a. masuknya katolik di nusantara · 2019. 9. 18. · agama katolik adalah salah satu agama resmi...
TRANSCRIPT
15
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. MASUKNYA KATOLIK DI NUSANTARA
Agama Katolik adalah salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah
Indonesia dari enam agama resmi yang ada. Berbicara tentang agama satu ini
tidak terlepas dari pastur, susunan gereja beserta kepengurusannya. Ketiga hal
tersebut adalah hal yang sangat vital dalam tubuh tiap-tiap paroki/gereja dalam
agama katolik tersebut. Agama katolik sendiri hadir di tanah air dengan membawa
Susunan hirarki. Agama katolik masuk dan diajarkan oleh kaum-kaum misionaris
yang kebanyakan berasal dari belanda. Misionari-misionari tersebut hadir dengan
rombongan masing-masing. Rombongan-rombongan tersebut terbentuk dalam
suatu kelompok-kelompok yang disebut ordo/konggregasi/tarekat.
Ordo/konggregasi/tarekat yang dimaksud adalah suatu perkumpulan rahib/guru
yang dipercayai untuk mewartakan Kerajaan Allah. Siapapun yang ingin menjadi
rahib/guru pewarta Kerajaan Allah mereka harus terdidik dan terlatih dengan
menempuh pendidikan yang tidak singkat (Wawancara Romo Surya).
Sebelum diajarkan oleh kaum-kaum missionaris Belanda, Katolik masuk ke
Nusantara tepatnya abad 16 oleh Pater Fransiskus Xaverius, seorang sekretaris
organisasi Kerahiban Yesuit (SJ) yang dipimpin oleh Santo Ignatius Loyola
sekaligus juga seorang sahabat dari Santo Fransiskus Xaverius. Tahun 1539 raja
Juan III dari Portugal meminta penyertaan tahta suci untuk Portugal, sebenarnya
Ignatius Loyola menugaskan Pater S. Rodriguez dan Pater N. Bobadilla namun
kedunaya jatuh sakit. “Pues sus! Heme aquil”(baiklah aku siap) begitulah jawaban
Fransiskus setelah mendapat tugas dari sahabat sekaligus pemimpinnya Ignatius
Loyola (Heuken,SJ ;2009; 15). Dalam tugasnya kali ini Fransiskus Xaverius
menuju daerah koloni Portugis yang berada di Hindia (Heuken, 2009; 16-17).
Tahun 1545 Fransiskus berlayar ke Malaka. Tanggal 14 Februari 1546,
Fransiskus mendarat di pantai Hatiwi Ambon. Tahun 1534 Fransiskus berkarya di
pulau Moro, Maluku. Pulau Moro terkenal akan keganasan penduduknya yang
16
menurut Fransiskus dalam surat yang ditulis olehnya diceritakan bahwa
masyarakatnya gemar menipu dan suka membunuh (perang), ini menjadi
tantangan tersendiri bagi Fransiskus untuk menobatkan orang-orang dan bersyar
tentang agama Katolik. Fransiskus kembali ke Malaka pada tahun 1547.
Fransiskus meninggal pada tahun 1553, tercatat sebagai seorang Yesuit pertama
yang berkarya di nusantara bagian timur tepatnya Kepulauan Maluku. Selama di
bumi nusantara Santo Fransiskus Xaverius dapat mengkristenkan beberapa
kampung di Kepulauan Maluku. Fransiskus juga mewariskan surat-surat yang
dituliskan selama ia berkarya dimanapun tempatnya. Surat karya Fransiskus ini
berguna karena dapat dinikmati oleh ilmu pendidikan terutama bidang sejarah
khususnya sejarah gereja hingga seterusnya. Semangat Fransiskus tidak berhenti
setelah dia mati saja, namun dilanjutkan oleh penerus-penerusnya. Penerus-
penerus Fransisikus Xaverius di Maluku ada yang diterima namun ada juga yang
ditolak secara frontal bahkan dibunuh, seperti halnya Pater Afonso de Castro, SJ.
Pater Afonso dibunuh ditengah laut oleh lima orang lokal yang memegangi kedua
tangan dan kakinya. Masing-masing membawa senjata tajam untuk menusuknya.
Setelah mati jenazahnya dibuang ke laut (Heuken, 2009; 18-26).
Memasuki abad 17, gerakan Yesuit ini datang ke Nusantara seiring dengan
kedatangan VOC di Hindia. Sebenarnya VOC sendiri melarang secara tegas
adanya kaum imam Katolik untuk masuk dan berkarya di wilayah kekuasaannya.
Bahkan ada sebuah peraturan jika ada imam Katolik yang menyebarkan agama di
wilayah kekuasaan VOC maka akan mendapat hukuman mati. Peraturan ini
dilakukan karena saat itu agama Protestan di dalam tubuh VOC sangat kuat.
Kristen Protestan saat itu menjadi agama utama di Belanda. Protestan menolak
katolik karena masih trauma dengan abad gelap yang telah berlangsung. Namun
dalam penerapanya, beberapa pejabat VOC tidak memperlakukan larangan ini
dengan tegas (Kurris, 1992: 4).
Pada tahun 1800an penyebaran agama Katolik di Nusantara kembali secara
resmi, setelah dilarang oleh VOC. Hal yang melatarbelakangi kembalinya
penyebaran agama Katolik secara resmi ini adalah ditunjuknya Lodewijk atau
Louis Napoleon oleh kakaknya sendiri Napoleon Bonaparte untuk menjadi raja
17
Belanda pada tahun 1806. Lodewijk sendiri memeluk agama Katolik (Kurris,
1992: 4-5).
Penyebar agama Katolik seringnya dimulai oleh Sarikat Jesus, begitu pula
ketika penyebaran secara resmi ini dimulai di Nusantara. Ketika itu rombongan SJ
berlabuh di Batavia (Jakarta). Rombongan Yesuit pertama yang melakukan misi
di kawasan Hindia Belanda secara terbuka. Martinus van den Elsen beserta
Joannes Baptista Palinckx mendarat di Batavia yang sebenarnya hanya untuk
singgah sementara. Rombongan Yesuit ini singgah di Batavia untuk
menyesuaikan keadaan fisik terhadap keadaan iklim yang berbeda antara Eropa
dan Hindia Belanda, bisa dikatakan sebagai aklimatisasi. Batavia kala itu menjadi
pusat pemerintahan kolonial Belanda di Nusantara. Setelah satu bulan di Batavia,
kemudian mereka menuju Surabaya untuk berkarya di paroki Surabaya. Surabaya
menjadi sebuah daerah misi dengan berbagai masalah mulai dengan semangat
iman yang kurang karena dari seribuan umat di Surabaya hanya sekitar 100 orang
yang datang ikut misa kudus pada hari minggu, masalah lain adalah perkawinan
umat yang tidak sesuai aturan Katolik. Pastur van den Elsen mencurahkan tenaga
untuk mengumpulkan domba-domba yang hilang sedangkan Pastur J.B. Palinckx
melakukan perjalanan dinas (Heuken, 2009:52-53.)
Pada pertengahan abad 19 di Jawa Timur atau tepatnya tahun 1859 ketika van
den Elsen datang, kota-kota yang memiliki paroki hanya ada tiga yaitu di kota
Surabaya, Madiun dan Malang dengan stasi-stasi yang harus dikunjungi oleh
pastur-pastur paroki ini sampai ke Banyuwangi di paling timur dan yang paling
utara adalah Banjarmasin. Pater Palinckx lah yang paling senang menulis tentang
perjalanan dan tantangan dalam kunjungan misi ke stasi-stasi yang berada jauh
dari Surabaya ini (Heuken, 2009:54).
Tahun dimana kedatangan van den Elsen dan J.B Palinckx ini juga sama
dengan pembentukan paroki baru di Madiun yang sebelumnya merupakan bagian
dari paroki Ambarawa. Umat paroki Surabaya, Malang serta Madiun bersama
semua stasi di Jawa Timur, yang didirikan dan digembalakan oleh para pastor
Jesuit sejak 1859, diserahkan satu per satu sampai tahun 1923 kepada para Imam
Lazaris (CM) atau Karmelit (Ocarm) (Heuken, 2009:56).
18
Memasuki akhir 1800an di Batavia dibentuk suatu Vikaris Apostolik. Vikaris
Apostolik Batavia pertama ini dipimpin oleh seorang pastur Belanda W.J. Staal,
SJ pada tahun 1893 (Heuken, 2009:124).
Tahun 1900 mayoritas terbesar orang Katolik di Pulau Jawa adalah orang-
orang Eropa atau Eurasia. Di Batavia orang-orang Katolik pribumi dan China
cuma berjumlah 159 jiwa, sementara ada 6895 orang Katolik Eropa. Jumlah ini
menjadi 1859 versus 15803 jiwa untuk tahun 1941. Ini berarti kurang dari 10%
orang Katolik di Batavia yang keturunan Cina dan pribumi Indonesia (Steenbrink,
2006: 591).
Ketika tahun 1800an sampai memasuki tahun 1900 awal belum ada seorang
pastur yang berasal dari orang pribumi. Pastur-pastur saat itu masih berasal dari
orang-orang Belanda. Adapun pastur pertama pribumi nantinya sering disebut
dengan sebutan romo. Baik romo ataupun pastur maknanya sama yaitu
bapak/bapa. Imam Indonesia Pertama adalah Romo Fransiskus Xaverius Satiman
SJ yang ditahbiiskan pada tanggal 15 Agustus 1926 (Kantor Wali Gereja, 1974:
878).
Agama Katolik sendiri masuk ke Jawa Tengah lebih dikenal diajarkan oleh
seorang misionaris bernama Romo Fransiscus van Lith, SJ walaupun pada tahun
1859 Pater Palinckx pernah singgah di Jawa Tengah (Kantor Wali Gereja, 1974:
844).
Pada tahun 1896, sebelum berkarya di Muntilan Romo Fransiskus van Lith
sempat berkarya di paroki Ambarawa. Romo van Lith juga belajar bahasa Jawa
dan Ambarawa menjadi tempat belajar bahasa Jawa selain di Muntilan. Romo van
Lith ini juga sukses menyesuaikan Katolik dengan kebudayaan Jawa sehingga
mudah diterima masyarakat Jawa. Pada tahun 1896, Salatiga saat itu masih
merupakan bagian dari paroki Ambarawa karena saat itu Salatiga memiliki jumlah
umat yang masih sedikit (Supervisi KAS, 2012: 1). Setelah menetap di Muntilan
Romo van Lith tetap mengunjungi Ambarawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 848).
Sebenarnya, Pastur van Lith tidak sendirian dalam karyanya di Jawa Tengah.
Selain Pastur van Lith ada juga Pastur Hoevenars. Kedua romo Belanda ini
dikenal dengan sistim kerja yang berbeda. Pastur Hoevenars belum setengah
19
tahun sudah mengajar, berkhotbah dan membabtis orang di Semarang dan
Jogjakarta, sedangkan Pastur van Lith berusaha mati-matian mempelajari bahasa,
sejarah dan adat-istiadat Jawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 847).
Pastor van Lith adalah seorang yang mengusahakan Katolik dapat bercampur
dengan kebudayaan Jawa. Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa
lain, Pastor van Lith mempelajari berbagai kamus, paramasatera, terjemahan kitab
suci, buku ngelmu dan sebagainya. Ia berbicara dengan orang-orang tani dan
pamong praja. Lebih dari 30 kali ia pergi ke Yogya dan Solo menemui beberapa
pangeran untuk memperdalam pengertiannya tentang cara orang Jawa menghadap
pencipta langit dan bumi. Romo Hoevenar menganggap bahwa mempergunakan
krama inggil dalam doa sama saja mempraktekan semangat budak belian.
Sedangkan Romo van Lith mencapai kesimpulan bahwa kata-kata krama inggil
sama sekali tidak meniadakan hubungan cinta kasih dan kepercayaan ayah dan
anak (Kantor Wali Gereja, 1974: 852).
Memasuki tahun 1900an perkembangan Katolik di Jawa Tengah semakin
meningkat. Tokoh-tokoh Katolik mulai muncul. Pendidikan yang dilakukan oleh
Romo van Lith, mulai menuai hasil. Murid Romo van Lith yang akhirnya menjadi
tokoh bangsa adalah Romo Soegija yang kelak menjadi vikaris apostolik/uskup
pertama yang berasal dari pribumi dan juga seorang tokoh politikus yaitu IJ
Kasimo yang kelak membantu Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Selama
menjadi Uskup Agung Semarang, nantinya Romo Soegija akan ikut andil dalam
perkembangan paroki di Salatiga.
Soegija lahir di Solo, pada tanggal 25 November 1896, anak kelima keluarga
Karijasoedarmo yang seorang abdi dalem Kraton Surakarta. Atas anjuran Romo
van Lith, Soegija masuk Muntilan dalam tahun 1909 dan pada malam Natal tahun
itu Soegija dipermandikan dengan nama Albertus. 1910-1915 ia belajar di
kweekschool, lantas menjadi guru di Muntilan juga. Sesudah satu tahun ia
menyatakan keinginannya untuk menjadi imam dan mulai belajar bahasa latin dan
lain-lain yang perlu bagi studi selanjutnya. Dalam tahun 1919 ia pergi ke Belanda
dan sesudah satu tahun di kolese Ordo Salib Suci di Uden, ia masuk novisiat
Serikat Yesus di Mariendaal pada malam 8 September 1920 bersama 21 teman
20
novis lainnya. Selesai novisiat dan studi filsafat, frater Soegija kembali ke
Muntilan sebagai guru dan redaktur majalah Suara Tama. Tahun 1928 frater
Soegija mulai belajar Teologia di Maastricht, dimana ia ditahbiskan imam pada
tanggal 15 Agustus 1931, bersama Romo M. Reksaatmadja SJ (Kantor Wali
Gereja, 1974: 886-887).
Kasimo dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 10 April 1900, anak keempaat
dari sebelas bersaudara dari pasangan Ronosentiko dan Dalikem (Soedarmanta,
2011: 1). Pada suatu hari sebelum liburan puasa tahun 1912 terjadi peristiwa yang
mengubah seluruh hidup Kasimo masih duduk di kelas IV Sekolah Bumiputera
kelas dua Gading. Hampir tamat, dan hampir meninggkalkan bangku sekolah.
Seorang tuan Belanda datang berkunjung ke sekolah. Tuan itu berpakaian jas dan
pantalon, serta mengenakan topi helm putih seperti yang dikenakan oleh tuan-tuan
Belanda pada waktu itu. Namun, berbeda dengan tuan-tuan Belanda lainnya, tuan
Belanda ini sangat halus tegur sapannya dan pandai sekali berbahasa Jawa. Ia
mendekati anak-anak dan bertanya siapa di antara mereka yang tamat tahun itu.
Adakah diantara mereka yang mau meneruskan sekolah di Muntilan? Tuan
Belanda itu adalah Romo Fransiskus van Lith SJ, kepala sekolah guru di
Muntilan. Saat itu jumlah murid memang masih sedikit sekali sehingga tidak
jarang sekolah harus mencari murid untuk mengisi kelas-kelasnya. Romo van Lith
setiap tahun keliling sekolah-sekolah di Yogyakarta, Surakarta, Magelang, dan
Klaten untuk mencari murid bagi sekolahnya di Muntilan. Kasimo tertarik. Sadar
kalau dirinya ingin maju, ia harus berani mengambil jalannya sendiri. Oleh karena
itu, sekalipun pada waktu itu baru berusia 12 tahun, ia mengambil keputusan yang
sangat berani untuk melanjutkan sekolah di Muntilan (Soedarmanta, 2011: 16).
Perkembangan umat Katolik di Salatiga juga kian meningkat. Memasuki tahun
1900 umat Katolik di Salatiga sudah mencapai angka ratusan walaupun masih
didominasi oleh orang Belanda. Umat Katolik di Salatiga saat itu masih
menggunakan gudang senjata untuk dipakai beribadah sekaligus menjadi
bangunan gereja sementara, barulah pada tahun 1928 dibangun gereja khusus
untuk beribadah umat Katolik di Jalan Tuntang nomor 34, yang sekarang menjadi
jalan Diponegoro dengan nomor yang sama. Pada tahun itu juga Salatiga yang
21
sudah memiliki gereja sendiri masih menjadi stasi di bawah naungan paroki
Ambarawa. Stasi Salatiga dipimpin oleh pastur dari Belanda, yaitu pastur
Volthenius de Man, SJ. dan pastur Mathysen, SJ. kedua pastur itu dari ordo SJ
(Yesuit). Stasi yang memiliki pastur sendiri. Pada tahun 1939, stasi Salatiga yang
tadinya merupakan bagian dari paroki Ambarawa menjadi paroki sendiri.
Romo/pastur paroki pertama Salatiga adalah pastur TH. Teppema, SJ. Pengesahan
Salatiga menjadi Suatu Paroki sendiri disahkan oleh vikaris apostolik/uskup saat
itu yakni romo Soegija atau Mgr. Albertus Soegijapranata seorang uskup pertama
dari kalangan pribumi. Pastur Teppema menjabat sebagai pastur di Salatiga sejak
tahun 1937-1942, lima tahun menjabat sebagai pastur di Salatiga namun hanya
tiga tahun menjadi pastur paroki Salatiga yakni selama 1939-1942 karena dua
tahun sebelumnya Salatiga masih berstatus sebagai stasi. Pada tahun 1939 pastur
Teppema dibantu oleh pastur Jorna, SJ. Selama periode awal paroki Salatiga ini
dibimbinng oleh dua pastur namun tetap ada pastur utama dan pastur pembantu
seperti standar yang dipakai tiap-tiap paroki sampai sekarang bahkan sekarang
pastur/romo pembantu di paroki masa kini tidak hanya satu, seperti halnya paroki
Paulus Miki Salatiga saat ini dibimbing oleh pastur/romo yang berjumlah empat
orang yakni Romo Agustinus Ariestyanto, MSF sebagai pastur paroki, Romo
Albertus Magnus Tan Thiang Shing dan Romo Hubertus Adi Wicaksono.
Banyaknya pastur/romo di paroki Salatiga ini disebabkan paroki Paulus Miki
memiliki tiga stasi yang berada di Tuntang yaitu stasi Santo Pius dan stasi
Ludovicus serta di Getasan terdapat stasi Santo Yusup. Dalam formasi pastur di
awal terbentuknya paroki, Pastur Teppema lah yang menjadi pastur utama paroki.
pastur Teppema adalah pastur Yesuit. Tercatat di dalam buku Supervisi
Keuskupan Agung Semarang tahun 2012, paroki Paulus Miki Salatiga di
gembalakan oleh romo Yesuit yang terakhir adalah romo Poesposoeparto yang
berkarya di Paulus Miki Salatiga dimulai tahun 1952 hingga 1957 (Supervisi
KAS, 2012: 5-6).
B. MENGENAL YESUIT
Yesuit adalah sapaan akrab dari SJ. SJ adalah (Societas Jesu). Yesuit didirikan
oleh Ignasius Loyola. Serikat Jesus tidak bisa dipisahkan dari misi atau perutusan
22
untuk memaklumkan injil. Perutusan termasuk asal-usul dan inti spiritualitasnya.
Pada masa Santo Ignasius dari Loyola arti misso lebih luas dari sekarang.
Pertama-tama misi merupakan perutusan seseorang atau suatu kelompok demi
kerasulan tertentu, yang diberikan oleh otoritas gerejani, yakni paus atau pater
superior jenderal. Berkaitan dengan arti personal ini, missio menandakan pula
usaha korporatif untuk mewartakan Kabar Gembira di daerah tertentu. Akar kedua
pengertian ini adalah peziarahan rohani. Kelompok Jesuit pertama hendak
berziarah ke Tanah Suci ‘untuk menolong jiwa-jiwa’, jadi bukan sebagai piknik
rohani, melainkan sebagai usaha apostolis: berkelana seperti murid-murid yang
diutus Jesus tanpa membawa bekal apapun. Ziarah Jesuit-Jesuit pertama ke
Yerusalem dihalangi oleh situasi perang di Laut Tengah. Maka, mereka pergi ke
Roma, supaya diutus oleh paus ke mana dan untuk tugas apa saja ‘demi kemuliaan
Allah yang lebih besar dan demi keselamatan jiwa-jiwa’. Santo Ignasius sering
menyebut diri peregrino (peziarah), kiasan bagi seorang manusia yang mencari
tuhan dan kehendaknya. Prinsip dari Serikat Jesus adalah “Ad Maiorem Dei
Gloriam”(demi lebih besarnya kemuliaan Allah) (Heuken, 2009: 11-12).
Salah seorang Yesuit, yang sekarang diakui menjadi Santo yaitu Fransiskus
Xaverius pernah ditugaskan untuk berkarya di wilayah Nusantara bagian timur.
Fransiskus adalah sahabat Santo ignasius. Sesuai dengan tujuannya untuk
mengemban misi tanpa bertanya dan menaati perintah paus, Fransiskus menaati
misi yang diberikan oleh temannya Ignasius. Misi yang di jalankan Fransiskus ini
adalah misi pertama dan sekaligus yang terakhir yang dijalankan oleh Fransiskus.
Menjadi seorang Yesuit harus taat dan juga tidak melupakan
komunitas/serikatnya. Walaupun Fransiskus jauh dari komunitasnya untuk
menaati misi yang diberikan, namun Fransiskus tetap selalu mengingat
komunitasnya. Konon Fransiskus selalu menyimpan tanda tangan semua teman-
temannya saat di tanah misi. Selain itu, bukti nyata keromantisan Fransiskus
terhadap komunitasnya adalah dengan rutinnya dia menuliskan surat tentang apa
saja yang Fransiskus alami selama di tanah misinya. Surat-surat yang dituliskan
oleh Fransiskus ini tentu sangat berguna bagi ilmu pendidikan kedepannya. Salah
satu yang dapat menikmati surat-surat Fransiskus ini adalah ilmu Sejarah terutama
23
sejarah gereja. Sebagai contoh dengan surat-surat Fransiskus ini Adolf Heuken
sang pastor yang juga ahli Sejarah terutama Sejarah Jakarta ini dapat menulis
buku “150 Tahun Serikat Jesus Berkarya di Indonesia”.
.Yesuit adalah orang-orang yang menyelamatkan jiwa-jiwa. Setiap imam tugas
utamnya adalah menggembalakan umat disuatu paroki, namun ada keistimewaan
selain menggembalakan umat di paroki dalam hal ini visi Yesuit yang ingin
menyelamtkan jiwa-jiwa melihat pendidikan sebagai hal utama sebagai
pelayanannya. “Kami ingin menyelamatkan jiwamu agar menjadi orang yang
lebih baik lagi, dengan jalan pendidikan” jelas Romo Surya. Maksud dari Romo
Surya adalah Yesuit membantu orang untuk meningkatkan kualitas hidup dengan
pendidikan, salah satu contonhya adalah orang yang tidak mampu sekolah (dalam
hal biaya) diberikan beasiswa. “Dimana ada Yesuit disitu pasti ada sekolah” lanjut
Romo Surya. Yesuit mempunyai beberapa lembaga pendidikan. Jika menemui
nama lembaga pendidikan Kolese itu biasanya milik dari Yesuit namun tidak
semua Kolese itu milik Yesuit. Tidak hanya dalam pendidikan saja keistimewaan
Yesuit ini, tentu tidak melupakan dalam hal sosial Yesuit turut berkarya. Karya
Yesuit dalam bidang sosial misalnya menemani dan merawat gelandangan di
Pingit, Jogjakarta. Sebagai seorang penggembala tentu juga harus peduli didalam
kehidupan sosial.
Penulis juga bertanya mengenai proses menjadi seorang Yesuit kepada Romo
Surya. Untuk masuk dalam serikat Yesuit, prosesnya yang pertama adalah ikut
seminari terlebih dahulu. Seminari ini setingkat dengan SMA, bahkan untuk
standar kelulusan seminari adalah ujian nasional yang diselengggarakan
pemerintah. Ada sebuah perbedaan seminari dengan SMA biasa, perbedaan itu
terletak pada tahun yang harus ditempuh. Jika SMA biasa membutuhkan waktu
normal selama tiga tahun, untuk seminari membutuhkan waktu empat tahun. Satu
tahun dalam seminari ini digunakan untuk postulat. Postulat ini adalah
pendalaman materi tentang Katolik, pendalaman tentang Sejarah Gereja masuk
dalam postulat ini. Adapun yang lulus SMA, ataupun telah lulus kuliah bahkan
orang yang sudah bekerja ingin bergabung dengan serikat Yesuit ini
diperbolehkan dengan hanya mengikuti masa postulat saja di Seminari ini.
24
Setelah lulus seminari, proses selanjutnya bagi calon Yesuit adalah masuk
novisiat selama dua tahun. Novisiat ini dipergunakan untuk pendalaman imam
calon-calon yang terpanggil. Saat di Novisiat ini, calon-calon imam Yesuit dididik
untuk mempunyai hati yang baik, pengalaman doa selama 30 hari dengan tiap
harinya berdoa selama lima jam, hal ini ditujukan agar para calon imam memiliki
pengalaman doa untuk merasakan kehadiran Yesus dikehidupannya. Sesuatu yang
menarik selama di Novisiat ini adalah uang saku para calon imam ditanggung oleh
Novisiat dengan tiap bulannya masing-masing mendapat 15.000 rupiah. Dalam
pendidikan keimanan di Novisiat ini juga ada prakteknya. Praktek yang pertama
disebut Eksperimen Luar rumah (ELR) selama lima bulan, biasanya para calon
imam ditempatkan untuk berkarya pada sebuah rumah sakit jiwa, panti jompo,
panti asuhan anak keterbelakangan mental dsb. Setelah melewati ELR 1, para
calon imam diharuskan untuk Pelegrinasi (ziarah). Ziarah dilakukan selama
sembilan hari. Suatu yang menarik dalam ziarah tersebut adalah jarak yang
ditentukan pihak serikat adalah kira-kira 500KM dengan uang saku sebanyak
8000 rupiah. Romo Surya bercerita bahwa dia kebagian tempat ziarah di Gua
Maria Pohsarang yang beralamat di Pohsarang, Semen, Kediri. Perjalanan romo
Surya dimulai dari Girisonta, kab.Semarang dan ternyata uang saku sebanyak
8000 rupiah tersebut hanya cukup untuk naik bus dari Girisonta sampai Magelang,
selanjutnya jalan kaki menuju ke Kediri. Mereka yang mengikuti Pelegrinasi ini
dipasang-pasangkan dengan orang yang saling tidak memiliki kecocokan, selama
sembilan hari ini para calon imam tidak diperbolehkan untuk meminta uang jika
mau meminta hanya meminta makan minum saja dan tidak boleh menginap di
rumah orang Katolik. Setelah melakukan Pelegrinasi,para calon imam melakukan
ELR 2. ELR 2 ini, para calon imam Yesuit dipekerjakan sebagai buruh dengan
gaji normal. Tantangan dalam ELR 2 ini adalah apakah para calon imam akan
tergoda memanfaatkan uang itu untuk keperluan pribadinya yang seharusnya
untuk disetor kepada serikat. Selain itu, para calon imam dibuka hatinya untuk
merasakan kehidupan kaum buruh. Secara umum pendidikan calon Yesuit ini
ditujukan untuk membangun rasa empati terhadap orang lain.
25
Setelah lulus dari novisiat para calon imam mengucapkan janji kaul, kemudian
para calon imam ini diwajibkan untuk kuliah filsafat selama empat tahun. Untuk
standar kelulusan kuliah filasafat calon imam Yesuit harus menulis skripsi disertai
dengan tes kompre. Kompre adalah tes apa saja yang telah dipelajari selama
empat tahun dan itu harus dikuasai semua.
Selanjutnya setelah lulus kuliah filsafat, para calon imam melakukam TOK
(Tahun Orientasi Kerasulan) selama dua tahun untuk magang dalam institusi SJ.
Dalam TOK ini para calon imam dididik untuk menjadi seorang pemimpin, dalam
hal ini yang utama adalah ketegasannya.
Setelah mengikuti TOK, harus belajar Theologi empat tahun atau kuliah
Theologi. Selesai semua ditahbiskan dari mulai Novisiat sampai kuliah Theologi
kurang lebih imam Yesuit membutuhkan waktu dua belas tahun. Namun, menurut
Romo Surya, Yesuit yang sebenarnya adalah ketika dia meninggal.
Seperti dalam sejarah singkat masuknya Katolik di Nusantara pada
pembahasan paling atas bahwa Fransiskus Xaverius menerima dengan suka cita
untuk menjalankan misinya di Nusantara walaupun sebenarnya Fransiskus sendiri
tidak paham jalur yang ia tempuh dan bagaimana keadaan tujuannya. Fransiskus
dengan taat menerima misi dari serikatnya tersebut dan percaya bahwa
pertolongan Tuhan akan ada. Poin penting dalam paragraf ini adalah bahwa
menjadi Yesuit harus taat. Yesuit juga harus menemukan Tuhan di dalam sesama
dan alam.
C. MENGENAL MSF
Untuk membahas apa itu MSF, penulis berkesampatan menemui romo yang
bertugas di Paroki Santo Paulus Miki yakni Romo Hubertus Adi Wicaksono,
MSF. MSF adalah Missionaris Saccra Famiglia,dalam Bahasa Indonesia adalah
Misionaris Keluarga Kudus. MSF didirikan oleh romo Jean Baptiste Berthier, MS
yang berasal dari Perancis, pada tanggal 28 September 1895 di Grave (Belanda).
Ordo Romo Jean Baptiste Berthier adalah Missionaris La Sallete (MS) yang
melayani para peziarah yang berziarah digunung La Sallete yang mempunyai
sebuah patung Bunda Maria yang sangat terkenal. Romo Berthier hanya sebuah
pendiri MSF bukan merupakan anggota dari ordo tersebut, ini berbeda dengan
26
Ignatius Loyola yang merupakan pendiri sekaligus anggota dari SJ. Jika Yesuit
mengenal kata serikat maka di MSF lebih dikenal kata konggregasi. Konggregasi
MSF mulai masuk Indonesia pada tahun 1926 (Kalimantan) dan pada tahun 1932
(di Jawa-Semarang). MSF meneladani semangat atau spiritualitas keluarga kudus
Nazareth.
MSF juga mempunyai keistimewaan dalam bidang karya kerasulan seperti
halnya SJ. Namun, jika SJ yang utama berkarya dalam hal Pendidikan dan sosial,
MSF berkarya dalam hal promosi panggilan, pembinaan dan pendidikan imam
religius dan juga pendampingan keluarga dalam parokial.
MSF juga mempunyai proses untuk dapat bergabung dengan konggregasi.
Proses pertama adalah postulat yang ditempuh selama satu tahun, sama seperti
postulat SJ.
Proses selanjutnya adalah mengikuti Novisiat selama satu tahun penuh. Selama
masa novisiat ini para calon imam dipersiapkan untuk nantinya mampu
menghayati hidup sebagai religius dan calon imam MSF. Menjelang masa
berakhirnya, setiap calon imam diperbolehkan mengirimkan surat lamaran untuk
mengikrakan kaul kebiaraan. Setelah lamaran itu dikabulkan para frater atau calon
romo meneruskan pendidikan di Skolastikat (kuliah).
Proses selanjutnya adalah Skolastikat. Para frater dididik kuliah S1 Filasafat dan
Teologi selama empat tahun. Setelah lulus para frater ini akan mendapat gelar
sarjana sastra (SS).
Setelah lulus dari Skolastikat proses selanjutnya adalah masuk Tahun Orientasi
Pastoral (TOP). Para frater akan ditempatkan dalam paroki-paroki MSF (dalam
atau luar negri) yang akan ditentukan untuk melakukan pelatihan pastoral
(magang). Masa TOP berlangsung selama satu atau dua tahun.
Proses sesudah TOP, para frater kembali ke skolastikat untuk melanjutkan studi
teologi selama dua tahun. Ada juga yang lanjut S2 bagi frater yang mampu untuk
melanjutkan studi. Selanjutnya para frater boleh mengajukan kaul dan
mengikrarkan kaul kekal untuk menjadi seorang imam.
27
D. GEREJA PAROKI PAULUS MIKI SALATIGA
Gereja Santo Paulus Miki berlokasi di Salatiga, sebuah kota yang unik karena
kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. Sisi utara terdapat pemandangan
yang menarik yaitu gunung Merbabu dan dibelakangnya adalah gunung Merapi.
Salatiga merupakan daerah dengan udara yang relatif sejuk dibandingkan kota-
kota disekitarnya.
Salatiga memiliki banyak peninggalan bangunan Belanda contohnya adalah
gedunng papak yang sekarang digunakan sebagai kantor walikota Salatiga dan
sebuah rumah di Jl. Diponegoro yang sayang sekali sudah tidak terawat.
Bangunan awal Gereja Paulus Miki Salatiga adalah bangunan yang dibuat oleh
orang Belanda. Namun, kini sudah direnovasi hingga bangunan asli Gereja Paulus
Miki tersebut kini sudah tidak ada. Paroki Salatiga berdiri pada tahun 1939,
sebelumnya hanya stasi dari Paroki Santo Yusuf Ambarawa (Supervisi KAS,
2012: 1).
Paroki paulus Miki Salatiga terletak di Jl. Diponegoro No.34 Salatiga.
Posisinya ini cenderung strategis karena berada di jalan utama kota Salatiga.
Letaknya berdekatan dengan Korem persis di sebelah timur gereja dan Kodim di
sebelah barat gereja, hal ini membuat gereja terasa aman terhadap isu serangan
teror yang pernah melanda negeri ini. Kedua komplek tentara ini juga sangat
membantu jika sedang terselenggara misa besar seperti misa Natal dan Paskah,
kedua wilayah ini dapat dimanfaatkan sebagai lahan parkir untuk umat yang
menggunakan kendaraan.
Bentuk bangunan gereja ini mulanya masih asli bergaya Belanda dengan
bangunan utama di bagian timur dan pastoran berada di sebelah barat gereja
utama. Pada akhir 1990an, bangunan gereja dirombak menjadi bangunan yang
lebih besar untuk menampung jumlah umat yang semakin meningkat. Gaya
bangunan lebih mengarah ke gaya moderen dengan sedikit sentuhan Jawa.
Sentuhan Jawa ini terdapat dalam tulisan “Asma Dalem Kaluhurna” yang berada
tepat diatas altar berbentuk melengkung.
Setiap minggu digereja Paulus Miki dilaksankan ibadah ekaristi mingguan atau
misa mingguan. Misa dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 17.00 pada hari minggu
28
pukul 06.00; 08.00 dan pukul 17.00. Misa harian juga dilaksanakan setiap senin-
sabtu pada pukul 05.30.
Untuk saat ini memang di Salatiga tidak ada industri, pabrik-parik besar
ataupun lapangan pekerjaan yang menyediakan lowongan pekerjaan bagi kaum
pendatang bahkan tempat wisata di Salatiga sangat sedikit. Padahal jika
memanfaatkan kondisi geografisnya Salatiga cukup berpotensi. Namun, di
Salatiga terdapat universitas yang cukup menarik bagi kaum pelajar dari Sabang
sampai Merauke yaitu Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). UKSW adalah
sebuah kampus dengan landasan imam Kristen yang dibentuk karena andil gereja-
gereja Kristen Protestan. Walaupun berlandaskan iman Kristen Protestan, namun
UKSW sangat terbuka bagi semua pelajar yang memeluk agama apapun. Tak
terkecuali bagi pelajar yang beragama Katolik, UKSW dapat dikatakan sebagai
penyumbang umat Katolik yang cukup besar bagi gereja Santo Paulus Miki.
Sumbangan umat dari UKSW hampir seluruhnya berasal dari mahasiswanya. Para
mahasiswa sebagian besar akan mengikuti misa ekaristi pada hari Minggu pukul
17.00. Untuk menampung mahasiswa katolik ini dibentuklah sebuah organisasi.
Organisasi Mahasiswa Katolik di dalam gereja Paulus Miki ini adalah KMKS.
E. PERALIHAN PENGGEMBALAAN PAROKI PAULUS MIKI
Pada sekitar tahun 1950an paroki Salatiga yang saat itu bernama Para Martir
Jepang (Ss Japonentium) mempunyai perkembangan yang baik. Perkembangan
paroki itu meliputi bentuk pertumbuhan umat yang cukup stabil dari tahun ke
tahun dan juga bangunan gereja yang semakin bertambah kapasitas umat yang
dapat ditampung didalamnya. Pertumbuhan umat ini tercatat didalam Supervisi
KAS. Pertumbuhan yang cukup signifikan dimulai tahun 1953. Kemudian, pada
pertengahan tahun 1960an ketika paroki digembalakan romo Sandiwan Brata
jumlah umat yang dibabtis sangat banyak, yaitu kurang lebih 120 orang. Pada
tahun-tahun tersebut romo Sandiwan berhasil membabtis ratusan orang dalam
sekali periode baptisan. Pertumbuhan umat ini juga disebabkan karena faktor
G30S/PKI yang saat itu terjadi karena banyak orang yang takut jika nantinya
dituduh sebagai anggota PKI (Supervisi KAS, 2012: 2).
29
Penggembalaan Paroki Paulus Miki Salatiga tidak hanya dilakukan oleh imam
SJ dan MSF saja, sempat juga oleh Romo Praja. Namun, Romo Praja yang
berkarya di Paulus Miki Salatiga hanya sedikit dan dalam kurun waktu yang tidak
lama. Tercatat hanya ada Romo Kiswana, Romo Dybyadarmadja, Romo
Soemoadmadja dan Romo Sandiwan Brata. Karena penggembalaan Romo Praja
yang sedikit dan dalam waktu yang tidak begitu lama ini maka penggembalaan di
bawah Romo Praja kurang begitu dikenal oleh umat paroki Paulus Miki Salatiga.
Romo Praja di Salatiga yang cukup dikenang sampai saat ini adalah Romo
Sandiwan Brata. Semasa Romo Sandiwan memimpin paroki Salatiga beliau tidak
hanya membabtis ratusan orang namun juga mencetak banyak guru katekis. Romo
sandiwan dan romo Soemadmadja adalah Romo Praja yang berada di periode
penggembalaan MSF karena masa baktinya setelah tahun 1957 sedangkan dua
romo lainnya berada di dalam periode SJ (Supervisi KAS, 2012: 4).
Kepemimpinan romo-romo SJ dimulai dari pastur Teppema hingga yang
terakhir pastur Poesposoeparto pada tahun 1957 hampir semua romo yang
bertugas di paroki Salatiga adalah romo Yesuit kecuali Romo Kiswana dan Romo
Dybyadarmadja. Oleh karena itu masa ini bisa disebut dengan masa
penggembalaan Yesuit di paroki Salatiga. Kemudian, Romo Poesposoeparto
digantikan oleh Romo van Beek. Romo van Beek adalah Romo bertarekat MSF,
jadi paroki Paulus Miki sudah tidak digembalakan lagi Romo Yesuit.
Penggembalaan romo MSF dimulai dari Romo van Beek hingga sekarang
dipimpin oleh Romo Albertus Agus Ariestyanto (Supervisi KAS: 2012: 7).
Romo van Beek mulai memimpin penggembalaan Paroki Paulus Miki pada
trimester akhir tahun 1957. Oleh karena itu pada tahun inilah peristiwa peralihan
penggembalaan paroki Paulus Miki Salatiga dari SJ kepada MSF ini berlangsung.
Berdasarkan dokumen dari Arsip Keuskupan Agung Semarang, jika dirunut dari
dokumen bulan Juli sampai bulan Oktober peralihan penggembalaan terjadi pada
bulan September. Karena akses sumber yang terbatas maka tanggal peristiwa
tersebut tidak diketahui.
30
Dokumen pertama adalah dokumen yang dibuat pada tanggal 1 Juli 1957.
Dokumen ini adalah surat yang ditulis pihak Keuskupan untuk kepala paroki saat
itu yakni Romo Poesposoeparto, SJ.
“Kami berhasrat untuk menghidupkan kembali St. Elisabeth
Stichting te Salatiga. Untuk itu kami minta dengan hormat paduka
romo akan mentjari siapa-siapa jang dapat diangkat mendjadi
pengurus Stichting tersebut.
Bersama ini kami mengirimkan Statuten Stichting St. Elisabeth, jang
menurut pendapat kami adalah statuten jang uniform bagi Stichting-
Stichting St.Elisabeth, djadi juga untuk Stichting St. Elisabeth te
Salatiga.
Perlu kami beritakan bahwa sebagai beheerder jang terachir adalah
Almarhum Paduka romo v. Ryekevorsel.
Sebagai pernah kami beritahukan dahulu, Stichting St. Elisabeth te
Salatiga ini telah ditundjuk akan menerima sebagian warisan
seseorang jang telah meninggal dunia di Eropah. Dan karena surat
pendirian beserta statuten jang terdjahit didalamnja sudah tidak ada
lagi, para pengurus (jang akan diangkat itu) nanti akan menghadap
dimuka notaris untuk memperoleh statuten yang baru.
Semoga keterangan kami diatas ini tjukup mendjadi pedoman
pandangan paduka romo dalam mentjari orang-orangnja, dan atas
bantuan paduka romo kami menjampaikan banjak-banjak
terimakasih.”
Surat bulan Juli berasal dari Yayasan Elisabeth yang akan menghidupkan
kembali yayasan ini di Salatiga. Pihak yayasan meminta bantuan kepada romo
Poespo untuk memilih orang yang mampu diberikan tugas untuk mengurus
yayasan ini serta meminta izin kepada pihak paroki Salatiga itu sendiri.
Kemudian, surat bulan Agustus ditulis dengan Bahasa Jawa yang ditujukan
kepada seorang Romo Projo Paroki Paulus Miki yakni Romo Dibjadarmadja pada
tanggal 22 Agustus 1957.
“Paring pandjenengan serat katitimangsa kaping: 16 Agustus 1957
sampun kula tampi. Menggah ingkang dados kawigatosipun sanget
andadosaken nggununging manah kula.
Keparengan kula andaraken malih, bilih prekawis mapanaken arta
dateng vikariat, menika babar pindah sanes usul pikadjengan kula,
ananging kersanipun rama kandjeng pribadi lan kados adat ingkang
31
sampun sasaged-saged kita ugi tansah nglaksanani menapa ingkang
dados pamundutipun ngersa dalem.
Ingkang menika, menawi pandjenengan lestantun mopo, dados ugi
ateges boten kersa mbijantu usahanipun vikariat apostolik Semarang;
dados namung ngudi dateng bebatenipun pijambak ingkang boten
sepitan.
Kados ingkang nate kula aturaken, kagunganipun rama tetep
kagunganipun rama, dados boten wonten risieo-nipun babar pindah;
suwantji-wantji kabetahaken ugi saged kapundut malih.
Perlu kula aturaken , bilih sikep pandjengan ingkang kados mekaten
menika sulaja sanget kalijan sikepipun para kantja presbyateratu,
inggih menika, ingkang boten namung sami mapanaken artanipun
pijambak dateng vikariat kemawon, nanging ugi malah saring sami
migunakaken artanipun pijambak kangge parokinipun.
Gandeng ingkang kula aturaken ing nginggil menika, wonten kersa
rama paring kawigatosan awetawis, lan keparenga ugi kula njuwun
paringing wangsulan pungkasan.
Kedjawi menika kula njaosi priksa, bilih arta stipendia tumunten
kakintun.”
Dokumen yang ditulis pada bulan Agustus ini adalah perihal uang stipendia.
Menurut Kitab Hukum Kanonik Kanon 945-958, stipendia adalah sumbangan
uang kepada imam atau yayasan amal, supaya Misa dipersembahkan demi ujud si
pemohon doa. Uang tersebut bukanlah harga sebuah Misa namun untuk keperluan
imam sehari-hari. Imam tidak diperbolehkan hanya mengejar stipendia saja, ada
ketentuan batas stipendia dan jika stipendia melebihi batas yang ditentukan
sisanya harus dikirm ke kas Keuskupan untuk keperluan sosial yang lain.
Stipendia diurus langsung oleh romo paroki namun bukan romo kepala paroki
melainkan romo pembantu paroki (Romo Adi). Dokumen berikutnya ditulis 6
September 1957, kepada pastor paroki Romo Poesposoeparta.
“Bersama ini kami kirimkan turunan dari surat kami tg. 1 Juli 1957,
No. 463/B/I/24/’57 jang telah kami kirimkan Paduka.
Kami sangat menantikan djawaban atas surat kami tsb. Atas
perhatian Paduka Romo kami menjampaikan banjak-banjak
terimakasih.”
Dokumen bulan September ini adalah surat singkat dan untuk menindaklanjuti
surat sebelumnya yang dikirim pada bulan Juli. Surat bulan Juli kemungkinan
32
tidak dibalas oleh pastur paroki yaitu Romo Poespo. Surat dari Yayasan Elisabeth
berlanjut pada bulan oktober yang berisi penunjukan oleh pihak yayasan untuk
mengurus yayasan itu sendiri. Dalam penunjukan ini romo pimpinan paroki saat
itu yang kini telah berganti Romo van Beek, MSF ikut ditunjuk sebagai pengurus.
Dokumen pada bulan Oktober tersebut ditulis pada tanggal 29, isi dokumen
tersebut seperti ini.
“Dengan ini kami mengirimkan lima surat pengangkatan masing-
masing untuk paduka rama sendiri, dan empat orang lainja.
Tentang surat pengangkatan bagi empat orang lainnja itu, kami
kirimkan asli dan tembusanja, jang asli adalah untuk jang
berkepentingan tembusannja adalah untuk disimpan didalam arsip
Pasturan.
Kemudian atas kesediaan paduka romo, kami mengutjapkan banjak
terimakasih.”
Ternyata dokumen surat dari Yayasan Elizabeth yang diserahkan kepada
Romo van Beek ada yang lebih lama dari surat bertanggal 29 Oktober 1957 yakni
pada tanggal 1 Oktober 1957. Dokumen yang ditulis pada tanggal 1 Oktober 1957
berisi pengangkatan Romo van Beek menjadi moderator Yayasan Elizabeth, inilah
isi suratnya:
“Jang bertanda tangan dibawah ini, Mgr. Albertus Soegijapranata
S.J., Vikariat Apostolik Semarang.
Dengan ini mengangkat:
Paduka Romo JOSEF VAN BEEK M.S.F.
Terhitung mulai tanggal: 1 Oktober 1957 memegang djabatan
Moderator dari DE ELISABETH-STICHTING TE SALATIGA.”
Dengan adanya dokumen tertanggal 1 Oktober 1957 diatas, menunjukan bahwa
bulan Oktober 1957 penggembalaan Paroki Santo Paulus Miki sudah berada
dibawah pimpinan romo-romo MSF. Ini membuktikan bahwa peralihan
penggembalaan Paroki Santo Paulus Miki Salatiga berada pada bulan September
1957.
Walapun tidak ada tanggal penarikan Romo Poespo dan tanggal pengutusan
Romo van Beek di Paroki Salatiga. Namun, dokumen-dokumen ini cukup
33
membantu untuk mengetahui perubahan penggembalaan yang pernah terjadi di
Paroki Santo Paulus Miki Salatiga.
Ada empat surat penunjukan serupa yang berasal Yayasan Elisabeth. Keempat
surat tersebut berlaku dan ditulis dengan tanggal yang sama. Keempat surat
tersebut ditujukan kepada orang awam yang sebagai pengurus dari Yayasan ini.
Keempat surat itu menunjuk Ketua, Bendahara, Panitera dan Anggota. Surat
pengangkatan tersebut ada hubungannya dengan surat yang ditulis pada 29
Oktober 1957 diatas. Surat pada tanggal 29 Oktober 1957 sebenarnya adalah surat
pemberitahuan tentang surat pengangkatan pada tanggal 1 Oktober 1957.
Pergantian romo di paroki memiliki proses. Proses tersebut membutuhkan surat
penugasan yang berasal dari tarekat atau ordo masing-masing romo yang
bersangkutan. Perjanjian untuk menjadi kaul yang mengharuskan siap untuk
ditempatkan dimana saja menyebabkan romo-romo harus siap dan menaati surat
penugasan tersebut. Tarekat atau ordo memegang peranan penting dalam
penugasan. Karena tarekat atau ordo ini bekerja diwilayah misi mereka masing-
masing dan tarekat atau ordo ini betanggungjawab terhadap wilayah misi masing-
masing. Wilayah misi mereka berbeda-beda namun tersebar di seluruh dunia.
Sedangkan, tiap-tiap paroki masuk dalam salah satu tarekat atau ordo. Oleh
karena itu, romo yang bertugas didalam paroki adalah romo yang ditugaskan oleh
tarekat atau ordo masing-masing, kecuali imam Praja. Imam Praja ini adalah
imam yang pertanggungjawabannya langsung kepada Uskup (Wawancara Romo
Alis).
Pergantian imam dalam paroki ini adalah tugas utama dari tarekat dan ordo.
Tarekat ini mempunyai provinsialat yang sebagai pusatnya dalam sebuah wilayah
tiap keuskupan. Sedangkan, keuskupan tidak banyak mengatur tentang pergantian
romo dalam paroki. Tugas keuskupan hanyalah sebagai pengesah atau dimintai
izin saja. Bahkan, sebenarnya hanya bersifat pemberitahuan saja karena kembali
lagi pergantian romo ini adalah tugas dari tarekat atau ordo masing-masing
(Wawancara Romo Surya).
Pergantian romo juga sulit untuk ditebak. Sulit ditebak karena masa penugasan
dalam paroki ini tidak ada periode pasti kapan romo harus berganti. Romo yang
34
bertugas dalam paroki bisa saja mempunyai periode yang panjang ataupun sangat
pendek. Masa penugasan ini tergantung keputusan tarekat atau ordo masing-
masing. Masa penugasan ini hanya diputuskan dan diketahui oleh tiap ordo dan
Tuhan. Untuk imam Praja tunduk pada Keuskupan (Wawancara Romo Alis).
Paragraf sebelumnya menjelaskan tentang proses pergantian romo tugas di
paroki. Permasalahan utama dalam penulisan ini tentang peralihan
penggembalaan romo dari SJ kepada MSF. Proses peralihan penggembalaan
dalam paroki sama saja dengan pergantian romo setarekat hanya saja salah satu
tarekat melakukan penarikan dan yang satu melakukan penugasan (Wawancara
Romo Alis). Untuk menemukan detail penugasan dan penarikan yang dilakukan
tiap tarekat dapat dilakukan di provinsialat baik SJ maupun MSF semuanya ada di
Semarang, namun karena terbatasnya akses sumber membuat peristiwa peralihan
penggembalaan Paroki Santo Paulus Miki tersebut tidak diketahui detail waktu
peristiwanya.
Dalam perubahan penggembalaan ini tidak banyak hal yang merubah gereja
baik susunan kepengurusan, tatanan gereja tau bangunan gereja. Sejatinya,
walaupun berbeda-beda tarekat tujuan dan tugas mereka semua sama yakni
membina dan menggembalakan umat Katolik dimanapun. Perbedaan mereka
adalah dalam karya-karya spesifik, misalnya Yesuit berkarya dalam pendidikan
dan sosial, sedangkan MSF dalam bidang panggilan iman dan pembinaan
keluarga (Wawancara Romo Alis).
Pergantian penggembalaan di sebuah paroki tidak hanya terjadi di Salatiga
saja. Sebagai contoh Paroki Hati Kudus yang berada di Bangkong, Semarang.
Paroki ini awalnya digembalakan oleh Yesuit kemudian diserahkan kepada MSF
pada tahun 1932. Perubahan penggembalaan di Paroki Hati Kudus ini diikuti
dienstreizer (perjalanan dinas) dikota-kota Muria Raya yakni Kudus dan Pati.
Kudus dan Pati dari awal terbentuk paroki sudah dipimpin oleh MSF. Namun,
sebelum menjadi Paroki yang didirikan pada tahun 1911, kota Kudus sempat
dimasuki oleh utusan Yesuit. Ketika tahun 1896 Andreas Manase yang berasal
dari kudus dan teman-temannya sudah menjadi Katekis dan mengajarkan agama
Katolik di Kudus. Walaupun setelah itu teman-teman Andreas Manase ditarik
35
untuk tidak mengajar agama lagi karena dianggap Romo van Lith tidak kompeten
karena ada yang menghisap candu, melakukan kecurangan finansial dan poligami
sehingga hanya menyisakan Andreas Manase. Keterangan tahun 1896 cukup
untuk membuktikan bahwa ada kegiatan missionnaris Katolik (khusunya di
Kudus) sebelum masuknya MSF yang ada di Indonesia setelah tahun 1900an
(Steenbrink, 2006: 618).
Yesuit berada di kawasan nusantara selama puluhan bahkan ratusan tahun,
Lebih dari 150 tahun karya Yesuit di Indonesia. Dalam karyanya ini, Yesuit
banyak mengalami kesulitan-kesulitan yang harus diselesaikan. Kesulitan yang
dialami oleh Yesuit ini menjadi kesulitan Katolik Secara Umum. Misalnya;
dilarang oleh VOC untuk berkarya akibat dari peristiwa abad gelap (perang salib),
masa sulit penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945 yang saat itu banyak
anggota serikat dibunuh; salah satunya adalah Romo Damianus Hardjasuwanda SJ
(Kantor Wali Gereja, 1974: 889).
Memasuki dekade 50an atau setelah masa sulit penjajahan Jepang, wilayah
misi Yesuit kian menyempit. Keadaan ini disebabkan karena Yesuit memasrahkan
sebagian besar daerah-daerah misi ini kepada tarekat imam yang lain, tarekat
bruder ataupun suster untuk dikaryakan dan digembalakan dengan baik.
Sedangkan Yesuit sendiri terfokus di Jawa Tengah serta Keuskupan Agung
Jakarta (wawancara romo Alis).
Yesuit adalah perintis tanah missionaris. Yesuit seperti halnya pembuka lahan
yang kemudian akan diolah disitulah Yesuit diibaratkan (Romo Surya). Menurut
pak Widodo, Yesuit adalah garda terdepan agama Katolik. Yesuit akan selalu jaga
mutu dengan anggotanya yang cenderung cendekiawan. Yesuit itu taat jadi harus
selalu disiplin. Sebagai perintis tanah misi Yesuit juga mengalami berbagai
masalah yang kemudian berkembang dan bisa menjadi alasan Yesuit untuk
melepaskan tanah misi yang dirintisnya.
Dalam karyanya di Indonesia, pastur-pastur Yesuit mengalami berbagai
masalah selama berkarya di Indonesia, termasuk masalah bahasa yang saat itu
masih memakai bahasa adat masing-masing. Setidaknya ada sepuluh poin masalah
36
yang dialami Yesuit, namun dalam penulisan ini akan diambil lima poin saja yang
sesuai dengan tema peralihan konggregasi.
Masalah mana yang dihadapi dan kebijakan mana yang ditempuh pada masa
peralihan:
1. Semula pembesar Serikat Yesus kurang berperan, sehingga beberapa
pater bahkan kurang mengetahui bahwa ada seorang superior misi.
Secara praktis vikaris apostolik mengambilalih tugasnya. Pada
decade-dekade pertama, penempatan pater-pater biasanya sesuai
kehendak Mgr. Vrancken dan Claessens. Mereka ingin menempati
sebanyak mungkin daerah dalam berlomba dengan zending.
2. Secara de facto tiga puluh tahun sesudah kedatangan pastur pertama,
missionaris Yesuit melayani seluruh vikariat Batavia. Vikariat ini
termasuk yang paling luas di seluruh dunia. Pembahasan di antara
Yesuit tentang penyerahan sebagian besar wilayah dengan porsi
umat pribumi paling banyak kepada konggregasi lain, menimbulkan
pertanyaan seperti: daerah manakah dan/atau kerasulan manakah
yang tetap ingin dikerjakan Serikat Yesus? Bersama-sama dengan
imam ordo/serikat atau terpisah menurut daerah? Apakah pastoral di
antara orang Katolik Eropa – yang sebagian besar terdapat di pulau
Jawa – sebaiknya dipertahankan? Sebab, pastor-pastor ini digaji dan
sebagian kegiatan mereka disubsidi pemerintah. Pater-pater ini
sanggup menunjang saudara seserikat, yang tidak digaji. Apakah
mungkin semua tenaga dikerahkan ke misi di antara orang pribumi
saja? Apakah tenaga dan dana memadai? Rupanya tidak.
3. Waktu menjabat socius provinsialis Provinsi Belanda, P.F. Heynen
mengadakan visitasi ke semua rumah (1874/75) dan merasa puas
dengan semangat religius serta kerja. Para Jesuit, yang menjalankan
pastoral di antara orang Eropa, memandang karya merekalah yang
terpenting. Sedangkan pastur-patur yang berkarya di antara orang
pribumi berpandangan sebaliknya: masa depan tergantung dari
kerasulan mereka (Heuken, 2009: 111).
37
4. Masalah peka adalah dana: di antara empat puluh pastur, pemerintah
member gaji kelas pertama pada satu imam (vikaris apostolik). Dua
puluh dua imam digaji untuk pastoral di antara orang Eropa menurut
2de klas (1890). Sepuluh pastur lagi (3e klas: fl. 175,- per bulan)
diberi gaji untuk pekerjaan di antara orang Katolik pribumi (sejak
1896). Dana pemerintah ini memadai untuk mereka yang berkarya
dalam pastoral di antara orang Eropa pada masa itu, tetapi tidak
untuk semua misionaris. Jumlah pastur yang digaji sangat menurun
waktu pulau-pulau di luar Jawa dilepaskan. Dana dari propaganda
fide sama dengan uang yang dikumpulkan di Nusantara dan dikirim
dari Batavia ke Roma sebagai St. Pieterspenning.
Atas inisiatif P.F Heynen yang menjadi Provinsial di Belanda, Sint
Claverbond didirikan (1889). Di samping mengumpulkan dana
(yang besar), perkumpulan ini mengembangkan pula perhatian untuk
misi dengan buku kecil Berichten uit Neederlandsch Oost-Indie yang
atas desakan pembaca menjadi majalah berkala (1889-1920). (Sint
Claverbond adalah majalah untuk mengetahui sejarah misi. Tetapi,
karena tujuannya untuk memperoleh dana dari sidang pembaca,
maka hal yang tidak menyenangkan tidak dimuat).
Pengeluaran besar disebabkan oleh pembangunan Katedral Batavia
(1891-1902), tenggelamnya kapal dengan uang tunai sebesar enam
ribu gulden dan terutama – karena investasi dalam penerbitan koran
Katolik Express (1891/92) serta Bataviaasch Handelsbald (1892-
1903) yang gagal.
5. Sebagian besar anggota Provinsi SJ Belanda berasal dari kalangan
masyarakat menengah dan tinggi. Mereka masuk novisiat di
Mariendaal, tempat beberapa Jesuit Indonesia sejak tahun 1915
memulai hidup religius mereka pula, yakni sampai novisiat dibuka di
Yogyakarta (1922). Dalam juniorat pengetahuan bahasa Latin dan
Yunani dimulai atau diperdalam. Sesudahnya studi filsafat ditekuni
di Kolese Berchmans di Oudenbosch (dan kemudian di Nijmegen).
38
Sejak tahun 1909 semakin banyak frater Belanda dan bahkan novis
ditugaskan di Indonesia, untuk belajar bahasa Jawa, mengenai misi
dan membantu para pater, misalnya dengan memberikan pelajaran
agama atau ikut mengurus asrama. Pastur van Rijckevorsel misalnya,
bekerja sebagai frater di Muntilan selama lima tahun. Sesudahnya
para frater belajar teologi di Maastricht.
Adanya frater Jesuit muda di Indonesia memudahkan pemuda Jawa
memikirkan panggilan menjadi imam. Sebab, para frater mengubah
citra, bahwa seorang pastor selalu orang yang sudah berumur. Sejak
1911 dibuka seminari menengah di Muntilan, yang kemudian untuk
sementara pindah ke Yogyakarta. Uang dikumpulkan oleh
Liefdewerk Javabus, oleh Sint Petrus Liefdewerk (suatu lembaga
kepausan) dan oleh perkumpulan Palopei Darma yang dimulai di
Muntilan (1925).
Mgr. Willekens memberitahukan kepada semua prefek dan vikaris
apostolik, bahwa seminari tinggi di Yogyakarta terbuka bagi calon
imam dari semua ordo di Indonesia. Monsinyur bekerja keras,
supaya pendidikan imam dalam negeri dimungkinkan dan maju
secepatnya, bahkan selama masa pendudukan Jepang. Pada tahun
1926 imam Indonesia pertama di tahbis; ddan pada masa Perang
Pasifik pecah sudah terdapat tiga pulh imam (yang sebagian dididik
di Flores juga). Penempatan Jesuit pribumi di Jakarta berlangsung
perlahan-lahan setelah perang selesai. Selama perang, Pastur
Soemarno SJ bertugas di Katedral dan ikut melayani umat di seluruh
Jakarta.
Setelah Perang Pasifik dan pengakuan Kedaulatan (1949), banyak
frater dan pater muda tiba di Belanda. Tetapi karena alasan politis
frater dan imam dari bangsa lain menggantikan para missionaris
Belanda (sejak akhir 1950). Mereka datang dari Austria, Belgia,
Jerman dan Swiss. Para Jesuit Belanda menggantikan para
missionaris Prancis di Lebanon. Tetapi lima tahun sesudah Konsili
39
Vatikan II dan khususnya kebijakan Menteri Agama Alamsyah Ratu
Prawiranegara, hampir tiada missionaris baru. Pintu masuk ditutup.
Untunglah imam dalam negeri semakin meningkat, sehingga dapat
menggantikan para missionaris yang pulang atau meninggal
termasuk mereka yang meninggalkan imamat (Heuken, 2009: 113-
115).
Karya Jesuit di berbagai daerah di seluruh Nusantara sampai waktu misi di
semua pulau di luar Jawa diserahkan kepada konggregasi lain. Bagaimana
perkembangan dan keadaan Serikat Jesus setelah berkarya setengah abad di
Indonesia. Kegiatan yang berpangkal tolak dari Jawa, meluas di berbagai stasi
dari Larantuka sampai Medan, lalu menciut lagi, sehingga tinggal misi di pulau
Jawa saja. Sudah dapat disimpulkan, bahwa pada pergantian abad timbul suatu
krisis, yang menuntut mengambil kebijakan mendasar.
Percobaan dicoba di berbagai tempat lalu menciut lagi, karena tak bisa
diteruskan. Harus memilih, memutuskan dan melepaskan, lalu memusatkan
tenaga bukan dari segi territorial saja namun juga dari segi kerja. Semula para
Jesuit diundang oleh Mgr. Vrancken, supaya berkarya sebagai missionaris
lapangan, bukan sebagai biarawan yang menjalankan kerasulan khas Serikat
Jesus. Para Jesuit muda diutus tanpa ada persiapan. Mereka langsung di-drop di
berbgai tempat tanpa mengetahui bahasa, tidak mengenal adat setempat dan harus
menyesuaikan diri dengan iklim. Maka, orang yang sehat dan siap bekerja yang
diutus (Heuken, 2009: 109).
Dua medan kerja sangat berbeda: pastur umat Eropa digaji dengan baik dan
perjalanan dinas dibiyai pemerintah. Maka, kebutuhan sehari-hari terjamin. Para
misionaris sering mulai dari nol. Kadang seorang umat umat pun tiada. Tak ada
sarana untuk mempelajari bahasa. Tidak ada subsidi pemerintah. Daftar kata dan
gramatika belum disusun. Seringkali misionarislah orang pertama yang
melakukan riset seperti itu (Heuken, 2009: 110).
F. PERALIHAN PENGGEMBALAAN YESUIT DI DAERAH LAIN
40
Jesuit telah ada dan berkarya di Indonesia selama ratusan tahun. Dalam waktu
yang panjang ini, para Jesuit telah berkarya di berbagai daerah dari Sabang sampai
Merauke. Kemudian karya Yesuit ini ditinggalkan dan diwariskan kepada
konggregasi lain untuk dikaryakan di berbagai tempat tersebut, tidak hanya di
Salatiga saja. Daerah yang dilepaskan oleh Yesuit ini adalah daerah yang berada
di luar Jawa. Kemudian, Yesuit berkonsentrasi di Jawa walaupun beberapa daerah
di Jawa juga diserahkan kepada konggregasi lain termasuk MSF.
Pastur Jansen melakukan beberapa kunjungan sulit ke pedalaman, yang
berhasil dengan baik. Tetapi, ia kehabisan tenaga menjadi sakit parah akibat iklim
buruk di Atapupu, sehingga pindah ke Larantuka (1895). Tetapi, keadaan tidak
membaik, sehingga terpaksa pulang ke Belanda dan tahun berikutnya meninggal
(1896), waktu itu ia berumur 46 tahun. Pastur Mathijsen bertahan sampai seluruh
umat Pulau Timor diserahkan kepada pater-pater Serikat Sabda Allah (SVD 1913)
(Heuken, 2009: 71).
Rupanya pada awal abad ke 20 para pembesar serikat Jesus agak kewalahan.
Tiada rencana menyeluruh menyeluruh, sehingga tiada tenaga untuk
mengembangkan umat di Sumatera. Pada tahun1912 lima pastur Jesuit
meninggalkan Padang, Kuta Raja serta Tanjung Sakti dan menyerahkan umat
sebesar 4200 orang beriman kepada pastu-pastur Kapusin (Heuken, 2009: 94).
Dengan melepaskan seluruh daerah di luar Jawa (1920), tenaga Serikat Jesus
ditarik ke Pulau Jawa dan sebagian besar ditempatkan di wilayah yang sekarang
membentuk Keuskupan Agung Semarang. Sebab, umat ini mulai berkembang
cepat dan beberapa lembaga pendidikan memerlukan tenaga (Heuken, 2009: 94).
Karya Jesuit di berbagai daerah di seluruh Nusantara sampai waktu misi di semua
pulau di luar Jawa diserahkan kepada konggregasi lain. Bagaimana perkembangan
dan keadaan Serikat Jesus setelah berkarya setengah abad di Indonesia. Kegiatan
yang berpangkal tolak dari Jawa, meluas di berbagai stasi dari Larantuka sampai
Medan, lalu menciut lagi, sehingga tinggal misi di pulau Jawa saja. Sudah dapat
disimpulkan, bahwa pada pergantian abad timbul suatu krisis, yang menuntut
mengambil kebijakan mendasar.
41
Percobaan dicoba di berbagai tempat lalu menciut lagi, karena tak bias diteruskan.
Harus memilih, memutuskan dan melepaskan, lalu memusatkan tenaga bukan dari
segi territorial saja namun juga dari segi kerja. Semula para Jesuit diundang oleh
Mgr. Vrancken, supaya berkarya sebagai missionaris lapangan, bukan sebagai
biarawan yang menjalankan kerasulan khas Serikat Jesus. Para Jesuit muda diutus
tanpa ada persiapan. Mereka langsung di-drop di berbgai tempat tanpa
mengetahui bahasa, tidak mengenal adat setempat dan harus menyesuaikan diri
dengan iklim. Maka, orang yang sehat dan siap bekerja yang diutus (Heuken,
2009: 109).
Dua medan kerja sangat berbeda: pastur umat Eropa digaji dengan baik dan
perjalanan dinas dibiyai pemerintah. Maka, kebutuhan sehari-hari terjamin. Para
misionaris sering mulai dari nol. Kadang seorang umat umat pun tiada. Tak ada
sarana untuk mempelajari bahasa. Tidak ada subsidi pemerintah. Daftar kata dan
gramatika belum disusun. Seringkali misionarislah orang pertama yang
melakukan riset seperti itu (Heuken, 2009: 110).
Superior misi, Pastur Hellings dan Wenneker, menyadari, bahwa akibat karya
Pastur van Lith, Jawa Tengah akan menjadi sangat penting untuk masa depan
Gereja di Indonesia. Tetapi, menyediakan tenaga untuk karya ini berarti harus
menutup stasi-stasi lain. Ini dianggap bukan penyelesaian yang baik. Pemecahan
dilaksanakan oleh Mgr. Luypen SJ: mengalihkan semua stasi bersama umat di
luar Jawa kepada konggregasi lain, yang mempunyai tenaga dalam jumlah yang
memadai. Sebenarnya bukan jumlah umat, yang mendorong untuk melepaskan
wilayah tersebut, tetapi jarak antara stasi satu dan lainnya terlampau jauh, terlebih
kalau mengingat transportasi pada masa itu masih sangat lamban. Lalu, Serikat
Jesus berkonsentrasi di Jawa (1904-1921).
1. 1904, Stasi Langur bersama seluruh Maluku dan Papua
diserahkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC).
2. 1905, Stasi Singkawang dan Nanga-Sejiram, yang keduanya
hanya dikunjungi dari Batavia (dengan seluruh Kalimantan dan
Bangka) diserahkan pada Pastur-pastur Kapusin (OFMCap).
42
3. 1911, Stasi Padang, Medan, Kuta Raja dan Tanjung Sakti
(dengan seluruh Sumatera) diambiloper pastur-pastur Kapusin.
4. 1913, Semua stasi di Nusa Tenggara diberikan kepada misionaris
SVD; semula di Timor (1913) dan selama beberapa tahun
berikutnya di Flores (1920).
5. 1919/20, Stasi Manado, Tomohon, Woloan dan Makassar
dengan seluruh Sulawesi dialihkan kepada Misionaris Hati
Kudus (MSC).
Sebelum semua misionaris SJ ditarik ke Jawa (1922), sudah dilaksanakan
pembicaraan tentang menerima tenaga tambahan untuk misi Jawa. Alasannya
ganda: beberapa ordo/konggregasi minta berkarya di misi, dan Provinsi Serikat
Jesus di Belanda tidak sanggup mengutus lebih banyak misionaris. Pendidikan
imam Indonesia masih pada masa awalnya. Vikaris Apostolik Batavia dan
pembesar Serikat Jesus cenderung tenaga baru bekerja dalam satu vikariat saja,
sedangkan Roma (dan pimpinan ordo/konggregasi lain yang bersangkutan) ingin
mendapat daerah ‘sendiri’ dengan mengadakan perfektur/vikariat baru. Maka,
pemenggalan berlangsung terus.
‘Semangat’ berkonsentrasi di Jawa bertambah setelah menjadi nyata, bahwa di
Jawa Tengah umat Katolik Jawa berkembang dengan baik. Namun, di Jawa Barat
sampai tahun 1950-an pastoral di antara umat Belanda tetap dominan. ‘Semangat’
berpusat di Jawa sukar diubah setelah provinsi SJ cukup kuat untuk menerima
paroki atau sekolah di luar Jawa. Rupannya, sulit meninggalkan karya yang sudah
ada dan berkembang, supaya dapat melebarkan sayap ke luar Jawa, agar benar-
benar menjadi Provinsi Indonesia. Di lain pihak dalam kedua ‘keuskupan Jesuit’,
yakni Jakarta dan Semarang paling banyak ordo/konggregasi lain ikut bekerja.
1. 1923, Stasi-stasi di Jawa Timur diserahkan kepada pastur-pastur
Karmelit (Ocarm) serta Lasaris (CM), walaupun sampai 1927/28
masih di dalam yuridiksi Vikariat Apostolik Batavia.
2. 1927, Beberapa stasi di Jawa Tengah dan Barat dialihkan kepada
pastur-pastur Salib Suci (OSC) dan Misionaris Hati Kudus (MSC),
43
yang pada tahun 1932 membentuk Prefektur Apsotolik Bandung dan
Purwokerto.
Antara tahun 1903 dan 1922 dua puluh lima Jesuit ‘pulang’ ke Jawa. Sebagian
besar sudah berusia lima puluh tahun keatas: dua Jesuit dari Kei, lima pastur dari
Sumatera, dua pastur dan satu bruder dari Timor, serta tujuh pastur dan enam
bruder dari Flores dan akhirnya enam pastur dari Minahasa dan Makassar. Hanya
beberapa tahun sesudahnya stasi di Jawa Timur, Bandung, Cirebon di Jawa Barat
dan Purwokerto di Jawa Tengah mulai dilepaskan oleh Jesuit juga. Di dalam
daerah yang tinggal di Jawa Tengah dan Barat, beberapa paroki diserahkan
kepada pastur Fransiskan (Kramat, Matraman, serta Kampung Sawah ‘untuk
sementara’ dan kemudian Sukabumi) seta beberapa stasi di Jawa Tengah kepada
Misionaris Keluarga Kudus (MSF).
Uraian dalam bab tentang Keuskupan Agung Jakarta dan Semarang
memperlihatkan, bahwa tenaga yang ‘pulang’ itu dengan cepat diserap oleh karya,
yang semakin tambah banyak dalam daerah yang dipegang Serikat Jesus. Jumlah
Jesuit yang berkarya dalam bidang non-paroki, semakin bertambah, khususnya
dalam pendidikan umum dan calon imam (seminari). Gejala ini sesuai dengan
perkembangan Gereja di Indonesia dan kerasulan khas Serikat. Selain tenaga baru
dari serikat-serikat imam, banyak suster dan bruder mendukung serta mendorong
perkembangan Gereja dalam Vikariat Batavia (Heuken, 2009: 115-116).
Beberapa kali pimpinan misi Serikat Jesus di Indonesia menghadapi masalah
yang sama: karena tenaga SJ kurang, maka ordo/konggregasi lain diminta supaya
membantu. Bantuan ini langsung menimbulkan pertanyaan, apakah anggota
ordo/konggregasi ini berkarya di dalam wilayah, yang dipimpin seorang vikaris
apostolik dari Serikat Jesus atau di luar wilayah ini dan di bawah pimpinan
seorang uskup dari konggregasi yang bersangkutan. Diskusi dalam kalangan
Jesuit cukup hangat. Namun, setiap kali pandangan pro melepaskan daerah, yang
pernah dikembangkan misionaris Jesuit dengan usaha dan pengorbanan besar,
menang. Dengan demikian, tenaga Jesuit dapat dikerahkan dapat dikerahkan di
Jawa Tengah, yang berkembang di Jawa Tengah, yang berkembang di luar dugaan
44
sejak Pastur van Lith menemukan cara yang berhasil di Muntilan (Heuken, 2009:
121).
Sejak 1936, Mgr. Willekens memprakarsai pendidikan imam diosesan. Artinya,
sudah tekad hendak melepaskan pastoral biasa kepada klerus diosesan.
Perkembangan ini wajar dan sesuai cita-cita Serikat Jesus: membuka ladang atau
karya baru dan pada waktu sudah ‘matang’ diserahkan kepada tenaga lain, supaya
bebas untuk memulai karya (baru) yang dituntut zaman. Jangan terikat pada karya
tertentu, kecuali karya khas Serikat Jesus yang jarang dilepaskan seperti
pendidikan menengah dan akademis, termasuk pastoral mahasiswa, pendidikan
calon imam dan khususnya karya sebagai pembibing rohani. Demikian pula
dengan beberapa bidang lain, misalnya dengan kerasulan dalam media massa,
dengan retret serta gereja non-paroki dalam kota besar dengan pelayanan khusus
seperti Sakramen Pengakuan, khotbah, dan perayaan liturgi yang bermutu
(Heuken, 2009: 121-122).
Jawa Barat dan khususnya Batavia/Jakarta sampai akhir tahun 1950an belum
memerlukan banyak tenaga misionaris. Sebab tiada misi. Sampai 1940 pastur-
pastur Jesuit menggembala hanya dua dari lima paroki di Batavia. Sesudah 1966
Keuskupan Agung Jakarta menjadi ‘wilayah SJ’ dengan paling banyak pastor dari
ordo/konggregasi lain, yang berkarya dalam bidang paroki maupun bukan paroki
(Heuken, 2009: 121).
Keuskupan Bandung juga mengalami hal yang serupa. Sebelumnya, keuskupan
ini adalah bagian dari vikariat apostolik Jakarta yang dipimpin SJ. Barulah pada
tahun 1927 tarekat OSC (Ordo Salib Suci) masuk kemudian setelah menjadi
keuskupan sendiri dipimpin oleh OSC. Secara keselurahan, penggembalaan awal
di Nusantara dilakukan oleh SJ. Tercatat pulau-pulau seperti Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, NTT dan daerah nusantara timur lainnya. Penggembalaan
yesuit yang bersifat menyeluruh di nusantara ini berlangsung mulai masuknya
bangsa barat hingga berkhirnya abad 19. Hingga masuknya missionaris lain pada
abad 20 menjadikan Yesuit berbagi daerah misi dengan Tarekat lain, baik itu
Tarekat Imam, Bruder ataupun Suster (Steenbrink, 2006: 597).
45
G. PENGGEMBALAAN YESUIT DAN MSF SELAIN SEBAGAI
PEMIMPIN IBADAH UMAT KATOLIK SALATIGA
Yesuit di Keuskupan Agung Semarang berbagi wilayah misi dengan tarekat-
tarekat lain. Salah satu tarekat itu adalah MSF. Baik SJ maupun MSF mempunyai
peran baik penting dalam keuskupan. Jika SJ berperan dalam dunia pendidikan
dan sosial (terutama pendidikan) maka MSF berperan dalam bidang pembinaan
keluarga dan bibit panggilan. Oleh karena itu dua tarekat ini sebenarnya dapat
saling melengkapi untuk membangun umat yang baik dan berkualitas.
Seminari Mertoyudan dan Bibit Panggilan Dari Salatiga
Seminari Mertoyudan adalah seminari tingkat menengah setara SMA dengan
durasi pendidikan selama empat tahun. Seminari menengah Mertoyudan
mempunyai nama lengkap Seminari Menengah Petrus Canisius. Seminari ini
beralamat Jalan Mayjend Bambang Soegeng nomor 15, Mertoyudan, Magelang.
Lokasinya dipinggir jalan raya Magelang-Jogja, posisi yang sangat strategis.
Seminari ini didirikan pada tahun 1912 oleh Romo van Lith. Sekarang, Seminari
Mertoyudan dipimpin oleh Romo Alis Windu Prasetyo sebagai kepala sekolah.
Pada awalnya seminari ini adalah milik Yesuit, namun sekarang diambil oleh
keuskupan. Meski telah diambil alih oleh keuskupan, namun keuskupan tetap
mempercayakan Yesuit sebagai pengelola seminari ini dibantu oleh beberapa
Romo Praja. Memang, yang berkaitan dengan pendidikan akan sangat cocok jika
romo Yesuit yang mengelola terlebih ini adalah pendidikan bagi calon romo yang
otomatis dituntut untuk menghasilkan produk pendidikan yang baik. Pengeloalaan
yang dilakukan oleh yesuit ini terbukti dengan prestasi seminari yang mendapat
Akreditasi A plus dari pemerintah.
Kata seminari berasal dari bahasa latin semen yang bermakna benih dan
seminarium yang berarti tempat untuk mendidik benih-benih panggilan. Benih-
benih panggilan ini nantinya diharapkan untuk menjadi seorang imam yang mapu
menggembalakan umat digereja dengan baik (wawancara Romo Alis). Oleh
karena itu anggapan atau mindset masyarakat tentang siswa yang masuk seminar
adalah calon romo itu adalah benar. Siapa saja yang masuk seminari itu sudah
dianggap mempunyai panggilan menjadi seorang imam/pastur, walaupun pada
46
akhirnya ada yang gugur sebelum lulus dari seminari tersebut. Siswa yang gugur
ini batal menjadi romo, disebut juga gagal dalam panggilan.
Lokasi Mertoyudan yang tidak terlalu jauh dari kota Salatiga membuat calon
panggilan banyak yang berasal dari Salatiga terkhusus Paroki Paulus Miki
Salatiga. Dalam lima tahun terkahir, nama Paroki Santo Paulus Miki Salatiga
tidak pernah hilang dari nama daftar peserta didik Seminari Mertoyudan. Pada
tahun pelajaran 2012/2013 terdapat seorang peserta didik yang berasal dari Paroki
Santo Paulus miki salatiga. Pada tahun pelajaran 2013/2014 bertambah empat
siswa baru sehingga total peserta didik yang berasal dari Paroki Paulus Miki
Menjadi lima orang. Pada tahun pelajaran 2014/2015 tidak ada siswa baru yang
berasal dari Paroki Paulus Miki Salatiga, justru berkurang satu orang sehingga
hanya tersisa empat orang. Jumlah empat orang ini masih cukup banyak. Pada
tahun pelajaran 2015/2016 bertambah seorang peserta didik dan salah seorang
peserta didik telah lulus dari seminari ini, sehingga jumlah peserta didik yang
berasal dari Paroki Santo Paulus Miki tetap berjumlah empat orang. Pada tahun
pelajaran 2016/2017, salah seorang peserta didik keluar dan hanya menyisakan
tiga orang siswa dari Paroki Santo Paulus Miki Salatiga. Ketiga orang Siswa ini
adalah seangkatan dan semuanya juga telah lulus dari Seminari Mertoyudan pada
tahun ini. Jumlah peserta didik di Seminari Mertoyudan yang berasal dari Paroki
Santo Paulus Miki Salatiga memang tidak mencapai angka puluhan, namun patut
disyukuri, jumlah ini masih dirasa banyak. Mengingat, untuk sekarang, menjadi
imam/romo/pastur bukanlah pilihan. Semakin banyak populasi manusia didunia
saat ini justru panggilan untuk menjadi romo semakin berkurang. Siswa-siswa ini
berani untuk menerima dan melanjutkan panggilan untuk menjadi imam gereja.
Tantangan besar setelah menjadi romo adalah suatu yang membuat orang awam
tidak mau untuk menjadi romo. Setelah menjadi romo nantinya harus siap
ditempatkan dimanapun yang bisa saja jauh dari keluarga, saudara dan teman-
temannya. Hal lain yang menyebabkan orang awam tidak mau untuk menjadi
seorang pastur/romo adalah tantangan untuk mempertahankan keperawanan (tidak
menikah). Sehingga jumlah tiga orang ini menjadi suatu prestasi yang
membanggakan bagi Paroki Paulus Miki. Jumlah ini juga menjadi prestasi bagi
47
romo-romo paroki yang bertarekat MSF karena sesuai dengan karya kerasulan
kedua yakni; karya di bidang promosi panggilan, pembinaan dan pendidikan
imam religius. Dukungan yang lebih diharapkan dari pihak paroki agar Salatiga
menjadi kota penghasil pastur-pastur yang baik bagi gereja dan masyarkat.
Penulis sendiri saat ini tidak tahu apakah gereja sudah memberikan dukungan bagi
benih-benih panggilan ataukah belum.
Yayasan Kanisius di Salatiga
Yayasan Kanisius merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan-pendidikan sekolah mulai dari TK sampai SMA/SMK. Kanisius
didirikan tahun 1918 di Muntilan oleh Romo Fransiskus van Lith. Semenjak
berdirinya, Yayasan Kanisius adalah Milik Vikaris Apostolik Batavtia, baru pada
tahun 1940 diserahkan kepada Vikaris Apostolik Semarang yang dipimpin oleh
Mgr. Albertus Soegijapranata. Yayasan Kanisius dipercayakan untuk dikelola
oleh Serikat Jesus (SJ). Seirama dengan perkembangan Yayasan Kanisius
berkembang pula gereja ke pelosok-pelosok wilayah Keuskupan Agung
Semarang. Perkembangan ini seirama dengan keinginan van Lith yang ingin
memberikan pendidikan bagi rakyat bumiputera. Pendidikan juga menjadi karya
misi Serikat Yesus.
Sekolah milik Yayasan Kanisius di Salatiga ada dua yaitu yang berlokasi di
Gendongan dan satunya berlokasi di Kecamatan Sidorejo. Sekolah Kanisius yang
akan dibahas dalam tulisan ini adalah yang berlokasi di Kecamatan Sidorejo.
Sekolah ini beralamat lengkap di Jl. Raden Patah, tepat dibelakang Gereja Santo
Paulus Miki Salatiga. Sekolah ini disebut juga dengan Kanisius Cungkup, karena
lokasinya dekat dengan desa Cungkup. Kanisius Cungkup ini mempunyai
pendidikan dari mulai TK sampai SD. Penulis juga merupakan alumni TK dan SD
Kanisius Cungkup Salatiga. Kepala sekolah saat ini dijabat oleh Yulius Ponirin.
Komplek sekolah Kanisius Cungkup ini adalah sekolah tua yang telah berdiri
pada tahun 1928. Berdirinya sekolah ini jauh sebelum Paulus Miki menjadi
sebuah paroki (saat itu masih bagian dari stasi Ambarawa yang digembalakan SJ).
Yulius Ponirin menjelaskan bahwa, Kanisius ini datang di Salatiga karena dibawa
oleh romo-romo SJ. Namun, siapa romo yang mendirikan sekolah Kanisius ini di
48
Salatiga pak Ponirin juga belum mengetahui. Beliaupun sempat bertanya kepada
pusat Yayasan di Semarang namun pihak yayasan juga belum bisa menjawab
karena arsip-arsipnya masih terselip dan belum ditemukan. Walaupun begitu, ini
sudah menjadi bukti nyata tentang pengaruh dan peran SJ untuk Paroki Santo
Paulus Miki dan Masyarakat Salatiga dengan kabar gembira yang berbentuk
pendidikan.
Marriage Ecounter
Penulis berkesampatan untuk bertemu dan mewawancarai salah satu anggota dan
juga seorang pelopor adanya Marriage Ecounter di Salatiga beliau adalah
Nugroho Noviyanto atau yang lebih akrab disapa pak Novi. Beliau berdomisili di
Blotongan, Salatiga. Beliau juga adalah pemilik usaha Es Krim Sunduk (nama
perusahan).
Marriage Ecounter atau yang sering disebut ME adalah sebuah kategorial yang
ada di Paroki Paulus Miki. Kategorial adalah sebuah kelompok-kelompok non
organisasi yang terdapat di tiap-tiap paroki. Setiap paroki memiliki kategorial
yang tidak harus sama dengan paroki-paroki lainnya. Paroki Santo Paulus Miki
Salatiga sendiri memiliki 22 kategorial dan salah satunya adalah ME itu sendiri.
Adapun contoh kategorial yang lain adalah Kharismatik, kelompok doa dan
sebagainya. Kategorial bekerja di luar paroki namun kegiatan-kegiatan didalam
kategorial ini dapat mendukung dan memperkaya kegiatan keimanan paroki. ME
bukanlah sebuah organisasi namun adalah sebuah gerakan. ME terdapat di paroki-
paroki, oleh karena itu agar ME dapat terhubung di tiap-tiap paroki maka
ditunjuklah Kordis. Kordis akronim dari Koordinator Distrik. Dalam ME yang
menjadi koordinator distrik adalah satu pasangan pasutri dan seorang pastur.
Kordis bertugas mengkoordinasi tiap-tiap wilayah tertunjuk didalam lingkup
keuskupan yang mirip seperti daerah karisidenan. Salatiga tergabung dalam distrik
keuskupan 2. Anggota keuskupan 2 adalah Semarang, Salatiga, Ungaran, Jepara
dan Kudus. Kordis keuskupan dua adalah romo Ariestyanto MSF dan pasutri Puji-
Ita.
Marriage Ecounter atau ME adalah sebuah kategorial yang bergerak didalam
hubungan cinta kasih atau lebih rincinya adalah hubungan keluarga dalam hal ini
49
suami-istri. ME berkarya di luar paroki namun untuk memperkaya paroki. ME di
Salatiga dibimbing oleh romo Adi, MSF. ME sendiri bertujuan untuk
menyelesaikan masalah kepasutrian dari sisi gereja. Hal yang dimaksud dari sisi
gereja adalah hukum pernikahan yang monogami dan tidak bisa cerai. Gerakan
ME benar-benar membina pasutri-pasutri yang tergabung dengan mengundang
mereka untuk mengikuti kegiatan semacam seminar pendampingan dengan nama
Weekend ME. ME sendiri melihat banyaknya kasus dalam hubungan pasutri yang
semakin lama hubungan itu semakin memudar. Hubungan yang memudar ini
tentu saja disebabkan adanya masalah dalam keluarga yang dibina. Dalam hidup
masalah itu selalu datang, tentu yang diperlukan adalah bagaimana sikap untuk
menghadapi masalah-masalah tersebut. Masalah yang sering timbul dalam
pernikahan utamanya ada tiga, yaitu; Ekonomi, Seksual dan pengaruh keluarga
asal dari pasutri itu sendiri. Untuk itu ME dengan prinsip pernikahan dari sisi
gereja (monogami dan tidak bisa cerai) ingin mencoba membantu menyelesaikan
masalah dalam hubungan pasutri itu agar hubungan pasutri tersebut tidak terbawa
kedalam masalah yang lebih dalam dan menyebabkan hubungan itu tercerai.
Dampak yang lebih dalam dengan tercerainya pasutri tentu saja ke anak-anak
pasutri itu sendiri. Hubungan suami-istri tidak boleh timpang. Ciri khas ME untuk
membantu menyelesaikan masalah ini adalah penekanan dialog. Dialog yang
dimaksud adalah dialog yang ditujukan untuk lebih mengenal kepribadian dengan
perasaan. Kemudian, menekankan hati yang dibina dalam menghadapi
keberlangsungan keluarga untuk mencari makna dan pentingnya berkeluarga
sehingga pasutri yang dibina dapat mempertanggungjawabkan keputusannya
untuk berkeluarga, bertanggung jawab kepada anak-anak mereka, bertanggung
jawab kepada keluarga mereka masing-masing, bertanggung jawab kepada
masyarakat dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan.Walaupun ME ini adalah
salah satu kategorial milik paroki namun pengajaran dalam ME bersifat umum.
Oleh karena itu ME terbuka juga untuk umat non Katolik. Salah satu contoh
anggota non Katolik adalah umat Kristen Protestan dari GKJ Purwodadi dan umat
Muslim dari Surabaya.
50
ME adalah salah satu gerakan dalam kategorial yang cocok dengan cita-cita karya
kerasulan konggregasi MSF. Cita-cita yang dimaksud adalah, Kerasulan
Keluarga: karya di bidang pastoral pendampingan keluarga, baik parokial maupun
kategorial. Pembinaan pasutri yang dilakukan dalam ME nyatanya mampu
mewakili salah satu cita-cita yang dimiliki oleh konggregasi MSF dengan
dukungan romo-romo MSF terhadap ME dan akhirnya terbentuk salah satu pasutri
atau keluarga yang menjadi baik, tidak menutup kemungkinan akan terbentuk
bibit-bibit panggilan menjadi biarawan atau imam dalam keluarga yang dibina di
ME tersebut. Jika memang salah satu keluarga yang dibina tersebut memiliki
bibit-bibit panggilan menjadi imam, maka secara otomatis cita-cita konggregasi
MSF yang kedua yaitu: karya di bidang promosi panggilan, pembinaan dan
pendidikan imam religius dapat tercapai.