› xmlui › bitstream › handle › 123456789 › 3396 › bab 1.pdf... bab i pendahuluanpada...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Krisis moneter yang melanda Asia telah menelan banyak korban
diberbagai negara Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia
bahkan juga mengimbas ke Hongkong dan Jepang dengan skala berbeda termasuk
Indonesia. Akibatnya banyak perusahaan besar dan konglomerat Indonesia yang
sejak dekade 90-an awal tumbuh pesat pada saat krisis terpaksa menjual asetnya
karena beban hutang yang meningkat terus akibat depresiasi rupiah terhadap
dollar sehingga banyak yang bangkrut atau dilikuidasi.
Kegiatan merger dan akuisisi di Indonesia telah berlangsung pada tahun
1970. Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah
ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak
terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga
perbankan yang menghadapi permasalahan dan bahkan kemudian kolaps akibat
krisis tersebut. (Sutrisno & Sumarsih,2004)
Pada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan
oleh pemerintah untuk menggairahkan industri perbankan. Diawali dengan
diluncurkannya Paket Kebijakan 20 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup
bidang keuangan, moneter dan perbankan. Kebijakan dibidang perbankan antara
lain meliputi pemberian kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank,
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, memperkenankan pendirian bank-bank
swasta baru antara lain dengan penetapan syarat modal disetor minimal Rp 10
milyar, juga memberikan kesempaatan untuk mendirikan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) dengan modal minimum Rp 50 juta, dan memperingan persyaratan
bagi bank menjadi bank devisa.( http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-
49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19386/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf)
Setelah diluncurkannya deregulasi tersebut, dalam kurun waktu 1988-
1996 bisins perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan yang sangat pesat itu ternyata tidak dapat mendorong terciptanya
industri perbankan yang kuat. Krisis keuangan yang melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang sangat buruk pada sektor
perbankan. Beberapa indikator kunci perbankan pada tahun 1998 berada pada
kondisi yang sangat buruk. Kinerja industri perbankan nasional pada waktu itu
jauh lebih buruk dibandingkan kondisi perbankan dibeberapa negara Asia yang
juga mengalami krisis ekonomi, seperti Korea Selatan, Malaysia, Philipina dan
Thailand. Non Performing Loan (NPL) bank-bank komersial mencapai 50%,
tingkat keuntungan industri perbankan pada titik minus 18%, dan Capital
Adequacy Ratio (CAR) menunjukan kondisi minus 15%.(Hawkins,1999)
Terpuruknya sektor perbankan akibat krisis ekonomi memaksa pemerintah
melikuidasi bank-bank yang dinilai tidak sehat dan tidak layak lagi untuk
beroperasi. Keputusan likuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dianggap
sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor
perbankan. Sebenarnya, tindakan likuidasi itu diambil untuk mencegah semakin
meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya resiko yang ditanggung
masyarakat (econimic cost). Selain itu, keputusan likuidasi itu juga merupakan
hasil evaluasi dan rekomendasi IMF pada tannggal 31 Oktober 1997.
Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian
tertolong dengan dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi
“merger dan akuisisi”. Banyak perusahaan melakukan merger dan akuisis
dikarenakan mengalami kesulitan dalam pendanaan dan dengan harapan agar
dapat memperkuat struktur modal dan memperoleh keringanan pajak. Dengan
adanya merger dan akuisisi, perusahaan dapat melanjutkan usahanya dengan
bantuan dari perusahaan yang memiliki kelebihan terutama di bidang pendanaan
perusahaan.
Keputusan Merger dan akuisisi diambil oleh perusahaan-perusahaan
perbankan di Indonesia. Dari 101 bank yang merger dan akuisisi, 71 bank
dilikuidasi dan hanya 30 bank yang masih beroperasi itupun tidak berlangsung
lama. Sebab, mereka hanya mampu bertahan hingga tahun 1998. Sebanyak 18
bank dibekukan dan dilikuidasi. Selebihnya 12 bank, masih beroperasi hingga
tahun 2001. (Kusmargiani,2006)
Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki tujuan utama untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah demi terciptanya struktur
perekonomian nasional yang dinamis, sehat dan kuat. Tujuan utama BI tersebut
tidak dapat dilepaskandari tugas-tugas pokoknya yang terdapat dalam UU Nomor
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yakni; menetapkan dan melaksankan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta
mengatur dan mengawasi bank. Mengacu pada ketentuan tersebut maka sangat
jelas bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan
kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
bank-bank yang ada di Indonesia.
Berdasarkan data Direktori Perbankan Indonesia 2007 dinyatakan bahwa
saat ini jumlah bank di Indonesia mencapai angka 128 bank, baik itu bank persero
atau pemerintah, bank umum swasta nasional devisa maupun bank umum swasta
nasional non devisa, bank asing dan bank campuran serta bank pembangunan
daerah (BPD). Diketahui juga bahwa 92 (sembilan puluh dua) bank di Indonesia
dikendalikan oleh satu tangan dengan jumlah saham lebih dari 51%. Sedangkan
bank yang para pemegang sahamnya memiliki kurang dari 30% saham hanya
terdapat 10 (sepuluh) bank. Sisanya sebanyak 36 bank, pemegang saham
pengendalinya memiliki saham sebesar 30-50%. Dan dari beberapa bank yang
sahamnya tampak pecah-pecah, ternyata kepemilikannya masih dalam lingkup
keluarga. Artinya 66,8% bank Indonesia kepemilikan sahamnya dikuasai oleh satu
pemegang saham mayoritas yang secara otomatis memegang kendali atas bank
(Pratiwi,2008).
Selain itu, berdasarkan catatan biro riset infobank, diketahui pula bahwa
pada bank yang telah go public kepemilikan saham mayoritas masih berada diatas
51%. Hal ini menunjukan bahwa bank yang telah go public tidak mengakibatkan
kepemilikannya menjadi lebih tersebar. Dapat dilihat pada PT Bank CIMB Niaga
Tbk dan PT Bank Lippo Tbk, walaupun sudah go public kompisisi saham dari
pemegang saham pengendali Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo masih berada
diatas 50%. Sedangkan pemegang saham publiknya hanya mengantongi lebih
kurang 10% dari total komposisi saham yang ada di Bank CIMB Niaga dan Bank
Lippo.
Dalam rangka menghadapi segala perubahan dan tantangan tersebut, Bank
Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia mengeluarkan Arsitektur Perbankan
Indonesia (selanjutnya diingkat API). Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat
menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk
rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan
pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API
dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien
guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Guna mempermudah pencapain visi API, maka dijabarkan 6 (enam)
sasaran yang ingin dicapai. Keenam pilar tersebut adalah : a. Menciptakan
struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang
berkesinambungan; b. Menciptakan pengaturan dan pengawasan bank yang
efektif dan mengacu pada standar internasional; c. Menciptakan industri
perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki
ketahanan dalam menghadapi risiko; d. Menciptakan good corporate governace
dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional; e. Mewujudkan
infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang
sehat. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Perwujudan visi API dan sasaran yang ditetapkan, serta mengacu kepada
tantangan-tantangan yang dihadapi perbakan, maka keenam pilah API tersebut
akan dilaksankan melalui beberapa program kegiatan. Salah satunya program API
adalah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu
prasyarat untuk untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan
kuat. Penerapan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi
sehingga dapat meningkatkan efektifitas pengawasan bank.
Sehubungan dengan hal tersebut dan penggabungan bank yang kini
semakin marak mengingat persaingan yang ketat, ekspansi bank besar dan dan
tekanan dari Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan yang berencana
mempercepat konsolidasi perbankannya. Pada tanggal 5 Oktober 2006, Bank
Indonesia selaku pemegang otoritas moneter menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 6/18/2006 tentang Kebijakan Kepemilikan Tunggal Pada
Perbankan Indonesia (Single Presence Policy) dalam rangka menata kembali
struktur kepemilikan perbankan. Kebijakan ini sebenarnya merupakan salah satu
rangkaian upaya Bank Indonesia dalam mewujudkan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) khususnya pilar kesatu yaitu terwujudnya struktur perbakan
nasional yang sehat dan pilar ketiga yaitu peningkatan sistem pengawasan yang
independen dan efektif. Bank Indonesia mensyaratkan pihak yang menjadi
pemegang saham pengendali pada lebih dari satu bank untuk melakukan
penyesuaian struktur kepemilikannya dalam bank-bank tersebut paling lambat
sampai dengan akhir 2010, melalui cara-cara sebagai berikut :
a) Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah
satu bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang
bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu
bank; atau
b) Melakukan penggabungan atau konsolidasi bank-bank yang
dikendalikannya; atau
c) Membentuk perusahaan induk dibidang perbankan.
Dengan diterapkannya kebijakan kepemilikan tunggal, maka secara tidak
langsung pemegang saham pengendali yang memiliki saham pengendali lebih dari
satu bank harus memilih untuk melakukan divestasi saham, merger maupun
membentuk bank holding company. Pada Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo
pemegang saham pengendali kedua bank ini dimiliki oleh Khazanah Berhard yang
merupakan investor asing dari Malaysia. Merger kedua bank ini merupakan
merger pertama bank yang diakibatkan penerapan Single Presence Policy di
Indonesia. Tentu ini bukan merupakan merger yang biasanya terjadi di Indonesia,
masalah dalam merger akan lebih kompleks karena kedua bank memiliki kekuatan
dan kewenangan masing-masing yang besar.
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank
Indonesia (BI), Halim Alamsyah, mengatakan pihaknya telah mengeluarkan ijin
prinsip untuk Bank Niaga dan Bank Lippo melakukan merger. Merger ke dua
bank ini sejalan dengan ketentuan `single presence policy` yang dirilis Bank
Indonesia (BI), sehingga pemegang saham pengendali di lebih dari satu bank
harus menyerahkan rencana bisnisnya paling lambat akhir tahun 2007. Pilihannya
ada tiga yaitu merger, menjual saham, atau membentuk induk perusahaan .
( http://www.antaranews.com/view/?i=1212147874&c=EKB&s=)
Pada 1 November 2008, Bank CIMB Niaga (dahulu Bank Niaga) dan
Bank Lippo, dua entitas bank terkemuka di Indonesia, telah bergabung menjadi
Bank CIMB Niaga. Penggabungan kedua bank tersebut merupakan opsi terbaik
bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang diambil oleh Pemegang
Saham dalam rangka mematuhi kebijakan Bank Indonesia (BI) khususnya
mengenai Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Present Policy (SPP).
Setelah Pemegang Saham kedua bank menyetujui rencana penggabungan merger
sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Juli 2008,
Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo memasuki tahap integrasi, yang meliputi
berbagai aspek legal, operasional dan organisasi, diantaranya termasuk Produk
dan Layanan, Business Unit, Sales and Distribution, Human Resources, IT and
Operations, dan Corporate Office.
Merger adalah sebagai penggabungan (fusi) atau suatu proses peleburan
(absorbsi) dari suatu benda kepada benda atau hak lain. Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas menggunaka istilah “penggabungan” untuk pengertian merger
ini. Alasan perusahaan lebih tertarik memilih merger sebagai strateginya daripada
pertumbuhan internal adalah karena merger dianggap jalan cepat untuk
mewujudkan tujuan perusahaan dimana perusahaan tidak perlu memulai dari awal
suatu bisnis baru. Merger juga dianggap dapat menciptakan sinergi, yaitu nilai
keseluruhan perusahaaan setelah merger yang lebih besar daripada penjumlahan
nilai masing-masing perusahaan sebelum merger. Selain itu merger dapat
memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan antara lain peningkatan
kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan
efisiensi berupa penurunan biaya produksi. Dengan demikian, tujuan
menggabungkan usaha melalui merger diharapkan dapat meningkatkan kinerja
perusahaan.
Sebagai lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang memilki kelebihan
dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana, diperlukan bank dengan kinerja
keuangan yang sehat, sehingga fungsi intermediasi dapat berjalan lancar.
Beberapa penelitian tentang penilaian kinerja bank pada industri perbankan yang
didasarkan pada rasio-rasio dari laporan keuangan pernah dilakukan sebelumnya.
Dalam penelitian ini kinerja keuangan bank akan dilihat dari segi tingkat
kesehatan bank tersebut.
Perbankan Indonesia dapat menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi
ekonomi dan menggunakan prisip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian ini
tercermin pada tingkat kesehatan yang penilaiannya dilakukan setiap tiga bulan
sekali yang dikenal dengan metode CAMELS. Dan metode CAMELS ini
diterapkan baik pada bank umum konvensional, bank umum syariah, maupun
pada unit usaha syariah.
Metode CAMELS merupakan metode penilaian tingkat kesehatan yang
digunakan di Indonesia dan teratur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
9/1/PBI/2007 tanggal 12 April 2004 untuk bank umum (perubahan dari UU No.
10 tahun 1998). Penilaian tingkat kesehatan ini mencakup enam faktor yaitu :
1. Permodalan (capital)
2. Kualitas aset (asset quality)
3. Manajemen (management)
4. Rentabilitas (earning)
5. Likuiditas (likudity)
6. Sensitivitas terhadap resiko pasar (sensitivity to market risk)
Faktor keenam ini baru muncul diakhir tahun 1997 lalu. Diantara keenam
fator tersebut faktor permodalan (capital), kualitas aset (asset quality),
manajemen (management), rentabilitas (earning), dan likuiditas (liquidity) yang
paling sering digunakan dalam berbagai penelitian dikarenakan kemudahan
perhitungan dan ketersediaan informasi.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul : “Analisis Kinerja Keuangan PT Bank CIMB Niaga
Tbk Sebelum dan Sesudah Melakukan Merger Dengan Menggunakan
metode CAMEL“
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukaan diatas, penulis
membatasi permasalahan pada kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum dan
sesudah merger, sehingga dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga
sebelum dan sesudah merger berdasarkan CAMEL.
2. Bagaimana perbandingan skor CAMEL Bank CIMB Niaga sebelum dan
sesudah merger.
3. Apakah ada perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank CIMB
Niaga sebelum merger dan sesudah merger berdasarkan CAMEL selama
periode penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, tujuan
penelitian ini adalah :
1. Mengetahui perkembangan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga
sebelum dan sesudah merger berdasarkan CAMEL.
2. Mengetahui dan membandingkan perkembangan skor CAMEL Bank
CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger.
3. Mengetahui perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank CIMB
Niaga sebelum dan seseudah merger berdasarkan CAMEL selama
periode penelitian.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Kontribusi teoritis
Merger Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo merupakan merger pertama
bank yang diakibatkan penerapan Single Presence Policy di Indonesia. Tentu ini
bukan merupakan merger yang biasanya terjadi di Indonesia, masalah dalam
merger akan lebih kompleks karena kedua bank memiliki kekuatan dan
kewenangan masing-masing yang besar.
Penelitian ini terfokus pada kinerja keuangan sebelum merger dan sesudah
merger dengan menggunakan metode CAMEL. Apabila pembuktian empiris nanti
menunjukan bahwa kinerja keuangan sebelum dan sesudah merger tidak ada
perbedaan yang signifikan, maka hasil ini sesuai dengan pendapat Fritsch (2007)
yang menyatakan bahwa merger yang terjadi pada dua perusahaan yang relatif
berimbang tidak menghasilkan perubahan profitabilitas dan efisiensi pengeluaran
secara signifikan. Kinerja hasil merger tidak berubah bila merger dilakukan antar
perusahaan yang sebanding. Apabila penelitian ini terbukti berbeda secara
signifikan, maka faktor penyebabnya diharapkan dapat teridentifikasi, sehingga
dapat memberikan kontribusi terhadap teori.
2. Kontribusi praktis
Penelitian ini diharapkan akan memberikan bukti empiris mengenai
perbedaan kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
merger. Apabila kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah merger
terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan, maka bank dapat memanfaatkan
hasil penelitian ini agar dapat menjaga tingkat kesehatan bank yang diukur
melalui metode CAMEL sehingga bank tersebut memiliki kesempatan untuk
meningkatkan kinerja keuangan setelah merger. Apabila kinerja keuangan setelah
merger mengalami peningkatan kinerja dari sisi komponen CAMEL, maka hasil
penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi bank sebagai pertimbangan
dalam pengambilan keputusan bank dimasa yang akan datang.
1.5 Definisi Variabel-variabel Penelitian
1. Aspek Permodalan (Capital Adequancy)
Dalam penelitian kecukupan modal dinilai berdasarkan rasio modal
terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) yang dinamakan
dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau
Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu sebagai berikut :
𝐶𝐴𝑅 = 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑛𝑘 (𝑖𝑛𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜 (𝐴𝑇𝑀𝑅)× 100%
Pengertian Capital Adequacy Ratio (CAR) menurut Dendawijaya
(2006;121) adalah :
“Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kinerja bank untuk
mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang
aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit
yang diberikan.”
2. Aspek Kualitas Aset (Asset Quality)
a. Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva
Produktif (APYDAP).
Rasio ini digunakan untuk mengetahui perbandingan
antara aktiva produktif yang sudah maupun yang tidak berpotensi
memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian, yaitu
sebagai berikut :
𝐴𝑃𝑌𝐷𝐴𝑃 = 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑘𝑙𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 × 100%
b. Rasio Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Rasio ini digunakan untuk mengetahui sebarapa besar
tingkat Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang
telah diwajibkan untuk dibentuk. Rasio ini dirumuskan sebagai
berikut :
𝑃𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢𝑎𝑛 𝑃𝑃𝐴𝑃 = 𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘
𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 × 100%
3. Aspek Manajemen (Management)
Aspek manajemen pada penilaian kinerja bank tidak dapat
menggunakan pola yang ditetapkan Bank Indonesia, tetapi diproksikan
dengan Net Profit Margin (NPM), sebagai berikut :
𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 × 100%
4. Aspek Rentabilitas (Earning)
Rentabilitas digunakan untuk menilai keberhasilan bank dalam
menghasilkan laba sebelum pajak melalui penanaman yang dilakukan
untuk seluruh aktiva yang dimilki. penilaian ini meliputi rasio laba
terhadap total aset (ROA) dan perbandingan biaya operasi dengan
pendapatan operasi (BOPO).
a) Return On Asset (ROA)
ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba)
secara keseluruhan. Perhitungan rasio ini dirumuskan sebagai berikut
:
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡 × 100%
b) Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO).
Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank
dalam melakukan kegiatan operasinya. Rasio BOPO dirumuskan
sebagai berikut :
𝐵𝑂𝑃𝑂 = 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 × 100%
5. Aspek Likuiditas (Likuidity)
Dalam perbankan, rasio likuiditas terdapat dua macam, yaitu LDR
(Loan to Deposit Ratio) adalah rasio antara jumlah seluruh kredit yang
diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini
dirumuskan sebagai berikut :
𝐿𝐷𝑅 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 × 100%
1.6 Outline Skripsi
Outline penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan penyanpaian
informasi berdasarkan urutan dan aturan logis penelitian. Skripsi ini disajikan
penulis dengan urutan yang dimulai dari bab I mengenai pendahuluan, yang
meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, serta definisi variabel-variabel penelitian dan outline skripsi.
Kemudian dilanjutkan dengan bab II mengenai kajian pustaka yang membahas
lebih dalam mengenai teori yang digunakan dan definisi pengembangan
hipotesis. Selanjutnya diiukuti bab III mengenai metode penelitian yang
digunakan. Pada bab IV membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan.
Dan bab paling akhir dari skripsi ini adalah bab V yang membahas mengenai
kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.