aku

35
Aku . . ._______ sajak : O’onk. F. kuciumi ia sebelum pergi sekian lama tak kuhiraukan namun . . . setiap serat dari dagingku terjelajahi sudah -- Kasih—pada Mu jua kembali hidup abadi Jember, 1 Januari 1992 Akukah itu____ sajak : O’onk. F. Akukah itu berdiri di penghujung jaman jauh terpencil sendiri terpisah raut muka yang berseri – seri datang menyudahi perang yang panjang menyingkap tabir malam yang kelam

Upload: masykurillah-aroon

Post on 25-Dec-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

puisi boy

TRANSCRIPT

Aku . . ._______

sajak : O’onk. F.

kuciumi ia sebelum pergi

sekian lama tak kuhiraukan

namun . . .

setiap serat dari dagingku terjelajahi sudah

-- Kasih—pada Mu jua kembali

hidup abadi

Jember, 1 Januari 1992

Akukah itu____

sajak : O’onk. F.

Akukah itu

berdiri di penghujung jaman

jauh terpencil

sendiri terpisah

raut muka yang berseri – seri

datang menyudahi perang yang panjang

menyingkap tabir malam yang kelam

menabur bunga

senyumnya di sandang

bak sampur berjuntai – juntai

Diantara jutaan manusia

berdiri berbaris berarak – arakan

memadati lorong yang panjang

aku mencari

dimanakah aku

Akukah itu

orang yang berselimut malam

sendiri . . .

sendiri diam

tak bisa bicara bersapa – sapa

cahayanya air mata berlinang tenang

oh . . .

duka apa yang ia bawa

Diantara jutaan manusia

berdiri berbaris berarak – arakan

memadati lorong panjang

aku mencari

dimanakah aku

Akukah itu

digulung debu beterbangan

diantara jutaan kaki

bergerak kencang di lorong panjang

Akukah itu

berdiri tegak

berpeluk jutaan kawan

menenggak arak pesta kemenangan

atau diakah aku yang lain

yang pernah kukenal

dan menghilang diantara mereka

akukah itu

aku mencari

Mumbulsari, 19 Pebruari 2003

Menjadi tamu Tuhan

di malam hari

sajak : O’onk. F.

Berupa apa lagi wajahku

semalam sulit sekali aku melukis wajah

wajah para pemuka

kulukis jadi wajahku

buat esok pagi

buat bermain – main

buat persembunyian

Berupa apalagi wajahku

seharian begitu melelahkan

mencari rupa rupawan

yang pantas menjadi rupaku malam nanti

buat pesta jamuan malam

pagelaran wajah – wajah

menyingkap malam gurun gelisah

lalu kuajukan tangan

berjabat berkenalan

“Tak usah malu – malu

apapun hasil wajah – wajah malam ini

adalah perhelatan kita seharian”

wajah – wajah bertatap muka wajah – wajah

bersulang dalam pesta

ada yang berhasil merangkum wajah hakiki

ada yang berpura – pura

ada pula yang gagal

berwajah hewan memalukan

Mumbulsari, 7 Maret 2003

Mencari rumah kekasih

sajak : O’onk. F.

Kalau saja kita berani menyebrang jalan

menyusuri kanal menuju hutan

sepi memang tiada kawan

tidak kita dengar tangis, tidak pula tawa

hanya kata nurani beruntai serta.

Kalau saja kita mendaki ke satu jalan lagi

pastilah di situ banyak kita jumpai

orang – orang tua renta duduk selalu berpaling

ada yang sudah lama terlentang

sesekali nafasnya gemuruh

Kalau saja kita masih berani mendaki ke satu jalan lagi

kita akan memandang manusia di satu pasar

pada jarak yang sangat jauh

diantara mereka, ada penjual ada pembeli

masing – masing mengenakan jam waktu

Di atas batu kita duduk, di pucuk gunung itu

sesekali memandang asap api dari kawah

yang mengepul jadi awan

sesekali memandang sekitar alam yang purba

pastilah kita semakin paham

bahwa hidup ini ada yang sobek

Di atas batu yang lebih besar kita berdiri

di pucuk gunung itu

berdiri tegak

tidak usah hiraukan suara gagak

kematian yang ia bawa bukan untuk kita

tetaplah kita berdiri merasakan sepi

tiada berkawan

hanya kata nurani beruntai serta

Mumbulsari, 19 September 1998

Mencapai rahasia

sajak : O’onk. F.

Berjalan melewati batas

sudah berapa jauh aku berjalan

kawanan sudah berpencar

sudah dipisah – pisahkan

ada yang bertemu kembali

yang lain semakin menjauh mengembara

lewati batas – batas rahasia

sampai tak ada terbawa serta

tinggal seorang diri mencapai surga

Berjalan melewati batas

jauh sekali memasuki kedalaman

menembus cinta yang tersimpan

di ruang rahasia teramat dalam

semua sudah tak ada di situ

kecuali rindu

Mumbulsari, 7 Maret 2003

Melihat jaman dari dekat

sajak : O’onk. F.

Andai saja engkau turut orang – orang kebanyakan di bumi

niscaya engkau akan sesat dari jamanmu, wahai saudaraku !

mereka itu hanya menduga dan mengira

kemudian mengada – ada dengan pikirannya

Andai saja engkau mendengar percakapan para raja jaman dahulu

tiada diantara mereka menyudahi persoalan

kecuali hanya dusta

kemudian, ke jalan mana engkau berpihak, wahai saudaraku !

sebenarnya yang lebih tahu tentang semua urusan

hanyalah Tuhanmu

tetapi, mengapa tidak pernah engkau bertanya itu kepadanya

sesungguhnya syeitan itu memperdaya

Andai saja engkau membaca

Ibrahim yang dibakar raja Namrud

ashabul al kahfi yang lari dari kejaran rajanya

bagi Musa, Fir’aun ditenggelamkan di laut Merah

mengapa tiada pernah engkau bertanya

siapakah yang mendera para nabi ?

Andai saja engkau mau melihat sekelilingmu

niscaya banyak orang teraniaya

kecuali orang – orang durhaka tak mau bersaksi

dan masihkah engkau berpihak pada kekejian wahai saudaraku !

niscaya kerusakan di daratan dan di lautan hanya karena ulahmu

Andai saja engkau tahu

malapetaka yang ditimpakan ke dalam negeri

semata – mata peringatan Tuhan atas mereka

agar kembali ke jalan yang benar,

tetapi, tak satupun diantara mereka

mengambil manfaat daripadanya

bahkan pembesar – pembesar mereka

hanya berpraduga dan mengira

kemudian mengada – ada dengan dusta

sesungguhnya syeitan itu memperdaya

Andai saja engkau yang paling benar

dalam memutuskan perkara, niscaya

tak bertambah kerusakan di daratan dan di lautan

tetapi, mengapa tiada pernah engkau bertanya itu kepadaNya.

“Kecuali orang yang dungu menutup mata dan telinga”

Mumbulsari, 20 Januari 1992

Kepada penyair

sajak : O’onk. F.

Laki – laki di bawah pohon itu – orang tua yang memandang kita

setiap musim setia berjaga, selalu berpandang, sayang

ia tak pernah bertanya kita

kecuali kemarau itu berkabar tentang perubahan musim

tentang senyum yang getir

tentang kematian nilai - nilai

Jember, 19 April 1989

Kepada anak – anakku IV

sajak :O’onk. F.

Inilah malam memelukku

jubah kelam bermanikkan bintang-bintang

bergesekan bulu mata lembut

pada bibir gemetaran

limbang rindu berbalas pandang bulan sayu

aduhai mataku mungil tersipu – sipu

tersimpan malu dalam hasratnya menggebu

dengan jemari berulang-ulang kusentuh ia

jubah kelam melambai riang

semakin gairah papah telanjang

di relung malam daku hilang

bak kunang menjalar tenang

lorong yang panjang.

malam

inginku tahu dimana anakku

O...

sampan

berayun gejolak ombak

Mumbulsari, 14 Januari 1984

Kepada anak - anakku III

sajak : O’onk. F.

Tidak kami katakan kepadamu

kebenaran gagal dijalanku

sebab politik raja mengancam

atau seluruh pandang telah menghinakan

demi anak-anakku

demi nasib

demi cinta

aku lupa dimana negeri aku tinggal

Mumbulsari, 14 Januari 1984

Kepada anak-anakku II

sajak: O’onk. F.

Padamu jua bunda

berbilang bakti

Berjaga tetap shalih

ditengah hasud dan lupa

itulah arti

akankah anak kau anggap hilang

bila kejalan belantara ia berburu nasib

bila ditanah lapang arah pandang mesti hina

dan kabar sudah membutakan

Anak !

antara kita masing – masing amanatnya

“Pergilah!”, kataku

wahai harimau lapar

Mumbulsari, 14 Januari 1984

Jalan mencapai Dia

sajak: O’onk. F.

Berjalan mencapai Dia

banyak pilihan yang harus dipilah

sering kali akal piker tak dapat memilih

sungguh sangat sempurna

persembunyian yang Dia pilih

Berulang kali

aku memilih dan mencoba

jalan mencapai Dia

namun yang Maha dekat itu

teramat rapi bersembunyi

kukenali Dia

dari ciri dan sifatNya saja

Berjalan mencapai Dia

hanyalah kerinduan dan cinta

yang membawa kita kepadaNya

dan tak boleh henti barang sejenak

karena syeitan akan memperdaya

Berjalan mencapai Dia

berbekal suci tanpa kata

lalu diam

berserah diri sepenuh hati

biarkan lepas mengalir

Dia sendiri penunjuknya

Mumbulsari, 21 Pebruari 2003

Jalan mencapai Dia

sajak: O’onk. F.

Berjalan mencapai Dia

banyak pilihan yang harus dipilah

sering kali akal pikir tak dapat memilih

sungguh sangat sempurna

persembunyian yang Dia pilih

Berulang kali

aku memilih dan mencoba

jalan mencapai Dia

namun yang Maha dekat itu

teramat rapi bersembunyi

kukenali Dia

dari ciri dan sifatNya saja

Berjalan mencapai Dia

hanyalah kerinduan dan cinta

yang membawa kita kepadaNya

dan tak boleh henti barang sejenak

karena syeitan akan memperdaya

Berjalan mencapai Dia

berbekal suci tanpa kata

lalu diam

berserah diri sepenuh hati

biarkan lepas mengalir pergi

Dia sendiri penunjuknya

Mumbulsari, 21 Pebruari 2003

Jalan ke negeri asing

sajak : O’onk. F.

Bacalah dengan nama Allah

pemuda serta anjing lari memasuki gua yang gelap

sejak mereka mengenal segala tipu daya

setelah rupa – rupa kekejian berwajah bulan menggiurkan

raja dholim itu mengejar mereka hingga ke pelosok negeri

seorang penguasa yang mengira kesejahteraan mereka semata – mata karunianya

maka, ia memaksa mereka menyembah kepadaNya

Pemuda serta anjing terus lari memasuki gua yang gelap

gelaplah mata raja memandang mereka

sedang petunjuk Allah

menidurkan mereka tiga ratus sembilan tahun lamanya

menerbitkan matahari miring ke arah kanan

dan ketika terbenam dilampaui gua mereka ke sebelah kiri

aduhai kiranya, gelaplah pemandangan mata raja

tidur mereka di dalam gua

iman membebaskan

mata yang memperlihatkan keperkasaan

bacalah, dengan nama Allah

Pemuda serta anjing memasuki gua yang gelap

adalah pemuda penentang kedholiman

kita di tempat persembunyian

oleh hidup hari ini seumpama hujan lebur serta tanah

tumbuh – tumbuhan mulai menghijau

tetapi kering kala kemarau

daun – daun berguguran

dan lenyap diterbangkan angin

pandanglah gua itu

batu – batu saling bertindih

matahari cahayanya

gelap kasat mata fana.

pandanglah tidur mereka

masa amat panjang

waktu melupakan segala tipu daya

hidup hari ini

kejaran raja yang dholim

pandanglah bagaimana Allah membangunkan tidur mereka

tiga ratus sembilan tahun bagaikan setengah hari

setelah harta mereka tak berguna

setelah mereka tak kenal siapapun

setelah pemandangan raja hanya mimpi tidur mereka

dan raja mereka telah lama mati

adakah engkau mengira

bahwa penduduk dan batu bersurat,

suatu tanda kami yang ajaib

Bacalah dengan nama Allah

mari terus berlari memasuki gua yang gelap

negeri – negeri asing

kediaman nenek moyang kita yang terpelihara

hingga saatnya tak ada kenal kita

bukankah kahfi bagi kita

bagi setiap pandangan hari esok

Jember, 6 Juni 1992

Hilang

sajak : O’onk. F.

Demikian rupaku dalam cahya bulan

tak sekali – kali bagai aku

tak sekali – kali bagai apapun

kecuali cahya itu senantiasa semakin menghidupi.

Hanya luka memar mewarna tubuh sang pejalan

bahkan sakit telah melipat gandakan pedihnya, serta

sejak pertama kaki melangkah.

Sungguh aku temui dalam cahya bulan

kendaraan yang mati itu, unta tunggangan Musa yang hilang

waktu merangkai madah penantian kekasih,

olehNya. Tulang – tulang berpencaran

atas batu dihimpun dihadapkan. Hidup

bagai semula

pengembara pulang kampung demi kampung.

Demikian rupaku dalam cahya bulan

tak sekali – kali bagai aku

tak sekali – kali bagai apapun

hanya gelisah mengejar rupa

yang hilang di tanah lapang

diantara peristiwa kemanusiaan

di tengah ladang pembaharu yang durhaka

di atas percakapan para raja.

Demikian rupaku dalam cahya bulan

tak sekali – kali bagai aku

tak sekali – kali bagai apapun

kecuali bayangan Adam mencari Muhammad

di rumah anak cucunya.

Demikianlah. rupaku tak henti kucari.

setelah duapuluh tahun kucari ia

dan luka kubawa serta

menjelajah malam bagai perahu,

ada kisah sunyi membawa rupaku

ke dalam rumah – rumah kuno ia menghantar

ruang luas tak bagai apapun

di sana rupaku bertemu rupa

rupa yang hilang

sendiri menangis di kamarnya

sembari menghimpun satu per satu pecahan cermin.

Maka, di laut kuhalau badai

demi rupa tergenang atas air

Probolinggo, 21 April 1984

Hari ini

sajak : O’onk. F.

Dari jendela ini

pandangku hutan belantara itu

padang rumput yang hijau.

walau hujan betapa lebatnya

senyum itu tetap mesra.

dan apa kataku kepada tutur sapa yang renta

kepada usia yang datang

Hai kudaku !

akan kupacu engkau ke hutan itu

hingga kukenali lembah ngarai

harimau dan gua

seperti kenalku kepada rusa yang beranak pinak di sana

antara semak belukar

Hai kudaku !

akan kupacu engkau ke hutan itu

hingga engkau beranak – pinak di sana

atau kumangsa engkau

bila datang saatnya lapar

sebab di hutan peristiwa waktu tak pasti

sebab matahari terhalang bebukitan

dan mataku telah lama luka

sejak kecil pandangku- mulai

sebab matahari terhalang bebukitan

antara rindang dahan yang lembab.

Dari jendela ini

pandangku hutan itu

padang rumput yang hijau

walau aku tahu

namun senyum tetap mesra

dan apa kataku kepada ingatan yang menyapa

kepada masa kanak – kanak

kepada perjalanan yang getir

kepada air mata bunda

“Selamat tinggal muara

dan terima kasih atas hantarmu”.

aku tetap berjaga

Mumbulsari, 1 Januari 1984

Hanya kesadaran yang kumiliki

Sajak : O’onk. F.

Selembar kertas di atas meja

ingin kutulis kisah

tentang Tuhan

yang menjebakku ke dalam ruang pemukiman

tempat orang – orang terpelihara

Seperti membaca aku berkisah

seperti mengeja aku terbata – bata

tentang pertemuanku

di rumah – rumah para nabi - dalam Al-Qur’an

dan kesadaranku

hanya dapat menandai

kapan aku tidur dan terjaga

hidup ini berjalan tanpa aku tahu

namun aku yakin dalam sadar

ke jalan mana Tuhan mengarahkan aku

kecuali itu yang dapat kumiliki

Ketika aku menulis kisah ini

aku dalam kesendirian

kawan – kawan

sanak kerabat

bahkan istri dan anak – anakku

berjarak pandang dari tempatku diam

sendiri aku

dalam keramaian

Mumbulsari, 21 Pebruari 2003

Duka seorang Ibu

sajak : O’onk. F.

Ibu...

bagi siapa tangismu di malam hari

saat ayam jantan menggembangkan bulunya

kokoknya landai meneriaki malam.

Mengapa mesti begitu?

cintakah itu atau harapan telah putus.

Dongeng seorang jenderal anak petani

dan mandor itu memberimu seekor kelinci.

Setiap malam, setiap akan tidur kau membujukku.

Wajahmu malam itu bagai bulan tenggelam di laut

asin oleh lumut.

Mataku yang kecil, mata kanak-kanak

hanya melihatmu seorang ibu,

Aku mulai lelap di sela- sela payudaramu yang kempis

Amboi... manisnya.

Ibu...

Sejak kau kenalkan duka

mimpiku memanah bulan dari ladangku yang kering

tapi jawabmu, “hanya petualang kehilangan rimba atas tanah semarak ramai”.

Setiap pengemis tua itu menyeberangi lapangan

dan selalu berhenti di bawah pohon randu, halaman rumah kita

kau memanggilku dari balik jendela.

Aku yang sembunyi di sudut pagar bambu antara bunga warna-warni

mengintai wajah tua yang muram itu, hutan belantara.

Pengemis tua itu tersenyum padaku bagai seekor harimau lapar

tanganku yang mungil menggigil

suaramu yang parau masih memanggilku

dan mataku yang kecil, mata kanak-kanak

mengenali matamu yang kelam antara warna renda jendela

Tak kulupa kata-katamu, “Bunga – bunga itu jangan diinjak, aku tanam

sejak kau belum ada dan tumbuhnya menunggu hujan turun”

Aku merajuk pilu di pelukanmu di sela – sela payudaramu yang kempis

Amboi... manisnya

Dari celah ketiakmu kulihat pengemis tua itu kembali menyeberangi lapangan

antara kambing – kambing yang tak putih lagi bulunya

antara gerombolan kerbau yang tak diikat sehelai tamparpun

berkeliaran di sana.

Pikirku pikiran kanak – kanak selalu bertanya ,

“Mengapa pengemis tua itu tidak menjadi jendral?”

dan setiap itu hasratku malam

saat ayam jantan mengembangkan bulunya

kokok landai yang meneriaki malam

waktu ibu mendongeng membujuk tidurku

malam waktuku lelap di sela-sela payudaramu

mimpiku pengemis tua itu

membawaku pergi jauh kerumah kecil

seorang istri dengan anaknya menyambutku riang

seperti telah mengenal wajah itu dan aku telah biasa memanggili namanya

jendela di sudut rumah tak kulihat warna renda

tidak seperti renda jendelaku selalu dihias rapi

setiap hari ibu memanggilku dari sana dengan kata-kata yang kuhafal

malam, mimpiku pengemis tua itu.

saat ibu menangis lagi.

bagi siapakah itu?

kecuali mata air yang kering atau telah keruh hingga ke hilir

atau bagi laki – laki di kampung kita yang mengaji hanya atas kuburan

leluhurnya atau hanya duka.

Mumbulsari, 19 Juni 1992

Cahaya hati___

sajak : O’onk. F.

Tabir malam gelap gulita

percikan cahaya di sana

bergerak dari arah terpencil

melerai gelap

lalu kabut berpencar menepi

Bagai lorong panjang

percikan cahaya perlahan mendekat

menerangi ribuan domba-domba kedinginan

berhimpit berdesakan

berebut arah terdepan

bulan purnama

tertidur di pangkuan Tuhan

merajuk pilu dan merayu

Mumbulsari, 25 Pebruari 2003

Bayangan masa tua

sajak : O’onk. F.

Orang tua itu

kakek yang melambaikan tangan

berdiri di bawah pohon

bayang – bayangnya

rebah di hamparan pasir

panas yang membakar

Aku berjalan di tepi buritan

memandang tegak

berjalan kencang

aku akan ke sana

tidurkan pulas genta rebana

ini hari sudah waktunya

Orang tua itu

kakek yang melambaikan tangan

menandai bayang – bayangnya di hamparan pasir

gambar besar serupa dirinya

aku akan ke sana

tidurkan pulas genta rebana

ini hari sepi sekali

Mumbulsari, 19 Pebruari 2003

Anak adalah gambar kita

sajak : O’onk. F.

Bulan purnama itu

memantulkan bayangan kita

wajah kita yang asing

rupa purba

Dan anak – anak kita yang lahir

memantulkan bayangan

rupa kita sendiri

di masa silam

serupa

rupa jalan kita

Demi

Tuhan sengaja memperuntukkan

segala yang hilang di masa silam

gerak laku kita

kembali . . .

lewati wajah dan gerak anak – anak kita

Demi

Tuhan sengaja memberi

kesempatan bagi kita

untuk membaca

buku harian kita terdahulu

dan segera

membayar hutang kita terdahulu

Mumbulsari, 21 Pebruari 2003

Menunggu takdir

sajak : O’onk. F.

Berapa lama lagi Tuan

aku harus menunggu

“Atau akan segera kusaksikan perang yang besar”

Berapa lama lagi Tuan

aku harus menunggu

“Sebentar lagi istriku

melahirkan ribuan anak – anaknya yang lucu”

aku butuh segera

jangan Tuan

jangan Tuan ajarkan permusuhan diantara mereka

Kurawa dan Pandawa

sudah cukup bagiku

Berapa lama lagi Tuan

aku harus menunggu

aku butuh segera

sebentar lagi

matahari terbenam

dan kelelawar beterbangan

pertanda hari sudah sore

Mumbulsari, 19 Pebruari 2003

Kepada anak – anakku

yang bermain di waktu sore

sajak : O’onk. F.

Di jalan ini, di atas batu

kita berdiri tegak wahai istriku

mati memandang, kakek moyang kita

Ibrahim meninggalkan Ismail dalam pelukan ibunya (Siti Hajar)

diantara lembah sofa dan marwa

dalam waktu yang sangat panjang,

Musa di atas Tursina

membelah gunung menangkap Nur,

Zakariyya menghimpun waktu

demi Maryam yang mengandung, di rumah Tuhan

Di jalan ini, di atas batu ini

kita berdiri tegak wahai istriku

di tengah persimpangan jalan ini

dulu . . . Ismail dan Ishaq berpencar

mari memandang

anak – anak yang datang menyerta kita kemari

para pendaki itu, berilah jalan ke bukit

sedang bagi mereka yang menahan pandang

cukup kita ucapkan salam sejahtera saja.

Di jalan ini, di atas batu

berdiri tegak wahai istriku

hingga kita lahirkan anak – anak

penunggang kuda yang lincah dan bijaksana

pemain pedang yang gagah perkasa

pemanah yang ksatria

lalu . . . kita lepas mereka

biarkan menjemput Ya’kub yang bersembunyi di balik gunung

sudah lama ia menahan rindu untuk pulang

atau

mengejar Sulaiman yang bertamu ke rumah Tuhan

menemani ismail menjaga zam – zam

Mengikuti Nuh mengacau badai

namun . . .

kalau saja nanti, malam menjelang tiba

tak satupun diantara mereka

berdiri di pintu syurga

pasti . . . kutagih janji

hai . . . malam

inginku tahu, di mana anakku . . .

o . . .

sampan

berayun gejolak ombak

masihkah di situ wahai anakku

pulang . . . pulang . . .

pintumu sudah kubuka

atau begini saja wahai istriku

tetaplah kamu bersaksi di sini

aku akan segera pulang menuju malam

Mumbulsari, 14 April 1999

Kata – kataku_

sajak : O’onk. F.

Bicaralah, saudaraku !

dari hati

Kulepas, ia pergi

kemana suka

bulan menggiring, semua mata

memandang.

kulepas, ia pergi

tak perlu sembunyi

kataku tak bersekongkol

lepas, pergi

tanpa pasukan

bagi siapapun

aku menyerang

Mumbulsari, 29 Desember 1983

Dimana kita diam

sajak : O’onk. F.

Pada matahari pagi

bertemu mata memandang

kemana kulepas harapan

kebajikan ataukah kebodohan paling depan

tangis berpeluk duka di relung dalam, saksi

mulai, manusia bertebaran

Gunung atau laut di bawah kaki kita,

ataukah harapan tempat duduk kita ?

Kecuali

bila matahari telah tenggelam

ribuan kelelawar terbang mengganti kehidupan

gugurlah orang – orang yang merugi, rebah

sia – sia.

Lalu, bagi siapa malam ?

Apakah waktu itu

orang – orang yang malang tetap menangis

fakir miskin masih mencari makan

si Yatim berdoa dalam kegelapan

ataukah diantara kita

berpesta merayakan kemenangan.

Malam terbentang luas

luas sekali, hingga tak bertepi

matahari berputar di bawah kaki kita

dan bulan

tunduk bagai cermin

memantul bayang – bayang kita

malaikat bergerak di langit

dari planet ke planet

bumi merangkum nyanyi sunyi

berucap salam padaNya

demi orang – orang saleh menangis

demi anak – anak di ujung jaman

demi waktu.

Lalu, bagi siapa esok kembali ?

berkali – kali aku memandang jaman

di ujung sekali aku melihat,

nyatalah badan

segera

perang aku mulai

Mumbulsari, 1 Januari 1984

Di depan akal

sajak: O’onk. F.

Kubaca suratmu, Muhammad

tak sekali Dia menyebut namamu, kecuali Aku

hanya awal hingga akhir perjalanan

diterangkan seterang – terangnya

kepadaku

dirujukkan kisah itu

berulang – ulang seterusnya

kejadian di depan kita sampai ke penghujung jaman

tak satupun hal baru.

Kubaca suratmu, Muhammad, jelas

maka, bertanyalah kepadaku

tentang awal, kini dan akhir

akan terang bagimu

jaman apa sedang berulang kepada kita

lalu, bagi siapa malapetaka ?

Orang yang lahir, hidup, kemudian mati,

selalu diantara sebab dan akibat

jika begitu

dimana bertaut usia kita?

Jika bukan siang, malamkah Aku

pagi bukanlah awal

dan sore tidaklah akhir

Hanya kepada waktu kita bertanya

tak semua perbuatan bisa menjawab,

kemudian

masihkah bertanya itu, wahai saudaraku

jika masing – masing tak bisa menyebutnya Aku.

Kubaca suratmu, Muhammad, jelas

orang – orang mulia diasingkan

kata yang benar tak boleh dibentangkan

titah seorang pemberani dipatahkan

jika begitu

masihkah bertanya malapetaka jaman, wahai saudaraku!

“Nuh ! beritakanlah kepada mereka,

istri dan anakmu tenggelam dalam banjir besar”.

Mumbulsari, 3 Nopember 1987

Bertamu ke rumah Tuan Salendro

sajak : O’onk. F.

Kekasihku

rumah baruku di negeri asing

lama tak jumpa

sejak kau kenal akal budi

sejak orang – orang bersepakat tentang norma – norma

sebelum itu kau masih bisa berteriak di mana saja

kau berani mengencingi matahari

kau minum air susu ibumu

kapan saja kau mau

tak ada yang marah . . . tak ada sangsi

justru keindahan cinta kasih

senantiasa tersaji dalam kerelaan

sebelum kau mau

Sekarang setelah kau kenal akal budi

kemesraan itu dirampas Tuan Salendro

dibawanya lari . . . ke negeri asing

ke rumah baru berpintu baja

lama aku tak bertemu

rasa rinduku akan kasihmu

dalam bayang – bayang cinta

Kau ketuk pintu baja

kau terjang pintu baja

roboh sudah terbuka

kekasihku dalam rindu menguasai diri

kebebasan itu kembali menjadi milikmu

di rumah kekasihmu yang baru

di negeri asing

tak ada yang kau pinta

semua kaudapatkan sebelum kau mau

betapa tegar dirimu

betapa kemenangan ini benar-benar berarti

Tuan Salendro

rumah baru berpintu baja

di negeri asing

roboh sudah terbuka

selamat datang kekasihku

di rumah baru kau bersamaku

Tuan Salendro

ajarkan hidup tanpa ketakutan

di sini tidak ada rakyat

tidak ada babu

tidak ada pecundang

tidak ada maling

tidak ada penjilat

tidak ada budak

semua adalah raja

Tuan Salendro

di rumah baru berpintu baja

roboh sudah terbuka

di negeri asing semua adalah raja

berdiri memicingkan mata

memandang hidup menandai musim

tak ada cemas

namun hanya sedikit orang

yang berani menembus negeri asing

yang berani hidup bersamaku

bersama Tuan Salendro

Mumbulsari, 15 Februari 2004