a. latar belakang masalah - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/471/1/bab1.pdf · ialah asas...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat) yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
dan menjamin semua warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama
dihadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali.1
Dalam konteks Negara hukum, dikenal beberapa asas yang salah satunya
ialah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), diamana asas
ini mengandung nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan
diperhatikan oleh penegak Hukum khususnya bagi hakim yang mempunyai
wewenang dalam memutus suatu perkara. Hal-hal yang disebutkan di atas berlaku
untuk semua perkara pidana tidak terkecuali untuk perkara kasus korupsi. Salah
satu tindak pidana yang juga masuk dalam kategori tindak pidana luar biasa atau
istimewa (extra ordinary crime).2
Sehubungan dengan hal di atas, pada umumnya hakim dalam memutuskan
suatu perkara, tentunya selain berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan
(ius constitutum), juga mempertimbangkan nilai-nlai kemanusiaan, asas
kemanfaatan, efektivitas dalam menjalankan pemidanaan dan perubahan perilaku
yang menimbulkan efek jera pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan,
1 Eni Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 1.
2 Maria Hartiningsih, Korupsi Yang Memiskinkan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta,
2011, hlm. 325-326
sehingga kadang terjadi perbedaan di dalam putusan hakim. Hal tersebut banyak
terjadi penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama
dalam prakteknya di pengadilan Tipikor, yang mana dikenal dengan istilah
disparitas putusan (disparity of sentence).3
Disparitas pidana bisa diartikan sebagai penerapan pidana yang tidak sama
terhadap tindak pidana yang sama dalam prakteknya di pengadilan.4 Disparitas
pidana juga bisa dianggap sebagai penerapan pidana yang tidak sama terhadap
tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat
diperbandingkan tanpa dasar pembenar yang jelas.5
Pada hakekatnya, hakim dalam memutus perkara pasti akan ditemukan
disparitas. Hal ini dikarenakan hakim mempunyai kebebasan untuk memilih jenis
pidana (strafsoort) yang dikehendaki, dan juga hakim dapat memilih beratnya
pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh Undang-
Undang hanyalah maksimum dan minimumnya. Dalam batas-batas maksimum
dan minimum tersebut hakim bebas bergerak untuk mendapat pidana yang tepat.6
Disparitas putusan, terutama putusan pidana menjadi salah satu problem
klasik pengadilan pidana dimanapun yang membuat banyak Negara member
perhatian khusus pada aspek ini karena menyangkut nasib, hak, nama baik, dan
bahkan nyawa manusia. Disparitas putusan hakim ini akan berakibat fatal,
bilamana dikaitkan dengan administrasi pemidanaan narapidana. Terpidana
setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan yang
3 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 119.
4 Ibid
5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1984, hlm. 54. 6 Muladi, 2008, op.,cit, hlm. 118
dikenakan kepada orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban (victim) dari
ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang
tidak menghargai hukum.7
Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan
penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud
ketidakadilan yang mengganggu. Dalam bukunya Sentencing and Criminal
Justice, Andrew Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan
dari diskresi hakim menjatuhkan pidana dalam suatu perkara pidana.8
Di Indonesia, disparitas pidana juga sering dihubungkan dengan
independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan
(perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam
menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Pasal 5 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak
dan jahat pada diri terdakwa.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan.
Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.
Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang
sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan
pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.
7 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Disparitas Putusan Hakim “identifikasi dan
implikasi”, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2014, hlm. iii 8 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524a2ce258cb5/disparitas-putusan-dan-
pemidanaan-yang-tidak-proporsional, diakses tanggal 15 Februari 2017
Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan
tanpa batas. Eva Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan
mengatakan ada asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim
untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun ada takaran, masalah disparitas
akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam
takaran itu terlampau besar.9
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh
karena ketiadaan standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak
awal ‘dimungkinkan’ karena aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR
membuka ruang untuk itu.
Menghapuskan sama sekali perbedaan putusan hakim untuk kasus yang
mirip tak mungkin dilakukan. Itu sebabnya perlu yang perlu dilakukan adalah
meminimalisir disparitas dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan
dalam pembaharuan sistem pemidanaan di Indonesia.
Sekadar contoh bolehlah disebut putusan hakim Pengadilan Tinggi Tindak
Pidana Korupsi Pekanbaru No. 38/PID.SUS-TPK/2016/PT yang memeriksa,
mengadili dan memutus terdakwa Rismayeni dan Hidayat Tagor Nasution dalam
satu berkas dakwaan yang sama, dimana keduanya dinyatakan terbukti melakukan
tindak pidana korupsi dana bansos Kabupaten Bengkalis. Hidayat Tagor
dinyatakan telah merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 133.500.000, -(seratus
tiga puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah), sedangkan Rismayeni dinyatakan
9 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, UI Press, Depok, 2011, hlm. 33
merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 386.000.000, - (tida ratus delapan puluh
enam juta rupiah). Yang menjadi masalah adalah mengenai pidana penjara
pengganti terhadap keduanya apabila para terdakwa tidak mampu membayar uang
pengganti. Adanya Disparitas putusan hakim tersebut dapat dilihat dari besarnya
pidana penjara pengganti antara keduanya yang diterapkan sama besar yakni 4
(empat) tahun 3 (tiga) bulan, padahal antara keduanya tidaklah sama nilai
kerugian Negara yang ditimbulkannya.
Kalau diperbandingkan lagi dengan putusan pidana dalam perkara tindak
pidana korupsi lainnya, maka jelaslah terdapat disparitas dalam penjatuhan pidana
bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Sebagai salah satu contoh lain dapat
dilihat dalam putusan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Khairil
Rusli. dalam putusan tersebut Khairil Rusli dihukum membayar uang pengganti
sebesar Rp. 324.152.000,- (tiga ratus dua puluh empat juta seratus lima puluh dua
ribu rupiah), dan apabila tidak mempu membayar maka dipidana penjara selama 1
(satu) tahun. Dari kedua perkara yang disebutkan diatas jelaslah adanya disparitas
pada penjatuhan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi.
Menurut Eva Achjani Zulfa, ide tentang penjatuhan pidana yang
proporsional berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman
pemidanaan yang mampu mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara.
Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan. Sehingga pedoman pemidanaan
dianggap sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim.10
10
Eva Achjani Zulfa, Op.,cit, hlm. 37-38
KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a,
pasal 63-71, dan Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib
dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat
tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat
tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak
pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup
dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan
pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf
dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, Penulis tertarik
melakukan penelitian terhadap disparitas putusan hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi terhadap penjatuhan sanksi pidana penjara sebagai alternative
pidana uang pengganti yang tidak dapat dibayar oleh terdakwa uang pengganti.
Untuk itu Penulis akan merumuskannya dalam suatu judul penelitian yakni
“Disparitas Putusan Hakim Terhadap Pidana Penjara Sebagai Sanksi Uang
Pengganti Yang Tidak Dibayar (Studi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pekanbaru Tahun 2015-2016).
B. Masalah Pokok
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah diatas,
maka Penulis akan merumuskan beberapa masalah pokok dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana Disparitas Putusan Hakim Terhadap Pidana Penjara Sebagai
Sanksi Uang Pengganti Yang Tidak Dibayar (Studi di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Pekanbaru Tahun 2015-2016).
2. Bagaimana Faktor Penyebab Disparitas Putusan Hakim Dalam Penjatuhan
Sanksi Pidana Uang Pengganti Terhadap Tindak Pidana Korupsi di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa
tujuan penelitian yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui disparitas putusan hakim terhadap pidana penjara sebagai
sanksi uang pengganti yang tidak dibayar (studi di pengadilan tindak pidana
korupsi pekanbaru tahun 2015-2016).
2. Untuk mengetahui faktor penyebab disparitas putusan hakim dalam
penjatuhan sanksi pidana uang pengganti terhadap tindak pidana korupsi di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru.
Selain merupakan penelitian yang bertujuan untuk kepentingan ilmiah
ataupun ilmu pengetahuan, penulisan penelitian ini pada pokoknya memiliki
beberapa manfaat atau kegunaan yakni antara lain dapat Penulis kemukakan
sebagai berikut:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang problematika
penjatuhan pidana penjara sebagai sanksi pidana uang pengganti yang tidak
dibayarkan dalam perkara tindak pidana korupsi.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan
hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tentang kajian
ilmiah terhadap sanksi pidana uang pengganti dalam system pemidanaan di
Indonesia.
3. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi
dibidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian dimasa yang akan
datang.
D. Kerangka Teori
1. Pidana
Pergaulan kehidupan dalam bermasyarakat tidak selamanya berjalan
dengan apa yang diharapkan. Manusia akan selalu dihadapkan pada masalah-
masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Hal tersebut
memerlukan hukum untuk memulihkan keseimbangan serta ketertiban dalam
masyarakat. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut
dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena
sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.11
Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan
atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai
tindak pidana
11
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
hlm.. 24
(strafbaar feit). Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada
masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya.
Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan
ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut
dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan
Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada
pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas. Sebagaimana pengertian di dalam ilmu sosial , maka
dalam pengertian pidana itupun beberapa pakar memberikan arti yang berbeda
berdasarkan pendapatnya masing-masing.
Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-
undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.12
Pemberian
nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar
ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera.
Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan norma-
norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah
yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya
mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi
atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.
Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik,
yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat
12
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 110
delik.13
Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama
dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu
nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang
dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat
memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman
hukuman atau pidana.
Van Hammel mengartikan pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat
khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan
pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum
bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar
suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.14
Beberapa pengertian serta ruang lingkup pidana atau straft atau
punishment tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pidana mengandung unsur-
unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Diberikan dengan sengja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang) 3. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undung-undang.
Sudarto menyatakan perkataan pemidanaan adalah sinonim dari
perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa :
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau
13
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 5 14
Tolib Setyadi, Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010,
hlm.19
pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.”
15
Pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan
pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum
pidana saja; dan maknanya sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya
dalam pengertian sentence conditionally atau voorwaardelijk veeroordeeld yang
sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”.16
Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya Tolib Setyadi menyebutkan
bahwa pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana
ataupenghukuman. Pemberian pidana ini menyangkut dua arti yakni,
a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang
menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto) .
b. Dalam arti konkrit ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang
kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.17
Berdasarkan definisi tersebut, pemidanaan itu sendiri sebenarnya
bermakna luas, bukan hanya menyangkut dari segi hukum pidana saja akan tetapi
dari segi hukum perdata. Hal tersebut tergantung dari pokok permasalahan yang
dibahas, yang jika membahas masalah Pidana, maka tujuannya adalah mengenai
masalah penghukuman dalam arti pidana.
2. Teori/Tujuan Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri
yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam
dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan
15
Sudarto, Op.cit, hlm. 71 16
Sudarto, Op.cit. hlm. 42 17
Tolib Setyadi, Op.cit, hlm. 21-22
pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian),
teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial
(social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek
sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.18
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku
harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman
harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan
penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus
diberi penderitaan.19
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa
tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan.
Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana,
tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai
alasan untuk memidana suatu kejahatan.20
Penjatuhan pidana pada dasarnya
penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan
bagi orang lain.21
Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis
sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.22
18
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika Aditama,
Bandung, 2009, hlm. 22. 19
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm
105. 20
Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm 24. 21
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Pustaka Pelajar, Jakarta, 2005, hlm. 90 22
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.
12
Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :23
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;
e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali
si pelanggar.
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum
yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.24
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan
mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah
tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung
melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk
menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.25
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
23
Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm. 26 24
Leden Marpaung, Op. Cit, hlm 106. 25
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hlm. 96-97
Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan,
melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering
juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).26
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :27
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana ;
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan ;
e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan
dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah
gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan
bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum
dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.28
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :29
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat;
26
Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm 26. 27
ibid 28
Leden Marpaung, Op. Cit, hlm 107. 29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo, Jakart, 2010, hlm 162-163.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas
diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini
memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan
mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi
lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human
offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas
pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan
sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan
sanksi yang bersifat treatment.30
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif.
Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak
mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena
dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun
kemasyarakatannya.31
Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari
keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak
dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,
melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih
lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan
utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
30
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hlm. 96-97. 31
Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 12.
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial
mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan
tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.32
Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara
kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di
sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat
penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
E. Konsep Operasional
Guna menghindari terjadinya salah penafsiran dalam penelitian ini, maka
penulis merasa perlu membatasi istilah-istilah yang berkenaan dengan judul
penelitian. Adapun batasan-batasan istilah judul tersebut adalah sebagai berikut:
1. Disparitas adalah untuk suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan
menerapkan peraturan yang berbeda.33
2. Putusan Hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
32
ibid 33
Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Alumni, Bandung, 1984,
hlm. 52
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini (KUHAP).34
3. Sanksi adalah semacam pidana atau kurungan.35
4. Uang Pengganti adalah penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.36
5. Korupsi secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunakan kekuasaan
kepercayaan untuk keuntungan pribadi.37
6. Tindak Pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku
ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan
perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak
melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.38
7. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan
keuangan Negara atau penyelewengan atau penggelapan uang Negara untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.39
8. Pengadilan adalah dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah;
proses mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara; rumah
(bangunan) tempat mengadili perkara 40
34
KUHP dan KUHAP, Permata Press, 2007, hlm. 194 35 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013,
hlm. 195
36 Pasal 18 angka (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001. 37
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi : Elemen Sistem Integritas Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 30 38
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Pustaka Utama Gratifi,
Jakarta, 2011, hlm. 27 39
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 15
9. Pekanbaru adalah ibu kota dan kota terbesar di Provinsi Riau, Indonesia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
Sesuai dengan judul maupun rumusan masalah yang penulis angkat
sebagai objek kajian dalam penelitian, maka penyusunan penelitian hukum ini
lebih kepada metode penelitian dengan jenis penelitian hukum empiris/ penelitian
hukum survey (observational research). Apabila ditinjau dari segi sifatnya, maka
penelitian dapat dikatergorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif
analitis.41
2. Data dan Sumber Data
Untuk mendukung dan mendapatkan hasil penelitian yang di inginkan,
maka dalam hal penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, maka Penulis
akan menggunakan data primer dan data sekunder sebagai bahan atau objek dalam
penelitian ini.
Data Primer, adalah data utama yang diperoleh oleh peneliti melalui
responden atau sampel.42
Dengan demikian Data Primer adalah data yang
diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dilapangan atau lokasi penelitian
dari pihak yang terkait sehubungan dengan penulisan skripsi ini.
40
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdiknas,
Balai Pustaka, 2008, hlm. 10. 41
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012,
hlm. 32 42
Buku Panduan Penulisan Tesis, UIR Press, Pekanbaru, 2012, hlm 14
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku literatur yang
mendukung dengan pokok masalah yang dibahas.43
Adapun data sekunder yang
digunakan adalah terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara yuridis, yaitu :
1) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru Tahun 2015-2016
2) Undang-Undang Dasar 1945
3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. 5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 6) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 24
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi.
7) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014
tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.
8) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi
Terhadap Hukuman Pembayaran Uang Pengganti.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer yang berfungsi untuk menambah atau memperkuat dan memberikan
penjelasam terhadap bahan hukum primer, yaitu semua dokumen yang
merupakan sumber informasi dan bahan referensi berupa hasil-hasil penelitian
skripsi, tesis, desertasi buku-buku hukum yang berkaitan dengan objek
penelitian, dan jurnal hukum.
43
Soerjono Soekanto.Op.,cit, hlm. 15
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan non hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
non hukum yang digunakan oleh penulis dalam penulisan penelitian ini antara
lain berupa kamus bahasa, ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Lokasi Penelitian
Agar penulis dapat menjawab rumusan masalah yang diangkat pada
penulisan Tesis ini, maka penulis akan melakukan penelitian di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pertimbangan
mengenai dipilihnya lokasi penelitian ini yaitu penulis ingin mengetahui disparitas
yang terjadi pada putusan-putusan hakim/pengadilan tindak pidana korupsi terkait
pemberian sanksi pidana uang pengganti kepada terdakwa.
4. Populasi dan Responden
Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari obyek yang akan diteliti
yang mempunyai karakteristik yang sama44
. Sedangkan Responden adalah siapa-
siapa saja yang akan dimintai keterangan atau diwawancarai dengan menentukan
jumlah yang akan diwawancarai atau yang akan dijadikan sampel45
.
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah perkara-perkara tindak
pidana korupsi yang pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tindak pidana
korupsi pekanbaru. Responden ditentukan atau diambil dari orang-orang yang
yang terkait dengan perkara seperti ketua pengadilan, hakim yang memeriksa
44
Buku Panduan Penulisan Tesis, UIR Press, Pekanbaru, 2015, hlm 14 45
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 119
perkara bersangkutan, terdakwa dan jaksa penuntut umum yang menangani
perkara tersebut.
Tabel 1. I
Penarikan Populasi
No.
Populasi
Sampel
1.
2.
3
Hakim Karir di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Pekanbaru.
Hakim ad Hoc di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Pekanbaru
Jaksa Penuntut Umum Perkara Tindak
Pidana Korupsi
3 orang
3 orang
6 orang
Jumlah 12 orang
Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan penelitian
dengan purposive sampling yaitu menentukan sendiri sampel penelitian dengan
beberapa pertimbangan untuk pemecahan masalah46
.
5. Alat Pengumpul Data
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dilakukan
pengumpulan data melalui wawancara. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara penulis mengadakan tanya jawab secara langsung kepada
siapa yang menjadi responden.47
6. Analisis Data
Langkah yang pertama kali dilakukan oleh penulis yaitu mengumpulkan
data dari bahan hukum primer, lalu selanjutnya penulis mempelajari serta
mengelompokkan data tersebut dan kemudian data dianalisis secara kualitatif
yaitu dengan cara mendiskripsikan/menggambarkan, kemudian membandingkan,
46
Sugiyono, MetodePenelitian Kuantitatif Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm 218 47
Ibid
antara data dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau pendapat para
ahli hukum. Tahapan analisis dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data,
dan terakhir penyajian data48
. Adapun penarikan kesimpulan adalah dengan cara
induktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke pada hal yang
umum.49
.
48
Buku Panduan Penulisan Tesis, Universitas Islam Riau, Uir Press, 2012, hlm. 14 49
Ibid, hlm. 14