76026377 model model konseling rasional emotif terapi
DESCRIPTION
educationTRANSCRIPT
RASIONAL EMOTIF TERAPI
MAKALAH
Mata Kuliah: Teknik Lab. Konseling/Model-Model Konseling
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Ali Rachman, M.Pd
Nama Kelompok:
Tommy Muchlisin NIM. A1E209202 Salawatil Jannah NIM. A1E209203 Shevya Rosita Wulandari NIM. A1E209213 M. Indra Maulana NIM. A1E209214 Akhmad Muzakir NIM. A1E209226 Mika Pebriani NIM. A1E209234
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
BANJARMASIN 2011
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, dengan memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT yang denngan rahmat-Nya Makalah Teknik Lab. Konseling/Model-
Model Konseling yang berjudul “Rasional Emotif Terapi” dapat kami selesaikan
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Dalam proses konseling, model-model pendekatan yang dipilih dalam
penanganan masalah sangatlah penting. Oleh sebab itu sangat penting bagi kami
untuk dapat memahami tentang masing-masing pendekatan tersebut, baik yang
bersifat direct, indirect maupun eklektif. Dengan adanya pemahaman terhadap
pendekatan tersebut diharapkan proses konseling dapat berlangsung dengan
efektif dan efisien.
Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Ali Rachman, M.Pd yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini. Terakhir,
kami ucapkan maaf yang sebesar-sebesarnya jika dalam penyajian makalah ini
terdapat berbagai kekurangan karena saya hanyalah makhluk yang lemah dan
penuh dengan kesalahan. Segala kekurangan berasal dari diri saya yang masih
belajar ini dan segala kelebihan hanyalah datangnya dari Allah SWT.
Banjarmasin, 08 April 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................... 2
C. Tujuan................................................................................. 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Teori...................................................................... 3
1. Sejarah Rasional Emotif............................................... 3
2. Pandangan Tentang Hakikat Manusia.......................... 5
3. Ciri-Ciri Rasional Emotif Terapi.................................. 6
B. Konsep Utama .................................................................... 6
1. Teori Kepribadian......................................................... 6
2. Perilaku Bermasalah..................................................... 8
C. Tujuan Terapi...................................................................... 11
D. Hubungan Konselor dan Konseli........................................ 12
E. Teknik yang Digunakan...................................................... 13
F. Evaluasi Keberhasilan ........................................................ 17
G. Kelebihan dan Kekurangan ................................................ 18
H. Contoh Kasus ..................................................................... 19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................... 23
B. Saran................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bantuan yang diberikan oleh
individu yang disebut dengan konselor kepada individu yang disebut
dengan konseli untuk mendapatkan kebahagiaan di dalam hidupnya.
Konseling yang merupakan bentuk bantuan secara langsung antara dua
orang sehingga masalah yang sedang dihadapi oleh konseli dapat
terselesaikan sehingga tidak menghalangi konseli dalam meraih
kebahagiaan dalam hidupnya. Di dalam proses konseling, konselor harus
menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan karakteristik
masalah dari konseli. Salah satu dari pendekatan konseling adalah rasional
emotif terapi.
Rasional emotif terapi merupakan teknik yang dikembangkan oleh
Albert Ellis sebagai salah satu bentuk perubahan dari pendekatan-
pendekatan yang sudah ada pada saat itu. Pendekatan rasional emotif
merupakan pendekatan yang berbeda, dimana pendekatan ini menekankan
kepada faktor kognisi, perilaku dan perbuatan.
Rasional emotif pada umumnya di pakai oleh konselor ketika
menghadapi jenis konseli yang mengalami masalah yang disebabkan oleh
pikiran irrasional. Pikiran-pikiran irrasional yang menyebabkan timbulnya
suatu perbuatan atau perasaan yang salah tersebut oleh rasional emotif
akan dilakukan perubahan yang mendasar.
Sehubungan dengan keinginan untuk lebih memahami tentang teori
ini, maka kami bermaksud untuk melakukan kajian kepustakaan mengenai
“Rasional Emotive Terapi”.
1
2
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana hakikat dari teori Rasional Emotif Terapi?
2. Bagaimana konsep utama pendekatan rasional Emotif Terapi?
3. Apakah tujuan dari pendekatan rasional emotif terapi?
4. Bagaimana hubungan konselor dan konseli dalam pendekatan rasional
emotif terapi?
5. Bagaimana teknik yang digunakan dalam pendekatan rasional emotif
terapi?
6. Seperti apakah evaluasi keberhasilan dalam pendekatan rasional emotif
terapi?
7. Apakah kelebihan dan kekurangan dari rasional emotif terapi?
8. Bagaimana contoh kasus dari pendekatan rasional emotif terapi
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Ingin mengetahui tentang hakikat pendekatan rasional emotif terapi.
2. Ingin mengetahui konsep utama pendekatan rasional emotif terapi
3. Ingin mengetahui tujuan dari pendekatan rasional emotif terapi.
4. Ingin mengetahui hubungan yang terjadi dalam pendekatan rasional
emotif terapi.
5. Ingin mengetahui teknik-teknik yang digunakan dalam pendekatan
rasional emotif terapi.
6. Ingin mengetahui evaluasi keberhasilan dalam pendekatan rasional
emotif terapi.
7. Ingin mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pendekatan rasional
emotif terapi.
8. Ingin mengetahui contoh kasus yang menggunakan rasional emotif
terapi sebagai penyelesaiannya.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Teori
1. Sejarah Rasional Emotif
Teori konseling rasional emotif dengan istilah lain dikenal dengan
“rational emotive therapy” yang dikembangkan oleh Albert Ellis
seorang ahli Clinical psychology (psikologi klinis). Sekitar tahun
1943, ia mulai membuka praktik dalam bidang konseling keluarga,
perkawinan, dan seks. Pada praktiknya ini Albert Ellis banyak
mempergunakan prosedur psikoanalisis dari freud, tetapi setelah
berlangsung beberapa lama Albert Ellis banyak menemukan
ketidakpuasan dalam praktiknya yang menggunakan prosedur
psikoanalisis dari freud.
Atas dasar pengalaman selama praktiknya dan kemudian
dihubungkan dengan teori tingkah laku belajar, maka akhirnya Albert
Ellis mencoba untuk mengembangkan suatu teori yang disebut
“rational emotive therapy”, dan selanjutnya populer dengan singkatan
RET. Tujuan dari RET Albert Ellis pada intinya ialah untuk
mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan
lingkungannya. Konselor atau terapis berusaha agar klien makin
menyadari pikiran dan kata-katanya sendiri, serta mengadakan
pendekatan yang tegas, melatih klien untuk bisa berpikir dan berbuat
yang lebih realistis dan rasional.
Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan
tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat
mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi
bersifat psikologis, yaitu:
a. Manusia adalah makhluk yang manusiawi, artinya dia bukan
superman dan juga bukan makhluk yang kurang dari seorang
manusia.
3
4
b. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau
pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan
yang dibuat sendiri.
c. Hidup secara rasional berarti berpikir, berperassan, dan
berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagian hidup dapat
dicapai secara efisien dan efektif.
d. Manusia memiliki kecendrungan yang kuat untuk secara rasional
dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional.
e. Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang
sebenarnya kurang masuk akal atau irasional (irrational beliefs),
yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau
diciptakan sendiri.
f. Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai
lambang verbal dan dituangkan dalam bentuk bahasa.
g. Bilamana seseorang merasa tidak bahagia dan mengalami
berbagai gejolak perasaan yang tidak menyenangkan serta
membunuh semangat hidup, rasa-rasa itu bukan berpangkal pada
tentetan kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah
berlangsung (activating event; activating experience), melainkan
pada tanggapannya yang tidak rasional terhadap kejadian dan
pengalaman itu (irrational beliefs).
h. Untuk membantu orang mencapai taraf kebahagian hidup yang
lebih baik dengan hidup secara secara lebih rasional, RET
memfokuskan perhatiaanya pada perubahan pikiran irasional
menjadi rasional.
i. Mengubah diri dalam berpikir irasional bukan perkara yang
mudah, karena orang memiliki kecendrungan untuk
mempertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak
masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang
ketidakmampuannya mengubah tingkah lakunya dan akan
kehilangan berbagai keuntungan yang diperoleh dari perilakunya.
5
j. Konselor RET harus berusaha membantu orang menaruh
perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya sendiri.
k. Konselor harus bisa membantu konseli mengubah pikirannya
yang irasional dengan diskusikannya secara terbuka dan terus
terang (dispute).
l. Diskusi itu akan menghasilkan efek-efek.
2. Pandangan tentang hakikat manuia.
Beberapa pandangan tentang hakikat manusia yang diajukan oleh
Albert Ellis, yang mewarnai teori Rational Emotive Therapy ialah
sebagai berikut:
a. Manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak
rasional. Pada hakikatnya manusia itu memiliki kecendrungan
untuk berpikir yang rasional atau logis, disamping itu juga ia
memiliki kecendrungan untuk berpikir tidak rasional atau tidak
logis. Kedua kecendrungan yang dimiliki oleh manusia ini akan
tampak jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah lakunya yang
nyata. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa apabila sesorang
telah berpikir rasional atau logis yang dapat diterima dengan akal
sehat, maka orang itu akan bertingkah laku rasional dan logis
pula. Tetapi sebaliknya apabila seseorang itu berpikir yang tidak
rasional atau tidak bisa diterima akal sehat maka ia menunjukkan
tingkah laku yang tidak rasional. Pola berpikir semacam inilah
oleh Ellis yang disebut sebagai penyebab bahwa seseorang itu
mengalami gangguan emosional.
b. Pikiran, perasaan, dan tindakan manusia adalah merupakan suatu
proses yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
RET memandang bahwa manusia itu tidak akan bisa lepas dari
perasaan dan perbuatannya. Perasaan seseorang senantiasa
melibatkan pikiran dan tindakannya. Tindakan selalu melibatkan
pikiran dan perasaan seseorang.
6
c. Individu bersifat unik dan memiliki potensi untuk memahami
keterbatasannya, serta potensi mengubah pandangan dasar dan
nilai-nilai yang diterimanya secara tidak kritis. Individu itu
dilahirkan dengan membawa potensi-potensi tertentu, ia memiliki
berbagai kelebihan dan kekurangannya serta keterbatasannya
yang bersifat unik. RET memandang bahwa individu itu memiliki
potensi untuk memahami kelebihan-kelebihan dan keterbatasan-
keterbatasannya itu. Namun, di sela-sela kelebihan dan
keterbatasan itu individu harus memiliki potensi untuk
berpandangan yang rasional dan realistik, agar individu itu
mampu melakukan adaptasi diri dengan baik.
3. Ciri-Ciri Rasional Emotif Terapi
Dewa Ketut Sukardi menyebutkan ciri-ciri dari rasional emotif
adalah sebagai berikut:
a. Dalam menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor
berperan lebih aktif dibandingkan klien.
b. Dalam proses hubungan konseling harus tetap diciptakan dan
dipelihara hubungan baik dengan klien.
c. Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh
konselor untuk membantu klien mengubah cara berpikirnya yang
tidak rasional menjadi rasional.
d. Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak terlalu banyak
menelusuri kehidupan masa lampau klien.
e. Diagnosis (rumusan masalah) yang dilakukan dalam konseling
bertujuan membuka ketidaklogisan pola berpikir dari klien.
B. Konsep Utama
1. Teori Kepribadian
Untuk memahami dinamika kepribadian dalam pandangan RET,
perlu memahami konsep-konsep dasar yang dikemukakan Ellis.
Menurut Ellis dalam Latipun ada tiga hal yang terkait dengan perilaku,
7
yaitu antecedent event (A), belief (B), dan emotional consequence (C),
yang kemudian dikenal dengan konsep A-B-C.
Antecedent Event (A) merupakan peristiwa pendahulu yang
berupa fakta, peristiwa, perilaku, atau sikap orang lain. Belief (B)
adalah keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu
terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang terbagi atas dua yaitu
keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional. Emotional
Consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat
atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan
emosi dalam hubungannya dengan Antecendent Event. Konsekuensi
emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh
beberapa variabel antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang
rasional atau yang irrasional.
Menurut Ellis (Latipun, 2008) perilaku seseorang khususnya
konsekuensi emosional bukan disebabkan secara langsung oleh
peristiwa yang dialami oleh individu. Perasaan-perasaan tersebut
diakibatkan oleh cara berpikir atau sistem kepercayaan seseorang.
Peristiwa yang terjadi di sekitar individu akan direaksikan sesuai
dengan sistem kepercayaannya.
Sistem kepercayaan individu berkisar pada dua kemungkinan,
yaitu rasional dan irrasional. Jika mampu berpikir rasional maka tidak
akan mengalami hambatan emosional. Menurut Ellis orang yang
berkeyakinan rasional akan mereaksi peristiwa-peristiwa yang
dihadapi kemungkinan mampu melakukan sesuatu secara realistik.
Sebaliknya, jika individu berkeyakinan irrasional, dalam menghadapi
berbagai peristiwa, akan mengalami hambatan emosional.
Sistem keyakinan ini pada dasarnya diperoleh individu sejak kecil
dari orangtua, masyarakat ataupun lingkungan di mana individu
tinggal. Elllis mengemukakan sebab-sebab individu tidak mampu
berpikir rasional sebagaimana disadur oleh Latipun (2008):
8
a. Anak tidak berpikir secara jelas tentang yang ada saat ini dan
yang akan datang, antara kenyataan dan imajinasi.
b. Anak tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain.
c. Orangtua dan masyarakat memiliki kecenderungan berpikir
irrasional dan diajarkan kepada anak melalui berbagai medai.
Ellis beranggapan bahwa berbagai sistem keyakinan yang ada di
masyarakat termasuk diantaranya agama, dan mistik banyak tidak
membantu orang menjadi sehat, tetapi sebaliknya seringkali
membahayakan dan menghentikan terbentuknya kehidupan yang sehat
secara psikologis.
2. Perilaku Bermasalah
Perilaku yang salah adalah perilaku yang didasarkan pada cara
berpikir yang irrasional. Albert Ellis dalam Latipun (2008)
mengemukakan indikator keyakinan irrasional yang berlaku secara
universal. Indikator-indikator tersebut sebagai berikut:
a. Pandangan bahwa suatu keharusan bagi orang dewasa untuk
dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan.
Seharusnya mereka menghargai diri sendiri (self-respect), dan
memenangkan tujuan-tujuan praktis, dan mencintai daripada
menjadi objek yang dicintai.
b. Pandangan bahwa tindakan tertentu adalah mengerikan dan jahat,
dan orang yang melakukan tindakan demikian sangat terkutuk.
Seharusnya berpandangan bahwa tindakan tertentu adalah
kegagalan diri atau antisosial, dan orang yang melakukan tindakan
demikian adalah melakukan kebodohan, ketidaktahuan, atau
neurotik, dan akan lebih baik jika ditolong untuk berubah. Orang
yang berperilaku malang tidak membuat mereka menjadi individu
yang buruk.
c. Pandangan bahwa hal yang mengerikan jika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan pada diri kita. Seharusnya berpandangan bahwa
9
kita menjadi lebih baik untuk mengubah atau mengendalikan
kondisi yang buruk, juga bahwa mereka menjadi lebih memuaskan,
dan jika hal itu tidak mungkin, untuk sementara menerima dan
secara baik-baik mengubah keberadaanya.
d. Pandangan bahwa kesengsaraan (segala masalah) manusia selalu
disebabkan oleh faktor eksternal dan kesengsaraan itu menimpa
kita melalui orang lain atau peristiwa. Seharusnya berpandangan
bahwa neurosis itu sebagian besar disebabkan oleh pandangan
bahwa kita mendapatkan kondisi sial.
e. Pandangan bahwa jika terjadi sesuatu itu (dapat) berbahaya atau
menakutkan, kita terganggu dan tidak akan berakhir dalam
memikirkannya. Seharusnya berpandangan bahwa seseorang akan
lebih baik menghadapinya secara langsung dan mengubahnya
menjadi tidak berbahaya dan jika tidak memungkinkan diterima
sebagai hal yang tidak dapat dihindari.
f. Pandangan bahwa kita lebih mudah menghindari berbagai
kesulitan hidup dan tanggung jawab daripada berusaha untuk
menghadapinya. Seharusnya berpandangan bahwa kemudahan itu
biasanya banyak kesulitan dikemudian hari.
g. Pandangan bahwa kita secara absolut membutuhkan sesuatu dari
orang lain atau orang asing atau yang lebih besar dari pada diri
sendiri sebagai sandaran. Seharusnya pandangan itu bahwa lebih
baik untuk menerima resiko berpikir dan bertindak kurang
bergantung.
h. Pandangan bahwa kita seharusnya kompeten, intelegen, dan
mencapai dalam semua kemungkinan yang menjadi perhatian kita.
Seharusnya pandangan itu adalah kita bekerja lebih baik daripada
selalu membutuhkan untuk bekerja secara baik dan menerima diri
sendiri sebagai makhluk yang tidak benar-benar sempurna, yang
memiliki keterbatasan umumnya dan kesalahan.
10
i. Pandangan bahwa karena segala sesuatu kejadian sangat kuat
pengaruhnya terhadap kehidupan kita, hal itu akan mempengaruhi
dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Seharusnya pandangan itu
adalah kita dapat belajar dari pengalaman masa lalu kita tetapi
tidak terlalu mengikuti atau berprasangka terhadap pengalaman-
pengalaman masa lalu itu.
j. Pandangan bahwa kita harus memiliki kepastian dan pengendalian
yang sempurna atas sesuatu hal. Seharusnya pandangan itu adalah
bahwa dunia ini penuh dengann probabilitas (serba mungkin) dan
berubah dan bahwa kita dapat hidup nikmat sekalipun demikian
keadaannya.
k. Pandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan
santai dan tanpa berbuat. Seharusnya berpandangan bahwa kita
dapat menuju kebahagiaan jika kita sangat tertarik dalam hal
melakukan kreativitas, atau jika kita mencurahkan perhatian diri
kita pada orang lain atau melakukan sesuatu di luar diri kita
sendiri.
l. Pandangan bahwa kita sebenarnya tidak mengendalikan emosi kita
dan bahwa kita tidak dapat membantu perasaaan yang mengganggu
pikiran. Seharusnya pandangan itu adalah bahwa kita harus
mengendalikan secara nyata atas perasaan yang merusak kita jika
kita memilih untuk bekerja untuk mengubah anggapan-anggapan
yang fantastis (yang sering kita gunakan dalam menciptakan
perasaan yang merusak itu).
Keyakinan irrasional tersebut merupakan reaksi emosional pada
individu. Dalam pandangan Ellis, keyakinan yang rasional berakibat
pada perilaku dan reaksi individu yang tepat, sedangkan keyakinan
irrasional berakibat pada reaksi emosional dan perilaku yang salah.
11
C. Tujuan Terapi
Berangkat dari pandangannya tentang hakikat manusia tujuan
konseling menurut Ellis pada dasarnya membentuk pribadi yang rasional,
dengan jalan mengganti cara-cara berpikir irrasional. Dalam pandangan
Ellis, cara berpikir irrasional itulah yang menjadi individu mengalami
gangguan emosional dan karena itu cara-cara berpikirnya harus diubah
menjadi yang lebih tepat yaitu cara berpikir yang rasional.
Ellis mengemukakan secara tegas pengertian tersebut mencakup
minimal pandangan yang mengalahkan diri (self-defeating) dan mencapai
kehidupan yang lebih realistik, falsafah hidup yang toleran, termasuk di
dalamnya dapat mencapai keadaan yang dapat mengarahkan diri,
menghargai diri, fleksibel, berpikir ilmiah, dan menerima diri.
Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu maka perlu pemahaman
konseli tentang sistem keyakinan atau cara berpikir sendiri. Ada tiga
tingkatan insight yang perlu dicapai dalam RET, yaitu:
1. Pemahaman (insight) dicapai ketika konseli memahami tentang
perilaku penolakan diri yang dihubungkan pada penyebab sebelumnya
yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-
peristiwa yang diterima yang lalu dan saat ini.
2. Pemahaman terjadi ketika konselor/terapis membantu konseli untuk
memahami bahwa apa yang mengganggu konseli pada saat ini adalah
karena keyakinan yang irrasional terus dipelajari dan yang diperoleh
sebelumnya.
3. Pemahaman yang dicapai pada saat konselor membantu konseli untuk
mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar
dari hambatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan “melawan”
keyakinan yang irrasional.
12
D. Hubungan Konselor dan Konseli
Isu hubungan pribadi antara terapis dan klien dalam TRE memiliki
makna yang berbeda dengan yang ada dalam sebagian besar bentuk terapi
yang yang lain. Kesesuaian dengan konsep terpusat pada pribadi dari
pandangan positif tanpa syarat merupakan konsep TRE pada penerimaan
sepenuhnya atau toleransi. Ide dasar di sini adalah menolong klien dalam
hal menghindari sifat mengutuk diri sendiri. Meskipun klien mungkin
mengevaluasi perilaku mereka sasarannya adalah agar mereka menolak
untuk menilai diri mereka sebagai pribadi, betapa pun tidak efektifnya
beberapa dari perilakunya. Terapis menunjukkan sikap penerimaan mereka
secara penuh dengan jalan menolak untuk mengevaluasi kliennya sebagai
pribadi sementara pada saat yang bersamaan menunjukkan kesediaannya
untuk tiada hentinya berkonfrontasi dengan pemikiran kliennya yang tidak
masuk akal serta perilaku yang bersifat merusak diri sendiri. Tidak seperti
terapis yang berorientasi pada hubungan, TRE tidak memberikan arti
utama pada kehangatan hubungan pribadi dan pengertian empatik, dengan
asumsi bahwa hubungan yang terlalu hangat dan pengertian yang terlalu
empatik bisa menjadi kontra produktif karena bisa memupuk rasa
ketergantungan akan persetujuan dari pihak terapis. Sebenarnya, terapis
TRE bisa menerima kliennya sebagai orang yang tidak sempurna tanpa
harus menunjukkan kehangatan hubungan antar pribadi, melainkan
berbagai teknik non personal bisa digunakan, seperti mengajar,
biblioterapi, serta modifikasi perilaku (Ellis dalam Gerald Corey, 1995)
tetapi selalu memberi contoh serta juga mengajarkan penerimaan secara
penuh tanpa syarat.
Meskipun demikian, beberapa praktisi TRE memberikan penekanan
pada pentingnya membangun hubungan saling mengerti dan hubungan
kerjasama yang kadarnya lebih kuat daripada yang diberikan Ellis. Wesler
dan Wesler dalam Geral Corey (1995:475) sepakat bahwa kondisi
terapeutik Rogers (pertimbangan positif tanpa syarat, empati, dan keaslian
terapis) memang bisa menjadi fasilitator pada perubahan, namun mereka
13
menambahkan: “Kita juga percaya bahwa kondisi untuk bisa berubah ini
adalah penting, tetapi kesemuanya itu dapat dilakukan dalam situasi yang
direktif maupun tidak direktif. Namun, kalau semuanya itu tidak
dilakukan, teknik apapun yang ada di dunia nampaknya tidak akan mampu
menghasilkan sesuatu”.
Berkembangnya hubungan saling mengerti yang baik antara klien dan
terapis dipandang Walen, DiGiuseppe, dan Wessler dalam Geral Corey
(1995:475-476) sebagai ramuan kunci dalam hal memaksimalkan
keuntungan terapeutik. Seperti halnya Wesler dan Wesler, mereka
menekankan bahwa menjadi aktif dan direktif bukanlah tidak sesuai
dengan pengembangan hubungan profesional berdasarkan kompetensi,
kredibilitas, saling menghormati, dan komitmen untuk menolong klien
agar bisa berubah.
Terapis rasional emotif seringkali terbuka dan langsung dalam
mengungkapkan keyakinan dan nilai mereka sendiri. Ada beberapa orang
yang sedia untuk berbagi ketidaksempurnaan dirinya dengan klien sebagai
cara untuk mempertanyakan pendapat klien yang tidak realistik, yaitu
bahwa terapis adalah manusia yang pribadinya “utuh”. Dalam hal ini,
transferensi tidaklah dianjurkan, dan kalaupun itu sampai terjadi maka
terapis mungkin akan menyerangnya. Terapis ingin menunjukkan bahwa
hubungan transferensi itu didasarkan pada keyakinan yang irasional, yaitu
bahwa klien haruslah disenangi dan dicintai oleh terapis (atau sosok orang
tua) (Ellis dalam Gerald Corey, 1995).
E. Teknik yang Digunakan
Secara emotif para praktisi TRE menggunakan berbagai prosedur,
termasuk didalamnya penerimaan tanpa syarat, bermain peran rasional-
emotif, permodelan, imajinasi rasional-emotif, dan latihan menyerang
masa malu. Klien diajar tentang nilai dari penerimaan tanpa syarat.
Meskipun perilaku mereka mungkin susah untuk bisa diterima, mereka
bisa memutuskan untuk melihat diri mereka sebagai orang yang berguna.
14
Mereka diajar untuk melihat kenyataan betapa merusaknya tindakan untuk
“memperkecil arti dirinya” karena kekurangan-kekurangan yang dianggap
ada. Salah satu dari teknik utama yang digunakan terapis untuk menolong
klien cara menerima dirinya sendiri adalah lewat model. Terapis mampu
untuk menjadi dirinya sendiri dalam sesi yang sedang diselenggarakannya;
mereka menghindar untuk mendapatkan persetujuan dari kliennya, tidak
mau hidup dengan dasar “seharusnya” dan “harus”, dan bersedia untuk
mengorbankan dirinya pada waktu ia terus menantang klien mereka.
Mereka juga memberi contoh atau menunjukkan penerimaan sepenuhnya
pada klien yang sulit.
Perlu dicatat bahwa biarpun ada pengajuan masalah oleh klien TRE
terapis tidak perlu harus memfokuskan pada detail-detailnya, pun juga
mereka tidak lalu berusaha untuk menyuruh klien secara ekstensif
mengungkapkan perasaan di sekitar masalahnya. Mereka tidak mendorong
diutarakannya “cerita berkepanjangan tentang nestapa, yang secara
simpatik tetap mengikuti perasaan yang cengeng atau yang secara cermat
dan efektif bisa terlihat emosi yang dibesar-besarkan” (Ellis dalam Gerald
Corey, 1995:479). Meskipun TRE menggunakan beraneka ragam strategi
terapeutik yang kuat dan emotif, dalam hal penggunaannya itu tidak
dilakukan secara selektif dan diskriminatif. Strategi ini digunakan baik
selama sesi terapi maupun dalam pekerjaan rumah dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan teknik semacam itu tidak hanya sekedar menyediakan
pengalaman katartik tetapi juga menolong klien mengubah beberapa dari
jalan pikiran, emosi dan perilaku mereka (Ellis & Yeager dalam Gerald
Corey, 1955). Berikut ini adalah beberapa dari teknik terapeutik yang
emotif dan evokatif:
1. Imaginasi Rasional Emotif
Teknik ini merupakan bentuk praktek mental yang intens yang
didesain untuk menciptakan pola emosi baru. Klien membayangkan
mereka sedang berpikir, merasakan, dan berperilaku tepat seperti yang
15
akan mereka lakukan dalam imajinasi mereka dalam hal berpikir,
merasakan, dan berperilaku dalam kehidupan nyata (Maultsby dalam
Gerald Corey, 1995). Kepada mereka bisa juga ditunjukkan
bagaimana caranya membayangkan salah satu dari hal yang paling
buruk yang menimpa dirinya, bagaimana rasanya kalau tidak pada
tempatnya menjadi marah terhadap suatu situasi, bagaimana
menghayati perasaannya secara intens, dan kemudian bagaimana
caranya mengubah pengalaman itu menjadi perasaan yang pada
tempatnya (Ellis & Yeager dalam Gerald Corey, 1995). Demikian
mereka mampu mengubah perasaan mereka menjadi yang pada
tempatnya, maka mereka pun ada dalam posisi yang lebih baik untuk
mengubah perilakunya dalam situasi itu. Teknik seperti itu bisa
diaplikasikan dengan baik pada situasi interpersonal dan situasi lain
yang bermasalah untuk diri si individu. Ellis (1988) berpendapat
bahwa apabila kita terus mempraktekkan imajinasi rasional emotif
beberapa kali dalam seminggu selama beberapa minggu, kita akan
sampai pada suatu titik dimana kita tidak lagi merasa marah terhadap
peristiwa seperti itu.
2. Bermain peran
Dalam bermain peran terdapat komponen emosional dan juga
behavioral. Terapis sering menginterupsi untuk menunjukkan kepada
klien apa yang mereka katakan tentang diri mereka sendiri yang
menciptakan gangguan mereka dan apa yang bisa mereka perbuat
untuk mengubah perasaan mereka yang tidak pada tempatnya menjadi
yang sesuai dengan keadaannya. Klien bisa mengadakan gladi
melaksanakan perilaku tertentu untuk mengeluarkan apa yang mereka
rasakandalam situasi tertentu. Fokusnya adalah pada menggarap
keyakinan irasional yang mendasarinya yang ada kaitannya dengan
rasa tidak nyaman. Sebagai contoh seorang wanita mungkin menunda
keinginannya untuk masuk fakultas pasca sarjana karena takut tidak
akan diterima. Pikiran itu tidak bisa diterima di sekolah pilihannya
16
itulah yang mengeluarkan perasaannya bahwa dia adalah “bodoh”.
Dia bermain peran dalam suatu wawancara dengan dekan mahasiswa
pasca sarjana, mencatat kecemasannya dan keyakinan tidak rasional
yang mengarah ke kecemasan itu, dan menantang gagasan
irasionalnya yang mengatakan bahwa ia harus bisa diterima dan
bahwa dengan tidak diterimanya itu bararti bahwa ia adalah orang
yang dungu dan tidak berkompetensi.
3. Latihan Menyerang Masa Lalu
Ellis dalam Gerald Corey (1995:480-481) menjelaskan bahwa telah
dikembangkan latihan untuk menolong orang menghilangkan rasa
malu yang tidak rasional akan perilakunya tertentu. Dia kira bahwa
kita bisa bersikeras untuk menolak rasa malu dengan mengatakan
kepada diri kita masing-masing bahwa bukanlah suatu mala petaka
kalau orang mengira bahwa kita itu dungu. Maksud utama dari latihan
ini adalah bahwa klien berusaha untuk tidak merasa malu meskipun
orang lain jelas-jelas tidak menyetujuinya. Prosedur ini biasanya
melibatkan baik komponen emotif maupun behavioral. Klien bisa
diberi pekerjaan rumah untuk mengambil resiko melakukan sesuatu
yang biasanya mereka takut melakukannya karena apa yang mungkin
orang kira tentangnya. Klien tidak didorong untuk melakukan latihan-
latihan yang bisa menimbulkan bahaya bagi dirinya dan orang lain.
Pelanggaran kecil terhadap norma sosial sering kali bertindak sebagai
katalis yang berguna. Misalnya, klien mungkin berteriak untuk
menghentikan bus atau kereta api, berakaian “seronok” untuk menarik
perhatian, bernyanyi dengan suara amat keras, mengajukan pertanyaan
aneh-aneh pada kegiatan kuliah, minta obeng untuk orang kidal di
toko P & D, atau tidak mau memberi tip pada pelayan yang
memberikan pelayanan buruk. Dengan melakukan tugas-tugas seperti
itu, kemungkinannya klien akan mendapatkan bahwa orang
sebenarnya tidak tertarik pada perilakunya itu. Mereka menggarap
dirinya sendiri sehingga tidak akan merasa malu atau terhina. Mereka
17
terus mempraktekkan latihan-latihan ini sampai menyadari bahwa rasa
malu mereka adalah ciptaan mereka sendiri dan samapai mereka
mampu untuk berperilaku dengan cara yang kurang terkekang. Klien
akhirnya menemukan bahwa mereka sering tidak punya alasan untuk
membiarkan reaksi orang lain atau kemungkinan tidak persetujuan
orang lain menghentikan perbuatan yang ingin mereka lakukan.
4. Penggunaan Kekuatan dan Ketegaran
Ellis telah menyarankan dipakainya kekuatan dan energi sebagai
cara untuk menolong klien beranjak dari pemahaman intelektual ke
emosional. Kepada klien juga ditunjukkan bagaimana caranya
menggunakan dialog yang keras dengan diri sendiri di mana mereka
mengungkapkan keyakinan irasional mereka dan selanjutnya
mempertanyakannya. Kadang-kadang terapis akan melakukan peran
sebaliknya dengan jalan bergantung kuat-kuat pada falsafah
mengalahkan diri yang dianut klien, klien diminta untuk berdebat
dengan terapis dalam usaha untuk membujuknya untuk mau
menghentikan gagasan-gagasan yang berfungsi keliru itu. Kekuatan
dan energi merupakan bagian mendasar dari latihan menyerang rasa
malu.
F. Evaluasi Keberhasilan
Jalan yang ditempuh oleh terapis rational emotif yang demikian
banyak jumlahnya itu mengarah pada satu tujuan, yaitu meminimalkan
gangguan emosional dan perilaku menggagalkan diri sendiri dengan jalan
mendapatkan falsafah hidup yang realisitik. Juga termasuk dalam sasaran
terapeutik yang penting adalah mengurangi kecenderungan untuk
menyalahkan diri sendiri atau orang lain karena sesuatu yang tidak
diinginkan telah terjadi dalam hidup ini dan mempelajari cara untuk secara
efektif bisa menangani kesulitan-kesulitan yang kelak akan dihadapi.
18
RET berjuang untuk melakukan reevaluasi filosofis yang cermat
didasarkan pada suatu asumsi bahwa masalah manusia itu berakar pada
falsafah. Jadi, Rasional Emotif Terapi tidaklah diarahkan terutama pada
menghilangkan gejalanya. RET terutama didesain untuk menggelitik orang
agar mau meneliti dan mengubah beberapa dari nilai-nilai yang paling
mendasar, terutama nilai-nilai yang membuat mereka terganggu. Apabila
rasa takut klien adalah pada kegagalan dalam hidup perkawinannya,
sasarannya tidaklah hanya pada mengurangi rasa takut yang spesifik itu,
melainkan terapis berusaha untuk menggarap rasa takut akan kegagalan
yang dibesar-besarkan itu secara umum.
Berikut ini adalah sasaran spesifik yang ditujukan oleh terapis RET
dalam menggarap kliennya yaitu minat diri sendir, minat sosial,
pengarahan diri, tenggang rasa, keluwesan, kesediaan menerima adanya
ketidakpastian, komitmen, berpikir ilmiah, mau menerima diri sendiri,
mau mengambil resiko, tidak menjadi utopis, bertolerasi tinggi terhadap
frustasi, dan mau mempertanggunjawabkan gangguan.
G. Kelebihan dan Kekurangan
Pendekatan rasional emotif yang dikembangkan oleh Albert Ellis
mempunyai kelebihan sebagai berikut:
1. Rasional Emotif menawarkan dimensi kognitif dan menantang klien
untuk meneliti rasionalitas dari keputusan yang telah diambil serta
nilai yang klien anut.
2. Rasional Emotif memberikan penekanan untuk mengaktifkan
pemahaman yang di dapat oleh klien sehingga klien akan langsung
mampu mempraktekkan perilaku baru mereka.
3. Rasional emotif menekankan pada praktek terapeutik yang
komprehensif dan eklektik.
4. Rasional emotif mengajarkan klien cara-cara mereka bisa melakukan
terapi sendiri tanpa intervensi langsung dari terapis.
19
Kekurangan dari pendekatan ini adalah sebagai berikut:
1. Rasional emotif tidak menekankan kepada masa lalu sehingga dalam
proses terapeutik ada hal-hal yang tidak diperhatikan.
2. Rasional emotif kurang melakukan pembangunan hubungan antara
klien dan terapis sehingga klien mudah diintimidasi oleh konfrontasi
cepat terapis.
3. Klien dengan mudahnya terbius dengan oleh kekuatan dan wewenang
terapis dengan menerima pandangan terapis tanpa benar-benar
menantangnya atau menginternalisasi ide-ide baru.
4. Kurang memperhatikan faktor ketidaksadaran dan pertahanan ego.
H. Contoh Kasus
Prabawa adalah seorang siswa suatu SMA di kota besar, kelas II,
semester kedua, program studi IPS. Dia tinggal bersama orang tuanya,
yang mendukung cita-citanya menjadi seorang guru akutansi. Prabawa
berharap dapat diterima di FKIP Negeri di kotanya sendiri, dan telah
berusaha sejak kelas I supaya nilai rata-rata dalam rapor setiap semester
minimal 7. Dalam usaha ini dia berhasil.
Selain itu, sejak kelas II dia juga berhasil dalam mengikat hati seorang
siswi yang duduk di kelas yang sama. Mereka sudah biasa pergi rekreasi
bersama, meskipun pihak putri terpaksa main backstreet karena
orangtuanya belum mengizinkan untuk berpacaran. Pada awal semester
kedua siswi mengatakan bahwa orangtuanya telah mengetahui
petualangannya dan memarahi dia; bahwa mereka mengancam ini dan itu.
Siswi itu merasa terpaksa memutuskan hubungan karena dia tidak berani
melawan orangtua. Prabawa jatuh dalam lembah depresi dan berpikir:
“Apa gunannya meneruskan hidup di dunia ini? Saya tidak rela dicintai
oleh gadis lain ataupun mencintai gadis lain. Hanya yang satu ini menjadi
idaman saya! Sumber semangat belajarku dan pendukung cita-citaku
sudah lenyap!”
20
Prabawa bolos sekolah selama satu minggu. Ketika masuk kembali,
dia dipanggil oleh konselor di sekolahnya.
Langkah Langkah Pelaksanaan Konseling:
1. Membangun hubungan pribadi dengan Prabawa. Di sini konselor
menjelaskan alasan Prabawa dipanggil, yaitu selama seminggu tidak
masuk sekolah tanpa ada kabar, dan bertanya apakah ada sesuatu yang
ingin dibicarakan berkaitan dengan hal tersebut.
2. Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan
Prabawa. Dia mengutarakan bahwa semangat belajar telah hilang,
setelah mengalami pukulan yang berat, gara-gara pacarnya yang
tersayang memutuskan hubungan percintaan. Pacarnya adalah teman
siswi sekelas yang selama satu tahun sering mau diajak pergi berdua,
tetapi tiba-tiba mengundurkan duru setelah dimarahi oleh orangtuanya.
Padahal, katanya tidak ada gadis lain yang pantas dicintai. Prabawa
beranggapan bahwa masa depannya menjadi sangat suram dan tidak
ada sumber inspirasi lagi yang mendukung cita-citanya menjadi guru
akutansi di sekolah menengah (pikiran irrasional).
3. Mengadakan analisis kasus, yaitu mencari gambaran yang lengkap
mengenai kaitan antara A,B,C. Konselor akan menaruh perhatian
khusus pada pikiran-pikiran irrasional yang diduga mendasari rasa
kehilangan semangat, karena dia akan mengusahakan supaya Prabawa
berpikir rasional dalam menghadapi persoalannya.
a. Kejadian yang dialaminya adalah terputusnya hubungan percintaan
dengan gadis yang dikaguminya; yang memutuskan hubungan
adalah pihak putri, dengan memberikan alasan dilarang oleh
orangtuanya.(A)
b. Kejadian ini ditanggapi dengan banyak pikiran irrasional atau tidak
masuk akal. Prabawa berpikir “Ini musibah besar, karena cintaku
yang pertama dan abadi dihancurkan begitu saja”. “Tidak ada gadis
lain yang akan kucintai. Gadis lain juga tidak akan mencintai diriku
21
setulus teman siswi ini.” “Dunia telah bertindak kejam terhadap
diriku, apa gunanya menyambung benang hidupku ini?” “Siapa
lagi yang akan memberikan inspirasi kepadaku untuk mengejar
cita-citaku kalau bukan dia?” (B irrasional)
c. Sebagai akibat dari cara berpikir demikian, Prabawa mengalami
gejolak emosional dan goncangan dalam alam perasaannya, seperti
merasa kehilangan semangat hidup dan gairah untuk belajar,
merasa putus asa dan merasa seperti orang yang lukanya menganga
lebar dan mengeluarkan darah terus menerus. (C dalam perasaan).
Akibat lebih lanjut adalah Prabawa memutuskan untuk tidak masuk
sekolah; ini tindakan penyesuaian diri yang salah dan malah
membahayakan sukses dalam belajarnya (C dalam tindakan).
Namun, karena teguran orang tua dia terpaksa kembali ke sekolah
setelah bolos selama satu minggu.
4. Membantu Prabawa untuk menemukan jalan keluar dari persoalan ini.
Konselor dapat mulai dengan menjelaskan kepadanya hasil analisa
diatas, sehingga Prabawa sedikit banyak mengerti apa alasannya
sehingga keadaanya sekarang begini. Kemudian konselor mulai
menantang seluruh pikiran yang tidak masuk akal tadi, misalnya
dengan melontarkan pertanyaan “Apa alasanmu berpendapat telah
ditimpa musibah besar?”. Disamping itu, konselor memberikan
pandangan-pandangan baru kepada Prabawa, misalnya: “Anggaplah
pengalaman berpacaran ini sebagai pelajaran yang berguna, yaitu
Prabawa mengalami keindahan cinta, tetapi sekaligus lebih menyadari
harus melihat situasi dan kondisi siswi yang masih bersekolah seperti
Prabawa sendiri”. Efek dari diskusi ini adalah bahwa Prabawa mulai
berubah pikiran dan memandang pengalaman ini dengan cara yang
lebih masuk akal. Efek lebih lanjut adalah bahwa Prabawa menjadi
lebih tenang. Rasa kecewa masih ada, tetapi rasa kehilangan semangat
sudah jauh berkurang. Akhirnya Prabawa memutuskan untuk tidak lagi
22
mengajak teman siswi itu pergi berdua dan mengejar pelajaran yang
tertinggal.
5. Mengakhiri hubungan pribadi dengan Prabawa.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rasional Emotif terapi merupakan pendekatan yang dikembangkan
oleh Albert Ellis sebagai sesuatu yang baru pada saat itu karena
pendekatan ini berorientasi pada faktor kognisi. Rasional emotif
berpendapat bahwa perilaku yang salah muncul karena pikiran-pikiran
irrasional dari klien. Pikiran-pikiran yang irrasional dapat membuat
seorang individu bertindak tidak seperti yang seharusnya. Bagi pendekatan
ini pikiran-pikiran irrasional harus diubah menjadi pikiran yang rasional
untuk dapat memberikan perubahan kepada seseorang.
Pendekatan rasional emotif mempunyai pandangan bahwa kepribadian
seseorang terbentuk dari teori A-B-C. Dimana A (Antecedent) adalah
segala sesuatu yang mendahului dari suatu peristiwa atau kegiatan.
Sedangkan B (Belief) adalah segala kepercayaan yang dihasilkan oleh
peristiwa yang terjadi. Belief terbagi atas dua jenis yaitu rasional dan
irrasional. Terakhir adalah C (Emotional Consequence) merupakan
konsekuensi emosional yang muncul sehubungan dengan peristiwa yang
mendahului tersebut.
Pendekatan rasional emotif mempunyai tujuan membentuk pribadi-
pribadi yang terbebas dari masalah. Hal ini berarti individu dapat berpikir
secara rasional, dan menghilangkan pikiran-pikiran irrasional yang
menurut Ellis merupakan penyebab timbulnya perilaku bermasalah.
Dalam penanganan masalah, hubungan antara terapis dan klien sangat
berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang lain. Pada pendekatan ini
terapis menghindari terjadinya hubungan hangat dan pengertian yang
empatik karena menurut mereka hubungan yang demikian dapat
menyebabkan klien merasa tergantung kepada terapis. Walaupun demikian
hubungan tetap diciptakan dalam kondisi penerimaan tanpa syarat kepada
klien.
23
24
Beberapa teknik yang dapat digunakan oleh terapis dalam menangani
klien adalah bermain peran, permodelan, imajinasi rasional-emotif, dan
latihan menyerang masa lalu. Evaluasi keberhasilan dari teknik yang
digunakan oleh terapis adalah berubahnya pemikiran-pemikiran irrasional
menjadi pikiran yang rasional. Ketika seorang individu sudah mengalami
perubahan dalam hal kepercayaan maka dapat dikatakan bahwa proses
penanganan masalah individu tersebut selesai.
B. Saran
Adapun saran yang diharapkan dapat diterima adalah:
1. kepada perguruan tinggi, diharapkan penulisan makalah ini dapat
menjadi sebagai salah satu referensi yang dapat membantu mahasiswa
dalam memahami tentang masalah rasional emotif terapi.
2. Kepada mahasiswa bimbingan dan konseling, diharapkan makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pemahaman dalam melakukan
pendekatan rasional emotif terapi kepada klien di kemudian hari.
3. Kepada penulis sendiri, diharapkan penulisan makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pemahaman secara mendalam mengenai
pendekatan rasional emotif terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. 2007. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.
Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Press.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bk di Sekolah.
Jakarta :Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 1985. Pengantar Teori Konseling (Suatu Uraian Ringkas).
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Winkel. 2007. Bimbingan dan Konseling di Instituti Pendidikan. Yogyakarta:
Media Abadi