abdul wahid pluralisme pandangan agama agama
Embed Size (px)
DESCRIPTION
AgamaTRANSCRIPT
-
1
Pluralisme dalam Pandangan Agama-Agama di Indonesia
Oleh: Abdul Wahid
I. Pendahuluan
Salah satu misi utama yang diusung gerakan pluralisme adalah relativitas
kebenaran bagi setiap agama di dunia, sebagai bentuk toleransi untuk memelihara
kerukunan hidup antarumat beragama di tengah-tengah keragaman agama yang
berkembang saat ini.1 Dengan menyatakan bahwa semua agama benar, para
pengusung pluralisme agama, seperti Schleiermacher dan John Hick, berharap
tidak ada lagi agama yang mengklaim sebagai pemilik kebenaran hakiki karena
pada hakikatnya, menurut Schleiermacher, agama itu merupakan hasil dari
berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, sehingga setiap agama
yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.2 Hal senada juga
dikemukakan John Hick yang melihat bahwa konflik keagamaan di berbagai
tempat diakibatkan tidak adanya toleransi atau saling pengertian antar-pemeluk
agama yang berbeda. Ia berpendapat bahwa pluralisme agama akan menjadi solusi
yang tepat untuk mencegah konflik antarumat beragama dan menciptakan
keharmonisan umat manusia di dunia. Hal ini bisa terwujud jika masing-masing
pemeluk agama bisa bersikap toleran dengan mengakui eksistensi agama masing-
masing dan tidak beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar.3
Konsep relativitas kebenaran yang diusung paham pluralisme tersebut bisa
menggoyahkan keyakinan para pemeluk agama. Karena kebenaran agama sudah
tidak mutlak lagi, maka muncullah skeptisisme di kalangan para penganut agama
yang akhirnya berujung pada ateisme dan agnostisisme.4 Para penganut agama
meninggalkan agama karena sudah tidak percaya lagi terhadap agama. Pada
akhirnya, agama hanya tinggal nama dan tidak memiliki penganut lagi. Walaupun
agama-agama yang ada di dunia masih dianut para pengikutnya, namun eksistensi
tiap-tiap agama hanyalah formalitas belaka. Paham pluralisme memaksakan
keseragaman agama-agama, sehingga harus mengorbankan keyakinan akan
kebenaran mutlak yang diyakini masing-masing agama.5 Dengan kata lain,
gerakan ini sangat membahayakan eksistensi agama yang berujung pada upaya
terminasi agama-agama.
Doktrin pluralisme agama yang menganggap semua agama itu sama telah
lama masuk ke Indonesia dan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial
1 M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Shadra Press, 2010), hal.
37. 2 Ibid, hal. 19.
3 Ibid, hal. 37-38.
4 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif
Kelompok Gema Insani, 2005), hal. 139. 5 Ibid, hal. 142.
-
2
khususnya keagamaan.6 Pluralisme agama merupakan problem semua umat
beragama. Menanggapi gerakan ini, Pdt. Stevri Indra Lumintang menyatakan
bahwa Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius
bagi kekristenan.7 Sementara Dr. Anis malik Thoha menjelaskan bahwa
pluralisme agama adalah agama baru oleh karena itu konsep ini sangat
berbahaya, dan perlu mendapat perhatian dan kewaspadaan yang ekstra ketat dari
seluruh pemeluk tiap-tiap agama di dunia.8 Di kalangan umat Hindu juga
melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme agama adalah paham
universalisme radikal yang intinya menyatakan bahwa semua agama adalah
sama.9 Dari sini bisa kita pahami bahwa banyak dari kalangan pemikir agama-
agama tidak setuju dengan doktrin pluralisme agama.10
Perkembangan pluralisme agama di Barat sebenarnya bisa kita telusuri
dari pemikiran dua tokoh ternama yang berkecimpung di dalamnya. yaitu John
Hick dengan paham Teologi Global (Global Theology)11
nya dan Frithjof Schuon
mengenai paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of
Religions).12
Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-
masing hingga akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran di
atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda. Teologi Global (Global
Theology) lahir dari rahim globalisme Barat.13
Berbeda dengan Teologi Global,
6 Lihat Pengantar dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA. Tahun 1 No.
3, SeptemberNovember 2004, hal. 5.
7 Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu (Pluralisme Iman) (Malang: YPPII, 2002),
Cetakan Pertama, hal. 15
8 Dr. Anis Malik Thoha, Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi
Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam
ISLAMIA. Thn. 1 No 4, JanuariMaret, 2005, hal. 59.
9 Ngakan Made Madrasuta (ed). Semua Agama Tidak Sama. (Media Hindu, 2006) hal.
xxx.
10 Lihat Harold Coward. Pluralisme Tantangan Bagi AgamaAgama. (Yogyakarta:
Kanisius, cetakan kesembilan, 2003), hal. 56.
11 John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, Terj. Amin Maruf dan Taufik Aminuddin,
(Interfidei, Cet. 1, 2006), hal. 65
12 Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perennis, bahwa setiap
agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil. Lihat Adnin
Armas, Gagasan Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-Agama dalam Majalah pemikiran
dan Peradaban Islam ISLAMIA. Thn I No 3, September-November 2004, hal. 9-10
13 Akibat globalisme membuat agama-agama berkoeksistensi antara satu dengan yang
lain, Hick mengajukan teologi global sebagai solusi yang kompetibel dengan memodfikasi klaim
eksklusivime dan inklusivisme agama-agama, Lih: Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian
and Islamic Philosophy: the Though of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Curzon Press, Cet. 1,
1998), hal. 99
-
3
Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions) yang lahir
sebagai kritik terhadap globalisme dan modernitas Barat yang anti agama.14
Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas lebih lanjut konsep-konsep
paham pluralisme dari sudut pandang agama-agama. Bagaimanakah agama-agama
memandang pluralisme yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun agama yang
berhak mengklaim sebagai agama yang paling benar itu?
II. Pembahasan
A. Pengertian Pluralisme
1. Makna Pluralisme
Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu pluralism. Asal katanya
adalah plural yang artinya jamak, lebih dari satu (more than one).15
Dari berbagai
kamus pluralism dapat disederhanakan ke dalam dua pengertian: pertama,
pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku,
aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan
yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut (the existence
within society of diverse groups, as in religion, race, or ethnic origin, which
contribute to the cultural matrix of the society while retaining their distinctive
characters). Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang
benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (No view is true, or that all
view are equally true).16
Dari kedua pengertian tersebut di atas, pluralisme bisa dipahami
menghargai keragamaan dan perbedaan dengan cara merelatifkan kebenaran. Hal
ini bisa dilihat dari pengertian kedua yang bermakna relativitas kebenaran, yaitu
suatu pandangan atau paham yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak
atau setiap pendapat bisa sama-sama benar.
Sementara Moqsith Ghazali, seorang tokoh pluralisme di Indonesia
menyatakan bahwa pluralisme itu bukan berarti menyamakan agama-agama. Ia
membantah pernyataan MUI yang melarang pluralisme karena paham ini
mengusung misi menyamakan semua agama. Menurutnya, menyamaratakan
semua agama itu bukanlah esensi dasar dari pluralisme.17
Pluralisme justru
14
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif;
Kelompok Gema Insani, 2007), hal. 117-118
15 A.S Hornby, Oxford Advanced Leaners Dictionary of Corrent English, (London:
Oxford University Press, 1983, Cet. 11), hal. 889;
16 The New International Websters Comprehensive Dictionary of The English Language,
(Chicago: Trident Press International, 1996), (pluralism), hal. 972; Simon Blackburn, Oxford
Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press), see: pluralism; Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 855
17 Abdul Moqsith Ghazali, Metodologi Berfatwa dalam Islam, hal. 130.
-
4
mengakui keragaman dan mempertahankan perbedaan, bukanlah memaksakan
sama. Maka, pluralisme datang untuk membuat berbagai perbedaan itu hidup
berdampingan.
Pernyataan Moqsith jelas bertentangan dengan kenyataan. Pada saat
pluralisme mengatakan mengakui dan menghormati perbedaan, ketika itu pula
pluralisme tidak mau menghormati perbedaan keyakinan suatu agama yang
mengklaim sebagai agama yang paling benar. Inilah rancunya paham pluralisme.
Wacana pluralisme ini erat kaitannya dengan pemikiran Barat postmodern.
Dalam bukunya yang berjudul Postmodernism and Islam, Akbar S. Ahmed
menyebutkan bahwa paham postmodernisme mengandung semangat pluralisme.18
Wajar saja, postmodernisme memiliki paham utama yang menjadi intinya, yaitu
subyektivitas dan relativitas kebenaran.19
Paham ini menganut pemikiran anti
agama yang bisa asalnya bisa ditelusuri dari para pemikir Barat, seperti Nietzche
(1844-1900). Ia telah mereduksi nilai-nilai agama yang absolut itu dengan
teriakannya tentang kematian Tuhan. Pemikirannya itu kemudian dikenal dengan
istilah nihilisme. Jika sudah berpandangan seperti ini, maka tak ada lagi
kebenaran yang mutlak. Semuanya relatif.
2. Pluralisme Agama
Saat pluralisme bersentuhan dengan agama, paham ini kemudian dikenal
dengan istilah pluralisme agama (religious pluralism). Pada perkembanganya,
istilah ini (pluralisme agama) telah menjadi terminologi khusus yang sudah baku
(technical term). Pengertiannya tidak bisa hanya berdasarkan kamus-kamus
bahasa. Walaupun di dalam kamus terdapat makna pluralisme yang artinya
toleransi atau sikap saling menghormati keunikan masing-masing. Akan tetapi,
pluralisme agama telah menjadi sebuah paham yang memaknai pluralitas agama
sebagai sebuah keniscayaan sekaligus memandang semua agama sama, tidak
berbeda satu sama lain.20
18
Lengkapnya, penuturan Akbar S Ahmed: To approach an understanding of the
postmodernist age is to presuppose a questioning of, a loss of faith in, the project of modernity; a
spirit of pluralism; a heightened scepticism of traditional orthodoxies; and finally a rejection of a
view of theworld as a universal totality, of the expectation of final solutionsand complete answers.
Lih: Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, (London and New
York: Routledege, Cet. 1, 1992), hal. 10
19 Lebih jelasnya tentang posmodernisme, lih: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi
Pemikiran Islam: Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonisalis, (CIOS: ISID, Cet. 1,
2008), hal. 20
20 Dalam bahasa Hick Other Religions are equally valid ways to the same truth, John B
Cobb Jr Other: Other Religions speak of different but equally valid truths, Raimundo Panikkar:
Each religion expresses an important part of the truth, atau menurut Seyyed Hosein Nasr: setiap
agama sebenarnya mengekspresikan adanya: The One in The Many. Lih: Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani,
2005), hal. 339
-
5
Pemahaman demikian paling tidak dapat ditelusuri dari dua aliran
pluralisme, yaitu Teologi Global (Global Theology) dan Kesatuan Transenden
Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Diperkenalkan oleh John Hick
yang dikenal sebagai seorang teolog Kristen Protestan, Teologi Global (Global
Theology) merupakan pemahaman yang berkembang dari globalisme Barat.21
John Hick mengemukakan teori tentang revolusi teologis dari pemusatan agama-
agama menuju pemusatan Tuhan (the transformation from religion-centredness to
God-centerdness). Tidak hanya itu, ia berpandangan bahwa agama apapun yang
ada di dunia ini hanyalah realitas dari respon budaya manusia yang berbeda-beda
dari Satu Yang Nyata (The Real).22
Dengan ini, Hick mencoba menjelaskan
bahwa kebenaran agama tidak bisa bersifat monolitik atau tunggal tapi bersifat
plural sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran agama yang
merupakan respon dari budaya manusia.23
Berbeda dengan John Hick yang mengusung teori Teologi Global-nya,
Fritchof Schuon memperkenalkan teori Kesatuan Transenden Agama-agama
(Transcendent Unity of Religions), sebagai kritik terhadap globalisme dan
modernitas Barat yang antiagama. Schuon membagi agama-agama kepada dua
hakikat: eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (bathiniyah). Menurut teori ini, semua
agama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya hanyalah
bentuk lahiriyah (eksoterik), yang dipisahkan oleh garis horizontal dan bertemu
pada hakikat esoterik. 24
Sebenarnya, Schuon mencoba untuk mengajak manusia agar sepakat
memandang semua agama hanyalah merupakan perwujudan beragam dari hakikat
esoterik yang tunggal. Menurutnya, dimensi esoterik itulah yang absolut,
sedangkan dimensi eksoterik bersifat relatif. Dengan demikian, semua agama
dapat hidup berdampingan atau berkoeksistensi satu sama lain.25
B. Konsep Global Theology John Hick
21
Akibat globalisme membuat agama-agama berkoeksistensi antara satu dengan yang
lain, Hick mengajukan teologi global sebagai solusi yang kompetibel dengan memodfikasi klaim
eksklusivime dan inklusivisme agama-agama, Lih: Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian
and Islamic Philosophy: the Though of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Curzon Press, Cet. 1,
1998), hal. 99
22 John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, Terj. Amin Maruf dan Taufik Aminuddin,
(Interfidei, Cet. 1, 2006), hal. 65
23 Lebih jelasnya, baca: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis
(Jakarta: Perspektif; Kelompok Gema Insani, 2007), hal. 83
24 Lih: gambaran Huston Smith, dalam pengantar buku Schuon, Frithjof Schuon, The
Transcendent Unity of Religions, (Quest Book Theosopical Publishing House, Cet. 2, 1993), hal.
xii
25 Lebih jelasnya, Lih: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hal. 117-118
-
6
Konsep Global Theology yang diusung John Hick ini, jika ditelusuri lebih
jauh, maka konsepnya sangat terpengaruh oleh pandangan Smith. Hick dalam
analisisnya mengenai fenomena pluralitas agama menyatakan bahwa Wilfred
Cantwell Smith dalam teori-teorinya tentang agama adalah yang paling
bertanggung jawab dalam menciptakan perubahan cara pandang orang-orang
terhadap kehidupan agama manusia.26
Penyataan ini bisa menjadi legitimasi
sekaligus mengajak orang menggunakan cara pandang Smith, agar mendapatkan
pandangan yang benar dan obyektif, atau setidaknya mendekati obyektif, terkait
fenomena keragaman agama-agama yang ada. Pernyataannya itu juga bisa
menjadi bukti terpengaruhnya Hick oleh gagasan-gagasan atau pandangan-
pandangan Smith. Hal ini sesuai dengan pengakuan Hick di dalam kata
pendahuluan salah satu bukunya.27
Hick menafsirkan fenomena pluralitas agama berdasarkan kesimpulan
Smith bahwasanya kehidupan spiritual keagaman manusia tidaklah berhenti dan
tetap (static), melainkan senantiasa baru, berkembang dan berubah-ubah secara
terus menerus sesuai dengan perubahan masa dan perkembangan akal manusia.
Dari sini, dengan serta merta, ia masuk untuk membangun teori pluralisme yang
relevan dengan era globalisasi saat ini.28
Ia berkata:
Religions as institutions, with the theological doctrines and the
codes of behaviour that form their boundaries, did not come about
because the religious reality required this, but because such a
development was historically inevitable in the days of undeveloped
communication between the different cultural groups. Now that the
world has become a communicational unity, we are moving into a new
situation in which it becomes both possible and appropriate for
religious thinking to transcend these cultural-historical boundaries.29
(Agama-agama sebagai institusi-institusi, dengan doktrin-
doktrin teologis dan etika-etika perilaku yang membentuk tapal-batas-
tapal-batasnya, tidaklah timbul karena realitas agama memang
meniscayakan hal itu, tapi karena perkembangan semacam ini memang
merupakan sesuatu yang secara historis tak terhindarkan ketika sarana
komunikasi antar berbagai kelompok kultural masih belum maju. Kini
bahwa dunia telah menjadi satu kesatuan komunikasional, kita sedang
bergerak menuju sebuah situasi baru di mana wacana atau pemikiran
26
John Hick, Religious Pluralism, in Frank Whaling, (ed.), The Worlds Religious
Traditions: Current Perspectives in Religious Studies (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984), hlm. 147.
27John Hick, An Interpretation of Religion, (Gifford Lecture, 1986-87), hlm. xiii-xiv
28Lihat: John Hick, Philosophy of Religion (New Delhi: Prentice Hall, [1963] 3rd ed.
1983), hlm. 112-13.
29Ibid, hlm. 113.
-
7
keagamaan menjadi mungkin dan patut untuk melampaui batas-batas
kultural dan historis ini.)
Wacana keagamaan lintas kultural ini, menurut Hick, harus dibungkus
dalam kemasan yang ia sebut sebagai Global Theology (teologi global). Karena
menurutnya, teologi global akan relevan dengan fenomena pluralitas agama
sebagai bentuk kehidupan beragama yang realistis.30
Dalam pandangannya, jika
dianggap tidak mungkin adanya agama universal, maka sebetulnya ada
kemungkinan untuk menggagas cara-cara dan upaya-upaya untuk mencapai
teologi global (suatu terminologi yang menurutnya preferable).31
Menurut Hick, upaya untuk mencapai teologi global tentu saja tidak
mudah, tapi juga tidak mustahil. Maka, ia menggulirkan sebuah tesis tentang
transformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan tuhan (the transformation
from self-centredness to Reality-centredness). Di sini tampak bahwa dalam
melihat fenomena agama, Hick menggunakan terminologi self (diri) sebagai
pengganti religion (agama). Ia mengikuti kacamata Smithian yang mengganti
istilah agama dengan iman dan himpunan tradisi. Iman Smithian ini, oleh
Hick didefinisikan sebagai something of vital religious significance (sesuatu
makna keagamaan yang vital). Ia kemudian berpendapat bahwa iman dalam arti
seperti ini memiliki bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks bermacam-
macam tradisi historis di seluruh dunia.32
Hick memahami iman ini sebagai the
exercise of cognitive freedom (latihan kebebasan kognitif).33
Dan dalam hal ini
seluruh manusia sama, yaitu mulai dari respons yang negatif, tertutup, dan
eksklusif, sampai respons yang positif, terbuka terhadap eksistensi ketuhanan
yang dapat menggeser dan menaikkan derajat dan level spiritual seseorang dan
secara gradual menuju eksistensi ketuhanan34
atau yang ia namakan dalam
bukunya yang lain sebagai radical self-transcendence (transendensi-diri yang
radikal) dalam berbagai bentuknya.35
Secara praktis, proses transformasi ini
terjadi pada diri semua manusia secara sama, tidak ada perbedaan yang prinsipil
antara yang satu dengan yang lain dalam berbagai konteks keagamaan. Dengan
kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan
30
John Hick, God and the Universe of Faiths, hlm. 106.
31Lihat: John Hick, God Has Many Names (London: Macmillan, 1980), hlm. 8.
32Hick, Religious Pluralism.... hlm. 148; dan ---------, Problems of Religious Pluralism,
hlm. 29.
33Hick menjelaskan hal itu dalam bukunya An Interpretation of Religion, hlm. 160.
34Hick, Religious Pluralism,.... hlm. 148; ----------, Problems of Religious Pluralism,
hlm. 29.
35Lihat: Hick, An Interpretation..,.... hlm. 161.
-
8
monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau
ajaran-ajaran yang dilalui manusia sebagai respon terhadap Realitas ketuhanan
yang absolut.36
Tesis inilah yang menjadi salah satu doktrin penting dalam konsep
teologi global Hick.
Selanjutnya, jalan menuju teologi global akan semakin terbuka jika
pemahaman terhadap konsep Tuhan juga direvolusi. Hal ini bisa dimaklumi
karena untuk mendukung salah satu doktrin penting teologi global; yaitu jalan
keselamatan tidaklah monolitik, diperlukan konsep tentang Tuhan yang sesuai.
Oleh karena itulah Hick memilih menggunakan terminologi the Real (Zat yang
Nyata) sebagai pengganti terminologi God (Tuhan). Kemudian ia bedakan antara
the Real an sich atau the noumenal Real (Zat yang Nyata sebagaimana
adanya) dan the phenomenal Real (Zat yang Nyata sebagaimana yang tampak
oleh manusia melalui tradisi dan agama yang berbeda-beda).37
Menurut Hick,
kesalahan umum yang dilakukan manusia sampai saat ini adalah meyakini bahwa
Tuhan yang mereka ketahui melalui kacamata-kacamata tradisional dan kultural
mereka Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa dsb. adalah Tuhan atau
Realitas ketuhanan yang absolut, dan oleh karenanya merupakan titik pusat dan
pangkal keselamatan satu-satunya. Padahal tidak demikian sebenarnya, karena
Tuhan-tuhan tersebut, menurut hipotesa Hick, hanyalah gambaran dari Realitas
ketuhanan yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas oleh segala macam
ungkapan, konsepsi, dan pemahaman.38
Oleh karena itu, The Real inilah yang
menjadi sentra yang sebenarnya.
Selanjutnya Hick melihat bahwa mayoritas umat beragama memiliki
pandangan yang keliru terhadap keselamatan, pembebasan dan pencerahan.
Pandangan keliru itu ia sebut sebagai nalar teologi Ptolemaik, sebagaimana
astronomi Ptolemaik menganggap bahwa planet bumi merupakan pusat sistem
tata-surya dan bahwa semua benda-benda langit berevolusi dan berrotasi
mengelilingi bumi. Makna analogisnya, setiap pengikut agama menganggap
36
Teori ini adalah teori yang berusaha ditekankan dan dikukuhkan Hick dalam semua
karyanya, khususnya bukunya yang berjudul Problems of Religious Pluralism yang
menggabungkan delapan makalahnya yang pernah dipublikasikan di beberapa buku dan jurnal.
Buku ini mulai awal hingga akhir mengupas wacana ini secara detail dan komprehensif.
37Wacana tentang ketuhanan menurut John Hick merupakan wacana epistemologis. Oleh
karena itu, ia mengikuti epistemologi Kantian yang membedakan antara noumenon (thing an
sich, atau thing as it is in itself, yakni sesuatu sebagaimana adanya) dan phenomenon (thing as
experienced by human being, yakni sesuatu sebagaimana yang tampak oleh manusia). Kemudian
ia mengaplikasikannya pada konsep Tuhan, walaupun Kant sendiri sebenarnya tidak
melakukannya. Karena menurut Kant, hal itu di luar kemampuan akan manusia.
38John Hick berkali-kali mengulang analisis Kantiannya ini di berbagai karyanya, lihat
misalnya: Hick, Philosophy of Religion, hlm. 118-121; ---------, Religious Pluralism, hlm. 159-
164; ---------, Problems of Religious Pluralism, hlm.39-44; ---------, An Interpretation of Religion,
hlm. 240; ---------, The Real and Its Personae and Impersonae, hlm. 143-58.
-
9
bahwa agamanya merupakan pusat dunia agama-agama dan bahwa agama-agama
lain berevolusi dan berrotasi mengelilinginya.39
Implikasinya, doktrin Kristen
tidak ada keselamatan di luar Kristen, atau doktrin Islam agama yang benar di
sisi Allah hanyalah Islam adalah teologi Ptolemaik.
Di mata Hick, nalar teologi Ptolemaik sangat problematis. Hal ini
disebabkan karena di era globalisasi, di mana tumbuh dan berkembang penemuan-
penemuan baru ilmiah dan sosio-kultural, khususnya di bidang astronomi dan
ilmu perbandingan agama, orientasi pandangan semacam ini, menjadi sesuatu
yang baseless, dan untenable (tak mungkin dipertahankan), serta harus
diperbaharui sebagaimana yang ia katakan, Kita harus melakukan apa yang
disebut revolusi Copernican dalam teologi agama-agama.40 Kemudian ia
menjelaskan lebih lanjut:
Now the Copernican revolution in astronomy consisted in a
transformation in the way in which men understood the universe and
their own location within it. It involved a shift from the dogma that the
earth is the centre of the revolving universe to the realization that it is
the sun that is at the centre, with all the planets, including our own
earth, moving around it. And the needed Copernican revolution in
theology involves an equally radical transformation of the universe of
faiths and the place of our own religion within it. It involves a shift
from the dogma that Christianity is at the centre to the realization that
it is God who is at the centre, and that all the religions of mankind,
including our own, serve and revolve around him.41
(Kini revolusi Copernican dalam astronomi terjadi karena
sebuah transformasi dalam cara manusia memahami alam dan posisi
mereka di dalamnya. Transformasi ini melibatkan suatu pergeseran
dari dogma bahwa bumi adalah pusat dari alam yang berputar
mengelilinginya menuju sebuah pemahaman bahwa mataharilah
sesungguhnya yang berada di pusat, dan semua planet, termasuk bumi
kita, bergerak mengelilinginya. Dan revolusi Copernican yang
diperlukan dalam teologi melibatkan sebuah transformasi yang sama
radikalnya berkenaan dengan alam agama-agama dan tempat atau
posisi agama kita sendiri di dalamnya. Ia melibatkan sebuah
pergeseran dari dogma bahwa Kristen berada di pusat, menuju
39
Hick, God Has Many Names,...hlm. 51.
40Ibid.
41John Hick, God and the Universe of Faiths, hlm. 130. Penjelasan singkat tentang teori
ini juga dapat ditemukan dalam buku-buku Hick yang lain, seperti berikut: Hick, John, God Has
Many Names, hlm. 52; ----------, Whatever Path Men Choose is Mine, hlm. 182; dan ----------,
Trinity, Incarnation and Religious Pluralism, hlm. 199.
-
10
pemahaman bahwa Tuhanlah yang berada di pusat, dan semua agama-
agama manusia, termasuk agama kita, berputar di sekelilingNya).
Revolusi Copernican dalam teologi mengharuskan umat beragama untuk
tidak lagi meyakini bahwa hanya agamanyalah yang benar. Karena sebenarnya
seluruh agama menyembah Tuhan yang sama yaitu The Real. Dialah yang
menjadi pusat dari agama-agama di dunia ini sebagaimana matahari menjadi
pusat planet-plenet. Dari sini bisa dicatat bahwa Hick yang seorang Kristen,
ingin mengajak saudaranya yang beragama Kristen yang masih meyakini
absolutisme Kristen, untuk merevolusi keyakinannya. Namun ia juga
mengharapkan revolusi teologis seperti ini juga diterapkan kepada seluruh
agama.42
Karena menurutnya inilah satu-satunya solusi yang aplikatif dalam
membangun kehidupan bersama yang penuh dengan kedamaian, kesetaraan, dan
toleransi diantara agama-agama dan budaya yang sangat beragam dan saling
bertentangan, sebagai jawaban atas tantangan globalisasi.
C. Kesatuan Transenden Agama-Agama
Frithjof Schuon43
dengan gagasannya Transcendent Unity of Religions44
.
Gagasan ini menegaskan Tuhan yang disembah oleh agama adalah sama meski
dengan nama yang berbeda. Jadi di balik perbedaan agama-agama, ada harapan
untuk bertemu pada level transcendental yakni Tuhan. Kesatuan terjadi pada level
Tuhan yang disembah bukan pada tataran yang nampak. Schuon mengatakan
bahwa bila tidak ada persamaan pada agama-agama, maka kita tidak akan
menyebutnya dengan nama yang sama agama.45
42
Lihat: ----------, Problems of Religious Pluralism, hlm. 50-1; dan ----------, Trinity,
Incarnation and Religious Pluralism, hlm. 199.
43 Schuon lahir di Basel, (1907-1998) adalah pemikir terbesar dari ranah tradisionalis di
bidang agama dan dikenal sebagai penggagas dari religio perennis, yang dalam kehidupan
pribadinya dikenal juga sebagai seorang guru Sufi bernama Syaikh Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Alawi al-Maryam setelah ia memeluk Islam. Selengkapnya lihat Jean-Baptiste Aymard dan Patrick Laude, Frithjof Schuon; Life and Teachings, (Pakistan: Suhail Academy
Lahore, 2005), Seyyed Hossein Nasr and William Stoddart (Eds.), Religion of the Heart; Essays
presented to Frithjof Schuon on his eightieth birthday, 1st Edition, (Washington: Foundation for
Traditional Studies, 1991), dan Seyyed Hossein Nasr, (Ed.), The Essential Writing of Frithjof
Schuon, (New York: Amity House, 1986).
44
Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perennis, bahwa
setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil. Lihat
Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-Agama di ISLAMIA,
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn I No 3, September-November 2004, hal. 9-10.
45Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy, Daphne Buckmaster (Ed.) .J.
Peter Hobson (Tr.). 1st Edition by (World of Islam Festival Publishing Company Ltd, 1976), hal. 9.
-
11
Schuon mengatakan bahwa agama-agama berbeda dalam aspek-aspek
eksternal (exoteric) namun mempunyai unsur batin (esoteric) yang sama46
. Dari
asumsi ini, ia berkesimpulan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu
pada dimensi Kebenaran (Tuhan yang sama)47
.
Dimensi Esoterik adalah dimensi yang mengandung aspek metafisis dan
internal agama yang bersemayam di tataran Transenden lagi suci.48
Tanpa
esoteris, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek eksternal dan dogmatis-
formalistik. Kehidupan beragama eksoterisme ada pada dunia bentuk (a world of
forms), namun bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the Formless Essence)
yang esoteris.49
Intinya ide ini menekankan terdapat kesamaan dalam dimensi
esoterik agama, meskipun pada kenyataan berbeda bentuk ritual keagamaan,
doktrin, kitab suci, ibadah dan segala macam yang nampak secara lahiriah.
Meskipun agama memiliki perbedaan dalam level eksoterik tetapi cenderung
sama pada level esoterik. Sehingga tidak mengherankan apabila kemudian ada
istilah Satu Tuhan, banyak jalan.
Lalu jika yang Absolut hanya dicapai pada level esoterik maka baginya
setiap agama akan bertemu pada level ini.50
Schuon nampaknya memberi kesan
bahwa setiap pemeluk agama seakan-akan meyembah Tuhan yang sama meski
dengan cara yang berbeda. Padahal kenyataannya tidak demikian, bagaimana
mungkin setiap agama yang memiliki konsepsi yang berbeda-beda mengenai
Tuhan bisa bersatu dan bertemu.51
Schuon memiliki banyak pengikut, diantara
yang paling setia adalah Seyyed Hossein Nasr, dan Indonesia, idenya sering
dijadikan rujukan, diantaranya adalah oleh Nurcholis Madjid dan Jaluddin
46 Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, terj. Arif Mulyadi dan Ana
farida, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Lentera Basritama 2002), cetakan pertama, hal.
144. Lihat juga Frithjof Schuon, Gnosis: Divine Wisdom, a new translation with selected letters,
Mark Perry et al (Trs.), (Canada: World Wisdom, 2006), p. 4-5. U.S.A: Wheaton-The
Theosophical Publishing House,1984). Selain Schuon sebelumnya telah ada Hazrat Imayat Khan
misalnya dengan gagasan semisal, The Unity of Religious Ideals, juga Bhagavan Das, The
Essential Unity of All Religions. 47 Schuon mengatakan esoterism is revelation and its interiorizing realize totality to the
same extent, Frithjof Schuon, Esoterism, hal. 15.
48
Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism, 1st Edition (Pakistan:
Suhail Academy Lahore, 2005), hal. 115. Dengan jalan Transendental dapat ditemukan norma-
norma abadi dari inti setiap ajaran agama-agama. Frithjof Schuon, Roots, p. 68.
49 dimensi esoteris agama-agama itu berada di atas eksoteris, pada dimensi esoteris
terdapat titik temu agama-agama. Lihat Frithjof Schuon, The Essential Writings, Seyyed
Hossein Nasr (Ed.), hal. 15.
50 semua kebenaran menurut Schuon berada di luar bentuk, Frithjof Schuon, Survey of
Metaphysics and Esoterism, hal. 90. Juga Frithjof Schuon, The Essential Writings, Seyyed Hossein
Nasr (Ed.), hal. 149.
51 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 9.
-
12
Rahmat.52
Dengan cara transendental ini, ditemukan adanya norma-norma abadi
yang hidup dalam hati setiap agama-agama maupun tradisi-tradisi spiritual kuno
yang olehnya disebut The Heart of Religion yang bersifat Ilahi.53
Secara konseptual, ide Schuon bermasalah. Sebenarnya perbedaan tidak
hanya terjadi pada level eksoterik karena pada level esoterik pun terjadi
perbedaan diantara agama-agama.54
Jelas sekali ia mencoba untuk membenarkan
semua agama. Itupun ia dasarkan pada intelek.55
Al-Quran banyak mengkritisi
dimensi esoterik dari agama-agama lain. Jika sama, dalam Islam tidak akan ada
sebutan untuk shirk, kafir dan dawah. Diutusnya nabi untuk berdakwah adalah
justru karena di tataran esoterik berbeda. Dalam Islam dimensi esoterik agama
tidak bisa dipisahkan dengan dimensi eksoterisnya. Syeikh Nawawi al-Jawi
mengatakan bahwa syari'at nabi diteruskan dan disempurnakan oleh nabi
setelahnya.56
Dengan demikian (Truth claim) harus dibela sekaligus diterima,57
karena secara jelas ajaran agama menjelaskannya. Yang perlu dicatat adalah truth
claim tidak mesti dengan kekerasan antar agama.
D. Pandangan Agama-Agama Terhadap Pluralisme
1. Pandangan Katolik
Semakin gencarnya gerakan pluralisme agama membuat para tokoh
agama-agama bereaksi memberi tanggapan dan penolakan. Dari kalangan tokoh
Katolik, Paus Yohannes Paulus II, telah mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Dominus Jesus pada tahun 2000 untuk menolak paham pluralisme agama
tersebut. Tokoh Katolik lainnya, Prof. Frans Magnis Suseno telah menulis buku
52
setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Kata pengantar Cak Nur dalam buku Tiga Agama Satu Tuhan, ter. Santi Indra Astuti, (Bandung:
Mizan, 1999), hal. xix. Dengan bahasa yang hampir sama Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam
dan Pluralisme: Akhlak Quran Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 34. 53
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
(Jakarta: Srigunting, 2004). hal. 116. 54
sedangkan dalam Islam tidak adak perbedaan antara level esoteric dan eksoterik,
keduanya harus menjadi satu. Ma'rifat dan haqqah haruslah sejalan dengan tharqah dan syarah.
Selebihnya lihat Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-Agama,
dalam ISLAMIA, Thn I No 3, September-November 2004, hal. 16.
55 intelek menurut Schuon adalah cara satu-satunya untuk mencapai kebenaran metafisik,
tetapi dalam kesempatan lain ia menyatakan bahwa sumber pengetahuan kita tentang Allah adalah
pada saat yang sama adalah akal dan wahyu. Frithjof Schuon, Gnosis, chapter 2, dikutip dari The
Essential Writings, hal. 150. Pada prinsipnya intelek mengetahui segalanya. Frithjof Schuon, Logic and Transcendence, 1
st Edition, (New York: Harper & Row Publisher Inc, 1984), hal. 71-72.
Jadi menurutnya intelek memiliki posisi dan peran yang khusus. 56
lihat Muhammad bin 'Umar Nawawi al-Jawi, Maroh Labid Li Kasyfi Ma'na al-Qur'an
al-Majid Jilid I (Beirut: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), hal. 280.
57 Tidak seperti pendapaat Charles Kimball lihat dalam karyanya When Religion Becomes
Evil, terj. Nurhadi, Kala Agama Jadi Bencana, (Bandung: Mizan, 2003), cetakan pertama.
-
13
berjudul Menjadi Saksi di Tengah Masyarakat Majemuk untuk menanggapi
gerakan ini.58
Menurut Frans Magnis Suseno di bukunya tersebut, pluralisme
agama adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran sebagaimana
dikemukakan para pengusungnya seperti John Hick, Paul F. Knitter dari kalangan
Protestan dan Raimundo Panikkar dari Katolik. Mereka mengganggap agama
yang mengklaim sebagai yang paling benar itu merupakan kesombongan.
Vatikan menerbitkan penjelasan Dominus Jesus pada tahun 2000 untuk
menolak paham pluralisme agama.59
Penjelasan ini menyatakan secara tegas
penolakan Gereja Katolik terhadap paham pluralisme Agama sekaligus
mempertegas kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara
keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
Di kalangan Katolik sendiri, Dominus Jesus menimbulkan reaksi keras.
Frans Magnis sendiri mendukung Dominus Jesus itu, dan menyatakan, bahwa
Dominus Jesus itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, pluralisme agama
hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran daripada sikap
inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan toleransi namanya jika untuk mau
saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka
yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan Kristianitas. Pluralisme mengusulkan
agar masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari
ungkapan religiusitas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kebenaran
mutlak tidak masuk akal. Namun yang nyatanya menjadi tuntutan kaum pluralis
adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al-Quran memberi
petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia
selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya. Dari
kaum Kristiani, kaum pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus
itu Sang Jalan, Sang Kehidupan dan Sang Kebenaran, menjadi salah satu
jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan
keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya melalui Putra manusia bisa
sampai ke Bapa.
58
Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta:
Penerbit Obor, 2004), hal. 59.
59 Dominus Jesus dikonsep dan semula ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger dan
dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 2000. Dokumen ini telah menimbulkan perdebatan sengit di
kalangan Kristen, termasuk intern Katolik sendiri. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan
di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious
Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya
ini, Dupuis menyatakan, bahwa kebenaran penuh (fullness of truth) tidak akan terlahir sampai
datangnya kiamat atau kedatangan Yesus kedua. Jadi, katanya semua agama terus berjalan
sebagaimana Kristen- menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam
kerendahan hati karena kekuarangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut. (Perdebatan
tentang Dominus Jesus bisa dilihat, misalnya, dalam John Cornwell, The Pope in Winter, (London:
Penguin Books, 2005), hal. 192-199.
-
14
Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan:
Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina
kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua
menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang
sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama
lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam
keberagaman mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan format
penuh identitas masing-masing yang tidak sama.60
2. Protestan
Berbeda dengan agama Katolik yang memiliki pemimpin tertinggi dalam
hirarkis Gereja (Paus), dalama kalangan Protestan tidak bisa ditemukan satu sikap
yang sama terhadap paham pluralisme agama. Teolog-teolog Protestan banyak
yang menjadi pelopor paham ini. Meskipun demikian, dari kalangan Protestan,
juga muncul tantangan keras terhadap paham pluralisme agama.
Poltak YP Sibarani dan Bernard Jody A. Siregar menjelaskan alasan
penolakan Protestan terhadap pluralisme agama:
Pluralisme bukan sekadar menghargai pluralitas agama tetapi
sekaligus menganggap (penganut) agama lain setara dengan agamanya.
Ini adalah sikap yang mampu menerima dan menghargai dan
memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta
mengakui adanya jalan keselamatan di dalamnya. Di satu pihak, jika
tidak berhati-hati, sikap ketiga ini dapat berbahaya dan menciptakan
polarisasi iman. Artinya, keimanannya atas agama yang diyakininya
pada akhirnya bisa memudar dengan sendirinya, tanpa intervensi pihak
lain.61
Sebuah kajian dan kritik yang serius terhadap paham pluralisme agama
dilakukan oleh Pendeta Dr. Stevri I. Lumintang, seorang pendeta di Gereja
Keesaan Injil Indonesia. Kajian Stevri Lumintang dituangkan dalam sebuah buku
berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam
Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).
60
Sikap Katolik yang menolak paham pluralisme agama sangatlah logis, sebab
meskipun dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah mengubah sikapnya terhadap agama-
agama lain, tetapi Konsili juga menetapkan Dekrit Ad Gentes (kepada bangsa-bangsa) yang
mewajibkan seluruh Gereja untuk menjalankan kerja misionaris. Dalam pidatonya pada tanggal 7
Desember 1990, yang bertajuk Redemtoris Msi
61 Poltak YP Sibarani & Bernard Jody A. Siregar, Beriman dan Berilmu: Panduan
Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa, (Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2005),
hal. 126.
-
15
Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah
posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan
integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya
yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun
dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-
abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan
juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini. Namun, teologi ini sedang
meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan
membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Juga dikatakan di dalam buku ini:
Inti Teololgi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan
terhadapp intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena,
perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-
agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan
yang menghalangi perwujudan teologi mereka. batu sandungan utama
yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan
ialah klaim keabsolutan dan kefinalitasan kebenaran yang ada di
masing-masing agama. di dalam konteks kekristenan, mereka harus
menghancurkan keyakinan dan pengajaran tentang Yesus Kristus
sebagai pernyataan Allah yang final.62
Menurut Stevri Lumintang:
Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius
bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekadar konsep sosiologi,
anthropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab,
melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi,
dan diilhami oleh keadaan sosial-politik yang didukung oleh kemajemukan etnis,
budaya, dan agama; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat
relativisme yang mengiringinya. Pluralisme secara terang-terangan menolak
konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif, dan keunikan Yesus Kristus.
Kristus bukan lagi satu-satunya penyelamat, melainkan salah satu penyelamat.
Inilah pluralisme, dan di sinilah letaknya kehancuran kekristenan masa kini,
sekalipun pada hakikatnya kekristenan tidak akan pernah hancur. Penyangkalan
terhadap semua intisari kekristenan ini, pada hakikatnya adalah upaya untuk
membangun jalan raya bagi lalu lintas teologi agama-agama atau Theologia Abu-
Abu (pluralisme). Oleh karena itu, semua disiplin ilmu teologi diupayakan untuk
dikaji ulang (rekonstruksi) untuk membersihkan teologi Kristen dari rumusan-
rumusan tradisional atau ortodoks, yang pada hakikatnya merupakan batu
62
Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme
dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 235-236.
-
16
sandungan terciptanya Theologia Abu-Abu atau teologi agama-agama (Theologia
Religionum).63
Dalam Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(DKG-PGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29
November-5 Desember 2004, masalah pluralisme agama tidak dibahas secara
eksplisit. Tetapi, dokumen ini menunjukkan sikap eksklusivitas teologis kaum
Protestan. Misalnya bisa dilihat dalam Bab IV: Bersaksi dan Memberitakan Injil
kepada Segala Makhluk, yang menegaskan: Gereja Harus Memberitakan Injil
kepada Segala Makhluk. Disebutkan dalam bagian ini: Gereja-gereja di
Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan
menyeluruh, untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta
keutuhannya: bahwa Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang
seutuhnya...
Dalam Tata dasar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada pasa
Dalam Tata dasar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada pasal 3
(Pengakuan) disebutkan:
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengaku bahwa Yesus Kristus
adalah Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber kebenaran dan
hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja, sesuai dengan Firman Allah
dalam Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (1 kor. 3 : 11): Karena
tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah
diletakkan yaitu Yesus Kristus. (bnd. Mat. 16 : 16 ; e. 4 : 15 dan UI. 7 : 6).64
Di dalam acara kebaktian Minggu, kaum Kristen biasanya mengucapkan
apa yang mereka sebut sebagai sahada rasuli atau pengakuan iman rasuli yang
juga disebut dua belas pengakuan iman, yang bunyinya: (1). Aku percaya
kepada Allah Bapa, yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi. (2) Dan kepada
Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita, (3) yang dikandung daripada
Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, (4) yang menderita di bawah
pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam
kerajaan maut. (5) pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati, (6)
naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa, (7) dan akan
datang dari sana untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, (8) Aku
percaya kepada Roh Kudus, (9) gereja yang kudus dan am; persekutuan orang
63
Ibid, hal. 15.
64 Weinata Sairin (ed), Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (DKG-PGI), (Jakarta: BPK, 2006).
-
17
kudus; (10) pengampunan dosa, (11) kebangkitan daging, (12) dan hidup yang
kekal.65
3. Hindu
Salah satu buku yang secara keras membantah paham pluralisme agama
berjudul Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006. Dalam
buku ini, pahama pluralisme agama disebut sebagai paham Universalisme
Radikal yang intinya menyatakan, bahwa semua agama adalah sama. Buku ini
diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma, induk umat Hindu di Indonesia.
Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya
dengan judul Mengapa Takut Perbedaan? Ngakan mengkritik pandangan yang
menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian orang
Hindu Pluralis yang suka mengutip Bagawad Gita IV:11:
Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku
terima.
Padahal, jelas Ngakan: Yang disebut Jalan dalam Gita adalah empat
yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga
ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu
menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu bagi pemeluknya, sesuai dengan
kemampuan dan kecenderungannya.66
Bagian pertama buku ini memuat tulisan Giridhar Mamidi yang diberi
judul Semua Agama Sederajat? Semuanya Mengajarkan Hal yang Sama? Di
sini, penulis berusaha membuktikan bahwa semua agama tidaklah sama. Hanyalah
orang-orang Hindu yang suka menyatakan, bahwa semua agama adalah
mengajarkan hal-hal yang sama. Bahkan, Bharat Ratna Bhagavandas menulis satu
buku berjudul The Essential Unity of Religious (Kesatuan Esensial dari Semua
Agama). Mahatma Gandhi pun mendukung gagasan ini.67
Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, mengecam keras
orang-orang Hindu yang menyama-nyamakan agamanya dengan agama lain.
65
Dr. Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, (Jakarta: BPK, 2001), hal. 11. Kaum Katolik
di Indonesia juga menggunakan istilah sahadat untuk menyebut Nicene Creed yang salah satu
versi redaksinya berbunyi: Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-
hal yang kelihatan dan tak kelihatan, dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah,
Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua
ciptaan, dilahirkan dari Bapa, sebelum segala abad... (Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab
Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 73.
66 Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006), hal.
xxx.
67 Ibid, hal. 3
-
18
Biasanya kaum Hindu pluralis menggunakan metafora gunung (mountain
metaphor), yang menyatakan:
Kebenaran (atau Tuhan atau Brahman) berada di puncak dari sebuah
gunung yanga sangat tinggi. Ada berbagai jalan untuk mencapai puncak gunung,
dan dengan itu mencapai tujuan tertinggi. Beberapa jalan lebih pendek, yang lain
lebih panjang. Jalan itu sendiri bagaiamna pun tidak penting. Satu-satunya yang
sungguh penting, adalah para pencari semua mencapai puncak gunung itu.68
Morales menjelaskan, bahwa tidak setiap agama membagi tujuan yang
sama, konsepsi yang sama mengenai Yang Absolut, atau alat yang sama untuk
mencapai tujuan mereka masing-masing. Tapi, ada banyak gunung filosofis
yang berbeda-beda, masing-masing dengan klaim mereka yang sangat unik untuk
menjadi tujuan tertinggi upaya spiritual seluruh manusia. Universalisme Radikal
yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama adalah doktrin yang sama
sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional.69
Menurut Morales, gagasan persamaan agama dalam Hindu menjadi
populer saat disebarkan oleh sejumlah tokoh Hindu sendiri. Ia menyebut nama
Ram Mohan Roy (1772-1833) yang dikenal dengan ajaran-ajarannya yang
sinkretik. Roy yang juga pendiri Brahmo Samaj, dipengaruhi ajaran-ajaran Gereja
Unitarian, sebuah sekte atau denominasi agama Kristen heterodoks. Sebagai
tambahan mempelajari agama Kristen, Islam, dan Sansekerta, dia belajar bahasa
Ibrani dan Yunani dengan impian untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa
Bengali. Ia mengaku sebagai pembaru Hindu dan memandang agama Hindu
melalui kaca mata kolonial Kristen yang telah dibengkokkan.
Lebih jauh Morales menulis:
Kaum misionaris Kristen memberi tahu Roy bahwa agama Hindu
tradisional adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan,
ketahyulan, dan kebodohan kepada rakyat India. Dia mempercayai mereka...
Dalam semangat misionaris untuk mengkristenkan agama Hindu, kaum pembaru
Hindu ini bahkan menulis satu traktat anti-Hindu dikenal sebagai The Precepts of
Jesus: The Guide to Peace and Happiness (Ajaran-ajaran Yesus: Penuntun
kepada Kedamaian dan Kebahagiaan). Dari kaum misionaris Kristen ini secara
langsung Roy mendapat bagian terbesar dari ide-idenya, termasuk ide anti-Hindu
mengenai kesamaan radikal dari semua agama.70
68
Ibid, hal. 22.
69 Ibid, hal. 23.
70 Ibid, hal. 45-46.
-
19
Pengganti Roy berikutnya adalah Debendranath Tagore dan Kashub
Chandra Sen, yang mencoba menggabungkan lebih banyak lagi ide-ide Kristen ke
dalam noe-Hinduisme. Sen bahkan lebih jauh lagi meramu kitab suci Brahmo
Samaj yang berisi ayat-ayat dari berbagai tradisi agama yang berbeda, termasuk
Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Budhis. Dengan Kejatuhan Sen ke dalam
kemurtadan anti-Hindu dan megalomania, gerakan ini menurun secara drastis
dalam pengaruh pengikutnya, tulis Morales. Pada abad ke-19, muncul dua tokoh
Universalis Radikal dari Hindu, yaitu Ramakrisna (1836-1886) dan
Viverakananda (1863-1902). Di samping dipengaruhi oleh akar-akar tradisi
Hindu, Ramakrishna juga meramu ide dan praktik ritualnya dari agama-agama
non-Vedic, seperti Islam dan Kristen liberal. Sekalipun tetap melihat dirinya
sebagai seorang Hindu, Ramakrishna juga sembahyang di masjid-masjid dan
gereja dan percaya bahwa semua agama ditujukan pada tujuan tertinggi yang
sama.
Gagasan Ramakrishna dilanjutkan oleh muridnya yang sangat terkenal,
yaitu Swami Viverakananda. Tokoh ini dikenal besar sekali jasanya dalam
mengkampanyekan agama Hindu di dunia internasional. Tetapi, untuk
menyesuaikan dengan unsur-unsur modernitas, Viverakananda juga melakukan
usaha yang melemahkan agama Hindu otentik dari leluhur mereka dan
mengadopsi ide-ide asing seperti Universalisme Radikal, dengan harapan
memperoleh persetujuan dari tuan-tuan Eropa yang memerintah mereka ketika itu.
Viverakananda mengadopsi gagasan semacam Universalisme Radikal yang
bersifat hierarkis yang mendukung kesederajatan semua agama, sementara pada
saat bersamaan mengklaim bahwa semua agama sesungguhnya sedang
berkembang dari gagasan religiusitas yang lebih rendah menuju satu mode puncak
tertinggi, yang bagi Viverakananda ditempati oleh Hindu. Morales mencatat:
Sekalipun Viverakananda memberi kontribusi besar untuk membantu
orang Eropa dan Amerika non-Hindu untuk memahami kebesaran agama Hindu,
Universalisme Radikal dan ketidakakuratan neo-Hindu yang ia kembangkan juga
telah mengakibatkan kerusakan besar.71
Pada akhirnya Morales menyimpulkan, bahwa gagasan Universalisme
Radikal yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat
merugikan agama Hindu itu sendiri. Ia menulis:
Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental menenangkan,
namun tanpa pemikiran bahwa semua agama adalah sama, kita sedang tanpa
sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno ini, dan membantu
memperlemah matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang
paling dalam. Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan
71
Ibid, hal 48-51.
-
20
secara bombastik memproklamasikan bahwa semua agama adalah sama, dia
melakukan itu atas dasar kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia
cintai.72
Ketika Hindu menolak paham persamaan agama, maka itu bukan sikap
mudah, sebab pada bagian lain dari buku ini, agama Hindu juga dikatakan sebagai
agama pluralistik. Itu karena di dalam agama Hindu sendiri, terdapat begitu
banyak agama dan perbedaan yang sangat besar antara satu dengan lainnya, di
mana satu dengan yang lain merupakan agama yang berbeda-beda. Ditulis dalam
buku ini:
Agama Hindu adalah agama pluralistik di dunia. Ia mengajarkan bahwa
ada banyak jalan, banyak orang suci, dan banyak kitab suci, dan bahwa tidak ada
agama dapat mengklaim memiliki kebenaran eksklusif. Ini tidaklah berarti bahwa
agama Hindu tidak mengakui satu kesatuan atas kebenaran. Sebaliknya agama
Hindu mengakui satu kesatuan total dan mendalam tapi satu kesatuan yang cukup
luas untuk mengijinkan keberagaman dan mengintegrasikan keserbaragaman,
seperti banyak daun dari sebatang pohon beringin yang besar... Agama Hindu
dibangun di atas keberagaman dan di dalam dirinya memiliki satu variasi yang
mengagumkan, dari guru-guru dan ajaran-ajaran dari apa yang tampak sebagai
bentuk-bentuk yang amata primitif sampai kepada filosofi spiritual dan praktik-
praktik yoga yang paling abstrak. Seseorang dapat mengatakan bahwa terdapat
lebih banyak agama di dalam Hindu daripada di luarnya. Agama Hindu
mempunyai lebih banyak Dewa dan Dewi, lebih banyak pustaka suci, lebih
banyak oran suci, maharesi, dan avatara dibandingkan dengan agama-agama
utama dijadikan satu.73
Tetapi, pluralisme ini diakui masih dalam internal Hindu. Karena itu,
mereka menolak pandangan kaum Hindu modern yang menyatakan, bahwa semua
agama adalah satu, bahwa mereka semua pada akhirnya adalah sama, dan
semuanya sama baiknya. Selanjutnya dikatakan:
Mereka melihat kepada agama-agama yang berbeda sebagai hanya
sekadar jalan alternatif untuk mencapai tujuan yang sama. Ini telah menyebabkan
mereka mencampuradukkan agama-agama yang berbeda menjadi satu, sering
dengan wiweka yang kecil, mencoba menjadikan semua hal untuk semua orang.
Sementara pandangan mereka mungkin dimotivasi oleh satu upaya yang tulus
untuk menciptakan keselarasan agama dan perdamaian dunia, hal ini telah
menimbulkan banyak distorsi. Di atas semua itu, pandangan bahwa semua agama
adalah sama telah melawan pendekatan pluralistik dari tradisi Hindu. Menjadikan
72
Ibid, hal. 106.
73 Ibid, hal. 209-210.
-
21
semua agama sama adalah satu penolakan atas pluralisme dan dapat melahirkan
bentuk lain dari intoleransi.74
4. Islam
Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur sebagai kehendak
Allah (Q.S: Hud: 118) tapi Islam tidak mengakui pluralisme yang memandang
semua agama sama. Hal itu karena adanya perbedaan fundamental secara teologis
antara agama-agama. Islam adalah agama Tawhid yang mengakui Allah sebagai
Tuhan, sedangkan Yahudi mengakui tuhan Yahweh sebagai Tuhan khusus untuk
golongan mereka; Kristen mengimani satu Tuhan namun memiliki tiga unsur;
Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruh Kudus, atau dikenal dengan Trinitas.
Sedangkan agama-agama non semitik seperti Hindu, Majusi, Taoisme dan
lainnya beriman kepada banyak Tuhan atau golongan yang sering disebut
politeistik.75
Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara
teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam, apalagi membuka pintu-
pintu surga bagi mereka seperti usulan pluralis liberal di Indonesia. Bahkan dalam
al-Quran, Islam menyalahkan golongan-golongan yang menyeleweng dari Ahli
Kitab, dan kaum Musyrik lainnya.
Jika pluralisme membenarkan semua agama, Islam tidaklah demikian.
Islam meyakini adanya pluralitas agama-agama sebagai kehendak Allah, tapi
kehendak Allah sebagaimana penjelasan Ibnu Taymiyah terbagi dua: pertama,
Iradah kawniyah, yaitu kehendak ontologis dalam setiap eksistensi kehidupan
sebagai keseimbangan; ada baik dan buruk, cahaya dan gelap, laki-laki dan
perempuan, dan lain sebagainya. Kedua, iradah diniyah, sebagai legislator antara
yang haqq dan yang bathil. Maka ada ciptaan Allah yang Allah menghendakinya
secara kawniyah dan diniyah, seperti; kebaikan, kebenaran, iman, dan segala
sesuatu yang dicintai yang termaktub dalam syariatNya. Dan ada juga
ciptaanNya yang dikehendaki secara kawniyah namun tidak dikehendaki secara
diniyah; seperti kufur, kejelekan, kebathilan dan lain sebagainya. 76
Dalam pandangan Islam, paham pluralisme agama adalah racun, yang
melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam. Islam tegak di atas
landasan syahadat: pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah,
74
Ibid, hal. 213.
75 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis, hal. 28-29
76 Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taymiyah al-Harrani,
Majmu Fatawa, Juz: 18 , Tahqiq: Anwar al-Baz dan Amir al-Jazaar, (Daar al-Wafa, Cet. 3,
1426 H), hal. 134
-
22
tetapi juga mengakui kebenaran kerasulan Muhammad. Inilah yang ditolak keras
oleh kaum Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarah.
Makna Islam itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam
berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab Hadits-nya yang terkenal,
al-Arbain an-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: Islam
adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad utusan Allah, engkau menegakkan
shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan, dan menunaikan haji
ke Baitullah, jika engkau berkemampuan melaksanakannya. (H.R. Muslim).
Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda:
Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat,
pelaksanaan haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Al-Quran sudah menegaskan:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (Q.S. Ali Imran: 85). Sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (Q.S. Ali Imran: 19).
III. Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua agama memiliki
kebenaran mutlak dengan konsep ajaran-ajaran yang tak bisa disamakan. Masing-
masing agama menolak paham pluralisme agama yang mencoba menghilangkan
perbedaan konsep tersebut. Pluralisme agama hanyalah kedok untuk mengikis
keyakinan para pemeluk agama yang pada akhirnya memunculkan orang-orang
ateis. Lama kelamaan, agama-agama di dunia ini kehilangan pengikutnya yang
mulai bersikap skeptis terhadap agama.
Kenyataannya, pluralisme agama tidak menjadi solusi atas keragaman
agama-agama dan keharmonisan hidup manusia. Tapi, pluralisme malah
menimbulkan polemik baru antraagama yang memaksakan pahamnya untuk
menyamakan semua agama. Padahal, konsep masing-masing agama jelas berbeda,
dan tidak bisa disamakan. Karena itulah, pluralisme agama tidak bisa dianut satu
pun agama di dunia ini. Paham ini hanya akan membuat agama-agama kehilangan
identitasnya dan pelan-pelan lenyap tanpa pengikut yang mempercayainya.