agama nu

3

Click here to load reader

Upload: odentmuhammad

Post on 06-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nyiasati aja sih gan

TRANSCRIPT

Page 1: AGAMA NU

“AGAMA NU”, TAJDID DINAMISASI IDE – IDE MODERN UNTUK KEPENTINGAN ORANG – ORANG DESA

ASAL MULA TAJDID

Istilah tajdid sudah dimulai sejak era kolonial sekitar tahun 1930 – an, yang dipelopori oleh orang – orang desa. Letaknya di sebuah kota kecil sokaraja, keresidenan banyumas, jawa tengah.Waktu itu orang – orang desa telah memiliki sebuah markas dan selamanya yg menjadi ajang pertukaran pikiran, bukan sekedar ruang publik bebas dengan kehendak untuk lepas dari belenggu kolonialisme ; ia juga semacam laboratorium untuk sebuah eksperimen imajiner bersama tentang sebuah bangsa pasca kolonialisme. Sebuah proyek masa depan. Sebutan markas bisa jadi itu adalah ruang bernama bangsa dan rakyat, dan selamanya adalah sebutan untuk usia dan rentang waktu ruang imajiner tersebut. Nah di sinilah target tajdid tersebut.

Maklum, orang – orang pesantren belum mengenal ide nasionalisme modern maupun ide kiri (komunisme atau sosialisme). Orang – orang eropa datang membawa ide tersebut ke indonesia sejak akhir abad 19 bersama dengan kedatangan para kapitalis dan sarjana orientalis. Orang – orang pesantren tahu cara merebut pengertian ide – ide modern tersebut. Mereka membawa ke desa untuk di uji dan dikata – katai (didiskusikan) oleh orang – orang desa dan kaum santri. Sejak munculnya NU di desa – desa pasca 1962, proses pemaknaan nasionalisme, sosialisme, maupun komunisme berubah menjadi proses pembibitan Agama NU sebagai ideologi kerakyatan – kebangsaan. Dan proses itu yg di sini disebut tajdid. Yakni mengakarkan ide – ide modern dari luar untuk kemudian menjadi sebuah ideologi khusus, yakni mewakili kepentingan orang – orang desa.

SEBUAH INTROSPEKSI UNTUK PENGURUS NU DAN GENERASI ANAK MUDA NU KINI

Pengalaman orang – orang desa sokaraja mengajarkan satu hal tentang arti tajdid yg disesuaikan dengan suara – suara rakyat dan kepentingan komunitas.Terutama dalam mengakarkan agama NU sebagai tradisi kerakyatan.Alasan mengapa kalangan kiai dan pesantren lebih suka mengangkat tema al – akhdzu atau tajdid, dan bukan pembaruan islam, karena komunitas nahdliyin punya agenda dan strateginya sendiri tentang apa arti pembaruan. Mereka punya agenda juga tentang mengapa pembaruan itu penting bagi NU sebagai pelaku pembaruan. NU harus memposisikan dirinya sebagai pelaku tajdid, masalahnya salah satu alasan mengapa NU sebagai kultur dan komunitas sangat dirugikan dalam posisinya sebagai obyek, adalah berubah – ubahnya pandangan luar tentang dirinya.NU sering diarahkan kemana angin perubahan berembus. Kalau trennya yg sedang menguat adalah ke kanan, maka NU juga diarahkan untuk bergeser ke kanan. Kalau ternyata ke kiri, maka ia pun diarahkan ke kiri. Mestinya, seperti halnya kalangan umat islam dulu di era ibnu sina, al ghazali atau era ibnu rusyd, ide – ide dari luar justru memaksimalkan potensi umat untuk kreatif berkarya dan meraih cita – cita setinggi mungkin. Ide – ide dari yunani, persia, dari iskandaria pra islam, atau dari warisan helenisme, semuanya membuat islam tambah cerdas. Peradaban kian maju. Ekonomi membuat umat sejahterah. Dan anak – anak jadi terpelajar dan tambah kuat ikatan dengan tradisi danmahzabnya.

Page 2: AGAMA NU

TAJDID BELAJAR DARI PEMIKIRAN KH ACHMAD SHIDDIQ

Istilah tajdid berasal dari kata jadda, yujaddidu, tajdidan, yang berarti membuat sesuatu menjadi baru kembali. Mujaddidun berarti pelaku pembuat tajdid. Dalam pengertian ini, tajdid lebih berarti “memulihkan dan mengembalikannya pada kondisi semula ( yakni ketika masih baru dan belum terkena pengaruh)”. Jadi, menurut kiai achmad, tajdid bukan berarti mengganti sesuatu yang lain dengan hal yang baru sama sekali. Kemudian pengertian tajdid diperinci lebih jauhlagi lagi oleh kiai ahmad shiddiq.

Al-i’adah artinya pemulihan ajaran islam. Maksudnya, ajran islam dipisahkan atau dibersihkan dari campuran unsur-unsur yang merugikan kemurnian dan kesempurnaannya. Al-ibanah, artinya membedakan yang sunnah dari yang bid’ah, secara cermat oleh para ahlinya. Tentu pengartian sunnah dan bid’ah disesuaikan dengan pandangan keagamaan aswaja. Sementara al-ihya berarti menghidupkan kembali bagian – bagian dari ajaran islam yang pengalamannya terbengkalai atau terhenti.

Oleh karena itu dalam pandangan NU, kata tajdid bisa diterjemahkan dengan pemulihan menjadi seperti semula, ketika masih baru, dan tidak bisa diartikan mengganti yang lain, dengan yang baru.Sehingga tajdid akan berhasil menjadikan ajaran islam selalu kembali jernih, bersih, dan lurus, setiap kali terjadi kekeruhan – kekeruhan atau penyimpangan – penyimpangan. Dengan kembali kepada fitrahnya yang jernih, islam dapat diterapkan untuk menghadapi perkembangan zaman yang selalu berubah.Oleh karena itu, tidak keliru kalau kiai achmad shiddiq menempatkan mazhab ahlussunnah waljamaah sebagai sebuah tajdid. Yakni suatu pembaruan atau pelurusan jalan terhadap penyelewengan – penyelewengan, penyimpangan – penyimpangan, kekacauan – kekacauan pikiran dan pendapat dalam memahami al – Qur’an dan hadis.

Jadi, pengertian tajdid-nya kiai achmad ahiddiq inisangatlah relevan untuk generasi al akhdzu, kalangan anak muda NU. Terutama untuk menghadapi argumen pembaruan islam dari luar. Ini agar mereka tidak dikolonisasi atau dijajah pertama – ptama dengan menghina sendiri tradisi yang mereka miliki.Dengan tajdid seperti ini diharapkan mereka bisa bangga dan penuh percaya diri. Dan juga bisa mengoreksi agenda pembaruan dari luar itu. Sehingga mereka pun tidak ikut – ikutan melakukan pembaruan terhadap tradisi mereka sendiri. Yang perlu justru adalah pembaruan terhadap cara pandang orang luar tentang tradisi yang dimiliki kalangan nahdliyin. Pembaruan seperti inilah yang dimaksud kiai ahmad shiddiq dengan al-i’adah, al-ibanah, dan al-ihya. Dan itu sudah dilakoni oleh orang – orang sokaraja.