al-iman: jurnal keislaman dan kemasyarakatan vol. 4 no. 1. 2020 · 2020. 3. 26. · al-iman: jurnal...

21
22 42: Lailul Ilham Page 22 AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 4 No. 1. 2020 MITOS WRINGIN SEPUH DALAM KAJIAN ISLAM Lailul Ilham [email protected] Abstract One of the myths that developed in the Yogyakarta Kotagede community, this myth is still believed, preserved, and implemented by local people. The old wringin mythical rituals are performed by people with diverse religious backgrounds, including by a variety of Muslim communities in Kotagede. This fact is an important reason for a study of the myth of aging, because its existence can be accepted and carried out by people with different religious backgrounds. Does the old wringin myth have universal values so that they are respected by the public or full of rituals and beliefs that do not violate the basic principles in certain religions, Islam. Based on these facts, research and explanations related to the myth of wringin senuh are needed to get the facts Abstrak Wringin sepuh merupakan salah satu mitos yang berkembang di tengah masyarakat Kotagede Yogyakarta, mitos tersebut tetap dipercayai, dilestarikan, dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Ritual-ritual mitos wringin sepuh dilakukan oleh masyarakat dengan latar belakang agama yang beragam, termasuk oleh mayoritas masyarakat muslim Kotagede. Fakta tersebut menjadi alasan pentingnya dilakukan kajian terhadap mitos wringin sepuh, sebab eksistensinya dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Apakah mitos wringin sepuh memiliki nilai-nilai universal sehinggga diterima halayak umum atau secara ritual dan kepercayaan tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam agama-agama, khususnya agama Islam. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan penelitian dan penjelasan terkait mitos wringin sepuh secara komprehensif untuk diperoleh fakta-fakta adan alasan mengapa kasus tersebut tersebut dapat terjadi. Keyword: Mitos, Wringin Sepuh, Kajian Islam

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 22

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    MITOS WRINGIN SEPUH DALAM KAJIAN ISLAM

    Lailul Ilham

    [email protected]

    Abstract

    One of the myths that developed in the Yogyakarta Kotagede community, this

    myth is still believed, preserved, and implemented by local people. The old

    wringin mythical rituals are performed by people with diverse religious

    backgrounds, including by a variety of Muslim communities in Kotagede. This

    fact is an important reason for a study of the myth of aging, because its existence

    can be accepted and carried out by people with different religious backgrounds.

    Does the old wringin myth have universal values so that they are respected by the

    public or full of rituals and beliefs that do not violate the basic principles in

    certain religions, Islam. Based on these facts, research and explanations related

    to the myth of wringin senuh are needed to get the facts

    Abstrak

    Wringin sepuh merupakan salah satu mitos yang berkembang di tengah

    masyarakat Kotagede Yogyakarta, mitos tersebut tetap dipercayai, dilestarikan,

    dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Ritual-ritual mitos wringin sepuh

    dilakukan oleh masyarakat dengan latar belakang agama yang beragam, termasuk

    oleh mayoritas masyarakat muslim Kotagede. Fakta tersebut menjadi alasan

    pentingnya dilakukan kajian terhadap mitos wringin sepuh, sebab eksistensinya

    dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan latar belakang agama

    yang berbeda-beda. Apakah mitos wringin sepuh memiliki nilai-nilai universal

    sehinggga diterima halayak umum atau secara ritual dan kepercayaan tidak

    menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam agama-agama, khususnya agama Islam.

    Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan penelitian dan penjelasan terkait mitos

    wringin sepuh secara komprehensif untuk diperoleh fakta-fakta adan alasan

    mengapa kasus tersebut tersebut dapat terjadi.

    Keyword: Mitos, Wringin Sepuh, Kajian Islam

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 23

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Pendahuluan

    Mitos merupakan satu entitas yang sangat dekat dengan masyarakat,

    khususnya masyarakat jawa secara umum atau masyarakat Yogyakarta pada

    khususnya. Mitos tidak hanya menjelma cerita-cerita mistik yang dipercayai,

    mitos juga berpengaruh terhadap praktik-praktik atau tindakan sosial masyarakat.

    Mitos menjelma aturan-aturan sebagaimana aturan agama dan norma susila, yang

    menentukan batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui oleh masyarakat

    dengan kepercayaan-kepercayaan tertertu yang sebenarnya sulit diterima akal,

    namun jika dilanggar maka akan mendapat sangsi sosial di tengah lingkungannya.

    Fenomena mitos di tengah masyarakat menunjukkan fakta-fakta yang

    semakin meneguhkan bahwa eksistensi mitos tidak hanya menjadi kearifan local

    yang selesai pada tataran cerita, konsep kehidupan, atau berupa keberadaan situs

    sejarahnya.Namun jauh dari hal tersebut, eksistensi mitos memberikan tretmen

    dan solusi-solusi tersendiri dalam berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi

    masyarakat.Sehingga tidak jarang ditemukan kasus satu kelompok masyarakat

    yang tidak mudah melakukan tindakan tertentu, terutama tindakan-tindakan yang

    menyalahi norma susila dan adat istiadat karena dianggap menyalahai mitos yang

    dipercayai. Dalam wakta tersebut menjadi semakin tampak bahwa eksistensi

    mitos juga menjadi control bagi tindakan-tindakan masyarakat sehingga akan

    tercipta kondisi sosial yang harmoni dan manusiawi.

    Selain yang tersebut di atas, dalam banyak kasus ditemukan bahwa mitos

    juga menjadi sarana masyarakat dalam menunjukkan perilaku-perilaku religiusitas

    dan spiritualitasnya, atau ritual-ritual tertentu dilakukan sebagai media dalam

    menghubukan dirinya dengan Tuhan yang maha esa atau menghubungkan dengan

    para dewa dan roh-roh luluhur (dalam kepercayaan tertentu). Argument tersebut

    dapat disandarkan pada fakta sejarah persebaran kepercayaan Animisme dan

    Dinamisme serta agama-agama di Nusantara dan secara spesifik agama Islam,

    bagaimana proses islamisasinya dilakukan secara akulturatif yaitu dengan

    memasukkan nilai-nilai keislaman dengan tidak menghapus atau menghilangkan

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 24

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat setempat. Sehingga menjadi lumrah jika

    banyak ditemukan kebudayaan atau adat istiadat masyarakat yang sekaligus

    benyak mereduksi nilai-nilai atau prinsip-prinsip keislaman. Maka menurut

    sebagai masyarakat melestarikan adat istiadat merupakan cara masyarakat dalam

    menunjukkan identitas kebudayaan dan keislaman sekaligus.

    Praktik Islam di Nusantara menggambarkan cara masyarakat memaknai

    agama sebagai suatu yang penting dan sakral, yang disetarakan dengan nilai-

    tradisi yang diwariskan leluhur, dan telah menjadi bagian dari tata cara hidup

    masyarakat. Pemaknaan ini menjadikan praktik agama saling mewarnai dengan

    praktik tradisi yang berasal dari ajaran leluhur, etika sosial, mistis, dan praktik

    magis, kemudian menjadi praktik religi yang khas.Percampuran tersebut menurut

    Van Bruinessen dianggap sebagai bentuk fleksibelitas Islam Nusantara sehingga

    dapat berbaur dengan pengaruh-pengaruh baru dan kulturserta religi yang

    masyarakat setempat, yang kemudian dilakukan modifikasi berdasarkan

    perubahan zaman.1

    Secara umum setiap suku atau masyarakat memiliki praktik kolaboratif

    terkait kepercayaan lokalnya terhadap agama Islam.Menurut Frazer yang

    membedakan antara agama dan religi adalah religi yang bersifat politeisme dan

    agama bersifat monoteisme.2Sikap mudah menerima ajaran baru dan

    berkolaborasi dengan kepercayaan lama yang dipraktikkan, kemudian disesuaikan

    dengan perkembangan zaman,menjadi karakter masyarakat dengan Nusantara.

    Pola pembentukan agama yang akomodatif ini, membentuk wajah islam Indonesia

    yang khas, lebih dikenal sebagai Islam Nusantara, yang berbeda dengan Islam

    Arab, Islam Afrika, dan Islam Eropa. Menurut Purwadi sikap ini disebut sebagai

    “nut jaman kelakone”, artinya pola modifikasi dan akomodatif ini sesuai dengan

    tuntutan zamannya.3

    1Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),

    hlm. 45 2Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah.., hlm. 46

    3Purwadi, Da’wah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural,

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 45

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 25

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Sebenarnya telah banyak dilakukan penelitian-penelitian terkait hubungan

    Islam dengan lokalitas termasuk dengan kearifan lokal dan budaya-budaya

    masyarakat setempat.Dalam perkembangannya penelitian tersebut kemudidan

    dikenal dengan istilah Islam Singkretis, yaitu penelitian yang secara spesifik

    mengkaji keislaman dan kebudayaan.Walaupun obyek kajiannya sama-sama

    dalam kajian keislaman dan kebudayaan namun jika dikontekskan pada

    masyarakat atau suku yang berbeda, maka hasilnya juga beragamam, unik, serta

    dengan corak keislaman yang khas.Kemudian pada penelitian ini penulis akan

    menguraikan kajian mitos wringin sepuh kaitannya dengan bagaimana masyarakat

    muslim Kotagede mempersepsikan mitos tersebut serta bagaimana masyarakat

    menjalankan laku keislaman dan kebudayaan sehingga identitas keislaman dan

    kebudayaan dalam mitos wringin sepuh terlihat saling menguatkan dan menjadi

    satu kesatuan yang utuh.

    Sosial Keagamaan Masyarakat Kotagede Yogyakarta

    Kotagede merupakan daerah dengan penduduk mayoritas Muslim dan

    masih memegang atau menjalankan tradisi-tradisi kejawen yang diwariskan

    leluhurnya.4 Fenomena tersebut menunjukkan kesesuaian ajaran-ajaran islam

    dengan tradisi kejawen atau dengan tradisi animisme-dinamisme sehingga dalam

    perkembangan keislaman masyarakat Kotagede tidak menghilangkan tradisi-

    tradisi lokal yang pernah dilestarikan oleh masyarakat sebelumnya. Kasus di atas

    sesuai dengan pemikiran Mircea Eliade yang menyatakan bahwa mitos

    merupakan salah satu unsur utama agama, yang juga merupakan salah satu

    kategori pemikiran studi agama,5 berangkat dari dasar teoritik tersebut menjadi

    logis jika keberagamaan masyarakat Kotagede berbanding lurus dengan

    perhatiannya terhadap tradisi kejawen, Animisme-Dinamisme, atau terhadap hal-

    hal mistik termasuk mitos-mitos yang ditinggalkan nenek moyang masyarakat.

    4 Data wawancara bersama bapak Warisman, warga Desa Jagalan seligus takmir Masjid

    Gedhe Mataram Kotagede. Saat ditemui di teras Masjid Gedhe, pada hari Senin, 25 Februari 2019,

    jam 10.00. WIB. 5Susanto Hary, P.S, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius,

    1987), hlm. 42.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 26

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Sehingga masyarakat Kotagede menjadi masyarakat muslim yang sekaligus tidak

    meninggalkan kepercayaan dan tradisi para leluhur.6

    Kotagede merupakan daerah dengan penduduk mayoritas muslim dan

    masih memegang atau menjalankan tradisi-tradisi kejawen yang diwariskan

    leluhurnya.7 fenomena tersebut mengindikasikan sinergisitas antara ajaran agama

    islam dengan tradisi kejawen atau dengan tradisi animisme-dinamisme sehingga

    dalam perkembangan keislamannya masyarakat Kotagede tidak menghilangkan

    tradisi-tradisi lokal yang pernah dilestarikan oleh masyarakat sebelumnya.

    termasuk diantaranya adalah kepercayaan terhadap hal-hal mistik atau mitos-

    mitos yang dipercayai dan diyakini sebagai suatu kebenaran yang mesti

    diperhatikan, dipatuhi, dan diletarikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

    Dalam konteks masyarakat Jawa atau Yogyakarta pada khususnya, mitos

    bukan merupakan hal baru karena warga Yogyakarta merupakan masyarakat yang

    dekat dan familier dengan mitos-mitos. Diantara beberapa mitos yang

    berkembang di tengah masyarakat dan khususnya di area Makam Raja-Raja

    Mataram Islam antara lain:mitos Wringin Sepuh, Lele Reges, Dhondhong,Sendang

    Seliran, dan mitos Watu Gilang.8 Secara umum mitos-mitos tersebut mendapat

    tempat tersendiri di tengah masyarakat sehingga kepercayaan terhadap mitos,

    ritual-ritual, dan pelestarian situs-situs (mitos) tetap dipertahankan hingga

    sekarang.

    Kemudian sebagaimana masyarakat tradisional pada umumnya, warga

    Yogyakarta sangat merawat tradisi-tradisi dan warisan para leluhurnya. Realitas

    tersebut dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat berhubungan dengan

    hal-hal tertentu, seperti kepercayaan terhadap sakralitas situs-situs, benda-benda,

    tempat-tempat, mitos serta ritual-ritual tertentu. kemudian juga bagaimana

    masyarakat memiliki keterikatan kepercayaan terhadap momen-momen tertentu

    6Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa (Yogyakarta:

    Bentang Budaya, 2002), 120. 7 Data wawancara bersama bapak Warisman..., Senin, 25 Februari 2019, jam 10.00. WIB.

    8 Lailul Ilham, Mitos Sendang Seliran dan Perilaku Sosial Masyarakat, Tesis. UIN.

    Sunan Kalijaga Yogyakata, 2019, hlm. 4-9

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 27

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    sehingga dilakukanlah upacara, seperti upacara kehamilan, pernikahan, kelahiran,

    dan upacara kematian. Upacara tersebut menjadi bukti adanya keterikatan kuat

    antara masyarakat dengan leluhurnya, sehingga melaksanakan dan merawat

    warisan nenek moyang merupakan sebagai bagian dari cara masyarakat dalam

    menunjukkan penghormatan dan kepatuhan terhadap leluhurnya.

    Berdasarkan gambaran di atas tampak situasi sosial dan keagamaan

    masyarakat berkaitan erat dengan hal-hal mistik, keduanya saling mempengaruhi

    dan melengkapi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. identitas sosial,

    keagamaan, dan mistisisme masyarakat memberikan kontribusi masing-masing

    dalam membentuk tatanan sosial masyarakat yang khas yaitu beragama namun

    tidak menghilangkan tradisi leluhur sehingga melahirkan corak keberagamaan

    yang unik yaitu cara beragama yang masih sarat dengan identitas leluhur.

    Terjadinya akulturasi agama Hindu-Budha menjadi warna tersendiri bagi wajah

    islam di Kotagede, seperti adanya ritual-ritual kebudayaan tertentu yang sarat

    dengan nilai-nilai ajaran Islam. sebagaimana kasus tradisi Nahwu Sendang yang

    praktik pelaksanaannya sebagian besar menyerupai ritual-ritual animisme-

    dinamisme seperti mengahdirkan bunga-bunga, kemenyan, dan dupa. Namun

    bacaan-bacaan yang dilafalkan selama pelaksanaan ritual sarat dengan nilai

    keislaman yaitu membaca solawat, fatihah, dzikir (lafdul jalalah), dan bacaan

    dzikir lainnya.

    Diskursus Mitologi

    Terminologi mitos berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Muthos

    (mite/myth) berarti ucapan,9 dalam kamus bahasa Indonesia mitos didefinisikan

    sebagai cerita zaman dahulu yang memuat cerita para dewa atau asal-usul alam

    semesta, sarat dengan nilai-nilai dan digambarkan dengan cara ghaib. Kemudian

    pemahaman mitos yang berkembang di masyarakat diartikan sebagai satu cerita

    yang memuat peristiwa yang cenderung tidak ilmiah/irrasional namun tidak

    9Moh Soehadha, Fakta Dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi

    (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 93.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 28

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    membutuhkan bukti kritis, yang diyakini oleh masyarakat sebagai sebuah

    kebenaran, dan mitos muncul bersama dengan nilai moralitas. Moralitas yang

    dimaksud adalah beberapa anjuran dan pantangan yang mesti diperhatikan dan

    dipatuhi oleh mayasrakat.

    Beberapa ahli berpendapat bahwa manusia sebagai individual atau

    kelompok tidak dapat hidup tanpa mitos (mitologi) sebab keduanya memiliki

    hubungan simbiosis. Eksistensi masyarakat ditentukan oleh eksistensi mitos dan

    sebaliknya, terlebih mitos dalam aspek mistisisme dan religiusitas. Kemudian para

    ilmuan sosial dan antropologi mencoba menjelaskan mitos dalam berbagai aspek,

    mulai dari definisi, cakupan, dan fungsi eksistensi mitos terhadap kondisi sosial

    masyarakat. Kemudian mereka memberikan satu kesimpulan bahwa mitos

    merupakan suatu komponen yang sangat dibutuhkan manusia dalam

    mengidentifikasi eksistensi dirinya, dan mencari kejelasan alam lingkungan serta

    sejarah masa lalu (tradisi nenek moyang).10

    Kemudian Suyamto menjelaskan ciri utama budaya Jawa, yaitu: religius,

    non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik. Ciri utama tersebut melahirkan

    corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi orang Jawa, antara lain: a) Percaya

    kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sangkan paraning dumadi dengan segala

    sifat, kekuasaan, dan kebesaran-Nya. b) Bercorak idealistis, percaya kepada

    sesuatu yang immateriil dan adikodrati serta cenderung ke arah mistik. c) Lebih

    mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual. d) Mengutamakan

    cinta–kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. f) Percaya pada

    takdir dan cenderung bersikap pasrah. g) Bersifat konvergen (menyatu), universal

    dan terbuka. h) Non sektarian. i) Cenderung pada simbolisme. j) Bersikap gotong-

    royong, guyub dan rukun. k) Tidak fanatik. l) Luwes dan lentur. m)

    Mengutamakan rasa dari pada rasio. n) Kurang kompetitif dan kurang

    mementingkan materi.11

    10

    Humaeni Ayatullah, “Makna Kultural Mitos Dalam Budaya Masyarakat

    Banten,”Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 33 No. 3 (2012): 159–180. 11

    Suyamto, Refleksi Budaya Jawa Dalam Pemerintahan Dan Pembangunan (Semarang:

    Dahara Prize, 1992), hlm. 136–138.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 29

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Berdasarkan ciri khas budaya Jawa tersebut semakin terlihat bahwa agama

    dan budaya merupakan dua hal berbeda namun sarat muatan nilai yang sama.

    Sebagaimana agama, mitos identik dengan ritus-ritus yang menampung

    seperangkat simbol yang sarat dengan nilai-nilai perayaan, penghormatan,

    kepatuhan, penghargaan, dan kekhidmatan. Ritual-ritual agama cenderung berasal

    dari ajaran dan sistem normatif agama itu sendiri, namun ritual mitos tidak

    (normatif), sehingga wajar jika satu ritual hanya dilakukan oleh satu kelompok

    masyarakat tertentu dan hanya dipahami oleh sekelompok masyarakat itu sendiri.

    Secara umum ritual dilakukan dengan khidmat oleh para pemeluknya sebagai

    bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap mitos yang berkembang tersebut.

    Kebudayaan terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai

    sebagai hasil karya dari tindakan manusia.12

    Simbol tersebut berupa seperangkat

    sesaji dalam proses ritual tertentu sebagai manifestasi kepatuhan, penghormatan

    dan harapan para pelakunya kepada Tuhan. Sesaji sebagai bentuk negosiasi

    spiritual dengan yang supranatural dan juga sebagai upaya mendekatkan diri

    dengan Tuhan dan terhindar dari ganggung mahkluk halus. Pemberian sesaji

    kepada makhluk halus sebagai simbol perharapan supaya mahkluk tersebut jinak

    dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat, kemudian dilakukanlah

    penghormatan dalam bentuk ritual-ritual tertentu.

    Misal dalam masyarakat Jawa pada umumnya terdapat istilah

    Selametan.Ritual selametan merupakan suatu tindakan mistik yang dilakukan

    untuk mendapat jalan menuju sasaran yaitu Tuhan, ritual tersebut sebagai bentuk

    permohonan secara simbolik. kemudian Suwardi menyatakan bahwaSelametan

    merupakan aktivitas substansial dalam kegiatan masyarakat Jawa Abangan, selain

    kegiatan seperti upacara perjalanan, menyembah roh halus, upacara lingkaran

    hidup, cocok tanam, dan pengobatan yang semuanya berdasar pada kepercayaan

    terhadap roh (baik dan jahat).13

    12

    Budiono Heru Satoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha

    Widya, 2001), hlm. 9. 13

    Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme Dan Sufusme Dalam

    Budaya Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2004), hlm. 9–10.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 30

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Kajian-kajian mitos dalam aspek simbolik, menurut E.B. Taylor

    menyebutkan bahwa simbol mitos atau budaya umumnya terbagi tiga yaitu simbol

    religi, simbol tradisi, dan simbol kesenian.14

    Kemudian ekspresi ketiga simbol

    tersebut dikontektualisasikan dengan eksistensi mitologi masyarakat jawa

    kemudian melahirkan beberapa fenomena bahwa eksistensi ketiga simbol tersebut

    ditandai adanya pengaruh aliran animisme, bentuknya berupa salamatan,

    penyerahan sesaji, cegah dahar (disebut puasa dalam tradisi islam), serta

    penggunaan benda-benda magis. Bentuk pengaruh simbol religi dari agama

    Hindu-Budha berupa pemujaan kepada dewa-dewa, seperti Dewi Sri (dewi

    kesuburan), dewa Batara Kala (adik Batara Guru, pemangsa manusia), Nyi Roro

    Kidul (penguasa laut selatan), dan simbol religi yang dipengaruhi tradisi islam

    adalah tradisi perayaan maulid Nabi Muhammad SAW., yang disebut sekatenan.

    Menurut Simuh hal itu terjadi karena adanya budaya kejawen istana yang

    dipengaruhi oleh Hindu–Budha dan kejawennya wong cilik yang dipengaruhi oleh

    Animisme–Dinamisme dan setelah Islam masuk dan dipeluk oleh masyarakat

    Jawa, ajaran-ajaran Islam masuk dalam keberagamaannya.15

    Ketiga bentuk simbol

    tersebut sulit dipisahkan satu sama lain karena mengalami proses akulturasi dalam

    waktu yang terlampau lama, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

    Fakta di atas menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos terkait

    makna dan nilai-nilai mitos yang berkontribusi terhadap kelangsungan hidup

    masyarakat. Berangkat dari kepercayaan tersebut menunbuhkan

    perhatianmasyarakat terhadap mitologi yang berkembang di tengah-tengah

    mereka, sebab masyarakat yang mampu menghayati dapat memunculkan perilaku

    prososial, altruis, atau sikap-sikap positif lainnya sehingga masyarakat semakin

    merasakan adanya keterikatan dirinya dengan Tuhan dan lingkungan sebagai

    simbiosis kehidupan.

    14

    Edward Burnett Tylor, Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Tentang Agama,

    Terjemah Ali Nur Zaman (Yogyakarta: AL-Kalam, 2001), hlm. xx. 15

    Simuh, Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 66.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 31

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Penghayatan terhadap nilai-nilai mitos memunculkan sikap-sikap gotong

    royong, kesaling-pedulian, kedamaian, kesejahteraan, serta sikap yang

    menunjukkan kesadaran individu dalam relasi sosial masyarakat. Sehingga di

    tengah modernitas yang menunjukkan keterlepasan individu dari hal-hal di

    sekitarnya, termasuk pada lingkungan dan lebih-lebih pada sistem moral yang

    berlaku, berangkat dari kasus tersebut mitos menjadi penting dipertahankan oleh

    masyarakat sebagai pegangan dan kontrol terhadap sikap-sikap positif dalam

    menjalankan kehidupan sosial.

    Mitos Wrigin Sepuh

    Wringin Sepuh merupakan pohon beringin berukuran besar yang menurut

    cerita beringin tersebut ditanam langsung oleh kanjeng Sunan Kalijaga dan hingga

    saat ini pohon tersebut berusia sekitar setengah abad, dari itu pohon tersebut

    dijuluki wringin sepuh atau pohon beringin tua. Pohon beringin tersebut terletak

    di depan komplek pemakaman tepatnya di pintu utama sebelah timur. Setelah

    melewati pintu utama tersebut, di sebelah kanan dan kiri terdapat Bangsal yaitu

    bangunan terbuka tempat para tamu/pendatang beristirahat. Kemudian tidak jauh

    dari Bangsal, di sebelah selatan terdapat pohon beringin besar yang bernama

    wringin sepuh tersebut.16

    Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa pohon beringintersebut memiliki

    kekuatan tertentu yang dapat menjembatani atau menjadi perantara bagi kebaikan

    dan keselamatan masyarakat. Secara khusus mitos wringin sepuhlebih serig

    diidentikkan dengan keselamatan perjalanan, misalkan seorang warga hendak

    melaksanakan perjalanan jauh, baik perjalanan yang dilakukan untuk kebutuhan

    jangka pendek (sementara) atau jangka panjang, atau perjalanan dalam misi

    usaha/kerja, dan atau dalam perjalan apapun dengan catatan dalan urusan

    kebaikan. dalam momen tersebut biasanya masyarakat datang dan melakukan

    ritual tertentu berkenaan dengan pohon beringin tersebut dengan harapan

    16

    Lailul Ilham, Mitos Sendang Seliran dan Perilaku Sosial Masyarakat, Tesis UIN.

    Sunan Kalijaga Yogyakata, 2019, hlm. 4-9

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 32

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    memperoleh karomah berupa perantara diberikannya keselamatan oleh yang

    kuasa.

    Adapun prosesi pelaksanaan ritual berkenaan dengan usaha masyarakat

    dalam meminta perantara keselamatan terhadap wringin sepuh adalah orang yang

    bersangkutan atau yang hendak melakukan perjalanan dan atau diwakili oleh

    keluarganya yang lain datang ke area makam Raja-raja mataram, tepatnya di

    bawah pohon beringit tersebut. Kemudian mengambil dua bauh daun yang sudah

    jaut, yang posisinya tepat dibawah pohon (rimbun pohonnya), adapun dua daun

    tersebut adalah satu daun yang posisi jatuhnya terlentang dan satunya terkurap.

    Setelah dua daun tersebut diambil kemudian berdoa dalam hati meminta

    pertolongan dan keselamatan kepada Tuhan. kemudian daun tersebut dibawa

    dalam perjalanan menuju tujuan.

    Tindakan tersebut merupakan bagian dari perhatian masyarakat terhadap

    mitos yang berkembang di tengah mereka, kemudian melakukan ritual-ritual

    tertentu sebagai upaya memperoleh keselamatan dan pertolongan dalam berbagai

    usaha yang akan dilakukan. Setelah melakukan ritual tersebut dengan sendirinya

    akan memberikan efek positif kepada masyarakat khususnya efek dalam tatanan

    psikologis, yaitu masyarakat akan merasa lebih tenang dan pasrah kepada Tuhan

    karean telah melakukan ritual dan doa-doa yang diyakini akan menjadi perantara

    keselamatan dan kebenruntungannya dalam usaha yang akan dilakukan.

    Pembahasan

    Mitos dalam Kajian Islam

    Mitos merupakan suatu yang dikonstruksi atau diproduksi sendiri oleh

    masyarakat termasuk di tengah kehidupan masyarakat beragama, kemudian mitos

    tersebut juga menjadi sarana masyarakat dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran

    agama dan menunjukkan nilai-nilai religiusitas. Selain dalam ritual-ritual, mitos

    juga masuk dalam ruang-ruang yang bersifat ideologis dan kognitif, hal tersebut

    terbukti dalam beberapa kisah atau ajaran Islam yang termaktub dalam kitab suci

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 33

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Al-Quran.Secara kongkrit kasus tersbut dapat ditunjukkan dengan bagaimana

    Nabi menjelalakan suatu hal yang sifatnya ukhrowi dan tidak dapat dinalar secara

    akal kemudian ditegaskan secara riil berdasarkan kemampuan imaginasi Nabi

    dalam menjangkau hal-hal yang bersifat abstrak.

    Sebagaiana kasus munculnya hadist terkait kemulyaan air zamzam yang

    dijelaksan sebagai air yang berasal dari surga.17

    kemudian dalam sumber lain juga

    dijelaskan bahwa air zamzam merupakan air yang penuh berkah, air tersebut

    (dapat) mengenyangkan, serta dapat menyembuhkan penyakit.18

    Kedua penjelsan

    tersebut sama-sama berasal dari sabda Rasul yang sama-sama tidak terlepas dari

    kemampuan seorang Rasul dalam mengimajinasikan kemulyaan air zamzam.

    Namun satu yang perlu digaris bahwa kedua hadis tersebut atau termasuk jenis

    hadis yang lain, adakalnya hadist hadir sebagai representasi dari sebuah ajaran,

    atau sebagai aturan (pedoman hidup), namuan dalam kondisi lain hadis juga dapat

    muncul sebagai representasi daya khayali (imaginasi) Rasul, yang kemudian dapat

    disebut sebagai mitos.19

    Kemudian dalam kisah lain yang bernuansa mistis berasal dari cerita pada

    masa sahabat dan tabi’in, dikisahkan seorang tabi’in bernama Syaiban an Nakhai

    bahwa ia sedang melakukan perjalanan bersama para muhajirin untuk melakukan

    jihad, tidak dalam perjalanan keledainya mati. sebagian sahabat meminta untuk

    tetap meneruskan perjalanan dengan menumpang pada keledai sahabat yang lain.

    Namun Syaiban seraya berdoa: “Ya Allah, aku berangkat dari Daitsanah untuk

    berjalan di jalan-Mu dan mencari keridhaan-Mu. aku bersaksi bahwa engkau

    kuasa menghidupkan orang-orang yang mati dan membangkitkan kembali orang-

    orang yang ada dalam kubur. Ya Allah tolong hidupkan kembali keledaiku”. Usai

    17

    Al-Imam Muslim, Shahih “Kitab Al-jannah”, Bab “Ma Fi al-Dunya min Anhari”, (tt:

    Al-Jannah, 2002), IV: 2183. 18

    Bakdasy, Said Muhammad dan Ibnu Hajar al Asqalani, Zamzam: Sejarah, lagenda, dan

    Khasiatnya, Idterjemahkan oleh M. Halaby Hamdi, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2002),

    hlm. IX 19

    Robibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas yang Dinamis,

    Jurnal el-Harakah, Volume. 12, No. 2, Tahun 2010, hlm. 85-97

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 34

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    berdoa kemudian ia mengampiri keledai dan memukulnya, seraya keledaitersebut

    hidup kembali dan langsung dapat berdiri serta menggerak-gerakkan telinganya.20

    Kemudian dalam literatur yang sama juga dijelaskan kisah seorang

    bernama Abu Yusuf ad Dhahmani yang dapat berkomunikasi dengan mayat dan ia

    berkata: “Berdirilah..!”, dengan seketika mayat tersebut berdiri dan hidup dalam

    waktu yang cukup lama. Kemudian syekh Zaenuddin al-Faruqi juga pernah

    berdoa kepada Allah supaya menghidupkan kembali seorang anak kecil yang mati

    karena terjatuh dari loteng, dan Allah pun mengabulkannya. Kemudian syeikh

    Muhammad Bahaudin an Nakhsyabandi pernah menghidupkan temannya

    (bernama Muhammad Zahid) yang telah seharian meninggal dunia. Beliau juga

    memiliki pengalaman memanggil seorang keluarga santrinya yang telah

    meninggal dan berada di Bukhara, tiba-tiba Syamsuddin yang telah meninggal

    tersebut hadir di hadapan syekh tersebut.Termasuk juga kisah Sunan Ampel yang

    pernah memanggil mbah Shaleh yang telah wafat (lama) kemudian diminta untuk

    kembali membersihkan masjid karena tidak ada santri yang mampu

    membersihkan masjid sebersih dia.21

    Secara prinsip kisah-kisah yang tersebut di atas tentu tidak bertentangan

    dengan ajaran-ajaran Islam, walaupun dalam beberapat fakta banyak dari

    kalangan masyarakat beragama juga menafikan kasus tersebut dan mengklaimnya

    sebagai pemahaman yang menyesatkan. Namun secara substansial, jika hadist

    tersebut diposisikan sebagai ibarat/I’tibar yang secara jelas akan diketahui maksud

    dan tujuannya yaitu untuk memberikan pemahaman terhadap sakralitas dan

    kekuasaan Allah sebagai Tuhan serta kemampuan-kemampuan luar bisa yang

    dapat Allah berikan kepada hamba yang dikasihinya, yaitu para Nabi, Wali, Sufi,

    dan para kekasihnya yang lain.

    Dalam beberapa penjelasan, sebagian organisasi agama menghawatirkan

    keberadaan mitos atau eksistensi mistisisme agama kemudian disebut sebegai

    20

    Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan dan jaran Gus Miek, (Yogyakarta: LKIS, 2007),

    hlm. 216 21

    Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan dan jaran…, hlm. 216

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 35

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    perilaku bid’ah dan khurafat, karena hawatir masyarakat akan mengkultuskan

    ketokohan (Syeikh, Kyai, Wali, dsb) dan mengesampingkan pengakuan terhadap

    kekuasaan Allah yang hakiki. Rasionalisasi tersebut benar dan sebagai bentuk

    kehati-hatian dalam menjaga tauhid serta syariat agama.Namun perlu juga

    dipahami bahwa alasan digunakannya hadist-hadist tersebut dalam kehidupan

    tentu dengan maksud, tujuan, dan alasan tertentu, yang tentu standarnya adalah

    untuk kapentingan kemanusiaan, keimanan, dan keislaman masyarakat. Sehingga

    memahami hadist tersebut sebagai upaya menjelaskan kepada masyarakatbahwa

    betapa kekuasaan Allah di atas segalanya, bahkan mentakdirkan suatu yang di luar

    batas kemampuan nalar manusia pu Allah kuasa mentakdirkannya ada dan terjadi.

    Hadist tersebut juga menjelakan bahwa yang dekat dengan Allah adalah para

    kekasih Allah, dan setiap kekasih akan memperoleh pelayanan terbaik dari Allah.

    Kisah tersebut diharapkan akan membentuk paradigmabarubagi masyarakat

    supaya semakin berlomba-lomba dalam mendekatkan diri kepada Allah supaya

    memperoleh kebaikan-kebaikan dalam hidup.

    MitosWringin Sepuh Dalam Perspektif Agama

    Terdapat dua hal pokok dalam fenomena masyarakat Kotagede kaitannya

    dengan eksistensi mitos wringin sepuh, diantaranya ritual-ritual mitos

    dipersepsikan sebagai usaha dalam berdoa kepada Allah, kemudian dari usaha

    yang dilakukan masyarakat menyerahkan kepada Allah dengan harapan

    memperoleh keselamatan dan kebaikan. Adapun uraian lanjutnya sebagaimana

    dalam penjelasan berikut.

    Ritual Sebagai Ikhtiyar

    Secara praktik, ritual tersebut dilakukan secara sederhana, artinya tidak

    membutuhkan waktu khusus saat melaksanakan, tidak menggunakan media-media

    tertentu, tidak menghadirkan benda-benda mistik (seperti bunga, kemenyan, dan

    lainnya), dan ritual tersebut dilakukan di tempat terbuka. Adapun substansi dari

    ritual tersebut terletak pada pemilihan daun berdasarkan ketentuan sebagaimana

    dalam penjelasan sebelumnya. Kemudian berdoa kepada Tuhan untuk diberikan

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 36

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    keselamatan, pada bagian ini sudah jelas bahwa doa atau permohonan itu

    ditujukan kepada Tuhan, bukan kepada dzat-dzat yang lain, serta pohon beringin

    tersebut sebagai perantara atas doa-doa yang hendak dipanjatkan. Kemudian

    terakhir adalah daun yang diambil kemudian dibawa dalam perjalanan, kalau

    dianlogikan dalam tradisi agama Islam daun tersebut diperlakukan selayaknya

    azimah/jimat yang dijadikan benda sebagai perantara atau mediator atas doa-doa

    yang dipanjatkan.

    Adapun ritual mitos wringin sepuh dilakukan atas dasar harapan atau

    untuk memperoleh keselamatan dan kebaikan dalam hidup. Kemudian dalam

    tradisi Islam, segala hal yang dilakukan untuk memperoleh keselamatan dikenal

    dengan istilah Ikhtiyar. Secara bahasa kata ikhtiyar berarti mencari kebaikan atau

    mencari hasil yang lebih baik. Kemudian secara istilah ikhtiyar dapat dipahami

    sebagai segala jenis upaya/usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memunuhi

    kebutuhan dalam hidup, baik kebutuhan yang bersifat material, spiritual,

    kesehatan, atau kebaikan-kebaikan di masa depan, supaya hidupnya selamat dan

    sejahtera dunia akhirat.

    Istilah Ikhtiyar dalam pandangan Islam tidak bebas nilai, melainkan ada

    batasan-batasan khusus yaitu ikhtiyar itu harus mengandung unsur kebaikan.

    Adapun kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan yang ukurannya berdasarkan

    kesesuaian dengan syari’at Islam, rasionalitas, adat istiadat, dan pendapat umum

    (moral). kemduian faktanya juga menunjukkan bahwa ritual mitos wringin sepuh

    tidak menunjukkan tanda-tanda atau bukti yang mengarah pada penyimpangan

    terhadap syari’at islam karena doanya tetap ditunjukkan kepada Tuhan atau Allah

    SWT., dan ritual dipercayai hanya sebagai perantara yang dilakukan untuk

    memperoleh keselamatan yang diinginkan.

    Kemudian selanjutnya adalah ritual mitos wringin sepuh dianlisis

    berdasarkan fiqih. Dalam fiqih disebutkan bahwa sahnya suatu amal (tindakan)

    disebut sebagai kebaikan jika memenuhi tiga hal, diantaranya adalah 1) Didasari

    oleh niat yang baik, 2) Dilakukan dengan cara-cara yang baik, 3) Dimaksudkan

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 37

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    atau diorientasikan untuk tujuan yang baik. Kemudian sekarang hadapkan praktik

    ritual mitos wringin sepuh dengan konsep fiqih di atas: Pertama, ritual mitos

    dilakukan dengan niat yang baik yaitu untuk memperoleh keselamatan atas usaha

    yang hendak dilaksanakan. Kedua, ritual dilakukan dengan cara-cara yang baik,

    standar kebaikan tersebut tidak menyalahi syari’at karena tidak mengkultuskan

    benda-benda atau ritual tertentu, sebab praktik yang dilakukan sebagai media atau

    perantara dari tujuan. Kemudian secara ekologis juga tindakan mengambil dauun

    tidak menyalahi atauran sebab tidak membahayakan ekosistem tumbuhan karena

    daun yang diambil adalah daun yang sudah gugur dan jumlah pengambilannya

    hanya dua lembar. Ketiga, ritual tersebut juga dimaksudkan untuk tujuan yang

    baik, yaitu tujuan keselamatan dan kebaikan dalam hidup.

    Tawakal

    Tawakal merupakan tindakan menyerahkan diri kepada Allah, atau dalam

    penjelasan lain diartikan sebagai menyandarkan diri kepada Allah. Adapun

    maksud dari penyerahan dan penyandaran diri kepada Allah adalah penyerahan

    yang dilakukan oleh manusia atas segala usaha yang telah dilakukannya. Artinya

    usaha-usaha tersebut tidak dijadikan sebagai dasar untuk (keharusan) memperoleh

    harapan, sebab harapan merupakan satu entitas dan takdir Allah adalah entitas

    lain, keduanya dapat dikatakan berhubungan namun tidak sepenuhnya, karena

    persoalan takdir adalah hak prerogatif Allah.

    Konsep tawakal adalah aktif, artinya tidak hanya berada pada tataran

    penyerahan melainkan ada usaha yang sudah dilakukan dan kemudian diserahkan.

    Artinya penyerahan diri kepada Allah tidak semata-mata penyerahan melainkan

    ada tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dengan sungguh untuk memperoleh

    harapan kemudian selanjutnya diserahkan kepada Allah yang berhak atas taqdir

    usaha manusia. tawakan merupakan sikap mental yang sungguh-sungguh dengan

    keyakinan berserah kepada Allah, sebab dalam tauhid mengandung ajaran

    keyakinan bahwa Allah yang mencipta alam raya beserta takdirnya masing-

    masing.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 38

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Kemudian dikontekkan dengan fakta-fakta pada mitos wringin sepuh, yang

    oleh masyarkat diyakini sebagai bentuk usaha atau ikhtiyar masyarakat dalam

    menggapai keselamatan dalam hidup. Dalam beberapa kasus mungkin mitos

    rentan menjatuhkan manusia pada kemusyrikan, sebab mudah terjadi tindakan

    pengkultusan terhadap benda-benda atau ritual tertentu sehingga diyakini dapat

    mengabulkan harapan-harapan manusia. Namun berbeda dalam kasus mitos

    wringin sepuh, sebab banyak masyarakat yang dimintai penjelasan dan secara

    tegas memisahkan antara ritual mitos dengan keyakinan terhadap kekuasaan

    Allah.

    Ritual dilakukan sebagai bentuk usaha untuk memperoleh keselamatan,

    sehingga dengan melakukan rutual-ritual tersebut masyarakat akan merasa sudah

    melakukan tugasnya sebagai manusia yang mesti berusaha dan secara psikologis

    tentu usaha tersebut memberikan ketenangan tersendiri kepada yang melakukan.

    Sebab masyarakat yang melakukan ritual memiliki keyakinan atas kebijaksanaan

    dan pertolongan Allah, keyakinan tersebut kemudian memberikan suntikan

    semangat dan optimisme terhadap masyarakat dalam menjalani usaha selanjutnya.

    Keyakinan-keyakinan tersebut yang kemudian mendorong masyarakat untuk lebih

    semangat dan sungguh-sungguh dalam melakukan berbagai usaha. Maka

    kemudian menjadi logis jika usaha yang maksimal akan mendapat hasil yang

    memuaskan, sama seperti iktiyar masyarakat yang dimaksudkan untuk

    memperoleh keselamatan dan kebaikan dari ritual-ritual yang telah dilakukan.

    Diantara beberapa manfaat dalam berikhtiyar dan bertawakkal kepada

    Allah diantaranya adalah menumbuhkan harapan-harapan dalam hidup, kemudian

    akan berusaha dan bekerja lebih giat karena memiliki harapan dan keyakinan akan

    keberhasilan, serta dengan tawakal manusia akan lebih berani melangkah dan

    tidak mudah putus asa, sebab keberhasilan dan kegagalan sudah diserahkan

    kepada Allah dan manusia hanya sebatas berusaha.

    Demikian juga yang disampaikan oleh masyarakat bahwa dengan

    melakukan ritual mitos wringin sepuh mereka akan merasa optimis dalam

    melakukan perjalanan, merasa lebih siap, dan secara psikologi mereka merasa

    lebih tenang karena mereka memiliki keyakinan akan dijaga oleh Allah sebagai

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 39

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    dzat tempat mereka memanjatkan doa-doa dalam ritualnya. Bahkan berdasarkan

    pengakuan seorang warga bahwa pernah suatu waktu terdapat warga yang sudah

    melakukan ritual tersebut dan ternyata mengalami persoalan (kecelakaan) dalam

    perjalanan namun mereka maish menunjukkan pertolongan-pertolongan Allah

    dlam kecelakaan tersebut, yaitu dengan manyatakan bahwa insiden kecelakaan

    tersebut sangat tragis dan tipis harapan korban untuk hidup. Namun Tuhan

    berkehendak lain dan korban tida terlalu parah. Artinya masyarakat memang

    menggantungkan keselamatan pada Allah (bukan pada ritual), sehingga jika

    sekalipun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat tetap mencari

    kebajikan dan pertolongan Allah.

    Realitas tersebut membuktikan bahwa masyarakat telah melakukan

    tindakan tawakal kepada Allah, yang dibuktikan dengan tidak menuntuk atau

    mempersalahkan Allah dalam segala persoalan atau musibah dalam hidup mereka.

    Iktiyar yang sudah dilakukan namun tidak dihendaki dengan takdir baik tidak

    dijadikan alasan untuk mempersalahkan dan menuduh ketidak-adilah Tuhan.

    Kemudian sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah bahwa

    “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan

    melihat pekerjaanmu itu...”(Q.S. At-Taubah:105). Firman Allah tersebut dapat

    disimpulkan bahwa Agama Islam tidak hanya menganjurkan beriman, tetapi juga

    menghimbau beramal shaleh, bekerja dan berusaha.22

    Kemudian setelah berusaha

    barulah tawakal kepada Allah atas sgeal usah yang telah dilakukannya.

    KESIMPULAN

    Dalam upaya mengetahui corak kebudayaan dan keberislaman masyarakat

    Indonesia yang khas dapat dikaji melalui pendekatan sejarah, yaitu mulai dibahas

    dari sejak proses islamisasi khususnya di tanah nusantara. Bagaimana proses

    doktrinasi keislaman diberikan, yang sekaligus dengan pendekatan-pendekatan

    yang persuasive fan akulturatif. Kehadiran Islam tidak serta merta merubah

    tatanan hidup, kearifan lokal, atau kebudayaan masyarakat setempat, karena yang

    pertama kali diperkenalkan bukan Islam sebagai agama melainkan sebagai ajaran

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 40

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    atau pedoman perilaku masyarakat.kemudian dalam perkembangannya islam

    dapat berjalan bersama tradisi masyarakat setempat dalam dalam kondisi tersebut

    islam mulai masuk secara akulturatif dengan adat istiadat tersebut. Ajaran-ajaran

    islam masuk dalam kebudayaan masyarakat baik pada aspek teknis pelaksanaan,

    bacaan-bacaan yang dilafalkan, media yang digunakan, ataupun pada bagian

    substansi lainnya. Sebab mitos tidak dipandang sebagai suatu yang mesti

    dihilangkan, melainkan mitos dijadikan sebagai media penguat tradisi islam,

    sebab dalam mitos tersebut diselipkan ajaran-ajaran dan nilai keislaman, sehingga

    mitos dan Islam seperti dua entitas yang saling menguatkan dan melestarikan.

    Kemudian dalam kontek eksistensi mitos wringin sepuh, dari aspek ritual

    dan kepercayaan secara substansial tidak menyalahi prinsip-prinsi Islam,

    khsusnya dalam aspek tauhid. Sebab kepercayaan masyarakat terhadap mitos

    tersebut tidak lebih hanya sebagai perantara tersampainya doa-doa yang

    dipanjatkan kepda Allah SWT. Sehingga dengan melakukan ritual tersebut merasa

    telah melaksanakan tugas sebagai seorang hamba untuk berikhtiyar dan dalam

    pemahaman masyarakat dapat ditegaskan bahwa posisi mitos tidak berbeda

    sebagaimana keberadaan shalat dan berbagai jenis ibadah lain, yang sama-sama

    difungsikan oleh kaum muslim sebagai perantara berhubungan, mendekatkan, dan

    memanjatkan harapan-harapan kepada Allah.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 41

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Daftar Pustaka

    Al-Imam Muslim. 2002. Shahih “Kitab Al-jannah”, Bab “Ma Fi al-Dunya min

    Anhari” IV: 2183.Al-Jannah.

    Bakdasy, Said Muhammad dan Ibnu Hajar al Asqalani.2002. Zamzam: Sejarah,

    lagenda, dan Khasiatnya, diterjemahkan oleh M. Halaby Hamdi.

    Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah.

    Budiono Heru Satoto. 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta:

    Hanindita Graha Widya.

    Edward Burnett Tylor. 2001.Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Tentang

    Agama, Terjemah Ali Nur Zaman. Yogyakarta: AL-Kalam.

    Humaeni Ayatullah. 2012. Makna Kultural Mitos Dalam Budaya Masyarakat

    Banten, Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 33 No. 3 (2012).

    Ilham, Lailul. 2019.Mitos Sendang Seliran dan Perilaku Sosial Masyarakat,

    Tesis. UIN. Sunan Kalijaga Yogyakata.

    Martin, Van Bruinessen. 1994.Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung:

    Mizan.

    Muhammad Nurul Ibad. 2007.Perjalanan dan jaran Gus Miek. Yogyakarta:

    LKIS.

    Purwadi. 2004.Da’wah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa

    Berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Robibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas yang

    Dinamis, Jurnal el-Harakah, Volume. 12, No. 2, Tahun 2010.

    Simuh. 2002.Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa.

    Yogyakarta: Bentang Budaya.

  • 22 – 42: Lailul Ilham Page 42

    AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan

    Vol. 4 No. 1. 2020

    Simuh. 2003.Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.

    Soehadha, Moh. 2014.Fakta Dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan Sosio-

    Antropologi (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia.

    Susanto Hary, P.S. 1987.Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:

    Kanisius

    Suwardi Endraswara. 2004.Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme Dan Sufusme

    Dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.

    Suyamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa Dalam Pemerintahan Dan Pembangunan.

    Semarang: Dahara Prize.