agustus 2007 issn 0215-4846 tahun ke 25, nomor 2 no. 02 ags 2007.compressed.pdfnaskah dan resensi...

116
Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2

Upload: buixuyen

Post on 21-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2

Page 2: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Didirikan pada tahun 1974, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang tujuannya adalah untuk mengembangkan

studi ilmiah mengenai bahasa. PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Ketua : Katharina E. Sukamto, Ph.D., Unika Atma Jaya Wakil Ketua : Dr. Sugiyono, Pusat Bahasa Sekretaris : Yassir Nasanius, Ph.D., Unika Atma Jaya Bendahara : Ebah Suhaebah, M. Hum., Pusat Bahasa DEWAN EDITOR

Editor Utama : Soenjono Dardjowidjojo, Unika Atma Jaya Editor Pendamping : Yassir Nasanius, Unika Atma Jaya Anggota : A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia Asim Gunarwan, Universitas Indonesia; Benny H Hoed, Universitas Indonesia; Harimurti Kridalaksana, Universitas Indonesia; Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Asmah Haji Omar, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia; Bambang K. Purwo, Unika Atma Jaya; James Sneddon, Universitas Griffith, Australia; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Unika Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako. JURNAL LINGUISTIK INDONESIA

Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000 diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Dengan SK Dirjen Dikti No. 52/DIKTI/Kep.2002, 12 November 2002, Linguistik Indonesia telah berakreditasi dengan nilai B. Jurnal ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp. 100.000 (anggota dalam negeri) dan US$25 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah Rp.120.000 dan luar negeri US$45 per tahun.

Naskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. ALAMAT

Masyarakat Linguistik Indonesia d/a Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atma Jaya JI. Jenderal Sudirman 51, Jakat1a 12930 E-mail: [email protected], Telp/Faks: 021-571-9560

Page 3: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Daftar Isi

Social Change and The Sasak Traditional Speech Conventions Mahyuni ..................................................................................... 1

Pronomina Persona Bahasa Melayu Abad Ketujuh Belas Karim Harun .............................................................................. 11

Ekspresi Verbal Penderita Stroke Penutur Bahasa Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik Gusdi Sastra ............................................................................... 21

Adverbial: Pelapisan dan Fungsi Haji Azmi Abdullah ................................................................... 33

Mengungkap Bentuk Fatis dalam Bahasa Sunda Andika Dutha Bachari ............................................................... 47

Penerjemahan Informasi Implisit dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dalam Karya Fiksi Diana Chitra Hasan .................................................................. 55

Penyulihan dalam Wacana: Terjemahan Alquran Surat Yaasiin Jerniati I. .................................................................................... 65

Klausa Relatif Dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Fenomena Kontroversial? Agustina ..................................................................................... 77

The Reflective Experiential Aspect of Meaning of The Affix -i in Indonesian Francien Herlen Tomasowa ....................................................... 83

Resensi Buku: Muriel Saville-Troike, Introducing Second Language Acquisition Diresensi oleh Effendi Kadarisman ........................................... 97

Resensi Khusus: Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Diresensi oleh Jos Daniel Parera ................................................ 101

Page 4: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

SOCIAL CHANGE AND THE SASAK TRADITIONAL SPEECH CONVENTIONS

Mahyuni Universitas Mataram, NTB

Abstrak

Perubahan bahasa sebagai penyebab perubahan sosial yang dipaparkan dalam makalah ini dikaji sebagai sesuatu yang dikonstruksikan dan dinegosiasikan melalui variasi pemakaian bahasa. Dengan kata lain, perubahan dikaji dari perspektif lingustik sebagai sistem peringkat nilai. Hal ini dapat dengan mudah dideteksi dari penggunaan kata-kata peringkat tinggi yang disebut base alus, dan dari penggunaan bahasa Indonesia. Yang menarik, base alus, yang diklaim sebagai bagian dari mènak, yaitu budaya negosiasi hubungan sosial di kalangan bangsawan Sasak, dimunculkan kembali lewat status sosial jaman modern, yaitu melalui status pendidikan, pekerjaan, dan agama.

A. BACKGROUND

The change is taking place on traditional speech conventions of base Sasak ‘Sasak language’ – one of the regional languages in Indonesia. Sasak (which is manifested in a range of regional and social varieties) is spoken primarily by about two million dengan Sasak ‘Sasak speakers’. Traditionally, Sasak has been classified to have five dialects ngenó-ngené (central west coast and central east to north east coast), menó-mené (around Praya, central Lombok), ngetó-ngeté (Around Suralaga and Sembalun), kutó-kuté (around Bayan, north part of the island), meriaq meriku (south central area around Bonjeruk, Sengkol and Pujut). This indicates that the term Sasak usually refers to regional variation. There has been an effort to standardize Sasak, but as yet no agreement has been reached.

My particular concern in this paper is with stereotypes regarding to ‘high’ style, including aspects of its structure, use and users. I argue that, following Agha (1998), metapragmatic stereotypes about honorific language is to mark respect or honor as some honorific expressions are to be used only by certain people or for certain people. To examine the notion of social change, I present relevant examples of the general development of language use among Sasak speakers and demonstratives in particular. B. DATA

The data used in this paper is partly taken from my Ph.D. thesis which was gathered from relevant sources by employing several techniques: participant-observation, note taking, audio recording, interviews, and focus group discussion. Participant observation was conducted to observe authentic use of Sasak in the Sasak community in their socio-cultural context. The observation of language use has involved both micro and macro levels, in this case family

Page 5: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Mahyuni

2

and community respectively. At the micro level, observation has focused on both educated and less educated Sasak families, involving mènak ‘nobles’ and non-mènak ‘non-nobles’. While, at the macro level, observation was focused on educated and less educated members of the wider community. Prior to analysis, data had been classified according to the settings in terms of interlocutors.

The data comprises twenty five sixty-minute cassettes of recorded informal conversations. From this three sub-corpora, non-mènak, mènak and non-mènak with education and religious status, one from each setting, were selected. Each of these sub-corpora include about 8,000 words. The data recorded in the setting of non-mènak with religious status contained about 8,000 words. The sample from each of the other two settings was selected to include informal conversations on the same topics totaling 8,000 words. The samples are comparable in terms of the type of discourse elicited. The data were classified according to their literal and discourse functions. That is, the use of certain words goes beyond their grammatical meaning due to the socio-pragmatic needs of a particular setting.

C. THEORETICAL FRAMEWORKS

Social change is indicated by some phenomenon progresses from ‘lower’ to ‘higher’ forms, and the criteria for the progression must be identified independently of a notion of ‘moral progress’ (Sanderson 1992). Gidden (1993, 1990) also adds that social change covers entire spectrum of changes in human history can be counted for in terms of the adaptive character of the changes. One of the changes discussed is the use of ‘deixis’.

Levinson (1983, 2000) defines ‘deixis’ as reference by means of an expression whose interpretation is relative to the extra-linguistic context of the utterance. Similarly, Himmelmann (1996:224) argues that deixis should be understood as reference in terms of ‘text reference’ and ‘extended reference’ to propositions or events. He adds that in many languages ‘discourse deixis can only be accomplished with demonstratives, since 3rd person pronouns may be employed only in reference to entities’. It has been indicated that demonstratives and the 3rd person pronouns are closely related. But little attention has been paid to the distinction between the two. Himmelmann (ibid. 211) suggests that there are four situations where demonstratives and 3rd person pronouns can be distinguished. Firstly, 3rd person pronouns may be used in associative-anaphoric contexts. This function is found in most languages. Secondly, 3rd person pronoun acts as a placeholder for the antecedent, but does not refer to the same entity as its antecedent. Thirdly, in some languages, 3rd person pronouns allow for expletive use. Fourthly, the discourse deictic use of 3rd person pronouns seems to be more heavily constrained than that of demonstrative pronouns. Furthermore, out of the four, the most common use of 3rd person pronouns is anaphoric (tracking) or ‘recognitional’ use (Himmelmann 1996:213). Several considerations have been proposed to classify the use of demonstratives. Apart from the supposedly basic distinction between situational and non-situational uses, there is no general accepted schema for the further classification of demonstrative uses. Halliday and Hasan (1976) focus on non-situational uses (endophora), in particular, on uses providing for textual cohesion. Within the non-situational uses, their major

Page 6: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

3

distinction is between anaphora and cataphora. Fillmore (1982) is primarily concerned with morphosyntactic aspects and situational use of demonstratives. The notion of situational use or Himmelmann’s (1996) ‘recognitional’ is adapted in this paper to discuss the phenomena of demonstratives as one of the social change indicators in the Sasak community.

D. DEMONSTRATIVE PRONOUNS IN SASAK

There are two main forms of demonstrative pronouns in base jamaq ‘ordinary Sasak’: ni ‘this’ indicates near objects, and nu ‘that’ indicates far objects. Ni is found (in italic) below:

(1) AS: Ni jaq apeng, amaq? this DISC. what father

‘What is it, Father?’ PS: Aro ni jaq dengan, cume andang-andang dòang DISC. this DISC. example just position only ‘This is only an example of position’.

Here, the discussion is about some symbols shown on an astrological chart. In (1) AS does not understand a particular symbol, and uses demonstrative ni followed by a particle jaq to refer to the object. The same applies to PS, where he also employs the same demonstrative. In example (1), the use of vocative amaq ‘father’ is a politeness marker. Additionally, it is actually enough for AS to say ni jaq apeng ‘what is it?’ without attaching vocative, if politeness is not the goal, and neutrality is emphasized. PS gives a longer answer to AS; this may not be required in a grammatical sense, but it plays an important role in marking politeness. This leads PS to answer AS’s question in a complete form, which is more than required. A short answer that PS may utter is simply andang-andang ‘position’. Note that, in Sasak daily discourse, indicating kinship status as an address form marks solidarity and ‘intimacy’. This becomes relevant as one respondent says that amute sapaq kene papuq, tatiq, baiq, ariq atao kakaq, tekangen idapte ‘if we are addressed using kinship terms grandparents, son, daughter, junior/senior/ brother/sister, we feel that we are being loved or cared for’.

Sasak demonstratives are also of ‘high’ style so called alus. Sasak commoners often refer to base alus ‘high’ style as the language of niki-nike ‘this-that’ to show the different use of demonstrative pronouns between base jamaq ‘low’ language and alus ‘high’ style. Thus, analysis will be of the linguistic and social functions of both niki ‘this’ and nike ‘that’ and its derivatives.

The data also indicate that demonstrative pronouns employed is to show politeness in dyads are considered vital by subordinates – junior mènak ‘noble’ as well as older or junior non-mènak generations. There are two forms of demonstrative pronouns in alus, niki ‘this’ and isiq/siq niki ‘this one’. The first functions to indicate only one object as there are no alternatives available for both the speaker and the addressee. Siq niki is used to point to a particular object in contrast to other objects available close to both the speaker and the addressee, and is preceded by the relative clause marker siq in a dyad, as in:

Page 7: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Mahyuni

4

(2) AU: Siq niki kene-ò REL this you mean ‘Do you mean this? Or,

LF: Siq nik maksud pelungguh REL. this mean you ‘Do you mean this?'

The same applies to the distal direction. Nike is used to refer to an object which is far from both the speaker and the addressee. The particle siq collocated with nike to specify which of two alternatives is being referred to. In this case, a further politeness marker is also employed to clarify the exact object meant by both parties. In distance as well as close direction, nike can be preceded by relative pronoun isiq/siq, as in:

(3) LM: Isiq/siq bireng nike REL. black that ‘That black one’, Or

MW: Siq nganjeng nike REL. standing that ‘That standing one’

The alus demonstrative adverbs for quantity are semeniki and semenike to mean ‘this’ and ‘that’ quantity. To indicate short distance, demonstrative adverb (se)meniki, a short form of siq/saq maraq niki to mean the same ‘this’ (quantity) is in use, as in:

(4) MH: Semeniki baé semaiq-ng This(amount) DISC. it’s enoguh

‘This amount is enough.’

Although (se)meniki is used to indicate quantity (not found in the corpus), niki is also used to mean the same, as in:

(5) MH: Niki baé semaiq-ng this DISC. It’s enough ‘This amount is enough’

Semantically, the first construction in example (4) is required, but pragmatically the use of niki is also acceptable. Thus, sometimes there is no clearcut boundary between the two in use. The pronoun semeniki is not found in the corpus, but seniki, its simpler form, is used once instead, as in:

(6) AU: Modèl seniki piaq-ng jari galuran, kakaq Model this they make become dispute brother They dispute this model (of topic), Brother’

Here, both AU and his interlocutor (kakaq) ‘recognize’ the topic through their shared specific knowledge (cf. Himmelmann 1996). This also shows that the use of other demonstratives such as niki is significant. Additionally, semeniki is also often followed by the word for amount luéq, as in:

Page 8: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

5

(7) MT: Semeniki keluéq-ng, segerah-ng ndéq semaiq? This it amount how it not enough ‘With this amount, won’t it be enough?’.

The same applies to the distance quantity (se)menike, a short form of saq maraq nike ‘that (quantity)’ where a quantity marker ‘keluéq’ often follows, as in:

(8) MH: (Se)menike keluéq piaq-ò, bau-ng iaq bis that much you make it be will finish ‘You are making that much (coffee), will it be drunk up?’,

which is actually enough to say:

(9) LF: (Se)menike piaq-ò bau-ng iaq bis that you make it be will finish ‘You are making that much (cake) will it be eaten up?’

without using the quantity marker semenike or keluéq at the same time. Semantically, semenike is required here to make the expression indirect and polite. Otherwise, the expression is not considered alus or ‘high’ style, but the same as jamaq or ‘low’ style. Thus, due to the unmarked function of both niki and nike, the adverb for proximal and distal quantity is often replaced. Consequently, the use of both alus semeniki and semenike in their usual forms appear to be ignored. To indicate location, demonstratives deriki and derike are in use. Deriki ‘this’ serves to refer to a near location of an object, while derike ‘that’ refers to the object which is far from both the speaker and the addressee. The example of deriki in use is found once when two interactants talk about the preparation of the village head election, alus words are italicised, as in AU’s response to MW’s statement in (10) below:

(10) MW: Aró téng jaq ariq ndéq-te man garap ape-ape DISC here just brother we not already process anything

‘We haven’t been able to proceed here, brother’. AU: Nggih, liq deriki jaq yes, place here DISC ‘Yes, (there’s no problem) here’.

In MW, the demonstrative for location is indicated in jamaq ‘unmarked’ style téng ‘here’ as the speaker is mènak. Conversely, the response given by AU is in alus for both emphatic agreement nggih and demonstrative for location deriki ‘this’ to indicate politeness. In addition, deriki also functions to emphasize and not to disambiguate the location being discussed.

Note that both deriki ‘this’ and derike ‘that’ follow the preposition liq to signify location, as in liq deriki and liq derike for both proximity and distance respectively. The preposition liq is required with both deriki and derike as alternative location markers. However, there is one form of showing distance in jamaq, liq te ‘that’/‘there’ referring to an object which is far from the speaker, but the addressee is close to it. This is not distinguished in alus, but it is represented by derike or liq derike instead. Table 1 summarizes the demonstrative pronouns in both jamaq and alus.

Page 9: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Mahyuni

6

Table 1 summary of demonstrative pronouns in both ordinary and polite Sasak. base jamaq base alus Proximity ni niki

Direction (se)ni(q) (siq)niki Quantity (se)(me)ni (se)(me)niki Location (liq)ni/té (liq)deriki Distance nu nike Direction (se)nu(q) (siq)nike Quantity (se)(me)nu (se)(me) nike Location (liq) nu/tó (liq)derike

(liq)te/tie/tiaq (liq)derike

In its pragmatic realization, proximal niki ‘this’ and distal nike ‘that’ appear not to be strictly distinguished from each other as they are unmarked in nature compared to other demonstrative markers. As a result, an expression indicating location deriki ‘here’ and quantity seniki is sufficient if expressed using niki, as in:

(11) LF: Niki taóq-te ngiring here our place sit

‘Let me host you here’, and (12) AU: Amung niki rue-ng jaq anuq lueq

if this it like DISC. DISC. lot ‘Something like this is a lot’

A further outcome is the lack of use of deriki and seniki. Each occurs only once in my corpus, for location and quantity respectively. This suggests that niki is a ‘neutral’ choice to replace deriki and seniki in this situation. Deriki and niki are required to achieve disambiguition in Sasak daily encounters. The same applies to the distance demonstrative nike ‘that’, which is dominant in use compared to semenike and derike for quantity and location respectively. Respondents appear to prefer nike as it indicates a more ‘neutral’ form during recorded interaction to amount and location semenike ‘that’ and derike ‘there’.

Table 2 jamaq demonstrative pronouns and frequency of their use in mènak setting

Demost. Pronoun

Meaning Number of tokens

Percentage of total no. of tokens

Tó ‘there’ 67 33.00 Se/nu/q ‘that one’ 51 25.12 Nu ‘that’ 20 09.85 Se/me/nu/q ‘that/amount’ 06 02.95 Tie ‘that’ 20 09.85 Se/tiaq ‘that one’ 07 03.44 Se/me/ni/q ‘this/amount’ 18 08.86 Té ‘here’ 09 04.43 Te ‘there’ 05 02.46 Total 203 100.00

Page 10: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

7

The table reveals that a significant use of demonstrative pronouns in ‘low’ style cannot be avoided in a mènak ‘noble’ setting when distance is at issue. This applies particularly when superior mènak address subordinate mènak, as well as mènak communicating with non-mènak interactants. Furthermore, subordinate status may apply jamaq demonstratives if respect and politeness are not relevant to the interaction. This applies not only to mènak and non-mènak interactants, but also between mènak interlocutors.

E. DEMONSTRATIVE PRONOUNS AND SOCIAL CHANGE

This section will show that jamaq ‘low’ demonstratives are expected to be employed by the participants as they are ordinary people. Because of the status gained, i.e. hajj and education, then ‘high’ demonstratives are operated instead. Thus, the use of ‘high’ demonstrative pronouns is widespread in a non-mènak setting with education and religious titles: proximal niki ‘this’ and distal nike ‘that’ are employed. Both niki and nike have the same function, that is grammatical and as a politeness marker. Deriki ‘here’ and derike ‘there’ are also employed. As noted earlier, the latter two are employed to serve as emphasis and for disambiguation. The distinction between proximity and distance plays an important role in non-mènak settings with religious status. It is shown that, in this setting, the distance demonstrative is used in ‘recognitional’ function to share knowledge among interactants (cf. Himmelmann 1996). However, its use as a politeness marker is much more frequent than its grammatical use.

The extract below shows how niki (proximity demonstrative) is employed when TU in (13) points to another participant (AM) sitting near him, to inform TG that AM has been persuaded to be a follower of the new type of tarèkat ‘religious mysticism’ being discussed. The villagers are in dispute since the new practice is unfamiliar to most of them. HM in (14) appears to strengthen the argument of TU in (13):

(13) TU: Maraq niki tiang, semetòn niki, (cough). Araq, sampun like this I brother this exist already terayu-rayu, tiang, murid-murid niki. Tentu nie èaq matur persuade I students this certain he will inform saq lebih jelas pengerayuan niki, murid-murid saq sampun REL. more clear persuasion this students REL. already tame. Semetòn niki taóq-ng saq, cume... enter brother this it place REL. DISC. ‘It is like this brother, he has been persuaded for a long time by the followers of the person we discussed. In turn, he’ll tell you the truth about how the person recruits his followers. My brother knows more about the case...’

(14) HM: [Bègaq pe-mancing jaq niki, semetòn-te niki. Laguq more be fish DISC. this our brother this but

cume ndéq-ng uah sugun apah-andang lóntó. Laguq bis only he not already out offering only but finish jaq kedalem langan selidiki-è jaq niki. Niki taóq-ng DISC. deep way he observe it DISC. this this it place

Page 11: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Mahyuni

8

sahèh jaq dòang ntan èaq matur jaq mangkin. valid DISC. DISC. way will inform DISC. Now ‘This brother is a good fisherman. He never presents the offerings to that person though he knows almost everything about this teaching. He’ll tell you the truth’.

HM uses the expression bègaq pemancing…’ ‘being a smart fisherman’ metaphorically to describe AM’s ability; AM is another participant sitting near HM. AM gains more complete information about the issue being discussed. AM gets best friends who have joined a new type of tarèkat in the village. This teaching has been made possible by the person coming to the village on behalf of TG, although TG knows nothing about it. Here, both TU (13) and HM (14) employ proximal demonstrative niki ‘this’ to refer to another person (AM), in order to inform TG about situation in the village. Of the nine tokens of niki in both examples, five times in (13) and four times in (14), all are grammatically employed.

The use of demonstrative niki as both grammatical and politeness marker is illustrated in the following extracts. Indonesians are underlined:

(15) TU: Tentang pemberantasan niki, tunas ice baé juluq. Jalan–te about eradication this ask guide DISC. first our way

iaq berantas-è oléq awal niki will eradicate them from begin this

‘How to annihilate them, this is what we need you (TG) to advise us on’

(16) TG: Nggaqng ntan aman mangkin, kerjasama dengan it only way safe now work with

pemerintah desa. Mintai dia ijazah. Ijazah yang government village ask he certificate certificate REL. diperkenankan oleh gurunya untuk mengajar, ada ndaq. be allowed to by his teacher for teach exist not Nah, niki. Ijazah dari gurunya. Siapa jadi gurunya. DISC. this certificate from their teacher who be his teacher Betul ndaq dia jadi badan atau tidak dari gurunya itu. true no he be institution or no from his teacher that Ndaqn saq dengan petanggòh-tanggòhang ndéq keruan. not REL. With people be named no certain Maraq nike, nah niki. like that DISC. this ‘The only way to be secure now is to cooperate with the local government in the village. Ask that person for his certificate – the certificate for teaching that was issued by his teacher, whether he owns it or not. That’s it. The certificate from his teacher. Who is his teacher? Is he really qualified (from an institution) to teach or not? Then he won’t speak on behalf of an unfamiliar person. That’s it. That’s the way’.

Page 12: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

9

Here, the alus tunas ‘ask’ word is employed by TU in (15) to ask TG’s opinion in (16). The word tunas is employed by TU to humble himself to TG, as TU asks for TG’s suggestions in order to solve the problem discussed. In addition, as TG himself is formally educated, the use of Indonesian is predictable. This is demonstrated in (16) where Indonesian is employed, while alus lexical items appear to be the politeness markers during interaction. Demonstrative niki is functioning grammatically when used by TU in (15). But TG in (16) uses niki as a politeness marker by collocating it with another discourse particle nah. In this situation, TG in (15) uses nah niki twice to indicate politeness. It also has ‘recognitional’ function as indicated in TG’s expression (cf. Himmelmann, 1996). However, the use of particle nah followed by niki is a matter of style emphasizing niki as a politeness marker.

Table 3. Jamaq ‘low’ demonstrative pronouns and the frequency of their use in non-mènak with religious status setting.

Demonst. Pronoun Meaning No. of tokens Percentage of total no. of tokens Nu ‘that’ 28 32.18 (Me) nu ‘like that’ 22 25.28 Se/nu/q ‘that one’ 18 20.68 Tó ‘there’ 6 6.89 Men/tie ‘like that’ 3 3.44 Se/tie/tiaq ‘that one’ 7 8.04 Se/me/ni/q ‘this’ 3 3.44 Total 87 100.00

Note: Sasak demonstrative pronouns also function as adverbs if they are prefixed by me or men, as in me/nu ‘like that’ and men/tie ‘like that’.

Table 3 indicates that jamaq ‘unmarked’ demonstratives are used less often than in the mènak setting (see table 2 for comparison). Mutual respect appears to be the emphasis in the interaction, rather than non-reciprocal relationships as in mènak ‘noble’ interaction.

F. CONCLUSION

Sasak demonstrative pronouns have been used from jamaq ‘lower’ to alus ‘high’forms to indicate social status of the interactants. The use of alus ‘high’ demonstrative pronouns which was only for those with ascribed status ‘mènak’ is revitalized, that is non-mènak also address one another in ‘high’ demonstratives because of their gained status, i.e. religious titles and education. The use of alus demonstrative pronouns in disyllabic variants – niki ‘this’, nike ‘that’, in the conversation is preferred as a common strategy.

The trisyllabic forms – deriki and seniki, are used mainly when emphasis and disambiguation are required. Thus, the participants in the conversation tend to employ disyllabic variants of the word to express their purpose. This is statistically shown by the high number of disyllabic variants of proximal direction, quantity and location, as well as distal direction, quantity and location. This is mainly done to fulfil the pragmatic needs required to indicate politeness to senior interlocutors.

Page 13: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Mahyuni

10

REFERENCES

Agha, A. 1998. “Stereotypes and registers of honorific language,”Journal of Language in Society 27:2, pp. 151-193.

Bloom P. Peterson, M.Nadel L., and Garet M. 1996. Language and Space. Cambridge, MA: MIT Press.

Fillmore, Charles, J. 1982. “Towards a Descriptive Framework for Spatial Deixis,” in Jarvella and Klein (eds.), pp. 31 – 59.

Gidden, A. 1993. Introduction to Sociology. Oxford: Blackwell Publishers. Gidden, A. 1990. Human Societies. Oxford: Blackwell Publishers. Halliday, M.A.K. and Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesion in English. London:

Longman. Himmelmann, N. 1996. “Demonstratives in narrative discourse: a taxonomy of

universal uses,” in Barbara Fox, (ed.), Studies in Anaphora, pp. 205-254. Typological studies in Language. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.

Levinson S. C. 2000. Presumptive Meanings. Cambridge: MA: MIT Press. Levinson, S. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Sanderson, Stephen, K. 1992. Social Evolutionism: A critical History.

Cambridge: Blackwell Publishers.

Page 14: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

PRONOMINA PERSONA BAHASA MELAYU ABAD KETUJUH BELAS

Karim Harun Universiti Kebangsaan Malaysia

Abstract

Dutch sailors and ministers had recorded the seventeenth century Malay pronouns in their conversation book and grammar that they wrote. For example, Frederick de Houtman in Spareck ende woord-boeck (1603) listed the Malay pronouns in one of his conjugation tables. Then, Danckaerts (1623) in his dictionary co-authored with Casper Wiltens, also discussed the Malay pronouns in his appendix entitled Observationes aliquot hinc illinc decerptae ex Grammatica latina, utilissmae studiosis linguae Malaicae, insulis Iava Amboyna, Moluccis, Banda & earunde circuvicinys usurpatae. Later, in 1674, appeared a complete Malay grammar written by Roman who also discussed the Malay pronouns. This article attempts to discuss the seventeenth century Malay pronouns in de Houtman (1603), Dackaerts (1623) and Roman (1674). The discussion will focus on the forms, functions and usage of Malay pronouns in the seventeenth century, from the perspective of the history of linguistics.

PENGENALAN

Pronomina persona bahasa Melayu abad ketujuh belas telah dirakamkan dalam karangan-karangan pelaut dan pendeta Belanda. Antaranya ialah Frederick de Houtman (1603), Sebastian Danckaerts (1623) dan Johannes Roman (1655). De Houtman dalam bukunya Spraeck ende woord-boeck menyenaraikan pronomina persona bahasa Melayu dalam sisipan nahunya. Danckaerts yang menulis kamus “Vocabularium, ofte Vvoort-boeck, naer ordre vanden Alphabet in ‘t Duytsch-Maleysch, ende Maleysch-Duystch” (1623) bersama Wiltens pula memuatkan aspek pronomina bahasa Melayu dalam lampiran yang berupa nahu pada kamus tersebut dengan judul “Observationes aliquot hinc illic decerptae ex Grammatica latina, utilissmae studiosis linguae Malicae, insulis Iava Amboyna, Moluccis, Banda dan earunda cicuvicinys usurpatae”. Manakala Roman pula membincangkan pronomina bahasa Melayu dalam buku nahu Melayunya yang berjudul “Kort Bericht Van De Maleysche Letter-Konst” (1655). Ketiga-tiga pronomina persona ini memper-lihatkan pengaruh ‘climate of opinion’ Eropah.

Makalah ini akan membincangkan pronomina persona Melayu abad ke-17 daripada segi bentuk dan fungsi. Perbincangan pronomina persona ba-hasa Melayu ini akan berlandaskan kepada disiplin sejarah linguistik.

Page 15: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Karim Harun

12

PRONOMINA MELAYU DALAM CATATAN ORANG EROPAH

Kedatangan orang Eropah ke Alam Melayu membawa bersama mereka tradisi empiris yang mereka warisi daripada linguistik skolastik. Dengan tradisi empirik yang diwarisi, mereka menjadi bangsa yang sangat observasi. Pigafeta yang mengikuti rombongan Magelan misalnya, membuat catatan yang empiris tempat-tempat yang dilawati dan juga bahasa yang ditemui. Dalam catatannya tentang bahasa Melayu, Pigafeta merakamkan perkataan-perkataan Melayu yang meliputi tubuh badan, rempah ratus, haiwan ternakan, hasil bumi dsb, tetapi tidak pula mengandungi catatan tentang pronomina persona. Cornelius de Houtman yang menghasilkan daftar kata Melayu-Belanda (1598) pula, walaupun mencatatkan beberapa pronomina persona, tetapi pronomina perso-na yang dirakamkan bukan sahaja pronomina persona Melayu. Di dalam daftar kata ini terdapat juga pronomina persona dari bahasa Jawa. Persona Melayu yang terdapat dalam daftar kata ini hanya pronomina persona ketiga, iaitu dya ‘dia’. Manakala persona Jawa pula ialah queay ‘kowe’ kamu, manyre ‘manira’ saya. Catatan-catatan awal orang Eropah ini memperlihatkan bahawa mereka tidak begitu memberi perhatian pada pronomina persona. Mereka juga tidak membezakan pronomina tersebut pronomina persona Melayu atau Jawa.

Perhatian terhadap pronomina persona Melayu mula kelihatan pada abad ke-17. Mulai abad ini, orang Eropah sudah mula menulis nahu Melayu. Dan dalam penulisan nahu tersebut aspek pronomina turut dibincangkan. Pro-nomina persona bahasa Melayu yang lengkap pertama kali dicatat dalam buku de Houtman (1602). Dalam buku ini de Houtman mencatatkan pronomina persona bahasa Melayu meliputi persona pertama, kedua dan ketiga.

Pronomina persona ini dicatatkan di dalam bahagian nahu dalam bukunya. Pronomina persona bahasa Melayu kelihatannya hanya dibincangkan oleh orang Eropah apabila mereka sudah mempunyai kesedaran untuk menulis nahu Melayu. Sebab itu, Pigafeta dan Cornelius tidak mencatatkan pronomina persona dalam daftar kata mereka kerana mereka tidak membincangkan aspek nahu.

Pronomina persona de Houtman ini dipaparkan dalam sebuah jadwal dengan di sebelah kirinya pronomina persona bahasa Belanda dan di sebelah kanannya pula pronomina persona bahasa Melayu. Jadwal pronomina persona de Houtman adalah seperti berikut:

Jadwal 1. Pronomina persona de Houtman (1602)

Bahasa Belanda Bahasa Melayu Ick ghy hy wy ghylieden zylieden

Amba, beta, ako tun, tuan dya kyta kamoe orang dya

Berdasarkan jadwal di atas, kita dapat melihat bahawa De Houtman tidak menyenaraikan semua persona dalam bahasa Belanda dan juga dalam bahasa Melayu yang diketahuinya. Beliau memaparkan ik dengan diberi padanan amba, beta, dan ako sebagai persona pertama tunggal. Manakala persona kedua bentuk tunggal ghy diberi padanan dengan tun, tuan dan persona

Page 16: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

13

ketiga bentuk tunggal hy diberi padanan dya. De Houtman juga sedar bahasa Melayu tidak mempunyai gender, sebab itu beliau tidak memasukkan persona kedua untuk perempuan, zij. Untuk bentuk jamak, de Houtman juga me-nyenaraikan ketiga-tiga jenis persona. Persona pertama, wy diberi padanan dengan kyta, persona kedua, ghylieden diberi padanan kamoe, dan persona ketiga zylieden diberi padanan orang dya.

Dalam bahasa Belanda juga terdapat penggunaan persona hormat untuk persona kedua, iaitu U. Persona ini digunakan untuk panggilan hormat kepada orang yang kurang dikenali, kepada orang yang lebih tinggi kedudukan dan juga kepada orang yang lebih tua. Untuk saudara-mara, teman rapat, dan remaja persona jij lebih sesuai digunakan. Namun de Houtman tidak memasuk-kan U, sebaliknya memasukkan ghy dalam jadwalnya.

Berdasarkan jadwal pronomina bahasa Melayu yang dipaparkan oleh de Houtman (1602), kita boleh melihat pembahagian persona pertama kedua dan ketiga serta pembahagian persona tunggal dan jamak. Pembahagian tersebut boleh dijadwalkan seperti berikut:

Jadwal 2. Persona tunggal dan jamak Pertama amba, beta, ako Kedua tun, tuan Tunggal ketiga dya pertama kita kedua kamu Jamak ketiga orang dya

Selepas de Houtman (1602), Danckaerts (1623) juga membincangkan aspek pronomina persona bahasa Melayu. Namun Danckaerts pula hanya membincangkan klitik pronomina persona. Klitik pronomina persona yang di-bincangkan ialah co ‘ku’, mou ‘mu’, dan nja ‘nya’. Danckaerts meng-kategorikan klitik co, mou, dan nja juga sebagai particule praepositivae. Daripada segi fungsi, Danckaerts menyatakann “particule co, mou, nja, denotant personam & sunt utriusque numeri”. Dengan kata lain, partikel-partikel ini menandai pronomina persona dan bilangan. Kesemua partikel ini jelas menandakan persona. Namun, jika dilihat daripada segi bilangan, semua partikel yang disenaraikan ialah persona yang berbentuk tunggal.

Danckaerts menyenaraikan ketiga-tiga sistem persona bahasa Melayu yang berbentuk tunggal. Persona pertama yang dinyatakan ialah partikel co. Dalam bahasa Melayu sekarang, co ialah klitik ku yang berasal daripada persona pertama aku. Partikel mou dalam bahasa Melayu sekarang ialah klitik mu, manakala persona ketiga pula ialah partikel nja. Dalam bahasa Melayu sekarang, nya ialah bentuk terikat yang merupakan varian pronomina persona ia/dia dan pronomina benda yang menyatakan milik, pelaku atau penerima (KBBI 2001:789). Walaupun begitu nya juga boleh menjadi bentuk jamak (Moeliono & Dardjowidjojo 1988:172). Partikel co, mou dan nja seperti yang terdapat dalam nahu Danckaerts adalah seperti dalam jadwal 5.6:

Jadwal 3. Klitik Pronomina Persona co, mou dan nja dalam nahu Danckaerts

I - co, persona pertama. Contohnya perkataan tuanco II - mou, persona kedua. Contoh perkataan roumamou III - nja, persona ketiga. Contoh negrynja

Page 17: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Karim Harun

14

Daripada ketiga-tiga partikel yang dibincangkan oleh Danckaerts, ha-nya partikel nja paling banyak diberi tumpuan. Menurut beliau, di samping berfungsi sebagai pronomina persona seperti dalam contoh negrynja, ia juga mempunyai fungsi lain. Danckaerts memberi contoh nya dalam perkataan selamanja. Dalam perkataan selamanja, partikel nja tidak berfungsi sebagai persona seperti dalam perkataan negrynja. Namun, Danckaerts tidak men-jelaskan fungsi nya yang terdapat dalam perkataan selamanya. Jika berdasar-kan fungsi –nya dalam bahasa Melayu sekarang, -nja dalam selamanja mem-punyai fungsi sebagai penekan.

Dalam perbincangan partikel nja, Danckaerts turut memberi panduan ejaan. Beliau menyatakan apabila partikel nja hadir pada perkataan yang ber-akhiran dengan huruf n, maka kedua-duanya akan digabungkan. Dalam peng-gabungan ini pula, salah satu huruf n tersebut akan digugurkan. Danckaerts memberi contoh perkataan tuanja daripada perkataan tuannya.

Tiga puluh dua tahun kemudian, Roman yang menghasilkan nahu Melayu yang lengkap juga membincangkan aspek pronomina persona. Beliau membincangkannya di bawah kelas kata kedua yang diberi judul sebagai voor-namen ‘pronomina’. Dalam kelas kata ini, Roman membicangkan dengan lengkap voor-namen bahasa Melayu. Beliau membincangkan pronomina ako, beta saja, kami, kita angkou, mou, kamou, diri, dia, deanja, ini, itou, jang, sjapa, dan appa. Menurut Roman voor-namen juga boleh digabungkan dengan perkataan kendiri dan barang. Roman menyatakan “waer by men mede magh voegen kendiri dan barang”.

Dalam bahasa Melayu sekarang, pronomina atau kata ganti dibahagi-kan kepada dua golongan, iaitu kata ganti nama tunjuk dan kata ganti nama diri. Kata ganti nama diri pula dibahagikan kepada dua, iaitu kata ganti nama diri orang dan kata ganti nama tanya1 (Nik Safiah et al. 1996:103). Per-bincangan Roman mengenai pronomina ini juga meliputi kedua-dua golongan kata ganti nama seperti dalam bahasa Melayu sekarang. Namun, Roman lebih banyak memberi tumpuan kepada aspek fungsi pronomina tersebut berbanding pembahagian atau pengelasan pronomina-pronomina tersebut. Perbincangan Roman mengenai van voor namen ini meliputi eerste ‘pertama’, tweede ‘kedua’, deerde voor-namen ‘pronomina ketiga’, betreckelycke voor-namen ‘pronomina relativa’ dan juga bezittinge ‘posesif’. Jika dilihat daripada pers-pektif ilmu linguistik sekarang, perbincangan Roman ini meliputi aspek nahu dan juga sosiolinguistik.

Dalam membincangkan pronomina persona, Roman membahagikan pronomina persona bahasa Melayu kepada tiga, iaitu eerste persoon ‘persona pertama’, tweede persoon ‘persona kedua’, dan derde persoon ‘persona ketiga’. Pronomina eerste persoon ialah ako, patek, beta, saja, kami dan kita. Pronomina tweede persoon pula ialah angkou, mou, kamou dan diri. Manakala pronomina derde persoon ialah dia, deanja, ini dan itou.

Jadwal 4. Pronomina persona Roman

Tingkat pronomina persona Pronomina persona Pertama Ako, patek,beta, saja, kami, kita Kedua Angkou, mou, kamou, diri Ketiga Dia, deanja, ini, itou

Page 18: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

15

Roman bukan hanya menyenaraikan pronomina persona dalam bahasa Melayu, tetapi beliau juga menjelaskan bagaimana pronomina-pronomina ter-sebut berfungsi. Dalam membincangkan pronomina persona pertama, Roman menyatakan “Van deze betekenen alle de ses eersten, den eersten persoon ofte de zelfden die spreeckt. Doch behooren deze met onderscheydt gebruyckt te werden”.2 Enam persona pertama yang dinyatakan oleh Roman ini ialah ako, patek, beta, saja, kami dan kita. Walaupun semua persona ini adalah persona pertama, namun Roman menyedari bahawa persona-persona ini mempunyai perbezaan daripada segi penggunaannya. Dengan kata lain, dalam bahasa Melayu pronomina-pronomina ini hendaklah digunakan bersesuaian dengan situasi-situasi tertentu berdasarkan taraf sosial penutur dan pendengar.

Di samping menyenaraikan ketiga-tiga tingkat persona bahasa Melayu, Roman juga membincangkan penggunaan pronomina-pronomina tersebut. Pro-nomina persona pertama ako misalnya, digunakan oleh golongan atasan. Golongan ini menggunakan pronomina ako apabila bercakap dengan orang bawahannya, terutama untuk menunjukkan rasa hormat. Roman menyatakan “want ako, en voeght niet als wanner een meerder tegen zyn minder spreeckt, insonderheydt als hy zyn ontzagh wil toonen”.

Pronomina persona pertama patek pula digunakan oleh golongan bawahan atau rakyat jelata apabila bertutur atau menulis kepada golongan pemerintah. Beta pula digunakan digunakan oleh orang yang sama taraf. Saja digunakan untuk memperlihatkan sikap merendah diri. Pronomina ini diguna-kan golongan bawahan kepada golongan atasannya.

Menurut Roman, pronomina kami dan kita digunakan sebagai pro-nomina persona pertama yang membawa maksud jamak dan juga tunggal. Beliau menyatakan “kami ende kita, mogen in ‘t meervoudt getal wel onbeschroomt van yeder genoment werden, maer in ‘t enckkel past het den Grooten best”.

Di samping enam pronomina persona tersebut, Roman juga mem-bincangkan pronomina hamba sebagai pronomina persona pertama. Menurut Roman, walaupun perkataan hamba itu bermakna slaef dalam bahasa Belanda, namun ia juga boleh digunakan sebagai pronomina. Pronomina ini digunakan untuk menujukkan kesopanan kepada orang atasan.

Persona kedua yang dibincangkan oleh Roman ialah angkou, mou, kamou dan diri. Persona ini digunakan kepada orang yang lebih rendah atau dengan orang bebas diajak bercakap. Di samping persona-persona tersebut ter-dapat juga penggunaan kata tuan sebagai persona kedua.

Dalam membincangkan pronomina persona ketiga, Roman me-nyatakan “Om te betekenen den derden persoon, ofte het gene waer van gesproocken werdt, zoo dinen deze volgende dia, deanja, hy ende zy, ini, deze, itou, die ofte dat”. Dalam perbincangan ini Roman hanya menjelaskan persona nja dan juga pronomina itou dan ini. Dalam perbincangan nja, beliau juga membincangkan persona pertama kou.

Roman juga membincangkan persona nja dan persona kou. Roman menjelaskan bahawa persona kou berasal daripada ako, manakala persona nja pula berasal daripada dia dan kedua-duanya hanya boleh ditambahkan pada bahagian akhir sesuatu kata, misalnya:

(1) tuanko (2) daan kattanja

Page 19: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Karim Harun

16

Roman juga memasukkan itoe dan ini sebagai pronomina persona ketiga. Menurut Roman, itoe dan ini boleh mendapat penambahan la pada posisi akhir, misalnya:

(3) ini-la (4) itoe-la

Perbincangan Roman tentang pronomina persona ini adalah lengkap berbanding de Houtman yang memaparkan sahaja pronomina persona Melayu dan juga Danckaerts yang membincangkan klitik persona. Namun, ketiga-tiga ini boleh dilihat sebagai evolusi penguasaan pronomina persona bahasa Melayu oleh orang Eropah, khususnya orang Belanda.

Perbandingan Pronomina abad ke-17 dan bahasa Melayu Modern

Perkembangan penguasaan pronomina persona ini memperlihatkan kemajuan orang Eropah menguasai bahasa Melayu. Collins (1998) menyatakan periodisasi abad ke-17 ini sebagai periodisasi “the apropriation of Malay” oleh orang Eropah. Pada abad ini penguasaan bahasa Melayu orang Eropah semakin baik. Buktinya orang Eropah mula menulis nahu Melayu sama ada dalam bentuk nahu regulae atau schulgrammatik. Dalam penulisan nahu ini, pronomina persona dibincangkan. Dalam nahu Roman, pronomina dikategorikan sebagai salah satu kelas kata Bahasa Melayu, di samping nomina, verba, adverbia, preposisi, konjungsi, dan interjeksi. Pronomina tidak dimuatkan di bawah kelas kata nomina seperti dalam nahu yang terdapat dalam bahasa Melayu sekarang.

Walaupun pronomina tidak dimuatkan dalam kelas kata nomina, namun pembahagian pronomina persona yang dilakukan oleh de Houtman, Danckaerts dan Roman boleh disamakan dengan pembahagian pronomina persona dalam bahasa Melayu sekarang. Nahu Roman khususnya, mempunyai pembahagian pronomina persona Melayu yang jelas dan mirip dengan pembahagian pronomina bahasa Melayu sekarang. Pembahagian persona kepada tiga jenis, iaitu persona pertama, kedua dan ketiga masih terus belaku hingga sekarang. Yang sedikit berbeza ialah daripada segi pengisiannya, iaitu Roman memasukkan pronomina penunjuk itoe ‘itu’ dan ini ‘ini’ di bawah pronomina persona ketiga. Dalam bahasa Melayu sekarang, kata-kata itoe dan ini tidak diletakkan di bawah persona ketiga, sebaliknya kata-kata ini mempunyai golongan sendiri yang dikenali sebagai pronomina penunjuk.

Perbandingan mengenai pronomina persona dalam bahasa Melayu oleh Roman dengan pronomina persona bahasa Melayu sekarang boleh dilihat dalam jadwal 6.1.

Page 20: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

17

Jadwal 5. Perbandingan Pronomina persona Roman (1653) dengan bahasa Melayu

Tingkat pronomina persona

Pronomina persona abad ke-17

Pronomina persona BM

Pronomina persona BI

Persona pertama ako, patek, beta, saja, kami, kita, hamba

Saya, aku, beta, patik, kami, kita

Saya, aku, daku, ku-, -ku, kami, kita

Persona kedua angkou, mou, kamou, diri

Anda, engkau, awak, kamu

Engkau, kamu, anda, dikau, kau-, -kau,-mu, kalian, kamu (sekalian), anda sekalian

Persona ketiga Dia, deanja, ini, itou

Ia, dia, mereka, nya

Ia, dia, beliau, mereka, -nya

Berdasarkan jadwal di atas, kita dapat melihat perbandingan antara pronomina persona abad ke-17 dan juga persona modern yang terdapat dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu mengekalkan pronomina per-sona pertama patik dan beta, manakala dalam bahasa Indonesia persona ter-sebut tidak disenaraikan. Dalam bahasa Melayu sekarang persona beta diguna-kan oleh raja apabila bercakap dengan rakyat, manakala patik pula digunakan oleh rakyat apabila bercakap dengan raja. Pada abad ke-17, persona beta digunakan oleh orang yang sama taraf, bukan digunakan oleh raja. Penggunaan beta sebagai persona yang digunakan oleh orang sama taraf ini masih terus berlaku di Maluku. Persona kedua diri yang digunakan pada abad ke-17 pula menjadi awak dalam bahasa Melayu, manakala dalam bahasa Indonesia diri dan awak tidak dikategorikan sebagai pronomina persona. Pada abad ke-17, ini dan itou adalah persona ketiga. Namun dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sekarang, ini dan itu adalah pronomina penunjuk.

‘Climate of opinion’ pronomina persona bahasa Melayu

Perbincangan pronomina dalam nahu Melayu adalah pengaruh ‘climate of opinion’ pada waktu itu. ‘climate of opinion’ adalah sesuatu pandangan atau pendapat yang dikongsi bersama oleh para sarjana pada suatu waktu. Pendapat dan pandangan ini bukan sahaja yang berkaitan dengan ilmu linguistik tetapi juga meliputi aspek keintelektualan dan juga kemajuan saintifik yang berlaku pada waktu itu (Koerner 1978; Koerner & Asher 1995). ‘Climate of opinion’ ini juga meliputi konteks sosial, teologi dan ekonomi. Dengan kata lain, apabila meneliti perkembangan ilmu linguistik, kita perlu mengambil kira disiplin-disiplin ilmu lain yang terdapat pada waktu itu termasuk persekitaran sosial, ekonomi dan agama. Malah, sesuatu idea yang muncul dalam disiplin linguistik bukan sahaja mempunyai kaitan dengan disiplin-disiplin lain, tetapi juga mempunyai kaitan dengan idea-idea dengan zaman-zaman sebelumnya. Justeru, perbincangan tentang pronomina oleh de Houtman, Danckaerts dan Roman ini bukanlah usaha terpencil, tetapi perbincangan pronomina ini juga dilakukan dalam bahasa-bahasa lain di dunia pada waktu itu. Dengan kata lain, ‘climate of opinion’ pada waktu itu memang membincangkan pronomina.

Page 21: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Karim Harun

18

Dalam konteks pronomina persona bahasa Melayu ini, ‘climate of opinion’ yang berlaku di Eropah banyak mempengaruhinya ‘climate of opinion’ yang mempengaruhi penulisan pronomina Melayu ialah ‘climate of opinion’ yang meliputi aspek intelektual. Aspek intelektual ini pula menjurus kepada perkembangan ilmu linguistik itu sendiri.

Pada abad ke-17, penulisan nahu, khususnya nahu vernakular amat berkembang di Eropah. Penulisan nahu pada waktu itu menggunakan kerangka kelas kata yang diwarisi daripada nahu Latin. Dalam penulisan nahu di Eropah, aspek yang dipentingkan ialah pembahagian kelas kata dan juga penyusunan kelas kata. Dalam aspek pembahagian kelas kata, yang menjadi persoalan ialah apakah kelas kata yang perlu diletakkan di dalam nahu, dan kedudukan kelas kata, iaitu apakah kelas kata pertama, kedua dan sebagainya. Dalam penyusun-an kelas kata, nahu pada abad ke-17 meletakkan kelas kata pronomina selepas kelas kata nomina. Nomina dan pronomina ini pula akan didahului oleh kata sandang. Kadangkala kata sandang juga diletakkan di antara nomina dan pronomina. Misalnya van Huele (1625) dalam nahunya De Nederduytsche grammatica ofte spraeckonst meletakkan kata sandang sebagai kelas kata pertama diikuti oleh nomina dan nomina. Dalam nahu Melayu, khususnya nahu Roman, kedudukan pronomina dalam susunan kelas kata ini juga adalah selepas nomina. Namun, dalam nahu beliau, tidak ada kata sandang yang men-dahului pronomina kerana beliau tidak memasukkan kata sandang sebagai salah satu kelas kata dalam bahasa Melayu. Justeru penulisan nahu Melayu oleh Roman yang juga membahagikan pronomina sebagai sebagai satu kelas kata adalah pengaruh ‘climate of opinion’ pada waktu itu.

Di samping aspek intelektual, emprisisme juga merupakan sebahagian daripada ‘climate of opinion’ pada waktu itu. Melalui empirisisme, orang Eropah memperoleh ilmu pengetahuan melalui observasi dan eksperimen yang dikenal sebagai sains.Perkembangan bahasa juga sejajar dengan perkembangan sains, malah ahli linguistik pada waktu itu juga adalah ahli sains. Dengan sikap empirisisme inilah orang Eropah mengkonseptualisasikan bahasa Melayu yang mereka temui. Oleh sebab pronomina merupakan salah satu kelas kata yang penting yang terdapat pada mana-mana nahu pada waktu itu, khususnya nahu Latin. Maka pengkonseptualisasikan bahasa Melayu juga tidak mengenepikan bahasa Melayu. Sikap observasi ini amat jelas apabila mereka mencatatkan dan menhuraikan penggunaan pronomina persona bahasa Melayu dengan lengkap.

KESIMPULAN

Walaupun catatan pronomina persona bahasa Melayu ini dilakukan lebih 350 tahun dahulu, tetapi catatan ini memperlihatkan persamaan dengan pronomina persona bahasa Melayu moden. Yang lebih penting ialah perbincangan pro-nomina persona bahasa Melayu ini sudah memperlihatkan analisis linguistik yang kedepan. Di samping itu, perbincangan pronomina persona yang bertahap-tahap, iaitu bermula dengan penyenaraian pronomina persona, klitik persona dan akhirnya bentuk penuh pronomina persona ini juga adalah satu proses evolusi penguasaan bahasa Melayu oleh orang Eropah. 'Climate of opinion' yang berlaku di Eropah turut mempengaruhi pronomina persona baha-sa Melayu. Dengan demikian ‘climate of opinion’ yang meliputi persekitaran intelektual dan empirisisme yang berlaku di Eropah turut dirasai oleh Alam Melayu.

Page 22: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

19

CATATAN 1 Dalam buku nahu Melayu sekarang, terdapat perbezaan mengenai pembahagian pronomina ini. Asmah (1986) membahagikan pronomina kepada tiga jenis, iaitu kata ganti nama diri, ganti nama penunjuk dan ganti nama tanya. Manakala Nik safiah et al. (1996) pula membahagikan pronomina kepada dua jenis, iaitu kata ganti nama tunjuk dan kata ganti nama diri. Nik safiah meletakkan kata ganti nama tanya sebagai subgolongan kepada kata ganti nama diri. 2 Terjemahan kalimat ini ialah “dari makna-makna ini semua dari enam pertama, persona pertama atau sendiri yang berbicara. Tetapi ini dipakai dalam hal yang berbeda-beda.”

DAFTAR PUSAKA

Anton Moeliono & Soenjono, D. (pnyt). 1988. Tatabahasa baku bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Collins, J.T. 1998. Malay, world language: A short history. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Frederick De Houtman. 1603. Spraeck ende woord-boeckIindemaleysche ende madagaskasche Talen, met vele Arabische ende Turcsche woorden. Amsterdam: Jan Evertsz.

Koerner. 1978. Toward a historiography of linguistics. Amsterdam: John Benjamins. B.V.

Koerner & Asher (eds.). 1995. Concise history of the language sciences. From Sumerian to the cognitivists. Oxford: Pergamon, Elsevier.

Roman, Joannes. 1674. Grondt Ofte Kort Bericht Van De Maleysche Tale, vervat in twee Deelen; het eerste handelende van de letters ende haren aenhang, het andere, van de deelen eener Redene. Amsterdam: : Paulus Matthysz.

Wiltens, Caspar. & Danckaerts, S. 1623. Vocabularium, ofte Voort-boeck, naer ordre vanden Alphabet in ‘t Duytsch-Maleysch, ende Maleysch-Duystch. ‘S Graven-haghe: de Wedue, ende Erfghenamen van Wijlen Hillebrant Jakarta..

Nik Safiah, Farid, Hashim, Abdul Hamid. 1996. Tatabahasa Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Page 23: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

EKSPRESI VERBAL PENDERITA STROKE PENUTUR BAHASA MINANGKABAU:

SUATU ANALISIS NEUROLINGUISTIK

Gusdi Sastra Universitas Andalas, Padang

Abstract

One of the common disorders in verbal expression can be seen among stroke patients. Stroke is a medical problem caused by a blockage in the blood of the blood vessels that transport blood to the brain, leading to hemorrhage or disfunction of brain. When the linguistic function is disrupted, linguistic disturbances occur. Various linguistic disturbances (generally known as aphasia) can be studied or analyzed by observing the language disorder of stroke patients.

Language disorders are described in this paper by using the speech-disturbance theory, namely the phonological errors and production theory by Kohn (1993), Blumstein (1994) and Auden & Bastiaanse (1999). The research methodology of the study is the psycho-neurolinguistic method involving case observation and natural observation among stroke patients who are speakers of the Minangkabau language. Data were obtained from stroke patients undergoing treatment at a hospital in Bukittinggi, West Sumatera, Indonesia. The verbal expressions of stroke patients, who are speakers of the Minangkabau language, occur in various forms of verbal errors, namely, verbal replacement error (32%), verbal abolition (48%), verbal nonsequences (10%), verbal additon (4%), and verbal abbreavition (5,5%).

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan sarana komunikasi antarindividu dalam kehidupan sehari-hari, meliputi bahasa lisan, tulisan, isyarat, dan kode lainnya. Bahasa membuat manusia bisa berkomunikasi, menciptakan keindahan, menyampaikan perasaan, dan meneruskan pengetahuan serta kebudayaan dari satu generasi kepada generasi yang lain. Bahasa juga sarana untuk mengemukakan ide dan konsep selain untuk berdialog dan bersosialisasi.

Bahasa dalam proses komunikasi dapat berupa bahasa verbal dan non-verbal. Bahasa verbal digunakan untuk menyampaikan pikiran secara lisan, sedangkan bahasa non-verbal digunakan untuk menyampaikan fikiran secara tulisan dan isyarat. Menurut Smith (1969), manusia dalam berkomunikasi sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa verbal dibandingkan dengan bahasa non-verbal.

Dalam penggunaan komunikasi verbal, setiap manusia dibekali oleh kemampuan berbahasa, tetapi kemampuan tersebut tidak selalu sama, ada yang

Page 24: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Gusdi Sastra

22

normal dan ada yang tidak normal. Normal artinya mampu berbahasa menurut kaidah linguistik seperti tekanan, struktur bahasa, intonasi, dan sebagainya, sedangkan tidak normal artinya tidak mampu berbahasa menurut konteks manusia normal sehingga komunikasi tidak memenuhi sasaran.

Manusia yang tidak bisa berbahasa secara normal banyak ditemui dalam masyarakat. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan pada bagian syaraf bahasa di otak karena sesuatu hal, kerusakan pada alat-alat artikulasi, dan tekanan mental. Di samping itu, ada juga yang kehilangan kemampuan untuk menyampaikan isi pikiran dengan lisan yang disebut juga dengan afasia motorik kortikal (Kusumoputro 1993). Walaupun penderita mampu memahami bahasa lisan dan tulisan, namun ia tidak berupaya mengungkap ekspresi verbal dan hanya kadang-kadang dapat memaknai ekspresi non-verbal.

Salah satu dari gangguan ekpresi verbal dan non-verbal yang sering ditemui kasusnya sehari-hari ialah pada penderita stroke. Penyakit stroke adalah suatu gangguan peredaran darah di otak yang lazim menimpa orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, tetapi akhir-akhir ini juga ditemukan kasus yang menimpa orang-orang berusia dibawah 40 tahun, atau bahkan juga anak-anak. Selain gejala kelumpuhan, cacat bahasa merupakan gejala yang umum terjadi pada penderita stroke. Bila penyakit stroke meyerang hemisfer kiri, penderita akan mengalami kesukaran dalam menggunakan ekspresi verbal dan non-verbal.

Penyakit stroke dapat menyerang siapa saja, bangsa dan suku apa saja, penutur mana dan di mana saja, baik laki-laki maupun perempuan. Gejala yang menunjukkan jumlah prosentase tertinggi di Indonesia yang mengalami penyakit stroke akhir-akhir ini adalah penutur bahasa Minangkabau, khususnya penutur bahasa Minangkabau yang menetap di wilayah Sumatera Barat (Sujudi 2002). Karena gaya hidup dan kebiasaan pola makan orang Minang dicurigai memicu banyak kasus penyakit stroke, pada bulan Mei 2002 diresmikan sebuah rumah sakit yang khusus menangani penyakit stroke di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Walaupun kajian tentang afasia atau gangguan berbahasa telah banyak dilakukan, misalnya Jakobson (1971), Blumstein (1973, 1994), Ouden dan Bastiaanse (1994), Irnawati (1997), dan Suhardiyanto (2000), penelitian yang khusus membahas penyakit stroke dan gangguan berbahasa yang dialami oleh penutur berbahasa Minangkabau secara lebih mendalam belum dilakukan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan sehingga diperoleh gambaran tentang ekpresi verbal penderita stroke penutur bahasa Minangkabau yang dikaji berdasarkan ilmu syaraf dan linguistik. Beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini, antara lain, adalah: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit stroke di kalangan penutur bahasa Minangkabau, (2) Mengidentifikasi beberapa bentuk ekspresi verbal penderita stroke penutur bahasa Minangkabau yang telah didiagnosa oleh dokter ahli syaraf sebagai gangguan pada hemisfer kiri, (3) Menyusun ekspresi verbal penderita stroke berdasarkan jenis cacat bahasa yang terjadi, (4) Membedakan kemampuan linguistik penderita stroke dengan ke-mampuan non-linguistiknya, dan (5) Membedakan bentuk ekspresi verbal pen-derita stroke dalam hal aspek fonologi dan leksikal.

Page 25: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

23

TEORI

Penelitian ini menggunakan teori gangguan pertuturan penderita afasia yang dikembangkan oleh Geschwind (1981) dan Thomas (1991). Untuk teori mengenai pelbagai jenis kesilapan bahasa, dipakai teori kesilapan fonologi dari Blumstein (1994), Auden dan Bastiaanse (1999), dan proses kata dari Kohn (1993).

Gangguan pertuturan didefinisikan di sini sebagai kesulitan seseorang dalam menghasilkan suatu tuturan secara lancar. Geschwind (1981) mengatakan bahwa penderita afasia motorik mengalami kesulitan dalam mengucapkan suatu kata sehingga penderita menampakkan gejala ekspresi verbal yang tidak fasih. Hal itu disebabkan karena adanya kerusakan pada medan Broca. Afasia Broca menyerang korteks motorik hemisfer bagian depan dan menyebabkan gangguan mengontrol otot muka, lidah, dagu, dan juga tekak. Lumpuhnya otot pertuturan karena kerusakan saraf motorik di pusat saraf menyebabkan penderita mengalami gangguan pertuturan.

Thomas (1991) mengatakan bahwa hemisfer kiri berfungsi untuk mengatur gerakan tubuh sebelah kanan. Ia mengawal indra sebelah kanan seperti rasa, penglihatan, pendengaran, dan pertuturan lebih kurang 99 persen, serta mempengaruhi tangan kanan. Sementara itu, hemisfer kanan berfungsi untuk mengatur gerakan bagian tubuh sebelah kiri.

Menurut Blumstein (1994), kesilapan fonologi pada penderita cacat bahasa dapat berupa penggantian fonem, penambahan fonem, penghilangan fonem, dan asimilasi. Bentuk asimilasi dibagi lagi menjadi kesilapan lingkungan dan ketidakteraturan. Kesilapan fonologi atau kesilapan penyeder-hanaan adalah pengguguran sebuah fonem atau suatu bentuk kesilapan fonem. Blumstein mengatakan bahwa pengguguran tidak hanya berlaku pada sebuah fonem saja, tetapi juga pada beberapa fonem pada kata yang sama, bahkan juga pengguguran unsur yang berstruktur suku kata.

Berbeda dengan Blumstein, Kohn (1993) mengatakan bahwa asimilasi adalah suatu bentuk kesilapan tersendiri yang menyebabkan terjadinya bentuk kesilapan penambahan dan penggantian. Konteks fonem lingkungan dapat mempengaruhi kesilapan pembentukan fonem, sedangkan kesilapan tersebut menyebabkan terjadinya penggantian dan penambahan fonem.

Di dalam hal memproduksi kata, Kohn (1993) mengatakan bahwa kesilapan fonologi dan kesilapan proses leksikal mengisyaratkan tiga tahapan, yaitu tahap fonologi, tahap fonemik, dan tahap fonetik. Pada tahap fonologi, berlangsung pemanggilan leksikon fonologi; pada tahap fonemik, terjadi peng-gambaran segmen berdasarkan pada bentuk simpanan leksikon; dan pada tahap fonetik, tersusun bentuk artikulator fonetik yang disertai dengan informasi fonologi yang peka konteks. Kohn juga menyinggung proses penghasil pertuturan dalam satuan penghasil kata tunggal. Menurut Kohn, sebuah unsur leksikal dipicu oleh komponen semantik dan kemudian diproduksi melalui proses artikulasi yang dapat menguraikan bentuk kesilapan pertuturan ekspresi penderita stroke.

TEMPAT DAN SUBJEK PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Nasional Khusus Stroke, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia untuk mengumpulkan data primer. Data didapat dari

Page 26: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Gusdi Sastra

24

penderita stroke penutur bahasa Minangkabau, baik yang dirawat di Rumah Sakit maupun yang menjalani rawat jalan. Oleh sebab itu, penelitian juga dilakukan di rumah tempat tinggal penderita.

Subjek penelitian dipilih 2 orang, yaitu 1 subjek tunggal dan 1 subjek bandingan. Hal ini dilakukan berdasarkan konsep penyelidikan satu kasus. Subjek penelitian mempunyai persyaratan seperti berikut: (1) Penutur menggunakan tuturan bahasa Minangkabau saja, (2) Keluarga penutur menggunakan bahasa yang sama dengan penutur, (3) Lingkungan linguistik penutur sebelum menderita stroke, seperti tempat tinggal dan tempat kerja, adalah lingkungan yang menggunakan bahasa yang sama dengan penutur. Di samping itu, subjek yang dijadikan sampel penelitian ini adalah penderita yang sudah diketahui informasi medisnya dari dokter atau ahli neurologi di Rumah Sakit Khusus Stroke.

Penderita yang menjadi subjek penelitian adalah penderita yang meng-alami stroke yang bukan merupakan hemoragik berat. Pemilihan etiologi atau penyebab sindrom afasia yang diderita subjek penelitian adalah penyakit serebro-vaskuler atau CVA, yang mengenai area di lobus frontal dan temporal-parietal-oksipital. Pemilihan tersebut berdasarkan pada teori bahwa penderita afasia semacam ini cenderung menderita afasia kortikal. Afasia jenis ini mudah diamati secara linguistik karena adanya kerusakan otak, baik pada titik Broca atau Wernicke, dan juga titik-titik lain pada hemisfer kiri.

Selain itu, penderita yang menjadi sampel penelitian tidak mengalami cacat pada lobus oksipital yang mengakibatkan gangguan visual. Penderita juga tidak mengalami disartria dan apraksia pertuturan. Dengan demikian, penderita yang menjadi sumber data ialah penderita yang sedang dalam perawatan, baik di Rumah Sakit maupun yang menjalani rawat jalan dan yang sedang mengikuti terapi bahasa.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan kaedah psiko-neurolinguistik dalam mengumpulkan data, yaitu merekam, merasa, dan memahami fenomena yang sebenarnya terjadi, baik dalam diri subjek individu, dengan cara menganalisisnya secara intensif, maupun mengamati perkembangan subjek di lingkungannya (Dani 1992).

Adapun tahap-tahap yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah observasi analitik, studi kasus, dan observasi alami. Observasi Analitik ialah suatu cara mengumpulkan data yang hanya dapat digunakan terhadap komunitas bahasa sendiri saja, suatu ketrampilan yang sangat baik untuk tujuan penelitian (Saville-Troike 1991). Cara ini bukan saja mutlak untuk membuktikan bahwa setiap subjek mempunyai lingkungan bahasa dan persoalan mengenai berbagai aspek bahasa, tetapi juga merupakan jawaban dari perspektif komunitas subjek yang diteliti. Peneliti bersikap memahami fenomena subjek yang sebenarnya terjadi dan langsung memahami sesuatu data bahasa berdasarkan intuisi dan kemampuan linguistiknya. Secara analitik, peneliti mempunyai pengetahuan tentang data bahasa yang akan dikaji. Selain menggunakan intuisi, peneliti membuat generalisasi berdasarkan data yang terkumpul dari korpus bahasa.

Tahap kajian studi kasus terhadap subjek, merupakan kajian yang bersifat ekplorasi, artinya kasus yang dialami adalah sebagai sistem yang tidak bebas dalam suatu penelitan psiko-neurolinguistik. Menurut Shughnessy dan Zechmeister (1994), kajian studi kasus merupakan deskripsi dan analisis

Page 27: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

25

terhadap data subjek. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 subjek penderita stroke pada tempat penyelidikan yang sudah ditentukan. Disamping itu, penelitian ini menggunakan sumber observasi alami, yakni dengan cara menempatkan diri sebagai pengamat dan pelaku pertuturan, baik dengan penderita maupun dengan keluarga penderita. Dengan demikian peneliti mem-punyai keupayaan untuk menguji hipotesis dan memperoleh reaksi mengenai bentuk dan gejala komunikasi penderita.

Pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis data adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif diperlukan untuk menguraikan sistem ekspresi verbal penderita stroke yang didapat dari pelbagai bentuk kesilapan, baik fonologi maupun leksikal. Kesilapan yang diuraikan adalah penggantian, pengguguran, penambahan, ketidakteraturan, dan pemendekan verbal, sedangkan pendekatan kuantitatif diperlukan untuk menjelaskan kesilapan berdasarkan bilangan. Langkah berikutnya adalah mengklasifikan berdasarkan kesilapan yang ditemukan untuk masing-masing subjek dan memperkirakan bentuk kecenderungan yang akan muncul, melakukan tabulasi dan jumlah prosentase terhadap data yang telah dikelompokkan menurut kesamaan bentuk.

Untuk mendapatkan data, peneliti menggunakan alat kajian berupa alat rekaman, daftar tanyaan, dan gambar. Untuk menjawab tujuan 2, 3, dan 4, data dari korpus dianalisis secara kuantitatif, sedangkan tujuan 1 dan 5 coba dicapai dengan data kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa penyakit stroke pada penderita penutur bahasa Minangkabau disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) individu mengalami masalah jantung, (2) individu menghidap penyakit darah tinggi atau hipertensi, (3) kolesterol darah yang tinggi, (4) merokok, (5) kurang melakukan kegiatan fisik, (6) berat badan yang berlebihan atau obesitas, (7) gaya hidup dan pola makan yang tidak seimbang, dan (8) stress. Pelbagai faktor tersebut merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan tersumbat atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga menyebabkan kematian sel-sel otak dan tidak berfungsinya syaraf yang berhubungan dengan kemampuan bahasa penderita.

Dari ke empat penderita yang menjadi sampel penelitian, ditemukan bahwa penderita mewakili setiap faktor resiko karena setiap faktor resiko saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Faktor resiko penyakit stroke hampir bersamaan dengan faktor risiko penyakit jantung koroner. Penelitian ini tidak terfokus kepada tipe stroke hemoragik sehingga penderita yang menjadi sampel tidak semuanya menderita penyakit jantung koroner dan mempunyai tekanan darah tinggi. Data pelbagai faktor resiko tersebut dirangkum dalam tabel berikut:

Page 28: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Gusdi Sastra

26

Faktor resiko Penderita A B

Jantung koroner Hipertensi Kolesterol Merokok Kurang aktivitas Obesitas Gaya hidup Stress

- + + - + + + + - + + - ++ ++ + -

Obesitas pada penderita menyebabkan munculnya faktor resiko lain seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung korener. Apabila kegiatan fisik berkurang, zat makanan yang menumpuk dalam tubuh akan menjadi lemak. Gaya hidup orang Minang dalam penelitian ini dilihat berdasarkan pola makan dan pekerjaan sehari-hari penderita. Pengolahan makanan sehari-hari yang banyak menggunakan kelapa sebagai sumber utama lemak, begitu juga dengan lemak dari hewan seperti daging sapi. Lemak jenuh yang berasal dari santan kelapa dan bercampur dengan lemak jenuh dari hewan seperti sapi dalam bentuk gulai dan goreng-gorengan akan menghasilkan kadar lemak jenuh yang tinggi dan ini merupakan faktor resiko tinggi terjadinya penumpukan kolesterol jahat dalam tubuh. Kurangnya kegiatan fisik disebabkan oleh pekerjaan penderita yang lebih menggunakan otak daripada kegiatan fisik, yaitu sebagai dosen dan pegawai negeri. Di samping itu, faktor stres yang dialami oleh penderita A, menyebabkan banyaknya keluar hormon adrenalin dan katekolamin. Kedua hormon ini mendorong ketegangan arteri koroner sehingga kerja jantung menjadi terganggu.

Penderita stroke yang telah didiagnosa mengalami gangguan di hemisfer kiri otak mengalami gangguan pertuturan. Gangguan tersebut wujud dalam pelbagai bentuk ekspresi verbal. Gejala yang nampak ialah sulitnya penderita melafalkan suatu tuturan secara lancar. Ekspresi verbal penderita menjadi tidak fasih karena terjadinya kerusakan di area Broca yang menye-babkan tidak berfungsinya syaraf-syaraf yang mengontrol otot muka, lidah, dagu, dan tekak. Pelbagai bentuk ekspresi verbal yang ditemukan dari penelitian ini ialah verbal penggantian, pengguguran, penambahan, tidak berurutan, dan pemendekan.

Verbal penggantian adalah kemampuan penderita strok dalam me-nyampaikan pikiran secara verbal, dalam menirukan bunyi sehingga menye-rupai bunyi yang dimaksud walaupun secara silap. Upaya tersebut dilaku-kannya apakah dengan cara mengubah bunyi maupun dengan proses asimilasi, misalnya: tujuah ‘tujuh’ tajah, tajan, kurang kareng, lupo ‘lupa’ luko ‘luka’, dsb. Verbal pengguguran maksudnya adalah proses gugurnya suatu fonem dari yang seharusnya sehingga terjadi suatu kesilapan bunyi tuturan penderita stroke. Pengguguran fonem tidak saja terjadi pada satu fonem, tetapi adakalanya juga pada beberapa fonem pada kata yang sama, bahkan pada unsur yang berstruktur suku kata, misalnya: darah dar, dirampok dilam, minyak mak, dsb. Verbal penambahan terjadi apabila suatu fonem atau suku kata tambahan dimasukkan ke dalam suatu perkataan, misalnya: dingin dingkin, indak ‘tidak’ tinggak, limo ‘lima’ limam, dsb. Verbal tidak

Page 29: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

27

berurutan maksudnya adalah kesilapan karena lingkungan fonem yang mempengaruhinya, baik antara suku kata maupun antara fonem. Penderita cenderung menyederhanakan suku kata dalam bentuk fonem yang tidak berurutan, baik dengan cara menggugurkan atau menghilangkannya, maupun dengan cara menukar letaknya dari lingkungan fonem yang mempengaruhinya, misalnya: karajo ‘kerja’ karaj, keraj, sumatera musa, minyak nyakmu, dsb. Sedangkan verbal pemendekan ialah suatu bentuk kesilapan yang disebabkan karena pemendekan kata yang terjadi dalam suatu bahasa, ia bukanlah akronim, tetapi terjadi karena kebiasaan yang tidak disengaja oleh penutur bahasa Minangkabau dalam suatu pertuturan, misalnya: mengapa nga, kembali liak, bila lo, dsb. Kesilapan verbal pemendekan ini adalah suatu temuan khusus dalam penelitian afasia, karena satu-satunya bentuk kesilapan verbal yang berbeda dari beberapa penelitian seperti yang dikaji oleh Blumstein (1994).

Kesilapan verbal penggantian dan pengguguran menunjukkan prosentase yang cukup tinggi. Hal ini menandakan bahwa penderita mengalami sindrom afasia yang beragam pada awalnya dan berakhir dengan sindrom afasia Broca. Kesilapan verbal pengguguran sebanyak 48 persen, membuktikan bahwa penderita menghidap sindrom afasia Broca, karena ia kesulitan dalam mengawal impuls neuron secara motorik sehingga cendrung menyederhanakan pertuturan dengan cara menggugurkan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh perbandingan kelima bentuk kesilapan verbal penderita stroke penutur bahasa Minangkabau, yaitu 32:48:4:10:5,5.Banyaknya jumlah kesilapan pengguguran dan penggantian, manandakan bahwa penderita strok mengalami gangguan pada tahap pengkodean fonologi. Menurut Kohn (1993), karena mengalami gangguan dalam memproduksi fonem, penderita cenderung menggugurkan bunyi guna mencapai aspek fonetik sebuah pertuturan. Perbandingan kelima bentuk kesilapan verbal tersebut seperti terlihat dalam grafik berikut:

Cacat bahasa yang terjadi pada penderita stroke disebabkan karena kacau-balaunya pikiran. Akibat terganggunya area bahasa pada otak sebelah kiri, perintah dari otak pun tidak jelas sehingga bahasa yang dituturkan menjadi tidak beraturan walaupun sebenarnya internal bahasanya lengkap. Cacat bahasa penderita stroke terwujud dari kelima jenis bentuk kesilapan, sedangkan segmen bunyi terlihat melalui fitur distingtif yang terjadi melalui kesilapan penggantian vokal dan konsonan.

Dalam mengganti vokal, penderita cenderung mengganti vokal tinggi dan vokal rendah, sedangkan jenis vokal yang sering terganti adalah vokal pusat. Dalam pembentukan vokal, penderita sering melakukan kesilapan dalam

0

100

200

300

400

pgt pgr pbhn tdk brtn pmdkn

Page 30: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Gusdi Sastra

28

menghasilkan vokal tinggi dan vokal rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penderita mengalami kesulitan dalam membuka rongga mulut dengan sempurna. Gerakan lidah dan rahang yang maksimal untuk membentuk vokal tinggi dan vokal rendah tidak berfungsi karena terganggunya sistem otot dan syaraf kranial.

Berkaitan dengan kesilapan bunyi konsonan, perubahan akan terjadi pada fitur distingtif tempat, cara, dan kebersuaraan bunyi. Konsonan yang sering gugur ialah konsonan dental-alveolar dan labial. Oleh sebab itu, kesilapan berawal dari konsonan anterior seperti labial, dental, dan alveolar ke arah posterior seperti velar dan faringal. Kesilapan penggantian vokal terjadi pada satu fitur distingtif, sedangkan kesilapan konsonan terjadi pada dua atau lebih fitur distingtif.

Kemampuan linguistik dan non-linguistik penderita stroke penutur bahasa Minangkabau dapat dilihat dari modalitas bahasa yang nampak melalui gejala pertuturan verbal yang tidak fasih. Kemampuan tersebut meliputi hal-hal berikut: Gejala Modalitas Bahasa Kecepatan pertuturan Menurun, tidak mampu, suka diam Keupayaan Menurun, cendrung merasa tidak mampu Tekanan pertuturan Menurun, cendrung melemah Isi pertuturan Mengutamakan tujuan dan objek Intonasi Tidak ada Pelbagai kemampuan linguistik tersebut sangat ditentukan oleh aspek non-linguistik seperti tekanan mental dan perasaan tidak berarti dalam hidup.

Kesulitan penderita dalam bertutur, muncul dalam berbagai tahapan modalitas bahasa dan ekspresi verbalnya. Ciri verbal tersebut adalah sebagai berikut: Modalitas Bahasa Ciri Verbal Bahasa Pertuturan wajar Tidak fasih, tidak normal dan silap Faham pendengaran Normal dan positif Pengulangan Tidak normal, tidak fasih, negatif Penamaan Tidak normal dan negatif Membaca Normal, faktor bukan linguistik Menulis Tidak normal dan negatif

Kemampuan linguistik penderita stroke nampak melalui pelbagai bentuk kesilapan yang direalisasikan melalui cacat fonologi dan leksikal. Kesilapan disebabkan karena perintah otak yang mengirim impuls neural ke beberapa syaraf kranial yang tersilap, yaitu syaraf fasial yang mengawal otot wajah, syaraf trigeminal yang mengawal otot rahang, dan syaraf hipglosal yang mengawal otot lidah. Penderita stroke umumnya mengalami gangguan pada syaraf-syaraf kranial tersebut sehingga ia tidak mempu mengawal modalitas bahasa.

Berdasarkan aspek fonologi dan leksikal, penafsiran kata-kata diperoleh dari leksikal ke dalam kode-kode fonologi yang disebut juga dengan tahap pengkodean fonologi. Apabila terdapat kekacauan informasi fonologi pada tahap ini, akan dihasilkan kesilapan segmen melalui pelbagai fitur distingtif.

Page 31: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

29

Pelbagai informasi fitur distingtif berupa rancangan fonetik, akan disusun ke dalam satuan program titik artikulasi yang bersifat motorik pada ta-hap artikulasi. Setelah itu akan dikirim ke saraf kranial yang terkait, sedangkan pesan motorik akan ditafsirkan oleh saraf kranial dengan menggerakkan alat-alat artikulasi. Pergerakan alat artikulasi akan menimbulkan sebuah pertuturan.

Bentuk-bentuk kesilapan yang terjadi dapat dihubungkan dengan suku kata di mana setiap suku kata terdiri dari tiga usur, yaitu onset, puncak, dan koda. Segmen yang menjadi puncak suku kata ialah vokal, sedangkan kedu-dukan onset dan koda akan diisi oleh konsonan.

Apabila dibandingkan kesilapan antara segmen vokal dengan konso-nan, maka nampak kesilapan vokal lebih sedikit, yaitu sebanyak 21 persen berbanding 44 persen. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Darwin (2000) yang mengatakan bahwa apabila seseorang mendapat stroke, area yang perta-ma sekali terluka tidak saja lobus frontal, tetapi juga area temporal-parietal-oksipital, yaitu pusat perintah bahasa yang mengawal syaraf-syaraf motorik bunyi konsonan. Perbandingan jumlah kesilapan kedua segmen tersebut terangkum dalam diagram berikut:

Apabila dihubungkan dengan suku kata, ketidakberurutan fonem mun-cul dengan membentuk gugus konsonan menjadi konsonan tunggal dan melalui pertukaran onset dan koda. Pertukaran vokal dan konsonan antara sukukata muncul secara terpisah dalam jumlah yang dominan. Kesilapan fonem sering muncul pada bagian akhir atau suku kata terakhir dan pada bagian awal kata atau suku kata awal. Pada bagian awal dengan cara melakukan inisiasi atau pengulangan sehingga subjek mengalami anomia. Gangguan ini disebabkan karena tidak lancarnya mekanisme pengiriman impuls neuron dan pengaturan artikulasi. Kesilapan leksikal yang sering muncul dalam penelitian ini adalah ke-silapan pada bagian awal dan akhir perkataan, yaitu sebanyak 29 persen bagian awal dan 62 persen bagian akhir. Hal ini disebabkan oleh struktur morfologis bahasa Minangkabau yang memungkinkan tingginya kesilapan bagian awal dan akhir. Di samping itu, cacat leksikal dapat dilihat dari terapi linguistik yang telah dilakukan. Dengan adanya terapi linguistik penderita akan memiliki rasa percaya diri untuk berkomunikasi dengan lawan tutur, yaitu dengan melalui kaidah terapi perilaku, terapi intonasi, dan perbandingan pendengaran. Kesembuhan penderita stroke penutur bahasa Minangkabau juga sangat ditentukan oleh kemampuan non-linguistik seperti motivasi, ekspresi diri, dan aspek sosial. Walaupun upaya terapi dan kemampuan non-linguistik sangat

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5

vokal

konsonan

Page 32: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Gusdi Sastra

30

menentukan, tidak ada jaminan bahwa pertuturan penderita stroke akan sembuh total sebagaimana manusia normal. Faktor “semangat hidup” justru lebih berperan dalam upaya kesembuhan seorang penderita stroke.

PENUTUP

Kemampuan linguistik penderita stroke penutur bahasa Minangkabau sangat ditentukan oleh pelbagai faktor, terutama adalah faktor gaya hidup dan latar belakang keluarga penderita sebelum dan setelah mengalami stroke. Kefasihan dan ketidakfasihan penderita dalam berkomunikasi juga ditentukan oleh faktor terapi linguistik yang diberikan, berat ringannya stroke yang dialami penderita, dan aspek non-linguistik seperti motivasi, pembiasaan diri atau sikap, dan aspek sosial penderita. Kemampuan berbahasa penderita stroke penutur bahasa Minangkabau, menunjukkan gejala tidak fasih tetapi cukup paham dengan bahasa lawan tutur. Tuturan penderita kelihatan tidak lancar dan selalu menggunakan kalimat-kalimat pendek, tidak mempunyai intonasi sehingga terasa datar, dan banyak menggunakan kata benda saja. Hal ini disebabkan karena terganggunya impuls syaraf kranial yang menjaga otot rahang penderita. Oleh sebab itu, terjadilah pelbagai kesilapan bunyi vokal dan konsonan. Proses yang terjadi di otak sewaktu menghasilkan suatu tuturan, khususnya kata-kata dan unsur leksikal, digambarkan melalui gejala kesilapan. Pada bentuk kesilapan verbal tidak berurutan dan kesilapan pengguguran, terjadi penyusunan informasi fonologi berupa fitur distingtif dalam satuan penyusunan artikulatorik. Meskipun fitur tersebut disusun dalam pola tertentu secara berurutan, penderita akan mengacaukannya dalam bentuk verbal yang tidak berurutan seperti metatesis. Hal itu terjadi karena tidak berfungsinya sistem pengawal motorik sehingga beberapa segmen bunyi menjadi terbalik dan saling berpengaruh. Akhirnya, sebagai peneliti dan lawan tutur penderita stroke penutur bahasa Minangkabau saya menemukan suatu ciri yang signifikan, yaitu bahwa verbal pemendekan yang dapat membantu pemahaman terhadap tuturan verbal penderita penutur bahasa Minangkabau adalah suatu bentuk verbal kesilapan yang khusus jika dibandingkan dengan bahasa lainnya yang pernah dikaji dari sudut neurolinguistik.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, D. F. 1979. Aphasia, Alexia, and Agraphia. New York: Churchill Livingstone.

Blumstein, Sheila E. 1973. A Phonological Investigation of Aphasic Speech. The Hague: Mouton.

______. 1994. “Neurolinguistics: An Overview of Language – Brain” dalam Language: Psychological and Biological Aspects, ed. F.J. Newmeyer, 210 – 36. Cambridge: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Page 33: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

31

Caplan, D., M. Vanier, dan C. Baker. 1989. “A Case Study of Reproduction Conduction Aphasia I: Word Production” dalam Cognitive Neuropsychology, 3: 99-128.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1981. “Dasar-dasar Neurofisiologis dalam Penguasaan Bahasa” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, 5/2: 16 – 31.

______. 1991. “Pemerolehan Fonologi dan Semantik pada Anak: Kaitannya dengan Penderita Afasia” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 63 – 82. Yogyakarta: kanisius.

______. 1991. PELLBA 4: Linguistik Neurologi. Yogyakarta: Kanisius. ______. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Geschwind, Norman. 1981. “Specializations of the Human Brain” dalam Human

Communication: Language and Psychobiological Bases, Reading from Scientific America, ed. William S-Y. Wang, 110 – 19. San Fransisco: W.H. Freeman and Company.

Gleason, Jean Berko dan Nan Bernstein Ratner (ed.). 1993. Psycholinguistics. Forth Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Gordon, F. 2000. Stroke: Panduan Latihan Lengkap. The Cooper Clinic and Research Institute Fitness Series. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press.

Jakobson, Roman. 1971. Studies on Child Language and Aphasia. Janua Linguarum Series Minor. The Hague: Mouton.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1991. “Perkembangan Bahasa Anak: Pragmatik dan Tata Bahasa” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 157 – 188. Yogyakarta: Kanisius.

Kohn, Susan E. 1988. “Phonological Production Deficits in Aphasia” dalam Phonological Processes and Brain Mechanism, ed. H.A. Whitaker, 93 – 117. New York: SpringerVerlag.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. “Bantuan Linguistik untuk Meringankan Penderita Cacat Bahasa “. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Kusumoputro, Sidiarto. 1981. “Bahasa dan Saraf Manusia” dalam Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa, ed. Harimurti Kridalaksana, 256 – 267. Ende: Nusa Indah.

_____. 1991. “Berbagai Gangguan Berbahasa pada Orang Dewasa” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowijojo, 33 – 55. Yogyakarta: Kanisius.

_____. 1992. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. _____. 1993a. “Penanganan Orang Dewasa yang Cacat Bahasa”. Makalah dalam

Seminar Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

_____. 1993b. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: FKUI. Lenneberg, Eric H. 1967. Biological Foundations of Language. New York: John

Wiley & Sons. Lumbantobing, S.M. 2000. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Jakarta: FKUI. _____. 2003. Stroke: Bencana Peredaran Darah di Otak. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Page 34: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Gusdi Sastra

32

Markam, Soemarmo. 1991. “Hubungan Fungsi Otak dan Kemampuan Berbahasa pada Orang Dewasa” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 21 – 31. Yogyakarta: Kanisius.

Niemi, Jussi., Paivi Koivuselka-Sallinen, dan Ritva Hanninen. 1985. “Phoneme Errors in Broca’s Aphasia: Three Finnish Cases” dalam Brain and Language, 26: 28 – 48.

Nunan, David. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Obler, K., Oraine dan Kris Gjerlow. 1999. Language and the Brain. Cambridge: Cambridge University Press.

Ouden, Dirk Bart den dan Roelien Bastiaanse. 1999. “Three Different Patterns of Phonological Disturbance in Aphasia” dalam Brain and Language, 69, 3, 349 – 51.

Sidharta, Priguna. 1989. “Segi Medis Gangguan Ekspresi Verbal” dalam PELLBA 2, ed. Kaswanti Purwo, 163 – 78. Yogyakarta: Kanisius.

Sidiarto, Lily. 1981. “Kelainan Wicara” dalam Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa, ed. Harimurti Kridalaksana, 251 – 155. Ende: Nusa Indah.

_____. 1991. “Gangguan Berbahasa pada Anak” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 133 – 151. Yogyakarta: Kanisius.

_____. 1993. “Penanganan Anak-anak Cacat Bahasa”. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Simanjuntak, Mangantar. 1991. “Neurolinguistik dan Afasiologi: Ke Arah Suatu Kerjasama yang Saling Menguntungkan” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 1 – 14. Yogyakarta: Kanisius.

Suhardiyanto, Totok. 1993. “Cacat Gramatikal pada Keluaran Wicara Penderita Sindrom Afasia Broca: Sebuah Analisis Struktural dan Neurolinguistik terhadap Lima Kasus Sindrom Afasia Broca di FKUI/RSCM, Jakarta”. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

_____. 1994. “Bahasa dan Syaraf Pusat”. Makalah dalam Kongres Linguistik Nasional MLI, Palembang, 1 – 5 Juni 1994.

Soeharto, Iman. 2001. Serangan Jantung dan Stroke. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Whitaker, Harry A. 1986. “Neurolinguistics: Past, Present, and Future Trends,” dalam Journal of Speech Hearing Disorders, 51: 169 – 172.

www.mpi.nl/world/index.html. www.mit.edu/linguistics. www.geogle.com/univ/mit.nl.

Page 35: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

ADVERBIAL: PELAPISAN DAN FUNGSI

Haji Azmi Abdullah University of Brunei Darussalam

Abstract

This paper presents what are considered to be the essential characteristics of adverbial phrases at the syntactic level as well as at the discourse level. At the syntactic level, I make use of paratactic and hypotactic concepts in the description of adverbial phrases. At the discourse level, I try to relate the use of adverbial phrases with concepts such as thematization, information structure, and focus.

1 PENGENALAN

Unsur-unsur adverbial di tahap sintaksis boleh berpertalian sama ada secara parataktik mahupun hipotaktik terutamanya adverbial yang strukturnya terdiri daripada pelbagai jenis yang diistilahkan sebagai “multivariasi.” Dalam per-talian secara parataktik, unsur-unsur adverbial boleh berhubungan antara satu dengan lain secara berlapisan yang berupa satu lingkaran. Sementara, dalam pertalian secara hipotaktik pula adalah berantaian secara subordinatif. Dengan keberadaan unsur dan pertalian yang sedemikian, unsur-unsur adverbial ini berfungsi menjalani fungsi pemodifikasian terhadap suatu kata kerja (KK) melalui status “kepala” (head) jenis atau sub-sub kategori adverbial yang ter-libat (Lihat Azmi 2004 & Azmi 2005). Adverbial-adverbial yang berpertalian antara satu dengan lainnya di tahap sintaksis ini juga telah menawarkan satu keperihalan yang menarik diteliti di tahap yang melebihi batasan ayat, iaitu di tahap wacana. Jalinan pertalian unsur-unsur adverbial ini yang matlamatnya mengarah kepada pemodifikasian suatu KK juga dibayangi suatu interkasi jalinan unsur yang bersifat fungsional. Dalam usaha menyingkap sedikit perkara ini, dalam makalah ini, penulis cuba memaparkan keperihalan operasi unsur-unsur adverbial yang berkaitan dengan konsep tematisasi, struktur informasi dan juga fokus di tahap wacana. Di samping itu, pelapisan antara (unsur) adverbial yang berkaitan dengan konsep parataktik dan hipotaktik juga akan disentuh jika relevan.

2 KEBERADAAN ADVERBIAL DI TAHAP SINTAKSIS

Sebagai titik tolak pemikiran untuk meninjau keperihalan adverbial yang melibatkan konsep tematisasi, struktur informasi dan fokus di tahap wacana, penulis paparkan secara ringkas keperihalan adverbial di tahap sintaksis khas-nya yang melibatkan jalinan secara parataktik dan hipotaktik.

2.1 Pertalian unsur adverbial secara parataktik

Dalam struktur parataktik, unsur-unsurnya hadir secara linear atau berturutan (sequencing) di atas “par” satu struktur. Unsur-unsur ini boleh berbeza dari segi fungsi, umpamanya dari segi kedudukan. Sebagai misalan, unsur-unsur yang

Page 36: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

34

menempati kedudukan awal yang pertama adalah berbeza dari unsur yang menempati kedudukan kedua dan seterusnya dari segi pentemaan. Begitu juga, unsur-unsur yang menempati kedudukan akhir yang pertama, kedua dan seterusnya dari segi fungsi sebagai unsur fokus seperti dalam adverbial perhubungan “dan” (seperti A, B “dan” C) dan adverbial hubungan persamaan iringan (apposition) seperti X1 X2 X3 yang berkaitan, dengan hubungan “transitif”.

2.2 Pertalian unsur adverbial secara hipotaktik.

Dalam hubungan hipotaktik pula, hubungan antara unsur-unsur ekavariasi ada-lah menyerupai hubungan dalam struktur parataktik. Walau bagaimanapun, hu-bungan antara unsur-unsur pelbagai variasi menunjukkan beberapa perbezaan yang menarik. Dalam hubungan ini, pertalian unsur-unsur dalam satu struktur adverbial akan menawarkan satu aspek yang menarik untuk diteliti terutamanya yang berkaitan dengan klasifikasi adjung dan sub-subklasifikasinya sebagaimana yang dinyatakan Azmi (2004) seperti contoh (1) di bawah ini.

(1) Dia menunggu orang [setiap hari] [di tebing Sungai Kianggeh] S KKt O AM AT (-1) (0) (+1) (+211) (+3)

[dari pagi hingga ke petang] dan [kadang-kadang[ [hingga ke malam]. AM AM AM (+212) (+222) (+221)

Dari segi pelapisan hipotaktik pula, kedudukan pos-KK yang telah menawarkan tiga “kepala” (dua daripadanya adalah adverbial). Dengan itu, KKt “menunggu” yang mempunyai pelapisan parataktik objek “orang” (+1) akan mempunyai pelapisan hipotaktik sebagai α β iaitu kata kerja transitif (KKt) (0) menunggu sebagai α dan pos1-KK orang (+1) sebagai β. Disebabkan struktur itu mendapat satu lagi kepala iaitu “adverbial masa” pos2-KK (+2XX)i maka “kepala” tersebut akan dilambangkan dengan γ. Begitu juga “kepala” berikutnya pos3-KK adverbial tempat “di tebing Sungai Kianggeh” (+3) akan dilambangkan dengan δ.ii Dengan itu, struktur tersebut akan mempunyai pelapisan hipotaktik sebagaimana yang digambarkan dalam rajah 1 di bawah ini. α Menunggu (KKt (0)) β γ δ pos1-KK pos2-KK pos3-KK objek adverbial masa adverbial tempat “orang” (+1) (+2XX) “di tebing Sungai Kianggeh” (+3)

Rajah 1: Hipotaktik pelbagai kepala

Walau bagaimanapun, “kepala” pos2-KK adverbial mempunyai entiti-entiti sub-unsurnya yang lebih kecil. Ini terdiri dari dua sub-unsur. Pertama, “setiap

Page 37: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

35

hari dari pagi hingga ke petang” (+21), dan kedua, “kadang-kadang hingga ke malam” (+22). Dengan itu pos2-KK akan digambarkan seperti rajah 2 di bawah

γ pos2-KK adverbial masa (+2XX) γ γ’ γγ’’ [“setiap hari dari pagi hingga ke petang”] [“kadang-kadang hingga ke malam”] (+21) (+22) Rajah 2: Hipotaktik subkepala1 adverbial masa

Dalam pada itu, masing-masing sub-unsur itu pula terdiri daripada dua sub-unsur yang lebih kecil. Sub-sub-unsur yang lebih kecil hadir dan berfungsi mensubordinasi unsur-unsur yang dibawahi mereka. Untuk mengelakkan ke-keliruan dalam peristilahan, maka tahap pertama sub-sub unsur itu dinamakan sebagai “sub-kepala” supaya dapat dibezakan sub-unsur pada tahap kedua yang hanya menggunakan istilah unsur sahaja. Dengan ini, “kepala” dan “sub-kepala” akan berupa kerangka teoretis semata-mata, sedangkan unsur adalah tidak. Pertalian jalinan “kepala,” “sub-kepala” dan unsur tersebut akan mem-punyai pelapisan hipotaktis dan kebergantungan seperti yang digambarkan dalam rajah 3 di bawah ini. γ pos2-KK adverbial masa (+2XX)

γ γ’ γγ’’ (+21) (+22)

[“setiap hari] [hingga ke malam”]

(+211) (+221)

[dari pagi hingga ke petang”] [“kadang-kadang] (+212) (+222)

Rajah 3: Hipotaktik subkepala2 adverbial masa

Page 38: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

36

Dengan yang demikian, pelapisan hipotaktik keseluruhan bagi kedudukan pos-KK ayat tersebut akan mempunyai pertalian seperti yang digambarkan dalam rajah 4 di bawah ini. Menunggu (KKt (0)) kepala β kepala γ kepala δ pos1-KK pos2-KK pos3-KK objek adverbial masa adverbial tempat “orang” (+1) (+2XX) “di tebing Sungai Kianggeh” (+3)

sub-kepala γ γ’ sub-kepala γγ’’ [“setiap hari dari pagi [“kadang-kadang hingga

hingga ke petang”] [ke malam”] (+21) (+22) unsur γγγ’ unsur γγγ’’

[setiap hari] [hingga ke malam] (+211) (+221)

unsur γγγγ’ unsur γγγγ’’ [dari pagi hingga ke petang] [kadang-kadang] (+212) (+222)

Rajah 4: Pelapisan hipotaktik adverbial kepala pos-KK Dalam pelapisan di atas, sama ada secara parataktik mahupun hipotaktik, lapisan (+21) “setiap hari dari pagi hingga ke petang” telah dimodifikasi oleh lapisan (+22) “kadang-kadang hingga ke malam” kerana lapisan (+21) yang me-ngandungi pernyataan yang bertambah tinggi (“setiap hari”) telah dimoderasi-kan oleh lapisan (+22) yang mengandungi pernyataan yang bertambah rendah (“kadang-kadang”). Keberlakuan yang sama juga wujud antara pelapisan (+211) dengan (+212), dan juga antara pelapisan (+221) dengan (+222). Dengan yang demikian, pelapisan hipotaktik juga berlaku antara (+211) dengan (+212) dan (+221) dengan (+222).

3 KEPERIHALAN ADVERBIAL DI TAHAP WACANA

Dari perspektif wacana, adverbial-adverbial mempunyai hubungan yang kom-pleks dan rumit bagi mendasari fungsi dalam proses komunikasi. Antara fungsi yang relevan dalam pengertian ini adalah berkaitan dengan konsep tematisasi, organisasi struktur informasi dan fokus seperti yang terdapat dalam contoh-contoh korpus di bawah ini (berhuruf condong = adverbial yang difokuskan).

(2) Menyalakan api, dan meninggalkannya pulang adalah satu perbuatan yang baik (A1). Kebiasaan itu dibuat sejak dahulu (1) (A2). Menurut mereka (2) asap api itu dapat menghalau [burung-burung kecil dan serangga yang ingin berteduh di daun-daun padi (3) dan bermalam di situ (4)] (A3). Sebaliknya (5) pula (6) semangat padi terasa [seperti orang masih ada di situ (7) walaupun sudah ditanggalkan ketika malam (8)] (A4).

(Muslim, 1985:158)

Page 39: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

37

Ayat (A1) adalah suatu ayat topik dalam bentuk ayat penyata yang menggunakan subjek nominalisasi. Oleh itu, semua ayat-ayat wacananya (A2-A4) adalah berkaitan dengannya baik secara langsung ataupun tidak. Ini kerana, ayat-ayat tersebut meluaskan atau menjanakan idea yang terungkap atau/dan diimplikasikannya. Umpamanya, subjek “asap api” dalam (A3) adalah berkaitan secara langsung dengan subjek “menyalakan” dalam (A1). Tetapi, subjek “semangat padi” dalam (A4) adalah berkaitan secara tidak langsung dengan subjek “menyalakan” dalam (A1), kerana ia berkaitan melalui “padi” yang dinyatakan dalam (A3) terlebih dahulu sebelum berkaitan dengan (A1). Dengan demikian, adverbial-adverbial yang memodifikasi setiap KK bagi masing-masing ayat kontributif juga, secara prinsip atau teoretis adalah berkaitan dengan ayat topik tersebut baik secara langsung ataupun tidak. Dalam pada itu pula, adverbial-adverbial yang nampaknya mempunyai keberadaan dalam masing-masing ayat ini bukan hanya mempunyai fungsi sintaktik semata-mata untuk memodifikasi KK yang berkaitan saja, malah ada di antaranya yang mempunyai fungsi, perspektif dan pertimbangan yang signifikan hingga ke tahap wacana. Dalam korpus di atas, terdapat delapan (8) adverbial yang terdiri daripada pelbagai jenis seperti berikut: Jenis adverbial kekerapan ayat Adjung masa 2 (1, 8) Adjung sudut pandangan 1 (2) Adjung tempat 3 (3, 4, 7) Konjungsi percanggahan 1 (5) (6) Konjungsi Tambahan 1 (6)

Adjung Masa (AM) sejak dahulu (1) dan AM ketika malam (8) mempunyai perspektif tunjukan atau konsep rujukan masa yang berbeza. AM sejak dahulu merupakan suatu kala lampau (KL) yang mempunyai titik infiniti. Ini sesuai dengan subjeknya “kebiasaan” yang berupa pemantapan suatu sifat alami yang kurang mungkin dapat dilakukan dalam jangka masa yang singkat. Walau bagaimanapun, ini tidak bererti bahawa AM sejak dahulu yang menunjukkan suatu rujukan Kala Lampau (KL) yang mempunyai titik infiniti tidak mungkin bertukar ganti dengan AM yang mempunyai perspektif rujukan yang lain, umpamanya AM terpisah ketika malam. Akan tetapi, maknanya akan berbeza, iaitu berdasarkan perspektif rujukan masing-masing. Sila perhatikan: Kebiasaan itu dibuat ketika malam (bukan “sejak dahulu”) … sudah ditinggalkan sejak dahulu (bukan “ketika malam”) Disebabkan, kedua-dua AM di atas, secara kebetulan, merupakan unsur yang menjadi fokus informasi iaitu AM sejak dahulu bagi suatu ayat dan, AM ketika malam bagi suatu klausa iaitu klausa dalam suatu pelengkap, maka AM tersebut adalah menjawab dua pencungkil maklumat yang berbeza seperti berikut: (3) “Sejak bila” kebiasaan itu dibuat? Jawabnya: Kebiasaan itu dibuat sejak dahulu (1) (4) “Bila waktunya” sudah ditinggalkan? Jawabnya: …. sudah ditinggalkan ketika malam (8) Dalam contoh di atas, AM sejak dahulu dan ketika malam adalah unsur fokus kerana unsur-unsur tersebut merupakan unsur yang menjawab pertanyaan pencungkil. Unsur-unsur ini biasanya mempunyai ciri seperti menempati ke-

Page 40: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

38

dudukan hujung konstruksi, mempunyai penyebutan yang lantang dan boleh merupakan unsur yang menonjol atau menyerlah. Ini bergantung kepada mak-lumat yang dikehendaki (dicungkil). Umpamanya seperti di atas, jika maklumat yang dikehendaki itu adalah tentang “Bila waktunya”, maka maklumat yang perlu diberikan (fokus) hendaklah merupakan satu pernyataan tentang satu titik atau julat waktu yang tertentu seperti ketika malam dalam contoh di atas. Begitu juga jika maklumat yang dikehendaki adalah tentang “Sejak bila”. Ini menunjukkan bahawa pilihan saling ganti antara AM adalah mungkin dengan syarat unsur-unsur opsionalnya itu merupakan unsur-unsur yang mempunyai perspektif rujukan yang sama. Jika perspektif rujukan unsurnya itu berbeza, maka maksud maklumatnya akan berlainan, walaupun dari segi sintaktiknya masih benar. Adjung sudut pandangan (ASP) menurut mereka merupakan tema bagi ayat (A3) yang bersubjekkan “asap api itu.” Ini kerana ASP menurut mereka itu menyatakan keperkaraan perihal umum dalam ayat tersebut. ASP menurut mereka dianggap sebagai pernyataan keperihalan umum kerana ia telah wujud secara hipotetis dalam minda si penutur seperti yang boleh dicungkil oleh tanya jawab di bawah. (5) Pertanyaan: Apakah menurut mereka asap api itu dapat lakukan? (A3) Jawapan: Menurut mereka asap api itu dapat menghalau burung- burung kecil dan serangga yang ingin berteduh di daun- daun padi dan bermalam di situ (A3). Dalam tanya – jawab di atas, menurut mereka adalah unsur “keperkaraan.”iii Unsur keperkaraan adalah unsur yang darinya unsur-unsur lain seperti subjek, fokus dan lain-lain boleh diturunkan. Oleh itu, ia bukan merupakan subjek ataupun unsur yang ditanyakan dalam ayat pertanyaan. Dengan itu, ia bukan unsur subjek ataupun unsur fokus dalam ayat jawapan. Unsur subjeknya adalah “asap api itu” dan unsur fokusnya adalah keseluruhan struktur “dapat meng-halau burung-burung kecil dan serangga yang ingin berteduh di daun-daun padi dan bermalam di situ” kerana maklumat itu boleh menjawab secara relatif apa yang ditanyakan dalam ayat pertanyaan. Walau bagaimanapun, menurut mereka itu telah disebutkan dalam ayat pertanyaan berkenaan. Ini bererti, ia adalah suatu informasi lama yang wujud secara hipotetis, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas bagi ayat jawapan. Sungguhpun demikian, dari segi sintaksis, ia bukan juga subjek bagi ayat jawapan tersebut kerana subjeknya adalah “asap api itu.” Dari segi makna pula, ia memberi suatu gambaran yang berperspektif. Oleh itu, ia telah dipilih untuk diletakkan di kedudukan awal ayat supaya selaras dengan perspektif sintaktik dan semantik. Dengan ke-dudukan dan fungsi yang sedemikian ia menjadi suatu ASP yang merupakan suatu tema bagi ayat jawapan seperti yang terdapat dalam korpus contoh di atas. Berdasarkan penerangan tersebut, jelaslah bahawa pengangkatan ASP menurut mereka menjadi tema ayat berkenaan adalah melibatkan konsep pilihan atas pertimbangan-pertimbangan sintaktik dan semantik fungsi tertentu.

Bagi ayat (A3) dan ayat (A4) pula, kedua-duanya adalah berkaitan secara Kondisi Kordinasi (Masa) terhadap perkara dalam wacana (KKMPW). Perkaitan itu melalui subjek “semangat padi” (dalam ayat (A4)) yang merujuk kepada salah satu AT bagi klausa pelengkap dalam ayat (A3). Oleh itu, sungguhpun ayat (A4) ada temanya yang tersendiri iaitu konjungsi percanggahan sebaliknya (primer) dan Konjungsi Tambahan pula (sekunder),

Page 41: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

39

namun tema terujuknya (traced)iv adalah ASP Menurut mereka (2) itu. Dengan yang demikian, maklumat dalam ayat (A4) adalah juga “menurut mereka” kerana masih tersyarat oleh ASP tersebut. Oleh yang demikian, wujud pelapis-an antar-adverbial, bukan saja dalam struktur satu ayat iaitu ASP menurut mereka melapisi Adjung Tempat (AT) di daun-daun padi (3) dan AT di situ (4), malahan juga berlainan ayat kerana dalam ayat (A4) itu juga terdapat beberapa jenis adverbial seperti ASP menurut mereka melapisi adverbial-adverbial lain (5) hingga (8). Pelapisan adverbial-adverbial di atas oleh ASP menurut mereka (2) ini dapat digambarkan seperti di bawah. ASP menurut mereka (2) di daun-daun padi (3) di situ (4).

Sebaliknya (5) pula (6) di situ (7) ketika malam (8) Rajah 5: Pelapisan ASP Sementara AT di daun-daun padi (3), AT di situ (4) dan AT di situ (7) adalah merupakan unsur fokus bagi masing-masing klausa. AT (3) dan AT (4) merupakan unsur fokus utama bagi masing-masing klausa pelengkap bagi KK “menghalau” dalam ayat (A3). Walau bagaimanapun, disebabkan AT (3) hadir memodifikasi KKint. “berteduh” di kedudukan akhir klausa kedua akhir struktur ayat berbanding dengan AT (4) yang hadir memodifikasi KKint. “bermalam” di kedudukan akhir klausa terakhir dalam satu struktur ayat yang sama, maka AT (3) akan berfungsi sebagai fokus sekunder dan, AT (4) akan berfungsi sebagai fokus primer ayat berkenaan sebagaimana yang boleh dicungkil oleh pertanyaan yang diturunkan berikut ini: (6) a. Di manakah burung-burung kecil dan serangga (yang dihalau asap api)

ingin berteduh? Jawab: ….. di daun-daun padi (3) b. Di manakah burung-burung kecil dan serangga (yang dihalau oleh asap api) ingin bermalam? Jawab: … di situ (4) (AT di situ merujuk kepada AT di daun-daun

padi (3) Walau bagaimanapun, adjung fokus (AF) (3) adalah mempunyai kelantangan yang lebih rendah (fokus sekunder) berbanding dengan AF (4) yang merupakan fokus primernya. Ini kerana AF (4) itu bukan sahaja berfungsi sebagai unsur yang difokuskan bagi suatu klausa seperti AF (3) tetapi juga AF (4) adalah sebagai unsur fokus bagi keseluruhan pelengkap dalam ayat (A3). Akan tetapi, baik AF (3) mahupun AF (4) tidak boleh dijadikan sebagai unsur tema kerana AF bukan suatu adverbial yang memodifikasi KK ayat utama (dalam kes ini KK “menghalau”). Meskipun, ASP menurut mereka (2) yang berfungsi sebagai tema itu ditanggalkan dari ayat (A3) seperti berikut: (7) a. *Di daun-daun padi (3), asap api itu dapat menghalau [burung-burung kecil dan serangga yang ingin berteduh dan bermalam di situ (4) (A3). b. * Di situ (4), asap api itu dapat menghalau [burung-burung kecil dan

serangga yang ingin berteduh di daun-daun padi dan bermalam] (A3). Dengan yang demikian, satu kesimpulan dapat diambil bahawa, unsur

yang boleh diangkat menjadi tema ayat hanyalah unsur-unsur adverbial yang berhubung secara langsung dengan KK ayat utama sahaja. Dari itu, hanya unsur-unsur yang sedemikian sahajalah yang berpotensi menjadi pilihan

Page 42: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

40

dan/atau membuat pelapisan yang lebih umum terhadap unsur-unsur adverbial subordinatif yang lainnya. Sementara AT di situ (7) pula adalah unsur fokus sekunder bagi ayat (A4). Ini bukan disebabkan AT tersebut berada di kedudukan kedua akhir dalam klausa terakhir tetapi disebabkan AT itu berada dalam klausa kedua akhir, walaupun ia menempati kedudukan terakhir dalam klausa kedua akhir itu, seperti yang boleh dicungkil oleh tanya-jawab dalam Contoh (8) di bawah. (8) Di manakah orang seperti masih ada yang dirasai oleh semangat padi? Jawab: …. di situ (7).

Sehubungan dengan gradasi fokus unsur AT dari segi kedudukan dalam suatu ayat atau klausa, AT yang berada di kedudukan paling akhir akan berfungsi sebagai unsur yang mendapat status fokus primer. Status fokus ini akan menyorot secara regresif dan relatif untuk disubstansikan sebagai unsur fokus sekunder dan seterusnya. Andainya, fokus tersebut merujuk kepada suatu keperihalan, maka tunjukan perujukan secara regresif dan relatif itu akan merefleksikan gred pemfokusan. Dengan kata lain, unsur yang terakhir akan menunjukkan perujukan yang terfokus sekali dari segi “tempat” berbanding dengan unsur-unsur yang menempati kedudukan sebelumnya seperti yang terdapat dalam Contoh (9) di bawah ini. (9) Adam melepaskan ikatan lamiding itu di dapur (3) dekat ipang (2) supaya tidak layu (1). (Muslim, 1985:155)

Dalam Contoh (9) di atas, AT di dapur perlu dispesifikasi lebih terperinci lagi dari segi perujukan tempat oleh AT dekat ipang. Ini disebabkan, AT di dapur merupakan suatu konsep semantik yang mempunyai rujukan yang lebih umum. Dengan kata lain, tunjukan rujukan semantik-pragmatiknya tidak begitu objektif, lebih berkemungkinan menimbulkan ketaksaan berbanding AT dekat ipang. Oleh itu, AT dekat ipang diperlukan untuk menjalankan fungsi deiksis tempat yang lebih spesifik dan komunikatif. Atas hakikat fungsi yang demikian, maka AT dekat ipang dan AT di dapur masing-masing merupakan unsur fokus bergradasi yang ke dua (2) dan ketiga (3) terfokus secara relatif komparatif. Atau, dengan kata lain, unsur-unsur AT tersebut adalah masing-masing menjadi unsur pertama dan kedua terfokus dari segi AT. Ini kerana, unsur yang terfokus sekali dalam ayat itu adalah adjung tujuan (At) supaya tidak layu (1). Walau bagaimanapun, jika tunjukan rujukannya bukan saja berlapis, malah berganda, maka jajaran kedudukan antara unsur umum – khusus bagi AT itu akan sebaliknya. Ini kerana, jajaran kedudukan itu bukan jajaran relativitasi penspesifikasian tetapi lebih kepada suatu jajaran “elaborasi” seperti yang terdapat dalam Contoh (10) di bawah ini: (10) Di seberang paya (1) di belukar tebal (2) di hulu rumah mereka (3)

sepasang tekukur berbunyi bersahutan, dan seperti semalam bunyi kera berkelahi merebut menungan masih juga terdengar (A1). Dan sebentar kemudian seekor sasat terbang di hadapan mereka lalu hinggap di jantung pisang (4) di belakang rumah mereka (5) (A2).

(Muslim, 1985:203)

Page 43: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

41

Antara (1) hingga (3), penjajaran kedudukan tidak begitu jelas menunjukkan relativiti keelaborasian kerana AT itu semuanya adalah serba mungkin bagi menempatkan keberlakuan KK berbunyi bersahutan yang dimodifikasikan. Dengan kata lain, KK itu “semacam” walaupun sebenarnya tidak boleh saja mengambil tempat sama ada di (1), (2) atau (3) secara alternatif. Tetapi, dalam (4) dan (5), lakuan KK “hinggap” tidak mungkin berlaku pada mana-mana salah satu daripada (4) atau (5) kerana lakuan tersebut hanya lebih wajar mengambil tempat hanya di (4) (bukan di (5)). Dengan yang demikian, disebabkan (5) itu bukan menyediakan lokasi langsung bagi lakuan itu maka (5) akan berfungsi sebagai adverbial yang “menspesifikasikan” deskripsi tempat ke atas (4) tetapi “mengelaborasikannya.” Atau, dengan kata lain, (5) hanya memodifikasi secara tidak langsung kepada KK “hinggap.” Oleh itu, suatu kesimpulan boleh dibuat bahawa ciri yang memegang konsep elaborasi adalah kewajaran hubungan antara sesuatu AT itu dengan lakuan yang dirujuk oleh KK yang dimodifikasi oleh sesuatu AT yang berkaitan. Dakwaan yang dibuat terhadap ciri yang memegang konsep elaborasi ini juga sekali gus boleh dipegang sebagai satu ciri yang mengeklusikan ciri bagi konsep penspesifikasian unsur. Atas persamaan sifat dan fungsi dengan ASP menurut mereka yang telah dinyatakan Contoh 2 di atas, maka konjungsi antitetik (Ka) sebaliknya (5) dan konjungsi peralihan (kA) pula (6) telah dipilih untuk diangkat menjadi unsur yang berfungsi sebagai tema bagi ayat (A4). Disebabkan unsur tema ini terdiri daripada dua jenis konjungsi iaitu Ka sebaliknya yang mempunyai ciri (+) konektif dan (+) kontradiktif dan kA pula mempunyai ciri (+) konektif, (+) kontradiktif dan (+) tambahan maka keseluruhan struktur tema itu akan mengakumulasi ciri-ciri tersebut secara fungsional.

Dalam pada itu pula, selaras dengan konsep konjung yang berfungsi sebagai unsur yang menghubungkan struktur (ayat (A4)) dengan bahagian wacana yang baru lepas, maka konjungsi tersebut telah menghubungkan subjek ayat (A4) “semangat padi” dengan subjek ayat (A3) “asap api.” Di samping itu, disebabkan kedua-dua konjungsi itu adalah konjungsi yang berkontradiktif, maka hubungan yang diimplikasikannya juga adalah sejenis hubungan kontradiski. Perkaitan yang dikontradiksikan oleh konjungsi tersebut adalah antara keadaan yang mempunyai subjek “asap api” sahaja, tidak ada orang dalam ayat (A3) dengan subjek “semangat padi” yang merasakan seperti orang masih ada di tempat tersebut (ayat (A4). Disebabkan ayat (A4) itu ada beberapa adverbial lain seperti AT di situ (7) dan AM ketika malam (8), maka konjungsi percanggahan (KPn) sebaliknya (5) dan kA pula (6) itu telah melapisi adverbial-adverbial berkenaan secara langsung di samping mengkordinasikan ayat tersebut dengan bahagian wacana terdahulu secara berkontradiktif dan progresif seperti yang ditunjukkan dalam rumus di bawah ini. KPn sebaliknya (5) dan KA pula (6) [AT di situ (7); AM ketika malam (8)] Di samping itu, disebabkan konjungsi-konjungsi itu telah dilapisi oleh ASP menurut mereka (2) dalam ayat (A3) sebelumnya, maka pelapisan adverbial-adverbial (7) & (8) oleh konjung si(5) & (6) adalah pelapisan berganda iaitu sejenis pelapisan yang berlainan status seperti yang terdapat dalam Rajah 6 di bawah ini. ASP menurut mereka(2) di daun-daun padi (3); di situ (4). Sebaliknya (5); pula (6)[di situ (7); ketika malam (8)]

Page 44: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

42

Di permudahkan seperti: Pelapisan status I: 2 (3; 4) {5; 6 [7; 8]} Pelapisan status II: 5; 6 [7; 8] Rajah 6: Pelapisan ASP Selaras dengan ciri-cirinya, maka kA pula, di samping sebagai tema ayat, ada mempunyai tiga fungsi. Sebagai suatu konjung, ia mempunyai fungsi konektif dengan menghubungkan ayat semasa dengan bahagian wacana ayat baru lepas. Selain itu, ia juga berfungsi untuk menunjukkan tambahan kepada bahagian wacana terdahulu. Dan, akhir sekali, ia juga mengimplikasikan suatu fitur kontrastif yang amat “halus” sekali. Dari segi pilihan dalam struktur informasi, KPn atau/dan kA mem-punyai pilihan yang agak bervariasi dalam menempati kedudukan awal atau akhir sebagai tema atau fokus saja. Walau bagaimanapun, terdapat beberapa daripadanya yang bersifat lebih bermobiliti iaitu yang begitu tipikal dan terikat dengan konteks pragmatiknya. Ini menunjukkan mobiliti KPn bukan dikawal oleh ciri strukturnya atau semantiknya tapi lebih cenderung kepada prag-matiknya atau bentuk leksikalnya sendiri seperti yang terdapat dalam Contoh (11) di bawah ini.

(11) a. Sebaliknya pula semangat padi terasa [seperti orang masih ada di itu walaupun sudah ditanggalkan ketika malam]. (Muslim, 1985:158).

b. Ia sedar itu satu dosa yang amat besar. Tetapi sengaja dilupakannya. (Muslim, 1985:71)

c. Dia terasa sukar dapat mengangkat mukanya untuk menatap muka adiknya itu. Tapi ditatapnya juga agak seketika. (Muslim, 1985:190)

Ayat-ayat dalam Contoh (11) di atas mempunyai keterbatasan untuk menukarkan KPn yang berfungsi sebagai tema, di kedudukan awal ayat kepada KPn yang menjadi unsur fokus, di kedudukan akhir ayat seperti berikut di bawah ini.

(12) a. *Semangat padi terasa seperti orang masih ada di situ walaupun sudah ditanggalkan ketika malam sebaliknya pula.

b. ??Ia sedar itu satu dosa yang amat besar. Sengaja dilupakannya tetapi.

c. ?Dia terasa sukar dapat mengangkat mukanya untuk menatap muka adiknya itu. Ditatapnya juga agak seketika tapi.

Konjung pembilang (kp) juga signifikan untuk ditinjau dari perspektif pilihan kedudukan yang berkaitan dengan tematisasi dan fokus dalam organisasi informasi. Untuk itu, sila perhatikan Contoh (13) di bawah ini.

Page 45: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

43

(13) Pak Bahar mencabut pasigupan dari kocek bajunya (A1). Mengisikan dengan sekuntal tembakau kasar, sebesar ibu jari, mengasaknya dengan telunjuk kemudian membakar dan terus mengisapnya (A2). Bunyinya menyedut seperti tersepit dan kuat (A3). Air liurnya bergelagak (A4). Berikutnya asap keluar perlahan-lahan (A5).

(Muslim, 1985:111)

Dalam Contoh (13) di atas, terdapat beberapa lakuan yang berturutan, sama ada dalam satu ayat yang sama ataupun berlainan seperti mencabut pasigupan (A1), mengisikan dengan tembakau, mengasak dengan telunjuk, membakar dan mengisapnya (A2), menyedut (secara “imply”) (A3), air liur bergelagak (A4) dan asap keluar. Sungguhpun setiap lakuan itu tidak ditandai secara implisit ke dalam suatu sekuen (kecuali dalam A2 dan A5), namun lakuan dan peristiwa yang terjadi jelas bersiri. Oleh yang demikian, kp kemudian (A2) dan kp berikutnya (A5) adalah suatu kp. Sehubungan dengan kp kemudian (A2) adalah kurang jelas sebagai suatu kp. Ini kerana penstrukturan ayat yang kurang kemas. Akan tetapi, jika ayat (A2) itu disusun dengan lebih kemas seperti:

[seseorang] mengisikan dengan tembakau kasar [yang] sebesar ibu jari.

[seseorang] mengasaknya dengan telunjuk.

Kemudian [seseorang] membakar dan terus mengisapnya.

Maka kp kemudian itu akan menjadi lebih jelas sebagai suatu kp sebagaimana kp berikutnya (A5). Sehubungan dengan konsep pilihan dari segi kedudukan, kp berikutnya boleh menempati beberapa kedudukan tertentu dalam struktur A5 seperti Contoh (14) di bawah:

(14) a. Berikutnya asap keluar perlahan-lahan.

b. Asap berikutnya keluar perlahan-lahan.

c. Asap keluar perlahan-lahan berikutnya.

Dalam ayat 1, Contoh (14) di atas, kp berikutnya adalah suatu tema dan adjung cara (AC) perlahan-lahan adalah fokus. Disebabkan kp berikutnya itu menjadi tema ayat tersebut, maka keseluruhan ayat tersebut telah dihubungkan dengan bahagian wacana terdahulu oleh kp berkenaan melalui sifatnya yang mempunyai fungsi konektif. Pengaturan organisasi informasi seperti ayat 1 ini boleh dicongkel oleh pertanyaan seperti:

Asap berikutnya keluar bagaimana? Jawab: Berikutnya asap keluar perlahan-lahan

Dalam jawapan di atas, kp Berikutnya adalah perkara umum, bukan subjek dan maklumat khusus yang ditanyakan dalam ayat pertanyaan. Dengan yang demikian, perkara umum berikutnya itu telah disebutkan dalam ayat pertanyaan “Asap berikutnya keluar bagaimana?” Oleh itu, perkara umum tersebut adalah suatu informasi lama bagi ayat jawapan. Dari itu, kp Berikutnya mesti diletakkan di depan untuk memberi suatu senerio perspektif minda kerana ia adalah tema iaitu perkara umum yang ditanyakan. Sementara pertanyaannya pula adalah “bagaimana” terhadap “asap” (subjek ayat). Ini menuntut untuk memberikan

Page 46: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

44

sesuatu informasi baru yang dikehendaki. Dengan kata lain, ia adalah jawapan yang sebenarnya. Informasi baru yang dikehendaki adalah sesuatu maklumat tentang “cara” kerana pertanyaannya “bagaimana asap itu keluar?” Jawapan yang boleh memberitahu maklumat yang dikehendaki itu adalah perlahan-lahan. Dengan yang demikian, AC perlahan-lahan akan hadir sebagai maklumat yang menjadi fokus pertanyaan “Asap berikutnya keluar bagaimana?” Dalam ayat 2 pula, pertanyaannya masih sama iaitu tentang cara asap itu keluar seperti “Asap berikutnya keluar bagaimana?” Oleh itu, unsur fokusnya tetap sama iaitu AC perlahan-lahan. Cuma yang berbeza, di sini, adalah soal pilihan dan ketetapan pewacana. Dalam ayat 2, pewacana telah memilih dan menetap untuk mengangkat subjek sebagai tema ayat. Disebabkan, subjek “asap” telah diangkat sebagai subjek dan juga tema ayat, maka kp berikutnya yang mempunyai status tema ayat 1 telah “diredamkan” status dan fungsi konektifnya. Dengan itu, ayat tersebut kurang senerik. Pengajuan “asap” sebagai tema dalam ayat 2 ini telah “meredamkan” unsur kp berikutnya, sekali gus telah mengimplikasikan “pemudaran”v fungsi konektifnya.

Dalam ayat 3 pula, perkara yang ditanyakan adalah sama dengan perkara yang ditanyakan dalam ayat 2. Cuma yang berbeza adalah pertanyaannya seperti yang dilahirkan melalui pertanyaan:

“Bila asap keluar perlahan-lahan?” Jawapannya: Asap keluar perlahan-lahan berikutnya (ayat 3).

Dengan yang demikian, berikutnya akan menjadi unsur yang menjadi fokus. Sungguhpun, berikutnya suatu kp namun dari segi fungsi ia menjalankan fungsi suatu AM. Ini kerana kp tersebut menjajarkan beberapa perkara yang dalam bentuk peristiwa akhir (bukan perkara bukan peristiwa). Disebabkan perkara itu adalah peristiwa maka setentunya ia dikordinasi oleh masa. Dengan itu, kp berikutnya adalah suatu kp. Dengan itu, ia boleh digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang “bila” itu. Pengangkatan berikutnya menjadi unsur fokus yang utama iaitu menjawab pertanyaan telah mendesak AC perlahan-lahan menjadi fokus sekunder. Pengangkatan berikutnya ini menjadi unsur fokus, sekali gus, bukan saja telah meredamkan fungsi AC perlahan-lahan sebagai unsur fokus tetapi juga telah menyebabkan fungsi konektif kp berikutnya yang sebelumnya sebagai suatu konjung ditindani oleh fungsi fokus dalam kedudukannya yang baru dalam ayat 3. Di sini, kita nampak bahawa “peredaman” unsur-unsur adverbial adalah berlaku secara saling melengkapi. Dengan lain perkataan, jika satu turun statusnya maka unsur lain terangkat statusnya.

Berdasarkan penerangan di atas, jelas menunjukkan bahawa mobiliti sesuatu kp seperti di atas telah melibatkan pilihan dari segi kedudukan. Di samping itu, pilihan mobiliti ini juga telah melibatkan perubahan pelapisan oleh adverbial berkenaan, sama ada ke atas sesuatu maklumat yang didominasikan oleh sesuatu KK ataupun adverbial-adverbial yang lain yang sama ada sejenis ataupun berlainan. Perubahan pelapisan ini, sekali gus telah mengimplikasi kepada perubahan kesan fungsi pemodifikasian ke atas unsur-unsur berkaitan, termasuk KKnya sekalinya seperti yang digambarkan dalam di bawah ini.

(15) a. Berikutnya [asap keluar perlahan-lahan]

b. Asap berikutnya [keluar perlahan-lahan].

c. Asap keluar perlahan-lahan berikutnya [ ].

Page 47: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

45

Dalam ayat 1, kp berikutnya melapisi “asap keluar perlahan-lahan” dengan bertindak secara progresif. Sementara dalam ayat 2, kp tersebut hanya melakukan pelapisan secara progresif terhadap “keluar perlahan-lahan” tapi secara regresif (imply) ke atas “asap.” Sedangkan, dalam ayat 3, kp yang sama tidak melapisi apa-apa secara progresif tapi melakukan pelapisan secara regresif terhadap unsur-unsur lain dalam ayat berkenaan.

4 KESIMPULAN

Memang tidak dapat dinafikan bahawa adverbial merupakan satu konsep yang amat penting di tahap sintaksis. Bukan itu saja. Adverbial juga memempunyai signifikasi yang jelas dari perspektif kebahasaan yang lebih besar seperti di tahap wacana. Terdapat beberapa konsep yang begitu relevan dalam pengertian ini seperti konsep yang berkaitan dengan tematisasi, struktur informasi dan juga fokus. Sehubungan dengan konsep tematisasi, unsur tema dan rema adalah berkaitan rapat dengan mobiliti unsur-unsur adverbial. Mobiliti unsur-unsur adverbial di tahap sintaksis adalah juga boleh berkaitan dengan konsep wacana bagi keberadaan sesuatu unsur adverbial dalam satu ayat. Apakah unsur itu sebagai unsur tema ataupun sebagai salah satu unsur dalam rema. Jika ia salah satu daripada unsur dalam konstruksi tema, apakah ia unsur tema prima ataupun sekunder. Sehubungan dengan konsep struktur informasi pula, unsur adverbial boleh menjadi informasi lama ataupun informasi baru. Jika ia salah satu daripada unsur dalam komponen informasi baru, apakah ia unsur yang difokuskan? Jika ia unsur yang menjadi fokus, apakah ia merupakan fokus primer, sekunder ataupun seterusnya secara regresif relatif. Kemungkinan-kemungkinan yang telah ditonjolkan di atas adalah berkait rapat dengan pelapisan suatu KK oleh adverbial-adverbial, sama ada yang berlainan kategori/jenis mahupun peringkatnya. Pelapisan ini mempunyai jalinan fungsi kompleks yang didanai oleh mobiliti adverbial dari segi kedudukannya dalam sesuatu struktur, selaras dengan fungsinya dalam konteks komunikasi di tahap pragmatik.

Page 48: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Haji Azmi Abdullah

46

CATATAN

i Tanda XX dalam 2XX menunjukkan bahawa “kepala” mempunyai sub-sub unsur yang mensubordinasinya. Penandaan yang lebih konkrit akan diberikan pada unsur yang bersifat konkrit (bukan pada entiti perantaraan yang teoretikal sifatnya) ii Di sini, lambang variabel α αβ ββ tidak digunakan kerana mempunyai variasi yang terbatas dan mengelirukan. iii Keperkaraan adalah keperihalan yang umum dalam ayat-ayat yang berhubung secara KKMPW. Oleh itu, informasi lain boleh ditarik daripadanya seperti informasi yang diangkat menjadi subjek, fokus dan lain-lain. Dengan itu, ia boleh menjadi tema bagi ayat-ayat tertentu dalam suatu wacana. iv Tema terujuk (traced) adalah suatu tema yang lebih longgar yang mensyaratkan suatu tema yang lebih khusus. v Fungsi konektif kp tidak bererti hilang langsung (sama sekali). Tapi, fungsi tersebut hanya pudar atau berkurangan saja. Oleh yang demikian, ayat ini dalam struktur yang sedemikian tidak boleh dianggap sebagai suatu ayat wacana yang lain daripada bahagian wacana yang terdahulu.

BIBLIOGRAFI

Azmi Abdullah. 2004. Adverbial: Satu Tinjauan Dari Sudut Wacana. Tesis PhD, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

______. 2005. “Adverbial: Pertalian Unsur Dalam Struktur” Konferensi Linguistik Tahunan ke 3 (KOLITA 3), MLI, Atmajaya, Jakarta, Indonesia, 16-17 Februari, 2005.

Halliday, M.A.K. 1981. “Types Structure” dalam M.A.K. Halliday & J.R. Martin (editor) Readings in Systemic Linguistics Batsford Academic and Educational Ltd. London, UK.

Huddleston, R.D. 1981. ”Rank dan Depth” dalam M.A.K. Halliday & J.R. Martin (editor) Readings in Systemic Linguistics Batsford Academic and Educational Ltd. London, UK.

Muslim Burmat. 1985. Lari Bersama Musim. Pustaka Nasional Pte. Ltd. Singapura.

Page 49: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

MENGUNGKAP BENTUK FATIS DALAM BAHASA SUNDA

Andika Dutha Bachari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Abstract

The present paper attempts to describe phatic expressions in Sundanese. The phatic expressions in this language can take the form of a word, a phrase, a clause, or a sentence. For example, in the word form, phatic expressions are represented by words from three types of category, namely the emphatic adverb (kecap panambah panganteb), the transitional adverb (kecap panambah pangateur), and interjection (kecap panyeluk).

1 PENGANTAR

Dalam berkomunikasi seringkali kita menemukan ungkapan-ungkapan yang maksud pengutaraannya tidak sesuai dengan makna kata-kata yang mem-bentuknya. Maksud pengutaraan ungkapan yang tidak sesuai dengan makna kata-kata pembentuknya itu biasanya ditujukan untuk membuka (meng-awali) percakapan, mempertegas ungkapan, memperhalus tuturan, me-nyapa, dan sebagainya. Bentuk-bentuk linguistik yang dipakai untuk meng-utarakan maksud-maksud tersebut di dalam konsep Malinowski (1923) disebut dengan fungsi fatis.

Interaksi yang terjadi dalam wadah komunikasi yang dimarkahi dengan bentuk-bentuk fatis demikian itu disebut komunikasi fatis. Secara lingual kadang kala kata-kata yang semacam itu tidak terlalu jelas maknanya, tetapi secara pragmatik sesungguhnya besar sekali manfaatnya. Ungkapan “Mau minum apa?” yang disampaikan tuan rumah kepada kita yang tengah bertamu ke rumahnya, semata-mata bukanlah sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban tentang keinginan kita meminum minuman tertentu. Pertanyaan tersebut bisa jadi bertendensi maksud tertentu, misalnya pembuktian bahwa si tuan rumah adalah sosok manusia yang ramah atau bisa juga pembuktian bahwa si tuan rumah memiliki jarak sosial yang dekat dengan kita. Sebagai tamu, mungkin kita menjawab pertanyaan si tuan rumah dengan ungkapan “Terima kasih, jangan merepotkan”, walaupun sebenarnya kita ingin minum secangkir teh hangat pada saat itu. Ungkapan yang kita sampaikan juga semata-mata bukan hanya merupakan jawaban atas pertanyaan si tuan rumah, melainkan juga sebuah usaha pembuktian rasa kebijaksanaan (dan kesopanan) dalam diri kita karena melalui ungkapan itu kita meminimlkan keuntungan yang ditawarkan oleh si tuan rumah, yaitu dibuatkan minuman.1

Dalam bahasa Sunda, banyak sekali bentuk linguistik yang menjadi pemarkah fungsi fatis. Istilah bentuk linguistik digunakan sebagai istilah netral untuk menunjukkan bahwa pemarkah fungsi fatis itu bisa berwujud kata, frasa, klausa, dan juga kalimat. Realisasi fungsi fatis dalam bahasa

Page 50: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Andika Dutha Bachari

48

Sunda dapat dilihat dalam bentuk sapaan. Pertanyaan “Rék ka mana euy?” (mau ke mana?) yang disampaikan kepada orang lain (yang sebaya atau umurnya di bawah kita) ketika bertemu di jalan sebenarnya tidak lagi difungsikan untuk menanyakan tujuan yang akan dituju lawan tutur. Pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan bentuk sapaan kepada lawan tutur. Hal yang seperti itu jelas merupakan salah satu realisasi fungsi fatis karena makna kata-kata yang membentuk modus kalimat introgatif itu tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya. Pertanyaan tersebut semata-mata bukanlah pertanyaan yang menuntut jawaban dari lawan tutur tentang tujuan kepergiannya. Sapaan seperti itu merupakan realisasi ikatan keakraban antara penutur dan lawan tutur atau pembuktian bahwa penutur dan lawan tutur memiliki jarak sosial yang dekat.

Apabila sungguh-sungguh dicermati, bentuk sapaan dan salam yang ada di dalam setiap masyarakat bahasa tidak hanya memiliki fungsi fatis. Akan tetapi lebih dari itu, bentuk-bentuk tersebut juga dapat memiliki fungsi kemasyarakatan, yakni sebagai aparatus pengontrol interaksi sosial. Maksudnya, dengan menggunakan bentuk sapaan dan salam tertentu, akan terlihat kadar keeratan relasi sosial antara orang yang satu dengan orang lainnya. Dalam praktik komunikasi sesungguhnya, biasanya orang-orang yang berstatus sosial lebih tinggi akan lebih leluasa menggunakan bentuk sapaan dan salam. Sebaliknya, mereka yang berperingkat status sosial lebih rendah cenderung tidak memiliki otoritas untuk memberikan kontrol interaksi sosial itu.

Selain dalam bentuk sapaan dan salam, perwujudan fungsi fatis dalam bahasa Sunda dapat terlihat dalam peristiwa berbahasa lainnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, fungsi fatis dapat dimarkahi oleh kata, frasa, klausa, dan kalimat. Berdasarkan hasil pengamatan, dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata yang memiliki fungsi fatis. Selanjutnya, dalam tulisan ini, akan diuraikan mengenai pemarkah (fungsi) fatis dalam bahasa Sunda. Uraian mengenai hal ini berkaitan dengan bentuk dan distribusinya dalam kalimat.

2 PEMARKAH FUNGSI FATIS DALAM BENTUK KATA

Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai kategorisasi kata bahasa Sunda, di antaranya menurut Coolsma (1904), Adiwidjaja (1951), dan Yudi-brata (1981).2 Dalam tulisan ini digunakan kategorisasi kata bahasa Sunda menurut Sudaryat (1991) dengan pertimbangan bahwa kategorisasi kata ini merupakan hasil penelitian tentang morfologi bahasa Sunda yang tergolong masih baru dan juga lebih jelas pembagian kelas katanya.

Sudaryat (1991:65) menggolongkan kelas kata bahasa Sunda ke dalam dua golongan besar:

A. Kecap Lulugu (Kelas Kata Utama)

Kecap lulugu adalah sejumlah kata yang memiliki arti leksikal dan umunya dapat mengalami perubahan bentuk melalui proses morfologis. Kelas kata ini memiliki beberapa jenis:

Page 51: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

49

1) Kecap Barang (Nomina), yaitu kata yang menunjukkan barang atau nama yang menunujukkan barang, baik konkret maupun abstrak. Kecap Barang bisa menunjukkan manusia, tumbuh-tumbuhan, zata, nama, waktu, dan sesuatu hal. Contoh: cai (air), leuweung (hutan), imah (rumah), dan cau (pisang).

2) Kecap Pagawean (Verba), yaitu kata yang menunjukkan perilaku atau pekerjaan. Contoh: indit (pergi), lumpat (lari), dahar (makan), dan moro (berburu).

3) Kecap Sipat (Adjektiva), yaitu kata-kata yang menunjukkan sifat atau keadaan barang. Contoh: alus (bagus), gancang (cepat), getén (rajin), dan geulis (cantik).

4) Kecap Bilangan (Numeralia), yaitu kata-kata yang menunjukkan jumlah, bilangan, urutan, dan tahapan dari suatu hal. Contoh: genep (enam), kahiji (kesatu)

B. Kecap Pancén (Kelas Kata Tugas)

Kecap pancén adalah kata-kata yang digunakan untuk menunjukkan hubungan gramatikal dalam sebuah konstruksi atau kata-kata yang memiliki tugas (pancén) menjelaskan kalimat dan bagian-bagiannya. Bentuk kata golongan ini sulit mengalami perubahan bentuk. Kelas kata ini memiliki beberapa jenis:

1) Kecap panambah (Adverb), yaitu kata tugas yang umumnya menjadi penambah (atribut) dalam konstruksi frasa atributif. Ditinjau dari sifat hubungannya dalam konstruksi frasa, kecap panambah memiliki beberapa bentuk seperti berikut:

a) Kecap Panambah Panganteb (Adverb Penjelas), contoh: baé (biar), deuih, ogé (juga), heula, kénéh, euy.

b) Kecap Panambah Panganteur (Adverb Antaran), contoh: berebet lumpat, terékél naék, jung nangtung, gurinjal hudang.

c) Kecap Panambah Panahap (Adverb Kualitas), contoh: kacida panjangna, pohara alusna, rada panjang, leuwih alus, meni lucu.

d) Kecap Panambah Panangtu, contoh: si kabayan, sakadang kuya, sagala kagiatan.

e) Kecap Panambah Aspek, contoh: (eng)geus (sudah), masih, (eu)keur (sedang), (a)can (belum), arék (mau), kakara (baru).

f) Kecap Panambah Modalitas, contoh: entong (jangan), ulah (jangan), henteu (tidak), lain (bukan), moal (tidak akan), tara (tidak pernah), kudu (harus).

2) Kecap Pangantet (Preposisi), yaitu kata tugas yang posisinya diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Kata-kata kelompok ini memiliki fungsi gramatikal sebagai pembentuk frasa pangantet (Frasa Proposisi). Contoh: di (di), ka (ke), ti (dari), dina (dalam), kana (ke dalam), keur (untuk), pikeun (untuk), kawas monyet (seperti monyet), ala paris (ala paris), nepi ka agustus (sampai agustus).

3) Kecap Panyambung (Konjungsi) yaitu kata tugas yang fungsinya menyambungkan bentuk linguistik, baik dalam kalimat maupun antar-kalimat dalam paragraf. Seperti halnya dalam bahasa Indonesia,

Page 52: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Andika Dutha Bachari

50

konjungsi dalam bahasa Sunda pun terbagi menjadi konjungsi koordinatif, subordinatif, korelatif, dan antarkalimat. Contoh: basa kuring saré, manéhna indit (ketika saya tidur, dia pergi).

4) Kecap Panyeluk (Interjeksi), yaitu kata-kata yang berfungsi meng-ungkapkan perasaan penuturnya. Contoh: ah, aduh, lakadalah, iy, éy, ih.

Berdasarkan kategorisasi kata tersebut, ternyata dapat dibuktikan bahwa terdapat kata-kata yang secara khusus berperan sebagai pemarkah fungsi fatis dalam tuturan. Kata-kata tersebut sangat sulit ditentukan makna leksikalnya, walaupun sebenarnya memiliki fungsi gramatik. Pemarkah fungsi fatis dalam wujudnya sebagai kata, banyak diwakili oleh kata-kata dari golongan kecap panambah panganteb (Adverb Penjelas/Penegas), kecap panambah panganteur (Adverb Antaran), dan kecap panyeluk (Interjeksi).

Perwujudan fungsi fatis yang dimarkahi oleh kata-kata dari ketiga golongan itu hanya dapat diidentifikasi apabila Perangkat Pengunjuk Maksud Tuturan-nya (PPMT) diketahui secara jelas. Artinya, realisasi fungsi fatis hanya akan dapat terjelaskan apabila komponen pragmatiknya diketahui.

Kata euy sebagai golongan kecap panambah panganteb merupakan pemarkah fatis yang berfungsi sebagai penegas tuturan bila dituturkan oleh seseorang yang ingin menegaskan pernyataan yang dipentingkan, misalnya dalam tuturan “Tong kadinya euy!” (Jangan ke situ!). Secara leksikal, kata euy dalam kalimat tersebut tidak dapat diketahui artinya. Akan tetapi, kata tersebut memiliki manfaat pragmatik, yaitu penegasan larangan ‘jangan ke situ’. Kata euy dalam kalimat tersebut merupakan contoh pemarkah fungsi fatis yang posisinya berada di akhir kalimat. Ada juga kata euy yang memarkahi fungsi fatis yang berada di awal kalimat. Biasanya, bentuk seperti ini digunakan sebagai seruan (yang menunjukkan keakraban). Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Euy, rek ka mana?” (Euy, mau ke mana?). Dalam tuturan tersebut kata euy tidak dapat dijelaskan makna leksikalnya, tetapi maksud pengutaraan kata euy dalam tuturan tersebut dapat diketahui dengan jelas, yaitu sebagai bentuk seruan (atau sapaan).

Selanjutnya, dapat dipastikan bahwa hampir seluruh anggota kategori kata panambah panganteur merupakan pemarkah fungsi fatis, bila batasan “sederhana” ihwal kategori fatis, yaitu sebagai bentuk yang berfungsi sebagai pembuka, penghalus, dan penegas sebuah tuturan dapat diterima. Umumnya, kata-kata dari kelompok ini sulit dicarikan makna leksikalnya. Kecap panambah panganteur merupakan kelompok kata yang bertugas mengantarkan verba (pagawean). Secara gramatik, kelompok kecap panganter pagawean memiliki makna inkoatif. Posisi kata-kata ini ada yang terletak di awal kata, tengah, dan akhir frasa/klausa/kalimat. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh berikut:

1) Pemarkah Fatis Kategori Kecap Panambah Panganter yang Terletak di Awal Frasa a) Gék diuk dina korsi panjang. b) Jung nangtung. c) Jeletot nyiwit.

Page 53: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

51

2) Pemarkah Fatis Kategori Kecap Panambah Panganter yang Terletak di Tengah Frasa a) Manehna cengkat terus cilikikik seuri. b) Nenjo kuring rek indit jung nangtung.

3) Pemarkah Fatis Kategori Kecap Panambah Panganter yang Terletak di Akhir Frasa Budakna diantep heula sina ceurik nyegruk.

4) Pemarkah Fatis Kategori Kecap Panambah Panganter yang Terletak di Awal Klausa/Kalimat a) Nyeh Yudi imut. b) Cikikik Kadenge Lina Seuri. c) Sup ka kamar hareup.

5) Pemarkah Fatis Kategori Kecap Panambah Panganter yang Terletak di Tengah Klausa/Kalimat a) Akang mah ras ka indung sorangan. b) Pas indit, manehna ret ka kuring.

6) Pemarkah Fatis Kategori Kecap Panambah Panganter yang Terletak di Akhir Klausa/Kalimat a) Anu geus sasayagian tingal am. b) Numawi duka da nembe jol.

Kecap panyeluk (Interjeksi) pun dapat menjadi pemarkah fungsi fatis, yaitu sebagai pengungkap perasaan emotif. Dengan kata lain, bentuk interjeksi ini merupakan wujud penyandian perasaan (sandi rasa), suara (sandi sora), penglihatan (sandi netra), ingatan (sandi kata), dan gerak atau kelakuan (sandi karya).

3 PEMARKAH FUNGSI FATIS DALAM BENTUK KALIMAT

Fungsi fatis yang direalisasikan masyarakat tutur bahasa Sunda dalam bentuk kalimat sangat banyak dijumpai. Hal ini mungkin berlaku sama dalam masya-rakat bahasa manapun. Selain dalam kalimat sapaan, realisasi fungsi fatis dapat dilihat dalam berbagai bentuk, misalnya dalam penawaran, pengingkaran, dan sindiran.

Perwujudan fungsi fatis dalam masyarakat tutur Sunda sebenarnya memiliki berbagai maksud, yang tentunya disesuaikan dengan pencapaian tujuan komunikasi di antara ke dua belah pihak. Namun demikian perwujudan fungsi fatis itu sebenarnya merupakan upaya penjagaan dan pencitraan identitas sosial. Mengenai hal ini dapat dibuktikan melalui percakapan berikut.

X : Keur aya pagawean teu? (Lagi ada pekerjaan enggak?) Y : Nya keur kieu weh. Aya naon kitu? (Ya, lagi gini aja. Emang ada apa?) X : Heunteu, ieu reuk menta dipangetikkeun. (Enggak, ini mau minta tolong

ditikin) Y : Loba teu? (Banyak enggak?) X : Ah heunteu, ngan salembar. (Ah enggak, cuma selembar) Y : Keur naon sih? (Untuk apa sih?) X : Keur tugas isukan, tapi entong ari keur repot mah. (Untuk tugas besok,

tapi jangan kalau lagi repot).

Page 54: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Andika Dutha Bachari

52

Berdasarkan percakapan di atas dapat dilihat adanya realisasi fungsi fatis yang diungkapkan para penuturnya. X Sebagai orang yang memiliki maksud me-mohon bantuan kepada Y, X membuka percakapan itu dengan modus kalimat tanya. Sebenarnya, pertanyaan X merupakan pertanyaan yang tak memerlukan jawaban karena kecil kemungkinannya X mempertimbangkan jawaban Y. Karena pentingnya bantuan dari Y, apapun jawaban Y, permohonan bantuan itu pasti akan diutarakan X kepada Y. Penggunaan kalimat pertama yang bermodus integrotaif jelas tidak lagi memiliki kesesuaian antara maksud pengutaraan dan makna kata-kata yang membentuknya. Secara tidak langsung, tuturan X yang berfungsi sebagai pembuka percakapan itu, menampilkan implementasi prinsip kesopanan, karena semakin tidak langsung (dan panjang) kalimat yang digunakan untuk menyuruh/meminta, maka tuturan itu akan dinilai lebih sopan.

Jawaban X kepada Y juga merupakan jawaban yang samar karena secara kualitas jawaban tersebut tidak menjawab esensi pertanyaan X. Yang terjadi adalah penggantungan makna. Akan tetapi, tuturan tersebut memiliki realisasi fungsi fatis, yaitu bahwa Y menerima atau menyambut kehadiran X dan merasa respek dengan stimulus yang disampaikannya. Hal tersebut dibuktikan dengan pertanyaan “Aya naon kitu?” sebagai wujud kepedulian terhadap X.

Selanjutnya, X menjawab dengan kata heunte yang berarti memberikan jawaban ‘tidak ada apa-apa’. Akan tetapi kata tidak itu menjadi tidak bermakna karena adanya tuturan ieu rek menta dipangetikkeun. Di satu sisi X menyatakan tidak ada apa-apa, tetapi di sisi yang lain X meminta bantuan kepada Y. Jelas hal ini merupakan paradoks pragmatik yang menampilkan adanya realitas fungsi fatis.

4 PENUTUP

Kategori fatis dalam bahasa Sunda dapat dimarkahi oleh bentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kategori kata yang memarkahi fungsi fatis berasal dari tiga kategori kata, yaitu kecap panambah pangateb, kecap panambah panganteur, dan kecap panyeluk (interjeksi). Secara khusus, kecap panambah panganteur merupakan kategori kata yang memiliki fungsi fatis dengan batasan bahwa pengertian fatis merupakan bentuk linguistik yang berfungsi sebagai pembuka, penghalus, dan penegas sebuah tuturan. Hal yang seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia, dan hal ini menunjukkan kekhasan bahasa Sunda yang memiliki kategori fatis tersendiri. Realisasi fungsi fatis yang dimarkahi oleh kalimat tidak hanya terjadi pada bentuk sapaan, tetapi juga pada bentuk lainnya. Apabila diamati dengan cermat, bentuk-bentuk yang berdimensi fatis ini ternyata memiliki kecenderungan sebagai alat pengendali interaksi sosial yang menunjukkan tingkat hubungan antarpenutur.

Page 55: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

53

CATATAN 1 Penerapan bidal kebijaksanaan dalam prinsip kesopanan yang

direalisasikan dengan meminimalkan keuntungan bagi kita, dan meminimalkan kerugian bagi lawan tutur.

2 Kategorisasi dalam Bahasa Sunda dapat dilihat dalam 1) Soendaneesche Spraakkunst (Coolsma, 1904) yang diterjemahkan menjadi Tata Basa Sunda oleh Husein Widjajakusumah &Yus Rusyana (1985), 2) Elmoening Basa Sunda (Ardiwinta, 1916) yang diterjemahkan oleh Ayat Rohaedi (1984), 3) Spraakkunst en Taaleigen van het Soendaasch (Kats, 1927) yang diterjemahkan menjadi Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda oleh Ayat Rohaedi (1982), 4) Adegan Basa Sunda (Adiwidjaja, 1951), 5) Kandaga Tata Basa (Wirakusumah, 1969), 6) Tatabasa Sunda (Tisnawerdaya, 1975), 6) The Phonology and Morphology of Sundanese Language (Van Syoc, 1959), 7) Struktur Kalimat Dasar dalam Bahasa Sunda (Robins, 1968) diterjemahkan menjadi Sistem dan Struktur Bahasa Sunda (Kridalaksana, 1982), 8) Perbandingan Struktur Bahasa Sunda –Bahasa Indonesia (Yudibrata, 1981), 9) Morfologi Kata Benda Bahasa Sunda (Sutawijaya, 1984), 10) Kamus Sunda-Indonesia, (Sumantri, 1984).

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaja, R.I. 1951. Adegan Basa Sunda. J.B. Wolters. Djakarta: Groningen.

Ardiwinata, D.K. Tata Basa Sunda. (Terjemahan Ayat Rohaedi). Jakarta: Balai Pustaka.

Coolsma, S. 1985. Tata Basa Sunda. (Terjemahan Husein Widjajakusumah &Yus Rusyana). Jakarta: jambatan.

Djayawiguna, I.B. 1986. Kandaga Tata Basa Sunda. Bandung: Tarate. Kats, J.&M. Soeriadredja. 1982. Tata bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda.

(Terjemahan Ayat Rohaedi). Jakarta: Jambatan. Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, H. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:

Gramedia. Kridalaksana, H. 1989. Proses Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.

Jakarta: Gramedia. Malinowski, . 1923. Permana, S.M.E. 1980. Paramasastra Basa Sunda. Bandung: Artha Dora. Prawirasumantri, A. 1990. Kamekaran, Adegan, jeung Kandaga Basa Sunda.

Bandung: Geger Sunten. Prawirasumantri, A. 1994. Tata Basa Sunda Baku: Tata Sora jeung Ejahan.

Bandung: Yayasan LBSS. Robins, R.H. 1982. Sistem dan Struktur Bahasa Sunda. (Terjemahan

Harimurti Kridalaksana). Jakarta: Jambatan. Sudaryat, Y. 1991. Pedaran Basa Sunda. Bandung: Geger Sunten. Tisnawerdaya, A. 1975. Tatabasa Sunda. Bandung: Kudjang.

Page 56: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Andika Dutha Bachari

54

Wirakusumah, R. M& Buldan, W. 1969. Kandaga Tatabasa. Bandung: Ganaco.

Yudibrata, K.Y. 2005. Tata Basa Sunda Kiwari. Bandung: Yayasan LBSS.

Page 57: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

PENERJEMAHAN INFORMASI IMPLISIT DARI BAHASA INGGRIS KE BAHASA INDONESIA

DALAM KARYA FIKSI

Diana Chitra Hasan Universitas Bung Hatta

Abstract

A good translation must strive for dynamic equivalence, i.e., the quality of a translation in which the message of the original has been so transported into the receptor language that the response of the receptor is essentially like that of the original receptors. The present study aimed at describing the translation procedures used in translating implicit information in the form of ellipsis and metaphor from English into Indonesian and the equivalence of the translation of those implicit information. Based on the analysis, it was found that the translation procedures which are used to achieve the equivalence are of two types of modulation, namely shift of point of view and explicitation and shift or transposition.

1 PENDAHULUAN

Penerjemahan selalu melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Setiap bahasa memiliki sistem dan struktur yang berbeda yang mengakibatkan perbedaan dalam penyajian informasi. Sementara itu, penerjemahan yang baik haruslah mengupayakan tercapainya kesepadanan dinamis, yaitu kesepadanan pemahaman pembaca Bsu dan Bsa atas pesan yang disampaikan oleh sebuah teks (Nida dan Taber 1974:12). Salah satu hal yang sering menimbulkan masalah dalam upaya mencapai kesepadanan dinamis adalah menerjemahkan informasi implisit, yaitu informasi yang tidak disebutkan secara literal atau tertulis di dalam teks sumber. Menurut Beekman dan Callow (1974:47) penyajian informasi secara implisit berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lain sehingga dituntut kejelian penerjemah dalam menerjemahkan informasi implisit tersebut agar pesan yang terkandung dalam sebuah teks dapat disampaikan dengan baik. Tulisan ini menguraikan tentang penerjemahan informasi implisit dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia yang terdapat dalam karya fiksi yang terdapat dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif.

2 KERANGKA TEORI

Beekman dan Callow (1974:48) membagi informasi implisit ke dalam dua bagian besar, yaitu:

a. Informasi implisit yang dapat ditemukan dari teks yang sama; informasi ini dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu:

Page 58: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Diana Chitra Hasan

56

(1) informasi yang dapat diketahui dari konteks langsung (immediate context) Informasi jenis ini dapat dikelompokkan ke dalam delapan kelompok, yaitu elipsis, klausa dalam kalimat kompleks, fitur wacana, konstruksi gramatikal, bahasa figuratif, pilihan kejadian, komponen makna kata dan ambiguitas.

(2) informasi yang dapat diketahui dari konteks yang jauh (remote context)

b. informasi implisit yang ditemukan dari teks yang berbeda atau dikenal juga dengan konteks budaya (cultural context).

Penelitian ini difokuskan kepada penerjemahan informasi implisit yang ter-dapat dalam konteks langsung, dan berikut ini dijelaskan dua jenis di antara-nya, yaitu elipsis dan bahasa figuratif.

2.1 Elipsis

Menurut Halliday dan Hassan (1976) elipsis adalah pelesapan sebuah unsur bahasa atau lebih dikenal dengan penggantian dengan zero (nol). Lebih lanjut, elipsis dijelaskan sebagai ‘sesuatu yang tidak disebutkan akan tetapi dapat dimengerti’. Perhatikan contoh (1).

(1) Joan brought some carnations and Catherine some sweet peas.

Dari contoh (1) di atas dapat dilihat bahwa struktur dari klausa kedua adalah subjek dan pelengkap (complement), sedangkan predikator klausa kedua tidak disebutkan secara eksplisit akan tetapi dapat dimengerti oleh pembaca melalui predikator klausa pertama sehingga klausa kedua dapat dipahami sebagai Catherine bought some sweet peas. Haliday dan Hassan (1976:146-224) mengelompokkan elipsis ke dalam tiga bagian, yaitu elipsis nomina, elipsis verba, dan elipsis klausa. Elipsis nomina adalah elipsis pada kelompok nomina yang terdiri dari nomina sebagai intinya dan penjelasnya yang terdapat sebelum atau sesudah inti tersebut. Jika dalam sebuah kelompok nomina fungsi inti diisi oleh kata lain yang merupakan penjelas inti tersebut, maka kelompok nomina tersebut mengalami elipsis.Elipsis verba adalah elipsis dalam kelompok verba, yaitu verba sebagai inti dalam frasa tersebut mengalami pelesapan. Pelesapan ini dapat dilakukan karena verba dimaksud sudah disebutkan sebelumnya. Elipsis klausa terjadi jika unsur yang dilesapkan tersebut berbentuk klausa.

2.1.2 Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif, misalnya metafora, mengandung unsur-unsur yang kadang-kadang tidak disebutkan secara eksplisit. Definisi metafora menurut Beekman dan Callow (1974:127) adalah suatu perbandingan yang implisit. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik. Lebih lanjut, Beekman dan Callow menjelaskan bahwa metafora terdiri atas tiga bagian, yaitu (a) topik: benda atau hal yang dibicarakan; (b) citra: bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk mendeskripsikan topik dalam rangka

Page 59: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

57

perbandingan; (c) titik kemiripan: bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra. Ketiga bagian yang menyusun metafora tersebut tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu, yaitu topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripannya implisit, seperti yang terlihat dalam contoh (2).

(2) Bsu : He is also Baldwin’s legal eagle. (AP:199) Bsa : Dia juga elang dalam urusan hukum Baldwin. (KA:283)

Topik metafora pada contoh (2) di atas adalah he ‘dia’, sedangkan citranya adalah eagle ‘elang’. Akan tetapi, titik kemiripan yang menunjukkan dalam hal apa he ‘dia’ dan eagle ‘elang’ tidak disebutkan secara eksplisit. Untuk mengetahui titik kemiripan ini diperlukan pengetahuan tentang konteks tempat metafora tersebut terdapat, pemahaman terhadap makna simbol ‘elang’ dalam masyarakat Bsa, dan unsur implisit lainnya.

2.2 Pengeksplisitan Informasi Implisit

Penerjemah harus dapat memutuskan dengan tepat kapan harus mengeksplisitkan sebuah informasi yang implisit. Jika ia tidak hati-hati, terjemahan dapat menjadi ‘gelap’ bagi pembaca karena terlalu sedikit informasi yang dieksplisitkan atau terlihat seperti komentar karena terlalu banyak informasi yang dieksplisitkan. Beekman dan Callow (1974:58-56) menjelaskan beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengeksplisitan sebuah informasi sebagai berikut:

(1) dibutuhkan oleh struktur bahasa sasaran Hal pertama yang harus menjadi pertimbangan penerjemah dalam mengeksplisitkan sebuah informasi adalah bahwa jika struktur bahasa sasaran menuntut hal tersebut.

(2) dibutuhkan oleh kesetiaan dinamis. Salah satu alasan penting untuk mengeksplisitkan informasi eksplisit adalah karena tuntutan stilistika dan struktur wacananya.

Untuk dapat menyampaikan pesan implisit dalam Bsu penerjemah juga harus memperhatikan prosedur penerjemahan. Catford (1965:73-82) menge-mukakan pergeseran bentuk sebagai prosedur penerjemahan yang lazim di-temukan, dan dijelaskan secara ringkas sebagai berikut :

(1) Penggeseran tataran, yaitu bila transposisi menghasilkan unsur Bsa yang berbeda tatarannya, yaitu tataran fonologi, grafologi, gramatikal, atau leksikal.

(2) Pergeseran kategori, yaitu bila transposisi menghasilkan unsur Bsa yang berbeda dari segi struktur, kelas kata, unit, atau sistemnya, sperti uraian berikut ini.

(2a) Pergeseran struktur, misalnya dari frasa berstuktur DM menjadi frasa berstruktur MD .

(2b) Pergeseran kelas kata, misalnya dari nomina menjadi verba, adjektiva, dan sebaliknya.

Page 60: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Diana Chitra Hasan

58

(2c) Pergeseran unit, misalnya dari frasa menjadi klausa, klausa menjadi frasa.

(2d) Pergeseran sistem, seperti dalam sistem untuk menyatakan plural atau singular.

Hoed (1993) mengelompokkan pergeseran makna atau modulasi ke dalam dua kelompok yaitu:

(1) Pergeseran sudut pandang Pergeseran sudut pandang terjadi apabila unsur Bsu memperoleh padanan Bsa yang berbeda sudut pandangnya, seperti terlihat dalam contoh (3).

(3) Bsu : by the will of God Bsa: di luar kemampuan manusia

(2) Pergeseran medan makna Pergeseran medan makna adalah pergeseran yang dihasilkan jika unsur Bsu memperoleh padanan Bsa yang medan maknanya berbeda, seperti terlihat dalam contoh (4).

(4) Bsu : rice Bsa : beras

Pada contoh di atas, unsur Bsu dan Bsa memperlihatkan luas cakupan medan makna yang berbeda. Rice memiliki medan makna yang lebih luas daripada beras.

Machali (1996:72) mengemukakan dua jenis prosedur penerjemahan, yaitu modulasi wajib dan modulasi bebas.

(1) Modulasi wajib Modulasi wajib dilakukan apabila suatu kata, frasa, atau struktur tidak ada

padanannya dalam Bsa, sehingga perlu dimunculkan.

(2) Modulasi bebas Modulasi bebas adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan karena alasan

nonlinguistis, misalnya untuk memperjelas makna, menimbulkan kesetalian dalam Bsa dan mencari padanan yang terasa alami dalam Bsa, misalnya eksplisitasi.

3 METODE PENELITIAN

Penelitian tentang penerjemahan informasi implisit dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dapat dikategorikan sebagai penelitian dengan metode deskriptif karena dalam penelitian ini dipaparkan informasi implisit dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dan selanjutnya dilakukan analisis terhadap kesepadanan antara unsur Bsu dan terjemahannya dalam Bsa sehingga ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan tercapai atau tidaknya kesepadanan dalam penerjemahan tersebut.

Page 61: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

59

4 SUMBER DATA

Data penelitian ini diambil dari tiga buah novel dan terjemahannya, yaitu:

(1) 4,50 from Paddington karya Agatha Christie yang diterbitkan oleh Fontana Books pada tahun 1979 dan terjemahannya Kereta 4,50 dari Paddington terbitan Gramedia, Jakarta pada tahun 1987 oleh Lily Wibisono.

(2) Absolute Power karya David Baldacci (1996) dan terjemahannya Kekuasaan Absolut diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1997 oleh Hidayat Saleh

(3) Bloodline karya Sidney Sheldon (1977) dan terjemahannya Garis Darah oleh Threes Sulastuti (1991) diterbitkan oleh Gramedia.

5 PENERJEMAHAN INFORMASI IMPLISIT DALAM BENTUK ELIPSIS

Pada bagian ini akan diuraikan penerjemahan informasi implisit dalam bentuk elipsis. Untuk dapat mengetahui prosedur penerjemahan informasi implisit, pertama kali harus diketahui unsur bahasa yang merupakan elipsis dan selanjutnya di analisis prosedur penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah untuk mengalihkan pesan dari teks sumber ke teks sasaran. Berikut ini diuraikan jenis informasi implisit dalam bentuk elipsis dan prosedur penerjemahannya.

(5) Bsu: The 4.50 was not much patrinised, the first class cleintele prefering either the faster morning express or the 6.40 with dining car (4,50 P :6)

Bsa: Kereta 4.50 sore tidak terlalu disukai. Penumpang kelas satu biasanya lebih suka naik kereta ekspress pagi yang lebih cepat atau kereta pukul 6.40 sore yang ada restorasinya.(K4,50 P : 9)

Pada data (5) di atas ditemukan elipsis nomina, yaitu dalam frasa the 4.50, the faster morning express, dan the 6.40 with dining car. Dalam ketiga frasa tersebut tidak ditemukan nomina yang berfungsi sebagai inti sehingga ketiga frasa di atas yang sebenarnya merupakan penjelas (modifier) mengalami peningkatan status menjadi inti. Nomina sebagai inti yang sebenarnya meng-alami pelesapan. Dengan memperhatikan konteks langsung (immediate context) diketahui bahwa unsur yang dilesapkan atau mengalami elipsis adalah kata train.

Dalam penerjemahannya, unsur yang implisit dalam teks sumber di-eksplisitkan dalam teks sasaran. Dengan kata lain, prosedur penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah adalah modulasi bebas yaitu eksplisitasi. The 4.50, the faster morning express, dan the 4,60 with dining car berturut-turut di-padankan dengan kereta 4.50, kereta ekspres pagi yang lebih cepat, dan kereta pukul 6.40. Pengeksplisitan nomina kereta merupakan tuntutan bahasa sasaran karena dalam bahasa Indonesia tidak mungkin menyebutkan modifikator saja tanpa nominanya sehingga frasa di atas tidak mungkin diterjemahkan menjadi 4.50, pagi yang lebih cepat, dan pukul 6.40 dengan restorasinya. Dalam bahasa Inggris sebagai bahasa sumber, meskipun nomina mengalami pelesapan, ketiga frasa di atas tetap dapat dipahami sebagai nomina karena adanya artikel the yang merupakan penunjuk nomina. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia, jika kata

Page 62: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Diana Chitra Hasan

60

kereta sebagai nomina tidak dieksplisitkan, maka teks tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca bahasa sasaran dengan baik. Dengan kata lain pengeksplisitan informasi implisit dilakukan karena dibutuhkan oleh struktur bahasa sasaran.

Perhatikan contoh (6). (6) Bsu: You may have been mistaken, I am not saying you were, mind _

but you may have been. (4,50 P:14) Bsa: Ada kemungkinan Anda salah, tidak berarti saya mengatakan

Anda salah lho, tapi kemungkinan itu ada. (K 4,50 P : 18) Pada data (6) di atas, elipsis terjadi pada frasa But you may have been. Elipsis jenis ini dikenal juga dengan elipsis dalam kelompok verba, dalam hal ini dalam konstruksi pasif. Dari konteks langsung, yaitu dari klausa yang terdapat dalam kutipan di atas, You may have been mistaken, diketahui bahwa unsur bahasa yang dilesapkan atau mengalami elipsis adalah kata mistaken.

Dalam penerjemahannya kata mistaken ‘salah’ tidak dieksplisitkan. Penerjemah menggunakan prosedur pergeseran sudut pandang. Teks sumber melihat dari sudut pelaku atau subjek you seperti terdapat pada You may have been. Dalam teks sasaran, unsur you sebagai subjek yang mungkin melakukan kesalahan tidak dipertegas, akan tetapi disamarkan melalui pergeseran sudut pandang menjadi kemungkinan itu ada. Kata mistaken ‘salah’ sebagai unsur yang dilesapkan dalam bahasa sumber, juga tidak dieksplisitkan dalam bahasa sasaran, akan tetapi digantikan oleh kata itu. Meskipun tidak mengalami eksplisitasi pesan yang sama dengan teks sumber tetap dapat disampaikan oleh teks sasaran.

Perhatikan contoh (7). (7) Bsu : I don’t see any other pssibility yet there must have been. (4,50P;

16) Bsa: Aku tidak lihat kemungkinan lain, padahal nyatanya pasti ada

kemungkinan lain. (K4,50 P; 19) Pada data (7) di atas, elipsis terjadi pada frasa yet there must have been. Elipsis jenis ini dikenal juga dengan elipsis dalam kelompok nomina. Dari konteks langsung, yaitu dari klausa yang terdapat dalam kutipan di atas, I don’t see any other possibility, diketahui bahwa unsur bahasa yang dilesapkan atau meng-alami elipsis adalah any possibility.

Dalam penerjemahannya frasa any possibility dieksplisitkan. Penerje-mah menggunakan prosedur penerjemahan modulasi, yaitu eksplisitasi, sehingga any possibility dipadankan dengan kemungkinan lain. Eksplisitasi ini terjadi karena tuntutan tata bahasa dari bahasa sasaran. Dalam bahasa Indonesia tidak mungkin menyebutkan frasa nomina tanpa menyebut nomina-nya. There must have been yang terdapat dalam teks sumber merupakan piranti grammatikal, sedangkan bahasa Indonesia tidak memiliki piranti grammatikal serupa untuk menyampaikan pesan tersebut ke dalam bahasa sasaran. Agar pesan tersebut dapat disampaikan, piranti grammatikal dalam bahasa sumber digantikan oleh unsur leksikal kemungkinan lain dalam bahasa Indonesia. Dengan mengacu kepada prosedur penerjemahan yang dikemukakan oleh Catford, pergeseran di atas dikenal juga dengan pergeseran tataran, yaitu dari tataran gramatikal pada Bsu, ke tataran leksikal pada Bsa. Dengan demikian, pesan yang disampaikan oleh Bsu dapat dengan tepat dialihkan ke dalam Bsa.

Page 63: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

61

6 PENERJEMAHAN INFORMASI IMPLISIT DALAM METAFORA

Unsur bahasa figuratif merupakan unsur bahasa yang sarat dengan informasi implisit.Dalam sumber data yang digunakan, ditemukan unsur bahasa figuratif yang mengandung informasi implisit, yaitu metafora. Berikut ini diuraikan penerjemahan informasi implisit yang terdapat dalam metafora. Perhatikan contoh (8).

(8) Tsu: The two guards that were usually stationed there were named Paul dan Aram. Paul was a pleasant man with a genial disposition. Aram was an entirely different matters. He was an animal, swarthy and stockily built, with powerful arms and a body like a beer keg. (BL:98)

Tsa: Kedua penjaga yang biasanya ditempatkan disana bernama Paul dan Aram. Paul lelaki yang ramah dan periang, Aram sangat berlawanan. Dia kejam seperti binatang buas, berkulit gelap dan tinggi besar, dengan tangan-tangan kekar dan tubuh gendutseperti tong bir (GD:174)

Klausa He was an animal ‘dia adalah binatang’ yang terdapat pada contoh (8) di atas merupakan metafora karena he pada klausa itu mengacu pada Aram, seorang penjaga gerbang, bukan seekor binatang. Dengan demikian, klausa di atas mengandung makna figuratif yang membandingkan antara he yang merupakan topik metafora tersebut dan animal yang merupakan citra atas dasar titik kemiripan tertentu yang tidak disebutkan secara eksplisit. Dengan mem-perhatikan unsur yang dibanding serta konteksnya, dapat diketahui bahwa titik kemiripan tersebut adalah kejam karena Aram sangat suka memukul tawanan yang dijaganya.

Binatang buas juga sangat kejam terhadap mangsanya. Kejamnya binatang buas itu digunakan untuk menggambarkan betapa kejamnya Aram. Dengan demikian, pesan yang terdapat pada metafora di atas secara harfiah adalah Dia kejam, sebagaimana kejamnya binatang buas terhadap mangsanya. Dari segi prosedur penerjemahannya, metafora di atas mengalami modulasi yaitu modulasi bebas berupa eksplitasi. Eksplisitasi tersebut terjadi pada dua unsur, yaitu pada kata seperti yang mengubah bentuk metafora men-jadi simile dan kata kejam yang merupakan titik kemiripan antara topik dan citra. Kedua kata tersebut tidak ditemukan pada metafora Tsu. Eksplitasi ter-sebut dilakukan untuk memperjelas pesan yang terdapat dalam metafora Tsu di dalam Tsa. Kejelasan pesan tersebut diperkuat dengan dengan menambahkan kata buas yang implisit dalam bahasa sumber. Perhatikan contoh (9).

(9) Bsu: He shook his head, sneaked a quick smoke. Sitting on a keg of dynamite. That’s what they all were doing. The more Gloria Russel explained it to him, the more impossible he thought it was. (AP:156)

Bsa: Ia menggelengkan kepala, merokok sembunyi-sembunyi. Duduk di atas satu tong dinamit. Itulah yang sedang mereka semua lakukan. Semakin banyak Gloria Russel menjelaskan padanya, semakin mustahil hal itu dalam pikirannya'. (KA:223)

Page 64: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Diana Chitra Hasan

62

They ‘mereka’ dalam kalimat di atas mengacu pada Collin, Burton, Gloria Russel, dan Presiden Amerika Serikat. Kalimat Sitting on a keg of dynamite. That’s all what they all were doing yang terdapat pada contoh (9) di atas tidak berterima secara harfiah karena sebenarnya mereka tidak sedang duduk di atas satu tong dinamit. Keadaan tersebut digunakan untuk menggambarkan bahwa mereka sedang menghadapi keadaan yang sangat membahayakan, yaitu me-nyembunyikan kasus pembunuhan yang telah mereka lakukan.

Sebagai kalimat yang mengandung makna figuratif, kalimat Sitting on a keg of dynamit. That’s all what they all were doing di atas dapat dikenali sebagai citra sebuah metafora. Topik metafora di atas tidak disebutkan secara eksplisit. Dengan menelusuri konteksnya, diketahui bahwa yang dibicarakan atau topik dalam kalimat bercetak tebal pada contoh (9) di atas adalah keadaan yang sedang dihadapi Collin, Burton, Russel dan Presiden Amerika Serikat, setelah mereka melakukan pembunuhan. Keadaan yang mereka hadapi menjadi berbahaya karena ada seorang saksi mata yang mengetahui perbuatan mereka. Topik dan citra tersebut dibandingkan secara implisit tanpa kata as atau like atas dasar kemiripan tertentu yang implisit. Akan tetapi, titik kemiripan itu dapat diketahui dengan membandingkan topik dan citra tersebut, dan dapat di-jelaskan sebagai berikut. Dinamit adalah bahan peledak yang sangat kuat. Duduk di atas satu tong dinamit tentu saja sangat berbahaya karena sewaktu-waktu dinamit itu dapat meledak. Demikian juga dengan keadaan yang tengah dihadapi oleh Burton, Collin, Russel, dan presiden AS karena ada seorang saksi mata pada saat mereka melakukan pembunuhan. Dengan demikian, titik kemiripan antara topik dan citra adalah keadaan yang berbahaya. Jadi, secara harfiah, yang dimaksud oleh metafora di atas adalah: Mereka sedang menghadapi keadaan yang sangat berbahaya.

Terjemahan metafora di atas dapat digolongkan ke dalam terjemahan yang sepadan. Tercapainya kesepadanan pada penerjemahan metafora pada contoh (9) di atas disebabkan oleh dua hal. Pertama, pembaca Bsa dapat me-nafsirkan titik kemiripan antara topik dan citra metafora itu dengan tepat. Kedua, konteksnya menggambarkan dengan jelas bahwa mereka sedang meng-hadapi keadaan yang sangat berbahaya dan informasi implisit yang terdapat dalam metafora tersebut telah dapat dipahami oleh pembaca sehingga tidak perlu dieksplisitkan dalam penerjemahannya. Pada penerjemahan ‘Duduk di atas satu tong dinamit. Itulah yang sedang mereka semua lakukan’ ditemukan posedur transposisi, yaitu penggeseran intrasistem dan penggeseran unit. Peng-geseran intrasistem ditemukan pada penerjemahan frasa nominal a keg of dynamite menjadi ‘satu tong dinamit’. Preposisi of memperoleh padanan zero. Penggeseran ini disebabkan oleh kekurangwajaran penggunaan frasa nominal dengan preposisi 'dari' sebagai terjemahan of dalam Bsa. Jadi, a keg of dynamite tidak perlu diterjemahkan menjadi 'satu tong dari dinamit'. Peng-geseran unit terjadi pada penerjemahan preposisi monomorfemis on menjadi frasa yang merupakan gabungan preposisi dan bukan preposisi, yaitu ‘di atas’. Pada penerjemahan kalimat That’s what they all were doing menjadi 'Itulah yang sedang mereka semua lakukan’ ditemukan penggeseran tataran, yaitu penggeseran dari tataran gramatikal ke tataran leksikal. Konsep keimperfek-tifan dalam Bsu diungkapkan dengan suffiks –ing yang berada pada tataran gramatikal, sedangkan dalam Bsa konsep itu dinyatakan dengan kata sedang, yang berada pada tataran leksikal.

Page 65: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

63

7 PENUTUP

Informasi implisit yang terdapat dalam sebuah teks haruslah dicermati oleh penerjemah agar pesan yang dikandungnya dapat sampai kepada pembaca bahasa sasaran. Langkah yang harus ditempuh oleh penerjemah jika berhadap-an dengan informasi implisit adalah memilih prosedur penerjemahan yang tepat. Jika prosedur yang dipilih tidak sesuai dengan jenis informasi implisit yang ingin diterjemahkan akibatnya adalah pesan yang terdapat dalam teks sumber tidak diterima oleh pembaca bahasa sasaran. Dari penelitian terhadap informasi implisit dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif ditemukan beberapa jenis prosedur penerjemahan yang dapat mengalihkan pesan bahasa sumber antara lain adalah modulasi bebas berupa pergeseran sudut pandang dan eksplisitasi serta pergeseran tataran dari tataran gramatikal ke tataran leksikal. Semua jenis prosedur penerjemahan di atas dapat mengalihkan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan tepat. Penerjemahan harfiah terhadap sebagian unsur bahasa figuratif, seperti metafora, ditemukan tidak dapat mengalihkan informasi implisit dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Beekman, J dan John Callow. 1974. Translating the Word of God. USA: Zondervan Publishing House

Catford, J.C. 1974. A Linguistics Theory of Translation. London: Oxford University Press

Hoed, B.H. 1994. “Prosedur Penerjemahan dan Akibatnya” dalam Lintas Bahasa No.2 tahun 1994. Jakarta: Pusat Penerjemahan FSUI

Hoed, B.H, Tresnati S.S, dan Rochayah Machali M. 1993. Pengetahuan Dasar tentang Terjemahan. Pusat Penerjemahan FSUI.

Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross Language Equivalence. USA: University of America.

Machali, R. 1998. Redefining Textual Equivalence in Translation with Special Reference to Indonesian-English. Jakarta: Pusat Penerjemahan Universitas Indonesia

Nida E.A. dan Taber C. 1974. The Theory and Practice Translation. Leiden: E.J. Brill

Newmark, P. 1981. Approaches to Translation. Great Britain : A Wheaton & Co

_______. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall Snell-Hornby, M. 1988. Translation Studies an Integrated Approach.1988.

Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.

Page 66: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

PENYULIHAN DALAM WACANA: TERJEMAHAN ALQURAN SURAT YAASIIN

Jerniati I. Balai Bahasa Ujung Pandang

Abstract

This paper deals with word substitution in the discourse translation Surat Yaasiin of The Holy Koran/Quran. There are three types of substitution: single word constituent substitution, equivalent constituent substitution, and repetition with definite marking. Words (including pronouns), phrases, clauses, and sentences could be used as substitute constituents.

Substitution plays an important role as a preserver and maintainer of the intended meaning of the Surat Yaasiin of The Holy Koran.

PENDAHULUAN

Setakat ini, kajian mengenai wacana dalam bahasa Indonesia sudah marak dilakukan. Pada awalnya, sekitar 20 tahun lalu kajian ini dirintis oleh para pakar bahasa Indonesia seperti Dardjowidjoyo (1986), Kridalaksana (1987), Kaswanti Purwo (1987), Tarigan (1987), Baryadi (1988), dan Tallei (1988). Karya-karya tersebut menjadi titik tolak bagi tulisan-tulisan selanjutnya, termasuk tulisan ini.

Berbicara mengenai wacana, kita tidak akan terlepas dari apa yang disebut kohesi dan koherensi, karena kohesi dan koherensi merupakan dua alat pendukung yang dapat menentukan suksesnya sebuah wacana. Wacana dikatakan ”sukses” apabila informasi yang disampaikan oleh penulis atau oleh pembicara dalam wacana sama dengan informasi yang diterima oleh pembaca atau pendengar. Senada dengan Tallei (1988:83), wacana tulis disebut mudah apabila ia mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi. Artinya, wacana terse-but dapat dipakai oleh sebagian besar pembaca yang ditujunya. Sebaliknya, wacana tersebut sukar apabila ia mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah, yakni, hanya dapat dipahami oleh sebagian kecil pembaca yang dituju.

Tingkat keterbacaan yang tinggi sebuah wacana dapat dicapai dengan memaksimalkan penggunaan kohesi. Halliday dan Hasan (1976:4) membagi kohesi menjadi dua jenis, yaitu, kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal meliputi empat jenis salah satu di antaranya adalah substitusi atau penyulihan yang menjadi fokus kajian ini. Penyulihan adalah penggantian konstituen dengan memakai kata yang maknanya sama sekali berbeda dengan kata yang diacunya, tetapi kata yang disulihnya (konstituen tersulih) dan kata penyulihnya (konstituen penyulih) menunjuk ke acuan yang sama (Suhaebah, et al. 1996:10—11).

Page 67: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jerniati I.

66

1 OBJEK KAJIAN: TERJEMAHAN ALQURAN SURAT YAASIIN

Alquran, kitab suci agama Islam, merupakan pedoman hidup bagi umat Rasulullah Muhammad saw. Dalam Alquran inilah terdapat satu surat yang sangat luar biasa, karena dalam surat ini Allah swt. bersumpah dengan Alquran bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang rasul yang diutusNya kepada kaum yang belum pernah diutus kepada mereka rasul-rasul (Penterjemah/ penafsir Alquran 1971:705).

Surat yaasiin yang dalam urutan Alquran adalah surat ke-36 terdiri atas 83 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Pokok isi surat yaasiin di antaranya adalah bukti-bukti adanya hari berbangkit, Alquran bukan syair melainkan ilmu, kekuasaan, dan rahmat Allah.

Keistimewaan surat Yaasiin adalah bahwa surat ini merupakan jantung Alquran, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw. yang artinya ”Sesungguhnya setiap sesuatu itu ada jantung hatinya, sedangkan jantung hati Alquran adalah surat yaasiin. ”Barang siapa membaca surat yaasiin maka Allah menetapkan baginya seperti membaca Alquran sepuluh kali” (Anas r.a.). Selain itu, surat yaasiin juga dapat memberi syafaat bagi pembacanya, memberi ampunan pendengarnya, mendapatkan kebaikan di dunia, menghilangkan keta-kutan di hari kiamat, menolak kejahatan, dan mendatangkan segala hajat pembacanya.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk menelaah surat yaasiin lebih dalam dengan fokus terjemahan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Tim Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran Al-Mujamma Al-Malik Fahd. Yang akan dikaji adalah bagaimana alat kohesi, khususnya penyulihan, dalam wacana terjemahan tersebut digunakan untuk memadukan untaian klausa atau kalimat yang mendukung ke-83 ayat surat yaasiin tersebut. Apakah terjemahan ini mampu memberikan keterbacaan yang tinggi kepada pembacanya?

2 KOHESI PENYULIHAN DALAM WACANA TERJEMAHAN SURAT YAASIIN

Untuk menganalisis kohesi penyulihan dalam terjemahan surat yaasiin, pertama-tama akan dikemukakan terjemahan surat tersebut secara lengkap sebagai berikut.

1. Yaasiin 2. Demi Al Qur’an yang penuh hikmah. 3. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, 4. (yang berada) di atas jalan yang lurus, 5. (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi

Maha Penyayang 6. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak

mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. 7. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah)

terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. 8. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka,

lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah.

Page 68: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

67

9. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula) dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.

10. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.

11. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.

12. Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)

13. Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka;

14. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: ”Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”

15. Mereka menjawab: ”Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.”

16. Mereka berkata: ”Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu.

17. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”

18. Mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.”

19. Utusan-utusan itu berkata: ”Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

20. Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: ”Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.

21. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

22. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan-ku dan yang hanya kepada Nyalah kamu (semua) akan dikembali-kan?

23. Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selainNya jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terha-dapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?

24. Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.

Page 69: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jerniati I.

68

25. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengar-kanlah (pengakuan keimanan)ku.

26. Dikatakan (kepadanya): ”Masuklah ke surga”. Ia berkata: ”Alang-kah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,

27. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan”.

28. Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.

29. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati.

30. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokannya.

31. Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tidak kembali kepada mereka.

32. Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. 33. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah

bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.

34. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.

35. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?

36. Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

37. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.

38. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah kete-tapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

39. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.

40. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.

41. Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.

42. Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.

43. Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.

Page 70: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

69

44. Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan ketenangan hidup sampai ke pada suatu ketika.

45. Dan apabila dikatakan kepada mereka: ”Takutlah kamu akan siksa yang dihadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu men-dapat rahmat”. (niscaya mereka berpaling).

46. Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaann Tuhan mereka, melainkan mereka selalu ber-paling daripadanya.

47. Dan apabila dikatakan kepada mereka: ”Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: ”Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”.

48. Dan mereka berkata: ”Bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang benar?”

49. Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.

50. Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiat pun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya.

51. Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.

52. Mereka berkata: ”Aduhai celakalah kami!! Siapakah yang mebangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasul-(Nya).

53. Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.

54. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.

55. Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang da-lam kesibukan (mereka).

56. Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.

57. Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.

58. (Kepada mereka dikatakan): ”Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.

59. Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir): ”Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat”.

60. Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”.

61. Dan hendalah kamu menyembahKu. Inilah jalan yang lurus. 62. Sesungguhnya setan itu telah menyesatkan sebagian besar di

antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? 63. Inilah Jahannam yang dahulu kamu diancam (dengannya).

Page 71: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jerniati I.

70

64. Masuklah ke dalamnya pada hari ini disebabkan kamu dahulu mengingkarinya.

65. Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.

66. Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami hapuskan pengli-hatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka betapakah mereka dapat melihat(nya).

67. Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah mereka di tempat mereka berada, maka mereka tidak sangup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali.

68. Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?

69. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Alquran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.

70. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.

71. Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?

72. Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan.

73. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?

74. Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan.

75. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka, padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka.

76. Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesung-guhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.

77. Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami mencip-takan dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!

78. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ”Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah: ”Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakan kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.

80. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu”

Page 72: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

71

81. Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu ber-kuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.

82. Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ”Jadilah!” maka terjadilah ia.

83. Maka Maha Suci (Allah) yang di tanganNya kekuasaan atas sega-la sesuatu dan kepada Nyalah kamu dikembalikan.

2.1 Konstituen Tersulih dan Konstituen Penyulih

Konstituen tersulih adalah konstituen yang diganti oleh konstituen lain pada klausa atau kalimat berikutnya, sedangkan konstituen penyulih adalah konsti-tuen yang mengggantikan konstituen lain dalam mewujudkan kekohesian suatu wacana (Suhaebah, et al. 1996:18). Konstituen yang tersulih dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat, atau paragraf. Dalam terjemahan surat yaasiin, satu ayat ada yang terdiri atas satu kata, satu klausa, satu kalimat, dan ada yang terdiri atas lebih dari satu klausa atau kalimat.

Pada data (ayat 1) yaasiin terdiri atas dua huruf bahasa Arab yaitu ي dan tetapi dalam terjemahannya yaasiin dianggap sebagai satu kata. Data (ayat ,س2), demi Alquran yang penuh hikmah merupakan satu klausa, dan pada data ayat 8) sesungguhnya kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah, merupakan data yang terdiri atas lebih dari satu klausa.

2.1.1 Konstituen tersulih berupa kata

Berikut adalah conton-contoh yang konstituen tersulihnya berupa kata:

(1) a. Demi Alquran yang penuh hikmah (ayat 2) b. Sebagai wahyu yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha

Penyayang (ayat 5)

(2) a. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu (ayat 21) b. Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (ayat 21)

(3) a. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta-merta mereka berada dalam kegelapan (ayat 37)

b. Dan, matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Perkasa lagi Maha Mengetahui (ayat 38)

Pada contoh (1a) konstituen Alquran adalah konstituen yang tersulih.

Konstituen itu disulih oleh sebagai wahyu pada (1b). Letak atau posisi konstituen tersulih berada di sebelah kiri konstituen penyulih. Jarak antara konstituen dengan penyulih cukup jauh, melampaui tiga ayat, namun penyu-lihan tetap dapat memelihara kepaduan wacana. Pada contoh (2a) kata atau konstituen orang adalah konstituen yang tersulih. Konstituen tersebut disulih oleh mereka pada (2b) yang terletak di sebelah kiri konstituen penyulih. Begitu pula pada contoh (3), konstituen Kami merupakan konstituen tersulih yang disulih oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, dan terletak di sebelah kiri konstituen penyulih. Jadi, konstituen penyulih yang terdapat pada ketiga

Page 73: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jerniati I.

72

contoh tersebut adalah (1) sebagai wahyu, (2) mereka, dan (3) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.

Ketiga contoh konstituen tersulih tersebut semuanya adalah kata, dan posisinya menunjukkan ke sebelah kiri yang sifatnya sama dengan anafora yang mengacu pada sesuatu yang telah disebut sebelumnya. Perhatikan kalimat berikut:

(4) a. Dikatakan kepadanya, ”Masuklah ke surga” (ayat 26) b. Ia berkata, ”Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui” (ayat 26)

Pada contoh (4b) konstituen ia adalah konstituen yang tersulih, konstituen itu disulih oleh –nya yang terdapat pada (4a). Jadi konstituen –nya ini merupakan konstituen penyulih. Posisi konstituen tersulih terletak pada sebelah kanan penyulih, yang berarti bahwa konstutuen ini bersifat sama dengan kataforis.

2.1.2 Konstituen Tersulih Berupa Klausa dan Kalimat

Perhatikan kalimat-kalimat berikut:

(5) a. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai (ayat 6)

b. Sesungguhnya telah pasti berlalu perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman (ayat 7)

(6) a. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah (ayat 11)

b. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia (ayat 11)

Pada contoh (5a) konstituen yang berupa klausa, kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, merupakan konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih oleh mereka pada (5b). Jadi, konstituen mereka adalah konstituen penyulih. Posisi atau letak konstituen tersulih adalah di sebelah kiri penyulih, yang sifatnya anaforis. Begitu pula pada contoh (6a) kalimat orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah merupakan konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih oleh mereka pada (6b). Jadi, konstituen mereka adalah konstituen penyulih. Posisi konstituen tersulih terletak di sebelah kiri penyulih. Dengan adanya penyulihan pada contoh (5) dan (6) maka data (ayat 5), (ayat 6), (ayat 7), dan (ayat 11) dalam wacana terjemahan surat yaasiin tersebut menjadi kohesif.

2.2 Penyulihan dengan Konstituen yang Senilai

Dalam wacana terjemahan Alquran surat yaasiin ditemukan penyulihan dengan konstituen yang senilai. Konstituen ini merupakan pengulangan kata atau frase yang disebut sebagai pemarafrasean konstituen tersulih.

Page 74: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

73

(7) a. Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dengan kesibukan (mereka) (ayat 55)

b. Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan (ayat 56)

(8) a. Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka (ayat 13)

b. (yaitu) Ketika kami mengutus kepada mereka dua orang utusan c. Lalu mereka mendustakan keduanya d. Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka e. Ketiga utusan itu berkata ”Sesungguhnya kami adalah orang-orang

yang diutus kepadamu” (ayat 14)

(9) a. Mereka megambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan (ayat 74).

b. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka, (ayat 75) c. (padahal) berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk

menjaga mereka (ayat 75)

Pada contoh (7a) konstituen penghuni surga dan mereka dan istri-istri mereka pada (7b) mengacu ke acuan yang sama sehingga dapat dikatakan bahwa mereka dan istri-istri mereka adalah penghuni surga. Hal tersebut didukung oleh kata-kata lain yang menguatkan, misalnya, bersenang-senang teduh, dan bertelekan dipan-dipan, yang semuanya berhubungan dengan keadaan penghuni surga. Jadi, yang mengohesifkan kedua kata tersebut adalah penyulihan dengan konstituen yang senilai. Selain itu, dalam data ini juga terjadi penyulihan dengan pronomina, yakni, konstituen penghuni surga pada (7a) disulih oleh pronomina mereka pada (7b).

Pada contoh (8) penyulihan dengan konstituen yang senilai dapat dilihat pada konstituen utusan-utusan (8a), dua orang utusan (8b), utusan yang ketiga (8d), dan ketiga utusan itu (8e). Ketiga konstituen tersebut merupakan pengulangan kata atau frase.

Konstituen utusan-utusan (8a) merupakan konstituen tersulih yang disulih oleh dua orang utusan (8b), lalu dua orang utusan (8b) disulih oleh utusan yang ketiga (8d) kemudian utusan yang ketiga (8e) yang disulih oleh ketiga utusan itu (8e). Ketiga penyulih ini pada dasarnya mengacu kepada acuan yang sama, yakni, utusan-utusan (8a). Jadi, penyulihan ini disebut penyulihan dengan konstituen yang senilai.

Pada contoh (9a) konstituen sembahan selain Allah adalah konstituen tersulih yang disulih oleh berhala-berhala itu pada (9b) dan (9c). Kedua konstituen ini memiliki acuan yang sama. Oleh karena itu, dikatakan juga sebagai konstituen yang senilai. Hal tersebut didukung oleh konstituen lain seperti tiada dapat menolong mereka, yang berhubungan dengan berhala atau sembahan selain Allah. Jadi, pemadu kohesi juga terdapat pada contoh (9) penyulihan dengan konstituen yang senilai.

2.2 Penyulihan dengan Penyebutan Ulang secara Definit

Dalam wacana terjemahan Alquran surat yaasiin juga ditemukan penyulihan yang menggunakan penyebutan ulang secara definit. Penanda definit yang digunakan adalah itu.

Page 75: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jerniati I.

74

(10) a. Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan (ayat 41)

b. Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu (ayat 42)

(11) a. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam (ayat 37)

b. Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta-merta mereka berada dalam kegelapan (ayat 37)

Pada contoh (10) konstituen bahtera (10a) adalah konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih dengan cara disebut ulang sebagian lalu ditambah pendefinit itu, menjadi bahtera itu (10b). Dengan demikian, bahtera itu adalah konstituen penyulih yang berada di sebelah kanan konstituen tersulih, bahtera.

Pada contoh (11) konstituen malam (11a) adalah konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih dengan cara disebut ulang secara utuh, lalu ditambah pendefinit itu, menjadi malam itu (11b). Jadi, malam itu adalah konstituen penyulih yang berposisi di sebelah kanan konstituen tersulih.

Pada contoh (12a) berikut, konstituen binatang ternak adalah konstituen tersulih; konstituen tersebut disulih dengan cara penyebutan kata binatang secara berulang, sebagian tidak disebut (kata ternak) lalu ditambah pendefinit itu sehingga menjadi binatang-binatang itu (12b). Jadi, binatang-binatang itu adalah konstituen penyulih yang berposisi di sebelah kanan konstituen tersulih.

(12) a. Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebahagian dari apa yang telah kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya? (ayat 71)

b. Dan kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan.

2.3 Penyulihan dengan Pemronominalan

Dalam wacana terjemahan Alquran surat yaasiin penyulihan dengan pemronominalan merupakan penyulihan yang dominan. Perhatikan kalimat-kalmat berikut:

(13) a. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah (ayat 11)

b. Walaupun dia tidak melihatNya (ayat 11) (14) a. Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati (ayat 12) b. Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang

mereka tinggalkan (ayat 12) (15) a. Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas

(ayat 20) b. Ia berkata, ”Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu (ayat 20)

Page 76: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

75

Pada contoh (13a) konstituen orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah adalah konstituen tersulih yang berposisi di sebelah kiri konstituen penyulihnya, yaitu, dia pada (13b). Selain itu, pada contoh (13a) konstituen Tuhan Yang Maha Pemurah secara tersendiri juga merupakan konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih olehNya pada (13b). Adanya dua penyulih dalam contoh (13) tersebut menunjukkan bahwa kekohesian atau keutuhan data (ayat 11) ini sangat terjaga.

Pada contoh (14a) konstituen orang-orang mati adalah konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih oleh pronomina persona ke-3 jamak, mereka, pada (14b). Jadi, konstituen penyulih tersebut berada di sebelah kanan konstituen tersulih. Dengan adanya penyulihan pada (14), data (ayat 12) yang terdiri atas dua kalimat dalam terjemahan surat yaasiin dapat dikatakan kohesif.

Pada contoh (15a) konstituen seorang laki-laki adalah konstituen tersulih. Konstituen tersebut disulih oleh pronomina persona ketiga tunggal, yakni, konstituen ia pada (15b) dan juga klitika –ku dalam kaum-ku (15b). Kedua konstituen ini merupakan konstituen penyulih yang berposisi sebelah kanan konstituen tersulih. Penyulihan yang terjadi pada data (ayat 20) menunjukkan bahwa kekohesian pada data tersebut tetap eksis.

Ketiga contoh penyulihan di atas masing-masing menggunakan pronomina dia, mereka, dan ia. Penggunaan pronomina yang lain dapat dilihat pada contoh berikut.

(16) a. (Sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang (ayat 5)

b. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah (ayat 8)

(17) a. (Kepada mereka dikatakan), ”Selain sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (ayat 58)

b. Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu ”Hai bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? (ayat 60)

c. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu? (ayat 60)

Pada contoh (16a) konstituen Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang adalah konstituen tersulih, yang disulih oleh pronomina persona pertama jamak kami pada (16b). Jadi, konstituen penyulih ini berposisi di sebelah kanan konstituen tersulih. Penyulihan ini terjadi setelah dua ayat terlampau. Meskipun demikian, penyulihan ini tetap berperan sebagai alat kohesi yang menyebabkan kepaduan data (ayat 5) dengan (ayat 8). Pada contoh (17a) konstituen Tuhan Yang Maha Penyayang adalah konstituen tersulih, dengan pronomina persona pertama Aku sebagai penyulihnya pada (17b). Jadi, konstituen penyulih ini berposisi di sebelah kanan dari konstituen tersulih. Pada contoh (17b) konstituen bani Adam juga merupakan konstituen tersulih dengan pronomina kedua tunggal, kamu, pada (17c). Jadi, konstituen penyulih ini terletak di sebelah kanan konstituen tersulih. Meskipun penyulihan ini terjadi dalam jarak dua ayat dari konstituen tersulih, kekohesian data (ayat 58) dan (ayat 60) tetap terjaga.

Page 77: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jerniati I.

76

3 SIMPULAN

Penyulihan sebagai salah satu alat kohesi yang terdapat dalam wacana terjemahan Alquran Surat Yaasiin ternyata dapat memerankan fungsinya untuk menjaga dan memelihara kepaduan kalimat-kalimat yang membangun wacana tersebut. Hal itu diketahui setelah penyulihan dalam kajian ini direalisasikan dalam tiga hal: (1) konstituen tersulih dan konstituen penyulih, (2) konstituen yang senilai, dan (3) konstituen dengan penyebutan ulang secara definit.

Penyulihan dalam kajian ini menunjukkan dengan jelas konstituen tersulih dapat berupa kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Namun, konstituen penyulihnya bukan hanya berupa hal yang sama, melainkan juga berupa pronomina persona, mulai dari pronomina persona I, II, sampai III, baik tunggal maupun jamak.

Penyulihan pada kajian ini umumnya bersifat anaforis, hanya sedikit yang kataforis. Hal tersebut dapat diketahui dengan banyaknya konstituen penyulih yang berposisi di sebelah kanan konstituen tersulih.

DAFTAR PUSTAKA

Baryadi, I. Praptono. 1988. ”Salam Pembuka dalam Wacana Langsung.” Makalah Konferensi dan Seminar Nasional V MLI 22—27 Juli 1988, Ujung Pandang.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1986. ”Benang Pengikat dalam Wacana.” Dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). 1986. Pusparagam Linguistik dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Arcan.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesian in English. London: Longman.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1987. “Pragmatik Wacana”. Dalam Widyapurwa No.31. Yogyakarta: Balai Bahasa

Kridalaksana, Harimurti. 1987. “Keutuhan Wacana” Dalam Bahasa dan Sastra Tahun IV No.1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran. 1971. Alquran dan Terje-mahannya. Madinah Munawwarah Kerajaan Saudi Arabia: Al- Mujamma Al- Malik Fahd

Suhaebah, Ebah. Et al. 1996. Penyulihan sebagai Alat Kohesi dalam Wacana. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tallei. 1988. ”Keterpaduan, Keruntutan, dan Keterbacaan Wacana Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar (Suatu Kajian Analisis Wacana), Disertasi Pascasarjana IKIP Bandung.

Taufiqurrahman, Abu. 1989. Terjemah Majmu’ Syarif. Semarang: PT Karya Toha Putra.

Page 78: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

KLAUSA RELATIF DALAM BAHASA INDONESIA: SEBUAH FENOMENA KONTROVERSIAL?

Agustina Universitas Negeri Padang

Abstract

The existence of relative clauses in Indonesian is still debated by many people, because yang is not relative pronoun, unlike the English relative pronoun who or which, but a ligature which does not have the argument status. In this paper I attempt to describe relative clauses in Indonesian in which I argue that yang has no argument status. Thus, relative clauses in Indonesian are typical, unlike their counterparts in English.

A. PENDAHULUAN Para peneliti, baik asing maupun Indonesia, dalam mengkaji KR BI umumnya bertolak pada kaidah-kaidah bahasa Inggris atau bahasa-bahasa Barat lainnya, sehingga pandangan dan temuannya kadang-kadang merupakan fenomena yang kontroversial. Misalnya, di dalam bahasa Inggris, sekurangnya terdapat 3 ciri utama KR, yaitu (1) harus ada anteseden (Ant), yakni FN klausa induk harus sama dengan FN KR; (2) harus ada relator/perangkai unsur KI dengan unsur KR yang diposisikan sebelum KR; dan (3) relator tersebut harus men-duduki salah satu fungsi sintaktis dalam KR. Berdasarkan ciri tersebut. Ter-nyata dalam BI yang tidak memenuhi syarat ke (3), sebab yang hanya sebuah ligatur yang tidak berstatus argumen. Karena itulah, beberapa pembahas ter-dahulu, di antaranya Verhaar (1979), Arifin (1990:8), dan Parera (1991:105-7) berpendapat bahwa tidak ada KR dalama BI.

Akankah kita menggugurkan keberadaan KR dalam BI dikarenakan yang tidak berstatus argumen dalam klausa tersebut? Padahal, kerumitan ba-hasa Indonesia tidak dapat terungkap dengan rangka berpikir yang dibuat ber-landaskan bahasa-bahasa Barat itu (Kaswanti Purwo 2000:2). Dengan demi-kian, kajian tentang BI tidak selayaknya menerapkan teori bahasa-bahasa tersebut secara mentah-mentah, melainkan harus diciptakan inovasi-inovasi teoretis berdasarkan fakta dari penelitian empiris (Kridalaksana 2002:27). Kajian ini mencoba meneropong keberadaan KR dalam BI dengan berkiblat pada karakteristik BI. Cara ini dipakai untuk menyingkapkan misteri yang ada dalam BI sehingga tercipta temuan mengenai KR yang benar-benar khas Indonesia. Analisis ini bertolak pada dua prinsip. Pertama, tidak menye-tujui pandangan yang cenderung menggunakan istilah KR seolah-olah merujuk kepada suatu entitas gramatika universal, karena KR hanya bisa diidentifikasi dari sifat-sifat sintaktis nonuniversal. Itulah sebabnya, untuk mengetahui sifat-sifat sintaksis KR harus diketahui terlebih dahulu bagaimana konstruksi itu dalam bahasa tersebut dapat diidentifikasi sebagai sebuah KR. Kedua, ber-dasarkan sifat-sifat sintaksis yang berbeda-beda tersebut maka pendefinisian KR sangat berbeda secara lintas bahasa. Karena itu, yang penting harus di-

Page 79: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Agustina

78

pegang adalah prinsip-prinsip dasar tipologi, terutama definisi fungsional, sebab hanya sifat-sifat semantiklah yang tepat untuk mengkaji KR secara uni-versal.

B. SEKILAS TENTANG KLAUSA RELATIF DALAM BAHASA-BAHASA LAIN

Untuk perbandingan, mari kita melihat KR dalam bahasa lain, di antaranya bahasa Korea (dikutip dari Berg-Klingenman 1987:7).

(1) Hy nsik-i ki lä-lil ttälįl-n maktäkį Hyensik-S the dog-OL beat-REL stick (Ant) ‘the stick with which Hyensik beat the dog’

Bahasa Korea tidak menggunakan Pron Rel, melainkan sufiks –n yang dilekat-kan pada verba ttälįl. Sufiks tersebut hanya berfungsi sebagai pemarkah, karena tidak dapat menggantikan salah satu fungsi sintaktis dalam KR tersebut. Untuk menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam bahasa Inggris harus meng-gunakan Pron Rel which sebagai pengganti it (bandingkan dengan klausa non-relatif Hyensik beat the dog with it), meskipun di dalam bahasa Korea tidak ada ekuivalen which atau it. FN Ant adalah maktäkį, yang terletak sesudah KR. Dengan demikian, posisi KR bahasa Korea prenominal (sedangkan bahasa Inggris posnominal).

Kasus serupa, namun tak persis sama juga terdapat dalam bahasa Cina Mandarin berikut (dikutip dari Downing 1978:395).

(2) wo dale (ta) de neige ren laile I hit him REL that man came ‘The man that I hit came …’

KR tidak ditandai dengan Pron Rel, melainkan dengan Part Rel de di akhir verba tak beraturan (karena itu tidak ada sufiks). Dalam kasus seperti ini terjadi pelesapan FN Rel pada fungsi O (ta) yang bersifat opsional (sedangkan untuk S bersifat obligatori). Posisi KR tersebut juga prenominal, yakni KR wo dale (ta) de mendahului FN Ant ren. Padahal, jika dilihat tipe bahasa Cina Mandarin yang SVO, posisi ini sangat tidak lazim, karena KR dalam tipe tersebut umumnya posnominal. Namun begitu, kenyataan bahwa KR bahasa Mandarin prenominal juga ditegaskan oleh Jacob (1995:303), seperti yang dicontohkannya dalam bahasa Inggris She gave me the book is dog-eared; yakni She gave me adalah KR, sedangkan book adalah FN Ant. Padahal dalam bahasa Inggris kalimat tersebut diungkapkan The book which she gave me is dog-eared; yakni KR which she gave me sesudah/mengikuti FN Ant book.

Perhatikan pula KR dalam bahasa Ibrani Kuno berikut (dikutip dari Berg-Klingenman 1987:7).

(3) Ha?ārĭm ’ašer-yäšav bãhen lõt the-cities REL he-lived in them lot ‘the cities in which Lot had lived’

Konjungsi ’ašer dalam KR tersebut juga tidak berstatus argumen, karena itu fungsinya hanya sebagai pemarkah saja. Bahasa Ibrani juga menggunakan Pron, tetapi bukan Pron Rel melainkan Pron diri hen yang melekat kepada Prep ba, mengacu pada FN ha?ārĭm sebagai FPrep dan menyatakan Ket (lokatif).

Page 80: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

79

Kemudian, ha?ārĭm merupakan FN Ant, yang berposisi sebelum KR. Dengan demikian, KR bahasa Ibrani Kuno adalah posnominal.

Jika KR bahasa Cina Mandarin seharusnya posnominal karena bertipe SVO, akan tetapi dalam kenyataannya prenominal; maka kasus ini juga terjadi dalam bahasa Parsi yang seharusnya berposisi prenominal karena bertipe SOV (verba final), namun kenyataan datanya menunjukkan bahwa KR berposisi posnominal (4) (dikutip dari Downing 1978:390).

(4) (an) mărd-i (ra)-ke did-i the man- REL-O-PART saw-you ‘the man whom you saw’

FN Ant mărd mendahului KR i (ra)-ke did-i.; di sini sufiks -i merupakan pemarkah relatif yang dilekatkan pada FN Ant, sedangkan partikel ke merupa-kan pemarkah bahwa relativisasi terjadi pada O ra (pemarkah ini juga di- gunakan pada S).

C. KLAUSA RELATIF DALAM BAHASA INDONESIA

Menyimak fakta yang terungkap dalam beberapa bahasa tersebut, jelaslah bahwa tak semua bahasa menggunakan Pron Rel sebagai pemarkah KR dan sekaligus berfungsi menggantikan FN Ant dengan status sebagai sebuah argumen, seperti yang terdapat dalam bahasa Inggris. Jika Bahasa Korea menggunakan sufiks –n, Cina Mandarin Part Rel de, Ibrani Kuno Konj ’ašer, Parsi sufiks –i, maka BI selain menggunakan Pron Rel yang (5), juga menggunakan Adv Rel waktu,tempat, bagaimana,mengapa, dll.(6), dan Prep Rel untuk (7) dan dari (10b), serta sifar (Ø) (10c), yang masing-masingnya juga tidak berstatus argumen.

(5) a. Apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya, dan apa-apa yang dibuat dan digunakannya merupakan manifestasi budaya. b. Ibu saya guru yang sedang mengajar itu. c. Arifin ingin memperluas perusahaan yang hampir gulung tikar sebulan yang lalu. d. Dia kehilangan orang tua yang selalu menjadi panutan dalam hidupnya.

(6) a. Kemarin, (waktu/ketika/saat/tatkala) saya tertidur, dia datang. b. Ia kembali ke Bandung, tempat dia dibesarkan. c. Saya tidak tahu cara bagaimana Neni membuat kue itu. d. Dia tidak menerima alasan mengapa saya tak datang kemarin itu.

(7) Pemerintah mengkompensasikan kenaikan harga BBM untuk meringankan beban masyarakat miskin.

Dari segi posisi, KR dalam bahasa Korea dan Cina Mandarin adalah prenominal, bahasa Ibrani Kuno dan Parsi adalah posnominal, sedangkan dalam BI seperti telah diklaim oleh para linguis di antaranya Downing (1978), Comrie (1981, 2002, 2003) bahwa secara tipologis KR dalam BI posnominal (5), (6), dan (7), namun akankah kita kesampingkan data (8a) berikut yang akan lebih komunikatif bila diungkapkan dengan struktur demikian, meskipun dapat juga posposisi, seperti (8b) dalam ragam tulis:

Page 81: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Agustina

80

(8) a. Yang pulang hari ini adalah yang suka bercermin, Nike. b. Yang pulang hari ini adalah Nike, yang suka bercermin.

dan data (9b) yang merupakan transformasi aktif dari pasif (9a) (lihat Djajasudarma 1997:32-33).

(9) a. Ia yang dilihat teman saya berlari. b. Teman saya yang melihat ia berlari.

Fenomena KR yang terjadi dalam bahasa Ibrani juga terjadi di dalam BI. Meskipun sama-sama menggunakan Pron, akan tetapi mempunyai perbedaan dari segi pengacuan; hen dalam bahasa Ibrani Kuno dalam hubungan Ket (lokatif), sedangkan -nya dalam BI dalam hubungan Pos(sesif), seperti dalam (10a) Pron -nya mengacu kepada N bapak. Selain menggunakan Pron nya yang ditambahkan pada N sesudah yang, hubungan Poss dalam BI bisa juga menggunakan Prep Rel dari (dalam lisan daripada) (lihat Djajasudarma 1997:26), seperti (10b) atau dengan sifar (Ø) seperti (10c). Bentuk-bentuk tersebut berfungsi sebagai pemarkah sekaligus sebagai relator yang menyatakan hubungan termilik-pemilik. Akan tetapi, tidak dapat langsung menggunakan yang (10d).

(10)a. Itu bapak yang mobilnya saya beli minggu lalu. b. Sekretaris dari ayah saya tidak masuk hari ini. c. Sekretaris Ø ayah saya tidak masuk hari ini. d. Sekretaris *yang ayah saya tidak masuk hari ini.

Selain fenomena KR dalam BI di antara KR bahasa-bahasa lain seperti telah dikemukan tersebut, perlu juga disimak temuan-temuan pakar asing sehubungan dengan KR dalam BI. Comrie (1981:150; 2003:3) dan Berg-Klingenman (1987; 2000) misalnya, mengungkapkan bahwa di dalam BI hanya FN yang berfungsi sebagai S(ubjek) dan Poss(essor) yang dapat langsung direlatifkan, sedangkan FN lainnya (O, P(nom), Pel, dan Ket) tidak demikian, tetapi harus dinaikkan terlebih dahulu menjadi kalimat pasif.

Jika temuan para pakar tersebut diterima, maka bagaimana dengan kenyataan KR dalam BI yang diungkapkan dalam data (5b) yang merelatifkan P, data (5c dan 7) yang merelatifkan O, data (5d) yang merelatifkan Pel, serta data (6) yang merelatifkan Ket?, yang tanpa dinaikkan menjadi kalimat pasif dapat langsung direlatifkan? Demikian juga tentang posisi KR dalam BI yang divonis pronominal, karena secara tipologi BI termasuk ke dalam tipe bahasa SVO. Jika demikian, bagaimana pula dengan kenyataan yang diungkapkan dalam data (8a) dan (9b), yakni posisi KR dapat juga prenominal?

D. PENUTUP

Bercermin dari fakta KR yang terdapat dalam data BI yang telah diungkapkan di atas, maka apa yang disyaratkan oleh (Downing 1978:378-380) bahwa minimal ada tiga karakter semantik universal yang berhubungan dengan KR, yaitu (1) FN KR harus koreferensial dengan FN Ant, (2) nosi KR merupakan pernyataan (asersi) tentang FN Ant, dan (3) modifikasi fungsional KR merujuk pada restriktif (adjektival) sebagai oposisi terhadap nonrestriktif (apositif), telah dipenuhi oleh KR dalam BI. Dengan demikian, selayaknyalah para pe-neliti mengubah paradigma (lama) yang selama ini mentradisi, yakni pen-

Page 82: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

81

dekatan yang digunakan seolah ‘selalu berkiblat’ pada bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Barat lainnya. Selain itu, menerima temuan-temuan (tentang KR dalam BI), baik oleh peneliti asing maupun lokal, secara ‘apa adanya’, tampaknya perlu direnungkan kembali, sehingga tidak terjadi ‘kekaburan’ tentang fenomena KR yang sesungguhnya terjadi dalam BI itu sendiri.

Banyak hal yang patut dikaji mengenai KR dalam BI, di antaranya strategi perelatifan, hierarkhi ketercapaian FN Rel, pola relativisasi FN Rel terhadap FN Ant, dan sejumlah fenomena lainnya, semoga pada kesempatan mendatang fenomena tersebut dapat terungkapkan.

DAFTAR RUJUKAN

Arifin, Syamsul, dkk. 1990. Tipe-Tipe Klausa Bahasa Jawa. Jakarta: P3B, Depdikbud.

Berg-Klingenman, Lidy van den. 1987. “Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Muna” dalam Lontara No 34:5-25. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.

---------- 2002. Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Muna. (diakses 2 Maret 2002).

Comrie, Bernard. 1981. Language Universals and Linguistic Typology: Syntax and Morphology. Oxford: Basil Blackwell.

---------- 2002. “Relative Clauses in Austronesian Languages: Some Typological Consideration: Abreviated Version” dalam KLN X MLI. Bali: Pusat Bahasa, FS Udayana.

---------- 2003. “The Verb Marking Relative Clause Strategy: with Special Reference to Austronesia Language”, dalam Jurnal Masyarakat Lingusitik Indonesia Th ke-21, No 1, Feb 2003. Jakarta: MLI dan Yayasan Austronesian Languages

Djajasudarma, T. Fatimah. 1997. Analisis Bahasa Sintaksis dan Semantik. Bandung: Humaniora Utama Press.

Downing, Bruce T. 1978. “Some Universals of Relative Clause Structure“ dalam Greenberg (ed) Universals of Human language (Vol. 4 Syntax). California: Stanfors Univ. Press.

Jacobs, Roderick A. dan Rosembaum, Peter S. 1969. English Transformational Grammar. Singapore: Toppan Printing C.O.

Kaswanti Purwo, Bambang. 2000. Bangkitnya Kebhinekaan Dunia Linguistik dan Pendidikan. Jakarta: Mega Media Abadi.

Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.

Parera, Jos Daniel. 1991. Sintaksis. (Edisi Kedua). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Verhaar, Johm W.M. 1979b. “Neutralization and Hierarchy” dalam Sophia Linguistics Working Papers in Linguistics V: 1—16. Tokyo: Sophia Univ.

Page 83: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

THE REFLECTIVE EXPERIENTIAL ASPECT OF MEANING OF THE AFFIX –i IN INDONESIAN

Francien Herlen Tomasowa Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dan bertujuan untuk menjelaskan tentang aspek eksperiensial reflektif dari makna akhiran –i dalam bahasa Indonesia.

Data yang digunakan berupa klausa yang mengandung akhiran –i sebagaimana digunakan oleh penutur asli bahasa Indonesia dan yang terdapat dalam buku-buku tatabahasa Indonesia dan bahan lainnya, seperti koran, majalah dan buku cerita anak yang tersebar luas di Indonesia dalam dua dasa-warsa terakhir ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek eksperiensial reflektif dari makna akhiran –i dalam bahasa Indonesia ber-kaitan erat dengan macam kata dasar (base) serta macam pro-ses di mana akhiran tersebut berada.

INTRODUCTION

The literature shows that there have been phonological, morphological and syntactical analyses of the characteristics of the verbal affix –i in Indonesian, among others by Edmond Tes (1957), Alisjahbana (1963, 1976, 1978), Abas (1971), Aman Singgih (1972), Keraf (1980), Samsuri (1976, 1985), Dardjowidjojo (1971, 1977, 1983) and Tampubolon (1977, 1978, 1983).

Tampubolon (1977:22) suggests that there are three approaches to affixation in the language: traditional (Mees, 1964; Alisjahbana, 19634), structural (Macdonald, 1976), and the one which he himself uses, namely semantic. Let us look at examples of each of these approaches below.

Sabaruddin Ahmad, as cited by Edmond Tes (1957:53) states that the affix –i functions as a verb-former. In functioning as a verb-former, the affix –i as a suffix forms a secondary base, and as part of the affixation per-i forms a tertiary base.

Alisjahbana (1976:88) claims that it can be assumed that the suffix –i makes from the object a kind of location; the object is static, e.g.: Ahmad melempari pohon itu dengan batu‘Ahmad is pelting the tree with stones’. On the other hand, the suffix –kan represents the object as something in movement, thus dynamic: Ahmad melemparkan batu kepada pohon itu ‘Ahmad is throwing stones at the tree’. Further he argues that the difference between menamakan and menamai in which nama means ‘name’, is that in the first case the person is changed from nameless to one with a name whereas in the second case a name is given to the person.

Page 84: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

84

Aman Singgih (1972:20) asserts that the affix –i, like the affix –kan, has two functions:

1) to make a word become a transitive verb; and/ or 2) to make a transitive verb (variant a) become ‘more transitive’ (variant b)

such as in: a. Saya mendengar suara letusan mercon. ’I heard the cracker explosion.’ b. Saya mendengarkan siaran radio. ’I listened to the radio broadcast.’

As for the choice of –kan or –i, Singgih argues that the first is used whenever the object ‘moves’ while the latter when the object is ‘static’ or ‘does not move’. Some examples are:

Ali mengirimkan surat ke Tokio. ‘Ali sent a letter to Tokio.” Ali mengirimi ibunya uang. ‘Ali sent his mother money.’

Whether the affix –i is a transitivizer, an intensifier or benefactive marker is idiosyncratic (Abas 1971:308). The given examples, which are admittedly not very illuminating, are presented in the table below.

transitivizer ‘meng-ingin-I’ ‘me-‘ + want + ‘-i’

‘meng-ingin-kan’ ‘me-‘ + want + ‘-kan’

benefactive marker ‘me-nama-I’ ‘me-‘ + name + ‘-i’

‘me-nama-kan’ ‘me-‘ + name + ‘-kan’

intensifier ‘me-minjam-I’ ‘me-‘ + lend + ‘-i’

‘meng-ajar-kan’ ‘me-‘ + teach + ‘-kan’

The literature also shows that some linguists who are non-native speakers of Bahasa Indonesia have shown interest in the function(s) of the affix –I in Indonesian. Among others are Pickering, A. (1974), Tcheckoff, C. (1978), Hopper, P.J. and Thompson, S.A. (1980), Prentice (1987) and Verhaar (1984).

Hopper and Thompson (1980:261) compare Indonesian –kan and –i in terms of their semantic and distributional similarities. The two affixes can be found as a minimal pair (cf. Tjokronegoro 1968). They argue that the semantic difference between ‘Dia memanasi air’ and ‘Dia memanaskan air’ is that:

1. the action of heating in the first is gentler and more controlled than that in the latter; and

2. in the first the heat is brought to the water, whereas in the latter the water is placed over the heat.

Historically, they suggest that the two affixes may be derived from prepositions: -kan from the directional akan/ke- ‘to (a place); and –i from the locative ‘at’.

As part of circumfixes with men- and memper-, the affix –i assigns locative role meaning to the Direct Object NP, frequently figurative, as in menduduki ‘to sit on, to occupy’; memperingati ‘to commemorate’; menghormati ‘to confer honour on, to honour’ (Verhaar 1984:6). As a derivational suffix (not the final portion of a circumfix), the affix –i, such as in memukuli ‘to hit repeatedly’ and menampari ‘to slap over and over again’ (see also Dardjowidjojo 1977:4)

Page 85: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

85

According to Prentice (1987:924) there is one phonologically determined constraint on the occurrence of the affix –i. It cannot concur with a base ending with the orthographic i. Some examples are memakai ‘to wear’ stemming from the base pakai ‘use’, and membenci ‘to dislike’ stemming from the base benci ‘dislike’. Verhaar (1984:6) argues that it is the ‘locative –i’ that cannot be added to a base or stem already ending in the orthographic –i. He further expects that in earlier Malay the examples above were:

memakaii instead of memakai, and membencii instead of membenci.

Kartomihardjo (1981:66) and Poedjosoedarmo (1982:70) assert that the affix –i in Indonesian and in Javanese has the following functions common to both languages:

1. formation of verbs referring to repetitive actions: e.g.: menghantami - ngantemi ‘to hit repetitively’ (Indonesian) (Javanese)

2. formation of a verb, the recipient of which is the place of the action. The recipient may be either inanimate:

e.g.: menggulai - nggulani ‘to add sugar’ (Indonesian) (Javanese)

or animate: e.g.: mengobati - nambani ‘to medicate’ (Indonesian) (Javanese)

3. formation of verbs the meaning of which is ‘become or be (Noun)’: e.g.: mengepalai ‘to head’

4. formation of verbs, the meaning of which is ‘make (adjective, number)’:

e.g.: menyamai ‘to be alike’

In summary, the non-systemic functional approaches have revealed that the affix –i has seven functions/meanings:

1. verb-former (e.g. Sabaruddin Ahmad); 2. transitivizer (e.g. A. Singgih); 3. intensifier (e.g. Hopper and Thompson); 4. iterative/ repetitive (e.g. S. Dardjowidjojo; S. Kartomihardjo); 5. object becomes kind of location (e.g. S.T. Alisjahbana; S.

Kartomihardjo); 6. become/ be (Noun) (e.g. S. Kartomihardjo); and 7. make Adjective/ Numeral (e.g. S. Kartomihardjo).

Despite those previous works on the affix, some problems concerning its grammatical meanings remain unsolved. Firstly, what in fact is the unifying function of the affix? Secondly, are the various functions assigned to the affix in complementary distribution to each other? Thirdly, is the generalization that an un-prefixed word containing the affix –i is a verb in its imperative form acceptable? And lastly, does the affix –i in menangisi ‘to cry (about)’ and menduduki ‘to sit (on)’ only function as a ‘transitivizer’?

Page 86: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

86

1 METHOD OF RESEARCH

This study is descriptive qualitative by which the writer tries to explain the reflective experiential aspect of meaning of the verbal affix –i in Indonesian in detail.

Two main sources of data were used for this descriptive study, namely, native speakers of Indonesian and written materials.

For the purpose of investigating the functional characteristics of the verbal affix –i in Indonesian, some Indonesian tertiary level teaching staffs that have all been brought up and educated in Indonesian since childhood were used as informants and were consulted to judge the acceptability of certain data. Each informant was asked to make sentences containing the affix –i from which the 400 sentences gathered were used as a bank to refer to in describing the functional characteristics of the affix.

The written data used comprised textbooks on the grammar of Indonesian (Alisjahbana 1963, Moeliono 1967, Macdonald and Soenjono 1967, Macdonald 1976, Sarumpaet 1977, Badudu 1980, Keraf 1980 and Harsana 1982), some widely distributed Indonesian newspapers (Kompas and Surya) and magazines (Tabloid, Intisari, Basis, Matra and Femina) and children’s stories published in the last two decades. These written sources are chosen for three reasons. Firstly, the language used is both contemporary and used by educated people. Secondly, they are largely circulated in the country, and thirdly, they cover various text types. The newspapers and the first magazine mentioned contain socio-economic and political topics; Intisari and Basis contain scientific topics, whereas Matra and Femina are intended for readers of a certain sex, the first is for male and the latter for female readers. Given the range of fields, including the children’s stories, it is considered that the data are sufficiently representative for the investigation.

The data were analyzed using the systemic functional model of grammar postulated by Halliday (1967, 1976, 1981, 1985). The theory underlying this grammar is a theory of meaning as choice: a language or any other semiotic system is interpreted as networks of interlocking options.

2 FINDING AND DISCUSSION

The result of perceiving the meaning of the verbal affix –i in Indonesian from systemic functional model of grammar postulated by Halliday (1967, 1976, 1981, 1985), which interprets a language or any other semiotic system as networks of interlocking options is as follows.

In terms of experiential meaning, processes in Indonesian can be distinguished into five types: those of ‘doing’ called material processes, such as makan ‘eat’, pukul ‘hit’, tumbuh ‘grow’; those of ‘sensing’ called mental processes, such as melihat ‘see’, mencintai ‘to love’, mengenali ‘to recognize’; those of ‘being’ called relational processes, such as adalah ‘to be’, ternyata ‘to turn out to be’; those of ‘verbalizing’ called verbal processes, such as berkata ‘to say’; and those of ‘existing’ called existential processes, such as ada ‘to exist’ (see also Tomasowa, 1989, 1992).

Furthermore, Tomasowa states that the types of processes vary in terms of the type of base forming the Process. In general, material Processes may stem from verbal, nominal, adjectival, adverbial, bound, multi-functional or

Page 87: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

87

structural word bases. Mental Processes may stem from verbal, nominal, adjectival, adverbial, bound, multi-functional as well as minor-class bases. Relational Processes may stem from verbal and nominal bases. Verbal Processes may stem from verbal and multi-functional bases whereas the existential Process stems from an adjectival base. Table 1 below is the summary of the type of base forming the Process of an Indonesian dispositive clause.

Table 1. The type of base forming the type of Process in an Indonesian dispositive clause.

Type of base forming the Process Type of dispositive Process V N Adj Adv B MF MC

material Doing √ √ × √ √ √ √ Making × × √ × × × × Animal natural √ × × × × × × Inanimate natural √ × × × × × × Mental Perception √ × × × √ √ √ Positive inner feelings √ √ √ × √ √ × Negative inner feelings × √ √ × √ × × cognition √ × √ √ √ × × Relational Equational × √ × × × × × Intensive attributive √ × × × × × × Circumstantial attributive × × × × × × × Possessive attributive √ √ × × × × × Adversative attributive × × × × × × × Verbal Statement × × × × × √ × Question √ × × × × × × Command √ × × × × × × offer √ × × × × × × Existential × × × × × × ×

Notes: √ = present N = nominal B = bound

× = absent Adj = adjectival MF = multi-functional

V= verbal Adv = adverbial MC = minor-class

2.1 Distribution of the Affix –i

In terms of the distribution of the affix -i across dispositive processes, the circumstantial, adversative attributive and existential processes do not bear the affix –i whereas all the other processes in the language do. Furthermore, the affix –i appears attached to a certain lexical base to form a Process. The affix can occur by itself or as part of the larger verbal affixation (me-)+-i (or its receptive variants: ter-+-i or di-+-i). Thus the description of the verbal affix -i

Page 88: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

88

in this study covers the functions of the affix by itself and as part of a larger affixation.

In its grammatical function as an internal causative marker, the affix –i may function by itself or as part of a larger affixation, and may be found in attachment to:

- a verbal base; e.g.: duduk ‘to sit’ in menduduki ‘to sit on’, ‘to occupy’

- a bound base: e.g.: lucut in melucuti ‘to disarm’

- a nominal or an adjectival base: e.g.: sampul ‘cover’ in menyampuli ‘to cover, to wrap’ panas ‘hot’ in memanasi ‘to heat’

- a multi-functional base: e.g.: jalan ‘road or to walk’ in menjalani ‘to walk, to spend’

- an adverbial or a minor class base: e.g.: dapat ‘can’ in mendapati ‘to find’ serta ‘with, along with’ in menyertai ‘to accompany, to

participate’

The affix may be attached to a verbal or nominal base in material, mental and verbal processes. When attached to a base other than the two mentioned before, it can be found in material and mental processes only. Chung (1978:338) calls the affix “the transitivising suffix –i”. She refers to examples such as Guru itu memasuki rumah kecil. meaning ‘The teacher entered a small house’ as if the affix is involved only in the transitive part of the statement. In fact, as part of the verbal affixation (me-)+-i, the affix –i in the above clause functions as an ‘internal causative marker’ in the ergative semantic model, and as an ‘indicator that the Goal is the location of the action’ in the transitive semantic model as shown below: Guru itu memasuki rumah kecil.

transitive Actor Process Goal ergative Medium Process Range

teacher that to enter house small ‘The teacher entered a small house’

In terms of the types of base the affix –i is attached to, the data show that it may be attached to a verbal base; a bound base; a nominal or an adjectival base; a multi-functional base; an adverbial or a minor class base. Whereas the affix is attached to a verbal base or a nominal base in material, mental, relational (equational, intensive and possessive) and verbal processes; it is attached to other types of base in material and mental processes of the language. The distribution of the affix –i across the processes is shown in Table 2.

Page 89: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

89

Table 2. Distribution of the Affix –i among Processes in Indonesian. Distribution in relation to type

of Process base Type of Process Distribution of affix -i

1 2 3 4 5 6 7 1 material:

action – doing √ √ √ × √ √ √ √ action – making √ × × √ × × × × natural - animate √ √ × × × × × ×

natural - inanimate √ √ × × × × × × 2 mental:

perception √ √ × × × √ √ √ inner feeling - positive √ √ √ √ × √ √ × inner feeling - negative √ × √ √ × × × ×

cognition √ √ √ √ √ √ × × 3 relational:

equational √ × √ × × × × × attributive - intensive √ √ × × × × × × attributive - circumstantial × × × × × × × × attributive - possessive √ √ √ × × × × ×

attributive - adversative × × × × × × × × 4 verbal:

statement √ × × × × × √ × question √ √ × × × × × × command √ √ × × × × × ×

offer √ √ × × × × × × 5 existential × × × × × × × ×

Notes: √ = present 3 = adjectival base 7 = minor-class base × = absent 4 = adverbial base 1 = verbal base 5 = bound base 2 = nominal base 6 = multi-functional base

Table 2 shows that in terms of type of process, the affix –i can be observed in all process types except for the existential processes. Moreover, its presence is related to the type of base forming the Process.

In natural material, intensive attributive, question, command and offer processes, the affix –i is usually attached to a verbal base. In equational processes it is attached to a nominal base, whereas in making processes, the affix is attached to an adjectival base. In possessive attributive processes, the affix is attached to a verbal or nominal base. In doing material processes it may be attached to a verbal, nominal, adverbial, bound, multi-functional or minor-class base. In positive inner feeling processes, the affix is attached to a verbal, nominal, adjectival, bound or multi-functional base. In negative inner feeling processes, the affix –i is attached to a nominal, adjectival or bound base. In mental processes of cognition it may be attached to a verbal, nominal, adjectival or bound base. In statement processes it is found attached to a multi-functional base.

Page 90: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

90

2.2 Functions of the Affix –i

The verbal affix –i in Indonesian has two unifying grammatical functions: a dispositive marker and an internal causative marker. In addition to these unifying functions, it also carries some specific grammatical functions which differ from process to process, depending on the type of base it is attached to in forming the Process of a clause.

The functions of the affix –i can be distinguished into unifying, which apply to all types of process regardless of the type of base forming the Process of the clause, and specific, which depend on the type of base it is attached to in forming the Process. The unifying and specific functions of the affix –i are shown in Table 3.

Table 3. Functional Characteristics of the Affix –i in Processes in Indonesian Types of function of the affix

unifying specific types of dispositive processes

types of Process base

1 2 3 4 5 6 7 8 9a. material

V √ × × √ √ × × × ×N √ √ × √ × √ √ × ×

Adv √ √ × × × × × × √B √ √ × √ × × × × ×

MF √ × × √ √ × × × ×

doing

MC √ √ × × × × × × ×making Adj √ √ × √ × × × √ ×animate natural V √ × × √ √ × × × ×

inanimate natural V √ × × √ √ × × × ×b. mental

V √ √ √ × √ × × × ×B √ √ √ × × × × × ×

MF √ √ × × × × × × ×

perception

MC √ √ × × × × × × ×V √ × √ × √ × × × ×N √ √ × × × × × × ×

Adj √ √ × × × × × × ×B √ √ × × × × × × ×

positive. inner feelings

MF √ √ √ × × × × × ×N √ √ √ × × × × × ×

Adj √ √ × × × × × × ×negative inner feelings

B √ √ × × × × × × ×V √ × √ × × × × × ×

Adj √ √ × × × × × × ×Adj √ √ × × × × × × ×

cognition

B √ √ × × × × × × ×

Page 91: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

91

Table 3. Functional Characteristics of the Affix –i in Processes in Indonesian Types of function of the affix

unifying specific types of dispositive processes

types of Process base

1 2 3 4 5 6 7 8 9c. relational

equational N × √ × × × × × × ×intensive attributive V × √ × × × × × × ×circumstantial attributive × × × × × × × × × ×

V × √ × × × × × × ×possessive attributive N × √ × × × × × × ×

adversative attributive × × × × × × × × × ×

d. verbal statement MF √ √ × × × × × × ×question V √ √ × × × × × × ×command V √ √ √ × √ × × × ×

offer V √ √ × × × × × × ×e. existential × × × × × × × × × ×Notes: √ = applicable V = verbal × = not applicable N = nominal 1 = internal causative marker Adj = adjectival 2 = Process-former Adv = adverbial 3 = intensified Process marker MF = multi-functional 4 = Goal is location of action marker MC = minor-class 5 = repetitive Process marker 6 = addition of base to Goal indicator 7 = deletion of base to Goal indicator 8 = base is Attribute of Goal indicator 9 = temporal/ spatial relationship between Actor and Goal indicator Let us now look at the unifying and specific functions of the verbal affix –i in turn.

2.2.1 Unifying Functions

Table 3 shows that the affix –i has two unifying functions, namely as a dispositive marker and an internal causative marker, whenever the clause is Process focused (material, mental and verbal), regardless of the type of base forming the Process.

In terms of the transitive semantic model of the clause, the affix –i is found only in dispositive processes and is therefore regarded as a dispositive marker. A second participant is obligatory in a clause containing the affix –i as shown below:

Page 92: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

92

Ibu memanasi nasi. transitive Actor Process Goal ergative Medium Process Range

Mother warm up rice ‘Mother warmed the rice up’

*Ibu memanasi. transitive Actor Process ergative Medium Process

Mother warm up

In terms of the ergative pattern of clause organization, the affix –i functions as an internal causative marker (‘internal’ after Itkonen, 1983). Note that with this affix, the second participant is the Range of the clause. Therefore, the affix –i can be regarded as an indicator that the second participant in that particular clause is the Range (not the Medium) of the clause. By contrast, the affix –kan in Indonesian is an external causative marker. It can be regarded as a marker that the second participant in that clause is the Medium of the clause, as can be seen in the following mental processes (compare the two clauses below).

Pangeran menyenangi Bawang Putih. transitive Actor Process Goal ergative Medium Process Range

Prince like Bawang Putih ‘The prince likes Bawang Putih’

Pangeran menyenangkan Bawang Putih. transitive Actor Process Goal ergative Medium Process Range

Prince make happy Bawang Putih ‘The prince makes Bawang Putih happy.’

In other words, there are two ways of viewing the unifying function of the verbal affix –i in this case:

1. transitively, it serves as a dispositive marker, and 2. ergatively, it serves as an internal causative marker.

In addition to this unifying function, the verbal affix –i also shows some specific grammatical functions as elaborated in the following.

2.2.2 Specific Functions

Depending on the type of base forming the Process of the clause, Table 3 shows that the affix –i may have one or more of the following specific functions:

- Process-former; - intensified Process marker; - Goal = location of action indicator; - repetitive Process marker; - addition of base to Goal indicator;

Page 93: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

93

- deletion of base to Goal indicator; - base = Attribute of Goal indicator; - temporal relationship between Actor and Goal indicator; and - spatial relationship between Actor and Goal indicator.

In explaining the function of the affix as a Process-former (‘verb-former’), Sabarrudin Ahmad (as cited by Edmond Tes, 1957:53) fails to show the restrictions of this function. Tomasowa (1992) reveals that this function is mainly related to the non-verbal type of base forming the Process, as in material and mental processes in Indonesian. However, there are processes in which a verbal base by itself is still unacceptable in the language, such as intensive attributive and verbal processes. Here the base needs the affixation me-+-i or –i to become acceptable. Take the intensive attributive process, for example:

a. *Cerita itu kena seekor tikus. b. *Cerita itu kenai seekor tikus. c. *Cerita itu mengena seekor tikus. d. Cerita itu mengenai seekor tikus.

transitive Carrier Process Attrubute ergative Medium Process Range

story that about a mouse ‘The story is about a mouse.’

The verbal base kena ‘to hit’ has to be affixed by me-+-i to become the acceptable Process mengenai ‘to concern, be about’ of the intensive attributive process. Similarly counts for the verbal base tawar ‘to bargain’ which has to be put in affixation with either –i or me-+-i to become the acceptable Process tawari or menawari ‘to invite’ of the verbal process below:

a. *Ina tawar Titut untuk ikut piknik. b. *Ina menawar Titut untuk ikut piknik. c. Ina tawari Titut untuk ikut piknik. d. Ina menawari Titut untuk ikut piknik.

transitive Sayer Process Recipient Verbiage ergative Medium Process Beneficiary Range Ina to offer Titut for follow picnic ‘Ina invited Titut to join the picnic.’

Hopper and Thompson (1980) state that the affix –i is an intensifier. Using the systemic functional approach, this study has nevertheless revealed that the function of the affix –i as an intensified Process marker (‘intensifier’ after Hopper and Thompson) is strongly related to both the type of base forming the Process and the clause as a whole. In most instances, this function co-occurs with a verbal base forming the Process (perception, positive inner feeling, cognition and command verbal processes). In forming the Process, the affix –i may co-occur with a bound base (perception processes), a multi-functional base (positive inner feeling processes) or a nominal base (negative inner feeling processes) forming the Process.

From the way S.T. Alisjahbana (1976) and S. Kartomihardjo (1981) argue that the affix –i shows that the Object becomes a kind of location, it might be assumed that this function applies to all types of process. However,

Page 94: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

94

the present study argues that this function applies only to the material processes in Indonesian. Furthermore, this function does not depend on the type of base forming the Process of the clause.

That the affix –i is iterative/ repetitive has been mentioned in earlier studies such as those by Dardjowidjojo (1977), Kartomihardjo (1981) and Poedjosoedarmo (1982). More delicately, this study reveals that the function of this affix as a marker of repetition of the Process is closely related to both the type of base forming the Process and the type of process as a whole. The function applies to material, mental and verbal processes only. Among the processes mentioned, the affix –i is mostly attached to a verbal base such as in doing, animate natural, inanimate natural, perception, positive inner feeling and command verbal processes. It can also be attached to a multi-functional base such as in doing processes.

In summary, the functions of the affix –i that are highly related to the type of base forming the Process and the type of process as a whole are as an indicator that:

- there is addition of base to/ from the Goal; - there is deletion of base to/ from the Goal; - there is temporal relation between Actor and Goal; - there is spatial relation between Actor and Goal; or - the base becomes the attribute of the Goal.

The first four functions apply only to doing material processes, in which addition or deletion of base to/ from the Goal co-occurs with the nominal base forming the Process while the temporal/ spatial relation between Actor and Goal co-occurs with the adverbial base forming the Process of the clause.

3 CONCLUSION

This article has tried to answer the unsolved questions about the grammatical meanings of the verbal affix –i in Indonesian using the systemic functional approach. The findings of this study assure that the functional characteristics of the affix –i in the transitive system of Indonesian are mainly determined not only by the type of process as a whole but also by the type of base forming the Process of the clause in which the affix occurs.

Page 95: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

95

REFERENCES

Abas. 1971. Linguistik Deskriptif dan Nahu Bahasa Melayu. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Alisjahbana, S.T. 1963. Tatabahasa Baru Bahasa Melayu/ Indonesia. Kualalumpur: Bi-Karya Publ. Ltd. Vol.2.

_____________ 1976. Language Planning for Modernization, The Case of Indonesian and Malaysian. Paris: Mouton.

_____________ 1978. The Concept of Language Standardization and Its Application to the Indonesian Language, in PCSAL, Perez et al (Eds.) Pacific Linguistics Series C No.47. p. 19-41.

Badudu, J.S. 1980. Pelik-pelik Bahasa Indonesia (Tatabahasa). Bandung: Pustaka Prima.

Chung, S. 1978. Stem Sentences in Indonesian, in Second International Conference on Austronesian Linguistics Proceedings. Fascicle 1. S. A. Wurm & Lois Carrington, Eds. Pp. 335-65.

Dardjowidjojo, S. 1971. The meN-, meN-kan, and meN-i Verbs in Indonesian, in The Philippines Journal of Linguistics. Vol. 1, No. 1, 1971.

_____________ 1977. Sentence Patterns of Indonesian. Honolulu: University Press of Hawaii.

_____________ 1977a. Sekitar Masalah Awalan Ber- dan Me-, in Bahasa and Sastra. Vol. 3/1/1977, pp. 2-10.

_____________ 1977b. The Semantic Structures of the Adversative ke-an Verbs in Indonesian. Paper presented at the Austronesian Symposium, University of Hawaii, August 1977.

_____________ 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Edmond - Tes. 1957. Fungsi dan Arti Imbuhan, in Majalah Medan Bahasa no.8, Th.VII, Agustus 1957, pp. 17-20.

Halliday, M.A.K. 1967. Notes on Transitivity and Theme in English, in Journal of Linguistics. Graet Britain. Vols.1,2.

_____________ 1976. System and Function in Language. G.R. Kress (Ed.) London: Oxford University Press.

_____________ 1981. Options and Functions in the English Clause, in Readings in Systemic Linguistics, Halliday & Martin (Eds). Lonmdon: Batsford Academic and Educational Ltd.

_____________ 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold Ltd.

_____________ 1988. On the Ineffability of Grammatical Categories, in Linguistics in a Systemic Perspective, J.D. Benson, M.J. Cummings, W. S. Greaves (Eds.). Amsterdam: John Benjamins Publ. Company.

Harsana, F.X. 1982. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Solo: Tiga Serangkai. Hopper, P. & Thompson, S.A. 1980. Transitivity in Grammar and Discourse,

in Language 56.2 pp. 251-299. Itkonen, E. 1983. Causality in Linguistic Theory. Sydney: Croom Helm. Kartomihardjo, S. 1981. Ethnography of Communicative Codes in East

Java. Canberra: Pacific Linguistics. Series D No. 39. Keraf, G. 1980. Tatabahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Ende:

Penerbit Nusa Indah.

Page 96: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Francien H. Tomasawa

96

Macdonald, R. Ross. 1976. Indonesian Reference Grammar. Washington, D.C.: Georgetown University Press.

Mees, C.A. 1969. Tatabahasa dan Kalimat. Kualalumpur: University of Malaya Press.

Moeliono, A. 1967. Suatu Reorientasi dalam Tatabahasa Indonesia, in Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia Sebagai Tjermin Manusia Indonesia Baru. Djakarta: Gunung Agung. pp.45-68.

Pickering, A. 1974. An Introduction to Indonesian Verb Morphology – A Transformational Approach. Unpublished Litt. B. dissertation.

Poedjosoedarmo, S. 1982. Javanese Influence on Indonesian. Canberra: Pacific Linguistics. Series D No38.

Prentice, D.J. 1987. Malay (Indonesian and Malaysian), in The World’s Major Languages, Bernard Comrie (Ed.). London: Croom Helm.

Samsuri. 1976. Kesejajaran antara Me-I dan Men-kan, in Bahasa dan Sastra. Vol II/2 th. 1976. pp.33-9.

_______ 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya. Sarumpaet, J.P. 1977. The Structure of Bahasa Indonesia. Melbourne:

Sahata Publications. Singgih, A. 1972. Menuju Bahasa Indonesia Umum. Bandung: Pustaka

Jaya. Tampubolon, D.P. 1977. Hambatan-hambatan Semantik atas Terjadinya

Afiksasi meN-, in Bahasa dan Sastra. Vol. 3/2/1977. pp. 22-31. _______________ 1978. Tipe-tipe Semantik Kata-kata Kerja Bahasa

Indonesia Kontemporer. Medan: Tim Penelitian FKSS-IKIP Medan. _______________ 1983. Verbal Affixation in Indonesian: A Semantic

Exploration. Canberra: Pacific Linguistics. Tcheckoff, C. 1978. Typology and Genetics: Some Syntactic Conclusions

that can be Drawn from a Functional Comparison between Indonesian Verbal Suffix –I and Tongan –I, in SICAL Proceedings, S.A. Wurm & Lois Carrington, Eds. Canberra: Pacific Linguistics. Fascicle 1, pp.367-82.

Tomasowa, F. H. 1989. Bidirectionality of Processes in Contemporary Bahasa Indonesia: a systemic functional perspective, in ARAL vol. 12/1 pp.224-44.

_____________ 1992. Transitivity in Contemporary Bahasa Indonesia: A Systemic Functional Perspective Using the Verbal Affix –I as a Test Case. Unpublished Ph.D. Dissertation, Macquarie University, Sydney Australia.

Verhaar, J.W.M. 1984. Affixation in Contemporary Indonesian, in NUSA, vol. 18/1984. Jakarta.

Page 97: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

RESENSI BUKU

Introducing Second Language Acquisition. Oleh Muriel Saville-Troike. Cambridge: Cambridge University Press. 2006. Halaman, viii, 206.

Diresensi oleh A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang

PENDAHULUAN

Pemerolehan Bahasa Kedua atau PBK, sebagai padanan SLA dalam bahasa Inggris, telah tumbuh dengan paradoks yang menarik. PBK telah berkembang sebagai cabang ilmu yang mapan, namun sekaligus juga tampil dengan berbagai versi yang berbeda. Kini, dalam usianya menjelang empat dasawarsa, PBK merupakan disiplin ilmu yang mandiri dan otonom; ia bukan bagian dari Linguistik atau Pengajaran Bahasa (terutama TEFL atau TESL), meskipun PBK terkait erat dengan keduanya. Kemandirian PBK nampak jelas, antara lain, dengan munculnya mata-kuliah PBK (SLA) di Jurusan Linguistik atau Pendidikan Bahasa, dengan terbitnya buku-buku SLA (dalam bahasa Inggris) sejak tahun 1980-an sampai saat ini, dan dengan mapannya keberadaan jurnal Studies in Second Language Acquisition dan Second Language Research. Kehadiran PBK dengan 'wajah serupa tapi tak sama' dapat dimaklumi karena wataknya yang multidisipliner. Sebagaimana telah disinggung di depan, PBK menyerap sejumlah prinsip keilmuan, antara lain, dari bidang Linguistik, Pengajaran Bahasa, Psikologi, Sosiologi, dan Antropologi dengan Linguistik dan Psikologi sebagai akar tunjangnya, dan Pengajaran Bahasa sebagai pemetik buahnya. Aneka wajah PBK muncul dengan jelas bila kita cermati isi buku yang di sampulnya tertera Second Language Acquisition dengan atau tanpa kata atau frasa lainnya, misalnya karya Krashen (1981 dan 1982), Ellis (1985), Larsen-Freeman & Long (1991), dan Gass & Selinker (1996). Terbitnya buku Saville-Troike (2006) yang diresensi ini tidak bermaksud menyeragamkan aneka wajah PBK, melainkan menegaskan adanya sejumlah pertanyaan mendasar, yang jawaban-jawabannya memperjelas potret PBK masa kini.

ISI BUKU

Buku Introducing Second Language Acquisition karya Muriel Saville-Troike (2006) terdiri atas 7 bab. Bab 1, yang sama wording-nya dengan judul buku: Introducing Second Language Acquisition, mendefinisikan PBK sebagai "kajian terhadap individu dan kelompok yang mempelajari suatu bahasa sesudah bahasa pertama (B1) yang mereka peroleh di masa kanak-kanak, dan terhadap proses pemerolehan bahasa kedua (B2) tersebut" (hlm. 2). Bab ini juga mengajukan tiga pertanyaan mendasar tentang PBK:

(1) Apa yang sebenarnya diketahui oleh pembelajar B2? (2) Bagaimana pembelajar memperoleh pengetahuan tentang B2? (3) Mengapa sebagian pembelajar lebih berhasil daripada yang lain?

Jawaban terhadap ketiga pertanyaan ini digali secara terus-menerus pada enam bab berikutnya, sehingga menghasilkan gambaran PBK yang lebih utuh.

Page 98: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

A. Effendi Kadarisman

98

Bab 2, Foundations of Second Language Acquisition, membandingkan proses pemerolehan B1 dan B2, yang hasilnya menjunjukkan bahwa perbeda-annya jauh lebih menonjol daripada persamaannya. Keduanya memang sama-sama merupakan proses pembelajaran bahasa; tetapi pemerolehan B1 bertolak dengan kemampuan bawaan, tumbuh menjadi bahasa anak, dan berkembang matang menjadi bahasa orang dewasa dengan kompetensi penutur asli. Sebaliknya, pemerolehan B2 bertolak dengan kompetensi B1, berkembang atas dasar faktor-faktor kepribadian si pembelajar (seperti bakat bahasa dan moti-vasi), terbentuk oleh kualitas pengajaran, terpengaruh oleh transfer, dan ber-akhir sebagai kompetensi aneka bahasa (multilingual).

Bab 3, The Linguistics of Second Language Acquisition, mengemuka-kan bahwa bahasa pada dasarnya bersifat sistematis, simbolis, dan sosial. Setiap bahasa terdiri dari komponen-komponen berjenjang: leksikon, fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana (hlm. 33). Pendekatan linguistik terhadap PBK dapat dikategorikan sebagai pendekatan formal dan pendekatan fung-sional. Gabungan dari dua pendekatan ini menghasilkan tiga jawaban terhadap tiga pertanyaan mendasar di atas. Jawaban terhadap "apa yang diketahui pem-belajar" mencakup pengetahuan tentang kosakata dan gramatika serta ke-mampuan menggunakan keduanya untuk menyampaikan gagasan dan pesan. Jawaban terhadap "bagaimana PBK berlangsung" bersifat kontradiktif: (a) pemerolehan B2 serupa dengan pemerolehan B1, dengan Gramatika Semesta sebagai pemandu utama; atau (b) pemerolehan B2 serupa dengan proses pembelajaran lainnya, yang akan berhasil bila memenuhi syarat-syarat pemrosesan informasi dalam komunikasi verbal. Jawaban terhadap "mengapa hasil PBK bervariasi" mengacu pada perbedaan faktor-faktor internal yang berkaitan dengan bahasa dan pikiran, serta faktor-faktor eksternal yang menyangkut kebutuhan dan kesempatan berkomunikasi (hlm. 62).

Aspek linguistik yang dibahas di Bab 3 terkait erat dengan aspek psikologi di Bab 4, The Psychology of Second Language Acquisition. Terhadap tiga pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa, psikologi memberi-kan jawaban yang berbeda dengan linguistik. Terhadap pertanyaan apa, jawabannya adalah terjadinya perubahan struktur neurologis serta munculnya susunan baru dalam otak dwibahasawan atau aneka bahasawan. Terhadap per-tanyaan bagaimana, psikologi menjawab bahwa pemerolehan B2 serupa dengan proses pembelajaran pengetahuan dan ketrampilan lainnya; ada-giumnya "learning is learning." Terhadap pertanyaan mengapa, jawabnya ter-letak pada pengaruh faktor-faktor individu si pembelajar, yang meliputi usia, bakat bahasa, motivasi, dan gaya serta strategi belajar (hlm. 94).

Bab 5, Social Contexts of Second Language Acquisition, berawal dengan membahas kompetensi komunikatif dalam B2, yang didefinisikan sebagai "apa yang perlu diketahui oleh pembelajar B2 untuk berkomunikasi secara tepat dan wajar dalam masyarakat penutur B2" (hlm. 100). Masalahnya adalah bagaimana membantu pembelajar B2 mengembangkan kompetensi komunikatif mereka. Dalam perpspektif sosial, terdapat dua jenis konteks: konteks mikrososial dan konteks makrososial. Konteks mikrososial adalah si-tuasi komunikatif di mana bahasa digunakan secara formal atau informal, dan interaksi bisa bersifat publik atau privat. Konteks ini menuntut penggunaan bahasa secara santun dan benar, sesuai dengan kaidah pragmatik dan sosio-linguistik. Sebaliknya, konteks makrososial menjelaskan martabat dan prestise

Page 99: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

99

bahasa, identitas penutur, dan kekuatan sosial yang mendorong atau meng-hambat penggunaan bahasa tertentu. Kedua jenis konteks ini mempengaruhi, secara langsung atau tak langsung, perkembangan kompetensi komunikatif dalam pemerolehan B2.

Dengan melanjutkan bahasan tentang kompetensi komunikatif, Bab 6, Acquiring Knowledge of L2 Use, lebih jauh membedakan antara kompetensi akademis dan kompetensi ienterpersonal, dan sekaligus mengaitkan kedua-nya dengan ketrampilan bahasa yang bersifat reseptif (menyimak dan mem-baca) maupun produktif (berbicara dan menulis). Bila pembelajar lebih me-merlukan kompetensi akademis, maka penguasaan ketrampilan berbahasa mengikuti urutan berikut: membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Sebaliknya, jika pembelajar lebih mementingkan kompetensi interpersonal, maka urutan penguasaan ketrampilan berbahasa adalah sebagai berikut: me-nyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Sebagai penutup, Bab 7, L2 Learning and Teaching, menyajikan intisari PBK yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, serta menunjukkan implikasinya terhadap pembelajaran dan pengajaran B2. Tinjauan dari sudut pandang linguistik, psikologi, dan konteks sosial terhadap ketiga pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa menghasilkan tiga jawaban yang menakjubkan. Fokus linguistik menjawab pertanyaan apa, fokus psikologi menjawab pertanyaan bagaimana, dan fokus sosial menjawab pertanyaan mengapa. Wawasan konseptual ini membawa sejumlah implikasi penting terhadap pembelajaran dan pengajaran B2, antara lain: (a) temukan dan ketahui secara cermat tujuan pembelajar; (b) tentukan skala prioritas dalam pengajaran sesuai dengan tujuan pembelajar; (c) gunakan perspektif linguistik, psikologi, dan konteks sosial secara arif dalam menentukan kegiatan pembelajaran dan pengajaran; (d) pahami kekuatan dan kelemahan pembelajar, dan sesuaikan prosedur pembelajaran dan pengajaran dengan kondisi pembelajar; dan (e) gunakan pendekatan integratif secara bijak, karena tidak ada metode atau teknik "terbaik" untuk mempelajari dan mengajarkan B2.

KOMENTAR

Buku Saville-Troike ini, dengan sejumlah ciri khas yang menyertainya. sangat layak menyebut dirinya sebagai buku "Pengantar." Setiap bab didahului dengan Rangkuman Bab dan Istilah Kunci, yang membantu pembaca meng-antisipasi dan menyiapkan skemata bagi setiap topik yang akan dibahas. Juga, setiap bab diikuti oleh (a) Ringkasan, yang menyarikan isi bahasan, dan (b) Latihan untuk belajar mandiri maupun untuk berlatih menerapkan prinsip-prinsip PBK dalam pembelajaran dan pengajaran B2. Latihan untuk belajar mandiri dilengkapi dengan Jawaban Latihan di akhir buku. Ada pula Glosarium, yang memudahkan pembaca mencari penjelasan istilah; dan Indeks, yang menunjukkan kepada pembaca di halaman mana suatu topik dibahas. Buku ini menjadi lebih menarik dengan menampilkan foto-foto ilmu-wan terkemuka di bidang keahlian masing-masing: Lado (Analisis Kontrastif), Chomsky (Linguistik), Broca (Neurosain), MacWhinney (Psikologi), Vygotsky (Psikologi Sosial), dan Lambert (juga Psikologi Sosial). Foto keenam tokoh ini semakin menegaskan pentingnya perspektif linguistik, psikologi, dan konteks sosial guna memahami hakekat PBK.

Page 100: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

A. Effendi Kadarisman

100

Dibandingkan dengan buku-buku SLA lainnya, buku Saville-Troike ini terasa khas dan mudah diikuti alur logikanya, karena ia menampilkan tiga pertanyaan mendasar (apa, bagaimana, dan mengapa) mengenai PBK, dan mempertemu-silangkan ketiga pertanyaan tersebut dengan perspektif linguistik, psikologi, dan konteks sosial. Dengan pendekatan integratif yang berimbang, buku ini benar-benar menunjukkan watak PBK yang multi- dan inter-disipliner. Sementara di bidang Linguistik, ide-ide Chomsky, Halliday, dan Hymes merupakan tiga teori makro yang terpisah, dalam buku ini knowledge of language, communicative competence, dan language functions berpadu secara apik, tanpa mempermasalahkan asal-usulnya yang terkadang saling bertabrakan. Bahkan dengan memadukan ketiga pemikiran besar tersebut, buku ini berhasil menyajikan aspek linguistik dalam PBK secara komprehensif. Pendekatan integratif yang cantik dalam buku ini mengingatkan kita pada enlightened eclectisism yang dikemukakan oleh Hammerly (1982: 25), yang intinya adalah "mengumpulkan dan memadukan berbagai unsur dari semua sumber yang terpercaya, sehingga terbentuk gugusan ide baru yang segar, padu, dan harmonis, guna memecahkan suatu masalah secara efisien dan efektif."

Perlu dicatat bahwa buku ini tidak memaparkan sejarah singkat pertumbuhan PBK, tidak membahas secara eksplisit teori-teori makro dalam PBK, dan juga tidak berbicara secara tuntas mengenai metodologi penelitian dalam PBK. Mengapa buku ini "mengabaikan" tiga hal tersebut? Jawabnya: hanya Saville-Troike yang tahu. Saya menduga, karena penekanan pada pendekatan integratif secara total, buku ini terpaksa menyisihkan sejumlah topik yang mungkin mengandung kontradiksi. Tambahan lagi, ini adalah sebuah buku pengantar, sehingga tidak ada keharusan untuk mencakup semua topik bahasan dalam PBK. Singkatnya, buku Saville-Troike adalah buku pengantar yang menyajikan PBK secara terfokus, jernih, dan enak dibaca. Buku ini layak dipilih sebagai buku teks untuk program S1 atau S2, dan perlu dibaca oleh mahasiswa doktoral dan para dosen untuk menyegarkan kembali pengetahuan dan pemahaman mereka tentang PBK.

DAFTAR PUSTAKA Ellis, Rod. 1985. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford

University Press. Gass, Susan M. & Selinker, Larry. 1994. Second Language Acquisition: An

Introductory Course. Hillsdale, New Jersey: Laurence Erlbaum Associates, Publishers.

Hammerly, Hector. 1982. Synthesis in Language Teaching: An Introduction to Languistics. Blaine, WA, USA: Second Language Publications.

Krashen, Steven D. 1981. Second Language Acquisition and Second Language Learning. New York: Prentice Hall.

Krashen, Steven D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. New York: Prentice Hall International.

Larsen-Freeman, Diane & Long, Michael. 1991. An Introduction to Second Language Acquisition Research. London and New York: Longman.

Saville-Troike, Muriel. 2006. Introducing Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 101: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

RESENSI KHUSUS

Tesaurus Bahasa Indonesia Penyusun : Eko Endarmoko Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun : 2006 Tebal : 736 halaman; ukuran buku 15 x 23 cm.

Oleh: Jos Daniel Parera

I Pucuk Dicinta, ...tiba

Sampai sekarang masyarakat awam hanya mengenal istilah kamus jika mereka hendak mencari makna kata. Padahal, para terpelajar mengenal beberapa istilah untuk himpunan kata-kata yang mendapatkan penjelasan makna, misalnya, ensiklopedi, leksikon, glosarium, daftar istilah. Jenis kamus dalam pengertian umum yang belum diketahui ialah tesaurus. Oleh karena itu, sebelum saya bicarakan tentang Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko (TBI Ek.), ingin saya jelaskan sejarah singkat tesaurus dan pemutakhiran tesaurus.

1. Nama Peter Mark Roget telah diabadikan dan dihubungkan dengan tesaurus. Secara international kita mengenal judul Roget's International Thesaurus (RITH). Pada tahun 1852 terbitlah tesaurus yang pertama karya Peter Mark Roget dengan judul Thesaurus of English Words and Phrases Classified and Arranged so as to Facilitate the Expression of Ideas and Assist on Literary Composition. Tujuan utama penyusunan tesaurus ini ialah untuk membantu para penulis menemukan kata bermakna yang cocok dan tepat untuk mengungkapkan ide mereka. Oleh karena itu, Peter Mark Roget mengelompokkan kata-kata dalam tesaurusnya berdasarkan hubungan ide clan konsep. Tesaurus ini menghimpun 250.00 kata yang dikelompokkan dalam 1042 ide clan konsep (RITH 1979, xvii-xxiv; Bloomsbury Thesaurus 1997, v-vi; Teori Semantik, Parera 2004, 140;)

2. Hartmann (Teaching and Researching Lexicography 2001) memberikan definisi tesaurus "a reference work that provides information on the vocabulary of language or language variety, concentrating on synonimy and other sense relations between the words, ussually arranged in thematic order" (hlm. 180).

3. Sejak terbitnya tesaurus yang pertama oleh Peter Mark Roget (1852) dan telah mengalami beberapa kali terbit dan cetak ulang dengan pengembangan dan penambahan, penyusunan tesaurus telah mengalami beberapa versi. Peter Mark Roget telah menyusun tesaurusnya dengan klasifikasi ide/konsep dan relasi antarmakna, Bloomsbury Thesaurus telah disusun secara tematis tentang hubungan antarmakna yang bersinonim, tesaurus Collins, Webster, dll telah disusun secara alfabetis hubungan antarmakna yang bersinomim. Malah Collins, Webster, dan beberapa jenis tesaurus telah menggabungkan kamus dan tesaurus dalam satu buku yang berjudul kamus dan tesaurus dan disusun secara alfabetis berdasarkan alfabet kamus.

Page 102: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

102

4. Bloomsbury Thesaurus. Penyusunan dan penerbitan Tesaurus Bloomsbury pada tahun 1993 merefleksikan betapa perkembangan dan kekayaan Bahasa Inggris dewasa ini yang sudah jauh berbeda dengan zaman tesaurus pertama Peter Mark Roget. Jika tesarus Roget pada abad ke-19 (1952) dikembangkan dengan kategori tematik dengan hubungan ide dan konsep dengan judul umum "Relation", "Quantity", dan "Order" dalam hubungan ide/konsep yang abstrak, maka tesaurus Bloombury Bahasa Inggris pada abad ke-20 (1993 dan edisi baru 1997) disusun dengan 13.000 entri dan dibagi ke dalam 800 kategori. Kekayaan bahasa Inggris pada abad 20 sangat membantu generasi muda memahami makna bahasa Inggris dan dengan bebas dapat memanfaatkannya. Tesaurus ini dilengkapi dengan daftar kata, indeks, rujuk silang, dan kutipan-kutipan yang memperkuat pemahaman (Bloomsbury Thesaurus, New Edition, 1997, setebal 12001 halaman, dengan ukuran huruf kecil; Tesaurus ini dieditori oleh Fran Alexander dengan sejumlah kontributor dan konsultan. (tesaurus ini saya beli di Jakarta untuk melengkapi koleksi tesaurus saya).

5. H. Steinhauer, Universitas Leiden, dengan artikelnya "Menuju Tesaurus Bahasa Indonesia" (dalam majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, jilid V, tahun 1984 hlm. 11-31) mengatakan "Tesaurus bahasa adalah inventaris (perbendaharaan) kata yang dilengkapi dengan keterangan tambahan kata itu, yang sedapat mungkin teperinci. Keterangan tambahan itu menyangkut sumber, konteks pemakaian, keterangan gramatikal, ragam kekerapan, makna, sejarah, varian-varian, pemakai dan pemakaiannya (Iengkap dengan contoh-contoh yang dapat diperluas terus sesuai dengan kebutuhan (hlm. 21)." Data hasil catatan dan amatan ini tentu harus disimpan secara otomatisasi dalam komputer.

6. Bagaimana dengan Tesaurus Umum Bahasa Melayu (1990; 789 halaman)? Tesaurus ini dibagi dalam dua bagian: bagian tesaurus dan bagian pentunjuk. Dalam bagian tesaurus terdapat 1000 kata masukan dan setiap kata masukan diikuti oleh lima hingga sepuluh kata turunan. Bagi setiap kata turunan, disenaraikan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, berdasarkan makna dan penggunaan perkataan-perkataan tersebut dalam ayat. Lebih kurang 15.000 perkataan telah dikumpulkan dan perkataan-perkataan tersebut telah disenaraikan di bagian petunjuk pada bagian akhir tesaurus tersebut.

II

Berdasarkan paparan singkat di atas sebagai sumber informasi dan kesepakatan umum tentang struktur sebuah tesaurus, tibalah saya untuk membicarakan atau mengupas atau meresensi Tesaurus Bahasa Indonesia yang untuk pertama kali terbit untuk khalayak pencinta dan pemakai Bahasa Indonesia pada awal abad ke-21 ini.

Page 103: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

103

1. Catatan saya yang pertama ialah pengucapan hormat yang tinggi dan terima kasih yang besar (menghormati dan berterima kasih) kepada penyusun tesaurus ini. Jika saya membandingkan karya-karya besar tesaurus bahasa Inggris, maka dapat saya katakan bahwa penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) ini seorang yang berani, nekad, dan ulet. Pada umumnya, tesaurus disusun oleh sebuah tim pakar dan ahli bahasa dengan sponsor sebuah lembaga yang berwibawa dan ternama atau penerbit besar yang mendunia dan berwibawa pula. Sumber data dan rujukan tim pun beraneka ragam dan penuh nilai. Akan tetapi, Tesaurus Bahasa Indonesia disusun oleh hanya satu orang dengan pengalaman yang cukup pas dan keberanian yang besar, yakni Eko Endarmoko. la dapat disejajarkan dengan W. J. S. Poerwadarminta penyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, 1953) yang mengumpulkan data seorang diri, mencatat, dan memberikan makna yang empiris dan terpakai. Baru setelah 53 tahun, yakni 2006, terbitlah sebuah tesaurus bahasa Indonesia yang disusun seorang diri pula, Eko Endarmoko, dan diterbitkan pula oleh sebuah penerbit ternama dan berwibawa di Indonesia dewasa ini, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Akan tetapi, apakah inilah sebuah tesaurus?

2. Catatan saya yang kedua ialah catatan sebagai seorang pemerhati bahasa dan linguis swasta. Eko adalah seorang pemerhati bahasa dan bukan seorang linguis apalagi seorang leksikograf. Akan tetapi, dengan tesaurus ini, ia kelak menjadi seorang leksikograf bahasa Indonesia, khusus untuk tesaurus. Oleh karena itu, resensi saya dari segi teori saya batasi pada kehendak dan keinginan penyusun tesaurus ini seperti ia katakan dalam "Mukadimah" dan "Tentang Tesaurus ini" dan bagaimana penerapannya dalam penyusunan tesaurus ini.

Isi "Mukadimah" dan "Tentang Tesaurus ini" tumpang tindih, separuh-separuh tentang isi, konsep, dan perjalanan kerja penyusun, serta saling membelakangi. Mungkin ada baiknya dalam "Mukadimah" tertulis ucapan terima kasih dan proses perjalanan penyusunan tesaurus ini dan "Tentang Tesaurus ini" berisikan landasan teori penyusunan dan isi tesaurus, dan berakhir dengan "Panduan Pemakaian" seperti telah terdapat dalam tesaurus ini.

Struktur tesaurus ini tidak sebagaimana sebuah tesaurus yang yang berdiri sendiri. Tesaurus yang berdiri sendiri disusun berdasarkan ketegori hubungan ide dan konsep, atau disusun secara tematis. Sedangkan struktur tesaurus yang disusun alfabetis biasanya berjalan seiring dengan struktur kamus biasa. Tesaurus semacam ini menjadi bagian integral kamus besar yang bersangkutan. Struktur tesaurus alfabetis dapat dijumpai pada struktur kamus Collins, Webster, dan beberapa kamus yang lain dengan judul kamus dan tesaurus dalam satu buku dengan format yang memudahkan pemakai kamus dan tesaurus sekaligus.

Page 104: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

104

Pada umumnya, sebuah tesaurus disusun (sesuai kesepakatan awal) berdasarkan hubungan ide dan konsep, atau disusun secara tematik. Tesaurus Roget disusun berdasarkan hubungan ide-konsep, tesaurus Bloomsbury disusun secara tematik dengan kategori keilmuan sesuai dengan perkembangan pemakaian bahasa (Inggris) abad ke-20 dan dikategorikan lagi ke dalam hubungan ide dan konsep yang terdapat dalam pikiran seorang penulis dan atau pemakai bahasa yang aktif dan kreatif.

Penjelasaan ini penting disampaikan agar pemakai tesaurus dan masyarakat awam Indonesia yang belum mengenal bentuk tesaurus tidak menerima dan tidak berpendapat bahwa tesaurus model Eko adalah tesaurus yang baku berlaku.

3. Pertanyaan saya yang ketiga ialah apakah ada perbedaan antara tesaurus dan kamus, apalagi kamus sinonim, kamus idiom, atau kamus ungkapan. Pengguna kamus dan pengguna tesaurus berbeda tujuan. Pengguna kamus mencari informasi dan keterangan tentang makna sebuah kata. Pengguna tesaurus, pada pihak yang lain, mulai dengan sebuah ide atau konsep (ia telah memiliki kata tertentu) dan mencari kata tertentu atau kata sinonim lain yang dapat menggambarkan ide atau konsepnya secara lebih tepat dan bervariasi sesuai dengan konteks, atau penulis ingin mencari variasi penggunaan kata agar terhindar dari pemakaian yang berulang-ulang, atau ingin mencari sebuah kata yang khusus yang menggambarkan ide/konsep yang khusus pula. Tesaurus berisikan kekayaan atau bank kosakata dari bahasa tertentu. Untuk kepentingan itu, penulis akan berpaling ke tesaurus bahasa yang bersangkutan jika telah ada tesaurusnya. Jadi, tesaurus sebagian besar melayani keperluan penulis dan pemakai bahasa yang kreatif dan produktif. Misalnya, saya ingin mencari kata yang tepat merefleksi ide tentang tempat. Dalam tesaurus saya menemukan 'Iokasi, situs, plasa, ruang, arena, lapangan, gelanggang, dst.' Saya bisa memilih kata mana yang dapat menggambarkan ide saya dengan tepat sesuai dengan konteks. Untuk itu, saya cukup membuka kamus umum/besar atau kamus sinonim. Lain halnya dengan tesaurus. Dalam tesaurus Bloomsbury, misalnya, untuk menemukan konsep/ide yang berhubungan dengan tempat harus dicari pada kategori Spatial Relation.

Lain halnya dengan kata mungkin. Kata mungkin mempunyai sinonim dengan 'barangkali, boleh jadi, mentak, peluang, kans' (TBI Ek., him. 422). Oi sana tidak saya temukan kategori ide hubungan apa pun juga. Saya dapat mencarinya di dalam kamus sinonim atau kamus umum biasa. Pikiran saya tidak berkembang sam a sekali. jadi, apa bedanya tesaurus dengan kamus sinonim?

Page 105: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

105

III

Bagian ketiga dari resensi ini berhubungan dengan isi kamus. Penyusun mengatakan "... tesaurus ini tentu saja hanya mencantumkan sinonim kata dan kelompok kata" (TBI Ek., hlm. viii). Di halaman yang lain penyusun menyampaikan pula "Kesinoniman yang disajikan di sini adalah kesamaan makna yang berjalinan di antara kata dasar, kata jadian, dan kelompok kata atau frase". (TBI Ek., hlm. xviii).

Nah, mari kita ikuti saja kemauan penyusun. Apakah ia konsisten, apakah ia tidak keliru, atau apakah ia tidak kesasar, apakah ia lupa, atau apakah ia ...?

Sinonim kata mungkin dapat kita ketahui dan pahami. Akan tetapi, bagaimana dengan makna "kelompok kata"? Ada kelompok kata bermakna gramatikal, misalnya, ayam goreng, tempat tidur, kandang ayam, buku ajar. Ada pula kelompok kata telah bermakna idiomatis, misalnya, kaki tangan, tangan kanan, naik kuda hijau, meninggal dunia, turun tangan. Dikatakan pula oleh penyusun "kesamaan makna yang berjalinan ...” Pertanyaan saya ialah apa yang dimaksudkan dengan "kesamaan makna yang berjalinan". "Berjalinan apa?"

Pernyataan "kesamaan makna yang berjalinan di antara kata dasar, kata jadian, dan ..." menimbulkan pertanyaan. Apa yang diartikan dengan "kata jadian"? Kata perbuatan bukan kata jadian, melainkan kata turunan, yakni kata yang diturunkan dari sebuah kata dasar, di sini kata dasar verbum buat. Nah, di mana letak kesamaan makna (yang berjalinan?) di antara kata dasar dan "kata jadian"?

Terlepas dari semua yang telah saya katakan dan akan saya katakan, pertama-tama harus saya akui bahwa penyusun tesaurus telah bekerja keras, ulet, pantang mundur. Kosakata dan padanan makna sinonim antarkata telah ia kumpulkan dengan tekun sekali. Tentu tabungan kata yang ia miliki tersimpan dengan rapi di kartotek (zaman dulu) atau di komputer yang dengan mudah ia utak-utik (zaman sekarang).

Kesesatan

Sebuah buku memang menyebarkan pencerahan, imaginasi, dan butir-butir yang memberikan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi, sebuah buku pun dapat menyebarkan kebohongan, kebodohan, dan mungkin juga kesesatan. Demikian juga dengan buku tesaurus atau TBI Eko ini. Saya belum mempunyai cukup waktu untuk menjelajahi isi kamus setebal ini. Jika saya harus lakukan penjelajahan ini, pasti saya akan menjadi asisten dari Eko dan memerlukan sebanyak waktu atau lebih banyak waktu daripada waktu Eko menyusun tesaurus ini. Oleh karena itu, saya lakukan uji petik saja terhadap sebagian kecil kosakata yang terdapat dalam tesaurus ini. Uji petik ini akan menjadi contoh saja tentang kecerahan atau kebodohan atau kebohongan dan atau kesesatan.

Page 106: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

106

Dalam deret abjad A saya tidak menemkukan kata abangan (hlm. 2) yang berarti "golongan masyarakat yang menganut agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan" (KBBI 1993, hlm. 1). Apakah memang kata abangan ini tidak mempunyai sinonim? Ada kata abstraksi (hlm. 3) yang disinonimkan dengan genera/isasi. Apakah ini tidak sesat? Ada kata asbtrak disinonimkan dengan hipotetis, ideal, konseptual, teoritis, transendental (hlm. 3). Saya tidak tahu apa memang ini variasi dari makna abstrak atau salah konsep. Mengapa dalam deratan kata adibintang (hlm. 6) tidak terdapat adibusana dan emas adi? Mengapa dalam entri adu tidak terdapat bentuk beradu yang berarti "tidur, beristirahat" dalam contoh 'Raja dan permaisuri sedang beradu' (KBBI 1993, hlm. 808; KUBI 1999, hlm. 17). Sinonim kata agung (hlm. 10) tidak disusun secara alfabetis.

Sebelum kita meninggalkan abjad A, ada beberapa catatan mengenai kata serapan dari bahasa Arab yang pakai sebagai contoh. Dalam bahasa Indonesia kata serapan amanat (hlm.19) mempunyai bentuk kembar amanah yang dalam KBBI dibedakan makna mereka. Dalam tesaurus Eko tidak terdapat entri amanah. Padahal, terdapat prototipe yang sarna pada berkat dan berkah, ibadah dan ibadat, hikmah dan hikmat yang dalam tesaurus Eko dirujuksilangkan.

Pada halaman 12 salah satu sinonim dari entri ajudan adalah kepercayaan. Padahal, makna kepercayaan bukan 'orang', kecuali dalam bahasa percakapan tidak standar 'ia kepercayaan saya'.

Mari kita beralih ke abjad B. Untuk memasuki abjad B, saya terpaksa harus membatasi diri saya untuk membahas butir demi butir. Dalam hubungan abjad B, saya selalu tergelitik oleh perbedaan antara kata bela dan bEla. Saya belajar kosakata bahasa Indonesia dari KUBI Poerwadarminta. Dalam KUBI (1999, hlm. 107) Poerwadarminta selalu mengingatkan akan perbedaan antara bela dan bEla. Salah kaprah penggunaan dua kata ini telah berlangsung lama dan akhirnya KBBI pun harus mengakui kesalakaprahan ini (KBBI 1993, hlm. 107). Saya hanya mengutip contoh dari KUBI 'pembelaan perkara itu diserahkan kepada Sujudi, S.H.; memperkukuh pembelaan negara, pidato pembelaan’ (KUBI 1999, hlm. 107). Nah, tesaurus Eko mengikuti salah kaprah tersebut dengan dengan memasukkan entri pembEla sebagai sinonim 'advokat, ajuster, penasihat hukum, pengacara, pokrol’ (TBI Ek., hlm. 66).

Dalam hubungan dengan abjad B, saya pertanyakan pemberian makna sinonim untuk frase atau kelompok kata. Mengapa dalam entri buka tidak terdapat frase buka mata, buka puasa, buka suara, dsb.? Apakah tidak sinonim untuk frase-frase tersebut? Apalagi turunan bahasa percakapan buka-bukaan?

Mari kita ke abjad C. Untuk abjad ini, saya hanya mengingatkan perbedaan antara pergeseran makna dan perubahan makna. Pergeseran makna memungkinkan timbulnya polisemi. Akan tetapi, perubahan makna menyebabkan adanya entri baru yang homonim dan atau homograf. Untuk itu, saya kutip contoh kata canggih. Dalam TBI Ek. (hlm. 113), Eko memberikan makna dalam tiga arti (sebagai polisemi), padahal menurut saya kata canggih telah mengalami perubahan makna dari makna dasar 'cerewet, bawel, dsb.' ke makna baru 'ruwet, pelik, ilmiah, dsb'. Jadi, seharusnya ada dua entri untuk kata canggih. Contoh semacam ini mungkin akan cukup banyak dijumpai dalam TBI Ek. ini.

Page 107: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

107

Kata selingkuh (TBI Ek., hlm. 570), misalnya, masih memberikan makna selingkuh dengan makna umum 'serong, seleweng' dst. Padahal, kata selingkuh telah mengalami perubahan makna pada abad 21 ini. Makna baru yang diperoleh kata selingkuh 'hubungan seks yang tidak sah antara dua orang yang telah berkeluarga sah dengan orang lain alias berzina' tidak terdapat dalam TBI Eko. Mengapa kata angkatan, berangkat, bertolak, dan meninggal tidak diterima pula sebagai kata yang telah mengalami perubahan makna dan patut diperlakukan sebagai entri tersendiri, dan bukan sebagai subentri kata angkat, tinggal, dan tolak?

Mungkin banyak kesesatan yang perlu dicermati lagi. Misalnya, kata persuasi (TBI Ek., hlm. 472) disinonimkan dengan 'agitasi' yang merupakan antonimi dari persuasi (sesat, bukan?), kata wisma (TBI Ek., hlm. 711) hanya disinonimkan dengan 'penginapan, pesangggrahan', kata egoisme (TBI Ek., hlm. 167) sebagai entri tersendiri disinonimkan dengan 'keakuan'. Di sini Eko.mengingkari makna morfologis "-isme" yang berarti 'aliran, paham'. Pada halaman 167 terdapat entri ego, egois, egoisme, dan egoistis, tetapi pada halaman 437 hanya terdapat entri optimistis dan tidak terdapat kata/entri optimisme, optimis, dan pada halaman 473 hanya terdapat entri pesimisme dan tidak terdapat entri pesimis dan pesimistis. Pada halaman 451 terdapat kesesatan pada kata paradigmatis dengan sinonim 'ideal, representatif'. Contoh kesesatan masih dapat dilanjutkan.

Sinonim dan Penjelasan Makna

Dalam TBI Ek. tidak mudah dibedakan antara sinonim dan penjelasan tentang makna. Sinonim pada umumnya kesamaan dan persamaan makna antara satu kata dan kata yang lain atau dengan frase atau idiom tertentu. (baca Parera, Teori Semantik, edisi kedua, 2004, tentang hubungan antarmakna, khususnya subbab tentang Sinonim). Sedangkan, sebuah kamus yang sederhana memberikan penjelasan tentang makna sebuah kata. Dalam TBI Ek. tidak jelas perbedaan antara sinonim dan penjelasan makna. Beberapa contoh dapat dikemukakan di bawah ini.

zoologi 'Ilmu hewan' (TBI Ek., hlm. 713, dalam TBI.tidak terdapat halaman). yaumulakhir 'hari kiamat/penghabisan' (TBI Ek., hlm. 712?) verba 'kata kerja' (TBI Ek., 706?) venus 'bintang fajar/kejora/timur, Zohrah' (him. 707) vulkan 'gunung api' (hlm. 707) astrolog 'ahli nujum' (hlm.17) astronom 'ahli astronomi' (hlm.17) hak 'tungkak sepatu' (hlm. 225) janur 'daun kelapa muda' (hlm. 264) obor 'alat penerang' (hlm. 434) obral 'membanting harga' (hlm. 434) omnivara 'pemakan segala' (hlm. 436) ovarium 'indung telur' (hlm. 439) oval 'bulat panjang/telur' (hlm. 439)

Page 108: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

108

pneumonia '(penyakit) radang paru-paru' (hlm. 481) pustakawan 'ahli perpustakaan' (him. 497) yuris 'ahli/sarjana hukum' (hlm. 712?) yaum 'hari' (TBI Ek.,hlm. 712?)

Ketidakonsistenan pembedaan makna Sinonim penjelasan makna masih dapat terus dilacak dalam TBI Ek.

Kata Serapan dan Sinonim

Kata serapan adalah kata bahasa Indonesia yang diserap/diambil/ dipungut kata-kata bahasa yang lain, bukan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata serapan yang berpadanan dengan kata bahasa Indonesia atau mungkin mempunyai sinonim dengan kata bahasa Indonesia yang sudah lama terpakai. Yang menjadi masalah dalam TBI Ek. terdapat sinonim antara kata serapan yang bersumber dari dua atau lebih bahasa. Kata serapan dalam bahasa Indonesia dapat bersumber dari bahasa serumpun dengan bahasa Indonesia, misalnya, rumpun Austronesia dan dapat pula bersumber dari bahasa yang tidak serumpun dengan bahasa Indonesia, misalnya, rumpun bahasa-bahasa Indo-German atau Indo-Eropa, rumpun bahasa-bahasa Sino-Tibet, atau mungkin rumpun bahasa-bahasa Afrika dan Indian di Amerika.

Yang menjadi masalah ialah kata-kata yang bersinomim itu tidak pula dikenal oleh pemakai bahasa Indonesia atau kata-kata itu hanya merupakan kata-kata bahasa ilmu atau rumpun ilmu tertentu.

Misalnya, Zoha n Ar. disinonimkan dengan 'Saturnus', Zohrah dengan 'Venus' (TBI Ek., hlm. tidak ada, mungkin 713), yais disinonimkan dengan 'klimaterum', wi/is dengan 'hijau tua', vitamin C disinonimkan dengan 'askorbat', akse/erasi 'percepatan', akuarius dengan 'Kumba', dst. Contoh seperti ini mungkin akan ditemukan dalam setiap abjad tesaurus ini.

Catatan yang perlu ditambahkan pula adalah pemberian lebel etimologis. Pemberian label dilakukan secara tjdak konsisten. Mengapa, misalnya, kata zoha mendapat label Ar (dari bahasa Arab) dan saturnus tidak mendapatkan label etimologis. Banyak sekali kata yang mendapatkan label etimologis dan sebanyak itu pula tidak mendapat label etimologis. Fakta ini dapat ditemukan sepanjang TBI Ek. ini.

Deretan Sinonim Alias Antrian Sinonim

Hubungan makna sinonim dalam TBI Ek. disusun secara abjad dan bukan berdasarkan kedekatan relasi sinonim antara kata-kata tersebut. Tentu saja pilihan deretan abjad ini memudahkan pekerjaan penyusunan tesaurus, tetapi sudah pasti sangat menyulitkan dan mungkin menyesatakan pemakai tesaurus untuk memilih kedekatan sinonim antarkata.

Deretan sinonim ini dapat dikatakan pula antrian sinonim. Antrian makna ini disusun secara abjad dan tidak berdasarkan hubungan kedekatan dan kemiripan makna sebagaimana lazimnya sebuah tesaurus. jadi, antrian makna ini disusun sebagai daftar absensi/presensi di sekolah. Membaca sebuah daftar antrian dengan susunan gay a absensi mendorong pemakai kamus memilih sesuai dengan daftar antrian atau absensi atau di sini..lebih tepat disebut daftar presensi sinonim. Sesuai dengan daftar presensi, tentu saja sinonim akan dipanggil sesuai dengan abjad. Di sinilah letak hambatan pilihan sinonim sesuai dengan konteks pemakaian.

Page 109: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

109

Di bawah ini saya petik beberapa entri dengan antrian sinonim. istimewa a. 1. distingtif, eksklusif, eksotis, idiosinkratis, individual, khas, khusus, partikular, spesial, spesifik, tersendiri, unik; 2. hebat, jempolan, luar biasa, nomor satu/wahid, renting, perfek, prima, sempurna, signifikan, super. (TBI Ek., hlm. 255).

Di samping itu, menurut Eko, pengantrian sinonim atas 1. dan 2. ... berdasarkan kelaziman. Menurut saya, makna sinonim antrian 2. lebih lazim daripada antrian makna nomor1.

Bagaimana seorang pemakai bahasa memilih antrian makna sebanyak itu? Dalam konteks apa pilihan itu harus dilakukan? Terpaksalah seorang pemakai tesaurus ini harus menoleh ke kamus umum bahasa Indonesia hasil karya atau susunan siapa saja, apakah KUBI, KBBI, Kamus Badudu-Zain, dan juga kamus-kamus bidang ilmu tertentu, misalnya, kamus penelitian, kamus fisika, atau glosarium.

Saya tambah bingung membaca entri istri (TBI Ek.; hlm. 256) dengan antrian makna sinonim 'bini (cak), ibu, induk beras, nyonya, orang belakang, pedusi (MK, perempuan)'. Saya tidak mengerti mengapa terdapat sinonim 'induk beras dan orang belakang'. Contoh seperti ini mungkin perlu ditelusuri terus.

Mari kita baca antrian sinonim di belakang entri di bawah ini: abai absolut absorpsi bahtera baktau cahaya cakrawala ceriwis dada daging enak entak endal gamblang gebrak

Pemakai bahasa pasti bingung. jadi, sebaiknya tesaurus ini perlu disertai dengari kalimat contoh yang kontekstual dan disusun sesuai dengan kedekatan dan kemiripan makna. Betapa pun subjektifnya sebuah pilihan kedekatan dan kemiripan makna, penyusun tesaurus sudah harus menempatkan kedekatan makna secara umum berdasarkan studi dan catatan empiriknya. Dengan studi dan catatan pemakaian sinonim, tesaurus bukan saja bersifat deskriptif, melainkan juga bersifat preskripif dan mengarahkan pemakai bahasa. Pekerjaan ini tidak dilakukan oleh penyusun tesaurus. jadi, tesaurus ini baru sampai pada penghimpunan data sinonim kekayaaan bahasa Indonesia dan belum sampai pada pembinaan dan pemakaian bahasa yang cermat makna dan tepat pakai sinonim.

Page 110: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

110

Derivasi Alias Kata Turunan Tercatat

Tesaurus Eko pun menjajikan derivasi dari entri terpilih dan memberikan pula sinonim derivasi. Ada derivasi nomen dari verbum atau nomen deverbal, ada nomen yang diturunkan dari adjektif atau nomen deadjektival, ada verbum denominal dan verbum deadjektival, ada adjektif deverbal dan adjektif denominal. Akan tetapi, saya tidak akan mempersoalkan derivasi semacam ini karena terlalu teoretis. Prosedur ini tidak diikuti dan dipergunakan oleh Eko karena memang sangat teoretis walaupun sangat menentukan dan berguna.

Runtun derivasi yang dipakai Eko bermula dari kata turunan verbum, lalu kata turunan nomen, dan berakhir dengan kata turunan adjektif. Akan tetapi, yang mendapakan sorotan saya ialah pemilihan bentuk derivasi dengan moferm terikat.

Pemilihan mortem terikat pembentuk verbum hanya terbatas pada bentuk meN-, meN-kan, meN-i, ber-,ber-kan, dan ter-. Contoh tersebar dalam tesaurus Eko. I Pertanyaan yang muncul ialah tidak terdapat mortem terikat pembentuk verbum di-, di-kan, di-i, dan ke-an. Dalam panduan pemakaian tesaurus pun tidak dijelaskan bahwa subentri dengan meN- dapat juga dibalik menjadi di-kd (walaupun tidak semua dapat dibalik karena terdapat bentuk yang antipasif, misalnya, mengheningkan cipta tidak dapat dibalik menjadi cipta diheningkan). Misalnya, dalam entri dahulu dan subentri mendahului tidak terdapat subentri didahului, mendahu/ukan dengan didahulukan atau kedahuluan; darat dan mendarat, mendaratkan tidak diimbangi dengan bentuk turunan didarati dan didaratkan. Contoh dan fakta seperti ini ditemukan sebanyak halaman dalam tesaurus Eko.

Pemilihan mortem terikat pembentuk kata benda/nomen pun tidak merata. Morfem terikat pembentuk nomen yang terpakai hanya mortem terikat pe- (dengan beberapa variasi), peN-an, -an, ke-an, ter- (orang), -wan/-wati. Mengapa dalam entri darat tidak terdapat pendaratan dan perdaratan?

Penyusun tesaurus ini alias Eko kurang peka terhadap perbedaan makna morfemis meN-kan dan meN-i. Subentri menjauhi (hlm. 256) oleh Eko disinonimkan dengan menghindari, menyingkirkan, memencilkan, mengasingkan, mengucilkan, meninggalkan. Eko lupa dan kurang waspada bahwa "menjauhi narkoba, menjauhi larangan" berbeda dengan "menjauhkan narkoba, menjauhkan larangan". Demikian pula perbedaan antara "menghindari korupsi dan menghindarkan korupsi", "menyingkiri dan menyingkirkan", dst. Ternyata kekeliruan yang sarna terjadi pula pada entri hindar (hlm. 236). Akan tetapi, pada entri dahu/u (hlm. 141) dan dekat (hlm. 150) Eko dapat membedakan meN-kan dan meN-i. Mungkin kekurangpekaan ini masih terdapat dalam tesaurus Eko untuk entri-entri dan subentri dengan meN-kan dan meN-i yang lain.

Dalam TBI Ek. terdapat nominalisasi perbedaan dan pembedaan (hlm. 64). Akan tetapi, Eko salah menurunkannya. Eko menurunkan perbedaan di bawah membedakan dan membeda-bedakan. Seharusnya, bentuk perbedaan diturunkan dari berbeda, dan bentuk pembedaan diturunkan dari membedakan dan atau membeda-bedakan. Eko malah menurunkan pembedaan di bawah memperbedakan.

Page 111: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

111

Dalam hubungan dengan makna morfemis, khususnya makna mortem terikat, penyusun tesaurus juga mengabaikan makna mortem terikat -isme untuk kata serapan, misalnya, egoisme (hlm. 167), humanisme (hlm. 240), imperia/isme (hlm. 246), kapita/isme (malah tidak tercatat) walaupun terdapat entri kapita/, kapita/isasi (hlm. 290), nasiona/isme, natura/isme (hlm. 427), dst.

Dalam TBI Ek. (hlm. 511) terdapat entri rasionalisasi yang disinonimkan dengan 'justifikasi, pembenaran, penjelasan'. Saya pikir Eko mau menurunkan rasionalisasi dari rasio dan rasional. Padahal, rasionalisasi pada umumnya disinonimkan dengan 'penghematan tenaga kerja, pemberhentian pegawai' (baca Badudu 2003, hlm. 295; dan Hornby 1974, hlm. 09).

Kekurangpekaan ini masih dapat ditemukan sepanjang entri tesaurus ini. Saya kira catatan saya ini. pun sebagai peringatan akan kesesatan yang mungkin akan lebih banyak lagi dijumpai.

Ketidakkonsistenan menyusun derivasi akan tampak di mana-mana dalam TBI Ek. Pad a entri matang (TBI Ek.; hlm. 408) tidak terdapat derivasi mematangkan dan pematangan; pada entri rawat terdapat bentuk turunan perawat (TBI Ek., hlm. 513), tetapi pada halaman yang sarna entri rayu tidak terdapat bentuk turunan perayu, walaupun dalam TBI Ek. terdapat bentuk tu-runan rayuan.

Pada halaman 659 Eko tidak membedakan entri tentang sebagai partikel dan sebagai verbum atau kata kerja. Malah Eko menurunkan bentuk bertentangan, I menentang, dsb. (T81 Ek., hlm. 659) dari partikel tentang. Ia pun tidak membedakan sebab (hlm. 560) sebagai partikel dan sebagai nomen. Ia memasukkan sebab sebagai partikel dan nomen dalam satu entri.

Ketika saya mau mengakhiri pembicaraan saya tentang derivasi, mata saya terpukau pada entri mata-mata dan memata-matai (TB1 Ek., hlm. 408). Pada halaman tersebut Eko berpendapat memata-matai diturunkan dari entri mata-mata. Padahal, memata-matai diturunkan dari mata, mematai, mematai-mematai lalu menjadi memata-matai sebagai bentuk ulang.

Kelemahan penentuan derivasi dan penentuan kelas kata dapat ditelusuri terus dalam TB1 Ek. Saya baru mencatat dan menemukan sebagian kelemahan yang terjadi.

Makna Idiom, Makna Ungkapan, dan Makna Gabungan Kata

Eko Endarmoko mengatakan "kesinoniman yang disajikan di sini adalah kesamaan makna berjalinan di antara kata dasar, kata jadian, dan kelompok kata atau frase" (hlm. xviii). Pernyataan ini bersifat ambigu, yakni kesinoniman antara kata dasar dan kata dasar, antara kata jadian dan kata jadian, dan antara kelompok kata dan kelompok kata, atau antara kata dasar dan kata jadian, antara kata dasar dan kelompok kata, dan sebaliknya.

Dalam penerapan penyusunan tesaurus ini, Eko berjalan ke sana kemari. Pada entri rawat (hlm. 513) Eko langsung masuk ke frase rawat inap dengan sinonim opname. Mengapa Eko tidak memberikan sinonim rawat dengan 'pelihara, asuh, urus, jaga', dst.? Lalu entri merawat dengan sinonim

Page 112: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

112

'memelihara, mengurus, menjaga, dst.? Baru kemudian frase rawat inap dan rawat jalan (tidak terdapat dalam TB1 Ek.). Bukankah rawat jalan dapat disinonimkan dengan 'berobat jalan'? Pada entri temu (hlm. 656) tidak terdapat frase temu wicara yang dapat bersinonim dengan 'dialog' dan temu kangen yang dapat bersinonim dengan 'reuni'. Pad a entri terjemah (hlm. 664) hanya terdapat frase terjemahan harfiah dan tidak terdapat frase terjemahan hibridis, terjemahan penafsiran.

Mengapa dalam entri keluarga tidak terdapat frase keluarga berencana yang dapat bersinonim dengan 'penjarakan kelahiran, tunda hamil' dan keluarga besar yang dapat bersinonim dengan 'anggota kelompok', dst.?

Terdapat sekelompok besar kata bahasa Indonesia yang memiliki makna frase berupa ungkapan atau idiom. Misalnya, kata-kata yang berhubungan dengan anggota badan, warna, cuaca, nama binatang, nama tumbuh-tumbuhan, nama bunga, dsb. Di samping itu, sejumlah kata kerja atau verbum juga dapa berfrase sehingga memunculkan makna ungkapan alias idiom. (baca Abdul Chaer, Kamus Idiom Bahasa Indonesia, 1984, dan Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, 1997). Nah, membaca TBI Ek. saya jadi tambah penasaran sejauh mana Eko akan mencarikan sinonim makna frase dalam wujud ungkapan atau idiom menurut Abdul Chaer.

Abdul Chaer mencatat 53/63 frase dengan entri makan, sedangkan Eko hanya mencatat 10 frase dengan entri makan (TB1 Ek., hlm. 399). Padahal, dari 63 frase dengan makan yang dicatat oleh Chaer cukup banyak yang mempunyai sinonim baik berupa kata maupun berupa frase pula. Dalam hubungan dengan makna frase/ungkapan/idiom, misalnya, kamus Randon House mencatat bahwa dalam bahasa Inggris terdapat face dengan 40 arti, head dengan 59 arti, hand dengan 60 arti, nose dengan 20 arti, dan foot dengan 36 arti. Saya belum menghitung berapa jumlah ungkapan/idiom bahasa Indonesia kata-kata anggota badan. Nah, bagaimana dengan makna ungkapan/idiom yang disinonimkan dalam TBI Eko?

Hipernimi dan Hiponimi

Masalah hipernimi alias superordinat 'makna atasan' dan hiponimi alias subordinat 'makna bawahan' adalah masalah hubungan makna atau relasi makna. "Kerbau adalah binatang" dan bukan "binatang adalah kerbau". Oalam makna kerbau sudah terkandung makna binatang, tetapi dalam makna binatang belum termasuk makna kerbau. Mari kita periksa tesaurus Eko.

Pada entri Katolik (him. 294) Eko menyinonimkan dengan Masehi, Nasrani dan pada entri Kristen (him. 339) juga Eko menyinonimkannya dengan Masehi dan Nasrani. Kata Masehi dan Nasrani menjadi hipernimi dari Katolik dan Kristen. Akan tetapi, pada entri Masehi (hlm. 406) Eko menyinonimkannya dengan Kristen dan Nasrani, tetapi tidak ada Katolik. Demikian pula pada entri Nasrani (him. 427) Eko juga menyinonimkannya dengan Kristen dan Nasrani, tanpa Katolik. Sebenarnya Masehi hanya bersinonim dengan Nasrani. Katolik dan Kristen sudah dapat dikatakan Nasrani, tetapi Nasrani bukan hanya Kristen. Perlu ditambahkan bahwa turunan dari kristen (hlm.339) yang lazim adalah kristenisasi dan bukan mengkristenkan (hlm. 339).

Page 113: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 2, Agustus 2007

113

Demikian juga hubungan antara guru (hlm. 222) dan dosen (hlm.161). Mengapa pada entri dosen tidak dipadankan lebih dahulu dengan guru? Eko pun tidak menghubungkan makna doa (hlm.159) dengan makna sembahyang (hlm. 574). Orang 'mendoakan seseorang atau berdoa' tidak lain 'menyembahyangkan seseorang atau bersembahyang'.

Usul saya agar yang dimasukkan sebagai entri dalam tesaurus adalah hiponimi atau subordinat dan bukan hipernimi atau superordinat. Itulah komentar saya tentang hubungan antarmakna hipernimi dlan hiponimi dan yang mana yang harus dimasukkan dalam tesaurus.

Penutup

Demikianlah beberapa catatan saya akan Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko. Tujuan catatan ini tidak lain untuk memperkaya dan memperbesarkan keberhasilan Eko Endarmoko dalam pekerjaan pelanjutan tesaurus ini. Catatan ini pun merupakan penghormatan saya kepada Eko karena tanpa pekerjaan Eko ini saya tidak tergugah untuk berbicara tentang tesaurus. Masih banyak persoalan yang mungkin menjadi pokok bahas untuk keberhasilan bersama agar tesaurus ini dapat menyebarkan kebenaran, imajinasi, dan pencerahan, dan bukan kesesatan.

Terima kasih.

DAFTAR RUJUKAN

Alexander, Fran. 1997. (Editor). Bloomsburry Thesaurus. London : Bloombury Publishing Plc.

Badudu-Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Badudu, J.S. 2003. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Chaer, Abdul. 1984. Kamus Idiom Bahasa Indonesia. Ende : Penerbit Nusa Indah.

Chaer, Abdul. 1997. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Chapman. L. Robert. 1979. Roget's Internasional Thesaurus: Fourth edition. London : Harper and Row Publisher.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Pustaka.

Dewan Bahasa dan Pustaka, Universitas Sains Malaysia. 1990. Tesaurus Umum Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan Malaysia.

Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Page 114: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

Jos Daniel Parera

114

Guralnik, B. David. 1970. Webster's New World Dictionary of The American Language. New York : The World Publishing Company.

Hartman, R.R.K. 2001. Teaching and Researching Lexicography. Harlow, Exssex, England : Pearson Education Limited.

Hornby, A.S, Eo 1974. Exford Advanced Dictionary of Current English. Third Edition; New Edition. London : Oxford University Press.

Iskandar, Teuku, 1984. Kamus Dewan. Kuala Lumpur. Dewan bahasa dan Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1974. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Ende/Flores : Penerbit Nusa Indah.

Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik. Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Parera, Jos Daniel. 1976. “Diksi” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Tahun II, No. 3 hlm. 2 – 17.

Parera, Jos Daniel. 1976. “”Kamus Sinonim Bahasa Indonesia” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Tahun II, No. 1 hlm. 11 – 31.

Poerwadarminta, W.J.S. 1053/1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Steinhauer, H. 1984. “Menuju Tesaurus Bahasa Indonesia”. Dalam majalah Pembina Bahasa Indonesia. Jilid V, No. 1, hlm. 11 – 31

Websters's New Dictionary of Synonims. 1973. Springfield, Massa-chusetts/USA: G and C. Merriam Company, Publisher.

Page 115: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang

FORMAT PENULISAN NASKAH

Naskah, yang diketik dengan menggunakan MS Word, dikirimkan ke Redaksi, melalui e-mail [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi rangkap.

Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis. Abstrak untuk naskah dalam bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris; abstrak untuk naskah bahasa Inggris ditulis dalam bahasa Indonesia.

Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnya lebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, diberi indensi sepuluh huruf, centered, dan tanpa tanda petik.

Nama penulis yang disitir atau dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis, tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan). Misalnya, (Radford 1997), (Radford 1997:215). Daftar pustaka ditulis berdasarkan abjad dengan urutan berikut:

Untuk buku: (I) nama akhir, (2) kama, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) judul buku dalam huruf miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titik dua/kolon, (II) nama penerbit, dan (12) titik. Contoh:

Hutabarat, Samuel. 1995. Pemerolehan Fonem Bahasa Satak Karo pada Anak-anak Usia Tiga Tahun. Jakarta; Gramedia.

Gass, Susan M. dan. Jacqueliyn Schachter, eds. 1990. Linguistic Perspectives on Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Untuk artikel: (I) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) nama jumal dalam huruf miring, (12) volume, (13) nomor, dan (14) titik. Bila artikel diterbitkan di sebuah buku, berilah kata "Dalam" sebelum nama editor dari buku tersebut. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam lema tersendiri. Contoh:

Gleason, Jean Berko. 1998. "The Father Bridge Hypothesis." Journal of Child Language, Vol. 14, No.3.

Wahab, Abdul. "Semantik: Aspek yang Terlupakan dalam Pengajaran Bahasa." Dalam Dardjowidjojo, 1996.

Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada akhir halaman (footnote).

Page 116: Agustus 2007 ISSN 0215-4846 Tahun ke 25, Nomor 2 No. 02 Ags 2007.compressed.pdfNaskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang