al-iman: jurnal keislaman dan kemasyarakatan vol. 4 no. 1. 2020 · 2020. 3. 26. · al-iman: jurnal...
TRANSCRIPT
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 22
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
MITOS WRINGIN SEPUH DALAM KAJIAN ISLAM
Lailul Ilham
Abstract
One of the myths that developed in the Yogyakarta Kotagede community, this
myth is still believed, preserved, and implemented by local people. The old
wringin mythical rituals are performed by people with diverse religious
backgrounds, including by a variety of Muslim communities in Kotagede. This
fact is an important reason for a study of the myth of aging, because its existence
can be accepted and carried out by people with different religious backgrounds.
Does the old wringin myth have universal values so that they are respected by the
public or full of rituals and beliefs that do not violate the basic principles in
certain religions, Islam. Based on these facts, research and explanations related
to the myth of wringin senuh are needed to get the facts
Abstrak
Wringin sepuh merupakan salah satu mitos yang berkembang di tengah
masyarakat Kotagede Yogyakarta, mitos tersebut tetap dipercayai, dilestarikan,
dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Ritual-ritual mitos wringin sepuh
dilakukan oleh masyarakat dengan latar belakang agama yang beragam, termasuk
oleh mayoritas masyarakat muslim Kotagede. Fakta tersebut menjadi alasan
pentingnya dilakukan kajian terhadap mitos wringin sepuh, sebab eksistensinya
dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan latar belakang agama
yang berbeda-beda. Apakah mitos wringin sepuh memiliki nilai-nilai universal
sehinggga diterima halayak umum atau secara ritual dan kepercayaan tidak
menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam agama-agama, khususnya agama Islam.
Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan penelitian dan penjelasan terkait mitos
wringin sepuh secara komprehensif untuk diperoleh fakta-fakta adan alasan
mengapa kasus tersebut tersebut dapat terjadi.
Keyword: Mitos, Wringin Sepuh, Kajian Islam
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 23
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Pendahuluan
Mitos merupakan satu entitas yang sangat dekat dengan masyarakat,
khususnya masyarakat jawa secara umum atau masyarakat Yogyakarta pada
khususnya. Mitos tidak hanya menjelma cerita-cerita mistik yang dipercayai,
mitos juga berpengaruh terhadap praktik-praktik atau tindakan sosial masyarakat.
Mitos menjelma aturan-aturan sebagaimana aturan agama dan norma susila, yang
menentukan batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui oleh masyarakat
dengan kepercayaan-kepercayaan tertertu yang sebenarnya sulit diterima akal,
namun jika dilanggar maka akan mendapat sangsi sosial di tengah lingkungannya.
Fenomena mitos di tengah masyarakat menunjukkan fakta-fakta yang
semakin meneguhkan bahwa eksistensi mitos tidak hanya menjadi kearifan local
yang selesai pada tataran cerita, konsep kehidupan, atau berupa keberadaan situs
sejarahnya.Namun jauh dari hal tersebut, eksistensi mitos memberikan tretmen
dan solusi-solusi tersendiri dalam berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi
masyarakat.Sehingga tidak jarang ditemukan kasus satu kelompok masyarakat
yang tidak mudah melakukan tindakan tertentu, terutama tindakan-tindakan yang
menyalahi norma susila dan adat istiadat karena dianggap menyalahai mitos yang
dipercayai. Dalam wakta tersebut menjadi semakin tampak bahwa eksistensi
mitos juga menjadi control bagi tindakan-tindakan masyarakat sehingga akan
tercipta kondisi sosial yang harmoni dan manusiawi.
Selain yang tersebut di atas, dalam banyak kasus ditemukan bahwa mitos
juga menjadi sarana masyarakat dalam menunjukkan perilaku-perilaku religiusitas
dan spiritualitasnya, atau ritual-ritual tertentu dilakukan sebagai media dalam
menghubukan dirinya dengan Tuhan yang maha esa atau menghubungkan dengan
para dewa dan roh-roh luluhur (dalam kepercayaan tertentu). Argument tersebut
dapat disandarkan pada fakta sejarah persebaran kepercayaan Animisme dan
Dinamisme serta agama-agama di Nusantara dan secara spesifik agama Islam,
bagaimana proses islamisasinya dilakukan secara akulturatif yaitu dengan
memasukkan nilai-nilai keislaman dengan tidak menghapus atau menghilangkan
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 24
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat setempat. Sehingga menjadi lumrah jika
banyak ditemukan kebudayaan atau adat istiadat masyarakat yang sekaligus
benyak mereduksi nilai-nilai atau prinsip-prinsip keislaman. Maka menurut
sebagai masyarakat melestarikan adat istiadat merupakan cara masyarakat dalam
menunjukkan identitas kebudayaan dan keislaman sekaligus.
Praktik Islam di Nusantara menggambarkan cara masyarakat memaknai
agama sebagai suatu yang penting dan sakral, yang disetarakan dengan nilai-
tradisi yang diwariskan leluhur, dan telah menjadi bagian dari tata cara hidup
masyarakat. Pemaknaan ini menjadikan praktik agama saling mewarnai dengan
praktik tradisi yang berasal dari ajaran leluhur, etika sosial, mistis, dan praktik
magis, kemudian menjadi praktik religi yang khas.Percampuran tersebut menurut
Van Bruinessen dianggap sebagai bentuk fleksibelitas Islam Nusantara sehingga
dapat berbaur dengan pengaruh-pengaruh baru dan kulturserta religi yang
masyarakat setempat, yang kemudian dilakukan modifikasi berdasarkan
perubahan zaman.1
Secara umum setiap suku atau masyarakat memiliki praktik kolaboratif
terkait kepercayaan lokalnya terhadap agama Islam.Menurut Frazer yang
membedakan antara agama dan religi adalah religi yang bersifat politeisme dan
agama bersifat monoteisme.2Sikap mudah menerima ajaran baru dan
berkolaborasi dengan kepercayaan lama yang dipraktikkan, kemudian disesuaikan
dengan perkembangan zaman,menjadi karakter masyarakat dengan Nusantara.
Pola pembentukan agama yang akomodatif ini, membentuk wajah islam Indonesia
yang khas, lebih dikenal sebagai Islam Nusantara, yang berbeda dengan Islam
Arab, Islam Afrika, dan Islam Eropa. Menurut Purwadi sikap ini disebut sebagai
“nut jaman kelakone”, artinya pola modifikasi dan akomodatif ini sesuai dengan
tuntutan zamannya.3
1Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),
hlm. 45 2Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah.., hlm. 46
3Purwadi, Da’wah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 45
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 25
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Sebenarnya telah banyak dilakukan penelitian-penelitian terkait hubungan
Islam dengan lokalitas termasuk dengan kearifan lokal dan budaya-budaya
masyarakat setempat.Dalam perkembangannya penelitian tersebut kemudidan
dikenal dengan istilah Islam Singkretis, yaitu penelitian yang secara spesifik
mengkaji keislaman dan kebudayaan.Walaupun obyek kajiannya sama-sama
dalam kajian keislaman dan kebudayaan namun jika dikontekskan pada
masyarakat atau suku yang berbeda, maka hasilnya juga beragamam, unik, serta
dengan corak keislaman yang khas.Kemudian pada penelitian ini penulis akan
menguraikan kajian mitos wringin sepuh kaitannya dengan bagaimana masyarakat
muslim Kotagede mempersepsikan mitos tersebut serta bagaimana masyarakat
menjalankan laku keislaman dan kebudayaan sehingga identitas keislaman dan
kebudayaan dalam mitos wringin sepuh terlihat saling menguatkan dan menjadi
satu kesatuan yang utuh.
Sosial Keagamaan Masyarakat Kotagede Yogyakarta
Kotagede merupakan daerah dengan penduduk mayoritas Muslim dan
masih memegang atau menjalankan tradisi-tradisi kejawen yang diwariskan
leluhurnya.4 Fenomena tersebut menunjukkan kesesuaian ajaran-ajaran islam
dengan tradisi kejawen atau dengan tradisi animisme-dinamisme sehingga dalam
perkembangan keislaman masyarakat Kotagede tidak menghilangkan tradisi-
tradisi lokal yang pernah dilestarikan oleh masyarakat sebelumnya. Kasus di atas
sesuai dengan pemikiran Mircea Eliade yang menyatakan bahwa mitos
merupakan salah satu unsur utama agama, yang juga merupakan salah satu
kategori pemikiran studi agama,5 berangkat dari dasar teoritik tersebut menjadi
logis jika keberagamaan masyarakat Kotagede berbanding lurus dengan
perhatiannya terhadap tradisi kejawen, Animisme-Dinamisme, atau terhadap hal-
hal mistik termasuk mitos-mitos yang ditinggalkan nenek moyang masyarakat.
4 Data wawancara bersama bapak Warisman, warga Desa Jagalan seligus takmir Masjid
Gedhe Mataram Kotagede. Saat ditemui di teras Masjid Gedhe, pada hari Senin, 25 Februari 2019,
jam 10.00. WIB. 5Susanto Hary, P.S, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius,
1987), hlm. 42.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 26
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Sehingga masyarakat Kotagede menjadi masyarakat muslim yang sekaligus tidak
meninggalkan kepercayaan dan tradisi para leluhur.6
Kotagede merupakan daerah dengan penduduk mayoritas muslim dan
masih memegang atau menjalankan tradisi-tradisi kejawen yang diwariskan
leluhurnya.7 fenomena tersebut mengindikasikan sinergisitas antara ajaran agama
islam dengan tradisi kejawen atau dengan tradisi animisme-dinamisme sehingga
dalam perkembangan keislamannya masyarakat Kotagede tidak menghilangkan
tradisi-tradisi lokal yang pernah dilestarikan oleh masyarakat sebelumnya.
termasuk diantaranya adalah kepercayaan terhadap hal-hal mistik atau mitos-
mitos yang dipercayai dan diyakini sebagai suatu kebenaran yang mesti
diperhatikan, dipatuhi, dan diletarikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Jawa atau Yogyakarta pada khususnya, mitos
bukan merupakan hal baru karena warga Yogyakarta merupakan masyarakat yang
dekat dan familier dengan mitos-mitos. Diantara beberapa mitos yang
berkembang di tengah masyarakat dan khususnya di area Makam Raja-Raja
Mataram Islam antara lain:mitos Wringin Sepuh, Lele Reges, Dhondhong,Sendang
Seliran, dan mitos Watu Gilang.8 Secara umum mitos-mitos tersebut mendapat
tempat tersendiri di tengah masyarakat sehingga kepercayaan terhadap mitos,
ritual-ritual, dan pelestarian situs-situs (mitos) tetap dipertahankan hingga
sekarang.
Kemudian sebagaimana masyarakat tradisional pada umumnya, warga
Yogyakarta sangat merawat tradisi-tradisi dan warisan para leluhurnya. Realitas
tersebut dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat berhubungan dengan
hal-hal tertentu, seperti kepercayaan terhadap sakralitas situs-situs, benda-benda,
tempat-tempat, mitos serta ritual-ritual tertentu. kemudian juga bagaimana
masyarakat memiliki keterikatan kepercayaan terhadap momen-momen tertentu
6Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2002), 120. 7 Data wawancara bersama bapak Warisman..., Senin, 25 Februari 2019, jam 10.00. WIB.
8 Lailul Ilham, Mitos Sendang Seliran dan Perilaku Sosial Masyarakat, Tesis. UIN.
Sunan Kalijaga Yogyakata, 2019, hlm. 4-9
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 27
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
sehingga dilakukanlah upacara, seperti upacara kehamilan, pernikahan, kelahiran,
dan upacara kematian. Upacara tersebut menjadi bukti adanya keterikatan kuat
antara masyarakat dengan leluhurnya, sehingga melaksanakan dan merawat
warisan nenek moyang merupakan sebagai bagian dari cara masyarakat dalam
menunjukkan penghormatan dan kepatuhan terhadap leluhurnya.
Berdasarkan gambaran di atas tampak situasi sosial dan keagamaan
masyarakat berkaitan erat dengan hal-hal mistik, keduanya saling mempengaruhi
dan melengkapi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. identitas sosial,
keagamaan, dan mistisisme masyarakat memberikan kontribusi masing-masing
dalam membentuk tatanan sosial masyarakat yang khas yaitu beragama namun
tidak menghilangkan tradisi leluhur sehingga melahirkan corak keberagamaan
yang unik yaitu cara beragama yang masih sarat dengan identitas leluhur.
Terjadinya akulturasi agama Hindu-Budha menjadi warna tersendiri bagi wajah
islam di Kotagede, seperti adanya ritual-ritual kebudayaan tertentu yang sarat
dengan nilai-nilai ajaran Islam. sebagaimana kasus tradisi Nahwu Sendang yang
praktik pelaksanaannya sebagian besar menyerupai ritual-ritual animisme-
dinamisme seperti mengahdirkan bunga-bunga, kemenyan, dan dupa. Namun
bacaan-bacaan yang dilafalkan selama pelaksanaan ritual sarat dengan nilai
keislaman yaitu membaca solawat, fatihah, dzikir (lafdul jalalah), dan bacaan
dzikir lainnya.
Diskursus Mitologi
Terminologi mitos berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Muthos
(mite/myth) berarti ucapan,9 dalam kamus bahasa Indonesia mitos didefinisikan
sebagai cerita zaman dahulu yang memuat cerita para dewa atau asal-usul alam
semesta, sarat dengan nilai-nilai dan digambarkan dengan cara ghaib. Kemudian
pemahaman mitos yang berkembang di masyarakat diartikan sebagai satu cerita
yang memuat peristiwa yang cenderung tidak ilmiah/irrasional namun tidak
9Moh Soehadha, Fakta Dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi
(Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 93.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 28
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
membutuhkan bukti kritis, yang diyakini oleh masyarakat sebagai sebuah
kebenaran, dan mitos muncul bersama dengan nilai moralitas. Moralitas yang
dimaksud adalah beberapa anjuran dan pantangan yang mesti diperhatikan dan
dipatuhi oleh mayasrakat.
Beberapa ahli berpendapat bahwa manusia sebagai individual atau
kelompok tidak dapat hidup tanpa mitos (mitologi) sebab keduanya memiliki
hubungan simbiosis. Eksistensi masyarakat ditentukan oleh eksistensi mitos dan
sebaliknya, terlebih mitos dalam aspek mistisisme dan religiusitas. Kemudian para
ilmuan sosial dan antropologi mencoba menjelaskan mitos dalam berbagai aspek,
mulai dari definisi, cakupan, dan fungsi eksistensi mitos terhadap kondisi sosial
masyarakat. Kemudian mereka memberikan satu kesimpulan bahwa mitos
merupakan suatu komponen yang sangat dibutuhkan manusia dalam
mengidentifikasi eksistensi dirinya, dan mencari kejelasan alam lingkungan serta
sejarah masa lalu (tradisi nenek moyang).10
Kemudian Suyamto menjelaskan ciri utama budaya Jawa, yaitu: religius,
non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik. Ciri utama tersebut melahirkan
corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi orang Jawa, antara lain: a) Percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sangkan paraning dumadi dengan segala
sifat, kekuasaan, dan kebesaran-Nya. b) Bercorak idealistis, percaya kepada
sesuatu yang immateriil dan adikodrati serta cenderung ke arah mistik. c) Lebih
mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual. d) Mengutamakan
cinta–kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. f) Percaya pada
takdir dan cenderung bersikap pasrah. g) Bersifat konvergen (menyatu), universal
dan terbuka. h) Non sektarian. i) Cenderung pada simbolisme. j) Bersikap gotong-
royong, guyub dan rukun. k) Tidak fanatik. l) Luwes dan lentur. m)
Mengutamakan rasa dari pada rasio. n) Kurang kompetitif dan kurang
mementingkan materi.11
10
Humaeni Ayatullah, “Makna Kultural Mitos Dalam Budaya Masyarakat
Banten,”Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 33 No. 3 (2012): 159–180. 11
Suyamto, Refleksi Budaya Jawa Dalam Pemerintahan Dan Pembangunan (Semarang:
Dahara Prize, 1992), hlm. 136–138.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 29
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Berdasarkan ciri khas budaya Jawa tersebut semakin terlihat bahwa agama
dan budaya merupakan dua hal berbeda namun sarat muatan nilai yang sama.
Sebagaimana agama, mitos identik dengan ritus-ritus yang menampung
seperangkat simbol yang sarat dengan nilai-nilai perayaan, penghormatan,
kepatuhan, penghargaan, dan kekhidmatan. Ritual-ritual agama cenderung berasal
dari ajaran dan sistem normatif agama itu sendiri, namun ritual mitos tidak
(normatif), sehingga wajar jika satu ritual hanya dilakukan oleh satu kelompok
masyarakat tertentu dan hanya dipahami oleh sekelompok masyarakat itu sendiri.
Secara umum ritual dilakukan dengan khidmat oleh para pemeluknya sebagai
bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap mitos yang berkembang tersebut.
Kebudayaan terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai
sebagai hasil karya dari tindakan manusia.12
Simbol tersebut berupa seperangkat
sesaji dalam proses ritual tertentu sebagai manifestasi kepatuhan, penghormatan
dan harapan para pelakunya kepada Tuhan. Sesaji sebagai bentuk negosiasi
spiritual dengan yang supranatural dan juga sebagai upaya mendekatkan diri
dengan Tuhan dan terhindar dari ganggung mahkluk halus. Pemberian sesaji
kepada makhluk halus sebagai simbol perharapan supaya mahkluk tersebut jinak
dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat, kemudian dilakukanlah
penghormatan dalam bentuk ritual-ritual tertentu.
Misal dalam masyarakat Jawa pada umumnya terdapat istilah
Selametan.Ritual selametan merupakan suatu tindakan mistik yang dilakukan
untuk mendapat jalan menuju sasaran yaitu Tuhan, ritual tersebut sebagai bentuk
permohonan secara simbolik. kemudian Suwardi menyatakan bahwaSelametan
merupakan aktivitas substansial dalam kegiatan masyarakat Jawa Abangan, selain
kegiatan seperti upacara perjalanan, menyembah roh halus, upacara lingkaran
hidup, cocok tanam, dan pengobatan yang semuanya berdasar pada kepercayaan
terhadap roh (baik dan jahat).13
12
Budiono Heru Satoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya, 2001), hlm. 9. 13
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme Dan Sufusme Dalam
Budaya Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2004), hlm. 9–10.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 30
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Kajian-kajian mitos dalam aspek simbolik, menurut E.B. Taylor
menyebutkan bahwa simbol mitos atau budaya umumnya terbagi tiga yaitu simbol
religi, simbol tradisi, dan simbol kesenian.14
Kemudian ekspresi ketiga simbol
tersebut dikontektualisasikan dengan eksistensi mitologi masyarakat jawa
kemudian melahirkan beberapa fenomena bahwa eksistensi ketiga simbol tersebut
ditandai adanya pengaruh aliran animisme, bentuknya berupa salamatan,
penyerahan sesaji, cegah dahar (disebut puasa dalam tradisi islam), serta
penggunaan benda-benda magis. Bentuk pengaruh simbol religi dari agama
Hindu-Budha berupa pemujaan kepada dewa-dewa, seperti Dewi Sri (dewi
kesuburan), dewa Batara Kala (adik Batara Guru, pemangsa manusia), Nyi Roro
Kidul (penguasa laut selatan), dan simbol religi yang dipengaruhi tradisi islam
adalah tradisi perayaan maulid Nabi Muhammad SAW., yang disebut sekatenan.
Menurut Simuh hal itu terjadi karena adanya budaya kejawen istana yang
dipengaruhi oleh Hindu–Budha dan kejawennya wong cilik yang dipengaruhi oleh
Animisme–Dinamisme dan setelah Islam masuk dan dipeluk oleh masyarakat
Jawa, ajaran-ajaran Islam masuk dalam keberagamaannya.15
Ketiga bentuk simbol
tersebut sulit dipisahkan satu sama lain karena mengalami proses akulturasi dalam
waktu yang terlampau lama, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Fakta di atas menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos terkait
makna dan nilai-nilai mitos yang berkontribusi terhadap kelangsungan hidup
masyarakat. Berangkat dari kepercayaan tersebut menunbuhkan
perhatianmasyarakat terhadap mitologi yang berkembang di tengah-tengah
mereka, sebab masyarakat yang mampu menghayati dapat memunculkan perilaku
prososial, altruis, atau sikap-sikap positif lainnya sehingga masyarakat semakin
merasakan adanya keterikatan dirinya dengan Tuhan dan lingkungan sebagai
simbiosis kehidupan.
14
Edward Burnett Tylor, Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Tentang Agama,
Terjemah Ali Nur Zaman (Yogyakarta: AL-Kalam, 2001), hlm. xx. 15
Simuh, Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 66.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 31
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Penghayatan terhadap nilai-nilai mitos memunculkan sikap-sikap gotong
royong, kesaling-pedulian, kedamaian, kesejahteraan, serta sikap yang
menunjukkan kesadaran individu dalam relasi sosial masyarakat. Sehingga di
tengah modernitas yang menunjukkan keterlepasan individu dari hal-hal di
sekitarnya, termasuk pada lingkungan dan lebih-lebih pada sistem moral yang
berlaku, berangkat dari kasus tersebut mitos menjadi penting dipertahankan oleh
masyarakat sebagai pegangan dan kontrol terhadap sikap-sikap positif dalam
menjalankan kehidupan sosial.
Mitos Wrigin Sepuh
Wringin Sepuh merupakan pohon beringin berukuran besar yang menurut
cerita beringin tersebut ditanam langsung oleh kanjeng Sunan Kalijaga dan hingga
saat ini pohon tersebut berusia sekitar setengah abad, dari itu pohon tersebut
dijuluki wringin sepuh atau pohon beringin tua. Pohon beringin tersebut terletak
di depan komplek pemakaman tepatnya di pintu utama sebelah timur. Setelah
melewati pintu utama tersebut, di sebelah kanan dan kiri terdapat Bangsal yaitu
bangunan terbuka tempat para tamu/pendatang beristirahat. Kemudian tidak jauh
dari Bangsal, di sebelah selatan terdapat pohon beringin besar yang bernama
wringin sepuh tersebut.16
Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa pohon beringintersebut memiliki
kekuatan tertentu yang dapat menjembatani atau menjadi perantara bagi kebaikan
dan keselamatan masyarakat. Secara khusus mitos wringin sepuhlebih serig
diidentikkan dengan keselamatan perjalanan, misalkan seorang warga hendak
melaksanakan perjalanan jauh, baik perjalanan yang dilakukan untuk kebutuhan
jangka pendek (sementara) atau jangka panjang, atau perjalanan dalam misi
usaha/kerja, dan atau dalam perjalan apapun dengan catatan dalan urusan
kebaikan. dalam momen tersebut biasanya masyarakat datang dan melakukan
ritual tertentu berkenaan dengan pohon beringin tersebut dengan harapan
16
Lailul Ilham, Mitos Sendang Seliran dan Perilaku Sosial Masyarakat, Tesis UIN.
Sunan Kalijaga Yogyakata, 2019, hlm. 4-9
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 32
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
memperoleh karomah berupa perantara diberikannya keselamatan oleh yang
kuasa.
Adapun prosesi pelaksanaan ritual berkenaan dengan usaha masyarakat
dalam meminta perantara keselamatan terhadap wringin sepuh adalah orang yang
bersangkutan atau yang hendak melakukan perjalanan dan atau diwakili oleh
keluarganya yang lain datang ke area makam Raja-raja mataram, tepatnya di
bawah pohon beringit tersebut. Kemudian mengambil dua bauh daun yang sudah
jaut, yang posisinya tepat dibawah pohon (rimbun pohonnya), adapun dua daun
tersebut adalah satu daun yang posisi jatuhnya terlentang dan satunya terkurap.
Setelah dua daun tersebut diambil kemudian berdoa dalam hati meminta
pertolongan dan keselamatan kepada Tuhan. kemudian daun tersebut dibawa
dalam perjalanan menuju tujuan.
Tindakan tersebut merupakan bagian dari perhatian masyarakat terhadap
mitos yang berkembang di tengah mereka, kemudian melakukan ritual-ritual
tertentu sebagai upaya memperoleh keselamatan dan pertolongan dalam berbagai
usaha yang akan dilakukan. Setelah melakukan ritual tersebut dengan sendirinya
akan memberikan efek positif kepada masyarakat khususnya efek dalam tatanan
psikologis, yaitu masyarakat akan merasa lebih tenang dan pasrah kepada Tuhan
karean telah melakukan ritual dan doa-doa yang diyakini akan menjadi perantara
keselamatan dan kebenruntungannya dalam usaha yang akan dilakukan.
Pembahasan
Mitos dalam Kajian Islam
Mitos merupakan suatu yang dikonstruksi atau diproduksi sendiri oleh
masyarakat termasuk di tengah kehidupan masyarakat beragama, kemudian mitos
tersebut juga menjadi sarana masyarakat dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran
agama dan menunjukkan nilai-nilai religiusitas. Selain dalam ritual-ritual, mitos
juga masuk dalam ruang-ruang yang bersifat ideologis dan kognitif, hal tersebut
terbukti dalam beberapa kisah atau ajaran Islam yang termaktub dalam kitab suci
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 33
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Al-Quran.Secara kongkrit kasus tersbut dapat ditunjukkan dengan bagaimana
Nabi menjelalakan suatu hal yang sifatnya ukhrowi dan tidak dapat dinalar secara
akal kemudian ditegaskan secara riil berdasarkan kemampuan imaginasi Nabi
dalam menjangkau hal-hal yang bersifat abstrak.
Sebagaiana kasus munculnya hadist terkait kemulyaan air zamzam yang
dijelaksan sebagai air yang berasal dari surga.17
kemudian dalam sumber lain juga
dijelaskan bahwa air zamzam merupakan air yang penuh berkah, air tersebut
(dapat) mengenyangkan, serta dapat menyembuhkan penyakit.18
Kedua penjelsan
tersebut sama-sama berasal dari sabda Rasul yang sama-sama tidak terlepas dari
kemampuan seorang Rasul dalam mengimajinasikan kemulyaan air zamzam.
Namun satu yang perlu digaris bahwa kedua hadis tersebut atau termasuk jenis
hadis yang lain, adakalnya hadist hadir sebagai representasi dari sebuah ajaran,
atau sebagai aturan (pedoman hidup), namuan dalam kondisi lain hadis juga dapat
muncul sebagai representasi daya khayali (imaginasi) Rasul, yang kemudian dapat
disebut sebagai mitos.19
Kemudian dalam kisah lain yang bernuansa mistis berasal dari cerita pada
masa sahabat dan tabi’in, dikisahkan seorang tabi’in bernama Syaiban an Nakhai
bahwa ia sedang melakukan perjalanan bersama para muhajirin untuk melakukan
jihad, tidak dalam perjalanan keledainya mati. sebagian sahabat meminta untuk
tetap meneruskan perjalanan dengan menumpang pada keledai sahabat yang lain.
Namun Syaiban seraya berdoa: “Ya Allah, aku berangkat dari Daitsanah untuk
berjalan di jalan-Mu dan mencari keridhaan-Mu. aku bersaksi bahwa engkau
kuasa menghidupkan orang-orang yang mati dan membangkitkan kembali orang-
orang yang ada dalam kubur. Ya Allah tolong hidupkan kembali keledaiku”. Usai
17
Al-Imam Muslim, Shahih “Kitab Al-jannah”, Bab “Ma Fi al-Dunya min Anhari”, (tt:
Al-Jannah, 2002), IV: 2183. 18
Bakdasy, Said Muhammad dan Ibnu Hajar al Asqalani, Zamzam: Sejarah, lagenda, dan
Khasiatnya, Idterjemahkan oleh M. Halaby Hamdi, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2002),
hlm. IX 19
Robibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas yang Dinamis,
Jurnal el-Harakah, Volume. 12, No. 2, Tahun 2010, hlm. 85-97
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 34
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
berdoa kemudian ia mengampiri keledai dan memukulnya, seraya keledaitersebut
hidup kembali dan langsung dapat berdiri serta menggerak-gerakkan telinganya.20
Kemudian dalam literatur yang sama juga dijelaskan kisah seorang
bernama Abu Yusuf ad Dhahmani yang dapat berkomunikasi dengan mayat dan ia
berkata: “Berdirilah..!”, dengan seketika mayat tersebut berdiri dan hidup dalam
waktu yang cukup lama. Kemudian syekh Zaenuddin al-Faruqi juga pernah
berdoa kepada Allah supaya menghidupkan kembali seorang anak kecil yang mati
karena terjatuh dari loteng, dan Allah pun mengabulkannya. Kemudian syeikh
Muhammad Bahaudin an Nakhsyabandi pernah menghidupkan temannya
(bernama Muhammad Zahid) yang telah seharian meninggal dunia. Beliau juga
memiliki pengalaman memanggil seorang keluarga santrinya yang telah
meninggal dan berada di Bukhara, tiba-tiba Syamsuddin yang telah meninggal
tersebut hadir di hadapan syekh tersebut.Termasuk juga kisah Sunan Ampel yang
pernah memanggil mbah Shaleh yang telah wafat (lama) kemudian diminta untuk
kembali membersihkan masjid karena tidak ada santri yang mampu
membersihkan masjid sebersih dia.21
Secara prinsip kisah-kisah yang tersebut di atas tentu tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam, walaupun dalam beberapat fakta banyak dari
kalangan masyarakat beragama juga menafikan kasus tersebut dan mengklaimnya
sebagai pemahaman yang menyesatkan. Namun secara substansial, jika hadist
tersebut diposisikan sebagai ibarat/I’tibar yang secara jelas akan diketahui maksud
dan tujuannya yaitu untuk memberikan pemahaman terhadap sakralitas dan
kekuasaan Allah sebagai Tuhan serta kemampuan-kemampuan luar bisa yang
dapat Allah berikan kepada hamba yang dikasihinya, yaitu para Nabi, Wali, Sufi,
dan para kekasihnya yang lain.
Dalam beberapa penjelasan, sebagian organisasi agama menghawatirkan
keberadaan mitos atau eksistensi mistisisme agama kemudian disebut sebegai
20
Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan dan jaran Gus Miek, (Yogyakarta: LKIS, 2007),
hlm. 216 21
Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan dan jaran…, hlm. 216
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 35
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
perilaku bid’ah dan khurafat, karena hawatir masyarakat akan mengkultuskan
ketokohan (Syeikh, Kyai, Wali, dsb) dan mengesampingkan pengakuan terhadap
kekuasaan Allah yang hakiki. Rasionalisasi tersebut benar dan sebagai bentuk
kehati-hatian dalam menjaga tauhid serta syariat agama.Namun perlu juga
dipahami bahwa alasan digunakannya hadist-hadist tersebut dalam kehidupan
tentu dengan maksud, tujuan, dan alasan tertentu, yang tentu standarnya adalah
untuk kapentingan kemanusiaan, keimanan, dan keislaman masyarakat. Sehingga
memahami hadist tersebut sebagai upaya menjelaskan kepada masyarakatbahwa
betapa kekuasaan Allah di atas segalanya, bahkan mentakdirkan suatu yang di luar
batas kemampuan nalar manusia pu Allah kuasa mentakdirkannya ada dan terjadi.
Hadist tersebut juga menjelakan bahwa yang dekat dengan Allah adalah para
kekasih Allah, dan setiap kekasih akan memperoleh pelayanan terbaik dari Allah.
Kisah tersebut diharapkan akan membentuk paradigmabarubagi masyarakat
supaya semakin berlomba-lomba dalam mendekatkan diri kepada Allah supaya
memperoleh kebaikan-kebaikan dalam hidup.
MitosWringin Sepuh Dalam Perspektif Agama
Terdapat dua hal pokok dalam fenomena masyarakat Kotagede kaitannya
dengan eksistensi mitos wringin sepuh, diantaranya ritual-ritual mitos
dipersepsikan sebagai usaha dalam berdoa kepada Allah, kemudian dari usaha
yang dilakukan masyarakat menyerahkan kepada Allah dengan harapan
memperoleh keselamatan dan kebaikan. Adapun uraian lanjutnya sebagaimana
dalam penjelasan berikut.
Ritual Sebagai Ikhtiyar
Secara praktik, ritual tersebut dilakukan secara sederhana, artinya tidak
membutuhkan waktu khusus saat melaksanakan, tidak menggunakan media-media
tertentu, tidak menghadirkan benda-benda mistik (seperti bunga, kemenyan, dan
lainnya), dan ritual tersebut dilakukan di tempat terbuka. Adapun substansi dari
ritual tersebut terletak pada pemilihan daun berdasarkan ketentuan sebagaimana
dalam penjelasan sebelumnya. Kemudian berdoa kepada Tuhan untuk diberikan
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 36
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
keselamatan, pada bagian ini sudah jelas bahwa doa atau permohonan itu
ditujukan kepada Tuhan, bukan kepada dzat-dzat yang lain, serta pohon beringin
tersebut sebagai perantara atas doa-doa yang hendak dipanjatkan. Kemudian
terakhir adalah daun yang diambil kemudian dibawa dalam perjalanan, kalau
dianlogikan dalam tradisi agama Islam daun tersebut diperlakukan selayaknya
azimah/jimat yang dijadikan benda sebagai perantara atau mediator atas doa-doa
yang dipanjatkan.
Adapun ritual mitos wringin sepuh dilakukan atas dasar harapan atau
untuk memperoleh keselamatan dan kebaikan dalam hidup. Kemudian dalam
tradisi Islam, segala hal yang dilakukan untuk memperoleh keselamatan dikenal
dengan istilah Ikhtiyar. Secara bahasa kata ikhtiyar berarti mencari kebaikan atau
mencari hasil yang lebih baik. Kemudian secara istilah ikhtiyar dapat dipahami
sebagai segala jenis upaya/usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memunuhi
kebutuhan dalam hidup, baik kebutuhan yang bersifat material, spiritual,
kesehatan, atau kebaikan-kebaikan di masa depan, supaya hidupnya selamat dan
sejahtera dunia akhirat.
Istilah Ikhtiyar dalam pandangan Islam tidak bebas nilai, melainkan ada
batasan-batasan khusus yaitu ikhtiyar itu harus mengandung unsur kebaikan.
Adapun kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan yang ukurannya berdasarkan
kesesuaian dengan syari’at Islam, rasionalitas, adat istiadat, dan pendapat umum
(moral). kemduian faktanya juga menunjukkan bahwa ritual mitos wringin sepuh
tidak menunjukkan tanda-tanda atau bukti yang mengarah pada penyimpangan
terhadap syari’at islam karena doanya tetap ditunjukkan kepada Tuhan atau Allah
SWT., dan ritual dipercayai hanya sebagai perantara yang dilakukan untuk
memperoleh keselamatan yang diinginkan.
Kemudian selanjutnya adalah ritual mitos wringin sepuh dianlisis
berdasarkan fiqih. Dalam fiqih disebutkan bahwa sahnya suatu amal (tindakan)
disebut sebagai kebaikan jika memenuhi tiga hal, diantaranya adalah 1) Didasari
oleh niat yang baik, 2) Dilakukan dengan cara-cara yang baik, 3) Dimaksudkan
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 37
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
atau diorientasikan untuk tujuan yang baik. Kemudian sekarang hadapkan praktik
ritual mitos wringin sepuh dengan konsep fiqih di atas: Pertama, ritual mitos
dilakukan dengan niat yang baik yaitu untuk memperoleh keselamatan atas usaha
yang hendak dilaksanakan. Kedua, ritual dilakukan dengan cara-cara yang baik,
standar kebaikan tersebut tidak menyalahi syari’at karena tidak mengkultuskan
benda-benda atau ritual tertentu, sebab praktik yang dilakukan sebagai media atau
perantara dari tujuan. Kemudian secara ekologis juga tindakan mengambil dauun
tidak menyalahi atauran sebab tidak membahayakan ekosistem tumbuhan karena
daun yang diambil adalah daun yang sudah gugur dan jumlah pengambilannya
hanya dua lembar. Ketiga, ritual tersebut juga dimaksudkan untuk tujuan yang
baik, yaitu tujuan keselamatan dan kebaikan dalam hidup.
Tawakal
Tawakal merupakan tindakan menyerahkan diri kepada Allah, atau dalam
penjelasan lain diartikan sebagai menyandarkan diri kepada Allah. Adapun
maksud dari penyerahan dan penyandaran diri kepada Allah adalah penyerahan
yang dilakukan oleh manusia atas segala usaha yang telah dilakukannya. Artinya
usaha-usaha tersebut tidak dijadikan sebagai dasar untuk (keharusan) memperoleh
harapan, sebab harapan merupakan satu entitas dan takdir Allah adalah entitas
lain, keduanya dapat dikatakan berhubungan namun tidak sepenuhnya, karena
persoalan takdir adalah hak prerogatif Allah.
Konsep tawakal adalah aktif, artinya tidak hanya berada pada tataran
penyerahan melainkan ada usaha yang sudah dilakukan dan kemudian diserahkan.
Artinya penyerahan diri kepada Allah tidak semata-mata penyerahan melainkan
ada tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dengan sungguh untuk memperoleh
harapan kemudian selanjutnya diserahkan kepada Allah yang berhak atas taqdir
usaha manusia. tawakan merupakan sikap mental yang sungguh-sungguh dengan
keyakinan berserah kepada Allah, sebab dalam tauhid mengandung ajaran
keyakinan bahwa Allah yang mencipta alam raya beserta takdirnya masing-
masing.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 38
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Kemudian dikontekkan dengan fakta-fakta pada mitos wringin sepuh, yang
oleh masyarkat diyakini sebagai bentuk usaha atau ikhtiyar masyarakat dalam
menggapai keselamatan dalam hidup. Dalam beberapa kasus mungkin mitos
rentan menjatuhkan manusia pada kemusyrikan, sebab mudah terjadi tindakan
pengkultusan terhadap benda-benda atau ritual tertentu sehingga diyakini dapat
mengabulkan harapan-harapan manusia. Namun berbeda dalam kasus mitos
wringin sepuh, sebab banyak masyarakat yang dimintai penjelasan dan secara
tegas memisahkan antara ritual mitos dengan keyakinan terhadap kekuasaan
Allah.
Ritual dilakukan sebagai bentuk usaha untuk memperoleh keselamatan,
sehingga dengan melakukan rutual-ritual tersebut masyarakat akan merasa sudah
melakukan tugasnya sebagai manusia yang mesti berusaha dan secara psikologis
tentu usaha tersebut memberikan ketenangan tersendiri kepada yang melakukan.
Sebab masyarakat yang melakukan ritual memiliki keyakinan atas kebijaksanaan
dan pertolongan Allah, keyakinan tersebut kemudian memberikan suntikan
semangat dan optimisme terhadap masyarakat dalam menjalani usaha selanjutnya.
Keyakinan-keyakinan tersebut yang kemudian mendorong masyarakat untuk lebih
semangat dan sungguh-sungguh dalam melakukan berbagai usaha. Maka
kemudian menjadi logis jika usaha yang maksimal akan mendapat hasil yang
memuaskan, sama seperti iktiyar masyarakat yang dimaksudkan untuk
memperoleh keselamatan dan kebaikan dari ritual-ritual yang telah dilakukan.
Diantara beberapa manfaat dalam berikhtiyar dan bertawakkal kepada
Allah diantaranya adalah menumbuhkan harapan-harapan dalam hidup, kemudian
akan berusaha dan bekerja lebih giat karena memiliki harapan dan keyakinan akan
keberhasilan, serta dengan tawakal manusia akan lebih berani melangkah dan
tidak mudah putus asa, sebab keberhasilan dan kegagalan sudah diserahkan
kepada Allah dan manusia hanya sebatas berusaha.
Demikian juga yang disampaikan oleh masyarakat bahwa dengan
melakukan ritual mitos wringin sepuh mereka akan merasa optimis dalam
melakukan perjalanan, merasa lebih siap, dan secara psikologi mereka merasa
lebih tenang karena mereka memiliki keyakinan akan dijaga oleh Allah sebagai
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 39
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
dzat tempat mereka memanjatkan doa-doa dalam ritualnya. Bahkan berdasarkan
pengakuan seorang warga bahwa pernah suatu waktu terdapat warga yang sudah
melakukan ritual tersebut dan ternyata mengalami persoalan (kecelakaan) dalam
perjalanan namun mereka maish menunjukkan pertolongan-pertolongan Allah
dlam kecelakaan tersebut, yaitu dengan manyatakan bahwa insiden kecelakaan
tersebut sangat tragis dan tipis harapan korban untuk hidup. Namun Tuhan
berkehendak lain dan korban tida terlalu parah. Artinya masyarakat memang
menggantungkan keselamatan pada Allah (bukan pada ritual), sehingga jika
sekalipun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat tetap mencari
kebajikan dan pertolongan Allah.
Realitas tersebut membuktikan bahwa masyarakat telah melakukan
tindakan tawakal kepada Allah, yang dibuktikan dengan tidak menuntuk atau
mempersalahkan Allah dalam segala persoalan atau musibah dalam hidup mereka.
Iktiyar yang sudah dilakukan namun tidak dihendaki dengan takdir baik tidak
dijadikan alasan untuk mempersalahkan dan menuduh ketidak-adilah Tuhan.
Kemudian sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah bahwa
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu...”(Q.S. At-Taubah:105). Firman Allah tersebut dapat
disimpulkan bahwa Agama Islam tidak hanya menganjurkan beriman, tetapi juga
menghimbau beramal shaleh, bekerja dan berusaha.22
Kemudian setelah berusaha
barulah tawakal kepada Allah atas sgeal usah yang telah dilakukannya.
KESIMPULAN
Dalam upaya mengetahui corak kebudayaan dan keberislaman masyarakat
Indonesia yang khas dapat dikaji melalui pendekatan sejarah, yaitu mulai dibahas
dari sejak proses islamisasi khususnya di tanah nusantara. Bagaimana proses
doktrinasi keislaman diberikan, yang sekaligus dengan pendekatan-pendekatan
yang persuasive fan akulturatif. Kehadiran Islam tidak serta merta merubah
tatanan hidup, kearifan lokal, atau kebudayaan masyarakat setempat, karena yang
pertama kali diperkenalkan bukan Islam sebagai agama melainkan sebagai ajaran
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 40
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
atau pedoman perilaku masyarakat.kemudian dalam perkembangannya islam
dapat berjalan bersama tradisi masyarakat setempat dalam dalam kondisi tersebut
islam mulai masuk secara akulturatif dengan adat istiadat tersebut. Ajaran-ajaran
islam masuk dalam kebudayaan masyarakat baik pada aspek teknis pelaksanaan,
bacaan-bacaan yang dilafalkan, media yang digunakan, ataupun pada bagian
substansi lainnya. Sebab mitos tidak dipandang sebagai suatu yang mesti
dihilangkan, melainkan mitos dijadikan sebagai media penguat tradisi islam,
sebab dalam mitos tersebut diselipkan ajaran-ajaran dan nilai keislaman, sehingga
mitos dan Islam seperti dua entitas yang saling menguatkan dan melestarikan.
Kemudian dalam kontek eksistensi mitos wringin sepuh, dari aspek ritual
dan kepercayaan secara substansial tidak menyalahi prinsip-prinsi Islam,
khsusnya dalam aspek tauhid. Sebab kepercayaan masyarakat terhadap mitos
tersebut tidak lebih hanya sebagai perantara tersampainya doa-doa yang
dipanjatkan kepda Allah SWT. Sehingga dengan melakukan ritual tersebut merasa
telah melaksanakan tugas sebagai seorang hamba untuk berikhtiyar dan dalam
pemahaman masyarakat dapat ditegaskan bahwa posisi mitos tidak berbeda
sebagaimana keberadaan shalat dan berbagai jenis ibadah lain, yang sama-sama
difungsikan oleh kaum muslim sebagai perantara berhubungan, mendekatkan, dan
memanjatkan harapan-harapan kepada Allah.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 41
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Daftar Pustaka
Al-Imam Muslim. 2002. Shahih “Kitab Al-jannah”, Bab “Ma Fi al-Dunya min
Anhari” IV: 2183.Al-Jannah.
Bakdasy, Said Muhammad dan Ibnu Hajar al Asqalani.2002. Zamzam: Sejarah,
lagenda, dan Khasiatnya, diterjemahkan oleh M. Halaby Hamdi.
Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah.
Budiono Heru Satoto. 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya.
Edward Burnett Tylor. 2001.Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Tentang
Agama, Terjemah Ali Nur Zaman. Yogyakarta: AL-Kalam.
Humaeni Ayatullah. 2012. Makna Kultural Mitos Dalam Budaya Masyarakat
Banten, Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 33 No. 3 (2012).
Ilham, Lailul. 2019.Mitos Sendang Seliran dan Perilaku Sosial Masyarakat,
Tesis. UIN. Sunan Kalijaga Yogyakata.
Martin, Van Bruinessen. 1994.Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung:
Mizan.
Muhammad Nurul Ibad. 2007.Perjalanan dan jaran Gus Miek. Yogyakarta:
LKIS.
Purwadi. 2004.Da’wah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa
Berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robibin, Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas yang
Dinamis, Jurnal el-Harakah, Volume. 12, No. 2, Tahun 2010.
Simuh. 2002.Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
-
22 – 42: Lailul Ilham Page 42
AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan
Vol. 4 No. 1. 2020
Simuh. 2003.Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.
Soehadha, Moh. 2014.Fakta Dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan Sosio-
Antropologi (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia.
Susanto Hary, P.S. 1987.Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:
Kanisius
Suwardi Endraswara. 2004.Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme Dan Sufusme
Dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Suyamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa Dalam Pemerintahan Dan Pembangunan.
Semarang: Dahara Prize.