acara ii line intercept transect.docx

30
I. PENDAHULUAN A. Judul Line Intercept Transect (LIT) B. Tujuan 1. Mahasiswa mampu melakukan pengambilan data dari sampling terumbu karang dengan metode LIT. 2. Mahasiswa mengetahui rata-rata panjang kategori pada tiap kedalaman. 3. Mahasiswa mengetahui presentase cover paling besar pada tiap kedalaman.

Upload: novia-hertiyani

Post on 26-Dec-2015

60 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Acara II Line Intercept Transect.docx

I. PENDAHULUAN

A. Judul

Line Intercept Transect (LIT)

B. Tujuan

1. Mahasiswa mampu melakukan pengambilan data dari sampling terumbu

karang dengan metode LIT.

2. Mahasiswa mengetahui rata-rata panjang kategori pada tiap kedalaman.

3. Mahasiswa mengetahui presentase cover paling besar pada tiap kedalaman.

Page 2: Acara II Line Intercept Transect.docx

II. TINJAUAN PUSTAKA

Metode LIT adalah metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang

menggunakan transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar

yang menyinggung transek (Saleh, 2009). Metode LIT merupakan metode yang

paling umum digunakan, metode ini memerlukan alat selam scuba lengkap.  Pada

titik yang telah ditentukan dengan metode manta tow dilakukan transek garis

menyinggung garis pantai yang dipasang parallel dengan kontur kedalaman dan

sejajar garis pantai (Fachrul, 2007). Menurut Razak dan Simatupang (2005),

metode LIT memiliki keuntungan yaitu :

1. Kategori lifeform memungkinkan didapatkannya informasi yang berguna

oleh pengamat dengan pengetahuan terbatas dalam identifikasi komunitas

benthik terumbu karang.

2. Data kuantitatif sehingga lebih akurat

3. Merupakan metode sampling data yang gampang dan efisien untuk

memperoleh persentase penutupan kuantitatif.

4. Dapat menyajikan informasi secara detail terhadap pola spasial.

5. Jika dapat diulang pada waktu yang diinginkan, maka akan menyediakan

informasi perubahan temporal.

6. Bisa mendapatkan ukuran koloni karang, yang merupakan indikator

stabilitas komunitas

7. Memerlukan peralatan minimal dan relatif sederhana.

8. Dapat mengukur kerapatan relatif

9. Dapat dikombinasikan dengan teknik serupa, misalnya belt dan video

transect maupun sensus ikan.

10. Informasi mengenai ukuran koloni dapat diperoleh.

Kekurangan metode LIT yaitu:

1. Sangat sulit untuk standarisasi beberapa ketegori lifeform di antara

sejumlah pengamat.

2. Tujuannya hanya terbatas pada data persentase penutupan dan atau

kelimpahan relatif.

3. Pengamat haruslah penyelam yang baik.

Page 3: Acara II Line Intercept Transect.docx

4. Tidak dapat digunakan untuk masalah-masalah demografi seperti

pertumbuhan, rekrutmen dan mortalitas.

5. Tidak bagus digunakan untuk pendugaan kuatitatif persentase penutupan

spesies yang jarang atau kecil.

6. Memerlukan waktu yang lebih lama sehingga biaya juga meningkat.

7. Membutuhkan keahlian khusus sesuai dengan tingkat presisi data dan

informasi yang diinginkan.

8. Tidak bisa digunakan untuk biota yang jarang ditemukan atau terlalu kecil.

Menurut Saleh (2009), metode LIT merupakan metode pengamatan

ekosistem terumbu karang. Persentase tutupan untuk masing‐masing kategori

lifeform karang dapat dicari dengan persamaan berikut:

Persentase tutupan untuk seluruh kategori lifeform karang hidup dapat dicari

dengan persamaan berikut :

Ekosistem perairan merupakan suatu sistem lingkungan perairan yang

merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara jasad hidup

perairan (komponen biotik0 dengan lingkungan fisik perairan (komponen abiotik),

dan antar komponen itu sendiri, serta merupakan tatanan kesatuan secara utuh

menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi

dalam membentuk keseimbangan dan produktivitas lingkungan hidup (Haruddin

dkk., 2011).

Terumbu karang suatu ekosistem merupakan organisme yang hidup di

dasar perairan dan berupa bentuk batuan gamping (CaCO3) yang cukup kuat

menahan gelombang laut. Terumbu karang merupakan endapan massif kalsium

karbonat yang dihasilkan dari organisme karang pembentuk terumbu karang

(karang hermatiik) dari filum Coridaria ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose

dengan Zooxanthellae dan sedikit tambahan alga berkapur serta serta organisme

Page 4: Acara II Line Intercept Transect.docx

lain yang mensekresikan kalsium karbonat. Terumbu karang merupakan suatu

komunitas biologi yang tumbuh pada dasar batu gamping yang resisten terhadap

gelombang (Haruddin dkk., 2011).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks

dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, mengingat kondisi atau aspek

biologis, ekologis dan morfologis yang sangat khas. Maka merupakan suatu

ekosistem yang sangat sensitif terhadap berbagai gangguan baik yang ditimbulkan

secaran alamiah maupun akibat kegiatan manusia. Berdasarkan geomorfologinya,

ekosistem terumbu karang di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 tipe yaitu :

terumbu karang tepi atau pantai (Fringging Reef) tumbuh sepanjang tepian pantai

dengan kedalaman mencapai 40 meter, tingkat pertumbuhan terbaik di daerah

yang cukup ombak. Terumbu karang penghalang berada pada jarak yang cukup

jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai oleh goba (lagone) dengan kedalaman

antara 45- 47 meter dengan lebar puluhan kilometer (Haruddin dkk., 2011).

Terumbu karang penghalang berakar pada kedalaman yang melebihi

kedalaman maksimum, dimana bentuk organisme penyusun terumbu karang bisa

hidup. Terumbu karang cincin berada pada jarak yang lebih jauh dari pantai

dengan kedalaman mencapai 45 meter bahkan ada yang mencapai 100 meter,

berbentuk melingkar seperti cincin atau oval dan melingkari goba. Terumbu

karang Takat merupakan terumbu karang yang berada diantara perpotongan

terumbu karang atol (cincin) yang merupakan daerah lekukan (patahan) pada

karang atol, dapat tumbu pada kedalaman yang sama pada pada karang atol

(Haruddin dkk., 2011).

Menurut English dkk (1994), berdasarkan bentuk pertumbuhannya,

karang batu terbagi atas karang acropora dan non-acropora. Karang jenis acropora

lebih mudah dibedakan dan memiliki jumlah jenis dan penyebaran sangat luas

dibandingkan dengan jenis lainnya. Perbedaan karang acropora dengan non-

acropora terletak pada struktur skeletonnya, dimana acropora memiliki bagian

yang disebut axial koralit dan radikal koralit, sedangkan non acropora hanya

memiliki radial. Berikut kategori bentuk substrat dasar yaitu :

Page 5: Acara II Line Intercept Transect.docx

a. Acropora :

1.) Acropora bercabang ( Acropora branching) (ACB) : bentuk bercabang

seperti ranting pohon. Contoh Acropora palmata, Acropora Formosa.

Gambar 1. Acropora Bercabang(English dkk., 1994).

2.) Acropora meja (Acropora tabulate) (ACT) : bentuk bercabang dengan

arah mendatar, rata seperti meja. Contoh : Acropora hyacinthus.

Gambar 2. Acropora Meja (English dkk., 1994).

3.) Acropora merayap (Acropora encrusting) (ACE) : bentuk merayap,

biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. Contoh : Acropora

palifera dan Acropora cuneata.

Gambar 3. Acropora Merayap (English dkk., 1994).

4.) Acropora submasif (Actopora submassive) (ACS) : percabangan bentuk

gada/lempeng dan kokoh. Contoh : Acropora palifera, karang ini banyak

dijumpai hidup kedalaman 9-15 meter.

Page 6: Acara II Line Intercept Transect.docx

Gambar 4. Acropora Submasif (English dkk., 1994).

5.) Acropora berjari (Acropora digitate) (ACD) : bentuk percabangan rapat

dengan cabang seperti jari-jari tangan. Contoh : Acropora humilis,

Acropora digitifera, dan Acropora gemmifera.

Gambar 5. Acropora Berjari (English dkk., 1994).

b. Non-Acropora :

1.) Karang bercabang (coral branching) (CB) : bentuk bercabang, seperti

ranting pohon. Contoh : Seriatopora hystrix.

Gambar 6. Karang Bercabang (English dkk., 1994).

2.) Karang massif (coral massive) (CM) : bentuk seperti batu besar yang

padat. Contoh : Platygyra daedalea.

Page 7: Acara II Line Intercept Transect.docx

Gambar 7. Karang Massif (English dkk., 1994).

3.) Karang merayap (coral encrusting) (CE) : bentuk merayap, hampir

seluruh bagian menempel pada subtract. Contoh : Porites vaughani dan

Montipora undata.

Gambar 8. Karang Merayap (English dkk., 1994).

4.) Karang submasif (coral submassive) (CS) : bentuk kokoh dengan

tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. Contoh : Porites lichen dan

Psammocora digitata.

Gambar 9. Karang Submasif (English dkk., 1994).

5.) Karang lembaran (coral foliose) (CF) : bentuk menyerupai lembaran

daun. Contoh : Merulina ampliata dan Montipora aequituberculata.

Gambar 10. Karang Lembaran (English dkk., 1994).

Page 8: Acara II Line Intercept Transect.docx

6.) Karang jamur (coral mushroom) (CMR) : soliter, bentuk seperti jamur.

Contoh : Fungia repanda.

Gambar 11. Karang Jamur (English dkk., 1994).

7.) Karang api (Millepora) (CME) : semua jenis karang api, dapat dikenali

dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti

terbakar bila tersentuh.

Gambar 12. Karang Api (English dkk., 1994).

8.) Karang biru (Heliopora) (CHL) : karang biru dapat dikenali dengan

adanya warna biru pada skeletonnya.

Gambar 13. Karang Biru ((English dkk., 1994).

c. Karang mati (Dead scleractina) terdiri dari :

1.) Karang mati (DC) : karang yang baru mati, berwarna putih.

2.) Karang mati yang ditutupi alga (DCA) : karang mati yang masih

tampak bentuknya, tapi sudah mulai ditumbuhi alga halus.

d. Alga terdiri dari :

1.) Alga makro (macro algae) (MA) : alga berukuran besar.

2.) Alga rumput (turf algae) (TA) : alga berukuran halus, menyerupai

rumput-rumput halus.

3.) Alga koralin (coralline algae) (CA) : alga mempunyai struktur kapur.

Page 9: Acara II Line Intercept Transect.docx

4.) Halimeda (HA) : alga dari marga Halimeda sp, mendiami berbagai

habitat laut dari daerah bawah berpasir dengan struktur karang berbatu,

dan dapat hidup hingga kedalaman 150 meter (500 kaki).

5.) Kumpulan alga (alga assemblage) (AA) : terdiri dari satu jenis alga.

e. Fauna lain :

1.) Karang lunak (soft corals) (SC) : karang dengan tubuh lunak, Sinularia

sp

2.) Sepon (sponges) (SP) : Clathria sp

3.) Zoanthids (ZO) : Palythoa sp

4.) Lain-lain (OT) : Anemon, teripang, dll. Menurut Hadi dan Sumadiyo

(1992), pada umumnya anemon banyak dijumpai pada daerah terumbu

karang yang dangkal, di goba atau di lereng terumbu.

Gambar 14. Fauna Lain (English dkk.,1994).

Gambar 15. Fauna Lain-lain (English dkk., 1994).

Karang Acropora biasanya ditemukan di tempat dangkal di seluruh

perairan Indonesia, memiliki bentuk percabangan yang sangat bervariasi dari

corimbose, arborescent, kapitosa dan lain-lainnya. Karang Acropora biasanya

ditemukan di tempat dangkal di seluruh peraiaran Indonesia, memiliki bentuk

Page 10: Acara II Line Intercept Transect.docx

percabangan yang sangat bervariasi dari corimbose, arborescent, kapitosa dan

lain-lainnya (Syarifuddin, 2011).

Menurut Amin (2009), ekosistem terumbu karang dikatakan buruk

apabila mempunyai karang hidup sebesar 0 – 24,9 %, sedang apabila tutupan

karang hidup 25 – 49,9 %, dikatakan bagus apabila tutupan karang hidup 50 –

74,9 % dan dikatakan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup > 75

%. Terumbu karang tidak dapat hidup di air tawar atau muara ataupun hidup

disemua tempat, akan tetapi hidup di perairan laut yang memiliki syarat-syarat

tertentu yaitu :

1. Perairan yang bertemperatur di antara 18 – 30oC.

2. Kedalaman air kurangnya dari 50 meter.

3. Salinitas air laut 30 – 36 per mil (‰).

4. Laju sedimentasi relatif rendah dengan perairan yang relatif jernih.

5. Pergerakan air/arus yang cukup.

6. Perairan yang bebas dari pencemaran.

7. Substrat yang keras.

Pecahan ombak yang besar pada sisi yang terbuka (windward) suatu atol

menciptakan perkembangan pematang algae dan rataan terumbu. Pada daerah ini

perkembangan karangnya minimal. Sebaliknya pada sisi yang terlindung

(leeward), perkembangan pematang algae berkurang dan perkembangan karang

dominan (Suryanti dkk., 2011).

Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu

rata-rata tahunan berkisar 23 – 25 0C dan memiliki toleransi suhu sampai 36 –

40 0C.  Salinitas 32-35 0/00 merupakan salinitas dimana terumbu karang dapat

bertahan hidup.  Faktor selanjutnya adalah cahaya dan kedalaman, faktor ini

berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang

terdapat di jaringan karang.  Kecerahan berhubungan dengan penetrasi cahaya,

kecerahan yang tinggi membuat penetrasi cahaya menjadi tinggi.  Tingginya

penetrasi cahaya menyebabkan produktivitas perairan menjadi tinggi.  Paparan

udara (aerial exposure) merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan

jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya (Suryanti dkk., 2011).

Page 11: Acara II Line Intercept Transect.docx

Faktor terakhir yang berperan di dalam ekosistem terumbu karang adalah

gelombang dan arus.  Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang

yang besar dapat merusak struktur terumbu karang, sedangkan arus dapat

berdampak positif yaitu membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang

diperlukan oleh karang dan zooxanthellae dan juga berdampak negatif  yaitu

menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan

karang sehingga berakibat pada kematian karang (Suryanti dkk., 2011).

Menurut Suryanti dkk (2011), metode sampling komunitas terumbu

karang dengan menggunakan metode line transect digunakan pada kedalaman 3

dan 10 meter. Hal tersebut dilakukan karena pada kedalaman 3 m dianggap

mewakili daerah reef flat, sedangkan 10 m mewakili daerah slope. Jenis karang

yang dominan disuatu habitat tergantung lingkungan atau kondisi dimana karang

tersebut hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh

suatu jenis karang tertentu, pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi

karang-karang kecil yang umumnya berbentuk massive dan submassive. Lereng

terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang, karang massive lebih

banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus.

Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones)

memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang, berbeda pada gelombang

yang kuat (windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk percabangan

pendek, kuat, merayap atau submasif. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui

bahwa kedalaman tidak berpengaruh terhadap morfologi karang, hal ini karena

pada kedalaman yang berbeda jenis karang berdasarkan morfologi yang

ditemukan relatif tidak terdapat perbedaan nyata, hanya jumlah yang

mendominasinya saja yang berbeda (Suryanti dkk., 2011).

Page 12: Acara II Line Intercept Transect.docx

III.METODE

A. Alat dan Bahan

Alat :

1. Roll meter

2. Kategori lifeform

3. Lembar data LIT

4. Alat tulis

5. Penggaris

B. Cara Kerja

Roll meter sepanjang 20 meter dibentangkan, lalu kategori lifeform

diletakkan secara acak pada roll meter dengan kedalaman 3 M dan 10 M.

Panjang dari setiap kategori yang diperoleh dicatat di lembar data LIT (Line

Intercept Transect). Kemudian presentasi cover tiap kategori per kedalaman

dihitung. Hasil setiap kedalaman dibandingkan dan data dianalisis.

Page 13: Acara II Line Intercept Transect.docx

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Dari praktikum yang telah dilakukan mengenai Line Intercept Transect

(LIT) pada kedalaman 3 meter dan 10 meter, maka diperoleh hasil sebagai

berikut :

Tabel 1. Hasil Perhitungan Panjang Kategori Lifeform Di Tiap Kedalaman

Kedalaman Rata-rata

3 M (transek 1 dan 2) 310,75 cm

10 M (transek 3 dan 4) 338,55 cm

B. Pembahasan

Metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang menggunakan

transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar yang

menyinggung transek (Saleh, 2009). Pada titik yang telah ditentukan dengan

metode manta tow dilakukan transek garis menyinggung garis pantai yang

dipasang parallel dengan kontur kedalaman dan sejajar garis pantai (Fachrul,

2007). 

Menurut Suryanti dkk (2011), metode sampling komunitas terumbu

karang dengan menggunakan metode line transect digunakan pada kedalaman

3 dan 10 meter. Hal tersebut dilakukan karena pada kedalaman 3 m dianggap

mewakili daerah reef flat, sedangkan 10 m mewakili daerah slope dengan kata

lain tujua dilakukan sampling pada kedalaman 3 dan 10 meter untuk melihat

perbedaa keragaman terumbuh karang di kedalaman yang berbeda. Jenis

karang yang dominan disuatu habitat tergantung lingkungan atau kondisi

dimana karang tersebut hidup.

Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh suatu

jenis karang tertentu. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karang-

karang kecil yang umumnya berbentuk massive dan submassive. Lereng

terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang, karang massive

lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus (Suryanti

dkk., 2011).

Page 14: Acara II Line Intercept Transect.docx

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata panjang kategori lifeform pada

kedalaman 3 M (transek 1 dan 2) yaitu 310,75 cm dan rata-rata panjang

kategori lifeform pada kedalaman 10 M (transek 3 dan 4) yaitu 338,55 cm.

Rata-rata panjang kategori lifeform pada kedalaman 10 M lebih besar

dibandingkan dengan kedalaman 3 M.

Pada transek 1 dengan kedalaman 3 M diperoleh kategori jenis ZO

dengan persen cover sebesar 12,53%, CME dengan persen cover sebesar

4,53%, CMR dengan persen cover sebesar 7,55%, ACD dengan persen cover

sebesar 21,14%, OT dengan persen cover sebesar 6,34%, CM dengan persen

cover sebesar 3,17%, SP dengan persen cover sebesar 10,12%, ACB dengan

persen cover sebesar 4,98%, ACS dengan persen cover sebesar 18,58%, CB

dengan persen cover sebesar 4,22%, CF dengan persen cover sebesar 6,79%.

Jenis kategori yang paling dominan yaitu ACD dengan persen cover sebesar

21,14%, dikarenakan ACD termasuk dalam acrospora menurut Syarifuddin

(2011) karang Acropora biasanya ditemukan di tempat dangkal di seluruh

perairan Indonesia serta dapat pula dikarenakan kondisi pada transek 1

merupakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan ACD.

Pada transek 2 dengan kedalaman 3 M diperoleh kategori jenis SC

dengan persen cover sebesar 7,57% , ACE dengan persen cover sebesar 9,29%,

CME dengan persen cover sebesar 6,37%, TA dengan persen cover sebesar

17,56%, OT dengan persen cover sebesar 22,03%, CE dengan persen cover

sebesar 7,57%, CS dengan persen cover sebesar 14,8%, CHL dengan persen

cover sebesar 3,79%, ACS dengan persen cover sebesar 6,71%, dan CMR

dengan persen cover sebesar 4,3%. Jenis kategori yang paling dominan yaitu

OT dengan persen cover sebesar 22,03%, menurut Hadi dan Sumadiyo (1992),

pada umumnya anemon (salah satu jenis OT) banyak dijumpai pada daerah

terumbu karang yang dangkal, di goba atau di lereng terumbu serta dapat pula

dikarenakan kondisi pada transek 2 merupakan kondisi yang paling baik bagi

pertumbuhan OT.

Pada transek 3 dengan kedalaman 10 M diperoleh kategori jenis OT

dengan persen cover sebesar 9,77%, ACB dengan persen cover sebesar 9,52%,

Page 15: Acara II Line Intercept Transect.docx

CMR dengan persen cover sebesar 9,55%, ACE dengan persen cover sebesar

8,24%, HA dengan persen cover sebesar 1,06%, ZO dengan persen cover

sebesar 11,61%, CHL dengan persen cover sebesar 9,72%, ACS dengan persen

cover sebesar 13,28%, CD dengan persen cover sebesar 4,90%, CME dengan

persen cover sebesar 3,65%, SP dengan persen cover sebesar 2,65%, dan CM

dengan persen cover sebesar 4,32%. Jenis kategori yang paling dominan yaitu

ACS dengan persen cover sebesar 13,28% salah satu contoh ACS yaitu

Acropora palifera karang ini banyak dijumpai hidup kedalaman 9-15 meter

(English dkk., 1994) serta dapat pula dikarenakan kondisi pada transek 3

merupakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan ACS.

Pada transek 4 dengan kedalaman 10 M diperoleh kategori jenis CS

dengan persen cover sebesar 6,60%, SP dengan persen cover sebesar 7,70%, C

dengan persen cover sebesar 4,09%, CB dengan persen cover sebesar 6,45%,

CME dengan persen cover sebesar 5,19%, ACS dengan persen cover sebesar

11,32%, ACT dengan persen cover sebesar 7,70%, CF dengan persen cover

sebesar 3,77%, ZO dengan persen cover sebesar 3,46%, ZM dengan persen

cover sebesar 5,35%, OT dengan persen cover sebesar 6,45%, HA dengan

persen cover sebesar 12,42%, ACE dengan persen cover sebesar 6,45%, SC

dengan persen cover sebesar 7,70%, ACB dengan persen cover sebesar 3,77%.

Jenis kategori yang paling dominan yaitu HA dengan persen cover sebesar

12,42%, Halimeda sp (HA) mendiami berbagai habitat laut dari daerah bawah

berpasir dengan struktur karang berbatu, dan dapat hidup hingga kedalaman

150 meter (500 kaki) (English dkk., 1994) serta dapat pula dikarenakan kondisi

pada transek 4 merupakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan HA.

Menurut Greenpeace Southeast Asia (Indonesia) (2013), data terbaru

(2012) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI mengungkap hanya 5,3% terumbu

karang Indonesia yang tergolong sangat baik. Sementara 27,18% digolongkan

dalam kondisi baik, 37,25% dalam kondisi cukup, dan 30,45% berada dalam

kondisi buruk. Hal ini berarti terumbu karang di Indonesia sudah termasuk ke

dalam kategori kondisi buruk. Terumbu karang (coral reef) Indonesia

merupakan yang terkaya di dunia. Luas terumbu karang di Indonesia ini

Page 16: Acara II Line Intercept Transect.docx

mencapai 2,5 juta hektar. Selain luas, terumbu karang Indonesia pun

memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sedikitnya 750 jenis karang

yang termasuk ke dalam 75 marga terdapat di Indonesia.

Kerusakan terumbu karang disebabkan dua faktor utama, yaitu kerusakan

oleh alam atau bencana alam dan kerusakan akibat aktivitas manusia.

Kerusakan oleh faktor alam seperti akibat terjadinya badai, tsunami, dan gempa

bumi di laut. Sedangkan kerusakan oleh manusia seperti diakibatkan oleh cara

penangkapan ikan di sekitar terumbu karang yang sifatnya merusak

(menggunakan bahan peledak, racun sianida, muro-ami dan perangkap

ikan), pencemaran laut, pemanasan global, penambangan batu karang dan

sedimentasi. Kerusakan akibat manusia ini jauh lebih beresiko (Greenpeace

Southeast Asia (Indonesia), 2013).

Gambar 16. Kondisi Terumbu Karang Indonesia (Greenpeace Southeast Asia

(Indonesia), 2013).

Page 17: Acara II Line Intercept Transect.docx

V. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai Line Intercept

Transect (LIT), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Prinsip metode LIT adalah menggunakan transek berupa meteran dengan

prinsip pencatatan substrat dasar yang menyinggung transek.

2. Panjang rata-rata kategori lifeform pada kedalaman 3 M (transek 1 dan 2) yaitu

sebesar 310,75 cm dan pada kedalaman 10 M sebesar 338,55 cm.

3. Pada transek 1 jenis kategori yang paling dominan yaitu ACD dengan persen

cover sebesar 21,14%. Pada transek 2 jenis kategori yang paling dominan yaitu

OT dengan persen cover sebesar 22,03%. Pada transek 3 jenis kategori yang

paling dominan yaitu ACS dengan persen cover sebesar 13,28%. Pada transek

4 jenis kategori yang paling dominan yaitu HA dengan persen cover sebesar

12,42%.

Page 18: Acara II Line Intercept Transect.docx

DAFTAR PUSTAKA

Amin. 2009. Terumbu Karang: Aset Yang Terancam (Akar Masalah dan

Alternatif Solusi Penyelamatan). Jurnal Region. 1(2):2-3.

English, S. C., Wilkinson dan Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical

Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Queensland. Hal

380-386.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT Bumi Aksara, Jakarta. Hal

124-126.

Greenpeace Southeast Asia (Indonesia). 2013. Laut Indonesia Dalam Krisis.

www.greenpeace.or.id. 26 Oktober 2014.

Hadi, N. dan Sumadiyo. 1992. Anemon Laut (Coelenterata, Actiniaria), Manfaat

dan Bahayanya. Jurnal Oseana. 27(4):170.

Haruddin, A., Purwanto, E. dan Budiastuti, S. Dampak Kerusakan Ekosistem

Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara

Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.

Jurnal EKOSAINS. 3(3):31-32.

Razak, T. B. dan Simatupang, K. L. M. 2005. Buku Panduan Pelestarian

Terumbu Karang: Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Yayasan

Terang, Jakarta. Hal 113-115.

Saleh. 2009. Teknik Pengukuran dan Analisis Kondisi Ekosistem Terumbu

Karang. www.coremap.or.id. 26 Oktober 2014.

Suryanti., Supriharyono dan Roslinawati, Y. 2011. Pengaruh Kedalaman

Terhadap Morfologi Karang Di Pulau Cemara Kecil, Taman Nasional

Karimun Jawa. Jurnal Saintek Perikanan. 7(1):68.

Syarifuddin, A. A. 2011. Studi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang

Acropora Formosa Menggunakan Teknologi Biorock Di Pulau Barrang

Lompo Kota Makassar. Naskah Skripsi S-1. Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Page 19: Acara II Line Intercept Transect.docx

LAMPIRAN

A. Perhitungan

%Cover=Panjang total ketegoriPanjang total transek

× 100

X=Transek x+Transek x i

2

1. Panjang transek 1 kedalaman 3 meter

% Cover (ZO) = 41,5/331 x 100 = 12,53%

% Cover (CME) = 15/331 x 100 = 4,53%

% Cover (CMR) = 25/331 x 100 = 7,55%

% Cover (ACD) = 70/331 x 100 = 21,14%

% Cover (OT) = 21/331 x 100 = 6,34%

% Cover (CM) = 10,5/331 x 100 = 3,17%

% Cover (SP) = 33,5/331 x 100 = 10,12%

% Cover (ACB) = 16,5/331 x 100 = 4,98%

% Cover (ACS) = 61,5/331 x 100 = 18,58%

% Cover (CB) = 14/331 x 100 = 4,22%

% Cover (CF) = 22,5/331 x 100 = 6,79%

2. Panjang transek 2 kedalaman 3 meter

% Cover (SC) = 22/290,5 x 100 = 7,57%

% Cover (ACE) = 27/290,5 x 100 = 9,29%

% Cover (CME) = 18,5/290,5 x 100 = 6,37%

% Cover (TA) = 51/290,5 x 100 = 17,56%

% Cover (OT) = 64/290,5 x100 = 22,03%

% Cover (CE) = 22/290,5 x 100 = 7,57%

% Cover (CS) = 43/290,5 x 100 = 14,8%

% Cover (CP) = 11/290,5 x 100 = 3,79%

% Cover (ACS) = 19,5/290,5 x 100 = 6,71%

% Cover (CMR) = 12,5/290,5 x 100 = 4,3%

Page 20: Acara II Line Intercept Transect.docx

3. Panjang transek 3 kedalaman 10 meter

%Cover (OT) = 35,1/359,1 x 100 = 9,77%

%Cover (ACB) = 34,2/359,1 x 100 = 9,52%

%Cover (CMR) = 34,3/359,1 x 100 = 9,55%

%Cover (ACE) = 29,6/359,1 x 100 = 8,24%

%Cover (HA) = 3,8/359,1 x 100 = 1,06%

%Cover (ZO) = 41,7/359,1 x 100 = 11,61%

%Cover (CHL) = 34,9/359,1 x 100 = 9,72%

%Cover (ACS) = 47,7/359,1 x 100 = 13,28%

%Cover (CD) = 17,6/359,1 x 100 = 4,90%

%Cover (CME) = 13,1/359,1 x 100 = 3,65%

%Cover (SP) = 9,5/359,1 x 100 = 2,56%

%Cover (CM) = 15,5/359,1 x 100 = 4,32%

4. Panjang transek 4 kedalaman 10 meter

% Cover (CS) = 21/318 x 100 = 6,60%

% Cover (SP) = 24,5/318 x 100 = 7,70%

% Cover (C) = 13/318 x 100 = 4,09%

% Cover (CB) = 20,5/318 x 100 = 6,45%

% Cover (CME) = 16,5/318 x 100 = 5,19%

% Cover (ACS) = 36/318 x 100 = 11,32%

% Cover (ACT) = 24,5/318 x 100 = 7,70%

% Cover (CF) = 12/318 x 100 = 3,77%

% Cover (ZO) = 11/318 x 100 = 3,46%

% Cover (ZM) = 17/318 x 100 = 5,35%

% Cover (OT) = 20,5/318 x 100 = 6,45%

% Cover (HA) = 39,5/318 x 100 = 12,42%

% Cover (ACE) = 20,5/318 x 100 = 6,45%

% Cover (SC) = 24,5/318 x 100 = 7,70%

% Cover (ACB) = 12/318 x 100 = 3,77%

Page 21: Acara II Line Intercept Transect.docx

5. Rata rata ketegori lifeform

a. Kedalaman 3 M

X3m=331+290,52

=310,75

b. Kedalaman 10 M

X10 m=359+3182

=338,55