll.
Kelas II maloklusi (Angle) dapat dibagi atas:
a. Divisi I: Bilateral distal ---- insisiv atas protrusi
Subdivisi: Unilateral distal (hanya mengenakan 1 sisi saja)
b. Divisi II: Bilateral distal ---- insisiv atas retrusi/steep bite
Subdivisi: Unilateral distal
Ada gejala-gejala dari Kelas II Divisi I
1. Gigi insisiv atasnya protrusi.
2. Lengkung gigi atas yang sempit dan bentuk palatum yang tinggi.
3. Perkembangan dari mandibula yang kurang.
4. Deep overbite/overjet.
5. Tekanan dari otot-otot yang abnormal.
6. Bibir atas pendek dan naik ke atas.
7. Sering bernafas melalui mulut.
8. Pertumbuhan ke jurusan transversal kurang.
9. Mentolabial sulkus dalam.
10. Mencacat muka.
11. Bone stabilitynya baik.
Ada gejala-gejala dari Kelas II Divisi II
1. Lengkung gigi bawah adalah dalam relasi distal seperti pada Divisi I.
2. Lengkung gigi atas adalah tidak begitu sempit.
3. Berjejal-jejal, dari gigi insisiv atas dan iklinasinya lebih ke lingual ---- step
bite.
4. Setengah dari bagian mesial gigi incisive lateral, menutupi setengah bagian
distal dari incisive sentral.
5. Deep over bite.
6. Perkembangan dari mandibula hampir normal.
7. Tidak ada kebiasaan bernafas melalui mulut.
8. Pertumbuhan dalam jurusan transversal boleh dikatakan normal.
9. Bone stability tidak baik.
10. Tidak begitu mencacat muka.
11. Pertumbuhan ke arah vertical kurang.
Kelas III Angle (mesioklusi), dapat berupa: bilateral atau unilateral ----
subdivisi. Kelas III maloklusi dapat pula dibagi beberapa tipe yakni:
Type 1 : hubungan incisornya adalah edge to edge.
Type 2 : incisive atas menumpang pada incisive bawah seperti
hubungan yang normal dan incisive bawah agak berjejal-jejal.
Type 3 :insisive atasnya adalah linguoversi ---- cross bite dan hal ini
merupakan progeny.
Klasifikasi Insisiv
yaitu klasifikasi maloklusi yang hanya melibatkan gigi-gigi anterior.
Klasifikasi ini hanya melihat relasi antara insisiv atas dan bawah. Penamaan
dalam klasifikasi ini sama dengan klasifikasi Angle, yaitu kelas I, II, dan III.
Tetapi klasifikasi ini lain dengan klasifikasi Angle sendiri sebab tidak melihat
gigi-gigi posterior dan klasifikasi ini lebih bersifat praktis terutama berguna
untuk perawatan penderita klinik .
• Kelas I
Hubungan atas dan bawah normal, insisiv bawah beroklusi pada sepertiga
tengah dari permukaan palatinal insisiv atas.
• Kelas II
Klasifikasi insisif kelas II ini dibagi atas dua divisi, yaitu:
1. Divisi 1
Insisiv bawah beroklusi pada daerah palatum dekat servikal insisiv
atas, inklinasi insisiv atas condong ke labial.
2. Divisi 2
Oklusi insisiv bawah pada servikal insisiv atas, inklinasi insisiv atas
condong ke palatinal.
• Kelas III
Insisiv atas lebih ke palatinal dari insisiv bawah.
II.3 Radiografi (Oral Cleft dan Maloklusi)
a. Gambaran cleft lip ( celah bibir): mudah diketahui dengan diagnosa klinis jadi
tidak perlu dilakukan foto radiologis.
b. Gambaran cleft palate: pada radiogram terlihat radiolusent atau hitam
homogen, jelas terpisah / memisahkan tulang palatum yang terkena.
c. Menurut Chase (1945), cleft palatum sangat sering bersamaan dengan cleft
lip (bilateral cleft). Bagian anterior ada perpanjangan radiolusent dengan sisi
corticated yang jelas. Pada tomografi ada pemisahan pada continuitas atau
antar tulang. Radiografinya menggunakan teknik radiografi proyeksi occlusal,
pemandangan periapikal untuk anterior dan tomografi dengan kepala pada
posisi posteroanterior.
d. Untuk radiografi maloklusi tidak dilakukan, hanya dilakukan tanda klinisnya.
Radiografi digunakan pada masa gigi pergantian untuk melihat kondisi benih
gigi.
II.4 Hubungan Celah Bibir, Celah Palatum dan Maloklusi
Lengkung gigi atas seringkali menyempit menyebabkan gigi berjejal dan pada
kasus unilateral terdapat pergeseran garis median (median line) ke sisi yang terkena.
Pada kasus bilateral, premaksila seringkali malposisi.
a. Overjet
Gigi-gigi insisivus atas seringkali retroklinasi dengan oklusi lingual.
Hubungan ini seringkali memburuk sejalan dengan pertumbuhan.
b. Overbite
Pada anak usia muda overbite kadang-kadang dalam, tetapi akan mengecil
dengan bertambahnya pertumbuhan wajah. Pada kasus di mana dengan
pergeseran mandibula ke depan dan gigitan dalam, overbite tentu saja dalam.
c. Segmen bukal
Lengkung gigi atas seringkali menyempit menyebabkan gigi berjejal dan
tanggalnya molar sulung yang terlalu cepat menyebabkan hilangnya ruang.
Impaksi molar pertama permanen atas kadang-kadang merupakan faktor yang
berpengaruh pada tanggalnya molar kedua sulung. Seringkali terdapat
hubungan segmen bukal Klas III. Gigitan terbuka lateral, gigitan terbalik
unilateral dan bilateral juga sering ditemukan. Gigi kaninus permanen atas
pada sisi celah seringkali terletak di palatal dan infraoklusi (Houston, 1983).
BAB III
KESIMPULAN
Celah bibir dan celah palatum
a. Etiologi
- Herediter
- Faktor lingkungan
- Obat-obatan
- Nutrisi
- Daya pembentukan embrio menurun
- Penyakit infeksi
- Radiasi
- Stress emosional
- Trauma
- Campuran
b. Patogenesis
- Teori fusi
- Teori penyusupan mesodermal
- Teori Mesodermal sebagai Kerangka Membran Brankhial
- Gabungan Teori Fusi dan Penyusupan Mesodermal
c. Klasifikasi
Berdasarkan system Veau, baik celah bibir ataupun celah palatum dibagi
mennjadi 4 type.
Maloklusi
a. Etiologi
Dibagi menjadi 2 faktor, yaitu:
• Faktor lokal
• Faktor umum
b. Klasifikasi
Dibedakan menurut Angle, Dewey, Simon, Lischer, dan gigi Insisive.
Radiografi oral cleft dan maloklusi
a. Pada celah bibir: mudah diketahui dengan diagnosa klinis jadi tidak perlu
dilakukan foto radiologis.
b. Pada celah palatum: pada radiogram terlihat radiolusent atau hitam
homogen, jelas terpisah / memisahkan tulang palatum yang terkena.
c. Pada maloklusi: tidak dilakukan, hanya dilakukan tanda klinisnya.
Radiografi digunakan pada masa gigi pergantian untuk melihat kondisi
benih gigi.
Hubungan antara cleft lips, cleft palatum, dan maloklusi yaitu lengkung gigi
atas seringkali menyempit menyebabkan gigi berjejal dan pada kasus
unilateral terdapat pergeseran garis median (median line) ke sisi yang terkena.
Pada kasus bilateral, premaksila seringkali malposisi.
DAFTAR PUSTAKA
Bishara, Samir E..2001. Textbook of Orthodontic. Philadelphia: Saunders.
Proffit, William R.,dkk. 2007. Contemporary Orthodontic, 4th. St. Louis: Mosby
elsevier.
Sudiono, Janti. 2008. Gangguan Tumbuh-Kembang Dentokraniofacial. Jakarta: EGC.
Arumsari, Asri dan Alwin Kasim. 2009. Embriogenesis Celah Bibir dan Langit-
langit Akibat Merokok Selama Kehamilan.
(pustaka.unpad.ac.id/.../embriogenesis_celah_bibir_dan_langit-langit.pdf)
Houston WJB.1983. Walther’s Orthodontics Note’s, 4th ed. Bristol : Wright
(buku ajar orthodonti)
(Geoffrey H. Sperber, Philip V. Tobias, alih bahasa, Lilian Yuwono.1991.
Embriologi Kraniofacial -Ed.4.-Jakarta: Hipokrates)