85019009 referat uveitis anterior
TRANSCRIPT
CLINICAL SCIENCE SESSION
“ UVEITIS ANTERIOR “
Oleh :
Bekti SetyawardaniNPM. 0218011017
Preceptor :
dr. Helmi Muchtar, Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATARS. UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNGSEPTEMBER 2008
UVEITIS ANTERIOR
I. PENDAHULUAN
Gejala penyakit traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu.
Misalnya, karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis
akan mengeluh sakit dan fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak
mengaburkan penglihatan kecuali bila prosesnya berat atau cukup lanjut
hingga mengeruhkan humoe aqueus, kornea atau lensa. Penyakit koroid
sendiri tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya
koroid pada retina, penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina
(misalnya korioretinitis). Jika pada daerah makula retina terkena,
penglihatan sentral akan terganggu.
Viterus juga dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian
koroid dan retina yang meradang. Gangguan penglihatan proporsional
dengan densitas kekeruhan vitreus dan bersifat reversibel bila peradangan
mereda.
Dokter memeriksa penyakit pada traktus uvealis anterior dengan lampu
senter dan kaca pembesar atau slit lamp, dan penyakit pada traktus uvealis
posterior dengan oftalmoskopi. Penyakit utama yang mengenai traktus
uvealis adalah peradangan dan tumor.
Gambar 1. Pembagian traktus uvealis
II. DEFINISI
Uveitis anterior adalah proses radang yang mengenai uvea bagian anterior.
Struktur uvea terdiri dari 3 bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid yang
1
merupakan jaringan vaskuler di dalam mata, terletak antara retina dan sklera.
Secara anatomis uvea dapat dibedakan menjadi uvea anterior yang terdiri
dari iris dan badan silier, serta uvea posterior yang terdiri dari koroid.
Sesuai dengan pembagian anatomisnya tersebut, maka uveitis juga
dibedakan menjadi :
Uveitis anterior : Apabila mengenai iris (iritis), badan silier (siklitis), atau
kedua-duanya (iridosiklitis).
Uveitis posterior : Apabila mengenai jaringan koroid (koroiditis). Sering
disertai dengan retinitis, disebut korioretinitis.
Panuveitis : Apabila mengenai ketiga lokasi tersebut diatas.
Gambar 2. Skema uveitis anterior dan uveitis posterior
III. EPIDEMIOLOGI
Keadaan uveitis dapat terjadi antara 10-15 % pada kasus kebutaan total pada
negara berkembang. Insidensi Uveitis di Amerika diperkirakan terjadi 15
kasus baru per 100.000 populasi setiap tahun.
IV. ETIOLOGI
Penyebab eksogen seperti trauma uvea atau invasi mikroorganisme atau
agen lain dari luar. Secara endogen dapat disebabkan idiopatik, autoimun,
2
keganasan, mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya
infeksi tuberkulosis, herper simpleks. Etiologi uveitis dibagi dalam :
1. Berdasarkan spesifitas penyebab :
- Penyebab spesifik (infeksi)
Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi,ataupun parasit yang spesifik.
- Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau
antigen yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen
antibodi dengan predileksi pada traktus uvea.
2. Berdasarkan asalnya:
- Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intra
okuler, ataupun iatrogenik.
- Endogen : Dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain ataupun
reaksi autoimun.
3. Berdasarkan perjalanan penyakit :
- Akut : Apabila serangan terjadi satu atau dua kali, dan penderita sembuh
sempurna diluar serangan tersebut.
- Residif : Apabila serangan terjadi lebih dari dua kali disertai
penyembuhan yang sempurna di antara serangan-serangan
tersebut.
- Kronis : Apabila serangan terjadi berulang kali tanpa pernah sembuh
sempurna di antaranya.
4. Berdasarkan reaksi radang yang terjadi:
- Non granulomatosa : Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel plasma dan
limfosit.
- Granulomatosa : Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel epiteloid dan
makrofag.
V. PATOFISIOLOGI DAN KOMPLIKASI
3
Seperti semua proses radang, uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi
pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi
perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas
ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu
partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek Tyndal). Kedua gejala
tersebut menunjukkan proses keradangan akut.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang di dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke
dalam BMD, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung
lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel
kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic
precipitate, yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen
yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan
berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin,
dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa
bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel
kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada
bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup
oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh
sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mat belakang
ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang
4
dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya
terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila
peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif
berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam
badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk
sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya
yang semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior
yang terjadi akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.
Secara garis besar, patofisiologi dan komplikasi dari uvitis anterior dapat
digambarkan dengan bagan berikut:
Hiperemi perikorneal, dilatasi pembuluh darah kecil (pericorneal vascular
injection)
Permeabilitas pembuluh darah ↑
Iris edema, pucat, pupil reflex ↓ s/d eksudasi hilang, pupil miosis
BMD keruh, sel dan migrasi sel-sel radang dan fibrin ke BMD, flare (+),
efek tyndal (+)
5
Sel radang menumpuk di BMD hipopion (bila proses akut)
Migrasi eritrosit ke BMD, hifema (bila proses akut)
Sel-sel radang melekat pada endotel keratic precipitate kornea
Sel-sel radang, fibrin, fibroblast menyebabkan sinekia posterior, iris melekat
pada kapsul lensa anterior atau sinekia anterior, iris melekat pada endotel
kornea
Sel-sel radang, fibrin, fibroblas menutup seklusio pupil / oklusio pupil
Gangguan pengaliran keluar cairan mata dan peningkatan tekanan
glaukoma sekunder intra okuler
Pada lensa, Gangguan metabolisme lensa : keruh, katarak komplikata
endoftalmitis, peradangan menyebar luas menjadi panoftalmitis
Symphatetic ophtalmia : Mengenai mata sebelahnya
6
Gambar 3 . Keratik precipitat granulomatous dan sinekia posterior
VI. MANIFESTASI KLINIK
Pada anamnesa penderita mengeluh:
1. Mata terasa ngeres seperti ada pasir.
2. Mata merah disertai air mata.
3. Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri bertambah hebat bila
telah timbul glaukoma sekunder.
4. Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar
5. Blefarospasme.
6. Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah terjadi katarak
komplikata, penglihatan akan banyak menurun.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
- Kelopak mata edema disertai ptosis ringan.
- Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
- Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus,
dan keratic precipitate.
- Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau hifema bila
proses sangat akut. Sudut BMD menjadi dangkal bila didapatkan sinekia.
- Iris edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans.
Dapat pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior.
7
- Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, refleks lambat sampai negatif.
- Lensa keruh, terutama bila telah terjadi katarak komplikata.
- Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder.
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan
atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan
fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan
tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya
komplikasi yang tidak diharapkan.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi :
Terapi non spesifik
1. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat
pemberian midriatikum.
2. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus
untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat
lebih cepat.
3. Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier
relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat
panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk
mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
- Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
- Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
- Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
8
4. Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan
dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %.
Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler :
- Dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
- Prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
- Triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
- Methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral mulai 80 mg
per hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali.
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi
yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal
selama lebih dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan
sistemik.
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri,
maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik, yaitu :
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid
Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid secara per oral
dengan Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul.
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali.
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti
disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi
adalah sama tanpa memandang penyebabnya.
Terapi terhadap komplikasi
9
1.Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior,
perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
2.Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
uveitis anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
Terapi konservatif :
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
Acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
Terapi bedah :
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap
tinggi.
- Sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi
perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS)
dilakukan bedah filtrasi.
- Sudut terbuka : bedah filtrasi.
3. Katarak komplikata
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang
diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan
jenis katarak serta kemampuan ahli bedah.
10
VIII.PEMERIKSAAN ANJURAN
Oftalmoskopi
Tonometri
Slitlamp
Pemeriksaan laboratorium.
Penderita uveitis anterior akut dengan respon yang baik terhadap pengobatan
non spesifik, umumnya tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih
lanjut. Sementara bagi penderita yang tidak responsif , diusahakan untuk
menemukan diagnosis etiologinya melalui pemeriksaan laboratorium.
Pada penderita ini sebaiknya dilakukan skin test untuk pemeriksaan
tuberkulosis dan toksoplasmosis. Untuk kasus-kasus yang rekurens
(berulang), berat, bilateral, atau granulomatosa, perlu dilakukan tes untuk
sifilis, foto Rontgen untuk mencari kemungkinan tuberkulosis atau
sarkoidosis. Penderita muda dengan arthritis sebaiknya dilakukan tes ANA.
Pada kasus psoriasis, uretritis, radang yang konsisten, dan gangguan
pencernaan, dilakukan pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari penyebab
autoimun. Pada dugaan kasus toksoplasmosis, dilakukan pemeriksaan IgG
dan IgM.
IX. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang memberikan gejala menyerupai uveitis anterior
antara lain konjungtivitis akut dan glaukoma akut.
X. PROGNOSIS
Dengan pengobatan, serangan uveitis non granulomatosa umumnya
berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis
granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang
dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen
dengan penurunan penglihatan nyata walau dengan pengobatan yang terbaik.
11
DAFTAR PUSTAKA
Department of Ophthalmology and Visual Sciences, The Chinese University of Hong Kong Sept 2002. www.afv.org.hk/Uveitis/uveitis_3.jpg
Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata, Edisi ke-3, Cetakan ulang 2008, Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2008.
Vaughan, Dale. General Ophtalmology (terjemahan), Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000.
www.preventblindness.org/uveitis/eye_sections.jpg
www.cehjournal.org/images_uveitis/ceh_18_53_072_f02.jpg
www.nature.com/uveitis anterior/v17/n5/images/6700392f1.jpg
www.pedomanpengobatanpenyakit.com/uveitis anterior.
12