agus

100
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam sebuah rumah/keluarga. Perkawinan selalu membawa konsekuensi hukum baik bagi sang istri maupun suami yang telah menikahi secara sah. Dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, berbagai konsekuensi hukum tersebut sebenarnya sudah diatur antara lain, misalnya, menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung; tanggung jawab mereka terhadap anak-anak; konsekuensinya terhadap harta kekayaan baik kekayaan bersama maupun kekayaan masing serta akibat hukumnya terhadap pihak ketiga. Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap pasangan untuk mencegah timbulnya permasalahan dalam suatu perkawinan. Hal lain, pemahaman terhadap konsekuensi hukum tersebut juga berkaitan erat dengan kemungkinan 1

Upload: dwi-salistya

Post on 25-Oct-2015

62 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam

sebuah rumah/keluarga. Perkawinan selalu membawa konsekuensi hukum baik

bagi sang istri maupun suami yang telah menikahi secara sah. Dalam hukum

perkawinan yang berlaku di Indonesia, berbagai konsekuensi hukum tersebut

sebenarnya sudah diatur antara lain, misalnya, menyangkut hak dan kewajiban

masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung; tanggung jawab mereka

terhadap anak-anak; konsekuensinya terhadap harta kekayaan baik kekayaan

bersama maupun kekayaan masing serta akibat hukumnya terhadap pihak ketiga.

Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap pasangan untuk mencegah

timbulnya permasalahan dalam suatu perkawinan.

Hal lain, pemahaman terhadap konsekuensi hukum tersebut juga berkaitan

erat dengan kemungkinan terjadinya perceraian. Sebab, walaupun suatu

perkawinan sesungguhnya adalah ikatan lahir batin untuk saling membahagiakan

antara suami istri seumur hidup. Namun dalam kenyataannya seringkali timbul

masalah yang tidak dapat diatasi oleh kedua belah pihak. Ujung-ujungnya

perkawinan tersebut harus berakhir/putus karena perceraian. Kemungkinan buruk

ini barangkali tak pernah dibayangkan oleh kedua pasangan tersebut.

1

Page 2: Agus

Jika perceraian terjadi, sudah barang tentu juga akan membawa

konsekuensi hukum tersendiri. Akan timbul, misalnya, masalah menyangkut harta

gono-gini, perwalian anak, serta dampaknya terhadap pihak ketiga.

Perkawinan, terutama yang didasari oleh agama Hindu, tidak terlepas dari

sistem budaya yang dianut dan berlaku dimana seseorang melangsungkan suatu

prosesi perkawinan. Perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

agama dan adat istiadat setempat, serta peraturan hukum yang berlaku di

Indonesia. Umat Hindu di Indonesia terdiri dari berbagai etnis yang memiliki

sistem budaya tersendiri, sehingga prosesi perkawinan pun akan sangat beragam

walaupun para tataran filosofis tidak berbeda.

Selain aspek teologis dan budaya, perkawinan juga mengandung aspek

sosial. Perkawinan bukan hanya urusan antara pasangan laki-laki perempuan,

tetapi juga berkaitan dengan anggota keluarga laki-laki dan perempuan, anggota

masyarakat di mana mereka tinggal, aparat adat (Bendesa Adat, Parisadha dan

Kelian banjar), aparat agama (guru agama Hindu, para Pemangku) dan

pemerintah (pembuat akte perkawinan). Suatu perkawinan yang ideal apabila

dilakukan atas dasar cinta sama cinta di antara laki-laki dan perempuan, direstui

oleh keluarga kedua belah pihak, dan dilaksanakan di depan anggota masyarakat,

serta disaksikan oleh aparat adat, agama dan pemerintah.

Perkawinan di Indonesia dinyatakan sah, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila dilaksanakan menurut hukum

masing-masing agamanya dan keyakinannya itu, dan dicatatkan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku (Adji, 2002:27). Implementasi

2

Page 3: Agus

peraturan perundang-undangan tersebut dalam umat Hindu nampak dalam proses

persaksian yang disebut tri upasaksi (tiga saksi), yaitu : Bhuta Saksi, Manusa

Saksi, dan Dewa Saksi. Ketiga saksi tersebut merupakan realisasi hukum agama

Hindu, sedangkan aspek peraturan perundang-undangan (aspek hukum perdata)

tercakup dalam manusa saksi yaitu hadirnya aparat desa sebagai perwakilan dari

pemerintah, untuk selanjutnya menjadi dasar untuk pencatatan perkawinan di

Kantor Catatan Sipil.

Pengaturan pranata perkawinan dalam bentuk hukum perkawinan

dimaksudkan untuk menciptakan dan menjaga kesakralan dan kelanggengan suatu

perkawinan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera lahir bathin dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga yang bahagia dan

sejahtera akan terwujud apabila keluarga tersebut dapat memenuhi kebutuhan-

kebutuhan yang diinginkan, seperti kebutuhan biologis, spiritual, psikologis dan

ekonomi. Pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan sudah tentu

terdorong oleh kebutuhan biologis atau seksual yang normal dan baik. (Surya

2003: 180) mengatakan bahwa kebutuhan seksual yang dianggap normal dan baik

apabila serasi, selaras, dan seimbang dengan tuntutan norma dan nilai yang

berlaku, seperti norma agama, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Dengan

terpenuhinya kebutuhan seksual secara normal dan baik, merupakan modal dasar

dalam memperoleh kebutuhan biologis yang lain berupa keturunan yang sehat dan

unggul. Anak yang sehat dan unggul tentu dambaan bagi orang yang melakukan

perkawinan, demi kelangsungan keturunannya. Anak sehat dan unggul dalam

3

Page 4: Agus

pandangan agama Hindu disebut suputra bukan semata-mata kebutuhan biologis,

tetapi juga merupakan salah satu aspek kebutuhan spiritual. Dalam pasal 161

Nawano’dhayah Manawa Dharmasastra secara implisit menyebutkan bahwa anak

suputra merupakan sarana penebus dosa bagi orang tuanya setelah meninggal

dunia nanti, sehingga rohnya bisa memperoleh kebebasan dari siksaan neraka

(Pudja, 2002: 570).

Melalui perkawinan seseorang bisa mendapatkan kebutuhan psikologis

seperti : kasih sayang, rasa aman, aktualisasi diri, dan sebagainya. Dalam pasal 2

dan 3 Nawano’dhayah Manawa Dharmasastra disebutkan, bahwa: Siang malam

wanita harus dipelihara oleh ayahnya di waktu kecil, oleh suaminya setelah

dewasa, dan oleh anak-anaknya setelah tua (Pudja, 2002: 526). Kebutuhan

ekonomi adalah prasyarat yang mendasar dalam kehidupan keluarga. Dalam

ajaran agama Hindu ada disebutkan catur asrama dan catur purusa artha,

mensyaratkan bahwa pada masa berumah tangga (grhasta) merupakan masa untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi (artha). Hal ini sejalan dengan semangat Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa seseorang yang akan memasuki perkawinan

harus siap secara ekonomi, guna kelangsungan rumah tangganya.

Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan modal dasar

mewujudkan perkawinan yang kekal. Perkawinan yang kekal sangat diharapkan

baik menurut ajaran agama maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Suatu

perkawinan di depan keluarga, masyarakat dan aparat yang berwenang, hidup

dalam rumah tangganya secara harmonis sampai salah satu atau kedua-duanya

meninggal dunia.

4

Page 5: Agus

Setiap orang yang akan memasuki fase berumah tangga pada umumnya

mencita-citakan perkawinan yang kekal. Namun dalam proses perjalanan berumah

tangga, tidak sedikit yang gagal untuk mewujudkannya. Peristiwa perceraian yang

terjadi, baik di lingkungan terdekat maupun yang terjadi di tempat-tempat yang

jauh, apalagi dengan adanya media televisi sudah merupakan fakta yang tak bisa

dipungkiri. Seperti yang sering terjadi pada pasangan suami istri suatu studi kasus

pada Pengadilan Negeri Denpasar.

Perceraian bukan hal yang tidak dibenarkan, baik menurut agama maupun

menurut hukum. Ada beberapa alasan yang bisa dibenarkan untuk melakukan

perceraian. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 pasal 39 ayat 2 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Adji, 2002: 60) bahwa perceraian

dapat dilakukan apabila: (1) Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi

pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan; (2) salah

satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin

pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

(3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (4) Salah satu pihak melakukan

kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak yang lain; (5) Salah

satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan

kewajiban sebagai suami/istri; (6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

5

Page 6: Agus

Dalam pasal 80 dan 81 Nawano’dhayah Manawa Dharmasastra

disebutkan bahwa seorang suami dapat menceraikan istrinya apabila si istri

peminum alkohol, bertabiat buruk, suka menentang baik kepada suami maupun

kepada keluarga si suami, berpenyakit dan menyia-nyiakan tugas sebagai seorang

istri setiap saat, tak berketurunan, semua anaknya meninggal dalam waktu sepuluh

tahun, hanya mempunyai anak perempuan dalam waktu sebelas tahun, dan suka

bertengkar (Pudja, 2002: 547).

Dibalik kejadian perkawinan dan perceraian tersebut diatas, keberadaan

anak sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal tersebut sesuai dengan

P. Windia, (2004: 47) sebagai berikut.

“Banyak pasangan suami istri rela cerai karena tidak membuahkan

keturunan atau anak dalam perkawinannya”.

Sehubungan dengan hal tersebut, bila terjadi perceraian bagaimana dengan status

anak tersebut, siapa yang berhak memelihara menurut hukum Hindu.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis terdorong melakukan

penelitian dengan judul : “Pemeliharaan Anak Dalam Kasus Perceraian Menurut

Hukum Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, dapatlah

dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Siapa yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian ?

6

Page 7: Agus

2. Bagaimana kedudukan anak dalam kasus perceraian ditinjau dari hukum

Hindu?

3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim memutus status anak dalam

perkara perceraian?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui status hukum pemeliharaan anak dalam kasus perceraian menurut

hukum Hindu study kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.

2. Mengetahui apakah ada perkembangan hukum Hindu khususnya yang

menyangkut masalah perceraian, pembagian harta dan apa yang menjadi

sumber-sumber hukum Hindu dalam memutus perkara perceraian.

3. Dapat menjadi bahan pegangan bagi masyarakat, terutama bagi mahasiswa

jurusan hukum Agama pada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, agar

mengetahui dan dapat menerangkan tentang pemeliharaan anak bagi suami

istri yang bercerai menurutu hukum Hindu.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui siapa yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian.

2. Mengetahui kedudukan anak dalam kasus perceraian, ditinjau dari hukum

Hindu.

7

Page 8: Agus

3. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis berupa

pengembangan konsep dan teori hukum pemeliharaan anak atas kasus perceraian

dalam rangka upaya penegakan hukum yang berkeadilan bagi setiap warga hukum

di berbagai daerah dimana hukum itu berkembang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara praktis bagi

pihak-pihak seperti:

1. Bahan acuan aparat dan lembaga hukum, baik hukum adat Bali maupun

hukum umum di dalam penanganan hukum terhadap pemeliharaan dalam

kasus perceraian.

2. Bahan acuan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian

lebih lanjut tentang pemeliharaan anak dan kasus perceraian.

3. Menambah khasanah dan jumlah koleksi hasil-hasil penelitian perpustakaan

IHDN Denpasar.

8

Page 9: Agus

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEPTUAL DAN

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Sampai saat ini penulis belum menemukan hasil penelitian berupa skripsi

yang membahas tentang pemeliharaan anak dalam kasus perceraian, oleh karena

itu dalam kajian pustaka ini penulis uraikan pendapat dari Bushar Muhammad

(2004: 9) ditegaskan bahwa:

Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, khususnya tergantung dari sistem keturunan. Seperti telah diketahui, di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak dan ibu.

Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu, maka

hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga dari

pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan kekeluargaan

yang bilateral demikian ini, maka masalah-masalah tentang larangan kawin,

warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap kedua

belah pihak kekeluargaan adalah sama kuat.

Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaan adalah

unilateral yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau matrilineal,

(menurut garis keturunan ibu). Dalam persekutuan-persekutuan yang demikian

ini, maka hubungan antara anak dengan keluarga dari kedua belah pihak adalah

tidak sama eratnya, derajatnya, dan pentingnya.

9

Page 10: Agus

Dalam persekutuan yang matrilineal hubungan antara anak dengan

keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari

daripada hubungan antara anak dengan keluarga pihak bapak. Demikian

sebaliknya dalam persekutuan yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak

bapak dianggapnya lebih penting derajatnya.

Tetapi yang perlu ditegaskan bahwa, dalam persekutuan-persekutuan yang

sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini, adalah dengan dilebihkannya

tingkat/derajat hubungan dengan salah satu pihak keluarga (pihak keluarga ibu

pada persekutuan matrilineal dan pihak keluarga bapak pada persekutuan

patrilineal) sama sekali tidak berarti, bahwa pada persekutuan-persekutuan

dimaksud hubungan kekeluargaan dengan keluarga pihak lain tidak diakui;

hubungan dengan kedua belah pihak keluarga diakui adanya, hanya sifat susunan

kemasyarakatarannya yang unilateral itu menyebabkan hubungan keluarga dengan

salah satu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting.

Di Minangkabau misalnya keluarga pihak bapak yang disebut “bako-kaki” dalam

upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang kerabat dari pihak bapak ini

memberi bantuan dalam memelihara anak.

Di Tapanuli pada suku Batak (sifat persekutuan adalah patrilineal)

keluarga pihak ibu khususnya bagi para pemudanya, pertama-tama diakui sebagai

satu keluarga dari lingkungan mana mereka terutama harus mencari bakal istrinya.

Persekutuan keluarga ibunya merupakan apa yang disebut “hula-hula”, sedangkan

keluarga bapak merupakan “boru”nya. Jadi hubungan keluarga bapak dan

10

Page 11: Agus

keluarga yang bakal memberikan bakal suami (boru) dan keluarga yang bakal

memberikan istri (hula-hula).

Suparman (1994) dalam penelitiannya yang berjudul Pelaksanaan

Perceraian dalam Masyarakat Hindu di Kabupaten Klaten. Membahas mengenai

pelaksanaan perceraian yang dilakukan oleh umat Hindu di Klaten yaitu mempelai

yang akan bercerai mengajukan gugatannya ke pengadilan dengan membawa surat

pengantar dari kelurahan. Gugatan itu diserahkan melalui panitera. Setelah

gugatan masuk pengadilan mengadakan pemeriksaan perkara dan jika hakim tidak

bisa mendamaikan maka pengadilan memutuskan perceraian itu. Keputusan sudah

mempunyai kekuatan hukum diserahkan ke kantor catatan sipil untuk dicatatkan

perceraiannya. Lalu diserahkan ke PHDI untuk dilakukan perceraian secara

agama. Pembahasan yang terakhir tentang sahnya perceraian menurut masyarakat

Hindu di Klaten adalah sesuai dengan Undang-Undang perkawinan. Di Klaten

perceraian biasa disebut dengan nyakseko pegatan. Nyakseko = saksi, pegatan =

putus. Cerai artinya menyaksikan perceraian yang menjadi saksi Kang burbahing

dumadi (Tuhan), Kang kbau rekso Desa (Bhuta Kala yang menjaga desa), dan

Tanggo teparo (Tetangga disekitarnya). Saksi ini dalam agama Hindu disebut Tri

Upasaksi. Dengan demikian kesaksian yang dimaksud diatas adalah saksi sekala

dan niskala. Jadi upacara perceraian di Klaten sebagai permakluman baik secara

sekala dan niskala.

Wayan Mardana (1997) dalam penelitiannya yang berjudul Perceraian

dalam Perkawinan Nyeburin ditinjau dari Hukum Hindu (studi kasus di

Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan). Membahas mengenai harta benda

11

Page 12: Agus

perkawinan yang dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

ditentukan bila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur

menurut hukum masing-masing, maksudnya sesuai dengan hukum yang berlaku

di masing-masing daerah tersebut. Misalnya di daerah Bali sesuai dengan sistem

kekeluargaan yang dianut bersifat patrilineal, maka harta bersama dibagi dengan

perbandingan 2:1 dalam hal ini juga Yurisprudensi MA yang menetapkan bahwa

terhadap Harta bersama pembagiannya 1:1 di dalam hukum Hindu telah

disebutkan dengan perbandingannya.

Dengan memperhatikan kajian di atas maka hanya Manik Sukayasa yang

mengkaji mengenai perceraian ngambang studi kasus di Teja Kula sedangkan

yang lainnya hanya mengkaji tentang perceraian saja. Sehubungan dengan itu

peneliti mengkaji tentang Pemeliharaan Anak Dalam Kasus Perceraian Menurut

Hukum Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.

2.2 Landasan Konsep

2.2.1 Pemeliharaan Anak

Sebelum membahas tentang pemeliharaan anak, disinggung sekilas

tentang perceraian. Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. dalam bukunya Hukum

Perkawinan Indonesia menurut : Perundangan, hukum Adat, hukum Agama

(2003: 188) ditegaskan bahwa :

Jika kita melihat kembali KUH Perdata (BW) maka di situ dikatakan

bahwa Perkawinan itu bubar karena keputusan perceraian dan didaftarkan

perceraian itu dalam register catatan sipil. Pendaftaran perceraian itu harus

12

Page 13: Agus

dilakukan di tempat di mana perkawinan itu didaftarkan dan atas permintaan

kedua pihak atau salah satu dari mereka. Jika perkawinan dilakukan di luar

Indonesia maka pendaftaran perceraian harus dilakukan di dalam daftar Catatan

Sipil di Jakarta. Pendaftaran itu harus dilakukan dalam waktu 6 (enam) bulan

terhitung sejak keputusan perceraian memperoleh kekuatan pasti. Apabila

pendaftaran itu tidak dilakukan dalam waktu 6 bulan tersebut maka hilanglah

kekuatan keputusan perceraian itu dan perceraian tidak dapat digugat lagi atas

dasar dan alasan yang sama (pasal 221).

Pihak suami atau istri yang menang karena gugatannya dikabulkan

diperbolehkan menikmati segala keuntungan dari apa yang telah dijanjikan dalam

perkawinan itu oleh pihak yang lain, termasuk keuntungan yang dijanjikan kedua

pihak secara timbal balik (pasal 222). Pihak suami atau istri yang dikalahkan

karena perceraian itu kehilangan semua keuntungan dari apa yang telah dijanjikan

oleh pihak yang lain dalam perkawinan itu (pasal 223).

Dengan mulai berlakunya perceraian itu tidaklah langsung pihak yang

menang dapat menikmati keuntungan itu kecuali pihak yang lain telah wafat

(pasal 224). Jika suami atau istri yang menang, tidak mempunyai penghasilan

yang cukup untuk biaya hidupnya, maka Pengadilan negara dapat menentukan

sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain (pasal 225).

Kewajiban memberi tunjangan itu berakhir dengan meninggalnya suami atau istri

(pasal 227). Setelah keputusan perceraian berkekuatan pasti. Pengadilan

menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua orang tuanya yang harus

melakukan perwalian atas anak-anak itu (pasal 229).

13

Page 14: Agus

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila putus perkawinan

karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri dan

harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian,

maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan

keputusannya. Jadi bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan

dan pendidikan yang diperlukan anak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat

memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut

memikul biaya tersebut. Akibat hukum terhadap bekas suami Pengadilan dapat

mewajibkan kepadanya untuk memberikan biaya penghidupan atau juga

menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas istri (pasal 41 abc).

Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-

masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain (pasal 37). Akibat

hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencarian ini Undang-undang

rupanya menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan

hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat

mempertimbangan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

2.2.2 Perceraian

Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu berasal dari kata

cerai yang artinya pisah, putus hubungan sebagai suami istri (Poerdarminta, 1976:

350) sedangkan perceraian perpisahan, perihal bercerai antara suami istri,

14

Page 15: Agus

perpecahan. Bahwa perceraian itu didahului oleh adanya perkawinan, karena itu

bila tidak ada perkawinan tentu tidaklah ada perceraian. Perkawinan merupakan

suatu awal dari kehidupan bersama dengan suami istri sedangkan perceraian

merupakan akhir dari hidup sebagai suami istri. Dengan demikian antara

perkawinan dengan perceraian merupakan hal yang berhubungan dengan kuasa

Tuhan. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum sehingga akibatnya diatur

oleh hukum dan norma-norma yang berlaku atau sesuai dengan desa, kala, patra

(Sudharta, 1993: 34).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip mempersulit

adanya perceraian, yang harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang termuat

dalam Undang-Undang perkawinan serta agama yang menguasai perkawinan itu.

Hal yang penting di lihat bahwa salah satu unsur perkawinan itu adalah kekal

abadi dan sifat ini diusahakan harus diperhatikan oleh Negara, agama maupun

masyarakat. Hukum memuat syarat-syarat dan usaha mendamaikan pihak-pihak

serta adanya keharusan tata cara perceraian, karena masyarakat dan norma-norma

agama menganggap perceraian merupakan hal yang tabu, ini dapat dilihat dari

hukum adat. “Perceraian sebagai suatu perbuatan yang sedapat-dapatnya wajib

dihindari (Suraja, 1982: 1432) karena suami istri ini tidak sebapak seibu serta

tidak sekeluarga, tidak sekampung, tidak sepupu tidaklah mustahil apabila di

antara suami istri ini terdapat perbedaan-perbedaan mengenai sifat, watak,

pembawaan, pendidikan dan pandangan hidup (Njamil, 1982: 29) Dalam Buku

Pokok-pokok hukum perdata (BW) disebutkan pengertian perceraian

15

Page 16: Agus

“penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak

dalam perkawinan itu” (Subekti, 1985: 42).

Dengan adanya perceraian ini maka perkawinan putus dan diantara

pasangan suami istri tidak lagi hubungan sebagai suami istri, atau dengan kata lain

bebas dari kewajiban sebagai suami istri. Perceraian merupakan lambang ketidak

berhasilan manusia dan mewujudkan cita-citanya dalam membina rumah tangga.

Dari beberapa pendapat di atas, tentang konsep perceraian maka dapat

disimpulkan bahwa perceraian adalah pembubaran perkawinan, ketika para pihak

masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan putusan

pengadilan.

2.2.3 Hukum Hindu

Dalam ilmu hukum dibedakan antara status Law dengan Common Law

atau Natural Law. Status Law adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh

penguasa. Sedangkan Common Law atau Natural Law adalah hukum alam yang

ada secara ilmiah (Surpha, 1986: 15). Dengan demikian hukum itu meliputi

beberapa unsur yaitu mengatur tingkat laku manusia dalam pergaulan masyarakat.

Peraturan itu diadakan untuk tercapainya (ketertiban, ketentraman, kedamaian dan

keadilan), peraturan itu bersifat memaksa. Sanksi terhadap pelanggaraan peraturan

tersebut tegas dan nyata (Mandra, dkk, 1987/1988: 12).

Konsep Hukum Hindu dapat dibedakan menjadi dua, Rta dan Dharma.

Hukum Rta (baca Rita) istilah ilmu hukum adalah : Natural Law/Rta adalah

bentuk hukum Tuhan yang sanksi hukumnya tidak dapat ditentukan oleh manusia,

16

Page 17: Agus

tetapi dapat berupa sanksi hukum penderitaan dan kebahagiaan yang dialami oleh

manusia dan makhluk hidup lainnya secara tiba-tiba, baik di dunia maupun di

akhirat, serta diyakini sebagai hukum nasib yang dapat disebut sebagai hukum

Suniawi (Ekasana, 2004: 55).

Dharma (Statuta Law) adalah hukum yang diberlakukan untuk mengatur

ketentraman hidup manusia pada umumnya secara khusus bagi umat Hindu

meyakini ajaran Hindu. Dharma berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari urat

kata “dhr” yang dapat berarti menjunjung, memangku, mengatur, memelihara, dan

menuntun. Dharma berarti hukum (Team Penyusun dan Penelitian Naskah Buku

Ditjen Bimas Hindu dan Budha Dep. Agama, Tanpa Tahun: 9). Sehubungan

dengan itu, maka disebutkan bahwa:

Dharma merupakan hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan

manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan satya dan ahimsa di dunia ini,

sehingga kehidupan di dunia menjadi Moksartam Jagathita yaitu aman, tentram,

damai dan sejahtera (Ekasana, 2004: 54). Dalam hubungan dengan hal ini,

dharma adalah:

...diyakini sebagai suatu hukum repleksi dari sifat-sifat Tuhan yang diperhatikan dalam bentuk dan wujud yang dapat dilihat dan dialami oleh manusia. Bentuk hukum Tuhan ini dijabarkan oleh manusia di dalam penampilannya berupa amalan yang bersifat manusiawi yang kemudian inilah yang disebut dengan istilah dharma itu. Hukum dharma yang berupa amalan manusiawi ini adalah bersifat relatif, karena dikaitkan dengan pengalaman manusia dan karenanya hukum dharma itu bersifat membimbing tingkah laku di dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia (Team Penyusun, tanpa tahun, 6).

Dharma adalah hukum Hindu duniawi baik yang ditetapkan maupun tidak

(Surpha, 2005: 11). Dharma (hukum Hindu) yaitu hukum yang bersumber dari

17

Page 18: Agus

karma phala atau hasil perbuatan yang dijadikan ukuran atau nilai-nilai untuk

berbuat yang pantas atau seyogyanya. Nilai-nilai atau ukuran dimaksud dijadikan

norma-norma atau patokan-patokan yang selanjutnya diterapkan untuk mengatur

hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Rta dan Dharma ini menjadi landasan

dari hukum Karma Phala. Baik hukum duniawi dan suniawi ini dapat juga disebut

Karma, Hukum Karma yang dapat digolongkan sebagai hukum Suniawi ini antara

lain Sancita Karma, dan Prarabda Karma. Hukum Karma yang dapat

digolongkan sebagai hukum duniawi yaitu Kryamana Karma.

Menurut Kautilya Dharma (hukum Hindu) dapat dikelompokkan menjadi

dua bidang yaitu: Kantaka Sodhana dan Dharmasthiya.

Kantaka Sodhana dapat dikatagorikan sebagai penal law, di Indonesia dapat disebut dengan hukum pidana Hindu, sedangkan Dharmasthiya termasuk dalam katagori cipil law, di Indonesia dapat disebut dengan perdata Hindu. Kantaka Sodhana pada umumnya mengatur hal-hal yang menyangkut tentang dusta, corah, dan paradara serta sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepadanya. Dusta adalah kejahatan terhadap nyawa orang lain. Corah adalah kejahatan terhadap harta benda orang lain. Paradara adalah kejahatan terhadap kesopanan atau kesusilaan. Dharmasthiya pada umumnya mengatur tentang hukum keluarga dharma bandhu, hukum perkawinan dharma vivaha dan hukum waris dharma vibhaga, serta perbuatan-perbuatan yang berisikan suatu perjanjian dan pengingkaran terhadap suatu perjanjian dan pengingkaran terhadap suatu perjanjian yang telah disepakati serta ganti rugi (Ekasana, 2004: 56).

Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa, Dharma adalah

hukum Hindu yang berisikan suatu aturan hukum perdata dan hukum pidana yang

berisikan suatu aturan hukum perdata dan hukum pidana yang berisikan

penjelasan maupun sanksi.

18

Page 19: Agus

2.2.4 Masyarakat Adat Bali

Sebelum masih kepada masyarakat adat Bali hendaknya mengetahui

terlebih dahulu masyarakatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

masyarakat ialah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh

suatu budaya/kebudayaan yang mereka anggap sama (Harahap, 1991: 345).

Menurut Hukum Adat masyarakat ialah keseluruhan dari sekalian anggota-

anggota seseorang (Lestawi, 1996: 10). Istilah Adat berasal dari bahasa Arab yang

berarti “kebiasaan”. Dalam bahasa Indonesia dan berbagai suku atau golongan,

dipakai istilah-istilah yang bermacam-macam yaitu di daerah Gayo odot, di daerah

Jawa Tengah dan Jawa Timur, “Adat” atau “Ngadat”. Di daerah Minangkabau,

“Lembaga” atau adat lembaga, di daerah Batak Karo dipakai istilah “basa” atau

“bicara” yang merupakan kebiasaan dan kesusilaan (Bushar, 1978: 11).

Di Bali kata adat dikenal sejak zaman pemerintahan Belanda sekitar

permulaan abad ke 20 yang artinya sebagai kebiasaan-kebiasaan yang telah

melembaga di masyarakat secara turun-temurun. Demikian pula istilah desa adat

baru dipopulerkan setelah zaman pemerintahan Belanda di Bali dan untuk

membedakannya dengan desa “Dinas” yang dibentuk oleh Belanda. Sebelum

masuknya penjajah Belanda di Bali telah dikenal beberapa istilah yang

mempunyai hubungan pengertian dengan suatu Desa Adat yaitu Sima, Dresta,

Lekita, Paswara “awig-awig”, Krama atau Kraman dan Thani (Purwita, 1984:

5).

Kembali pada pengertian adat Soerojo Wignyodipoero (1998 : 13) :

Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan

19

Page 20: Agus

dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama.Justru oleh karena ketidaksesuaian inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.

Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa adat adalah

merupakan aturan (perbuatan) dan sebagainya yang lazim dilakukan sejak dahulu

kala. Misalnya adat menurut orang Bali yang biasa juga disebut kebiasaan, cara

dan kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan (Poerwadarminta, 1976: 15-16).

Dari beberapa pengertian adat diatas maka disini dapat disimpulkan

beberapa arti/pengertian dari pada adat tersebut yaitu suatu perbuatan yang

dilakukan lebih dari satu kali sehingga menjadi suatu kebiasaan dan perbuatan

tersebut mempunyai nilai positif bagi orang banyak sehingga menjadi aturan

tingkah laku.

Dari konsep masyarakat dan adat di atas, maka masyarakat adat adalah

kebiasaan-kebiasaan (tradisi) sejumlah manusia yang terikat oleh suatu

kebudayaan yang sama. dapat pula dikatakan bahwa masyarakat adat merupakan

masyarakat yang tunduk kepada tradisi-tradisi setempat. Sebagai contoh

dijelaskan oleh Suastika Ekasana (2004: 35), bahwa :

Pada masyarakat Bali dan Lombok, hukum adat yang berlaku bukanlah hukum adat secara murni atau hukum adat yang meninggalkan norma-norma hukum agamanya, akan tetapi hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan yang dijiwai oleh norma hukum agama Hindu, sehingga orang-orang Bali yang tidak beragama Hindu tidak ditundukkan oleh kuasa hukum adatnya.

Kebenaran ini dinyatakan oleh Mr. B. Ter Haar Bzn dalam bukunya yang

berjudul Beginselen en Stelsel van Het adat Recht yang diterjemahkan sebagai

20

Page 21: Agus

“Asas-asas dan Susunan Hukum Adat” oleh K. Ng Soebakti Poesponoto (2001:

19) sebagai berikut.

...Tidak mungkim seorang Indonesia tidak beragama Hindu menjadi anggota suatu dusun Bali, dan bila ada kejadian kepindahan dari orang Bali beragama Hindu ke agama Kristen, maka yang menimbulkan pertengkaran ialah bahwa orang-orang Bali Kristen tadi berkehendak tetap menjadi anggota, tetapi tetap ditolaknya oleh masyarakatnya.

Pendapat itu didukung oleh pernyataan Gede Puja (1977: 3) berikut ini:

Adapun orang-orang Bali yang bukan beragama Hindu, tidak ditundukkan dalam kuasa hukum agama Hindu atau hukum adat itu. Dengan demikian jelaslah yang dimaksud oleh Hukum Adat semesta dalam arti yang murni (Puja, 1977: 3).

Dengan demikian masyarakat Adat Bali adalah masyarakat yang tunduk

pada tradisi-tradisi keagamaan yang diterapkan oleh norma Hukum Hindu, yang

menyatu dengan tradisi keagamaan dan menjiwai tradisi itu.

2.3 Landasan Teori

Dalam penelitian ilmiah landasan teori sangatlah dibutuhkan yaitu untuk

mempelajari dan memahami fakta-fakta tertulis yang tersedia sebagai modal dasar

dalam meneliti, teori adalah seperangkat proposisi yang terintegrasi secara

sintaksis (mengikuti aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara mendasar

yang diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan

fenomena yang diamati (Moleong, 2000: 34-45).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang

dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian) dan

asas-asas hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan

serta pendapat cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan suatu tindakan.

21

Page 22: Agus

Menurut Fuad Hasan dan Koentjaraningrat teori adalah prinsip-prinsip

dasar yang terwujud dalam bentuk rumus atau aturan yang berlaku umum,

menjelaskan hakekat suatu gejala, hakekat suatu hubungan antara dua gejala atau

lebih, relevan dengan kenyataan yang ada dan operasional, alat untuk penjelasan,

pemahaman, dapat diverifikasi berguna dalam meramalkan suatu kejadian

(Soelaeman, 1995: 14).

Menurut Dr. Siswojo, teoru dapat diartikan sebagai seperangkat konsep dan

definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik

mengenai fenomena dengan menerapkan hubungan antara variable dengan tujuan

untuk menerangkan dan meramalkan fenomena dan teori, juga menjalankan hasil

pengamatan ke dalam suatu pengertian yang utuh yang memungkinkan ilmuwan

untuk membuat pernyataan umum tentang variable dan hubungannya.

Menurut Fuad Hasan dan Koentjaraningrat mengatakan ada beberapa fungsi

teori yaitu:

1. Menyimpulkan generalisasi dan fakta hasil pengamatan.

2. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta

yang diperoleh.

3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi.

4. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang gejala-gejala

yang telah atau sedang terjadi.

Dari pengertian teori di atas dapat ditarik suatu pengertian yaitu teori adalah

seperangkat landasan atau konsep, devenisisi dan proposisi yang berhubungan

satu sama lainnya yang menunjukkan fenomena-fenomena yang sistematis dengan

22

Page 23: Agus

menetapkan hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan tujuan

menjelaskan dan meramalkan fenomena yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini landasan teori merupakan arah dan pijakan bagi

peneliti dalam menelaah suatu masalah mengenai Pemeliharaan Anak Dalam

Kasus Perceraian Menurut Hukum Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri

Denpasar. Untuk membantu penelitian ini akan menggunakan teori konflik.

2.3.1 Teori Konflik

Teori konflik ini diilhami oleh pemikiran Karlmarx, yang menyatakan

bahwa agama pada dasarnya suatu yang dapat meracuni kehidupan masyarakat

karena agama menjanjikan suatu kebahagiaan semu. Padahal kebahagiaan sejati

bersumber dari realitas yang dapat dipahami dari beberapa banyak seseorang

dapat sumber ekonomi.

Menurut Marx Weber dalam Sanderson (1993: 11-13), berpendapat bahwa

bentuk-bentuk konflik yang berstruktur antara berbagai individu dan kelompok

muncul melalui kelas-kelas kelompok masyarakat dan individu. Di antara kelas

dimaksud ada yang merasa dominan untuk mengatur terhadap kelas lainnya.

Adanya kelas-kelas sosial seperti ini menimbulkan krosial dalam menata pola-

pola sosial satu masyarakat khususnya hal-hal yang bersifat sistematis.

Dahrendrof dalam (Suprayoga, 2001: 99), mengemukakan empat inti

pemikiran tentang teori konflik:

1. Setiap masyarakat segala hal tunduk pada proses perubahan-perubahan

sosial terjadi dimana saja.

23

Page 24: Agus

2. Setiap masyarakat dan segala hal mengakibatkan ketidak setaraan dan

konflik, konflik sosial dimana saja.

3. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap

pemecahan dan perubahan.

4. Setiap masyarakat berdasarkan diatas penggunaan kekerasan oleh sebagian

anggotanya terhadap anggota lain.

Dengan demikian teori konflik menjelaskan kehidupan sosial dengan

melihat struktur kekuasaan dan kepentingan kelompok sebagai masalah pokok.

Prinsip dasar yang menerangkan kehidupan sosial atau dominasi pihak kuat

terhadap pihak lemah, penekanan hidup rakyat, manipulasi pendapat umum,

intimidasi dan penindasan, merupakan mekanisme yang diharap membawa

“kestabilan”. Tetapi sebenarnya masyarakat pada dasarnya bersifat gerah, karena

menjadi persaingan penabrakan kepentingan yang berbeda-beda.

Teori konflik ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui siapa

yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian, kedudukan anak dalam

kasus perceraian dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara

perceraian tersebut.

2.3.2 Teori Institutionalization

Setiap norma dapat dikatakan memenuhi kebutuhan pokok manusia,

apabila norma yang dimaksud sudah mengalami proses pelembagaan atau

institutionalization. Institutionalization adalah “suatu proses yang harus dialami

suatu norma sosial tertentu untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga sosial”

24

Page 25: Agus

(Soerjono, 1980: 112). Bagaimana upaya yang harus dilakukan agar norma-norma

hukum Hindu dapat memenuhi kebutuhan pokok manusia? Dalam hal ini, sudah

tentu norma hukum dimaksud diupayakan agar dapat mengalami suatu proses

pelembagaan atau institutionalization. Proses pelembagaan atau

institutionalization adalah suatu proses diakuinya, dikenalnya, dihargai dan

dihayati sampai dengan ditaati atau diamalkannya suatu norma-norma dalam

kehidupan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat (Soerjono, 1980: 113).

Dengan demikian dalam rangka mendeskripsikan karya tulis ini, maka

digunakan teori “institutionalization” (Soerjono, 1980: 112). Teori ini mengajak

agar masyarakat dapat berupaya menanamkan norma-norma hukum Hindu,

sehingga norma dimaksud dapat tumbuh dan melembaga di hati nurani

masyarakatnya.

Supaya proses pelembagaan norma-norma hukum Hindu dapat

berlangsung dengan efektif dan efisien, maka diperlukan Peradilan Agama Hindu

di samping Parisada Hindu Dharma dan Lembaga Adat Hindu yang masih ada di

Indonesia (Seperti Lembaga Adat di Bali dan Lombok) untuk bersama-sama

melembagakan norma-norma hukum Hindu dimaksud, sesuai dengan tugas dan

fungsi dari masing-masing lembaga itu.

Dalam tahap pengenalan, masyarakat diharapkan dapat mengenal norma-

norma hukum Hindu. Tahap pengenalan ini dapat dilakukan melalui beberapa

indra manusia, misalnya: dengan melihat, mendengar norma-norma yang

dimaksud. Seseorang yang baru sampai pada tahap mengenal norma-norma

25

Page 26: Agus

hukum Hindu, belum tentu orang tersebut mengakui kebenaran dari norma

dimaksud.

Yang paling efektif dalam pengenalan norma hukum Hindu (Veda) dapat

dilakukan melalui pengajaran dan penyuluhan norma hukum Hindu, sebagai

disebutkan di dalam pasal 26 Navamo’dhyayah Veda Smrti, sebagai berikut.

“Wedhabhvaso’nwaham caktya mahayajnakriya ksama, nacayantyacu papani mahapataka janyapi”.

“Dengan mempelajari Weda, melakukan Mahayadnya menurut kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua penderitaan cepat akan menghancurkan semua kesalahan-kesalahan walaupun sampai pada dosa besar” (Pudja, 1995: 710).

Dalam upaya mengenal norma-norma, aturan-aturan, dan kaedah-kaedah

hukum Hindu, maka kitab suci Hindu harus dipelajari. Cara mempelajari

diuraikan oleh G. Pudja dalam pendahuluan Rgweda Mandala I, sebagai berikut.

Pada hakekatnya pelajaran Weda dimulai pada umur masih muda, misalnya pada .... umur empat tahun. Untuk memulai mempelejari Weda disyaratkan untuk melakukan pewintenan... yang pertama harus diajarkan adalah mantra gayatri dan Trisandya, orang yang sudah mendapatkan mantra-mantra, berhak mempelajari dan mengucapkan mantra itu dan selanjutnya mempelajari mantra-mantra lainnya.... pada waktu mengucapkan mantra-mantra agar dimulai dengan mengatakan OM dan diakhiri dengan mantra OM pula ... memulai dengan kata OM berarti mulailah menyebutkan Tuhan dan kemudian disudahi pula dengan nama Tuhan... dalam penulisan-penulisan mantra-mantra diajarkan agar memulai dengan OM Awighnam astu dan diakhiri dengan Om Shanti shanti shanti Om... untuk memulai membaca Weda pada pagi hari dan pada waktu senja (sadhyakala)... pembaca Weda atau mantra supaya diakhiri bila terjadi bencana alam, seperti gempa, angin ribut, petir... Pantangan ini harus pula diperhatikan bagi seseorang yang belajar Weda. Mempelajari Weda secara verbal supaya dibimbing oleh seorang guru yang mengerti dan tahu mengucapkan mantra itu dengan baik dan tepat” (Pudja, 1980: 28).

26

Page 27: Agus

Selain melalui proses pembelajaran, maka upaya pengenalan norma-norma

hukum Hindu dapat dilakukan melalui pensosialisasian praktek proses peradilan

di Pengadilan Agama Hindu.

Dalam tahap pengakuan, seseorang yang sudah mengenal norma-norma

hukum Hindu, dapat mengakui kebenaran adanya norma hukum dimaksud, akan

tetapi orang tersebut belum tentu menghayati atau meresapi norma hukum Hindu.

Orang yang baru mencapai tahap ini, misalnya seorang mahasiswa yang

memperoleh materi ajar perbandingan hukum agama, maka materi ajar itu baru

diakui sebatas ilmu.

Tahap Penghayatan Norma Hukum Hindu pada umumnya tergantung dari

pada masing-masing manusianya. Seseorang setelah mengakui dan mengenal

keberadaan norma-norma hukum Hindu (Weda), maka perlu ditingkatkan

penghayatannya, sebab seseorang yang sudah mencapai tahap pengenalan, akan

dengan mudah menghayati norma hukum Hindu. Penghayatan terhadap norma-

norma dimaksud akan punah (hilang), apabila norma-norma dimaksud tidak

dipelihara dan disimpan di hati nuraninya. Norma-norma hukum Hindu akan tetap

tersimpan di hati nurani masyarakatnya, apabila norma-norma agama Hindu

(Weda secara berulang-ulang dan selalu dipelajari selama hidupnya). Melupakan

Weda menentangnya merupakan perbuatan dosa, hal ini tertuang dalam pasal 57

Ekadaso’dhayayah Veda Smrti, sebagai berikut.

Brahmojjnata wedaninda kautasaksyam suhridwadhahgarhitanadyayorjagdhihsurapanasassamani sat”

27

Page 28: Agus

“Melupakan Weda, menghina Weda, memberikan kesaksian palsu, membunuh teman, memakan makanan yang dilarang atau menelan makanan yang tidak pantas dimakan adalah enam macam kesalahan yang sama dosanya dengan memakan sura” (Pudja, 1995: 663)

Dengan penghayatan terhadap norma hukum Hindu tentunya akan dapat

dihayatinya norma-norma hukum yang tersirat dan yang tersurat di Veda, maka

dapat meningkatkan kesadaran seseorang untuk bersikap fanatik dalam rangka

menegakkan dan mengaplikasikan norma-norma hukum Hindu dalam praktek

hidup dan kehidupan baik di masyarakat maupun dalam proses perkara di

pengadilan.

Tahap Pengamalan hukum Hindu. Apabila norma-norma hukum Hindu

sudag dihayati oleh seseorang, maka norma dimaksud seyogyanya diamalkan.

Pengamalan norma-norma hukum Hindu dapat dilakukan dengan

mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Sri

Candrasekharendra Saraswati mengatakan: “Vedonityam adhityam, taduditam

karma svanuahtiyatam”. Maksudnya: “Kitab-kitab suci Weda harus dipelajari dan

terus dihidupi dalam ucapan setiap hari, tugas kewajiban yang dirumuskan di

dalamnya harus dilaksanakan sepatutnya” (Pendit, 1967: 33). Pengamalan norma-

norma hukum Hindu dapat diwujudkan dalam bentuk prilaku atau sikap tidak

yang sesuai dengan anjuran Kitab Weda, sebagaimana ditetapkan dalam Sloka 24

Bab XVI Bhagavadgita, berikut in:

Tasmac chastram paranaman te karyakarya wyawasthitauJnatwa sastra widhanoktam karma kartum iha’rhasi

Karena itu biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk menentukan kebenaran, untuk menentukan baik buruk perbuatan supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakanlah disini (Pudja, 1982: 358).

28

Page 29: Agus

Pengamalan norma-norma hukum Hindu dapat dilakukan dengan cara

mematuhi atau menaati norma-norma dimaksud, menegakkannya serta

menerapkan dalam bentuk perilaku yang bijak dan bajik.

Berdasarkan teori ini, proses pelembagaan atau institutionalization dapat

dilakukan melalui pengenalan, pengakuan, menghargai dan pentaatan terhadap

norma-norma. Dikatakan bahwa norma-norma dinyatakan telah mengalami

institutionalization, apabila “norma-norma dimaksud sudah dikenal, diakui,

dihargai serta ditaati dalam kehidupan sehari-hari bagian terbesar warga

masyarakat” (Soerjono, 1980: 113).

Penggunaan teori di atas dalam penelitian ini, dengan tujuan agar norma-

norma hukum Hindu dapat dikenal, dihargai serta ditegakkan atau ditaati, sebab

bagaimana menegakkan atau menaati norma hukum Hindu, sedangkan norma

dimaksud tidak atau belum dikenal, tidak ada belum diakui dan tidak dihargai oleh

masyarakatnya. Apabila proses tersebut sudah melembaga secara utuh di hati

sanubari masyarakatnya. Niscaya norma-norma dimaksud dapat ditegakkan.

29

Page 30: Agus

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah dan mengandung unsur kebenaran maka perlu adanya metode

penelitian. Cara mencari kebenaran yang ilmiah adalah melalui metode

penyelidikan. Metode adalah suatu cara kerja yang praktis agar dalam kegiatan

penyimpulan data yang dilakukan dengan seksama, sistematis dan objektif guna

memperoleh hasil dan tujuan akhir secara optimal.

Metode penelitian merupakan suatu usaha untuk menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Dengan demikian

metode penelitian adalah alat untuk mengambil kesimpulan, menjelaskan dan

menganalisa masalah yang sekaligus merupakan alat untuk memecahkan masalah

tersebut atau dengan kata lain merupakan formalisasi atau perwujudan dari

metode berpikir. Menurut Suryabrata (2003: 10) menguraikan, bahwa metode

berarti suatu cara untuk menghasilkan fakta-fakta dan teori-teori yang tersusun

baik untuk mencapai sesuatu.

Dalam penelitian ini, beberapa metode yang dipergunakan dalam

menunjang proses pengumpulan data atau jalannya pengumpulan data, mulai dari

persiapan, pelaksanaan, sampai pada proses analisis data, dan penyajian data

sehingga menghasilkan sebuah karya tulis yang diakui kebenarannya. Metode

yang digunakan tentunya relevan, serasi, praktis dan sesuai dengan kemampuan

atau kesanggupan peneliti.

30

Page 31: Agus

Persiapan Penelitian

Kegiatan penelitian atau orientasi awal meliputi penciptaan hubungan

yang harmonis antara pribadi dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dengan terlebih dahulu

menyerahkan surat pengantar penelitian dari Rektor Institut Hindu Dharma Negeri

Denpasar (IHDN Denpasar) yang ditunjukkan kepada Kepala Pengadilan Negeri

Denpasar guna dapat izin lebih lanjut berkenaan dengan penelitian yang

dilakukan.

Jenis Penelitian

Penelitian dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, dalam bagian ini jenis

penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian sosial, yaitu penelitian

yang secara khusus meneliti sosial seperti: pendidikan ekonomi dan hukum (Iqbal,

2002: 11). Di dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan penelitian di bidang

hukum dan dalam penyajiannya menggunakan penelitian kualitatif.

Melakukan penelitian kualitatif dalam dunia keilmuan merupakan suatu

aktifitas pengamatan (observasi) terhadap aktivitas mewawancarai sejumlah orang

sehingga terungkap ide atau keinginan di balik pernyataan dan aktifitas mereka.

Selain itu penelitian bisa dalam bentuk membaca informasi dari dokumentasi.

“penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif melakukan aktifitasnya

untuk memperoleh pengetahuan, sejumlah informasi, atau cerita rinci subyek dan

latar sosial penelitian. Pengetahuan atau informasi diperoleh dari hasil wawancara

31

Page 32: Agus

mendalam dan pengamatan tersebut akan berbentuk cerita mendetail, termasuk

ungkapan-ungkapan asli subjek penelitian” (Hamidi, 2004: 3).

Jenis dan Sumber Data

Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa

sesuatu yang diketahui atau anggapan. Sebelum digunakan dalam proses analisis,

data itu perlu dikelompokkan terlebih dahulu. Dalam kegiatan penelitian secara

umum dikenal adanya dua jenis data yaitu data primer, yaitu data yang didapat

secara langsung dari objek penelitian dan data sekunder yaitu data yang di dapat

dari objek secara tidak langsung.

Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di

lapangan. Data primer juga disebut data asli (Iqbal, 2002: 167). Dalam penelitian

ini data primer diperoleh langsung dari para Hakim Pengadilan Negeri Denpasar,

Parisadha Bali dan yang mengetahui dan memahami tentang pemeliharaan anak.

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data ini

biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian

terdahulu (Iqbal, 2002: 167). Dalam penelitian karya tulis ini yang dimaksud

dengan data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-buku penunjang

yang isinya relevan dengan topik permasalahan dalam penulisan penelitian ini.

32

Page 33: Agus

Penentuan Subjek dan Objek Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian yang bersifat akademis, maka sudah

tentu harus ditentukan obyek penelitiannya. Untuk mencapai suatu penelitian

dimaksud di samping menentukan obyek penelitian juga harus menentukan

subyek penelitian sebagai sumber pendukungnya.

Objek Penelitian

Objek penelitian setiap gejala atau peristiwa yang akan diteliti, apakah itu

gejala alam (natural fenomena) maupun gejala kehidupan (efek fenomena). Dalam

penulisan skripsi ini yang merupakan objek penelitian kami pemeliharaan anak

dalam kasus perceraian yang menyangkut aspek: pemeliharaan anak, kedudukan

anak dan dasar pertimbangan hakim.

Subjek Penelitian

Yang dimaksud dengan subjek penelitiana adalah individu-individu yang

terlibat langsung dalam peristiwa perceraian tersebut. Agar memperoleh data yang

dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (Muhadjir, 1990: 34). Adapun

subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri

Denpasar, Parisadha, dan anggota keluarga pelaku dan juga Umat Hindu yang ada

di sekitar Desa Kekeran Mengwi Badung.

Metode Pendekatan Subjek Penelitian

Pendekatan terhadap subjek penelitian merupakan pendukung dari gejala

yang akan diteliti. Metode pendekatan subjek penelitian diartikan sebagai metode

33

Page 34: Agus

tentang bagaimana cara meneliti, mendekati atau mendapatkan data yang akan

mengenai bidang-bidang yang diteliti.

Dalam penulisan karya tulis ini penyusun menggunakan metode

pendekatan empiris karena pemeliharaan anak dalam kasus perceraian merupakan

gejala sosial yang bersifat empiris, yang pernah terjadi di Desa Kekeran,

Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

Metode Pengumpulan Data

Dalam upaya untuk memperoleh data atau ilmu pengetahuan yang benar

(prama) dalam penelitian ini, maka ada beberapa metode atau cara (Pramāna)

yang dapat digunakan dan dipandang akurat dengan judul penelitian ini,

diantaranya melalui library research atau studi kepustakaan, dan melalui

wawancara atau interview.

Menurut Gde Pudja (1977: 13), “Metode dalam bahasa Sansekerta disebut

Pramāna, sedangkan kebenaran atau realita yang dihasilkan oleh metode

(pramāna) itu disebut kebenaran ilmu atau Prama. Dalam rangka penulisan karya

tulis ini untuk memperoleh kebenaran ilmu, maka ada beberapa metode

pendekatan digunakan, seperti pendekatan deskriptif. Untuk memperoleh suatu

prama atau pengetahuan yang benar dalam karya tulis ini, maka menurut

samkhya, pramāna yang digunakan dalam pengumpulan dan pengolahan data,

adalah: “....Anumana Pramāna dan Sabda pramāna” (Ngurah, 1991: 120).

Sedangkan menurut Maharesi Prabhakara salah seorang tokoh dari aliran filsafat

Mimamsa mengemukakan ada lima pramana untuk memperoleh prama antara

34

Page 35: Agus

lain: 1) Pratyaksa... 2) Anumana... 3) Upamana... 4) Sabda... 5) Arthapatti...”

(Ngurah, 1999: 126). Sedangkan menurut filsafat Nyaya di dalam menemukan

ilmu pengetahuan, menggunakan empat pramana (metode) yang disebut dengan

“Catur Pramana” (Ngurah, 1999: 128): yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana dan

Sabda.

Dalam rangka pengumpulan data pada penelitian ini, peneliti telah

melakukan Agama Pramāna dan Sabda Pramāna (wawancara) tidak berstruktur

terhadap informan-informan, yang dimungkinkan mempunyai latar belakang

agama dan adat Bali.

1. Agama Pramāna atau Metode Kepustakaan

Menurut Gde Pudja, Agama Pramāna adalah cara memperoleh ilmu

pengetahuan dengan cara: “membaca tulisan-tulisan dari para ahli, termasuk pula

membaca kitab-kitab suci Weda. Ini berarti bahwa untuk memperoleh

pengetahuan itu harus diteliti dari banyak buku ...” (Pudja, 1977: 13). Cara ini

disebut juga metode kepustakaan atau library research atau studi dokumen.

Penelitian ini bersifat normatif, yang dapat dikumpulkan dengan alat

pengumpulan data studi dokumen yaitu dengan pencatatan.

2. Sabda Pramāna atau Metode Wawancara

Menurut ajaran Nyaya, menguraikan bahwa Sabda Pramāna, adalah suatu

metode untuk memperoleh pengetahuan dengan cara mendengarkan melalui

penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya. Dengan demikian sabda

pramāna dapat dilakukan melalui wawancara, sehingga memperoleh sabda atau

35

Page 36: Agus

jawaban maupun penjelasan dari orang yang diwawancarai. Sehubungan dengan

itu maka sabda pramāna dapat disebut sebagai metode wawancara. Maharsi

Prabhakara yaitu seorang tokoh filsafat Mimamsa juga mengemukakan bahwa

yang termasuk sumber pengetahuan (pramāna) adalah pengetahuan yang

diperoleh melalui: “sabda (pembuktian melalui sumber dipercaya)”. Sedangkan

menurut Samkya, sabda pramāna.... adalah pernyataan dari yang kuasa dan

memberikan pengetahuan terhadap objek yang tidak dapat diketahui atas dasar

pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan.

Metode Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari penelitian harus diolah sehingga diperoleh

keterangan yang berguna. Selanjutnya data yang diolah tersebut, di analisis dann

disajikan. Dengan demikian dapat digunakan oleh siapa saja terutama dalam

mengambil keputusan dan kesimpulan dari tersebut. Apabila data sudah

dikumpulkan dan diolah kemudian dibuat analisis-analisis, maka dapat ditarik

kesimpulan yang berguna bagi Decision makers (peneliti) sebagai dasar untuk

membuat keputusan (Supranto, 187: 76).

Sedangkan proses analisis data yang berguna untuk penarikan kesimpulan

secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa data yang telah terkumpul,

dikomparasikan dengan konsep atau teori yang ada, kemudian disajikan di dalam

bentuk karya ilmiah atau Skripsi (Ndraha, 1987: 131). Dengan demikian dapat

diketahui, bahwa peneliti mengkaji gejala-gejala umum dari variabel penelitian,

untuk diteliti kemudian ditarik kesimpulan yang disajikan dalam karya ilmiah.

36

Page 37: Agus

Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan metode deskriptif

kualitatif. “deskriptif” artinya suatu metode pengolahan data secara sistematis

(Djarwanto, 1984: 22). Sedangkan kualitatif adalah data yang tidak berupa angka.

Dengan demikian yang dimaksud dengan metode analisis data deskriptif adalah

suatu cara pengolahan data yang bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai

subjek penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari kelompok subjek

yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian untuk pengujian hipotesis

(Syaifudin, 1998: 126).

Metode pengolahan data analisis deskriptif ini, dilakukan dengan cara

menguraikan, menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau obhek

penelitian melalui keterangan-keterangan yang di dapat dari informan sesuai

fakta. Sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Dengan demikian, diperoleh suatu

kesimpulan data yang sah dan valid. Setelah data keseluruhan diolah, maka

kegiatan selanjutnya adalah menganalisis data lebih lanjut dan hasil analisis

tersebut disusun berdasarkan sistematika secara terperinci, sehingga akhirnya

diperoleh kesimpulan yang bersifat umum.

Setelah mencari dan mengumpulkan data, maka langkah selanjutnya

adalah menganalisis data atau mengolah data yang terkumpul itu. Dalam

penulisan karya tulis ini metode pengolahan data atau analisis data yang

digunakan adalah metode deskriptif yang artinya: Metode pengolahan data yang

dilakukan dengan menulis kembali data yang didapat dari lapangan dan data

kepustakaan dan lain-lain, untuk disusun secara sistematis.

37

Page 38: Agus

Dalam penelitian ini untuk menganalisis data digunakan metode deskriptif.

Digunakannya metode deskriptif ini karena tujuan penelitian ini hanya untuk

mendeskripsikan Pemeliharaan Anak Dalam Kasus Perceraian Menurut Hukum

Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.

38

Page 39: Agus

BAB IV

PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

4.1 Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Adat Bali

4.1.1 Bentuk-Bentuk Perkawinan

Dalam hukum adat Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu :

1. Bentuk biasa, yaitu si laki berkedudukan selaku Purusa. Dalam perkawinan

seperti ini, si laki mengawini wanita dengan menarik wanita itu masuk ke

rumpun keluarga laki-laki. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa si wanita itu

akan tunduk kepada hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki itu.

Di sini si wanita berkedudukan sebagai predana. Masyarakat Bali menganut

sistem ke-Bapa-an (Vaderrechtelijk). Walau tidak boleh dilupakan dan

perkecualian di Desa Tenganan Pegringsingan masyarakat di sana

menunjukkan kecondongan kepada sistem kekeluargaan ke Bapa-ibuan.

Sistem ke-Bapaan di Bali nyata tampak di mana istri memasuki keluarga

suaminya. Demikian pula selanjutnya anak-anak akan terkait kepada keluarga

ayah (suaminya) dan tidak ada hubungan lurus kepada keluarga ibunya.

Kewajiban-kewajiban anak/cucu juga tertumpah kepada keluarga Bapaknya

serta hak-hak dan kewajiban yang ia peroleh juga berasal dari sana. Dengan

keluarga ibunya hubungan sedemikian tidak dijumpai. (Ter – Haar, 1960 : 18).

2. Bentuk Nyeburin, yaitu si wanita berkedudukan selaku purusa. Dalam

perkawinan seperti ini, si wanita mengawini si laki dengan menarik laki-laki

itu ke rumpun keluarganya. Konsekuensi yuridis dan immateriil keluarga

39

Page 40: Agus

wanita. Di sini si wanita menjadi berkedudukan ”sebagai laki-laki,” sedang si

laki akan berkedudukan sebagai wanita. Bagi si wanita, akan berlaku hukum

kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Sedangkan bagi

laki-laki yang nyeburin, kedudukannya dalam pewarisan adalah sebagai

wanita.

4.1.2 Macam Cara Perkawinan

Macam cara kawin di Bali dikenal :

1. Perkawinan Ngerorod atau Merangkat

2. Perkawinan Mepadik

3. Perkawinan Jejangkepan

4. Perkawinan Nyangkring

5. Perkawinan Ngodalin

6. Perkawinan Tetagon

7. Perkawinan Ngunggahin

8. Perkawinan Melegandang

Dari delapan macam cara kawin di atas, yang paling banyak dilakukan

adalah perkawinan Ngerorod dan perkawinan Mepadik. Perkawinan Jejangkepan

agaknya merupakan ”induk” dari perkawinan selebihnya, dalam variasi-variasi

lainnya.

ad.1. Perkawinan Ngerorod

Perkawinan ini dilakukan cara ”lari bersama,” di mana si laki dan wanita

yang akan kawin, pergi bersamaan (biasanya secara sembunyi-sembunyi)

40

Page 41: Agus

meninggalkan rumahnya masing-masing dan bersembunyi pada keluarga lain

(pihak ke III) dan menyatakan diri sedang Ngerorod.

Perkawinan seperti ini, umumnya tidak diketahui oleh orangtua

sebelumnya. Kalaupun mungkin diketahui, orangtua pura-pura tidak tahu, karena

perkawinan Ngerorod persyaratan adatnya lebih ringan dari yang lain. Tata cara

perkawinan Ngerorod ini umumnya melalui tahapan dan syarat sebagai berikut :

(I Gusti Ketut Kaler, tanpa tahun : 15)

- Umur calon pengantin sudah cukup untuk berkawin.

- Perkawinan Ngerorod, benar-benar dilakukan atas kehendak kedua belah

pihak.

- Tempat yang dituju, tempat bersembunyi, mencari ”perlindungan,” dilakukan

di rumah pihak ketiga, minimal berlindung disitu selama 3 hari.

- Secepatnya, sesudah kedua calon pengantin mendapat perlindungan pada

pihak ketiga, diutuslah beberapa orang utusan ke rumah orangtua wanita

(wirang) untuk mempermaklumkan Ngerorod itu. Urusan itu lazim disebut

”pejati”, pemelaku, pengelaku, atau penyedek.

- Orang tua wanita berhak untuk menyelidiki ”Ngerorod” itu, apakah betul-

betul dilakukan secara tulus iklas oleh kedua calon pengantin itu.

- Kalau ternyata ngerorod itu memenuhi syarat, maka setuju atau tidak setuju,

gugurlah hak wiring orang tua wanita. Upacara perkawinan dapat

dilaksanakan.

41

Page 42: Agus

Apabila dalam perkawinan Ngerorod ini, calon pengantin terkejut oleh

keluarga wanita, maka orangtua wanita dapat membawa pulang anak gadisnya,

sehingga Ngerorod itu menjadi batal.

ad.2. Perkawinan Mepadik

Cara perkawinan seperti ini, diawali dengan adanya persepakatan untuk

kawin antara si laki dan wanita. Persepakatan ini kemudian dilanjutkan dengan

terlibatnya pihak keluarga yang berkepentingan (laki-laki) mengambil inisiatif,

melakukan peminangan ke rumah orangtua wanita. Dalam peminangan ini,

dibawa sejumlah perlengkapan (sirih, sajen seperlunya) ke rumah orangtua

wanita, dilanjutkan dengan pembicaraan ”basa-basi” adat.

Jika pinangan diterima, maka pinangan itu diakhiri dengan penyerahan

”basan pupur”, sehingga sahlah, kedua calon pengantin itu ”megegelan”. Apabila

pinangan tidak diterima, sedang laki dan wanita yang akan kawin itu tetap ingin

melanjutkan rencana untuk kawin, maka jalan yang dapat ditempuh adalah

Ngerorod.

ad.3. Perkawinan Jejangkepan

Secara ekstrem, perkawinan ini dapat dilukiskan sebagai usaha kelompok

besar keluara baik laki-laki maupun wanita untuk mengawinkan anaknya, dengan

sedemikian rupa si laki dan si wanita dimasukkan ke dalam satu kamar, sehingga

secara ”terpaksa” si-wanita menyetujui perkawinan itu. (Majelis Pembinaan

Lembaga Adat Bali, tanpa tahun : 4).

42

Page 43: Agus

Cara perkawinan semacam ini, sekarang hampir-hampir tidak lagi, tetapi

secara lebih halus, sering dapat dilihat dalam bentuk lain misalnya, para orang tua

sama-sama saling mendekati, merencanakan perkawinan anaknya, dan dalam hal

ini si orang tua mendesak agar anak-anaknya menyetujui kehendaknya. Apabila si

anak laki memberikan persetujuan, sedang anak wanita tidak demikian, maka bagi

orangtua lebih gampang untuk melakukan usaha agar perkawinan itu terjadi,

dengan jalan desakan seluruh keluarga secara kompak. Wanita umumnya lemah

dan biasanya terjadilah perkawinan yang dasarnya adalah ”jejangkepan”.

ad.4. Perkawinan Nyangkring

Lazimnya dilakukan oleh keluarga bangsawan, yang akan mengawini

seorang gadis (biasanya di bawah umur) dari orang kebanyakan. Perkawinan

seperti ini, juga hampir tidak terjadi lagi sekarang ini.

ad.5. Perkawinan Ngodalin

Perkawinan ini dilakukan dengan cara membawa seorang gadis kecil ke

rumah si laki, untuk dipelihara, dan diharapkan nantinya jika sudah besar dapat

dikawini oleh laki-laki yang dipersiapkan oleh keluarga tersebut. Perkawinan

seperti ini, umumnya sudah atas perencanaan orangtua. Dalam pelaksanaannya,

sekarang ini sudah tidak diketemukan lagi.

43

Page 44: Agus

Ad.6. Perkawinan Tetagon

Adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sudah cukup umur,

tetapi setelah perkawinan, si pengantin masih tetap masing-masing tinggal di

rumahnya sendiri. Perkawinan seperti ini, juga sudah tidak ada lagi di Bali.

Ad.7. Perkawinan Ngunggahin

Dalam perkawinan ini, wanita datang ke rumah laki, minta supaya dia

dikawini. Biasanya hal ini terjadi dalam keadaan yang luar biasa. Si wanita sudah

hamil, dihamili oleh laki-laki yang didatanginya, dan minta pertanggungjawaban,

supaya dia dikawini. Perkawinan semacam ini merupakan ”penghinaan” terhadap

wanita dan keluarganya. Tetapi masih dapat terjadi, dalam keadaan seperti diatas.

ad.8. Perkawinan Melegandang

Pada masa lampau, perkawinan ini sangat populer, dan menguntungkan

bagi laki-laki secara biologis. Yang dapat digolongkan perkawinan dengan cara

melegandang (dalam setiap waktu dan tempat) dengan sebutan yang berlainan

misalnya :

- Amalat : mengambil wanita secara paksa untuk dikawini, di hadapan banyak kaum keluarganya.

- Melegandang : mengambil perempuan secara paksa di jalan besar, dengan tujuan untuk dikawini.

- Amerugul : mengambil perempuan waktu mandi secara paksa untuk dikawini.- Angeteli : mengambil perempuan waktu tidur di rumahnya secara paksa untuk

dikawini.- Amemengin : mengambil perempuan yang sedang berjalan, atau sedang

bermain-main secara paksa untuk dikawani.- Amilurut : mengambil perempuan secara paksa di pagi hari, untuk dikawini.- Amerukunung : mengambil perempuan secara paksa ketika kencing, untuk

dikawini.

44

Page 45: Agus

- Amerekeneng : mengambil perempuan secara paksa ketika berkutu, untuk dikawini.

- Angunnguntul : mengambil perempuan waktu ada di sawah secara paksa, untuk dikawini.

- Ameraga : mengambil perempuan secara paksa waktu ada di ladang untuk kawini.

- Amegati Apus : mengambil perempuan yang sudah bertunangan untuk dikawini.

- Anyerek : mengambil perempuan yang secara paksa ketika perempuan ibu begadang, untuk dikawini.

- Angayub : mengambil perempuan secara paksa untuk dikawini, pada saat perempuan itu menonton.

- Angrerangkat : melarikan orang perempuan larangan.- Atetawan : melarikan perempuan perawan secara paksa, untuk dikawini.- Angiser : mengambil perempuan secara paksa pada waktu berak, untuk

dikawini.- Angiwet : mengambil perempuan secara paksa untuk kemudian dijual. - Ambaudang-gris : melarikan bini orang, sesudah lakinya dibunuh. (Djiwa,

1994 : 12).

Semua jenis perkawinan yang termasuk melegandang di atas, dilarang

sejak dahulu dan diancam pidana. Pesuara 1910, diubah serta diperbaiki tahun

1927, mengancam perkawinan melegandang dengan pidana penjara 3 tahun.

Dalam praktek peradilan Raad Kerta, melegandang dijatuhi pidana cukup tinggi.

Akan tetapi, dalam praktek perkawinan yang negatif ini, sering

dipergunakan oleh laki-laki untuk ”menjebak wanita”, kehormatan wanita

dirusak, sehingga terpaksa mau kawin, dari pada tercemar seumur hidup. Pada

masa sekarang ini praktek perkawinan seperti ini sudah tidak ada lagi.

4.1.3 Syarat-syarat Perkawinan

1. Syarat Umur :

Untuk dapat kawin, maka wanita dan pria itu harus sudah dewasa.

Tidak ada ketentuan yang definitif untuk ukuran sudah dewasa ini. Di

45

Page 46: Agus

dalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal ”menek bajang”,

setelah wanita datang bulan pertama, dan setelah laki-laki berobah

suara (ngembakin). Wanita yang tidak pernah datang bulan, dianggap

tidak sehat, dan secara religius dianggap letuh atau kuming. (Kaler,

tanpa tahun : 8).

2. Syarat Kesehatan

Hukum adat Bali, khususnya dilihat dari sudut agama Hindu, maka

syarat kemampuan senggama dapat dipandang sebagai syarat penting.

Orang-orang yang mengalami gangguan fisik/psykis sebagai berikut

dilarang kawin:

- pria impoten

- gila, sakit ingatan

- wanita kuming (vagina sempit)

- pria basur, buah pelir besar.

Dalam Kitab Kutara Menawa Dharmasastra yang diperlukan secara

mutatis mutandis di dalam kerajaan Majapahit (Undang-Undang

Majapahit) pasal 169 menyebutkan: seorang wanita berhak

membatalkan perkawinan apabila ternyata :

- sakit kuming

- impoten dalam bersetubuh

- banci

- punya penyakit budug perut, paha dan pantat

46

Page 47: Agus

- punya penyakit ayan gila. (Slametmuljana, 1967: 42)

3. Hubungan Kekeluargaan:

- Dihindari perkawinan gamia atau sumbang, misalnya seorang pria

kawin dengan seorang wanita yang berkedudukan selaku nenek

atau bibi setingkat sepupu atau sepupu dua kali.

Dihindari pula perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-

laki bersaudara kandung), perkawinan ”apit-apitan” (tetangga

sederet jarak satu tetangga), dianggap sebagai sebuah pikulan,

keluarga di tengah seumpama pemikul dan yang kawin termasuk

keluarga sebagai barang pikulan, yang bisa jatuh, juga dihindari.

- Dilarang secara tegas perkawinan Gamya Gumana. Menurut

Perkawinan Peswara Residen Bali dan Lombok 1927, perkawinan

Gamya Gumana meliputi: perkawinan antara orang-orang yang

berkeluarga dalam garis keturunan kencang ke atas dan ke bawah,

perkawinan antara tiri atau antara ibu tiri dengan anak tiri.

Perkawinan antara paman (bibi) dengan kemenakan perempuan

(laki), perkawinan antara saudara dan perkawinan antara seorang

laki dengan bibinya derajat sepupu satu.

4. Kebebasan Kehendak

Syarat yang cukup penting adalah, adanya kebebasan kehendak dari

mereka yang akan kawin. Kebebasan kehendak, artinys bahwa

akhirnya kedua belah pihak kemudian menyatakan diri dengan tegas

47

Page 48: Agus

berkehendak untuk kawin. Ketidak-setujuan orangtua dalam hal ini

dapat digugurkan.

4.1.4 Sahnya Perkawinan

VE Korn mengemukakan, di Bali tidak dapat terdapat kepastian, kapan

Belanda, lazim menjatuhkan putusan bahwa perkawinan itu sah setelah dilakukan

upacaea mebyakala. Yurisprudensi Raad Kerta kemudian mendapat dukungan dari

Parisada Hindu Dharma, di mana sahnya perkawinan adalah setelah dilakukan

upacra mebyakala. Pada upacara mebyakala yang lumrah disebut upacara

”pesaksi” bernilai ”puput” (selesai) dilakukan kegiatan religius:

- Dihaturkan sajen ke Surya dan Pemerajan serta sembahyangnya kedua

mempelai ke bawah Jeng Hyang Widhi dan Bhatara (ri) merupakan unsur

Desa Saksi.

- Hadirnya wakil pemuka masyarakat (prajuru desa, klian) selaku unsur

manusia saksi.

- Diayabnya sajen byakala oleh yang bersangkutan selaku penyucian dan unsur

Bhuta saksi.

- Diayabnya sajen sesayut oleh kedua mempelai selaku upaya keagamaan untuk

mengikat pribadi yang bersangkutan guna menjadi tunggal selaku suami-istri

(ardananareswari). (Kaler, tanpa tahun : 17).

Inilah dimaksudkan dengan upacara mebyakala untuk sahnya suatu

perkawinan, sedang upacara dan upakara lainnya dianggap sebagai tambahan saja.

Upacara tambahan, lanjutan itu misalnya upacara Mejauman/ngaba jaja/ketipat

48

Page 49: Agus

bantal yang bernilai magis religius ”pamitan kepada orangtua dan leluhur yang

sudah disucikan (pemerajan)”. Dalam upacara ini, dilakukan serentetan acara-

acara adat, dengan segala sarana dibawa oleh keluarga mempelai laki-laki ke

rumah mempelai perempuan, berupa jajan dengan perlengkapannya.

4.2 Yang Berhak Memelihara Anak Dalam Kasus Perceraian

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38, dikatakan

bahwa: “Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian atau atas keputusan

pengadilan”.

Undang-undang tersebut tidak menggariskan bagaimana akibat putusnya

perkawinan karena kematian, yang ditetapkan adalah bila perkawinan putus

karena perceraian, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan diatur

menurut hukumnya masing-masing (pasal 37) dan baik ibu atau bapak tetap

berkewajiban memelihara dna mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan

kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,

Pengadilan memberi keputusannya (pasal 41).

Bagaimana menurut hukum adat? Pada umumnya tidak ada kesamaan

mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap anak-anak, kekerabatan dan harta

kekayaan perkawinan. Di lingkungan masyarakat adat kekerabatan patrilinial,

seperti Adat Bali yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus

perkawinan karena kematian atau perceraian, maka anak-anak berkedudukan

dalam kekerabatan suami. Andaikata karena satu dan lain hal si-istri tidak tetap

berdiam di tempat kediaman suami yang telah wafat, atau kembali ketempat

49

Page 50: Agus

kerabat asalnya atau ke tempat lain karena perceraian dan ada anak yang

dibawanya karena masih kecil, maka anak yang dibawanya itu tetap mempunyai

hak dan kewajiban adat serta berkedudukan di tempat kekerabatan suami. Anak-

anak itu adalah waris dari ayah kandungnya.

Hilman Hadikusuma (2003: 182) “yang bertanggung jawab atas

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak dimana saja mereka berada adalah ayah

kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, bukan ibu

atau kerabat ibunya, walaupun dalam kenyataannya ibu atau kerabat ibunya yang

memelihara dan mendidiknya”.

Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka

penyelesaiannya dilakukan oleh kerabat kedua pihak dan kerabat yang lebih

menentukan adalah kerabat pihak suami. Seperti halnya di daerah Lampung

bagaimana juapun penyelesaian masalah perselisihan anak, anak tertua lelaki tetap

sebagai waris dari ayah kandung dan kerabat ayahnya. Andai kata hal ini

dilanggar, maka berarti pecah kekerabatan dan sianak tidak mempunyai

kedudukan apa-apa dalam susunan kebapakan.

P. Windia (2004: 49) mengatakan : “Jika terjadi perceraian, amat sangat

jarang seorang bekas istri akan mengajak anak yang dilahirkannya ke rumah orang

tuanya, tetapi anak itu akan diajak bapaknya. Hal ini disebabkan sistem

kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu mengikuti garis keturunan purusa atau laki-

laki. Andaikan ada satu dua kasus yang berbeda, dalam arti anak mengikuti

ibunya setelah orang tuanya bercerai, suatu ketika anak itu akan kembali kepada

50

Page 51: Agus

bapaknya, guna melanjutkan segala kewajibannya sebagai seorang anak, termasuk

mengurus warisannya, baik yang berwujud material maupun imaterial.

Kedudukan Anak Dalam Kasus Perceraian

Keberadaan anak sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.

Banyak pasangan suami istri rela cerai karena tidak membuahkan keturunan atau

anak dalam perkawinannya. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah, disebut

anak sah atau anak kandung. Anak kandung laki-laki biasa juga disebut sentana.

Sebutan ini kurang lazim untuk anak kandung perempuan, kecuali dalam satu

keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki, maka dalam keadaan seperti ini

anak perempuannya akan diminta tetap tinggal di rumah menemani kedua orang

tuanya, walaupun dia kawin dengan laki-laki pilihannya. Anak perempuan seperti

inilah yang disebut sentana rajeg.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut hukum Hindu dan agama Hindu

kedudukan anak dalam kasus perceraian Wayan P. Windia (2004: 47) mengatakan

: “Anak yang lahir dari perkawinan yang sah, disebut anak sah atau anak kandung,

adalah pewaris tunggal yakni anak yang berhak atas segala warisan orang tuanya

baik selama perkawinan maupun sebelum perkawinan”.

Dalam Pustaka Manawa Dharma Sastra Sloka III-37 menyebutkan :

Daça Pũrwânparân WamçyanÂtmânam Caika WimcakamBrâhmiputrah Cukrita KramocaYe Denasah Ptrrn

Maksudnya :Seorang anak dari seorang istri yang dikawini secara Brahma wiwaha, jika ia melakukan hal-hal yang berguna, ia membebaskan dari dosa-dosa

51

Page 52: Agus

sepuluh tingkat leluhurnya, sepuluh tingkat keturunannya dan ia sendiri sebagai orang yang kedua puluh satu.

Menyimak dari isi sloka diatas dapat memberikan pengertian bahwa untuk

menciptakan seorang anak yang suputra, dari suatu perkawinan yang terjadi, perlu

melaksanakan upacara penyucian (Sarira Samskara) agar suatu perkawinan dapat

dikatakan sebagai yadnya.

Bertitik tolak dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat penulis tarik

kesimpulan bahwa anak kandung dalam kasus perceraian menurut hukum Hindu

mempunyai kedudukan sebagai ahli waris dan penebus dosa serta penerus

keturunan.

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Perceraian

Aspek “pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap perkara perdata

didakwakan” merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Mengapa sampai

dikatakan demikian? Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan

pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu perkara perdata apakah

perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan perkara perdata

yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh

bahwasannya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan

berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim.

Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum

“pertimbangan-pertimbangan yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan maka

hakim terlebih dahulu akan menarik “fakta-fakta dalam persidangan” yang timbul

dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan

52

Page 53: Agus

terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Pada

dasarnya “fakta-fakta dalam persidangan” berorientasi pada dimensi tentang:

locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut

dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan

tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung

dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam

melakukan tindak pidana, dan sebagainya.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar No : 392/Pdt.G/2007/PN. Dps

yang mengadili dan memeriksa perkara-perkara perdata peradilan tingkat pertama,

pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah :

1. Menimbang, bahwa apakah dalil atau alasan yang dikemukakan oleh

Penggugat dalam surat gugatannya tersebut dapat dijadikan dasar/alasan untuk

perceraian maka majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut.

- Bahwa berdasarkan keterangan saksi I Gusti Ayu Adinta Devi selaku adik

kandung Penggugat yang menerangkan dipersidangan bahwa antara

Penggugat dengan Tergugat sering terjadi pertengkaran dan setiap terjadi

pertengkaran Penggugat pulang ke rumah orang tua untuk menghindari

percekcokan didepan anak-anaknya.

- Bahwa dulu tahun 2003 Penggugat sudah pernah menggugat cerai

Tergugat, namun kemudian dicabut karena Tergugat membuat pernyataan

akan mengubah sikap.

- Bahwa saksi tahu Penggugat pulang ke rumah orang tuanya di mengwi

kurang lebih 4 kali, karena cekcok dengan Tergugat.

53

Page 54: Agus

- Bahwa seorang Penggugat dengan Tergugat sudah tidak satu rumah lagi,

Penggugat tinggal dirumah orang tuanya.

2. Menimbang, bahwa saksi I Gusti Ngurah Sumardika dipersidangan

menerangkan bahwa saksi adalah Paman Penggugat, dimana saksi

menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat sering cekcok, saksi

mengetahuinya dari cerita Penggugat kepada saksi, dan setiap cekcok dengan

Tergugat, Penggugat pulang ke rumah orang tua Penggugat.

Bahwa saat ini Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi hidup serumah,

dimana Penggugat tinggal bersama orang tuanya di Mengwi sedangkan

Tergugat tinggal di Jalan Pulau Batanta.

3. Menimbang, bahwa dengan adanya perselisihan dan pertengkaran antara

Penggugat dengan Tergugat sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas,

sampai gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar, Penggugat

dengan Tergugat tidak pernah kembali berkumpul bersama dalam satu rumah

lagi.

4. Menimbang, bahwa mengenai keterangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan

Tergugat dipersidangan yaitu masing-masing saksi bernama Ni Wayan Padmi

dan Suyanto justru keterangan kedua orang saksi tersebut menerangkan bahwa

antara Penggugat dengan Tergugat sudah 1 tahun tidak serumah lagi, dimana

Penggugat tinggal bersama orang tuanya di Mengwi sedangkan Tergugat di

Jalan Pulau Batanta.

5. Menimbang, bahwa dari fakta dan kenyataan yang terungkap dipersidangan

sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, ternyata telah terjadi

54

Page 55: Agus

percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga/perkawinan antara

Penggugat dengan Tergugat yang tidak dapat didamaikan lagi dimana

keduanya sudah tidak hidup rukun lagi dalam rumah tangga sebagaimana

layaknya suami istri yang harmonis, karena keduanya sudah 1 (satu) tahun

tidak serumah lagi, sehingga dengan demikian telah memenuhi alasan

perceraian sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 19 huruf “F”; Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

6. Menimbang, bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa

tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang

harmonis, sejahtera dan bahagia baik lahir maupun bathin, namun dalam

perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tujuan yang demikian sudah

tidak dapat tercapai akan tetapi malahan sebaliknya.

7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas

Majelis Hukum berpendapat bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sudah

tidak dapat diharapkan untuk hidup rukun kembali sebagaimana layaknya

suami istri yang harmonis, dan apabila tetap dipaksakan dikhawatirkan akan

berakibat buruk bagi kedua belah pihak.

8. Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan tersebut diatas, dan tanpa

mengkaji lebih jauh penyebab timbulnya perpecahan dan percekcokan antara

Penggugat dengan Tergugat yang tidak bisa diharapkan lagi akan hidup rukun

dalam rumah tangga mereka, maka Majelis Hakim memandang patut dan

bermanfaat bila perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dinyatakan

putus karena perceraian.

55

Page 56: Agus

9. Menimbang, bahwa dalam perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat

telah lahir 4 (empat) orang anak yang bernama I Gusti Ayu Aundra Indira, I

Gusti Ayu Audy Calista, I Gusti Ayu Aura Gizela, I Gusti Ayu Auzy Paquita

tersebut adalah hasil dari perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat,

maka sudah merupakan kewajiban bagi kedua belah pihak untuk memelihara,

mendidik serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan masa

depan anak-anak tersebut.

10. Menimbang, bahwa petitum gugatan Penggugat yang mohon agar Penggugat

diberikan sebagai wali dari anak-anaknya.

11. Menimbang, bahwa terhadap petitum tersebut, Majelis Hakim berpendapat

bahwa terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan Penggugat dan

Tergugat ternyata masih di bawah umur dan memerlukan kasih sayang maka

hak untuk mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anak tersebut yaitu

anak-anak yang tinggal bersama Penggugat adalah anak ke 2 dan ke 4 I Gusti

Ayu Audy Calista dan I Gusti Ayu Auzy Paquita diberikan hak kepada

Penggugat sedangkan anak ke 1 dan ke 3 yaitu I Gusti Ayu Aundra Indira dan

I Gusti Ayu Aura Gizela diberikan hak kepada Tergugat untuk mengasuh dan

mendidik serta memelihara sampai dewasa dan dapat menentukan pilihannya

sendiri.

12. Menimbang, bahwa sebagaimana diketahui perkawinan Penggugat dan

Tergugat (P-1) dilakukan berdasarkan hukum adat Bali dimana Penggugat

sebagai Purusa (status laki-laki). Dengan demikian anak-anak yang lahir dari

perkawinan Penggugat dan Tergugat tersebut, akan masuk ke kekerabatan

56

Page 57: Agus

pada Penggugat sebagai Purusa. Dan oleh karena itu Majelis Hakim

memandang cukup beralasan status anak Penggugat dengan Tergugat

kekuasaannya ada pada Penggugat sebagai Purusa.

13. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,

Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat dapat dikabulkan untuk

sebagian.

57

Page 58: Agus

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian permasalahan-permasalahan diatas maka dapat ditarik

beberapa simpulan sebagai berikut.

1. Yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian menurut hukum Hindu

adalah ayah dari anak tersebut, karena perkawinan menurut hukum Hindu di

ali menganut sistem ke-Bapa-an (vederrechtelijk).

2. Kedudukan anak dalam kasus perceraian ditinjau dari hukum Hindu, adalah

sebagai ahli waris dan penerus keturunan.

3. Dasar pertimbangan hakim memutus status anak dalam perkara perceraian

antara lain :

a. keluarga tidak rukun lagi, sering terjadi percekcokan.

b. tergugat dengan penggugat sudah tidak serumah lagi.

c. keterangan-keterangan saksi, fakta dan kenyataan yang terungkap di

persidangan.

d. keluarga sudah tidak harmonis lagi, malahan sebaliknya sering cekcok,

sehingga hidup rukun tidak bisa diwujudkan lagi.

e. perkawinan tersebut telah menghasilkan anak 4 orang, dan masih dibawah

umur sehingga perlu kasih sayang dari orang tua yakni anak ke 2 dan ke 4

58

Page 59: Agus

5.2 Saran

1. Karena menurut hukum adat Bali yang menganut sistem ke Bapa-an,

yakni anak adalah tanggung jawab ada dibawah kewenangan ayah,

diperlukan pedoman/sejenis keputusan Majelis Desa Pakraman, bahwa

apabila ada kasus perceraian dimana anak masih memerlukan kasih

sayang ibunya perlu adanya pengubahan dengan suatu kesepakatan/

keputusan.

2. Kedudukan anak sebagai ahli waris, dan penerus keturunan, diperlukan

pembinaan lebih lanjut kepada anak sebelum menginjak dewasa.

3. Oleh karena dasar pertimbangan hakim, adalah menentukan hasil

keputusan yang ditetapkan, maka diperlukan, barang bukti, saksi dan

fakta persidangan yang sangat paten artinya orang-orang yang menjadi

saksi benar-benar mengetahui seluk beluk terjadinya perkara tersebut.

59

Page 60: Agus

DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Ketut. 2003. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: Pustaka Bali Pos.

Bushar, Muhamad. 1987. Azas-azas Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Djaranto, Djamarah. 1974. Pokok-pokok Metode Reset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Liberty.

Djiwa, I Gusti Putu. 1934. Melegandang. Majalah Bhawanagara, No. 11-12 tahun III.

Ekasana, I Made Suastika. 2004. Peradilan Agama Hindu Sesudah Berlakunya UU Darurat No.1 Tahun 1951 dalam Kajian Ksetravidya dan Ekayana. Denpasar: IHD Negeri Denpasar.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hamidi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

Hamsah, Andi. 2005. KUHP dan KUHP. Jakarta: Rineka Cipta.

Haraph. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung: Balai Pustaka

Kajeng. 2003. Sarasçamuscaya. Surabaya: Paramita.

Kaler, I Gusti Ketut. tanpa tahun. Perkawinan dalam Masyarakat Hindu di Bali. Cudmani.

Lestawi. 1991. Hukum Adat Bali. Surabaya: Paramita.

Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Ndraha, Taliduhu. 1987. Research Teori Metodelogi Administrasi. Jakarta: Bina Akasa.

Njamil, Hatif. 1982. Adat-Istiadat dan Upacaranya. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

60

Page 61: Agus

Ngurah, I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita.

Mandra, I Ketut dkk. 1987/1988. Diklat Intisari Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas.

Mardana, I Wayan. 1997. Perceraian Dalam Perkawinan Nyeburin. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

Moleong, Leksi. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remoga Pustaka Ria.

Muhadjir, 1990. Metodelogi Penelitian. Singaraja Tod FKIP. UNUD Pendit. 2003. Kitab Itihasa. Surabaya: Paramita.

Pendit. 2003. Kitab Itihasa. Surabaya: Paramita.

Poerdarminta W.J.S. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Poerbacaraka, 1982. Ramayana Sarga III. Surabaya: Paramita.

Pudja, I Gede, Sudharta Cok Rai. 2002. Manawa Dharma Sastra. Jakarta: Pelita Nusantara Lestari.

. 2003. Manawa Dharmasastra. Surabaya: Paramita.

Putra Astiti. 1981. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Denpasar: Kayu Mas.

Slametmuljana. 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta: Bhtatara.

Surya. 2003. Biologi. Jakarta: Balai Pustaka.

Sandarson. 1993. Teori Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Soepomo. 1967. Bab-Bab tentang Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Soerjono, Soekanto. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.

. 1977. Hukum Adat dan Tata Perkawinan. Jakarta: Pradnya Paramitha.

Status, Anselm, Juliet Corbin, 1997. Dasar-Dasar Kualitatif (Disadur Oleh Djunaidi Ghoni). Surabaya: PT Bina Ilmu.

Subekti. 1985. Hukum Perdata. Bandung: Inter Mahesa.

61

Page 62: Agus

Suparman. 1994. Pelaksanaan Perceraian Dalam Masyarakat Hindu di Kabupaten Klaten. Denpasar: UNHI.

Suprayoga. 2004. Kumpulan Teori-teori Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Surachman. 1994. Dasar dan Tehnik Riset. Bandung: Citra Aditya.

Suradja, Wign Yadi Pura. 1982. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Surpha, I Wayan. 1986. Pengantar Hukum Hindu.

Syaifudin, Aswar. 10988. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Ter Haar Bzn. Mr.B. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en Stelsel Van Het Adat Recht). Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Van Vollenhuven. 1981. Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia. Jakarta: JPn. Patca.

Warna, I Wayan dkk. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Jakarta: Balai-Pustaka.

Windia, Wayan P. 1989. Danda Pacamil. Denpasar: Upada Sastra.

. 1932. Putusan Rad Krta tentang Perceraian. Singaraja.

. 1977. Ensiklopedia Umum Tentang Pengertian Adat. Jakarta: Delta Pemungkas.

. 1976. UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan. Departemen Agama RI.

. Majelis Pembinaan Lembaga Adat Bali. Kumpulan Putusan Pengadilan Raad Kerta, tanpa tahun.

62

Page 63: Agus

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASARFAKULTAS DHARMA DUTA

Skripsi

PEMELIHARAAN ANAK DALAM KASUS PERCERAIANMENURUT HUKUM HINDU STUDY KASUS DI

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA STRATA SATU (S1)

JURUSAN HUKUM AGAMA

63

Page 64: Agus

DAFTAR ISI

Isi Hal

HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN.............................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN........................................................................... iv

MOTTO............................................................................................................. v

KATA PERSEMBAHAN.................................................................................. vi

KATA PENGANTAR....................................................................................... vii

ABSTRAK......................................................................................................... ix

DAFTAR ISI...................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 6

1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... 7

1.3.1 Tujuan Umum.............................................................. 7

1.3.2 Tujuan Khusus............................................................. 7

1.4 Manfaat Penelitian................................................................... 8

1.4.1 Manfaat Teoretis.......................................................... 8

1.4.2 Manfaat Praktis............................................................ 8

64

Page 65: Agus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEPTUAL,

LANDASAN TEORI....................................................................... 9

Kajian Pustaka................................................................................. 9

Landasan Konsep............................................................................. 12

Pemeliharaan Anak...................................................... 12

Perceraian..................................................................... 14

Hukum Hindu............................................................... 16

Masyarakat Adat Bali.................................................. 19

Landasan Teori................................................................................. 21

Teori Konflik............................................................... 23

Teori Institutionalization.............................................. 24

BAB III METODE PENELITIAN................................................................. 30

Persiapan Penelitian......................................................................... 31

Jenis Penelitian................................................................................. 31

Jenis dan Sumber Data..................................................................... 32

Data Primer.................................................................. 32

Data Sekunder.............................................................. 32

Penentuan Subjek dan Objek Penelitian.......................................... 33

Objek Penelitian........................................................... 33

Subjek Penelitian......................................................... 33

Metode Pendekatan Subjek Penelitian............................................. 33

Metode Pengumpulan Data.............................................................. 34

65

xi

Page 66: Agus

Metode Pengolahan Data................................................................. 36

BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN.............................................. 39

Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Adat Bali.................................. 39

Bentuk-bentuk Perkawinan.......................................... 39

Macam-macam Perkawinan......................................... 40

Syarat-syarat Perkawinan............................................. 45

Syahnya Perkawinan.................................................... 48

Yang Berhak Memelihara Anak dalam Kasus Perceraian............... 49

Kedudukan Anak dalam Kasus Perceraian...................................... 51

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Perceraian... 52

..................................................................................................

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan.................................................................................. 58

5.2 Saran-saran............................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN

66

xii

Page 67: Agus

67

xiii