8 bab 2 tinjauan pustaka 2.1. pengertian promosi kesehatan
TRANSCRIPT
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Promosi Kesehatan
Menurut WHO (1947), pengertian kesehatan secara luas tidak hanya meliputi
aspek medis, tetapi juga aspek mental dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan
yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan (Maulana, 2009), sedangkan
pengertian kesehatan menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini berarti, kesehatan
tidak hanya diukur dari aspek fisik mental dan sosial saja, tetapi juga diukur dari
produktivitasnya dalam mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara
ekonomi (Notoatmodjo, 2010).
Hasil rumusan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa,
Canada menyatakan bahwa promosi kesehatan adalah suatu proses untuk
memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.
Dengan kata lain, promosi kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2010).
Menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses mengupayakan individu-
individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengandalkan
faktor- faktor yang mempengaruhi kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat
9
kesehatannya. Bertolak dari pengertian yang dirumuskan WHO, Indonesia
merumuskan pengertian promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan
kegiatan bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung
oleh kebijakan publik yang berwawasana kesehatan (Depkes RI, 2005).
Batasan promosi kesehatan yang dirumuskan oleh Yayasan Kesehatan
Victoria (Victorian Health Foundation-Australia, 1997) dalam Notoatmodjo (2010)
menekankan bahwa promosi kesehatan adalah suatu program perubahan perilaku
masyarakat yang menyeluruh dalam konteks masyarakatnya. Bukan hanya perubahan
perilaku (within people), tetapi juga perubahan lingkungannya. Perubahan perilaku
tanpa diikuti perubahan lingkungan tidak akan efektif, perubahan tersebut tidak akan
bertahan lama.
2.2. Promosi Kesehatan dan Perilaku
Masalah kesehatan masyarakat, termasuk penyakit, ditentukan oleh 2 faktor
utama yaitu faktor perilaku dan non perilaku (faktor sosial, ekonomi, politik dan
sebagainya). Oleh sebab itu, upaya penanggulangan masalah kesehatan masyarakat
juga dapat ditujukan pada kedua faktor utama tersebut. Upaya pemberantasan
penyakit menular, penyediaan pelayanan kesehatan dan sebagainya adalah upaya
intervensi terhadap faktor fisik (non perilaku). Sedangkan upaya intervensi terhadap
10
faktor perilaku menurut Notoatmodjo (2010) dapat dilakukan melalui 2 pendekatan,
yakni :
a. Pendidikan (educational)
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara
(mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau
tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan
kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarnnya melalui proses
pembelajaran. Sehingga perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama dan
menetap, karena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendidikan kesehatan ini
adalah hasilnya lama karena perubahan melalui proses pembelajaran pada umumnya
memerlukan waktu yang lama.
b. Paksaan atau tekanan (Coercion)
Paksaan atau tekanan yang dilakukan kepada masyarakat agar melakukan
tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan meraka sendiri.
Tindakan atau perilaku sebagai hasil tekanan ini memang cepat, tetapi tidak akan
langgeng karena tidak didasari oleh pemahaman dan kesadaran untuk apa mereka
berperilaku seperti itu.
Berdasarkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dua pendekatan
tersebut, maka pendekatan pendidikanlah paling cocok sebagai upaya pemecahan
masalah kesehatan masyarakat, melalui faktor perilaku.
11
Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan,
maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan perilaku
tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan promosi kesehatan harus disesuaikan
dengan determinan (faktor yang mempengaruhi perilaku itu sendiri). Menurut Green
(1980), perilaku ini ditentukan oleh 3 faktor utama, yakni :
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat mempermudah atau
mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat.
Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya
adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial.
b. Faktor pendukung (enabling factors)
Faktor pendukung perilaku adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor
ini meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk
mencapainya.
c. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku
sehat diperlukan adalah perilaku petugas kesehatan dan dari tokoh masyarakat seperti
lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan ada tersedianya peraturan
dan perundang-undangan yang memperkuat.
Berdasarkan 3 faktor determinan perilaku tersebut, maka kegiatan promosi
kesehatan sebagai pendekatan perilaku hendaknya diarahkan kepada 3 faktor tersebut.
12
2.3. Visi dan Misi Promosi Kesehatan
Visi promosi kesehatan (khususnya di Indonesia) tidak terlepas dari visi
pembangunan kesehatan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 yakni meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi sumber daya manusia yang produktif secara
sosial ekonomi. Oleh sebab itu, promosi kesehatan sebagai bagian dari program
kesehatan masyarakat di Indonesia harus mengambil bagian dalam mewujudkan visi
pembangunan kesehatan di Indonesia tersebut. Sehingga visi promosi kesehatan dapat
dirumuskan sebagai masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan
kesehatannya (Notoatmodjo, 2010).
Mewujudkan visi promosi kesehatan tersebut, maka diperlukan upaya-upaya.
Upaya-upaya untuk mewujudkan visi ini disebut sebagai misi promosi kesehatan.
Secara umum misi promosi kesehatan ini, seperti yang termuat dalam Ottawa Charter
(1984) sekurang-kurangnya ada tiga hal yakni :
a. Advokat (Advocate)
Kegiatan advokat ini dilakukan terhadap para pengambil keputusan dari
berbagai tingkat, dan sektor terkait dengan kesehatan. Tujuan kegiatan ini adalah
meyakinkan para pejabat pembuat keputusan atau penentu kebijakan, bahwa program
kesehatan yang dijalankan tersebut penting. Oleh sebab itu, perlu dukungan kebijakan
atau keputusan dari para pejabat tersebut.
13
b. Menjembatani (Mediate)
Promosi kesehatan juga mempunyai misi sebagai mediator atau menjembatani
antara sektor kesehatan dengan sektor yang lain sebagai mitra. Dengan perkataan lain
promosi kesehatan merupakan perekat kemitraan di bidang pelayanan kesehatan.
Kemitraan sangat penting, sebab tanpa kemitraan, niscaya sektor kesehatan mampu
menangani masalah-masalah kesehatan yang begitu kompleks dan luas.
c. Memampukan (Enabling)
Sesuai dengan visi promosi kesehatan, yakni masyarakat mau dan mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatannya, promosi kesehatan mempunyai misi
utama untuk memampukan masyarakat. Hal ini berarti, baik secara langsung atau
melalui tokoh-tokoh masyarakat, promosi kesehatan hanya memberikan
keterampilan-keterampilan kepada masyarakat agar mereka mandiri di bidang
kesehatan.
2.4. Sasaran dan Ruang Lingkup Promosi Kesehatan
Maulana (2009) dalam bukunya “Promosi Kesehatan” menjelaskan sasaran
promosi kesehatan perlu dikenali secara khusus, rinci, dan jelas agar promosi
kesehatan lebih efektif. Adapun sasaran dari adanya promosi kesehatan adalah
individu/ keluarga, masyarakat, pemerintah/ lintas sektor/ politisi/ swasta dan petugas
atau pelaksana program.
Sehubungan dengan hal itu, promosi kesehatan dihubungkan dengan beberapa
tatanan, antara lain tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan institusi
14
kesehatan, tatanan tempat-tempat umum. Agar lebih spesifik menurut Maulana (2009,
sasaran kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Sasaran primer, adalah sasaran yang mempunyai masalah, yang diharapkan mau
berperilaku sesuai harapan dan memperoleh manfaat paling besar dari perubahan
perilaku tersebut.
b. Sasaran sekunder, adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh atau
disegani oleh sasaran primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung
pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran primer.
c. Sasaran tersier, adalah para pengambil kebijakan, penyandang dana, pihak-pihak
yang berpengaruh di berbagai tingkat (pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan,
dan desa/ kelurahan).
Selain membutuhkan sasaran yang jelas, maka promosi kesehatan juga harus
mempunyai ruang lingkup. Sehingga semua berjalan dengan jelas. Berdasarkan
Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa, Canada tahun 1986, dalam
bukunya maulana (2009) promosi kesehatan dikelompokkan menjadi lima area, yaitu:
a. Kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan (health public policy)
Kegiatan ditujukan pada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan. Hal
ini berarti setiap kebijakan pembangunan dalam bidang apa pun harus
mempertimbangkan dampak kesehatan bagi masyarakat.
15
b. Mengembangkan jaring kemitraan dan lingkungan yang mendukung (create
partnership and supportive environment)
Kegiatan ini bertujuan mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang
mendukung terhadap kesehatan. Kegiatan ini ditujukan kepada pemimpin organisasi
masyarakat, serta pengelola tempat-tempat umum, dan diharapkan memperhatikan
dampaknya terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik
yang mendukung atau kondusif terhadap kesehatan masyarakat.
c. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health service)
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemberi dan penerima pelayanan. Orientasi pelayanan diarahkan dengan
menempatkan masyarakat sebagai subjek (melibatkan masyarakat dalam pelayanan
kesehatan) yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya sendiri.
Hal tersebut berarti pelayanan kesehatan lebih diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat.
d. Meningkatkan keterampilan individu (increase individual skills)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat, yang terdiri atas kelompok,
keluarga, dan individu. Kesehatan masyarakat terwujud apabila kesehatan kelompok,
keluarga, dan individu terwujud. Oleh sebab itu, peningkatan keterampilan anggota
masyarakat atau individu sangat penting untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan masyarakat memelihara serta meningkatkan kualitas kesehatannya.
16
e. Mamperkuat kegiatan masyarakat (strengthen community action)
Derajat kesehatan masyarakat akan terwujud secara efektif, jika unsur-unsur
yang terdapat di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Memperkuat kegiatan
masyarakat berarti memberikan bantuan terhadap kegiatan yang sudah berjalan di
masyarakat, sehingga lebih dapat berkembang.
Menurut Ewles dan Simnett (1994) dalam bukunya Maulana (2009), ada lima
pendekatan promosi kesehatan, yaitu:
a. Pendekatan medik
Pendekatan ini mempunyai tujuan yaitu membebaskan dari penyakit dan
kecacatan yang didefinisikan secara medik, seperti penyakit infeksi, kanker, dan
jantung. Pendekatan ini melihat intervensi kedokteran untuk mencegah atau
meringankan kesakitan. Pendekatan ini memberikan arti penting terhadap tindakan
pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi kedokteran, membuat
kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.
b. Pendekatan perubahan perilaku
Pendekatan ini bertujuan mengubah sikap dan perilaku individual masyarakat,
sehingga mereka mengadopsi gaya hidup sehat. Pendekatan ini meyakinkan kita
bahwa gaya hidup sehat merupakan hal penting bagi klien.
c. Pendekatan pendidikan
Pendekatan ini bertujuan memberikan informasi dan memastikan pengetahuan
dan pemahaman tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan yang ditetapkan
atas dasar informasi yang ada.
17
d. Pendidikan berpusat pada klien
Tujuan dari pendekatan ini adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu
mereka mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat
keputusan dan pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai mereka.
e. Pendekatan perubahan sosial
Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan pada perilaku
setiap individu. Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan nilai
penting bagi hak demokrasi mereka mengubah masyarakat, memiliki komitmen pada
penempatan kesehatan dalam agenda politik diberbagai tingkat.
2.5. Strategi Promosi Kesehatan
Menurut Chandller (1996), strategi adalah penetapan dari tujuan dan sasaran
jangka panjang suatu organisasi serta penggunaan serangkaian tindakan dan alokasi
sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ada tiga komponen
dari defenisi Chandler yaitu adanya tujuan dan sasaran, adanya cara bertindak dan
alokasi daya untuk mencapai tujuan itu (Salusu, 1996).
Kotten dalam Salusu (1996) mencoba menjelaskan mengenai tipe-tipe
strategi. Tipe-tipe strategi yang ia kemukanan berikut ini sering dianggap sebagai
suatu hirearki. Tipe-tipe strategi yang dimaksud adalah :
18
a. Strategi organisasi (corporate strategy)
Strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai dan inisiatif-
inisiatif strategi yang baru. Pembatasan-pembatasan diperlukan yaitu apa yang
dilakukan untuk siapa.
b. Strategi program (program strategy)
Strategi ini lebih memberikan perhatian kepada implikasi-implikasi startagi dari
program tertentu. Apa kira-kira dampaknya apabila program tertentu
diperkenalkan, apa dampaknya bagi sasaran organisasi.
c. Strategi pendukung sumber daya (resource support strategy)
Strategi ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan sumber-sumber daya
esensial yang tersedia guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Sumber daya
itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi dan sebagainya.
d. Strategi kelembagaan (institusional strategi)
Fokus dari strategi ini adalah mengembangkan kemampuan organisasi untuk
melaksanakan inisiatif-inisiataif strategi.
Kotten juga menambahkan bahwa terlepas dari pendekatan yang digunakan
dalam membagi strategi itu kedalam beberapa beberapa kategori, kita cukup diberi
petunjuk bahwa strategi organisasi tidak hanya satu. Disamping itu tiap-tiap strategi
ini saling menopang sehingga merupakan suatu kesatuan kokoh yang mampu
menjadikan organisasi sebagai lembaga yang kokoh pula, mampu bertahan dalam
kondisi lingkungan yang tidak menentu. Setiap strategi yang telah dirumuskan
19
diharapkan dapat secepatnya diimplementasikan. Tidak hanya dapat
diimplementasikan, akan tetapi juga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Strategi menurut Notoatmodjo (2010) adalah cara bagaimana mencapai atau
mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna.
Berdasarkan rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan,
strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3 hal, yaitu:
2.5.1. Advokasi
Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi
kebijakan publik, melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Dengan
kata lain advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh komitmen, yang
dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat
(Notoatmodjo, 2010).
Sementara menurut Efendi dan Makhfudli (2009), advokasi yaitu pendekatan
pimpinan dengan tujuan untuk mengembangkan kebijakan publik yang berwawasan
kesehatan. Hasil yang diharapkan adalah kebijakan dan peraturan-peraturan yang
mendukung untuk mempengaruhi terciptanya perilaku hidup bersih dan sehat, serta
adanya dukungan dana dan sumber daya lainnya. Kegiatan yang dapat dilakukan
antara lain, pendekatan perorangan. Pendekatan tersebut seperti melalui lobi, dialog,
negosiasi, debat, petisi, mobilisasi, seminar, dan lain-lain.
Advokasi menurut Depkes RI (2008) adalah upaya atau proses yang strategis
dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak terkait
(stakeholders). Advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang merupakan
20
kebijakan (misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana dan
lain-lain sejenis. Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal
yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan penyandang dana
pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama,
tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu kebijakan
(tidak tertulis) di bidangnya.
Tujuan dari adanya advokasi ada dua, yaitu umum dan khusus.
1. Tujuan umum: diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya kesehatan,
baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keikut sertaan dalam
kegiatan, maupun berbagai bentuk lainnya sesuai keadaan dan usaha.
2. Tujuan Khusus:
a. Adanya pemahaman/ pengenalan/ kesadaran.
b. Adanya ketertarikan/ peminatan/ tidak penolakan.
c. Adanya kemauan/ kepedulian/ kesanggupan (untuk membantu/ menerima).
d. Adanya tindakan/ perbuatan/ kegiatan nyata (yang diperlukan).
e. Adanya kelanjutan kegiatan (kesinambungan kegiatan).
Keluaran atau output advokasi dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk yakni
output dalam bentuk perangkat lunak dan output dalam bentuk perangkat keras
(Notoatmodjo, 2010). Indikator output dalam bentuk perangkat lunak adalah
peraturan-peraturan atau undang-undang sebagai bentuk kebijakan atau perwujudan
dari komitmen politik terhadap program kesehatan, misalnya : undang-undang,
21
peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, surat
keputusan gubernur, bupati, camat dan seterusnya.
Sedangkan indikator output dalam bentuk perangkat keras antara lain :
a. Meningkatnya dana atau anggaran untuk pembangunan kesehatan.
b. Tersedianya atau dibangunnya fasilitas atau sarana pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya.
c. Dibangunnya atau tersedianya sarana dan prasarana kesehatan misalnya air
bersih, jamban keluarga atau jamban umum, tempat sampah dan sebagainya.
d. Dilengkapinya peralatan kesehatan seperti laboratorium peralatan pemeriksaan
fisik dan lain sebagainya.
2.5.2. Bina Suasana (Social Suppport)
Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), bina suasana yaitu penciptaan situasi
yang kondusif untuk memberdayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup
bersih dan sehat dapat tercipta dan berkembang jika lingkungan mendukung hal ini.
Dalam konteks ini lingkungan mencakup lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi,
dan politik.
Bina suasana menurut Depkes RI (2008) adalah upaya untuk menciptakan
opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu atau anggota masyarakat
untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk
mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial dimanapun dia berada (keluarga,
dirumah, orang-orang yang menjadi panutan/idolanya, majelis agama dan lain-lain
bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut.
22
Oleh karena itu, untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat, khususnya
dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu
dilakukan bina suasana.
Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana, yaitu (1)
Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan Masyarakat
Umum, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bina suasana individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat. Melalui
pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang positif
terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan dapat
menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan
dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan
tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin melaksanakan 3 M yaitu
Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah munculnya wabah demam
berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan agar mereka bersedia menjadi
kader dan turut menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang
kondusif bagi perubahan perilaku individu.
2. Bina suasana kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat,
seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), kelompok
keagamaan, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita, organisasi
siswa/mahasiswa, organisasi pemuda, dan lain-lain. Pendekatan ini dapat
dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan pemuka/tokoh masyarakat yang
23
telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok tersebut menjadi peduli terhadap
perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk
dukungan ini dapat berupa kelompok tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan
perilaku yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan
atau melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.
3. Bina suasana masyarakat umum, dilakukan terhadap masyarakat umum dengan
membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio, televisi,
koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta pendapat
umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa tersebut menjadi
peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan. Suasana atau
pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau
“penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga
akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan. Strategi
bina suasana dilakukan melalui: (1) Pengembangan potensi budaya masyarakat
dengan mengembangkan kerja sama lintas sektor termasuk organisasi
kemasyarakatan, keagamaan, pemuda, wanita serta kelompok media massa; dan
(2) Pengembangan penyelenggaraan penyuluhan, mengembangkan media dan
sarana, mengembangkan metode dan teknik serta hal-hal lain yang mendukung
penyelenggaraan penyuluhan.
2.5.3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Pemberdayaan adalah membantu individu untuk memperoleh daya untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan
24
diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya
yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya (Prijono, Pranarka,
1996).
Pemberdayaan masyarakat menurut Notoatmodjo (2009) adalah strategi
promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat secara langsung dengan tujuan
utama yang ingin dicapai adalah agar terwujudnya kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri masyarakat. Bentuk dari
pemberdayaan masyarakat antara lain: pelayanan kesehatan gratis, pemberian obat
gratis, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk koperasi dan
pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga.
Maulana (2009) membagi tujuan pemberdayaan menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pemberdayaan masyarakat yaitu masyarakat
mampu mengenali, memelihara, melindungi dan meningkatkan kualitas
kesehatannya, termasuk jika sakit dapat memperoleh pelayanan kesehatan tanpa
mengalami kesulitan dalam pembiayaannya. Tujuan khusus pemberdayaan
masyarakat yaitu memahami dan menyadari pentingnya kesehatan, memiliki
keterampilan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, memiliki
kemudahan untuk menjaga kesehatan diri dan lingkunganya, berupaya bersama
(bergotong-royong) menjaga dan meningkatkan kesehatan lingkungannya. Prinsip
dari pemberdayaan masyarakat yaitu menumbuhkembangkan potensi masyarakat,
menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan, mengembangkan
25
kegiatan kegotong-royongan di masyarakat, promosi pendidikan dan pelatihan
dengan sebanyak mungkin menggunakan dan memanfaatkan potensi setempat, upaya
dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak, desentralisasi (sesuai dengan
keadaan dan kebudayaan setempat).
Menurut Depkes RI (2008), pemberdayaan masyarakat adalah proses
pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan sasaran serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah
dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge) dari tahu menjadi mau
(aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek practice).
Tujuan pemberdayaan masayarakat tersebut adalah menumbuhkan potensi
masyarakat yang artinya segala potensi masyarakat perlu dioptimalkan untuk
mendukung program kesehatan (Depkes RI, 2000).
Menurut Sumodingningrat (2004) pemberdayaan tidak bersifat selamanya,
melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas
untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat
tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai
status, mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut
tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus
menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam rangka
pemberdayaan akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui
26
tersebut adalah meliputi: 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli
sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar
sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. 3. Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah
inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mehantarkan pada kemandirian (Ambar,
2004).
Keluaran atau hasil yang diharapkan dalam pemberdayaan adalah (Depkes
RI, 2000):
a. Tumbuh kembangnya berbagai upaya kesehatan bersumber daya masyarakat serta
meningkatnya kemampuan dan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan.
b. Adanya upaya kesehatan yang bersumber dari masyarakat seperti Posyandu, dll.
c. Masyarakat menjadi peserta dana sehat/ JPKM.
2.6. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi
masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat
dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Di dalam hal ini, masyarakat
sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan
27
mengevaluasikan program-program kesehatan masyarakatnya. Institusi kesehatan
hanya sekadar memotivasi dan membimbingnya (Notoatmodjo, 2007).
Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengatakan bahwa pembangunan pada
dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang
diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang
semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu
perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. Ada enam jenis tafsiran
mengenai partisipasi masyarakat tersebut antara lain:
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek atau program
pembangunan tanpa ikut serta dalam pengambil keputusan.
2. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan
kemauan menerima dan kemampuan menangapi proyek-proyek atau program-
program pembangunan.
3. Partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau
kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah penetapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf
dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek/program agar
memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.
5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukan sendiri.
28
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan
dan lingkungan mereka.
Conyer dalam Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah
keikutsertaaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan
kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Ada lima cara
untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu:
1. Survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang
diperlukan.
2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen
pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
perencanaan.
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang
semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
4. Perencanaan melalui pemerintah lokal.
5. Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development).
Menurut Notoatmodjo (2007), di dalam partisipasi setiap anggota masyarakat
dituntut suatu kontribusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas
pada dana dan finansial saja tetapi dapat berbentuk daya (tenaga) dan ide (pemikiran).
Dalam hal ini dapat diwujudkan di dalam 4 M, yakni manpower (tenaga), money
(uang), material (benda-benda lain seperti kayu, bambu, beras, batu, dan sebagainya),
dan mind (ide atau gagasan).
29
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengajak atau menumbuhkan
partisipasi masyarakat. Pada pokoknya ada 2 cara, yakni (Notoatmodjo (2007):
1. Partisipasi dengan paksaan (enforcement participation), artinya memaksa
masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-
undangan, peraturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat
hasilnya dan mudah. Tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget,
karena dasarnya bukan kesadaran (awereness), tetapi ketakutan.
2. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi yakni suatu partisipasi yang didasari pada
kesadaran. Sukar ditumbuhkan, akan memakan waktu yang lama. Tetapi bila
tercapai hasilnya ini akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara.
Partisipasi ini dimulai dengan penerangan, pendidikan dan sebagainya, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Craig dan Mayo dalam Slamet (2003), menyatakan Empowerment is road to
participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi
dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk
menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum
berdayanya sebagian masyarakat kita.
2.7. Gizi Buruk
Gizi buruk adalah keadaan di mana asupan zat gizi sangat kurang dari
kebutuhan tubuh. Umumnya gizi buruk ini di derita oleh balita karena pada usia
tersebut terjadi peningkatan energi yang sangat tajam dan peningkatan kerentanan
30
terhadap infeksi virus/ bakteri (Almatsier, 2003). Zat gizi yang dimaksud bisa berupa
protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah
teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi
buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun
(Nency, 2005).
Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat
badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan
berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi
kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi
kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk.
Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut
(Pardede, J, 2006).
2.7.1. Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena
masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus yaitu anak tampak sangat
31
kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang
terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, iga gambang dan perut cekung, otot paha
mengendor (baggy pant) serta cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak
masih terasa lapar (Depkes RI, 2000).
2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian
tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan
atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status
mental berupa cengeng, rewel, kadang apatis,rambut tipis kemerahan seperti warna
rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat
terlihat rambut kepala kusam, wajah membulat dan sembab, pandangan mata anak
sayu, pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam serta kelainan kulit
berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan
terkelupas. 3. Marasmus-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein
dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping
menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan
biokimiawi terlihat pula (Depkes RI, 2000).
32
2.7.2. Dampak Gizi Buruk
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja
terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping
berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan
mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering
disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan
tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali
terkena infeksi.
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa
karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain
hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar
gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan
tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya
anak tidak dapat ”catch up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka
panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun
perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak,
akibat kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan
perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental
dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak
itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi fatal karena otak adalah
salah satu aset yang vital bagi anak.
33
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan
gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah
penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori,
gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja
merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).
2.7.3. Faktor Penyebab Gizi Buruk Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :
1. Penyebab langsung yaitu kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang
dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit
kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau
demam akhirnya menderita kurang gizi. 2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan
kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga
merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah,
ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi
buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor.Ketahanan pangan adalah kemampuan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik maupun gizinya (Dinkespropsu, 2006).
Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang
kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara
34
adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola
makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan
yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri
akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan
terjadinya infeksi (Nency, 2005).
2.7.4. Penilaian Status Gizi Balita
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) dalam pedoman Depkes
RI (2011) menciptakan aplikasi“WHO anthro” yang dapat digunakan untuk
menghitung status gizi dan memantau perkembangan motorik anak. Aplikasi tersebut
menggunakan data antropometri seperti umur, berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan, dan lingkar kepala sehingga tidak perlu dilakukan lagi melakukan
perhitungan manual untuk penilaian status gizi.
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan
setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan
menggunakan baku antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-Score
masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai
berikut :
a. Berdasarkan indikator BB/U :
Berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya
karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya nafsu
35
makan atau memnurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan
kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin,
maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam
keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu
dapat berkembang cepat atau lebih lambat badan menurut umur digunakan sebagai
salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang
labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.
Kategori BB/U :
1. Kategori Gizi Buruk, jika Z-score < -3,0
2. Kategori Gizi Kurang, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
3. Kategori Gizi Baik, jika Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0
4. Kategori Gizi Lebih, jika Z-score >2,0
b. Berdasarkan indikator TB/U:
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tingii badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama.
36
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan
status gizi masa lalu. Menurut Beaton dan Bengoa (1973) indeks TB/U dapat
memberikan status gizi masa lampau dan status sosial ekonomi.
Kategori TB/U :
1. Kategori Sangat Pendek, jika Z-score < -3,0
2. Kategori Pendek, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
3. Kategori Normal, jika Z-score >=-2,0
c. Berdasarkan indikator BB/TB:
1. Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0
2. Kategori Kurus, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score < -2,0
3. Kategori Normal, jika Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0
4. Kategori Gemuk, jika Z-score > 2,0
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut :
1. Prevalensi gizi buruk = (Jumlah balita gizi buruk/jumlah seluruh balita) x 100%
2. Prevalensi gizi kurang = (Jumlah balita gizi kurang/jumlah seluruh balita) x 100%
3. Prevalensi gizi baik = (Jumlah balita gizi baik/jumlah seluruh balita) x 100%
4. Prevalensi gizi lebih = (Jumlah balita gizi lebih/jumlah seluruh balita) x 100%
d. IMT/ U
Pengukuran status gizi dilakukan dengan metode antropometri melalui
perhitungan indeks IMT/U. IMT/U digunakan untuk anak yang berumur 5-19
tahun, dengan menggunakan z-score.
Kategori IMT/U :
1. Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0
2. Kategori Kurus, jika Z-score < - 2SD
37
3. Kategori Normal, jika Z-score -2SD sampai +1SD
4. Kategori Gemuk, jika Z-score > + 1SD
5. Kategori Obese I, jika Z-score > +2SD
6. Kategori Obese II jika, Z-score > +3SD
Untuk penilaian status gizi dalam program kesehatan masyarakat, salah satu
cara yang digunakan dalam penentuan status gizi masyarakat adalah dengan cara
pengukuran terhadap nilai-nilai dari indeks antropometri. Dalam penentuan status gizi
suatu kelompok masyarakat, lebih baik kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini :
1. Nilai-nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U atau BB/TB) dibandingkan dengan
nilai rujukan yang dalam hal ini digunakan Rujukan WHO-2005.
2. Dengan menggunakan batas ambang (cut-off point) untuk masing-masing indeks,
maka status gizi seseorang atau anak dapat ditentukan.
Didasarkan pada asumsi resiko kesehatan :
a. Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk
menderita masalah kesehatan.
b. Antara -2 s/d -3 atau antara +2 s/d +3 memiliki resiko cukup tinggi (“mode-
rate”) untuk menderita masalah kesehatan.
c. Di bawah -3 SD atau di atas +3 SD memiliki resiko tinggi untuk menderita
masalah kesehatan.
3. Istilah status gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar tidak
terjadi kerancuan dalam interpretasi.
38
4. Bila dalam masyarakat ada lebih dari 2,5% balita berada <-2 SD tetapi kurang
dari 0,5% berada <-3 SD kemungkinan besar penyebabnya masa-
lahnya adalah kekurangan zat gizi karena berbagai faktor (kemiskinan, ketidak
tahuan, pola asuh yang berkaitan dengan penyakit).
5. Bila dalam suatu masyarakat ada lebih dari 2,5 % balita <-2 SD dan lebih dari
0,5% anak < -3 SD, maka masyarakat tersebut masih memiliki masalah
gizi yang perlu penanganan secara komprehensif terhadap akar masalahnya.
2.7.5. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk
Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai
upaya pencegahan terjadinya gizi buruk/KEP berat di tingkat rumah tangga yaitu:
a. Ibu membawa anak untuk ditimbang di posyandu secara teratur setiap bulan
untuk mengetahui pertumbuhan berat badannya.
b. Ibu memberikan hanya ASI saja kepada bayi usia 0-6 bulan.
c. Ibu tetap memberikan ASI kepada anak sampai usia 2 tahun.
d. Ibu memberikan MP-ASI sesuai usia dan kondisi kesehatan anak sesuai anjuran
pemberian makanan.
e. Ibu memberikan makanan beraneka ragam bagi anggota keluarga lainnya.
f. Ibu segera memberitahukan pada petugas kesehatan/kader bila balita mengalami
sakit atau gangguan pertumbuhan.
g. Ibu menerapkan nasehat yang dianjurkan petugas.
39
Menurut Depkes RI (2005) dalam dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan
dan Penanggulangan Gizi Buruk dinyatakan bahwa terdapat kebijakan dalam
pencegahan dan penanggulangan gizi buruk yaitu :
1. Mengingat besaran dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah Indonesia
dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan
penanggulangan gizi buruk merupakan program nasional, sehingga perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan
antara pusat dan daerah.
2. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan
komprehensif, dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan,
yang didukung upaya pengobatan dan upaya pemulihan.
3. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan oleh semua kabupaten/kota
secara terus menerus, dengan koordinasi lintas instansi/dinas dan organisasi
masyarakat.
4. Penanggulangan masalah gizi buruk diselenggarakan secara demokratis dan
transparan melalui kemitraan di tingkat kabupaten/kota antara pemerintahan
daerah, dunia usaha dan masyarakat.
5. Penanggulangan masalah gizi buruk dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat yaitu dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan
kesempatan untuk mengemukakan pendapat, serta keterlibatan dalam proses
pengambilan keputusan. Masyarakat yang telah berdaya diharapkan berperan
40
sebagai pelaku/pelaksana, melakukan advokasi dan melakukan pemantauan
untuk peningkatan pelayanan publik.
Adapun strategi dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk adalah :
1. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dilaksanakan di seluruh
kabupaten/kota di Indonesia, sesuai dengan kewenangan wajib dan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dengan memperhatikan besaran dan luasnya masalah.
2. Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi
masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali
dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan pertumbuhan
melalui revitalisasi Posyandu.
3. Meningkatkan kemampuan petugas, dalam manajemen dan melakukan
tatalaksana gizi buruk untuk mendukung fungsi Posyandu yang dikelola oleh
masyarakat melalui revitalisasi Puskesmas.
4. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan
melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul Vitamin A, MP-
ASI dan makanan tambahan.
5. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi dan sosialisasi
tentang makanan sehat dan bergizi seimbang dan pola hidup bersih dan sehat.
6. Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan swasta/dunia usaha
dan masyarakat untuk mobilisasi sumberdaya dalam rangka meningkatkan daya
beli keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi seimbang.
41
7. Mengaktifkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) melalui
revitalisasi SKPG dan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Gizi Buruk, yang
dievaluasi dengan kajian data SKDN yaitu (S)emua balita mendapat (K)artu
menuju sehat, (D)itimbang setiap bulan dan berat badan (N)aik, data penyakit
dan data pendukung lainnya.
2.8 Landasan Teori
Rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan,
dinyatakan bahwa strategi promosi kesehatan secara global terdiri dari 3 hal yaitu :
1. Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmendan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stake
holders). Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal
(misalnya pihak pemerintah; lurah, camat, Dinas Kesehatan, Walikota, DPRD,
dinas terkait) yang umumnya sebagai penentu kebijakan pemerintah atau
penyandang dana pemerintah. Atau tokoh masyarakat informal seperti tokoh
agama, tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu
kebijakan yang tidak tertulis. Advokasi dapat diukur dari ketersediaan kebijakan
(peraturan-peraturan, surat instruksi), sarana/prasarana, sumber daya manusia,
sosialisasi, dan kelengkapan data, dana dan lain-lain.
2. Bina Suasana adalah upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong individu anggota masyarakat untuk melakukan perilaku pencegahan
penyakit.
42
Terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana yaitu :
a. Pendekatan individu tokoh masyarakat dalam menyebarluaskan opini yang
positif kepada individu-individu di lingkungannya.
b. Pendekatan kelompok masyarakat seperti pengurus Rukun Tetangga (RT),
Pengurus Rukun Warga (RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi
profesi, organisasi wanita dan lain-lain.
c. Pendekatan masyarakat umum, dengan membina dan memanfaatkan media-
media komunikasi, seperti radio, televisi, koran, majalah dan lain-lain sehingga
dapat tercipta pendapat umum.
Kegiatan bina suasana dapat diukur dari yang diukur dari terlaksananya kegiatan
pertemuan, perlombaan dan penyuluhan atau penyebaran informasi baik
individu, tokoh masyarakat maupun memanfaatkan media komunikasi
3. Pemberdayaan masyarakat yaitu proses pemberian informasi secara terus-menerus
dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu
sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar
(aspek knowledge) dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan mau menjadi
mampu mealksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice).
Pemberdayaan dapat diukur dengan terbentuknya upaya kesehatan berbasis
masyarakat (UKBM) seperti posyandu, kader kesehatan dan pengorganisasian
kelompok kesehatan.
43
Menurut Notoatmodjo (2007), partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya
seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan
masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan
seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri.
Cara yang dapat dilakukan untuk mengajak atau menumbuhkan partisipasi
masyarakat adalah (Notoatmodjo (2007):
1. Partisipasi dengan paksaan (enforcement participation), artinya memaksa
masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-
undangan, peraturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat
hasilnya dan mudah. Tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget,
karena dasarnya bukan kesedaran (awereness), tetapi ketakutan.
2. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi yakni suatu partisipasi yang didasari pada
kesadaran. Sukar ditumbuhkan, akan memakan waktu yang yang. Tetapi bila
tercapai hasilnya ini akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara.
Partisipasi ini dimulai dengan penerangan, pendidikan dan sebagainya, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi
Kesehatan, tentang strategi promosi kesehatan dan cara untuk mengajak atau
menumbuhkan partisipasi masyarakat menurut Notoatmodjo (2007), dapat diuraikan
landasan teori sebagai berikut:
44
Gambar 2.1. Landasan Teori
Advokasi
- Kebijakan (peraturan-peraturan, surat instruksi)
- Sarana/prasarana - Sumber daya manusia - Dana
Bina Suasana
- Pertemuan/ Penyuluhan - Perlombaan dan - Penyebaran informasi
Pemberdayaan Masyarakat
- UKBM seperti posyandu, - Kader kesehatan - Pengorganisasian
kelompok kesehatan
Partisipasi dengan paksaan (enforcement
participation)
Partisipasi dengan persuasi dan edukasi
Partisipasi masyarakat
45
2.9 Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian
yang menjelaskan arah atau alur penelitian tentang menganalisis implementasi
strategi promosi kesehatan (advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat)
dan pengaruhnya pada partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada
balita di wilayah Puskesmas Helvetia Kota Medan tahun 2014.
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Implementasi Strategi Promosi Kesehatan (advokasi, Bina Suasana dan Pemberdayaan Masyarakat) Yang Dilaksanakan Provider (Kualitatif)
Partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita : - Cakupan program(D/S) - Hasil Pengukuran
terhadap masyarakat
Hasil Kegiatan Strategi Promosi Kesehatan yang Dirasakan Masyarakat (Kuantitif)