8.geologi lingkungan untuk arahan tempat pembuangan akhir(tpa) sampah, kota palu

Upload: phillip-morris

Post on 10-Oct-2015

91 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

GEOLOGI LINGKUNGAN UNTUK ARAHAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR(tpa) SAMPAH

TRANSCRIPT

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    GEOLOGI LINGKUNGAN UNTUK ARAHAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA)SAMPAH

    KOTA PALU, SULAWESI TENGAH

    Oleh: Guntarto

    SARI

    Penempatan limbah domestik atau sampah perkotaan seringkali menimbulkan masalah lingkungan, terutama pada kota-kota yang cepat berkembang, seperti halnya di kota Palu. Terbatasnya lahan yang layak dan penempatan lokasi TPA sampah di daerah perkotaan yang tidak sesuai dengan aspek geologi lingkungan akan menyebabkan dampak negatip terhadap lingkungan, seperti pencemaran air tanah dan air permukaan oleh air lindi (leachate), longsoran sampah dan lain sebagainya. Untuk menghindari dampak negatif tersebut lokasi TPA sampah sebaiknya ditempatkan pada kondisi geologi yang sesuai. Analisis geologi kelayakan TPA sampah dilakukan dengan dua tahapan yaitu kelayakan regional dan usulan tapak TPA sampah. Pada dasarnya analisis kelayakan regional dengan mempertimbangkan beberapa aspek geologi dan non geologi akan menghasilkan zona kelayakan dalam peta sekala 1 : 50.000. Tahap analisis rinci merupakan tahap penetapan lokasi TPA sampah berdasarkan lokasi kelayakan dari tahap analisis regional

    1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Sampah merupakan hasil samping dari kegiatan manusia, baik dari kegiatan rumah tangga, komersial, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan fasilitas lainnya. Saat ini kehadiran sampah telah menimbulkan berbagai persoalan lingkungan, seperti gangguan kesehatan, pencemaran air dan penurunan nilai estetika lahan.

    Sarana pengelolaan sampah yang terpenting adalah TPA sampah. Penempatan lokasi TPA sampah seringkali dilematik, karena TPA sampah yang tidak layak lingkungan dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, pencemaran dan estetika. Untuk menghindari timbulnya gangguan tersebut seringkali TPA sampah diletakkan di tempat yang jauh dari lokasi kegiatan masyarakat. Namun seringkali tempat ini merupakan tempat yang rawan bencana geologi, dengan demikian hal ini menimbulkan masalah baru. Untuk menghindari atau memperkecil masalah tersebut maka perlu mempertimbangkan kondisi lingkungan geologi. Hal ini terjadi antara lain karena belum tersedianya data yang memadai mengenai lokasi yang sesuai untuk TPA sampah.

    Tidak dapat dipungkiri Kota Palu sebagai ibukota provinsi dengan bertambahnya kegiatan pembangunan dan penduduk maka daerah ini nantinya mengalami masalah lingkungan khususnya dampak pembuangan sampah perkotaan. Penempatan

    sampah perlu memenuhi persyaratan teknis, ekonomis, dan berwawasan lingkungan. Metoda yang tepat dalam hal ini adalah dengan memanfaatkan kondisi alam setempat yang ada, yaitu menempatkan sampah dengan mempertimbangkan kondisi geologi , sehingga dapat dicegah terjadinya pencemaran lingkungan.

    1.2. Maksud dan Tujuan

    Maksud penyelidikan ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor geologi lingkungan yang mengontrol kelayakan dan keamanan lokasi pembuangan sampah, yaitu topografi, sifat fisik batuan/tanah, struktur geologi, kondisi hidrogeologi, bencana alam geologi, dan parameter lain non geologi yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya pencemaran. Di samping itu perlu memperhatikan pula faktor tata guna lahan dan rencana tata ruang wilayah. Faktor-faktor tersebut akan dipergunakan untuk menyusun zona kelayakan TPA sampah, serta memberikan saran geologi lingkungan untuk perbaikan kondisi tapak pembuangan sampah yang sudah ada atau yang sedang direncanakan.

    Tujuannya adalah untuk memperoleh lokasi TPA sampah yang memadai dan layak secara geologi lingkungan sehingga tidak mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    1.3. Lokasi penyelidikan Daerah penyelidikan secara administratif termasuk dalam Wilayah Kota Palu dan sebagian Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi dengan titik berat kegiatan ini pada Kota Palu. Kota Palu terletak pada sebagian Teluk Palu, secara geografis berada ditengah wilayah Kabupaten Donggala. Batas administratif Kota Palu adalah sebelah utara Teluk Palu dan Kabupaten Donggala, sebelah timur Teluk Palu, sebelah selatan Kabupaten Donggala Sebelah Barat Kabupaten Donggala. Luas wilayah Kota Palu 395,04 km2 .

    1.4. Kependudukan Penduduk Kota Palu pada tahun 2006 berjumlah 302.201 jiwa, dengan kepadatan penduduk adalah 8 jiwa per-ha. Pada tahun 2025 penduduk kota ini diproyeksikan akan mencapai 561.928 jiwa, sehingga tingkat kepadatan penduduk adalah 14 jiwa per-ha (Kantor Statistik Kota Palu, 2006). Kepadatan penduduk tiap tahunnya mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

    Ditinjau dari penyebaran tingkat kecamatan dan kelurahan, Kecamatan Palu Barat merupakan kecamatan yang terpadat jumlah penduduknya, dengan kepadatan 20 jiwa/ha. Adapun kelurahan yang terpadat penduduknya adalah Kelurahan Kamonji dengan angka kepadatan 126 jiwa/ha, dan kelurahan yang terjarang penduduknya adalah Kelurahan Watusampu, Kelurahan Kawatuna yaitu sebanyak 1 jiwa/ha.

    1.5. TPA Sampah Pengelolaan sampah di wilayah Kota Palu

    dikoordinasi oleh Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Palu. Sampah Kota Palu umumnya berasal dari pasar, pemukiman, hotel, rumah sakit, pertokoan, perkantoran dan beberapa industri. Timbulan sampah dari Kota Palu sebanyak 755 m3 /hari. Saat ini TPA sampah Kota Palu terdapat di TPA Kawatuna. Di samping itu sebagian penduduk sudah terbiasa memusnahkan sampah dengan cara mengubur atau membakar di sekitar rumah mereka. Pengelolaan sampah dahulunya menggunakan sistem open dumping dan sudah setahun ini menggunakan kontrol landfill.

    2. METODOLOGI PENYELIDIKAN 2.1. Analisis regional Analisis regional merupakan cara yang dianggap relatif mudah, cepat, dan murah dalam menilai kelayakan suatu daerah untuk digunakan sebagai

    TPA sampah. Sebagian besar data yang diperlukan dapat berasal dari data sekunder, sedangkan sebagian lainnya harus diperoleh di lapangan.

    Dalam analisis regional, parameter yang dipertimbangkan dalam penilaian kelayakan lahan TPA sampah mencakup parameter geologi (Tabel1). Beberapa parameter diberi nilai kelas sesuai dengan tingkat kelayakannya dan diberi nilai kepentingannya dan kemudian diberi pembobotan. Parameter lainnya merupakan pembatas atau buffer yang yang dinyatakan sebagai daerah tidak layak.

    Setiap parameter ditampilkan dalam peta tematik digital. Peta-peta tematik ini kemudian digabungkan dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis Map Info atau Arc Info. Nilai bobot kemudian dijumlahkan. Dari rentang jumlah bobot kemudian ditentukan tingkat kelayakannya yaitu layak tinggi, layak sedang, layak rendah dan tidak layak.

    Jika daerah dengan tingkat kelayakan lebih tinggi luasnya terlalu kecil (kurang dari 5 Ha) maka daerah ini dihilangkan dan digabung dengan daerah di sekitarnya yang tingkat kelayakannya lebih rendah. Sebaliknya jika terdapat daerah dengan tingkat kelayakan lebih rendah dan luasnya terlalu kecil (kurang dari 10 Ha) terdapat didalam daerah tingkat kelayakannya lebih tinggi maka daerah ini diperluas menjadi 20 ha.

    2.1.1. Parameter Kriteria Penilaian a. Batuan Jenis batuan sangat berperan dalam mencegah atau mengurangi pencemaran air tanah dan air permukaan secara alami yang berasal dari leachate (air lindi). Tingkat peredaman sangat tergantung pada attenuation capacity (kemampuan peredaman) dari batuan. Kemampuan peredaman mencakup permeabilitas, daya filtrasi, pertukaran ion, absorbsi, dan lain-lain. Material batuan berbutir halus seperti batu lempung dan napal mempunyai daya peredaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batuan berbutir kasar seperti pasir-kerikilan Batuan yang telah padu umumnya juga mempunyai daya peredaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batuan yang sifatnya masih lepas. Batu gamping dianggap tidak layak untuk menjadi TPA sampah karena batuan ini umumnya berongga dan dapat larut oleh air.

    b. Muka air tanah Kedudukan muka air tanah merupakan parameter penting. Semakin dangkal muka air

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    Tabel 1. Kriteria satuan kelas parameter dan pembobotan

    No. Parameter Satuan Kelas Nilai Bobot Skor KRITERIA

    PENILAIAN

    1 Litologi Batu lempung, serpih Batu lanau, tufa, napal, lempung Batu pasir, breksi sedimen, breksi gunungapi Tersier Breksi gunungapi Kwarter Batuan beku, Aluvial Batugamping

    7 6

    4 2 1 -

    8 56 48

    32 16 8

    Tidak layak 2 Muka air tanah >10 meter

    5 10 meter 3 5 meter < 3 meter

    5 3 1

    7 35 21 7

    Tidak layak 3 Kemiringan lereng 0 5 %

    5 10 % 10 20 %

    > 20 %

    5 4 3 -

    5 25 20 15

    Tidak layak 4 Curah hujan 0 1000 mm

    1000 2000 mm 2000 3000 mm

    > 3000 mm

    5 4 3 2

    2 10 8 6 4

    KRITERIA PENYISIH

    5 Jarak terhadap aliran sungai dan danau

    < 150 m - - Tidak layak

    6 Jarak terhadap patahan

    < 100 m - - Tidak layak

    7 Potensi gerakan tanah

    Sedang - tinggi - - Tidak layak

    8 Letusan gunung api Bahaya - - Tidak layak 9 Banjir berkala < 25 tahunan - - Tidak layak 10 Jarak dari garis pantai < 500 m - - Tidak layak 11 Landakan tsunami < 15 m - - Tidak layak 12 Daerah lindung Hutan lindung, suaka alam, cagar

    budaya dll. - - Tidak layak

    13 Pemukiman < 300 m - - Tidak layak 14 Jarak terhadap jalan

    raya < 150 m - - Tidak layak

    15 Jarak terhadap bandara < 3000 m - - Tidak layak Rentang zona kelayakan berdasarkan jumlah bobot:

    65 95

    Layak rendah Layak sedang

    3465

    Layak tinggi

    126

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    tanah, semakin mudah pencemaran terjadi. Daerah dengan kedalaman muka air tanah kurang dari 3 meter dianggap tidak layak untuk menjadi TPA sampah.

    c. Kemiringan lereng

    Kemiringan lereng berkaitan erat dengan kemudahan pekerjaan konstruksi dan operasional TPA sampah. Semakin terjal suatu daerah semakin sulit pekerjaan konstruksi dan pengoperasiannya. Daerah dengan kemiringan lereng lebih dari 20 % dianggap tidak layak untuk menjadi TPA sampah.

    d. Curah hujan

    Besarnya curah hujan berkaitan dengan tingkat kesulitan penyediaan sarana TPA sampah yaitu parit pembuang air larian, kolam pengumpul leachate dan oksidasi. Semakin tinggi curah hujan semakin tinggi pula tingkat kesulitannya.

    2.1.2. Parameter Kriteria Penyisih

    a. Jarak terhadap sungai dan danau

    Jarak TPA sampah terhadap sungai dan danau ditetapkan 150 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagi sempadan untuk pengelolaan sungai. Sungai yang diberi buffer adalah sungai permanen.

    b. Jarak terhadap patahan (sesar)

    Jarak terhadap patahan ditetapkan 100 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer TPA sampah berfungsi untuk mencegah terjadinya pengaruh patahan terhadap konstruksi TPA sampah karena zona patahan merupakan zona lemah sehingga tidak stabil jika terimbas gelombang gempa.

    c. Letusan gunung api

    Daerah bahaya letusan gunung api dianggap tidak layak menjadi TPA sampah karena erupsi gunung api akan merusak dan membahayakan operator dilapangan maupun sampah itu sendiri.

    d. Potensi gerakan tanah

    Daerah menempati kerentanan gerakan tanah tinggi hingga menengah dianggap tidak layak menjadi TPA sampah, dikhawatirkan pada lokasi sampah sebagai akibatnya bebannya akan memicu terjadinya longsoran dan dapat merusak daerah di bagian bawahnya.

    e. Landaan tsunami

    Daerah menempati landaan tsunami pada posisi 15 meter dianggap tidak layak menjadi TPA sampah.

    f. Banjir

    Daerah berbakat banjir dianggap tidak layak menjadi TPA sampah karena banjir dapat merusak konstruksi, sarana, dan prasarana TPA sampah serta dapat menyebabkan pencemaran. Daerah yang layak untuk TPA sampah harus terbebas dari bajir 25 tahunan.

    g. Jarak terhadap garis pantai

    Jarak TPA sampah terhadap garis pantai ditetapkan 500 meter sebagai buffer tidak tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai sempadan untuk pengelolaan pantai.

    h. Kawasan lindung

    Kawasan lindung mencakup : hutan lindung, cagar alam, cagar budaya, kawasan lindung geologi dan sebagainya yang ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai daerah yang tidak layak untuk menjadi TPA sampah.

    i. Jarak terhadap pemukiman

    Jarak TPA sampah terhadap pemukiman ditetapkan 300 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi untuk mencegah pencemaran air, gangguan bau, lalat, dan bising yang ditimbulkan klegiatan dari TPA sampah.

    j. Jarak terhadap jalan raya

    Jarak TPA sampah terhadap jalan raya ditetapkan 150 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai daerah penyangga terhadap estetika. Jalan yang diberi buffer adalah jalan utama.

    k. Jarak terhadap bandara

    Jarak TPA sampah terhadap bandara ditetapkan 3000 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai pencegah gangguan asap, bau dan estetika yang berasal dari TPA sampah.

    2.2. Analisis Tapak Rinci

    Tahap analisis rinci merupakan tahap penetapan lokasi yang layak untuk TPA sampah berdasarkan lokasi kelayakan dari tahap analisis regional. Analisis rinci juga mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota/kabupaten bersangkutan, selain itu jarak transportasi pengangkutan sampah serta luas lokasi TPA sesuai dengan jumlah sampah yang akan diangkut untuk jangka waktu yang relatif lama (minimal untuk jangka waktu 10 tahun kedepan ).

    Metode analisis menggunakan metode Le Grand

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    (1980), sebagai metode analisis untuk kelayakan lokasi penimbunan sanitasi (sanitary landfill). Analisis rinci berdasarkan peta situasi tapak dengan skala 1 : 5.000 atau lebih besar.

    Parameter analisis rinci menggunakan Metoda Le Grand (1980) adalah : Jarak sumber pencemar ke titik pemanfaatan

    sumber air Kedalaman muka air tanah dari dasar

    sumber pencemar Arah dan besar landaian muka air tanah dari

    sumber pencemar Jenis atau tekstur dan ketebalan tanah

    permukaan Jenis batuan bawah permukaan tanah Sensifitas air tanah (akuifer) terhadap

    pencemaran.

    3. ANALISIS REGIONAL Untuk menunjang analisis regional kelayakan tempat pembuangan akhir sampah ini dikelompokan menjadi 2 (dua) aspek yaitu : aspek geologi dan aspek non-geologi

    3.1. Aspek geologi

    a. Batuan

    Berdasarkan kesamaan litologi dan mengacu pada Peta Geologi Tinjau Lembar Palu (H. Sumadirdja,1973), cara terjadinya dan sifat fisik tanah secara umum, tanah dan batuan di kota Kota Palu dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) satuan batuan, yaitu sebagai berikut :

    Batuan terobosan

    Batuan intrusi atau batuan terobosan merupakan batuan beku yang terdiri dari granit,diorit, granodiorit dan andesit. Sebarannya di sisi timur G. Gawalise, Watulela dan Poboya. Batuan ini menerobos batuan di atasnya yaitu Formasi Tinombo dan endapan Molassa Celebes Sarasin. Berdasarkan sifat fisiknya batuan terobosan ini terkekarkan dan sebagian mengalami pelapukan lanjut. Daya dukung tanah umumnya tinggi. Bahaya geologi yang perlu diperhatikan adalah gerakan tanah pada endapan bahan rombakan.

    Batuan metamorfis

    Batuan ini terdapat di sekitar perbatasan timur Kota Palu, umumnya bersusunan sekis dan sebagian kecil gneiss. Batuan sekis pada umumnya terkekarkan dengan tingkat pelapukan permukaan yang lebih intensif dibanding batuan gneiss. Batuan lain penyusun formasi ini adalah kuarsit dan pualam. Daya dukung tanah umumnya tinggi.

    Bahaya geologi yang perlu diperhatikan adalah gerakan tanah

    Satuan batupasir

    Satuan ini merupakan Formasi Tinombo terdiri dari batupasir, serpih, konglomerat, batuan gunung api,batugamping dan rijang, termasuk filit, sabak dan kuarsit. Rangkaian ini tersingkap luas baik dipematang timur maupun barat. Didalam Formasi ini terdapat didalamnya rombakan batuan metamorf. Didekat batuan intrusi ditemukan batuan sabak dan batuan terkersikan dan yang dekat dengan persentuhan berupa filit dan kuarsit. Di bagian pematang barat lebih banyak ditemukan batupasir rijang. Batugamping diamati sebagai lapis-lapis tipis dalam rangkaian sedimen tersebut. Bahan permukaan terdiri dari lanau dan lanau lempungan, hasil pelapukan lanjut dari batuan serpih, tebal 0.5 1.0 meter.

    Kedalaman muka air tanah dangkal sukar diperoleh. Kondisi kelerengan tidak stabil dan rentan gerakan tanah. Penggalian pada satuan ini sukar dilakukan dengan alat sederhana.

    Satuan konglomerat (Molasa Celebes Sarasin dan Sarasin)

    Satuan ini terdiri dari konglomerat, batupasir, batulumpur, batugamping koral dan napal. Pada bagian barat pematang diendapkan bongkah-bongkah batuan dan dekat dengan daerah sesar. Batuan ini ke arah laut berubah menjadi batuan klastika berbutir halus. Batuan ini merupakan penyusun utama material di wilayah pinggiran Kota Palu. Sifat perlapisan pada batuan ini sangat buruk sampai dengan tidak nampak perlapisannya.

    Lapukan batuan berwarna coklat kekuningan, tebal kurang dari 50 cm. Kedalaman maka air tanah dangkal. Penggalian pada satuan ini mudah hingga agak sukar dilakukan dengan alat sederhana. Bahaya geologi yang perlu diperhatikan adalah gerakan tanah dan erosi.

    Endapan Aluvial

    Terdiri dari lempung lanauan, lempung pasiran, lanau pasiran, kerikil, dan kerakal yang merupakan hasil endapan alluvial sungai dan pantai, ke arah utara makin tebal. Aluvial pantai, terdiri dari kerikil, pasir, lumpur dan batugamping koral terbentuk dalam lingkungan sungai, delta dan laut dangkal yang merupakan endapan sedimen termuda. Endapan ini berumur Holosen dan timbulan batugamping koral telah membentuk bukit-bukit rendah.

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    b. Kemiringan Lereng

    Kemiringan lereng daerah penyelidikan dibagi menjadi 4 (empat) bagian berikut ini

    Kemiringan lereng 0 - 5%

    Satuan ini mempunyai bentuk morfologi yang hampir datar dengan kemiringan 0 - 5%, ketinggian wilayah mulai 0 meter sampai 25 m di atas permukaan laut (dpl). Sebarannya menempati dataran lembah S. Palu dengan arah penyebaran menyempit di bagian selatan dan meluas di bagian utara hingga Teluk Palu. Luas sekitar 37.666 Ha atau 18.56% dari seluruh daerah penyelidikan.

    Kemiringan lereng 5 - 10%

    Satuan ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang sedang dengan kemiringan lereng 5 - 10%, ketinggian wilayah daerah ini mulai 25 sampai 50 m dpl. Satuan ini mempunyai luas sekitar 14.105 Ha atau 6.96%.

    Kemiringan lereng 10 - 20%

    Satuan ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang agak kasar dengan kemiringan lereng 10 - 20%, ketinggian wilayah daerah ini mulai 50 sampai 100 m dpl. Satuan ini mempunyai luas sekitar 7.78% atau 15.810 Ha.

    Kemiringan Lereng > 20%

    Satuan ini mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus dengan kemiringan lereng > 20%, ketinggian wilayah daerah ini lebih dari 100 m dpl. Sebarannya mencakup daerah perbukitan, dengan luas 135.284 Ha atau sekitar 66.69%.

    c. Muka air tanah

    Air tanah hanya terdapat pada satuan dataran aluvial dan perbukitan rendah. Air tanah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu air tanah dangkal (tidak tertekan) dan air tanah dalam (tertekan).

    Air tanah dangkal

    Kedudukan muka airtanah sangat beragam. Secara berangsur kearah utara dengan dibagian tengah semakin dangkal dengan kisaran 1 - 5 meter bawah muka tanah setempat (bmt) kemudian kea rah barat timur kedalamannya berkisar antara ( 6 -15) m bmt

    Air tanah dalam

    Kedalaman muka air tanah dalam 6 50 m bmt. Akuifer dalam pada umumnya dijumpai pada endapan alluvial dan bahan rombakan, litologi akuifer berupa pasir dan kerikil.

    d. Patahan (Sesar)

    Struktur utama yang terdapat di daerah Kota Palu adalah struktur graben yang dikenal sebagai sesar Palu dan saat ini terbentuk lembah Palu. Jalur patahan utama ini masih aktif dan dikenal sebagai Sesar Palu Koro. Struktur lainnya adalah sesar geser mendatar dan sesar normal yang mematahkan batuan terobosan, endapan molasa sarasin dan sarasin. Struktur sekunder umumnya berarah timurlaut baratdaya yang mengarah ke lembah Palu.

    Struktur geologi yang berkaitan langsung dengan lokasi pembuangan sampah adalah struktur geologi patahan. Patahan merupakan zona lemah sehingga jika terdapat rambatan gelombang kegempaan zona ini akan mengalami kehacuran yang lebih besar di bandingkan daerah yang berjauhan dengan zona patahan. Daerah dengan jarak 100 meter dari bidang patahan merupakan daerah yang tidak layak untuk TPA sampah.

    e. Aliran sungai

    Daerah Aliran Sungai Palu sangat strategis bagi Kota Palu, umumnya air sungai digunakan untuk pengairan/irigasi pertanian atau kebutuhan rumah tangga. Sungai Palu merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan kapasitas aliran rata-rata sebesar 296.038 m3/.detik, sementara anak-anak sungainya umumya merupakan sungai musiman.

    f. Potensi Gerakan Tanah

    Gerakan tanah atau longsor adalah pergerakan massa batuan/tanah dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Gerakan tanah mudah terjadi pada wilayah yang relatif terjal dengan formasi batuan yang telah mengalami pelapukan dan erosi tinggi, dan juga sebagai pemicu adalah keberadaan patahan. Dalam menentukan kelas kelayakan TPA sampah, wilayah yang termasuk zona kerentanan gerakan tanah menengah sampai tinggi merupakan parameter penyisih mutlak sebagai zona tidak layak. Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan gerakan tanah menengah dapat terjadi gerakan tanah berdimensi kecil dan besar terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, peralihan litologi atau tebing jalan. Gerakan tanah lama dapat aktif kembali terutama disebabkan oleh media air hujan. Gerakan tanah tinggi terjadi pada bagian lembah antar bukit yang disusun oleh material bahan rombakan. Material yang sifatnya lepas ini bila jenuh air akan mudah longsor dan biasanya

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    daerah ini subur, air tanah dangkal dan diminati untuk pemukiman. Wilayah-wilayah yang teridentifikasi rawan longsor adalah wilayah sebelah barat Silae, Kabonena dan Donggala Kodi, hulu sungai Watutela, dan tebing bukit di Poboya. Pengamatan di wilayah bantaran sungai menunjukkan kondisi rawan gerusan tebing sungai di S. Taipa, S. Watutela dan S. Poboya ( Herry Purnomo, 2006) g. Tsunami Tsunami adalah gelombang pasang laut yang disebabkan gempa tektonik. Peristiwa tsunami adalah munculnya gelombang pasang beramplitudo besar dengan panjang-gelombang yang panjang. Kegempaan di Sulawesi ini juga ditandai dengan frekuensi tsunami yang tinggi di bagian Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1927 di Teluk Palu dengan ketinggian gelombang mencapai 15 m, tahun 1968 di Mapaga 10 m dan tahun 1996 di Simuntu-Pangalaseang 1 - 3,4 m. Kecuraman pantai akan mempengaruhi tinggi run-up (landaan) tsunami di pantai. Semakin curam suatu pantai maka tinggi run-up tsunami yang terjadi semakin rendah, sebaliknya pada daerah datar atau bentuk teluk yang yang diapit oleh bukit akan terpengaruh gelombang tsunami besar, seperti halnya di Teluk Palu ini. h. Kawasan Rawan Banjir Karakteristik banjir di Kota Palu adalah berupa banjir bandang dengan periode genangan singkat. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi permukaan lahan tandus serta topografi wilayah yang memiliki kelerengan tinggi. Tiga arah aliran utama sungai serta karakteristik banjir di Kota Palu adalah : sungai yang berhulu di timur dan barat yang bermuara di Teluk Palu, secara topografi potensi banjir relatif kecil mengingat adanya beda tinggi yang cukup besar. Kemudian sungai-sungai yang menyatu dengan S. Palu kearah pusat kota berpotensi menimbulkan banjir karena gradien kelerengan yang rendah serta adanya kawasan hunian yang terletak pada lokasi yang memiliki ketinggian mendekati elevasi bantaran sungai.

    3.2. Aspek Non-Geologi a. Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Raya Kawasan hutan lindung yang ada di wilayah Kota Palu terdapat di Kecamatan Palu Barat dengan luas 2,512.91 ha, Kecamatan Palu Selatan dengan luas 899.88 ha, Kecamartan Palu Timur dengan luas 3.728,19 ha.

    Kawasan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik

    wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan pengatutan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun yang dipengaruhi disekitarnya.Tidak diperkenankan adanya budidaya termasuk mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung.

    Kawasan Taman Hutan Raya terdapat di Kecamatan Palu Timur, kawasan Taman Hutan Raya terdapat di Kelurahan Lasoani, Layana Indah, Poboya dan Tondo, sedangkan di Kecamatan Palu Selatan, hanya terdapat di Kelurahan Kawatuna.

    b. Kawasan Sempadan Pantai dan Sungai Kawasan sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, yakni daratan sepanjang tepi pantai yang memiliki lebar yang proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, sekurang-kurangnya 500 meter diukur dari garis pasang tertinggi ke arah darat. Kawasan sempadan pantai ini diterapkan di sepanjang pantai Kota Palu yaitu di Kecamatan Palu Barat, Palu Timur, dan Palu Utara.

    Kawasan sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai permanen seperti S.Palu yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

    c. Kawasan Pemukiman dan Kawasan Industri Kawasan permukiman yang ada di Kota Palu memiliki pola linier yaitu mengikuti jaringan jalan yang ada. Luas kawasan permukiman yang ada di Kota Palu luasnya mencapai 2.505,05 ha. Kawasan permukiman tersebar di semua kecamatan. Kecenderungan perkembangan kawasan permukiman terletak di Kecamatan Palu Selatan dengan luas kawasan 854,32 ha. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Palu Barat seluas 593,50 ha, Kecamatan Palu Utara seluas 538,76 ha dan terakhir Kecamatan Palu Timur dengan luas 518,47 ha. (Bappeda Kota Palu, 2006). an Kawasan industri terkonsentrasi di Kecamatan Palu Utara hampir di semua Kelurahan dengan luasnya 69,147 ha., kecuali Kelurahan Lambara dan Panau. Kawasan industri yang terdapat di Kecamatan Palu Timur total luasnya adalah 17,095 ha yang terdapat di Kelurahan Besusu Tengah, Lasoani, Layana Indah, Talise dan Tondo. Di Kecamatan Palu Selatan, kawasan

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    industri masing-masing terdapat di Kelurahan Birobuli Utara, Lolu Selatan, Pengawu, Petobo, Tatura Utara, Tatura Selatan dan Tawanjuka yang luas keseluruhannya adalah 2,914 ha

    d. Curah Hujan

    Curah hujan rata-rata pertahun di stasiun Mutiara Palu (86m) tercatat curah hujan tahunan 611mm, sedangkan pada stasiun Bora (110m) curah hujan rata-rata 707 mm. Curah hujan di Kota Palu kurang dari 1000 mm. Sepanjang tahun terjadi hujan di daerah penyelidikan.

    3.3. Hasil Analisis Kelayakan Regional

    Analisis zona kelayakan secara regional menghasilkan 4 (empat) zona kelayakan TPA sampah, yaitu zona kelayakan tinggi, sedang, rendah dan tidak layak (lihat gambar 1).

    Zona layak tinggi

    Penyebarannya mencakup kurang lebih 4.254 Ha atau (2.13%) dari seluruh daerah penyelidikan. Penyebarannya umumnya berada di bagian timur, yaitu di Kecamatan Palu Utara terdapat di Desa-Desa Baiya, Kayumaleungapa, Lambara, Mamboro dan Pantoloan, Kecamatan Palu Timur terdapat di Desa-Desa Lasoani, Layana Indah, Poboya, dan Talise , Kecamatan Palu Selatan di Kawatuna.

    Zona layak sedang

    Penyebarannya mencakup kurang lebih 9.562 Ha atau (4.72%), umumnya berada di bagian utara, timur dan selatan daerah penyelidikan, yaitu di Kecamatan Palu Timur terdapat di Desa-Desa Lasoani, Layana Indah, Poboya dan Tondo, Kecamatan Palu Utara terdapat di Desa-Desa Baiya, Lambara, Mamboro dan Pantoloan, Kecamatan Palu Selatan terdapat do Desa-Desa Kawatuna dan Petobo, Kecamatan Palu Barat terdapat di Desa-Desa Balaroa, Buluri, Kabonena dan Tipo.

    Zona layak rendah

    Penyebarannya mencakup kurang lebih 3.492 ha atau 1.72%, di Kecamatan Palu Utara terdapat di Desa-Desa Baiya, Kayumangaleupa, Pantoloan dan Taipa, Kecamatan Palu Timur terdapat di Desa-

    Desa Lasoani, Layana Indah dan Tondo, Kecamatan Palu Selatan terdapat di Desa Petobo, Kecamatan Palu Barat terdapat di Desa-Desa Tipo, Watusampu, Silae dan Buluri.

    Zona tidak layak

    Zona ini tersebar hampir seluruh wilayah daerah penyelidikan atau mencakup sekitar 182.569 ha atau 91.42 %, terletak di dataran aluvial sungai Palu, Kota Palu yang padat penduduk, dataran pantai Palu dan perbukitan terjal. Faktor utama yang menyebabkan zona ini tidak layak adalah karena memiliki satu atau lebih parameter penyisih aspek geologi maupun aspek non-geologi. Aspek penyisih yang paling dominan adalah kemiringan lereng di daerah perbukitan yang lebih dari 20%.

    4. ANALISIS TAPAK TPA SAMPAH

    Hasil analisis tapak yang dilakukan penilaian sesuai dengan peringkat terdapat 3 (tiga) lokasi yang mencakup : TPA sampah yang sudah ada Kawatuna di Kecamatan Palu Selatan, TPA usulan ada 2 (dua) yaitu : Lambara terdapat Palu Utara, serta Poboya dan Talise Kecamatan Palu Timur

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Bappeda Kota Palu , 2006, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu.

    2.Herry Purnomo,2007, Pemeriksaan Gerakan Tanah dan Banjir Bandang di Kecamatan Palu Barat dan Palu Timur, Kota Palu serta Kecamatan Marawola, Kabupaten Propinsi Sulawesi Tengah,Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

    3.H.Sumadirdja, T.Suptandar, S. Hardjoprawiro, 1973, Peta Geologi Tinjau Lembar Palu, skala 1 : 250.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung

    4.Kantor Statistik Kota Palu, 2006, Kota Palu Dalam Angka

    5.Suryaman, H. Danaryanto, Syamsul Hadi, Suroto, 1995, Potensi Air Tanah Cekungan Palu, Sulawesi Tengah, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi

  • Kolokium Hasil Kegiatan Tahun 2006 Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 29 November 2007

    .

    Gam

    bar 1

    . Pet

    a G

    eolo

    gi L

    ingk

    unga

    n U

    ntuk

    Ara

    han

    TPA

    Sam

    pah

    Kot

    a Pa

    lu d

    an S

    ekita

    rnya

    Sul

    awes

    i Ten

    gah