a. latar belakang masalah - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/471/1/bab1.pdf · ialah asas...

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat) yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. 1 Dalam konteks Negara hukum, dikenal beberapa asas yang salah satunya ialah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), diamana asas ini mengandung nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan diperhatikan oleh penegak Hukum khususnya bagi hakim yang mempunyai wewenang dalam memutus suatu perkara. Hal-hal yang disebutkan di atas berlaku untuk semua perkara pidana tidak terkecuali untuk perkara kasus korupsi. Salah satu tindak pidana yang juga masuk dalam kategori tindak pidana luar biasa atau istimewa (extra ordinary crime). 2 Sehubungan dengan hal di atas, pada umumnya hakim dalam memutuskan suatu perkara, tentunya selain berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan (ius constitutum), juga mempertimbangkan nilai-nlai kemanusiaan, asas kemanfaatan, efektivitas dalam menjalankan pemidanaan dan perubahan perilaku yang menimbulkan efek jera pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan, 1 Eni Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 1. 2 Maria Hartiningsih, Korupsi Yang Memiskinkan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hlm. 325-326

Upload: phamdat

Post on 18-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat) yang demokratis

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,

dan menjamin semua warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama

dihadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali.1

Dalam konteks Negara hukum, dikenal beberapa asas yang salah satunya

ialah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), diamana asas

ini mengandung nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan

diperhatikan oleh penegak Hukum khususnya bagi hakim yang mempunyai

wewenang dalam memutus suatu perkara. Hal-hal yang disebutkan di atas berlaku

untuk semua perkara pidana tidak terkecuali untuk perkara kasus korupsi. Salah

satu tindak pidana yang juga masuk dalam kategori tindak pidana luar biasa atau

istimewa (extra ordinary crime).2

Sehubungan dengan hal di atas, pada umumnya hakim dalam memutuskan

suatu perkara, tentunya selain berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan

(ius constitutum), juga mempertimbangkan nilai-nlai kemanusiaan, asas

kemanfaatan, efektivitas dalam menjalankan pemidanaan dan perubahan perilaku

yang menimbulkan efek jera pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan,

1 Eni Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 1.

2 Maria Hartiningsih, Korupsi Yang Memiskinkan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta,

2011, hlm. 325-326

sehingga kadang terjadi perbedaan di dalam putusan hakim. Hal tersebut banyak

terjadi penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama

dalam prakteknya di pengadilan Tipikor, yang mana dikenal dengan istilah

disparitas putusan (disparity of sentence).3

Disparitas pidana bisa diartikan sebagai penerapan pidana yang tidak sama

terhadap tindak pidana yang sama dalam prakteknya di pengadilan.4 Disparitas

pidana juga bisa dianggap sebagai penerapan pidana yang tidak sama terhadap

tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat

diperbandingkan tanpa dasar pembenar yang jelas.5

Pada hakekatnya, hakim dalam memutus perkara pasti akan ditemukan

disparitas. Hal ini dikarenakan hakim mempunyai kebebasan untuk memilih jenis

pidana (strafsoort) yang dikehendaki, dan juga hakim dapat memilih beratnya

pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh Undang-

Undang hanyalah maksimum dan minimumnya. Dalam batas-batas maksimum

dan minimum tersebut hakim bebas bergerak untuk mendapat pidana yang tepat.6

Disparitas putusan, terutama putusan pidana menjadi salah satu problem

klasik pengadilan pidana dimanapun yang membuat banyak Negara member

perhatian khusus pada aspek ini karena menyangkut nasib, hak, nama baik, dan

bahkan nyawa manusia. Disparitas putusan hakim ini akan berakibat fatal,

bilamana dikaitkan dengan administrasi pemidanaan narapidana. Terpidana

setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan yang

3 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 119.

4 Ibid

5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,

1984, hlm. 54. 6 Muladi, 2008, op.,cit, hlm. 118

dikenakan kepada orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban (victim) dari

ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang

tidak menghargai hukum.7

Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan

penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud

ketidakadilan yang mengganggu. Dalam bukunya Sentencing and Criminal

Justice, Andrew Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan

dari diskresi hakim menjatuhkan pidana dalam suatu perkara pidana.8

Di Indonesia, disparitas pidana juga sering dihubungkan dengan

independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan

(perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam

menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Pasal 5 ayat

(1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak

dan jahat pada diri terdakwa.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan.

Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.

Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang

sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan

pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.

7 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Disparitas Putusan Hakim “identifikasi dan

implikasi”, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2014, hlm. iii 8 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524a2ce258cb5/disparitas-putusan-dan-

pemidanaan-yang-tidak-proporsional, diakses tanggal 15 Februari 2017

Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan

tanpa batas. Eva Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan

mengatakan ada asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim

untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun ada takaran, masalah disparitas

akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam

takaran itu terlampau besar.9

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh

karena ketiadaan standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak

awal ‘dimungkinkan’ karena aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR

membuka ruang untuk itu.

Menghapuskan sama sekali perbedaan putusan hakim untuk kasus yang

mirip tak mungkin dilakukan. Itu sebabnya perlu yang perlu dilakukan adalah

meminimalisir disparitas dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan

dalam pembaharuan sistem pemidanaan di Indonesia.

Sekadar contoh bolehlah disebut putusan hakim Pengadilan Tinggi Tindak

Pidana Korupsi Pekanbaru No. 38/PID.SUS-TPK/2016/PT yang memeriksa,

mengadili dan memutus terdakwa Rismayeni dan Hidayat Tagor Nasution dalam

satu berkas dakwaan yang sama, dimana keduanya dinyatakan terbukti melakukan

tindak pidana korupsi dana bansos Kabupaten Bengkalis. Hidayat Tagor

dinyatakan telah merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 133.500.000, -(seratus

tiga puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah), sedangkan Rismayeni dinyatakan

9 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, UI Press, Depok, 2011, hlm. 33

merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 386.000.000, - (tida ratus delapan puluh

enam juta rupiah). Yang menjadi masalah adalah mengenai pidana penjara

pengganti terhadap keduanya apabila para terdakwa tidak mampu membayar uang

pengganti. Adanya Disparitas putusan hakim tersebut dapat dilihat dari besarnya

pidana penjara pengganti antara keduanya yang diterapkan sama besar yakni 4

(empat) tahun 3 (tiga) bulan, padahal antara keduanya tidaklah sama nilai

kerugian Negara yang ditimbulkannya.

Kalau diperbandingkan lagi dengan putusan pidana dalam perkara tindak

pidana korupsi lainnya, maka jelaslah terdapat disparitas dalam penjatuhan pidana

bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Sebagai salah satu contoh lain dapat

dilihat dalam putusan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Khairil

Rusli. dalam putusan tersebut Khairil Rusli dihukum membayar uang pengganti

sebesar Rp. 324.152.000,- (tiga ratus dua puluh empat juta seratus lima puluh dua

ribu rupiah), dan apabila tidak mempu membayar maka dipidana penjara selama 1

(satu) tahun. Dari kedua perkara yang disebutkan diatas jelaslah adanya disparitas

pada penjatuhan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi.

Menurut Eva Achjani Zulfa, ide tentang penjatuhan pidana yang

proporsional berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman

pemidanaan yang mampu mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara.

Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan. Sehingga pedoman pemidanaan

dianggap sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim.10

10

Eva Achjani Zulfa, Op.,cit, hlm. 37-38

KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a,

pasal 63-71, dan Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib

dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat

tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat

tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak

pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup

dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan

pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf

dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang

dilakukan.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, Penulis tertarik

melakukan penelitian terhadap disparitas putusan hakim Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi terhadap penjatuhan sanksi pidana penjara sebagai alternative

pidana uang pengganti yang tidak dapat dibayar oleh terdakwa uang pengganti.

Untuk itu Penulis akan merumuskannya dalam suatu judul penelitian yakni

“Disparitas Putusan Hakim Terhadap Pidana Penjara Sebagai Sanksi Uang

Pengganti Yang Tidak Dibayar (Studi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Pekanbaru Tahun 2015-2016).

B. Masalah Pokok

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah diatas,

maka Penulis akan merumuskan beberapa masalah pokok dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Bagaimana Disparitas Putusan Hakim Terhadap Pidana Penjara Sebagai

Sanksi Uang Pengganti Yang Tidak Dibayar (Studi di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi Pekanbaru Tahun 2015-2016).

2. Bagaimana Faktor Penyebab Disparitas Putusan Hakim Dalam Penjatuhan

Sanksi Pidana Uang Pengganti Terhadap Tindak Pidana Korupsi di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dari rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa

tujuan penelitian yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui disparitas putusan hakim terhadap pidana penjara sebagai

sanksi uang pengganti yang tidak dibayar (studi di pengadilan tindak pidana

korupsi pekanbaru tahun 2015-2016).

2. Untuk mengetahui faktor penyebab disparitas putusan hakim dalam

penjatuhan sanksi pidana uang pengganti terhadap tindak pidana korupsi di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru.

Selain merupakan penelitian yang bertujuan untuk kepentingan ilmiah

ataupun ilmu pengetahuan, penulisan penelitian ini pada pokoknya memiliki

beberapa manfaat atau kegunaan yakni antara lain dapat Penulis kemukakan

sebagai berikut:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang problematika

penjatuhan pidana penjara sebagai sanksi pidana uang pengganti yang tidak

dibayarkan dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan

hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tentang kajian

ilmiah terhadap sanksi pidana uang pengganti dalam system pemidanaan di

Indonesia.

3. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi

dibidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian dimasa yang akan

datang.

D. Kerangka Teori

1. Pidana

Pergaulan kehidupan dalam bermasyarakat tidak selamanya berjalan

dengan apa yang diharapkan. Manusia akan selalu dihadapkan pada masalah-

masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Hal tersebut

memerlukan hukum untuk memulihkan keseimbangan serta ketertiban dalam

masyarakat. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut

dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena

sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.11

Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan

atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat

hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum

pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai

tindak pidana

11

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,

hlm.. 24

(strafbaar feit). Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada

masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya.

Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan

ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut

dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan

Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada

pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau

sifat-sifatnya yang khas. Sebagaimana pengertian di dalam ilmu sosial , maka

dalam pengertian pidana itupun beberapa pakar memberikan arti yang berbeda

berdasarkan pendapatnya masing-masing.

Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara

kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-

undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.12

Pemberian

nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar

ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera.

Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan norma-

norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah

yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya

mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi

atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.

Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik,

yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat

12

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 110

delik.13

Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama

dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu

nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang

dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat

memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman

hukuman atau pidana.

Van Hammel mengartikan pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat

khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan

pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum

bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar

suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.14

Beberapa pengertian serta ruang lingkup pidana atau straft atau

punishment tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pidana mengandung unsur-

unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau

akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Diberikan dengan sengja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan

(oleh yang berwenang) 3. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut

undung-undang.

Sudarto menyatakan perkataan pemidanaan adalah sinonim dari

perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa :

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau

13

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 5 14

Tolib Setyadi, Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010,

hlm.19

pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.”

15

Pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan

pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum

pidana saja; dan maknanya sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya

dalam pengertian sentence conditionally atau voorwaardelijk veeroordeeld yang

sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”.16

Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya Tolib Setyadi menyebutkan

bahwa pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana

ataupenghukuman. Pemberian pidana ini menyangkut dua arti yakni,

a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang

menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto) .

b. Dalam arti konkrit ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang

kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.17

Berdasarkan definisi tersebut, pemidanaan itu sendiri sebenarnya

bermakna luas, bukan hanya menyangkut dari segi hukum pidana saja akan tetapi

dari segi hukum perdata. Hal tersebut tergantung dari pokok permasalahan yang

dibahas, yang jika membahas masalah Pidana, maka tujuannya adalah mengenai

masalah penghukuman dalam arti pidana.

2. Teori/Tujuan Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan

masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri

yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam

dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan

15

Sudarto, Op.cit, hlm. 71 16

Sudarto, Op.cit. hlm. 42 17

Tolib Setyadi, Op.cit, hlm. 21-22

pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian),

teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial

(social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek

sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.18

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan

pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan

dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku

harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman

harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan

penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus

diberi penderitaan.19

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa

tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan.

Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana,

tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai

alasan untuk memidana suatu kejahatan.20

Penjatuhan pidana pada dasarnya

penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan

bagi orang lain.21

Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis

sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.22

18

Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika Aditama,

Bandung, 2009, hlm. 22. 19

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm

105. 20

Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm 24. 21

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Pustaka Pelajar, Jakarta, 2005, hlm. 90 22

Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.

12

Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :23

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-

sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;

e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali

si pelanggar.

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan

bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini

muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum

yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan

untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki

ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus

dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah

(prevensi) kejahatan.24

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan

mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah

tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung

melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk

menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.25

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai

nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

23

Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm. 26 24

Leden Marpaung, Op. Cit, hlm 106. 25

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hlm. 96-97

Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi

frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan,

melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering

juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).26

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :27

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si

pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk

adanya pidana ;

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan

kejahatan ;

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur

pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat.

Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan

dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu

menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah

gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan

bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum

dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.28

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :29

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak

boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya

dipertahankannya tata tertib masyarakat;

26

Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm 26. 27

ibid 28

Leden Marpaung, Op. Cit, hlm 107. 29

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo, Jakart, 2010, hlm 162-163.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada

perbuatan yang dilakukan terpidana.

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas

diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini

memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan

mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi

lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human

offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas

pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan

sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan

sanksi yang bersifat treatment.30

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif.

Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak

mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena

dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun

kemasyarakatannya.31

Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari

keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak

dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,

melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.

Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih

lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan

utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan

30

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hlm. 96-97. 31

Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 12.

bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan

tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat

peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan

bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.32

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat

diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara

kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di

sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat

penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem

Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

E. Konsep Operasional

Guna menghindari terjadinya salah penafsiran dalam penelitian ini, maka

penulis merasa perlu membatasi istilah-istilah yang berkenaan dengan judul

penelitian. Adapun batasan-batasan istilah judul tersebut adalah sebagai berikut:

1. Disparitas adalah untuk suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan

menerapkan peraturan yang berbeda.33

2. Putusan Hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

32

ibid 33

Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Alumni, Bandung, 1984,

hlm. 52

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini (KUHAP).34

3. Sanksi adalah semacam pidana atau kurungan.35

4. Uang Pengganti adalah penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang

pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.36

5. Korupsi secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunakan kekuasaan

kepercayaan untuk keuntungan pribadi.37

6. Tindak Pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku

ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan

perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak

melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.38

7. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan

keuangan Negara atau penyelewengan atau penggelapan uang Negara untuk

kepentingan pribadi atau orang lain.39

8. Pengadilan adalah dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah;

proses mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara; rumah

(bangunan) tempat mengadili perkara 40

34

KUHP dan KUHAP, Permata Press, 2007, hlm. 194 35 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013,

hlm. 195

36 Pasal 18 angka (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001. 37

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi : Elemen Sistem Integritas Nasional,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 30 38

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Pustaka Utama Gratifi,

Jakarta, 2011, hlm. 27 39

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 15

9. Pekanbaru adalah ibu kota dan kota terbesar di Provinsi Riau, Indonesia.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

Sesuai dengan judul maupun rumusan masalah yang penulis angkat

sebagai objek kajian dalam penelitian, maka penyusunan penelitian hukum ini

lebih kepada metode penelitian dengan jenis penelitian hukum empiris/ penelitian

hukum survey (observational research). Apabila ditinjau dari segi sifatnya, maka

penelitian dapat dikatergorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif

analitis.41

2. Data dan Sumber Data

Untuk mendukung dan mendapatkan hasil penelitian yang di inginkan,

maka dalam hal penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, maka Penulis

akan menggunakan data primer dan data sekunder sebagai bahan atau objek dalam

penelitian ini.

Data Primer, adalah data utama yang diperoleh oleh peneliti melalui

responden atau sampel.42

Dengan demikian Data Primer adalah data yang

diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dilapangan atau lokasi penelitian

dari pihak yang terkait sehubungan dengan penulisan skripsi ini.

40

Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdiknas,

Balai Pustaka, 2008, hlm. 10. 41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012,

hlm. 32 42

Buku Panduan Penulisan Tesis, UIR Press, Pekanbaru, 2012, hlm 14

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku literatur yang

mendukung dengan pokok masalah yang dibahas.43

Adapun data sekunder yang

digunakan adalah terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara yuridis, yaitu :

1) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru Tahun 2015-2016

2) Undang-Undang Dasar 1945

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. 5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. 6) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 24

Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak

Pidana Korupsi.

7) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014

tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

8) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi

Terhadap Hukuman Pembayaran Uang Pengganti.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer yang berfungsi untuk menambah atau memperkuat dan memberikan

penjelasam terhadap bahan hukum primer, yaitu semua dokumen yang

merupakan sumber informasi dan bahan referensi berupa hasil-hasil penelitian

skripsi, tesis, desertasi buku-buku hukum yang berkaitan dengan objek

penelitian, dan jurnal hukum.

43

Soerjono Soekanto.Op.,cit, hlm. 15

c. Bahan Non Hukum

Merupakan bahan non hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

non hukum yang digunakan oleh penulis dalam penulisan penelitian ini antara

lain berupa kamus bahasa, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Lokasi Penelitian

Agar penulis dapat menjawab rumusan masalah yang diangkat pada

penulisan Tesis ini, maka penulis akan melakukan penelitian di Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pertimbangan

mengenai dipilihnya lokasi penelitian ini yaitu penulis ingin mengetahui disparitas

yang terjadi pada putusan-putusan hakim/pengadilan tindak pidana korupsi terkait

pemberian sanksi pidana uang pengganti kepada terdakwa.

4. Populasi dan Responden

Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari obyek yang akan diteliti

yang mempunyai karakteristik yang sama44

. Sedangkan Responden adalah siapa-

siapa saja yang akan dimintai keterangan atau diwawancarai dengan menentukan

jumlah yang akan diwawancarai atau yang akan dijadikan sampel45

.

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah perkara-perkara tindak

pidana korupsi yang pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tindak pidana

korupsi pekanbaru. Responden ditentukan atau diambil dari orang-orang yang

yang terkait dengan perkara seperti ketua pengadilan, hakim yang memeriksa

44

Buku Panduan Penulisan Tesis, UIR Press, Pekanbaru, 2015, hlm 14 45

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 119

perkara bersangkutan, terdakwa dan jaksa penuntut umum yang menangani

perkara tersebut.

Tabel 1. I

Penarikan Populasi

No.

Populasi

Sampel

1.

2.

3

Hakim Karir di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Pekanbaru.

Hakim ad Hoc di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Pekanbaru

Jaksa Penuntut Umum Perkara Tindak

Pidana Korupsi

3 orang

3 orang

6 orang

Jumlah 12 orang

Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan penelitian

dengan purposive sampling yaitu menentukan sendiri sampel penelitian dengan

beberapa pertimbangan untuk pemecahan masalah46

.

5. Alat Pengumpul Data

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dilakukan

pengumpulan data melalui wawancara. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara penulis mengadakan tanya jawab secara langsung kepada

siapa yang menjadi responden.47

6. Analisis Data

Langkah yang pertama kali dilakukan oleh penulis yaitu mengumpulkan

data dari bahan hukum primer, lalu selanjutnya penulis mempelajari serta

mengelompokkan data tersebut dan kemudian data dianalisis secara kualitatif

yaitu dengan cara mendiskripsikan/menggambarkan, kemudian membandingkan,

46

Sugiyono, MetodePenelitian Kuantitatif Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm 218 47

Ibid

antara data dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau pendapat para

ahli hukum. Tahapan analisis dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data,

dan terakhir penyajian data48

. Adapun penarikan kesimpulan adalah dengan cara

induktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke pada hal yang

umum.49

.

48

Buku Panduan Penulisan Tesis, Universitas Islam Riau, Uir Press, 2012, hlm. 14 49

Ibid, hlm. 14