77 sajak tirakat 2020 -...
TRANSCRIPT
77 sajak tirakat zabidi zay lawanglangit
tirakat 1 kita terus memburu bayang bayang
hingga lupa arah cahaya
2011
tirakat 2 raga ini tak suka jalan sunyi
maka dengan jiwalah
kau tempuh jalan cinta sejati
takhlukkan raga
agar ia tunduk pada langkah jiwamu
2011
tirakat 3 keindahan alam raga yang kau setubuhi
hanyalah setitik cahaya
sementara alam jiwa terbelenggu karenanya
tahukah kau, betapa ia teramat rindu
kembali pulang memeluk cahaya cinta
yang teramat maha indahnya
tak terkira
2011
tirakat 4 tak ada kematian
kecuali hanya jiwa
yang kembali ke keabadian
2011
tirakat 5 : kuburan yang telah pulang
bukan ingin dikenang
hanya penanda, bagi setiap
yang masih menggendong raga
untuk bisa menziarahinya
memetik kuncup mutiara mutiara
yang merimbun di tubuh pusara
2011
tirakat 6 maka selalu kucoba ziarahi diri
saat raga telah terlelap
sebelum ia terjaga
dan aku kembali diseretnya
ke dalam hiruk pikuk dunia
biarlah,
jiwaku dengan sabar menuntunnya
ia cuma kanak-kanak
yang selalu ingin tahu
dan mudah tersesat
2011
tirakat 7 di bawah payung cungkup yang terbuka
angin membelai rambut teramat lembut
mencairkan kristal kerinduan
melapangkan kepasrahan
di dalam malam yang rindang
segelas teh terhidang
kuteguk rasa hangat
mengurai penat tiap rakaat
2011
tirakat 8 ada yang ingin direngkuh kembali
kenangan yang tertimbun di lorong usia
setelah mulut waktu menelannya
jauh ke dalam perut masa
hanya ingatan meraba terbata dan nanar
meski yang terenggut bayang-bayang yang makin samar
2011
tirakat 9 : kembang kamboja masih putih warnanya
saat ia harus tanggal
dari pucuk peluk ibunya
terlalu pagi ia pergi
dari taman ranting
yang anggun dengan rimbun daun
tempat dulu ia bermain
ia tak bertanya
siapa kelak merindukannya
2011
tirakat 10 : untuk ibu ingin selalu menjauh dari terang
menuju lorong remang
memasuki ruang lengang
di mana bisa kujenguk wajahmu
di kaca ingatan
dan menziarahimu
selapang tenang
sepenuh kenang
2011
tirakat 11 sesungguhnya jarak itulah
yang menyuburkan ladang-ladang rindu
2011
tirakat 12 daun blarak mengarak ingatan
pada lelaki tua bersahaja
saat mengantarnya ke surau
segenggam daun blarak sebagai lentera
jauh sebelum cahaya listrik menyiram desa
daun blarak mengarak ingatan
pada lelaki tua sederhana
bersama kerumunan jamaah yang setia
melafalkan pujian dan doa
menjelang maghrib hingga usai waktu isya
gemanya menembus remang
dalam terang dinding langit jiwa
2011
tirakat 13 apakah yang tumbuh
dalam rahim malam
adalah doa-doa
yang urung dipanjatkan?
2011
tirakat 14
saat cakrawala berkalung lembayung
dan arak-arakan rakit merayap
membawa selubung senyap
yang melambat di debar dada berderap
meninggalkan tatap yang terpaku
pada warna langit yang sendu
tiba-tiba aku teringat warna kerudung ibu
2011
tirakat 15 aku mengingatnya
di sebuah pagi yang tiris
gapura tua menggigil disapu gerimis
di kejauhan deretan nyiur merunduk
juga atap-atap rumbia, tunduk
sementara di udara yang kosong
kabut putih merayapi setiap ruang terbuka
lukisan pagi terhidang seperti sajian kopi di meja
yang semakin menipis uap panasnya
dan aku terpana
2011
tirakat 16 : 13 tahun reformasi ranting-ranting kering terentang
seperti tangan dengan jemari
yang tumbuh di sekujur tubuh
menjalar menggapai mimpi
di udara sepi
kaki-kaki tertatih melangkah
menyisir jalanan yang lungkrah
kepala berputar serupa kitiran
dan mata terus melotot
tak mampu terpejam
sementara jam dinding meleleh
di persimpangan jalan
waktu terjerembab
dan hari makin lebam
2011
tirakat 17 matahari pagi memancar
menembus rindang pohon jati
melukis udara dengan pilar-pilar cahaya
menyembunyikan setiap gerak hati
seperti debar menderaskan gelisah
layaknya riuh burung-burung
saat cakrawala telah usai merekah
bergegas mencari ruang singgah
aku merayap ke dinding malam
menapaki ruang-ruangnya yang suram
memasuki keheningan semesta diri
hingga ke jantung sunyi
aku tak sendiri
2011
tirakat 18 : perempuan di suatu senja
kuncup itu mengembang
di bawah bayang bayang remang
rindunya memancar diam diam
mengambang pada payung petang
2011
tirakat 19 seperti semprang dan kunang-kunang
yang kini menghilang
apalagi yang sanggup kupandang?
kecuali asap yang memedihkan mata
dan pagi yang selalu sepi dari puisi
2011
tirakat 20 terik mencabik
hujan merajam
bergantian
tak ada lagi pertanda
bisa terbaca
juga isyarat
betapa sering terlewat
aku kehilangan jejakmu
2011
tirakat 21 : kembang api percikan hasrat, rindu, mimpi
melesat, terbang
dalam letupan bertubi tubi
di langit semesta
yang segera sirna
di telan mulut malam
koyo urip, mung mampir ngombe
2011
tirakat 22 tembok tua itu mungkin tak pernah ingin tahu mengapa mesti tegak di situ juga gapura sederhana dengan dua pintu kayu jati terbuka dan tertutup ribuan kali seperti kakek tua yang ramah senyum pintu selalu mengembang menyambut setiap yang datang “silakan, sudah kami sediakan ruang singgah” bisiknya pada setiap takziah para pengantar hanya tertunduk ada juga yang menahan isak ritual pemakaman usai sudah orang-orang kembali ke rumah melafalkan tahlil bersaut-sautan sambil menghitung nasib dan peruntungan ada juga yang tergelak di depan layar kotak lalu esok atau lusa mungkin diriku yang diantar para takziah dan pintu itu tetap menyambut ramah “silakan, sudah kami sediakan ruang singgah” 2011
tirakat 23 halaman kosong kubiarkan terpampang kupandangi lembaran putih di layar kaca putih mengingatkanku pada mukena istri saat kami shalat berjamaah atau saat diam-diam kulihat dia tahajud di tengah malam putih mengingatkanku pada kerudung ibu dan senyumnya yang mengembang dan selalu membuatku tenang putih pun mengingatkanku pada kain kafan pembungkus jasadku kelak saat pulang ke kampung halaman keabadian 2011
tirakat 24 selamat malam kesepian yang menjernihkan pikiran kerinduan yang mempertebal keyakinan selamat malam surau yang lama kutinggalkan semoga bedug tua itu masih terus berkumandang belum tergadai dengan pekak pengeras suara selamat malam pematang yang memanjang tempat kaki-kaki kecilku dulu menyusuri punggungmu menuju mesjid di samping kuburan selamat malam tetumbuhan, angin, sungai, laut, batu dan malam yang tenang seperti peluk ibu pada seluruh kegelisahan selamat malam semua kawan, sahabat kepada semua kekasih kepada semua terkasih selamat malam 2011
tirakat 25 di kuburmu
mata bertelaga itu
tajam menatapku
2011
tirakat 26 kita kembali teraduk di kancah kota mencoba menghitung waktu dari tiap percikan udara berapi dan lalu-lalang perburuan rimba jalan telah kau tutup pintu pagar sejak pagi semacam ritual tanpa sesaji mengejar bangku keberangkatan kereta pertama dalam tatapan warna langit yang kuyu ada yang tetap tinggal selarik puisi dalam bingkai cahaya yang memantul dari celah korden jendela kita kembali di tengah kancah kota mencoba menimang pikiran dari sesak rencana dalam pertempuran di padang jalan berapi untuk kembali menggenggam kepingan rindu dalam ruang-ruang kata 2011
tirakat 27 : 17 tahun pernikahan adakah yang pantas untuk dihitung bagi hidup yang sejenak sementara waktu berlari melampaui rencana, perkiraan bahkan menimbun jejak, catatan lalu ada saatnya berhenti memandang ke belakang sekedar mengenali kembali jalan hanya agar tak lupa bahwa di suatu tempat perjalanan pernah dimulai adakah yang pantas untuk dihitung kecuali rasa syukur dan menjadi lebih berarti sebelum sampai di ujung waktu 2011
tirakat 28 di blumbang itu
bimbang dan harapan disimpan
di sela-sela rimbun bambu
juga betapa nikmat membuang hajat
sambil menatap langit biru telanjang
blumbang dan rimbun bambu
adalah kidung rindu
sementara kami masih asyik
menghitung waktu
juli 2011
tirakat 29
sulur sulur waktu menjulur
menggapai rambutmu yang berkibaran
sulur sulur coklat berkelindan dalam hitam
merengkuh segenap rindu yang menggemuruh
sepanjang musim yang lepuh dan gaduh
sulur sulur waktu terus tumbuh
menggayut seluruh rambut
menjemput
hingga ke jantung ajal
2011
tirakat 30
rasa ingin terlanjur dingin
uap panasnya tandas direngkuh angin
dari mulut gelas yang gemetar
apakah maut sedingin angin gunung
dan kematian begitu sunyi seperti kabut?
2011
tirakat 31 : kopi dalam cangkir merah dengan gaun warna merah
dan aroma panas wangi merekah
kucecap deras arus rindu
mengalir dalam kesyahduan zikir
kepasrahan menyatu
antara aku, cangkir dan dirimu
kutenggak perjalanan panjangmu
yang mengalirkan ribuan kisah
lalu sayup kudengar bibirmu berucap “bacalah”
2011
tirakat 32 : kaki yang tak kunjung beranjak sepasang bakiak
menunggu di depan pintu
hingga di penghujung waktu
ia ingin segera meninggalkan jejak cium
pada harum tanah yang ranum
2011
tirakat 33 dari puasa ke puasa
tak usai kubaca tanda
dari puisi ke puisi
tak usai kususuri sunyi
2011
tirakat 34 dua sayap kesepian
membawaku terbang ke atas perbukitan
untuk menjenguk wajahku yang lain
lalu mata hati kami memeluk batas rindu
di antara getar pilar cahaya bulan
memasuki pusaran sunyi
2011
tirakat 35 kita berjumpa sebagai kawan lama yang dipertemukan waktu begitu tiba-tiba seperti umbul-umbul dan bendera yang mendadak bertebaran di pinggir jalan juga gapura dengan deretan angka-angka menyeret kenangan yang tertimbun debu perjalanan ya, lalu kita berjumpa sebagai kawan lama yang dipertemukan waktu terasa begitu tiba-tiba sebelum akhirnya berpisah dan seperti biasa hanya bola matamu memancarkan ribuan tanya untukku 2011
tirakat 36 baru sebelas kali pintu terketuk
baru ribuan sujud tersuruk
duhai perindu
teruslah mabuki wajahnya
teruslah getarkan altarnya
dengan airmata cinta
2011
tirakat 37
aku akan menjumpaimu
kala kau tak terkurung bayang bayang
"kita hanya manusia biasa" katamu
"yang selalu tergesa, dan tak pandai
membaca isyarat suara" bisikku
di persinggahan berjauhan
kau ledakkan sepi malam
dengan bara galau merajam
membakar daun daun angan
mengusik istirahku
2011
tirakat 38 : aku dan secangkir kopi kepulan uap tipis menyelinap di antara sela-sela tumpukan buku, aroma wanginya memenuhi ruang tunggu "ini kencan kita, ini malam kita, jangan tergesa, mari kita lalui dengan penuh ketulusan cinta" bisiknya kudengar lembut dari bibir cangkir "apakah tuhan datang bersamamu?" tanyaku padanya matanya diam menatapku wanginya selalu begitu, terlalu menggoda, melebihi iklan parfum di televisi kadang-kadang aku berfikir jangan-jangan aku lebih mengenalnya daripada diriku dan mungkin tuhan, ah lalu waktu terus berjalan pelan kami hanya saling diam sedang tuhan mungkin mengintip dari kejauhan 2011
tirakat 39 : bisikan lembut dari mulut cangkir kopi kenapa kau palingkan wajah ke televisi?
seakan tengah menunggu kekasih lain
tahukah kau
tuhanpun telah enggan melihatnya
lihatlah
ia bahkan tengah memalingkan wajahnya
ke arahku
2011
tirakat 40 "entah kenapa,
saya pingin nyanyi genjer-genjer
duet bareng lilis suryani"
kata puisi pada saya, sebelum pamit pergi
saya mengantarnya pulang menuju gerbang
"hati-hati di jalan" bisik saya
mata saya mengawalnya hingga ia menghilang di ujung gang
di bawah payung malam yang temaram
2011
tirakat 41 : aku dan kata
kami hanya saling diam
sebelum akhirnya ia pergi
membawa seluruh kenangan
2011
tirakat 42 di rahim malam benih
benih sajak kutanam
ia tumbuh
di antara dering sunyi
dan remang bulan
kelak ia akan dewasa
dan mengembara
mengarungi semesta kata
2011
tirakat 43 : padamu yang tak habis kuminum maaf,
bila tak pernah tuntas kuteguk seluruh kerinduan
setelah begitu banyak pengorbanan
dari biji yang tumbuh di ladang
hingga tersaji di atas nampan
darimu aku belajar keikhlasan
2011
tirakat 44 : kencanku dengan secangkir kopi selamat datang secangkir kopi biarkan kunikmati manis pahit rindumu kusisakan serupa lanskap pantai atau dinding padas dari serbuk coklat di dinding gelas "itulah jejak garis takdirmu" katamu "tidak, mungkin saja diriku adalah setitik serbuk kopi yang berbaris menanti sisa tegukan terakhir" sanggahku "lalu apa bedanya?, dalam lingkaran besar kita menempel di dinding lunak bumi dalam lingkaran kecil kita menempel di dinding gelas kopi“ katamu 2011
tirakat 45
kata-kata kesepian, kosong, frustasi
lalu ia nekad mengambil tali
satu ujungnya diikatnya di ranting kalimat yang kuat
satu ujungnya lagi dilingkarkannya di lehernya erat
lalu dengan sepenuh tenaga ia meloncat
…
2011
tirakat 46 dari bening telaga
yang hening
kulihat bulat wajahmu
memancarkan cahaya
lembut, utuh
merembes ke kepala
mengalir ke rongga dada
menjalar hingga ke syaraf-syaraf bawah sadar
aku diam dan tergetar
2011
tirakat 47 ini jejak siapa?
masih tertinggal di meja
malam telah ngelindur
dan huruf huruf pun tertidur
kuseret sepi
menggurat punggung jalan
mengejar rembulan
di atas wuwungan
waktu kecil
aku ingin punya rumah di bulan
2011
tirakat 48 kerinduan itu yang memanggil dari balik cakrawala langit di hatimu setiap sore ketika angin membawa berita semacam tanda bahaya asap yang mengepul memenuhi atap kota-kota yang pernah kau singgahi juga kota di mana darahmu tumpah saat kau hirup udara dari gunung pertama kali dengan tangisan di pagi yang masih perawan seperti milkmu yang kau pertahankan selama seratus sembilan puluh delapan purnama sebelum seseorang meraihnya dengan gemuruh dan jeritan nyalang luka yang tak pernah sembuh dan kau bawa berlari melintasi ratusan negeri kerinduan itu yg memanggil begitu kuat tarikan energi itu membawa tubuhmu yang rapuh kembali dan bersiap untuk takhluk 2011
tirakat 49 aku mengingatnya sekali lagi mencoba mengingatnya karena banyak hal terlupa betapa rapuh ingatan menjangkau setiap jengkal kenangan terkadang yang tak ingin kuingat justru lekat menyembul di antara kebun lamunan seperti uban, kenanganpun tumbuh menyelinap dari rimbun kegelapan juga tentang pertemuan selewat subuh hari di sebuah pagi yang ranum dan rawan seperti kuncup yang siap mengembang lalu luruh ke pelataran tapi setidaknya aku mengerti bahwa pernah ada yang kau berikan kegembiraan juga harapan tapi waktu begitu cepat seperti bayang yang melintas lalu di pagi yang putih serupa gaun yang kau kenakan sebelum kau benar-benar berangkat sebelum sempat kuucap “selamat jalan” 2011
tirakat 50 seperti angin yang selalu membelai rambutmu maka telapak tanganku demikian kelu menahan ingin tentunya aku tak sesabar pohon tua itu yang diamdiam menunggu; diamdiam merindu juga waktu, yang selalu tergesa menyambutmu kemudian segera membawamu menjauh dari jendela jendela yang terbuka dengus angin membuatku tergetar di sore yang memar oleh debar lalu kupandangi pohon tua itu dengan perasaan hambar perasaan asing yang mengendap hingga telapak kaki, sembab di lantai yang melembab bayangbayang kelelawar menembus pekat melintasi dahannya yang penat tentunya aku tak sesabar pohon tua itu bahkan waktu, selalu tergesa menjemputmu membawamu menjauh, melintasi musim yang gaduh sementara di sini kudekap jam dinding yang tak lagi berdetak 2011
tirakat 51 : sore yang tak sama akhirnya sampailah kita pada akhir waktu desember hanyalah nama juga jum’at, sabtu atau minggu tapi sore selalu tak sama selalu menawan hatimu ya, tampak dari cahaya matamu yang bening dan semarak seperti gemuruh air terjun membuncah, meliuk menjemput batu dengan sepenuh rindu sore seperti halaman terakhir buku tak usai lalu kita menutupnya dengan sedikit upacara kecil desember hanyalah nama meski di sana kita lebih sering menikmati sore bersama akhirnya sampailah kita pada akhir waktu yang teramat kau tunggu juga yang teramat kurindu ah, tapi benarkah kita tengah menunggu dan merindu? 2011
tirakat 52 pematang ini batas dari sawah ladang yang selama ini menghidupi mencukupi nasib dari setiap paceklik menumbuhkan bayi-bayi hingga matang untuk bekerja, di sini pematang ini batas dari kesabaran yang dirawat ibu untuk kami agar menjadi arif dari setiap amuk yang membadai menjaga harmoni bersama-sama begitu bersahaja tapi seperti tak cukup bening sungai, semilir angin rimbun bambu, ranum mangga, jambu lambaian kelapa dan hijau padi saat listrik bertandang mengubur purnama membungkam lentera di teras gandok langgar dan surau tempat anak-anak kami mengaji internet dan televisi seperti kawan lama yang datang menggoda menyajikan hamparan pesona
“itulah sorga” kata anak-anak kami lalu mereka satu persatu pergi menjemput “sorga” dari kotak persegi "jaga matamu nak, jaga juga pula kemaluanmu" bisik ibu di balik kelambu 2010
tirakat 53 : tari maya lalu setiap orang memburu seperti sesuatu yang terbang dari kegelapan dengan lengan lengan yang panjang menjulur seperti belalai ke arah pusar cahaya labirin lampion yang tiba-tiba menyala ditengah rimba senyap pengap dipenuhi harap akan sesuatu seperti lekuk sungai perawan yang menggairahkan menarik-narik sukma untuk merenanginya lalu ia menelan apa saja bagai mulut senja merengkuh surya tinggal bayang-bayang yang menggelora mendaki setiap desahan mata menelan apa saja siapa saja 2010
tirakat 54 : seperti ingin selalu kutanyakan semacam warna pelangi yang memudar kaki ini terus menapaki jalan-jalan pucat hambar seperti berharap segera tumbuh sayap ya, lalu lihatlah kami hanya menjadi ngengat yang tersesat berebut dalam kalut melesat dari gelap dan penat memburu terang dan terbakar seakan sia-sia luruh dalam kesepian musim yang makin asing seperti ingin selalu kutanyakan apakah yang kau ketahui tentang setiap penciptaan? 2010
tirakat 55 seperti dulu kala tak pernah berubah tak pernah kalah oleh waktu lalu yang tinggal hanya mimpi menjadi kanak-kanak lagi mandi di kali tepi pematang yang lurus memanjang membelah sawah hingga kuburan air sungai tetap jernih seperti dulu, sejernih keceriaan sejernih keinginan-keinginan sederhana seperti tak pernah berubah sementara dalam bayangan cermin air wajah itu telah begitu banyak berubah telah begitu banyak kehilangan hanya di sini segalanya seperti dulu kala seperti tak pernah berubah seperti tak pernah kalah oleh waktu 2010
tirakat 56 : tinggal lirih doa tersisa tinggal lirih doa yang tersisa di bibir kami yang gemetar dan gentar nafas kamipun satu-satu seperti tengah belajar mengeja nama-nama memanggil dengan gigil di antara gemuruh ledakan gelombang awan itu begitu penuh gairah melumat dusun-dusun menghadirkan mahsyar di bekas sawah dan kebun tinggal lirih doa yang tersisa di bibir kami yang gemetar dan gentar di bawah tenda-tenda diterjang hujan pasir dan abu kami hanya debu….debu….debu yang dengan lirih terus memanggil-Mu 2010
tirakat 57 : tahajud di surau desa jalanan berbungkus selimut lengang telah berkali-kali letih memburai aromanya masih lekat di sisa perjalanan menyisir tirai malam bingkai jendelanya separoh terbuka lembut angin mengusap wajah menghirup udara membasuh gersang pelataran rongga dada kembang-kembang kuburan menjilat langit malam bermandikan hangat cahaya bulan di belakang mimbar dalam cahaya temaram di antara empat kokoh pilar di antara orkestra serangga dan jam dinding yang sesekali berdentang pasrah, melepas ngilu di hampar tikar dalam ruang senyap beraroma debar 2010
tirakat 58 tali-tali cinta kita melilit di cabang kamboja di mana tiap rantingnya menggengam setangkup bunga kita duduk di antara batu berhias topi baja langit telah memerah burung burung memagut udara menghirup aroma maghrib yang bakal beranjak tiba tali-tali cinta kita memburai di rimbun bunga kamboja di mana tiap rantingnya menggengam setangkup doa yang kita rapal di sepanjang batu berhias topi-topi baja langit telah sempurna kehilangan warna, hanya riuh udara dan suara zikir serangga, menyelinap di antara ranting kamboja tali-tali cinta kita bermukim di setiap ranting dan bunga menjadi bayang-bayang sepanjang jalan pulang 2010
tirakat 60 di teras waktu
kunikmati rintik-rintik rindu
kenangan berjatuhan
menikam bungkam
mengalir ke parit-parit sepi
menetap ke hilir sunyi
masih ada yang menggenang
doa
juga harapan
2009
tirakat 61
perempuan itu bernama rahasia
tangannya menganyam harapan dengan diam-diam
dilipatnya risau di antara keranjang dan sepeda
lalu selarik doa dibiarkannya kuncup di sudut keningnya
ada yang menetap dari tempat ke tempat, dari penat ke penat
sepasang mata kecil yang selalu mengiringinya
tatkala terpejam dan terjaga, di ranjang atau di beranda
seperti sebuah nyala lentera, ia bersemayam di hatinya
perempuan itu bernama rahasia
di antara rintik hujan dan debu jalan
dilipatnya rindu pada larik-larik doa di gerai rambut hitamnya
yang makin nyaring bergema, bersama angin dan derai cemara
2009
tirakat 62 jalan-jalan kususuri sambil menggendong matahari
seperti ada yang kucari, seperti ada yang ingin kutemui
hanya sesekali kucium aroma seperti harum tubuhmu,
meruap di antara gang kampung yang lengang
juga di sela bayang-bayang kerumunan
sudah sangat lama,
ada yang berubah ada yang tetap sama
ada yang hilang ada yang datang
aku menandainya, engkau meninggalkan tanda
lalu aku mengikutinya, tapi tak kutemukan petunjuk
aku berhenti, terdiam di pojok tandaku sendiri
apakah aku mencari, tapi seperti tak sungguh-sungguh mencari
tak sungguh-sungguh berharap, menemukan-mu
2009
tirakat 63
akhirnya aku pulang
demi sepasang makam bisu lengang
rumah berpagar alang-alang
serta kursi kayu dan sumur bertiang bambu
meski menggenapkan letih namun menuntaskan rindu
2008
tirakat 64 kisah-kisah terus menggeliat serupa tarian ombak melintasi palung, pulau-pulau, pantai, menampari karang aku ingat kau pernah bertanya ”apakah kita benar-benar ada?” kujawab sekenanya ”apakah kita benar-benar tak ada?” bibirmu melukis segaris senyum sekarang atau nanti, hanya waktu meski kau pernah tak peduli soal waktu di rentang jarak itu ada yang diam-diam mencatatmu seseorang tak pernah tahu pada teluk mana cintanya berlabuh meski di penghujung hari ia tambatkan tali jangkarnya di samping sebujur dipan persinggahan sebelum ia benar-benar menjadi nisan pada akhirnya kau mengambil keputusan paling tidak, kini ada pengurai letih perihmu lalu, akhirnya engkau mengerti
tapi siapa bisa mengukur kebahagiaan, cinta kecuali merasakannya, dengan takaran tak sama tak ada bentuk yang benar-benar serupa bahkan wajah kita di cermin kini ada yang menunggu semacam kabar dari benih-benih kata yang kau labuhkan ke laut menjadi perahu-perahu melayari jarak dengan sajak-sajak 2008
tirakat 65 kunamai kau batu
begitu banyak batu
yang merelakan punggungnya
pada tiap sepatu
wahai,
masih kunikmati senyum diam-mu
di kedalaman waktu
2008
tirakat 66 al, kita memburu jejak berabad tinggal buih diatas karang, teramat lengang geliat butir pasir terengah bermandi cahaya siang kita terlambat, mereka telah dijemput selepas subuh tadi sebelum matahari menangkap wajah dukanya yang berselimut gelap batang-batang kelapa merunduk kau pasti tak mendengar di antara kerumunan ada yang mendesak dari rongga dada menjelma isak dan sedu sedan waktu yang hilang, kita semakin banyak tertinggal oleh peristiwa yang berloncatan sederas hujan fragmen dalam banyak bingkai di satu arah pandangan saling tindih , kita hanya meraba, mencoba mencerna menjulurkan tangan menggapai hanya kosong tinggal rintih angin dan tangis bayang-bayang waktu yang hilang, negeri yang tak alpa dirundung bencana kesedihan bagai lembar kertas beterbangan dalam meja kerja, mata masih terpana pada layar kaca, keyboard dan secangkir teh atau kopi yang tak pernah penuh kita reguk kecuali uap panasnya yang segera hilang
dihirup udara berpendingin dan musim yang buruk ayo al, bangun sibaklah selimut ada yang menunggu sore ini dalam gigil hujan disertai badai di antara ribuan pasang mata seperti ada wajahku dan wajahmu di sana terpuruk dalam tenda-tenda lalu sedang apakah tuhan ? ayo al, bergegaslah! 2008
tirakat 67
telah kubaca terik juga hujan
pada lekuk wajahmu
retak kulit pada pipi
atau lelehan embun di dahi
telah kutanam benih juga hama
pada ladang tawa pada kebun tangis
tanah tempat asal dan akhir
benar katamu
tak mudah menjadi pejalan
2007
tirakat 68 lalu kita susuri sunyi dengan gairah ombak menjilat pasir, menampar batu, menghalau debu, mengoyak dedaunan mengais katakata yang tak sempat terucap tentang rindu pejalan pada kampung halaman rindu peziarah pada kuburan mata kita tersesat di rimba suara ber abadabad meski ada yang terus memanggil lirih sesekali kita palingkan wajah mencari tapi tak ada dan kita makin karam tak tahu arah kembali 2007
tirakat 69 : perjamuan malam dengan puisi malam bisu di atas batu-batu di tengah hamparan pasir kutatap penuh tubuhnya yang memotong cakrawala bukit-bukit berpelukan dengan langit musim telah mempertemukanku dan puisi di sepertiga malam kuamati wajahnya, teramat teduh “kau tampak letih” sapanya aku terkesiap tangannya mengusap lembut seluruh kerinduan ia tahu aku telah lama menunggu “kemana saja kau?” “mengembara ke seluruh negeri kata-kata” jawabnya lembut ya aku telah mengantarkannya di gerbang keberangkatan beberapa abad yang lalu, saat ia beranjak dewasa, dan meminta ijin berkelana “haruskah sepanjang itu waktumu mengenal semesta kata?” ia tersenyum tangannya meraih bahuku kubiarkan ia memelukku, mencairkan batu-batu rindu menjadi lelehan air hangat di pelupuk mata sudah beberapa abad aku tak menangis bulan meredupkan tatapannya angin menahan nafasnya butir-butir pasir merapatkan genggamannya
“setelah pertemuan kita ini, ijinkan aku pergikarena perjalanan adalah denyut jantungku bacalah tiap jejakku karena di sana kau dapat singgah menghirup kopi hangat dan mengunyah beberapa potong abjad” sebelum kujawab, tubuhnya telah lenyap di atas batu tinggal sepiring sepi di palung hati sebait nyeri menari 2007
tirakat 70 : rumah kenangan saat ini kau pasti kesepian dalam gigil hujan dan terik siang menunggu tangan membuka pintumu debu-debu makin tebal di tubuhmu, ilalang tumbuh di setiap ruas jari dan jengkal kulit sesekali angin mengusap warna perak rambutmu… masih kau ingat, saat orang-orang datang dari tempat yang jauh, menyambangimu untuk memetik kuntum-kuntum rindu yang tumbuh subur di teras gandok, tangga surau, dapur, juga padasan di sumur kemana kitab-kitab hikayat dan tembang-tembang pujian yang dulu selalu kau dendangkan selewat tengah malam? sambil memilin tembakau dengan kulit jagung cahaya bulan menjenguk lewat celah jendela di antara pilar-pilar bisu bayang kelelawar menampar wajahmu kulihat bulu-bulu sayapmu rontok disayat pisau waktu kadang kudengar isak tertahan dari mulutmu yang terkunci palang kayu menjelang siang daun-daun mlinjo bergoyang
kumbang gajah dan sambel liler bernyanyi ada yang datang, semakin dekat rasakan bau parfumnya, derap langkahnya terbawa hingga pucuk-pucuk kembang sepatu orang-orang mencarimu, ke tiap sudut ruang hingga ke lorong-lorong lengang hingga tinggal bayang-bayang 2006
tirakat 71 sebuah keranda
mengapung
di atas lautan manusia
dalam gemuruh doa
seperti sungai
tak putus-putus
mengalir
ke hilir
ke akhir
2006
tirakat 72 setetes air, menangis
jatuh dari mulut padasan,
membentur samadi batu-batu,
setelah sia-sia,
menanti tangan yang tak juga
mengusapnya, dalam wudhu
sementara,
selembar daun, terbang
dari dzikir rerumputan
bersama sayap-sayap malaikat
setelah hening menciumnya
dalam sujud tawadhu
2006
tirakat 73 : kotagede sayap-sayap malam membentang serupa kubah transparan awan menyisir bulan bintang bergantungan orang-orang bersimpuh di pelataran bangunan tua di antara dua pohon sawo kecik yang rimbun daunnya memeluk cungkup “tak banyak yang kumengerti, pada setiap ritual bersahaja ini” bisikmu mungkin tak perlu kau pahami, rasakan saja detak jantung sunyi 2006
tirakat 74 tentang sebuah pagi dan senja hari :aceh, papua, jogja, pangandaran, tasik, padang, jambi menafsir kegelapan ia telah begitu banyak menelan halaman catatan yang terus diguratkan di sisa terang di bawah tenda-tenda dan tempat penampungan di mana mimpi telah dikremasi dan harapan kini menjadi fosil dalam artefak menafsir kebenaran aku hanya dihadapkan pada kegelapan yang sama semakin tak kupahami wujudnya sementara gema suaranya demikian lamat semakin jauh kutelusuri, aku makin tersesat menafsir kejadian ia telah berubah menjadi goncangan skala richter demikian kejam, merajam, memangkas setiap simpul senyum di pagi hari, di senja hari lalu apakah puisi sanggup mengganti sebuah pagi atau senja hari ia telah membawa begitu banyak ibu dan anak-anak pergi menafsir kebenaran aku selalu dihadapkan pada kekalahan-kekalahan menafsir puisi aku hanya sanggup menuliskan kesedihanku sendiri 2006
tirakat 75 : pada luka sungai-sungai seperti musim telah melahirkan mataair merangkai kuncup-kuncup di reranting atau menghempaskan daun ke dasar sungai ia juga melukisi parit-parit pada wajahmu engkau, arus yang menganyam limbah kesekujur tubuh dari lorong-lorong beton seperti jejak kakimu pada dinding pabrik membekas sebelum pudar ditelan rembang petang ia, jejak-jejak itu kembali lagi keesokan hari selepas subuh hingga di penghujung senja sampai punah segala warna dan saat aku berkaca hanya bayangan kelam memadat semakin hitam 2005
tirakat 76 : sebuah tempat sesekali aku melewatinya, mungkin juga kau. sebuah tempat, tak menyisakan apapun, kecuali dekap hangat pohon angsana kini menjelma tugu kota terus beranjak bangkit matahari merayapi sepatu kita pernah menjelajahi hampir tiap sudutnya pada setiap akhir pecan selepas senja terengkuh malam sebuah tempat seperti setiap ingat berkelebat menyeret tepian jam, berdetak di ulu hati suara-suara surut, larut di dering sunyi malam makin sesak, rinduku beranak pinak! 2005
tirakat 77 selayaknya sebuah cerita aku huruf mati kau huruf hidup kata demi kata terpaut maka jadilah kalimat telah kita bangun paragraf demi paragraf berlembar-lembar, beratus-ratus hingga berjuta juta halaman tapi tak pernah selesai cerita kita hingga habis seluruh kata lalu kita mencoba membaca sunyi hingga habis seluruh bunyi juga detak nadi tapi tak pernah sampai kita bagaimana mencintai cinta 2005