abstrak -...
TRANSCRIPT
Kata kunci : perilaku agresi, anak, teleisi.
ABSTRAK
Fakultas PsikologiUniversitas Gunadarma
Maret, 2010Asih Fitri HapsaryPerilaku Agresi Pada Anak Yang Gemar Menonton Tayangan Kekerasan DiTelevisi
Saat ini banyak acara televisi yang ada di masyarakat memang membawaberbagai dampak bagi para pemirsa yang menontonnya, salah satu dampak negatiftelevisi adalah banyaknya tontonan yang menampilkan kekerasan. Adanya tayangantelevisi yang menampilkan adegan kekerasan dapat memberikan pengaruh khususnyakepada anak-anak yang gemar menonton acara televisi tersebut . Kekerasan merupakansalah satu yang sering ditayangkan di layar televisi. Adegan kekerasan ini menyebardalam berbagai jenis program acara. Apakah itu berita, animasi anak, drama dewasa,drama sinetron, olah raga, reality show. Dimana perilaku kekerasan sebagai pengaruhnegatif dalam istilah psikologi disebut agresi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab anak gemar menontontayangan kekerasan, gambaran perilaku agresi pada anak yang gemar menontontayangan kekerasan di televisi dan juga untuk mengetahui faktor -faktor yangmempengaruhi perilaku agresi pada anak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Subjek dalampenelitian ini berjumlah satu orang dengan karakteristik anak yang gemar menontontayangan kekerasan di televisi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku agresi pada anakyang gemar menonton tayangan kekerasan adalah disebabkan karena merupakan hobi,karena dapat menghibur subjek, kegiatan rutin yang selalu dilakukan setiap hari setelahpulang sekolah, karena seru dan menegangkan, dan orang tua subjek tidak pernahmelarang untuk menonton tayangan kekerasan di tv. Gambaran perilaku agresi subjekterdiri dari agresi secara fisik dan verbal. Secara fisik yakni berkelahi; memukul,menendang, mencubit, mengganggu temannya, tidak mengerjakan PR, dan yangtermasuk agresi secra verbal yaitu: menghina dengan kata-kata kasar, berteriak, marah-marah, menolak berbicara, dan mendesak orang tua karena hal sepele. Faktor yangpaling mempengaruhi subjek berperilaku agresi adalah akibat acara-acara di tv yangberadegan kekerasan dan subjek di cap sebagai anak yang nakal oleh orang tua, kakak,dan teman-temannya baik di rumah maupun di sekolahnya, sehingga membuat subjekmerasa menjadi anak yang nakal. Faktor lainnya adalah meniru orang tua, memendamperasan marah, jarang berinteraksi dengan teman sebaya dan lingkungannya, dengankejam menghadapi kekejaman dan orang tua membiarkan anak berperilaku salah.
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesawat televisi adalah sebuah
benda mati yang hampir tidak punya
pengaruh dan arti apa-apa tanpa
sentuhan tangan manusia. Benda ini
menjadi begi tu populer karena
kesanggupannya menerima siaran dari
pemancar yang membawa informasi
audio dan visual. Kedatangannya
disambut sebagai salah satu sarana
hiburan, informasi, pendidikan,
pembelajaran, kebebasan, dan lain-lain.
Namun tidak sedikit yang mengecam
sebagai musuh berbahaya yang
memberikan pengaruh sangat buruk
akibat tayangan yang ditampilkannya
(Mahayoni & Lim, 2007).
Dapat dikatakan saat ini hampir
di setiap rumah mempunyai televisi,
bahkan di satu rumah saat ini ada yang
mempunyai lebih dari satu televisi yang
dapat ditonton secara bebas kapan saja
dan oleh siapa saja para penikmat acara
televisi. Penikmat acara televisi bukan
dari orang dewasa saja, tetapi anak-anak
pun menyukainya. Salah satunya
ditonton oleh anak-anak sekolah dasar,
yang menurut Hurlock (1993) termasuk
dalam periode akhir masa kanak-kanak.
Usianya berlangsung dari usia 6 tahun
sampai sekitar 12 tahun bagi anak
perempuan, dan 13 tahun bagi anak laki-
laki.
Survei Yayasan Kesejahteraan
Anak Indonesia YKAI yang dilakukan
April 2002 pada 5 SD di Jakarta Timur
menunjukkan anak-anak menonton TV
selama 30-35 jam per minggu.
Menonton televisi adalah kegiatan
nomor satu bagi anak-anak selama jam-
jam antara pulang sekolah dan makan
malam. Berdasarkan survei yang
di lakukan atas 1200 anak oleh
Yankelovich Youth Monitor (dalam
Chen, 1996) disebutkan hampir 80
persen anak melaporkan bahwa selama
waktu itu kegiatan mereka terutama
menonton TV. Suatu pengumpulan
pendapat yang dilakukan Newsweek
pada tahun 1992 (dalam Chen, 1996)
mengungkapkan bahwa 49 persen dari
orang-orang yang disurvei menganggap
televisi sebagai pemberi pengaruh
terbesar pada anak-anak, hanya 26
persen responden beranggapan bahwa
pemberi pengaruh terbesar adalah
orangtua, dan 49 persen mengatakan
mereka menganggap hiburan televisi
memberikan pengaruh negatif pada
anak-anak.
Saat ini banyak acara televisi
yang ada di masyarakat memang
membawa berbagai dampak bagi para
pemirsa yang menontonnya. Diantaranya
dampak positif acara televisi, yaitu yang
apada umumnya dapat mempengaruhi
sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan
pada audiens yakni dengan menghipnotis
hingga audiens tersebut dihanyutkan
dalam pertunjukkan televisi. Dennis dan
Mer r i l ( d a la m Wi dod o , 200 8)
menambahkan bahwa dari televisi, orang
dapat belajar banyak tentang informasi
dan memahami tentang dunia dan
b ag a i man a b e r p e r i l a k u d a l a m
masyarakat, antara lain mempelajari
hubungan sosial, nilai-nilai perilaku
sosial dan anti sosial. Sedangkan salah
satu dampak negatif televisi adalah
banyaknya tontonan yang menampilkan
kekerasan. Sears (1991), menyatakan
bahwa meningkatnya proporsi adegan
kekerasan dalam film maupun televisi
melahirkan kekhawat ir an akan
timbulnya pengaruh negatif bagi
penonton. Dimana perilaku kekerasan
sebagai pengaruh negatif dalam istilah
psikologi disebut agresi.
Agresi adalah setiap bentuk
perilaku yang diarahkan untuk merusak
atau melukai orang lain (Baron dan
Byrne, 2004). Sears (1991) meyatakan
bahwa agresi tidak sebatas pada perilaku
namun mencakup juga maksud tindakan
seseorang untuk merusak atau melukai
orang lain. Sears (1991), mengatakan
bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku agresi, yaitu
proses belajar, peniruan (imitasi),
penguatan (reinforcement) dan norma
sos ia l , yang selan ju tnya dapat
mempengaruhi pikiran anak-anak.
Imitasi atau peniruan merupakan
salah satu faktor yang dominan pada
anak-anak, karenanya timbul bahwa
anak-anak sangat rentan terhadap
pengaruh adegan kekerasan di televisi.
Pada tahap ini, anak belum sampai pada
proses berfikir yang terlalu kompleks.
Kemampuan meniru yang sangat besar
m e n y e b a b k a n a n a k m e m i l i k i
kecenderungan meniru apa saja yang
anak lihat dan dijadikan referensi. Tidak
heran apabila anak meniru gaya
Spiderman, Power Ranges, Batman,
Ultraman, Superman, atau Sailormoon .
Apabila sekedar meniru gaya sang tokoh
baik dari model pakaian atau gaya bicara
tentu tidak menjadi masalah. Namun
apabila yang dit iru adalah gaya
menaklukan lawannya seperti pada
t a y a n g a n S m a c k d o w n t e n t u
permasalahan besar akan terjadi. Proses
meniru ini sebenarnya yang berbahaya,
pada saat meniru anak belum dibekali
dengan kemampuan analisis berfikir
yang cukup apakah layak atau tidak dia
meniru sesuatu (Sears, 1991).
B a n y a k a c a r a T V y a n g
ditayangkan untuk anak-anak sekalipun
ternyata tidak cocok untuk anak-anak.
Salah satunya adalah film Tom dan
Jerry. Film kartun yang sering dianggap
lucu ini lebih banyak menonjolkan
adegan kekerasan dibandingkan
persahabatan, kesetiakawanan.
Kemenangan dengan menghalalkan
segala cara juga salah satu ciri khas dari
kartun sang kucing Tom dan sang tikus
Jerry. Bagi anak yang usia dini acara ini
sangat tidak mendidik dan kurang
bermanfaat. Jadi acara yang dibuat untuk
anak pun belum tentu cocok untuk anak
(Mahayoni & Lim, 2007).
Televisi dipercaya mampu
mempengaruhi sikap dan perilaku
penonton. Unsur audio dan visual
merupakan kelebihan televisi dibanding
media lainnya. Kekerasan merupakan
salah satu yang sering ditayangkan di
layar televisi. Adegan kekerasan ini
menyebar dalam berbagai jenis program
acara. Apakah itu berita, animasi anak,
drama dewasa, drama sinetron, olah
raga, reality show. Sekadar mengambil
contoh, adegan kekerasan dalam
program berita, diantaranya; Derap
Hukum (SCTV, Senin & Selasa pukul
21.30 WIB), Buser (SCTV, Senin-Sabtu
pukul 11.30 WIB), Fakta (ANTV,
Kamis pukul 22.00 WIB), Kriminalitas
(ANTV, Rabu pukul 11.00 WIB),
Patroli (Indosiar, Senin-Minggu pukul
11.30 WIB), Bidik ( MetroTV, Rabu dan
Kamis pukul 17.30 WIB), Brutal (Lativi,
Senin-Minggu pukul 18.00 WIB), TKP
Siang ( TV7, Selasa dan Kamis pukul
11.00 WIB), Sergap (RCTI, Senin-Sabtu
pukul 12.30 WIB), Sidik (TPI, Senin-
Minggu pukul 11.00 WIB), Insert
(TransTV, Senin-Minggu pukul 11.00
WIB). Sebenarnya masih banyak lagi
adegan kekerasan yang termuat dalam
berbagai program acara televisi
(Gumilar, 2005).
Efek kekerasan dalam media efek
peniruan atau modeling yang menjadi
karaktersistik anak-anak sekolah dasar
yang lain adalah pengaruh dari
pemaparan terhadap kekerasan dalam
liputan media, pada khususnya
kekerasan di televisi. Diperkirakan
bahwa anak yang rata-rata menonton TV
2 sampai 4 jam tiap harinya, dapat
melihat sekitar 8.000 pembunuhan dan
100.000 tindak kekerasan lain melalui
TV, begitu anak menyelesaikan
pendidikan dasarnya (Eron, dalam
Nevid, Rathus dan Greene, 2005).
Pemaparan terhadap kekerasan dalam
media mungkin berkontribusi pada
perilaku agresif dalam berbagai cara
(Eron, “Health Groups.” Huesmann &
Miller, dalam Nevid, Rathus dan Greene,
2005) . Pemaparan itu mungkin
menyebabkan munculnya pikiran-pikiran
atau impuls-impuls agresif.
Hubungan antara pemaparan
media dengan perilaku agresif dan
tindak kekerasan pada anak bersifat
rumit dan mungkin dua arah. Anak yang
lebih agresif mungkin lebih suka
menonton program-program berisi
kekerasan (DeAngelis, dalam Nevid,
Rathus dan Greene, 2005). Meski begitu
sebagian besar ahli yakin bahwa
pemaparan terhadap kekerasan media
berkontribusi pada agresi dan tindak
kekerasan pada anak-anak dan remaja
(“Health Groups.” 2000; Huesmann &
Miller, dalam Nevid, Rathus dan Greene,
2005). Dalam penelitian-penelitian lain
yang berbasis laboratorium, baik anak
maupun orang dewasa ditemukan
bertindak lebih agresif ketika terpapar
pada kekerasan di televisi atau media
lain (DeAngelis, dalam Nevid, Rathus
dan Greene, 2005). Bukti-bukti juga
menunjukkan peningkatan perilaku
agresif pada anak dan dewasa laki-laki
menyusul pemapar an te rhadap
permainan video yang mengandung
kekerasan (Anderson & Drill, dalam
Nevid, Rathus dan Greene, 2005).
Berbagai peneli t ian telah
menunjukkan bahwa tayangan kekerasan
membawa dampak negatif bagi remaja
dan anak. Semakin meningkatnya angka
kriminalitas, kekerasan fisik, dan
berbagai bentuk kekerasan lainnya baik
yang menimpa perempuan, anak maupun
kekerasan dalam rumah tangga dianggap
sebagai dampak dari maraknya tayangan
televisi yang berbau kekerasan. Oleh
karena itu, stasiun televisi dan rumah
produksi harus memiliki tanggung jawab
moral yang cukup besar tehadap
pengaruh t ayangannya kep ada
penontonnya (Widodo, 2008).
Penelitian ini penting untuk
diteliti karena saat ini semakin banyak
tayangan televisi yang mengandung
unsur kekerasan bagi para penontonnya,
baik dari orang dewasa sampai anak-
anak usia sekolah dasar, dimana anak
usia sekolah dasar sangat rentan untuk
meniru adegan yang ditampilkan oleh
acara-acara televisi yang sering
menonjolkan adegan kekerasan.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Mengapa anak gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi?
2. Bagaimana gambaran perilaku agresi
pada anak yang gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi?
3. Apa faktor-faktor yang
menyebabkan perilaku agresi pada
anak yang gemar menonton tayangan
di televisi.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk
memberikan penje lasan secara
mendalam tentang sebab-sebab anak
gemar menonton tayangan kekerasan,
gambaran perilaku agresi pada anak
yang gemar menonton tayangan
kekerasan di televisi dan juga untuk
mengetahui faktor - faktor yang
mempengaruhi perilaku agresi pada
anak, karena pada usia anak-anak sangat
rentan untuk meniru adegan yang berbau
kekerasan di televisi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan
memiliki dua manfaat yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan yang
bermanfaat bagi perkembangan ilmu
psikologi, khususnya psikologi
perkembangan dan psikologi sosial
sehingga dapat digunakan sebagai
pedoman untuk penelitian lebih lanjut
yang berkaitan dengan perilaku agresi
pada anak yang gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi.
2. Manfaat Praktis
Membantu memberikan
pandangan kepada para orangtua,
guru, serta masyarakat mengenai
gambaran tayangan kekerasan di
televisi terhadap perilaku agresi pada
anak, sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan agar orang tua dapat
lebih selektif memilih program
televisi pada saat anak menonton
tayangan televisi sehingga anak tidak
menonton tayangan yang kurang
mendidik bagi perkembangan diri
anak nantinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Agresi
1. Pengertian Perilaku Agresi
Hampir semua akan setuju
bahwa agresi adalah suatu motif dimana
kita harus tahu lebih banyak. Suatu
gagasan yang berpengaruh tentang
agresi manusia adalah bahwa agresi
adalah bagian dari “sifat dari binatang”
(Freud, Lorenz dalam Morgan dkk.
1986). Istilah agresi sulit untuk
d ip ik i rk an , dan ada b eber ap a
ketidaksepakatan mengenai apa yang
seharusnya disebut agresi dan apa yang
tidak. Berikut adalah pengertian dari
beberapa tokoh dalam menjelaskan
perilaku agresi.
Agresi adalah setiap bentuk
perilaku yang diarahkan untuk merusak
atau melukai orang lain (Baron dan
Byrne, 2004). Sears (1991) meyatakan
bahwa agresi tidak sebatas pada
perilaku namun mencakup juga maksud
tindakan seseorang untuk merusak atau
melukai orang lain. Baron (1997)
berpendapat bahwa agresi adalah
tingkah laku individu yang ditunjukkan
untuk melukai atau mencelakakan
individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut.
Definisi ini mencakup empat faktor,
yaitu : tingkah laku, tujuan untuk
melukai atau mencelakakan, individu
yang menjadi pelaku dan individu yang
menjadi korban, serta ketidakinginan
korban menerima tingkah laku si
pelaku.
Aronson (dalam Koeswara,
1998) mendefinisikan agresi sebagai
tingkah laku yang dijalankan oleh
individu dengan maksud melukai atau
mencelakakan individu lain dengan
ataupun tanpa tujuan tertentu. Moore
dan Fine (dalam Koeswara, 1998)
memandang agresi sebagai tingkah laku
kekerasan secara fisik ataupun secara
verbal terhadap individu lain atau
terhadap obyek-obyek.
Jadi agresi menurut peneliti
adalah perilaku yang diarahkan untuk
melukai atau mencelakakan individu
lain dengan ataupun tanpa tujuan
tertentu, baik dengan kekerasan secara
fisik ataupun secara verbal terhadap
individu lain atau terhadap obyek-
obyek.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Agresi
Menurut Nevid, Rathus &
Greene (2005) ada beberapa faktor
dimana seseorang melakukan agresi
dan kekerasan terhadap orang lain,
diantaranya :
a. Faktor biologis
Pandangan biologi klasik
menya t ak an bahwa agr es i
merupakan produk dari insting
(instinct). Insting adalah pola
perilaku menetap yang dibawa
sejak lahir dan spesifik bagi
an gg o t a s p es i es t e r t en t u .
Pendukung awal dari keyakinan
bahwa agresi manusia merupakan
produk insting adalah Sigmund
F r e u d . F r u e d a k h i r n y a
berkeyakinan akan adanya insting
yang mendasari agresi manusia,
yang disebutnya sebagai insting
kematian (death instinct).
Insting kematian pada
dasarnya memiliki tujuan yang
bersifat self-destructive, karena
tujuan akhirnya mengembalikan
manusia pada kondisi bebas-
ketegangan seperti saat sebelum ia
dilahirkan. Insting kematian dapat
memunculkan perilaku self-
destructive, termasuk bunuh diri.
Kadang kala insting ini diarahkan
pada orang lain dalam bentuk
agresi ke luar, kekerasan, dan
perang.
b. Faktor Sosiobiologis
Menurut pandangan
sosiobiologis, perspektif biologis
yang baru, disebut sosiobiologi
(sociobiology), telah muncul. Para
penganut sosiobiologi tidak
menjelaskan agresi manusia
berdasarkan insting. Mereka yakin
b a h w a k i t a m e w a r i s i
kecenderungan-kecenderungan
atau disposisi-disposisi perilaku,
termasuk kecenderungan agresi,
yang meningkatkan kemungkinan
pertahanan hidup nenek moyang
kita, dan diturunkan secara genetis
pada kita (Gaulin & McBurney,
Goode, Thornill & Palmer, dalam
Nevid, Rathus & Greene, 2005).
Ahli sosiobiologi melihat
b u k t i k o n t e m p o r e r y a n g
menunjukkan anak laki-laki dan
laki-laki dewasa cenderung
agresif daripada perempuan,
konsisten dengan evolusioner ini
(Knight, Fabes, & Higgins, dalam
Nevid, Rathus & Greene, 2005).
Mereka juga melihat ketertarikan
dalam media kontemporer dan
video games merupakan hasil
samping dari warisan agresif kita.
c. Faktor Neurobiologis
Penelitian neurobiologis
kontemporer tentang agresi
banyak memfokuskan pada peran
trasmitter saraf, tertutama
serotonin dan hormon seks
testosteron pada anak laki-laki
( V i r k k u n e n & L i n n o i l a ,
Virkunnen dkk., dalam Nevid,
Rathus
Serotonin
& Greene,
berperan
2005).
sebagai
transmitter saraf yang
menghambat di beberapa bagian
otak, terutama sistem limbik,
bagian otak yang terlibat dalam
mengatur dorongan-dorongan
primitif seperti lapar, haus, dan
agresi. Sistem limbik juga
menjadi kunci dalam belajar,
ingatan, dan pengaturan emosi.
Peneliti menduga bahwa serotonin
menolong mengerem perilaku-
perilaku primitif, ternasuk aksi-
aksi agresi impulsif (Cowley &
Underwood, dalam Nevid, Rathus
& Greene, 2005).
Testosteron juga berimplikasi
terhadap agresi, sebagian fakta
laki-laki cenderung lebih agresif
daripada perempuan (Buss &
Kenrick, Segell, dalam Nevid,
Rathus & Greene, 2005). Peneliti
menemukan bahwa remaja laki-
laki dengan tingkat testosteron
yang tinggi lebih cenderung
berespon agres if terhadap
provokasi daripada sebayanya
(Olweus, dalam Nevid, Rathus &
Greene, 2005). Meski penelitian
lebih lanjut sangat diperlukan,
mengenai kaitan antara testosteron
dan agresi pada laki-laki, mungkin
saja kelebihan dan kekurangan
hormon ini berperan dalam
munculnya perilaku agresif pada
laki-laki.
d. Faktor Sosial-Kognitif
Teoritikus sosial kognitif
seperti Albert Bandura (dalam
Nevid, Rathus & Greene, 2005)
mengajukan pandangan bahwa
agresi merupakan perilaku yang
dipelajari, dimunculkan melalui
cara yang sama seperti perilaku-
perilaku lain. Peran dari modeling
(mel ihat dan meniru) dan
reinforcement digarisbawahi pada
pembelajaran perilaku agresif.
Anak-anak dapat meniru tindak
kekerasan yang diamati di rumah,
di halaman sekolah, di televisi,
atau di media lain. Bila meraka
kemudian di reinforced untuk
bertindak agresif, misalnya
dengan memperolah keinginannya
atau memperoleh persetujuan dan
r as a h o r ma t d ar i se b ay a ,
kecenderungan untuk melakuakn
agresi menjadi lebih kuat sejalan
dengan waktu.
e. Faktor Sosiokultural
Menurut perspektif
sosiokultural, tindak kekerasan
berakar pada penyebab-penyebab
sosial, yang banyak diantaranya
berjalan beriringan, seperti
k e m i s k i n a n , k u r a n g n y a
kesempatan, keretakan keluarga,
dan pemaparan terhadap model-
model peran yang menyimpang.
Stressor-stressor sosial seperti
pengangguran yang berlangsung
lama juga berperan. Perspektif
sosioluktural mengenai kekerasan
j u g a me m p er t i m b an g k a n
bagaimana nilai-nilai budaya dan
metode pengasuhan anak dapat
mengembangkan kekerasan.
f. Faktor Alkohol dan Agresi
Tidak semua orang yang
minum alkohol menjadi agresif.
Meski keterkaitan antara alkohol
dan per i l aku agr es i f pada
dasarnya bersifat korelasional,
s e m a k i n b a n y a k t e m u a n
eksperimental menunjukkan
bahwa alkohol berperan kausal
dalam agresi verbal dan fisik
(Giancola & Zeichner, Ito, Miller,
& Pollock, dalam Nevid, Rathus
& Greene, 2005). Banyak faktor
m u n g k i n t e r k a i t d a l a m
menjelaskan efek alkohol. Di satu
sisi, alkohol menimbulkan efek
kognitif tertentu, seperti merusak
k e m a m p u a n m e n g a m b i l
keputusan.
Hubungan antara tindak
kekerasan dan alkohol serta obat-
obat terlarang bersifat kompleks
dan mungkin dijembatani oleh
sejumlah faktor, termasuk tingkat
dosis dan sensivitas biologis
pengguna terhadap efek obat,
hubungan pengguna dengan
korban, lingkup pertemuan,
termasuk pula faktor-faktor
situasional, individual, dan
sosiokultural.
g. Faktor-faktor Emosional
Faktor-faktor Emosional,
khususnya frustasi dan
kemarahan, sering tampak nyata
dalam perilaku agresif. Frustasi
adalah status emosional yang
berasosiasi dengan terhambatnya
keinginan seseorang untuk
memperoleh suatu tujuan tertentu.
Menurut hipotesis klasik frustasi-
a g r e s i , f r u s t a s i s e l a l u
menghasilkan agresi, dan agresi
selalu merupakan konsekuensi
dari frustasi.
Kemarahan sering merupakan
katalis atau pemicu kekerasan
atau perilaku agresif. Pelaku
k e k e r a s a n p a d a a n a k
melemparkan kemarahan ketika
a n a k g a g a l m e m a t u h i
keinginannya dan tuntutannya.
Ditambah oleh Berkowitz
(1993), jenis kelamin juga
dianggap sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku
agresivitas seseorang. Ia juga
berpendapat perilaku agresivitas
selain dipengaruhi hormon juga
dipengaruhi oleh lingkungan yang
member ikan batasan jelas
mengenai perilaku apa yang boleh
dan yang tidak boleh dilakukan
oleh pria atau wanita. Berkowitz
(1993), menyatakan bahwa ada
hal yang memang sudah ada
dalam tubuh yang mempengaruhi
agresivitas, yaitu hormon seks.
Namun, demikian Berkowitz
(1993), juga menambahkan,
bagaimanapun hormon seks tidak
menyediakan stimuli langsung
u n t u k ag r e s i v i t a s . P e r an
pembentukan gender yang
dipengaruhi oleh budaya yang
berlaku dimana si anak tinggal
d a n d i b e s a r k a n , b a n y a k
mempengaruhi perbedaan jenis
k e l a m i n d a l a m p e r i l a k u
agresivitas.
3. Bentuk-bentuk Agresi
Beberapa psikolog telah
melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi bentuk-bentuk
agresi, baik pada manusia maupun
h e w a n y a n g d i g o l o n g k a n
berdasarkan penyebab munculnya
perilaku agresif tersebut. Bentuk-
bentuk agresi menurut Moyer
(1976), yaitu :
a. Agresi Predator : agresi yang
tampil akibat adanya mangsa.
b. Agresi Antarjantan (Intermale) :
agresi yang tipikal hadir akibat
untuk memenuhi atau mencapai
suatu tujuan tertentu.
4. Sebab-sebab Agresi
Kunci utama penyebab agresi
adalah pengalaman yang tidak
menyenangkan (Berkowitz dalam
R iyan t i & P rabo wo , 19 98) .
Sedangkan frustasi dari suatu motif
sejak awal diusulkan sebagai sebab
dasar dari agresi. Frustasi terjadi
ketika perilaku yang dimotivasi
dihalangi, atau ditutupi, sehingga
tujuan itu tidak dapat dicapai. Bentuk
yang kuat dari hipotesa-frustasi-
agresi (Dollard, dkk. Dalam Riyanti
& Prabowo, 1998)., seperti yang
baru saja disebutkan, menyatakan
bahwa frustasi selalu menghasilkan
agresi, dan semua perilaku agresi
selalu disebabkan oleh frustasi.
Apakah frustasi hasil dari
agresi atau tidak nampaknya
tergantung pada dua faktor. Pertama,
frustasi tersebut harus kuat (Harris
dalam Riyanti & Prabowo, 1998).
Kedua, frustasi harus diterima
s ebaga i has i l da r i t in dakan
sewenang-wenang. Agresi lebih
nampak ketika frustasi diterima
sebagai tidak dapat dibenarkan, dan
hadirnya sesama jantan dalam
satu spesies.
c. Agresi Ketakutan (Fear
individual) : tingkah laku agresif
ini tampil akibat suatu usaha
untuk menghindar dari suatu
ancaman.
d. Agresi Tersinggung (Irritable) :
ditimbulkan oleh perasaan marah
(tersinggung) dan biasanya
respon tampil secara meluas
mengenai objek hidup maupun
mati. Biasanya tampil dalam
lingkungan yang menimbulkan
frustasi deprivasi dan rasa sakit.
e. Agresi Pertahanan (Territorial) :
agresi yang muncul dalam rangka
mempertahankan jenisnya
maupun daerah kekuasaanya dari
suatu ancaman atau biasa juga
disebut sebagai agresi ancaman.
f. Agresi Maternal : tampil hanya
pada golongan betina yang
bertindak agresif untuk
melindungi anak-anaknya dari
bahaya yang sedang dihadapinya.
g. Agresi Instrumental : tingkah
laku agresi yang dipelajari dan
diperkuat oleh stimulus positif
yang diperolehnya biasanya
agresi tidak terjadi sama sekali jika
p e n g h a l a n g d a r i m o t i f
dipertimbangkan benar oleh individu
yang frustasi (Zillmann dalam
Riyanti & Prabowo, 1998).
Barangkali yang umum,
sumber agresi sehar-hari adalah
penghinaan verbal atau penilaian
negatif dari orang lain. Penyebab
sosial lain yang penting dari agresi
manusia adalah kerelaan dengan
suatu otorita yang menyuruh kita
untuk menyerang orang lain. Kondisi
yang tidak menyenangkan atau
kondisi aversif bisa menyebabkan
orang cenderung berperilaku agresif.
Temperatur yang tinggi di atas
temperatur norman (Baron dalam
Riyanti & Prabowo, 1998), suara
yang kuat (Donnerstein & Wilson
dalam Riyanti & Prabowo, 1998),
dan dibawah kondisi-kondisi seperti
crowding atau ramai (Freedman,
Scopler & Stockdale dalam Riyanti
& Prabowo, 1998) meningkatkan
agresi, khususnya pada orang yang
sudah marah pada suatu hal.
Adapun menurut Deaux
(1993), sebab-sebab munculnya
agresi :
a. Adanya frustasi yang dialami
oleh seseorang sehingga
menimbulkan adanya tegangan
atau dorongan yang harus
disalurkan melalui perilaku
agresif.
b. Dorongan-dorongan umum juga
dapat membuat seseorang
bertindak agresif seperti orang
yang sangat kelaparan akan
sangat rakus melahap makanan
atau orang yang letih akan
mudah tersinggung dan marah.
c. Timbulnya suatu penyerangan
fisik maupun verbal dapat
memotivasi seseorang untuk
menampilkan perilaku agresif
dalam rangka membalas maupun
mempertahankan diri dari
serangan tersebut.
d. Deindividuasi atau hilanganya
suatu nilai pribadi,
akan
mendorong seseorang bertindak
agresif karena merasa disamakan
(tanpa hak) serta tidak adanya
penghargaan moral secara
pribadi.
e. Secara biologi, beberapa jenis
obat-obatan mampu menstimuli
seseorang sehingga ambang
kemarahannya menurun dan
cepat bereaksi secara agresif
terhadap stimuli yang sederhana
sekalipun.
f. Adanya kondisi masyarakat yang
secara langsung membenarkan
atau mendukung dilakukannya
tindakan agresif.
Dapat disimpulkan bahwa sebab-
sebab agresi adalah pengalaman
y a n g t i d a k m e n y e n a n g k a n ,
penghinaan verval, dan faktor
kerelaan, selain itu kejadian-kejadian
yang membuat frustasi menimbulkan
dorongan agresi yang menyebabkan
individu meyerang atau menyakiti
orang lain, dimana penyebabnya
adalah adanya dorongan agresi sejak
lahir, frustasi, tingkah laku agresi
merupakan hal yang dipelajari,
dorongan-dorongan umum juga
dapat membuat seseorang bertindak
agresif, timbulnya suatu peyerangan
fisik maupun verbal, deindividuasi,
secara biologi, dan adanya kondisi
masyarakat yang secara langsung
m a u p u n t i d a k l a n g s u n g
membenarkan atau mendukung
tindakan agresif.
B. Anak
1. Definisi Anak
Gagne (dalam Gunarsa,1990)
mengatakan bahwa batasan usia
seorang anak adalah individu yang
mengalami pertumbuhan dan
perkembangan verbal sebagai hasil
proses mempelajari sesuatu yang
diperoleh dari luar.
Lugo dan Hershey (dalam
Damayanti, 1999) anak adalah
anggota keluarga yang ikut dalam
tanggung jawab sehari-hari orang
dewasa, ikut dalam aktivitas orang
dewasa.
Havinghurst (dalam Gunarsa,
1999) menyebutkan bahwa seorang
anak mengalami tugas-tugas dalam
perkembangan (Developmental
task) yaitu tugas-tugas yang timbul
pada atau kira-kira pada masa
perkembangan tertentu yang
b i l a m a n a b e r h a s i l a k a n
menimbulkan kebahagiaan dan
akan diharapkan berhasil pada
tugas perkembangan berikutnya.
Hurlock (1993) memberikan
b a t a s a n u s i a a n a k y a n g
memisahkan antara anak laki-laki
dan anak perempuan, anak laki-
laki berkisar antara usia 0-12
tahun, sedangkan anak wanita
berusia 0-11 tahun.
Jadi menurut peneliti anak
adalah individu yang tumbuh dan
berkembang sesuai tugas-tugas
perkembangan dengan rentang usia
2 sampai 12 tahun.
2. Batasan Usia Perkembangan
Anak
Hurlock (1993) memberikan
b a t a s a n u s i a a n a k y a n g
memisahkan antara anak laki-laki
dan anak perempuan, anak laki-
laki berkisar antara usia 0-12
tahun, sedangkan anak wanita
berusia 0-11 tahun. Lebih rinci
lagi Hurlock membagi usia
perkembangan anak menjadi :
a. Masa sebelum lahir
(Pranatal) selama 9 bulan
sebelum lahir perkembangan
terjadi sangat cepat yang
terutama terjadi secara
fisiologis dan terjadi dari
pertumbuhan seluruh tubuh.
b. Masa bayi baru lahir (New
Born) 0-14 hari, masa ini
adalah periode bayi yang
baru lahir, atau neonate,
selama waktu ini bayi harus
menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang seluruhnya
baru di luar rahim ibu.
c. Masa Bayi (Baby
Hood) dari 2 minggu
sampai 2 tahun. Pertama-
pertama bayi sama sekali
tidak berdaya, secara
bertahap belajar
mengendalikan ototnya
sehingga secara berangsur-
angsur dapat bergantung pada
dirinya sendiri, perubahan
disertai timbulnya perasaan
tidak suka dianggap seperti
bayi dan keinginan mandiri.
d. Masa kanak-kanak
awal (Early Children) dari
2-6 tahun adalah usia pra
sekolah atau pra kelompok.
Anak berusaha
mengendalikan
lingkungan dan mulai belajar
menyesuaikan diri secara
social.
e. Masa kanak-kanak
akhir (Late Chilhood) 6-12
tahun untuk perempuan dan
6-13 tahun untuk anak laki-
laki, terjadi kematangan
seksual dan masa remaja
dimulai, perkembangan
utama ialah sosialisasi,
merupakan usia sekolah atau
usia kelompok. Dalam
penelitian ini
menggunakan masa kanak-
kanak akhir (Late Chilhood)
usia 6-12 tahun untuk anak
perempuan dan 6-13 tahun
untuk anak laki-laki.
3. Hiburan Pada Akhir Masa
Kanak-Kanak
Menurut Hurlock (1980),
pada masa akhir kanak-kanak,
beberapa hiburan yang digemari
yaitu :
a. Membaca
Anak yang lebih besar lebih
meyukai buku dan majalah
anak-anak yang menekankan
kisah-kisah petualangan dan
dimana anak dapat membaca
tentang tokoh pahlawan
sebagai tokoh indentifikasi
diri.
Anak lebih menyukai
l i n g k u n g a n y a n g
menyenangkan dan interaksi
kelompok yang positif dari
orang-orang kelas menengah
daripada lingkungan yang
kaku dan interaksi kelompok
yang negatif dari orang-orang
kota. Yang penting, ia ingin
akhir cerita yang bahagia.
b. Buku Komik
Terlepas dari tingkat
kecerdasan, hampir semua
anak menyenangi buku komik,
baik yang bersifat lelucon atau
petualangan. Buku komik
m e n a r i k k a r e n a
menyenangkan,
menggairahkan, mudah dibaca
dan merangsang imajinasi
anak.
c. Film
Menonton film merupakan
salah satu kegiatan kelompok
yang digemari, meskipun
beberapa anak pergi sendiri ke
bioskop atau dengan anggota
keluarga. Anak gemar film
kartun-kartun, kisah-kisah
petualangan dan film-film
tentang binatang.
d. Radio dan Televisi
Televisi lebih populer
daripada radio, meskipun anak
senang mendengarkan musik
atau berita-berita olah raga
yang tidak disiarkan televisi.
Menonton televisi merupakan
salah satu hiburan yang
disukai oleh sebagian anak-
a n a k . M e r e k a s e n a n g
pertunjukan kartun dan acara-
acara lain yang diperuntukkan
bagi t ingkat usianya di
samping acara-acara untuk
orang dewasa. Seperti telah
dipertunjukkan oleh Leifer
(dalam Hurlock, 1980).
“ t e l e v i s i b u k a n h an y a
merupakan hiburan bagi anak-
anak, tetapi juga sarana
sosialisasi yang penting”.
e. Melamun atau Berkhayal
Anak yang kesepian di
rumah dan mempunyai sedikit
t e m a n b e r m a i n s e r i n g
menghibur diri sendiri dengan
melamun. Yang khas, anak
membayangkan diri sendiri
sebagai “pahlawan yang
m e n a n g ” d a l a m d u n i a
impiannya, dan kemudian
mengimbangi kurangnya
teman dan perhatian yang ia
peroleh dalam hidup sehari-
hari.
4. Bahaya Psikologis yang
Mempengaruhi Perilaku Anak
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku anak,
d i m a n a p a d a u m u m n y a
dikaitkan dengan perkembangan
sikap moral, dan perilaku anak-
anak, yang diantaranya
berpengaruh pada bahaya
psikologis anak, menurut
Hurlock (1980), ada enam
bahaya psikologis yaitu :
a. Perkembangan kode moral
berdasarkan konsep teman-
teman atau berdasarkan
konsep-kensep media massa
tentang benar dan salah yang
tidak serupa dengan kode
orang dewasa;
b. Tidak berhasil
mengembangkan suara hati
sebagai pengawas dalam
terhadap perilaku;
c. Disiplin yang tidak konsisten
membuat anak tidak yakin
akan apa yang sebaiknya
dilakukan;
d. Hukuman fisik merupakan
contoh agresifitas anak;
e. Menganggap dukungan
teman-teman terhadap
perilaku yang salah begitu
memuaskan sehingga
perilaku itu menjadi
kebiasaan; dan
f. Tidak sabar terhadap
perbuatan orang lain yang
salah.
5. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Agresi Pada
Anak
Setiawan (2000),
menyebutkan faktor-faktor
penyebab perilaku agresi pada
anak adalah :
a. Meniru orang tua
Anak cenderung meniru
peri laku orang tuanya,
mereka akan melakukan hal
y an g s a ma d an h a n y a
mengulangi apa yang sama
dan hanya mengulangi apa
yang pernah dilakukan orang
tuanya.
b. Orang tua membiarkan
Cara hidup yang tidak
beraturan atau terlalu dimanja
orang tua dapat membuat
anak suka menyerang,
misalnya : orang tua menegur
anak ketika anak memukul
orang. Anak segera tahu
bahwa orang tuanya merasa
tidak apa-apa dan memberi
k e s e m p a t a n b a g i d i a
mengulangi perbuatannya,
bahkan lebih menjadi-jadi.
Bagi anak, bila orang tua
tidak menghukum, itu berarti
mengizinkan dia bertindak
lagi.
c. Akibat acara-acaratelevisi
O r a n g t u a p e r l u
mendampingi anak dalam
memilih acara TV, bila anak
dibiarkan menonton adegan-
adegan kekerasan dalam film,
maka dikhawatirkan akan
m e m p e n g a r u h i a n a k .
Menurut Mahayoni & Lim
(2007), akibat acara-acara
televisi yaitu anak menjadi
peniru dan televisi membuat
anak kurang bisa berinteraksi
dengan teman sebaya dan
lingkungannya.
d. Memendam perasaanmarah
Mencegah atau melarang
a n a k m e l a m p i a s k a n
amarahnya hanya akan
m e n g a k i b a t k a n a n a k
memendam perasaan marah
i t u . M u l a - m u l a t i d a k
diketahui, sebab kelihatannya
secara lahiriah baik dan
sopan, tetapi karena tidak
dapat melampiaskan emosi
amarahnya dan juga karena
tertimbun lama di dalam
hatinya, maka pada waktunya
perasaan itu meledak dan
terlampiaskan melalui tindak
penyerangan.
e. Dengan kejam menghadapi
kekejaman
Menghukum kekerasan
anak itu dapat dibenarkan,
t e t a p i b u k a n d e n g a n
memukul secara kasar. Hal
i t u a k a n b e r a k i b a t
kebalikannya, yaitu anak
meniru kelakuan orang
dewasa. Apabila orang tua
m e n g h u k u m d e n g a n
menganiaya, maka anak akan
belajar untuk menganiaya
orang lain sebagai balasan
pelampiasannya.
C. Tayangan Kekerasan Di Televisi
1. Pengertian Tayangan
Kekerasan Di Televisi
Arti tayangan televisi
dalam kamus bahasa Indonesia
a d a l a h s e s u a t u y a n g
dipertunjukkan. Sedangkan arti
kekerasan yang dimaksud disini
memang bukan hanya dalam
bentuk fisik, tetapi juga dalam
bentuk verbal, emosional ,
maupun seksual. Kekerasan
verbal termasuk bentuk
kekerasan yang kerap ditemui
dan biasanya orangtua tidak
menyadari telah melakukan hal
tersebut. Sedangkan pengertian
kekerasan merupakan tindakan
a g r e s i d a n p e l a n g g a r a n
(penyiksaan, pemukulan,
pemerkosaan, dan lain-lain) yang
menyebabkan atau dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan
atau menyakiti orang lain, dan
hingga batas tertentu tindakan
menyakit i binatang dapat
dianggap sebagai kekerasan,
tergantung pada situasi dan nilai-
nilai sosial yang terkait dengan
kekejaman terhadap binatang.
Is t i l ah “kekerasan” juga
mengandung kecenderungan
agresif untuk melakukan perilaku
yang merusak. Kerusakan harta
benda biasanya dianggap
masalah kecil dibandingkan
dengan kekerasan terhadap orang
(Gunawan Wibisono, 2009).
Sedangkan dalam bahasa
Inggris pengertian televisi
disebut dengan television, istilah
television berasal dari perkataan
Yunani ; tele artinya : far, off,
jauh. Ditambah dengan vision,
yang artinya to see, melihat. Jadi
artinya secara harfiah, melihat
jauh. Dapat juga diartikan
sebagai media komunikasi jarak
jauh dengan penayangan gambar
dan pendengaran suara, baik
melalui kawat maupun secara
elektromagnetik tanpa kawat
(berasal dari bahasa Yunani
“tele” yang artinya jauh dan
“ v i s i o n ” y a n g a r t i n y a
penglihatan).
Televisi adalah sistem
elektronik yang mengirimkan
gambar diam dan gambar hidup
bersama suara melalui kabel
(Arsyad, 2002: 50). Sistem ini
menggunakan peralatan yang
mengubah cahaya dan suara ke
dalam gelombang elektrik dan
mengkonversikannya kembali ke
dalam cahaya yang dapat dilihat
dan suara yang dapat didengar.
Jadi tayangan kekerasan
di televisi menurut penulis adalah
sesuatu yang dipertunjukkan
bukan hanya menampilkan
kekerasan dalam bentuk fisik,
tetapi juga bisa dalam bentuk
verbal, emosional, maupun
seksual yang menyebabkan atau
dimaksudkan menyakiti orang
lain, atau binatang dalam sebuah
media televisi.
2. Daftar Acara Tayangan
Televisi Untuk Anak-anak
D a r i Y a y a s a n
Pengembangan Media Anak
(YPMA), telah membuat daftar
acara yang masuk dalam kategori
Aman, Hati-hati, dan Bahaya
untuk anak, antara lain sebagai
berikut :
a. Aman
Tayangan televisi yang
Aman bagi anak bukan hanya
t a y a n g a n y a n g
menghibur, melainkan juga
memberikan manfaat lebih.
Manfaat tersebut,
misalnya pendidikan,
memberikan motivasi,
mengembangkan sikap
percaya
diri anak, dan penanaman
nilai-nilai positif dalam
kehidupan. Acaranya adalah:
Varia Anak (TVRI), Bocah
Petualang, Laptop Si Unyil,
Jalan
Sesama, Cita-citaku, Si
Bolang ke Kota, Buku Harian
s i U n y i l ( T R A N S 7 ) ,
Surat Sahabat, Cerita Anak,
Main Yuk! (TRANS TV),
D o r a T h e E x p l o r e r ,
Go! Diego Go!, Chalkzone,
Backyardians (TV G), dan
M a s a K a l a h S a m a
Anak-anak (TV One).
b. Hati-hati
Tayangan yang masuk
dalam kategori Hati-hati
adalah tayangan anak yang
dinilai relatif seimbang antara
muatan positif dan negatif.
Kategori ini memberikan
nilai hiburan serta pendidikan
dan nilai positif, namun juga
dinilai mengandung muatan
negatif seperti kekerasan,
mistis, seks, dan bahasa kasar
yan g t idak men co lok .
Acaranya antara lain :Idola
Cilik Seleb, Rapor Idola Cilik
Seleb, Doraemon, Pentas
Idola Cilik, Rapor Pentas
Idola Cilik (RCTI), Casper,
H a r v e y t o o n ( T P I ) ,
Transformers (AN TV),
Pokemon Series, Bakugan
Battle Brawlers, Konser
Eliminasi 6 AFI Junior
(IVM), New Scooby
DooMovie (TRANS7),
SpongeBob Squarepants,
Avatar: The Legend of Aang,
Carita De Angel (TVG).
c. Berbahaya
Tayangan yang masuk
dalam kategori Bahaya
merupakan tayangan yang
mengandung lebih banyak
muatan negatif , sepert i
k e k e r a s a n , m i s t i s ,
seks , dan bahasa kasar.
Kekerasan dan mistis dalam
t a y a n g a n y a n g m a s u k
dalam kategori ini dinilai
cukup intens sehingga bukan
l a g i m e n j a d i
bentuk pengembangan cerita,
tapi sudah menjadi inti cerita.
Tayangan
dalam kategori ini disarankan
untuk tidak disaksikan anak.
Contoh acaranya yaitu : Tom
& Jerry, Crayon Sinchan
(RCTI), Si Entong, Tom &
J e r r y , S i
Entong 2 (TPI), Popeye
Or ig ina l , Oggy & The
Cockroaches (AN TV),
Detective Conan, Dragon
Ball, Naruto 4 (INDOSIAR),
T o m & J e r r y
(TRANS7), One Piece,
Naruto (TVG)
3. Pedoman Larangan Program
P e n y i a r a n T a y a n g a n
Kekerasan Di Televisi
Berdasarkan Keputusan
Komisi Penyiaran Indonesia No.
009 / SK / 8 / 2004 tentang
Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program siaran pasal 32-
38 , khususnya meng enai
larangan program dan tayangan
terkait kekerasan, diantaranya:
a. Mengandung muatan
kekerasan secara dominan,
atau mengandung adegan
kekerasan eksplisit dan
vulgar.
b. Jam penayangan diluar pukul
22.00-03.00.
c. Mengandung adegan yang
dianggap diluar perikemanusiaan
atau sadistis.
d. Yang dapat dipersepsikan
sebagai mengagung-
agungkan kekerasan atau
menjustifikasi kekerasan
sebagai hal yang lumrah
dalam kehidupan sehari-hari.
e. Lagu-lagu atau klip
video musik yang
mengandung muatan pesan
menggelorakan atau
mendorong kekerasan.
f. Disajikan secaraeksplisit.
g. Menyorot gambar luka-
luka yangdiderita korban
kekerasan, kecelakaan, dan
bencana secara close up.
h. Menyorot penggunaan
senjata tajam dan senjata api
secara close up.
i. Gambar korban
kekerasan tingkat berat,
serta potongan organ tubuh
korban dan genangan darah
yang
diakibatkan tindak kekerasan,
kecelakaan, dan bencana
tidak disamarkan.
j. Saat-saat kematian
tidak boleh disiarkan.
k. Adegan eksekusi
hukuman mati.
l. Rekonstruksi kejahatan
disiarkan secara terperinci.
m. Rekonstruksi kejahatan
seksual dan pemerkosaan
tidak boleh disiarkan.
4. Daya Tarik Bagi Anak yang
Gemar Menonton Tayangan
Kekerasan
Bagi anak unsur film yang
menegangkan merupakan daya
tarik yang utama. Bagaimanapun
caranya ketegangan itu dihasilkan
mereka ingin melihat sesuatu yang
merangsang dan mengandung
unsur teror , kekerasan dan
ketegangan. Apa saja yang
menawarkan adegan ketegangan,
p e t u a l a n g an , a t au m is t e r i
merupakan daya tarik bagi anak-
anak ini karena merupakan sesuatu
yang berbeda dari kenyataan hidup
sehari-hari (Hurlock, 1995). Selain
menghibur, yang terutama bikin
kecanduan ialah unsur thrill,
suasana tegang saat menunggu
adegan apa yang bakal terjadi
kemudian . Tanpa i tu , f i lm
c e n d e r u n g d a t a r d a n
membosankan, karena itulah anak-
anak senang menonton tayangan
kekerasan (Triwardani, 2008).
D. Perilaku Agresi Pada Anak YangGemar Menonton TayanganKekerasaan Di Televisi
n. Rekonstruksi kejahatan tanpa
izin dari korban kejahatan
atau pihak-pihak yang dapat
dipandang sebagai wakil
korban.
o. Rekonstruksi yang
memperlihatkan modus
kejahatan secara terperinci.
p. Rekonstruksi yang
memperlihatkan cara
pembuatan alat-alat
kejahatan.
q. Memberikan gambaran
eksplisit dan terperinci
tentang cara membuat bahan
peledak.
r. Mendorong atau mengajarkan
tindakan kekerasan atau
penyiksaan terhadap
binatang.
s. Penggambaran secara
eksplisit dan terperinci adegan
bunuh diri.
t. Terkandung pesan bahwa
bunuh diri adalah sebuah
jalan keluar yang dibenarkan
untuk mengakhiri hidup
(Koran Tempo, 19 Desember
2004).
Aronson (dalam Koeswara,
1998) mendefinisikan agresi sebagai
tingkah laku yang dijalankan oleh
individu dengan maksud melukai
atau mencelakakan individu lain
dengan ataupun tanpa tujuan
tertentu. Moore dan Fine (dalam
Koeswara, 1998) memandang agresi
sebagai tingkah laku kekerasan
secara fisik ataupun secara verbal
terhadap individu lain atau terhadap
obyek-obyek.
Pada uraian di atas
dikemukakan bahwa agresi adalah
set iap bentuk peri laku yang
diarahkan merusak atau melukai
orang lain (Baron dan Byrne, 2004).
Melukai orang lain atau berperilaku
agresif bisa dalam bentuk fisik atau
verbal, pasif atau aktif, langsung atau
tidak langsung (Buss dalam Morgan
dkk. 1986)
Adanya tayangan televisi
yang menampilkan adegan kekerasan
dapat memberikan pengaruh
khususnya kepada anak-anak yang
gemar menonton acara televisi
tersebut. Sears (1991), menyatakan
bahwa meningkatnya proporsi
adegan kekerasan dalam film
maupun televis i melahirkan
kekhawatiran akan timbulnya
pengaruh negatif bagi penonton.
Dimana perilaku kekerasan sebagai
pengaruh negatif dalam istilah
psikologi disebut agresi.
Saat ini frekuensi dan durasi
tayangan televisi berbau kekerasan
sudah berada pada tahap yang
mengkhawatirkan. Adanya tayangan
televisi yang berbau kekerasan dapat
membuat anak berkata yang
membuat kita kaget, misalnya
oarngtua menyebalkan, kurang ajar,
bangsat, atau segudang makian
lainnya. Bahkan kadang bukan hanya
perkataan saja yang diikuti, tetapi
juga disertai aksi yang tidak kalah
mengagetkan, misalnya dengan
membanting piring, gelas, atau
barang yang terdekat yang bisa
diraihnya, berbicara dengan
berteriak-teriak, mengancam, dan
lain sebagainya (Mahayoni & Lim,
2007).
Kekerasan merupakan salah
satu yang sering ditayangkan di layar
televisi. Adegan kekerasan ini
menyebar dalam berbagai jenis
program acara. Apakah itu berita,
animasi anak, drama dewasa, drama
sinetron, olah raga, reality show
(Gumilar, 2005).
Para ahli menyakini bahwa
pembentukan peri laku anak
didasarkan pada stimulus yang
diterima melalui pancaindera yang
kemudian diberi arti dan makna
b e r d as a r k an p en g e t a h u a n ,
pengalaman, dan keyakinan yang
dimiliki. Jika anak belum memiliki
sebuah pemahaman tentang benar
atau salah, kemudian mereka
melihat acara televisi yang penuh
dengan adegan umpatan, kekerasan,
hal itu akan mereka anggap sebuah
kebenaran baru. Bahayanya adalah,
jika kebenaran baru tersebut, yang
sebenarnya bukanlah suatu
kebenaran yang sesungguhnya,
disampaikan secara berulang-ulang,
akan menjadi semacam indoktrinasi
dogma (Mahayoni & Lim, 2007).
Televisi lebih mengajari
anak-anak pola pikir yang salah.
Katakanlah jalan pintas dalam
menghadapi masalah, uang
m e n y e l e s a i k a n m a s a l a h ,
kekerasan untuk menyelesaikan
masalah, dan lain-lain. Pola pikir
a n a k d i p e n g a r u h i o l e h
imajinasinya sendiri. Semakin
banyak mereka menonton
kekerasan di TV semakin besar
kemungkinan anak berfikir bahwa
kekerasan merupakan bagian yang
normal dalam kehidupan sehari-
hari (Mahayoni & Lim, 2007).
Berbagai teori psikologi
sosial menyatakan bahwa di
televisi atau dalam film dapat
m e n i n g k a t k a n a g r e s i
penontonnya. Teori imitasi
Bandura misalnya, menyatakan
bahwa kekerasan i tu akan
menyebabkan para penonton
melakukan agresi imitatif. Teori
belajar yang lain menyatakan
b a h w a k e k e r a s a n m e d i a
memberikan isyarat yang memicu
timbulnya kebiasaan respons
agresif penontonnya (Sears,
1985).
BAB IIIPENDEKATAN PENELITIAN
1. Definisi Studi Kasus
Dalam penelitian ini,
pendekatan yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan pendekatan
penelitian studi kasus. Menurut
Moleong (2004), studi kasus adalah
studi yang berusaha memahami isu-
isu yang rumit atau objek dan dapat
memperluas pengalaman atau
menambah kekuatan terhadap apa
yang telah dikenal melalui hasil
penelitian yang lalu lebih lanjut
dikatakan bahwa studi kasus
menekankan pada rincian analisis
kontekstual tentang sejumlah kecil
kejadian atau kondisi dan hubungan-
hubungan yang ada padanya.
Sedangkan American Psychology
Asociation (APA) mendefinisikan
studi kasus atau case study sebagai
“papers in which the author
describes case material while with
an individual or organization”. Yang
intinya bahwa studi kasus adalah
sebuah laporan penelitian yang
d i b u a t o l e h p e n e l i t i u n t u k
memberikan gambaran mengenai
suatu kasus baik itu individu atau
organisasi.
Studi kasus adalah suatu
bentuk penelitian (inquiry) atau studi
tentang suatu masalah yang memiliki
sifat kekhususan (particularity),
dapat dilakukan baik dengan
pendekatan kualitatif maupun
kuantitatif, dengan sasaran
perorangan (individual) maupun
kelompok, bahkan masyarakat luas
(Basuki, 2006).
Studi kasus ditujukan untuk
meneliti satu kasus atau lebih secara
mende ta i l , mendal am, guna
memahami kompleksitasnya dalam
konteks alamiah. Studi kasus dapat
d i lakukan secara kual i ta t i f ,
kuantitatif, atau gabungan keduanya.
Dari uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa studi kasus ialah
suatu penelitian mendalam yang
dilakukan untuk memberikan
gambaran mendalam mengenai suatu
kasus yang mempunyai karakteristik
tertentu.
B. Subjek Penelitian
Suatu penelitian studi kasus
dapat menggunakan satu subjek
penelitian saja asalkan data yang di
dapat sudah cukup (Bonister dkk
dalam Poerwandari, 1998).
Karakteristik subjek adalah
anak laki-laki atau perempuan yang
berusia antara 6 sampai 12 tahun
untuk anak perempuan, 6-13 tahun
untuk anak laki-laki yang gemar
menonton tayangan kekerasan di
televisi.
C. Tahap-tahap Penelitian
Pada penelitian ini ada tiga
tahap persiapan dan pelaksanaan
diantaranya:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Tahap persiapan sebelum
diadakan penelitian adalah
melakukan perumusan masalah
penelitian yang akan dijadikan
top ik pen el i t i an , se te lah
merumuskan maka langkah
berikutnya adalah dengan
pengumpulan konsep dan teori
yang selanjutnya dapat dijadikan
perbandingan antara hasil
penelitian dengan teori yang ada.
2. Menyusun pedoman wawancara
Peneliti menyusun pertanyaan
yang berhubungan dengan apa
yang ingin ditanyakan pada
subjek, khususnya hal-hal yang
menyangkut dalam penelitian
berdasarkan teori-teori yang
relevan dengan masalah yang
diteliti.
3. Pelaksanaan wawancara dan
observasi
Peneliti melakukan proses
wawancara dibantu alat perekam
berupa tape recorder.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sifat
penelitian kualitatif yang terbuka
dan luwes, metode dan tipe
pengumpulan data dalam
penelitan kualitatif sangat
beragam disesuaikan dengan
masalah, tujuan, serta sifat objek
yang akan diteliti (Poerwandari,
1998). Dalam penelitian ini,
metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode
wawancara dan observasi.
1. Wawancara
Menurut Banister dkk.
( d a l a m B a s u k i , 2 0 0 6 ) ,
wawancara adalah percakapan
dan tanya jawab yang diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu.
Wawancara kualitatif dilakukan
bila peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang
makna-makna subjektif yang
dipahami individu berkesan
dengan topik yang diteliti dan
bermaksud melakukan eksplorasi
terhadap isu tersebut. Hal ini
tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan lain.
Selain itu menurut Narbuko
dan Achmadi (2005), wawancara
adalah proses tanya jawab dalam
penelitian yang berlangsung
secara lisan di mana dua orang
atau lebih ber tatap muka
mendengarkan secara langsung
informasi–informas i a tau
keterangan–keterangan. Hal ini
dijelaskan pula oleh Moleong
(2002), yang mendefinisikan
wawancara sebagai percakapan
dengan maksud tertentu, yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.
Kartono (dalam Basuki,
2006) menjelaskan bahwa interview
atau wawancara adalah suatu
percakapan yang diarahkan pada
su a tu mas a la h t e r t en tu , i n i
merupakan proses tanya jawab lisan,
dimana dua orang atau lebih
berhadap-hadapan secara fisik.
Menurut Patton (dalam
Poerwandari, 1998) secara umum
kita dapat membedakan tiga
pendekatan dasar dalam memperoleh
data kualitatif melalui wawancara,
yaitu :
a. Wawancara Informal
Proses wawancara didasarkan
sepenuhnya pada berkembangnya
pertanyaan-pertanyaan secara
spontan dalam interaksi alamiah.
Tipe wawancara demikian umumnya
dilakukan peneliti yang melakukan
observasi partisipasif. Dalam situasi
demikian, orang-orang yang diajak
berbicara mungkin tidak menyadari
bahwa ia sedang diwawancarai
secara sistematis untuk menggali
data.
b. Wawancara dengan Pedoman
Umum
Dalam proses wawancara ini,
peneli ti di lengkapi pedoman
wawancara yang sangat umum, yang
mencatumkan isu–isu yang harus
diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan, bahkan mungkin tanpa
bentuk pertanyaan eksplis it .
Wawancara dengan pedoman sangat
u m u m i n i d a p a t b e r b e n t u k
waw anca ra t e r fok u s , yak n i
wawancara yang mengarahkan
pembicaraan pada hal–hal atau
aspek–aspek tertentu dari kehidupan
atau pengalaman subjek. Tetapi
wawancara juga dapat berbentuk
wawancara mendalam, dimana
peneliti mengajukan pertanyaan
mengenai berbagai segi kehidupan
subjek, secara utuh dan mendalam.
c. Wawancara dengan Pedoman
Terstandar yang Terbuka
Dalam bentuk wawancara ini,
pedoman wawancara ditulis secara
rinci, lengkap dengan set pertanyaan
dan penjabarannya dalam kalimat.
Bentuk ini akan efektif dilakukan
bila penelitian melibatkan banyak
pewawancara, sehingga peneliti
perlu mengadministrasikan upaya–
upaya untuk meminimalkan variasi,
sekaligus mengambil langkah–
langkah menyeragamkan pendekatan
terhadap responden.
Dalam penulisan ini, peneliti
menggunakan metode wawancara
dengan pedoman umum, dimana
pedoman wawancara digunakan
untuk mengingat peneliti mengenai
aspek yang akan dibahas dan dapat
mengajukan pertanyaan secara
mendalam mengenai kehidupan
subjek.
2. Observasi
Istilah observasi diturunkan
dari bahasa latin yang berarti
“melihat” dan “memperhatikan”.
Istilah observasi diarahkan pada
kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang
muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut (Poerwandari,
1998).
Bogdan dan Biklen (dalam
Moleong, 2002) mengatakan bahwa
observasi adalah catatan tertulis
tentang apa yang didengar, dilihat,
dialami dan dipikirkan dalam rangka
pengumpulan data dan refleksi
terhadap data dalam penelitian
kualitatif. Sedangkan menurut
Banister dkk. (dalam Basuki, 2006)
observasi selalu menjadi bagian
dalam penelitian psikologis, dapat
ber langsung dal am konteks
laboratorium (eksperimental)
maupun konteks alamiah.
Lain halnya dengan Kartono
(dalam Basuki, 2006), pengertian
observasi diberi batasan sebagai
berikut: “studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial
dan gejala-gejala psikis dengan jalan
pengamatan dan pencatatan”.
Sedangkan Patton (dalam
Poerwandari, 1998), observasi
merupakan metode pengumpulan
data esensial dalam penelitian,
apalagi peneliti dengan
menggunakan pendekatan kualitatif.
Agar memberikan data yang akurat
dan bermanfaat, observasi sebagai
metode ilmiah harus dilakukan oleh
peneliti yang sudah melewati latihan-
latihan yang memadai.
Tujuan observasi adalah
mendeskripsikan setting yang
dipelajari, aktivitas-aktivitas yang
berlangsung, orang-orang yang
terlibat dalam aktivitas, dan makna
kejadian yang diamati. Beberapa
jenis observasi yang dikemukakan
oleh Poerwandari (1998) adalah
sebagai berikut:
a. Observasi Partisipan
Observasi partisipan adalah
o b s e r v a s i d i m a n a o r a n g
melakukan pengamatan berperan
serta ikut ambil bagian dalam
k e h i d u p a n o r a n g y a n g
diobservasi.
b. Observasi Non Partisipan
Observasi dikatakan non
partisipan apabila observer tidak
berperan serta ikut ambil bagian
kehidupan observee.
c. Observasi Sistematik
Apabila pengamatan
menggunakan pedoman sebagai
instrument pengamatan, yang
menjadi c i r r i u tama jen is
pengamatan ini adalah
mempunyai kerangka atau
struktur yang jelas.
d. Observasi Tidak Sistematik
Observasi dikatakan oleh
pengamatan dengan tidak
menggunakan instrument
pengamatan
e. Observasi Eksperimental
Pengamatan dilakukan
dengan cara observee dimasukkan
kedalam suatu kondisi atau situasi
tertentu.
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik observasi
non partisipan, dimana peneliti
tidak berperan serta ikut ambil
bagian dalam kehidupan subjek.
E. Alat Bantu Pengumpul Data
Poerwandar i (1998),
penulis sangat berperan dalam
seluruh proses penelitian, mulai
dari memilih topik, mendekati
topik tersebut, mengumpulkan
data, hingga menganalisis,
men g i n t e rp r e t as i k an d an
menyimpulkan hasil penelitian
(instrumen pokok). Dalam
mengumpulkan data-data penulis
membutuhkan alat bantu
(instrumen tambahan), yaitu :
1.Pedoman Wawancara
Menurut Poerwandari (1998),
pedoman wawancara yang
digunakan peneliti berisi daftar
pertanyaan-pertanyaan yang
disusun berdasarkan tujuan
pene l i t i an dan teor i yang
berkaitan. Pedoman wawancara
digunakan agar wawancara yang
dilakukan tidak menyimpang dari
tujuan penelitian, tetapi juga
berdasarkan teori yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti,
yaitu self-efficacy seorang
pengusaha kecil
2.Pedoman Observasi
Patton (dalam Poerwandari,
1998), menjelaskan bahwa
pedoman observasi merupakan
metode pengumpulan data
esensial dalam penelitian. Agar
memberikan data yang akurat dan
bermanfaat, observasi sebagai
metode ilmiah harus dilakukan
o l e h p e n e l i t i . S e l a i n i t u
Poerwandari (1998), menjelaskan
pedoman observas i dalam
penelitian kualitatif digunakan
untuk mendeskripsikan setting
yang dipelajari, aktivitas-aktivitas
yang berlangsung, orang-orang
yang terlibat dalam aktivitas, dan
makna kejadian yang dilihat dari
perspektif mereka terlibat dalam
kejadian yang dialami tersebut.
3. Alat Perekam
Alat perekam berguna
sebagai alat bantu pada saat
wawancara, agar penulis dapat
benar-benar berkonsentrasi pada
proses pengambilan data tanpa
harus berhenti untuk mencatat
jawaban-jawaban dari responden.
Dalam mengumpulkan data, alat
perekam baru dapat dipergunakan
setelah penulis memperoleh izin
dari subjek untuk menggunakan
alat tersebut pada saat proses
wawancara berlangsung.
4. Kamera
Kamera dapat berguna
sebagai alat bantu pada saat
observasi. Dengan alat ini peneliti
dapat melengkapi catatan observasi
yang dilakukan. Alat ini baru dapat
dipergunakan setelah penulis
memperoleh izin dari subjek.
5. Alat Tulis
Alat tulis yang digunakan
adalah buku tulis, pensil, pulpen,
dan penghapus. Dengan tujuan
penggunaan alat tulis ini adalah
untuk mencatat semua data atau
informasi dalam suatu penelitian,
baik wawancara maupun observasi.
F. Keakuratan dalam Penelitian
Triangulasi menurut Moleong
(2000), adalah teknik pemeriksaan
keakuratan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data
itu. Denzin (dalam Moleong, 2000)
membedakan empat macam
triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan, yaitu :
1. Triangulasi dengan sumber
berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi
melalui waktu dan alat
berbeda dalam metode
kualitatif (Patton dalam
Moleong,2000). Hal itu dapat
dicapai dengan :
a. Membandingkan data
hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara.
b. Membandingkan apa
yang dikatakan orang
didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara
pribadi.
c. Membandingkan
apa
yang dikatakan orang-
orang tentang situasi
penelitian dengan apa
yang dikatakannya
sepanjang waktu.
d. Membandingkan
keadaan dan perspektif
seseorang dengan
berbagai pendapat dan
pandangan orang.
2. Triangulasi dengan metode,
menurut Pat ton (dalam
Moleong, 2000) terdapat dua
strategi, yaitu :
a. Pengecekan derajat
kepercayaan penemuan
hasil penelitian beberapa
teknik pengumpulan data.
b. Pengecekan derajat
kepercayaan beberapa
sumber data dengan
metode yang sama.
3. Triangulasi dengan
penyelidikan, menurut Patton
(dalam Moleong, 2000)
menggunakan pemanfaatan
penel i t i a tau pengamat
lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat
kepercayaan data.
4. Triangulasi dengan toeri,
menurut Lincoln dan Guba
(dalam Moleong, 2000)
berdasarkan anggapan bahwa
fakta tertentu tidak dapat
diperiksa derajat kepercayaan
dengan satu atau lebih teori.
Dipihak lain, Patton (dalam
Moleong, 2000) berpendapat
lain yaitu bahwa hal itu dapat
dilaksanakan dan hal itu
d in ama k an p en j e l as an
banding (rival explanation).
Hal itu dapat dilakukan
secara induktif atau secara
logika, sebagai berikut:
a. Secara induktif,
dilakukan dengan
menyertakan usaha
pencarian cara lainnya
untuk mengorganisasikan
data yang barangkali
mengarahkan pada upaya
penemuan penelitaian
lainnya.
b. Secara logika, dilakukan
dengan jalan memikirkan
kemungkinan logis
lainnya dan kemudian
melihat apakah
kemungkinan-
kemungkinan itu dapat
ditunjang oleh data.
Sedangkan tr iangulas i
menurut Marshall dan Rossman
(dalam Poerwandari, 2001) adalah
mengacu pada upaya mangambil
sumber-sumber data yang berbeda
untuk menjelaskan suatu dal
tertentu.
Patton (dalam Poerwandari,
2001) menya t akan bahwa
triangulasi dapat dibedakan dalam
:
1. Triangulasi Data, yaitu
digunakan variasi sumber
–sumber da ta yang
berbeda seperti
dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil
observasi.
2. Triangulasi Peneliti yaitu
digunakannya beberapa
peneliti atau evaluator
yang berbeda seperti:
dosen pembimbing.
3. Triangulasi Teori, yaitu
digunakannya beberapa
perspektif yang berbeda
untuk
menginterpretasikan data
yang sama.
4. Triangulasi Metodologis,
yaitu dipakainya beberapa
metode yang berbeda
untuk meneliti suatu hal
y a n g s a m a . D a l a m
penelitian ini
menggunakan metode
wawancara dan observasi.
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan triangulasi data,
triangulasi penelitian, triangulasi
teori, triangulasi metodologis
yang dikatakan oleh Patton
(dalam Moleong, 2000) karena
dari kesemuanya sangat penting
dalam suatu penelitian untuk
menjelaskan suatu hal tertentu
serta untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap
suatu data.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan (dalam
Sugiyono, 2005) analisis data
adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil
wawancara, observasi (catatan
lapangan) dan bahan-bahan
lain, sehingga dapat mudah
dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang
lain.
Dalam menganalisis
penelitian kualitatif terdapat
beberapa tahapan yang perlu
dilakukan. Menurut Marshall
dan Rosman (1989) tahapan-
tahapan tersebut, yaitu :
1. Mengorganisasikan Data
Data yang telah didapat
dibaca berulang-ulang, agar
penulis mengerti benar data atau
hasil yang telah didapat.
2. Pengelompokkan Berdasarkan
Kategori , Tema dan Pola
Jawaban
Secara umum tahap ini
merupakan tahap yang paling
sukar, kompleks, tersamar, tetapi
juga merupakan tahap yang
m e n y e n a n g k a n y a n g
membutuhkan aktivitas daya
kreativitas kita. Tiga hal yang
sangat dibutuhkandalam tahap
ini, yaitu :
a. Pengertian yang mendalam
terhadap data.
b. Perhatian dan konsentrasi
penuh.
c. Terbuka terhadap
kemungkinan munculnya hal-
hal lain di luar hal-hal yang
ingin digali.
3. Menguji Asumsi atau
P e r m as a l ah an y an g A d a
Terhadap Data
Kategori dan pola data yang
sudah tergambar jelas, kemudian
diuji terhadap asumsi yang telah
dikembangkan dalam penelitian
ini.
4. Mencari Alternatif Penjelasan
Bagi Data
Setelah kaitan antara kategori
dan pola data dengan asumsi
terwujud, penulis masuk ke
da l am tahap p en j e l as an .
Berdasarkan kesimpulan yang
telah diperoleh dari kaitan
tersebut, penulis perlu mencari
suatu alternatif penjelasan lain
tentang kesimpulan yang telah
d i p e r o l e h . S e b ab d a l a m
penelitian kualitatif memang
selalu ada alternatif penjelasan
lain.
5. Menuliskan Hasil Penelitian
Penulisan data yang telah
berhasil dikumpulkan merupakan
suatu hal pent ing da lam
melakukananalisis, sebab
membantu penulis untuk
memeriksa kembali apakah
kesimpulan yang dibuat sudah
se l esa i , deng an ka ta la in
keabsahan internal sudah dicapai.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Sebab-sebab anak gemar
menonton tayangan kekerasan
di televisi
Dari hasil analisa penulis
dapat mengambil kesimpulan
bahwa terdapat kesesuaian antara
subjek dan SO dimana sebab-
sebab anak gemar menonton
tayangan kekerasan ditelevisi
yaitu karena merupakan hobi
yang digemari subjek, selain itu
merupakan hiburan yang juga
paling digemari oleh subjek,
kegiatan rutin yang dilakukan
setelah pulang sekolah, karena
jarang dilarang oleh orang tuanya
untuk menonton tayangan
kekerasan dan karena ada efek
seru dan menegangkan sehingga
subjek betah menontonnya setiap
hari.
Hal di atas juga didapat pada
hasil observasi dan wawancara
dimana subjek sangat serius
apabila sedang menonton acara
favoritnya seperti kera sakti dan
naruto. Subjek yang baru
berumur 9 tahun dan baru duduk
di bangku sekolah dasar tersebut
setelah pulang sekolah dan ganti
baju, langsung mengambil
remote tv untuk menonton film
kesukaannya. Terkadang sambil
makan siang subjek menonton tv.
Subjek menontonnya setiap hari
karena merupakan hobi yang
tidak bisa di tinggalkan dan juga
merupakan hiburan utama setelah
pulang sekolah. Subjek merasa
terhibur sekali jika sudah
menonton acara kesukaannya
tersebut. Subjek menyukai
karena seru dan menegangkan
sehingga membuat subjek
p e n a s a r a n u n t u k t e r u s
menontonnya setiap hari tanpa
rasa bosan. Adegan seperti
berkelahi, dan pembunuhan
subjek menyukainya. Berita-
berita yang isinya pembunuhan
pun subjek suka menontonnya.
Selain itu orang tua subjek jarang
melarangnya jika subjek
menonton acara dan tayangan
yang berbau kekerasan di televisi
sehingga dapat menyebabkan
anak gemar menonton tayangan
kekerasan di televisi.
b. Gambaran perilaku agresi
p a d a a n a k y a n g g e m a r
menonton tayangan kekerasan
Dari hasil analisa penulis
dapat mengambil kesimpulan
bahwa terdapat kesesuaian antara
subjek dan SO dimana gambaran
perilaku agresi secara fisik pada
anak yang gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi
yaitu subjek sering berkelahi
seperti; mencubit, menendang,
m e m u k u l , m e n g g a n g g u
temannya yang sedang bermain
dan tidak mengerjakan PR dari
sekolahnya.
Hal di atas didapat juga dari
hasil observasi dan wawancara
p ad a su b je k d i ma na saa t
observasi subjek terlihat sedang
memukul temannya pada saat
asik bermain gambaran subjek
terlihat mulai mengganggu
temannya dengan iseng mencubit
lengan temannya sebanyak dua
kali, sehingga temannya pun
membalas tetapi dengan ejekan.
Tidak terima diejek, subjek pun
membalas ejekan temannya, yang
akhirnya mereka berkelahi. Ibu
subjek pun datang untuk
melerainya, dan menyuruh
subjek meminta maaf, tapi subjek
malah berteriak dan marah-
marah. Kemudian tidak lama
mereka asik bermain gundu, dan
subjek berbuat iseng melempar
gundu temennya, akhirnya
mereka berkelahi lagi dengan
saling pukul-pukulan. Suasana
menjadi sepi kembali setelah ibu
s u b j e k d a t a n g u n t u k
menghentikan anaknya yang
sedang berkelahi, kemudian tidak
lama teman yang tadi berkelahi
dengan subjek mengajak ngobrol
subjek, tetapi subjek tidak
menjawabnya akibat kesal dari
perkelahian tadi. Subjek jga
s e r i n g u n t u k t i d a k m a u
mengerjakan PR yang diberikan
dari sekolahnya.
Dari hasil analisa penulis
dapat mengambil kesimpulan
bahwa terdapat kesesuaian antara
subjek dan SO dimana gambaran
perilaku agresi secara verbal
pada anak yang gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi
yaitu subjek sering menghina
teman dengan meyebutkan nama
binatang, menolak berbicara
den gan or an g y an g te l ah
membuatnya kesal, marah-marah
den gan te r i ak- t e r iak d an
megucapkan kata-kata kasar, dan
mendesak orang tua karena hal
sepele
Hal di atas didapat juga dari
hasil observasi dan wawancara
pada subjek dimana subjek
berkata kasar saat ada temannya
mengejek subjek dan subjek
membalas dengan ejekan. Subjek
b e r k a t a k a s a r s e p e r t i
menyebutkan nama orang tua
temannya dan berkata monyet,
dan anjing. Tidak lama teman
yang mengejek subjek mengajak
ngobrol, tetapi subjek tidak
menjawabnya akibat kesal karena
sudah mengejeknya. Selain
kepada temannya, subjek juga
menolak berbicara kepada kakak
d a n i b u n y a k a r e n a t e l ah
memarah inya saat subjek
berkelahi dengan temannya.
Subjek sering marah-marah
d e n g a n b e r t e r i a k d a n
menyebutkan kata-kata kasar saat
ibunya atau kakaknya menyuruh
untuk membeli sesuatu ke
warung. Subjek juga sering
mendesak ibunya untuk menuruti
semua keinginan subjek, seperti
terlihat pada saat observasi,
subjek merengek meminta
dibelikan es krim saat temannya
membeli es krim. Selain itu,
subjek pun meminta mainan
seperti pedang-pedangan atau
hal-hal yang diinginkan saat
subjek melihat acara di televisi
dan meminta untuk segera
dibelikan saat itu juga.
c. Faktor-faktor yang
menyebabkan perilaku agresi
pada anak
Dari hasil analisa penulis
dapat mengambil kesimpulan
bahwa terdapat kesesuaian antara
subjek dan SO dimana faktor-
faktor yang menyebabkan
perilaku agresi pada anak yaitu
meniru orang tua dalam hal ini
adalah perilaku marah-marah ibu
subjek, akibat acara-acara televisi
yang juga merupakan faktor
utama subjek dimana subjek
meniru apa yang dilihatnya di
t ay a n g an k ek e r a s an d a n
mempraktekannya di kehidupan
sejari-hari, selain itu televisi juga
dapat mempengaruhi perilaku
subjek sehingga subjek berkata
kasar, sering marah-marah,
berteriak dan berkelahi seperti
yang subjek tonton dalam sebuah
film action . Akibat sering
menonton tayangan kekerasan di
tv subjek jarang berinteraksi
dengan teman sebaya dan
lingkungannya karena subjek
menghabiskan waktunya hanya
untuk menonton tv saja. Faktor
lainnya yang menyebabkan
perilaku agresi yakni subjek
memendam perasaan marah,
orang tua membiarkan subjek
berbuat salah dan dengan kejam
menghadapi kekejaman, selain
itu subjek sudah di cap sebagai
anak yang nakal sehingga
membuat subjek semakin nakal.
Hal di atas didapat juga dari
hasil observasi dan wawancara
pada subjek dimana subjek sering
meniru adegan berkelahi yang
ditontonnya dari acara kekerasan
di tv. Dari hasil wawancara
subjek ingin meni ru cara
berkelahi gokong sang kera sakti
yang merupakan salah satu acara
yang digemari subjek. Subjek
mengikuti dan mempraktekannya
kepada temannya dengan tidak
mengetahui bahwa hal tersebut
kurang baik. Subjek juga sering
meniru kata-kata kasar yang ada
d i d a l a m t a y a n g a n y a n g
ditontonnya, sehingga membuat
subjek mengikutinya sambil
marah-marah dan berteriak. Oleh
karena i tu , sub jek ser ing
dimarahi kedua orangtuanya dan
juga kakaknya. Tetapi subjek
tidak terima dimarahi, maka
subjek melampiaskannya dengan
marah-marah juga dengan
kakaknya dan orang tuanya,
sambil berteriak dan berkata-kata
kasar. Subjek juga menangis
akibat kesal sering dimarahi,
bahkan subjek merusakkan
mainannya sebagai pelampiasan
marahnya. Hal itu juga terjadi di
sekolahnya, subjek dimarahi oleh
gurunya akibat perbuatan
nakalnya yang memukul
temannya . Subjek d ib er i
hukuman dengan berdiri di depan
tiang bendera, hal ini membuat
subjek kesal dan memendam
perasaan marahnya dalam hati,
terkadang teriak-teriak sendiri
dan berbuat iseng dengan
temannya. Faktor lainnya yang
menyebabkan anak berperilaku
agresi juga dikarenakan orang tua
membiarkan anak berperilaku
salah, dalam hal ini orang tua
s u b j e k p e r n a h m e n e g u r
kesalahan subjek, tetapi karena
s u b j e k t i d a k p e r n a h
mendengarnya dan menuruti
perintah ibunya untuk tidak
melakukan perbuatan agresi
tersebut, maka anak segera tahu
bahwa orang tuanya merasa tidak
a p a - a p a d a n m e m b e r i
kesempatan bagi anak untuk
mengulangi perbuatannya lagi.
B. Pembahasan
1. Sebab-Sebab Anak Gemar
Menonton Tayangan Kekerasan
di Televisi
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis menyimpulkan
bahwa sebab-sebab anak gemar
menonton tayangan kekerasan di
televisi adalah :
Merupakan hobi yang
digemari subjek, selain itu
merupakan hiburan yang juga
paling di gemari oleh subjek,
kegiatan rutin yang dilakukan
setelah pulang sekolah, jarang di
larang oleh orang tuanya untuk
menonton tayangan kekerasan dan
kar ena ad a e fek s er u dan
menegangkan sehingga subjek
betah menontonnya setiap hari.
Dikatakan gemar karena subjek
menonton setiap hari selama 4
jam, semua ini di dapat dari hasil
wawancara.
Hobi yang paling digemari
oleh subjek adalah menonton
televisi, dimana menurut Hurlock
(1995), anak laki-laki lebih
banyak menghabiskan waktunya
u n t u k m e n o n t o n t e l e v i s i
ketimbang anak perempuan.
Subjek berjenis kelamin laki-laki
dan ser ing menghabiskan
waktunya untuk menonton tv
daripada bermain atau jalan-jalan
ke ragunan, ancol, bahkan ke
dufan subjek tidak pernah mau
ikut. Selain itu kegiatan rutin yang
dilakukan subjek setelah pulang
sekolah adalah menonton televisi,
hal tersebut di dukung oleh teori
dari Mahayoni & Lim (2007),
yang mengatakan menonton
televisi adalah kegiatan nomor
satu bagi anak-anak selama jam-
jam antara pulang sekolah dan
makan malam. Berdasarkan hasil
wawancara, subjek menonton
televisi setelah pulang sekolah
sampai malam hari, itu dilakukan
setiap hari maupun jika hari libur
subjek menonton hingga larut
malam.
Di samping itu, orang tua
subjek tidak pernah melarang
untuk menonton tayangan yang
berbau kekerasan, ini menjadi
penyebab lain subjek makin
gemar menonton tayangan
kekerasan di televisi, dimana hal
ini juga di dukung oleh teori yang
mengatakan bahwa anak-anak
yang kurang mendapat didikan
dari orang tua yang sibuk bekerja
mencari nafkah, biasanya justru
banyak menghabiskan waktunya
untuk menonton televisi di
banding jam belajar mereka
(Mahayoni & Lim, 2007). Hasil
w a w a n c a r a p a d a s u b j e k
menyebutkan bahwa kepala
keluarga yakni sang ayah sibuk
bekerja, walau pun hanya ada ibu
subjek di rumah, tetapi ibu subjek
jarang untuk mendidik dan
melarang anaknya menonton
tayangan kekerasan di televisi,
oleh karena itu subjek semakin
gemar menontonnya. Subjek
mengakui bahwa subjek gemar
menonton tayangan kekerasan
penyebabnya adalah acara-acara
kekerasan seru dan menegangkan
untuk ditonton setiap harinya. Hal
tersebut di dukung oleh teori yang
menyebutkan apa saja yang
menawarkan adegan ketegangan,
petualangan , a tau mis ter i
merupakan daya tarik bagi anak-
anak, ini karena merupakan
sesuatu yang beda dari kenyataan
hidup sehari-hari (Hurlock, 1995).
Seperti yang didapat dari hasil
wawancar a bahwa sub jek
menyukai adegan kekerasan
karena efeknya menegangkan
yang membuat subjek ingin terus
menontonnya saat ada adegan
berkelahi sang jagoan dalam
sebuah film action. Subjek pun
menyukai adegan tembak-
tembakan dengan suara yang
m e m b u a t s u b j e k t a m b a h
menegangkan untuk menontonnya
setiap kali ada adegan tersebut.
Selain itu subjek juga menyukai
adegan pembunuhan dan berita
yang is inya menampi lkan
pembunuhan seseorang yang
matinya ditembak atau dibunuh.
Subjek hampir tiap menonton
acara atau berita tersebut.
Selain menghibur, yang
terutama bikin ‘kecanduan’ ialah
unsur thrill, suasana tegang saat
menunggu adegan apa yang bakal
terjadi kemudian. Tanpa itu, film
c e n d e r u n g d a t a r d a n
membosankan, karena itulah
anak-anak senang menonton
tayangan kekerasan (Reni
Triwardani, 2006). Oleh sebab
itulah subjek gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi
daripada menonton sinetron yang
jalan ceritanya cenderung datar
dan biasa saja, sehingga subjek
lebih memilih tayangan yang
adegannya kekerasan seperti
berkelahi, pembunuhan dan
adegan kekerasan lainnya. Hal di
atas juga didapat pada hasil
observasi dan wawancara dimana
subjek sangat serius apabila
sedang menonton acara favoritnya
seperti kera sakti dan naruto.
Subjek yang baru berumur 9 tahun
dan baru duduk di bangku sekolah
dasar tersebut setelah pulang
sekolah dan ganti baju, langsung
mengambil remote tv untuk
menonton film kesukaannya.
Subjek merasa terhibur sekali jika
s u d a h m e n o n t o n a c a r a
kesukaannya tersebut. Subjek
menyukai karena seru dan
menegangkan sehingga membuat
subjek penasaran untuk terus
menontonnya setiap hari tanpa
rasa bosan, dimana acara televisi
yang sering ditonton oleh subjek
yaitu Naruto, Avatar, Dragon
Ball, Kera Sakti, Power Ranges,
Crayon Shincan, Tom & Jerry,
berita pembunuhan seperti:
Sergap, dan Patroli, sampai film
b i o s k o p T r a n s T v y a n g
menampilkan film-film kekerasan
seperti Die Hard, Spiderman,
Superman, Batman, Cat Women,
Who I am, Terminator, Kungfu
Hatsel, dan berbagai macam film
kungfu Jacki Chan lainnya.
Di sisi lain tayangan
kekerasan di televisi biasanya
berasal dari dunia riil atau nyata
dan dari dunia fiksi. Dunia riil
misalnya adalah tayangan tentang
pembunuhan, perkelahian,
ataupun konflik sosial yang
kesemuanya bisa mengundang
reaksi emosional yang dalam di
dalam diri pemirsa. Kekerasan
semacam ini bisa menimbulkan
efek-efek yang saling bertolak
b e l a k a n g , y a k n i b i s a
mengakibatkan perasaan sedih,
menjijikan, ataupun perasaan
tertarik simpati, bahkan terhibur.
Karena hal terebut menurut
Haryatmoko (2007), kekerasan riil
juga bisa di s ebut sebaga i
kekerasan dokumen. Kekerasan
ini mengambil bentuk gambar
yang dialami oleh pemirsa sebagai
fakta kekerasan, sehingga subjek
gemar menonton tayangan
kekerasan yang berasal dari dunia
nyata dan di buat dalam sebuah
film atau di siarkan dalam sebuah
berita pembunuhan, perkelahian
atau konflik sosial masyarakat.
Sedangkan dari dunia fiksi ini
justru menawarkan ide-ide baru
yang sebelumnya tidak terpikirkan
di dalam realitas dan dengan
mudah ditemukan di dalam
tayangan-tayangan televisi seperti
film action atau kartun . Hal
semacam ini bisa menimbulkan
trauma dan perilaku agresif bagi
orang-orang yang menontonnya,
sehingga anak menjadi suka dan
gemar menontonnya. Hal tersebut
didukung oleh pendapat dari
Haryatmoko (2007). Kekerasan
semacam ini bisa dengan mudah
ditemukan di dalam tayangan-
tayangan televisi. Film action,
misalnya Rambo IV, sungguh-
sungguh mirip dengan konflik riil.
Subjek gemar dan hanya mau
menonton tayangan kekerasan ini
dikarenakan unsur fiksi yang
dipadu dengan rekayasa teknologi
membuat suasana film tersebut
semakin menarik dan membuat
a n a k b e t a h u n t u k t e r u s
menontonnya bahkan hampir
setiap hari.
2. Gambaran Perilaku Agresi
Pad a A n ak Y an g Gemar
Menonton Tayangan Kekerasan
di Televisi
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis menyimpulkan
bahwa gambaran perilaku agresi
pada anak yang gemar menonton
tayangan kekerasan di televisi
yaitu :
Ada perilaku agresi secara
fisik dan ada perilaku agresi
secara verbal. Yang merupakan
perilaku agresi secara fisik yaitu
subjek sering berkelahi, mencubit,
m e n e n d a n g , m e m u k u l ,
mengganggu temannya yang
sed ang ber main dan t idak
mengerjakan PR dari sekolahnya.
Sedangkan perilaku agresi secara
verbal yai tu subjek ser ing
m e n g h i n a t e m a n d e n g a n
menyebutkan nama binatang,
menolak berbicara dengan orang
yang telah membuatnya kesal,
m a r a h - m a r a h d e n g a n
menyebutkan kata-kata kasar, dan
mendesak orang tua karena hal
sepele. Hal tersebut di dapat pada
hasil wawancara kepada subjek,
kakak subjek dan ibu subjek.
Gambaran perilaku agresi
tersebut di dukung oleh teori yang
menyebutkan melukai orang lain
atau berperilaku agresif bisa
dalam bentuk fisik atau verbal,
pasif atau aktif, langsung atau
tidak langsung (Buss dalam
Morgan dkk. 1986). Subjek
melakukan perilaku agresi
tersebut untuk melukai orang lain
yang di sebutkan sebagai perilaku
agresi secara fisik yakni berkelahi,
mencubit, menendang, memukul,
mengganggu temannya yang
sedang bermain dan t idak
mengerjakan PR. Subjek juga
melakukan tindakan perilaku
agresi secara verbal yakni
m e n g h i n a t e m a n d e n g a n
menyebutkan nama binatang,
menolak berbicara dengan orang
yang telah membuatnya kesal,
m a r a h - m a r a h d e n g a n
menyebutkan kata-kata kasar, dan
mendesak orang tua karena hal
sepele. Dan hal tersebut juga
didukung oleh teori Moore dan
Fine (dalam Koeswara, 1998)
yang memandang agresi sebagai
tingkah laku kekerasan secara
fisik ataupun secara verbal
terhadap individu lain atau
terhadap obyek-obyek.
Hal di atas didapat juga dari
hasil observasi dan wawancara
pada subjek dimana saat observasi
subjek terlihat sedang memukul
temannya pada saat asik bermain
gambaran subjek terlihat mulai
mengganggu temannya dengan
iseng mencubit lengan temannya
sebanyak dua kali, sehingga
temannya pun membalas tetapi
dengan ejekan. Tidak terima
diejek, subjek pun membalas
ejekan temannya, yang akhirnya
mereka berkelahi. Ibu subjek pun
datang untuk melerainya, dan
menyuruh subjek meminta maaf,
tapi subjek malah berteriak dan
marah-marah. Kemudian tidak
lama mereka asik bermain gundu,
d an s u b j ek b er b u a t i s eng
melempar gundu temennya,
akhirnya mereka berkelahi lagi
dengan saling pukul-pukulan.
Suasana menjadi sepi kembali
setelah ibu subjek datang untuk
menghentikan anaknya yang
sedang berkelahi, kemudian tidak
lama teman yang tadi berkelahi
dengan subjek mengajak ngobrol
subjek, tetapi subjek tidak
menjawabnya akibat kesal dari
perkelahian tadi. Subjek juga
s e r i n g u n t u k t i d a k m a u
mengerjakan PR yang diberikan
dari sekolahnya.
Selain itu hasil observasi dan
wawancara pada subjek juga
menunjukkan bahwa subjek
berkata kasar saat ada temannya
mengejek subjek dan subjek
membalas dengan ejekan. Subjek
berkata kasar seperti menyebutkan
nama orang tua temannya dan
berkata monyet, dan anjing. Tidak
lama teman yang mengejek subjek
mengajak ngobrol, tetapi subjek
tidak menjawabnya akibat kesal
karena sudah mengejeknya. Selain
kepada temannya, subjek juga
menolak berbicara kepada kakak
d a n i b u n y a k a r e n a t e l a h
memarah inya saa t subj ek
berkelahi dengan temannya.
Subjek sering marah-marah
d e n g a n b e r t e r i a k d a n
menyebutkan kata-kata kasar saat
ibunya atau kakaknya menyuruh
untuk membeli sesuatu ke
warung. Subjek juga sering
mendesak ibunya untuk menuruti
semua keinginan subjek, seperti
terlihat pada saat observasi,
subjek merengek meminta
dibelikan es krim saat temannya
membeli es krim. Selain itu,
subjek pun meminta mainan
seperti pedang-pedangan atau hal-
hal yang diinginkan saat subjek
melihat acara di televisi dan
meminta untuk segera dibelikan
saat itu juga.
3.Faktor-Faktor Yang
Menyebabkan Perilaku Agresi
Pada Anak
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis menyimpulkan
b ahwa f ak tor - fak to r y ang
menyebabkan perilaku agresi pada
anak adalah :
Meniru orang tua, akibat
acara-acara televisi, memendam
perasaan marah, orang tua
membiarkan subjek berbuat salah
dan dengan kejam menghadapi
kekejaman. Berdasarkan hasil
wawancara subjek meniru
perilaku orang tuanya yang suka
marah-marah, selain itu akibat
acara-acara di televisi yang
menampilkan adegan kekerasan
pun menjadi faktor utama subjek
berperilaku agresi. Subjek sering
dan suka meniru adegan berkelahi
sang jagoan yang dilihatnya di
televisi, dan mempraktekkan
adegan tersebut kepada temannya
saat mereka berkelahi dan juga
terlebih karena subjek di cap
sebagai anak yang nakal oleh
orang tuanya dan teman-temannya
maka subjek merasa bangga
dengan julukan anak nakal dan
subjek pun merasa bebas berbuat
apa pun kepada temannya dengan
menjaili, mengejek, bakhan
berkelahi.
Hal tersebut di dukung oleh
para ahli yang menyakini bahwa
pembentukan perilaku anak
didasarkan pada stimulus yang
diterima melalui pancaindera yang
kemudian diberi arti dan makna
berdasarkan penge tahuan,
pengalaman, dan keyakinan yang
dimil ik i . J ika anak belum
memiliki sebuah pemahaman
ten tang benar a tau sa lah ,
kemudian mereka melihat acara
televisi yang penuh dengan
adegan umpatan, kekerasan, hal
itu akan mereka anggap sebuah
kebenaran baru. Bahayanya
adalah, jika kebenaran baru
tersebut , yang sebenarnya
bukanlah suatu kebenaran yang
sesungguhnya, disampaikan
secara berulang-ulang, akan
menjadi semacam indoktrinasi
dogma (Mahayoni & Lim, 2007).
Seperti hasil wawancara bahwa
subjek meniru adegan berkelahi
dalam sebuah film action di
televisi dan ingin langsung
mempraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu subjek
menyelesaikan masalahnya saat
akan dihukum oleh gurunya
dengan melarikan diri atau kabur
bahkan mengigit tangan gurunya
seperti yang dilihatnya dalam
tayangan kekerasan di tv ,
sehingga faktor kepribadian anak
juga mempengaruhi minat anak
pada televisi, dimana hal tersebut
di dukung oleh teor i yang
menyebutkan bahwa televisi lebih
m e n a r i k a n a k y a n g
penyesuaiannya buruk secara
pribadi dan sosial ketimbang
mereka yang baik penyesuaiannya
(Hurlock, 1995).
Selain itu di dukung juga
o l e h t e o r i b e l a j a r y a n g
menyatakan bahwa kekerasan
media memberikan isyarat yang
memicu timbulnya kebiasaan
respons agresif penontonnya
(Sears, 1985). Akibat acara-acara
televisi yang menampilkan adegan
kekerasan merupakan faktor
utama subjek yang diantaranya
dapat mempengaruhi perilaku
subjek sehingga subjek berkata
kasar, sering marah-marah,
berteriak dan berkelahi seperti
yang subjek tonton dalam sebuah
film, dan menirunya di kehidupan
sehari-hari. Subjek mengikuti dan
mempraktekannya kepada
t e m a n n y a d e n g a n t i d a k
mengetahui bahwa hal tersebut
kurang baik. Subjek juga sering
meniru kata-kata kasar yang ada
d i d a l a m t a y a n g a n y a n g
ditontonnya, sehingga membuat
subjek mengikutinya sambil
marah-marah dan berteriak. Hal
tersebut juga di dukung oleh teori
yang mengatakan bahwa anak
suka meniru dan mereka merasa
bahwa apa saja yang disajikan
dalam acara televisi tentunya
dapat merupakan cara yang dapat
diterima baginya dalam kehidupan
sehari-hari, karena para pahlawan
yang patuh kepada hukum kurang
menonjol ketimbang mereka yang
memenangkan perhatian dengan
kekerasan dan tindakan sosial
lainnya, sehingga anak-anak
cenderung menggunakan cara
y a n g t e r a k h i r u n t u k
mengiden t i f i kas i d i r i dan
menirunya (Hurlock, 1995). Pada
hasil wawancara subjek meniru
adegan kabur dan mengigit tangan
saat sang jagoan belum siap untuk
bertanding dengan musuhnya dan
itu subjek lakukan saat mau di
hukum oleh salah seorang guru di
sekolahnya karena subjek menjaili
dan sering tidak mengerjakan PR.
Hal lain yang menyebabkan
anak berperilaku agresi juga
d i k a r e n a k a n o r a n g t u a
membiarkan anak berperilaku
salah, dalam hal ini orang tua
subjek pernah menegur kesalahan
subjek, tetapi karena subjek tidak
pernah mendengarnya dan
menuruti perintah ibunya untuk
tidak melakukan perbuatan agresi
tersebut, hal tersebut di dukung
oleh teori yang mengatakan
bahwa anak segera tahu bahwa
orang tuanya merasa tidak apa-
apa dan memberi kesempatan bagi
dia mengulangi perbuatannya,
bahkan lebih menjadi-jadi, bagi
anak, bi la orang tua t idak
m e n g h u k u m , i t u b e r a r t i
mengizinkan dia bertindak lagi
(Setiawan, 2000).
Faktor lainnya yaitu subjek
jarang berinteraksi dengan teman
sebaya dan lingkungannya karena
hanya menghabiskan waktunya
dengan menonton tv saja di
rumah. Subjek tidak pernah mau
di ajak jalan-jalan ke dufan, ancol
atau ragunan, tetapi subjek malah
hanya memilih menonton tv saja
di rumah, sehingga membuat
subjek menjadi lebih sensitif
untuk melakukan tindakan agresi
kepada orang yang ada di
sekitarnya. Hal tersebut di dukung
oleh teori yang menyebutkan
menonton televisi mengurangi
waktu yang tersedia bagi kegitan
bermain lainnya, teru tama
bermain di luar dengan anak lain,
dan juga sering membatasi
interaksi sosial (Hurlock, 1995).
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sebab-Sebab Anak Gemar
Menonton Tayangan
Kekerasan di Televisi
Berdasarkan hasil
analisa dapat diketahui
bahwa sebab-sebab anak
gemar menonton tayangan
kekerasan di televisi adalah
m e r u p a k a n h o b i y a n g
digemari subjek, selain itu
tay angan keker as an d i
televisi membuat subjek
merasa terhibur, kegiatan
rutin yang dilakukan setelah
pulang sekolah, jarang di
larang oleh orang tuanya
untuk menonton tayangan
kekerasan dan karena ada
efek seru dan menegangkan
sehingg a s ubjek bet ah
menontonnya setiap hari.
2. Gambaran Perilaku Agresi
Pada Anak Yang Gemar
Menonton Tayangan
Kekerasan di Televisi
Berdasarkan hasil
analisa dapat diketahui
bahwa gambaran perilaku
agresi pada anak gemar
m e n o n t o n t a y a n g a n
kekerasan di televisi yaitu
terdiri dari perilaku agresi
secara fisik dan perilaku
a g r e s i s e c a r a v e r b a l .
Merupakan perilaku agresi
secara fisik yaitu subjek
sering berkelahi seperti :
mencubit, menendang,
memukul, mengganggu
temannya yang sedang
bermain dan tidak
mengerjakan PR dari
sekolahnya. Sedangkan
perilaku agresi secara verbal
yaitu subjek sering menghina
teman dengan menyebutkan
nama binatang, menolak
berbicara dengan orang yang
telah membuatnya kesal,
m a r a h - m a r a h d e n g a n
menyebutkan kata-kata kasar,
dan mendesak orang tua
karena hal sepele.
3. Faktor-Faktor Yang
MenyebabkanPerilaku AgresiPada Anak Yang Gemar
Menonton TayanganKekerasan di Televisi
Berdasarkan hasil
analisa dapat diketahui
bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan perilaku agresi
pada anak gemar menonton
tayangan kekerasan d i
televisi adalah meniru orang
tua, akibat acara-acara
televisi, memendam perasaan
marah, orang tua membiarkan
subjek berbuat salah, dengan
k e j a m m e n g h a d a p i
kekejaman dan anak di cap
sebagai anak nakal. Faktor
utama yang menyebabkan
anak berperilaku agresi
adalah akibat acara-acara di
televisi yang menampilkan
adegan kekerasan dan subjek
di cap sebagai anak yang
nakal.
B. Saran
Saran yang diberikan
oleh penulis yaitu :
1. Kepada subjek
Subjek diharapkan
mengurangi jadwal untuk
menonton tayangan
kekerasan di televisi dengan
m e n g i k u t i b e r b a g a i
ekstrakurikuler yang ada di
sekolahnya dan mengikuti
kegiatan lainnya dengan les
bahasa atau pelajaran yang
ada di sekolahnya.
2. Kepada orang tua
Peran orang tua di rumah
adalah anak tidak dibiarkan
menonton tayangan televisi
s en d i r i d a n o r an g t u a
m e n d a m p i n g i d a n
memberitahu pada anak saat
m e n o n t o n t a y a n g a n
kekerasan di televisi mana
yang boleh ditiru dan mana
yang tidak boleh ditiru dan
jangan memberi cap kepada
anak sebagai anak yang
nakal.
3. Kepada pihak penyelenggara
stasiun acara televisi
Diharapkan kepada pihak
penyelenggara stasiun acara
televisi untuk membatasi
program acara televisi yang
beradegan kekerasan dan
menggantinya dengan
program yang lebih mendidik
dan bermanfaat bagi anak-
anak khususnya.
4. Kepada penelitian
selanjutnya
Diharapkan pada penelitian
selanjutnya, peneliti bisa
mengambil kriteria subjek
dengan latar belakang yang
lebih beragam lagi seperti
anak tunggal, anak bungsu
anak yang kehilangan orang
tuanya akibat perceraian, atau
dengan menggunakan metode
penelitian lainnya seperti
penelitian kuantitatif. Dengan
menggunakan karakteristik
s u b j e k y a n g b e r b e d a
diharapkan hasil yang
diperoleh akan lebih
mendalam serta dapat
digeneralisasikan dalam
lingkup yang lebih luas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, M. (1977). The different ofaggression in human and animals.Journal of social psychology.Volume 50. No, 6, Desember.Chicago. American PsychologicalAssociation.
Baron, R. & Byrne, D. (2004).Psikologi Sosial . Jakarta :Erlangga.
Basuki, H, Dr. A. M. (2006). Penelitiankual i tat i f untuk i lmu -i lmukemanusiaan dan budaya. Jakarta: Gunadarma
Berkowitz, M. (1993). Anatomy ofhuman desrtuctivenes. New York: McGraw Hill Company.
Berkowitz, L. (1995). Agresi : Sebabdan akibatnya. Jakarta : PustakaBinaman Pressindo.
Chen, M, Ph.D. (1996). Anak-anak &televisi : Buku panduan orangtuam e n d a m p i n g i a n a k - a n a kmenonton tv . Jakar ta : PTGramedia Pustaka Utama.
Damayanti, A. (2000). Hubungan sikapdan ketertiban ibu pada pekerjaanrumah anak dengan sikap dankebiasaan belajar anak. Skripsi(tidak untuk diterbitkan). Fak. Psi.UI.
Deaux, K, Dane, F.C. & Wrightsman,L.S. (1993). Social psychology inthe 90’s. Pasific Grove,California : Brooks/ColePublishing.
Gumgum, G. (2005). Menyikapitayangan televisi di Indonesia.(Http : //www.kompas.com/kompascetak/0510/01 /Bentara/200 13 69.htm)Diakses 04 Januari 2010.
Gunarsa, D. S. (1990). Dasar dan teori
perkembangan anak. Jakarta
Indonesia: BPK Gunung Mulia
Gunarsa, D. S. (1999). Psikologiperkembangan. Jakarta : BPKGunung Mulia
Haryatmoko. (2007).Definisikekerasan.(Http://www.mengaisilmu.blogspot.com). Diakses 04 Januari 2010.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologip e r k e m b a n g a n : S u a t upendekatan sepanjang rentangkehidupan edisi kelima. Jakarta :Erlangga.
Hurlock, E. B. (1993). Psikologiperkembangan : Edisi kelima .Jakarta : Erlangga.
Hurlock, E. B. (1995). Jilid 1 :Perkembangan anak. Jakarta :Erlangga.
Koeswara, E. (1988). Agresi manusia.
Bandung : PT. Eresco.
Mahayoni & Lim, H. (2007). Anak vsmedia : Kuasai lah med iasebelum anak anda dikuasainya.J ak a r t a : P T . E le x M ed iaKomputindo.
Moleong, L. J. (2000). Metodologipenelitian. Bandung : RemajaRosdakarya.
Moleong, L. J. (2001). Metodologipenelitian kualitatif (Cetakankeempat belas) . Bandung :Remaja Rosdakarya.
Morgan, C. T., King, R. A., Weisz, J. R.& S c h o p l e r , J . ( 1 9 8 6 ) .Introduction to psychology :International edition. Singapore :McGraw Hill.
Moyer, K. E. (1976). The psychology ofaggression. New York : Hampar& Raw.
Poerwandari, K. (1998). Pendekatamkualitatif untuk penelitan perilakumanusia. Jakarta : LembagaP e n g e m b a n g a n S a r a n aPengukuran dan pendidikanPsikologi (LPSP3) FakultasPsikologi Universitas Indonesia.
Poerwandari, K. (2001). Pendekatamkualitatif untuk penelitan perilakumanusia. Jakarta : LembagaP e n g e m b a n g a n S a r a n aPengukuran dan pendidikanPsikologi Fakultas Psikologi.
Riyanti, B. P. D & Prabowo, H. (1988).Seri diktat kuliah : Psikologiumum 2. Jakarta : Gunadarma.
Sears, D. O., Freedman. J. I., Peplau, L.A. (1985). Psikologi sosial 2 edisikelima. Jakarta : Erlangga.
Sears, D. O., Freedman. J. I., Peplau, L.A. (1991). Psikologi sosial .Jakarta : Erlangga.
Setiawan, M. G. (2000). Menerobosdunia anak. Bandung : KalamHidup.
Sholihin. (2009). Awas acara televisi.(Http://sholihin.staff.uns.ac.id/2009/04/27/awas-acara-tv/) Diakses30 Maret 2010.
Sugiono. (2005). Metode penelitiankuantitatif, kualitatif, dan R&D.Bandung : IKAPI.
Triwardani, R. (2006). Kajian kritispraktik anak menonton filmkartun di televisi. (Http : //radmarssy.wordpers.com )Diakses 04 Januari 2010.
Wahidin. (2008). Makalah psikologitentang pengaruh televis iterhadap akhlak anak. (Http : //makalahkumakalahmu.wordpress.com ) Diakses 30 Februari 2010.
Widodo, S. (2008). Pengaruh tayangantelevisi terhadap perilaku agresipada anak. (Http : // Learning-of.Slametwidodo. Com / 2008/ 02 /01 / Smack-down/) Diakses 10Juni 2008.
Yusanto, Y. (2007). Pengertian televisi.(Http : // dosenyoki. Blongspot.Co m / 200 7 / 09 / Yo ki –Yusanto-s-sos. Html) Diakses 10Juni 2008.
www. Dharma wanita persatuan. Or. Id.Diakses 15 Agustus 2008.