agus
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam
sebuah rumah/keluarga. Perkawinan selalu membawa konsekuensi hukum baik
bagi sang istri maupun suami yang telah menikahi secara sah. Dalam hukum
perkawinan yang berlaku di Indonesia, berbagai konsekuensi hukum tersebut
sebenarnya sudah diatur antara lain, misalnya, menyangkut hak dan kewajiban
masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung; tanggung jawab mereka
terhadap anak-anak; konsekuensinya terhadap harta kekayaan baik kekayaan
bersama maupun kekayaan masing serta akibat hukumnya terhadap pihak ketiga.
Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap pasangan untuk mencegah
timbulnya permasalahan dalam suatu perkawinan.
Hal lain, pemahaman terhadap konsekuensi hukum tersebut juga berkaitan
erat dengan kemungkinan terjadinya perceraian. Sebab, walaupun suatu
perkawinan sesungguhnya adalah ikatan lahir batin untuk saling membahagiakan
antara suami istri seumur hidup. Namun dalam kenyataannya seringkali timbul
masalah yang tidak dapat diatasi oleh kedua belah pihak. Ujung-ujungnya
perkawinan tersebut harus berakhir/putus karena perceraian. Kemungkinan buruk
ini barangkali tak pernah dibayangkan oleh kedua pasangan tersebut.
1
Jika perceraian terjadi, sudah barang tentu juga akan membawa
konsekuensi hukum tersendiri. Akan timbul, misalnya, masalah menyangkut harta
gono-gini, perwalian anak, serta dampaknya terhadap pihak ketiga.
Perkawinan, terutama yang didasari oleh agama Hindu, tidak terlepas dari
sistem budaya yang dianut dan berlaku dimana seseorang melangsungkan suatu
prosesi perkawinan. Perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
agama dan adat istiadat setempat, serta peraturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Umat Hindu di Indonesia terdiri dari berbagai etnis yang memiliki
sistem budaya tersendiri, sehingga prosesi perkawinan pun akan sangat beragam
walaupun para tataran filosofis tidak berbeda.
Selain aspek teologis dan budaya, perkawinan juga mengandung aspek
sosial. Perkawinan bukan hanya urusan antara pasangan laki-laki perempuan,
tetapi juga berkaitan dengan anggota keluarga laki-laki dan perempuan, anggota
masyarakat di mana mereka tinggal, aparat adat (Bendesa Adat, Parisadha dan
Kelian banjar), aparat agama (guru agama Hindu, para Pemangku) dan
pemerintah (pembuat akte perkawinan). Suatu perkawinan yang ideal apabila
dilakukan atas dasar cinta sama cinta di antara laki-laki dan perempuan, direstui
oleh keluarga kedua belah pihak, dan dilaksanakan di depan anggota masyarakat,
serta disaksikan oleh aparat adat, agama dan pemerintah.
Perkawinan di Indonesia dinyatakan sah, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agamanya dan keyakinannya itu, dan dicatatkan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Adji, 2002:27). Implementasi
2
peraturan perundang-undangan tersebut dalam umat Hindu nampak dalam proses
persaksian yang disebut tri upasaksi (tiga saksi), yaitu : Bhuta Saksi, Manusa
Saksi, dan Dewa Saksi. Ketiga saksi tersebut merupakan realisasi hukum agama
Hindu, sedangkan aspek peraturan perundang-undangan (aspek hukum perdata)
tercakup dalam manusa saksi yaitu hadirnya aparat desa sebagai perwakilan dari
pemerintah, untuk selanjutnya menjadi dasar untuk pencatatan perkawinan di
Kantor Catatan Sipil.
Pengaturan pranata perkawinan dalam bentuk hukum perkawinan
dimaksudkan untuk menciptakan dan menjaga kesakralan dan kelanggengan suatu
perkawinan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera lahir bathin dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga yang bahagia dan
sejahtera akan terwujud apabila keluarga tersebut dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang diinginkan, seperti kebutuhan biologis, spiritual, psikologis dan
ekonomi. Pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan sudah tentu
terdorong oleh kebutuhan biologis atau seksual yang normal dan baik. (Surya
2003: 180) mengatakan bahwa kebutuhan seksual yang dianggap normal dan baik
apabila serasi, selaras, dan seimbang dengan tuntutan norma dan nilai yang
berlaku, seperti norma agama, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Dengan
terpenuhinya kebutuhan seksual secara normal dan baik, merupakan modal dasar
dalam memperoleh kebutuhan biologis yang lain berupa keturunan yang sehat dan
unggul. Anak yang sehat dan unggul tentu dambaan bagi orang yang melakukan
perkawinan, demi kelangsungan keturunannya. Anak sehat dan unggul dalam
3
pandangan agama Hindu disebut suputra bukan semata-mata kebutuhan biologis,
tetapi juga merupakan salah satu aspek kebutuhan spiritual. Dalam pasal 161
Nawano’dhayah Manawa Dharmasastra secara implisit menyebutkan bahwa anak
suputra merupakan sarana penebus dosa bagi orang tuanya setelah meninggal
dunia nanti, sehingga rohnya bisa memperoleh kebebasan dari siksaan neraka
(Pudja, 2002: 570).
Melalui perkawinan seseorang bisa mendapatkan kebutuhan psikologis
seperti : kasih sayang, rasa aman, aktualisasi diri, dan sebagainya. Dalam pasal 2
dan 3 Nawano’dhayah Manawa Dharmasastra disebutkan, bahwa: Siang malam
wanita harus dipelihara oleh ayahnya di waktu kecil, oleh suaminya setelah
dewasa, dan oleh anak-anaknya setelah tua (Pudja, 2002: 526). Kebutuhan
ekonomi adalah prasyarat yang mendasar dalam kehidupan keluarga. Dalam
ajaran agama Hindu ada disebutkan catur asrama dan catur purusa artha,
mensyaratkan bahwa pada masa berumah tangga (grhasta) merupakan masa untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi (artha). Hal ini sejalan dengan semangat Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa seseorang yang akan memasuki perkawinan
harus siap secara ekonomi, guna kelangsungan rumah tangganya.
Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan modal dasar
mewujudkan perkawinan yang kekal. Perkawinan yang kekal sangat diharapkan
baik menurut ajaran agama maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Suatu
perkawinan di depan keluarga, masyarakat dan aparat yang berwenang, hidup
dalam rumah tangganya secara harmonis sampai salah satu atau kedua-duanya
meninggal dunia.
4
Setiap orang yang akan memasuki fase berumah tangga pada umumnya
mencita-citakan perkawinan yang kekal. Namun dalam proses perjalanan berumah
tangga, tidak sedikit yang gagal untuk mewujudkannya. Peristiwa perceraian yang
terjadi, baik di lingkungan terdekat maupun yang terjadi di tempat-tempat yang
jauh, apalagi dengan adanya media televisi sudah merupakan fakta yang tak bisa
dipungkiri. Seperti yang sering terjadi pada pasangan suami istri suatu studi kasus
pada Pengadilan Negeri Denpasar.
Perceraian bukan hal yang tidak dibenarkan, baik menurut agama maupun
menurut hukum. Ada beberapa alasan yang bisa dibenarkan untuk melakukan
perceraian. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 pasal 39 ayat 2 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Adji, 2002: 60) bahwa perceraian
dapat dilakukan apabila: (1) Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan; (2) salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
(3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (4) Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak yang lain; (5) Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan
kewajiban sebagai suami/istri; (6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
5
Dalam pasal 80 dan 81 Nawano’dhayah Manawa Dharmasastra
disebutkan bahwa seorang suami dapat menceraikan istrinya apabila si istri
peminum alkohol, bertabiat buruk, suka menentang baik kepada suami maupun
kepada keluarga si suami, berpenyakit dan menyia-nyiakan tugas sebagai seorang
istri setiap saat, tak berketurunan, semua anaknya meninggal dalam waktu sepuluh
tahun, hanya mempunyai anak perempuan dalam waktu sebelas tahun, dan suka
bertengkar (Pudja, 2002: 547).
Dibalik kejadian perkawinan dan perceraian tersebut diatas, keberadaan
anak sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal tersebut sesuai dengan
P. Windia, (2004: 47) sebagai berikut.
“Banyak pasangan suami istri rela cerai karena tidak membuahkan
keturunan atau anak dalam perkawinannya”.
Sehubungan dengan hal tersebut, bila terjadi perceraian bagaimana dengan status
anak tersebut, siapa yang berhak memelihara menurut hukum Hindu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis terdorong melakukan
penelitian dengan judul : “Pemeliharaan Anak Dalam Kasus Perceraian Menurut
Hukum Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, dapatlah
dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Siapa yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian ?
6
2. Bagaimana kedudukan anak dalam kasus perceraian ditinjau dari hukum
Hindu?
3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim memutus status anak dalam
perkara perceraian?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui status hukum pemeliharaan anak dalam kasus perceraian menurut
hukum Hindu study kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.
2. Mengetahui apakah ada perkembangan hukum Hindu khususnya yang
menyangkut masalah perceraian, pembagian harta dan apa yang menjadi
sumber-sumber hukum Hindu dalam memutus perkara perceraian.
3. Dapat menjadi bahan pegangan bagi masyarakat, terutama bagi mahasiswa
jurusan hukum Agama pada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, agar
mengetahui dan dapat menerangkan tentang pemeliharaan anak bagi suami
istri yang bercerai menurutu hukum Hindu.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui siapa yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian.
2. Mengetahui kedudukan anak dalam kasus perceraian, ditinjau dari hukum
Hindu.
7
3. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis berupa
pengembangan konsep dan teori hukum pemeliharaan anak atas kasus perceraian
dalam rangka upaya penegakan hukum yang berkeadilan bagi setiap warga hukum
di berbagai daerah dimana hukum itu berkembang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara praktis bagi
pihak-pihak seperti:
1. Bahan acuan aparat dan lembaga hukum, baik hukum adat Bali maupun
hukum umum di dalam penanganan hukum terhadap pemeliharaan dalam
kasus perceraian.
2. Bahan acuan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang pemeliharaan anak dan kasus perceraian.
3. Menambah khasanah dan jumlah koleksi hasil-hasil penelitian perpustakaan
IHDN Denpasar.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEPTUAL DAN
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Sampai saat ini penulis belum menemukan hasil penelitian berupa skripsi
yang membahas tentang pemeliharaan anak dalam kasus perceraian, oleh karena
itu dalam kajian pustaka ini penulis uraikan pendapat dari Bushar Muhammad
(2004: 9) ditegaskan bahwa:
Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, khususnya tergantung dari sistem keturunan. Seperti telah diketahui, di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak dan ibu.
Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu, maka
hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga dari
pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan kekeluargaan
yang bilateral demikian ini, maka masalah-masalah tentang larangan kawin,
warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap kedua
belah pihak kekeluargaan adalah sama kuat.
Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaan adalah
unilateral yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau matrilineal,
(menurut garis keturunan ibu). Dalam persekutuan-persekutuan yang demikian
ini, maka hubungan antara anak dengan keluarga dari kedua belah pihak adalah
tidak sama eratnya, derajatnya, dan pentingnya.
9
Dalam persekutuan yang matrilineal hubungan antara anak dengan
keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari
daripada hubungan antara anak dengan keluarga pihak bapak. Demikian
sebaliknya dalam persekutuan yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak
bapak dianggapnya lebih penting derajatnya.
Tetapi yang perlu ditegaskan bahwa, dalam persekutuan-persekutuan yang
sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini, adalah dengan dilebihkannya
tingkat/derajat hubungan dengan salah satu pihak keluarga (pihak keluarga ibu
pada persekutuan matrilineal dan pihak keluarga bapak pada persekutuan
patrilineal) sama sekali tidak berarti, bahwa pada persekutuan-persekutuan
dimaksud hubungan kekeluargaan dengan keluarga pihak lain tidak diakui;
hubungan dengan kedua belah pihak keluarga diakui adanya, hanya sifat susunan
kemasyarakatarannya yang unilateral itu menyebabkan hubungan keluarga dengan
salah satu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting.
Di Minangkabau misalnya keluarga pihak bapak yang disebut “bako-kaki” dalam
upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang kerabat dari pihak bapak ini
memberi bantuan dalam memelihara anak.
Di Tapanuli pada suku Batak (sifat persekutuan adalah patrilineal)
keluarga pihak ibu khususnya bagi para pemudanya, pertama-tama diakui sebagai
satu keluarga dari lingkungan mana mereka terutama harus mencari bakal istrinya.
Persekutuan keluarga ibunya merupakan apa yang disebut “hula-hula”, sedangkan
keluarga bapak merupakan “boru”nya. Jadi hubungan keluarga bapak dan
10
keluarga yang bakal memberikan bakal suami (boru) dan keluarga yang bakal
memberikan istri (hula-hula).
Suparman (1994) dalam penelitiannya yang berjudul Pelaksanaan
Perceraian dalam Masyarakat Hindu di Kabupaten Klaten. Membahas mengenai
pelaksanaan perceraian yang dilakukan oleh umat Hindu di Klaten yaitu mempelai
yang akan bercerai mengajukan gugatannya ke pengadilan dengan membawa surat
pengantar dari kelurahan. Gugatan itu diserahkan melalui panitera. Setelah
gugatan masuk pengadilan mengadakan pemeriksaan perkara dan jika hakim tidak
bisa mendamaikan maka pengadilan memutuskan perceraian itu. Keputusan sudah
mempunyai kekuatan hukum diserahkan ke kantor catatan sipil untuk dicatatkan
perceraiannya. Lalu diserahkan ke PHDI untuk dilakukan perceraian secara
agama. Pembahasan yang terakhir tentang sahnya perceraian menurut masyarakat
Hindu di Klaten adalah sesuai dengan Undang-Undang perkawinan. Di Klaten
perceraian biasa disebut dengan nyakseko pegatan. Nyakseko = saksi, pegatan =
putus. Cerai artinya menyaksikan perceraian yang menjadi saksi Kang burbahing
dumadi (Tuhan), Kang kbau rekso Desa (Bhuta Kala yang menjaga desa), dan
Tanggo teparo (Tetangga disekitarnya). Saksi ini dalam agama Hindu disebut Tri
Upasaksi. Dengan demikian kesaksian yang dimaksud diatas adalah saksi sekala
dan niskala. Jadi upacara perceraian di Klaten sebagai permakluman baik secara
sekala dan niskala.
Wayan Mardana (1997) dalam penelitiannya yang berjudul Perceraian
dalam Perkawinan Nyeburin ditinjau dari Hukum Hindu (studi kasus di
Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan). Membahas mengenai harta benda
11
perkawinan yang dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
ditentukan bila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur
menurut hukum masing-masing, maksudnya sesuai dengan hukum yang berlaku
di masing-masing daerah tersebut. Misalnya di daerah Bali sesuai dengan sistem
kekeluargaan yang dianut bersifat patrilineal, maka harta bersama dibagi dengan
perbandingan 2:1 dalam hal ini juga Yurisprudensi MA yang menetapkan bahwa
terhadap Harta bersama pembagiannya 1:1 di dalam hukum Hindu telah
disebutkan dengan perbandingannya.
Dengan memperhatikan kajian di atas maka hanya Manik Sukayasa yang
mengkaji mengenai perceraian ngambang studi kasus di Teja Kula sedangkan
yang lainnya hanya mengkaji tentang perceraian saja. Sehubungan dengan itu
peneliti mengkaji tentang Pemeliharaan Anak Dalam Kasus Perceraian Menurut
Hukum Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.
2.2 Landasan Konsep
2.2.1 Pemeliharaan Anak
Sebelum membahas tentang pemeliharaan anak, disinggung sekilas
tentang perceraian. Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. dalam bukunya Hukum
Perkawinan Indonesia menurut : Perundangan, hukum Adat, hukum Agama
(2003: 188) ditegaskan bahwa :
Jika kita melihat kembali KUH Perdata (BW) maka di situ dikatakan
bahwa Perkawinan itu bubar karena keputusan perceraian dan didaftarkan
perceraian itu dalam register catatan sipil. Pendaftaran perceraian itu harus
12
dilakukan di tempat di mana perkawinan itu didaftarkan dan atas permintaan
kedua pihak atau salah satu dari mereka. Jika perkawinan dilakukan di luar
Indonesia maka pendaftaran perceraian harus dilakukan di dalam daftar Catatan
Sipil di Jakarta. Pendaftaran itu harus dilakukan dalam waktu 6 (enam) bulan
terhitung sejak keputusan perceraian memperoleh kekuatan pasti. Apabila
pendaftaran itu tidak dilakukan dalam waktu 6 bulan tersebut maka hilanglah
kekuatan keputusan perceraian itu dan perceraian tidak dapat digugat lagi atas
dasar dan alasan yang sama (pasal 221).
Pihak suami atau istri yang menang karena gugatannya dikabulkan
diperbolehkan menikmati segala keuntungan dari apa yang telah dijanjikan dalam
perkawinan itu oleh pihak yang lain, termasuk keuntungan yang dijanjikan kedua
pihak secara timbal balik (pasal 222). Pihak suami atau istri yang dikalahkan
karena perceraian itu kehilangan semua keuntungan dari apa yang telah dijanjikan
oleh pihak yang lain dalam perkawinan itu (pasal 223).
Dengan mulai berlakunya perceraian itu tidaklah langsung pihak yang
menang dapat menikmati keuntungan itu kecuali pihak yang lain telah wafat
(pasal 224). Jika suami atau istri yang menang, tidak mempunyai penghasilan
yang cukup untuk biaya hidupnya, maka Pengadilan negara dapat menentukan
sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain (pasal 225).
Kewajiban memberi tunjangan itu berakhir dengan meninggalnya suami atau istri
(pasal 227). Setelah keputusan perceraian berkekuatan pasti. Pengadilan
menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua orang tuanya yang harus
melakukan perwalian atas anak-anak itu (pasal 229).
13
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila putus perkawinan
karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri dan
harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian,
maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan
keputusannya. Jadi bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut. Akibat hukum terhadap bekas suami Pengadilan dapat
mewajibkan kepadanya untuk memberikan biaya penghidupan atau juga
menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas istri (pasal 41 abc).
Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain (pasal 37). Akibat
hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencarian ini Undang-undang
rupanya menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan
hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat
mempertimbangan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
2.2.2 Perceraian
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu berasal dari kata
cerai yang artinya pisah, putus hubungan sebagai suami istri (Poerdarminta, 1976:
350) sedangkan perceraian perpisahan, perihal bercerai antara suami istri,
14
perpecahan. Bahwa perceraian itu didahului oleh adanya perkawinan, karena itu
bila tidak ada perkawinan tentu tidaklah ada perceraian. Perkawinan merupakan
suatu awal dari kehidupan bersama dengan suami istri sedangkan perceraian
merupakan akhir dari hidup sebagai suami istri. Dengan demikian antara
perkawinan dengan perceraian merupakan hal yang berhubungan dengan kuasa
Tuhan. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum sehingga akibatnya diatur
oleh hukum dan norma-norma yang berlaku atau sesuai dengan desa, kala, patra
(Sudharta, 1993: 34).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip mempersulit
adanya perceraian, yang harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam Undang-Undang perkawinan serta agama yang menguasai perkawinan itu.
Hal yang penting di lihat bahwa salah satu unsur perkawinan itu adalah kekal
abadi dan sifat ini diusahakan harus diperhatikan oleh Negara, agama maupun
masyarakat. Hukum memuat syarat-syarat dan usaha mendamaikan pihak-pihak
serta adanya keharusan tata cara perceraian, karena masyarakat dan norma-norma
agama menganggap perceraian merupakan hal yang tabu, ini dapat dilihat dari
hukum adat. “Perceraian sebagai suatu perbuatan yang sedapat-dapatnya wajib
dihindari (Suraja, 1982: 1432) karena suami istri ini tidak sebapak seibu serta
tidak sekeluarga, tidak sekampung, tidak sepupu tidaklah mustahil apabila di
antara suami istri ini terdapat perbedaan-perbedaan mengenai sifat, watak,
pembawaan, pendidikan dan pandangan hidup (Njamil, 1982: 29) Dalam Buku
Pokok-pokok hukum perdata (BW) disebutkan pengertian perceraian
15
“penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak
dalam perkawinan itu” (Subekti, 1985: 42).
Dengan adanya perceraian ini maka perkawinan putus dan diantara
pasangan suami istri tidak lagi hubungan sebagai suami istri, atau dengan kata lain
bebas dari kewajiban sebagai suami istri. Perceraian merupakan lambang ketidak
berhasilan manusia dan mewujudkan cita-citanya dalam membina rumah tangga.
Dari beberapa pendapat di atas, tentang konsep perceraian maka dapat
disimpulkan bahwa perceraian adalah pembubaran perkawinan, ketika para pihak
masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan putusan
pengadilan.
2.2.3 Hukum Hindu
Dalam ilmu hukum dibedakan antara status Law dengan Common Law
atau Natural Law. Status Law adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh
penguasa. Sedangkan Common Law atau Natural Law adalah hukum alam yang
ada secara ilmiah (Surpha, 1986: 15). Dengan demikian hukum itu meliputi
beberapa unsur yaitu mengatur tingkat laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Peraturan itu diadakan untuk tercapainya (ketertiban, ketentraman, kedamaian dan
keadilan), peraturan itu bersifat memaksa. Sanksi terhadap pelanggaraan peraturan
tersebut tegas dan nyata (Mandra, dkk, 1987/1988: 12).
Konsep Hukum Hindu dapat dibedakan menjadi dua, Rta dan Dharma.
Hukum Rta (baca Rita) istilah ilmu hukum adalah : Natural Law/Rta adalah
bentuk hukum Tuhan yang sanksi hukumnya tidak dapat ditentukan oleh manusia,
16
tetapi dapat berupa sanksi hukum penderitaan dan kebahagiaan yang dialami oleh
manusia dan makhluk hidup lainnya secara tiba-tiba, baik di dunia maupun di
akhirat, serta diyakini sebagai hukum nasib yang dapat disebut sebagai hukum
Suniawi (Ekasana, 2004: 55).
Dharma (Statuta Law) adalah hukum yang diberlakukan untuk mengatur
ketentraman hidup manusia pada umumnya secara khusus bagi umat Hindu
meyakini ajaran Hindu. Dharma berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari urat
kata “dhr” yang dapat berarti menjunjung, memangku, mengatur, memelihara, dan
menuntun. Dharma berarti hukum (Team Penyusun dan Penelitian Naskah Buku
Ditjen Bimas Hindu dan Budha Dep. Agama, Tanpa Tahun: 9). Sehubungan
dengan itu, maka disebutkan bahwa:
Dharma merupakan hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan
manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan satya dan ahimsa di dunia ini,
sehingga kehidupan di dunia menjadi Moksartam Jagathita yaitu aman, tentram,
damai dan sejahtera (Ekasana, 2004: 54). Dalam hubungan dengan hal ini,
dharma adalah:
...diyakini sebagai suatu hukum repleksi dari sifat-sifat Tuhan yang diperhatikan dalam bentuk dan wujud yang dapat dilihat dan dialami oleh manusia. Bentuk hukum Tuhan ini dijabarkan oleh manusia di dalam penampilannya berupa amalan yang bersifat manusiawi yang kemudian inilah yang disebut dengan istilah dharma itu. Hukum dharma yang berupa amalan manusiawi ini adalah bersifat relatif, karena dikaitkan dengan pengalaman manusia dan karenanya hukum dharma itu bersifat membimbing tingkah laku di dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia (Team Penyusun, tanpa tahun, 6).
Dharma adalah hukum Hindu duniawi baik yang ditetapkan maupun tidak
(Surpha, 2005: 11). Dharma (hukum Hindu) yaitu hukum yang bersumber dari
17
karma phala atau hasil perbuatan yang dijadikan ukuran atau nilai-nilai untuk
berbuat yang pantas atau seyogyanya. Nilai-nilai atau ukuran dimaksud dijadikan
norma-norma atau patokan-patokan yang selanjutnya diterapkan untuk mengatur
hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Rta dan Dharma ini menjadi landasan
dari hukum Karma Phala. Baik hukum duniawi dan suniawi ini dapat juga disebut
Karma, Hukum Karma yang dapat digolongkan sebagai hukum Suniawi ini antara
lain Sancita Karma, dan Prarabda Karma. Hukum Karma yang dapat
digolongkan sebagai hukum duniawi yaitu Kryamana Karma.
Menurut Kautilya Dharma (hukum Hindu) dapat dikelompokkan menjadi
dua bidang yaitu: Kantaka Sodhana dan Dharmasthiya.
Kantaka Sodhana dapat dikatagorikan sebagai penal law, di Indonesia dapat disebut dengan hukum pidana Hindu, sedangkan Dharmasthiya termasuk dalam katagori cipil law, di Indonesia dapat disebut dengan perdata Hindu. Kantaka Sodhana pada umumnya mengatur hal-hal yang menyangkut tentang dusta, corah, dan paradara serta sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepadanya. Dusta adalah kejahatan terhadap nyawa orang lain. Corah adalah kejahatan terhadap harta benda orang lain. Paradara adalah kejahatan terhadap kesopanan atau kesusilaan. Dharmasthiya pada umumnya mengatur tentang hukum keluarga dharma bandhu, hukum perkawinan dharma vivaha dan hukum waris dharma vibhaga, serta perbuatan-perbuatan yang berisikan suatu perjanjian dan pengingkaran terhadap suatu perjanjian dan pengingkaran terhadap suatu perjanjian yang telah disepakati serta ganti rugi (Ekasana, 2004: 56).
Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa, Dharma adalah
hukum Hindu yang berisikan suatu aturan hukum perdata dan hukum pidana yang
berisikan suatu aturan hukum perdata dan hukum pidana yang berisikan
penjelasan maupun sanksi.
18
2.2.4 Masyarakat Adat Bali
Sebelum masih kepada masyarakat adat Bali hendaknya mengetahui
terlebih dahulu masyarakatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
masyarakat ialah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh
suatu budaya/kebudayaan yang mereka anggap sama (Harahap, 1991: 345).
Menurut Hukum Adat masyarakat ialah keseluruhan dari sekalian anggota-
anggota seseorang (Lestawi, 1996: 10). Istilah Adat berasal dari bahasa Arab yang
berarti “kebiasaan”. Dalam bahasa Indonesia dan berbagai suku atau golongan,
dipakai istilah-istilah yang bermacam-macam yaitu di daerah Gayo odot, di daerah
Jawa Tengah dan Jawa Timur, “Adat” atau “Ngadat”. Di daerah Minangkabau,
“Lembaga” atau adat lembaga, di daerah Batak Karo dipakai istilah “basa” atau
“bicara” yang merupakan kebiasaan dan kesusilaan (Bushar, 1978: 11).
Di Bali kata adat dikenal sejak zaman pemerintahan Belanda sekitar
permulaan abad ke 20 yang artinya sebagai kebiasaan-kebiasaan yang telah
melembaga di masyarakat secara turun-temurun. Demikian pula istilah desa adat
baru dipopulerkan setelah zaman pemerintahan Belanda di Bali dan untuk
membedakannya dengan desa “Dinas” yang dibentuk oleh Belanda. Sebelum
masuknya penjajah Belanda di Bali telah dikenal beberapa istilah yang
mempunyai hubungan pengertian dengan suatu Desa Adat yaitu Sima, Dresta,
Lekita, Paswara “awig-awig”, Krama atau Kraman dan Thani (Purwita, 1984:
5).
Kembali pada pengertian adat Soerojo Wignyodipoero (1998 : 13) :
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
19
dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama.Justru oleh karena ketidaksesuaian inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.
Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa adat adalah
merupakan aturan (perbuatan) dan sebagainya yang lazim dilakukan sejak dahulu
kala. Misalnya adat menurut orang Bali yang biasa juga disebut kebiasaan, cara
dan kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan (Poerwadarminta, 1976: 15-16).
Dari beberapa pengertian adat diatas maka disini dapat disimpulkan
beberapa arti/pengertian dari pada adat tersebut yaitu suatu perbuatan yang
dilakukan lebih dari satu kali sehingga menjadi suatu kebiasaan dan perbuatan
tersebut mempunyai nilai positif bagi orang banyak sehingga menjadi aturan
tingkah laku.
Dari konsep masyarakat dan adat di atas, maka masyarakat adat adalah
kebiasaan-kebiasaan (tradisi) sejumlah manusia yang terikat oleh suatu
kebudayaan yang sama. dapat pula dikatakan bahwa masyarakat adat merupakan
masyarakat yang tunduk kepada tradisi-tradisi setempat. Sebagai contoh
dijelaskan oleh Suastika Ekasana (2004: 35), bahwa :
Pada masyarakat Bali dan Lombok, hukum adat yang berlaku bukanlah hukum adat secara murni atau hukum adat yang meninggalkan norma-norma hukum agamanya, akan tetapi hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan yang dijiwai oleh norma hukum agama Hindu, sehingga orang-orang Bali yang tidak beragama Hindu tidak ditundukkan oleh kuasa hukum adatnya.
Kebenaran ini dinyatakan oleh Mr. B. Ter Haar Bzn dalam bukunya yang
berjudul Beginselen en Stelsel van Het adat Recht yang diterjemahkan sebagai
20
“Asas-asas dan Susunan Hukum Adat” oleh K. Ng Soebakti Poesponoto (2001:
19) sebagai berikut.
...Tidak mungkim seorang Indonesia tidak beragama Hindu menjadi anggota suatu dusun Bali, dan bila ada kejadian kepindahan dari orang Bali beragama Hindu ke agama Kristen, maka yang menimbulkan pertengkaran ialah bahwa orang-orang Bali Kristen tadi berkehendak tetap menjadi anggota, tetapi tetap ditolaknya oleh masyarakatnya.
Pendapat itu didukung oleh pernyataan Gede Puja (1977: 3) berikut ini:
Adapun orang-orang Bali yang bukan beragama Hindu, tidak ditundukkan dalam kuasa hukum agama Hindu atau hukum adat itu. Dengan demikian jelaslah yang dimaksud oleh Hukum Adat semesta dalam arti yang murni (Puja, 1977: 3).
Dengan demikian masyarakat Adat Bali adalah masyarakat yang tunduk
pada tradisi-tradisi keagamaan yang diterapkan oleh norma Hukum Hindu, yang
menyatu dengan tradisi keagamaan dan menjiwai tradisi itu.
2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ilmiah landasan teori sangatlah dibutuhkan yaitu untuk
mempelajari dan memahami fakta-fakta tertulis yang tersedia sebagai modal dasar
dalam meneliti, teori adalah seperangkat proposisi yang terintegrasi secara
sintaksis (mengikuti aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara mendasar
yang diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan
fenomena yang diamati (Moleong, 2000: 34-45).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang
dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian) dan
asas-asas hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan
serta pendapat cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan suatu tindakan.
21
Menurut Fuad Hasan dan Koentjaraningrat teori adalah prinsip-prinsip
dasar yang terwujud dalam bentuk rumus atau aturan yang berlaku umum,
menjelaskan hakekat suatu gejala, hakekat suatu hubungan antara dua gejala atau
lebih, relevan dengan kenyataan yang ada dan operasional, alat untuk penjelasan,
pemahaman, dapat diverifikasi berguna dalam meramalkan suatu kejadian
(Soelaeman, 1995: 14).
Menurut Dr. Siswojo, teoru dapat diartikan sebagai seperangkat konsep dan
definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik
mengenai fenomena dengan menerapkan hubungan antara variable dengan tujuan
untuk menerangkan dan meramalkan fenomena dan teori, juga menjalankan hasil
pengamatan ke dalam suatu pengertian yang utuh yang memungkinkan ilmuwan
untuk membuat pernyataan umum tentang variable dan hubungannya.
Menurut Fuad Hasan dan Koentjaraningrat mengatakan ada beberapa fungsi
teori yaitu:
1. Menyimpulkan generalisasi dan fakta hasil pengamatan.
2. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta
yang diperoleh.
3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi.
4. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang gejala-gejala
yang telah atau sedang terjadi.
Dari pengertian teori di atas dapat ditarik suatu pengertian yaitu teori adalah
seperangkat landasan atau konsep, devenisisi dan proposisi yang berhubungan
satu sama lainnya yang menunjukkan fenomena-fenomena yang sistematis dengan
22
menetapkan hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan tujuan
menjelaskan dan meramalkan fenomena yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini landasan teori merupakan arah dan pijakan bagi
peneliti dalam menelaah suatu masalah mengenai Pemeliharaan Anak Dalam
Kasus Perceraian Menurut Hukum Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri
Denpasar. Untuk membantu penelitian ini akan menggunakan teori konflik.
2.3.1 Teori Konflik
Teori konflik ini diilhami oleh pemikiran Karlmarx, yang menyatakan
bahwa agama pada dasarnya suatu yang dapat meracuni kehidupan masyarakat
karena agama menjanjikan suatu kebahagiaan semu. Padahal kebahagiaan sejati
bersumber dari realitas yang dapat dipahami dari beberapa banyak seseorang
dapat sumber ekonomi.
Menurut Marx Weber dalam Sanderson (1993: 11-13), berpendapat bahwa
bentuk-bentuk konflik yang berstruktur antara berbagai individu dan kelompok
muncul melalui kelas-kelas kelompok masyarakat dan individu. Di antara kelas
dimaksud ada yang merasa dominan untuk mengatur terhadap kelas lainnya.
Adanya kelas-kelas sosial seperti ini menimbulkan krosial dalam menata pola-
pola sosial satu masyarakat khususnya hal-hal yang bersifat sistematis.
Dahrendrof dalam (Suprayoga, 2001: 99), mengemukakan empat inti
pemikiran tentang teori konflik:
1. Setiap masyarakat segala hal tunduk pada proses perubahan-perubahan
sosial terjadi dimana saja.
23
2. Setiap masyarakat dan segala hal mengakibatkan ketidak setaraan dan
konflik, konflik sosial dimana saja.
3. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap
pemecahan dan perubahan.
4. Setiap masyarakat berdasarkan diatas penggunaan kekerasan oleh sebagian
anggotanya terhadap anggota lain.
Dengan demikian teori konflik menjelaskan kehidupan sosial dengan
melihat struktur kekuasaan dan kepentingan kelompok sebagai masalah pokok.
Prinsip dasar yang menerangkan kehidupan sosial atau dominasi pihak kuat
terhadap pihak lemah, penekanan hidup rakyat, manipulasi pendapat umum,
intimidasi dan penindasan, merupakan mekanisme yang diharap membawa
“kestabilan”. Tetapi sebenarnya masyarakat pada dasarnya bersifat gerah, karena
menjadi persaingan penabrakan kepentingan yang berbeda-beda.
Teori konflik ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui siapa
yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian, kedudukan anak dalam
kasus perceraian dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara
perceraian tersebut.
2.3.2 Teori Institutionalization
Setiap norma dapat dikatakan memenuhi kebutuhan pokok manusia,
apabila norma yang dimaksud sudah mengalami proses pelembagaan atau
institutionalization. Institutionalization adalah “suatu proses yang harus dialami
suatu norma sosial tertentu untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga sosial”
24
(Soerjono, 1980: 112). Bagaimana upaya yang harus dilakukan agar norma-norma
hukum Hindu dapat memenuhi kebutuhan pokok manusia? Dalam hal ini, sudah
tentu norma hukum dimaksud diupayakan agar dapat mengalami suatu proses
pelembagaan atau institutionalization. Proses pelembagaan atau
institutionalization adalah suatu proses diakuinya, dikenalnya, dihargai dan
dihayati sampai dengan ditaati atau diamalkannya suatu norma-norma dalam
kehidupan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat (Soerjono, 1980: 113).
Dengan demikian dalam rangka mendeskripsikan karya tulis ini, maka
digunakan teori “institutionalization” (Soerjono, 1980: 112). Teori ini mengajak
agar masyarakat dapat berupaya menanamkan norma-norma hukum Hindu,
sehingga norma dimaksud dapat tumbuh dan melembaga di hati nurani
masyarakatnya.
Supaya proses pelembagaan norma-norma hukum Hindu dapat
berlangsung dengan efektif dan efisien, maka diperlukan Peradilan Agama Hindu
di samping Parisada Hindu Dharma dan Lembaga Adat Hindu yang masih ada di
Indonesia (Seperti Lembaga Adat di Bali dan Lombok) untuk bersama-sama
melembagakan norma-norma hukum Hindu dimaksud, sesuai dengan tugas dan
fungsi dari masing-masing lembaga itu.
Dalam tahap pengenalan, masyarakat diharapkan dapat mengenal norma-
norma hukum Hindu. Tahap pengenalan ini dapat dilakukan melalui beberapa
indra manusia, misalnya: dengan melihat, mendengar norma-norma yang
dimaksud. Seseorang yang baru sampai pada tahap mengenal norma-norma
25
hukum Hindu, belum tentu orang tersebut mengakui kebenaran dari norma
dimaksud.
Yang paling efektif dalam pengenalan norma hukum Hindu (Veda) dapat
dilakukan melalui pengajaran dan penyuluhan norma hukum Hindu, sebagai
disebutkan di dalam pasal 26 Navamo’dhyayah Veda Smrti, sebagai berikut.
“Wedhabhvaso’nwaham caktya mahayajnakriya ksama, nacayantyacu papani mahapataka janyapi”.
“Dengan mempelajari Weda, melakukan Mahayadnya menurut kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua penderitaan cepat akan menghancurkan semua kesalahan-kesalahan walaupun sampai pada dosa besar” (Pudja, 1995: 710).
Dalam upaya mengenal norma-norma, aturan-aturan, dan kaedah-kaedah
hukum Hindu, maka kitab suci Hindu harus dipelajari. Cara mempelajari
diuraikan oleh G. Pudja dalam pendahuluan Rgweda Mandala I, sebagai berikut.
Pada hakekatnya pelajaran Weda dimulai pada umur masih muda, misalnya pada .... umur empat tahun. Untuk memulai mempelejari Weda disyaratkan untuk melakukan pewintenan... yang pertama harus diajarkan adalah mantra gayatri dan Trisandya, orang yang sudah mendapatkan mantra-mantra, berhak mempelajari dan mengucapkan mantra itu dan selanjutnya mempelajari mantra-mantra lainnya.... pada waktu mengucapkan mantra-mantra agar dimulai dengan mengatakan OM dan diakhiri dengan mantra OM pula ... memulai dengan kata OM berarti mulailah menyebutkan Tuhan dan kemudian disudahi pula dengan nama Tuhan... dalam penulisan-penulisan mantra-mantra diajarkan agar memulai dengan OM Awighnam astu dan diakhiri dengan Om Shanti shanti shanti Om... untuk memulai membaca Weda pada pagi hari dan pada waktu senja (sadhyakala)... pembaca Weda atau mantra supaya diakhiri bila terjadi bencana alam, seperti gempa, angin ribut, petir... Pantangan ini harus pula diperhatikan bagi seseorang yang belajar Weda. Mempelajari Weda secara verbal supaya dibimbing oleh seorang guru yang mengerti dan tahu mengucapkan mantra itu dengan baik dan tepat” (Pudja, 1980: 28).
26
Selain melalui proses pembelajaran, maka upaya pengenalan norma-norma
hukum Hindu dapat dilakukan melalui pensosialisasian praktek proses peradilan
di Pengadilan Agama Hindu.
Dalam tahap pengakuan, seseorang yang sudah mengenal norma-norma
hukum Hindu, dapat mengakui kebenaran adanya norma hukum dimaksud, akan
tetapi orang tersebut belum tentu menghayati atau meresapi norma hukum Hindu.
Orang yang baru mencapai tahap ini, misalnya seorang mahasiswa yang
memperoleh materi ajar perbandingan hukum agama, maka materi ajar itu baru
diakui sebatas ilmu.
Tahap Penghayatan Norma Hukum Hindu pada umumnya tergantung dari
pada masing-masing manusianya. Seseorang setelah mengakui dan mengenal
keberadaan norma-norma hukum Hindu (Weda), maka perlu ditingkatkan
penghayatannya, sebab seseorang yang sudah mencapai tahap pengenalan, akan
dengan mudah menghayati norma hukum Hindu. Penghayatan terhadap norma-
norma dimaksud akan punah (hilang), apabila norma-norma dimaksud tidak
dipelihara dan disimpan di hati nuraninya. Norma-norma hukum Hindu akan tetap
tersimpan di hati nurani masyarakatnya, apabila norma-norma agama Hindu
(Weda secara berulang-ulang dan selalu dipelajari selama hidupnya). Melupakan
Weda menentangnya merupakan perbuatan dosa, hal ini tertuang dalam pasal 57
Ekadaso’dhayayah Veda Smrti, sebagai berikut.
Brahmojjnata wedaninda kautasaksyam suhridwadhahgarhitanadyayorjagdhihsurapanasassamani sat”
27
“Melupakan Weda, menghina Weda, memberikan kesaksian palsu, membunuh teman, memakan makanan yang dilarang atau menelan makanan yang tidak pantas dimakan adalah enam macam kesalahan yang sama dosanya dengan memakan sura” (Pudja, 1995: 663)
Dengan penghayatan terhadap norma hukum Hindu tentunya akan dapat
dihayatinya norma-norma hukum yang tersirat dan yang tersurat di Veda, maka
dapat meningkatkan kesadaran seseorang untuk bersikap fanatik dalam rangka
menegakkan dan mengaplikasikan norma-norma hukum Hindu dalam praktek
hidup dan kehidupan baik di masyarakat maupun dalam proses perkara di
pengadilan.
Tahap Pengamalan hukum Hindu. Apabila norma-norma hukum Hindu
sudag dihayati oleh seseorang, maka norma dimaksud seyogyanya diamalkan.
Pengamalan norma-norma hukum Hindu dapat dilakukan dengan
mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Sri
Candrasekharendra Saraswati mengatakan: “Vedonityam adhityam, taduditam
karma svanuahtiyatam”. Maksudnya: “Kitab-kitab suci Weda harus dipelajari dan
terus dihidupi dalam ucapan setiap hari, tugas kewajiban yang dirumuskan di
dalamnya harus dilaksanakan sepatutnya” (Pendit, 1967: 33). Pengamalan norma-
norma hukum Hindu dapat diwujudkan dalam bentuk prilaku atau sikap tidak
yang sesuai dengan anjuran Kitab Weda, sebagaimana ditetapkan dalam Sloka 24
Bab XVI Bhagavadgita, berikut in:
Tasmac chastram paranaman te karyakarya wyawasthitauJnatwa sastra widhanoktam karma kartum iha’rhasi
Karena itu biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk menentukan kebenaran, untuk menentukan baik buruk perbuatan supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakanlah disini (Pudja, 1982: 358).
28
Pengamalan norma-norma hukum Hindu dapat dilakukan dengan cara
mematuhi atau menaati norma-norma dimaksud, menegakkannya serta
menerapkan dalam bentuk perilaku yang bijak dan bajik.
Berdasarkan teori ini, proses pelembagaan atau institutionalization dapat
dilakukan melalui pengenalan, pengakuan, menghargai dan pentaatan terhadap
norma-norma. Dikatakan bahwa norma-norma dinyatakan telah mengalami
institutionalization, apabila “norma-norma dimaksud sudah dikenal, diakui,
dihargai serta ditaati dalam kehidupan sehari-hari bagian terbesar warga
masyarakat” (Soerjono, 1980: 113).
Penggunaan teori di atas dalam penelitian ini, dengan tujuan agar norma-
norma hukum Hindu dapat dikenal, dihargai serta ditegakkan atau ditaati, sebab
bagaimana menegakkan atau menaati norma hukum Hindu, sedangkan norma
dimaksud tidak atau belum dikenal, tidak ada belum diakui dan tidak dihargai oleh
masyarakatnya. Apabila proses tersebut sudah melembaga secara utuh di hati
sanubari masyarakatnya. Niscaya norma-norma dimaksud dapat ditegakkan.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan mengandung unsur kebenaran maka perlu adanya metode
penelitian. Cara mencari kebenaran yang ilmiah adalah melalui metode
penyelidikan. Metode adalah suatu cara kerja yang praktis agar dalam kegiatan
penyimpulan data yang dilakukan dengan seksama, sistematis dan objektif guna
memperoleh hasil dan tujuan akhir secara optimal.
Metode penelitian merupakan suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Dengan demikian
metode penelitian adalah alat untuk mengambil kesimpulan, menjelaskan dan
menganalisa masalah yang sekaligus merupakan alat untuk memecahkan masalah
tersebut atau dengan kata lain merupakan formalisasi atau perwujudan dari
metode berpikir. Menurut Suryabrata (2003: 10) menguraikan, bahwa metode
berarti suatu cara untuk menghasilkan fakta-fakta dan teori-teori yang tersusun
baik untuk mencapai sesuatu.
Dalam penelitian ini, beberapa metode yang dipergunakan dalam
menunjang proses pengumpulan data atau jalannya pengumpulan data, mulai dari
persiapan, pelaksanaan, sampai pada proses analisis data, dan penyajian data
sehingga menghasilkan sebuah karya tulis yang diakui kebenarannya. Metode
yang digunakan tentunya relevan, serasi, praktis dan sesuai dengan kemampuan
atau kesanggupan peneliti.
30
Persiapan Penelitian
Kegiatan penelitian atau orientasi awal meliputi penciptaan hubungan
yang harmonis antara pribadi dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dengan terlebih dahulu
menyerahkan surat pengantar penelitian dari Rektor Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar (IHDN Denpasar) yang ditunjukkan kepada Kepala Pengadilan Negeri
Denpasar guna dapat izin lebih lanjut berkenaan dengan penelitian yang
dilakukan.
Jenis Penelitian
Penelitian dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, dalam bagian ini jenis
penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian sosial, yaitu penelitian
yang secara khusus meneliti sosial seperti: pendidikan ekonomi dan hukum (Iqbal,
2002: 11). Di dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan penelitian di bidang
hukum dan dalam penyajiannya menggunakan penelitian kualitatif.
Melakukan penelitian kualitatif dalam dunia keilmuan merupakan suatu
aktifitas pengamatan (observasi) terhadap aktivitas mewawancarai sejumlah orang
sehingga terungkap ide atau keinginan di balik pernyataan dan aktifitas mereka.
Selain itu penelitian bisa dalam bentuk membaca informasi dari dokumentasi.
“penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif melakukan aktifitasnya
untuk memperoleh pengetahuan, sejumlah informasi, atau cerita rinci subyek dan
latar sosial penelitian. Pengetahuan atau informasi diperoleh dari hasil wawancara
31
mendalam dan pengamatan tersebut akan berbentuk cerita mendetail, termasuk
ungkapan-ungkapan asli subjek penelitian” (Hamidi, 2004: 3).
Jenis dan Sumber Data
Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa
sesuatu yang diketahui atau anggapan. Sebelum digunakan dalam proses analisis,
data itu perlu dikelompokkan terlebih dahulu. Dalam kegiatan penelitian secara
umum dikenal adanya dua jenis data yaitu data primer, yaitu data yang didapat
secara langsung dari objek penelitian dan data sekunder yaitu data yang di dapat
dari objek secara tidak langsung.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di
lapangan. Data primer juga disebut data asli (Iqbal, 2002: 167). Dalam penelitian
ini data primer diperoleh langsung dari para Hakim Pengadilan Negeri Denpasar,
Parisadha Bali dan yang mengetahui dan memahami tentang pemeliharaan anak.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data ini
biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian
terdahulu (Iqbal, 2002: 167). Dalam penelitian karya tulis ini yang dimaksud
dengan data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-buku penunjang
yang isinya relevan dengan topik permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
32
Penentuan Subjek dan Objek Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian yang bersifat akademis, maka sudah
tentu harus ditentukan obyek penelitiannya. Untuk mencapai suatu penelitian
dimaksud di samping menentukan obyek penelitian juga harus menentukan
subyek penelitian sebagai sumber pendukungnya.
Objek Penelitian
Objek penelitian setiap gejala atau peristiwa yang akan diteliti, apakah itu
gejala alam (natural fenomena) maupun gejala kehidupan (efek fenomena). Dalam
penulisan skripsi ini yang merupakan objek penelitian kami pemeliharaan anak
dalam kasus perceraian yang menyangkut aspek: pemeliharaan anak, kedudukan
anak dan dasar pertimbangan hakim.
Subjek Penelitian
Yang dimaksud dengan subjek penelitiana adalah individu-individu yang
terlibat langsung dalam peristiwa perceraian tersebut. Agar memperoleh data yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (Muhadjir, 1990: 34). Adapun
subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri
Denpasar, Parisadha, dan anggota keluarga pelaku dan juga Umat Hindu yang ada
di sekitar Desa Kekeran Mengwi Badung.
Metode Pendekatan Subjek Penelitian
Pendekatan terhadap subjek penelitian merupakan pendukung dari gejala
yang akan diteliti. Metode pendekatan subjek penelitian diartikan sebagai metode
33
tentang bagaimana cara meneliti, mendekati atau mendapatkan data yang akan
mengenai bidang-bidang yang diteliti.
Dalam penulisan karya tulis ini penyusun menggunakan metode
pendekatan empiris karena pemeliharaan anak dalam kasus perceraian merupakan
gejala sosial yang bersifat empiris, yang pernah terjadi di Desa Kekeran,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Metode Pengumpulan Data
Dalam upaya untuk memperoleh data atau ilmu pengetahuan yang benar
(prama) dalam penelitian ini, maka ada beberapa metode atau cara (Pramāna)
yang dapat digunakan dan dipandang akurat dengan judul penelitian ini,
diantaranya melalui library research atau studi kepustakaan, dan melalui
wawancara atau interview.
Menurut Gde Pudja (1977: 13), “Metode dalam bahasa Sansekerta disebut
Pramāna, sedangkan kebenaran atau realita yang dihasilkan oleh metode
(pramāna) itu disebut kebenaran ilmu atau Prama. Dalam rangka penulisan karya
tulis ini untuk memperoleh kebenaran ilmu, maka ada beberapa metode
pendekatan digunakan, seperti pendekatan deskriptif. Untuk memperoleh suatu
prama atau pengetahuan yang benar dalam karya tulis ini, maka menurut
samkhya, pramāna yang digunakan dalam pengumpulan dan pengolahan data,
adalah: “....Anumana Pramāna dan Sabda pramāna” (Ngurah, 1991: 120).
Sedangkan menurut Maharesi Prabhakara salah seorang tokoh dari aliran filsafat
Mimamsa mengemukakan ada lima pramana untuk memperoleh prama antara
34
lain: 1) Pratyaksa... 2) Anumana... 3) Upamana... 4) Sabda... 5) Arthapatti...”
(Ngurah, 1999: 126). Sedangkan menurut filsafat Nyaya di dalam menemukan
ilmu pengetahuan, menggunakan empat pramana (metode) yang disebut dengan
“Catur Pramana” (Ngurah, 1999: 128): yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana dan
Sabda.
Dalam rangka pengumpulan data pada penelitian ini, peneliti telah
melakukan Agama Pramāna dan Sabda Pramāna (wawancara) tidak berstruktur
terhadap informan-informan, yang dimungkinkan mempunyai latar belakang
agama dan adat Bali.
1. Agama Pramāna atau Metode Kepustakaan
Menurut Gde Pudja, Agama Pramāna adalah cara memperoleh ilmu
pengetahuan dengan cara: “membaca tulisan-tulisan dari para ahli, termasuk pula
membaca kitab-kitab suci Weda. Ini berarti bahwa untuk memperoleh
pengetahuan itu harus diteliti dari banyak buku ...” (Pudja, 1977: 13). Cara ini
disebut juga metode kepustakaan atau library research atau studi dokumen.
Penelitian ini bersifat normatif, yang dapat dikumpulkan dengan alat
pengumpulan data studi dokumen yaitu dengan pencatatan.
2. Sabda Pramāna atau Metode Wawancara
Menurut ajaran Nyaya, menguraikan bahwa Sabda Pramāna, adalah suatu
metode untuk memperoleh pengetahuan dengan cara mendengarkan melalui
penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya. Dengan demikian sabda
pramāna dapat dilakukan melalui wawancara, sehingga memperoleh sabda atau
35
jawaban maupun penjelasan dari orang yang diwawancarai. Sehubungan dengan
itu maka sabda pramāna dapat disebut sebagai metode wawancara. Maharsi
Prabhakara yaitu seorang tokoh filsafat Mimamsa juga mengemukakan bahwa
yang termasuk sumber pengetahuan (pramāna) adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui: “sabda (pembuktian melalui sumber dipercaya)”. Sedangkan
menurut Samkya, sabda pramāna.... adalah pernyataan dari yang kuasa dan
memberikan pengetahuan terhadap objek yang tidak dapat diketahui atas dasar
pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan.
Metode Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian harus diolah sehingga diperoleh
keterangan yang berguna. Selanjutnya data yang diolah tersebut, di analisis dann
disajikan. Dengan demikian dapat digunakan oleh siapa saja terutama dalam
mengambil keputusan dan kesimpulan dari tersebut. Apabila data sudah
dikumpulkan dan diolah kemudian dibuat analisis-analisis, maka dapat ditarik
kesimpulan yang berguna bagi Decision makers (peneliti) sebagai dasar untuk
membuat keputusan (Supranto, 187: 76).
Sedangkan proses analisis data yang berguna untuk penarikan kesimpulan
secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa data yang telah terkumpul,
dikomparasikan dengan konsep atau teori yang ada, kemudian disajikan di dalam
bentuk karya ilmiah atau Skripsi (Ndraha, 1987: 131). Dengan demikian dapat
diketahui, bahwa peneliti mengkaji gejala-gejala umum dari variabel penelitian,
untuk diteliti kemudian ditarik kesimpulan yang disajikan dalam karya ilmiah.
36
Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan metode deskriptif
kualitatif. “deskriptif” artinya suatu metode pengolahan data secara sistematis
(Djarwanto, 1984: 22). Sedangkan kualitatif adalah data yang tidak berupa angka.
Dengan demikian yang dimaksud dengan metode analisis data deskriptif adalah
suatu cara pengolahan data yang bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai
subjek penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari kelompok subjek
yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian untuk pengujian hipotesis
(Syaifudin, 1998: 126).
Metode pengolahan data analisis deskriptif ini, dilakukan dengan cara
menguraikan, menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau obhek
penelitian melalui keterangan-keterangan yang di dapat dari informan sesuai
fakta. Sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Dengan demikian, diperoleh suatu
kesimpulan data yang sah dan valid. Setelah data keseluruhan diolah, maka
kegiatan selanjutnya adalah menganalisis data lebih lanjut dan hasil analisis
tersebut disusun berdasarkan sistematika secara terperinci, sehingga akhirnya
diperoleh kesimpulan yang bersifat umum.
Setelah mencari dan mengumpulkan data, maka langkah selanjutnya
adalah menganalisis data atau mengolah data yang terkumpul itu. Dalam
penulisan karya tulis ini metode pengolahan data atau analisis data yang
digunakan adalah metode deskriptif yang artinya: Metode pengolahan data yang
dilakukan dengan menulis kembali data yang didapat dari lapangan dan data
kepustakaan dan lain-lain, untuk disusun secara sistematis.
37
Dalam penelitian ini untuk menganalisis data digunakan metode deskriptif.
Digunakannya metode deskriptif ini karena tujuan penelitian ini hanya untuk
mendeskripsikan Pemeliharaan Anak Dalam Kasus Perceraian Menurut Hukum
Hindu Study Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar.
38
BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
4.1 Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Adat Bali
4.1.1 Bentuk-Bentuk Perkawinan
Dalam hukum adat Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu :
1. Bentuk biasa, yaitu si laki berkedudukan selaku Purusa. Dalam perkawinan
seperti ini, si laki mengawini wanita dengan menarik wanita itu masuk ke
rumpun keluarga laki-laki. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa si wanita itu
akan tunduk kepada hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki itu.
Di sini si wanita berkedudukan sebagai predana. Masyarakat Bali menganut
sistem ke-Bapa-an (Vaderrechtelijk). Walau tidak boleh dilupakan dan
perkecualian di Desa Tenganan Pegringsingan masyarakat di sana
menunjukkan kecondongan kepada sistem kekeluargaan ke Bapa-ibuan.
Sistem ke-Bapaan di Bali nyata tampak di mana istri memasuki keluarga
suaminya. Demikian pula selanjutnya anak-anak akan terkait kepada keluarga
ayah (suaminya) dan tidak ada hubungan lurus kepada keluarga ibunya.
Kewajiban-kewajiban anak/cucu juga tertumpah kepada keluarga Bapaknya
serta hak-hak dan kewajiban yang ia peroleh juga berasal dari sana. Dengan
keluarga ibunya hubungan sedemikian tidak dijumpai. (Ter – Haar, 1960 : 18).
2. Bentuk Nyeburin, yaitu si wanita berkedudukan selaku purusa. Dalam
perkawinan seperti ini, si wanita mengawini si laki dengan menarik laki-laki
itu ke rumpun keluarganya. Konsekuensi yuridis dan immateriil keluarga
39
wanita. Di sini si wanita menjadi berkedudukan ”sebagai laki-laki,” sedang si
laki akan berkedudukan sebagai wanita. Bagi si wanita, akan berlaku hukum
kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Sedangkan bagi
laki-laki yang nyeburin, kedudukannya dalam pewarisan adalah sebagai
wanita.
4.1.2 Macam Cara Perkawinan
Macam cara kawin di Bali dikenal :
1. Perkawinan Ngerorod atau Merangkat
2. Perkawinan Mepadik
3. Perkawinan Jejangkepan
4. Perkawinan Nyangkring
5. Perkawinan Ngodalin
6. Perkawinan Tetagon
7. Perkawinan Ngunggahin
8. Perkawinan Melegandang
Dari delapan macam cara kawin di atas, yang paling banyak dilakukan
adalah perkawinan Ngerorod dan perkawinan Mepadik. Perkawinan Jejangkepan
agaknya merupakan ”induk” dari perkawinan selebihnya, dalam variasi-variasi
lainnya.
ad.1. Perkawinan Ngerorod
Perkawinan ini dilakukan cara ”lari bersama,” di mana si laki dan wanita
yang akan kawin, pergi bersamaan (biasanya secara sembunyi-sembunyi)
40
meninggalkan rumahnya masing-masing dan bersembunyi pada keluarga lain
(pihak ke III) dan menyatakan diri sedang Ngerorod.
Perkawinan seperti ini, umumnya tidak diketahui oleh orangtua
sebelumnya. Kalaupun mungkin diketahui, orangtua pura-pura tidak tahu, karena
perkawinan Ngerorod persyaratan adatnya lebih ringan dari yang lain. Tata cara
perkawinan Ngerorod ini umumnya melalui tahapan dan syarat sebagai berikut :
(I Gusti Ketut Kaler, tanpa tahun : 15)
- Umur calon pengantin sudah cukup untuk berkawin.
- Perkawinan Ngerorod, benar-benar dilakukan atas kehendak kedua belah
pihak.
- Tempat yang dituju, tempat bersembunyi, mencari ”perlindungan,” dilakukan
di rumah pihak ketiga, minimal berlindung disitu selama 3 hari.
- Secepatnya, sesudah kedua calon pengantin mendapat perlindungan pada
pihak ketiga, diutuslah beberapa orang utusan ke rumah orangtua wanita
(wirang) untuk mempermaklumkan Ngerorod itu. Urusan itu lazim disebut
”pejati”, pemelaku, pengelaku, atau penyedek.
- Orang tua wanita berhak untuk menyelidiki ”Ngerorod” itu, apakah betul-
betul dilakukan secara tulus iklas oleh kedua calon pengantin itu.
- Kalau ternyata ngerorod itu memenuhi syarat, maka setuju atau tidak setuju,
gugurlah hak wiring orang tua wanita. Upacara perkawinan dapat
dilaksanakan.
41
Apabila dalam perkawinan Ngerorod ini, calon pengantin terkejut oleh
keluarga wanita, maka orangtua wanita dapat membawa pulang anak gadisnya,
sehingga Ngerorod itu menjadi batal.
ad.2. Perkawinan Mepadik
Cara perkawinan seperti ini, diawali dengan adanya persepakatan untuk
kawin antara si laki dan wanita. Persepakatan ini kemudian dilanjutkan dengan
terlibatnya pihak keluarga yang berkepentingan (laki-laki) mengambil inisiatif,
melakukan peminangan ke rumah orangtua wanita. Dalam peminangan ini,
dibawa sejumlah perlengkapan (sirih, sajen seperlunya) ke rumah orangtua
wanita, dilanjutkan dengan pembicaraan ”basa-basi” adat.
Jika pinangan diterima, maka pinangan itu diakhiri dengan penyerahan
”basan pupur”, sehingga sahlah, kedua calon pengantin itu ”megegelan”. Apabila
pinangan tidak diterima, sedang laki dan wanita yang akan kawin itu tetap ingin
melanjutkan rencana untuk kawin, maka jalan yang dapat ditempuh adalah
Ngerorod.
ad.3. Perkawinan Jejangkepan
Secara ekstrem, perkawinan ini dapat dilukiskan sebagai usaha kelompok
besar keluara baik laki-laki maupun wanita untuk mengawinkan anaknya, dengan
sedemikian rupa si laki dan si wanita dimasukkan ke dalam satu kamar, sehingga
secara ”terpaksa” si-wanita menyetujui perkawinan itu. (Majelis Pembinaan
Lembaga Adat Bali, tanpa tahun : 4).
42
Cara perkawinan semacam ini, sekarang hampir-hampir tidak lagi, tetapi
secara lebih halus, sering dapat dilihat dalam bentuk lain misalnya, para orang tua
sama-sama saling mendekati, merencanakan perkawinan anaknya, dan dalam hal
ini si orang tua mendesak agar anak-anaknya menyetujui kehendaknya. Apabila si
anak laki memberikan persetujuan, sedang anak wanita tidak demikian, maka bagi
orangtua lebih gampang untuk melakukan usaha agar perkawinan itu terjadi,
dengan jalan desakan seluruh keluarga secara kompak. Wanita umumnya lemah
dan biasanya terjadilah perkawinan yang dasarnya adalah ”jejangkepan”.
ad.4. Perkawinan Nyangkring
Lazimnya dilakukan oleh keluarga bangsawan, yang akan mengawini
seorang gadis (biasanya di bawah umur) dari orang kebanyakan. Perkawinan
seperti ini, juga hampir tidak terjadi lagi sekarang ini.
ad.5. Perkawinan Ngodalin
Perkawinan ini dilakukan dengan cara membawa seorang gadis kecil ke
rumah si laki, untuk dipelihara, dan diharapkan nantinya jika sudah besar dapat
dikawini oleh laki-laki yang dipersiapkan oleh keluarga tersebut. Perkawinan
seperti ini, umumnya sudah atas perencanaan orangtua. Dalam pelaksanaannya,
sekarang ini sudah tidak diketemukan lagi.
43
Ad.6. Perkawinan Tetagon
Adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sudah cukup umur,
tetapi setelah perkawinan, si pengantin masih tetap masing-masing tinggal di
rumahnya sendiri. Perkawinan seperti ini, juga sudah tidak ada lagi di Bali.
Ad.7. Perkawinan Ngunggahin
Dalam perkawinan ini, wanita datang ke rumah laki, minta supaya dia
dikawini. Biasanya hal ini terjadi dalam keadaan yang luar biasa. Si wanita sudah
hamil, dihamili oleh laki-laki yang didatanginya, dan minta pertanggungjawaban,
supaya dia dikawini. Perkawinan semacam ini merupakan ”penghinaan” terhadap
wanita dan keluarganya. Tetapi masih dapat terjadi, dalam keadaan seperti diatas.
ad.8. Perkawinan Melegandang
Pada masa lampau, perkawinan ini sangat populer, dan menguntungkan
bagi laki-laki secara biologis. Yang dapat digolongkan perkawinan dengan cara
melegandang (dalam setiap waktu dan tempat) dengan sebutan yang berlainan
misalnya :
- Amalat : mengambil wanita secara paksa untuk dikawini, di hadapan banyak kaum keluarganya.
- Melegandang : mengambil perempuan secara paksa di jalan besar, dengan tujuan untuk dikawini.
- Amerugul : mengambil perempuan waktu mandi secara paksa untuk dikawini.- Angeteli : mengambil perempuan waktu tidur di rumahnya secara paksa untuk
dikawini.- Amemengin : mengambil perempuan yang sedang berjalan, atau sedang
bermain-main secara paksa untuk dikawani.- Amilurut : mengambil perempuan secara paksa di pagi hari, untuk dikawini.- Amerukunung : mengambil perempuan secara paksa ketika kencing, untuk
dikawini.
44
- Amerekeneng : mengambil perempuan secara paksa ketika berkutu, untuk dikawini.
- Angunnguntul : mengambil perempuan waktu ada di sawah secara paksa, untuk dikawini.
- Ameraga : mengambil perempuan secara paksa waktu ada di ladang untuk kawini.
- Amegati Apus : mengambil perempuan yang sudah bertunangan untuk dikawini.
- Anyerek : mengambil perempuan yang secara paksa ketika perempuan ibu begadang, untuk dikawini.
- Angayub : mengambil perempuan secara paksa untuk dikawini, pada saat perempuan itu menonton.
- Angrerangkat : melarikan orang perempuan larangan.- Atetawan : melarikan perempuan perawan secara paksa, untuk dikawini.- Angiser : mengambil perempuan secara paksa pada waktu berak, untuk
dikawini.- Angiwet : mengambil perempuan secara paksa untuk kemudian dijual. - Ambaudang-gris : melarikan bini orang, sesudah lakinya dibunuh. (Djiwa,
1994 : 12).
Semua jenis perkawinan yang termasuk melegandang di atas, dilarang
sejak dahulu dan diancam pidana. Pesuara 1910, diubah serta diperbaiki tahun
1927, mengancam perkawinan melegandang dengan pidana penjara 3 tahun.
Dalam praktek peradilan Raad Kerta, melegandang dijatuhi pidana cukup tinggi.
Akan tetapi, dalam praktek perkawinan yang negatif ini, sering
dipergunakan oleh laki-laki untuk ”menjebak wanita”, kehormatan wanita
dirusak, sehingga terpaksa mau kawin, dari pada tercemar seumur hidup. Pada
masa sekarang ini praktek perkawinan seperti ini sudah tidak ada lagi.
4.1.3 Syarat-syarat Perkawinan
1. Syarat Umur :
Untuk dapat kawin, maka wanita dan pria itu harus sudah dewasa.
Tidak ada ketentuan yang definitif untuk ukuran sudah dewasa ini. Di
45
dalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal ”menek bajang”,
setelah wanita datang bulan pertama, dan setelah laki-laki berobah
suara (ngembakin). Wanita yang tidak pernah datang bulan, dianggap
tidak sehat, dan secara religius dianggap letuh atau kuming. (Kaler,
tanpa tahun : 8).
2. Syarat Kesehatan
Hukum adat Bali, khususnya dilihat dari sudut agama Hindu, maka
syarat kemampuan senggama dapat dipandang sebagai syarat penting.
Orang-orang yang mengalami gangguan fisik/psykis sebagai berikut
dilarang kawin:
- pria impoten
- gila, sakit ingatan
- wanita kuming (vagina sempit)
- pria basur, buah pelir besar.
Dalam Kitab Kutara Menawa Dharmasastra yang diperlukan secara
mutatis mutandis di dalam kerajaan Majapahit (Undang-Undang
Majapahit) pasal 169 menyebutkan: seorang wanita berhak
membatalkan perkawinan apabila ternyata :
- sakit kuming
- impoten dalam bersetubuh
- banci
- punya penyakit budug perut, paha dan pantat
46
- punya penyakit ayan gila. (Slametmuljana, 1967: 42)
3. Hubungan Kekeluargaan:
- Dihindari perkawinan gamia atau sumbang, misalnya seorang pria
kawin dengan seorang wanita yang berkedudukan selaku nenek
atau bibi setingkat sepupu atau sepupu dua kali.
Dihindari pula perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-
laki bersaudara kandung), perkawinan ”apit-apitan” (tetangga
sederet jarak satu tetangga), dianggap sebagai sebuah pikulan,
keluarga di tengah seumpama pemikul dan yang kawin termasuk
keluarga sebagai barang pikulan, yang bisa jatuh, juga dihindari.
- Dilarang secara tegas perkawinan Gamya Gumana. Menurut
Perkawinan Peswara Residen Bali dan Lombok 1927, perkawinan
Gamya Gumana meliputi: perkawinan antara orang-orang yang
berkeluarga dalam garis keturunan kencang ke atas dan ke bawah,
perkawinan antara tiri atau antara ibu tiri dengan anak tiri.
Perkawinan antara paman (bibi) dengan kemenakan perempuan
(laki), perkawinan antara saudara dan perkawinan antara seorang
laki dengan bibinya derajat sepupu satu.
4. Kebebasan Kehendak
Syarat yang cukup penting adalah, adanya kebebasan kehendak dari
mereka yang akan kawin. Kebebasan kehendak, artinys bahwa
akhirnya kedua belah pihak kemudian menyatakan diri dengan tegas
47
berkehendak untuk kawin. Ketidak-setujuan orangtua dalam hal ini
dapat digugurkan.
4.1.4 Sahnya Perkawinan
VE Korn mengemukakan, di Bali tidak dapat terdapat kepastian, kapan
Belanda, lazim menjatuhkan putusan bahwa perkawinan itu sah setelah dilakukan
upacaea mebyakala. Yurisprudensi Raad Kerta kemudian mendapat dukungan dari
Parisada Hindu Dharma, di mana sahnya perkawinan adalah setelah dilakukan
upacra mebyakala. Pada upacara mebyakala yang lumrah disebut upacara
”pesaksi” bernilai ”puput” (selesai) dilakukan kegiatan religius:
- Dihaturkan sajen ke Surya dan Pemerajan serta sembahyangnya kedua
mempelai ke bawah Jeng Hyang Widhi dan Bhatara (ri) merupakan unsur
Desa Saksi.
- Hadirnya wakil pemuka masyarakat (prajuru desa, klian) selaku unsur
manusia saksi.
- Diayabnya sajen byakala oleh yang bersangkutan selaku penyucian dan unsur
Bhuta saksi.
- Diayabnya sajen sesayut oleh kedua mempelai selaku upaya keagamaan untuk
mengikat pribadi yang bersangkutan guna menjadi tunggal selaku suami-istri
(ardananareswari). (Kaler, tanpa tahun : 17).
Inilah dimaksudkan dengan upacara mebyakala untuk sahnya suatu
perkawinan, sedang upacara dan upakara lainnya dianggap sebagai tambahan saja.
Upacara tambahan, lanjutan itu misalnya upacara Mejauman/ngaba jaja/ketipat
48
bantal yang bernilai magis religius ”pamitan kepada orangtua dan leluhur yang
sudah disucikan (pemerajan)”. Dalam upacara ini, dilakukan serentetan acara-
acara adat, dengan segala sarana dibawa oleh keluarga mempelai laki-laki ke
rumah mempelai perempuan, berupa jajan dengan perlengkapannya.
4.2 Yang Berhak Memelihara Anak Dalam Kasus Perceraian
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38, dikatakan
bahwa: “Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian atau atas keputusan
pengadilan”.
Undang-undang tersebut tidak menggariskan bagaimana akibat putusnya
perkawinan karena kematian, yang ditetapkan adalah bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan diatur
menurut hukumnya masing-masing (pasal 37) dan baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dna mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya (pasal 41).
Bagaimana menurut hukum adat? Pada umumnya tidak ada kesamaan
mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap anak-anak, kekerabatan dan harta
kekayaan perkawinan. Di lingkungan masyarakat adat kekerabatan patrilinial,
seperti Adat Bali yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus
perkawinan karena kematian atau perceraian, maka anak-anak berkedudukan
dalam kekerabatan suami. Andaikata karena satu dan lain hal si-istri tidak tetap
berdiam di tempat kediaman suami yang telah wafat, atau kembali ketempat
49
kerabat asalnya atau ke tempat lain karena perceraian dan ada anak yang
dibawanya karena masih kecil, maka anak yang dibawanya itu tetap mempunyai
hak dan kewajiban adat serta berkedudukan di tempat kekerabatan suami. Anak-
anak itu adalah waris dari ayah kandungnya.
Hilman Hadikusuma (2003: 182) “yang bertanggung jawab atas
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak dimana saja mereka berada adalah ayah
kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, bukan ibu
atau kerabat ibunya, walaupun dalam kenyataannya ibu atau kerabat ibunya yang
memelihara dan mendidiknya”.
Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka
penyelesaiannya dilakukan oleh kerabat kedua pihak dan kerabat yang lebih
menentukan adalah kerabat pihak suami. Seperti halnya di daerah Lampung
bagaimana juapun penyelesaian masalah perselisihan anak, anak tertua lelaki tetap
sebagai waris dari ayah kandung dan kerabat ayahnya. Andai kata hal ini
dilanggar, maka berarti pecah kekerabatan dan sianak tidak mempunyai
kedudukan apa-apa dalam susunan kebapakan.
P. Windia (2004: 49) mengatakan : “Jika terjadi perceraian, amat sangat
jarang seorang bekas istri akan mengajak anak yang dilahirkannya ke rumah orang
tuanya, tetapi anak itu akan diajak bapaknya. Hal ini disebabkan sistem
kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu mengikuti garis keturunan purusa atau laki-
laki. Andaikan ada satu dua kasus yang berbeda, dalam arti anak mengikuti
ibunya setelah orang tuanya bercerai, suatu ketika anak itu akan kembali kepada
50
bapaknya, guna melanjutkan segala kewajibannya sebagai seorang anak, termasuk
mengurus warisannya, baik yang berwujud material maupun imaterial.
Kedudukan Anak Dalam Kasus Perceraian
Keberadaan anak sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Banyak pasangan suami istri rela cerai karena tidak membuahkan keturunan atau
anak dalam perkawinannya. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah, disebut
anak sah atau anak kandung. Anak kandung laki-laki biasa juga disebut sentana.
Sebutan ini kurang lazim untuk anak kandung perempuan, kecuali dalam satu
keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki, maka dalam keadaan seperti ini
anak perempuannya akan diminta tetap tinggal di rumah menemani kedua orang
tuanya, walaupun dia kawin dengan laki-laki pilihannya. Anak perempuan seperti
inilah yang disebut sentana rajeg.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut hukum Hindu dan agama Hindu
kedudukan anak dalam kasus perceraian Wayan P. Windia (2004: 47) mengatakan
: “Anak yang lahir dari perkawinan yang sah, disebut anak sah atau anak kandung,
adalah pewaris tunggal yakni anak yang berhak atas segala warisan orang tuanya
baik selama perkawinan maupun sebelum perkawinan”.
Dalam Pustaka Manawa Dharma Sastra Sloka III-37 menyebutkan :
Daça Pũrwânparân WamçyanÂtmânam Caika WimcakamBrâhmiputrah Cukrita KramocaYe Denasah Ptrrn
Maksudnya :Seorang anak dari seorang istri yang dikawini secara Brahma wiwaha, jika ia melakukan hal-hal yang berguna, ia membebaskan dari dosa-dosa
51
sepuluh tingkat leluhurnya, sepuluh tingkat keturunannya dan ia sendiri sebagai orang yang kedua puluh satu.
Menyimak dari isi sloka diatas dapat memberikan pengertian bahwa untuk
menciptakan seorang anak yang suputra, dari suatu perkawinan yang terjadi, perlu
melaksanakan upacara penyucian (Sarira Samskara) agar suatu perkawinan dapat
dikatakan sebagai yadnya.
Bertitik tolak dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat penulis tarik
kesimpulan bahwa anak kandung dalam kasus perceraian menurut hukum Hindu
mempunyai kedudukan sebagai ahli waris dan penebus dosa serta penerus
keturunan.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Perceraian
Aspek “pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap perkara perdata
didakwakan” merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Mengapa sampai
dikatakan demikian? Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan
pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu perkara perdata apakah
perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan perkara perdata
yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh
bahwasannya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan
berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim.
Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum
“pertimbangan-pertimbangan yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan maka
hakim terlebih dahulu akan menarik “fakta-fakta dalam persidangan” yang timbul
dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan
52
terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Pada
dasarnya “fakta-fakta dalam persidangan” berorientasi pada dimensi tentang:
locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut
dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan
tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung
dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam
melakukan tindak pidana, dan sebagainya.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar No : 392/Pdt.G/2007/PN. Dps
yang mengadili dan memeriksa perkara-perkara perdata peradilan tingkat pertama,
pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah :
1. Menimbang, bahwa apakah dalil atau alasan yang dikemukakan oleh
Penggugat dalam surat gugatannya tersebut dapat dijadikan dasar/alasan untuk
perceraian maka majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut.
- Bahwa berdasarkan keterangan saksi I Gusti Ayu Adinta Devi selaku adik
kandung Penggugat yang menerangkan dipersidangan bahwa antara
Penggugat dengan Tergugat sering terjadi pertengkaran dan setiap terjadi
pertengkaran Penggugat pulang ke rumah orang tua untuk menghindari
percekcokan didepan anak-anaknya.
- Bahwa dulu tahun 2003 Penggugat sudah pernah menggugat cerai
Tergugat, namun kemudian dicabut karena Tergugat membuat pernyataan
akan mengubah sikap.
- Bahwa saksi tahu Penggugat pulang ke rumah orang tuanya di mengwi
kurang lebih 4 kali, karena cekcok dengan Tergugat.
53
- Bahwa seorang Penggugat dengan Tergugat sudah tidak satu rumah lagi,
Penggugat tinggal dirumah orang tuanya.
2. Menimbang, bahwa saksi I Gusti Ngurah Sumardika dipersidangan
menerangkan bahwa saksi adalah Paman Penggugat, dimana saksi
menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat sering cekcok, saksi
mengetahuinya dari cerita Penggugat kepada saksi, dan setiap cekcok dengan
Tergugat, Penggugat pulang ke rumah orang tua Penggugat.
Bahwa saat ini Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi hidup serumah,
dimana Penggugat tinggal bersama orang tuanya di Mengwi sedangkan
Tergugat tinggal di Jalan Pulau Batanta.
3. Menimbang, bahwa dengan adanya perselisihan dan pertengkaran antara
Penggugat dengan Tergugat sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas,
sampai gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar, Penggugat
dengan Tergugat tidak pernah kembali berkumpul bersama dalam satu rumah
lagi.
4. Menimbang, bahwa mengenai keterangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan
Tergugat dipersidangan yaitu masing-masing saksi bernama Ni Wayan Padmi
dan Suyanto justru keterangan kedua orang saksi tersebut menerangkan bahwa
antara Penggugat dengan Tergugat sudah 1 tahun tidak serumah lagi, dimana
Penggugat tinggal bersama orang tuanya di Mengwi sedangkan Tergugat di
Jalan Pulau Batanta.
5. Menimbang, bahwa dari fakta dan kenyataan yang terungkap dipersidangan
sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, ternyata telah terjadi
54
percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga/perkawinan antara
Penggugat dengan Tergugat yang tidak dapat didamaikan lagi dimana
keduanya sudah tidak hidup rukun lagi dalam rumah tangga sebagaimana
layaknya suami istri yang harmonis, karena keduanya sudah 1 (satu) tahun
tidak serumah lagi, sehingga dengan demikian telah memenuhi alasan
perceraian sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 19 huruf “F”; Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
6. Menimbang, bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia baik lahir maupun bathin, namun dalam
perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tujuan yang demikian sudah
tidak dapat tercapai akan tetapi malahan sebaliknya.
7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
Majelis Hukum berpendapat bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sudah
tidak dapat diharapkan untuk hidup rukun kembali sebagaimana layaknya
suami istri yang harmonis, dan apabila tetap dipaksakan dikhawatirkan akan
berakibat buruk bagi kedua belah pihak.
8. Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan tersebut diatas, dan tanpa
mengkaji lebih jauh penyebab timbulnya perpecahan dan percekcokan antara
Penggugat dengan Tergugat yang tidak bisa diharapkan lagi akan hidup rukun
dalam rumah tangga mereka, maka Majelis Hakim memandang patut dan
bermanfaat bila perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dinyatakan
putus karena perceraian.
55
9. Menimbang, bahwa dalam perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat
telah lahir 4 (empat) orang anak yang bernama I Gusti Ayu Aundra Indira, I
Gusti Ayu Audy Calista, I Gusti Ayu Aura Gizela, I Gusti Ayu Auzy Paquita
tersebut adalah hasil dari perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat,
maka sudah merupakan kewajiban bagi kedua belah pihak untuk memelihara,
mendidik serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan masa
depan anak-anak tersebut.
10. Menimbang, bahwa petitum gugatan Penggugat yang mohon agar Penggugat
diberikan sebagai wali dari anak-anaknya.
11. Menimbang, bahwa terhadap petitum tersebut, Majelis Hakim berpendapat
bahwa terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan Penggugat dan
Tergugat ternyata masih di bawah umur dan memerlukan kasih sayang maka
hak untuk mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anak tersebut yaitu
anak-anak yang tinggal bersama Penggugat adalah anak ke 2 dan ke 4 I Gusti
Ayu Audy Calista dan I Gusti Ayu Auzy Paquita diberikan hak kepada
Penggugat sedangkan anak ke 1 dan ke 3 yaitu I Gusti Ayu Aundra Indira dan
I Gusti Ayu Aura Gizela diberikan hak kepada Tergugat untuk mengasuh dan
mendidik serta memelihara sampai dewasa dan dapat menentukan pilihannya
sendiri.
12. Menimbang, bahwa sebagaimana diketahui perkawinan Penggugat dan
Tergugat (P-1) dilakukan berdasarkan hukum adat Bali dimana Penggugat
sebagai Purusa (status laki-laki). Dengan demikian anak-anak yang lahir dari
perkawinan Penggugat dan Tergugat tersebut, akan masuk ke kekerabatan
56
pada Penggugat sebagai Purusa. Dan oleh karena itu Majelis Hakim
memandang cukup beralasan status anak Penggugat dengan Tergugat
kekuasaannya ada pada Penggugat sebagai Purusa.
13. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat dapat dikabulkan untuk
sebagian.
57
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian permasalahan-permasalahan diatas maka dapat ditarik
beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Yang berhak memelihara anak dalam kasus perceraian menurut hukum Hindu
adalah ayah dari anak tersebut, karena perkawinan menurut hukum Hindu di
ali menganut sistem ke-Bapa-an (vederrechtelijk).
2. Kedudukan anak dalam kasus perceraian ditinjau dari hukum Hindu, adalah
sebagai ahli waris dan penerus keturunan.
3. Dasar pertimbangan hakim memutus status anak dalam perkara perceraian
antara lain :
a. keluarga tidak rukun lagi, sering terjadi percekcokan.
b. tergugat dengan penggugat sudah tidak serumah lagi.
c. keterangan-keterangan saksi, fakta dan kenyataan yang terungkap di
persidangan.
d. keluarga sudah tidak harmonis lagi, malahan sebaliknya sering cekcok,
sehingga hidup rukun tidak bisa diwujudkan lagi.
e. perkawinan tersebut telah menghasilkan anak 4 orang, dan masih dibawah
umur sehingga perlu kasih sayang dari orang tua yakni anak ke 2 dan ke 4
58
5.2 Saran
1. Karena menurut hukum adat Bali yang menganut sistem ke Bapa-an,
yakni anak adalah tanggung jawab ada dibawah kewenangan ayah,
diperlukan pedoman/sejenis keputusan Majelis Desa Pakraman, bahwa
apabila ada kasus perceraian dimana anak masih memerlukan kasih
sayang ibunya perlu adanya pengubahan dengan suatu kesepakatan/
keputusan.
2. Kedudukan anak sebagai ahli waris, dan penerus keturunan, diperlukan
pembinaan lebih lanjut kepada anak sebelum menginjak dewasa.
3. Oleh karena dasar pertimbangan hakim, adalah menentukan hasil
keputusan yang ditetapkan, maka diperlukan, barang bukti, saksi dan
fakta persidangan yang sangat paten artinya orang-orang yang menjadi
saksi benar-benar mengetahui seluk beluk terjadinya perkara tersebut.
59
DAFTAR PUSTAKA
Artadi, I Ketut. 2003. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: Pustaka Bali Pos.
Bushar, Muhamad. 1987. Azas-azas Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Djaranto, Djamarah. 1974. Pokok-pokok Metode Reset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Liberty.
Djiwa, I Gusti Putu. 1934. Melegandang. Majalah Bhawanagara, No. 11-12 tahun III.
Ekasana, I Made Suastika. 2004. Peradilan Agama Hindu Sesudah Berlakunya UU Darurat No.1 Tahun 1951 dalam Kajian Ksetravidya dan Ekayana. Denpasar: IHD Negeri Denpasar.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hamidi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.
Hamsah, Andi. 2005. KUHP dan KUHP. Jakarta: Rineka Cipta.
Haraph. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung: Balai Pustaka
Kajeng. 2003. Sarasçamuscaya. Surabaya: Paramita.
Kaler, I Gusti Ketut. tanpa tahun. Perkawinan dalam Masyarakat Hindu di Bali. Cudmani.
Lestawi. 1991. Hukum Adat Bali. Surabaya: Paramita.
Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Ndraha, Taliduhu. 1987. Research Teori Metodelogi Administrasi. Jakarta: Bina Akasa.
Njamil, Hatif. 1982. Adat-Istiadat dan Upacaranya. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
60
Ngurah, I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita.
Mandra, I Ketut dkk. 1987/1988. Diklat Intisari Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas.
Mardana, I Wayan. 1997. Perceraian Dalam Perkawinan Nyeburin. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Moleong, Leksi. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remoga Pustaka Ria.
Muhadjir, 1990. Metodelogi Penelitian. Singaraja Tod FKIP. UNUD Pendit. 2003. Kitab Itihasa. Surabaya: Paramita.
Pendit. 2003. Kitab Itihasa. Surabaya: Paramita.
Poerdarminta W.J.S. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Poerbacaraka, 1982. Ramayana Sarga III. Surabaya: Paramita.
Pudja, I Gede, Sudharta Cok Rai. 2002. Manawa Dharma Sastra. Jakarta: Pelita Nusantara Lestari.
. 2003. Manawa Dharmasastra. Surabaya: Paramita.
Putra Astiti. 1981. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Denpasar: Kayu Mas.
Slametmuljana. 1967. Perundang-undangan Majapahit, Jakarta: Bhtatara.
Surya. 2003. Biologi. Jakarta: Balai Pustaka.
Sandarson. 1993. Teori Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Soepomo. 1967. Bab-Bab tentang Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Soerjono, Soekanto. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.
. 1977. Hukum Adat dan Tata Perkawinan. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Status, Anselm, Juliet Corbin, 1997. Dasar-Dasar Kualitatif (Disadur Oleh Djunaidi Ghoni). Surabaya: PT Bina Ilmu.
Subekti. 1985. Hukum Perdata. Bandung: Inter Mahesa.
61
Suparman. 1994. Pelaksanaan Perceraian Dalam Masyarakat Hindu di Kabupaten Klaten. Denpasar: UNHI.
Suprayoga. 2004. Kumpulan Teori-teori Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Surachman. 1994. Dasar dan Tehnik Riset. Bandung: Citra Aditya.
Suradja, Wign Yadi Pura. 1982. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Surpha, I Wayan. 1986. Pengantar Hukum Hindu.
Syaifudin, Aswar. 10988. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Ter Haar Bzn. Mr.B. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en Stelsel Van Het Adat Recht). Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Van Vollenhuven. 1981. Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia. Jakarta: JPn. Patca.
Warna, I Wayan dkk. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Jakarta: Balai-Pustaka.
Windia, Wayan P. 1989. Danda Pacamil. Denpasar: Upada Sastra.
. 1932. Putusan Rad Krta tentang Perceraian. Singaraja.
. 1977. Ensiklopedia Umum Tentang Pengertian Adat. Jakarta: Delta Pemungkas.
. 1976. UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan. Departemen Agama RI.
. Majelis Pembinaan Lembaga Adat Bali. Kumpulan Putusan Pengadilan Raad Kerta, tanpa tahun.
62
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASARFAKULTAS DHARMA DUTA
Skripsi
PEMELIHARAAN ANAK DALAM KASUS PERCERAIANMENURUT HUKUM HINDU STUDY KASUS DI
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA STRATA SATU (S1)
JURUSAN HUKUM AGAMA
63
DAFTAR ISI
Isi Hal
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN.............................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................... iv
MOTTO............................................................................................................. v
KATA PERSEMBAHAN.................................................................................. vi
KATA PENGANTAR....................................................................................... vii
ABSTRAK......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... 7
1.3.1 Tujuan Umum.............................................................. 7
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Teoretis.......................................................... 8
1.4.2 Manfaat Praktis............................................................ 8
64
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEPTUAL,
LANDASAN TEORI....................................................................... 9
Kajian Pustaka................................................................................. 9
Landasan Konsep............................................................................. 12
Pemeliharaan Anak...................................................... 12
Perceraian..................................................................... 14
Hukum Hindu............................................................... 16
Masyarakat Adat Bali.................................................. 19
Landasan Teori................................................................................. 21
Teori Konflik............................................................... 23
Teori Institutionalization.............................................. 24
BAB III METODE PENELITIAN................................................................. 30
Persiapan Penelitian......................................................................... 31
Jenis Penelitian................................................................................. 31
Jenis dan Sumber Data..................................................................... 32
Data Primer.................................................................. 32
Data Sekunder.............................................................. 32
Penentuan Subjek dan Objek Penelitian.......................................... 33
Objek Penelitian........................................................... 33
Subjek Penelitian......................................................... 33
Metode Pendekatan Subjek Penelitian............................................. 33
Metode Pengumpulan Data.............................................................. 34
65
xi
Metode Pengolahan Data................................................................. 36
BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN.............................................. 39
Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Adat Bali.................................. 39
Bentuk-bentuk Perkawinan.......................................... 39
Macam-macam Perkawinan......................................... 40
Syarat-syarat Perkawinan............................................. 45
Syahnya Perkawinan.................................................... 48
Yang Berhak Memelihara Anak dalam Kasus Perceraian............... 49
Kedudukan Anak dalam Kasus Perceraian...................................... 51
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Perceraian... 52
..................................................................................................
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan.................................................................................. 58
5.2 Saran-saran............................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN
66
xii
67
xiii