7650813 wina pung skripsi sth

Upload: ria-rylia-j

Post on 16-Jul-2015

404 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP

Oleh Wina Citra Sembiring 231.2758

SKRIPSI SARJANA THEOLOGI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INDONESIA BAGIAN TIMUR MAKASSAR 2008

i

HALAMAN PERSEMBAHAN

Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatan-MU yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung. (Mazmur 40 : 6) Pujian bagi Allah yang Solider kepada Manusia dalam Yesus Kristus

Hasil perjuangan dan pergumulan Teologi ini penulis persembahkan kepada: Lembaga STT INTIM Makassar dan GBKP Bapak (Pt.B.Sembiring Kembaren) dan Mamak (I.Br Barus) Dan kepada saudara-saudariku Doris Haryadi Kembaren, Evaliata Br Kembaren dan Delfer Septianus Kembaren

ii

dalam setiap tetesan darah, air mata dan keringat, doa, pengharapan, kesabaran dan ketulusan serta setiap kata yang selalu memberi motifasi. IMANUEL DALAM DUNIA TERANG KRISTUS BERSINARSERTIFIKAT UJIAN SKRIPSI

Semua yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa Skripsi Sarjana Teologi dengan judul: MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP ( xii + 78 halaman ) Dipersiapkan oleh No. Stb Utusan Jurusan : Wina Citra Sembiring

: 231.2758 : Gereja Batak Karo Protestan : S-1 Teologi

telah dipertahankan oleh penulisnya di hadapan para Penguji dan Panitia Ujian Skripsi STT INTIM Makassar pada tanggal 20 Agustus 2008, dan dinyatakan LULUS dengan nilai A. Makassar, 4 September 2008

Penguji I

: Pdt. Leonard P. Hutapea, M.Th

......................................

iii

Penguji II

: Pdt. Resty Arnawa Tehupeuyori, M.Th

......................................

Ketua Panitia Ujian : Pdt. Nitis Putra Harsono, M.Th

......................................

Dosen Pembimbing : Pdt. Dr. Yusuf G. Mangumban

......................................

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Ungkapan syukur kepada Allah dalam Yesus Kristus, yang karena kasih-Nya memberi kesempatan bagi penulis untuk melihat dunia dengan menjalani dan mengisi hidup ini dengan karya dan karsa. Akhirnya, tulisan tentang bagaimana kita membangun solidaritas kepada sesama korban bencana alam ini, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya selesai juga tepat waktunya. Anugerah-Nya telah memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini dengan penuh keyakinan sekalipun harus jatuh bangun. Perkenanan-Nya jugalah kiranya untuk penulis memasuki babak yang baru. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung selama proses pendidikan dan penulisan yang cukup berat, baik secara moril maupun material: 1. Pdt. DR. Yusuf G. Mangumban, sebagai dosen pembimbing yang telah rela memberikan waktu dan pikiran untuk berdiskusi serta dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak dan Mamak yang menjadi tempat mengadu, dalam kesederhanaan dan pengharapan tidak mengenal lelah dan penuh kasih selalu memberikan yang terbaik. Bapak dan mamak adalah kebanggaanku dan orang tua terbaik! 3. Abang Tua dan Eda serta keponakanku Joa, Kakak Eva dan abang, dan adekku Delfer yang telah menjadi saudara dan selalu berusaha untuk memahamiku. Terimakasih untuk setiap canda-tawa bahkan air mata dalam keharmonisan. Aku sangat menyayangi kalian!

v

Seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan memotifasiku, Nenek Ribu, Bibik dan Bapak, Bibi dan Kila, bujur melala!. Seluruh adekku, lakukan yang terbaik! 4. Pimpinan STT INTIM Makassar, Yayasan dan segenap Dewan Dosen yang telah membantu dan memberi sumbangan intelektual untuk mempersiapkan penulis berkarya. Kepada Pegawai STT INTIM Makassar, untuk semua bantuannya dalam mendukung kebutuhan akademik. 5. UPAM STT INTIM Makassar, yang memberi ruang lebih dari 3 tahun menjalani hidup dan studi di Makassar. Teman-teman Aspura dan Aspuri, dalam persaudaraan dan persekutuan bersama menjalani hidup yang penuh dengan dinamika. 6. Moderamen GBKP, yang telah merekomendasikan dan memberikan beasiswa prestasi bagi penulis untuk melanjutkan studi di lembaga STT INTIM Makassar. 7. Pdt. Marthen Manggeng, MT.h dan Pdt. Markus Lolo, MT.h, sebagai penasehat akademik bagi penulis selama berada di lembaga ini. Terimakasih untuk semua nasehat dan masukan yang diberikan bagi penulis. 8. Pdt. I Nyoman Murah, MT.h dan ibu, sebagai orang tua wali mahasiswa utusan GBKP atas pengarahan dan motifasi yang diberikan. 9. GTM Moria Makassar, GBKP Rg Bahorok dan Keluarga Ng. Sembiring, GKSB Jemaat Tamesassang Sul - Bar dan GBKP Perpulugen Makassar dan warga jemaat sebagai orang tua dan saudara, yang telah menjadi wadah untuk belajar melayani dan mengenal jemaat. 10. GBKP Rg. Yogyakarta dan Rg. Surabaya yang telah menerima kehadiran penulis melakukan penelitian dan juga telah banyak memberi bantuan tenaga dan

vi

pikiran. Pdt. Sabar Sembiring Brahmana dan keluarga dan Dkn. Bani Israel Karo-karo dan keluarga, serta Asna Wati br Ginting yang telah menyediakan tempat dan sarana selama penelitian. 11. Immanuel Antonius Mabilehi, aku bersyukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Terimakasih untuk kesetiaan dan kesabaran mendengar segala keluh kesahku dan untuk setiap motifasi yang membangkitkan semangat dan percaya diri. 12. Sahabat-sahabatku dari Bumi Turang: Maifrina V br Barus, S.Th dan Vic.Abadi Ginting (Inong jagalah hati dan kami tunggu undangannya!), Wanti Emteta br Depari, S.Th dan Adris (Cure kapan di Ginting kan implta ena?), Natalea A Br Tarigan, S.Th dan Jeremia ( Lepor segala sesuatu indah pada waktunya!) , Ria Angelia br Sitepu, S.Th dan ......... (Rimo aku bingung yang mana....!!! ), Magdalena S.N br Depari, S.Th (Ipeh yang manakah sebenarnya lelaki misterius itu?), Erlayas Monica br Tarigan, S.Th(Katruk jangan terus menjadiropah sejati, ini jaman reformasi ces!), terimakasih untuk persahabatan yang selalu diwarnai dengan canda, tawa dan ketersinggungan yang membangun. Florentina br Meliala (sabar menunggu Lencang, masih banyak waktu dan kesempatan!) jangan patah semangat, maju terus dan masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan dari pada hal-hal sepele yang tidak bermanfaat. Kami tunggu di bumi turang!!!! 13. Senina ras Turang dari Tanah Karo si Malem, Elia dan Kak Deky (terimakasih untuk seperangkat komputer yang sangat mendukung penulisan skripsi ini. Tetap semangat, lakukan yang terbaik karena jodoh takkan lari kemana..!!??), Oktoria dan Vic. Romi P, Elba dan Ayen, Jerry, Pita dan Frans P,

vii

Diana dan Andri, Dona dan Renji, Anita dan......., Carilon, Yoan dan........, Erma dan......., Kiki, Nopa dan......, Imanuel dan Bayu dan ????? atas persaudaraan di tanah rantau dalam suka dan duka. Imanuel Sembiring, Eben Ginting, Christin, Amenda dan Elsa, lakukan dan berikan yang terbaik!!!!! 14. Kakak-kakak yang selalu menjadi teman suka dan duka serta telah menggoreskan kenangan yang tak terlupakan, Vic.Sri Pinta Br Ginting, Vic. Marina Br Ginting, Vic.Imelda Elfera Br Sembiring, Mirawati Br Tarigan, STh, Pdt. Chrismas Ginting, Pdt.Hermawati Br Bukit, Pdt.Beni Antoni Kaban, Pdt. Erlikasna Br Purba, Vic.Abadi Ginting, Vic.Gresiomala Br Pinem dan Masyunita Br Surbakti dan Vic.Yosfran. Terimakasih telah menjadi kakak dan abang di tanah perantauan! 15. Pdt. Berthalina Br Tarigan, M.Th dan Naras, yang bukan hanya menjadi kakak dan abang tetapi juga menjadi orang tua. Terimakasih untuk setiap bantuan, nasehat dan motifasi serta kebersamaan yang penuh makna dan kenangan. 16. Seluruh Ata-ata 2003 dari Sabang sampai Merauke yang tidak sempat disebutkan namanya tanpa terkecuali. Hamba-hamba-Nya dari GKSB dalam melakukan PJ 2007. Terimakasih untuk persaudaraan yang telah terbina dalam perjuangan hidup dan masa depan di Kampus Unggu tercinta! 17. Perpustakaan UKDW Yogyakarta dan mahasiswa UKDW Yogyakarta utusan GBKP yang telah memberi fasilitas dan membantu penulis dalam mengumpulkan data. 18. Aswin S.Th, dan Bevy Joseph S.Th, yang selalu memberi masukan dan meluangkan waktu berdiskusi (jangan bosan-bosan ya!). Kristin Hutubesy, S,Th

viii

dan teman teman yang tergabung dalam kelompok PA kecil, telah menjadi tempat penulis bertukar pikiran. 19. Kakak, teman dan adek kamar, Yeti GMIT, Debora GT, Sarah Gepsultra, Marlina GT, Marlin Gepsultra, Ayu GMIT, Yuhelsin GMIT, dan Meylani GKLB, terimakasih atas persaudaraan yang saling berbagi dalam satu ruangan 6 x 6 aspuri. 20. GMKI cabang Makassar dan Komisariat STT Intim, yang telah menjadi tempat belajar. UT OMNES UNUM SINT! Kepada semua pihak yang telah berperan membantu penulis dalam mencari dan memahami arti hidup. Akhirnya, walaupun jauh dari kesempurnaan tulisan ini kiranya dapat menjadi sebuah ajakan solider, untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera.

IN CHRISTO LUX MUNDI CRESCIT

Hari Kemerdekaan RI 2008

Penulis

ix

ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji solidaritas kemanusiaan GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya dalam menghadapi bencana alam. Bencana alam, yang terjadi beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan krisis multidimensi bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini, banyak orang masih terpusat pada teologi hukuman sebagai penyebab bencana. Manusia kadang-kadang terlalu asik mencari kambing hitam sehingga lupa membuka mata, telinga dan hati terhadap rintihan sesamanya. Realitas ini membutuhkan solidaritas setiap orang. Solidaritas adalah kata lain untuk cinta kasih yang mengerakkan hati, pikiran, tangan, kaki, dan pengorbanan apa yang kita miliki terhadap penderitaan orang lain. Allah adalah kasih. Allah ada dalam solidaritas. Allah adalah solidaritas itu sendiri. Di mana ada solidaritas maka disanalah Allah ada, menyatakan diri-Nya. Setiap orang harus solider dengan mereka yang menjadi sasaran keprihatinan dan keberpihakan Yesus, tanpa dibatasi oleh apapun. Sebab kenyataannya solidaritas masyarakat masih kuat dipengaruhi oleh latar belakang SARA, tidak terkecuali orang-orang Kristen. Solidaritas mengajak semua pihak tanpa batas membangun usaha bersama dan berbuat sesuatu untuk membangkitkan kembali semangat dan harapan hidup. Solidaritas adalah wujud iman yang terungkap melalui tindakan kasih dan pengorbanan serta berbagi rasa dan keprihatinan. Dalam solidaritas itulah kasih Allah dinyatakan dan kehadiran-Nya dapat dirasakan. Sebagai gereja, GBKP terpanggil ikut bertanggung jawab untuk menghadirkan syalom Allah. Menjadi garam dan terang dunia. GBKP terpanggil bersikap solider dalam tindakan nyata yang membebaskan dan memberdayakan. Sebab setiap perbuatan yang dilakukan terhadap sesama yang menderita, sesungguhnya diperbuat kepada Allah sendiri.

x

DAFTAR ISI Halaman Judul...................................................................................................................... i

Halaman Persembahan......................................................................................................... ii Sertifikat Ujian Skripsi........................................................................................................ iii Ucapan Terima Kasih.......................................................................................................... iv Abstrak................................................................................................................................. ix Daftar Isi............................................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 BAB II Latar Belakang Permasalahan................................................................. 1 Perumusan Masalah................................................................................. 5 Tujuan Penulisan..................................................................................... 5 Metode Penelitian.................................................................................... 6 Sistematika Penulisan.............................................................................. 7

SOLIDARITAS KEMANUSIAAN JEMAAT GBKP RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA....................................... 9 2.1 Solidaritas Kemanusiaan......................................................................... 9 2.1.1 Definisi Solidaritas Kemanusiaan................................................ 9 2.1.2 Perkembangan Solidaritas............................................................ 10 2.2 Bencana Alam.......................................................................................... 12 2.2.1 Definisi Bencana Alam................................................................. 12 2.2.2 Penggolongan Bencana Alam....................................................... 14 2.3 Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian........................................... 14 2.3.1 GBKP Runggun Yogyakarta........................................................ 15 2.3.2 GBKP Runggun Surabaya............................................................ 15

xi

2.4

Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Jemaat terhadap Bencana Alam........................................................................... 16 2.4.1 Data Responden............................................................................ 17 2.4.2 Pemahaman Jemaat tentang Bencana Alam................................. 20 2.4.3 Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Jemaat Terhadap Korban Bencana Alan................................................................................ 26

2.5

Rangkuman.............................................................................................. 33

BAB III ANALISA TERHADAP SOLIDARITAS KEMANUSIAAN JEMAAT GBKP RUNGUN YOGYAKARTA DAN RUNGUN SURABAYA ................................................................................................................... ................................................................................................................... 34 ................................................................................................................... 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 Faktor Pendidikan.................................................................................... 34 Faktor Sosial-Ekonomi............................................................................ 37 Faktor Budaya.......................................................................................... 39 Sistem Manajemen Organisasi Gereja.................................................... 41 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja............................................................ 43 3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai Hukuman Allah 44 BAB IV SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD TANGGUNG JAWAB GEREJA: Refleksi Sosio-Teologis terhadap

xii

Peran GBKP ................................................................................................................... ................................................................................................................... 48 4.1 Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan.................................... 48 4.1.1Bencana Alam: Perspektif Alkitabiah............................................. 49 4.1.2Berdiri diatas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap Bencana Alam .............................................................................................. .............................................................................................. 50 4.2 Membangun Solidaritas Kemanusiaan.................................................... 54 4.2.1Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitabiah............................ 55 4.2.2Panggilan Dan Pengutusan Gereja.................................................. 58 4.3 Membangun Komunitas GBKP: Belajar Dari Orang Samaria Yang 59 4.3.1Sikap dan Tindakan GBKP: Inilah aku, utuslah aku! .............. 60 4.3.2GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan Memberdayakan .............................................................................................. .............................................................................................. 61 4.3.3Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: Rakut Sitelu ............. 63 4.3.4Tindakan GBKP: Tindakan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Baik Hati

xiii

.............................................................................................. .............................................................................................. 65 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 5.2 Kesimpulan.............................................................................................. 67 Saran........................................................................................................ 69

KEPUSTAKAAN............................................................................................................... 71 LAMPIRAN 1..................................................................................................................... 74 BIODATA........................................................................................................................... 78 PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI................................................................... 79

xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan Masyarakat kita Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir tidak henti-hentinya dilanda penderitaan. Belum juga berhasil keluar dari krisis multi-dimensi yang melanda negara kita sejak tahun 1997, lagi-lagi dihantam oleh berbagai bencana alam. Hanya sedikit negara yang pernah mengalami bencana alam dengan jumlah dan intensitas seperti yang dialami Indonesia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Bencana-bencana alam tersebut di antaranya:1 Tsunami Aceh dan pulau Nias, terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Dalam peristiwa ini telah menewaskan lebih dari 126.000 jiwa. Gempa Bumi di Alor, terjadi pada tanggal 12 November 2004. Peristiwa ini telah menewaskan 33 orang, luka ringan 147 orang, luka berat 163 orang dan total kerugian Rp 191,05 Miliar. Gempa bumi di Yogyakarta, terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Dalam peristiwa ini, sekurang-kurangnya 6.241 orang meninggal. Gelombang besar yang melanda pantai Pangandaran, terjadi pada tanggal 17 Juli 2006. Peristiwa ini telah menelan korban jiwa 653 orang. Banjir dan tanah longsor di Sulawesi Selatan, terjadi pada tanggal 20 Juni 2006. Dalam peristiwa ini telah menelan korban jiwa sebanyak 214 orang, korban hilang 64 orang, korban mengungsi 6.099 orang dan dengan total kerugian sebesar Rp 460,35 Miliar.1

Andre Vitchek, http : // pic brr.blogspot.com/2007/03/bencana alam atau pembunuhan masal. Html,download tanggal 22 Oktober 2007.

1

Banjir Lumpur di Sidoarjo, telah menyebabkan lebih dari 10.000 orang menjadi pengungsi dan merendam lebih dari 1.000 area tanah dengan lumpur panas.

Dan berbagai bencana alam di berbagai daerah lainnya. Sampai sekarang kita masih terus mengalami dampak dari bencana dahsyat di atas,

bukan saja berupa kehancuran fisik dan kehilangan ribuan nyawa tetapi juga trauma psikologis yang membutuhkan penangulangan secara serius Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam berbagai bencana alam dan jumlah korban material yang sangat besar. Banyak pendapat bermunculan tentang penyebab bencana alam ini, seiring dengan seringnya bencana alam terjadi. Ada yang berpendapat bahwa, bencana alam yang terjadi sebagai hukuman Tuhan atas kesalahan dan dosa manusia. Manusia dipandang sudah jauh dari jalan dan kehendak Tuhan. Ada yang berpendapat, bencana tersebut sebagai cobaan Tuhan kepada umat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa, bencana tersebut terjadi sebagai suatu proses alamiah. Ada juga yang berpendapat bahwa bencana ini terjadi karena kesalahan manusia sendiri yang telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa terkendali dan tidak memperhatikan kelestarian alam. Peristiwa bencana alam, telah melanda tanah air tanpa memandang bulu, bukan hanya melanda orang-orang yang berkeyakinan, suku, ras atau golongan tertentu saja. Dalam situasi seperti ini, agama dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam kaitan untuk mendukung dan menolong umatnya keluar dari penderitaan. Di dalam penderitaan dan hilangnya harapan inilah mestinya gereja hadir menjalankan fungsi profertis nya dengan menyatakan kepedulian dan solidaritasnya. Ikut merasakan dan mengambil bagian di dalam penderitaan mereka yang menjadi korban. Tetapi pada kenyataanya jawaban institusi keagamaan, khususnya gereja selama ini dinilai tidak menyentuh pergumulan umat atau

2

bahkan dianggap mengecewakan. Realitas tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Tim Penyunting buku Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, bahwa ada suatu indikasi beberapa pemimpin gereja dinilai kurang memberi perhatian (misalnya dengan alasan bahwa itu bukan anggota jemaat dan gereja kita), dan kurangnya aksi praksis pastoral dalam mendampingi dan memberdayakan mereka yang telah mengalami trauma. Selama ini gereja dinilai menenangkan umatnya dengan sebuah teologi instan, yang memandang bahwa bencana adalah ujian, cobaan dan hukuman Tuhan bukan melakukan aksi solidaritas yang membangkitkan.2 Dalam kaitan dengan ini, Gereja Batak Karo Protestan ( dalam bab-bab selanjutnya akan disingkat dengan GBKP) sebagai institusi gereja di Indonesia, secara sadar menemukan dirinya berada dalam situasi bencana ini. GBKP berada di tengah-tengah mereka yang menjadi korban yang mengalami penderitaan, kehilangan dan keputusasaan. Beberapa bencana alam yang telah terjadi secara langsung ikut mempengaruhi keberadaan GBKP, diantaranya Tsunami Aceh dan Nias yang berbatasan langsung dengan pusat GBKP, bencana alam di Yogyakarta, Lampung dan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Bagaimana GBKP dalam menyikapi situasi ini? Apa yang sudah dilakukan GBKP sebagai bagian integral dari masyarakat? Apakah bantuan yang diberikan oleh GBKP selama ini dapat memberdayakan mereka yang menjadi korban? Bagaimana gereja memposisikan diri agar bisa ber-empati dan mengupayakan kehidupan yang penuh harapan. Situasi ini menjadi suatu tantangan dan sekaligus juga menjadi tanggung jawab GBKP agar mampu menjawab pergumulan hidup jemaat dan masyarakat sesuai dengan visi dan misi GBKP.3 Dalam tulisan ini penulis akan2

Bdk.Tim Penyunting OASE INTIM: Pendahuluan dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Imam dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006, hal. 12-13 3 Visi GBKP adalah Hidup Setia Kepada Tuhan dan Misi GBKP terdiri dari 5 pokok yakni: a. Meningkatkan Peribadatan/Spiritualitas; b. Menghargai Kemanusiaan; c. Melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih; d. Mewujudkan warga yang dapat dipercaya;

3

mengkaji permasalahan ini, secara Sosio-Teologis, karena masalah bencana ini merupakan masalah sosial yang menyangkut kehidupan masyarakat luas. Solidaritas kemanusiaan yang coba dikaji di sini bukanlah sekedar solidaritas sosial dalam pengertian derma belaka, tetapi lebih dari pada itu dalam pengertian solidaritas Kristiani yang sesungguhnya yaitu berdasarkan kasih. Bukan saatnya untuk mencari kambing hitam siapa yang benar atau siapa yang salah dan bukan juga sekedar perasaan kasihan tanpa tindakan yang nyata membebaskan mereka dari penderitaan dan keterpurukan, tetapi yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaaan yang aktif. Berangkat dari pergumulan ini, penulis termotivasi untuk menggali lebih jauh, bagaimana jemaat GBKP memahami bencana alam, kesadarannya dalam menyatakan solidaritas kemanusiaan dan bagaimana upaya yang telah dilakukan GBKP dalam menghadapi bencana alam kedepan, mengingat bahwa negara kita adalah wilayah yang rawan akan terjadinya bencana alam. Di sini, GBKP diharapkan mampu membangun pemahaman warga jemaat akan pentingnya partisipasi umat dalam menghadapi bencana alam, bukan membuat gereja terkurung dalam pemahaman yang sempit tentang siapakah sesamaku. Bagaimana kehadiran GBKP mampu menjadi garam dan terang bagi sesamanya. Hal tersebut yang mendorong minat penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul: MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN dengan sub judul: Tantang Jawabe. Meningkatkan perekonomian jemaat. Dan prioritas program yang disusun dari tahun 2006-2010 yakni: Tahun 2006: Sumber Daya Manusia (SDM) Tahun 2007 : Koinonia Tahun 2008 : Marturia Tahun 2009 : Diakonia Tahun 2010 : Kemandirian Dana Visi dan misi maupun prioritas program ini berdasarkan Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-5010 disusun dan ditetapkan pada Sidang Sinode GBKP ke-33, pada tanggal 10-17 April tahun 2005 di Retreat Center GBKP Suka Makmur, visi dan misi ini masih tetap sama dengan visi dan misi GBKP pada tahun 20002005.

4

GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka penulis akan merumuskan masalah-masalah yang merupakan pokok kajian karya tulis ilmiah ini dalam tiga pertanyaan, yakni: 1. Bagaimana pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap bencana alam? 2. 3. Bagaimana solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi? Bagaimana pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan?

1.3 Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. Menguraikan pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap bencana alam. 2. 3. Memaparkan solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi. Menguraikan pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan.

1.4 Metode Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Yogyakarta, sebagai salah satu kota yang pernah dilanda bencana alam dan telah menelan

5

korban jiwa dan material yang begitu banyak dan Runggun Surabaya yang dekat dengan wilayah-wilayah yang terkena bencana alam. Wawancara dilakukan terhadap jemaat dan pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan di lapangan. Penelitian kualitataif adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok kajian. 3. Jenis Data

a) Primer: data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, melalui wawancara dan Kuisoner dengan jemaat setempat. b) Sekunder: data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok kajian. 4. Teknik Pengumpula Data

a) Melalui wawancara terhadap orang-orang yang terlibat langsung dengan masalah tersebut. b) Observasi partisipatif, yakni melakukan pengamatan langsung dan memberikan penilaian terhadap masalah tersebut. c) Menjalankan angket. 5. a) Sumber Data Populasi: yang menjadi populasi penelitian adalah seluruh jemaat GBKP Yogyakarta dan Surabaya

6

b)

Sampel: yang menjadi sampel penelitian adalah beberapa dari jemaat dan pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya.

6.

Tehnik Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan melalui pemberian penjelasan secara luas dan

mendalam, kemudian data yang diperoleh diolah secara kualitatif.

1.5 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini, tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian dengan urutan pembagiannya sebagai berikut: Bab I berisi tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang definisi solidaritas kemanusiaan dan definisi bencana alam. Dalam bab ini digambarkan secara umum jemaat lokasi penelitian, memaparkan tentang pemahaman warga jemaat terhadap bencana alam dan wujud solidaritas warga jemaat terhadap korban bencana alam. Pertama-tama dikemukakan pemahaman warga jemaat terhadap bencana alam dan selanjutnya akan dipaparkan juga kenyataan, bagaimana solidaritas jemaat terhadap korban bencana alam pada saat dan sesudah bencana terjadi. Bab III, berisi tentang analisa terhadap hasil penelitian tentang bencana alam dan wujud solidaritas kemanusiaan. Di sini penulis menganalisa hasil penelitian terhadap pemahaman bencana alam dan realitas wujud solidaritas kemanusiaan serta implikasi sosiologis yang menyertainya. Bab IV, berisi tentang bagaimana membangun Solidaritas Kemanusian, serta refleksi Sosio-Teologis terhadap peran GBKP. Selanjutnya juga membahas bencana alam yang

7

ditinjau dari perspektif alkitab sebagai respon terhadap tantang jawab GBKP dalam menghadapi bencana alam. Bab V, berisi kesimpulan, yang penulis simpulkan berdasarkan pengkajian bab-bab sebelumnya serta saran-saran bagi jemaat dan masyarakat berupa usulan dan langkahlangkah konkrit yang akan mendukung GBKP dalam menyikapi tanggung jawabnya.

8

BAB II PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA

Dalam bagian ini berisi tentang definisi bencana alam khususnya dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan definisi solidaritas kemanusiaan. Juga memaparkan gambaran umum jemaat tempat penelitian dan hasil penelitian pemahaman warga jemaat tentang bencana alam serta bentuk solidaritas warga jemaat terhadap korban bencana alam.

2.1

Solidaritas Kemanusiaan Hidup dalam lingkungan masyarakat yang mengalami penderitaan dari berbagai

aspek kehidupan adalah realitas yang kita hadapi di zaman sekarang ini. Dalam situasi ini dituntut kepekaan dan kepedulian setiap orang untuk mengambil bagian dalam penderitaan orang lain. Dibutuhkan solidaritas yang menumbuhkan semangat hidup dan tindakan yang memanusiakan manusia. Istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah hal yang baru dan bahkan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, bagian ini tetap membahas apa definisi solidaritas kemanusiaan secara umum dan bagaimana perkembangan solidaritas yang bertujuan untuk mempermudah kita dalam memahami solidaritas yang dimaksudkan dalam tulisan ini. 2.1.1 Definisi Solidaritas Kemanusiaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Solidaritas merupakan kata benda, yang berarti perasaan solider, sifat saling rasa, perasaan setia kawan. Solider adalah kata sifat yang berarti mempunyai perasaan senasib.4 Sementara, Kemanusian berarti bersifat

4

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Jakarta: Gita Media Press, hlm. 716

9

manusia.5 Dalam pengertian memiliki sifat-sifat manusia, misalnya: makan, minum, besar atau kecil, senang atau sedih, kebebasan untuk memilih dan menentukan, memiliki kehendak, perasaan, kebutuhan dan sifat-sifat lainnya. A.Heuken SJ, berpendapat bahwa solidaritas berarti semangat setia kawan, hubungan batin antara anggota satu kelompok masyarakat yang mendorong orang bertindak demi kesejahteraan bersama.6 Situasi di mana solidaritas untuk mewujudkan kemanusiaan harus dinyatakan adalah di tengah-tengah masyarakat dengan semua permasalahanpermasalahan yang dihadapi. Dengan kata lain, solidaritas berarti suatu tindakan menjadi sesama bagi orang lain. Setiap orang dituntut untuk berdiri di samping atau di dekat orangorang yang mengalami pergumulan, berada bersama mereka dan juga bergaul bersama dengan mereka, sehingga ikut merasakan apa yang mereka rasakan tanpa ada diskriminasi baik suku, agama, ras maupun antargolongan seseorang yang menyertainya. Solidaritas adalah suatu tindakan yang membangkitkan semangat hidup bukan hanya sekedar perasaan kasihan namun tidak ada tindakan nyata. 2.1.2 Solidaritas Dalam Perspektif Historis Seperti yang telah disebutkan bahwa, istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah suatu istilah yang baru dikenal. Istilah tersebut sudah dipakai sejak lama. Khususnya, dalam ruang lingkup gereja, istilah tersebut dipakai untuk menunjuk kepada ajaran sosial gereja atau yang sering kita kenal dengan istilah diakonia. Hanya saja istilah solidaritas kemanusiaan ini lebih bersifat umum. Solidaritas atau yang juga sering disebut sebagai ajaran sosial gereja ini sudah dikenal dan direfleksikan khususnya dalam Gereja Katolik Roma pada pertenggahan abad ke-19, ketika Leo XIII menjabat sebagai Paus. Tetapi awalnya, tujuan keterlibatan sosial gereja ini lebih bersifat politik yaitu untuk mencegah anggota-anggota gereja masuk5 6

Ibid, hlm. 515 A.Heuken SJ, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991, hlm. 72

10

dalam gerakan buruh Sosialis-Marxis dan berjuang untuk menegakkan kembali pengaruh gerejani dalam gerakan para buruh yang makin anti-Kristen.7 Dengan kata lain, pada awalnya gerakan solidaritas muncul bukan karena adanya kesadaran dari pihak gereja yang ingin berempati dan berbela rasa serta membebaskan umat dari penderitaan. Kemunculan gerakan Solidaritas pada pertengahan abad ke-19 ini dipicu oleh suatu revolusi industri (yang terhitung mulai dengan penemuan mesin uap tahun 1769) yang pada akhirnya menyebabkan perubahan drastis dalam hubungan masyarakat. Tidak semua orang memperoleh keuntungan dari hasil kemajuan ekonomi yang sangat diagung-agungkan oleh banyak orang. Justru revolusi industri inilah yang mengakibatkan makin banyaknya masyarakat harus hidup dalam kemiskinan. Kenyataan tersebut menyebabkan protes seorang filsuf sosial Jerman Karl Marx (1818-1883) pada tahun 1848. Ia mengkritik agama yang pada saat itu dinilainya bahwa agama adalah candu rakyat jelata yang memberi sekedar keringanan namun tidak merupakan terapi.8 Agama dinilai hanya sebagai tempat pelarian bukan untuk mengobati atau membebaskan dari penderitaan. Di sisi lain justru Karl Marx melihat bahwa revolusi industri memiliki kekuatan yang besar untuk mengadakan perubahan yang besar menuju solidaritas baru yaitu masyarakat tanpa perbedaan kelas dan penuh kebebasan. Individualisme diatasi dalam suatu kemanusiaan yang disebutnya komunisme.9 Ajaran sosial gereja akhirnya benar-benar menjadi sebuah ajaran, yaitu sebagian dari antropologi kristiani, sejak adanya perdebatan dengan kaum sosialis dan komunis. Sejak saat itu, ajaran sosial gereja bukan hanya suatu kesimpulan teori atau refleksi atas7 8

B. Kieser, SJ, Solidaritas Tahun Ajaran Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1993, hlm.39 Ibid, hlm.48 9 Ibid, hlm. 48. Komunisme yang dimaksud oleh Karl Marx adalah humanisme sebagai naturalisme sempurna; adalah naturalisme sebagai humanisme sempurna. Komunisme mengatasi konflik antara manusia dengan alam, dan konflik antara manusia dengan sesama. Diatasi konflik antara eksistensi dan esensi, antara mengungkapkan diri dan mempertahankan diri, antara kebebasan dan keharusan, antara individu dan kebersaman.

11

permasalahan sosial kaum Kristen saja. Ajaran sosial gereja mengembangkan gambaran Kristiani mengenai manusia dan panggilannya dengan implikasi sosialnya.10

2.2

Bencana Alam Meskipun bencana alam merupakan hal yang sudah lumrah bagi kita tetapi untuk

lebih memudahkan dalam memahaminya, maka dalam bagian ini penulis menjelaskan definisi bencana alam secara umum dan penggolongan dari bencana alam itu sendiri sehingga kita dapat memahaminya dengan benar. 2.2.1 Definisi Bencana Alam Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana alam adalah musibah yang ditimbulkan oleh gejala alam misalnya gempa bumi, banjir, angin puyuh, dan sebagainya.11 Bencana alam juga dipahami sebagai suatu kombinasi aktivitas alam (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir) dan aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan kerugian pada manusia.12 Menurut Muh.Aris Marfal, yang disebut sebagai bencana alam (natural disaster) adalah suatu fenomena alam yang telah terjadi dan menimbulkan kerusakan infrastruktur dan fasilitas kehidupan serta menghilangkan nyawa dan harta benda.13 Bencana alam sebagai suatu fenomena alam yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan alam dan juga dipengaruhi oleh aktifitas manusia ini terjadi di luar kendali manusia dan merusak tatanan kehidupan. Umumnya, pasca bencana banyak dampak yang ditimbulkan baik secara politik, ekonomi maupun sosial, misalnya kelaparan, pengangguran, kehilangan tempat tinggal, kehilangan

10 11

Ibid, Hlm. 15. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm.129 12 http: // id. Wikipedia. Org/ Wiki Bencana Alam Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Berbahasa Indonesia, htm, domnload tanggal 9 Februari 2008. 13 Muh. Aris Marfal, Moralitas Lingkungan : Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan, Yogyakarta : Wahana Hijau 2005, hlm.89.

12

sanak saudara, menjalarnya berbagai jenis wabah penyakit dan trauma (tekanan mental). Bencana ini tidak hanya berdampak bagi manusia saja tetapi juga bagi keseimbangan alam itu sendiri dan mahluk ciptaan lainnya. Berdasarkan berbagai definisi yang ada dapat ditemukan karakteristik bencana alam sebagai berikut:14 1. 2. Adanya kerusakan pada pola-pola kehidupan normal. Merugikan manusia, baik yang berupa kematian, luka, kesengsaraan maupun akibat negatif pada kesehatan, dan merubah tatanan hidup mahluk yang lain. 3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan sistem pemerintah, bangunan komunukasi dan berbagai pelayanan umum utama lainnya. 4. Munculnya kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal atau penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan dan pelayanan sosial.

2.2.2

Penggolongan Bencana Alam Berdasarkan proses terjadinya, maka bencana alam dapat di kelompokkan menjadi

2 bagian yaitu: 15 1. Bencana akibat alam (proses alamiah), adalah yang dikategorikan sebagai sesuatu given dan di luar kuasa dan kendali manusia, yang tidak dapat dihindari14

Soetarso, Siklus Penanggulangan Bencana, Disampaikan pada Raker SATLAK PB seluruh Indonesia di Yogyakarta dan Ujungpandang,1997. 15 Direktur Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana, Direktorat Jenderal Pemerintah Umum Departemen DAlam Negeri, Peran Polisi Pamong Praja dan Linmas dalam Menghadapi Bencana Alam, Jakarta 9-11 Mei 2005.

13

kedatangannya. Bencana alam ini terdiri dari: letusan gunung berapi, banjir lava, angin topan, gempa bumi dan tsunami. 2. Bencana akibat kombinasi faktor alam dan faktor ulah manusia, bencana yang mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungannya, karena kecerobohan manusia dan sikap angkuh manusia yang melakukan tindakan destruktif-eksploitatif alam tanpa batas. Alam hanya dilihat sebagai sumber pemenuhan dan kepuasan manusia. Bencana yang ditimbulkan antara lain: banjir dan tanah longsor.

2.3

Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian Mengingat bahwa wilayah pelanyanan GBKP sangat luas dan tidak mungkin untuk

dijangkau secara keseluruhan, maka penulis memilih 2 tempat sebagai objek penelitian. Ke-2 tempat yang dimaksud adalah Runggun16 Yogyakarta dan Runggun Surabaya. Penulis memilih ke-2 tempat ini sebagai objek penelitian dengan pertimbangan bahwa Runggun Yogyakarta berada di pusat kota Yogyakarta sebagai salah satu wilayah yang pernah dilanda bencana besar pada tanggal 25 Mei 2005 silam dan telah menelan banyak korban jiwa dan material. Runggun Surabaya sebagai salah satu jemaat GBKP yang dekat dengan wilayahwilayah yang terkena bencana alam. 2.3.1 GBKP Runggun Yogyakarta Runggun Yogyakarta yang beralamat di Jln. Monumen Yogya kembali Nandan 09/39 Sari Harjo, Ngaglik Slemen ini, terdiri dari 23 KK dengan jumlah anggota jemaat 509 orang.17 Anggota jemaat didominasi oleh mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di kota Yogyakarta. Rata-rata jemaat yang hadir setiap hari minggunya adalah sekitar 160-17016

Istilah Runggun yang digunakan dalam tulisan ini menunjuk kepada Jemaat. Selanjutnya dalam tulisan ini untuk menunjuk kepada suatu jemaat akan tetap mempergunakan istilah runggun. 17 Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta tahun 2007

14

orang. Kondisi ini dipengaruhi karena tidak semuanya mahasiswa yang ada aktif di GBKP Yogyakarta.18 Majelis Jemaat yang melayani di jemaat ini berjumlah 10 orang, yang terdiri dari 5 orang Penatua dan 5 orang Diaken, dan 1 orang PKPW (Pelayan Khusus Penuh Waktu) yakni Pdt. Immanuel Suranta Perangin-angin, S.Th sebagai pendeta jemaat. Dalam jemaat ini semua organisasi kategorial seperti: Mamre (Kaum Bapak), Moria (Kaum Ibu), Permata (Kaum Pemuda), KA/KR (Anak-anak dan Remaja), dan Pardis (orang Tua Lanjut Usia) berjalan dengan baik. Masing-masing organisasi kategorial memiliki kepengurusan tersendiri yang bertujuan untuk memudahkan semua pelayanan yang ada. Jemaat Yogyakarta terdiri dari 2 perpulungen/sektor pelayanan yaitu sektor Utara dan Selatan dan masing-masing sektor juga memiliki pengurus yang bertanggung jawab terhadap sektor pelayanannya. 2.3.2 GBKP Runggun Surabaya Runggun Surabaya resmi ditahbiskan menjadi sebuah Runggun beserta dengan gedung gerejanya pada tanggal 16 November 1997, tetapi gedung gereja tersebut sudah dipergunakan sejak tanggal 25 Desember 1984. Gereja yang beralamat di Jln. Hr Muhammad 275 Kav.411 RT.III/ RW.1 Pradah Kali Kedal ini berada dalam wilayah pelayanan Klasis Jakarta-Bandung. Runggun Surabaya ini berjumlah 90 KK (Sektor I = 30 KK, Sektor II =42 KK dan Sektor III = 18 KK).19 Majelis jemaat yang melayani berjumlah 19 orang, yang terdiri dari: 8 orang Penatua, 8 orang Diaken, 2 orang Penatua Emeritus dan 1 orang Diaken Emeritus. Pelayan Khusus Penuh Waktu (PKPW) yang melayani jemaat ini adalah Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, S.Th. Semua Organisasi kategorial dalam jemaat ini berjalan dengan baik, baik itu organisasi Mamre (Kaum Bapak), Moria (Kaum Ibu), Permata (Permata), dan18

Madison Ginting (Ketua Majelis GBKP Yogyakarta), Wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008, di Yogyakarta. 19 Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Surabaya Tahun 2008

15

KA/KR (Anak-anak dan Remaja). Masing-masing organisasi kategorial tersebut memiliki jadwal pelayanan tersendiri. Baik organisasi-organisasi kategorial maupun ke-3 sektor pelayanan yang ada memiliki kepengurusan yang bertanggung jawab mengkoordinir pelayanan masing-masing sektor dan organisasi kategorial.

2.4

Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat terhadap Bencana Alam Untuk mendapatkan pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam dan

solidaritas terhadap korban bencana alam, maka penulis melakukan penelitian dengan mengedarkan kuesioner dan melakukan wawancara. Jumlah kuesioner yang dibagikan sebanyak 175, di Runggun Yogyakarta diedarkan sebanyak 100 lembar dan Runggun Surabaya sebanyak 75 lembar. Jumlah kuesioner yang kembali sebanyak 149, di Runggun Yogyakarta terkumpul sebanyak 85 lembar dan di Runggun Surabaya sebanyak 64 lembar. Sementara ada 26 lembar kuesioner yang tidak kembali; 15 lembar di Runggun Yogyakarta dan 11 lembar di Runggun Surabaya. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi sehingga tidak semua kuesioner terkumpul, ada responden yang belum mengisi kuesioner hingga batas waktu pengumpulan dan ada juga yang membawa kerumah tetapi tidak dikembalikan. Dari penelitian yang dilakukan dari bulan JanuariFebruari 2008, penulis memperoleh gambaran pemahaman warga jemaat GBKP tentang bencana alam dan solidaritas kemanusiaan. Hal ini dapat ditelusuri dalam variabel-variabel di bawah ini. Untuk memudahkan analisa data terhadap seluruh hasil penelitian maka dipergunakan rumus:20 F P20

Keterangan : : Prosentase Yang Dipakai : Frekuensi Jawaban

Surachmat Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Bandung : Tarsito, 1972, hlm.8

F

N : Jumlah Sample 16

P=

_____

X 100 %

N

2.4.1 1.

Data Responden Umur Responden Tabel 1 Kategori Umur Responden

Runggun Yogyakarta F P a. 17-25 Tahun 27 31,8 % b. 26-55 Tahun 42 49,4 % c. 56-64 Tahun 11 12,9 % d. 65 Tahun Keatas 5 5,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari Februari 2008

Kategori Umur

Runggun Surabaya F P 39 60,9 % 17 26,6 % 8 12,5 % 64 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, baik di runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya responden didominasi oleh jemaat yang berumur 26-55 tahun. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden yang berusia 26-55 tahun sebanyak 42 orang (49,4 %) dan responden yang berusia 17-25 tahun berjumlah 27 orang (31,8 %). Sementara di Runggun Surabaya responden yang berusia 26-55 tahun berjumlah 39 orang (60,9 %), jauh berbeda dengan jumlah responden yang berusia lain. 2. Jenis Kelamin Responden Tabel 2 Kategori Jenis Kelamin Responden Runggun Yogyakarta F P a. Laki-laki 46 54,1 % b. Perempuan 39 45,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari Februari 2008 Kategori Jenis Kelamin Runggun Surabaya F P 39 60,9 % 25 39,1 % 64 100%

17

Tabel di atas menunjukkan bahwa, di Runggun Yogyakarta dan di Runggun Surabaya responden didominasi oleh laki-laki. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden laki-laki sebanyak 46 orang (54,1 %), sementara responden perempuan 39 orang (45,9 %). Di Runggun Surabaya jumlah responden laki-laki sebanyak 39 orang (60,9 %), sementara responden perempuan 25 orang (39,1 %). 3. Pekerjaan Responden Tabel 3 Kategori Pekerjaan Responden Runggun Yogyakarta F P a. PNS 40 47,1 % b. Pengawai Swasta 18 21,2 % c. Pedagang 2 2,3 % d. Petani e. Lainnya.. 25 29,4 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari- Februari 2008 Kategori Pekerjaan Runggun Surabaya F P 23 35,9 % 29 45,4 % 5 7,8 % 7 10,9 % 64 100%

Tabel di atas menunjukkan pekerjaan responden/jemaat. Di Runggun Yogyakarta pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai Negri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 40 orang (47,1 %). Sementara di Runggun Surabaya pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai Swasta yakni 29 orang (45,4 %); akan tetapi, responden di ke-2 Runggun di dominasi memiliki pekerjaan sebagai PNS dan Pegawai Swasta. 4. Pendidikan Responden Tabel 4 Kategori Pendidikan Responden Kategori Pendidikan a. TK/SD b. SMP/Sederajat c. SMU/Sederajat Runggun Yogyakarta F P 12 14,1 % 23 27,3 % Runggun Surabaya F P 10 15,6 % 11 17,2 %

18

d. Akademi/Perguruan 49 57,6 % Tinggi Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

43 64

67,2 % 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa baik di ke-2 Runggun pendidikan terakhir responden didominasi tingkat Akademi/Perguruan Tinggi. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden yang memiliki pendidikan terakhir Akademi/Perguruan Tinggi adalah sebanyak 49orang (57,6 %) dan di Runggun Surabaya sebanyak 43 orang (67,2 %).

5.

Status Responden dalam Jemaat Table 5 Kategori Status Responden dalam Jemaat

Kategori Status dalam Runggun Yogyakarta Jemaat F P a. Majelis Jemaat 10 11,8 % b. Pengurus Organisasi 20 23,5 % c. Anggota Jemaat Biasa 55 64,7 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 19 29,7 % 13 20,3 % 32 50 % 64 100 %

Tabel di atas menunjukkan bahwa, status responden dalam jemaat didominasi oleh anggota jemaat biasa. Hal di atas juga berlaku baik di Runggun Yogyakarta dengan jumlah responden jemaat biasa sebanyak 55 orang (64,7 %) dan di Runggun Surabaya jumlah responden sebagai jemaat biasa berjumlah 32 orang (50 %).

19

2.4.2 1.

Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam Pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam Tabel 6 Kategori Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam

Kategori tentang Runggun Yogyakarta Pemahaman Bencana Alam F P a. Bencana merupakan 34 40 % proses alamiah b. Bencana Merenggut nyawa manusia c. Bencana merusak tatanan 21 24,7 % hidup d. Jawaban a dan b benar 23 27,1 % e. Lainnya 7 8,2 % Jumlah 85 100 % Sumber:hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 12 18,7 % 24 20 8 64 37,5 % 31,3 % 12,5 % 100 %

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, melalui pertanyaan pemahaman warga jemaat tentang bencana alam ada perbedaan pemahaman diantara ke-2 Runggun. Jawaban responden/jemaat di Runggun Yogyakarta didominasi dengan jawaban bahwa bencana alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian, dengan jumlah responden 34 orang (40 %). Sedangkan di Runggun Surabaya 24 orang (37,5 %) menjawab bahwa bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain. Jawaban para responden tersebut hampir sama dengan pendapat para ahli yang telah disinggung sebelumnya mengenai definisi bencana alam.

20

Gambar di atas menunjukan kondisi pasca gempa bumi di Yogyakarta , Mei 2006

2.

Penyebab terjadinya bencana alam: gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Tabel 7 Kategori Penyebab Terjadinya Bencana Alam

Kategori Penyebab Bencana Runggun Yogyakarta Alam F P a. Hukuman Tuhan 17 20 % b. Ulah manusia 3 3,5 % c. Gejala alam 4 4,7 % d. Faktor alam dan manusia 56 65,9 % e. Lainnya 5 5,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 11 17,2 % 4 6,3 % 3 4,7 % 37 51,8 % 9 14,1 % 64 100 %

21

Tabel di atas merupakan jawaban dari pertanyaan penyebab terjadinya bencana alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami dan letusan gunung berapi). Baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, jawaban responden tentang penyebab bencana alam didominasi oleh faktor alam dan manusia. Jumlah responden dengan jawaban tersebut di Runggun Yogyakarta sebanyak 56 orang (65,9 %) dan di Runggun Surabaya berjumlah 37 orang (51,9 %). Sementara responden berjumlah 17 orang (20 %) di Runggun Yogyakarta berpendapat bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan 11 orang (17,2 %) di Runggun Surabaya yang menjawab demikian.

3.

Pemahaman Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo. Tabel 8 Kategori Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo

Kategori Bencana Alam Runggun Yogyakarta Yogyakarta dan Lapindo F P a. Murka Alam 4 4,7 % b. Proses Alamiah 52 61,1 % c. Hukuman Tuhan 21 24,7 % d. Penyalahgunaan IPTEK e. Lainnya 7 8,2 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 6 9,4 % 15 23,4 % 43 67,2 % 64 100 %

Tabel di atas menunjukkan pemahaman warga jemaat tentang bencana alam yang terjadi di Yogyakarta dan Lumpur Lapindo di Surabaya. Dapat dilihat bahwa di Runggun

22

Yogyakarta paling banyak responden memahami bahwa bencana alam di Yogyakarta pada akhir bulan Mei 2005 merupakan suatu proses alamiah yaitu sebanyak 52 orang ( 61,2 %) Sementara responden yang menjawab bencana alam Yogyakarta sebagai hukuman Tuhan sebanyak 21 orang (24,7 %), dengan alasan sebagai peringatan agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Pemahaman responden di Runggun Surabaya tentang Lumpur Lapindo didominasi oleh jawaban akibat penyalahgunaan IPTEK, yakni sebanyak 43 orang (67,2 %). Sedangkan 15 orang (23,4 %) melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Warga jemaat yang melihat Lumpur Lapindo sebagai hukuman Tuhan memahami bahwa kerakusan manusia yang mengeksploitasi alam dengan memakai alat-alat teknologi mutahir tidak lagi menjaga kelestarian alam sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini dilihat sebagai alasan bagi Allah untuk menghukum dan mengingatkan manusia.21 Pertanyaan selanjutnya (9) masih berkaitan dengan pertanyaan di atas mengenai pendapat warga jemaat tentang bencana alam, khususnya tsunami di Aceh. Di Runggun Yogyakarta 48 orang berpendapat bahwa tsunami di Aceh merupakan hukuman Tuhan bagi warga Aceh, dengan alasan bahwa pemeluk agama Islam di sana melarang kekristenan bertumbuh; melarang umat Kristen merayakan natal; Aceh mempunyai banyak dosa karena sebagai daerah pemasok ganja dan untuk mengingatkan masyarakat Aceh agar tidak sombong dan lupa kepada Allah. Sedangkan 37 orang berpendapat bahwa tsunami di Aceh terjadi sebagai proses alamiah dan didukung oleh prilaku manusia yang mengeksploitasi alam terus-menerus.22

21

Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Surabaya, tanggal 3 dan 6 Februari 2008. 22 Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Yogyakarta, tanggal 13 Januari 2008.

23

Sementara di Runggun Surabaya, 41 orang berpendapat tsunami Aceh terjadi sebagai hukuman Tuhan dengan berbagai alasan yang tidak jauh berbeda dengan warga jemaat di Runggun Yogyakarta, di antaranya:23 banyak masyarakat di aceh yang tidak lagi bermoral karena di Aceh sering terjadi pertikaian dan peperangan; masyarakat muslim di Aceh memusuhi mereka yang non Muslim; kesombongan sebagai daerah istimewa dan sebagai daerah serambi Mekah yang mayoritas Muslim; pemeluk agama Islam di Aceh melarang Kekristenan, khususnya pelarangan merayakan hari Natal pada bulan Desember 2006 silam, sehingga bencana ini dilihat sebagai momentum bagi Allah untuk menghukum orang Aceh. Sedangkan 23 orang beranggapan bahwa tsunami di Aceh merupakan suatu proses alamiah dan akibat ulah manusia yang merusak alam sehingga bencana tersebut dapat dijelaskan secara ilmu pengetahuan.

5.

Dari mana pemahaman warga jemaat tentang bencana alam dibangun. Tabel 10 Kategori pemahaman warga jemaat tentang dari mana pemahaman bencana dibangun.

Dari mana Pemahaman Warga Jemaat di Banggun a. Alkitab/ Ajaran Gereja

Runggun Yogyakarta F P 38 44,7 %

Runggun Surabaya F F 28 43,8 % 21 11 4 64 32,8 % 17,2 % 6,2 % 100 %

b. Pendidikan Formal 27 31,8 % c. Pengalaman 14 16,4 % d. Lainnya 6 7,1 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, mengenai dari mana pemahaman warga jemaat tentang bencana alam dibanggun baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun23

Data yang diperoleh berdasarkan hasil Quesioner dan wawancara penulis dengan beberapa Warga Jemaat Runggun Surabaya, tangggal 3 dan 6 Februari 2008.

24

Surabaya, jawaban responden didominasi oleh jawaban bahwa pemahaman mereka di bangun melalui alkitab/ajaran gereja dan pendidikan formal. Di Runggun Yogyakarta responden yang menjawab melalui alkitab/ajaran gereja berjumlah 38 orang (44,7 %) dan melalui pendidikan formal berjumlah 27 orang (31,8 %) dan di Runggun Surabaya melalui alkitab/ajaran gereja berjumlah 28 orang (43,8 %) dan melalui pendidikan formal sebanyak 21 orang (32,8 %). Pertanyaan selanjutnya (11) adalah mengenai pendapat warga jemaat tentang bencana alam menurut pemahaman budaya suku Karo. Di Runggun Yogyakarta, 26 orang menjawab bahwa bencana alam berkaitan dengan kepercayaan nenek moyang yang menghargai, menghormati dan mencintai alam. Sedangkan 59 orang mengaku tidak memahami tentang budaya Karo. Sementara di Ruggun Surabaya, 50 orang memahami bahwa bencana alam terjadi akibat kemarahan nenek moyang sebab manusia tidak lagi memelihara alam dan tidak menjaga keseimbangan alam. Sedangkan 14 orang tidak tahu kaitannya dengan budaya Karo. 2.4.3 Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat Terhadap Korban Bencana Alam 1. Perasaan Jemaat Terhadap Korban Bencana Alam Tabel 12 Kategori Perasaan Warga Jemaat Perasaan Terhadap Korban Runggun Yogyakarta Bencana Alam F P a. Sedih 11 12,9 % b. Prihatin 62 72,9 % c. Takut dan cemas d. Biasa-biasa saja 5 5,9 % e. Lainnya 7 8,2 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008 Runggun Surabaya F P 3 4,7 % 54 84,4 % 3 4,7 % 4 6,3 % 64 100 %

25

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, perasaan warga jemaat terhadap korban bencana alam, baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya jawaban responden didominasi oleh perasaan prihatin. Jumlah responden yang merasa prihatin terhadap korban bencana alam di Runggun Yogyakarta sebanyak 62 orang (72,9 %) dan di Runggun Surabaya berjumlah 54 orang (84,4 %).

Gambar di atas adalah POSKO bantuan yang di bentuk oleh GBKP

Gambar di atas menunjukan beberapa warga jemaat membersihkan puing puing reruntuhan rumah penduduk

2.

Bentuk Solidaritas Terhadap Korban Bencana Alam yang Terjadi di Yogyakarta dan Sidoarjo Tabel 13 Kategori Bentuk Solidaritas

Runggun Yogyakarta F P a. Dukungan Moral 23 27,1 % b. Dukungan Material 15 17,7 % c. Terjun Kelapangan 15 17,7 % d. Berdiam Diri e. a dan b 32 37,6 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Bentuk Solidaritas

Runggun Surabaya F P 12 18,8 % 15 23,4 % 37 57,8 % 64 100 %

26

Tabel di atas menunjukkan bahwa, bentuk solidaritas di ke-2 Runggun terhadap korban bencana alam lebih banyak berupa dukungan moral dan material, yaitu di Runggun Yogyakarta dengan jumlah responden 32 orang (37,6 %) dan di Runggun Surabaya sebanyak 37 orang (57,8 %). Namun ada juga perbedaan di antara ke-2 Runggun tersebut, responden di Runggun Yogyakarta ada 15 orang (17,7 %) yang menyatakan solidaritas dengan langsung terjun ke lapangan, sementara di Runggun Surabaya sama sekali tidak ada responden yang terjun kelapangan. Adanya perbedaan ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa gempa bumi di Yogyakarta dominan dipahami sebagai suatu proses alamiah yang tidak dapat dihindari, sedangkan menurut responden di Surabaya penyebab lumpur lapindo lebih dominan dipahami karena kelalaian manusia sendiri.

3.

Kriteria dalam Menyatakan Solidaritas : SARA ? Pada Pertanyaan berikutnya adalah apakah bentuk Solidaritas jemaat ditentukan

oleh latar belakang Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Di Runggun Yogyakarta 38 orang (44,7 %) menjawab bahwa Solidaritas ditentukan oleh SARA. Ada 47 orang (55,3 %) menjawab bahwa solidaritas tidak ditentukan oleh latar belakang SARA dengan alasan semua manusia merupakan ciptaan Tuhan dan pada kenyataanya bencana juga menimpa seseorang tanpa melihat latar belakang SARA. Pandangan seperti ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan sosial jemaat yang umumnya berada dalam lingkungan yang plural. Sedangkan di Runggun Surabaya, 34 orang ( 53,1 %) menjawab solidaritas ditentukan oleh latar belakang SARA dan 30 orang (46,8 %) menjawab bahwa semua orang yang menderita harus ditolong sebagai wujud kasih yang diajarkan oleh Yesus Kristus tanpa membeda-bedakan apapun termasuk SARA. Baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, responden yang menjawab bahwa solidaritas ditentukan oleh latar

27

belakang SARA memberi beberapa alasan yakni: bantuan yang diberikan kepada mereka yang memiliki latar belakang SARA yang sama dengan kita akan lebih terjamin dan sampai pada sasaran dan SARA dipandang sebagai suatu ikatan yang sangat menyentuh emosi setiap orang.24

4.

Jenis Bantuan yang Paling Tepat diberikan kepada Korban bencana alam Baik di Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya, melihat bahwa jenis bantuan yang paling tepat diberikan kepada korban bencana alam adalah kebutuhan pokok (sandang dan pangan), serta memberi dukungan moral (doa) dengan maksud untuk menghindari terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan memberi semangat. Halhal tersebut dinilai sebagai kebutuhan yang paling penting setelah para korban bencana alam kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, sanak saudara, trauma dan lainnya.

5.

Tindakan Gereja terhadap Korban Bencana Alam: Bantuan jangka pendek (karikatif) dan jangka panjang ( pemulihan secara holistik) Di Runggun Yogyakarta, 29 orang (34,1 %) dari 85 responden menjawab bahwa gereja sudah bertindak dengan memberi bantuan berupa doa maupun material, contohnya ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada bulan Mei 2006, Runggun Yogyakarta khususnya bekerja sama dengan PARPEM GBKP (bidang Partisipasi Pembangunan) mendirikan POSKO di Bantul. Sementara 56 orang (65,9 %) menjawab gereja sudah bertindak tetapi tidak berkelanjutan.

24

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa warga jemaat.

28

Sementara di Runggun Surabaya, 49 orang (76,6 %) dari 64 responden menjawab gereja sudah memberi bantuan kepada korban bencana alam berupa moral dan material. Ada 15 orang (23,4 %) menjawab bahwa gereja belum memiliki sarana yang memadai untuk memberi bantuan yang maksimal kepada korban bencana alam.

Gambar di atas adalah gedung sekolah yang hancur akibat gempa

Barang-barang yang akan dibagikan kepada korban

6.

Cara Penyaluran Solidaritas : Pribadi (Individu) atau Institusi ( Gereja). Pada tabel berikutnya tentang cara penyaluran solidaritas. Di Runggun Yogyakarta, sebanyak 19 orang (22,4 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi. Ada 45 orang (52,9 %) menjawab secara institusi serta 21 orang (24,7 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi maupun institusi. Sementara, di Runggun Surabaya, 17 orang (26,6 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi, 43 orang (67,2 %) memberi bantuan secara institusi dan 4 orang (6,3 %) memberi bantuan secara pribadi maupun institusi. Mereka yang memilih menyalurkan bantuan secara institusi beralasan bahwa penyaluran bantuan akan lebih

29

terorganisir, efisien dan bantuan yang diberikan dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bantuan secara pribadi dan mereka yang memilih memberi bantuan secara pribadi beralasan bahwa gereja dianggap terlalu lamban bertindak dan kebutuhan yang akan diberikan dianggap lebih bermanfaat bagi korban dan tepat sasaran sehingga dapat langsung dipergunakan oleh para korban.

7.

Peran Gereja dalam Mensosialisasikan bencana Alam Tabel 17 Kategori Pengsosialisasian Bencana Alam oleh Gereja

Pengsosialisasian Bencana Runggun Yogyakarta Alam F P a. Belum pernah 17 20 % b. Sering 29 34,1 % c. Jarang 39 45,9 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 13 20,3 % 18 28,1 % 33 51,6 % 64 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, di Runggun Yogyakarta responden didominasi oleh jawaban bahwa gereja masih jarang melakukan pengsosialisasian bencana alam yakni berjumlah 39 orang (45,9 %) . Sementara di Runggun Surabaya responden yang menjawab gereja masih jarang mensosialisasikan bencana alam kepada jemaat berjumlah 33 orang (51,6 %). Perbandingan antara jumlah responden yang menjawab sudah sering dan masih jarang jauh berbeda, khususnya di Runggun Surabaya.

8.

Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam Tabel 18 Kategori Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam

Cara Mencegah/ mengatasi

Runggun Yogyakarta

Runggun Surabaya

30

Bencana Alam F P a. Perlu 85 100 % b. Tidak perlu c. Lainnya Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

F 64 64

P 100 % 100 %

Tabel di atas menunjukkan bahwa baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya seluruh responden menjawab bahwa mereka merasa perlu untuk mengetahui cara-cara mencegah atau mengatasi bencana alam.

9.

Sosialisasi atau Penjelasan Gereja tentang Bencana Alam Tabel 19 Kategori Sosialisasi Gereja Tentang Bencana Alam

Sosialisasi Gereja tentang Runggun Yogyakarta Bencana Alam F P a. Melalui Khotbah 44 51,8 % b. Melalui PA/Diskusi 19 22,4 % c. Seminar/ Ceramah 10 11,8 % d. Lainnya 12 14,1 % Jumlah 85 100 % Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Runggun Surabaya F P 17 26,6 % 24 37,5 % 8 12,5 % 15 23,4 % 64 100 %

31

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa selama ini cara gereja dalam memberi penjelasan atau mensosialisasikan bencana alam di ke-2 Runggun berbeda. Di Runggun Yogyakarta 44 orang (51,8 %) responden menjawab bahwa gereja memberi penjelasan mengenai bencana alam melalui khotbah dan melalui PA/diskusi berjumlah 19 orang (22,4 %). Sementara di Runggun Surabaya, responden menjawab selama ini gereja justru memberi penjelasan tentang bencana alam lebih banyak melalui PA atau diskusi yakni 24 orang (37,5 %) dibanding dengan melalui khotbah yang berjumlah 17 orang (26,6 %). Walaupun sebenarnya selisih jumlah ini tidak terlalu jauh

2.5

Rangkuman Warga jemaat dalam memahami bencana alam, umumnya lebih dominan melihat

peristiwa tersebut sebagai suatu proses alamiah dan dipicu oleh prilaku manusia yang tidak menghargai alam, daripada melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa, pemahaman warga jemaat sudah mulai terbuka. Tetapi perkembangan tersebut belumlah merata. Oleh karena itu, pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman Tuhan karena dosa manusia, akan lebih banyak dikaji dari pada pengaruh proses alamiah atau prilaku manusia.

32

Peristiwa bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat serius baik bagi manusia maupun bagi ciptaan lainnya. Khususnya dalam kaitan menunjukkan solidaritas, umumnya warga jemaat sudah mewujudkannya tetapi, bantuan yang diberikan selama ini belum maksimal dan masih bersifat karitatif dan temporer. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemahaman dan bentuk solidaritas warga jemaat tersebut. Faktor-faktor yang dimaksud dianalisa dalam bab selanjutnya.

33

BAB III ANALISA TERHADAP PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA

Dalam bagian ini penulis menganalisa hasil penelitian yang telah dilakukan, seperti yang terlihat pada kolom-kolom dan penjabaran dalam BAB II. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka ada dua hal mendasar yang dapat dijabarkan yaitu pemahaman tentang bencana alam dan bentuk tindakan solidaritas kemanusiaan. Dari hasil penelitian tersebut maka ada beberapa faktor yang dianalisa dalam bagian ini berkaitan dengan pemahaman warga jemaat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor pendidikan, faktor sosial-ekonomi, sistem manajemen organisasi gereja, faktor budaya dan faktor tradisi dan ajaran alkitab.

3.1 Faktor Pendidikan Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dan menentukan cara pandang serta cara pikir seseorang dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupan, dalam hal ini untuk memandang bencana alam yang terus-menerus melanda masyarakat Indonesia. Cara pandang mereka yang hanya mengenyam tingkat pendidikan Sekolah Menenggah Pertama (SMP) dengan mereka yang sempat mengenyam bangku pendidikan sampai di Perguruan Tinggi (PT) pasti akan sangat berbeda.25 Faktor pendidikan ini sangat jelas terlihat pada perbedaan pemahaman warga jemaat tentang penyebab terjadinya bencana alam. Memang secara umum jemaat GBKP di ke-2

25

Pt. Madison Ginting, wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008 di Yogyakarta.

34

Runggun tersebut sudah menikmati dan memiliki pendidikan yang tinggi tetapi masih ada juga anggota jemaat yang masih berpendidikan rendah. Pada umumnya jawaban warga jemaat didominasi oleh pemahaman bahwa bencana alam disebabkan oleh faktor alam. Sangat dapat dipahami bahwa mereka yang melihat bencana alam sebagai suatu proses alamiah (dan yang didukung oleh prilaku manusia), umumnya berpendidikan tinggi yang tentunya dipengaruhi juga oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang mereka peroleh dari bangku pendidikan. Mereka selalu berusaha mencari jawaban ilmiah terhadap suatu peristiwa, misalnya jawaban ilmu pengetahuan (geologi) terhadap penyebab terjadinya bencana alam. Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi pemahaman tentang bencana alam dan berkaitan erat dengan faktor pendidikan ini adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Bencana alam walaupun tidak dapat diprediksi kedatangannya tetapi dapat dijelaskan penyebab dan proses terjadinya. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor dapat dijelaskan dengan bantuan IPTEK. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan secara gamblang dan memberikan bukti yang kuat mengapa wilayah Indonesia sangat rentan terjadinya berbagai bencana alam. Menurut ilmu geologi, hal ini dipengaruhi oleh letak geologis Indonesia yang ada diantara 3 lempeng dunia yang cukup aktif (Triple Junction Plate Convergence). Tiga lempengan tersebut yang dimaksud adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik yang bergerak relatif ke barat dan utara terhadap eurasia . 26 Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor juga dapat dijelaskan penyebabnya. Selain karena memang faktor gejala alam itu sendiri, jenis bencana alam tersebut terjadi karena dipicu oleh perilaku manusia, misalnya: pola hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya konsumeristik, penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan26

Subandono Diposaptono Budiman, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: Sarana Komunikasi Utama, 2008, hlm. 15

35

dan tindakan lainnya. Menurut Palulun Boroh dalam buku Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan hidup, berpendapat bahwa terjadinya bencana alam yang pernah dan sedang dialami oleh dunia sekarang ini, bahkan akan terus meningkat pada masa yang akan datang, ternyata akar masalahnya lebih dominan pada ulah manusia sendiri yang dengan semenamena memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) tanpa mengindahkan norma-norma ekosistem yang ada.27 Pandangan tersebut diungkapkan dalam sebuah kalimat oleh Mahatma Gandhi bahwa:28 Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup menyediakan untukketamakan setiap orang .

Jelaslah bahwa, bencana alam merupakan suatu proses alamiah juga didukung oleh perilaku manusia yang tidak menghargai alam demi kesejahtraan hidupnya. Manusia memiliki peran yang sangat besar atas kehancuran yang sedang terjadi pada alam (hal ini sama seperti yang dipahami oleh warga jemaat berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. lih. tabel 7 tentang penyebab terjadinya Bencana alam). Warga jemaat yang memiliki pemahaman bencana alam sebagai hukuman Tuhan umumnya berpendidikan rendah dan juga dominan berusia 56 tahun keatas. Walaupun mereka sudah bersentuhan langsung dengan kemajuan zaman dan IPTEK yang dapat memberi penjelasan secara ilmiah, namun realitasnya pemahaman tradisional yang sudah lama membentuk pola pikir mereka sulit untuk diubah. Pengalaman adalah bagian dari proses pendidikan. Pengalaman akan bencana alam yang telah terjadi menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat. Pengalaman ini dapat membantu masyarakat kita untuk mengenali bencana alam sehingga tidak tergesa-gesa

27

Palulun Boroh, Sumber Bencana : Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim , dalam Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup, penyunting: Markus Rani, SulSel: SULO, 2006, hlm. 85. 28 Victor Tinambunan, GEREJA DAN ORANG PERCAYA: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditenggah Krisis Multi Dimensi, L-SAPA STT HKBP, Pematangsiantar, 2006, hlm. 62.

36

dalam menyimpulkan apakah bencana alam suatu hukuman, merupakan bagian dari proses alamiah atau bahkan akibat dari perilaku manusia sendiri. Dari pengalaman ini akhirnya timbul pengetahuan dalam menghadapi bencana alam sehingga dapat mengurangi jumlah korban jiwa maupun material bahkan juga mengurangi kerusakan pada alam itu sendiri. Faktor pendidikan dalam mewujudkan solidaritas kepada korban bencana alam juga memiliki peran yang sangat penting. Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis, warga jemaat dominan berpendidikan tinggi. Kenyataan ini tentunya memberi gambaran bahwa warga jemaat memiliki potensi dan sumber daya. Dengan kata lain, potensi mereka dapat digunakan untuk membantu para korban apakah itu dari segi kesehatan, keterampilan, pekerjaan atau aspek lainnya. Hanya saja potensi tersebut belum dimaksimalkan.

3.2 Faktor Sosial-Ekonomi Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tampaknya telah disadari oleh warga jemaat secara umum. Banyaknya penderitaan yang dialami masyarakat, khususnya yang ditimbulkan oleh berbagai bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, telah mendorong warga jemaat untuk bersolider terhadap mereka yang menjadi korban. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka, baik berupa moral maupun material (misalnya: membuka dapur umum, melakukan kunjungan kasih, pembagian sembako, membantu pembuatan tenda-tenda pengungsian dan lain-lain).29 Kepekaan sosial (walaupun masih dibayang-bayangi oleh SARA - pokok ini akan dibahas dalam faktor budaya) yang dimiliki oleh warga jemaat menunjukkan bahwa memang ada usaha untuk membantu meringankan atau ikut mengambil bagian dalam29

Berdasarkan hasil laporan kegiatan panitia Posko GBKP peduli korban bencana alam Runggun Yogyakarta.

37

penderitaan orang lain, tetapi pelayanan yang dilakukan belum maksimal. Para korban belum bisa sepenuhnya keluar dari penderitaanya. Tindakan yang selama ini dilakukan menunjukkan, bahwa masih minimnya pelayanan yang bersifat memberdayakan para korban, jenis pelayanan masih bersifat derma. Salah satu faktor penting yang selalu menjadi kendala dalam melakukan pelayanan adalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa, kemampuan dari segi ekonomi akan sangat menentukan tingkat pelayanan yang dapat dilakukan oleh gereja. Sejauh mana gereja dapat menjangkau pergumulan para korban. Tetapi jika dilihat dari segi ekonomi/pekerjaan warga jemaat di ke-2 Runggun walaupun tidak merata (lih. tabel 3 tentang Pekerjaan Responden), mereka mestinya mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Sangat disayangkan bantuan atau pelayanan gereja yang diberikan selama ini, belum maksimal dan tidak berkelanjutan. Jenis bantuan hanya bersifat diakonia karikatif dan temporal yang diberikan secara spontan ketika bencana alam terjadi karena keadaan terdesak, darurat, dan para korban sangat tidak berdaya. Namun, pasca bencana tidak ada tindak lanjut dari pelayanan. Belum ada tanda-tanda akan dilakukan pelayanan transformatif dan berkelanjutan yang lebih bersifat membekali, memampukan dan memberdayakan, agar para korban memiliki keterampilan dan kemampuan baru untuk dapat membangun sendiri hidupnya sesuai dengan potensi yang mereka dimiliki. Kurang memadainya sarana dan prasarana untuk memberikan bantuan mestinya bukan menjadi alasan yang tepat sehingga pelayanan yang dilakukan gereja pada akhirnya tidak maksimal dan tidak berkelanjutan. Warga jemaat yang memiliki kepekaan sosial dan perekonomian yang memadai dapat diberdayakan dan difungsikan.

3.3 Faktor Budaya

38

Pada umumnya, budaya masyarakat di Nusantara masih turut membangun sikap moral dan kepercayaan masyarakat. Dalam setiap budaya umumnya memiliki sejumlah peraturan dan konsekwensi baik positif (kebahagiaan dan kemakmuran) maupun negatif (malapetaka dan penderitaan). Partisipasi aktif manusia melalui tingkah laku dalam aturan raya ini, menjadi berarti karena manusia dilihat sebagai bagian dari kesatuan ini dan mempunyai kewajiban untuk menjaga relasi harmoni kosmis. Kelalaian dianggap fatal dan membawa resiko baik untuk dirinya sendiri maupun dalam skala lebih besar yakni masyarakat, misalnya dalam bentuk bencana alam, kegagalan panen, penyakit bahkan kematian.30 Pemahaman tersebut juga masih dipegang teguh oleh budaya Batak Karo. Bagi suku Karo setiap perbuatan akan mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terungkap dalam pepatah adat adi ngalo la rido, ngalar la rutang, yang bermakna kalau kita memperoleh sesuatu secara tidak sah atau tidak wajar, maka akan datang bala atau bencananya. Oleh karena itu, pepatah Karo juga mengatakan pangan labo ate keleng, tapi angkar beltek, yang bermakna kita boleh melakukan apa saja tetapi harus memikirkan dampak dari apa yang akan ditimbulkannya.31 Salah satu dari nilai-nilai budaya yang masih dipelihara sampai pada saat ini adalah penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam. Dalam pandangan tradisionil pengerusakan terhadap alam diyakini akan mendatangkan musibah bagi masyarakat. Untuk menghindari musibah tersebut maka dibuat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat. Masih kuatnya pengaruh budaya ini terlihat jelas dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di ke-2 Runggun. Memang ada perbedaan jumlah yang mencolok. Lebih banyaknya30

Ati Hildebrandt Rambe:Salib Tanpa Tubuh? Melampaui Pendekatan Rasional dalam Pelayanan Gereja Menghadapi Penderitaan, dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 301. 31 Darwan Prinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004, hlm. 66

39

jemaat di Surabaya yang mengkaitkan antara bencana dengan budaya suku Karo dibanding dengan jemaat Yogyakarta dipengaruhi karena responden di Runggun Yogyakarta banyak dari kaum muda, khususnya mahasiswa (walaupun tidak dominan) yang kurang memahami budaya Karo. Sementara di Runggun Surabaya didominasi oleh orang tua yang masih tetap memegang kuat nilai-nilai budaya sekalipun tidak lagi berada di tanah Karo. Melalui pemahaman tradisionil ini terlihat jelas nilai-nilai budaya Karo sangat menganjurkan agar manusia solider terhadap alam. Selain penghargaan yang tinggi terhadap alam, budaya Karo juga sangat memegang tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan sikap gotong royong. Meskipun masyarakat Karo yang sudah tinggal dalam lingkungan sosial yang pluralis dan juga sudah sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kristiani agar solider terhadap siapa saja dan mewujudkan cinta kasih tanpa membeda-bedakan, akan tetapi perasaan kekeluargaan terhadap saudara yang sesuku masih sangat kuat dan menonjol. Biasanya ada suatu ikatan yang kuat dirasakan oleh setiap orang Karo terhadap sesukunya yaitu ikatan emosional. Rasa kekeluargaan antar sesama orang Karo ini terlihat jelas dalam kehidupannya sehari-hari. Apalagi ketika muncul penderitaan seperti bencana alam, maka perasaan senasib dan sepenanggungan antar orang Karo akan segera terlihat, ditambah lagi jika sama-sama berada di daerah perantauan.32 Realitas seperti ini menunjukkan bahwa suku Karo masih bersifat eksklusif terhadap orang di luar sukunya. Tetapi di dalam keeksklusifannya ini bukan berarti bahwa orang Karo sama sekali tidak peduli terhadap orang lain diluar komunitas sukunya. Orang Karo yang tergabung dalam GBKP Runggun Yogyakarta telah membentuk POSKO GBKP PEDULI BENCANA untuk membantu korban bencana alam, akan tetapi kepedulian tersebut masih jauh dari semestinya. Pelayanan yang diberikan kepada korban yang berada di dalam

32

Arbi Banggun, wawancara penulis tanggal 10 Januari 2008 di Yogyakarta.

40

komunitas gereja dan suku Karo sangat jauh berbeda dengan di luar komunitas tersebut. Akibat dari kuatnya ikatan emosional ini maka tidaklah mengherankan jika masih banyak warga jemaat yang melihat bahwa solidaritas masih dipengaruhi oleh latar belakang SARA.

3.4 Sistem Manajemen Organisasi Gereja Pada dasarnya peraturan-peraturan di dalam organisasi gereja sangatlah penting sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan. Tetapi di sisi lain ternyata peraturan juga berpotensi sebagai penghambat dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri. GBKP adalah salah satu gereja yang menganut sistem Presbiterial Sinodal, di mana sistem kerja yang berlaku adalah dari atas ke bawah (Sinode-Jemaat). Dalam melaksanakan fungsinya, GBKP menyusun aturan-aturan yang menjadi pegangan dan patokan sekaligus merupakan komitmen yang berlaku dan wajib dipatuhi oleh seluruh warga GBKP, baik sebagai pelayan maupun anggota jemaat.33 Secara organisasi gereja, baik Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya sudah berjalan dengan teratur. Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan ke-2 Runggun mengacu pada peraturan-peraturan yang berlaku. Ketatnya birokrasi gereja yang harus dipatuhi dan dilaksanakan kadang-kadang menyebabkan timbulnya benturan ketika berhadapan dengan realitas. Sebagai contoh, ketika terjadi bencana alam di Yogyakarta, jemaat di Runggun Surabaya tidak langsung bertindak ketika bencana terjadi tetapi setelah ada pemberitahuan resmi dari majelis jemaat.34 Adanya benturan ini muncul karena keputusan atau kebijakan yang akan diambil harus melalui prosedur yang telah diatur (misalnya melalui rapat-rapat majelis dan aturan-aturan sejenisnya).

33 34

Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP 2005-2010, Kabanjahe, 2005, hlm. 2. Hendri Ginting, wawancara penulis tanggal 7 Februari 2008 di Yogyakarta.

41

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pdt. Sabar Sembiring Brahmana bahwa:35Ketika terjadi bencana di Yogyakrta, kami (Runggun Surabaya) belum bisa melakukan apa-apa karena harus menunggu dulu surat pemberitahuan dari Moderamen, barulah akan disampaikan kepada warga jemaat.

Menurut beliau bahwa, kenyataan GBKP yang menganut sistem Presbiterial Sinodal menjadi salah satu penyebabnya. Realitas di atas menunjukkan bahwa, ketatnya peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan telah menyebabkan aturan itu sendiri menjadi kaku dan birokrasi menjadi penghambat solidaritas. Hal ini berpengaruh karena jika ada warga jemaat yang memiliki kepekaan sosial dan kemampuan secara ekonomi maupun memiliki sumber daya yang lain untuk memberikan bantuan melalui institusi gereja, kadang-kadang harus tertunda. Otonomi gereja (jemaat) untuk mengambil keputusan sendiri dalam kondisi-kondisi tertentu mestinya difungsikan dengan lebih baik, sehingga gereja benar-benar menjadi pendukung warga jemaatnya dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri. Selain faktor di atas, hambatan lain mengapa gereja masih lambat dalam menangani korban bencana alam adalah adanya ketakutan akan tuduhan terjadinya proses kristenisasi. Stigma seperti ini, sangat mempengaruhi tindakan warga jemaat dalam memberikan bantuan. Di sisi lain, pemahaman para korban yang meragukan bantuan warga jemaat juga turut mempengaruhi respon mereka. Pemahaman yang demikian tidak dapat dipungkiri dan diabaikan begitu saja, karena kenyataannya ada beberapa lembaga yang bernuansa Kristen tidak jarang memanfaatkan situasi tersebut sebagai sarana kristenisasi, seperti yang terjadi ketika tsunami di Aceh.36

35 36

Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008. Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008.

42

3.5 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja Pandangan populer tentang malapetaka dan kejahatan sebagai hukuman Allah cukup populer di antara ahli-ahli biblika.37 Banyak dari cerita-cerita Alkitab yang dijadikan sebagai pendukung dari pemahaman bahwa kejahatan sebagai hukuman Tuhan. Misalnya saja, cerita mengenai kejatuhan Adam dan Hawa masih tetap dipakai oleh masyarakat zaman modern ini untuk melukiskan asal-usul kejahatan dan penderitaan yang dialami manusia. Ada suatu pemahaman yang masih tetap diyakini sampai sekarang bahwa, andai saja Adam dan Hawa tidak melanggar perintah Tuhan pasti umat manusia masih hidup dengan nyaman dan tentram di Taman Firdaus yang utopis. Senada dengan hal itu, Robert Borrong juga berpendapat bahwa dalam tradisi agama, bencana alam selalu dilihat secara paradoksal yaitu sebagai hukuman Tuhan sekaligus juga bukti kasih Tuhan. Cerita-cerita dalam Alkitab yang dilihat sebagai contoh adalah peristiwa Air Bah (Kej 7), Menara Babel (Kej 11), dan peristiwa Sodom dan Gomora yang dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya (Kej 19:1-25). Menurutnya, bencana yang bersifat paradoksal tersebut juga menjadi panggilan bagi manusia untuk bertobat dan hidup bermoral.38 Pemahaman seperti di atas masih tetap terpelihara dan dipertahankan oleh warga jemaat sampai sekarang. Dalam kaitan ini pimpinan gereja memiliki peran yang sangat penting. Ketika tidak ada kesepakatan di antara pimpinan gereja (Pendeta, Penatua dan Diaken) tentang suatu hal misalnya, pemahaman tentang bencana alam apakah sebagai hukuman Tuhan atau tidak, juga akan ikut mempengaruhi pemahaman warga jemaat. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bahwa, ada pemahaman37

Andreas A. Yewangoe: Membangun teologi Bencana Pergumulan Teodice dan Penderitaan Allah , dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 234. 38 Robert Borrong, Penanggulangan Bencana Alam , ceramah yang disampaikan dalam lokakarya, menyambut Dies Natalis ke-59 dan Reuni Raya STT INTIM Makassar, pada tanggal 15 September 2007.

43

berbeda diantara majelis jemaat sendiri tentang bencana alam.39 Ada majelis yang memahami bahwa bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan ada juga yang melihat bukan sebagai hukuman Tuhan. Adanya perbedaan tersebut mestinya tidak diabaikan begitu saja oleh para majelis tetapi justru dibekali dan membekali diri dengan pengetahuan secara ilmu geologi yang berkembang saat ini. Hal ini penting mengingat warga jemaat juga memahami bahwa, pemahaman mereka tentang bencana alam dibangun dari tradisi dan ajaran gereja. 3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai Hukuman Allah Munculnya pemahan bencana alam sebagai hukuman Allah, menimbulkan ada 2 pihak yang disalahkan ketika terjadi bencana, yaitu Allah dan para korban. Bencana alam yang dipahami sebagai hukuman juga akan menimbulkan sikap fatalistik bagi para korban. 1. Menyalahkan Allah ( Blaming The God) Adanya penderitaan dan malapetaka yang dialami oleh manusia selalu dikaitkan dengan Keadilan Allah,40 karena sifat-sifat Allah, yang diyakini sebagai Mahakasih, Mahakuasa, dan Mahatahu, dianggap tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dunia. Kenyataan seperti ini menyebabkan hakikat/eksistensi Allah dipertanyakan, seperti yang dikalimatkan seorang teolog yang bernama Lactantius (250-320 M), yang dirujuk oleh A. Yewangoe bahwa :41 Adakah Allah bermaksud mencegah kejahatan (Evil) tetapi tidak sanggup? Maka itu berarti DIA tidak berkuasa. Atau adakah IA mampu tetapi tidak mau? Itu berarti Allah tidak mahakasih. Ataukah IA bisa dan mau? Lalu dari mana asal usul kejahatan? 39

Perbedaan pemahaman ini ditemukan baik melalui wawancara maupun Kuesioner yang dilakukan oleh penulis di ke-2 Runggun.40

Keadilan Allah ini dikenal dengan istilah Teodice. Istilah ini mulai pada abad ke-17 oleh seorang filosof Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Istilah ini dipakai dalam hubungan dengan pembelaan keadilan Allah terhadap kenyataan yang jahat dan penderitaan. Kemudian istilah ini digunakan dan dikembangkan oleh beberapa tokoh lainnya, diantaranya: Lactantius dan C.S. Lewis seperti yang telah diungkapkan diatas. Ikhtisar mengenai hal ini dapat dilihat dalam tulisan Zakaria Ngelow: Bianglala di Atas Tsunami: selayang Pandang Teodice Kristen dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase intim, 2006, hlm. 201220. 41 Andreas A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 226

44

Berkaitan dengan pendapat Lactantius di atas, C.S. Lewis yang dirujuk oleh A. Yewangoe juga menggungkapkan eksistensi Allah sebagai berikut:42 Jikalau Allah sungguh-sungguh baik, maka Ia akan membuat semua ciptaan-Nya sungguhsungguh berbahagia secara sempurna, dan jikalau IA Mahakuasa, maka IA akan mampu melakukan apa yang IA kehendaki. Tetapi, ciptaan-Nya tidaklah berbahagia. Karena itu, Allah kekurangan baik kebaikan maupun kekuasaan, atau kedua-duanya.43

Sejalan dengan pendapat ke-2 tokoh di atas masih banyak lagi para tokoh lain yang mempersoalkan tentang pokok ini. Akan tetapi, ke-2 tokoh tersebut rasanya cukup mewakili tentang pandangan yang mempertanyakan eksistensi Allah dalam penderitaan manusia. Berdasarkan pandangan tokoh-tokoh di atas, jelaslah bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk meragukan, bahkan menyalahkan dan mempertanyakan keberadaan Allah ketika mereka mengalami penderitaan. Di manakah Allah ketika manusia menderita, ketika bencana melanda manusia sehingga banyak yang menjadi korban: anak-anak menjadi yatim piatu, orang tua kehilangan anak-anaknya, kehilangan sumber penghasilan atau pertanyaan-pertanyaan yang senada terus-menerus dilontarkan.

2.

Menyalahkan Korban (Blaming The Victim) Memandang bencana sebagai hukuman Allah adalah pemahaman yang paling umum

dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya teologi hukuman seperti ini sering menyudutkan mereka yang menjadi korban bencana. Fakta bahwa mereka adalah korban justru dijadikan alasan bahwa mereka memang terkena hukuman Ilahi, sedangkan daerah yang tidak terkena bencana dianggap sebagai orang benar dan dikasihi Tuhan.

42 43

Ibid, hlm. 226.

45

Pemahaman di atas juga didukung oleh beberapa tokoh teolog, di antaranya: Agustinus (Bapa gereja dari Hippo, Afrika Utara, 354-430), mengajarkan bahwa dosa manusia adalah sebab dari kejahatan moral dan malapetaka fisik adalah hukuman setimpal yang dijatuhkan Tuhan atas dosa itu. Dipahami bahwa segala yang diciptakan Allah adalah baik, termasuk manusia dengan kebebasan kehendak. Manusia memakai kehendak tersebut untuk memilih yang jahat dan pilihan itulah yang membuat yang jahat terwujud.44 Di sini secara jelas Agustinus mengaitkan antara dosa dan malapetaka yang dialami oleh manusia sebagai buah dari kebebasannya dalam memilih yang jahat. Dengan kata lain, penderitaan disebabkan oleh prilaku manusia itu sendiri. Para reformator; Martin Luther (1483-1586) dan Yohanes Calvin (1509-1564), juga mengikuti pandangan Agustinus, bahwa semua yang jahat muncul dari dosa dan kejatuhan manusia. Martin Luther seperti yang dirujuk Roger Haight, mengungkapkan bahwa manusia berdosa karena kemauannya sendiri. Hal ini jelas dari tulisannya dalam bahan kuliahkuliahnya tentang surat Paulus kepada Jemaat di Roma (1515-1516): dosa aktual sebenarnya merupakan pekerjaan dan b