akhlak bermuamalah
TRANSCRIPT
MAKALAH AKHLAK BERMUAMALAH
Diajukan Oleh :1. Venny Kusniati2. Jonsep3. Imammudin
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANSTIKES AISYAH PRINGSEWU
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah tantang Akhlak
Bermuamalah ini dengan baik dan seoptimal mungkin. Dalam
penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan hal ini di karenakan keterbatasan kemampuan
kemampuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Pringsewu, Oktober
2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................iii
BAB I PENDAHUUAN.................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................2
A. Jual Beli..........................................................................2
1. Pengertian................................................................2
2. Syarat Jual beli.........................................................4
3. Hukum Jual Beli........................................................11
B. Riba............................................................................11
1. Pengertian............................................................11
2. Jenis-jenis Riba.....................................................13
3. Hukum Riba..........................................................17
BAB III PENUTUP .....................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq,
artinya tingkahlaku, perangai, tabi’at. Sedangkan menurut istilah,
akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan
dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi. Dengan
demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada
diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau
perbuatan.
Muamalat adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu
yang memberi manfaat dengan tata cara yang ditentukan.
Termasuk dalam muammalat yakni jual beli, hutang piutang,
pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-
lain. Dalam bahasan ini akan menjelaskan sedikit tentang muamalat
jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jual Beli
1. Pengertian
Pengertian jual beli secara etimologis adalah menukar harta
dengan harta. Sedangkan secara terminologis berarti
transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
Sengaja diberi pengecualian ”fasilitas” dan ”kenikmatan”,
agar tidak termasuk di dalamnya penyewaan dan menikah
(Al-Mushlih, 2004).
Menurut ulama Hanafiyah, jual-beli adalah pertukaran harta
(benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan).
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Majmu’,
didefinisikan sebagai pertukaran harta dengan harta, untuk
saling menjadikan milik.
Dalil Jual Beli
Al-Qur’an
Dalil hukum jual beli di dalam Al-Qur’an, diantaranya terdapat
pada ayat-ayat berikut ini:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS Al-Baqarah:275)
”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli” (QS Al-
Baqarah:282)
Aَ
”Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka
sama suka” (QS An-Nisa’:29)
Aَ
”Mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan
rugi” (QS Al-Fathir:29)
As-Sunah
Di dalam As-sunah, disyariatkannya jual beli terdapat
pada hadits-hadits berikut:
Rasulullah SAW ditanya tentang mata pencaharian
yang paling baik. Beliau menjawab,”Seseorang bekerja
dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur”
(HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn
Rafi’). Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual
beli yang terhindar dari tipumenipu dan merugikan
orang lain.
Jual beli harus dipastikan saling ridla.” (HR. Baihaqi dan
Ibnu Majah)
Ijma’
Dalil kebolehan jual beli menurut Ijma’ ulama adalah:
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mempu
mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang
lainnya yang sesuai.
2. Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jual beli, di antara ulama terjadi
perbedaan pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual
beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran
barang secara ridla, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama yaitu:
a. bai’ (penjual)
b. mustari (pembeli)
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli
adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya
c. shighat (ijab dan qabul)
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli
adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena
kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan
melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari
pihak pembeli)
d. ma’qud ’alaih (benda atau barang)
Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah
tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah
kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan
pembeli dengan jelas
Al-Mushlih menguraikan tentang syarat jual beli yang
berkaitan dengan pihak-pihak pelaku serta syarat yang
berkaitan dengan obyek jual belinya.
Syarat jual beli yang berkaitan dengan pihak-pihak
pelaku:
Pihak-pihak pelaku harus memiliki kompetensi dalam
melakukan aktivitas itu, yakni dalam kondisi yang sudah akil
baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi
yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau
orang yang dipaksa.
Syarat jual beli yang berkaitan dengan obyek jual
belinya:
b. Obyek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa
diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu
pihak.
Tidak sah memperjualbelikan barang najis atau barang
haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena
benda-benda tersebut menurut syariat tidak dapat
digunakan. Di antara bangkai, tidak ada yang
dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah
juga tidak ada yang dikecualikan selain hati dan limpa,
karena ada dalil yang mengindikasikan demikian. Juga
tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik,
karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap
itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-
salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang
digambarkan kriterianya secara jelas dalam kepemilikan,
dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi
barang diserahterimakan belakangan. Karena ada dalil
yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini. Tidak sah
juga menjual barang yang tidak ada atau yang berada di
luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti
menjual malaqih, madhamin atau menjual ikan yang
masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan
sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang
sulbi pejantan. Sedangkan madhamin adalah anak yang
masih dalam tulang dada hewan betina.
Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik
barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual
barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian
surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat
tentang jual beli jenis ini. Namun, yang benar adalah
tergantung dari izin pemilik barang.
c. Mengetahui obyek yang diperjualbelikan dan juga
pembayarannya, agar tidak terkena faktor
”ketidaktahuan” yang bisa termasuk ”menjual kucing
dalam karung”, karena hal itu dilarang.
d. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah
menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang
diketahui atau tidak diketahui. Seperti orang yang menjual
rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah
dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Ini disebut dengan
”jual beli pelunasan (bai’ wafa’)”.
Dalam masalah sighat (ijab dan qabul), para ulama fiqh
berbeda pendapat, diantaranya berikut ini:
Menurut ulama Syafi’iyah, tidak sah akad jual beli kecuali
dengan sighat (ijab Qabul) yang diucapkan.
Imam Malik berpendapat bahwa jual beli itu telah sah dan
dapat dilakukan secara dipahami saja.
Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan
perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah
yaitu: mengambil atau memberikan dengan tanpa
perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli
sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia
mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya
sebagai pembayaran.
Khiyar Dalam Jual Beli
Akad yang sempurna harus terhindar dari khiyar, yang
memungkinkan aqid (orang yang berakad) membatalkannya.
Pengertian khiyar menurut ulama fiqh adalah: ”Suatu
keadaan yang menyebabkan akid memiliki hak untuk
memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau
membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat,
’aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua
barang jika khiyar ta’yin”.
Dalam jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih,
apakah akan meneruskan jual beli atau akan
membatalkannya. Khiyar dibagi menjadi:
1. Khiyar Majelis; artinya antara penjual dan pembeli boleh
memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis),
khiyar majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
Rasulullah saw bersabda: penjual dan pembeli boleh
khiyar selama belum berpisah (HR Bukhari dan Muslim).
Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut,
maka khiyar majelis tidak berlaku lagi.
2. Khiyar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya
disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli.
Rasulullah bersabda: Kamu boleh khiyar pada setiap
benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam (HR.
Baihaqi).
3. Khiyar ’Aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan
kesempurnaan benda-benda yang dibeli. Seperti yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Aisyah ra.
bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak
tersebut disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri
budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasulullah
saw., maka budak itu dikembalikan kepada sang penjual.
Keabsahan khiyar ini menurut Hanafiyah harus memenuhi
3 syarat yaitu:
4. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih yang dimiliki oleh pembeli
untuk menentukan sejumlah benda sejenis dan sama
harganya.
Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek
Barang yang dibeli setara dan seharga
Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari 3 hari
5. Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih pembeli untuk membatalkan
atau melangsungkan akad ketika ia melihat barang yang
akan dujual; dengan catatan ia belum melihatnya ketika
berlangsung akad. Jadi, akad jual-beli tersebut telah terjadi
ketika barang tersebut belum dilihat oleh pembeli. Konsep
khiyar ini dikemukakan oleh Fuqaha Hanafiyah, Malikiyah,
Hanabilah dan Zhahiriyah dalam kasus jual beli benda
yang ghaib atau belum pernah diperiksa oleh pembeli.
Syarat jual-beli yang sahih mempunyai dua macam:
1. Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu syarat yang akan menguatkan akad dan akan
memberikan maslahat bagi orang yang memberikan
syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam
pegadaian atau disyaratkannya jaminan, hal seperti ini
akan menenangkan penjual. Dan juga seperti
disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga
sampai waktu tertentu, maka ini akan berfaedah bagi si
pembeli. Apabila masing-masing pihak menjalankan syarat
ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau
seorang pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat
tertentu seperti keadaanya harus dari jenis yang baik, atau
dari produk si A, karena selera berbeda-beda mengikuti
keadaan dari barang tersebut.
Apabila syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka
wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat tersebut tidak
sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli
berhak untuk membatalkan atau mengambilnya dengan
meminta ganti rugi dari syarat yang hilang (yaitu dengan
menuntut harga yang lebih murah, pent), dan juga pembeli
bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si
penjual memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika
barangnya melebihi syarat yang diminta,)
2. Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang
lainnya untuk saling memberikan manfaat yang mubah
dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati
tempat penjualan selama waktu tertentu, atau dibawa oleh
kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu tempat
tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu
bahwa, yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya
sampai ke Madinah” (Mutafaq ‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan
tunggangan dengan pengecualian (syarat)
mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka
diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian
pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada
penjual agar penjual melakukan pekerjaan tertentu atas
penjualannya seperti membeli kayu bakar dan
mensyaratkan kepada penjualnya untuk membawanya ke
tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan
syarat dia menjahitkannya.
3. Hukum Jual Beli
a. Haram
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi
syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
b. Mubah
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
c. Wajib
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan
kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam
keadaaan terpaksa.
B. Riba
1. Pengertian
Secara literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah).
Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy
mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak
disertai dengan adanya pertukaran kompensasi. Imam
Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah
tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang,
maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya. Di
dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan
bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-
masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak
disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di
dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta
dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat
tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi,
maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi
konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram
menurut syariat. Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah,
disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil
dengan sifat tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada
tambahan maupun tidak. Perhatikanlah, anda memahami
bahwa jual beli dirham dengan dirham yang
pembayarannya ditunda adalah riba; dan di dalamnya
tidak ada tambahan.
Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj,
disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl
makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-
syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au
ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang
tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat,
baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada
penundaan salah satu barang yang ditukarkan).
Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib
disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl
makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-
syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au
ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang
tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat,
baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada
penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun
keduanya)”. Riba dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal,
riba yadd, riba nasaa. Pengertian riba semacam ini juga
disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat
al-Faadz al-Minhaaj.
2. Jenis-jenis Riba
Riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba
jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd.
a. Riba Nasii`ah.
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena
penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada
tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu
merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran
hutang, atau sebagai tambahan hutang baru.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim;
LِةA Oَئ ْي LِسR Aا ِفLْيO الَّن َب Zالِّر
” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah
menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw
bersabda:
LِةA Oَئ ْي LِسR Aا ِفLْيO الَّن َب Zا الِّرAَمR Lَّن A ِإ آَال
“Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR
Muslim).
b. Riba Fadlal.
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran
barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam Muslim.
cِّر OdَمR ِعLْيِّرL َوAالَّت RdالَّشL ِعLْيِّرc َب RdالَّشAَو Zِّرc Oُب Lال cِّرj َب Oُب OِفLَّضRِةL َوAال Lال OِفLَّضRِةc َب LالَّذRَهAِبL َوAال الَّذRَهAِبc َب
LِهLَّذAَه OْتAِفA Aَل َّت Oا اْخAَذL Aٍدv ِفAِإ Lْي Aٍدxا َب َوAاٍءv َي AِسL َوAاٍءx َب Aَس vٍلO LَمLْث Oاًلx َب OِحL ِمLْث OَمLَل Lال Oِحc َب OَمLَل RَمOِّرL َوAال Lالَّت َب
vٍدA Lْي Aٍدxا َب AاَنA َي LَذAا َك cْمO ِإ Oَّت َئ Lِش AَفO Aْي Lْيِعcَوا َك Aاُفc ِفAُب ْصOَّنA Oاَأْل
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya
berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan
kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
xاًلO َنv ِمLْث OْزAَو Lddا َب xddَّن OْزAَو Lِة RddَّضLِفO Lال OِفLَّضRِةc َب Oٍلv َوAال LَمLْث Oاًلx َب َنv ِمLْث OْزAَوL xا َب َّن OْزAَو LِبAَهRالَّذL الَّذRَهAِبc َب
xا اَدA ِفAُهcَوA ِرLَب AَزA َّت Oاَس OَوA اَدA َأ Aْز OْنAَمAِف vٍلO LَمLْث َب
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan
perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah
atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
ا ِفْيُها َذَهِب xعْن ِفَّضالِة قال: اِشَّتِّرَيْت َيَوم ْخْيُبِّر قاًلَدة َباثَّنْي عَّشِّر َدَيَّناِر
x، ِفَّذَكِّرت َذلك َوْخِّرْز، ِفِفّص�َلَّتُها ِفَوجٍدت ِفْيُها َأَكْثِّر ِمْن اثَّنْي عَّشِّر َدَيَّناِرا
“”ال تباع حتى تفصل لَلَّنُبْي ْصَل�ى الَله عَلْيه َوَسَل�ْم ِفقال:
“Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang
Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan
merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku
mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya
sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan
dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR
Muslim dari Fudhalah)
c. Riba al-Yadd.
Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam
pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah
pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah
berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah
terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-
hadits berikut ini;
cِّر OdَمR اٍءA َوAالَّت AdَهAَو Aاٍء Adَه RَالL ا ِإ xdَبLِر Zِّرc Oُب ال Ldَب jِّر cdُبO LَالR َهAاٍءA َوAَهAاٍءA َوAال xا ِإ LالَّذRَهAِبL ِرLَب الَّذRَهAِبc َب
AاٍءAَهAَو AاٍءAَه RَالL xا ِإ ِعLْيِّرL ِرLَب RالَّشL ِعLْيِّرc َب RالَّشAَو AاٍءAَهAَو AاٍءAَه RَالL xا ِإ RَمOِّرL ِرLَب Lالَّت َب
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan,
gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan
kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
cْيِّرLِع RddالَّشAَو Aاٍء AddَهAَو Aاٍء Addَه RَالL ا ِإ xddَبLِر Zِّرc Oُب Lال cِّرj َب Oُب LَالR َهAاٍءA َوAَهAاٍءA َوAال xا ِإ LالَّذRَهAِبL ِرLَب OَوAِرLُقc َب ال
AاٍءAَه RَالL xا ِإ ِعLْيِّرL ِرLَب RالَّشL َب
AاٍءAَهAَو AاٍءAَه RَالL xا ِإ RَمOِّرL ِرLَب Lالَّت cِّرOَمR َوAَهAاٍءA َوAالَّت
“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan;
gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan
kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan
kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan
kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]
d. Riba Qardl.
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang
dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus
diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba
semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-
hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah
bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi
Madinah.Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin
Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya
engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba
telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman
kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu
berupa rumput kering, gandum atau makanan ternak, maka
janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah
riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan
sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang
maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari
yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh
memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk
apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya
tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh,
“Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman
yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah
riba”.[Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, (edisi terjemahan); jilid
xii, hal. 113]
Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah
riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam
transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba
fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya
praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas
riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan
oleh seorang Muslim. [Syamsuddin Ramadhan An Nawiy-
Lajnah Tsaqafiyyah
3. Hukum Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang
dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh
menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan
kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia
hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan
keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun
banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
cاَنAَطO ْي Rddالَّش cه cddَطR AَخAُب Aَّت َّذLي َي Rddال cَوم cddقA AَمAا َي LَالR َك AقcَوِمcَوَنA ِإ َبا َال َي Zالِّر Aَوَنcَلc Oَك Aْأ RَّذLَيْنA َي ال
Aم RِّرAَحAَو AَعO Aْي Oُب Rهc ال AَحAٍلR الَل َبا َوAَأ Zالِّر cٍلO Oَعc ِمLْث Aْي Oُب RَمAا ال Lَّن cَوا ِإ RُهcْمO قAال َّنA Lْأ LكA َب OَمAِّسZ َذAل ِمLْنA ال
LهR LلAى الَل ِهc ِإ cِّرOِمA َلAَفA َوAَأ Aا َسAِم cهA AُهAى ِفAَل Oَّت ZهL ِفAاَّن َب Aِر OْنLِم ªِةAَظLعOَوAِم cِهAاٍء Aج OْنAَمAَبا ِف Zالِّر
AَوَنcٍدL ال Aا ْخAْيُهLِف Oْمcَه LاِرR ْصOَحAاُبc الَّنA LكA َأ Aَئ cَول َوAِمAْنO عAاَدA ِفAْأ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275].
Aا ، َي AْيْنL cْمO ِمcْؤOِمLَّن Oَّت cَّن LَنO َك َبا ِإ Zالِّر AْنLِم AْيLقA َوا ِمAا َب cِرAَذAَو AهR Rقcَوا الَل cَوا اَّت RَّذLَيْنA آِمAَّن jُهAا ال َيA َأ
cَوُسcُؤ cِر Oْمc Aُك cْمO ِفAَل Oَّت cُب LَنO َّت LهL َوAِإ َول cddَس AِرAَو LهR ُبv ِمLْنA الَل OِّرAَحL cَوا َب َذAَّنO cَوا ِفAْأ AِفOِعAَل AْمO َّت LَنO ل ِفAِإ
AَوَنcَمA cَظOَل LَمcَوَنA َوAَال َّت AَظOَل cْمO َال َّت Lُك ِمOَوAالA َأ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-
orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2):
279].
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw
xِةA Oْي OْنA ْزLَّن Lْي ث AاًلA ٍدj ِمLْنO َسLْت³ َوAث AِشA Aْمc َأ AِعOَل جcٍلc َوAَهcَوA َي Rالِّر cهc cَل َكO Aْأ Aا َي َهAْمc ِرLَب OِرLَد
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia
mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat
daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin
Hanzhalah).
ا Addَب Zى الِّرA َب OِرA LَنR َأ هc, َوAِإ Rddِم
c ٍلc َأ cddج Rالِّر AِحLُكO Aَّن AَنO َي ٍلc َأ OddْثLا ِمAَه cِّر AddِسO Aَي ا َأ xddاَبA OِعcَوOَنA َب ُب AَسAَو AªِةA Aاًلث Aا ث الِّرLَب
AْمL َل OِسcَمO جcٍلL ال Rالِّر cُضOِّرAع
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan
seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-
jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang
muslim”. (HR Ibn Majah).
,LهO اَهLٍدAَي AddِشAَو cه AddُبL Aاَّت هc َوAَك AddَلL A َوAِمcَوOَك َبddا Zالِّر AٍلLآَك AْمR َل AَسAَو LهO Aْي َوOلc الَلهL ْصAَلRى الَلهc عAَل cَس Aِر AْنAِعA ل
ªاٍءAَو Aَس Oْمcَه : AالAقAَو
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang
memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya.
Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk
dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar
(min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah
melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan
penulisnya.Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah
memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab
al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar
dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam
Syarbiniy di dalamKitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang
sama. Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy
menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk
dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga
menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai
keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-
Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah
terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis
ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis
pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan
keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits
shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan;
keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-
Quran dan Sunnah.
BAB III
PENUTUP
Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau
sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang
termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa,
upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam,
berserikat dan lain-lain.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain,
bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan
kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi
maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi
suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang
erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga
kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan
lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang
sebaik-baiknya aturan.
DAFTAR PUSTAKA
http://organisasi.org/muamalat-jual-beli-dalam-islam-pengertian-rukun-hukum-larangan-dll
http://nitehawkripper.blogspot.com/2011/06/hukum-islam-tentang-muamalah.html
http://ekonomi-syariah.com/id/wp-content/uploads/2009/10/02.Transaksi_Jual-Beli_Dalam_Islam.pdf
http://konsultasi.wordpress.com/2008/11/20/riba-definisi-hukum-dan-macamnya/