adab guru dan murid menurut imam al-ghazali dalam...
TRANSCRIPT
I
ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI
DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
FAIQOTUL HIMMAH
NIM: 111-13-035
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
II
III
ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI
DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
FAIQOTUL HIMMAH
NIM: 111-13-035
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
IV
V
VI
VII
٤ وإنك لعلى خلق عظيم
VIII
PERSEMBAHAN
Yang paling utama dari segalanya, rasa syukur kepada Allah SWT. Atas
segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat yang luar biasa
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang tercinta
dan tersayang kepada:
1. Kedua orangtua-ku, Bapak M. Abdullah Faqih dan Ibu Muazzatul
Karimah yang tiada henti mendoakanku, memberikan semangat,
nasehat, dan kasih sayang serta banyak pengorbanan yang tak
tergantikan sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan dan
mendapatkan gelar sarjana.
2. Adikku Laila Nadhifah, Mbah Siti Khoiriyah tercinta, dan keluarga
Bulek Ana Mustafiah yang turut selalu mendoakanku, memberiku
semangat sehingga aku dapat menyelesaikan pendidikanku. Semoga
Allah senantiasa memberikan perlindungan serta Ridho dimanapun
mereka berada Aamiin .
3. Abah KH.Mahfudz Ridwan, Lc. (Alm), Ibu Hj. Nafisah, Gus
Muhammad Hanif, M.Hum. dan Bu Rosyidah, Lc. yang senantiasa
memberikan petuah dan doanya sehingga aku dapat menemukan makna
kehidupan yang nyata di Pondok Pesantren tercinta Edi Mancoro.
4. Keluargaku Para Dewan Asatidz Pondok Pesantren Edi Mancoro yang
selalu saya hormati dan saya banggakan, serta Keluarga Demisioner
Pengurus Organisasi Pondok Pesantren Edi Mancoro 2016/2017 yang
saya sayangi.
IX
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
sarjana dalam bidang Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
4. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga.
5. Dr. M. Ghufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan
ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya
dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.
6. Bapak Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi.
X
7. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, terutama Romo K.H
Mahfudz Ridwan Lc (Alm) dan Kyai Gus Muhamad Hanif, M.Hum. yang
selalu mendoakan santrinya untuk meraih keberhasilan dalam menuntut
ilmu, baik dalam keadaan apapun maupun dimanapun..
8. Karyawan Perpustakaan IAIN Salatiga yang telah menyediakan
fasilitasnya.
9. Bapak dan Ibu serta saudara-saudaraku di rumah yang telah mendoakan dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dan
penyusunan skripsi dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
10. Guru-guruku yang hebat dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang
saya hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing dengan penuh
kesabaran.
11. Mas Muhamad Farid yang selalu menguatkan, memberikan motivasi, dan
selalu mendampingiku sehingga mendapatkan gelar sarjana.
12. Sahabat- sahabatku tercinta Siti Sirril Inayah, Nur Kholifah, Qisthi
Faradina, Zainab, Khoiriyatun Kholidiyah, Arfias Wirda Muftihah, Tri Puji
Lestari, Zulfa Adzkia, Dian Apriyani, Mar’atus Sholikhah, Ngatini,
Bastiatul Muawwanah, Wahyu Anggun yang telah menemani hari- hariku
dan selalu memberikan dukungan penuh dalam mencapai gelar S.Pd.
13. Dek Anida, Dek Ajeng, Dek Dewi, Dek Anisa, Dek Dinda, Dek Husna, Dek
Sri, Mas Munif, Fa’un Niam yang turut memberikan dukungan penuh dan
membantu menyelesaikan skripsiku.
14. Keluarga Besar Yaa Bismillah (Youth Assosiation Of Bidikmisi
Limardhotillah) IAIN Salatiga, Bidikmisi angkatan 2013 saudara
seperjuangan yang selalu memberikan semangat dan saling menguatkan
dalam berbagai hal.
XI
XII
ABSTRAK
Himmah, Faiqotul. 2017. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam
Kitab Al-Adab Fi Al-Din. Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu
Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Ghufron, M. Ag.
Kata Kunci : Adab, Guru dan Murid, Kitab al-Adab Fi al-Din, al-Ghazali
Dalam kehidupan nyata saat ini, dalam dunia pendidikan kasus asusila
banyak terjadi diakibatkan karena tidak diindahkannya adab sopan santun antara
guru dan murid sesuai dengan ajaran agama. Penelitian ini merupakan upaya untuk
mengetahui adab guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din karya Imam al-
Ghazali. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)
Bagaimana adab guru dan murid Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Adab
Fi al-Din?, (2) Bagaimana relevansi adab guru dan murid dalam Kitab al-Adab Fi
al-Din dikaitkan dengan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di
Indonesia saat ini?
Metode penelitian yang digunakan yaitu literature (kepustakaan). Data
primer dan sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan alat
pengumpul data berupa metode dokumentasi. Setelah data terkumpul, selanjutnya
dilakukan analisis. Adapun analisisnya dengan menggunakan metode analisis isi
(content analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) adab guru dan murid dalam kitab
al-Adab Fi al-Din adalah bahwasanya guru hendaknya tawadhu’, tidak bersikap
sombong, menjadi sosok suri tauladan, tidak berperilaku buruk, dapat
mempertimbangkan kemampuan intelektual muridnya, menjauhkan murid dari
perilaku buruk dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Adapun diantara
kewajiban murid adalah tawadhu’, menerima pendapat guru dan tidak
menyalahkannya, selalu berfikir postif, konsentrasi ketika proses pembelajaran
berlangsung, meninggalkan perbuatan negatif, bersikap ramah, sopan terhadap guru
dan sesama teman serta mengulang kembali pelajaran yang telah didapatkan di
sekolah. b) adab guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din dengan konteks saat
ini dapat menjadi solusi dalam memperbaiki akhlak guru dan murid dalam proses
pembelajaran khususnya dalam menghadapi karakteristik zaman sekarang. Agar
tercermin adanya relasi yang harmonis yaitu relasi searah antara guru dan murid
untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara maksimal.
XIII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................................i
LEMBAR BERLOGO............................................................................................. ii
JUDUL ........................................................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. iv
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................................ vi
MOTTO ..................................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................................x
ABSTRAK ................................................................................................................ xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................1
B. Fokus Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................5
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................................6
E. Metode Penelitian .............................................................................................6
F. Telaah Kepustakaan........................................................................................10
G. Penegasan Istilah ............................................................................................13
H. Sistematika Penulisan ....................................................................................17
BAB II BIOGRAFI NASKAH
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali .................................................................19
1. Lahir ............................................................................................................19
2. Masa Muda .................................................................................................21
3. Masa Dewasa..............................................................................................24
4. Wafat...........................................................................................................28
B. Sistematika Kitab al-Adab Fi al-Din ............................................................29
C. Karya-Karya Imam Al-Ghazali .....................................................................31
BAB III ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI
DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN
A. Pengertian Adab Guru dan Murid .................................................................45
1. Pengertian Adab ........................................................................................45
2. Pengertian Guru.........................................................................................45
3. Pengertian Murid .......................................................................................47
B. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Adab Fi
Al-Din ............................................................................................................48
1. Adab Ahli Ilmu..........................................................................................48
2. Adab Murid dengan Guru .........................................................................50
3. Adab Mengajar Al-Qur’an........................................................................52
XIV
4. Adab Membaca Al-Qur’an .......................................................................53
5. Adab Mendidik Anak Kecil......................................................................54
6. Adab Ahli Hadits.......................................................................................56
7. Adab Belajar Hadits ..................................................................................58
8. Adab Menulis ............................................................................................60
9. Adab Ceramah ...........................................................................................61
10. Adab Mendengar .......................................................................................62
BAB IV ANALISIS ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-
GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN SAAT
INI
A. Analisis Adab Guru dan Murid dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din................64
1. Adab Guru .................................................................................................64
a. Adab Ahli Ilmu .....................................................................................65
b. Adab Mengajar Al-Qur’an ...................................................................68
c. Adab Mendidik Anak Kecil .................................................................70
d. Adab Ahli Hadits ..................................................................................72
e. Adab Ceramah ......................................................................................76
2. Adab Murid ...............................................................................................78
a. Adab Murid dengan Guru ....................................................................78
b. Adab Membaca Al-Qur’an ..................................................................79
c. Adab Belajar Hadits .............................................................................80
d. Adab Menulis .......................................................................................83
e. Adab Mendengar ..................................................................................85
B. Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din dengan
proses pembelajaran dalam dunia pendidikan saat ini .................................86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................92
B. Saran ...............................................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................95
LAMPIRAN- LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan Allah Swt dengan membawa potensi dapat
dididik dan dapat mendidik disertai dengan fitrah Allah Swt, yaitu berupa
pikiran dan perasaan dengan berbagai kecakapan dan ketrampilan yang
dapat berkembang sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang
mulia. Sesuai dengan firman Allah Swt :
ها لات بديل لخل ين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس علي ين فأقم وجهك للد ق الله ذلك الد
القي م ولكن أكث ر الناس لاي علمون
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Ruum: 30)
Pada ayat di atas Allah telah menciptakan semua manusia
berdasarkan fitrahnya. Dengan dibekali akal dan pikiran serta kemauan
untuk belajar menjadikan pendidikan sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dari manusia. Manusia sendiri memiliki dua unsur yang menjadi
tujuan pendidikan yaitu unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan
jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu pengetahuan (kognitif).
Pembinaan jiwa manusia menghasilkan kesucian dan sopan santun (afektif),
sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan
(psikomotorik) dalam dirinya.
2
Banyak tokoh Islam yang memiliki kepedulian dan
menyumbangkan pemikirannya tentang aktivitas belajar dan pembelajaran,
di antaranya adalah imam al-Ghazali. Tokoh ini banyak mewarnai
pendidikan masyarakat Islam Indonesia, terutama pendidikan di kalangan
pesantren.
Imam al-Ghazali merupakan pemikir Islam yang terkemuka. Kitab-
kitab karangan beliau telah tersebar di seluruh penjuru dan banyak juga yang
telah menggunakan atas apa yang telah diijtihadkan beliau. Salah satu kitab
karangan beliau yang fenomenal adalah kitab Ihya Ulumuddin. Selain itu,
kitab karangan beliau yang merupakan kelanjutan dari kitab Ihya’
Ulumuddin adalah Kitab al-Adab Fi al-Din. Kitab ini membahas tentang
aturan-aturan mendekati Allah Swt guna merengkuh cinta-Nya.
Kitab al-Adab Fi al-Din berisi tentang penjelasan mengenai adab
atau budi pekerti dalam menjalani kehidupan sehari-hari guna mendekatkan
diri kepada Allah Swt dan mendapatkan Ridho-Nya. Salah satu adab yang
tercantum dalam kitab al-Adab Fi al-Din adalah adab seorang guru dan
murid yang sangat berpengaruh dalam menanamkan nilai moral pada
perilaku anak didik (murid) maupun guru khususnya dan pendidikan Islam
di Indonesia pada umumnya.
Dalam pendidikan Islam, interaksi atau hubungan timbal balik
antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya
proses belajar mengajar. Kegiatan proses belajar mengajar merupakan suatu
proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar
3
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar
mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara guru dengan
siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya
penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap
dan nilai dari diri siswa yang sedang belajar (Usman, 1991: 1).
Salah satu di antara keseluruhan ciri-ciri guru yang professional
adalah adanya unsur moral dan etika yang harus dimiliki guru. Bahwasanya
seorang guru harus memiliki pemahaman, penghayatan dan penampilan
yang menjadikan dirinya sebagai teladan dan panutan bagi para siswanya.
Dalam konteks akhlak masa depan, visi pendidikan yang diberikan kepada
anak didik diharuskan untuk menyiapkan atau merencanakan perbaikan
akhlak yang telah mulai rapuh di masa sekarang.
Karena dalam kehidupan nyata saat ini, seringkali interaksi guru dan
murid yang kurang mendukung tercapainya tujuan pendidikan saat ini
disebabkan karena telah ditinggalkannya nilai-nilai etik spiritual yang
didasarkan pada agama dan diganti dengan nilai-nilai materialistik dalam
melakukan interaksi dunia pendidikan tersebut sehingga tidak
menghiraukan pendidikan kesusilaan atau adab.
Kasus asusila yang banyak terjadi diakibatkan karena tidak
dindahkannya adab sopan santun antara guru dan murid. Ada guru yang
berbuat tidak senonoh kepada muridnya, ada yang menyiksa hingga terluka,
disisi lain murid berkelahi di sekolah, di jalanan, senang tawuran, dan
4
sebagainya. Di antara contoh yang menunjukkan betapa buruknya hubungan
guru dan murid yang terjadi di sekitar kita di antaranya adalah hanya karena
tidak membersihkan ruang kelas, seorang guru bidang Ilmu Pengetahuan di
Sekolah Menengah Pertama, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara melukai
siswa tersebut dengan melempar kursi mengenai kepala siswa. Karena
perbuatan guru tersebut, siswa mengalami luka robek di kepala
(Liputan6.com, Patroli Labuhanbatu Utara. 21/7/2017 14:43). Kemudian,
kasus murid dengan guru terjadi di SMP Negeri 2 Pasangkayu, Mamuju
Utara, Sulawesi Barat. Seorang siswa kelas 3 diamankan aparat kepolisian
setelah dilaporkan pihak sekolah karena memukul gurunya menggunakan
batang kayu sepanjang 50 cm secara tiba-tiba (Liputan6.com, Mamuju
Utara. 08/082017 01:01).
Berdasarkan kondisi riil yang terjadi di lapangan seperti yang telah
diuraikan di atas, maka perlu dilakukan kajian mendalam tentang adab
interaksi antara guru dan murid di sekolah untuk menunjang keberhasilan
proses pendidikan, dan menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. Dengan
demikian, maka penulis mengkaji ulang pemikiran al-Ghazali dalam Kitab
al-Adab Fi al-Din mengenai adab yaitu tata cara atau sopan santun interaksi
seorang guru dan murid dalam pembelajaran agar selaras dalam
menjalankan hak dan tanggungjawabnya guna mencapai tujuan pendidikan.
Hal itu dikarenakan Mohd. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah
5
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak yang sempurna
adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan (Nata, 2013: 32).
Oleh karena itu, penulis akan berusaha melakukan penelitian guna
memberikan pencerahan kepada dunia pendidikan, dengan judul “ADAB
GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM
KITAB AL-ADAB FI AL-DIN”
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan di
atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam
Kitab al-Adab Fi al-Din?
2. Bagaimana Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi al-
Din dikaitkan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di
Indonesia saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai adab guru dan murid perpektif Imam al-Ghazali dalam kitab al-
Adab Fi al-Din. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Mendeskripsikan Adab Guru dan Murid Menurut Imam al-Ghazali
dalam Kitab al-Adab Fi al-Din.
6
2. Menemukan relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi
al-Din dikaitkan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan
di Indonesia saat ini.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang jelas bagi pembaca. Terdapat 2 manfaaat yakni manfaat teoretis dan
manfaat praksis.
1. Manfaat Teoretis
Dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan tentang studi
analisis tentang Adab Guru dan Murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din
serta aplikasinya dalam pendidikan Islam.
2. Manfaat Praksis
a. Bagi peneliti :
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan
khususnya dalam beradab yang baik bagi seorang guru dan murid.
b. Bagi masyarakat dan insan pendidikan :
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah wacana pendidikan Islam khususnya yang berkaitan dalam
membangun karakter anak bangsa.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam kategori
penelitian kepustakaan (library research), juga bisa disebut dengan
7
istilah studi pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
pengumpulan pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian (Zed, 2004: 3).
2. Sumber Data
Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini
merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan
yang dikategorikan sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur.
Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang
diambil dari sumber utamanya, yaitu dari Kitab al-Adab Fi al-Din
karya Imam al-Ghazali .
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah buku-buku atau tulisan-tulisan
lainnya yang mempunyai pembahasan yang erat hubungannya
dengan sumber primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini
adalah buku-buku atau karya ilmiah lain yang isinya dapat
melengkapi data penelitian yang penulis teliti misalnya perspektif
Islam tentang pola hubungan guru-murid (Studi Pemikiran Tasawuf
al-Ghazali) karya Abuddin Nata (PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta), kitab ihya’ ulumuddin karya al-Ghazali diterjemahkan oleh
Moh Zuhri (Asy Syifa’: Semarang), terjemahan kitab Adabul ‘Aliim
8
Wal Muta’aliim (pendidikan akhlak untuk pelajar dan pengajar)
karya KH. Hasyim Asy’ari diterjemahkan oleh M. Ishom Hadziq
(Pustaka Tebuireng: Jawa Timur) dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka
yaitu membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai
buku dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini dengan
mengutamakan data primer. Adapun data pendukung tersebut
merupakan kajian dari pemikiran Imam al-Ghazali tentang sejarah
pendidikannya dan juga konsep pemikirannya tentang pendidikan
khususnya mengenai adab seorang guru dan murid.
4. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan adalah analisis isi (content
analysis), dengan menguraikan dan menganalisis serta
memberikan pemahaman atas teks-teks yang dideskripsikan.
Metode content analysis digunakan untuk memperoleh
keterangan dari sisi komunikasi, yang disampaikan dalam
bentuk lambang yang terdokumentasi atau didokumentasikan,
baik dalam bentuk artikel, jurnal, buku, maupun karya-karya
Imam al-Ghazali (Tobroni, 2001: 71).
Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan
metode analisis isi adalah penafsiran. Apabila proses penafsiran
dalam metode kualitatif memberikan perhatian pada situasi
9
ilmiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis ini
memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh karena itulah,
metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang
padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi
komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi
dalam peristiwa komunikasi (Ratna, 2007:49).
Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji isi Kitab al-
Adab Fi al-Din yang mengandung penjelasan mengenai adab
seorang guru dan murid dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Langkah deskriptif, yaitu menguraikan teks-teks dalam
Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab
seorang guru dan murid.
b. Langkah interpretasi, yaitu menjelaskan teks-teks dalam Kitab al-
Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan
murid.
c. Langkah analisis, yaitu menganalisis penjelasan dari Kitab al-Adab
Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan murid.
10
d. Langkah mengambil kesimpulan, yaitu mengambil kesimpulan dari
Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang
guru dan murid.
F. Telaah Kepustakaan
Untuk mencapai hasil penelitian ilmiah diharapkan data-data yang
digunakan dalam penyusunan skripsi ini dan menghindari tumpang tindih
dari pembahasan penelitian. Dalam kajian pustaka yang telah dilakukan,
penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang temanya hampir sama
dan dari pengarang yang sama dengan judul penelitian ini, yaitu tokoh
“Imam al-Ghazali”. Diantara hasil penelitian terdahulu adalah sebagai
berikut :
1) Skripsi Paryono, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Agama Islam (PAI),
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga, 2014, yang
mengangkat tema pendidikan akhlak dengan judul “Konsep Pendidikan
Akhlak Imam al-Ghazali (Studi analisis kitab Ihya’ Ulumuddin)”
(Paryono, 2014). Kesimpulan dari skripsi konsep pendidikan akhlak
dalam kitab Ihya’ Ulumuddin antara lain: Pengajaran Keteladanan dan
Kognifistik, Mengolaborasi Behavioristik dengan pendekatan
Humanistik serta relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam dalam
membentuk akhlak yang mulia. Perbedaan skripsi tersebut dengan
skripsi yang akan dikaji penulis yaitu pada fokus penelitiannya. Paryono
dalam skripsinya fokus mengenai konsep pendidikan akhlak,
sedangankan skripsi penulis fokus kepada adab atau sopan santun
11
seorang guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din. Jadi, baik secara
tema, judul serta fokus pembahasan sangat berbeda.
2) Skripsi Putik Nur Rohmawati, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Agama
Islam (PAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, 2017, yang
mengangkat tema pendidikan akhlak dengan judul “Konsep Pendidikan
Akhlak dalam Kitab Ayyuhal Al-Walad Karya Imam al-Ghazali ” (Putik
Nur Rahmawati, 2017). Kesimpulan dari skripsi konsep pendidikan
akhlak dalam kitab Ayyuhal Al-Walad antara lain: konsep pendidikan
anak berpangkal pada empat hal, yaitu pertama, pendidikan bertujuan
untuk menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Kedua, syarat agar
seorang Syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW, Ia haruslah
seorang yang alim. Ketiga, inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat
seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Keempat, metode
yang digunakan al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Al-Walad adalah
dengan metode keteladanan, metode cerita atau kisah dan metode
pembiasaan. Adapun perbedaan skripsi Putik Nur Rohmawati yang
fokus penelitiannya adalah konsep pendidikan akhlak, sedangkan fokus
penelitian saya adalah adab atau sopan santun seorang guru dan murid
dalam kitab al-Adab Fi al-Din.
3) Buku yang ditulis oleh H. Abuddin Nata, M. A. yang berjudul
“Menurut Islamtentang Pola Hubungan Guru-Murid”. Dalam buku
tersebut dapat disimpulkan bahwa Ia berusaha memberikan sumbangan
dalam upaya membangun moralitas guru dan murid dalam suatu pola
12
hubungan yang harmonis dengan meneliti pemikiran pendidikan Imam
al-Ghazali dilihat dari kacamata sufistik (tasawuf). Skripsi penulis
memiliki kesamaan dengan buku ini, yaitu sama-sama membahas
mengenai hubungan guru dan murid. Akan tetapi, perbedaan skripsi
penulis terletak pada pembahasan yang difokuskan pada adab mengenai
guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din.
4) Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ghozali jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan
judul “Etika Guru dan murid Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab
Ihya’ Ulumuddin”. Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa ada tiga
dimensi yang tersirat dalam Etika guru dan murid sebagaimana yang
dirumuskan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yaitu adanya
tujuan yang jelas ke arah ukhrawi dengan berniat ibadah kepada Allah
Swt, adanya nilai-nilai yang khas yakni nilai religiusitas, adanya upaya
optimalisasi relasi antara guru dan murid.
Sedangkan penelitian yang saya lakukan walau sama-sama
mengenai pola hubungan guru dan murid, namun saya memfokuskan
pada adab seorang guru dan murid yang terdapat dalam Kitab al-Adab
Fi al-Din.
Berdasarkan beberapa karya yang diilustrasikan di atas, maka
penelitian ini akan memfokuskan kajian terhadap “ADAB GURU DAN
MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-
ADAB FI AL-DIN”. Tanpa sikap apriori penulis berkesimpulan selama
13
ini belum ada kajian yang secara khusus mengkaji topik yang akan
penulis angkat, terlebih penelitian pada kitab al-Adab Fi al-Din.
G. Penegasan Istilah
Agar tidak menimbulkan kesalahan pemahaman terhadap pokok
masalah yang dimaksud maka sebelumnya penulis menguraikan tentang
batasan pengertian yang dimaksud dalam judul “ADAB GURU DAN
MURID MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-
DIN “ adalah sebagai berikut :
1. Adab Guru
Adab guru terdiri dari dua kata yakni adab dan guru. Menurut
bahasa, Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi
pekerti, akhlak (KBBI, 1976: 5). M. Sastra Praja menjelaskan bahwa,
adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan
manusia. Sedangkan menurut istilah, adab adalah suatu ibarat tentang
pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah
(Rajasa, 2003: 309).
Adab ( آداب( dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia
memiliki arti moral, etika dan adab (Ali, 1998 : 64). Adab juga
memiliki arti etika dan moral. Menurut Ahmad Amin, Etika adalah
ilmu yang menjelaskan baik dan buruk dan menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus
ditempuh oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
14
jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia
itu sendiri ( Rahmaniyah, 2010: 59).
Sedangkan Moral adalah istilah manusia menyebut ke
manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai
positif. Moral sering didahului kata kesadaran, sehingga menurut
Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa kesadaran moral
merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia
selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai
dengan norma yang berlaku. Moral Menurut Istilah adalah suatu
istilah digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan
benar atau buruk (Nata, 2013: 78- 79).
Adab, etika dan moral sama-sama mengacu kepada ajaran
tentang perbuatan, tingkah laku, dan merupakan prinsip atau aturan
hidup manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaannya
serta merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang dengan
membutuhkan pengembangan berupa pendidikan, pembiasaan dan
keteladanan secara terus-menerus.
Sedangkan yang menentukan perbuatan baik dan buruk dalam
moral dan etika adalah adat istiadat dan pikiran manusia dalam
masyarakat. Sedangkan adab berhubungan dengan kesopanan,
kehalusan dan kebaikan budi pekerti dan sopan santun sesuai dengan
norma-norma tata susila.
15
Dengan demikian, adab merupakan pedoman untuk
membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada
sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.
Sedangkan guru merupakan orang yang melakukan tugas
mengajar. Dalam istilah lain guru bisa disebut juga dengan pendidik
sesuai dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi ( Kudrat, 2009 : 25).
Jadi, adab guru adalah suatu aturan mengenai sopan santun
yang didasarkan atas aturan agama Islam, yang digunakan seorang
guru dalam menjalankan tanggungjawab kedua setelah orangtua
dalam hal merngajar, mendidik, membimbing dan mengarahkan anak
didik agar menjadi individu yang berkualitas untuk dirinya sendiri
maupun orang lain.
2. Adab Murid
Adab menurut bahasa adalah kebudayaan, sopan santun
(Ngafenan, 1990: 35).
16
Sedangkan murid bisa juga disebut dengan peserta didik.
Murid adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang
atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan
(Djamarah, 2000 : 51). Murid dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 1
peserta didik atau murid didefinisikan sebagai anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu (Yasin, 2008 : 95).
Jadi, adab murid adalah suatu aturan mengenai sopan santun
yang didasarkan atas aturan agama Islam dan telah berlaku umum
dalam masyarakat yang dijadikan pedoman seorang murid dalam
kegiatan mengembangkan potensi diri yang dimilikinya baik dari segi
fisik maupun psikologis.
3. Imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya Imam al-Ghazali adalah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam besar Abu Hamid al-
Ghazali Hujjatul- Islam. Lahir pada tahun 450 H di Atthusyi dan wafat
tahun 505 H, dalam usia 55 tahun. (Syakur, 2008 : 33). Beliau adalah
seorang kutub tasawuf, pejuang spiritual dan tokoh pendidikan serta
tokoh dakwah kepada Allah Swt (al-Qardhawi,t.t : 9).
4. Kitab Al-Adab Fi Al-Din
Kitab al-Adab Fi al-Din yaitu suatu kitab yang berisi tentang
penjelasan adab dalam agama kaitannya dalam kehidupan sehari-hari.
17
Kitab ini dikarang oleh Imam al-Ghazali, beliau dilahirkan di Atthusyi
pada tahun 450 H. Kitab yang berisi sebanyak 54 halaman dan berisi
sebanyak 11 bab ini sangat ringkas dan mudah dipelajari. Kitab ini
sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan akhlak manusia untuk
mencapai ketinggian sebagai hamba-Nya khususnya bagi guru dan
murid yaitu dengan mengetahui dan mengamalkan penjelasan
mengenai adab dalam dalam kitab ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah,
maka penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara
garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling
berkaitanyaitu sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Dalam bab ini meliputi: Latar
Belakang, Fokus Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Kepustakaan,
Penegasan Istilah, Sistematika Penulisan.
BAB II : BIOGRAFI NASKAH. Bab ini menjelaskan tentang
riwayat hidup Imam al-Ghazali , yang meliputi: kelahiran,
masa muda, masa dewasa, latar belakang pendidikan,
karyanya, dan gambaran umum kitab al-Adab Fi al-Din.
BAB III : ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-
GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN. Bab
18
ini berisi tentang adab guru dan murid dalam kitab al-Adab
Fi al-Din karya Imam al-Ghazali .
BAB IV : ANALISIS ADAB GURU DAN MURID MENURUT
IMAM AL- GHAZALI DAN RELEVANSINYA
TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN SEKARANG INI.
BAB V : PENUTUP. Dalam bab ini memuat kesimpulan penulis dari
pembahasan skripsi ini, saran, daftar pustka, dan lampiran-
lampiran.
19
BAB II
BIOGRAFI NASKAH
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
1. Lahir
Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhamad bin Muhamad
bin Muhamad bin Ahmad Atthusyi. Kunyahnya adalah Abu Hamid,
Laqobnya adalah Hujjatul Islam. Lahir pada tahun 450 H. Atthusy
adalah tanah kelahirannya, merupakan kota di tanah Khurasan
daerah yang masih dalam kekuasaan Negara Baghdad ibu kota Iraq,
berjarak 10 Parsakh dari kota Naisabur (Syakur, 2008: 33).
Imam al-Ghazali lahir dari keluarga yang cukup sederhana,
bahkan bisa dikatakan miskin. Ayah Imam al-Ghazali bernama
Muhamad adalah orang sholeh yang selalu menjaga hati dan
tangannya dari kemaksiatan, pekerjaannya penenun kain Woll dan
menjualnya di toko miliknya yang berada di kota Atthusyi. Ayah al-
Ghazali juga memiliki kecenderungan hidup sufistik, ia adalah
seorang tipe pecinta ilmu, sehingga di samping menekuni
pekerjaannya, selesai berdagang ayahnya seringkali mengunjungi
majlis- majlis pengajian dan mendengarkan sesuatu yang diajarkan
oleh ulama ahli Fiqih dan ahli nasihat serta berusaha mengamati dan
mengamalkan perilaku para Ulama tersebut (Ghafur, 2006: 26).
Dari sinilah, Ia (Muhamad) bercita-cita dan selalu berdo’a
agar dikaruniai putra yang suka duduk di majlisnya para Ulama, baik
20
Ulama Fuqoha atau Ulama Ahli Petuah, yang mana mereka mau
mengajarkan urusan- urusan Agama kepada umat manusia, dan
sebagai penunjuk jalan terbaik dunia akhirat. Allah mendengarkan
do’anya dan memberi karunia kepadanya dua orang putra yaitu, Abu
Hamid al-Ghazali dan adiknya bernama Imam Amad al-Ghazali
(Syakur. 2008: 33).
Dengan kesadaran bahwa pendidikan memerlukan biaya,
sedang Ia miskin, sementara cita-citanya harus dipenuhi, maka
menjelang wafatnya, Ia menitipkan al-Ghazali dan adiknya, Ahmad,
kepada sahabat dekatnya, seorang sufi agar harta yang
ditinggalkannya kelak digunakan untuk biaya pendidikan anaknya
tersebut. Ayah al-Ghazali sendiri meninggal ketika al-Ghazali
diduga berusia enam tahun. Jelas Ia tidak sempat menyaksikan
‘bintang’ al-Ghazali . Hal ini berbeda dengan Ibunya (Ghafur. 2006:
26-27).
Wasiat tersebut dilakukannya terhadap Imam al-Ghazali dan
Ahmad adiknya, keduanya diajarkan cara menulis dan dididik ilmu
adab sampai semua harta benda peninggalannya almarhum yang
tidak begitu banyak habis untuk membiayai keduanya. Hingga suatu
hari sang sufi yang melaksanakan wasiat orang tua Imam al-Ghazali
menyampaikan alasannya dalam hal mengajarkan keduanya dan
biaya hidup makan sehari-hari, Ia tidak menemukan jalan yang dapat
21
memenuhi kebutuhan hidup keduanya kecuali makanan pagi dan
pakaian untuk belajar di Madrasah tersebut (Syakur, 2008: 34).
Sang sufi melaksanakan wasiat orang tua kedua anak yatim
itu dengan baik, keduanya ditinggalkan dalam keadaan fakir dan
tidak memiliki harta yang dapat menunjang kebutuhan hidupnya.
Kemudian sang sufi mengirim Al-Ghazali dan Ahmad ke Madrasah
Nizamiyah Tus yang bisa memberi jaminan biaya pendidikan. Di
Madrasah tersebut Ia belajar Fiqh Syafi’i dan teologi Asy’ariyah di
samping belajar Nahwu-Sharaf pada Ahmad Ibnu Muhammad ar-
Razkani at-Tus. Pada waktu itu, usia al-Ghazali masih relatif kecil,
yaitu sekitar umur 10 tahun. Namun, sejak itulah terlihat ketinggian
derajat keduanya dan al-Ghazali memperlihatkan semangatnya yang
menggelora untuk mencari dan mendalami ilmu hingga ke jenjang
yang lebih tinggi (Ghafur, 2006: 28).
2. Masa Muda
Dari Tus, al-Ghazali pergi ke kota Jurjani yaitu kota besar
yang terletak diantara Thobrostan dan Khurrosan di Iraq. Imam al-
Ghozali pergi ke Jurjani berguru kepada Imam Abi Nasir al-Ismaily
mendalami Ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu yang berkembang ketika itu
serta menulis keterangan-keterangannya. Tidak diketahui secara
pasti, berapa lama al-Ghazali menuntut ilmu di Jurjan. Namun, kira-
kira pada usia baligh, yakni 17 tahun, Ia kembali ke kampung
halamannya di Atthusyi (Ghafur. 2006: 28-29).
22
Dalam perjalanan kembali ke kampung halaman, al-Ghazali
mengalami peristiwa perampokan di jalan. Imam As’ad al-Maihani
berkata: “Aku mendengar Imam al-Ghazali berkata: Kami dirampok
di tengah perjalanan dan mereka mengambil semua barang yang
kami bawa kemudian mereka berlalu meninggalkan kami, mereka
aku ikuti terus dari belakang, kemudian pimpinan mereka menoleh
kepadaku sambil berkata: Kembalilah kalau kamu tak ingin mati !“
Segerombolan perampok itu mengambil barang bawaan al-
Ghazali yang diantaranya berisi adalah Ta’liqot (tulisan keterangan
guru) miliknya. Al-Ghazali meminta kepada perampok itu agar
mengembalikan catatan belajarnya itu. Akan tetapi, pimpinan
perampok itu tertawa terbahak-bahak dan mengejek al-Ghazali
bahwa al-Ghazali akan hidup tanpa ilmu, dan tidak mengetahui
pelajaran apa yang ada di dalam catatan itu. Kejadian itu menjadi
pelajaran positif untuk al-Ghazali bahwasanya ucapan perampok itu
adalah datangnya dari Allah yang mengingatkan kepada al-Ghazali
lantaran ucapan perampok itu. Ketika sampai di kampung
halamannya di Atthusyi, al-Ghazali menghabiskan waktunya selama
tiga tahun untuk belajar dan menghafal semua keterangan yang Ia
tulis agar sewaktu-waktu tulisan itu dirampok orang aku tidak
kehilangan ilmu. Hal ini menjadi pelajaran baik untuk kemajuan
bagi dunia pendidikan (Syakur, 2008: 35-36).
23
Selama tiga tahun di kampung halamannya Atthusyi, Ia
belajar sendiri meskipun pada saat- saat tertentu Ia juga belajar
tasawuf pada Yusuf an-Nassaj (w.487 H). Tokoh inilah yang kelak
juga berpengaruh pada diri al-Ghazali sehingga mengambil dan
memutuskan jalan sufi (Ghafur, 2006: 29).
Setelah kurang lebih tiga tahun berada di tempat
kelahirannya, dalam usia yang ke 20-an, al-Ghazali bersama
kelompok pemuda lainnya melanjutkan studi ke Naisapur, masih
wilayah Khurasan, ibu kota Turki Saljuk, salah satu daerah
terpenting sebagai pusat pemikiran pada dunia Islam ketika itu
setelah Baghdad, untuk berguru pada maha guru di tempat tersebut
al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain. Disinilah al-Ghazali
diperkenalkan dengan berbagai cabang ilmu yang berkembang
ketika itu, seperti teologi, Fiqih, logika, filsafat, metode berdiskusi
dan lain-lain, sehingga Ia dengan bakat kecerdasan dan
ketekunannya mampu menguasai ilmu-ilmu tersebut sampai paham
apa yang diungkapkan oleh masing-masing ahli ilmu itu dan
bagaimana menolak klaim-klaimnya (Ghafur, 2006: 30).
3. Masa Dewasa
Setelah Imam Haromain wafat, Imam al-Ghazali keluar
menuju ke sebuah markas prajurit dengan maksud bertemu dengan
seorang patih (Menteri) Nizam al-Mulk yang mengatur tentang
undang-undang kerjaan (peraturan Negara) karena berkaitan dengan
24
majlis ta’lim miliknya yang menjadi tempat berkumpulnya para
ulama. Di majelis inilah al-Ghazali berdebat dengan para tokoh
Ulama dan menundukkan lawan-lawan bicaranya, ucapannya yang
mampu mengalahkan mereka (Syakur, 2008: 36).
Al-Ghazali dalam mengikuti majelis Perdana Menteri
Nidzam al-Muluk sangat diterima dengan penghormatan luar biasa,
mengingat derajat intelektualnya di mata Perdana Menteri cukup
tinggi, dan pandangan-pandangannya yang bagus. Sementara
Nidzam al-Muluk sendiri merupakan seorang Perdana Menteri yang
sangat menghargai dan memberikan penghormatan yang
proposional kepada para Ulama dan orang-orang yang layak
dihormati hingga nama Imam al-Ghazali mencuat masyhur.
Akhirnya, Nidzam al-Muluk menugaskan al-Ghazali untuk pergi ke
Baghdad dalam rangka mengajar di Akademi Nidzamiyah. Seluruh
siswa dan para Ulama di sana sangat terkagum-kagum atas
penjelasan dan pandangan-pandangannya. Sejak saat itu Ia menjadi
Imam penduduk Irak, setelah melewati karir keimanannya di
Khurasan (al-Qardhawi, t.t.:187-188).
Al-Ghazali mengajar dan menjadi rektor di Universitas
Nidzamiyah kurang lebih selama 4,5 tahun. Ia disibukkan dengan
kegiatan mengajar, meneliti, mempelajari buku filsafat secara
otodidak, dan menulis buku. Dari tangan “dinginnya” lahir beberapa
karya dimulai dari Fiqih, logika, dialektika dan filsafat, sampai
25
tentang bathiniyah. Al-Ghazali dengan tuntas membaca karya-karya
filsafat dan aliran-alirannya serta tentang ta’limiyah sehingga lahir
beberapa karya mengenai tema tersebut yang bukan hanya bercorak
deskriptif tapi juga argumentative. Semua ilmu yang telah
dipelajarinya tidak ada yang memuaskan kegelisahan intelektual dan
spiritualnya. Menurutnya, tinggal satu jalan yang belum dilaluinya
secara serius-intensif dan praktis (pengalaman langsung), yaitu
tasawuf. Maka ia membaca beberapa literature tasawuf, melalui
tulisan para sufi seperti al-Muhasibi (w. 243 H/ 637 M), al-Junaid
(w. 298 H/854 M), as-Shibli (w. 334 H/495 M), al-Bustami (w. 262
H/875 M) dan lain-lain. Dari studinya tersebut ia berkesimpulan
bahwa yang penting bagi mereka adalah pengalaman dengan dzauq
dan suluk (dan ini belum dicapai al-Ghazali secara maksimal).
Sehingga al-Ghazali memastikan bahwa satu-satunya harapan
mencapai kepastian dan kenikmatan dalam kehidupan nanti terletak
pada jalan kaum sufi (Ghafur, 20006: 34).
Ketika nama dan posisinya semakin tinggi di mata para
pejabat, para menteri dan para tokoh serta keluarga kerajaan, tiba-
tiba al-Ghazali meninggalkan Baghdad terkait dengan sisi-sisi
kehidupan yang diwarnai popularitas, dan segala hal yang berbau
duniawi, untuk menempuh faktor-faktor menuju ketakwaan (al-
Qardhawi, t.t.:187-188).
26
Ketika Imam al-Ghozali menampakkan keinginannya untuk
pergi ke Makkah melakukan ibadah haji di Baitullah al-Harom,
beliau berangkat pada bulan Dzulqo’dah tahun 488 H dan meminta
adiknya yang bernama Ahmad untuk menggantikannya dalam
urusan mengajar. Setelah dari Makkah beliau pergi ke Damaskus di
Syam pada tahun 489 H, tetapi niatnya ke Syam ini tidak Ia
tampakkan takut diketahui Kholifah dan teman-temannya, kalau Ia
punya azzam untuk bermukim di Syam (Syakur, 2008: 37).
Pilihan al-Ghazali untuk ke Syam dikarenakan keberadaan
seorang guru sufi di Damaskus bernama Abu Al-Fath Nasr ibn
Ibrahim al-Magdisi an-Nabulisi (w. 490 H/1097 M) yang juga
merupakan sarjana terkemuka madzhab Syafi’i di Syiria. Tujuan
sebenarnya adalah ingin mencurahkan secara penuh pada jalan sufi.
Al-Ghazali tinggal selama dua tahun di tempat itu, dan selama itu
pula Ia melakukan uzlah, khalwat, riyadhah, dan mujahadah,
sebagaimana ajaran tasawuf yang diperolehnya. Perilakunya itu
didedikasikan untuk menjernihkan bathin agar mudah berdzikir
kepada Allah Swt (Ghafur, 20006: 37- 38).
Sewaktu di Syam, Imam al-Ghazali hanya beribadah di
menara masjid dengan mengunci diri di dalamnya, tidak ada
kegiatan kecuali hanya uzlah dan menyepi dari banyak orang dan
riyadhoh serta mujahadah dengan tujuan membersihkan nafsu dan
membersihkan akhlaqnya serta mengkonsentrasikan hatinya untuk
27
berdzikir kepada Allah Swt. Dari Syam kemudian ke Baitil Maqdis
dan kadang ke goa-goa untuk bertapa dan mengunci diri di
dalamnya. Beliau berkelana keluar dari tanah Iraq hanya membawa
perbekalan sekedar kecukupan dan makanan kekuatan untuk
mengganjal perut seorang anak kecil (Syakur, 2008:38). Ketika di
Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitab al-Ihya’, sekaligus
melakukan jihad terhadap nafsu, merubah akhlaknya selama ini,
memperbaiki dan menjernihkan kehidupannya (al-Qardhawi,
t.t.:188).
Kemudian setelah lama melalang buana, tergerak di dalam
hati al-Ghazali untuk melakukan haji dan ziaroh ke makam
Rasulullah agar mendapatkan barokah kota Makkah dan Madinah
(Syakur, 2008: 38). Sebelum kembali ke Yerussalam dari ibadah
haji, kerinduannya yang mendalam terahadap keluarganya tidak
terbendung sehingga untuk sementara ia pulang ke Baghdad. Akan
tetapi, karena melebarnya perang Salib, al-Ghazali meninggalkan
kota tersebut menuju Mesir hingga sampai Maroko (Ghafur,
2006:38).
Pengembaraan spiritualnya berakhir pada tahun 499 H/ 1106
M yang berarti ketika itu al-Ghazali berusia 49 tahun. Hasil
pengembaraannya menunjukkan bahwa kaum sufi adalah mereka
yang secara unik menempuh jalan menuju Tuhan, cara hidup mereka
28
adalah cara hidup yang terbaik dan paling tepat dari sisi etika dan
budi pekertinya (Ghafur, 2006: 39).
4. Wafat
Setelah selesai melakukan safari spriritual, al-Ghazali
menjumpai realitas masyarakat yang mengalami dekadensi moral
dan krisis iman. Faktor inilah yang menariknya kembali ke kancah
penyebaran ilmu dan melepas baju uzlahnya. Dorongan dari dalam
dengan nuansa baru dengan tanpa mengingkari janjinya dan ajakan
dari penguasa Saljuk yang baru, Fakhr al-Mulk, putra dari Nizam al-
Mulk, al-Ghazali mengajar kembali di madrasah tersebut selama tiga
tahun. Pada periode itulah ia menulis salah satu karyanya dalam
bentuk otobiografi, di samping karya-karya lain
(Ghafur. 2006: 39-40).
Sekitar tahun 503-4 H/ 1110 M, dengan alasan keagamaan
dan keduniawian, al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya. Tus
dan mendirikan madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu agama dan
sebuah khanqah bagi para sufi. Di sini bersama sekitar seratus lima
puluh muridnya, ia habiskan sisa hidupnya sebagai pengajar dan
guru sufi. Ia juga terus mendalami al-Qur’an dan hadits, termasuk
Shahih Bukhari dan Abu Dawud serta kegiatan menulis, baik dalam
bentuk penyelesaian terhadap karyanya yang belum selesai maupun
karya yang baru, sehingga dalam waktu yang singkat lahir pula
karyanya yang lain (Ghafur, 2006: 40).
29
Ibnu Asakir mengatakan, “al-Ghazali r.a, pulang ke
Rahmatullah, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505
H. ia dimakamkan di Dzahir, ibu Kota Thabran. Allah SWT telah
memberi keistimewaan pada pribadinya dengan berbagai karamah
di akhirat, sebagaimana Allah SWT memberikan anugerah
keistimewaan dengan diterimanya ilmu al-Ghazali di dunia. Ibnu al-
Jauzi dalam al-Muntadzim mengisahkan, menjelang wafatnya,
sebagian para muridnya meminta, “Berwasiatlah kepadaku wahai
guruku”, maka, Al-Ghazali menjawab, “Hendaknya Anda tetap
ikhlas”. Kata-kata ituterus terucap, hingga wafat menjemputnya (al-
Qardhawi, t.t.:199).
B. Sistematika Kitab Al-Adab Fi Al-Din
Diantara karya Imam al-Ghazali salah satunya adalah al-Adab Fi al-
Din yang merupakan sumber primer dan kajian utama dari penelitian ini
yang secara umum akan digambarkan tentang isi kitab al-Adab Fi al-Din
dengan tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya. Kitab al-Adab
Fi al-Din merupakan kitab yang mempunyai karakter tersendiri, yang
membahas tentang kaidah-kaidah mendekati Allah Swt dalam kaitannya
dengan kehidupan sehari-hari. Adapun pembahasan yang diambil peneliti
disini adalah bab mengenai adab seorang guru dan murid yang sangat
penting dan harus diketahui oleh seseorang yang sedang menuntut ilmu dan
berproses dalam pendidikan.
30
Kitab al-Adab Fi al-Din ini adalah karangan Imam Abu Khamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang diterbitkan satu edisi dengan
kumpulan Risalah al-Ghazali (majmu’ul rasa’il) yang terbit di Kairo tahun
1328H/ 1910M, dari halaman 63- 94 (al-Qardhawi, t.t.: 190).
Kitab al-Adab Fi al-Din ditulis kembali oleh Pustaka Al Falah, Ploso
Jawa Timur sehingga menjadi kitab yang menjadi bahan ajar santri Pondok
Pesantren Poloso Kediri Jawa Timur. Kitab al-Adab Fi al-Din selain juga kitab
al-Qowaid al-Asyrah dan Kimiya al-Sa’adah ini sejatinya merupakan
kelanjutan dari kitab al-Munqidz Min a- Dhalaal dan Ihya’ Ulumuddin karya
dari Imam al-Ghazali khususnya yang membahas mengenai dunia tarekat.
Kitab al-Adab Fi al-Din dimulai dengan basmallah yang menjadi
pembukaan dari bagian pertama yaitu muqaddimah dan sebuah pengantar
yang menjelaskan sedikit mengenai isi kitab ini.
Secara garis besar penulisan kitab al-Adab Fi al-Din terbagi
menjadi beberapa bab yaitu:
BAB I : Adab Muslim.
BAB II : Ajar Mengajar.
BAB III: Adab dalam Sholat.
BAB IV: Adab Puasa-Haji.
BAB V: Adab Sehari-hari.
BAB VI: Adab Sedekah.
1. Adab memberi sedekah
2. Adab meminta sedekah
3. Adab pemberi hadiah
31
4. Adab penerima hadiah
5. Adab orang kaya
6. Adab fakir miskin
BAB VII: Adab jual beli.
BAB VIII: Adab pinang meminang.
BAB IX: Adab suami istri.
BAB X: Adab hubungan dengan kerabat dan masyarakat.
BAB XI: Adab jihad.
C. Karya- karya Imam Al-Ghazali
Karena luasnya pengetahuan al-Ghazali, maka sangat sulit sekali
untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Adapun
mata pelajaran yang pernah Imam al-Ghazali pelajari adalah bidang teologi,
hukum Islam, falsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang
dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan
ilmiahnya di kemudian hari (Nata, 1997: 159).
Al-Manawi berkata: Imam Nawawi menukil dari gurunya yang
bernama Attaghlisi dalam kitab Bustan karya Imam Nawawi sendiri,
gurunya menukil dari sebagian ulama dengan katanya: Aku menghitung
kitab-kitab yang disusun Imam al-Ghazali dan aku membagi dengan
umunya maka menghasilkan kesimpulan bahwa setiap hari ada empat kitab
yang dikarang olehnya. Padahal usianya mencapai 55 tahun. Hal ini
merupakan bagian dari Nasyru zaman (waktu yang diperpanjang) bagi para
32
ulama termasuk beliau, adalah merupakan karomah terbesar bagi siapa yang
memilikinya. (Syakur, 2008: 46)
Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan nama-nama
kitab Imam Al-Ghazali dalam bukunya, Muallifatul Ghazali, sebanyak 487
judul. Diantara karya-karya itu sebagai berikut :
1. Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini diterbitkan ribuan kali, diantaranya
diterbitkan di Bulaq tahun 1269, 1279, 1282, 1289 H. Terbit pula
di Istanbul tahun 1321 H, di Teheran 1293 H dan diterbitkan
Darul Qalam Beirut tanpa tahun.
2. Al-Adab Fi al-Din. Diterbitkan satu edisi dengan kumpulan
Risalah Al-Ghazali (majmu’ul rasa’il) yang terbit di Kairo tahun
1328H/ 1910M, dari halaman 63- 94.
3. Kitabul Arba’in Fi Ushuluddin. Terbit di Kairo, tahun 1328 H/
1910 M, dan diterbitkan oleh al-Maktabah at-Tijariyah Kairo,
tanpa tahun. Edisi Indonesia berjudul Teosofia Al-Qur’an,
terjemahan Mohammad Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz
Jamad, diterbitkan penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
4. Asasul Qiyas. Al-Ghazali menyebutnya dalam al-Musthashfa,
Juz I/38, Juz II/238 dan Juz III/325, terbitan Mesir tahun 1324
H/ 1907 M. Tentang kitab ini, juga disebutkan oleh Muhammad
Ibnu Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-Thabaqatul Aliyah
fi Manaqibisy Syafi’iyah. Naskahnya masih berupa manuskrip,
33
ada di Darul Kutub al-Mishriyah, No.7 dan ada pula di tempat
Abdurrahman Badawi, hlm 61.
5. Al-Istiaj. Pernah disebut oleh al-Ghazali dalam kitabnya, Ad-
Durratul Fakhirah, hlm 57 dari terbitan kami (Darul Fikr).
Adapula yang masih manuskrip Ashfiyah, No. 18 (Tasawuf
Arab).
6. Asraru Mu’amalatud-Din. Disebut oleh as-Subky dalam
Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, Juz IV, hlm. 116, disebut
pula oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam Ath-Thabaqqatul
Aliyah Fi Manaqibisy Syafi’iyah, lalu al-Ghazali juga
menyebutnya dalam kitab Minhajul ‘Abidin, hlm. 32, serta
Abdurrahman Badawi, hlm. 68.
7. Al-Iqtishad fil I’tiqad. Diterbitkan oleh Musthafa Al-Qabbany,
Kairo, tahun 1320 H. Adapula pada Hamisy (kitab pinggir) di
kitab al-Insanul Kamil, karya al-Jailany atau al-Jily, terbitan
Kairo 1328 H. dan satu edisi kumpulan bersama kitab al-
Munqidz, al-Madhnun, dan Tarbiyatul Aulad, terbitan Bombay,
tanpa tahun, dan diterjemahkan ke dalam bahasan Spanyol. As-
Subky dalam Thabaqat-nya (IV/116) juga menyebutnya, begitu
pula Az-Zubaidy dalam al-Ithaf, Juz I/ 41, dan disebut juga
dalam ath-Thabaqatul Aliyah.
8. Iljamul ‘Awam ‘an ‘Ilmil Kalam. Diterbitkan di Istanbul tahun
1278 H, di Kairo tahun 1303 H, 1309 H, dan 1350 H, atas jasa
34
Muhammad Ali Athiyah al-Katby, serta tahun 1351 H,
diterbitkan Idaratul Muniriyah, diterjemahkan pula ke dalam
Spanyol.
9. Al-Imla’ ‘ala Musykilil Ihya’. Diterbitkan di Fes tahun 1302,
dicetak juga dalam Hamisy kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya
az-Zubaidy, dan menjadi Hamisy dari sejumlah terbitan al-
Ihya’.
10. Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan di Kairo, 1328
H.Tahun 1343 H tercantum dalam risalah-risalah Al-Ghazali
yang berjudul al-Jawahirul Ghawali min Rasaili Hujjatul Islam
al-Ghazaly. Di Istambul juga terbit pada tahun 1305 H, dan di
Qazan tahun 1905 M, dengan terjemah bahasa Turki, oleh
Muhammad Rasyid. Diterjemahkan pula ke dalam bahasa
Jerman oleh Hammer Y. di Wina tahun 1837 M. lantas Tufik
Shabagh menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dalam
publikasi edisi khusus UNESCO tahun 1951 M, dengan judul
Traite Disciple.
11. Albabul Muntahal Fi Ilmil Jadal. Karya ini disebut oleh Ibnu
Khalakan, iii/354, dan as-Subky, IV/116 dengan judul: Albabul
Muntahal fi Ilmil Jadal. Juga disebut oleh az-Zubaidy dalam
Ithafu Sadatil Muttaqin dengan judul Albabul Muntahal fi Jadal,
dalam Abdurrahman Badawi, hlm 7.
35
12. Bidayatul Hidayah. Berbagai penerbit menerbitkannya,
termasuk diantaranya terbitan Bulaq tahun 1287 H, Kairo, 1277
H dan 1303 H. Dalam terbitan yang disertai catatan-catatan
Muhammad an-Nawawi al-Jary, terbit di Kairo tahun 1308 H,
Bulaq 1309 H, Lucknow 1893 H, Kairo 1306, 1326 H, terbut di
Mabady 1326 H, Kairo 1353 H. Maktabatul Qur’an
menerbitkannya tahun 1985 M, editor Muhammad Usma al-
Khasyat. Kitab ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris
dan Jerman.
13. Al-Basith fil Furu’. Diantaranya berbentuk manuskrip dalam
Diwan al-Hindy tahun 1766 M dan Iskorial Cet.1, 1125 H, al-
Fatih di Istanbul No. 1500, di Sulaimaniyah No. 629, di College
Ali No. 327, Dimyath Umumiyah No. 44. Yang disebut pertama,
keempat, kelima dan keenam ada di Perpustakaan Dzahiriyyah
No. 174: 176- Fiqh Syafi’I, adapula di Darul Kutub al-Mishriyah
No. 27- Fiqh Syafi’I, namun kurang halamannya. Dan pada No.
223- Fiqh Syafi’i.
14. Ghayatul Ghaur fi Dirayatid Daur. Di antaranya ada di Mathaf
Britania No. 1203 (I), di Raghib Istambul No. 569 dalam 75
lembar, dan di Hamburg No. 59, Darul Kutub al-Mishriyah No.
3659 dan 3660 Tasawuf, dengan judul Mas’alatu Thalaqid
Daur.
36
15. At-Ta’wilaat. Disebut oleh Brockleman, I/747, No. 21.
Diantaranya masih berupa manuskrip di Perpustakaan Aya Sofia
Istambul, dalam satu kumpulan manuskrip, No. 2246.
16. At-Tabbarul Masbuk fi Nashaihi Muluk. Bahasa asli kitab ini
Persia, dengan judul “Nashihatul Muluk”, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ali Bin Mubarak bin
Mauhub, untuk Atabik Alb Qatlaj di Mosul (wafat 595 H).
kemudian diterbitkan di Kairo tahun 1277 H. dan diterbitkan
sebagai Hamisy kitabnya ath-Tharthusyi, Sirajul Muluk, di
Kairo tahun 1306 dan tahun 1319 H.
17. Tahsinul Maakhidz. Mengenai ilmu polemik. Disebut oleh as-
Subky, IV/130, serta dalam “Muallifatul Ghazali” oleh
Abdurrahman Badawi, hlm. 10.
18. Talbis Iblis. Disebut oleh as-Subky, IV/116, Thasy Kubra dalam
:”Miftahus Sa’adah”, II/208, Haji Khalifah juga menyebutkan,
namun dengan judul “Tadlis Iblis”, II/254.
19. At- Ta’liqat fi Furu’il Madzhab. Disebut oleh as-Subky, IV/103,
dan Abdurrahman Badawi, hlm.1.
20. Faishal at-Tafriqah bainal Islami waz-Zindiqiah. Al-Ghazali
sendiri menyebutkannya dalam al-Munqidz, hlm97, terbitan
Damaskus, 1934. Dicetak juga di Kairo tahun 1319 H, dan tahun
1325 H, dengan judul Risalat fil Wa’dz wal ‘Aqa’id. Di India
diterbitkan dalam satu kumpulan risalah, yang diterbitkan oleh
37
Qadhi Ibrahim Bombay, cetakan Hijr, tahun 1283 H, dari
halaman 3 hingga 24. Diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman
oleh A.I. Runge, Kiel, tahun 1938. Kemudian diikhtisarkan ke
dalam bahasa Spanyol oleh Asim Palacios, dalam El Justo
Medio en la Creenzia, Maid, tahun 1929.
21. Tafsirul Qur’anil Adzim. Disebut oleh Az-Zubaidy dalam Ithafu
Saadatil Muttaqin, I/34, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 53.
22. Tahafutul Falasifah. Diterbitkan di Kairo, tahun 1302 H, 1320
H, 1321 H dan tahun 1955 M. di Boombay diterbitkan tahun
1304 H. diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh C.
Calonymus, dan dipublikasikan tahun 527 M. dengan judul
Destretio Philosophiac. Naskah tersebut diterbitkan dua kali
oleh al-Bunduqiya tahun 1527 M dan tahun 1562 M. terjemahan
naskah tersebut ditranskip dari terjemahan bahasa Yahudi.
Sementara terjemah ke bahasa Latin, dari bahasa Arab oleh
Augustinonivo, dan ia memberi penjelasan atas naskah tersebut,
terbut tahun 1497. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Perancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah “Muzion”
yang terbit di Loupan tahun 1899.
23. Tahdzibul Ushul. Diterjemahkan oleh Muhammad ibnul Hasan
dalam ath-Thabaqatul Aliyah, disebut pula oleh al-Ghazali
dalam al-Mushtashfa, I/3, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 59.
38
24. Jawabul Ghazaly ‘an Da’wati Mu’ayyidil Muluk lahu li
Mu’awadati at-Tais bin-Nidzamiyah fi Baghdad. Disebut oleh
Daulatsyah dalam at-Tadzkirah, terbitan Edward J. Brown,
Leiden tahun 1901, hlm. 99, dan Abdurrahman Badawi, hlm.
30.
25. Al-Jawahir al-Lali’y fi Mutsallatsil Ghazaly. Manuskrip di
Darul Kutub al-Mishriyah (No. 55- Huruf).
26. Jawahirul Qur’an wa Duraruh. Terbit di Mekkah tahun 1302 H,
di Bombay India tahun 1311 H, di Kairo tahun 1320 H oleh Farj
al-Kurdy, dan tahun 1352 H oleh Mathba’ah at-Tijariyah. Edisi
Indonesia diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, tahun 1995,
dengan judul “Jawahirul Qur’an :Permata ayat- ayat suci”,
terjemahan Muhammad Luqman Hakiem.
27. Hujjatul Haq. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Muqidz, terbitan
Damaskus tahun 1934, hlm. 118, serta disebut oleh pengarang
Ath-Thabaqatul Aliyah. As-Subqy juga menyebut dalam
Thabaqat-nya, VI/116, al-Ghazali dalam Jawahirul Qur’an,
terbitan Kairo tahun 1933, hlm. 21, serta Abdurrahman Badawi,
hlm. 62.
28. Haqiqatul Qur’an. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-
Mushtasyfa, I/67. Juga Abdurrahman Badawi, hlm. 62.
29. Haqiqatul Qaulayni. Disebut Ibnu Khaliqan, I/1587, Hj. Khalifa,
III/80, pengarang ath-Thabaqatul Aliyah, dan Brock Leman,
39
I/754. Naskah berbentuk manuskrip juga ditemukan di Bani
Jami’, 865, dan di Berlin, No. 4859, Spies BAD 21.
30. Al Hikmah fi Makhluqatillah ‘Azza wa jalla. Tercantum dalam
edisi Majmu’atul Rasailil Imam al-Ghazali , Darul Fikr, Bairut,
1996.
31. Khulasatul Mukhtasar wa Niqauhul Mukhtasar. As-Subky
menyebutkan, thabaqat, IV/116, sebuah kitab yang merupakan
ikhtisar al-Muzammi dan al-Ghazali sendiri menunjukkan pada
kitabnya, al-Ihya’ Ulumuddin, Juz I/ 35, juga dalam “Jawahirul
Qur’an: hlm. 22. Ia berkomentar bahwa kitab Khulasoh tersebut
adalah kitab paling kecil diantara karya-karyanya di bidang Fiqh.
Adapun pula naskah Ilustratif di akademi manuskrip, No. 174-
Fiqh. Asy- syafi’i, yang diperoleh dari naskah Sulaimaniyah,
No. 442 dalam 100 paper.
32. Ad-Durjul Marqum bil-Jadawil. Disebut dalam al-Muqidz,
terbitan Damaskus tahun 1934, hlm. 118. Mengarang ath-
Thabaqatul Aliyah menyebutnya dengan judul “Al-Jadwalul
Marqum, dan Abdurrahman Badawi. hlm. 41.
33. Ad-Durratul Faqirah fi Khasyfi ‘Ulumil Akhirah. Termaktub
dalam edisi dalam edisi Majmu’ul Rasail, terbitan Darul Fikr
Bairut, 1996, hlm. 509.
34. Ar-Risalatul wa’dziyah. Dinamakan pula dengan “al-Wadziyah”
dan “Mawa’izul Ghazali”, diterbitkan dalam edisi Risalah al-
40
Ghazali , al-Jawahirul Ghawali min Rasailil Ghazali, Kairo,
1343 H, hlm. 153-9. Dipublikasikan oleh Muhyiddin Sabir al-
Khurdi.
35. Dzat Aakhirat. Disebut dalam bukunya Abdurrahman Badawi,
hlm. 48, dan diantaranya berbentuk manuskrip di Leiden, No.
2148.
36. Tsiirul ‘Alamiin Wa Kasyifu MaAa Fid-Darain. Diterbitkan di
Bombay, 1314 H, Kairo tahun 1343 H. dan 1327 H, terbit pula
di Teheran tanpa tahun. Sedangkan Darul Fikr Bairut
menerbitkan dalam Majmu’ul Rasailil Imam al-Ghazali, hlm.
449.
37. Syifaul Ghalil fil Qiyas wat-Ta’lil. Disebut oleh as-Subky,
IV/116, Haji Khalifah, IV/54, Abdurrahman Badawi, hlm. 12,
dan berupa manuskrip di Darul Kutub al-Mishriyah, No. 154-
Ushul Fiqh, di al-Azhariyah, No. (107) 4183- Ushul Fiqh, dalam
181 paper, di Ambruziyana, No. 78 (119 VII).
38. Qawashimul Bathiniyah. Al-Ghazali menyebutnya dalam
Jawahirul Qur’an, hlm. 26, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 24.
39. Al-Kasyf wat-Tabyin fi Ghururil Khalq Ajma’in. dicetak dalam
bentuk Hamisy kitab Tanbihul Maghrurin karya asy-Sya’rany,
Kairo, 1349 H, dan diterbitkan tersendiri di Kairo tahun 1960 M,
oleh Maktabah Mushthafa al-Halaby.
41
40. Kimiya’ as-Sa’adah. Terbit dalam teks Persia di Calcutta tanpa
tahun, dan diterbitkan oleh Hijr di Lucknow tahun 1279 H. dan
di Bombay tahun 1883 M.
Teks Persia diterjemahkan ke bahasa Turki oleh
Musthafa al-Wany. Wafat tahun 1591 M, dan belum sempat
dicetak. Adapula manuskripnya di Aya Sofia, No. 1719, 1720,
526. Dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris dari
bahasa Turki oleh H.A. Homes, dengan judul Alcemy of
Happiness, by Mohammed al-Chazzali, the Mohammedan
Philoshope-Albany, New York, 1873.
Sedangkan teks Arab, disebutkan oleh az-Zubaidy dalam
al-Ithaf, 1/42, dimana ia menemukannya di sebelah teks Persia
berukuran besar, ada teks Arab yang berukuran kecil dalam 4
kuras (bendel). Teks Arab ini masuk dalam kumpulan Risalah
al-Ghazali, yang diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun
1328 dan 1343 H.
Teks Arab, diterjemahkan pula ke bahasa Turki oleh
Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istambul tahun 1260.
Diterjemahkan pula ke dalam bahasa Urdu di Lucknow tahun
1313 H dan ke dalam bahasa Inggris serta Jerman.
41. Lubabun Nadzar. Disebut oleh al-Ghazali dalam Mi’yarul Ilmi,
1927 M. hlm. 27, dan disebut pula dalam karya Abdurrahman
Badawi, hlm. 9.
42
42. Mihakkun Nadzar fil Fiqh. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-
Iqtishad fil I’tiqad, Penerbit al-Mahmudiyah, Kairo (tanpa
tahun), hlm. 11, Abdurrahman Badawi, hlm. 6. Ada juga
manuskripnya di Darul Kutub al-Mishriyah, Nomor (Majami’-
M. 227) dan Majami’ dibaca – 967.
43. Al-Mustashfa fi Ilmil Ushul. Diterbitkan di Bulaq tahun 1322,
dalam dua juz. Pada Hamisynya ada kitab, Faqatihur Rahmawt
karya al-Anshary. Diterbitkan juga oleh at-Tiraiyah tahun 1937
dalam dua juz, namun satu jilid.
44. Al-Mustadzhir fir-Radd ‘alal Bathiniyah. Disebut oleh as-
Subky, IV/116, dengan judul Al-Mustadzhir fir-Radd ‘alal
Bathiniyah. Al-Ghazali juga menyebutkannya dalam al-
Munqidz, hlm. 118. Ibnu Immad, IV/13. Asim Palacios
menerjemahkan potongan dari kitab tersebut. Abdurrahman
Badawi, juga menyebutkan pada hlm. 22.
45. Al-Munqidz minadh-Dhalal. Dicetak di Istambul, tahun 1286 H,
dan 1303 H, lantas di Kairo tahun 1309 H, serta pada Hamisy al-
Insanul Kamil. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Perancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris dua kali, ke
bahasa Turki dan Belanda.
46. Al-Wajiz. Diterbitkan di Kairo oleh penerbit al-Muayyad, tahun
1317, dalam dua juz.
43
47. Al-Wasith. Disebut oleh Ibnu Khalikan, III/354, as-
Subky,IV/116, Ibnul Immad, IV/12. Ada manuskrip di Pustaka
Dimyath, Nomor (Umumiyah: 43- 124/31), dan di Darul Kutub
al-Mishriyah, No. 206- Fiqh Syafi’I dalam 4 jilid. Di Pustaka
adz-Dzahiriyah, No. 127: 129, 124: 126- Fiqh Syafi’i.
Buku ini diberi syarah oleh Utsman bin Abdurrahman
Ibnush Shalah. Syarahnya berjudul Syarhu Syaklil Wasith.
Syarah ini ada yang berbentuk manuskrip di Darul Kutub al-
Mishriyah dan yang lain di Dimyath, No. 43 (133/4).
Al-Baidhawi meringkas karya tersebut, dan memberi
judul dengan al-Ghayatul Qushwa, dan naskahnya ada di Darul
Kutub al-Mishriyah, dan Dimyath, No. 48 (312)- Umumiyah.
48. Raudhatuth Thalibin wa Umdatus-Salikin. Ditebitkan oleh Darul
Fikr Beirut dalam edisi Majmu’at Rasailil Imam al-Ghazaly,
tahun 1996, hlm. 92. Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh
Mohammed Luqman Hakiem, dengan judul Raudhah: Taman
Jiwa Kaum Sufi, diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, 1995.
49. Ar-Risalatul Laduniyah. Juga dalam edisi Majmu’ur Rasail,
Darul Fikr, Beirut, 1996, hlm. 222. (al-Qardhawi, t.t.: 199- 199).
44
BAB III
ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM
KITAB AL-ADAB FI AL-DIN
A. Pengertian Adab Guru dan Murid
1. Pengertian Adab
Istilah adab tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Menurut
Yasin (2008: 20), Kata ta’dib berasal dari kata aduba–ya’dubu, yang
berarti melatih atau mendisiplinkan diri. Atau juga berasal dari kata
addaba–yuaddibu–ta’diiban, yang berarti mendisiplinkan atau
menanamkan sopan santun.
Kata adab dapat disimpulkan sebagai upaya membimbing,
memandu, mengarahkan, membiasakan dan mempraktikkan sopan
santun (adab) kepada seseorang agar bertingkah laku yang baik dan
disiplin.
2. Pengertian Guru
Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang
yang mengajar. Kata teacher yang berarti pengajar. Selain itu, terdapat
dua tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar
ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik,
lecturer, pemberi kuliah, penceramah. Istilah yang mengacu kepada
pengertian guru lebih banyak lagi seperti al-alim (jamaknya ulama) atau
al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan
para ulama atau ahli pendidikan untuk menunjuk pada hati guru.
45
Demikian juga dalam litetatur pendidikan Islam, seorang guru akrab
disebut dengan ustadz, yang diartikan ‘pengajar’ khusus bidang
pengetahuan agama Islam (Nata, 2001: 41- 42).
Posisi guru dalam dunia pengajaran sangat urgen. Bisa
dikatakan, guru adalah faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran
yang berkualitas. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan,
dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena
itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup
tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin (Putra, 2016: 26).
Menurut Yasin (2008: 89), dengan menyimpulkan dari berbagai
pendapat para ahli pendidikan dalam Islam, telah merumuskan bahwa
sifat- sifat yang harus melekat pada seorang pendidik itu dapat
disimpulkan sebagai berikut; 1). memiliki sifat kasih dan sayang
terhadap peserta didik; 2). lemah lembut; 3). rendah hati; 4).
menghormati ilmu yang bukan bidangnya; 5). adil ; 6). menyenangi
ijtihad; 7). konsekuen; dan 8). sederhana (Tafsir, 1994: 84).
Jadi, dalam perannya, guru tidak hanya tahu tentang materi yang
akan diajarkan. Akan tetapi, seorang guru harus memiliki kepribadian
yang kuat, yang menjadikannya sebagai panutan bagi para siswanya.
46
3. Pengertian Murid
Kata murid berasal dari bahasa Arab ‘arada, Yuridu iradatan,
muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer), dan
menjadi salah satu sifat Allah Swt yang berarti Maha Menghendaki.
Pengertian seperti ini dapat dimengerti karena seorang murid adalah
orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal
hidupnya agar berbahagia dunia dan akhirat dengan jalan yang sungguh-
sungguh (Nata, 2001: 49).
Menurut Yasin (2008: 100-101), istilah peserta didik atau murid
dimaknai sebagai orang (anak) yang sedang mengikuti proses kegiatan
pendidikan atau proses belajar- mengajar untuk menumbuh-
kembangkan potensinya, maka dalam literatur bahasa Arab yang sering
digunakan oleh para tokoh pendidikan dalam Islam, antara lain; 1).
Mutarabby, mengandung makna peserta didik yang sedang dijadikan
sebagai sasaran untuk dididik dalam arti diciptakan, diatur, diurus,
diperbaiki melalui kegiatan pendidikan yang dilakukan secara bersama-
sama dengan murabby (pendidik); 2). Muta’allim, mengandung makna
sebagai orang yang sedang belajar menerima atau mempelajari ilmu dari
seorang mu’allim melalui proses kegiatan belajar-mengajar; 3).
Muta’addib, adalah orang yang sedang belajar meniru, mencontoh sikap
dan perilaku yang sopan dan santun dari seorang mu’addib, sehingga
terbangun dalam dirinya tersebut sebagai orang yang berperadaban; 4).
Daaris, adalah orang yang sedang berusaha belajar melatih
47
intelektualnya melalui proses pembelajaran sehingga memiliki
kecerdasan intelektual dan ketrampilan; 5). Muriid, adalah orang yang
sedang berusaha belajar untuk mendalami ilmu agama dari seorang
mursyid melalui kegiatan pendidikan, sehingga memiliki pengetahuan,
pemahaman dan penghayatan spiritual yang mendalam terhadap nilai-
nilai keagamaan, memiliki ketaatan dalam menjalankan ibadah, serta
berakhlak mulia.
Pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa murid yaitu
setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan dan membutuhkan
bimbingan, pelatihan dari seorang pendidik untuk mengembangkan
potensi diri (fitrah) melalui proses pendidikan dan pembelajaran,
sehingga tercapai tujuan yang optimal.
B. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-
Adab Fi Al-Din
1. Adab Ahli Ilmu (al-‘Aliim)
Al-‘Aliim (jamaknya ulama) atau al-Mu’allim, yaitu orang yang
mengetahui. Dalam dunia pendidikan, seorang pendidik bertugas untuk
menumbuh-kembangkan potensi anak didik dengan cara menanamkan
pengetahuan (aspek kognitif), mengurus dan memelihara dengan cara
diberi contoh perilaku (aspek afektif), dan mengatur atau melatih
dengan cara memberi ketrampilan (aspek psikomotorik) agar anak didik
bertambah dan berkembang menjadi sempurna dalam segala aspeknya
(Yasin, 20008: 21).
48
Imam Al-Ghazali juga menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-
Din:
عاء به ورفلزوم عل م والتأني العلم والعمل بالعلم ودوام الوقار ومنع التكبر وت رك الد ق بالمت
مته عند بالمت عجرف وإصلح المسألة للبليد وت رك النفة من ق ول لا أدري وتكو ن
ة و القبول التكلف و اس السؤال خلصة من السائل لإخلص السائل وت رك ج ال تما
ا و ان كانت من الخصم ه ل
Seorang ahli ilmu hendaknya senantiasa belajar atau
mendalami ilmu serta mengamalkannya. Selain itu, menjaga
kewibawaan dan menjauhkan diri dan meninggalkan dari berbagai hal
yang menjerumuskan kepada sikap takabbur termasuk kewajiban
seorang ahli ilmu. Ahli ilmu tentu harus memiliki sifat asih terhadap
anak didik, berperilaku bijak terhadap orang yang acuh tak acuh,
berperilaku baik terhadap orang yang memiliki potensi dibawah
standar (balid), meninggalkan sifat sombong tidak memberitahu ketika
ditanya murid, membantu menyelesaikan masalah murid dan
mendengarkan keluhan anak didik (al-Ghazali, t.t:4-5).
Jadi, tugas seorang guru tidak hanya mengajar dengan
memberikan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga mendidik anak didik.
Dalam membangun jiwa dan watak anak didik, hendaklah seorang
pendidik memiliki kepribadian yang baik. Menjaga kewibawaan dalam
bertindak, akan menjadikan sosok guru dihormati anak didik terlebih
masyarakat sekitar. Seorang pendidik juga hendaklah bersikap lemah
lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya berbeda-
beda terutama pada peserta didik yang memiliki IQ rendah, dan
membina dengan penuh kasih sayang sampai tingkat yang maksimal.
49
Seorang pendidik hendaknya mendengarkan permasalahan serta
membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang dialami anak
didiknya. Dan jangan sombong dengan mengatakan tidak tahu jika
ditanya oleh anak didik.
2. Adab Murid dengan Guru
Imam al-Ghazali menyebut murid dengan sebutan kata
muta’allim. Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau
bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari
kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki anak yang hidup di dunia ini
(Yasin, 2008:102). Di samping itu dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat
78, dijelaskan :
مع والبص ئا وجعل لكم الس ار والفئد والله أخرجكم م ن بطون أمهاتكم لات علمون شي
لكم تشكرون لع
“Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S an-Nahl:78) ) Yunus,
1973:391).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui proses pendidikan.
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang
dinginkan, maka peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas
dan kewajibannya.
Al-Ghazali menyebutkan sifat terpenting yang harus dimiliki
seorang Muta’allim adalah bersifat tawadhu’ (rendah hati). Ketika
50
bertemu dengan guru, murid hendaklah membiasakan untuk
mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya.
لم و يقل قول له : قال فلن خلف ب ين يديه الكلم وي قوم له إذا قام ولا ي ي بدؤه بالس
تسم عند مخاطبته ولا يش ر عليه بخلف ما قلت, ولا يسأل جليسه في مجلسه ولا يب ي
لغ إلى منزله ولا قام ولا يست فهمه عن مسألة في طريقه رأيه ولا يأخذ بثوبه إذا حتى ي ب
يكثر عليه عند ملله
Murid mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya,
tidak banyak berbicara, bersikap rendah hati ketika berdiri di hadapan
guru dan tidak mengadu domba perilaku temannya kepada gurunya.
Ketika proses pembelajaran berlangsung, murid tidak boleh bertanya
kepadanya temannya, berbicara dengan tutur kata yang baik kepada
gurunya, tidak bersikap buruk apabila berbeda pendapat dengan guru
dan tidak menarik pakaian yang dikenakan gurunya. Apabila bertanya
sesuatu kepada guru, janganlah bertanya ketika di jalan dan ketika
bertanya janganlah dengan sikap yang malas (al-Ghazali, t.t.:5).
Di dalam kegiatan belajar-mengajar seorang murid harus
bersungguh-sungguh dan meninggalkan kegiatan yang tidak
bermanfaat. Pada waktu guru memberikan pelajaran hendaknya
seorang murid memperhatikan dengan saksama, tidak boleh bergurau
atau berbicara dengan teman lainnya.
Seorang murid tidak boleh membuat seorang guru marah
dengan sikap murid yang tidak sopan terhadapnya. Namun, apabila
guru memperingatkan atas suatu kesalahan yang telah diketahui
sebelumnya, maka murid tidak perlu terlebih dahulu menampakkan
bahwa dia sudah tahu kesalahannya tapi dia mengabaikannya.
Langsung saja berterimakasih atas nasihat guru dan perhatiannya.
51
Apabila berbicara dengan guru hendaknya berbicara dengan tutur kata
yang baik serta tidak boleh menarik pakaian yang dikenakan gurunya.
Ketika ingin menanyakan sesuatu hal, jangan bertanya kepada
guru ketika sedang berada di jalan, melainkan menemui guru dengan
mendatangi majlis keberadannya. Dan apabila guru sedang melakukan
suatu hal, murid hendaknya menunggu sampai guru selesai dalam
pekerjaannya.
3. Adab Mengajar Al-Qur’an
المر وإنصات الفهم و انتظار الرحمة والإصغاء إلى يجلس جلسة الخشية واستما
تجويدالرف المتشابه وإشار الوقف وت عريف الإبتداء وب يان الهمز وتعليم العدد و
ث له إذا ح ضر وفائد الخاتم والرفق بالبادي و السؤال عن المت علم إذا غاب وال
ن ي لقنه ما يصلي به لن فسه أو احتاج إ ديث وي بدأ بالمتلق ر وت رك ال ه .لى أن ي ؤم غي
“Duduklah dalam keadaan takut, mendengarkan perintah ayat,
memahami, mengharap rahmat dari Allah, mendengarkan ayat yang
serupa, isyarat waqof, memberi pengertian di awal membaca,
menjelaskan hamzah, mengajarkan bilangan ayat, maupun dalam
makharijul huruf. Mengambil manfaat intisari Al Qur’an, berperilaku
asih kepada pemula, mengabsen siswa yang tidak hadir, memotivasi
pelajar yang hadir, meninggalkan mengobrol. Menuntun dalam hal
yang membutuhkan tuntunan seperti ketika sholat sendiri atau
berjama’ah” (al-Ghazali , t.t.:6).
Seorang guru dalam mengajarkan mengaji Al-Qur’an
hendaknya duduk dalam keadaan rendah diri di hadapan Allah dengan
mengharap rahmat dari Allah Swt. Hendaknya memahami dan
mendengarkan maksud ayat. Guru hendaknya memberikan pemahaman
52
kepada muridnya di awal membaca al-Qur’an, menjelaskan tanda
waqof, menjelaskan macam-macam hamzah serta makhrijul hurufnya.
Guru mengaji hendaknya memberikan kasih sayang kepada
muridnya, terlebih untuk para pemula. Memberikan perhatian kepada
anak didik berupa menanyakan kabar muridnya, mengabsen yang tidak
hadir dan memberikan motivasi murid akan menumbuhkan semangat
belajar anak didik. Guru hendaknya menjauhkan diri dari perilaku
mengobrol, dan hendaknya memberikan tuntunan yang bermanfaat bagi
muridnya khususnya menjelaskan tatacara sholat sendiri maupun
berjama’ah.
4. Adab Membaca Al-Qur’an
Adab membaca al-Qur’an adalah tatakrama yang harus
dilakukan seorang murid dalam mengaji atau belajar al-Qur’an. Dalam
membaca al-Qur’an, murid hendaknya duduk dengan sikap rendah hati
menundukkan kepala serta mengumpulkan kefahaman. Sebelum
membaca al-Qur’an hendaknya meminta izin kepada guru atau niat
beribadah kepada Allah Swt dengan mengawali dengan bacaan
ta’awudz, basmallah dan berdo’a setelah selesai membaca al-Qur’an
Selaras dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab al-
Adab Fi al-Din:
ست واضع و جمع الفهم وخفض الرأس والإ ذان ق بل القراء ئ يجلس ب ين يديه جلسة الت
ستغاذ والتسمية والدعاء عند الفراغ . ثم الإ
53
Duduk dalam sikap rendah diri, mengumpulkan kefahaman,
menundukkan kepala, meminta izin sebelum membaca kemudian
membaca ta’awudz, membaca basmallah, dan berdo’a setelah
membaca Al Qur’an” (al-Ghazali, t.t.:6). “
5. Adab Mendidik Anak Kecil
سنه ف هو ن فسه فإن أعي ن هم إليه ناظر و أذان هم إليه مصغية فأ بصلح د ب ي ما است
م القبيح و ي لزم الصمت في جلس هم ف هو عند سن وما استقب م ال ته والشزر عند
بة ولايكثر الضرب والت ع في نظره ويكون معظ ادث هم ف يجترئ وا م تأديبه بالر ولا ي ذي
بسطون ب ين يديه ولا يمازح ب ين أيدي هم أحدا ويتنزه عليه ولا يدعهم يتدث ون ف ي ن
اي عطونه وي ت ور ا ب ين يديه يطرحونه ويمن عهم من التخ عم عم هم من الت فتي ويكف ري
م الكذب والنميمة ولا يسألهم عن أمر عند بة وي وح م الغي ين وب هم ويقبح عند
لوه ولا يكث لهم ف يمل ف ي ثق من ا عن الطهار والصل ويعرف هم بما ه وي علمهم و ر الطل
قهم من النجاسة يل
Sikap utama dalam mendidik anak kecil adalah dengan
memberikan contoh atau suri tauladan kepada anak didik. Karena,
anak kecil cenderung memperhatikan tingkah laku dan mendengarkan
yang disampaikan guru baik hal positif maupun negatif. Seorang
pendidik hendaknya tenang ketika bersama anak kecil, yaitu dengan
sikap berwibawa sehingga dapat memperlihatkan sikap yang disegani
anak-anak. Tidak memukul dalam menghukum anak didik, tidak sering
bergurau, tidak menyampaikan cerita buruk dalam keseharian orang-
orang, menerima pemberian dari anak didik, menjaga kewibawaan di
hadapan anak didik. Mencegah perilaku menyakiti antar sesama,
mencegah anak didik dari hal perbuatan negatif seperti gosip,
berbohong, mengadu domba, dan jangan bertanya tentang hal yang
memberatkan. Tidak memberikan materi pelajaran melebihi
kemampuan anak didik, sehingga mereka merasa bosan. Pendidik juga
hendaklah mengajarkan tata cara bersuci, sholat dan cara mensucikan
najis (Al-Ghazali , 7-8).
54
Sebagaimana tugas kedua orangtua dalam memberikan contoh
perilaku yang baik kepada anaknya, pendidik juga memiliki tugas
memelihara, mengatur, memperbaiki suatu potensi yang dimiliki anak
didik agar tumbuh dan berkembang menjadi dewasa atau sempurna. Al-
Ghazali menyebutkan bahwa dalam mendidik anak kecil, seorang
pendidik hendaknya selalu memberikan contoh perilaku yang baik, agar
mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Karena, anak didik
terutama anak kecil cenderung akan memperhatikan, mendengarkan
dan akan meniru segala sikap gurunya.
Dalam menghadapi anak kecil, pendidik hendaklah menjaga
sikap kewibawaannya sehingga dapat disenangi anak-anak. Apabila
memberikan hukuman kepada anak didik, hendaklah tidak dengan
memukul. Meskipun hukuman yang diberikan kepada anak didik
adalah berupa pencegahan dan peringatan guru demi perbaikan diri
anak didik hendaknya diutarakan dengan tutur kata yang baik. Dengan
perlakuan yang sopan dan lemah lembut, murid akan lebih berani untuk
meminta maaf.
Mencegah diri dari perbuatan menyakiti antar sesama, berusaha
menjauhkan anak didik dari perilaku membicarakan gosip harian,
mendidik murid untuk tidak berberbohong dan mengadu domba
perilaku teman-temannya serta tidak memperbolehkan anak didik
dalam bertanya memberatkan pendidik. Pendidik hendaknya
memberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak
55
didik, serta memberikan pelajaran mengenai tata cara bersuci, sholat
dan menyucikan najis.
6. Adab Ahli Hadits
Sifat yang harus dimiliki seorang guru adalah amanah, yang
berarti dapat dipercaya. Dalam menyampaikan suatu hal, hendaklah
jujur dan tidak menyimpang dari hal yang sebenarnya terjadi. Jujur
dalam arti menerapkan sifat jujur dalam segala sesuatu yang
disampaikan kepada murid selalu diamalkan dalam kehidupan guru.
Dalam menyampaikan ilmu guru harus mengatakan yang benar itu
benar, dan yang salah itu salah. Sebagaimana Allah berfirman:
ت علمون والرسول وتخونوا أماناتكم وأنتم ياأي ها الذين ءامنوا لاتخونوا الله
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah
kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui” (Q.S. Al-Anfal:27).
Al-Ghazali juga menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-Din,
ث بالمشهور د الكذب وي رك المناكي ي قصد الص دق ويجتن ر وي روي عن الثقات وي ت
ن ال ن ان ويتفظ م ولايذكر ماجرى ب ين السلف وي عرف الزم يف والل زلل والتص
المداعبة و ريف ويد رسول لذ جعل في درجة اويشكر الن عمت إ المشاغبة قل ي والت
تفع المسلمون ع ويكون معظم ما يدث ب ض صلى الل ه عليه وسلم وي لزم الت وا ه ما ي ن
به من ف رائضهم وسننهم وآدابهم في معاني كتاب رب هم عز وجل.
Guru seharusnya bercerita tentang hal yang sebenarnya
terjadi, menjauhi perilaku berbohong, menceritakan hal yang terbukti
dari sumber terpercaya, tidak berperilaku fasik (bertentangan dengan
56
cerita), tidak membicarakan pertentangan ulama, memahami dan
menjaga dari kesalahan, tidak merubah cerita, menghindari dari tutur
kata yang menyimpang, tidak merubah lafadz yang sebenarnya,
menjauhkan dari sendau gurau, meninggalkan perbuatan negatif,
bersyukur atas nikmat karena diutusnya Rasulullah dengan meniru
sikap rendah hatinya, meriwayatkan cerita yang dapat diambil
hikmahnya, dalam hal hukum fardhu maupun sunnah serta memahami
tata cara dalam mendalami kitab Allah Swt (al-Ghazali, t.t:8).
Dalam proses menyampaikan bahan kajian, guru hendaknya
menyampaikan materi dari sumber yang terpercaya atau memiliki satu
pendapat pegangan dan juga tidak terlalu menyampaikan perbedaan di
kalangan ulama dan juga semua orang lainnya.
Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang menjadi sosok
teladan guru dengan rendah hatinya kepada murid dan siapapun,
hendaknya guru dapat mengikuti teladan ini. Karena, dengan bersikap
rendah hati, maka akan diangkat derajatnya oleh Allah Swt. Sesuai
dengan firman Allah Swt :
المؤمنين واخفض جناحك لمن ات ب عك من
“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman
yang mengikutimu”. (Q.S as-Syu’ara: 215) (Yunus. 1973: 553)
Selain harus mempunyai pegangan pendapat, dalam mengajar
guru hendaknya telah belajar atau berguru kepada ulama yang lebih tua
darinya yang memiliki bidang ilmu syari’at dan bukan mendapatkan
ilmu itu dari lembaran-lembaran kertas.
Ketika berada dalam suatu majlis, seorang guru dalam berbicara
hendaknya tidak terlalu banyak bercanda sehingga menyebabkan para
hadirin tertawa terbahak-bahak. Hal tersebut dikarenakan hal yang tidak
57
baik dan dengan perbuatan itu akan menggolongkan kita kepada
golongan orang-orang yang memiliki akhlak rendah dan tidak
bermoral. Dengan banyak bercanda juga dapat menghilangkan
kehormatan seorang guru.
Dengan demikian, guru harus mengedepankan tutur kata yang
baik agar terhindar dari perkataan dan juga perbuatan yang
menyimpang. Dalam menyampaikan segala sesuatu hendaknya dengan
tegasdan menyampaikan hal yang bermanfaat baik hal-hal hukum
fardhu maupun sunnahserta memahami bagimana cara mendalami kitab
Allah Swt yang benar.
7. Adab Belajar Hadits
المشهور و ع يكت ر و يكت المناكي ولا يكت الغري ن الثقات ولا ي غلبه لا يكت
ديث على قرينه ولا يشغله طلبه عن مروءته وصلته. يجت بة و ي نصت شهر ال الغي ن
و ي لزم الصم دثه ويكثر للسما ول الت لفت عند إصلح نسخته ولا ي ق ت ب ين يدي م
ل من غير ثقة وي لزم أ و ما سمع ولا ينشره لطل العلو ف يكت المعرفة سمعت و
ل الدين ولا يكت ديث من أ ديث من الص بال ين .عمن لاي عرف ال ال
Mencatat hal-hal penting dan tidak mencatat sumber yang yang
dinilai tidak penting. Mencatat hal-hal dari periwayat yang adil, tidak
mencari cerita yang dapat mengunggulkan diri sendiri, tidak
menyibukkan diri hingga meninggalkan ibadah, menjauhi dari hal
gosip, memperhatikan apa yang didengarkan, diam ketika dihadapan
orang yang sedang bercerita, memperbanyak dalam meneliti tulisan
dan tidak berkata: “saya sudah pernah mendengar”. Tidak
mempublikasikan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan gelar.
Untuk menghindari ketika mencatat dari sumber yang kurang
dipercaya atau tidak adil adalah dengan menanyakan kepada tokoh
58
agama, dan tidak mencatat dari golongan orang yang tidak sholih (Al-
Ghazali, t.t :9-10).
Tatakrama yang harus diperhatikan murid dalam mencari hadits
atau mengaji adalah dengan belajar kepada guru atau masyayikh yang
terpercaya. Terpercaya dalam arti beliau adalah orang yang adil, tidak
pernah berbohong dan terkenal baik di kalangan banyak orang. Dalam
mencari guru yang terpercaya, murid bisa menanyakan kepada para ahli
agama dan yang lebih utama adalah meminta petunjuk Allah SWT. Hal
tersebut dikarenakan dalam menimba ilmu, murid juga akan mencontoh
budi pekerti atau tatakrama sang guru.
Al-Ghazali berpesan bahwa ketika murid mencari hadits atau
mengaji hendaknya tidak hanya mendengarkan satu pelajaran saja,
tetapi mencatat hal-hal yang sekiranya penting agar bisa dipelajari
kembali di esok hari. Karena dengan mencatat hal-hal penting tersebut
murid tidak merasa cukup dengan ilmu yang sedikit ia dapatkan selagi
masih ada kesempatan dapat mendapatkan ilmu yang lebih banyak lagi.
Sebab, menunda untuk memperoleh ilmu merupakan bencana dan
karena ilmu yang akan didapat murid pada masa yang akan datang tidak
sama dengan ilmu yang dia dapat sekarang.
Dalam mencatat apa yang didengar dari gurunya, murid
hendaknya fokus pada apa yang didengarkan dan selalu meneliti
tulisannya. Apabila guru dalam menjelaskan suatu permasalahan atau
dalam menjawab pertanyaan murid sudah tahu sebelumnya akan suatu
59
hal itu, hendaknya ia tidak menampakkan bahwa dia juga tahu akan hal
itu.
Dalam proses pembelajaran, apabila guru berbicara atau
menjawab pertanyaan sedangkan murid telah mengetahui sebelumnya,
maka ia tidak boleh berbangga diri dengan berkata “saya sudah pernah
mendengarnya sebelumnya” dan juga mencari perhatian kepada teman-
temannya agar mendapatkan pujian. Murid hendaknya mengucapkan
Alhamdulillah dan bersykur kepada Allah Swt agar ilmunya bertambah.
Murid hendaknya tidak membuat forum sendiri di dalam majlis
sehingga akan menimbulkan kegaduhan. Tidak mengalihkan
pembicaraan dengan sesama teman dan membicarakan kejelekan orang
lain.
8. Adab Menulis
ساب وسداد الرأي وحسن س الل باحسن الخط وجود الب ري وإعراب اللفظ ومعرفة ال
مين من الوزراء المتصر فين والت ة والمعرفة بأخبار المت قد الران خوف من وطي
ة والخب ر دات وت رك الإنخرام والتنزه في السدا المصادرات والعلم بأمر الخراج والمسام
رام واستعمال المروء وحسن العشر والتفظ عن الذلة وت رك الرفث ف ي عن ال
اشية . ادثة والمدارا لل المجالس ونفي المداعبة و الم
Memperindah tulisan, meruncingkan ujung pena, mengetahui huruf
dan mengerti hitungan, berpikir positif, berpakaian rapi serta berbau
harum. Bertindak setelah mendapatkan perintah, takut akan adanya
tuntutan, memahami topik pembahasan, bersikap lapang dada, cermat,
tidak berperilaku buruk, meninggalkan hal haram, memberikan contoh
perilaku positif, santun dalam bergaul, menjaga diri dari hal negatif,
60
tidak berbicara buruk di dalam majlis, tidak mengalihkan
pembicaraan, akrab dengan sesama teman (al-Ghazali , t.t:10).
Keharusan murid apabila hendak belajar atau mengaji adalah
dengan membersihkan hatinya. Hal ini disebabkan karena belajar
adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih dan
terhindar dari fikiran negatif. Dalam melaksanakan niat menuntut ilmu
dikarenakan mencari ridho Allah Swt hendaknya murid juga
memperhatikan pakaian yang dikenannya. Diharapkan berpakaian yang
bersih terhindar dari najis serta memakai wangi-wangian.
Dalam menulis materi yang disampaikan guru, hendaknya
murid mempersiapkan dengan meruncingkan pena serta menulis
dengan tulisan yang rapi dan indah. Murid juga harus berkonsentrasi
dengan seksama memperhatikan guru, karena apabila sewaktu-waktu
ada perintah dari guru, dapat segera melaksanakan tanpa mengulang
kembali perintah tersebut.
9. Adab Ceramah
ياء من سي ده وإظهار الفاقة إلى خالقه وشهو المنف عة المستمعه ت رك التكبر ودوام ال
زراء على ن فسه إلى المستمعين إليه بعين السلمة و حسن لمعرفة عيبه والنظر والإ
والعطف الظن بهم هم طلبا للصيانة والرفق بالتأدي على بباطن الديانة والإياس من
تفع ال تدئ واعتقاد فعل ما ي قول لين ناس بما ي قول .المب
Menjauhi sifat sombong, bersikap rendah hati terhadap guru,
mengadukan kekurangan terhadap sang Kholiq, bersemangat dalam
memberikan manfaat kepada para pendengar, bersikap rendah diri
dengan menuturkan segala kekurangan, memandang para pendengar
dengan pandangan yang damai, berprasangka baik dalam hal agama,
61
lapang dada, bertahap dalam mengajarkan anak didik baru dengan
penuh kasih sayang, dan yakin bahwa yang disampaikan dapat
bermanfaat (al-Ghazali, t.t.:11).
Memberikan ceramah merupakan tugas seorang guru dalam
menyampaikan suatu materi kepada anak didiknya. Pendidik dalam
memberikan uraian atau penjelasan kepada anak didik hendaklah tidak
menyombongkan diri sendiri dan menuturkan segala kekurangan yang
dimilikinya. Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang memiliki sikap
tawadhu’ didasari oleh keimanan akan kebesaran Allah Swt, maka
pendidik hendaklah selalu bersikap rendah hati, memasrahkan semua
kekurangan yang dimilikinya kepada sang Kholiq. Menghormati kepada
guru yang lebih tua dan berprasangka baik dengan para pendengar yang
datang. Menghadapi berbagai macam perbedaan para hadirin dengan
pandangan yang damai. Menghadapi anak didik yang baru, hendaklah
menghadapinya dengan sabar, penuh kasih sayang dan secara bertahap.
Adapun materi yang disampaikan harus diyakini dapat bermanfaat oleh
para pendengar.
10. Adab Mendengar
Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-Din,
إظهار الخشو ودوام الخضو وسلمة الصدر وحسن الظن واعتقاد القول ودوام
وجمع الهم وت رك الت همة . السكوت وقلة الت قل
Khusyu’, bersikap rendah hati, lapang dada, berprasangka
baik, meyakini bahwa yang disampaikan adalah benar, berdiam diri
tidak berpindah-pindah tempat dalam merangkum materi, menjauhkan
dari sikap berprasangka buruk (al-Ghazali, t.t.:11).
62
Al-Ghazali berpesan dalam kitab al-Adab Fi al-Din bahwasanya
murid hendaknya bersikap khusyu’, tenang dalam mendengarkan
penjelasan dari gurunya. Selalu bersikap rendah hati, menghormati guru
agar mendapatkan ridho Allah Swt serta ridho guru dalam menuntut
ilmu. Dalam belajar, murid hendaknya istiqomah dalam satu tempat,
tidak berpindah-pindah karena akan menghilangkan konsentrasi dalam
mendengarkan materi. Hendaknya murid menjauhkan diri dari
berprasangka buruk terhadap sesama maupun kepada guru, dan
meyakini bahwa yang disampaikan gurunya adalah benar.
63
BAB IV
ANALISIS ADAB GURU DAN MURID DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-
DIN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN SAAT INI
A. Analisis Adab Guru dan Murid Dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din
1. Adab Guru
Dalam dunia pendidikan, tugas seorang guru tidak hanya sebatas
mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, dan melatih anak
didiknya. Mendidik dalam hal ini adalah menyampaikan pengajaran
mengenai adab, aturan, dan nilai-nilai hidup yang baik dan benar.
Penanaman ketrampilan, sikap, dan mental anak didik akan lebih efektif
apabila diwujudkan dengan teladan yang baik dari gurunya yang akan
dijadikan contoh bagi anak didik.
Hal ini senada dengan penjelasan Imam al-Ghazali bahwasanya
pendidik hendaknya memberikan tauladan yang baik bagi anak
didiknya.
سنه ف هو فإن أعي ن هم إليه ناظر و أذان هم إليه مصغي ه أ بصلح ن فس د ب ي ة فما است
م عند م القبيح س ال هم ف هو عند ن وما استقب
Sikap utama dalam mendidik anak kecil adalah dengan
memberikan contoh atau suri tauladan kepada anak didik. Karena,
anak kecil cenderung memperhatikan tingkah laku dan
mendengarkan yang disampaikan guru baik dalam hal positif
maupun negatif (al-Ghazali, t.t.:7).
Oleh karena itu, kepribadian yang harus dimiliki seorang guru
sebenarnya adalah masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat melalui
64
penampilan, tindakan, ucapan, cara berpaikan, dan dalam menghadapi
setiap persoalan. Sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian
yang dapat dijadikan idola dan bisa dinilai menjadi sosok yang ideal
untuk anak didiknya. Sedikit saja guru berbuat yang tidak atau kurang
baik, maka dapat mengurangi kewibawaannya.
Pendidik juga harus mempunyai tanggung jawab dalam
perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik, agar mampu
mencapai tingkat kedewasaan dengan kemandiriannya dalam
memenuhi tugas sebagai hamba dan khalifah Allah Swt, serta mampu
melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu
yang bertaqwa.
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa adab guru
sebagaimana yang dimaksudkan dalam kitab al-Adab Fi al-Din sebagai
berikut:
a. Adab Ahli Ilmu (Al-‘Aalim)
Seorang pendidik dalam dunia pengajaran memiliki posisi
yang sangat penting karena guru adalah faktor penentu keberhasilan.
Oleh karena itu, usaha-usaha yang dilakukan dalam meningkatkan
mutu pendidikan hendaknya dimulai dari peningkatan kualitas guru.
Seorang guru hendaknya memelihara kehormatan ilmunya.
Sebagimana ulama salaf memeliharanya. K.H. M. Hasyim Asy’ari
menceritakan dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim bahwa
Imam Syihabbudin az-Zuhri berkata, “suatu hal yang membuat Ilmu
65
hina, yaitu bila guru mendatangi rumah murid dengan membawa
ilmu untuk diajarkan”. Jika terdapat suatu keadaan mendesak untuk
berbuat seperti itu, maka perbuatan tersebut diperbolehkan. Jadi bisa
disimpulkan bahwa siapa yang mengagungkan ilmu maka Allah Swt
akan mengagungkannya. Dan siapa yang menghina ilmu maka Allah
Swt akan menghinakannya.
Sebagaimana telah diketahui bahwa seorang pendidik atau
al-‘Aalim dalam arti orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
luas atau disebut “ulama” adalah derajatnya diangkat lebih tinggi
dibanding orang yang beriman biasa. Dalam Q.S. al-Mujadilah ayat
11, Allah Swt berfirman :
ي رفع الله الذين ءامنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما ت عملون خبير
“Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang
yang beriman diantar kamu, dan orang-orang (beriman) yang
memiliki ilmu dengan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujaadilah: 11)
(Yunus, 1973: 813-814).
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah Swt akan
mengangkat orang-orang yang berilmu (ulama) sebab apa yang telah
mereka kumpulkan dari ilmu dan amal. Al-Ghazali juga telah
menyebutkan bahwa seorang ahli ilmu hendaknya selalu menambah
pengetahuannya dengan mendalami ilmu lainnya serta dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari penjelasan di atas bahwasanya jika seseorang
mempunyai ilmu, dia mempunyai kewajiban untuk mengamalkan
66
karena akan memberikan manfaat bagi orang lain juga. Dengan
mengamalkan ilmu yang didapati, maka ilmu tersebut akan
berkembang lebih luas, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu
itu dapat bermanfaat jika ilmu tersebut diamalkan.
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa seorang ahli ilmu harus
bisa istiqomah dalam arti menekan dorongan nafsunya pada
perbuatan buruk untuk diganti dengan menjalankan perintah Allah
Swt. Adapun perintah Allah Swt disini diantaranya adalah budi
pekerti yang baik terhadap manusia untuk menjadi sosok panutan
yang bisa berinteraksi baik dengan masyarakat. Selain itu juga
hendaknya istiqomah dalam menjalankan shalat berjamaah di
masjid, menebarkan salam kepada sesama, amar ma’ruf nahi
munkar serta selalu tabah dalam setiap cobaan dan memasrahkannya
kepada Allah Swt.
Mengingat guru adalah panutan bagi anak didiknya,
hendaknya pendidik selalu menjaga kewibawaan dan
kehormatannya dalam bertindak. Disamping itu, hal-hal yang perlu
dihindari oleh seorang pendidik antara lain adalah tidak boleh riya’
dan sombong. Apabila seorang guru dapat meninggalkan diri dari
sifat buruk tersebut, maka ia akan menjadi guru professional karena
keikhlasan yang murni dari dalam hati ketika menjadi pendidik.
Orang yang ikhlas mencari ridha Allah Swt dengan amalnya,
senantiasa melepaskan diri dari keuntungan pribadi.
67
Dalam proses pembelajaran, masing-masing siswa memiliki
kemampuan intelektual dan emosional yang berbeda-beda. Pendidik
hendaknya dapat memahami keadaan tersebut misalnya dengan
memperhatikan daya tangkap, kecerdasan, dan kemampuan, serta
hasil latihan mereka. Terutama pada anak didik yang memiliki IQ
rendah, guru diharapkan dapat membina sampai tingkat yang
maksimal dengan lembut dan penuh kasih sayang. Apabila dalam
menyelesaikan masalah yang dialami anak didik, hendaklah dengan
rasa sabar dan tidak memperhatikan gossip-gossip yang ada.
b. Adab Mengajar Al-Qur’an
Adab mengajar al-Qur’an termasuk bagian tugas dari
seorang guru dalam mengajarkan al-Qur’an kepada murdnya. Dalam
mengajarkan mengaji al-Qur’an hendaknya guru duduk dalam
keadaan tenang, rendah diri, tawadhu’ dan khusyu’ kepada Allah
Swt. Memahami makna ayat dan konsentrasi dalam mendengarkan
ayat yang serupa serta menjauhkan diri dari perilaku berbicara
dengan orang lain.
Selaras dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin, bahwasanya seorang guru harus memahami
makna ayat dimana apabila melewati ayat sajdah, maka hendaknya
bersujud. Demikian juga apabila ia mendengar ayat Sajdah dari
orang lain maka ia sujud, apabila pembaca al-Qur’an itu bersujud
dan ia tidak sujud, kecuali apabila ia dalam keadaan suci. Sedikit-
68
sedikitnya adalah ia bersujud dengan meletakkan dahinya di atas
tanah dan sempurnanya adalah ia bertakbir lalu ia sujud dan berdo’a
di dalam sujudnya dengan suatu yang layak dengan ayat yang
dibacanya (al-Ghazali, t.t.:268).
Guru hendaknya mengambil hikmah dari al-Qur’an dengan
mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi agama murid dalam
beribadah kepada Allah Swt. Dalam mengaji, guru hendaknya
memberikan pemahaman kepada muridnya mengenai tanda waqof,
menjelaskan macam-macam hamzah, mengajarkan bilangan ayat,
maupun dalam makharijul huruf. Tidak lupa guru memberikan
penjelasan tata cara sholat sendiri maupun berjama’ah.
Adapun perilaku yang menunjukkan perhatian kepada murid
adalah dengan mengabsensi murid satu persatu. Jika salah satu
murid tidak hadir maka guru hendaknya menanyakan bagaimana
kondisinya, dan siapa saja teman dekatnya. Jika tidak mendapatkan
kabar murid tersebut, guru hendaknya mengirimkan surat atau lebih
baik mendatangi rumahnya langsung. Jika dalam keadaan sakit,
hendaknya menjenguk dan jika dalam keadaan kesusahan hendaklah
membantu meringankan bebannya walaupun dengan do’a.
Sikap guru hendaknya sering mendorong murid dengan
memberikan motivasi untuk mencintai ilmu dan bersungguh-
sungguh dalam mencarinya dengan menyebutkan keutamaan ilmu
yang akan diperolehnya. Guru hendaknya juga membimbing murid
69
secara perlahan dengan kasih sayang dalam memberikan kiat sukses
dalam belajar seperti memulai dari perkara yang mudah dan tidak
menimbun pikiran dengan urusan duniawi.
c. Adab Mendidik Anak Kecil
Adab yang harus dilakukan ketika seorang guru menghadapi
murid yang masih kecil adalah bahwa al-Ghazali berpendapat bahwa
guru yang baik adalah guru yang memiliki sifat-sifat umum, yaitu
cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya, dan kuat fisiknya.
Dengan kesempurnaan akal, guru dapat memiliki berbagai ilmu
pengetahuan secara mendalam. Dengan akhlak yang baik, guru bisa
menjadi contoh dan teladan bagi anak didik. Dengan kuat fisiknya,
ia dapat melaksanakan tugas mengajar atau mendidik, serta mampu
mengarahkan murid-muridnya dengan baik. Dengan menjaga
kewibawaan guru, akan lebih disenangi muridnya terlebih jika anak
kecil akan lebih bersemangat dalam belajar.
Seperti halnya Nabi Muhammad Swt, dalam menyampaikan
amanat dari Allah Swt, beliau benar-benar telah tampil sebagai
sosok guru yang sempurna, guru yang pantas menjadi teladan para
guru. Tidak ada perkataan beliau yang tidak sesuai dengan
perbuatannya. Beliau selalu memulai dari diri sendiri serta pandai
dalam menyeimbangi kecerdasannya dengan kejujuran,
keteladanan, keramahan, kebijaksanaan, keadilan, dan sifat-sifat
baik beliau lainnya.
70
Dalam dunia pendidikan, guru hendaknya memiliki rasa
kasih sayang terhadap murid-muridnya dalam melaksanakan praktik
mendidik dan mengajar, sehingga akan menimbulkan rasa tentram
dan rasa percaya diri pada diri murid terhadap gurunya. Ketika ingin
menghukum murid, guru hendaknya menggunakan cara yang
simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian
dan sebagainya dan jangan membicarakan kesalahan muridnya di
depan umum. Selain dengan cara yang halus, hukuman yang layak
untuk murid adalah hukuman yang mengandung unsur pendidikan,
bukan kekerasan menyakiti anak didik.
Seorang guru harus mengakui adanya perbedaan potensi
yang dimiliki murid secara individual. Oleh karena itu, guru harus
mampu mengetahui karakteristik murid, baik dalam tingkat
pemahamannya maupun tingkat akalnya, menjadi pembimbing bagi
pencarian kebenaran. Karena hal ini akan berimplikasi bagi
terbentuknya hubungan yang baik antara guru dan murid. Al-
Ghazali juga telah menasehatkan agar guru membatasi diri dalam
mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya.
Guru harus bisa memahami karakteristik setiap individu di kelas,
sehingga guru dapat mempersiapkan strategi yang tepat agar tercipta
pembelajaran yang nyaman dan aman tanpa memberatkan anak
didiknya.
71
Hal yang juga harus diperhatikan seorang guru adalah
mencegah dan mengontrol peserta didik dalam mempelajari ilmu
yang tidak bermanfaat dan dapat membahayakan anak didik seperti
halnya al-Ghibah (mengumpat), al-Namimah (adu domba), at-
Takabur (sombong) dan sebagainya. Karena pada dasarnya tujuan
pendidikan diantaranya adalah membentuk budi pekerti tertanam
dalam diri anak didik.
Keberadaan guru yang menjadi orang-tua kedua bagi anak
didik, hendaknya juga mengajar, mendidik, melatih secara bertahap
dengan penuh kasih sayang mengenai tata cara bersholat, tata cara
bersuci, dan tata cara menyucikan najis guna memperkuat ketaatan
kepada Allah Swt.
d. Adab Ahli Hadits
Ahli hadits merupakan seorang guru yang pandai mengenai
hadits dan disampaikan kepada muridnya. Tujuan murid dalam
menimba ilmu kepada seorang guru adalah mencari ridho Allah Swt
dengan meneladani budi pekerti serta ilmu yang disampaikan
gurunya. Oleh karena itu, hendaknya guru mempermudah murid
dengan bahasa penyampaian yang mudah difahami serta dengan
tutur bahasa yang baik dan tidak merubah isi materi yang selayaknya
diajarkan.
Salah satu syarat yang harus dilakukan guru agar bisa
menjaga hubungan dekat dengan anak didiknya adalah dengan
72
bersikap tawadhu’ atau rendah hati. Seperti halnya Nabi Muhammad
SAW yang sangat luar biasa patut dijadikan teladan dan contoh bagi
seorang guru dengan sikap tawadhu’ yang dimilikinya. Dalam
mengajar, hendaknya seorang guru memiliki sikap tawadhu’ tidak
akan pernah sombong, apalagi menyombongkan diri dalam
mengajar. Guru yang tawadhu’ menyadari ilmu yang dimilikinya
adalah titipa Allah Swt yang harus disebarkan kepada murid-
muridnya. Maka, dengan sikap tawadhu’ guru tidak akan pernah
sombong dengan ilmunya dan hal tersebut menjadikan seorang
murid lebih dekat dengan guru sehingga mampu menyerap ilmunya
dengan baik.
Pada proses pembelajaran, guru hendaknya berusaha untuk
tidak sibuk mempelajari dan menyampaikan materi mengenai
perbedaan di kalangan ulama baik dalam masalah yang bersifat
aqliyyat (berdasar penalaran) dan sam’iyyat (berdasar wahyu). Hal
tersebut bertujuan agar murid tidak kaget dan tidak bingung kecuali
memang anak didik sudah memasuki taraf mampu mengenal hal
tersebut.
Guru hendaknya mengetahui bahan kajian yang disampaikan
berasal dari periwayat yang terkenal adil serta dapat
dipertanggungjawabkan agar terhindar dari kesalahan. Oleh karena
itu, guru hendaknya memiliki satu pendapat (madhab) untuk
dijadikan pegangan. Menurut al-Ghazali, apabila guru tidak
73
memiliki satu pendapat yang dijadikan pegangan maka hendaknya
guru diwaspadai karena dinilai lebih banyak negatifnya daripada
positifnya.
Selain berpegang pada satu pendapat, guru hendaknya dalam
menyampaikan ilmunya ia dapatkan dari proses belajar kepada
ulama yang lebih tua yang memiliki keahlian dalam bidang syari’at.
Bukan mendapatkan ilmu dari lembaran-lembaran kertas buku dan
tidak pernah belajar langsung pada guru-guru ahli (masyayikh).
Imam Syafi’i berkata, “Siapa orang belajar fikih dari kitab atau
buku, dia telah menyia-nyiakan hukum”. Hal itu dikarenakan
apabila belajar suatu hukum tanpa melalui seorang ulama, maka ia
tidak akan mendapatkan kejelasan melainkan dengan pendapatnya
sendiri dan juga keraguan sehingga akan membingungkan para
muridnya. Oleh karena itu, al-Ghazali berkata bahwa guru
hendaknya berhati-hati dan memahami betul dalam hal mempelajari
dan menyampaikan hukum fardhu maupun sunnah kepada anak
didiknya serta memahami bagaimana tatakrama dalam mendalami
kitab Allah Swt.
Selaras dengan yang disampaikan K.H M. Hasyim Asy’ari
dalam kitab Adabul ‘Aliim wal Muta’allim, adapun pembelajaran
awal yang hendaknya disampaikan guru kepada muridnya adalah
pembelajaran terkait hal-hal yang hukumnya fardhu ‘ain yaitu
diantaranya empat macam pengetahuan; 1) pengetahuan tentang
74
Dzat Allah SWT, cukup dengan meyakini akan eksistensi-Nya yang
qodim, kekal, suci dari kekurangan dan memiliki sifat yang
sempurna; 2) pengetahuan tentang sifat Allah Swt, cukup dengan
meyakini bahwa Dzat Allah yang luhur bersifat Maha Kuasa, Maha
Berkehendak, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar,
Maha Melihat, dan Maha Berbicara.; 3) pengetahuan tentang
hukum-hukum Islam (Fikih), cukup dengan mengetahui hal-hal
yang dapat memperkokoh ketaatan kepada Allah Swt seperti
bersuci, shalat, puasa dan kewajiban zakat; 4) pengetahuan tentang
macam-macam keadaan dan tingkatan (maqamat), sebagaimana
dalam ilmu tasawuf (Hadziq, 2016: 39-40).
Guna memperkuat ilmu-ilmu fardhu ‘ain, murid hendaknya
mempelajari al-Qur’an dengan bersungguh-sungguh dalam
memahami tafsir dan ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an.
Kemudian menghafal pokok-pokok pembahasan setiap disiplin ilmu
diantaranya Hadits, Ilmu Hadits, Nahwu dan Shorof, Ushul Fikih
dan Ushuluddin (teologi atau ilmu akidah) (Hadziq, 2016: 40).
Dalam mengajar, guru juga harus menjauhkan diri dari sikap
berbohong. Dengan demikian, seorang guru harus bersikap jujur.
Sikap jujur yang harus dimiliki guru dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari baik di sekolah, di rumah dan di masyarakat.
Segala sesuatu yang disampaikan kepada siswa selalu diamalkan
dalam kehidupan seorang guru. Dalam menyampaikan ilmu juga
75
harus jujur dengan mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah
itu salah. Hal ini dikarenakan guru yang tidak jujur akan merugikan
siswanya dan juga lembaga pendidikan tempat ia mengajar.
e. Adab Ceramah
Dalam memberikan ceramah dalam suatu majlis, hendaknya
guru memulai dengan niat untuk memuliakan ilmu dan
mengagungkan syariat Allah Swt. Bersikap tenang, dan khusyu’
memasrahkan semua urusan kepada Allah Swt. Sesampainya di
suatu majlis, guru hendaknya mengucapkan salam kepada para
hadirin untuk memperlihatkan kedamaian dan kedekatan dengan
para jama’ah yang hadir.
Mengingat bahwasanya para hadirin berasal dari berbagai
golongan, guru hendaknya bisa bersikap toleransi terhadap berbagai
pendapat para jama’ah. Akan tetapi, guru juga harus mengingatkan
para hadirin mengenai keterangan-keterangan yang membuat sikap
tidak mau kalah dalam berdebat. Karena, tidaklah patut bagi orang
yang berilmu melakukan persaingan, sebab dapat mendatangkan
permusuhan dan kebencian.
Hendaknya guru menghormati hadirin yang lebih ‘alim,
lebih tua, lebih shalih, atau lebih mulia dan bersikap ta’dzim untuk
para ulama besar Islam. Guru hendaknya juga bersikap lemah
lembut penuh kasih sayang kepada para hadirin lainnya, terutama
kepada anak didik yang baru. Sebab setiap orang yang baru pasti
76
merasa kurang nyaman, maka tugas guru adalah bersikap santun dan
ramah agar orang itu merasa tentram. Guru tetap memuliakan siapa
saja yang hadir dalam majlisnya dengan tutur kata yang sopan, dan
sikap hormat yang baik serta menuturkan segala kekurangan yang
dimiliknya.
Guru hendaknya meninggalkan cara memaksa dalam
berdakwah. Jika berbicara tidak menggunakan bahasa yang dibuat-
buat atau dengan bahasa isyarah karena Allah Swt akan murka
terhadap orang yang memaksa jama’ahnya hingga melewati batas,
karena orang seperti ini menunjukkan kesombongan dirinya dan
kelalaian hatinya.
Dalam proses pembelajaran hendaknya guru berusaha untuk
kreatif dan inovatif serta semangat dan pandai menyaring
pengetahuan yang benar-benar bermanfaat untuk para muridnya
agar dapat dijadikan contoh dalam kehidupannya.
2. Adab Murid
a. Adab Murid dengan Guru
Jika murid berpapasan dengan guru secara kebetulan di jalan,
maka murid yang harus mengucapkan salam terlebih dahulu.
Apabila guru berada jauh, maka murid harus menghampiri beliau
dan jangan memanggil beliau dari kejauahan. Begitu juga ketika
mengucapkan salam, jangan dari kejuahan atau dari belakang beliau,
melainkan harus berada dalam jarak yang dekat.
77
Apabila ingin menanyakan suatu hal kepada guru, murid
tidak boleh bertanya apapun pada guru ketika berada di jalan.
Melainkan mendatangi tempat keberadaan guru, dan menunggu
guru hingga selesai pekerjaannya atau kegiatannya. Dalam bertanya
kepada guru, hendaknya murid berbicara dengan tutur kata yang
baik. Apabila guru diam tidak menjawab, murid tidak boleh
menuntut. Ketika jawaban guru keliru, murid tidak boleh langsung
memberi komentar. Dan apabila murid tidak faham, hendaknya ia
tidak malu untuk mengatakan ketidakfahamannya tersebut kepada
guru.
Ketika berada di hadapan guru, murid hendaknya bersikap
tenang, rendah hati dan tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu
yang lucu yang ada unsur penghinaan, yang tidak pantas, dan tidak
sesuai dengan etika yang baik. Murid hendaknya menjaga sikap
sopan tidak menarik pakaian guru guna untuk menjahilinya.
Murid hendaknya patuh pada guru dalam berbagai hal dan
tidak menentang pendapat serta aturan guru. Murid hendaknya
meminta petunjuk guru dalam mendapatkan tujuannya belajar,
mencari ridho guru dalam setiap perbuatan, menghormatinya, dan
mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan patuh kepada guru.
Ketika guru mengucapkan suatu pendapat atau dalil yang tidak jelas,
atau bertentangan dengan kebenaran, karena lupa maka dalam
keadaan seperti itu murid harus berpikir positif. Murid harus bisa
78
menyadari bahwa keterjagaan dari kesalahan pada manusia
hanyalah milik Allah Swt dan para Nabi.
Dalam proses pembelajaran berlangsung, seorang murid
tidak boleh membuat seorang guru marah dengan sikap murid yang
tidak sopan terhadapnya. Pada waktu guru memberikan pelajaran
hendaknya seorang murid memperhatikan dengan saksama, tidak
boleh bergurau atau berbicara dengan teman lainnya dan tidak
menyibukkan pikiran dengan sesuatu yang lain berupa bisikan-
bisikan hati di tengan pelajaran. Apabila temannya berperilaku tidak
sopan, hendaknya menasehatinya tanpa harus mengadu kepada
gurunya.
b. Adab Membaca Al-Qur’an
Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-Din
bahwa tatakrama seorang murid dalam belajar membaca al-Qur’an
adalah bersikap rendah hati niat ikhlas dalam mencari ridho Allah
Swt. Sebelum memulai membaca hendaknya meminta izin kepada
guru, mengawalinya dengan membaca ta’awudz dengan tujuan agar
terhindar dari godaan syaitan, menenangkan hati dan setelah
membaca ta’awudz disunnahkan membaca basmallah agar
mendapatkan keberkahan dalam membaca al-Qur’an.
Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali juga menjelaskan
bahwa ketika membaca al-Qur’an hendaknya dalam keadaan
berwudhu, berhenti dalam keadaan sopan dan tenang baik ada
79
kalanya berdiri maupun adakalanya duduk, dengan menghadap
kiblat dan menundukkan kepala dengan tidak bersila dan tidak
duduk dalam keadaan sombong. Ketika duduk sendirian seperti
halnya duduk di hadapan guru (Al-Ghazali,t.t.:261).
Setelah selesai membaca al-Qur’an hendaknya murid tidak
lupa untuk berdo’a, hal itu dikarenakan membaca al-Qur’an adalah
salah satu amal sholeh, dan do’a atau harapan yang mustajab adalah
do’a yang dipanjatkan setelah melakukan amal shaleh.
c. Adab Belajar Hadits
Adab mencari hadits disini diartikan tatakrama seorang
murid dalam mencari hadits atau mengaji kepada seorang guru.
Murid hendaknya belajar mengaji atau mencari suatu hadits kepada
guru atau masyayikh yang telah dikenal terpercaya berupa adil, tidak
pernah berbohong dan dikenal baik oleh masyarakat. Adapun cara
murid dalam mencari guru yang terkenal tsiqah (terpercaya) adalah
dengan meminta petunjuk (istikhoroh) kepada Allah Swt atau
dengan bertanya kepada tokoh agama. Hal tersebut dikarenakan,
murid akan menimba ilmunya dan meneladani budi pekerti guru
yang telah diketahui memiliki keahlian, sifat asih, citra yang baik,
kepandaian menjaga kesucian diri serta kemampuan mengajar dan
memahamkan yang baik.
Dalam menghadiri suatu majlis, hendaknya murid tidak
terfokus kepada satu pelajaran saja, akan tetapi juga mencatat hal-
80
hal yang dianggap sulit serta keterangan penting yang terkait dengan
pelajaran itu. Adapun keterangan yang dianggap penting seperti
halnya suatu permasalahan, jawaban-jawaban atas masalah yang
ditemukan, dan perbedaan-perbedaan antara hukum-hukum yang
sama dalam suatu jenis disiplin ilmu. Hal tersebut dikarenakan
murid hendaknya tidak merasa cukup dengan mendapatkan ilmu
yang sedikit jika masih ada kesempatan mendapatkan ilmu yang
lebih banyak lagi.
Manfaat adanya catatan-catatan penting yang ditulis murid
adalah agar dapat dipelajari di lain hari. Murid hendaknya mengajak
teman-temannya untuk mengingat kembali materi serta
permasalahan-permasalahan yang mereka dapat dalam majlis karena
sangat bermanfaat bagi pengetahuan murid. Selaras yang
disampaikan K.H. M. Hasyim Asy’ari , Khotib al-Baghdadi berkata,
“Mengulang pelajaran yang paling baik adalah waktu malam”.
Beberapa ulama salaf mulai belajar pelajaran sejak isya’ sampai
mendengar adzan subuh. Apabila tidak ada teman yang bisa diajak
belajar bersama, maka bisa belajar sendiri dengan mengulang-ulang
di dalam hati makna dan lafadz yang telah didengar sebelumnya agar
melekat dalam benaknya. Sesungguhnya mengulang-ulang makna
dalam hati seperti halnya mengulang-ulang lafadz dengan lisan
(Hadziq, 2016: 45-46).
81
Apabila guru dalam mengajar menyampaikan suatu
permasalahan atau dalam menjawab pertanyaan sedangkan murid
telah mengetahui hal itu sebelumnya, murid hendaknya tidak
menampakkan bahwa dia juga tahu akan hal itu. Seperti halnya
ketika murid mendengar guru menyebutkan hukum suatu kasus atau
menceritakan suatu cerita, atau menembangkan sebuah syiir namun
murid telah menghafalkannya, maka murid tetap harus
mendengarkan dengan seksama, mengambil manfaat dan merasa
haus akan ilmu serta menunjukkan raut wajah gembira seolah-olah
murid belum pernah mendengar.
Murid hendaknya diam memperhatikan apa yang
disampaikan gurunya. Diam dalam arti juga tidak memotong apapun
pembicaraan guru, mendahului atau menyamai apa yang
disampaikan guru dengan tujuan mengunggulkan dirinya agar
mendapatkan perhatian serta sanjungan dari orang lain seperti
berkata “Saya sudah pernah mendengar sebelumnya”. Apabila
murid memang meminta penjelasan lebih dalam, sebaiknya
melakukannya dengan perkataan yang halus.
Ketika sedang berkumpul bersama teman dalam suatu
majlis, hendaknya murid berperilaku yang baik dengan
menghormati teman-temannya, memuliakan para senior dan teman-
temannya. Ketika proses pembelajaran berlangsung, murid tidak
boleh membuat forum sendiri, tidak boleh berbicara hal-hal yang
82
tidak berkaitan dengan pelajaran tersebut atau hal-hal yang dapat
menghentikan kegiatan belajar.
d. Adab Menulis
Tatakrama seorang murid ketika hendak menulis apa yang
disampaikan gurunya dalam mengaji hendaklah meruncingkan
ujung pena yang dimilikinya. Dengan meruncingkan penanya,
diharapkan tidak menghambat proses pembelajarannya karena ia
bisa lebih fokus mendengarkan materi dari gurunya. Pena yang telah
diruncingkan bertujuan untuk menuliskan materi yang ia dapat
dengan tulisan yang rapi, indah agar dapat dipelajari kembali di
kemudian hari.
Ketika mengaji atau menemui guru, murid hendaknya
berpenampilan baik, berpakaian bersih dan suci setelah memotong
kuku dan menghilangkan bau badan yang tidak sedap, terutama
apabila bertujuan mengaji. Hal ini dikarenakan tempat mengaji
adalah majlis untuk berdzikir, ibadah dan berkumpulnya orang-
orang.
Murid hendaknya juga mengerti mengenai huruf serta
hitungan. Hal tersebut bertujuan agar setiap menulis lafadz dengan
baik dan benar. K.H. M. Hasyim Asy’ari berkata dalam kitab Adabul
‘Alim Wal Muta’allim bahwa ketika menulis lafadz Allah Ta’ala
hendaknya diikuti dengan ungkapan pengagungan seperti ta’ala,
subhanahu wa ta’ala. ‘azza wa jalla, tabaroka wa ta’ala, jalla
83
dzikruhu, tabaroka ismuhu, jallat ‘adhomatuhu dan lain sebagainya.
Setiap menuliskan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tulis
setelahnya secara bergandengan lafal-lafal shalawat dan salam
kepada beliau. Tujuannya adalah untuk melaksanakan perintah
Allah Swt dalam firman-Nya:
عليه و سل موا تسليماا صلو
Jangan sampai penulisan shallallahu ‘alaihi wa sallam
disingkat, meski shalawat itu berulang kali disebutkan, menjadi
singkatan lainnya yang tidak pantas disematkan صم atau صلعم
kepada Rasulullah SAW (Hadziq, 2016: 107).
Tidak memotong pembicaraan guru, tetapi harus bersabar
sampai guru selesai berbicara, baru murid boleh berbicara. Tidak
berbincang-bincang dengan teman lainnya ketika guru sedang
berbicara dengan para jama’ah. Murid hendaknya selalu konsentrasi
pada guru sekiranya apabila guru memberikan perintah kepadanya,
tidak perlu mengulang perintah guru lagi dan segera melakukannya.
Murid juga harus menjaga setiap tutur katanya ketika di
dalam majlis agar terhindar dari perkataan buruk. Murid hendaknya
memberikan contoh perilaku positif seperti memulikan teman-
temannya dengan menebarkan salam, menampakkan sikap hormat,
menjaga hak-hak pertemanan dan persaudaraan segama
84
sebagaimana semuanya tergolong ahlul ‘ilmi, pembawa dan pencari
ilmu, melupakan dan memaafkan kesalahan sesama teman,
menutupi kejelekan mereka, berterimakasih kepada teman yang baik
dan berhati-hati kepada teman yang tidak baik.
e. Adab Mendengar
Sifat yang begitu ditekankan oleh Imam al-Ghazali bahwa
seorang murid yang baik hendaklah bersikap rendah hati atau
tawadlu. al-Ghazali juga menganjurkan agar jangan ada murid yang
merasa lebih besar daripada gurunya atau merasa lebih hebat
daripada ilmu gurunya. Murid yang baik hendaknya menyerahkan
persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan nasehat dan arahannya.
Sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dan
arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat
dokternya, serta selalu berprasangka baik bahwa yang disampaikan
gurunya benar guna dijadikan teladan budi pekertinya hidup dalam
sehari-hari.
Al-Ghazali dalam kitab al-Adab Fi al-Din menjelaskan
bahwa murid hendaknya bersikap baik meyakini bahwa yang
disampaikan gurunya adalah benar serta lapang dada. Murid
hendaknya menghormati gurunya lahir dan batin. Penghormatan
secara lahiriah yaitu dengan cara tidak mendebatnya, tidak
menyibukkannya dengan bantahan-bantahan dalam masalah
apapun, meskipun mengetahui kesalahan syeikhnya. Adapun
85
penghormatan secara bathiniyah yaitu si murid tidak mengingkari
dalam hatinya semua yang telah ia dengar dan sepakati secara
lahiriah, baik dengan perbuatan maupun perkataan, sehingga ia tidak
dianggap munafik.
Ketika berada di dalam majlis, murid hendaknya
mendengarkan materi yang disampaikan guru dengan seksama dan
tidak berpindah-pindah tempat sehingga akan menimbulkan
hilangnya konsentrasi dan kegaduhan.
B. Relevansi Adab Guru dan Murid Dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din
dengan Proses Pembelajaran Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Saat Ini
Pada zaman sekarang tantangan globalisasi yang semakin tersebar
luas dalam segala aspek kehidupan. Tantangan globalisasi bukan saja
menjadi penyebab runtuhnya nilai-nilai luhur bangsa, melainkan akan
menghambat generasi penerus bangsa dengan kepemimpinan yang
berakhlak. Seperti yang kita ketahui, pendidikan di Indonesia sedikit
banyaknya masih bersifat intelektualitas dan materialistik. Dengan
mementingkan pendidikan intelektual dan kepentingan pribadi sehingga
tidak menghiraukan pendidikan-pendidikan yang lain, terutama pendidikan
adab, moral atau kesusilaan.
Melihat kondisi riil yang ada sekarang ini, seperti maraknya tawuran
pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang merajalela, dan pergaulan
bebas, membuat peran pendidikan khususnya sekolah dipertanyakan. Hal
86
ini berarti pendidikan belum mampu membentuk manusia ideal yang dapat
diandalkan masyarakat dan sekolahlah yang bertanggungjawab penuh
terhadap berbagai permasalahan yang menyelimuti generasi bangsa dan
masyarakat.
Guru dan murid adalah dua unsur yang serasi, seimbang karena
keduanya berada dalam hubungan yang saling membutuhkan. Namun
demikian, dalam proses interaksi guru dan murid dalam mencapai tujuan
pendidikan sering dipengaruhi oleh faktor eksternal diantaranya dalam
prinsip motivasi belajar, minat dan prinsip menjaga perbedaan setiap anak
didik. Demikian pula akibat faham materialistik, guru berlomba-lomba
mendapatkan uang dengan berbagai cara yang tidak terpuji. Sebaliknya,
murid tidak akan menghormati gurunya apabila tidak dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan nilai uang yang murid berikan.
Dewasa ini tujuan bersekolah juga mengalami pergeseran yang
dulunya tujuan bersekolah agar mendapatkan ilmu bermanfaat untuk
dipergunakan teladan hidup sedangkan sekarang, belajar hanyalah untuk
mendapatkan nilai sekolah yang tinggi. Tujuan lembaga pendidikan dahulu
memiliki komitmen kuat dalam mengajarkan sopan santun, moral, saling
mengalah dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi. Sedangkan lembaga pendidikan yang ada saat ini, memiliki
orientasi bagaimana meningkatkan kecerdasan, prestasi, dan ketrampilan
menghadapi persaingan.
87
Dalam proses belajar mengajar, seringkali interaksi yang tidak
harmonis sehingga mengakibatkan terhambatnya dalam mencapai tujuan
belajar. Seringkali guru menganggap tugas menjadi guru hanya sekedar
menyampaikan materi pembelajaran kemudian pulang, dan murid
menganggap sekolah hanya tempat menjalankan rutinitas berangkat pagi
dan pulang sore hari. Ketika di dalam kelas, guru hanya memberikan
perhatian kepada muridnya ketika ada yang tidur, membuat keributan di
kelas dan tidak memperhatikan pelajaran. Hal tersebut mengakibatkan
murid hanya mengetahui cara mencari perhatian terhadap lingkungannya
adalah dengan cara yang buruk, bukan seperti pujian dan motivasi yang
disanpaikan gurunya. Dengan demikian, seringkali murid dapat berbuat
kenakalan di lingkungan sekitarnya.
Kondisi seperti di atas sebenarnya sudah lama tergambar pada masa
lalu, hal semacam ini pula yang melatarbelakangi terciptanya karangan
kitab al-Adab Fi al-Din. Pendidikan saat ini yang mengalami krisis etika
dan moral serta keagamaan harus dikuatkan kembali tujuan pendidikan
Islam dalam membentuk karakter anak didik dan guru serta membentuk
etika religius sesuai ajaran agama yang benar.
Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa, seorang guru adalah
seorang yang diserahi menghilangkan akhlak yang buruk dan menggantinya
dengan akhlak yang baik agar para pelajar itu mudah menuju jalan ke akhirat
yang menyampaikannya kepada Allah (Nata, 2001: 101). Dalam Kitab al-
Adab Fi al-Din dijelaskan bagaimana cara mengoptimalisasi seorang guru
88
dan murid yaitu dengan membuat suasana keagamaan dalam proses
pendidikan. Karena, suasana religius dan membiasakan akhlak dalam setiap
kegiatan belajar mengajar merupakan langkah maju menuju cita-cita
keseimbangan dunia dan akhirat.
Pemikiran al-Ghazali berusaha membuat dasar bangunan
masyarakat moral religius melalui pembinaan moral. Adab merupakan salah
satu dari bentuk sifat yang harus diperhatikan dan dimiliki oleh siapapun,
khususnya guru dan murid dalam pendidikan, dimana antara sikap guru dan
murid sangatlah terkait satu sama lain dalam proses belajar mengajar. Sosok
guru yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar dengan
ikhlas, tawadhu’, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang
kepada anaknya, dapat mengetahui karakteristik kemampuan anak
didiknya, mampu menggali kemampuan yang dimiliki siswa, dapat bekerja
sama dengan siswa dalam memecahkan masalah, mencegah murid tidak
berbuat meyimpang, dan guru menjadi tipe ideal untuk dijadikan teladan
anak didiknya.
Dalam konteks mengajar, sifat tawadhu’ dapat menghancurkan batas
yang menghalangi antara seorang guru dengan murid. Tawadhu’ dalam arti
tidak pernah sombong, apalagi menyombongkan diri. Sifat sombong dapat
menyebabkan para murid menjauhi guru, mereka akan menolak ilmu
darinya. Jika seorang murid dekat dengan gurunya, maka ia akan mampu
menyerap ilmu dengan baik. Dengan bersikap tawadhu’ dalam mengajar,
89
guru akan lebih dekat dengan murid, kenyamanan dalam belajar mengajar
dan disayangi murid.
Lebih lanjut tentang murid, disamping ia memiliki fitrah yang harus
dikembangkan, murid juga memiliki tugas dan kewajiban demi menunjang
keberhasilan dan kesuksesannya. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan
bahwa seorang murid harus membersihkan diri, bersungguh-sungguh dalam
belajar, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, bersikap tawadhu’ (rendah
hati), tidak sombong atas ilmunya, tidak menentang serta memberatkan
pendidik, tertib dalam menuntut ilmu, tidak menyakiti hati guru dan teman
lainnya. Murid harus membersihakan hatinya kembali agar mendapatkan
pancaran ilmu dengan mudah dari Allah Swt, berniat sungguh-sungguh
hanya semata-mata mencari ridho dan beribadah kepada Allah Swt.
Begitu juga dengan guru disiapkan bukan untuk mencari materi
maupun kehormatan tetapi untuk mengemban amanah yang dititipkan
Allah Swt kepadanya. Guru bukanlah petugas suruhan tetapi panggilan jiwa
untuk mengabdi dan mencari ridho Allah Swt. Dengan sikap yang tertanam
pada diri guru sebagai pemegang kesuksesan dan murid sebagai orang yang
butuh akan bimbingan serta orang tua yang berkepentingan akan kesuksesan
anak akan berdampak besar terhadap proses pendidikan khususnya
terbentuknya pola hubungan guru dan murid yang baik.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari data-data beserta analisa sebagaimana yang telah
diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Adab Guru dan Murid Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab al-Adab Fi
al-Din
Kitab al-Adab Fi al-Din merupakan karya al-Ghazali dengan
tujuan secara khusus membahas tentang tatakrama mendekati Allah Swt
guna mendapatkan ridho dan cinta-Nya. Adab guru dan murid yang ideal
menurut al-Ghazali diorientasikan pada adanya pengoptimalan dalam
bentuk proses pendidikan atau belajar-mengajar yaitu guru dan murid
harus memiliki sifat tawadhu’, mengedepankan sikap tidak sombong dan
menyombongkan diri, guru juga harus menjadi sosok yang patut diikuti
dan diteladani, guru harus memiliki motivasi yang tinggi dalam
pengajaran, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual muridnya,
mampu menggali potensi murid dan penuh kasih sayang. Begitu juga
murid harus memiliki sikap rendah hati dalam menuntut ilmu mencari
pancaran ilmu dari Allah Swt dengan cara menghormati guru, menerima
pendapat guru dan tidak menyalahkannya, selalu berfikir postif akan ilmu
yang guru berikan, konsentrasi ketika proses pembelajaran berlangsung,
meninggalkan perbuatan yang buruk dengan teman lainnya, dan
mengulang kembali pelajaran yang telah didapatkan di sekolah.
91
2. Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi al-Din dikaitkan
dengan konteks pendidikan saat ini
Melihat kondisi riil yang ada sekarang ini, seperti maraknya
tawuran pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang merajalela, dan
pergaulan bebas, membuat peran pendidikan khususnya sekolah
dipertanyakan. Hal ini berarti pendidikan belum mampu membentuk
manusia ideal yang dapat diandalkan masyarakat dan sekolahlah yang
bertanggungjawab penuh terhadap berbagai permasalahan yang
menyelimuti generasi bangsa dan masyarakat.
Pemikiran al-Ghazali berusaha membuat dasar bangunan
masyarakat moral religius melalui pembinaan moral dengan membiasakan
penanaman nilai dan akhlak dalam kegiatan belajar mengajar. Sosok guru
yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar dengan ikhlas,
tawadhu’, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada
anaknya, dapat mengetahui karakteristik kemampuan anak didiknya,
mampu menggali kemampuan yang dimiliki siswa, dapat bekerja sama
dengan siswa dalam memecahkan masalah, mencegah murid tidak berbuat
meyimpang, dan guru menjadi tipe ideal untuk dijadikan teladan anak
didiknya.
Lebih lanjut tentang murid, disamping ia memiliki fitrah yang
harus dikembangkan, murid juga memiliki tugas dan kewajiban demi
menunjang keberhasilan dan kesuksesannya. Dalam hal ini al-Ghazali
menjelaskan bahwa seorang murid harus membersihkan diri, bersungguh-
92
sungguh dalam belajar, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, bersikap
tawadhu’ (rendah hati), tidak sombong atas ilmunya, tidak menentang
serta memberatkan pendidik, tertib dalam menuntut ilmu, tidak menyakiti
hati guru dan teman lainnya. Murid harus membersihakan hatinya kembali
agar mendapatkan pancaran ilmu dengan mudah dari Allah Swt, berniat
sungguh-sungguh hanya semata-mata mencari ridho dan beribadah kepada
Allah Swt.
B. Saran-saran
Setelah penulis menyimpulkan dari data yang telah diperoleh,
selanjutnya penulis akan memberikan beberapa saran yang menurut penulis
sangat perlu untuk peningkatan kualitas mutu pendidikan dan proses
pendidikannya. Adapun saran-saran tersebut antara lain:
1. Adab guru dan murid sebagaimana yang telah dijelaskan Imam al-Ghazali
sangat perlu diterapkan dalam proses pembelajaran dalam dunia
pendidikan saat ini, mengingat semakin berkembangnya zaman, mental dan
moralitas manusia semakin menurun khususnya para anak bangsa sebagai
penerus bangsa bahkan nilai-nilai keagamaan semakin luntur diterpa arus
globalisasi.
2. Penelitian ini disarankan untuk kepentingan teoretis maupun praksis bagi
pengembangan pendidikan Islam umunya dan belajar mengajar pada
prakteknya, pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang berasal
dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus dilakukan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali.t.t. Al-Adab Fi Al-Din. Ploso: Maktabah Al-Falah.
Al-Ghazali.t.t. Ihya’ Ulumuddin. Terjemahan oleh Moh Zuhri.t.t. Semarang: Asy
Syifa’.
Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998. Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Qardhawi, Yusuf.t.t. Al-Imam al-Ghazaly baina Madihihi wa Naqidihi.
Terjemahan oleh Ahmad Satori Ismail (Pro Kontra Pemikiran Al-Ghozali).
Surabaya: Risalah Gusti.
Daradjat, Zakiah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ghafur, Waryono Abdul. 2006. Kristologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadziq, Muhammad Ishom. 2016. Terjemah Adabul ‘Alim wal Muta’allim
(Pendidikan Akhlak ). Tebuireng: Pustaka Tebuireng.
Kudrat Umar, Masri. 2009. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran. Jakarta :
Bumi Aksara.
Ngafenan, Mohamad. 1990. Kamus Etimologi Bahasa Indonesia. Semarang: Effhar
Offset.
Nata, Abuddin. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru dan Murid.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
_____________ 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers.
Poerwadarminta. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra, Sitiatava Rizema. 2016. Metode Pengajaran Rasulullah SAW. Yogyakarta:
Diva Press.
Rahmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan Etika. Malang: UIN Maliki Press.
Rajasa, Sutan. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Cendekia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
94
Syakur, Masyhudi. 2008. Biografi Ulama’ Pengarang Kitab Salaf. Jombang: Darul
Hikmah.
Tobroni, Suprayogo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial- Agama. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Usman, Moh Uzer. 1991. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Yasin, A. Fatah. 2008. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang
Press.
Yunus, Mahmud. 1973. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: CV. Al-Hidayah.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
95
96
97
DAFTAR NILAI
98
SURAT KETERANGAN KEGIATAN MAHASISWA
Nama : Faiqotul Himmah
NIM : 111-13-035
Jurusan : PAI
Dosen Pembimbing Akademik : Drs. Badwan, M.Ag.
No. Jenis Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Skor
1. OPAK STAIN SALATIGA 2013
“Rekonstruksi Paradigma
Mahasiswa yang Cerdas, Peka dan
Peduli”
27 Agustus
2013
Peserta 3
2. OPAK TARBIYAH 2013
“Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Sebagai Identintas
Pendidikan Indonesia”
29 Agustus
2013
Peserta 3
3. UPT PERPUSTAKAAN “Library
User Education”
16 September
2013
Peserta 2
4. “Training Pembuatan Makalah” 18 September
2013
Peserta 2
5. Seminar Nasional “ Upaya Menjaga
Eksistensi dan Masa Depan
Pembelajaran Bahasa Arab”
09 Oktober
2013
Peserta 8
99
6. “ Training SIBA – SIBI Semester
Gasal 2013- 2014”
08- 09
November 2013
Peserta 2
7. Penerimaan Anggota Baru JQH “
Kristalisasi Nilai Qur’ani Menuju
Insan yang Penuh Hikmah”
23- 24
November 2013
Peserta 2
8. “SIBA- SIBI Training UAS
Semester Ganjil 2013- 2014”
10- 11 Januari
2014
Peserta 2
9. Ijazah Kursus Pembina Pramuka
Mahir Tingkat Dasar (KMD)
03- 08 Maret
2014
Peserta 8
10. Sarasehan Akbar Bersama Tokoh
Nasional “Komitmen Politik Islam
dalam Menata Arah Masa Depan
Bangsa Indonesia”
15 Maret 2014 Peserta 8
11. “SIBA- SIBI Training UTS Semester
Genap Tahun 2014”
2- 3 Mei 2014 Peserta 2
12. “Konsep Pemimpin Ideal Menurut
Al Qur’an”
17 Mei 2014 Peserta 2
13. Sertifikat “ MA’HAD
MAHASISWA”
Peserta 2
14. Akhirussanah Ma’had STAIN
Salatiga Periode 2013/2014
21 Juni 2014 Panitia 2
100
“Intelektualitas dan Akhlaqul
Karimah Mahasiswa”
15. Ijazah Kursus Pembina Pramuka
Mahir Tingkat Lanjutan (KML)
05- 10 Januari
2015
Peserta 8
16. Certificate of Completion “Survival
English Program At Survival English
Course in Pare, Kediri, Jawa Timur”
13 Januari – 07
Februari 2015
Peserta 4
17. Bedah Novel “Gus Dur & Sinta”
(Sebuah Romansa Tentang Buku,
Bunga, dan cinta)
17 Mei 2015 Peserta 2
18. Pelatihan Manajemen TPQ
“Mendongeng Cerita Islam dan
Membuat Alat Peraga Edukatif”
04 Juli 2015 Peserta 2
19. Seminar Nasional “Pemuda,
Peradaban Islam, dab Kemandirian”
2 September
2015
Peserta 8
20. Talk Show “Be Scholarship Hunter
of Home Country (Indonesia) and
Abroad University”
29 September
2015
Peserta 2
21 Seminar Nasional “ Jiwa Muda,
Berani Berwirausaha”
30 Oktober 2015 Peserta 8
101
.
22.
“Menumbuhkan Semangat
Berprestasi Sebagai Wujud
Pengabdian Bangsa di Era Global”
24 Desember
2015
Peserta 2
23. Sertifikat Program Kilatan
Mempelajari Metode Amtsilati
04 Januari – 04
Februari 2016
Peserta 4
24. Bedah Buku “Ulama- Ulama Aswaja
Nusantara yang Berpengaruh di
Negeri Hijaz
21 Februari
2016
Peserta 2
25. Seminar Nasional “Pembangunan
Karakter Bangsa Upaya
Mewujudkan Generasi Muda yang
Berbudaya untuk Indonesia
Bermartabat”
09 April 2016 Peserta 8
26. Seminar Nasional “ Memperkuat
Peran Pemuda dalam Meningkatkan
Ekonomi Nasional Melalui
Kewirausahaan”
26 April 2016 Peserta 8
27. Ijazah “Kulliyatud Dirosah Al
Islamiyah
Peserta 2