a. makhluk manusia diantara makluk-makhluk · pdf fileseleksi dan adaptasi adalah suatu ......
TRANSCRIPT
BAB I
MAKHLUK MANUSIA
A. MAKHLUK MANUSIA DIANTARA MAKLUK-MAKHLUK LAIN
Dipandang dari sudut biologi manusia hanya merupakan suatu
Macam makluk diantara lebih dari sejuta macam makhluk lain, yang pernah atau masi menduduki alam
dunia ini. Pada pertengahan abad ke-19 para ahli biologi, dan yang terpanting diantara mereka c.Darwin,
mengumumkan teori mereka tentang proses evolisi biologi. Menurut teori itu bentuk-bentuk hidup
tertua dimuka bumi ini , terdiri dari makhluk-makhluk satu sel yang sangat sederhana misalnya
protozoa.
Oleh para ahli biologi manusia ditempatkan ke dalamsub-suku :
Antropoid,yang sebaliknya dibagi khusus menjadi tiga infra-suku Ceboid mengolongkan menjadi satu
semua kera, baik yang telah punah maupun yang masi hidup langsung di daerah tropic di benua Amerika
;
infra-suku Cercopithecoid menggolongkan menjadi satu semua kera, baik yang sudah punah maupun
yang masi hidup langsung didaerah tropic di benua Asia dan Afrika ;
sedangkan infra-suku Hominoid mengologkan menjadi satu kera-kera besar dengan manusia.
Dalam proses evolusi biologi yang berlangsung sangat lama tersebut, telah menghilangkan
sekian banyak bentuk-bentuk mahluk lama dari muka bumi ini. Akan tetapi banyak juga yang dapat
bertahan hingga sekarang ini bahkan sudah hampir mendekati angka satu juta jenis bentuk-bentuk
mahluk hidup baru yang berasal dari bentuk-bentuk lama di muka bumi ini.
Untuk mendapatkan pengertian tentang jumlah aneka warna dan jenis sebesar itu, para ahli
biologi telah membuat suatu system klasifikasi dimana semua mahluk di dunia ini telah mendapatkan
tempat yang sewajarnya berdasarkan atas morfologi dari organismanya. Manusia menyusi adalah salah
satu keturunannya, dari ciri-ciri itu maka manusia dikelaskan bersama dengan mahluk-mahluk lain
kedalam satu golongan yaitu binatang menyusui atau Mammalia.
Dalam kelas Mammalia ini terdapat satu sub-golongan atau suku yaiutu Primat. Suku ini terdiri dari
semua jenis kera, dari kera yang terkecil yang disebut dengan Tarsi sampai kera yang besar yang disebut
Gorila dan juga manusia.
Suku Primat dibagi menjadi 2 sub-suku yaitu sub-suku Prosimii dan sub-suku Anthropoid. Oleh para
ahli, manusia dimasukan kedalam sub-suku Anthropoid. Sub-suku Anthropoid dibagi menjadi tiga (3)
infra-suku yang diantaranya :
1. Infra suku Ceboid
Suku ini mempunyai ciri yaitu menggolongkan semua jenis kera, baik yang sudah punah maupun yang
masih hidup langsung du daerah tropic di Benua Amerika.
2. Infra suku Cercopitheroid
Sedangkan suku ini menggolongkan semua jenis kera, baik yang sudah punah maupun yang masih hidup
langsung du daerah tropik di Benua Asia dan Afrika.
Infra suku Hominoid
Sementara suku Hominoid menggolongkan semua jenis kera dengan manusia. Infra suku ini dibagi lagi
kedalam 2 keluarga, yaitu Keluarga Pongidae dan keluarga Hominidae.
1. Keluarga Pongidae
Keluarga ini menggolongkan menjadi satu beberapa macam kera besar yang terutama hidup di daerah
tropik di Asia dan Afrika. Seperti kera gibbon, orang utan, chimpanzee dan gorilla.
2. Keluarga Hominiode
Menggolongkan menjadi satu manusia purba sejenis pithecanthropus danegan homo Neanderthal dan
dengan manusia sekarang atau disebut dengan Homo sapiens. Manusia/Homo sapiense jaman sekarang
ini memiliki sedikitnya empat ras yaitu Australoid, Mongoloid, Caucasoid dan Negroid.
2. EVOLUSI CIRI-CIRI BIOLOGI
Sumber Ciri-Ciri Organisma Fisik. Dalam proses evolusi itu
bentuk-bentuk makhluk yang baru timbul sebagai proses pencabangan dari bentuk-bentuk makhluk
yang lebih tua.
Menurut para ahli biologi cirri cirri biologi itu termaksud di dalam gen. Setiap inti sel manusia
misalnya, terdiri dari 46 bagian berupa ulat-ulat kecil yang terdiri dari serat-serat berspiral. Ulat-ulat
kecil itu di sebut oleh para ahli biologi khromosom, pada khromosom-khromosom inilah terletak berbiu-
ribu pusat kekuatan dengan berbagai macam struktur bio kimia yang khas, yang menjadi sebab dari
segala cirri organisma makhluk yang bersangkutan.
Pada waktu konsepsi, apabila sel sperma beradu dengan sel, telur maka akan menjadi suatu sel
buah,atau zygote. Seluruh tubuh organisme baru akan timbul dari zygote tadi, degan suatu proses yang
disebut mitosis tiap-tiap khromosom akan membelah menjadi dua.
Proses mitosis bagi semua sel itu sama saja, tetapi terkecualian tampak pada timbulnya sel-sel
gamete, atau sel-sel sex (yaitu sel-sel sperma laki-laki dan sel telur dari wanita)
Perubahan dalam proses keturunan. Dari uraian diatas terbukti bahwa suat ciri yang berasal dari
suatu nenek moyang laki-laki atau perempuan tak pernah dapat “di campur” tetapi selalu dapat
tersimpan dalam gen yang diturunkan dan di sebarkan kepada berpuluh-puluh angkatan , bahkan
berratus ratus angkatan berikutnya.
Mutasi adalah suatu proses yang berasal dari dalam organisma. Seleksi dan adaptasi adalah suatu
proses evolusi yang berasal dari sekitaran alam.menghilangnya gen tertentu sering juga disebabkan oleh
peristiwa-pristiwa kebetulan.
3. EVOUSI PRIMATA DAN MANUSIA
Proses pengembangan Makhluk Primat. Soal asal mula dan proses evolusi makhluk manusia itu
secara khusus dipelajari dan diteliti oleh suatu ilmu dari antropologi biologi, yaitu ilmu paleoantropologi,
dengan mempergunakan sebagai bahan penelitian bekas-bekas tubuh manusia yang beruppa fosil yang
terkandung dalam lapisan-lapisan bumi. Selain menganalisa data mengenai fosil-fosil kera dan manusia
yang tersimpan dalam lapisan bumi, mereka juga mempergunakan data ilmu-ilmu lain seperti
paleogeografi dan paleoekologi, seta metode analisa potassium-argon dari ilmu geologi.
Menurut penelitian-penelitian paling akhir, makhluk pertama dari suku Primat muncul di muka
bumi sebagai suatu cabang dari makhluk Mammalia, atau binatang menyusui, sudah kira-kira
70.000.000 tahun yang lalu, di dalam suatu zaman yang oleh para geologi disebut Kala Paleosen Tua.
Dalam masa yang amat lama makhluk Primat induk tadi bercabang lebih lanjut ke dalam berbagai sub-
suku dan infra-suku khusus, dan di antaranya telah terjadi proses percabangan antara keluarga kera-
kera Pongid atau kera-kera besar dari keluarga Hominid yang mempunyai sebagai anggota makhluk
nenek moyang manusia.
Rupa-rupanya telah terjadi paling sedikit lima proses percabangan. Percabangan yang tertua, yang
timbul kira-kira 30.000.000 tahun yang lalu dalam Kala Eosen Akhir, adalah percabangan yang
mengevolusikan kera gibbon (Hylobatidae).
Cabang yang timbul kemudian, pada permulaan Kala Miosen kira-kira 20.000.000 tahun yang
lalu, adalah kera Pongopygmeus atau orang utan. Orang utan memang merupakan makhluk kera yang
tinggal di pucuk-pucuk pohon-pohon besar di daerah hutan rimba di Asia Baratdaya, Asia Selatan, hingga
Asia Tenggara dalam jangka waktu satu dua juta tahun lamanya. Dalam pada itu, kira-kira pada bagian
akhir Kala Miosen terjadi beberapa perubahan besar pada kulit bumi dan pada lingkungan alamnya.
Benua Afrika membelah dari Asia, dan dalam proses tersebut terjadilah laut merah dan belahan bumi
berupa lembah yang dalam, bernama Great Rift Valley, yang merupakanpemisah alam secara ekologi
yang membujur dari Utara ke Selatan antara Afrika Barat dan Tengah dengan Afrika Timur.
Cabang ketiga adalah sejenis makhluk yang menurut perkiraan para ahli menjadi nenek moyang
manusia. Percabangan ini terjadi kira-kira 10.000.000 tahun yang lalu pada bagian terakhir dar Kala
Miosen. Fosil-fosil makhluk ini menunjukkan sifat yang lain, yaitu ukuran badan raksasa yang jauh lebih
besar dari pada Gorilla yang hidup sekarang. Para ahli memperkirakan bahwa kera-manusia raksasa ini
juga hidup dalam kelompok-kelompok seperti halnya jenis-jenis kera besar lainnya, dan dengan
demikian dapat tahan hidup, membiak, dan seperti Orangutan, juga menyebar dari Afrika ke Asia
Selatan dan Tenggara. Namun, karena perubahan-perubahan alam yang terjadi dalam bagian akhir Kala
Miosen, maka seperti halnya dengan Orangutan juga, kera-manusia raksasa ini menghilang dari Afrika
dan Asia Selatan dan hanya bertahan di Asia Tenggara, hingga akhirnya kandas juga di sana karena
sebab-sebab yang belum dapat dketahui.
Cabang keempat adalah cabang-cabang kera Pongid yang lain, yaitu Gorilla dan Chimpanze, yang
terjadi kira-kira 12.000.000 tahun yang lalu pada akhir kala Miosen. Kedua makhluk kera dari Afrika ini
dapat menyesuaikan diri dengan berevolusi mengembangkan organisma yang dapat hidup di pohon
maupun di darat. Percabangan khusus atau spesialisasi biologi antara Gorilla dan Chimpanzee terjadi
karena perkembangan dari dua lingkungan ekologi yang khusus di Afrika Tengah sebelah timur dari
Sungai Niger., dan di Afrika Barat sebelah barat dari sungai tersebut. Di daerah hutan di Afrik Tengah
tadi berlangsung evolusi organisma dari kera Gorilla, sedangkan di daerah hutan Afrika Barat
berlangsung evolusi organisma dari Chimpanzee.
Mahluk Primat Pendahuluan Manusia. Kira-kira seabad yang lalu para ahli biologi dan
paleoantropologi masih mengira bahwa soal siapakah nenek moyang manusia itu, dapat dipecahkan
dengan usaha menemukan sejenis mahluk yang telah kandas, yang merupakan penghubung antara kera
dan manusia dalam silsilah hidup. Dengan demikian usaha terpenting dari para ahli tersebut adalah
mencari mahluk penghubung yang hilang, atau missing link, dalam silsilah perkembangan alam mahluk
di muka bumi.
Sekarang, dengan kemajuan-kemajuan di bidang ilmu-ilmu paleoantropologi dan geologi, konsepsi para
ahli mengenai soal missing link itu sudah berubah. Mahluk itu sudah tidak lagi dipandang sebagai suatu
mahluk yang berada di antara kera dan manusia, tetapi sebagai seekor mahluk pendahuluan (prescusor)
atau mahluk-induk yang mendahului baik kera-kera besar (Pongid) maupun manusia, yang kedua-
duanya hanya merupakan spesialisasi khusus dari mahluk induk tadi. Kecuali itu, karena proses
percabangan antara berbagai jenis kera besar dengan manusia itu tidak hanya terjadi hanya satu kali
melainkan beberapa kali dan di beberapa tempat, maka dengan demikian sebenarnya ada lebih dari satu
makhluk induk.
Mahkluk-induk kedua adalah Gigantanthropus yang, seperti apa yang telah tersebut sebelumnya
hidu[pada bagian akhir Kala Miosen kurang-lebih 10.000.000 tahun yang lalu. Pengetahuan para ahli
mengenai wujud, sifat-sifat serta penyebarannya dari makhluk kera-raksasa ini masih terlampau sedikit,
karena terbatasnya jumlah fosil yang telah ditemukan untuk menelitinya.
Sebaliknya, pengetahuan mereka mengenai nenek moyang yang langsng dari manusia kini,
sudah mulai cukup mantap. Makhluk yang dapat disebut pendahuluan manusia itu adalah makhluk,
yang sudah dapat berjalan tegak diatas kedua kaki belakangnya secara lama terus menerus sepanjang
jarak-jarak yang cukup jauh, yang hidup dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari rata-rata delapan
sampai ssepuluh individu, dan yang secara berkelompok telah dapat melawan binatang-binatang
penyaing yang lain. Suatu mahluk Primat yang menurut wujud dari fosil-fosilnya menunjukkan ciri-ciri
tersebut addalah makhluk yang pertama-tama yang ditemukan pada tahun 1924 di Taungs, sebelah
utara Kimberley di daerah Bechuana Timur di Afrika Selatan. Oleh para ahli paleoantropologi, makhluk
itu disebut Australopithecus ( kera dari selatan ). Sekarang telah ditemukan lebih dari 65 fosil dari
makhluk tersebut, semuanya di Afrika Selatn dan Timur. Beberapa diantaranya diperkirakan hidup di
muka bumi ini lebih dari sepuluh jtua tahun yang lalu. Fosil dari keluarga australopithecues yang akhir-
akhir ini dalam tahun 1959 ditemukan, adalah fosil dari Lembah Oldovai di Tanzania, Afrika Timur.
Hasil analisa dari metode Potassium Argom adalah kesimpulan bahwa mahluk yang dibeinya
nama khusus yakni Zinjanthropus, itu hidup di daerah Sabana, Afika Timur kurang lebih 2 juta tahun
yang lalu dan bahwa ia merupakan makhluk hidup manusia jenis Autralopithecus yang paling dekat.
Pada masa 2 juta tahun yang lalu bumi mengalami suatu masa dalam sejarah perkembangan
kulit bumi yang berbeda dari sekarang, yaitu suatu Kala es di daerah utara dan selatan dan suatu Kala
Kering di daerah Tropik.
Kala es dan Kala glasial adalah zaman ketika seluruh Eropa utara sampai kira2 garis pegunungan
Alpen di negara Swis sekarang ketika sebagian dari Asia utara ketika seluruh Kanada dan Amerika Utara
sampai kira2 garis danau Micigan sekarang dan ketika pucuk selatan Amerika Selatan tertutup dengan
lapisan2 es yang tebal (gletcher).
Pada akhir berlangsungnya tiap Kala glasial, maka bumi mempunyai wujud yang berbeda antara
darat dan laut. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muka air laut lebih rendah dari pada
keadaannya sekarang, sehingga banyak daratan yang sekarang tergenang air berada diatas muka laut.
Selama tiap Kala glasial daerah tropik bersifat lebih kering dari waktu skala Interglasial, dan hutan-hutan
rimba tropik berkurang padatnya dan berubah menjadi daerah [padang rumput dengan gerombolan-
gerombolan hutan yang tersebat.
Dalam tahun 1898 seorang dokter belanda, Eugene Du Bois mendapatkan sekelompok
tengkorak atas, rahang bawah dan sebuat tulang paha. Tengkorak atas seolah-olah sebuah tengkorang
seekor kera besar. Isi otaknya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jenis kera manapun tetapi jauh
lebih kecil dari otak manusia. Du Bois memberikan nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang
berjalan tegak) dan mengganggalp contoh dari nenek moyang manusia zaman sekarang.
Seorang ahli geologi Jerman bernama G. H. R. Von Konigswald dan teuku Jacob pada tahun 1931 dan
1934 menemukan 14 fosil dan 12 tengkorak di lapisan pleistosen tengah yang umurnya diperkirakan 800
ribu tahun dan menyebutnya pithecanthropus Soloensis.
Pada tahun1936 para ahli juga menemukann fosil-dosil di bagian Lower Pleistocene berumur
kitra-kira 2 juta tahun dan para ahli menyebutnya Pithecantrhopus majakertensis dan pada tahun 1941
G.H.R. von menemukanfosil yang luar biasa besar dan diberi nama meghanthropus paleojavanicus yang
umurnya sama dengan pithecanthropus Majakertensis.
Fosil-fosil itu tidak pernah ditemukan bersama dengan bekas alat-alat yang menunjukan bahwa makhluk
tersebut sudah berkebudayaan. Makhluk yang mempunyai kebudayaan itulah yang baru dapat disebut
makluk manusia secara penuh,
Pada zaman holosen fosil homo sapiens meninggalkan bekas-bekas kebudayaan dan mulai menunjukan
perbedaan ras. Ada 4 perbedaan ras pokok pada homo sapiens, yaitu :
1. Ras Autraloid
Terdapat dibenua Australia
2. Ras mongoloid
Ras yang paling besar jumlahnya
3. Ras kaukasoid
Tersebar di eropa, Afrika sebelah utara, Asia barat daya, dan
Amerika.
4.Ras Negroid
Tersebar di benua Afrika bagian selatan
4. ANEKA WARNA MANUSIA
Salah Faham Mengenai Konsep Ras.
Ras sebagai suatu golongan manusia yang menunjukkan berbagai ciri tubuh yang tertentu
dengan suatu frekuensi yang besar, tetapi dalam sejarah bangsa – bangsa, konsepsi mengenai aneka
warna ciri tubuh manusia itu telah menyebabkan banyak kesedihan dan kesengsaraan, karena suatu
salah faham yang besar yang hidup dalam pandangan manusia berbagai bangsa. Salah faham itu
mengacaukan ciri – ciri ras ( yang sebenarnya harus dikhususkan kepada ciri – ciri jasmani semata –
mata ), dengan ciri – ciri rohani : dan lebih dari itu, salah paham tadi memberi penilaian tinggi rendah
kepada ras – ras berdasarkan perbedaan tinggi – rendah rohani daripada ras itu.
Contoh – contoh tersebut adalah :
� Ras Caucasoid atau ras kulit putih lebih kuat,maju, luhur daripada ras – ras lainnya.
� Di Perancis, Pendirian menurut A. de Gobineau yang berpendapt bahwa ras yang
terunggul dan termurni adalah ras Arya.
� Jerman, menurut De Gobineau bahwa orang jerman keturunan langsung ras Arya.
Metode – Metode Untuk Mengklaskan Aneka Ras Manusia.
Mengklasifikasikan aneka warna ras manusia merupakan pusat perhatian bagi ilmu antropologi fisik,
terutama memperhatikan ciri – ciri lahir, atau ciri – ciri morfolgi, pada tubuh individu – individu. Ciri –
ciri morfologi itu yang dalam praktek merupakan ciri – ciri fenotip, terdiri dari dua golongan, yaitu : 1)
ciri – ciri kualitatif ( seperti warna kulit, bentuk rambut dan sebagainya, dan 2) ciri – ciri kuantitatif (
seperti berat badan, ukuran badan, index cephalicus, dan sebgainya ). Metode ini disebut metode
antropometri metode yang hanya berdasarkan morfologi. Seiring berkembang nya zaman, metode ini
sudah jarang dipergunakan, para ahli beralih kepada metode filogenetik yang menekankan persamaan –
persamaan dan perbedaan – perbedaan, hubungan – hubungannya serta percabangannya. Untuk
membangun suatu klasifikasi yang serupa itu faktor terpenting adalah ciri – ciri genotipe yang terdapat
pada individu – individu, contoh nya ialah metode mengklasifikasikan berdasarkan frekuensi golongan
darah.
Salah Satu Klasifikasi Dari Aneka Ras – Ras Manusia.
� Menurut C. Linnaeus yang merpergunakan warna kulit sebagai ciri terpenting dalam
sistemnya.
� Menurut J.F Blumenbach yang mengkombinasikan ciri – ciri morfologi dengan
geografi dalam sistemnya.
� Menurut J. Deniker yang memakai warna dan bentuk rambut sebagai ciri – ciri
terpenting dalam sistemnya.
� Menurut E. Von Eickstedt dan E.A Hooton memakai unsur – unsur Filogenetik
� Menurut A.L Kroeber, Yaitu :
Australoid
Penduduk asli Austra
2. Mongoloid
• Asiatic Mongoloid ( Utara, Tengah, Timur )
• Malayan Mongoloid ( Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Taiwan )
• American Mongoloid ( Amerika Utara, Selatan, Orang Eskimo )
3. Cauca
• Nordic ( Eropa Utara )
• Alpine ( Tengah dan Timur )
• Mediteranaen ( Sekitar laut tengah, afrika Utara, Armenia Arab, Iran )
4. Negroid
• Afican Negroid ( Benua Afrika )
• Negrito ( Tengah, Semenanjung Melayu, filipina )
• Melanesian ( Irian, Melanesia )
5. Ras – Ras khusus
• Bushman ( Gurun Kalahari, Afsel )
• Veddoid ( Pedalaman Srilangka dan Sulsel )
• Polynesian ( kepulauan Mikronesia & Polinesia )
• Ainu ( Pulau Karafuto dan Hokaido, Jepang Utara )
5. ORGANISMA MANUSIA
Perbedaan Organisma Manusia dan Organisma Binatang. Mahluk manusia adalah mahluk yang
hidup kelompok, dan mempunyai organisma yang secara biologis sangat kalah kemampuan fisiknya
dengan jenis-jenis binatang berkelompok yang lain. Walaupun demikian otak manusia telah berevolusi
paling jauh dibandingan dengan mahluk lain. Otak manusia yang telah dikembangkan oleh bahasa, dan
kemampuan akal, yaitu kemampuan untuk membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang
makin lama makin tajam.
Bahasa menyebabkan bahwa manusia tidak hanya dapat belajar mengenai keadaan sekitar
dengan mengalami secara kongkret peristiwa yang bersangkutan dengan keadaan-keadaan tadi, tetapi
juga secara abstrak tanpa menyelami sendiri peristiwa tersebut,
Dengan demikian bahasa manusia itu meabstraksikan dan menyimpan tiap pengeahuan barukedalam
lambing vocal atau bentuk kata-kata baru.pengalaman yang telah kian bertambah banyak itu kemudian
disimpan dan diatur oleh akal menjadisuatu system pengetahuan.
Dengan bahasa maka pengetahuan manusia telah bertimbun membanyak menjadi himpunan
pengetahuan akal manusia yang merupakan dasar dari apa yang disebut kebudayaan manusia. Dengan
demikian terjadi benih-benih bagi system pembagian keahlian, yang sebaliknya merupukan benih dari
system diferensi atau sisitem pembagian kerja, sedangkan system pembagian kerja itu memerlukan
suatu pengaturan dan organisasi.
Kapasitas otak yang unggul yang berupa akal tadi , menyebabkan ia dapat mengembangkan system
pengetahuan yang menjadi dasar dari kemampuannya untuk membuat bermacam-macam alat hidup
seperti senjata, alat-alat produksi, alat-alat berlindung, alat-alat transportasi dan sebagainya serta
sumber-sumber energi lainnya.
Dengan adanya pengaturan antara individu-individu dalam kelompok dan dengan adanya
peralatan hidup, maka cara mahluk manusia mencari dan memproduksi pangannya dilakukan juga
dengan system-sistem tertentu di mana terdapat pembagian kerja antara berbagai tahap atau teknik
memproduksi pangan dan peralatan hidupnya itu.
Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan dari konsep dalam akalnya merupakan dasar dari
kesadaran identitas diri dan kesadaran kepribadian diri sendiri.manusia juga memiliki kemampuan untuk
membayangkan dengan akalnya peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat terjadi terhadapnya. Rasa
takut akan tibanya maut merupakan salah satu sebab timbulnya suatu unsur penting dalam kehidupan
manusia, yaitu religi. Akal manusia juga mengadakan suatu reaksi yang sadar dan kreatif, sehingga
smenjadi unsure khas dalam hidupnya yaitu kesenian.
Walaupaun organisma manusia kalah kemampuannya dengan banyak jenis binatang berkelompok
lainnya, namun manusia dengan kemampuan otaknya, yang kita sebut akal budi itu, telah membantu
dan menyambung keterbatasan kemampuan organisma itu. Keseluruhan dari system-sistem itu, yaitu
(1) system bahasa, (2) system pengetahuan, (3) organisasi social, (4) system peralatan hidup dan
teknologi, (5) system mata pencaharian, (6) system religi dan (7) kesenian, adalah yang disebut
kebudayaan manusia.
Kebudayaan manusia tidak terdapat dalam organismanya, artinya tidak tertentukan dalam system
gennya, berbeda dengan kemampuan-kemampuan organisma binatang. Manusia harus mempelajari
kebudayaannya sejak lahir, selama seluruh jangka waktu hidupnya. Walaupun begitu manusia dengan
kebudayaanya dapat menjadi mahluk yang paling berkuasa dan berkembang biak paling luas di muka
bumi ini.
BAB II
KEPRIBADIAN
A. Definisi Kepribadian
Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau
tindakan dari tiap-tiap individu manusia disebut “kepribadian”atau personality. Dalam
bahasa populer, istilah “kepribadian” juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang
konsisten. Hal itu memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus.
Sedangkan dalam bahasa sehari-hari kita anggap bahwa seorang tetentu mempunyai
kepribadian, memang yang biasanya kita maksudkan ialah bahwa orang tersebut
mempunyai beberapa ciri watak yang diperlihatkannya sejak lahir,konsisten, dan
konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki
identitas khusus yang berbedadari individu-individu lainnya.
B. Unsur-unsur Kepribadian
1. Pengetahuan
Unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara
nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan hidup manusia, ada bermacam-macam
hal yang dialami dalam penerimaan pancainderanya dan alat penerima atau reseptor organ
lain, misalnya sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran akustik (suara), bau, rasa,
sentuhan, tekanan mekanikal (berat-ringan),tekanan termikal (panas-dingin) dan
sebagainyayang masuk ke dalam sel-sel tetentu di bagian-bagian tetentu di otaknya. Di
sana berbagai macam proses fisik, fisiologi, dan psikologi terjadi,yang menyebabkan
berbagai macam getaran dan tekanan tadi diolah menjadi suatu susunan yang dipancarkan
atau diproyeksikan oleh individu tesebut menjadi suatu penggambaran tentang lingkungan
tadi. Seluruh proses akal manusia yang sadar (conscious) tadi, dalamilmu psikologi disebut
“persepsi”.
Penggambaran tentang lingkungan dengan fokus kepada bagian-bagian yang paling
menarik perhatian seorang individu, sering kali juga diolah oleh suatu proses dalam
akalnya yang menghubungkan penggambaran tadi dengan berbagai penggambaran lain
yang sejenis yang pernah diterima dan diproyeksikan oleh akalnya dalam masa lalu,
kemudian timbul kembali sebagai kenangan atau penggambaran lama dalam kesadaranya.
Dengan demikian diperoleh suatu penggambaran baru dengan lebih banyak pengertian
tentang keadaan lingkungan tadi. Penggambaran baru dengan penegrtian baru seperti itu,
dalam ilmu psikologi disebut “apersepsi”.
Ada kalanya suatu persepsi, setelah diproyeksikan kembali oleh individu menjadi
suatu penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian yang
menyebabkan individu itu tertarik, akan lebih intensif memusatkan akalnya terhadap
bagian-bagian khusus tadi. Penggambaran yang lebih intensif terfokus (terjadi karena
pemusatan akal yang lebih intensif tadi), dalam ilmu psikologi disebut “pengamatan”.
Seorang individu dapat juga menggabungkan dan membanding-bandingkan bagian-
bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain
yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisiten. Dengan demikian bumi ini,
bahkan juga di luar bumi ini, padahal ia belum pernah melihat, atau mempersepsikan
tempat-tempat tadi. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu-ilmu sosial disebut “konsep”.
Dalam usaha pengamatan oleh seorang individu dengan cara seperti terurai tadi
maka penggambaran tentang lingkungannya tersebut ada yang ditambah-tambah dan
dibesar-besarkan, dan ada yang dikurangi serta dikecil-kecilkan pada bagian-bagian
tetentu. Bahkan ada pula yang digabung-gabungkan dengan penggambaran-penggambaran
lain menjadi penggambaran yang baru sama sekali, sebenarnya tidak akan pernah ada
dalam kenyataan. Penggambaran baru yang sering kali tidak realistis itu dalam ilmu
psikologi disebut “fantasi”.
Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan
unsur-unsur “pengetahuan” seseorang individu yang sadar. Sebaliknya, banyak
pengetahuan atau bagian-bagian dari seluruh himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh
seorang individu selama hidupnya itu, sering kali hilang dalam alam akalnya yang sadar,
atau dalam “kesadarannya”, karena berbagai macam sebab. Perlu diperhatikan bahwa
unsur-unsur pengetahuan tadi sebenarnya tidak hilang lenyap begitu saja, terdesak masuk
saja ke dalam bagian dari jiwa manusia yang dalam ilmu psikologi disebut alam “bawah
sadar” (subconsious).
Pengetahuan seorang individu karena berbagai alasan dapat terdesak atau dengan
sengaja didesak oleh individu itu, ke dalam bagian dari jiwa manusia yang lebih dalam lagi,
yaitu bagian yang dalam ilmu psikologi disebut alam “tidak sadar” (unconscious). Di
sanalah pengetahuan individu larut dan terpecah-pecah ke dalam bagian-bagian yang
saling terbaur dan tercampur.
2. Perasaan
Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam
“perasaan“. Ternyata selain segala macam pengetahuan”perasaan” juga mengisi penuh
alam kesadaran manusia setiap saat dalam hidupnya. “Perasaan” adalah suatu keadaan
dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan
positif atau negatif. Suatu perasaan yang selalu bersifat subjektif karena adanya unsur
penilaian tadi, biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu.
Kehendak itu bisa juga positif (individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasakannya
sebagai suatu hal yang akan memberikan kenikmatan) atau bisa juga negatif (individu
tersebut hendak menghindari hal yang dirasakannya membawa perasaan tidak nikmat).
Sementara perasaan terhadap barang yang diingini dengan sangat itu menjadi
bertambah, membuat udara disekitar semakin panas, keringat pun keluar lebih banyak dan
hati berdebar. perasaan keras seperti itu disebut “emosi”.
3. Dorongan Naluri
Kesadaran manusia menurut para ahli psikologi juga mengandung berbagai perasaan
lain yang tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, tetapi karena sudah
terkandung dalam organnya, dan khususnya dalam gennya sebagai naluri. Kemauan yang
sudah merupakan naluri pada tiap mahluk manusia itu, oleh beberapa ahli psikologi
disebut “dorongan” (drive). Sedikitnya tujuh macam dorongan naluri, yaitu :
a. Dorongan untuk mempertahankan hidup
b. Dorongan seks
c. Dorongan untuk upaya mencari makan
d. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia
e. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya
f. Dorongan untuk berbakti
C. Materi dari Unsur-unsur Kepribadian
Kepribadian seseorang terbentuk oleh pengetahuan ( khususnya yaitu : persepsi,
penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi mengenai bermacam hal yang
ada dalam lingkungannya ). Selain pengetahuan, keperibandian seseorang juga terbentuk
oleh berbagai perasaan, emosi, dan keinginan tentang bermacam hal yang ada dalam
lingkungannya.
Materi Unsur-unsur Kepribadian :
I. Beragam kebutuhan individu
1. Kebutuhan biologis yang bernilai positif
a. Makan dan minum
b. Seks
c. Buang hajat
d. Istirahat dan tidur
e. Keseimbangan suhu
f. bernafas
2. kebutuhan biologis yang bernilai negative ( karena tidak terpenuhi )
a. makan dan minum tidak lezat
b. istirahat dan tidur terganggu
c. kegagalan seks
d. ketidakseimbangan suhu
e. kesulitan buang hajat
f. bernafas sesak
3. Kebutuhan Psikologis bernilai positif
a. Relaks dan bersantai
b. Kemesraan dan cinta
c. Kepuasan altruistic ( misalnya : karena berkesempatan untuk berbuat baik,
berbakti kepada orang lain, kepada suatu ide, dan suatu cita-cita ).
d. Kepuasan ego
e. Kehormatan
f. Kepuasan dan kebanggaan mencapai tujuan
4. Dorongan psikologis bernilai negative
a. Ketegangan
b. Kebencian
c. Altruisme ekstrem, sehingga tidak dapat dipenuhi dan menimbulkan
keadaan tidak puas yang bernilai negative.
d. Egoisme ekstrem sehingga menimbulkan kebencian terhadap orang lain.
e. Penghinaan
f. Tidak percaya diri, malu
II. Ragam Hal dalam Lingkungan Individu
1. Identitas Aku yang Bersifat Fisik
a. Deskripsi badan sendiri
b. Deskripsi anggota badan tertentu
c. Deskripsi mengenai kekurangan, cacat, atau penyakit-penyakit tertentu pada
badan sendiri
d. Deskripsi perhiasan dan ornament pada badan sendiri
2. Identitas Aku yang Bersifat Psikologis
a. Deskripsi mengenai watak sendiri
b. Sistem pra lambing mengenai diri sendiri
3. Kesadaran Individu mengenai Lingkungan sosialnya atau berbagai macam
manusia disekelilingnya, seperti :
a. Orang-orang dalam lingkungan sosialnya yang berada dalam hubungan
mesra dan karib dengannya
b. Orang-orang dalam lingkungan sosialnya yang berhubungan dengannya
hanya berdasarkan asa-guna
c. Orang-orang dalam lingkungan sosial individu yang dikenal atau
diketahuinya tetapi tidak ada arti atau pengaruh dalam lingkungan
kehidupannya.
d. Orang-orang dalam lingkungan sosial individu yang diketahuinya, tetapi yang
ditanggapinya dengan sikap masa bodoh
4. Kesadaran Individu Mengenai Alam Fauna atau binatang, dan alam flora atau
tumbuh-tumbuhan, dalam alam sekeklilingnya.
5. Kesadaran individu mengenai berbagai macam benda, zat, kekuatan, serta
gejala-gejala alam yang berada dan terjadi disekelilingnya.
III. Berbagai cara untuk memperlakukan hal-hal dalam lingkungan diri sendiri guna
memenuhi kebutuhan diri
1. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun
psikologis yang bersifat positif dari individu
2. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk menghindari, menolak, atau
meniadakan berbagai kebutuhan biologis dan berbagai dorongan psikologis
yang bersifat negative bagi individu
3. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk memperkuat identitas Aku dan individu
4. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk berhubungan dan berinteraksi dengan
berbagai manusia dalam lingkungan individu
5. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk mempergunakan bermacam-macam
binatang dan tumbuh-tumbuhan untuk keperluan individu
6. Berbagai cara, tehnik, dan metode untuk mendapatkan, menguasai, dan
mempergunakan berbagai macam benda, zat kekuatan, serta gejala-gejala alam
yang berada dan terjadi disekitar individu.
D. Macam-macam Kepribadian
1. Macam-macam kepribadian individu
Berbagai isi dan sasaran dari pengetahuan, perasaan, kehendak, dan keinginan
kepribadian, serta perbedaan kualitas hubungan antara berbagai unsur kepribadian
dalam kesadaran individu, menyebabkan keragaman struktur kepribadian pada setiap
manusia. Oleh karena itu, kepribadian tiap individu sangat unik.
Mempelajari materi setiap unsure kepribadian ( baik yang berupa pengetahuan
maupun yang berupa perasaan, sasaran dari kehendak, keinginan, dan emosi seseorang
) adalah tugas ilmu psikologi. Dalam hal itu diperhatikan satu macam materi yang
menyebabkan satu tingkah laku berpola, yaitu suatu kebiasaan ( babit ) dan berbagai
macam materi yang menyebabkan timbulnya kepribadian ( personality ), serta segala
macam tingkah laku berpola dari individu bersangkutan.
2. Kepribadian Umum
Para pengarang etnografi abad ke-19 yang lalu hingga tahun 1930-an sering
mencantumkan dalam karangan etnografi mereka suatu deskripsi tentang watak atau
kepribadian umum dari para warga kebudayaan yang menjadi topic etnografi mereka.
Deskripsi itu biasanya berdasarkan kesan-kesan saja, didapat dari pengalaman-
pengalaman mereka bergaul dengan para individu warga kebudayaan yang sedang
mereka teliti.
Linton dan Kardiner pertajam konsep kepribadian umum sehingga timbul konsep
“kepribadian dasar” atau basic personality structure, berarti : semua unsure kepribadian
yang dimiliki bersama oleh suatu bagian besar dari warga masyarakat itu. Kepribadian
dasar itu ada karena semua individu warga dari suatu masyarakat itu mengalami
pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama masa tumbuhnya.
Pendekatan dalam penelitian kepribadian dari suatu kebudayaan juga dilakukan
dengan metode lain yang didasarkan pada suatu pendirian dalam ilmu psikologi.
Pendirian tersebut menyatakan bahwa benih dari ciri-ciri dari unsur watak telah
tertanam dalam jiwa seorang individu sejak ia masih anak-anak. Pembentukan watak
dalam jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya ketika anak-anak ia
diasuh orang-orang dalam lingkungannya. Watak juga sangat ditentukan oleh cara-cara
ia sewaktu kecil diajarkan makan, diajarkan kebersihan, disiplin, diajarkan main dan
bergaul dengan anak-anak lainnya dan sebagainya. Oleh karena dalam tiap kebudayaan
cara pengasuhan anak didasarkan pada adat dan norma-norma tertentu, maka
beberapa unsur watak yang seragam akan tampak menonjol pada banyak individu yang
telah menjadi dewasa itu.
3. Kepribadian Barat dan Kepribadian Timur
Semua kebudayaan bukan Eropa Barat disebut pandangan hidup dan kepribadian
Timur. Dengan demikian timbul dua konsep yang kontras, yaitu Kepribadian Timur dan
Kepribadian Barat.
Dalam rangka pemakaian kedua konsep yang kontras itu, ada berbagai macam
pandangan diantara para cendekiawan Indonesia, yang sering bersifat kabur. Mereka
yang suka mendiskusikan kontras antara kedua konsep tersebut biasanya menyangka
bahwa kepribadian Timur mempunyai pandangan hidup yang mementingkan
kehidupan kerohanian, mistik, fikiran prelogis, keramah-tamahan, dan kehidupan
sosial. Sebaliknya kepribadian Barat mempunyai pandangan hidup yang mementingkan
kehidupan material, pikiran logis, hubungan berdasarkan asa guna, dan individualisme.
Dalam kenyataan, berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia ( yang dapat
digolongkan kedalam “kebudayaan timur” ), penuh dengan unsur-unsur prelogis;
mementingkan diskusi-diskusi tentang kebatinan; dan mementingkan mistik.
Dalam sebuah karangannya berjudul Psychological Homeostatis and Jen, yang
dimuat dalam majalah American Anthropologist jilid 73, tahun 1971 ( hlm. 23-44 ), Hsu
telah mengembangkan suatu konsep bahwa alam jiwa manusia sebagai makhluk sosial
budaya itu mengandung delapan daerah yang berwujud seolah-olah seperti lingkaran-
lingkaran konsentrikal sekitar diri pribadinya. Bagan dibawah ini menggambarkan
kedelapan daerah lingkaran itu.
0
1
2
3
4
5
6
7
7. Tidak sadar
6. Subsadar
5. Kesadaran yang tidak dinyatakan
4. Kesadaran yang dinyatakan
3. Lingkungan hubungan karib
2. Lingkungan hubungan berguna
1. Lingkungan hubungan jauh
0. Dunia luar
Lingkaran yang diberi nomor 7 dan 6 adalah daerah dalam jiwa individu yang oleh
para ahli psikologi disebut daerah “tidak sadar” dan “subsadar”. Kedua lingkaran itu
berada didaerah pedalaman dari alam iwa individu, dan terdiri dari bahan pikiran dan
gagasan yang telah terdesak kedalam sehingga tidak disadari lagi oleh individu
bersangkutan.
Lingkaran nomor 5 yang disebut oleh Hsu : “kesadaran yang tidak dinyatakan” (
unexpressed consiousnes ). Lingkaran itu terdiri dari fikiran-fikiran dan gagasan-gagasan
yang disadari penuh oleh individu bersangkutan, tetapi yang disimpan saja olehnya
dalam alam jiwanya sendiri dan tidak dinyatakannya kepada siapapun dalam
lingkungannya.
Lingkaran nomor 4 “kesadaran yang dinyatakan” (expressed conscious ). Lingkaran
ini dalam alam jiwa manusia mengandung fikiran-fikiran, gagasan-gagasan dan
perasaan-perasaan yang dapat dinyatakan secara terbuka oleh individu kepada
sesamanya, yang dengan mudah dapat diterima dan dijawab pula oleh sesamanya.
Lingkaran nomor 3, yang oleh Hsu disebut “lingkaran hubungan karib” ( intimate
society ) mengandung konsep tentang orang, binatang, atau benda yang oleh individu
diajak bergaul secara mesra dan karib, yang dapat dipakai sebagai tempat berlindung
dan tempat mencurahkan isi hati apabila sedang terkena tekanan batin atau dikejar-
kejar oleh kesedihan serta masalah-masalah hidup yang menyulitkan.
Lingkaran nomor 2, “lingkungan hubungan berguna”, tidak lagi ditandai oleh sikap
saying mesra, tetapi ditentukan oleh fungsi kegunaan dari orang, binatang, atau benda-
benda itu bagi dirinya.
Lingkaran nomor 1, “lingkaran hubungan jauh”, terdiri dari fikiran dan sikap dalam
alam jiwa manusia tentang manusia, benda-benda, alat-alat, pengetahuan, dan adat
yang ada dalam kebudayaan dan masyarakat sendiri, tetapi yang jarang sekali
mempunyai arti dan pengaruh langsung terhadap kehidupan sehari-hari.
Daerah nomor 0, “lingkaran dunia luar”, fikiran-fikiran dan anggapan-anggapan
tentang orang dan hal yang terletak diluar masyarakat dan Negara Indonesia, dan
ditanggapi oleh individu bersangkutan dengan sikap masa bodoh.
Daerah lingkaran nomor 4 dibatasi oleh garis yang digambar lebih tebal dari pada
yang lain. Garis ini menggambarkan batas dari alam jiwa individu yang dalam ilmu
psikologi disebut personality atau “kepribadian”.
Menurut ilmu psikologi Barat terkandung dalam kepribadian manusia, itulah yang
merupakan konsep Ego atau Akunya manusia dalam psikologi Barat. Konsep yang dapat
dipakai sebagai landasan untuk mengembangkan konsep lain itu menurut Hsu adalah
konsep Jen dalam kebudayaan Cina. Jen adalah anusia yang berjiwa selaras, manusia
yang berkepribadian”.
Nomor 4 dan 3, dibedakan dari yang lain dengan garis-garis arsir yang sedikit
memasuki daerah lingkaran nomor 5 dan nomor 2, menggambarkan konsep Jen atau
alam jiwa dari “manusia yang berjiwa selaras” itu disebut Psychological homeostasis
(sama dengan judul karangannya).
BAB III
MASYARAKAT
A. Kehidupan Berkelompok dan Devinisi Masyarakat
1. Kehidupan Berkelompok Dalam Alam Binatang
Dari ilmu mikrobiologi, misalnya kita mengetahui bahwa banyak jenis protozoa
hidup bersama makhluk sel sejenis dalam suatu kelompok sebanyak ribuan sel yang
masing-masing tetap merupakan individu sendiri-sendiri. Dalam kelompok protozoa
misalnya jenis Hydractinia itu, ada suatu pembagian kerja yang nyata antara subkelompok.
Ada subkelompok yang terdiri dari ratusan sel yang fungsinya mencari makan bagi seluruh
kelompok ; ada subkelompok lain yang fungsinya memreproduksi jenis dengan cara
membelah diri ; ada subkelompok yang fungsinya meneliti keadaan lingkungan dengan
kemampuannya membedakan suhu yang terlampau tinggi atau terlampau rendah, untuk
mendeteksi adanya bahan yang dapat dimakan, adanya lingkungan yang cocok utuk
reproduksi dan lain-lain.
Dari mempelajari kelompok-kelompok binatang seperti itu kita dapat
mengabstraksikan beberapa ciri yang dapat kita anggap ciri khas kehidupan berkelompok,
yaitu :
1. Pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam subkesatuan atau golongan
individu dalam kelompok untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup ;
2. Ketergantungan individu kepada individu lain dalam kelompok sebagai akibat dari
pembagian kerja tadi ;
3. Kerja sama antarindividu yang disebabkan karena sifat ketergantungan tadi ;
4. Komunikasi antarindividu yang diperlukanguna melaksanakan kerja sama tadi;
5. Diskriminasi yang diadakan antar individu-individu warga kelompok dan individu-
individu dari luarnya.
Mengenai asas-asas pergaulan antara makhluk dalam kehidupan alamiah itu,
beberapa ahli filsafat seperti H. Spencer pernah menyatakan bahwa asas egoisme atau asas
“ mendahulukan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan yang lain “, mutlak perlu bagi
jenis-jenis makhluk untuk dapat bertahan dalam alam yang kejam.
Kita dapat mengerti bahwa asas altruisme ini terutama berarti bagi makhluk-
makhluk yang hidup berkelompok. Justru karena altruisme yang kuat, maka jenis makhluk
berkelompokitu mampu mengembangkan sesuatu hubungan saling tolong-menolong dan
kerja sama yang serasi sehingga sebagai kelompok mereka menjadi begitu kuat dapat
bertahan hidup dalam alam yang kejam.
2. Kehidupan Berkelompok Makhluk Manusia
Manusia adalah jenis makhluk hidup yang juga hidup dalam kelompok. Asas-asas
hidup berkelompok yang sebenarnya telah dapat kita pelajari pada berbagai jenis protozoa,
serangga, dan binatang berkelompok lainnya. Walaupun demikian masih ada suatu
perbedaan yang sangat mendasar anatara kehidupan kelompok binatang dan kehidupan
kelompok manusia antara lain :
1. Sistem pembagian kerja
2. Aktifitas kerja sama
3. Berkomunikasi dalam kehidupan berkelompok binatang bersifat naluri.
Naluri merupakan suatu kemampuan yang telah dirancang oleh alam dan
terkandung dalam gen jenis binatang yang bersangkutan. Sedangkan sistem pembagian
kerja, aktivitas kerja sama dan berkomunikasi dalam kehidupan berkelompok manusia
tidak bersifat nurani. Hal ini disebabkan karena lepas dari pengaruh ciri-ciri ras, baik
Kaukasoid, Mongoloid, Negroid atau lainnya, organisme manusia mengevolusi suatu otak
yang khas. Otak manusia telah mengembangkan suatu kemampuan yang biasanya disebut “
akal “.
Kelakuan binatang berkelompok yang berakar dalam naluri, pada manusia menjadi
tingkah laku yang dijadikan milik diri dengan belajar. Kelakuan binatang dan kelakuan
manusia yang prosesnya telah direncanakan dalam gennya dan merupakan milik dirinya
tanpa belajar, seperti refleks, kelakuan naluri, dan kelakuan membabi buta, tetap kita sebut
kelakuan. Sebaliknya, perilaku manusia yang prosesnya tidak direncanakan dalam gennya,
tetap yang harus dijadikan milik dirinya dengan belajar, kita sebut tindakan atau tingkah
laku.
Oleh karena pola-pola tindakan dan tingkah laku manusia adalah hasil belajar, maka
kita dapat mudah mengerti bahwa pola-pola tindakan dapat berubah dengan lebih cepat
daripada perubahan bentuk biologisnya. Tingkah laku dan hidup manusia beberapa tahun
yang lalu sangat berbeda dengan sekarang. Hanya tiga dasawarsa hingga empat dasawarsa
yang lalu saja orang Indonesia masih banyak tinggal dalam rumah-rumah besar dengan
kelompok kerabatnya yang luas, dan dari musim ke musim menanam padi di lading atau
sawah sebagai petani.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam rentang waktu hidup beberapa generasi
manusia tidak sama cepatnya pada kelompok manusia satu dengan kelompok manusia
lainnya. Ada yang mengalami perubahan lamban dalam jangka waktu beberapa puluh
generasi selama saru-dua abad, ada pula yang berubah dengan cepat hanya memerlukan
waktu dua-tiga generasi saja selama beberapa puluh tahun. Apabila sejenis serangga lebah
tetap sama pola kelakuan dan cara hidupnya di mana pun ia berada, tidaklah demikian
dengan pola tingkah laku dan hidup manusia di Asia, Afrika, Australia, Amerika Utara,
Amerika Latin, atau Eropa.
B. Berbagai Wujud Kelompok Manusia
Manusia dimuka bumi saat ini berjumlah lebih dari tiga miliar dan seluruh makhuk
jenis homo sapiens itu menampakan suatu keragaman yang disebabkan karena ciri-ciri raas
Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, dan beberapa ciri lain yang berbeda-beda. Namun seperti
yang telah tersebut tadi, beragam ciri ras itu tidak menyebabkan timbulnya beragam pola
tingkah laku manusia.
Ragam tingkah laku manusia memang bukan disebabkan karena ciri-ciri ras,
melainkan karena kelompok-kelompok tempat manusia itu bergaul dan berinteraksi. Pada
zaman sekarang ini wujud tersebut adalah kelompok-kelompok yang besar terdiri dari
banyak manusia, tersebar dimuka bumi sebagai kesatuan-kesatuan manusia yang erat, dan
disebut Negara-negara nasional. Di Asia Tenggara, tampak kesatuan-kesatuan manusia
yang terwujud sebagai Negara nasional besar-kecil, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,
Papua Nugini, Filipina, Vietnam, Laos. Kamboja, Thailand, Myanmar. Di Eropa Barat
misalnya tampak kesatuan-kesatuan manusia yang juga berwujud sebagai Negara nasional
besar-kecil, seperti Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, Jerman, Belgia, Luksemburg,
Lechtenstein dan banyak yang lain.
Lebih khusus, dalam setiap suku bangsa ada kesatuan-kesatuan hidup yang lebih
kecil lagi, yaitu desa dan kota. Di dalamnya manusia yang terkait dalam kesatuan-kesatuan
khusus itu terwujud sebagai kelompok-kelompok kekerabatan, sedangkan organisasi-
organisasi khusus itu berwujud sebagai misalnya perkumpulan-perkumpulan rekreasi,
partai-partai politik, organisasi-organisasi dagang, badan-badan pendidikan dan lain-lain.
Adapula organisasi-organisasi untuk mengurus pertanian dan irigasi yang bernama
subak ; ada organisasi-organisasi untuk melaksanakan suatu pertukangan yang bernama
seka, seperti seka tukang patung, seka tukang pandai besi, seka tukang ukir, seka pelukis
dan lain-lain ; ada organisasi-organisasi untuk kesenian atau untuk rekreasi yang juga
disebut seka.
Beragam kesatuan hidup manusia dalam suatu kesatuan Negara nasional
mempunyai wujud yang lain. Berbagai wujud ini bukan disebabkan karena ada suku-suku
bangsa yang berbeda-beda, melainkan karena secara horizontal ada lapisan-lapisan sosial
yang berbeda-beda. Masing-masing golongan tersebut mempunyai pola-pola tingkah laku,
adat-istiadat, dan gaya hidup yang berbeda-beda. Golongan-golongan seperti ini seolah-
olah merupakan lapisan-lapisan sosial, karena ada penilaian tinggi rendah mengenai tiap
golongan tadi oleh warga dan negara yang bersangkutan.
C. Unsur-unsur Masyarakat
Yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat, yaitu kategori sosial, golongan
sosial, komunitas, kelompok dan perkumpulan.
1. Masyarakat
Masyarakat ( sebagai terjemahan istilah society ) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Perkataan
society berasal dari bahasa latin societas, “ perkataan “. Societas diambil dari socius yang
berarti “ teman “, maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang
dikatakan sosial. Kata “ masyarakat “ sendiri berasal dari kata dalam bahasa arab,
musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-
hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah komunitas yang interdependen ( saling
tergantung satu sama lain ). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Pengertian lain dari masyarakat merupakan istilah yang digunakan untuk
menerangkan komuditi manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan
masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling “ bergaul “, atau dengan istilah ilmiah, saling “
berinteraksi “. Negara modern misalnya, merupakan suatu kesatuan manusia dapat
mempunyai berbagai macam prasarana yang memungkinkan para warganya untuk
berinteraksi secara intensif dan dengan frekuensi yang tinggi.
Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau
berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu
ikatan lain yang khusus. Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu
masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya
dalam batas kesatuan itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu ; dengan
kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.
Sebaliknya suatu Negara, suatu kota atau desa, misalnya merupakan kesatuan
manusia yang memiliki ke empat ciri terurai di atas, yaitu ;
1. Interaksi antar warga dan-warganya;
2. Adat istiadat, norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur pola tingkah
laku warga Negara kota atau desa;
3. Kontinuitas waktu;
4. Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.
Maka definisi masyarakat secara khusus dapat kita rumuskan sebagai berikut :
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adapt
istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Definisi ini merupakan suatu definisi yang diajukan oleh J. L. Gillin dan J. P. Gillin dalam
buku mereka Cultural Sociology ( 1954 : hlm. 139 ), yang merumuskan bahwa masyarakat
atau society adalah “ …… the largest grouping ini which common customs, traditions,
attitudes and feelings of unity are operative “. Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai
unsur “ kesatuan hidup “ dalam definisi kita, unsur common customs dan traditions adalah
unsur “ adat istiadat “ dan “kontinuitas” dalam definisi kita, serta unsur common attitudes
and feelings of unity sama dengan unsur “ identitas bersama “.
Asas-asas Sosiologi guru ilmu sosiologi Universitas Gajah Mada, M.M. Djojodigoeno,
membedakan antara konsep “ masyarakat dalam arti yang luas dan sempit “. Berdasarkan
konsep Djojodigoeno ini dapat dikatakan masyarakat Indonesia sebagai contoh suatu “
masyarakat dalam arti luas “. Sebaliknya, masyarakat yang terdiri dari warga suatu
kelompok kekerabatan seperti dadia, marga, atau suku, kita anggap sebagai contoh dari
suatu “ masyarakat dalam arti sempit “.
Apakah dengan demikian konsep masyarakat sama dengan konsep kumunitas ?
kedua istilah itu memang tumpang tindih, tetapi istilah masyarakat adalah istilah umum
bagi suatu kesatuan hidup manusia, dank arena itulah bersifat lebih luas daripada istilah
komunitas. Masyarakat adalah semua kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap dan
terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa identitas bersama, tetapi komunitas bersifat
khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah tadi.
2. Kategori Sosial
Kategori sosial adalah kesatuan manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri
atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu.
Ciri-ciri objektif itu, misalnya dalam masyarakat suatu Negara ditentukan melalui
hukumnya bahwa ada kategori warga di atas umur 18 tahun, dan kategori warga di bawah
18 tahun, dengan maksud untuk membedakan antara warga Negara yang mempunyai hak
pilih dan warga Negara yang tidak mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum. Contoh
lain adalah bahwa dalam masyarakat itu juga ada suatu kategori orang yang memiliki
mobil, dan suatu kategori orang yang tidak memilikinya, dengan maksud untuk
menentukan warga Negara yang harus membayar sumbangan wajib dan yang bebas dari
sumbangan wajib itu.
Orang-orang dalam suatu kategori sosial, misalnya semua anak di bawah 17 tahun,
biasanya tidak ada suatu orientitas sosial yang mengikat mereka. Mereka juga tidak
memiliki potensi yang dapat mengembangkan suatu interaksi di antara mereka sebagai
keseluruhan. Suatu kategori sosial biasanya juga tidak terikat oleh kesatuan adat, sistem
nilai, atau norma tertentu. Suatu kategori sosial tidak mempunyai lokasi, tidak mempunyai
organisasi, tidak mempunyai pimpinan.
3. Golongan Sosial
Suatu golongan sosial juga merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh
suatu ciri tertentu. Bahkan sering kali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak
luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut
golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat disebaabkan karena
kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respons atau reaksi terhadap cara pihak luar
memandang golongan sosial itu. Hal ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh seperti
terurai berikut ini.
Dalam masyarakat Indonesia misalnya ada konsep golongan pemuda. Golongan
sosial ini terdiri dari manusia yang oleh pihak luar ditentukan berdasarkan atas satu ciri,
yaitu “ sifat muda “. Namun, selain ciri objektif tersebut, golongan sosial ini digambarkan
oleh umum sebagai suatu golongan manusia yang penuh idealisme ; belum terikat oleh
kewajiban-kewajiban hidup yang membebankan sehingga masih sanggup mengabdi dan
berkorban kepada masyarakat ; penuh semangat dan validitas ; mempunyai daya
mempengaruhi serta kreativitas yang besar.
Suatu golongan sosial dapat juga timbul karena pandangan negatif dari orang lain di
luar golongan itu. Misalnya : golongan Negro atau black dalam masyarakat Amerika Serikat,
disebabkan karena ciri-ciri ras yang tampak lahir secara mencolok dan membedakan
mereka dari warga Negara Amerika Serikat lainnya yang mempunyai ciri-ciri ras
Kaukasoid.
Dalam masyarakat masih ada suatu kesatuan manusia yang dapat disebut golongan
sosial, yaitu lapisan atau kelas sosial. Dalam masyarakat kuno misalnya ada lapisan-lapisan
seperti lapisan bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan budak dan sebagainya ; dalam
masyarakat masa kini ada lapisan petani, lapisan buruh, lapisan pegawai, lapisan pegawai
tinggi, lapisan cendikiawan, lapisan usahawan dan sebagainya. Lapisan atau golongan
social semacam itu terjadi karena manusia-manusia yang dikelaskan ke dalamnya
mempunyai suatu gaya hidup yang khas.
Walaupun konsep golongan social dapat dibedakan dari konsep kategori sosial
melalui tiga syarat pengikat lagi, yaitu system norma, rasa identitas sosial, dan kontinuitas ;
namun konsep golongan sosial itu sama dengan konsep kategori sosial dan tidak
memenuhi syarat untuk disebut masyarakat. Hal itu disebabkan karena ada suatu syarat
pengikat masyarakat yang tidak ada pada keduanya, yaitu prasarana khusus untuk
melakukan interaksi sosial.
4. Kelompok dan Perkumpulan
Suatu kelompok atau group juga merupakan suatu masyarakat karena memenuhi
syarat-syaratnya dengan adanya sistem interaksi antara para anggota, dengan adanya
adapt istiadat serta system norma yang mengatur in teraksi itu, dengan adanya idenitas
yang mempersatukan semua anggota tadi. Namun selain ketiga ciri tadi, suatu kesatuan
manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan
sistem pimpinan, dan selalu tampak sebagai kesatuan dari individu-individu pada masa-
masa yang secara berulang berkumpuk dan kemudian bubar lagi.
Kedua ciri khas tersebut sebenarnya juga dimiliki oleh kesatuan manusia yang
paling besar masa kini, yaitu Negara. Namun, istilah kelompok tidak dikenakan pada
Negara.Kelompok yang didasarkan organisasi yang disebut pertama, misalnya marga
Tarigan, dalam buku-buku pelajaran antropologi dan sosiologi dalam bahasa Inggris sering
disebut group atau juga primaty group. Sistem organisasi sering disebut informal
organization. Kelompok yang berdasarkan organisasi yang disebut kedua, seperti PSIM
atau Gerakan Subud, dalam buku-buku pelajaran antropologi dan sosiologi dalam bahasa
Inggris disebut association. System organisasi sering disebut farmal organization.
Apabila istilah-istilah bahasa Inggris group, informal organization, association, dan
farmal organization itu kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secar otomatis, maka
kan timbul istilah-istilah yang artinya menjadi tidak jelas, seperti asosiasi, organisasi resmi,
kelompok, dan organisasi tidak resmi. Karena itu, untuk menghindari salah paham
digunakan istilah-istilah lain dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti lebih jelas
untuk menyebut kedua macam kelompok dan organisasi tadi. Association sebaiknya
diterjemahkan dengan istilah “ perkumpulan “. Dasar organisasinya adalah “ organisasi
buatan “. Group diterjemahkan dengan istilah “ kelompok “. Atau bila perlu kita dapat juga
memakai istilah yang digunakan Cooley, kelompok primer. Dasar organisasinya adalah “
organisasi adat “.
Suatu kelompok primer dengan kelompok adat, biasanya mempunyai system
pimpinan yang berbeda sifatnya daripada suatu perkumpulan dengan organisasi buatan.
Pimpinan kelompok lebih dilandaskan kewibawaan dan karisma, sedangkan hubungan
dengan warga kelompok yang dipimpin lebih berdasarkan hubungan asas perorangan.
Sebaliknya, pimpinan perkumpulan biasanya lebih berlandaskan wewenang dan hukum,
sedangkan hubungan dengan anggota kelompok yang dipimpin lebih berlandaskan
hubungan anonim dan asas guna.
Tabel 1
Perbedaan antara kelompok dan perkumpulan
Kelompok Perkumpulan
Primary group Association
Gemeinsschaft Gessellshaft
Solidarite mechanique Solidarite organique
Hubungan familistic Hubungan contractual
Dasar organisasi adapt Dasar organisassi buatan
Pimpinan berdasarkan kewibawaan dan
karisma
Pimpinan berdasarkan wewenang dan
hukum
Hubungan berasaskan perorangan Hubungan anonym dan berasas guna
5. Beragam Kelompok dan Perkumpulan
Perkumpulan dapat dikelaskan berdasarkan prinsip guna dan keperluan atau
fungsinya. Ada perkumpulan-perkumpulan yang berdasarkan keperluan manusia untuk
memajukan pendidikan dalam masyarakat seperti suatu yayasan pendidikan atau
kelompok studi, suatu perkumpulan pemberantasan buta huruf dan sebagainya. Ada
perkumpulan untuk memajukan ilmu pengetahuan seperti Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu sosial, atau organisasi-organisasi profesi yang sekaligus juga
bertujuan mengajukan ilmu dan profesi bersangkutan, seperti Ikatan Dokter Indonesia.
Ada perkumpulan yang berdasarkan keperluan untuk memajukan kesenian, seperti
perkumpulan Mitra Budaya, perkumpulan seni tari Krida beksa Wirama, band musi pop
Koes Plus, perkumpulan kesusasteraan, aliran-aliran seni lukis dan sebagainya. Adapula
perkumpulan yang bertujuan melaksanakan aktivitas-aktivitas keaagamaan, seperti
organisasi gereja, organisasi-organisasi penyiaran agama, sekte, gerakan-gerakan
kebatinan, gerakan-gerakan ratu adil dan sebagainya.
6. Ikhtisar Mengenai Beragam Wujud Kesatuan Manusia
Agar menjadi lebih jelas, maka beragam wujud kesatuan manusia terurai tadi
beserta istilah-istilahnya yang hingga sekarang masih tetap merupakan suatu masalah yang
belum mantap diantara para ahlu antropologi dan sosiologi.
Ada tiga wujud kesatuan manusia, yaitu kerumunan, katerogi social, dan golongan
social tidak dapat disebut masyarakat. Hal itu karena ketiganya tidak memenuhi ketiga
unsur-unsur yang merupakan syarat konsep “ masyarakat “. Sedangkan perkumpulan
lazimnya juga tidak disebut demikian, walaupun memenuhi syarat.
7. Interaksi Antarindividu Dalam Masyarakat
Konsep interaksi yang dalam pembahasan sehari-hari, berarti “ bergaul “. Dalam hal
menganalisis proses interaksi antara individu-individu dalam masyarakat, kita harus
membedakan dua hal yaitu : kontak dan komunikai. Kontak antara individu juga tidak
hanya mungkin pada jarak dekat dengan misalnya “ berhadapan muka “. Juga tidak hanya
pada jarak sejauh kemampuan pancaindra manusia, tetapi alat-alat kebudayaan manusia
masa kini seperti tulisan, buku, surat kabar, telepon, radio, televisi memungkinkan
individu-individu berkontak pada jarak yang sangat jauh. Komunikasi terjadi setelah
adanya kontak.
D. Pranata Sosial
Istilah pranata sosial oleh Soerjono Soekanto disebut lembaga kemasyarakatan
merupakan hasil terjemahan dari bahasa Inggris social institution. Istilah yang lain yang
sering dipakai menunjukan pranata sosial adalah lembaga sosial. Istilah pranata sosial
berkaitan erat dengan istilah pranata dan lembaga.
Pengertian mengenai pranata social :
1. Pranata sosial adalah suatu system norma yang mencapai suatu tujuan atau
kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting ( menurut Horton dan Hunt
Suharko )
2. Pranata sosial merupakan himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan
pokok yang dipandang penting dalam masyarakat ( menurut Soerjono Soekanto ).
3. Pranata sosial merupakan tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk
mengatur hubungan antarmanusia yang berkelompok dalam suatu kelompok
masyarakat ( menurut Robert Max. Iver dan Charles H. Page ).
4. Pranata sosial adalah suatu system tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada
aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat. ( Menurut Koentjaraningrat )
5. Pranata sosial adalah semua norma dari segala tingkat yang berkisar pada suatu
keperluan pokok dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu kelompok yang
diberi nama lembaga kemasyarakatan.( Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi )
1. Pranata
Pranata adalah suatu system norma khusus menata suatu rangkaian tindakan
berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan
masyarakat. Konsep pranata atau institution telah lama berkembang dan dipergunakan
dalam ilmu sosiologi dan merupakan suatu konsep dasar yang diuraikan secara panjang
lebar dalam semua kitab pelajaran mengenai ilmu itu.
2. Pranata ( institusi ) dan Lembaga ( istitut )
Pranata adalah system norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas
masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga adalah badan atau organisasi yang
melaksanakan aktivitas itu. Dengan kata lain, lembaga merupakan wujud konkret dari
pranata. Pranata bersifat abstrak, karena merupakan seperangkat aturan. Sedangkan,
lembaga bersifat nyata, karena berupa lembaga, asosiasi, organisasi, kelompok, badan, atau
perkumpulan yang khusus.
Sebagai contoh : Sekolah merupakan pranata yang memiliki seperangkat norma
yang mengatur tentang pendidikan. Sedangkan SD Negeri 1, SD 2 merupakan lembaga.
3. Macam-macam Pranata
Menurut Koentjaaraningrat bahwa pranata-pranata social atau lembaga social
kemasyarakatan dibagi menjadi delapan pranata, sebagai berikut :
1. Pranata yang mengatur atau berfungsi tenteng kekerabatan, yaitu sering disebut
kinship atau domestic institutions. Yaitu mengatur tentang : Kekeluargaan,
perkawinan, perceraian, cara-carameminang / melamar, tolong menolong
antarkerabat, pengasuhan anak-anak, sopan santun pergaulan antarkerabat dan
sebagainya.
2. Pranata yang mengatur tentang mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun,
menyimpan, mendistribusikan hasil produksi dan harta adalah economic
institutions, yaitu mengatur kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan ekonomi seperti : pertanian, peternakan, perindustrian,
perkebunan, perbankan, perburuan, jasa dan sebagainya.
3. Pranata yang mengatur tentang penerangan dan pendidikan manusia supaya
menjadi anggota masyarakat yang berguna adalah educational institutions, yaitu
mengatur tentang tingkatan / jenjang pendidikan sejak TK, SD, SLTP, SMA,
Perguruan Tinggi ( Program S1, S2, S3 ), pendidikan formal kejuruan,
pemberantasan buta huruf pers, dan sebagainya.
4. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam
semesta sekelilingnya atau scientific institutions, yaitu mengatur tentang kebutuhan
ilmiah, seperti : metodologi ilmiah, karya ilmiah, kelompok ilmiah remaja ( KIR ),
penelitian, pendidikan ilmiah, dan sebagainya.
5. Pranata yang mengatur tentang rasa keindahan dan rekreasi ( aesthetic and
recreational institutions ), yaitu meliputi kebutuhan-kebutuhan seperti : seni rupa,
seni drama, seni tari, sport, menikmati keindahan panorama alam, rekreasi, wisata
dan sebagainya.
6. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu kebutuhan-kebutuhan dalam kegiatan-kegiatan agama atau religious
institutions, contoh : masjid, gereja, pura, kenduri, upacara ritual, dan sebagainya.
7. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan hidup berkelompok atau bernegara atau
political institutions, seperti : partai politik, Negara demokrasi, Polri, TNI, kejaksaan,
kehakiman, departemen, dan sebagainya.
8. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan jasmani manusia atau somatic
institutions, yaitu kebutuhan yang mengatur pemeliharan badan seperti :
kecantikan, kesehatan, kedokteran, tata rias, dan sebagainya.
Penggolongan tersebut tentu tidak lengkap karena tidak mencakup segala macam
pranata yang mungkin ada dalam masyarakat manusia. Selain itu dalam suatu masyarakat
banyak pula pranata yang tidak khusus tumbuh dari dalam adapt istiadat suatu masyarakat
bersangkutan, tanpa disadari adan direncanakan diambil dari masyarakat lain. Banyak
pranata berasal dari luar, seperti : demokrasi parlementer, system kepartaian, koperasi,
perguruan tinggi, komunikasi satelit, dan lain-lain.
Pada tanggal 10 Juni 1976, misalnya dalam masyarakat Indonesia dikembangkan
yaitu pranata baru, yaitu pranata komunikasi satelit.
4. Pranata, kedudukan dan pranata Sosial
Istilah peranan memang dipinjam dari seni sandiwara. Berbeda dengan sandiwara,
si pemain tidak hanya memainkan suatu peranan saja, tetapi beberapa peranan sekaligus
atau secara berganti-ganti. Dalam ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain, peranan
diberi arti yang lebih khusus, yaitu peranan khas yang dipentaskan atau ditindakan oleh
individu dalam kedudukan di mana ia berhadapan dengan individu-individu dalam
kedudukan-kedudukan lain.
Untuk tiap individu dalam masyarakat ada dua macam kedudukan, yaitu kedudukan
yang dapat diperoleh dengan sendirinya, dan kedudukan yang hanya dapat diperoleh
dengan usaha. Golongan yang pertama disebut kedududkan tergaridkan dan yang keduaa
disebut kedudukan diusahakan.
E. Integrasi Masyarakat
1. Struktur Sosial
Konsep social structure pertama kali dikembangkan oleh seorang tokoh dalam ilmu
antropologi, yaitu A.R. Radcliffe Brown. Sarjana antropologi Inggris ini hidup di antara
1881 dan 1955, yang di antara lain pernah melakukan penelitian terhadap orang-orang
pygmee di kepulauan Andaman di Teluk Bengali di sebelah utara sumatera. Dalam bukunya
yang melaporkan penelitian itu, The Andaman Islanders ( 1922) belum tercantum uraian
mengenai konsep social structure itu. Baru pada tahun 1939 konsep itu diuraikan olehnya
dalam suatu pidato resmi yang diucapakannya saat peristiwa penerimaan jabatannya
sebagai Ketua Lembaga Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. Dasar
pikirannya mengenai struktur sosial itu secara singkat adalah seperti yang terurai berikut
ini :
1. Pangkal dan pusat dari segala penelitian masyarakat di muka bumi ini, serupa
dengan penelitian-penelitian ilmu kimia itu yang memusatkan perhatian terhadap
susunan hubungan antara molekul-molekul yang menyebabkan adanya berbagai
zat.
2. Struktur sosial dari suatu masyarakat itu mengendalikan tindakan individu dalam
masyarakat, tetapi tidak tampak oleh seorang peneliti dengan sekejap pandangan
dan harus diabstraksikan secara induksi dan dari kenyataan kehidupan masyarakat
yang konkret.
3. Hubungan interaksi antarindividu dalam masyarakat adalah hal yang konkret yang
dapat diobservasi dan dapat dicatat.
4. Dengan struktur sosial itu seorang peneliti kemudian dapat menyelami latar
belakang seluruh kehidupan suatu masyarakat, baik hubungan kekerabatan,
perekonomian, religi, maupun aktivitas kebudayaan atau pranata lainnya.
5. Untuk mempelajari struktur sosial suatu masyarakat diperlukan suatu penelitian di
lapangan, dengan mendatangi sendiri suatu masyarakat manusia yang hidup terikat
oleh suatu desa, suatu bagian kota besar, suatu kelompok berburu dan yang lain.
6. Struktur sosial juga dapat dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas-batas
dari suatu masyarakat tertentu.
2. Analisis Struktur Sosial
Walaupun Radcliffe- Brown telah menguraikan konsep social structure, ia belum
pernah memberikan petunjuk mengenai metodologi yang digunakan seorang peneliti
mengabstraksikan susunan social dari kenyataan kehidupan masyarakat. Ahli-ahli
antropologi telah mencoba berbagai metode untuk mengabstaksikan struktur sosial,
metode-metode yang paling umum adalah mencari karangka itu dari kehidupan
kekerabatan. Dalam suatu masyarakat kecil dan lokal, kehidupan kekerabatan merupakan
suatu system yang sering kali bersifat amat ketat, yamg memang mempengaruhi suatu
lapangan kehidupan yang sangat luas, sehingga menyangkut banyak sektor kehidupan
masyarakat.
Antropologi yang mempunyai pengalaman cukup lama justru dalam hal meneliti
masyarakat lokal, telah mengembangkan berbagai metode dan konsep mengenai berbagai
system kekerabatan yang beragam.
BAB IV
KEBUDAYAAN
A. Definisi Menurut Ilmu Antropologi
Menurut ilmu antropologi “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat
yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri,
beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta.
Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa
dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua
kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.
Definisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan “tindakan kebudayaan” itu
adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar, juga diajukan
oleh beberapa ahli antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, atau A.
Hoebel. Definisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja diantara banyak definisi lain
yang pernah diajukan, tidak hanya para sarjana antropologi, tetapi juga oleh para sarjana
ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Hasil penelitian
mengenai definisi kebudayaan tadi diterbitkan menjadi buku berjudul: Culture, A Critical
Review of Concepts and Definitions (1952).
1. Kebudayaan (Culture) dan Peradaban
Kata “kebudayaan: berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan:
“hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya
sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk bu-daya, yang berarti “daya dan budi”.
Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. Demikianlah “budaya”
adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu.
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal
dari kata latin colore yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau
bertani. Dari arti lain berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
2. Sifat Superorganik dari Kebudayaan
Manusia berevolusi dalam jangka waktu lebih-kurang 4 juta tahun lamanya. Pada
saat itu muncul di muka bumi, tentu telah ada benih-benih dari kebudayaan. Telah ada
bahasa sebagai alat komunikasi untuk perkembangan sistem pembagian kerja dan
interaksi antar warga kelompok. Tentu saja ada kemampuan akal manusia untuk
mengembangkan konsep-konsep yang makin tajam, yang dapat disimpan dalam bahasa,
dan bersifat akumulatif. Mungkin ketika itu juga sudah ada alat-alatnya yang pertama,
berupa sebatang kayu untuk tongkat pukul, segumpal batu untuk senjata lempar.
Kemudian batang-batang kayu diperuncing olehnya sehingga selain senjata pukul, juga
dapat berfungsi sebagai senjata tusuk, dan gumpal-gumpal batu yang dipertajam pada sisi
belahannya dapat juga berfungsi sebagai alat potong.
Kemudian hanya 50.000 tahun setelah itu, ketika dalam proses evolusi organik
tampak perbedaan beragam ras, maka dalam proses evolusi kebudayaan telah mulai
tampak alat-alat dengan teknologi rumit seperti busur panah. Adapun suatu perkembangan
yang meloncat cepat adalah ketika dalam waktu hanya 20.000 tahun saja, berkembang
kepamdaian manusia untuk bercocok tanam.
Setelah revolusi bercocok tanam dan kehidupan menetap, yang juga menyebabkan
meloncatnya pertambahan jumlah manusia, hanya dalam jangka waktu separohnya dari
jangka waktu proses perkembangan bercocok tanam, yaitu 6.000 tahun kemudian, telah
timbul lagi suatu revolusi atau perubahan mendadak yang baru lagi dalam proses
perkembangan kebudayaan, yaitu revolusi perkembangan masyarakat kota. Peristiwa itu
pertama-tama terjadi di Pulau Kreta, kira-kira pada tahun 4.000 S.M.,di daerah subur di
perairan sungai-sungai Tigris dan Eufrat (daerah yang sekarang menjadi negara Siria dan
Irak), di daerah muara Sungai Nil (daerah yang sekarang menjadi Mesir sekitar kota Kairo).
Dengan melalui dua peristiwa revolusi kebudayaan, yaitu revolusi pertanian dan
revolusi perkotaan, proses perkembangan tampak membumbung tinggi dengan suatu
kecepatan yang seolah-olah tidak dapat dikendalikan sendiri, dalam waktu hanya 200
tahun saja, melalui peristiwa yangt disebut revolusi industri. Proses perkembangan
kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik, dan terbang sendiri
membumbung tinggi ini, merupakan proses yang oleh ahli antropologi A.L. Kroeber disebut
proses perkembangan superorganic dari kebudayaan.
B. Tiga Wujud Kebudayaan
Seorang ahli sosiologi Talcott Parsons bersama dengan seorang ahli antropologi
A.L.Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu
sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan
aktivitas manusia yang berpola. Serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran
antropologinya, berjudul The World of Man (1959:hlm. 11-12) membedakan adanya tiga
“gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengarang berpendirian
bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat
diraba atau difoto. Lokasinya ada didalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam
pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke d etik,
dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik
dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling
konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada
benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja: ada benda-benda yang amat kompleks
dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda besar yang bergerak.
C. Adat – Istiadat
1. Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari
adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai
suatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap
bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi.
Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi
landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah :
1) Masalah hakikat dan hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
2) Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
3) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat
MW).
4) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya
disingkat MA).
5) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat
MM).
Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi
manusia yang menganutnya. Namun istilah “pandangan nhidup” sebaiknya dipisahkan dari
konsep sistem nilai budaya. Pandangan hidup itu biasanya mengandung sebagian dari
nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dipilih secara selektif oleh para individu
dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai” itu
merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat, maka
“pandangan hidup” itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan-
golongan atau lebih sempit lagi, individu-individu khusus dalam masyarakat. Karena itu,
hanya ada pandangan hidup golongan atau individu tertentu, tetapi tidak ada pandangan
hidup seluruh masyarakat.
Lain lagi dengan konsep “ideologi”. Konsep itu juga merupakan suatu sitem
pedoman hidup atau cita-cita, yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam
masyarakat, tetapi lebih khusus sifatnya daripada sistem nilai budaya. Suatu ideologi dapat
menyangkut sebagian besar dari warga masyarakat, tetapi dapat juga menyangkut
golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. Sebaiknya istilah ideologi biasanya tidak
dipakai dalam hubungan dengan individu.
2. Adat Istiadat, Norma, dan Hukum
Norma yang berupa aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus, sedangkan
perumusannya bersifat amat terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Hal itu memang
seharusnya demikian, sebab kalau terlampau umum dan luas ruang lingkupnya, serta
terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut tidak dapat mengatur tindakan
individu dan membingungkan individu bersangkutan (mengenai prosedur dan cara
pelaksanaan suatu tindakan).
Norma-norma yang khusus dapat digolongkan menurut pranata yang ada di
masyarakat. Tiap masyarakat mempunyai sejumlah pranata, seperti pranata ilmiah,
pranata pendidikan, pranata peradilan, pranata ekonomi, pranata estetika atau kesenian,
pranata keagamaan dan sebagainya. Sejajar dengan adanya beragam pranata itu ada juga
norma ilmiah, norma pendidikan, norma politik, norma politik, norma peradilan, norma
ekonomi, norma estetika atau keindahan, norma keagamaan dan sebagainya.
Oleh seorang ahli sosiologi W.G. Sumner, norma golongan pertama disebut mores,
dan norma golongan kedua folkways. Istilah mores menurut konsepsi Sumner dapat kita
sebut dalam bahasa Indonesia “adat-istiadat dalam arti khusus”, sedangkan folkways dapat
kita sebut “tata cara”.
Norma-norma dari golongan adat yang mempunyai akibat panjang tadi juga berupa
“hukum”. Walaupun demikian, tidaklah tepat untuk menyamakan mores menurut konsepsi
Sumner itu dengan “hukum”, karena menurut Sumner norma-norma yang mengatur
upacara-upacara suci tertentu juga termasuk mores karena dalam banyak kebudayaan
norma seperti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya sering menyebabkan
ketegangan-ketegangan dalam masyarakat dan sering mempunyai akibat panjang. Dengan
demikian kita perlu mengetahui secara jelas perbedaan antara norma-norma yang dapat
kita sebut “hukum” atau “hukum adat”.
Mengenai perbedaan antara adat dan hkum adat, atau mengenai ciri-ciri dasar dari
hukum dan hukum adat, memang sudah sejak lama menjadi buah pemikiran para ahli
antropologi. Mereka dapat kita bagi dalam dua golongan.
Golongan pertama beranggapan bahwa tidak ada aktivitas hukum dalam
masyarakat yang tidak bernegara (seperti masyarakat kelompok berburu dan meramu,
masyarakat peladang yang tidak mengenal dunia lain diluar desa mereka). Ahli antropologi
A.R. Radcliffe Brown menganut pendiri ini. Pendiriannya mudah, tetapi kemudian timbul
masalah tentang cra masyarakat yang tidak ada hukumnya berhasil menjaga tata tertib
didalamnya, mengenai itu Radcliffe Brown percaya akan adanya suatu komplek norma
umum, yaitu adat (yang berada diatas individu, sifatnya mantap dan kontinu, mempunyai
sifat memaksa).
Golongan kedua tidak mengkhususkan definisi mereka tentang hukum, hanya
kepala hukum dalam masyarakat bernegara dengan suatu sistem alat-alat kekuasaan saja.
Di antara kedua golongan ini ada B. Malinowski. Ia berpendapat bahwa ada suatu dasar
universal yang sama antara “hukum” dalam masyarakat bernegara dan masyarakat
terbelakang. Katanya, semua aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi suatu
rangkaian hasrat naluri dari manusia. Adapun diantara berbagai macam aktivitas
kebudayaan itu ada yang mempunyai fungsi memenuhi (yaitu hasrat naluri manusia untuk
saling memberi dan menerima berdasarkan prinsip yang oleh Malinowski disebut the
principle of reciprocity).
B. Teer Haar yang pernah memikirkan mengenai batas antara adat dan hukum
adat. Pendiriannya tentang masalah itu adalah seperti berikut: pedoman untuk
menentukan suatu kasus (merupakan kasus hukum atau bukan hukum), dalam suatu
masyarakat yang mempunyai adat dan sistem hukum yang tidak terkodifikasi itu adalah
keputusan dari para pejabat pemegang kuasa dalam masyarakat. Pendiri ini diajukan oleh
Ter Haar dalam beberapa pidato ilmiah, salah satu diantaranya adalah Het
Adatprivaatrecht van Nederlandsch-in Wetenschap, Praktijk en Onderwijs (1937).
Hasil dari analisis komparatif yang amat luas adalah suatu teori tentang batas
antara adat dan hukum adat, yang singkatnya berbunyi sebagai berikut :
a. Hukum adalah suatu aktivitas didalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai
fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-
aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat,
seorang peneliti harus mencari adanya empat ciri dari hukum, atau atributes of law.
b. Atribute yang terutama disebut attribute of aut hority (sampai disini teori Pospisil
tidak berbeda denga teori Ter Haar). Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan
bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan
melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat.
Keputusan-keputusan ini memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang
disebabkan karena misalnya ada: (i) serangan-serangan terhadap diri individu;
(ii) serangan-serangan terhadap hak orang; (iii) serangan-serangan terhadap pihak
yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan hukum.
c. Atribute yang kedua disebut atribute of intention of universal application. Atribut ini
menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus
dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang
dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa serupa dalam masa yang akan
datang.
d. Atribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa
keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dan
kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua
yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu
e. Atribute yang keempatdisebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa
keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam
arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman
tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-
sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), selain itu juga berupa sanksi rohani seperti
menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya.
D. Unsur-Unsur Kebudayaan
Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya
kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu
keseluruhan yang terintegrasi, ketika hendak menganalisis membagi keseluruhan itu ke
dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural
universals. Unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana
antropologi bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat kita sebut sebagai isi pokok
dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah :
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi, dan
7. Kesenian.
E. Integrasi Kebudayaan
1. Metode Holistik
Ilmu antropologi memang telah mengembangkan beberapa konsep yang dapat
dipakai untuk memahami berbagai macam kaitan antara berbagai unsur kecil dalam suatu
kebudayaan itu. Kesadaran akan perlunya masalah integrasi kebudayaan dipelajari secara
mendalam, baru setelah tahun 1920 timbul, dan baru sesudah waktu itu masalah integrasi
menjadi bahan diskusi dalam teori. Dalam pada itu timbul beberapa konsep untuk
menganalisis masalah integrasi kebudayaan, yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur
kebudayaan, fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum.
2. Pikiran Kolektif
Sudah sejak akhir abad ke-19 ada seorang ahli sosiologi dan antropologi Prancis, bernama
E.Durkheim, yang mengembangkan konsep representations collectives (pikiran-pikiran
kolektif) dalam sebuah karantgan berjudul Representation Individuelles et Representations
Collectives (1898). Cara Dukheim menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda
dengan cara ilmu psikologi menguraikan konsep berpikir. Ia juga beranggapan bahwa
aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah, seperti: penangkapan pengalaman, rasa,
sensasi, kemauan, keinginan, dan lain-lain itu, terjadi dalam organ fisik dari manusia dan
khususnya berpangkal di otak dan sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai
kemampuan untuk menghubung-hubungkan proses-proses rohaniah yang primer tadi
melalui proses sekunder, menjadi bayangan-bayangan; dan jumlah dari semua bayangan
tentang suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan seperti itu oleh Durkheim
disebut representation. Oleh karena gagasan berada dalam alam pikiran seorang individu,
maka disebutnya representation individuelle.
3. Fungsi Unsur-unsur Kebudayaan
Ada beberapa sarjana antropologi lain yang mencoba mencapai pengertian
mengenai masalah integrasi kebudayaan dan jaringan berkaitan antara unsur-unsurnya,
dengan cara meneliti fungsi unsur-unsur itu. Istilah “fungsi” itu dapat dipakai dalam bahasa
sehari-hari maupun dalam bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda. Seorang sarjana
antropologi, M.E. Spiro, pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara
pemakaian kata “fungsi” itu, adalah :
a) Menerangkan “fungsi” itu sebagai hubungan antara suatu hal dengan suatu tujuan
tertentu (misalnya mobil mempunyai fungtsi sebagai alat untuk mengangkut
manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain),
b) Menerangkan kaitan antara satu hal dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x
itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh x tadi, juga
berubah),
c) Menerangkan hubungan yang terjadi antara satu dengan hal-hal lain dalam suatu
sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah
menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan
perubahan dalam seluruh organisme).
“Fungsi” dalam arti pertama selain dalam bahasa ilmiah, juga merupakan salah satu
arti dalam bahasa sehari-hari; arti kedua sangat penting dalam ilmu pasti, tetapi juga
mempunyai arti dalam ilmu-ilmu sosial, antara lain dalam ilmu antropologi; sedangkan
dalam arti ketiga terkandung kesadaran para sarjana antropologi akan integrasi
kebudayaan itu.
Kesadaran akan metode untuk memandang suatu kebudayaan yang hidup sebagai
suatu sistem yang terintegrasi, timbul setelah tahun 1925 ketika buku etnografi tulisan B.
Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand, yang terletak disebelah tenggara
Papua Nugini, menjadi terkenal. Buku The Argonauts of the Western Pacific (1922),
merupakan suatu etnografi mengenai kehidupan orang papua yang dituliskan dengan gaya
bahasa yang sangat menarik dan dengan suatu cara yang sangat khas. Fokus dari buku itu
adalah sistem pelayaran untuk berdagang antar pulau, dalam bahasa setempat disebut
kula. Perahu-perahu bercadik yang berlayar dari pulau ke pulau menempuh jarak hingga
puluhan mil dan memakan waktu berbulan-bulan, mengedarkan benda-benda suci (sulava)
berupa kalung-kalung yang dibuat dari kerang, ditukarkan dengan benda-benda suci
lainnya bernama mwali (berupa gelang-gelang). Bersama dengan penukaran benda-benda
suci itu, terjadi berbagai transaksi perdagangan dan barter secara luas yang meliputi
berbagai macam benda ekonomi.
Aliran pemikiran mengenai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap
kehidupan suatu masyarakat, yang mulai timbul setelah tulisan Malinowski mengenai
penduduk Kepulauan Trobriand itu menarik perhatian umum, dan disebut aliran
Fungsionalisme. Dalam aliran itu ada berbagai pendapat dari berbagai sarjana antropologi
mengenai fungsi dasar dari unsur-unsur kebudayaan manusia.
Teorinya mengenai fungsi kebudayaan dikembangkan oleh Malinowski pada masa
akhir dari hidupnya sehingga bukunya dimana teori itu diuraikannya, tidak dialaminya.
Buku itu, A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944), diterbitkan anumerta, dua
tahun setelah ia meninggal.
4. Fokus Kebudayaan
Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga
masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat
yang bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton, disebut cultural interest, atau
kadang-kadang juga socia linterest.
5. Etos Kebudayaan
Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang
tampak. Watak khas itu dalam ilmu antropologi disebut ethos, sering tampak pada gaya
tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda
budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu, maka seorang Batak misalnya, yang
mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang asing yang tidak mengenal kebudayaan Jawa
memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan, sehingga sering
menjadi kelambanan; kegemaran akan tingkah laku yang mendetail ke dalam, atau njelimet,
dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang berbelit-belit. Kemudian gambaran
orang Batak mengenai watak kebudayaan Jawa tadi biasanya akan diilustrasikan dengan
bahasa Jawa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasa yang sangat rumit dan
mendetail, dengan sopan-santun dan gaya tingkah laku yang menganggap pantang
berbicara dan tertawa keras-keras, gerak-gerik yang ribut dan agresif, tetapi menilai tinggi
tingkah laku yang tenang tidak tergoyahkan, dengan kegemaran orang Jawa akan warna-
warna yang gelap dan tua, akan seni suara gamelan yang tidak keras, akan benda-benda
kesenian dan kerajinan dengan hiasan-hiasan yang sangat mendetail dengan bentuk-
bentuk berliku-liku yang makin ke dalam menjadi makin kecil dan sebagainya.
6. Kepribadian Umum
Metode lain yang pernah dikembangkan oleh para ahli antropologi untuk melukiskan suatu
kebudaaan secara holistik terintegrasi adalah dengan memusatkan perhatian terhadap
“kepribadian umum” yang dominan dalam kevbudayaan itu. Artinya, perhatian terhadap
kepribadian atau watak yang ada pada sebagian besar dari individu yang hidup dalam
kebudayaan bersangkutan. Konsep “kepribadian umum” atau “kepribadian bahasa” (basic
personality) itu mula-mula dikembangkan oleh ahli antropologi R. Linton dalam hubungan
kerja sama dengan seorang ahli psikologi, A. Kardiner, sekitar tahun 1930-an.
F. Kebudayaan dan Kerangka Teori Tindakan
Definisi mengenai kebudayaan mengandung beberapa pengertian penting yaitu:
bahwa kebudayaan hanya ada pada makhluk manusia; kebudayaan mula-mula hanya
merupakan satu aspek dari proses evolusi manusia, tetapi yang kemudian menyebabkan
bahwa ia dapat lepas dari alam kehidupan makhluk primata yang lain; kebudayaan akhir-
akhir ini seolah-olah berkembang menjadi suatu gejala yang superorganik. Walaupun
demikian, karena kebudayaan yang berwujud gagasan dan tingkah laku manusia itu keluar
dari otak dan tubuhnya, maka kebudayaan itu tetap berakar dalam sistem organik manusia.
Selain itu kebudayaan tidak lepas dari kepribadian individu melalui suatu proses belajar
yang panjang, menjadi milik dari masing-masing individu warga masyarakat bersangkutan.
Dalam proses itu kepribadian atau watak tiap-tiap individu pasti juga mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan itu dalam keseluruhannya.
Pandangan menyeluruh dan terintegrasi megenai konsep kebudayaan ini dapat kita
mantapkan dengan mempergunakan sebuah kerangka yang disusun oleh suatu kelompok
studi yang terdiri dari sejumlah sarjana ilmu-ilmu sosial dari Universitas Harvard dengan
ketuanya seorang ahli sosiologi, Talcott Parsons. Kelompok studi itu terdiri dari ahli-ahli
sosiologi seperti Talcott Parsons sendiri, E. Shils, dan R. Merton, ahli antropologi seperti C.
Kluckhohn, ahli psikologi seperti H.H. Murray, ahli-ahli biologi dan lain-lain. Kerangka yang
mereka susun bersama memandang kebudayaan sebagai tindakan manusia yang berpola,
dan mereka sebut Kerangka Teori Tindakan (Frame of Reference of the Theory of Action).
Di dalamnya terkandung konsepsi bahwa hal menganalisis suatu kebudayaan dalam
dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam antara empat komponen, yaitu: (1)
sistem budaya; (2) sistem sosial; (3) sistem kepribadian; dan (4) sistem organisme.
Keempat komponen itu, walaupun erat kaitan satu dengan yang lain, tetapi merupakan
entitas yang khusus, masing-masing dengan sifat-sifatnya sensiri.
Sistem budaya atau cultural system merupakan komponen yang abstrak dari
kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema
berpikir, dan keyakinan-keyakinan. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari
kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia lebih lazim disebut adat-istiadat. Fungsi dari
budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia.
Sistem kepribadian (personality system) mengenali isi jiwa dan watak individu yang
berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat,
walaupun berbeda-beda satu sama lain, namun juga distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai
dan norma dalam sistem budaya, serta oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang
telah diinternalisasinya melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup
sejak masa kecilnya. Dengan demikian, sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai
sumber motivasi dari tindakan sosialnya.
Sistem organik (organic system) melengkapi seluruh kerangka dengan mengikut-
sertakan ke dalamnya proses biologis dan biokimia dalam organisme manusia sebagai
suatu jenis makhluk alamiah yang apabila dipikirkan lebih mendalam juga ikut
menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasan-
gagasan yang dicetuskannya.
BAB V
DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
A. Konsepsi-konsepsi khusus mengenai penggeseran masyarakat dan kebudayaan.
Apa bila hendak menganalisis secara ilmiah gejala dan kejadian sosial budaya disekeliling
kita dari sudut perwujudan atau morfologinya seperti yang telah diuraikan pada bab 4 da 5
terdapat berbagai konsep seperti: kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok
adat, perkumpulan adat-istiadat, pranata sosial, dan sebagainya yang semuanya itu
diperlukan.
Diantara konsep-konsep yang tepenting ada mengenai proses belajar kebudayaan oleh
warga masyarakat bersangkutan yaitu internalisasi (iternalization), sosialisasi(
socialization) dan enkulturasi,(enculturation) ada juga proses kebudayaan yang dari
sederhan menjadi kompleks yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution), ada proses
penyebaran kebudayaan secara geografi terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka
bumi yaitu proses difusi (diffution) ada proses belajar kebudayaan asing atau proses
akulturasi, dan asimilasi, ada proses pembaharuan atau inovasi.
1. Proses Internalisasi
Proses internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia
hampir meninggal dalam kehidupannya individunya belajar menanamkan kepribadiannya
segala perasaan, hastrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
Dari hari kehari seorang individu baru tadi mulai belajar dan bertambah pengalaman
hidupnya seperti perasaan baru, kegembiraan, kebahagiaan, simpati,cinta, benci,keamanan,
harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu, dan sebagainya. Selain perasaan
seorang individu juga memiliki berbagai macam hastrat seperti: hastrat untuk
mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti keindahan, dipelajarinya semua
dari internalisasi.
2. Proses sosialisasi
Proses sosialisasi adalah proses seorang individu berintraksi dengan segala
macam individu sekelilingnya yang memiliki beraneka macam peranan social.proses
sosialisasi berbeda-beda sesuai dengan pekerjaan dan tingkat sosialnya dalam masyarakat.
Adat istiadat mengasuh anak antara lain: cara memandikan bayi dan membersihkan
bayi, cara mempelajari disiplin membuang air, cara melatih disiplin makan, cara
mengendong bayi, dan anaak-anak dan cara mendisplinkan anak dan segainya.
3. Proses Enkulturasi
proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam
pikiranserta sikapnya dengan adat,sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaan.
PROSES EVOLUSI SOSIAL
1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Social
Proses evolusi sosial adalah proses perubanhan yang terjadi dalam dinamika dalam
kehidupan sehari-hari tiap masyarakat didunia.(proses berulang),sedangkan perubahan-
perubahan besaryang terjadi dalam jangka waktu yang panjang di sebut prose-proses
menentukan arah (directional processes) atau yang meemberikan arah.
2 .Proses-Proses Berulang dalam Evolusi Social Budaya.
Pada adfat-istiadat perkawinan orang bali upacara, akivitas dan tindakan yang
menyimpang dari adat bali pada umumnya terjadi karena berbagai situasi atau keadaan
khusus, biasanya dibaikan atau kurang diperhatikan.keadaan yang menyimpang dari adat
ini sangat penting artinya karena penyimpangan yang demikian pangkal dari proses-proses
perubahan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Untuk mengurangi penyimpangan
terhadap adat tadi ada alat-alat pengendalian. Contoh adat minangkabau yang mewajibkan
seorang pria mewariskan harta miliknya kepada kemenakanya, yaitu anak dari saudara
perempuannya. Lalu ada seorng A yang berpengaruh mengabaikan adat ini. Tentu para
kemenakan merasa tidak puas. Dan sebagai penengah di sini adalah kepala adat yang akan
memberikan keputusaterhadap masalah yang sedang dihadapi.
3. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Proes mengarah dalam evolusikebudayaan dapat dilihat berdasarkat histories
perkembangan umat manusia para sarjana ilmu sejarah misalnya E. Spengler, A.J. Toynbee,
G. Childe dan lain-lain.
Kala lapisan bumi tingkat kebudayaan
Perunggu-besi
Aluvium Neolitik
+ 100.000 th. Y.l. Mesolitik
+ 1.000.000 th. Y.l dilivium paleolitik
Table tingkat kebudayaan Zaman pehistori Indonesia
Hasil ini berdasarkan analisis para ahli dari sisa benda-benda peninggalan kebudayaan
orang zaman dahulu.
Proses Difusi
1.Penyebaran Manusia
Salah satu bentuk difusi adala penyebaran unsure-unsur kebudayaan dari satu tempat
ke tempat lain di muka bumi oleh kelompok manusia yang berimigrasi.
Proses difusi atau penyebaran manusia di bumi ini disebabkan beberapa pfaktor,baik
migrasi secara langsung atau cepat maupun secara tidak langsung atau lambat,karena
wabah, yang berlangsung sejak ratusan ribu tahun yang lalu, migrasi-migrasi besar
penduduk dunia berlangsung antara 80.000 S.M.sampai 1.000 S.M.
2. Penyebaran Unsur Kebudayaan
penyebarab unsure kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-
kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari tempat dari tempat satu ketempat lain,tetapi
oleh karena individu-individu tertentu yang membawa unsr-unsur kebudayaan itu yang
hingga jauh sekali.
Bentuk difusi yang lain adalah dengan adanya pertemuan-pertemuan antar individu
dalam kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Dan dapat berlangsung
secara berulang-ulang.
Hubungan symbiotic adalah hubungan dan bentuk kebudayaan itu masing-masing
hampir tidak berubah.contohnya didaerah pedalaman negara Kongo, Togo, dan kamerun di
afrika tengah dan barat,yang bercocok tanam dan memiliki bertetangga.
Stimulus diffusion,yaitu proses kebudayaan didifusikan dari A ke B, ke C, ke D dan
sebaliknya.
Dalam dunia modern ini proses difusi unsure unsure kebudyaan yang timbul disuatu
tempat di miuka bumi berlangsung dengan sangat cepat sekali. Bahkan sering kali tanpa
kontak yang antar individu-individu, ini dikarenakan adanya alat penyiaran yang sangat
efektif misalnya surat kabar, majalah, radio, buku, film,dan televisi.
1. Akulturasi dan Asimilasi
Akulturasi adalah proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu
dan saling mempengaruhi, proses pemasukan kebudayaan kedalam suatu masyarakat,
contohnya candi-candi yang ada sekarang bukti adanya proses antara kebudayaan
Indonesia dengan kebudayaan India.
2. Asimilasi
Asimilasi atau asilation adalah proses social yang timbul bila ada (A) golongan-golongan
manusia dengan latar belakang berbeda-beda dengan (B), bergaul lansung secara intensif
untuk waktu yang cukup lama sehinga (C) golongan-golongan kebudayaan tadi masing-
masing berubah sifatnya, juga unsure-unsurnya masing-masing berubah wujudnya
menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
3. Pembaharuan atau Inovasi
1. Inovasi dan Penemuan
Inovasi adalah proses pembaharuaan dan penggunaan sumber alam,energi dan modal
dan semua proses produksi akan mempengaruhi kebudayaan baru
Suatu discovery adalah suatu penemuaan dari unsur-unsur kebudayaan yang baru baik
suatu alat baru, suatu ide baru yang diciptakanoleh seorang individu atau serangkaian dari
beberapa indivu dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Dorongan Penemuan Baru
Yang mendorong penemuan-penemuan baru antara lain: (a) kesadaran seorang
individu akan kekurang-kekurangan dalam kebudayaan. (b) mutu dari keahlian dalam
suatu kebudayaan, (c) system perangsang bagi aktivitas pencipta dalam masyarakat..
3. Inovasi dan Evolusi
Proses inovasi yaitu proses pembaharuan teknologi ekonomi dan lanjutanya itujuga
proses evolusi bedanya adalah bahwa dalam proses inovasi individu-individu bersifat
aktif . sedangkan dalam proses evolusi individu-individu itu fasif bahkan sering bersifat
negatif.
BAB VI
ANEKA RAGAM KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
HUBUNGAN ANTAR SUKU-BANGSA DAN GOLONGAN
SERTA MASALAH INTEGRASI NASIONAL
Oleh : Hari Poerwanto
A. Umum
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan
hendaknya puladilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan
kebudayaan mengandungpotensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi
nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna,
Koentjaraningrat(1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah
(a) mempersatukananeka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c)
hubungan mayoritas-minoritasdan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan
kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210juta orang penduduk Indonesia dewasa ini,
sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa.
Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa
adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat
dalam Volkstelling (1930). Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan
dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal
tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk
berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai
usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research
(1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total
penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang).
Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1
%), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24
suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para
pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke
dalam suatu konsep suku-bangsa.
Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah
suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini
disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit,
tergantung subyektivitas.
Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang
berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka.
Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa
lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.
Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut
H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras,
ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya
jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang
saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang
lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-
bangsa Dayak, akan tetapi di Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD)
“Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan denganPembangunan Karakter dan Pekerti
Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal
10 Oktober 2006.
Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.2
Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan.
Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute,
paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda.
Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian
konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa
unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa"
yang ada di Indonesia.
Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di
Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi
sosial yang terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan
mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan
pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui
segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan.
Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis
adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan,
orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation),
persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi
(assimilation), akulturasi (acculturation)dan integrasi (integration) merupakan proses-
proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa,
terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
B. Prejudice dan Stereotype Ethnic
Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka
anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi
dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif
mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu
sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim
disebut dengan stereotipe etnik. Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa
gambaran yang bersifat negatif (akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan
ada kalanya pula gambaran yang bersifat positif.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi
sosial dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula
menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami
bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert
M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan
makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan
dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka)
maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan
terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat
kaitannya dengan itu antara lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah
status dan peranan ditempatkan sebagai unit analisis yang penting.
Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan
dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses
(discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi
tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada
perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad
diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable.
Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins (1976:16)
mengartikannya sebagai unequal treatment of equals.
3
Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus
diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah
(anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat
kolot, konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut
melekat dalam struktur masyarakat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan
berbagai hal yang melatarbelakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan,
kepercayaan, mobilita vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula
bahwa ada kesulitan untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu
utama bagi timbulnya suatu prejudice.
Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D.
Photiadis dan Jeane Bigger di kalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti bahwa
authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil
penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan
indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak
selalu tepat.
Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis
(Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa,
kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype
merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian
negatif yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan
penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan menyebabkan
timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai
perkembangan lebih lanjut dari stereotype.
Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu
persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti itu,
juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh akibat
terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai perbedaan
rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah
geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan
untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan loyalitas bersama.
Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya
keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang lain,
bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya
dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai kristalisasi
prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya kendala perbedaan fisik
semata.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi
sosial dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula
menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas
sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-bangsa)
untuk bersedia menerima norma – norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial.
Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman
(1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan
latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada
aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan
seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak
lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar
belakang kesuku-bangsannya.
4
C. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata
Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang
yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari
akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu
istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan
kata lain, menurut The ShorterOxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua
pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsa-
bangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih
menyembah berhala.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara
resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di London pada
1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah Societe
Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga serupa tersebut
di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et
al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada
individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk
atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang
kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-kultural dari pada
yang berkaitan dengan ras.
Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn
(1970: 12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common
acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic
elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari berbagai unsur
simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or
sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality,
phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah
golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di
Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti
minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil
daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia, misalnya Jawa dan Sunda. Selain
itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk
Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah
berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari keseluruhan penduduk suatu kota.
Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan variabel.
Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11)
menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan
konsepkonsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering dipakai tetapi tidak dalam
konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering dipakai untuk menunjukkan
kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi
semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau
sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan
diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any
recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due
to prejudice or discrimination".
Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas
adalah masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh
Louis Wirth 5 (1943:347), “We may define a minority as a group of people who, because of
their physical or cultural characteristics are single out from the other society in which they
live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of
collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a
corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority
status carries it the exclusion from full participation in the life of the society". Jelas tampak
melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu harus dikaitkan
dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu ditrapkan terhadap orang
Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun berbagai suku-bangsa
bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam klasifikasi ras
Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih
menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya. Timbulnya
perlakuan 'diskriminatif dalam konteks Louis Wirth adalah lebih disebabkan oleh
kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas,
tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi
dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh karena itu, untuk lebih memahami
bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya paradigma yang
diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1
di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi keturunan
Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat
Kelompok Dominan
Jumlah Kekuasaan
Kelompok A + + Golongan mayoritas
Kelompok B - + Elite
Kelompok Subordinat
Jumlah Kekuasaan
Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas
Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan subordinat, di
dasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan
paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai
golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai kelompok B dan D;
sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan
mayoritas adalah lebih memiliki ciri-ciri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila
konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut 6
model paradigma tersebut ditrapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat.
Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi
minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang
dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina di
Indonesia termasuk minoritas.
Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar.
Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk
lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan
variabel. Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan
minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan
penduduk bumi putera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai
suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok
dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan untuk
melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan oleh
Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson
dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki lima
karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari subordinat
dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki bentuk fisik yang
berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan
mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran akan dirinya merupakan
suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam
golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan atau karena ciri-ciri kebudayaan
dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima, perkawinan yang terjadi di kalangan golongan
minoritas adalah cenderung dengan sesamanya.
D. Asimilasi dan Integrasi Nasional
Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan
proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan
akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua
pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih.
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh
para ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli
antropologi (Gordon, 1964:61). Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi
lebih spesifik istilah yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di
kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan
kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan.
Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain
mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu
pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan.
Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli antropologi
(R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite akulturasi dari
kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of Acculturation" dalam
American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149). Lebih lanjut, perumusan
mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam Outline for the Study of
Acculturation (Herskovits, 1958:131-136).
Selanjutnya, pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan
akulturasi; disamping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada
dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert
E.Park dan Ernest 7 W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and
fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other
persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them
in a common cultural life".
Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan
akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of
individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent
changes in the original cultural patterns of either or both groups". Jika diamati, kedua
pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-
orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling
mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Sementara itu
yang tampak membedakannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam
pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-
struktural tercermin
dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih
lanjut Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam
akulturasi adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi
hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi
merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-558)
mengatakan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of another social
group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah karakteristik dari
asimilasi.
Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan
dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama
sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai
menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi
asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai dikaitkan dengan aspek politik.
Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan produk
akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya, Park
(1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " .......... the
process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural heritage,
accupying a commonterritory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a
national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi apabila mereka itu
secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai
aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya prasangka. Oleh
karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel
yang harus dikaji dalam asimilasi.
Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya
pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan
golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-
perorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan
pandangan Arnold M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal
semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam
kebudayaan baru.
Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, adalah
menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton
M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their
philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya
ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe
terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup
tersebar di berbagai negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap
keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya
(Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina di berbagai negara Asia
Tenggara juga sering disamakan dan memiliki ciri seperti orang Yahudi (Purcell, 1964;
Skinner, 1967; Somers, 1964).
Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap
keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut
bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi
mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia
adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis.
Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah aspek primordial attachment dapat
dieliminasi sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan.
Dalam salah satu tulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang
berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan
tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai
bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value.
Sebagai akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi
terganggu. Dengan kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan
berjalan tersendat.
ı
Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)
A B
Superordinat Sp Sf
Cenderung ke arah integrasi
Subordinat Sp Sf
Assimilation Incorporation Cultural Autonomy
C D
Superordinat Sf Sp
Cenderung ke arah konflik
Subordinat Sp Sf
Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah
asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan
identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu
kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan
asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam
masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya
mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal
tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis.
Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat,
atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan
mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang
Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan.
Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia berlaku
kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai suku-bangsa di
Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan
diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok
superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa
bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu kebudayaan nasional
Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.
Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang
mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh
manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan kelompok
subordinat melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah
kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi
ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah
kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang mungkin akan
dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal tadi dapat diterima
maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan
timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent.
Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi,
terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep
utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat
sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya
lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem
nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam
bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan
kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang
pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah inkorporasi. Selanjutnya,
yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi di kalangan subordinat
apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau dari berbagai
ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi karena
kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai,
bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi berbagai
hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya
kecenderungan untuk melakukan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah,
dan bahkan memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif
terhadap out-group.
Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain
berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh
karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai
apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama
yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau
discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas
kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki
yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.
BAB V
DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
A. Konsepsi-konsepsi khusus mengenai penggeseran masyarakat dan kebudayaan.
Apa bila hendak menganalisis secara ilmiah gejala dan kejadian sosial budaya
disekeliling kita dari sudut perwujudan atau morfologinya seperti yang telah diuraikan
pada bab 4 da 5 terdapat berbagai konsep seperti: kategori sosial, golongan sosial,
komunitas, kelompok adat, perkumpulan adat-istiadat, pranata sosial, dan sebagainya yang
semuanya itu diperlukan.
Diantara konsep-konsep yang tepenting ada mengenai proses belajar kebudayaan oleh
warga masyarakat bersangkutan yaitu internalisasi (iternalization), sosialisasi(
socialization) dan enkulturasi,(enculturation) ada juga proses kebudayaan yang dari
sederhan menjadi kompleks yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution), ada proses
penyebaran kebudayaan secara geografi terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka
bumi yaitu proses difusi (diffution) ada proses belajar kebudayaan asing atau proses
akulturasi, dan asimilasi, ada proses pembaharuan atau inovasi.
1. Proses Internalisasi
Proses internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia
hampir meninggal dalam kehidupannya individunya belajar menanamkan kepribadiannya
segala perasaan, hastrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
Dari hari kehari seorang individu baru tadi mulai belajar dan bertambah pengalaman
hidupnya seperti perasaan baru, kegembiraan, kebahagiaan, simpati,cinta, benci,keamanan,
harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu, dan sebagainya. Selain perasaan
seorang individu juga memiliki berbagai macam hastrat seperti: hastrat untuk
mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti keindahan, dipelajarinya semua
dari internalisasi.
B. Proses sosialisasi
Proses sosialisasi adalah proses seorang individu berintraksi dengan segala
macam individu sekelilingnya yang memiliki beraneka macam peranan social.proses
sosialisasi berbeda-beda sesuai dengan pekerjaan dan tingkat sosialnya dalam masyarakat.
Adat istiadat mengasuh anak antara lain: cara memandikan bayi dan membersihkan
bayi, cara mempelajari disiplin membuang air, cara melatih disiplin makan, cara
mengendong bayi, dan anaak-anak dan cara mendisplinkan anak dan segainya.
3. Proses Enkulturasi
proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam
pikiranserta sikapnya dengan adat,sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaan.
PROSES EVOLUSI SOSIAL
2. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Social
Proses evolusi sosial adalah proses perubanhan yang terjadi dalam dinamika dalam
kehidupan sehari-hari tiap masyarakat didunia.(proses berulang),sedangkan perubahan-
perubahan besaryang terjadi dalam jangka waktu yang panjang di sebut prose-proses
menentukan arah (directional processes) atau yang meemberikan arah.
4 .Proses-Proses Berulang dalam Evolusi Social Budaya.
Pada adfat-istiadat perkawinan orang bali upacara, akivitas dan tindakan yang
menyimpang dari adat bali pada umumnya terjadi karena berbagai situasi atau keadaan
khusus, biasanya dibaikan atau kurang diperhatikan.keadaan yang menyimpang dari adat
ini sangat penting artinya karena penyimpangan yang demikian pangkal dari proses-proses
perubahan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Untuk mengurangi penyimpangan
terhadap adat tadi ada alat-alat pengendalian. Contoh adat minangkabau yang mewajibkan
seorang pria mewariskan harta miliknya kepada kemenakanya, yaitu anak dari saudara
perempuannya. Lalu ada seorng A yang berpengaruh mengabaikan adat ini. Tentu para
kemenakan merasa tidak puas. Dan sebagai penengah di sini adalah kepala adat yang akan
memberikan keputusaterhadap masalah yang sedang dihadapi.
3. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Proes mengarah dalam evolusikebudayaan dapat dilihat berdasarkat histories
perkembangan umat manusia para sarjana ilmu sejarah misalnya E. Spengler, A.J. Toynbee,
G. Childe dan lain-lain.
Kala lapisan bumi tingkat kebudayaan
Perunggu-besi
Aluvium Neolitik
+ 100.000 th. Y.l. Mesolitik
+ 1.000.000 th. Y.l dilivium paleolitik
Table tingkat kebudayaan Zaman pehistori Indonesia
Hasil ini berdasarkan analisis para ahli dari sisa benda-benda peninggalan kebudayaan
orang zaman dahulu.
Proses Difusi
1.Penyebaran Manusia
Salah satu bentuk difusi adala penyebaran unsure-unsur kebudayaan dari satu tempat
ke tempat lain di muka bumi oleh kelompok manusia yang berimigrasi.
Proses difusi atau penyebaran manusia di bumi ini disebabkan beberapa pfaktor,baik
migrasi secara langsung atau cepat maupun secara tidak langsung atau lambat,karena
wabah, yang berlangsung sejak ratusan ribu tahun yang lalu, migrasi-migrasi besar
penduduk dunia berlangsung antara 80.000 S.M.sampai 1.000 S.M.
2. Penyebaran Unsur Kebudayaan
penyebarab unsure kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-
kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari tempat dari tempat satu ketempat lain,tetapi
oleh karena individu-individu tertentu yang membawa unsr-unsur kebudayaan itu yang
hingga jauh sekali.
Bentuk difusi yang lain adalah dengan adanya pertemuan-pertemuan antar individu
dalam kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Dan dapat berlangsung
secara berulang-ulang.
Hubungan symbiotic adalah hubungan dan bentuk kebudayaan itu masing-masing hampir
tidak berubah.contohnya didaerah pedalaman negara Kongo, Togo, dan kamerun di afrika
tengah dan barat,yang bercocok tanam dan memiliki bertetangga.
Stimulus diffusion,yaitu proses kebudayaan didifusikan dari A ke B, ke C, ke D dan
sebaliknya.
Dalam dunia modern ini proses difusi unsure unsure kebudyaan yang timbul disuatu
tempat di miuka bumi berlangsung dengan sangat cepat sekali. Bahkan sering kali tanpa
kontak yang antar individu-individu, ini dikarenakan adanya alat penyiaran yang sangat
efektif misalnya surat kabar, majalah, radio, buku, film,dan televisi.
1. Akulturasi dan Asimilasi
Akulturasi adalah proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu
dan saling mempengaruhi, proses pemasukan kebudayaan kedalam suatu masyarakat,
contohnya candi-candi yang ada sekarang bukti adanya proses antara kebudayaan
Indonesia dengan kebudayaan India.
2. Asimilasi
Asimilasi atau asilation adalah proses social yang timbul bila ada (A) golongan-golongan
manusia dengan latar belakang berbeda-beda dengan (B), bergaul lansung secara intensif
untuk waktu yang cukup lama sehinga (C) golongan-golongan kebudayaan tadi masing-
masing berubah sifatnya, juga unsure-unsurnya masing-masing berubah wujudnya
menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
3. Pembaharuan atau Inovasi
1. Inovasi dan Penemuan
Inovasi adalah proses pembaharuaan dan penggunaan sumber alam,energi dan modal
dan semua proses produksi akan mempengaruhi kebudayaan baru
Suatu discovery adalah suatu penemuaan dari unsur-unsur kebudayaan yang baru baik
suatu alat baru, suatu ide baru yang diciptakanoleh seorang individu atau serangkaian dari
beberapa indivu dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Dorongan Penemuan Baru
yang mendorong penemuan-penemuan baru antara lain: (a) kesadaran seorang individu
akan kekurang-kekurangan dalam kebudayaan. (b) mutu dari keahlian dalam suatu
kebudayaan, (c) system perangsang bagi aktivitas pencipta dalam masyarakat..
3. Inovasi dan Evolusi
Proses inovasi yaitu proses pembaharuan teknologi ekonomi dan lanjutanya itujuga
proses evolusi bedanya adalah bahwa dalam proses inovasi individu-individu bersifat
aktif . sedangkan dalam proses evolusi individu-individu itu fasif bahkan sering bersifat
negatif.
BAB VII
ETNOGRGAFI
A. Kesatuan Sosial dalam Etnografi
Jenis karangan yang penting mengandung bahan pokok dari pengolahan dan
analisis antropologi adalah karangan etnografi.isi dari sebuah karangan etnografi
adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa. Suku-suku bangsa
kecil yang hanya terdiri dari beberapa ratus penduduk, tetapi ada pula yang terdiri
dari puluhan juta penduduk. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang
mengarang sebuah etnografi sudah tentu tidak dapat mencakup seluruh suku
bangsa yang besar itu dalam deskripsi. Hanya suku-suku bangsa yang sangat kecil
jumlah tahun 1963 hanya terdiri dari 481 orang.
Mengingat hal-hal tadi, yang menyebabkan bahwa para ahli antropologi masa
kini jarang dapat meneliti suatu suku bangsa yang kecil dan “semurni” suku bangsa
Bgu tersebut mereka memerlukan suatu metode untuk menentukan secara kongkrit
batas-batas dari bagian suku bangsa yang konkret menjadi pokok deskripsi
etnografi mereka.
Seorang ahli antropologi Amerika, R. Naroll, pernah menyusun suatu daftar
dengan beberapa modifikasi oleh J.A. Clifton dalam buku pelajarannya, Introduction
to Cultural Anthropology (1968: hlm. 15), maka daftar itu menjadi seperti yang
tercantum di bawah ini.
1. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih;
2. Kesatuan masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengucapkan satu
bahasa atau satu logat bahasa;
3. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu daerah politis
administrative;
4. Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas
penduduknya sendiri;
5. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang
merupakan kesatuan daerah fisik;
6. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi;
7. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman
sejarah yang sama;
8. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu
dengan lain tingginya merata;
9. Kesatuan masyarakat dengan susunan social yang seragam.
Prinsip yang disebut pertama biasanya mencakup juga prinsip yang lain.
Sebaliknya, prinsip 2 sampai 9 belum tentu mencakup juga semua prinsip yang lain.
Prinsip pembatasan oleh garis batas politis-administratif contohnya suatu
Kabupaten di Jawa Barat memang untuk sebagian besar terdiri dari penduduk yang
berkebudayaan suku bangsa Sunda dan berbahasa Sunda, namun dalam kabupaten
itu pasti ada pula penduduk yang berasal dari suku bangsa Jawa, Batak atau lainnya
yang mengucapkan bahasa Jawa, bahasa Batak atau bahasa lainnya.
Serupa dengan hal tersebut, prinsip yang disebut sebagai prinsip nomor 5, yaitu
prinsip pembatasan oleh kesatuan ciri dalam satu wilayah geografi seperti daerah
hutan rimba tropis, daerah sabana tropis, kepulauan atoll di Lautan pasifik, daerah
Gurun Asia Barat Daya, daerah hutan Koniferus di Kanada Barat Laut, atau daerah
pantai dekat Kutub Utara. Di daerah-daerah geografi seperti itu sering kita lihat
adanya penduduk yang hidup dalam kebudayaan-kebudayaan dengan system
teknologi, system ekonomi, dan organisasi social yang sama, tetapi berbeda suku
bangsa karena adanya bahasa-bahasa, system-sistem religi, dan ekspresi-ekspresi
kesenian yang berbeda.
B. Kerangka Etnografi
Untuk memerinci unsure-unsur bagian dari suatu kebudayaan, sebaiknya
dipakai daftar unsur-unsur kebudayaan universal yang telah diuraikan dalam bab 5,
yaitu;
1. Bahasa
2. System teknologi
3. System ekonomi
4. Organisasi social
5. System pengetahuan
6. Kesenian
7. System religi.
Karena unsure-unsur kebudayaan itu bersifat universal maka dapat
diperkirakan bahwa kebudayaan suku bangsa yang menjadi pokok perhatian ahli
antropologi pasti juga mengandung aktivitas adat istiadat, pranata-pranata social
dan benda-benda kebudayaan yang dapat dogolongkan ke dalam salah satu dari
ketujuh unsure universal tadi. Hal itu berarti selain unsure bahasa yang selalu
diuraikan dalam bab paling depan sebagai suatu unsure yang dapat memberi
identifikasi kepada suku bangsa yang dideskripsi, unsure yang diuraikan dulu
adalah system teknologi, sedangkan yang paling akhir adalah system religi.
Walaupun demikian, setiap ahli antropologi mempunyai focus. Pengarang
etnogarafi dengan suatu focus perhatian seperti itu biasanya mulai dengan unsure
pokoknya itu, dan memandang unsure-unsur lainnya hanya sebagai pelengkap dari
unsure pokok tadi. Bisa juga ia mempergunakan cara susunan etnografi yang lain
dan mulai dengan unsure-unsur lainnya sebagai pengantar kebudayaan ( cultural
introduction) terhadap unsure pokok yang diuraikan pada akhir karangan
etnografinya, dan seolah-olah merupakan klimaks dari deskripsinya.
Bab selanjutnya biasanya mengandung uraian tentang asal dan sejarah dari
suku bangsa yang bersangkutan, dan dari wilayah yang didiaminya.uraian tentang
sejarah pada permulaan akan menjadi lebih bermanfaat kalau bab terakhir
mengandung uraian tentang keadaan masa sekarang, disambung dengan uraian
dengan perubahan serta pengeseran dari kebudayaan yang bersangkutan. Bab
penutup seperti itu biasanya member aspek dinamis terhadap sebuah buku
etnografi.
Sedang tiap bab akan terdiri dari bagian-bagian khusus yang akan diuraikan
dengan lebih mendalam dalam sub-sub bab di bawah ini yaitu;
1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi
2. Asal mula dan sejarah suku bangsa
3. Bahasa
4. System teknologi
5. System mata pencaharian
6. Organisasi social
7. System pengetahuan
8. Kesenian
9. System religi
C. Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi
Dalam menguraikan lokasi atau tempat tinggal dan penyebaran suku bangsa
yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan cirri-ciri geografinya, yaitu
iklimnya (tropis, mediteran, iklim sedang atau iklim kutub), sifat daerahnya
(pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, jenis kepulauan, daerah rawa, hutan
tropis, sabana, stepa, gurun dan sebagainya), suhu dan curah hujannya. Ada baiknya
juga kalau penulis etnografi dapat melukiskan ciri-ciri geologi dan geomorfologi dari
daerah lokasi dan penyebaran suku bangsanya; sedangkan suatu hal yang perlu juga
adalah keterangan mengenai ciri-ciri flora dan fauna di daerah yang bersangkutan.
Bahan keterangan geografi dan geologi tersebut sebaiknya dilengkapi dengan
peta-peta yang memenuhi syarat ilmiah.
Beberapa masalah yang terutama pada masa kini mendapat perhatian banyak
adalah mengenai pengaruh timbal balik antara keadaan alam dengan kesehatan
serta laju kematian dan tingkat fertilitas penduduk, yang sebaliknya berguna untuk
studi kependudukan. Masalah lain yang penting juga adalah masalah hubungan
antara alam dan tanah dengan system mata pencaharian penduduk. Studi-studi
semacam itu disebut studi ekologi (ecology).
Suatu etnografi juga harus dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai
jumlah penduduk yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat
mungkin juga menurut tingkat umur dengan interval lima tahun, data mengenai laju
kelahiran dan laju kematian, serta data mengenai orang yang pindah keluar masuk
desa.
D. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
Dalam usaha ini seorang ahliantropologi perlu bantuan dari para ahli sejarah
atau ahli-ahli ilmu bantu pada ilmu sejarah lainnya.
Keterangan mengenai asal mula suku bangsa yang bersangkutan biasanya harus
dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan
penggalian dan analisis benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan
di daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi tadi.
Apabila tulisan tersebut tidak ada, atau walaupun ada,kurang dapat member
bahan keterangan tentang asal mula suku bangsa, maka ia terpaksa harus berusaha
mencari bahan keterangan lain, yaitu bahan mengenai dongeng-dongeng suci atau
mitologi suku bangsa. Hal itu termasuk folklore, dan khususnya kesusstraan rakyat
suku bangsa.
Dalam mitologi suatu suku bangsa, biasanya terdapat dongeng-dongeng suci
mengenai penciftaan alam, penciftaan dan penyebaran manusia oleh dewa-dewa
dalam religi asli suku bangsa bersangkutan. Dongeng-dongeng seperti itu biasanya
penuh peristiwa keajaiban yang jauh dari fakta sejarah. Namun seorang ahli
antropologi harus mampu menginterprestasi dongeng-dongeng ajaib itu, dan
mencari artinya, serta indikasi-indikasi tertentu yang dapat menunjuk kearah fakta
sejarah yang benar.
Dengan mitologi dan cerita-cerita rakyat yang hidup secara lisan, seorang
peneliti antropologi harus menmgumpulkan bahan tersebut dengan merekam
cerita-cerita tersebut dari mulut-mulut tokoh-tokoh penduduk tertentu yang
mengetahui dongeng-dongeng itu.
Sebaliknya, apabila suku bangsa bersangkutan mengenal tulisan tradisional
sehingga kebudayaan mereka mempunyai suatu kesusasteraan tradisional, maka
peneliti tadi harus juga berusaha membaca dan mempelajari bahan tersebut. Bahan
tersebut sering kali termuat dalam berpuluh-puluh naskah kuno dengan tulisan
tradisional yang perlu dipelajari dan diseleksi dahulu untuk mendapatkan isi yang
sebenar-benarnya. Untuk pekerjaan yang sudah sangat teknis sifatnya itu seorang
ahli antropologi memerlukan bantuan seorang ahli naskah-naskah kuno, yaitu ahli
filologi.
Keterangan sejarah mengenai zaman, ketika suku bangsa bersangkutan sudah
mendapat kontak dengan bangsa-bangsa lain yang menulis tentang kejadian
masyarakatnya, lebih mudah untuk dipergunakan seorang peneliti antropologi.
Biasanya keterangan itu ditulis dalam salah satu bahasa Eropa, yaitu Inggris,
Prancis, Portugis, Spanyol, atau Jerman, atau kadang-kadang juga dalam bahasa Asia
seperti Arab, Parsi, Cina, dan lainnya.
E. Bahasa
Deskripsi dari bahasa suku bangsa dalam karangan etnografi tentu tidak perlu
sama dalamnya seperti suatu deskripsi khusus yang dilakukan oleh seorang ahli
bahasa tentang bahasa yang bersangkutan. Deskripsi mendalam oleh seorang ahli
bahasa khusus mengenai susunan system fonetik, fonologi, sintaksis, dan sematik
sesuatu bahasa akan menghasilkan suatu buku khusus, yaitu suatu buku tata bahasa
tentang bahasa yang bersangkutan, sedangkan deskripsi mendalam mengenai
kosakata suatu bahasa akan menghasilkan suatu daftar leksikografi (vocabulary),
atau lebih mendalam lagi suatu kamus kecil atau besar.
Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsanya dapat diuraikan pengarang
etnografi dengan cara tepat menempatkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa
sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga bahasanya yang
wajar, dengan beberapa contoh fonetik, fonologi, sintaksis, dan sematik, yang
diambil dari bahan ucapan bahasa sehari-hari. Ada baiknya peneliti dapat
melengkapi bab mengenai bahasa dalam etnografinya dengan sebuah lampiran
yang berisi daftar kata-kata dasar dari bahasa suku bangsanya. Daftar kata-kata
dasar, atau basic vocabulary suatu bahasa terdiri dari kira-kira 200 kata mengenai
anggota badan ( kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya ), gejala-
gejala dari badan-badan alam (angin, hujan, panas, dingin, dan sebagainya ), warna,
bilangan, kata kerja pokok.
Menentukan luas batas penyebaran suatu bahasa memang tidak mudah, dan hal
ini disebabakan karena di daerah perbatasan antara daerah tempat tinggal dua suku
bangsa, hubungan antara individu warga masing-masing suku bangsa tadi sering
kali sangat intensif sehingga ada proses saling pengaruh-mempengaruhi antara
unsure-unsur bahasa dari kedua belah pihak.
F. Sistem Teknologi
Teknologi tradisional mengenal paling sedikit delapan macam system peralatan system
peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia yang hidup dalam masyarakat
kecil berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, yaitu :
Macam peralatan
Bahan
mentah
Tekhnik
pembuatan
Pemakaian
Alat-alat produksi Batu Dupukul-pukul,
ditekan, dipecah-
pecah
Alat memotong
Alat menusuk
Alat membuat lubang
Alat memukul
Alat menggiling
Tulang retouching
Logam Menuang
Menandai
Senjata Batu Dupukul-pukul,
ditekan, dipecah-
pecah
Senjata potong
Senjata pukul
Senjata tusuk
Senjata lempar
Senjata penahan
Tulang retouching
Kayu, bambu
Logam Menuang
Menandai
Kayu Membentuk,
mengukir
Alat menyimpan
Alat memuat
Alat makan
Alat masak
Alat untuk membawa
Bambu Mengukir
Kulit kayu Memproses dan
menjahit
Serat-seratan Menganyam
Tanah liat
(tembikar)
Cetakan,
menumbuk,
membentuk,
memutar-mutar.
Alat menyalakan
api
Batu api menggesek
Alat meniup api kulit Ububan api
Makanan Bambu Pompa api
Sayur-mayur Masak diatas api Dimakan
Daun-daunan
Akar-akaran
Biji-bijian
Daging, susu
Masak dengan batu
panas
Pembuatan arak
Diminum
Narkotika
Pakaian Kulit pohon Penahan pengaruh
alam sekitar
Lambing gengsi
Lambing suci
Perhiasan
Kulit binatang
Bahan tenun Cara-cara memintal
dan menenun
teknik ikat dan
teknik celup (batik)
Tempat
perlindungan
Kayu Tekhnik menyusun
Tekhnik mengikat
Tekhnik
memangku
Tadah angina
Tenda
Gubuk-gubuk yang
dapat dipindahkan
Rumah
Bambu
Kulit pohon
Tanah liat
Alat transportasi Kulit binatang
Kulit kayu
Prinsip mocassin Sepatu
Sepatu salju
Prinsip sandal
Tekhnik-tekhnik
mengikat
Tekhnik-tekhnik
pemeliharaan dan
peternakan
Binatang (unta, kuda,
keledai, dll) sebagai
binatang muatan,
menarik, dikendarai.
Kayu
Kayu
Bambu
Jerami
Rakit
Travois, alat seret.
Kereta roda
Alat transportasi air
Kayu Perahu lesung
Perahu bercadik
Kulit kayu
Kulit binatang
Perahu kecil
G. Sistem Mata Pencarian
System Mata Pencarian Tradisional
System mata pencaharian tradisional yaitu : berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam
di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi.
H. Organisasi Sosial
1. Unsur-unsur khusus dalam organisasi sosial
Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti
yang dekat dan kaum kerabat lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan diluar kaum kerabat, tetapi
masih dalam lingkungan komunitas.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat dimana pengaruh industrialisasi sudah masuk mendalam, tampak bahwa
fungsi kesatuan kekerabatan yang sebelumnya penting dalam banyak sector kehidupan
seseorang, biasanya mulai berkurang dan bersamaan dengan itu adat-istiadat yang mengatur
kehidupan kekerabatan sebagai kesatuan mulai mengendor. Namun pada masyarakat agraris,
hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat masing-masing sangat penting.
I. Sistem Pengetahuan
1. Perhatian Antropologi terhadap Pengetahuan
Dalam suatu etnografi biasanya ada berbagai bahan keterangan mengenai system
pengetahuan dalam kebudayaan dari setiap suku bangsa yang bersangkutan. Bahan itu biasanya
meliputi pengetahuan tentang teknologi. Namun, pada zaman dahulu, para ahli antropologi
kurang memperhatikan kebudayaan suku-suku diluar Eropa. Perhatian yang sangat kurang ini
mungkin disebabkan karena antara para ahli antropologi di Eropa dalulu ada suatu pendirian
bahwa dalam kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa tidak ada system pengetahuan, dan
kalaupun ada, maka hal itu dianggap tidak penting.
Sekarang para ahli antropologi sudah sadar bahwa pendirian seperti itu tidak sesuai dengan
kenyataan. Mereka sekarang sudah yakin bahwa suatu masyarakat, betapa kecil pun, tidak
mungkin dapat hidup tanpa pengetahuan tentang alam sekelilingnya dan sifat-sifat dari alat yang
dipakainya.
2. Sistem Pengetahuan
Setiap suku bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang :
a. Alam sekitar;
b. Alam flora di daerah tempat tinggalnya;
c. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya;
d. Zat-zat, bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya;
e. Tubuh manusia;
f. Sifat-sifat dan tingkah laku sesame manusia; dan
g. Ruang dan waktu.
J. Sistem Religi
1. Perhatian Ilmu Antropologi terhadap Religi
Dua hal yang menyebabkan perhatian yang sangat besar terhadap religi, yaitu :
a. Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur
kebudayaan yang tampak secara lahir.
b. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori
tentang asal mula religi.
2. Unsur-unsur Khusus dalam Sistem Religi
Suatu system religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat
mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian,
emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur
lainnya, yaitu : a) Sistem keyakinan; b) Sistem upacara keagamaan; dan c) Umat yang menganut
religi itu.
System upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi
perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah : a0 Tempat upacara keagamaan dilakukan; b)
Saat-saat upacara keagamaan itu dilaksanakan; c) Benda-benda dan alat-alat upacara; d) orang-
orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Upacara itu sendiri terdiri dari banyak unsur, yaitu : a) bersaji; b) Berkorban; c) Berdoa; d)
Makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa; e) Menari tarian suci; f) Menyanyi
nyanyian suci; dsb.
K. Kesenian
1. Kesenian dalam Etnografi
Perhatian terhadap kesenian atau segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan, dalam
kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa, mula-mula bersifat deskriptif. Para pengarang
etnografi masa akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 dalam karangan-karangan mereka
sering kali memuat suatu deskripsi mengenai benda-benda hasil seni, seperti seni rupa, seni
music, seni tari, dan seni drama.
2. Lapangan-lapangan Khusus dalam Kesenian
Dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu
dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu : a) Seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh
manusia dengan mata; dan b) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan
telinga.
Dalam lapangan seni rupa ada seni patung, seni relief, seni ukir dan gambar, dan seni rias.
Sedangkan bagian-bagian dari seni suara ialah seni vocal, seni instrumental, serta seni sastra
yang lebih khusus terdiri dari prosa dan puisi. Suatu lapangan seni yang meliputi keduanya ialah
seni gerak atau seni tari. Akhirnya, ada suatu lapangan kesenian yang meliputi keseluruhannya,
yaitu seni drama, karena lapangan kesenian ini mengandung unsur-unsur dari seni lukis, seni
rias, seni music, seni sastra dan seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan kerangka kesenian dibawah ini.
1. Seni patung
2. Seni relief
Seni rupa 3. Seni lukis dan gambar
4. Seni rias
Seni tari Seni drama
1. Seni vocal
Seni suara 2. Seni instrumental
3. Seni sastra 1. Prosa
2. Puisi
DAFTAR PUSTAKA
Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951.
Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected
Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53.
Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and
Sons Inc., New York, 1967.
Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974.
Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in
the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press,
1965,
Hlm.105-107.
Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York,
1964.
Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter
Smith, 1958.
Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982.
Koenjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 2009
Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia
University Press, 1945.
Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill
Publishing Company, Ohio, 1973.
Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research,
Random House, New York, 1970.
Untuk Kalangan Sendiri
Bahan Ajar
Pendidikan Etnologi
Disusun Oleh
Mardiana, S.Pd.,M.Pd
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
( STKIP ) Melawi
10
DAFTAR PUSTAKA
Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951.
Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected
Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53.
Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and
Sons Inc., New York, 1967.
Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974.
Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in
the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press,
1965,
Hlm.105-107.
Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York,
1964.
Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter
Smith, 1958.
Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982.
Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia
University Press, 1945.
Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill
Publishing Company, Ohio, 1973.
Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research,
Random House, New York, 1970.