alasan indonesia terpilih menjadi anggota...
TRANSCRIPT
ALASAN INDONESIA TERPILIH MENJADI
ANGGOTA TIDAK TETAP DEWAN KEAMANAN
PBB PERIODE 2019-2020
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Boeike Adam Noor
11151130000014
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis alasan Indonesia terpilih menjadi anggota tidak
tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2019-
2020. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengapa Indonesia terpilih
menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB periode 2019-2020 dengan
menjabarkan upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dalam masa
kampanyenya. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka sebagai sumber
data. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah konsep
Diplomasi dan Politik Luar Negeri. Dari hasil analisis dengan menggunakan konsep
tersebut ditemukan bahwa Indonesia mengupayakan diplomasi baik secara bilateral
maupun multilateral serta menggunakan Politik Luar Negeri Bebas Aktif untuk
memenangkan kursi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Kontribusi
Indonesia dalam perdamaian dunia juga merupakan alasan negara-negara anggota
PBB memberikan kepercayaan kepada Indonesia untuk menempati kursi tersebut.
Penelitian ini menganalisis ke dalam dua bagian. Pertama, kekuatan
diplomasi Indonesia dengan pola diplomasi bilateral dan multilateral. Dalam
menggalang dukungan komitmen suara dari negara-negara anggota PBB, Indonesia
mengupayakan kampanye dengan meminta dukungan untuk dipilih pada sesi-sesi
khusus pertemuan bilateral maupun multilateral dengan negara-negara anggota
PBB. Indonesia berhasil mendapat dukungan kuat dari negara-negara Asia, Eropa,
Afrika, dan Amerika Latin. Di sisi diplomasi multilateral, Indonesia mengupayakan
kampanyenya dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Meksiko,
Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia (MIKTA), dan Indian Ocean Rim
Association (IORA). Dimana dalam ketiga forum tersebut Indonesia banyak
mendapatkan dukungan suara. Kedua, Indonesia terpilih atas kontribusinya dalam
perdamaian dunia berdasarkan politik bebas aktif. Tercatat hingga 2019, Indonesia
memiliki kontribusi personel untuk United Nations Peacekeeping Operations
(UNPKO) sebanyak 2.871 orang tersebar di sembilan misi perdamaian PBB,
dengan mayoritas melayani United Nations Hybrid Operation in Darfur
(UNAMID) dan United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL).
Kata kunci: Diplomasi, Dewan Keamanan PBB, Indonesia.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
berkah, rahmat dan hidyah-Nya yang senantiasa dilimpahakan kepada penulis,
sehingga bisa menyelasaikan skripsi dengan judul “ALASAN INDONESIA
TERPILIH MENJADI ANGGOTA TIDAK TETAP DEWAN KEAMANAN PBB
PERIODE 2019-2020” sebagai syarat untuk menyelesaiakan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politikprogram studi
Hubungan Internasional UIN Syatif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini banyak hambatan serta rintangan yang
penulis hadapi namun pada akhirnya dapat melaluinya berkat adanya bimbingan
dan bantuan dari berbgai pihak baik secara moral maupu spiritual. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Orang tua yang selalu memberi dukungan baik moral maupun materi, Bapak
Martawi S.Pd dan Ibu Nuraeni S.Pd.I serta adik-adikku Ahadi Noor Fajri
dan Alwi Noor Rohim yang selalu menemani dan memberi semangat.
2. Bapak Robi Sugara M.Sc selaku dosen mata kuliah pengkajian stratejik dan
resolusi konflik sekaligus dosen pembimbing yang selalu memberikan
arahan, saran dan bimbingan selama proses pembuatan skripsi ini dari mulai
pemilihan tema hingga selesainya skripsi ini. Semoga dimudahkan segala
urusannya dan dilancarkan rezekinya.
3. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terimakasih atas ilmu
yang sudah diberikan selama masa perkuliahan. Terlebih kepada Bapak M.
vii
Adian Firnas M.Si selaku dosen pembimbing akademik saya yang selalu
memberikan bimbingan selama saya menjadi mahasiswa HI UIN Jakarta.
4. Teman-teman satu kelas dan organisasi Penulis, HI A 2015 " The Dank A
Team", PMII KOMFISIP, FORSA UIN JAKARTA, DIVISI BASKET UIN
JAKARTA atas kebersamaan, pengalaman dan pembelajaran.
5. Seseorang spesial dan memiliki tempat tersendiri di hati penulis yang telah
menemani lebih dari tiga tahun. Hana Febiani, yang memberikan support
dalam keadaan senang maupun sulit dan selalu ada di sisi dan pikiran
penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan karenanya
penulis mohon maaf atas kekurangan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Jakarta, 27 November 2019
Boeike Adam Noor
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL............................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 5
E. Kerangka Pemikiran.................................................................... 7
1. Diplomasi …………………………………………………..... 7
1.1. Diplomasi Bilateral …………………………….……..10
1.2. Diplomasi Multilateral .…………………….................11
2. Politik Luar Negeri ………………………………………..... 12
F. Metode Penelitian ..................................................................... 15
G. Sistematika Penelitian ............................................................... 17
BAB II DEWAN KEAMANAN PBB ......................................................... 19
A. Profil Dewan Keamanan PBB ................................................... 19
1. Sejarah Awal Dewan Keamanan PBB ................................... 19
2. Keanggotaan Dewan Keamanan PBB .................................... 27
3. Tanggung Jawab Utama Dewan Keamanan PBB................... 33
B. Fungsi dan Kewenangan Dewan Keamanan PBB ...................... 35
C. Sistem Pengambilan Keputusan Dewan Keamanan PBB ........... 43
ix
BAB III KETERLIBATAN INDONESIA DALAM DEWAN KEAMANAN
PBB ................................................................................................. 46
A. Sejarah Indonesia dalam Keanggotaan Dewan Keamanan PBB 46
B. Tantangan dan Peluang Indonesia dalam Keanggotaan Dewan
Keamanan PBB ............................................................................... 52
C. Politik Luar Negeri Indonesia "Bebas-Aktif" …………….…….58
BAB IV ANALISIS ALASAN INDONESIA TERPILIH MENJADI
ANGGOTA TIDAK TETAP DEWAN KEAMANAN PBB
PERIODE 2019-2020 ..................................................................... 62
A. Kekuatan Diplomasi Indonesia .................................................. 63
1. Diplomasi Bilateral ............................................................... 65
2. Diplomasi Multilateral .......................................................... 70
B. Kontribusi Indonesia dalam Perdamaian Dunia ........................... 72
C. Kepentingan Nasional Indonesia dalam Keanggotaan Dewan
Keamanan PBB ……………………………………………………..77
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 82
A. Kesimpulan ................................................................................ 82
B. Saran ......................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... xii
Lampiran-lampiran ……………………………………………………….......xix
x
DAFTAR SINGKATAN
AS Amerika Serikat
AOSIS Alliance of Small Island States
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
DK Dewan Keamanan
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
E10 Elected Ten
IORA Indian Ocean Rim Association
KEMLU Kementerian Luar Negeri
LBB Liga Bangsa-Bangsa
MENLU Menteri Luar Negeri
MIKTA Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia
NAM Non-Aligned Movement
P5 Permanent Five
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
RI Republik Indonesia
SIDS Small Island Developing States
UNAMID United Nations Hybrid Operation in Darfur
UNIFIL United Nations Interim Force in Lebanon
UNPKO United Nations Peacekeeping Operation
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Peta Sebaran Pasukan Perdamaian
PBB .…………………………….………………………………..40
Gambar III.1 Presiden Suharto Menghadiri Non Aligned Movement (NAM) 1995
…………………………………………….……………………...48
Gambar III.2 Menlu Ali Alatas Dalam Pertemuan Anggota DK PBB
1996…………..…………………………………………………..49
Gambar III.3 Menlu Hasan Wirajuda Dalam Pertemuan DK PBB
2007……………………………………………..……………......49
Gambar III.4 Pembagian Regional Anggota Tidak Tetap DK PBB…………....51
Gambar IV.1 Jumlah Personel UNPKO Indonesia ………………………..….. 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skripsi ini membahas alasan terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak
tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2019-
2020. Konstelasi politik global dewasa ini berubah dengan sangat signifikan.
Sebagian besar perubahan ini dimulai sejak tahun 1990. Berakhirnya Perang Dingin
menjadi pemicu perubahan-perubahan struktur, tatanan hubungan internasional,
agenda dan isu politik global yang telah lahir sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Misalnya, tatanan hubungan internasional kini tidak lagi berpusar kepada dua
hegemoni besar yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) melainkan menjadi
multipolar seiring terbentuknya kekuatan-kekuatan baru yang membentuk tatanan
internasional yang baru.1
Seiring dengan adanya globalisasi yang mengakibatkan tantangan dan
ancaman bersifat multidimensional, Indonesia dituntut untuk melakukan kemitraan
secara global. Dalam melaksanakan kepentingan nasionalnya, Indonesia
melaksanakan hubungan antarnegara baik secara bilateral maupun multilateral.
Diplomasi menjadi salah satu komponen dari upaya nasional untuk menghadapi
tantangan global. Maka dari itu Indonesia bergabung dengan organisasi atau forum
internasional baik secara regional maupun internasional.2 Salah satunya yakni
1 Ganewati Wuryandari, “Politik Luar Negeri Indonesia: Refleksi dan Prediksi 10 Tahu”,
Pusat Penelitian Politik LIPI, 2008. Hal. 59, Diunduh dari
http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/503/312 2 Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2011, “Diplomasi Indonesia 2010”, Kementerian
2
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi organisasi internasional terbesar
di dunia. Pada 28 September 1950, Indonesia bergabung dengan PBB sebagai
anggota ke-60.3
Indonesia terhitung empat kali berhasil mendapatkan kursi sebagai anggota
tidak tetap DK PBB mewakili wilayah Asia Pasifik. Pada 2018, Indonesia kembali
dipercaya menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 1 Januari 2019 sampai 30
Desember 2020. Sebelumnya, Indonesia telah menempati posisi yang sama pada
periode 1973-1974, 1995-1996, dan periode 2007-2008.4 Pada 8 Juni 2018,
Indonesia yang bersaing dengan Maladewa untuk menjadi wakil regional Asia
Pasifik, memperoleh suara sebanyak 144 dari 190 negara anggota PBB yang
memberikan suaranya. Indonesia akhirnya terpilih setelah unggul dari Maladewa
yang hanya memperoleh 46 suara.5
Setiap tahun, Majelis Umum PBB memilih lima negara secara regional
untuk menempati kursi anggota tidak tetap DK PBB melalui pemungutan suara
tertutup. Setiap kandidat anggota tidak tetap DK PBB mencari janji suara dari
negara anggota PBB seringkali dalam jangka waktu bertahun-tahun sebelum
pemilihan dan dapat terus melakukannya hingga hari pemilihan. Kandidat akan
memenangkan kursi anggota tidak tetap DK PBB apabila memenuhi 2/3 suara atau
Luar Negeri Indonesia, Hal. 1 Dalam https://www.kemlu.go.id/Buku/Buku%20Diplomasi%20Indonesia%202010.pdf
3 Resolusi Majelis Umum PBB nomor A/RES/491 (V) tentang penerimaan Republik
Indonesia dalam keanggotaan di Perserikatan Bangsa Bangsa, Diunduh dari
http://www.worldlii.org/int/other/UNGARsn/1950/2.pdf 4 Humphrey Wangke, “Prioritas Diplomasi Indonesia Di Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa”, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol. XI, No.04/II/Puslit/Februari/2019.
Hal. 7 5 Sita Hidriyah, “Peran Strategis Indonesia Menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa” Vol. X, No. 12/II/Puslit/Juni/2018 tersedia dalam
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-X-12-II-P3DI-Juni-2018-229.pdf
3
129 suara dari seluruh 193 negara anggota PBB.6 Dalam kurun waktu ini diplomasi
dilakukan oleh negara kandidat untuk mendapatkan suara pada hari pemilihan
kelak. Berbagai kampanye juga dilakukan baik dalam bentuk website, pernyataan
resmi, dan pamphlet.
Persaingan ketat dalam pemilihan tahun 2018 terletak pada wilayah Asia-
Pasifik dimana Indonesia dihadapkan dengan Maladewa. Tantangan pertama yang
dihadapi Indonesia yakni Maladewa merupakan saingan yang berat bagi Indonesia,
karena Maladewa merupakan negara yang baru pertama kali mencalonkan diri pada
pemilihan DK PBB sehingga dianggap dapat memberikan semangat baru dalam DK
PBB. Ini adalah pertama kalinya dalam 51 tahun Keanggotaan PBB Maladewa
mengajukan pencalonannya untuk kursi tidak tetap di DK PBB. Hal tersebut
menjadi daya tarik yang amat kuat negara-negara yang baru mencalonkan diri,
seperti Maladewa untuk dipilih dalam pemilihan DK PBB.7
Tantangan kedua yakni Maladewa sebagai Small Island Developing States
(SIDS) mengkampanyekan bahwa keanggotaan DK harus mewakili keanggotaan
PBB. Sejak 1946, hanya 8 SIDS yang bertugas di Dewan, dari 57 anggota PBB.
Maladewa yakin bahwa ini adalah saatnya anggota negara dari golongan SIDS
untuk merepresentasikan diri dalam DK PBB dikarenakan SIDS mewakili 20% dari
keseluruhan keanggotaan negara di Majelis Umum PBB. Tantangan ketiga adalah
6 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei 2018,
Hal. 6-9 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-
8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 7 Permanent Mission of the Republic of Maldives to the UN, “Maldives for the United
Nations Security Council 2019-2020”, 20 Juni 2018, Tersedia dalam
http://maldivesmission.com/campaign/maldives_for_the_unsc_2019_2020 diakses pada 20
September 2019
4
Maladewa merupakan ketua Alliance of Small Island States (AOSIS) yang berfokus
pada pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim. Selain itu, Maladewa juga
tergabung dalam United Nations Human Rights Council, Executive Board of UN
Women, G77, dan Gerakan Non-Blok.8
Selain itu, signifikansi masalah pada skripsi ini terletak pada selama
terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB beberapa tahun silam
tidak memberikan perubahan signifikan dalam mereformasi DK PBB. Indonesia
kurang menerapkan kampanye penghapusan hak veto yang dijanjikannya. Dalam
beberapa kesempatan, Indonesia menyatakan akan mengedepankan diskusi
informal mengenai reformasi DK PBB dengan beberapa negara terkait. Hal ini
dinilai kurang efektif karena Indonesia belum berani untuk menyuarakan wacana
reformasi DK PBB pada forum terbuka atau setidaknya bergabung dengan beberapa
blok reformasi DK PBB yang ada. Dengan begitu, penelitian ini menarik untuk
dibahas karena beberapa tantangan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan yakni
mengapa Indonesia yang terpilih dalam pemilihan anggota DK PBB periode 2019-
2020.
B. Pertanyaan penelitian
Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dalam skripsi ini adalah Mengapa
Indonesia Terpilih Menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB
Periode 2019-2020?
8 Permanent Mission of the Republic of Maldives to the UN, “Maldives for the United
Nations Security Council 2019-2020”, 20 Juni 2018, Tersedia dalam
http://maldivesmission.com/campaign/maldives_for_the_unsc_2019_2020 diakses pada 20
September 2019
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
Mengetahui mengapa Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB periode 2019-2020.
Mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai Dewan Keamanan PBB.
Mengetahui keterlibatan Indonesia di dalam Dewan Keamanan PBB.
Skripsi ini diharapkan memberikan manfaat untuk:
Memperkaya ilmu pengetahuan akademisi ilmu hubungan internasional,
baik dosen maupun mahasiswa serta masyarakat luas terkait dengan alasan
Indonesia terpilih kembali menjadi anggota tidak tetap DK PBB.
Memberikan informasi bagi para akademisi bidang studi Hubungan
Internasional maupun masyarakat dalam melihat posisi Indonesia di
tatanan global.
Memberikan referensi mumpuni mengenai Indonesia dan keterlibatannya
dalam DK PBB bagi pelaksana kebijakan pemerintah.
D. Tinjauan Pustaka
Indonesia as Non-Permanent Member of United Nations Security Council:
Pursuit of Peace for Rohingya and Palestine oleh Nia Norlyanti membahas
mengenai pentingnya kerjasama internasional bagi Indonesia dalam PBB.
Penelitian ini membahas latar belakang Indonesia bergabung dalam pemilihan
sebagai anggota tidak tetap di DK PBB. Menurut Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia, Retno Marsudi, krisis Rohingya dan Konflik Palestina menjadi fokus
6
keaktifan Indonesia jika terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB.9
Peran Strategis Indonesia Menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Sita Hidriyah menyimpulkan bahwa Indonesia
perlu memainkan peran strategis ketika pada awal Januari 2019 hingga akhir 2020
dalam menjalankan tugas sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Peran strategis
tersebut perlu diarahkan pada upaya mencari solusi damai terhadap potensi konflik
ataupun konflik-konflik yang terjadi di berbagai kawasan dunia. Indonesia harus
memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas global, serta mendorong budaya
habit of dialogue, agar penyelesaian konflik dapat selalu dilakukan secara damai.
Indonesia juga harus berupaya meningkatkan sinergi antara organisasi kawasan
dengan DK PBB dalam menjaga perdamaian.10
Research Report: Security Council Elections 2018 merupakan laporan yang
dikeluarkan oleh DK PBB pada Mei 2018, merangkum mengenai kegiatan yang
akan diadakan pada 8 Juni 2018, sesi ke-72, yakni Majelis Umum PBB dijadwalkan
untuk mengadakan pemilihan untuk Dewan Keamanan. Dalam laporan peserta-
peserta yang akan berkompetisi untuk memenangkan kursi anggota tidak tetap DK
PBB dari masing-masing regional dan bagaimana kampanye yang dilakukan oleh
negara tersebut, dijelaskan pula mengenai aturan, bagaimana menjadi kandidat, dan
latar belakang secara historis pemilihan anggota tidak tetap DK PBB.11
9 Nia Norlyanti, “Indonesia as Non-Permanent Member of United Nations Security
Council: Pursuit of Peace for Rohingya and Palestine”, Atlantis Press Vol. 241 tersedia dalam
https://download.atlantis-press.com/article/25904108.pdf 10 Sita Hidriyah, “Peran Strategis Indonesia Menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa” Vol. X, No. 12/II/Puslit/Juni/2018 tersedia dalam
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-X-12-II-P3DI-Juni-2018-229.pdf 11 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 4 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
7
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, terdapat persamaan yang dapat
dilihat dengan skripsi ini. Yakni pembahasan mengenai DK PBB, latar belakang
Indonesia mengajukan diri menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-
2020, upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam pemilihan tersebut, dan
bagaimana prosedur untuk menjadi negara kandidat serta mekanisme pemilihan
anggota tidak tetap DK PBB. Sedangkan perbedaannya yakni skripsi ini mencoba
untuk menjelaskan alasan terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK
PBB periode 2019-2020.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan satu konsep yaitu Diplomasi dan Politik Luar
Negeri.
1. Diplomasi
Secara etimologis, kata diplomasi diserap melalui bahasa Prancis dari
bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata, diplo berarti "dilipat menjadi dua,"
dan akhiran -ma, yang berarti "sebuah objek." Kata diploma dapat diobjetifikasikan
menjadi sebuah dokumen yang memberikan hak istimewa atau izin dalam
bepergian bagi pembawanya dan berisi perjanjian antara kerajaan.12 Diplomasi
pertama kali muncul selama revolusi Prancis dan menyebar cepat melintasi Eropa.
Di mana diplomasi selama 150 tahun sejak abad ke 18 secara bertahap menjadi
didefinisikan sebagai kebalikan dari perang dan merupakan mekanisme utama dari
kerjasama.13
12 Chas. W. Freeman dan Sally Marks, “Diplomacy”,
https://www.britannica.com/topic/diplomacy diakses pada 20 September 2019 13 Halvard Leira, 2016, “A Conceptual History of Diplomacy”, (London: SAGE
Publications) Hal. 34-35
8
Mengenai definisi diplomasi para pakar memberikan definisi yang berbeda-
beda, seperti Panikkar yang menyatakan bahwa diplomasi merupakan sebuah seni
dalam mengedepankan kepentingan nasional suatu negara dalam berhubungan
dengan negara lain. Adapun White berpendapat diplomasi merupakan proses kunci
komunikasi dan negosiasi dalam politik dunia dan sebagai instrumen kebijakan luar
negeri yang digunakan oleh aktor-aktor global.14
Hubungan diplomatik dapat bersifat bilateral atau multilateral. Hubungan
bilateral secara formal menghubungkan satu negara bagian atau pemerintah dengan
negara lain. Sedangkan diplomasi multilateral dapat berbentuk konferensi dua
negara atau lebih. Dapat pula bersifat konferensi permanen yakni organisasi
internasional. Pentingnya organisasi internasional tidak terletak pada diplomasi
multilateral mereka tetapi dalam keuntungan yang mereka berikan untuk hubungan
antara dua negara. Diplomasi multilateral yang sesungguhnya adalah pelaksanaan
urusan di antara tiga negara atau lebih yang berusaha menyelesaikan masalah
bersama-sama, seperti di Majelis Umum PBB, atau menyelesaikan masalah
internasional seperti pada DK PBB.15
Fungsi diplomasi dijabarkan oleh Bull ke dalam empat poin, antara lain,
pertama adalah untuk memungkinkan komunikasi diplomatik antara berbagai
komponen dalam politik global dan di antara para pemimpin negara karena tanpa
komunikasi komunitas internasional tidak mungkin eksis. Fungsi kedua diplomasi
adalah untuk menegosiasikan perjanjian. Tugas bagi diplomat dengan demikian
14 Brian White, 2005, “The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations”, 3rd edition. (Oxford: Oxford University Press) Hal. 387 15 Hedley Bull, 2012, “The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics Fourth
edition”, (New York: Palgrave Macmillan) Hal 158-159
9
yakni menentukan kepentingan melalui persuasi dan rasionalitas. Hal tersebut
dikarenakan jika perjanjian tidak dinegosiasikan, perjanjian antar negara masih
mungkin dapat terjadi, akan tetapi memiliki kemungkinan besar hanya melibatkan
pertemuan jangka pendek dan dapat menimbulkan permusuhan antara pihak-pihak
akibat kesalahan komunikasi. Ketiga, untuk mengumpulkan intelijen dan informasi
yang berkaitan dengan negara lain. Suatu negara tidak ingin negara lain untuk
mengumpulkan informasi tentang dirinya sendiri, tetapi ingin memiliki informasi
tentang negara lain atas dasar kepentingan nasionalnya. Fungsi terakhir adalah
meminimalkan efek dari gesekan dalam hubungan diplomatik. Pada hal ini, para
diplomat sebagai pelaksana diplomasi, memiliki fungsi untuk mengurangi
ketegangan dan, jika memungkinkan, mengatasinya.16
Skripsi ini menggunakan pendekatan diplomasi untuk menganalisa jawaban
pertanyaan penelitian. Diplomasi merupakan sebuah cara atau praktik dari
pelaksanaan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional dimana
Indonesia mengupayakan dua pola diplomasi, yakni bilateral diplomacy dan
multilateral diplomacy. Diplomasi Indonesia dalam menjadi pemenang pada
pemilihan anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020 menggunakan cara-cara
yang sesuai misalnya negosiasi sebagai representasi utama dari soft power.
Penulis membahas usaha Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap DK
PBB, dalam hal ini adalah diplomasi yang menjadi alasan terpilihnya Indonesia
menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Indonesia melakukan
16 Hedley Bull, 2012, “The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics Fourth
edition”, (New York: Palgrave Macmillan) Hal. 164-165
10
sejumlah kunjungan diplomatik baik secara bilateral maupun multilateral yang
dilakukan oleh perwakilan Indonesia kepada negara-negara sahabat dalam menjalin
kerjasama baik dibidang politik, ekonomi, keamanan, dan pariwisata.
1.1 Diplomasi Bilateral
Diplomasi bilateral menurut The Oxford Handbook of Modern Diplomacy
(2013) merupakan balok pondasi dasar dalam pembangunan hubungan antar
negara. Bentuk dari pola diplomasi ini adalah dengan interaksi dua negara karena
saling membutuhkan, mempengaruhi atau dominasi, dan adanya keuntungan yang
ingin diraih pada perdagangan internasional. Tradisi diplomasi kuno ini memiliki
sifat yang empiris karena seperangkat aturan yang disepakati banyak yang tidak
tertulis, melainkan berupa dialog, pertemuan, dan interaksi sosial lainnya.
Diplomasi ini berupaya membangun hubungan yang mempromosikan
kelangsungan hidup dan keamanan masing-masing dari dua negara yang terlibat.
Diplomasi bilateral memungkinkan terjadinya aliansi. Dengan begitu, hubungan
bilateral menjadi hubungan yang strategis. Diplomasi ini menentukan kapan, di
mana, dan bagaimana hubungan negara-ke-negara tertentu akan menjadi lebih
relevan. Diplomasi bilateral adalah diskusi dan kesepakatan antara kedua negara. Ia
cenderung terfokus pada kedutaan dan dapat berupa pertukaran budaya, perjanjian
perdagangan, latihan militer bersama, atau hanya berupa dialog di antara para
kepala negara.17
17 Andrew F. Cooper, 2013, “The Oxford Handbook of Modern Diplomacy”, (Oxford:
Oxford University Press) Hal. 204
11
1.2 Diplomasi Multilateral
Diplomasi Multilateral erat hubungannya dengan multilateralisme. Maka
James P. Muldoon menjabarkan pola diplomasi ini dengan memulai pembahasan
multilateralisme dalam The Oxford Handbook of Modern Diplomacy (2013).
Multilateralisme merupakan aliansi yang terdiri dari sedikitnya tiga negara dalam
mencapai tujuan atau kepentingan nasional. Multilateralisme berfungsi untuk
mengikat kekuatan-kekuatan besar, mencegah unilateralisme, dan memberikan
kekuatan-kekuatan kecil kesempatan bersuara dan memilih yang seharusnya
mereka pilih demi kelangsungan hidupnya. Multilateralisme dapat didefinisikan
sebagai pemerintahan global yang mengatur banyak negara dan prinsip utamanya
adalah meminimalisir unilateral yang diyakini akan meningkatkan potensi dominasi
pihak yang berkuasa atas yang lemah sehingga dapat meningkatkan konflik
internasional. Maka dari itu, kesenjangan kekuasaan dapat diatasi dengan cara
mengontrol negara-negara adidaya melalui tindakan kolektif sehingga tidak
cenderung bertindak tidak adil kepada negara-negara yang lebih lemah. Negara-
negara maju juga menyetujui perjanjian diplomatik multilateral dengan menulis
aturan, misalnya pada DK PBB yakni memiliki hak istimewa hak veto dan status
khusus.18
Diplomasi multilateral adalah pengelolaan hubungan internasional dengan
negosiasi di antara tiga negara atau lebih melalui perwakilan diplomatik atau
pemerintah. Idealnya, agar diplomasi multilateral berpengaruh, perlu ada satu
18 Andrew F. Cooper, 2013, “The Oxford Handbook of Modern Diplomacy”, (Oxford:
Oxford University Press) Hal. 217
12
aturan untuk semua, dan semua orang perlu bekerja sama. Tujuan dari diplomasi
multilateral harus dicapai melalui debat, diskusi, dan kompromi tetapi pada
akhirnya, akan ditentukan pemilihan secara demokratis dimana suara mayoritas
yang diterapkan.19 Multilateral Diplomacy merupakan tradisi kuno diplomasi yang
berasal dari Perjanjian Westphalia. Pola diplomasi ini memiliki tujuan untuk
kebebasan negara dalam mengekspresikan kepentingannya secara berkelompok.
Terdapat satu perbedaan mendasar antara diplomasi bilateral dan diplomasi
multilateral. Pada diplomasi multilateral, kerjasama antar negara-negara di seluruh
dunia biasanya dilakukan pada suatu lembaga internasional seperti International
Non-Governmental Organizations (NGO’S), International Conferency, dan
Summit Meetings. Contohnya yakni Uni Eropa dan PBB. Sedangkan diplomasi
bilateral hanya dilakukan oleh dua negara secara non-forum.
2. Politik Luar Negeri
Menurut James N. Rosenau, politik luar negeri merupakan seperangkat
prinsip yang mendasari adanya hubungan luar negeri antar negara satu dengan yang
lain. Seperangkat prinsip ini dapat mengacu pada sebuah rencana strategis yang
akan dilakukan pemerintah dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Akhirnya
rencana tersebut diterjemahkan menjadi langkah yang nyata yakni berupa
mobilisasi sumberdaya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek dalam
pencapaian kepentingan nasional.20
19 Andrew F. Cooper, 2013, “The Oxford Handbook of Modern Diplomacy”, (Oxford:
Oxford University Press) Hal. 218 20 James N. Rosenau, 1976, “The Study of Foreign Policy” (New York: Free Press) Hal. 16
13
Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia adalah Undang-
Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945. UUD 1945 utamanya
pembukaan menjelaskan tentang cita-cita bangsa dalam bernegara di dunia
internasional. Alinea pertama dalam pembukaan UUD 1945, landasan politik luar
negeri dinyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesusi dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Kemudian pada pembukaan
UUD 1945 alinea keempat dinyatakan, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
Aktor-aktor yang berperan dalam politik luar negeri terdiri dari: 1)
Pimpinan Tertinggi Eksekutif, 2) Menteri Luar Negeri dan Menteri terkait, 3) DPR,
4) LSM, Pengusaha, Kelompok Kepentingan. Politik luar negeri harus memenuhi
tiga unsur, antara lain strategi, tujuan (kepentingan nasional), masalah
internasional. Sumber utama politik luar negeri terdiri dari empat sumber utama
yaitu systemic sources (eksternal), societal sources (internal), governmental
sources (pemerintah), idiosyncratic sources (pengalaman). Politik luar negeri
merupakan identitas suatu negara dalam melakukan hubungan dengan negara lain.21
Politik luar negeri bebas aktif dilaksanakan oleh Presiden Indonesia yang
ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan beberapa ciri yang konsekuen.
Pertama, Indonesia melakukan pendekatan konstruktif dalam menjalankan politik
21 Nazaruddin Nasution, 2018, “Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia”, (Jakarta:
Yayasan Bina Insan Cita) Hal. 7
14
luar negeri. Kedua, Indonesia tidak terlibat dalam persekutuan militer mana pun
kecuali Peacekeeping Operations (PKO). Ketiga, politik bebas aktif berkaitan
dengan masalah konektivitas yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan dunia.
Keempat, bebas dan aktif menampilkan sikap identitas nasionalnya secara global.
Presiden SBY juga menyampaikan prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia
ke dalam kalimat, “thousand friends, zero enemy”, yang artinya Indonesia bertujuan
untuk memiliki relasi sebanyak-banyaknya dengan tidak memiliki musuh sama
sekali.22
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, Dr. Abdurrahman Mohammad
Fachir pada konvensi Meninjau 70 Tahun Politik Bebas Aktif Indonesia,
menyatakan konstelasi politik internasional saat ini mengalami banyak dinamika.
Saat ini, Indonesia tidak lagi berpegang pada prinsip mendayung di antara dua
karang, tetapi di antara banyak karang. Fachir menyampaikan politik bebas aktif
sangat cocok dalam mengupayakan kepentingan nasional Indonesia. Terlebih,
dalam berperan demi mewujudkan perdamaian dunia. Menurut Fachir, prinsip
politik luar negeri bebas aktif diprediksi masih terus kuat. Politik bebas aktif
berkontribusi dan selalu menjadi bagian dari solusi atas persoalan bangsa-bangsa
dengan mengedepankan pendekatan win-win solution.23
22 Yanyan Mochamad Yani, “Change and Continuity In Indonesian Foreign Policy”, Hal.
19-22 terdapat dalam http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/01/change_and_continuity_in_indonesia_foreign_policy.pdf 23 Humas UGM. “Politik Bebas Aktif Indonesia Masih Relevan” (7 September 2018)
https://ugm.ac.id/id/berita/16997-politik-bebas-aktif-indonesia-masih-relevan diakses pada 25
November 2019
15
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, politik luar negeri bebas aktif dapat
dijadikan analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan identitas
Indonesia di ranah internasional. Bebas berarti tidak terikat kepada suatu blok
negara adikuasa tertentu. Sementara aktif berarti aktif dalam mengembangkan
kerjasama internasional dengan negara lain. Politik luar negeri bebas aktif
digunakan oleh Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya, dalam hal ini
khususnya, untuk memenangkan kursi anggota tidak tetap DK PBB. Indonesia
menggunakan politik luar negeri bebas aktif sebagai strategi untuk mencapai
tujuannya dengan banyak berkontribusi pada perdamaian dunia, seperti, bergabung
dengan organisasi-organisasi internasional, forum internasional, dan menyumbang
bantuan kemanusiaan serta militer melalui peacekeeping operations PBB.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Menurut Creswell, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
digambarkan sebagai sebuah proses penyelidikan dalam memahami masalah sosial,
yang didasarkan pada pembangunan gambaran yang kompleks yang dibentuk
melalui kata-kata. Metode penelitian kualitatif menggunakan sarana naratif sebagai
penyampaian penelitiannya. Metode ini dipilih karena penelitian kualitatif bersifat
penyelidikan, yakni, topik atau yang dipelajari belum banyak ditulis dan mencoba
mencari informasi untuk membentuk gambaran berdasarkan ide-ide peneliti. Selain
itu, metode ini memfokuskan pada proses, arti, dan pemahaman yang diperoleh
melalui kata-kata atau gambaran. Karakteristik dari masalah penelitian kualitatif
adalah: (a) konsepnya belum matang karena kurangnya teori dan penelitian
16
sebelumnya; (b) gagasan bahwa teori yang tersedia mungkin tidak akurat, tidak
pantas, salah, atau bias; (c) ada kebutuhan untuk mengeksplorasi dan
menggambarkan masalah lebih jauh. Sumber yang digunakan dalam penelitian
kualitatif didapatkan dengan beberapa cara, antara lain observasi, wawancara,
dokumen, dan data audio visual. 24
Selanjutnya dalam penelitian kualitatif diperlukan sumber data primer dan
sekunder. Dalam penelitian ini data primer yang di ambil berupa dokumen-
dokumen DK PBB yang berkaitan dengan pemilihan keanggotaan tidak tetap DK
PBB periode 2019-2020. Sedangkan data lainnya terdiri dari buku-buku, jurnal, dan
publikasi elektronik lainnya yang berhubungan dengan keunggulan Indonesia
sehubungan dengan alasan terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK
PBB periode 2019-2020. Dalam penelitian ini dijelaskan tentang bagaimana alasan
terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020.
Penelitian ini menganalisis studi kasus alasan terpilihnya Indonesia dalam
pemilihan anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa pencarian
sumber pustaka. Adapun kekurangan dari skripsi ini yaitu tidak memiliki sumber
data berupa wawancara. Wawancara tidak dilakukan karena data dapat diperoleh
dari pernyataan tokoh-tokoh penting berkaitan dengan skripsi ini yang dimuat di
dalam berita. Proses pengerjaan skripsi ini berlangsung selama empat bulan dimulai
dari Juni hingga Oktober 2019.
24 John W Creswell, 2014, “Research Design: Qualitative and Quantitative Approach and
Mixed Methods”, (California: Sage Publication)
17
G. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari 7 bagian antara lain latar belakang, pertanyaan penelitian,
tujuan penulisan, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Tujuan dari bab ini adalah untuk menjadi bahan pengantar
penelitian.
BAB II DEWAN KEAMANAN PBB
Dalam bab ini membahas mengenai profil, fungsi dan kewenangan, dan
sistem pengambilan keputusan DK PBB. Bab ini bertujuan untuk mendeskripsikan
tinjauan umum mengenai DK PBB.
BAB III KETERLIBATAN INDONESIA DALAM DEWAN KEAMANAN
PBB
Dalam bab ini membahas dibahas mengenai keterlibatan Indonesia dalam
DK PBB, tantangan, peluang, dan politik luar negeri Indonesia dalam menjadi
anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Pada bab ini penulis
memfokuskan Indonesia dan DK PBB dengan tujuan untuk memberikan gambaran
bagaimana Indonesia terlibat dalam DK PBB sejak awal keanggotaan Indonesia di
PBB serta mengenai tantangan, peluang, dan bagaimana prinsip poitik luar negeri
Indonesia bebas aktif dalam menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-
2020.
BAB IV ANALISIS ALASAN INDONESIA TERPILIH SEBAGAI
ANGGOTA TIDAK TETAP DK PBB
Dalam bab ini membahas mengenai analisis alasan mengapa Indonesia
18
terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Bab ini terdiri atas tiga sub-bab antara
lain, kekuatan diplomasi Indonesia, kontribusi Indonesia dalam perdamaian dunia,
dan kepentingan nasional Indonesia dalam keanggotaan DK PBB. Tujuan dari Bab
IV merupakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini dirangkum hasil penelitian alasan terpilihnya Indonesia
sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB Periode 2019-2020. Bab ini memiliki tujuan
untuk mempertegas kembali jawaban peneliti mengenai masalah yang telah
diajukan dan memberikan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
19
BAB II
DEWAN KEAMANAN PBB
Bab II terdiri atas sub-bab profil, fungsi dan kewenangan, dan sistem
pengambilan keputusan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Selain itu dalam sub-bab profil akan dijelaskan mengenai sejarah dan
keanggotaan DK PBB. Bab II bertujuan memberikan infomasi mengenai tinjauan
umum DK PBB. Terdapat perbedaan utama antara DK dan Majelis Umum PBB.
DK dapat bertindak atas nama semua negara anggota PBB lainnya (pasal 24), dan
semua anggota PBB setuju untuk menerima dan mengimplementasikan keputusan
DK (pasal 25). Resolusi Majelis Umum tidak mengikat meskipun diputuskan oleh
semua negara anggota, sedangkan keputusan DK mengikat meskipun hanya
diputuskan oleh sejumlah negara.25
A. Profil Dewan Keamanan PBB
1. Sejarah Awal Dewan Keamanan PBB
Pada 26 Juni 1945, di San Francisco War Memorial dan Performing Arts
Center, perwakilan dari lima puluh negara menandatangani Piagam PBB.26 Ketika
PBB didirikan pada 1945, Piagam PBB menyediakan 11 kursi bagi anggota Dewan
Keamanan yang terbagi atas lima anggota tetap dan enam anggota terpilih. Pasal 23
(2) termasuk ketentuan dalam pemilihan pertama anggota, tiga anggota akan dipilih
untuk satu tahun sehingga di masa depan tiga anggota baru dipilih setiap tahun.27
25 United Nations, “Charter of the United Nations”, terdapat dalam
http://legal.un.org/repertory/art51.shtml diakses pada 16 September 2019 26 Peter Nadin, 2014, “Security Council 101”, dalam
https://unu.edu/publications/articles/united-nations-security-council-101.html diakses pada 11
September 2019 27 United Nations Security Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei 2018, Hal.
20
PBB dibentuk pada tahun 1945 di San Francisco. Tujuannya adalah untuk
mencegah terulangnya bencana seperti Perang Dunia II. DK PBB adalah organ
yang paling kuat yang bertanggung jawab atas pemeliharaan perdamaian
internasional. Lima anggota tetap DK PBB, secara kolektif disebut sebagai P5,
memiliki kekuatan veto. Komposisi dan distribusi kekuasaan di antara anggota-
anggota DK PBB tetap kontroversial sejak keberadaannya. Karena itu terdapat
permintaan yang diajukan untuk mengubah komposisi dan struktur dewan. Setelah
Perang Dunia II, lima anggota kuat dari koalisi pemenang perang yakni, Amerika
Serikat, Rusia (sebelumnya Uni Soviet), Cina, Inggris, dan Prancis memberikan diri
mereka sendiri sebuah kewenangan luar biasa: kekuatan veto, yaitu kekuatan untuk
memblokir resolusi bahkan jika disahkan oleh mayoritas anggota DK PBB.
Pada awal 1960-an, ada pertumbuhan penerimaan bahwa komposisi asli
Dewan telah menjadi tidak adil dan tidak seimbang. Antara 1945 dan 1965, PBB
keanggotaan naik dari 51 menjadi 117 anggota negara, dengan proporsi Asia,
Afrika dan negara-negara Karibia meningkat dari 25% menjadi sekitar 50%.28 Pada
periode ini mereka cenderung menerima proposal untuk perluasan DK dari 11 ke
13 dengan penambahan dua kursi tidak permanen. Namun, peningkatan dramatis
dalam sejumlah anggota Afrika dan Asia dari PBB pada periode 1960–3
menjadikan kelompok tersebut Negara-negara Afro-Asia, yang pada tahun 1963
merupakan lebih dari setengah keanggotaan PBB, lebih banyak tegas dan menuntut.
13 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-8CD3-
CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 28 United Nations Security Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei 2018, Hal.
13 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-8CD3-
CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
21
Karena itu, mereka mengajukan proposal sendiri, yang menyerukan peningkatan
kursi tidak permanen dari enam menjadi sepuluh (dan dengan demikian
peningkatan kursi keanggotaan total DK dari 11 menjadi 15) dan perubahan dalam
jumlah suara yang dibutuhkan untuk keputusan Dewan Keamanan dari tujuh hingga
Sembilan.29
Dalam Piagam PBB, dalam Pasal 23, menentukan Jumlah anggota tidak
tetap menjadi terpilih, sebagaimana telah diubah pada tahun 1963: “Majelis Umum
akan memilih sepuluh Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa lain untuk menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan… Anggota tidak tetap ... dipilih untuk masa
jabatan dua tahun.”30
Pada 17 Desember 1963, Majelis Umum mengadopsi resolusi 1991 A
(XVIII), yang berisi amandemen Piagam untuk mengatasi masalah ini dengan
meningkatkan jumlah anggota terpilih menjadi sepuluh. Resolusi tersebut juga
menangani masalah distribusi geografis, yang diselesaikan sebagai berikut: lima
anggota terpilih dari Afrika dan Negara-negara Asia (kemudian dibagi lagi dalam
praktiknya menjadi dua kursi untuk Grup Asia dan tiga kursi untuk Grup Afrika);
satu dari negara-negara Eropa Timur; dua dari negara-negara Amerika Latin
(termasuk Karibia); dan dua dari Eropa Barat dan negara-negara lain (termasuk
Australia, Kanada dan Selandia Baru).31
29 Dimitris Bourantonis, 2005, “The History and Politics of UN Security Council Reform”,
(London: Routledge) Hal. 76 30 United Nations Security Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei 2018, Hal.
12 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-8CD3-
CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 31 United Nations Security Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei 2018, Hal.
13 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-8CD3-
CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
22
Pada tahun 1965, reformasi DK PBB terjadi ketika kursi anggota tidak tetap
DK PBB diperbanyak dari enam menjadi sepuluh kursi. Akan tetapi sejak itu, tidak
ada satu pun upaya untuk mereformasi DK PBB berhasil. Meskipun perdebatan
kepemilikan kekuatan veto disambut baik dalam setiap diskusi dan Majelis Umum
PBB telah memperdebatkan reformasi DK PBB selama beberapa dekade, namun
sejauh ini belum dapat mencapai kesepakatan. Proses dari reformasi masih
menemui jalan buntu meski telah bertahun-tahun diperdebatkan dan menerima
beberapa tuntutan pembaruan.
DK PBB sering digambarkan sebagai institusi yang tidak demokratis dan
tidak mampu mewakili dunia saat ini. Kritik itu sebagian besar ditujukan pada lima
anggota tetap dan kekuatan veto mereka. Seruan reformasi DK PBB telah dibuat
selama beberapa dekade dan beberapa Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Boutros-
Ghali, Kofi Annan, dan Ban Ki-Moon telah menyoroti pentingnya reformasi
semacam itu.32
Isu reformasi di lembaga PBB menjadi masalah yang berkelanjutan hingga
sekarang sejak beberapa tahun setelah berdirinya PBB. Reformasi yang dimaksud
diharapkan oleh pihak-pihak tertentu agar terjadi khususnya di DK PBB. Salah satu
model, yang diusulkan pada 2005 oleh G4 (Group of Four) untuk mendapatkan
giliran di kursi permanen digaungkan oleh Jerman, Jepang, Brasil, dan India. G4
juga menyarankan penambahan enam kursi baru dan penghapusan kekuasaan veto.
Kelompok Afrika mendukung proposal ini kecuali bahwa ia bersikeras tetap
32 Dimitris Bourantonis, 2005, “The History and Politics of UN Security Council Reform”
(London: Routledge) Hal. 87
23
mempertahankan hak veto untuk anggota tetap yang baru. Kelompok ketiga
menyebut dirinya Uniting for Consensus, kelompok ini didominasi oleh sejumlah
kekuatan yang berpengaruh secara regional, tetapi tidak memiliki klaim kuat untuk
menduduki kursi permanen yang baru. Italia, Pakistan, Meksiko, Argentina, Korea
Selatan, dan Aljazair menentang ekspansi permanen keanggotaan. Oposisi grup ini
beresonansi dengan sejumlah besar anggota menyatakan bahwa pihak yang secara
prinsip keberatan dengan gagasan keanggotaan permanen yang baru dan merasa
bahwa pemberian hak istimewa permanen pada tahun 1945, adalah kesalahan
historis yang tidak boleh diulang. Dengan demikian opini publik cenderung
mendukung model reformasi yang akan menciptakan kategori baru bagi kursi
keanggotaan DK PBB. Sementara itu, P5 merasa nyaman dengan status quo dan
karenanya mereka skeptis terhadap gagasan reformasi.33
Pada sejarahnya, DK PBB selalu dibayangi oleh isu reformasi yang
dipelopori oleh beberapa negara. Misalnya proposal reformasi oleh G4 seperti yang
telah disinggung di atas. Pada 2005 muncul suatu proposal reformasi DK PBB oleh
G4. G4 memiliki rencana untuk meningkatkan keanggotaan DK dari lima belas
menjadi dua puluh lima anggota dengan menambahkan enam anggota tetap dan
empat anggota tidak tetap. Kursi baru akan lebih mendiversifikasi perwakilan dan
memperluas perspektif DK PBB dengan memberikan kursi anggota tetap baru
untuk kelompok-kelompok tertentu: dua dari Afrika, dua dari Asia, satu dari
Amerika Latin dan Karibia, dan satu dari Eropa Barat dan negara-negara lain. Kursi
33 Sebastian von Einsiedel, 2007b, “Security Council,” dalam “The Oxford Handbook on
the United Nations” oleh Thomas G. Weiss (Oxford: Oxford University Press) Hal. 201
24
anggota tidak tetap yang baru akan menampung satu anggota dari masing-masing
Afrika, Asia, Eropa Timur, dan Amerika Latin dan Karibia. Rencana G4 tidak akan
memperpanjang hak veto kepada anggota permanen baru sampai peninjauan
seluruh rencana sebagai dilaksanakan lima belas tahun setelah implementasi
tersebut. Rencana itu juga "mendesak" DK PBB untuk bekerja lebih transparan.34
Sejak pembentukannya pada 1945, reformasi DK PBB tertuju pada empat
permasalahan yakni keanggotaan, representasi, hak veto, dan transparansi metode
kerja. Pertama, keanggotaan PBB berputar pada pertanyaan apakah anggota tetap
atau tidak tetap DK PBB jumlahnya tidak berubah atau boleh bertambah. Kedua,
representasi berkaitan dengan perwakilan DK PBB dengan anggota Majelis Umum
PBB dimana misalnya Afrika memiliki jumlah anggota Majelis Umum PBB
sebanyak 50 anggota, namun hanya dapat mewakili paling banyak 2 kursi anggota
tidak tetap dan tidak ada satu pun kursi anggota tetap pada DK PBB. Ketiga, hak
veto menjadi perdebatan sengit pada sebagian besar anggota Majelis Umum PBB.
Hak veto sering dijadikan alat perpanjangan bagi kepentingan nasional negara-
negara pemiliknya sehingga dinilai kurang dapat menyelesaikan permasalahan
dunia dengan seadil-adilnya. Terakhir, transparansi metode kerja DK PBB
menuntut keterbukaan dari sistem pengambilan keputusan DK PBB.35
34 Brian Cox, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals and
Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law and Business Volume 6, Hal.
106 tersedia dalam
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=scjilb 35 Suci Sekarwati, 2019, “Reformasi Hak Veto Anggota PBB Diimbau Realistis”, terdapat
dalam https://dunia.tempo.co/read/1165715/reformasi-hak-veto-anggota-pbb-diimbau-
realistis/full&view=ok diakses pada 26 September 2019
25
Permasalahan ini menuai beberapa perdebatan mengenai harus dilakukan
reformasi atau tidak dan bagaimana konsekuensi dari reformasi tersebut. Dalam
upaya mereformasi DK PBB, negara-negara anggota menghadapi kesulitan untuk
menjaga keseimbangan antara perwakilan, legitimasi dan efisiensi. Di satu sisi,
peningkatan jumlah keanggotaan DK akan membuat badan ini lebih representatif
dan demokratis dan karenanya lebih dilegitimasi. Di sisi lain, perluasan luas
keanggotaan DK pasti akan menciptakan badan yang rumit akan memiliki kesulitan
besar dalam bertindak cepat dan secara efektif. Kemungkinan besar, perluasan
anggota semacam itu akan menyebabkan hilangnya efisiensi yang serupa seperti
yang dialami oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB). 36
Menurut Edward Carr, jika didapati lebih banyak representatif, maka
lembaga itu akan 'kehilangan banyak efektivitasnya sebagai instrumen politik'. Carr
mengamati karena beberapa peningkatan keanggotaan DK pada LBB, lembaga itu
menunjukkan bahwa prinsip representasi adalah prinsip yang abstrak. Carr
menggarisbawahi ‘kenyataan dikorbankan untuk prinsip abstrak [yaitu
representasi].’ Memang dapat dikatakan bahwa komposisi badan eksekutif
internasional organisasi tidak boleh ditentukan semata-mata atas dasar prinsip
abstrak representasi. Negara anggota tidak dapat dengan mudah menemukan
jawaban untuk pertanyaan berapa banyak DK PBB (dan di bawah kriteria apa) harus
diwakili sehingga membuatnya mencerminkan keanggotaan PBB yang seimbang.
Tapi terdapat satu hal yang pasti, selama tuntutan mereformasi DK PBB terus-
36 Dimitris Bourantonis, 2005, “The History and Politics of UN Security Council Reform”,
(London: Routledge) Hal. 8
26
menerus diangkat tetapi tidak ditangani dengan cara memuaskan, legitimasi DK
PBB akan terus dipertanyakan.37
Masalah reformasi, yang menjadi salah satu isu terpenting di tahun 1990-
an, telah dianggap bersejarah di era pasca-Perang Dingin. Apapun hasil dari
perdebatan yang sedang berlangsung tentang masalah yang dipermasalahkan, satu
hal bisa dikatakan dengan pasti yaitu bahwa kegagalan reformasi DK PBB akan
cepat atau lambat akan menuju pada krisis yang lebih besar tentang legitimasi di
PBB. Krisis ini hampir tidak mampu diselesaikan karena terlalu lama terbawa
hingga abad ke-21 sehingga langkah-langkah penyelesaiannya sulit ditemukan
seiring perkembangan masalah-masalah dunia lainnya pada masa ini. Hal inilah
yang membuat arus debat tentang reformasi Dewan Keamanan merupakan masalah
krusial.38 Kalau saja salah satu P5 kuat tidak mau ubah status quo, reformasi tidak
mungkin terjadi sama sekali.
Hingga abad ke-21, putaran reformasi PBB saat ini masih dalam tahap awal,
dan proposal berkisar dari saran sederhana hingga penulisan ulang Piagam. Namun,
tidak ada proposal yang diajukan yang membahas efek pada fungsi utama DK PBB.
Sebaliknya, sebagian besar berbicara tentang menghilangkan veto dan
memodifikasi keanggotaan DK PBB untuk meningkatkan "keadilan" atau
"legitimasi" atau "perwakilan." Ketika ia meletakkan landasan LBB di hadapan
Senat Amerika Serikat, Woodrow Wilson mengatakan bahwa “harus ada, bukan
keseimbangan kekuasaan, tetapi sebuah komunitas kekuasaan. Yakni bukan
37 Dimitris Bourantonis, 2005, “The History and Politics of UN Security Council Reform”,
(London: Routledge) Hal. 8 38 Dimitris Bourantonis, 2005, “The History and Politics of UN Security Council Reform”,
(London: Routledge) Hal. 82
27
persaingan yang terorganisir, tetapi suatu perdamaian yang terorganisir.”39 Dia bisa
saja berbicara tentang DK PBB yang mana lembaga itu harus menjadi "komunitas
kekuasaan," bukan keseimbangan.40
Dengan demikian, perwakilan geografis yang adil tidak harus dicari dalam
mereformasi DK PBB. Kursi regional permanen, baik dipegang oleh organisasi atau
negara tanpa alasan selain keadilan geografis, membuat tujuan DK PBB jauh dari
mencegah perang dunia. Tidak dapat dihindari, suatu hari DK PBB tidak akan
mencerminkan "komunitas kekuasaan" yang sebenarnya di dunia. Saat itulah
diperlukan reformasi. Oleh karena itu, keanggotaan DK PBB harus ditentukan
dengan kriteria yang sama dengan yang digunakan pada pembentukan DK PBB
antara lain: kemampuan militer, kemampuan ekonomi untuk mempertahankan
penegakan perdamaian, dan keinginan untuk melakukan tugas seperti itu.
Selanjutnya, Hak Veto harus diperluas ke anggota baru karena kewenangan ini
memungkinkan dunia untuk melihat ke akar masalah yang belum pernah tersorot
selama ini.41
2. Keanggotaan Dewan Keamanan PBB
DK PBB ditunjuk sebagai penjaga perdamaian dan keamanan internasional
seperti yang tercantum dalam Piagam PBB. Dewan memiliki 15 anggota yang
39 Woodrow Wilson, “Peace Without Victory: Presidential Address to the Senate” 22
Januari 1917 terdapat dalam http://www-personal.umd.umich.edu/~ppennock/doc-
Wilsonpeace.htm 40 Brian Cox, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals and
Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law and Business Volume 6, Hal.
125-126 tersedia dalam
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=scjilb 41 Brian Cox, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals and
Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law and Business Volume 6, Hal.
125-126 tersedia dalam
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=scjilb
28
masing-masing memiliki satu suara. Dewan memiliki kekuatan untuk
mendefinisikan ancaman terhadap perdamaian dan menindak ancaman tersebut.42
DK PBB merupakan institusi yang paling otoritatif di PBB dan satu-satunya
organisasi internasional yang sah yang dapat mengeluarkan resolusi yang mengikat,
memaksakan sanksi, dan mengizinkan penggunaan kekuatan militer. Anggota tetap
DK PBB memiliki kekuatan veto yang memberikan kewenangan bagi mereka untuk
memblokir resolusi apa pun meskipun disahkan oleh mayoritas anggota.43
Keanggotaan DK PBB terbagi atas dua kategori yakni permanen atau tetap
atau Permanent Five (P5) dan non-permanen atau Elected Ten (E10). Anggota tetap
ini bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan DK PBB. Sementara itu,
anggota tidak tetap memiliki peran yang kurang vital dalam pengambilan keputusan
dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh anggota tetap. Maka dari itu
anggota tidak tetap tidak bertanggung jawab atas kegagalan dewan dalam menjaga
perdamaian dan keamanan dunia. Sepuluh kursi tidak permanen didistribusikan
secara regional. Pembagiannya terdiri dari lima negara dari Afrika dan Asia, satu
dari negara Eropa Timur, dua dari negara Amerika Latin, dan dua dari negara Eropa
Barat dan lainnya.44 Anggota tetap DK terdiri dari lima negara adidaya dengan hak
veto, tetapi tujuan keberadaan non-permanen anggota adalah untuk memberikan
ruang khusus untuk isu-isu yang tidak memiliki sorotan atau perhatian dunia.45
42 Peter Nadin, 2014, “Security Council 101”, dalam
https://unu.edu/publications/articles/united-nations-security-council-101.html diakses pada 11
September 2019 43 Ian Hurd, “Myths of Membership: The Politics of Legitimation in U.N. Security Council
Reform,” Global Governance 14, no. 2 (April–Juni 2008) Hal. 199 diunduh dari
http://www.jstor.org.libproxy.nps.edu/stable/27800702 44 Sebastian von Einsiedel, “Security Council,” dalam “The Oxford Handbook on the
United Nations” oleh Thomas G. Weiss (Oxford: Oxford University Press, 2007b), Hal. 119 45 Nia Norlyanti, “Indonesia as Non-Permanent Member of United Nations Security
29
Hak spesial yang masing-masing dimiliki oleh P5 dalam DK PBB disebut
dengan istilah veto. Veto dalam bahasa latin berarti “I forbid” atau melarang. Veto
dapat bersifat absolut dalam DK PBB dimana Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan
Amerika Serikat sebagai anggota tetap dapat memblokir resolusi apa pun atau dapat
membatasinya.46
Alasan diberikannya veto kepada negara-negara P5 yakni untuk mencegah
terulangnya kelemahan Liga Bangsa-Bangsa yang tidak dapat mencegah terjadinya
perang dunia kedua dan untuk memberikan kekuatan luar biasa kepada P5 sebagai
negara-negara yang paling banyak berkontribusi pada kekalahan kekuatan Axis.
Pada dasarnya tujuan kekuatan veto diberikan secara eksklusif kepada P5 untuk
menghindari konflik antar negara dan kewenangan untuk mengizinkan atau
mencegah penggunaan kekuatan melalui keputusan yang disepakati bersama. Akan
tetapi, pada prakteknya penggunaan ini cenderung disusupi kepentingan dalam
menggunakan kekuatan veto untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Anggota
tetap cenderung sering menggunakan kekuatan veto berdasarkan kepentingan
nasional negara yang bersekutu dengan mereka.47 Misalnya, selama Perang Dingin,
Rusia menggunakan kekuatan veto untuk memblokir keanggotaan bagi negara-
negara yang baru saja memisahkan diri dari Rusia. Demikian pula, AS konsisten
menggunakan hak veto kekuatan untuk melindungi kepentingan nasional Israel.
Council: Pursuit of Peace for Rohingya and Palestine”, Atlantis Press Vol. 241, Hal. 103 tersedia
dalam https://download.atlantis-press.com/article/25904108.pdf 46 Merriam-Webster, “Veto”, tersedia dalam https://www.merriam-
webster.com/dictionary/veto diakses pada 15 September 2019 47 C. L. Lim, 2007, “The Great Power Balance, the United Nations and What the Framers
Intended: In Partial Response to Hans Köchler”, Chinese Journal of International Law, 6(2) Hal.
309-312
30
Pemilihan anggota tidak tetap DK, seperti organ utama PBB lainnya,
memerlukan pemungutan suara formal bahkan jika kandidat telah disahkan oleh
kelompok regional dan menang tanpa lawan. Negara kandidat harus selalu
mendapatkan suara sedikitnya dua pertiga dari negara anggota hadir dan
memberikan suara pada sesi Majelis Umum. Artinya, negara kandidat setidaknya
harus mengantongi 129 suara diminta untuk memenangkan kursi jika semua 193
anggota PBB ikut serta dalam pemilihan. Tiap negara anggota yang menyatakan
bahwa ia abstain akan dianggap tidak memilih.48
Berdasarkan Pasal 19 dari Piagam PBB, negara anggota dapat dikecualikan
dari pemungutan suara sebagai akibat dari tunggakan pembayaran kontribusi
keuangan. Secara teori, mungkin saja suatu negara yang berjalan tanpa lawan
mungkin tidak mendapatkan yang dibutuhkan jumlah suara dari mereka yang hadir
di Majelis Umum di putaran pertama pemungutan suara. Misalnya negara kemudian
dapat ditantang di ronde selanjutnya oleh para kandidat yang sampai saat itu belum
diumumkan, dan akhirnya bisa gagal mendapatkan kursi. Namun, peristiwa ini
tidak pernah terjadi.49
Sebagian besar negara kandidat mengikuti jalur yang cukup standar dalam
mengumumkan dan mengejar mereka tawaran untuk Dewan dengan pengecualian
kandidat dari Grup Afrika, yang memiliki proses yang lebih kompleks. Jika negara
tersebut adalah anggota dari suatu kelompok subregional, ia akan sering memberi
48 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 6 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 49 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 6 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
31
tahu para anggota kelompok tersebut tentang niatnya untuk menjalankan dan
mencari dukungan. Pengesahan kelompok subregional kemudian menjadi faktor
penting dalam langkah selanjutnya. Negara kandidat meresmikan niatnya untuk
mendapatkan kursi anggota Dewan dengan memberi tahu Presiden DK PBB
bulanan yang berputar dari masing-masing kelompok regional di New York.
Presiden DK PBB kemudian menggabungkan informasi itu ke dalam bagan
pencalonan PBB kelompok regional, yang dikelola oleh setiap grup dan ditinjau
pada pertemuan bulanan.50
Sebagian besar negara kandidat kemudian menyiapkan surat edaran untuk
semua bagian misi di New York guna memberi tahu mereka tentang pencalonan
itu. Negara kandidat juga mengirim catatan ke Sekretariat atau Presiden Majelis
Umum, atau keduanya, meskipun ini tidak diwajibkan oleh Rules of Procedure.
Saat mendekati tahun pemilihan yang relevan, kelompok regional dapat
memutuskan untuk memberikannya pengesahan, dan, lebih dekat ke tanggal
pemilihan, ketua kelompok regional akan menginformasikan presiden Majelis
Umum apakah pemilihan akan diperebutkan atau tidak.51
Terdapat persaingan ketat untuk kursi non-permanen dimana negara-negara
melakukan kampanye dengan biaya yang cukup tinggi untuk dipilih menjadi
anggota dewan. Kampanye yang diamati menunjukkan bahwa negara-negara ini
mungkin mengharapkan imbalan selama masa jabatan mereka. Namun, terdapat
50 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 10 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 51 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 10 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
32
beberapa alasan untuk meragukan bahwa negara-negara secara sistematis
mendapatkan lebih banyak bantuan atau imbalan saat berada di kursi tidak tetap DK
PBB. Pertama, jika negara-negara P5 memberlakukan sistem sticks and carrot lalu
tongkat bukan wortel yang digunakan untuk mempengaruhi suara E10, maka
negara-negara yang bertugas di dewan mungkin khawatir bahwa bantuan asing
mereka akan dihentikan jika mereka tidak memilih seperti yang diperintahkan.
Buktinya, Yaman menderita pemotongan bantuan dari AS saat Yaman menolak
untuk memberikan suara mendukung otorisasi dewan terhadap penggunaan
kekuatan terhadap Irak pada 1991.52
Kedua, karena anggota tidak tetap dewan tidak memiliki kuasa untuk
memveto sebuah keputusan, mereka mungkin tidak layak disuap sama sekali.
Persentase daya total mengenai E10 berdasarkan pemungutan suara menunjukkan
bahwa masing-masing dari lima anggota P5 memiliki 19,6% daya kekuasaan,
sementara masing-masing dari sepuluh anggota tidak tetap E10 memiliki daya
kurang dari 0,2%. Dengan begitu banyak kritik yang menilai bahwa DK PBB belum
dapat mempresentasikan balance of power dalam sistem internasional.53
Kepemilikan veto berpengaruh signifikan atas kepentingan nasional
pemiliknya. Veto player theory menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Menurut veto player theory, kebijakan DK PBB (hanya) dipengaruhi oleh pemain
atau pemilik veto. Para pemain veto akan menggunakan kekuatan mereka untuk
52 Ilyana Kuziemko, 2006, “How Much Is a Seat on the Security Council Worth? Foreign
Aid and Bribery at the United Nations”, Harvard Journal of Political Economy, Hal. 5 diunduh dari
http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20Files/06-029.pdf 53 Ilyana Kuziemko, 2006, “How Much Is a Seat on the Security Council Worth? Foreign
Aid and Bribery at the United Nations”, Harvard Journal of Political Economy, Hal. 5 diunduh dari
http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20Files/06-029.pdf
33
mengaplikasikan kepentingan nasional mereka dan karenanya cenderung memveto
kebijakan yang bertentangan dengan kepentingannya tersebut. Gagasan teori ini
yaitu untuk membangun pilihan rasional yang komprehensif. Potensi sistem politik
untuk melakukan perubahan kebijakan terutama tergantung pada (1) jumlah pemain
veto, (2) jarak antara poin ideal kebijakan pemain ini dan (3) kohesi internal
pemain.54
3. Tanggung Jawab Utama Anggota Dewan Keamanan PBB
Dalam Bab VII, Pasal 39, DK PBB memiliki tanggung jawab utama untuk
“Menentukan keberadaan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian,
atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan
apa yang akan diambil untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan
keamanan internasional.”55 DK PBB bertanggung jawab untuk menyesuaikan sikap
dalam menanggapi krisis di seluruh dunia berdasarkan sifat khas dari kasusnya. DK
PBB juga memiliki berbagai opsi berbeda yang bisa digunakan. Dibutuhkan banyak
faktor yang berbeda ketika mempertimbangkan pembentukan operasi perdamaian
baru, di antaranya adalah:
1. Apakah ada gencatan senjata di tempat dan para pihak telah
berkomitmen untuk proses perdamaian yang dimaksudkan untuk
mencapai penyelesaian politik;
2. Apakah ada tujuan politik yang jelas dan apakah hal itu dapat
tercermin dalam mandat;
54 Steffen Ganghof, 2003, “Promises and Pitfalls of Veto Player Analysis”, Swiss Political
Science Review 9, Hal. 7-8 55 United Nations, “Legal Framework”, tersedia dalam
http://legal.un.org/repertory/art39.shtml diakses pada 11 September 2019
34
3. Apakah mandat yang tepat untuk operasi PBB dapat dirumuskan;
4. Apakah keselamatan dan keamanan personel PBB dapat dipastikan
secara pasti, khususnya termasuk apakah terdapat jaminan yang
dapat diperoleh dari pihak-pihak utama atau fraksi-fraksi mengenai
keselamatan dan keamanan personel PBB.56
Tanggung jawab yang dimiliki oleh DK PBB diaplikasikan dalam misi
untuk menghindari permusuhan, mencegah terulangnya konflik, dan menjaga
perdamaian dan keamanan di dunia. Sejak pembentukannya pada tahun 1945, DK
PBB telah memainkan peran penting dan aktif dalam membantu menyelesaikan
perselisihan antar negara, mengelola konflik, dan mengakhiri pertempuran di antara
negara-negara. Resolusi konflik antar negara dicapai melalui berbagai alat
kebijakan seperti Resolusi DK PBB yang menuntut gencatan senjata, negosiasi
penyelesaian melalui mediasi, kontak diplomatik, penempatan pasukan penjaga
perdamaian dan misi observasi. Sejak pembentukannya, DK PBB telah
memberikan wewenang setidaknya lebih dari enam puluh misi perdamaian.57
Untuk memenuhi tanggung jawab ini DK PBB berdasarkan Pasal 39–45
Piagam PBB telah diberikan kekuatan luar biasa seperti kemampuan untuk
mengotorisasi misi militer untuk memulihkan dan menjaga perdamaian. DK PBB
juga memiliki kekuatan untuk mengambil tindakan hukuman lain yang tidak
menggunakan kekuatan militer. Untuk memaksa negara target agar taat pada
Piagam PBB dan resolusi DK PBB, contohnya dewan dapat memaksakan sanksi
56 United Nations Peacekeeping, “Role of The Security Council”, tersedia dalam
https://peacekeeping.un.org/en/role-of-security-council diakses pada 11 September 2019 57 Sebastian von Einsiedel, “Security Council,” dalam “The Oxford Handbook on the
United Nations” oleh Thomas G. Weiss (Oxford: Oxford University Press, 2007b), Hal. 119–121
35
ekonomi pada negara anggota PBB. Dalam artian, dewan melalui resolusi dapat
mencegah semua anggota dari melakukan bisnis atau perdagangan dengan negara-
negara yang terkena sanksi.Misalnya, DK PBB telah menjatuhkan sanksi ekonomi
terhadap Iran, Kongo, Afghanistan, Bosnia, Angola, Rwanda, dan Irak. Selain itu,
juga terdapat cara lain yakni melalui kontak diplomatik, DK PBB memiliki
kekuatan untuk membuat rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk
mencapai solusi melalui mediasi.58
B. Fungsi dan Kewenangan Dewan Keamanan PBB
Di bawah Piagam PBB, fungsi dan kekuasaan Dewan Keamanan adalah:
1. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan prinsip
dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2. Menyelidiki setiap perselisihan atau situasi yang dapat menyebabkan
gesekan internasional;
3. Merekomendasikan metode penyesuaian sengketa atau persyaratan
penyelesaian;
4. Merumuskan rencana pembentukan sistem untuk mengatur
persenjataan;
5. Menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi
dan untuk merekomendasikan tindakan apa yang harus diambil;
6. Memanggil Anggota untuk menerapkan sanksi ekonomi dan tindakan
lain yang tidak melibatkan penggunaan kekuatan untuk mencegah atau
58 United Nations, “U.N. Charter”, tersedia dalam http://www.un.org/en/sections/un-
charter/chapter-vii/index.html diakses pada 11 September 2019
36
menghentikan agresi;
7. Mengambil tindakan militer terhadap agresor;
8. Merekomendasikan penerimaan Anggota baru;
9. Menjalankan fungsi perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa di "bidang
strategis";
10. Merekomendasikan kepada Majelis Umum mengenai pengangkatan
Sekretaris Jenderal dan, bersama-sama dengan Majelis, untuk memilih
para Hakim Pengadilan Internasional.59
Sedangkan berdasarkan pasal-pasal dalam Piagam PBB, fungsi dan
wewenang utama DK PBB meliputi:
1. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional (pasal 24 Piagam PBB)
2. Sampaikan rekomendasi negara anggota PBB yang baru kepada Majelis
Umum (Pasal 4)
3. Rekomendasikan pemecatan atau pembekuan keanggotaan suatu negara
kepada Majelis Umum (Pasal 5 dan Pasal 6)
4. Memberikan rekomendasi kepada kandidat untuk Sekretaris Jenderal PBB
(Pasal 97)
5. Pilih kandidat untuk Hakim Pengadilan Internasional (Pasal 40 dan 61)60
Fungsi DK PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional
diuraikan dalam Bab VI dan Bab VIII Piagam PBB, sebagai berikut: Bab VI -
Penyelesaian Damai secara Damai. Jika ada situasi yang berpotensi membahayakan
59 United Nations. “Security Council: Function and Powers”, tersedia dalam
https://www.un.org/securitycouncil/content/functions-and-powers diakses pada 11 September 2019 60 United Nations, “Charter of the United Nations”, terdapat dalam
http://legal.un.org/repertory/art51.shtml diakses pada 16 September 2019
37
perdamaian dan keamanan internasional, DK dapat meminta Para Pihak untuk
menyelesaikan perselisihan secara damai, antara lain melalui "negosiasi,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian peradilan, resor ke badan-
badan regional dan pengaturan dan metode lain" (Pasal 33), melakukan
penyelidikan (Pasal 34), merekomendasikan prosedur dan metode untuk menangani
perselisihan (Pasal 36-38).61
Bab VII - Ancaman terhadap Perdamaian, Pelanggaran Damai, atau
Tindakan Agresi. Langkah-langkah yang dapat diambil DK meliputi menentukan
keberadaan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan
agresi mengajukan rekomendasi (Pasal 39), yang dapat berupa: (i) tanpa
menggunakan angkatan bersenjata, seperti embargo (Pasal 41), dan (ii)
menggunakan angkatan bersenjata (Pasal 42).62
Di antara alat DK PBB yang paling sering digunakan untuk mempengaruhi
perilaku suatu negara atau kelompok bersenjata adalah sanksi. Sanksi merupakan
mekanisme yang bertujuan membatasi interaksi dengan dunia luar dengan cara
tertentu, misalnya terlibat dalam perdagangan atau mendapatkan senjata. Larangan
perjalanan, pembekuan aset pribadi yang dilakukan di luar negeri, dan pembatasan
diplomatik juga merupakan jenis sanksi. Menurut Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon,
sanksi berfungsi paling baik sebagai cara persuasi, bukan hukuman.63
DK PBB juga berfungsi dan berwenang meluncurkan pasukan bersenjata
61 United Nations, “Charter of the United Nations”, terdapat dalam
http://legal.un.org/repertory/art51.shtml diakses pada 16 September 2019 62 United Nations, “Charter of the United Nations”, terdapat dalam
http://legal.un.org/repertory/art51.shtml diakses pada 16 September 2019 63 Linda Fasulo, 2015, “An Insider’s Guide to The UN: Third Edition”, (London: Yale
University Press)
38
dalam dua cara yang berbeda: peacekeeping dan peace enforcement. Peacekeeping
hanya “memungkinkan penggunaan kekuatan minimal” pada tingkat taktis “dan
hanya setelah negara atau negara-negara yang menjadi pihak untuk perselisihan
telah mengundang masuknya pasukan penjaga perdamaian”.Sedangkan peace
enforcement lebih mirip dengan perang klasik. Tidak diperlukan persetujuan oleh
negara, dan tindakan yang diambil "dapat melibatkan penggunaan kekuatan militer
di tingkat strategis atau internasional, yang biasanya dilarang untuk negara-negara
Anggota kecuali diizinkan oleh Dewan Keamanan.”64
Peacekeeping sejauh ini merupakan fungsi dan kewenangan kekuatan yang
lebih umum oleh DK PBB. Kekuatan penjaga perdamaian tidak secara tertulis
tertulis dalam Piagam PBB, tetapi wewenangnya tersirat. Sebuah misi dibentuk
oleh seruan untuk pasukan dari negara-negara anggota atau dengan adopsi misi non-
PBB yang sudah beroperasi. Penjagaan perdamaian melibatkan banyak diplomasi
daripada penggunaan kekuatan yang sebenarnya. Operasi dirancang untuk
melestarikan perdamaian danmembantu dalam mengimplementasikan perjanjian
yang dicapai oleh para pembuat perdamaian. Misi membutuhkan persetujuan dari
para pihak, ketidakberpihakan personel, dan batasan pada penggunaan kekuatan.65
Sebaliknya, peace enforcement melibatkan operasi militer untuk
mengalahkan suatu agresi. Hal itu berarti memihak, mengobarkan perang dan
64 Brian Cox, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals and
Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law and Business Volume 6, Hal.
100 tersedia dalam
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=scjilb 65 Brian Cox, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals and
Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law and Business Volume 6, Hal.
100 tersedia dalam
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=scjilb
39
menerima korban serta biaya keuangan yang tidak terduga. Terdapat dua contoh
peace enforcement dalam sejarah PBB: Perang Korea dan Perang Irak Pertama. DK
PBB akan mengesahkan kewenangan ini kepada negara anggota, khususnya
Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, yang dapat langsung melakukan operasi
yang sebenarnya di lapangan. Tanpa partisipasi aktif dari beberapa negara ini, peace
enforcement pada umumnya "di luar kemampuan" PBB karena kurangnya
keinginan negara-negara anggota untuk mempertaruhkan pasukan mereka pada
operasi militer.66
Prinsip-prinsip pemeliharaan perdamaian yang telah ditetapkan dapat
diringkas dalam lima prinsip. Pertama, PKO (Peace Keeping Operations) adalah
operasi PBB. Hal ini yang membuat PKO PBB dapat diterima oleh negara-negara
anggota yang hendak tidak akan menerima pasukan asing di wilayah mereka.
Kedua, telah ditetapkan dari waktu ke waktu bahwa PKO hanya dapat didirikan
dengan persetujuan para pihak yang terlibat konflik. Juga telah ditentukan bahwa
mereka dapat berhasil hanya dengan persetujuan dan kerja sama yang berkelanjutan
dari para pihak. Ketiga, telah ditetapkan bahwa pasukan penjaga perdamaian harus
bersikap tidak memihak di antara para pihak. Mereka tidak ada di sana untuk
memajukan kepentingan satu pihak terhadap kepentingan pihak lainnya. Prinsip
keempat terkait dengan pasukan yang dibutuhkan untuk PKO PBB. Piagam PBB
mengatur agar negara-negara anggota untuk mengadakan perjanjian yang mengikat
dengan Dewan Keamanan di mana mereka akan berkomitmen untuk
66 Brian Cox, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals and
Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law and Business Volume 6, Hal.
101 tersedia dalam
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=scjilb
40
menyediakannya dengan pasukan. Prinsip kelima menyangkut penggunaan
kekuatan. Lebih dari setengah PKO organisasi sebelum tahun 1988 hanya terdiri
dari pengamat militer yang tidak bersenjata. Tetapi ketika operasi dipersenjatai,
telah menjadi prinsip yang ditetapkan bahwa mereka harus menggunakan kekuatan
hanya sejauh yang diperlukan dan bahwa biasanya penerapan kekerasan atau
pendekatan militer harus dibuka hanya dalam keadaan pertahanan diri.67
Gambar II.1.Peta Sebaran Pasukan Perdamaian PBB
Sumber: The Guardian68
Di hampir 50 zona konflik di seluruh dunia, sekitar satu setengah miliar
orang hidup di bawah ancaman kekerasan. Di banyak tempat-tempat ini, para
penegak utama ketertiban bukanlah perwira polisi atau tentara pemerintah tetapi
67 Leonard Hutabarat, 2014, “Indonesian Participation in the UN Peacekeeping as an
Instrument of Foreign Policy: Challenges and Opportunities”, Jurnal Unair Global & Strategis, Hal.
193 diunduh dari http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/jgs45b74e5c14full.pdf 68 The Guardian, 2015, “What's the point of peacekeepers when they don't keep the peace?”,
terdapat dalam https://www.theguardian.com/world/2015/sep/17/un-united-nations-peacekeepers-
rwanda-bosnia diakses pada 26 September 2019
41
pasukan helm biru PBB. Dengan lebih dari 78.000 tentara dan 25.000 warga sipil
tersebar di 14 negara, pasukan penjaga perdamaian PBB merupakan pasukan militer
terbesar kedua yang dikerahkan di luar negeri, setelah militer Amerika Serikat
(AS).69
Ketika PBB dibentuk, pada tahun 1945, PBB tidak pernah dimaksudkan
untuk memiliki kekuatan tempur sendiri; Piagam PBB tidak menyebutkan tentang
pemeliharaan perdamaian. Tetapi dengan cepat menjadi jelas bahwa beberapa
kapasitas seperti itu akan sangat penting jika organisasi ingin memiliki harapan
untuk mencapai tujuan yang paling sederhana. Pada tahun 1948, mediator PBB di
Palestina meminta sekelompok kecil penjaga PBB untuk memantau gencatan
senjata antara Israel dan tetangga-tetangganya di Arab, sebuah misi ad hoc yang
menandai kelahiran penjaga perdamaian. Sebagian besar pengerahan selama
beberapa dekade berikutnya mengikuti pola yang sama: atas undangan pemerintah
tuan rumah dan dengan persetujuan semua pihak yang bertikai, PBB akan mengirim
tentara setelah gencatan senjata atau penyelesaian damai tercapai, asalkan tidak ada
permanen anggota DK PBB memveto gagasan itu.70
Namun pada 1992-1998, para pengamat mulai memberikan penilaian pada
peacekeeper. Orang-orang yang tinggal di tempat penjaga perdamaian beroperasi
tidak jauh lebih baik. Pasukan penjaga perdamaian digambarkan oleh mereka
sebagai orang asing yang lemah lembut yang tidak tertarik dengan pekerjaan
69 Séverine Autesserre, 2019, “The Crisis of Peacekeeping: Why the UN Can’t End Wars”,
terdapat dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/crisis-peacekeeping diakses
pada 26 September 2019 70 Séverine Autesserre, 2019, “The Crisis of Peacekeeping: Why the UN Can’t End Wars”,
terdapat dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/crisis-peacekeeping diakses
pada 26 September 2019
42
mereka. Orang-orang Salvador menjuluki peacekepeer PBB di negara mereka
"Vacaciones Unidas" (United Vacations), Siprus mencemooh mereka dengan
sebutan "penjaga pantai," dan orang-orang Bosnia mengejek mereka sebagai
"Smurf."71
Pada 1999, DK PBB menyadari bahwa ia harus memikirkan kembali
pendekatannya. Tahun itu, para pemimpin di Kosovo, Timor Timur, Sierra Leone,
dan Republik Demokratik Kongo akhirnya mencapai kesepakatan damai dan
meminta bantuan PBB dalam mengimplementasikannya. Sekretaris jenderal
organisasi itu, Kofi Annan, yang sebelumnya mengepalai departemen pemeliharaan
perdamaiannya, ingin mencegah kegagalan baru, jadi dia meminta dua ulasan
utama intervensi internasional. Yang pertama menghasilkan laporan Brahimi
(dinamai setelah diplomat Aljazair yang memimpin inisiatif), yang merinci
reformasi untuk membuat pemeliharaan perdamaian PBB lebih efektif. Yang kedua
menghasilkan doktrin Responsibility to Protect (R2P) yaitu gagasan bahwa apa
yang disebut komunitas internasional wajib secara moral untuk membantu orang
yang tinggal di negara-negara yang tidak mampu atau tidak mau melindungi
warganya dari pelanggaran hak asasi manusia serius.72
DK PBB juga harus memikirkan kembali cara menggunakan pekerja lokal.
Seperti keadaan sekarang, orang asing cenderung membuat keputusan, sementara
staf lokal mengeksekusi perintah mereka. Praktik yang berlaku harus dibalik: orang
71 Séverine Autesserre, 2019, “The Crisis of Peacekeeping: Why the UN Can’t End Wars”,
terdapat dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/crisis-peacekeeping diakses
pada 26 September 2019 72 Séverine Autesserre, 2019, “The Crisis of Peacekeeping: Why the UN Can’t End Wars”,
terdapat dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/crisis-peacekeeping diakses
pada 26 September 2019
43
lokal harus duduk di kursi pengemudi, dan orang asing harus tetap di belakang.
Alih-alih memaksakan atau sangat menganjurkan satu gagasan, penjaga
perdamaian harus menggunakan keahlian teknis mereka dengan cara yang berbeda,
di antaranya untuk menyarankan beberapa opsi, menjelaskan pro dan kontra dari
masing-masing pihak, dan menawarkan dukungan baik keuangan, logistik, militer,
dan teknis dalam menerapkan rencana mana pun yang para pemangku kepentingan
lokal sepakati.73
C. Sistem Pengambilan Keputusan Dewan Keamanan PBB
Pasal 27 Piagam PBB membedakan antara hal-hal prosedural dan non-
prosedural (substantif) dalam pengambilan keputusan Dewan. Untuk keputusan
mengenai hal-hal prosedural, seperti praktik kerja atau agenda organisasi,
setidaknya sembilan anggota harus memilih mendukung keputusan untuk itu
diresmikan. Untuk keputusan mengenai hal-hal yang bersifat substantif, seperti
membentuk pasukan penjaga perdamaian atau penerapan sanksi, keputusan tersebut
membutuhkan setidaknya sembilan anggota untuk memilih. Tetapi negara-negara
yang memberikan suara mendukung harus mencakup semua anggota tetap,
khususnya termasuk suara setuju dari anggota tetap. Sebuah resolusi juga akan
gagal jika tujuh anggota memberikan suara menentang resolusi atau abstain dari
pemungutan suara.74
73 Séverine Autesserre, 2019, “The Crisis of Peacekeeping: Why the UN Can’t End Wars”,
terdapat dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/crisis-peacekeeping diakses
pada 26 September 2019 74 Australian Department of Foreign Affairs and Trade, “The role of the United Nations
Security Council” tersedia dalam https://dfat.gov.au/international-relations/international-
organisations/un/unsc-2013-2014/Pages/the-role-of-the-united-nations-security-council.aspx
diakses pada 11 September 2019
44
Terdapat 3 (tiga) jenis dokumen hasil untuk pertemuan DK PBB, yaitu:
1. Resolusi: memerlukan dukungan dari setidaknya 9 negara anggota dan
hak veto berlaku. Ini mengikat semua negara anggota (mengikat secara
hukum).
2. Pernyataan Presiden: harus disepakati melalui konsensus. Tidak
mengikat, dan akan dibaca dalam pertemuan terbuka oleh Presiden DK.
3. Pernyataan Pers: harus disetujui oleh konsensus dan tidak mengikat.
Secara umum, konsensus disetujui melalui email. 75
Selain itu, DK PBB menyelenggarakan Arria-formula Meetings dimana
diadakan pertemuan informal atas prakarsa DK PBB untuk mengumpulkan
informasi dari individu atau organisasi dengan pengetahuan tentang perkembangan
sebuah isu di lapangan. Arria-formula Meetings telah digunakan selama bertahun-
tahun untuk menjangkau dengan berbagai aktor, termasuk:
1. Delegasi tingkat tinggi dari negara-negara anggota yang tidak diwakili
dalam Dewan (pertemuan Arria kadang-kadang diadakan untuk pertemuan
khusus dengan para kepala negara yang ingin bertemu dengan Dewan —
misalnya pada 1990-an, pertemuan semacam itu diadakan dengan presiden
Kroasia dan Georgia. . "Pertemuan pribadi" formal "Dewan atau" Dialog
Interaktif Informal "lebih sering untuk tujuan seperti saat ini.);
2. Perwakilan aktor non-negara;
3. Pemegang mandat prosedur pemantauan Komisi Hak Asasi Manusia dan,
75 Kemlu RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB”, tersedia dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/147/view/keanggotaan-indonesia-pada-dk-pbb diakses pada 22
September 2019
45
baru-baru ini, Dewan Hak Asasi Manusia;
4. Kepala organisasi internasional;
5. Pejabat tinggi PBB;
6. Perwakilan dari LSM dan anggota masyarakat sipil lainnya; atau
7. Perwakilan wilayah yang tidak diakui sebagai negara yang merupakan
pemangku kepentingan dalam masalah di depan Dewan.76
Pada penerapannya pertemuan ini memiliki beberapa contoh yaitu, Arria-
formula Meetings yang diselenggarakan oleh Senegal pada bulan April 2016
tentang “Water, Peace and Security” menjadi langkah persiapan untuk mengadakan
debat terbuka tentang topik ini selama kepresidenannya di bulan November tahun
itu. Arria-formula Meetings 19 Oktober 2018 tentang “Silencing the Guns in
Africa” yang diselenggarakan oleh Pantai Gading, Guinea Ekuitorial, Ethiopia,
Afrika Selatan dan African Union (AU) berfungsi sebagai persiapan untuk debat
terbuka 27 Februari 2019 dan adopsi resolusi pada masalah ini (resolusi 2457).77
76 United Nations Security Council Report. “UN Security Council Working Methods:
Arria-Formula Meetings” (2 Juli 2019) terdapat dalam https://www.securitycouncilreport.org/un-
security-council-working-methods/arria-formula-meetings.php diakses pada 22 September 2019 77 United Nations Security Council Report. “UN Security Council Working Methods:
Arria-Formula Meetings” (2 Juli 2019) terdapat dalam https://www.securitycouncilreport.org/un-
security-council-working-methods/arria-formula-meetings.php diakses pada 22 September 2019
46
BAB III
KETERLIBATAN INDONESIA DALAM DEWAN KEAMANAN PBB
Bab ini membahas dibahas mengenai keterlibatan Indonesia dalam DK
PBB, tantangan, peluang, dan politik luar negeri Indonesia dalam menjadi anggota
tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Pada bab ini penulis memfokuskan
Indonesia dan DK PBB dengan tujuan untuk memberikan gambaran bagaimana
Indonesia terlibat dalam DK PBB sejak awal keanggotaan Indonesia di PBB serta
mengenai tantangan, peluang, dan bagaimana prinsip poitik luar negeri Indonesia
bebas aktif dalam menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020.
A. Sejarah Keanggotaan Indonesia dalam DK PBB
Pada 8 Juni 2018, Indonesia telah terpilih sebagai anggota tidak tetap DK
PBB untuk periode 2019-2020, bersama dengan Jerman, Afrika Selatan, Belgia dan
Republik Dominika. Indonesia memulai masa jabatannya pada 1 Januari 2019
hingga 31 Desember 2020. Keanggotaan DK Indonesia adalah yang keempat
kalinya, setelah sebelumnya Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB pada 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008.78 Prinsip dasar
penerapan keanggotaan Indonesia tidak tetap di DK PBB adalah Pancasila,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Dasasila Kota Bandung sebagai produk
diplomasi monumental Indonesia yang merupakan landasan tatanan sosial
masyarakat dunia.79
78 Kemlu RI. “Indonesia on The UN Security Council”, terdapat dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/148/halaman_list_lainnya/about-indonesia-on-the-un-security-
council diakses pada 22 September 2019 79 Kemlu RI. “Indonesia on The UN Security Council”, terdapat dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/148/halaman_list_lainnya/about-indonesia-on-the-un-security-
council diakses pada 22 September 2019
47
Dasasila Bandung yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar
dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Adapun isi dari
Dasasila Bandung:
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang
termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa,
besar maupun kecil
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam
negeri negara lain
5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara
sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB
6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk
bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak
melakukannya terhadap negara lain
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun
penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan
politik suatu negara
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti
perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun
cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai
dengan Piagam PBB
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
48
10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.80
Dasasila Bandung mengubah pandangan dunia tentang hubungan
internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned”
terhadap Dunia Pertama Washington, dan Dunia Kedua Moscow. Jiwa Bandung
telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB
tidak lagi menjadi forum eksklusif Barat atau Timur saja.81
Gambar III.1.Presiden Suharto Menghadiri Non Aligned Movement
(NAM) 1995
Sumber: Kemlu RI82
Presiden Suharto menghadiri pertemuan pada kaukus Gerakan Non Blok
dalam sidang keanggotaan DK PBB di New York pada 23 Oktober 1995.
80 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, “Sejarah Singkat KAA, Kelahiran Dasasila
Bandung” terdapat dalam http://disdik.jabarprov.go.id/news/84/sejarah-singkat-kaa%2C-kelahiran-
dasasila-bandung-%28bagian-2%29 diakses pada 15 Desember 2019 81 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, “Sejarah Singkat KAA, Kelahiran Dasasila
Bandung” terdapat dalam http://disdik.jabarprov.go.id/news/84/sejarah-singkat-kaa%2C-kelahiran-
dasasila-bandung-%28bagian-2%29 diakses pada 15 Desember 2019 82 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
2020.pdf
49
Gambar III.2.Menlu Ali Alatas Dalam Pertemuan Anggota DK PBB
1996
Sumber: Kemlu RI83
Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, menyampaikan situasi di
kawasan Arab pada sidang DK PBB 27 September 1996.
Gambar III.3.Menlu Hasan Wirajuda Dalam Pertemuan DK PBB 2007
Sumber: Kemlu RI84
83 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
2020.pdf 84 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
50
Menteri luar negeri Hasan Wirajuda, menjadi ketua pada pertemuan DK
yang membahas mengenai peran organisasi regional dan sub-regional dalam
perbaikan dari perdamaian dan keamanan dunia di markas DK PBB New York, AS.
Dalam pemilihan anggota tidak tetap DK PBB pada periode 2007-2008,
Indonesia didukung oleh lebih dari 80% suara negara anggota PBB. Indonesia terus
berkontribusi dalam musyawarah untuk menjadikan DK lebih demokratis,
transparan, dan akuntabel. Sepanjang keanggotaan Indonesia pada DK PBB di masa
lalu, Indonesia memainkan peran penting sebagai suara moderat dan membangun
jembatan negosiasi di antara negara-negara nggota DK dan negara-negara anggota
PBB secara lebih luas.85
Indonesia memiliki rekam jejak yang membanggakan dalam
keanggotaannya di PBB sebagaimana tercermin dalam keberadaan "Pedoman
Wisnumurti" atau Wisnumurti Guidelines sebagai panduan untuk proses pemilihan
Sekretaris Jenderal PBB yang telah digunakan sejak tahun 1996. Pada 1996, DK
PBB mengadopsi seperangkat pedoman untuk proses seleksi seketaris jenderal PBB
yang diusulkan oleh Wakil Tetap untuk PBB dari Indonesia, H.E. Duta Besar
Nugroho Wisnumurti. "Pedoman Wisnumurti". Secara formal, menurut Pasal 97
Piagam PBB, seorang sekjen wajib ditunjuk oleh Sidang Majelis Umum atas
rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. Pedoman ini memengaruhi proses
seleksi hingga sekarang, termasuk penggunaan persetujuan pemungutan suara
2020.pdf
85 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
2020.pdf
51
untuk setiap kandidat yang disarankan melalui surat suara dengan kode warna atau
sering disebut color coded ballots.86
Gambar III.4.Pembagian Regional Anggota Tidak Tetap DK PBB
Wilayah Kursi yang Tersedia
pada Pemilihan 2018
Kandidat dan Historikal
Keanggotaan DK PBB
Afrika 1 Afrika Selatan (2007-
2008, 2011-2012)
Asia Pasifik 1 Indonesia (1973-1974,
1995-1996, 2007-2008),
dan Maladewa (tidak
pernah menjabat)
Amerika Latin dan
Karibia
1 Republik Dominika
(tidak pernah menjabat)
Eropa Barat 2 Belgia (1947-1948,
1955-1956, 1971-1972,
1991-1992, 2007-2008),
dan Jerman (1977-1978,
1987-1988, 1995-1996,
2003-2004, 2011-2012)
Sumber: UNSC Elections Report 201887
Pada 8 Juni 2018, sesi ke-72 dari Majelis Umum PBB dijadwalkan untuk
mengadakan pemilihan anggota tidak tetap untuk DK PBB. Lima kursi tersedia
untuk pemilihan pada 2018 menurut distribusi reguler antar wilayah dengan
komposisi sebagai berikut: satu kursi untuk Grup Afrika (saat ini dipegang oleh
Ethiopia); satu kursi untuk Grup Asia dan Small Island Developing States (SIDS)
(Asia-Pasifik) (saat ini dipegang oleh Kazakhstan); satu kursi untuk Amerika Latin
dan Karibia atau Latin American and Caribbean Group (GRULAC) (saat ini
dipegang oleh Bolivia); dua kursi untuk Eropa Barat dan Lainnya atau The Western
86 Dag Hammarskjöld Foundation, “How does the UN choose its leader?”, terdapat dalam
https://www.daghammarskjold.se/un-choose-leader/ diakses pada 22 September 2019 87 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-
8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
52
European and Others Group (WEOG) saat ini dipegang oleh Belanda dan Swedia).
Grup Eropa Timur tidak ikut serta dalam pemilihan kursi tahun ini karena jatah
kursinya dipegang oleh Polandia hingga 2019. Lima anggota terpilih tahun 2018
akan menempati jabatan mereka di 1 Januari 2019 dan akan melayani hingga 31
Desember 2020.88
Indonesia menggambarkan dirinya sebagai negara mayoritas penduduk
menganut agama Islam yang memiliki keinginan dalam melawan terorisme dan
ekstremisme kekerasan dapat memfokuskan upayanya pada DK PBB berbagai
agenda kontraterorismenya. Hal ini juga menekankan promosi diplomasi preventif
dan mungkin mencari untuk meningkatkan kerjasama DK PBB dengan pengaturan
regional, seperti Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), sebagai
dirumuskan oleh Bab VIII Piagam PBB.89
B. Tantangan dan Peluang Indonesia Dalam Keanggotaan DK PBB 2019
– 2020
Tantangan Indonesia dalam keanggotaan DK PBB periode 2019-2020
dimulai dengan bersaing bersama Maladewa sebagai kandidat kuat dalam
pemilihan anggota tidak tetap DK PBB pada 2018. Maladewa merupakan anggota
PBB sejak 1965 tidak pernah bertugas di DK. Ini pertama kalinya Maladewa
mencalonkan diri untuk kursi anggota tidak-tetap. Bahkan, Maladewa telah
mengumumkan pencalonan sejak 2008. Maladewa telah berkampanye untuk DK
88 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 5 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 89 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 5 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
53
dengan bawah slogan "solusi bersama, takdir bersama" dan mengajukan lima alasan
mengapa pencalonannya layak dukungan. Alasan tersebut antara lain: bahwa
Maladewa akan menawarkan perspektif yang baru; advokasi untuk toleransi dan
moderasi; bekerja untuk membangun jembatan negosiasi dan mempromosikan
konsensus Piagam PBB; advokasi untuk lintas sektoral reformasi; dan berjanji akan
beroperasi secara transparan, efektif dan bertanggung jawab. Maladewa
mengatakan akan membawa keragaman dalam DK PBB sebagai negara yang
berasal dari Asia Selatan, berpenduduk mayoritas Muslim, memiliki wilayah
kepualauan kecil, dan merupakan negara berkembang yang juga anggota G77 dan
Gerakan Non-Blok. Maladewa akan bekerja untuk mempromosikan kepentingan
negara berkembang dalam sistem PBB dan di panggung internasional. Maladewa
menyoroti prioritasnya dalam DK PBB pada inisiatif terkait untuk keamanan
negara-negara SIDS dan dimensi perubahan iklim. Prioritas lain yakni mencakup
perlucutan senjata dan non-proliferasi, pencegahan konflik, memerangi terorisme
internasional, dan mempromosikan hak asasi manusia. Akan tetapi, Maladewa saat
ini belum memiliki pasukan perdamaian untuk misi perdamaian PBB.90
Sedangkan dalam keanggotaanya pada DK PBB periode 2019-2020, Kemlu
RI merilis beberapa tantangan yang akan dihadapi Indonesia. Tantangan pertama
adalah tantangan klasik, yaitu dominasi negara-negara anggota permanen (P5) dari
DK PBB, yaitu AS, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia. Dalam beberapa tahun
terakhir, perpecahan antara negara-negara P5 telah mengalami peningkatan tekanan
90 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 4 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
54
yang membuat Indonesia harus menghadapinya tanpa berpihak sebisa mungkin.
Tantangan kedua adalah melemahnya multilateralisme global akhir-akhir ini
sebagai akibat dari kebijakan sejumlah negara yang semakin mencari keberpihakan.
Tantangan ketiga yakni meningkatnya jumlah masalah low politics yang menjadi
perhatian DK akhir-akhir ini antara lain, isu-isu seperti perubahan iklim, dampak
penyakit (pandemi), dan pembangunan berkelanjutan.91
Untuk implementasi keanggotaan tidak tetap Indonesia pada periode 2019-
2020, Indonesia telah menetapkan 4 Masalah Prioritas dan 1 Masalah Perhatian
Khusus, yaitu:
1. Melanjutkan kontribusi Pemerintah Indonesia dalam upayanya
mewujudkan perdamaian dunia, antara lain melalui penguatan
ekosistem atau geopolitik perdamaian dan stabilitas global dengan
mempromosikan dialog damai dan penyelesaian konflik. Dalam poin ini
terdapat beberapa sub-priotas yakni promosi penyelesaian perselisihan
yang damai melalui kemitraan dan regionalisme, peningkatan
pemeliharaan perdamaian dan pembangunan perdamaian,
meningkatkan kualitas dan efektivitas misi penjaga perdamaian,
mempromosikan kemitraan dalam menjaga perdamaian, dan
meningkatkan peran wanita dalam proses perdamaian.
2. Membangun sinergi antar organisasi regional untuk menjaga
perdamaian dan stabilitas di kawasan. Dalam hal ini penekanannya
91 Kemlu RI, “Frequently Asked Questions”, tersedia dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/141/halaman_list_lainnya/frequently-asked-questions-faq
diakses pada 22 September 2019
55
adalah pada kebutuhan untuk memperkuat organisasi regional,
mengingat tantangan dinamis saat ini, peran organisasi regional penting
dan diperlukan untuk menangani masalah.
3. Meningkatkan kerja sama antara negara-negara dan DK PBB untuk
memerangi terorisme, ekstremisme, dan radikalisme. Dalam poin ini
terdapat dua hal yang menjadi fokus Indonesia, yakni menciptakan
pendekatan yang komprehensif, dan atasi sumber akar terorisme,
radikalisme, dan ekstremisme kekerasan.
4. Pemerintah Indonesia juga akan mencoba mensinergikan upaya
menciptakan perdamaian dengan upaya pembangunan berkelanjutan.
Indonesia berfokus pada memastikan perdamaian, keamanan dan
stabilitas untuk memastikan kepatuhan terhadap Agenda 2030, termasuk
di Afrika, membangun kemitraan global dalam membahas implikasi
keamanan ekonomi, kesehatan, dan lingkungan, dan meningkatkan
peran wanita dalam proses perdamaian. Selain itu, Indonesia juga akan
memberikan perhatian khusus pada masalah Palestina. Sejalan dengan
prinsip dasar polugri, keanggotaan Indonesia di DK PBB perlu
membawa manfaat nyata bagi rakyat, baik secara politik maupun
ekonomi. 92
Selain itu, terdapat sejumlah manfaat strategis keanggotaan DK Indonesia
meliputi:
92 Kemlu RI, “Indonesian Membership on The UN Security Council”, tersedia dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/147/halaman_list_lainnya/indonesian-membership-on-the-un-
security-council diakses pada 22 September 2019
56
1. Bentuk perwujudan mandat konstitusi UUD 1945 untuk ikut serta dalam
menjalankan tata dunia berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
2. Meningkatkan peran kepemimpinan internasional Indonesia.
Meningkatkan kapasitas Indonesia untuk berbicara dalam pengambilan
keputusan internasional tentang berbagai masalah perdamaian dan
keamanan dunia.
Memungkinkan Indonesia untuk menerapkan perspektif Indonesia
sebagaimana diamanatkan oleh Sepuluh Prinsip Kota Bandung dan
prinsip polisi aktif bebas, yaitu: mendorong pendekatan yang lebih
seimbang dan menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang.
Meletakkan fondasi yang kuat untuk "investasi politik" dengan negara-
negara maju dan berkembang
Membuka peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk memberikan
bantuan kerja sama teknis ke negara-negara berkembang lainnya.
3. Meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia terhadap Misi Penjaga
Perdamaian (MPP) Indonesia. Indonesia memiliki visi untuk menjadi
bagian dari 10 negara teratas yang berkontribusi personel dan menempatkan
4.000 personel di berbagai MPP PBB. Saat ini, sepuluh target teratas telah
tercapai, dan visi 4.000 personel diharapkan akan tercapai dalam waktu
dekat. Hingga akhir November 2018, Indonesia telah menempati peringkat
ke 7 dari 124 negara yang menyumbang personil untuk misi perdamaian
PBB, dengan 3.544 personil Indonesia, 94 di antaranya wanita.
57
4. Meningkatkan peluang untuk mendorong reformasi DK PBB, khususnya
metode kerja. 93
Perlu disadari bahwa keanggotaan Indonesia untuk periode 2 tahun, dan
kemudian Indonesia akan kembali berada di luar keanggotaan DK. Dalam hal ini,
salah satu masalah yang Indonesia nyatakan secara konsisten adalah perlunya
reformasi DK agar sejalan dengan tatanan global yang lebih inklusif. Oleh karena
itu, kesempatan untuk menjadi anggota DK membuka peluang yang sangat strategis
untuk mendorong proses reformasi DK dari dalam DK itu sendiri. 94
Selain itu, terdapat beberapa masalah di bawah agenda DK PBB yang perlu
perhatian khusus di bawah keanggotaan Indonesia. Pertama, Indonesia mengemban
tugas untuk memastikan semua tindakan yang diambil oleh DK PBB memang
konsisten dengan mandat dan prinsip-prinsip dasar hukum internasional. Kedua,
Indonesia perlu menyoroti isu Palestina dengan menggarisbawahi pentingnya
ketidakberpihakan masyarakat internasional dalam menyelesaikan masalah
Palestina dan mendorong proses perdamaian. Ketiga, terorisme adalah salah satu
ancaman paling menantang bagi perdamaian dunia. Dalam keterkaitannya dengan
DK PBB, Indonesia sangat mementingkan pendekatan multilateral, yang berarti
kerja sama internasional merupakan prasyarat untuk melawan kejahatan ini.
Keempat, sebagai salah satu kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian
militer dan polisi, Indonesia perlu secara aktif memastikan bahwa tanggapan DK
93 Kemlu RI, “Indonesian Membership on The UN Security Council”, tersedia dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/147/halaman_list_lainnya/indonesian-membership-on-the-un-
security-council diakses pada 22 September 2019 94 Kemlu RI, “Indonesian Membership on The UN Security Council”, tersedia dalam
https://kemlu.go.id/portal/en/read/147/halaman_list_lainnya/indonesian-membership-on-the-un-
security-council diakses pada 22 September 2019
58
PBB terhadap krisis adalah benar dengan mengintegrasikan pencegahan konflik,
penciptaan perdamaian dan pembangunan perdamaian. Indonesia juga harus terus
mempromosikan peran luar biasa yang dimainkan oleh pasukan penjaga
perdamaian PBB melalui penyediaan peningkatan kapasitas dan pengembangan
kemampuan.95
C. Politik Luar Negeri Indonesia “Bebas-Aktif”
Menlu Retno Marsudi menerapkan amanah konstitusi Indonesia
berdasarkan penggalan paragraf ke empat UUD 1945 yang harus dijalankan oleh
diplomasi dan politik luar negeri Indonesia bebas aktif. Beberapa elemen yang
merupakan amanah bagi pelaksanaan politik luar negeri, yaitu melindungi seluruh
bangsa Indonesia, melindungi tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.96
Sejak diterapkannya politik bebas aktif pada orde lama yang saat itu terkenal
dengan gerakan non-blok pada 1957 hingga sekarang, Indonesia telah menyumbang
lebih dari 37.000 personel untuk Operasi dan Misi Penjaga Perdamaian PBB, dan
saat ini berada di peringkat ke 8 di antara negara-negara yang Memberikan
Kontribusi Pasukan PBB, dengan 2.817 personel bertugas di 9 operasi di seluruh
dunia (per Februari 2017).97
95 Abdulkadir Jailani, 2018, “Great opportunity, great responsibility”, tersedia dalam
https://www.thejakartapost.com/academia/2018/06/11/great-opportunity-great-responsibility.html
diakses pada 26 September 2019 96 Republika, 2019, “Menlu Ungkap 5 Prioritas Politik Luar Negeri Indonesia”, tersedia
dalam https://internasional.republika.co.id/berita/q04ugr382/menlu-ungkap-5-prioritas-politik-
luar-negeri-indonesia diakses pada 27 September 2019 97 Kemlu RI, 2019, “Indonesia and Global Peace”, tersedia dalam
https://indonesia4unsc.kemlu.go.id/index.php/indonesia-global-peace diakses pada 27 September
2019
59
Setelah terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Menlu
Retno menyampaikan, “Ini merupakan kepercayaan masyarakat internasional
kepada Indonesia dan hasil kerja keras seluruh komponen bangsa, khususnya para
Diplomat Indonesia, menggantikan Kazakhstan yang masa keanggotaannya
berakhir pada Desember 2018.” Menlu Retno juga menuturkan kalau terpilihnya
Indonesia karena negeri kita dipercaya sebagai negara yang penuh toleransi, di
mana Islam dan demokrasi berjalan berdampingan. Ini menjadi bukti bahwa
masyarakat internasional sangat menghargai perjalanan sejarah Indonesia.98
Dimulainya kampanye untuk pemilihan anggota tidak tetap DK PBB pada
2016 ditandai dengan pemukulan gong oleh Wapres Jusuf Kala di Markas PBB di
New York, Amerika Serikat. Wapres menjelaskan saingan utama adalah Maladewa
namun Indonesia memiliki peluang menang lebih besar. Sebelumnya Menlu Retno
Marsudi mengutarakan untuk jadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
Indonesia mengusung tema The True Partner for World Peace. Menlu Retno
mengatakan, "Karena kalau kita bicara mengenai diplomasi Indonesia, maka
Indonesia sebagai agen perdamaian dunia itu sudah kental. Jadi kita sudah berbuat
banyak untuk isu demokrasi. Bali Democracy Forum itu sudah merupakan satu
kegiatan mendunia. Jadi kontribusi Indonesia untuk menyebarkan value democracy
itu sudah sangat diakui,”99
98 CNBC Indonesia, 2018, “Pernyataan Menlu Usai RI Didapuk Jadi Dewan Keamanan
PBB”, tersedia dalam https://www.cnbcindonesia.com/news/20180609112449-4-
18579/pernyataan-menlu-usai-ri-didapuk-jadi-dewan-keamanan-pbb diakses 27 September 2019 99 Kompas, 2016, "Wapres Buka Kampanye Pencalonan Indonesia sebagai Anggota DK
PBB", tersedia dalam
https://nasional.kompas.com/read/2016/09/23/13174501/wapres.buka.kampanye.pencalonan.indon
esia.sebagai.anggota.dk.pbb diakses pada 27 September 2019
60
Sejalan dengan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia dapat
mengupayakan perdamaian dunia dengan sangat baik sehingga menjadi acuan bagi
negara-negara lain dalam memilih Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB
periode 2019-2020. Beberapa upaya perdamaian dunia yang dilakukan oleh
Indonesia pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Misalnya pada bantuan
kemanusiaan di Lebanon, Afghanistan, Myanmar, dan Palestina.
Dengan merujuk pada Rencana Jangka Menengah Pembangunan Nasional
(RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra), Kementerian Luar Negeri selama 2010-
2014 telah melaksanakan berbagai tindak prioritas bidang politik luar negeri RI dan
juga program-program kerja lainnya dalam tataran bilateral, regional maupun
multilateral. Berbagai aktivitas yang dilakukan ditujukan untuk memperkokoh
peranan Indonesia di forum internasional dengan tetap mengacu pada prinsip politik
luar negeri RI yang bebas dan aktif.100
Sasaran utama yang ingin dicapai adalah Indonesia secara konsisten dapat
melaksanakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif dan jatidirinya
sebagai negara maritim untuk mewujudkan tatanan dunia yang semakin baik, dan
memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam rangka mencapai tujuan nasional
Indonesia yang diukur dari target sasaran sebagai berikut:
1. Tersusunnya karakter kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas
dan aktif yang dilandasi kepentingan nasional dan jati diri sebagai negara
maritim.
100 Kemlu RI, “Renstra 2015-2019” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9BS0lQL0tlbWVudGVya
WFuJTIwTHVhciUyME5lZ2VyaS9SZW5jYW5hJTIwU3RyYXRlZ2lzJTIwS2VtbHUlMjAyMD
E1LTIwMTkucGRm diakses pada 15 Desember 2019
61
2. Menguatnya diplomasi maritim untuk mempercepat penyelesaian
perbatasan Indonesia dengan 10 negara tetangga, menjamin integritas
wilayah NKRI, kedaulatan maritim dankeamanan/kesejahteraan pulau-
pulau terdepan, dan mengamankan sumber daya alam dan ZEE.
3. Meningkatnya peran dan kontribusi Indonesia dalam mendorong
penyelesaian sengketa teritorial di kawasan.101
101 Kemlu RI, “Renstra 2015-2019” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9BS0lQL0tlbWVudGVya
WFuJTIwTHVhciUyME5lZ2VyaS9SZW5jYW5hJTIwU3RyYXRlZ2lzJTIwS2VtbHUlMjAyMD
E1LTIwMTkucGRm diakses pada 15 Desember 2019
62
BAB IV
ANALISIS ALASAN INDONESIA TERPILIH SEBAGAI ANGGOTA
TIDAK TETAP DK PBB PERIODE 2019-2020
Bab ini membahas mengenai analisis alasan mengapa Indonesia terpilih
sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Bab ini terdiri atas tiga sub-bab antara lain,
kekuatan diplomasi Indonesia, kontribusi Indonesia dalam perdamaian dunia, dan
kepentingan nasional Indonesia dalam keanggotaan DK PBB. Tujuan dari Bab IV
merupakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan.
Seperti yang telah dibahas pada Bab I mengenai konsep diplomasi itu
sendiri, pada Bab IV ini penulis mencoba menjawab pertanyaan masalah yang
diajukan pada rumusan masalah di Bab I. Pada Bab IV ini, penulis membahas usaha
Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB, dalam hal ini
adalah diplomasi yang menjadi alasan terpilihnya Indonesia menjadi anggota tidak
tetap DK PBB periode 2019-2020. Indonesia melakukan sejumlah kunjungan
diplomatik baik secara bilateral maupun multilateral yang dilakukan oleh
perwakilan Indonesia kepada negara-negara sahabat dalam menjalin kerjasama baik
dibidang politik, ekonomi, keamanan, dan pariwisata. Akan tetapi Indonesia juga
memanfaatkan pertemuan-pertemuan bilateral ini untuk melakukan kampanye atau
permintaan dukungan kepada negara-negara sahabat agar dapat mendukung
Indonesia dalam pemilihan anggota tidak tetap DK PBB. Selain itu, Indonesia
berkontribusi bagi perdamaian dunia yang menjadikan proses diplomasi Indonesia
ke negara lain dalam ini lebih mudah untuk dilakukan dan sebagai salah satu alasan
terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020.
63
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, politik luar negeri bebas aktif dapat
dijadikan analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan identitas
Indonesia di ranah internasional. Bebas berarti tidak terikat kepada suatu blok
negara adikuasa tertentu. Sementara aktif berarti aktif dalam mengembangkan
kerjasama internasional dengan negara lain. Politik luar negeri bebas aktif
digunakan oleh Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya, dalam hal ini
khususnya, untuk memenangkan kursi anggota tidak tetap DK PBB. Indonesia
menggunakan politik luar negeri bebas aktif sebagai strategi untuk mencapai
tujuannya dengan banyak berkontribusi pada perdamaian dunia, seperti, bergabung
dengan organisasi-organisasi internasional, forum internasional, dan menyumbang
bantuan kemanusiaan serta militer melalui peacekeeping operations PBB.
A. Kekuatan Diplomasi Indonesia
Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-
2020 merupakan sebuah kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat internasional
kepada Indonesia yang memperoleh 144 suara dari 190 negara anggota PBB.
Kampanye yang dilakukan Indonesia ini telah dilakukan sejak 2016 dengan
diplomasi yang bersih, tidak menghamburkan banyak uang, berdasarkan rekam
jejak Indonesia dan sejalan dengan visi Indonesia untuk DK PBB. Indonesia
akhirnya terpilih setelah unggul dari Maladewa yang hanya memperoleh 46
suara.102
102 Humas Kemensetneg, 2018, “Indonesia Terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan
Keamanan PBB” tersedia dalam
https://www.setneg.go.id/baca/index/indonesia_terpilih_sebagai_anggota_tidak_tetap_dewan_kea
manan_pbb diakses pada 27 September 2019
64
Menurut Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanantha
Nassir, terdapat dua konteks terkait pertimbangan negara anggota PBB dalam
memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap DK
PBB. Pertama adalah dukungan murni dimana negara tersebut biasanya melihat
kontribusi Indonesia dalam pemeliharaan perdamaian dunia dan isu-isu keamanan
lainnya. Kedua yakni dengan model imbalan dukungan. Pada model kedua, yang
paling umum adalah pemberian dukungan bagi negara yang diminta dukungannya
oleh Indonesia pada pemilihan anggota tidak tetap DK PBB di periode yang
berbeda. Selain itu juga dapat sebagai sarana saling dukung dalam forum-forum
internasional tertentu.103
Untuk mengamankan komitmen suara dari negara anggota, negara kandidat
dapat menjadi sukarelawan, atau diminta, bujukan tertentu. Misalnya, seorang
kandidat dapat menawarkan pengembangan bantuan kepada negara anggota dalam
mencari suaranya. Mungkin juga dengan menjanjikan akan memberikan dukungan
atau menghindari suatu masalah yang menjadi perhatian negara anggota itu. Seperti
pengaturan quid pro quo (pertukaran barang atau jasa atau “a favour for a favour”)
adalah hal umum dari proses kampanye. Biasanya, pada hari pemilihan, Dewan
Perwakilan ditawari hadiah oleh sebagian besar negara kandidat, bahkan oleh
negara kandidat yang bertarung pada pemilihan tanpa lawan.104
103 Victor Maulana, 2016, “Indonesia Resmi Calonkan Diri Jadi Anggota Tidak Tetap DK
PBB”, terdapat dalam https://international.sindonews.com/read/1143362/40/indonesia-resmi-
calonkan-diri-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb-1475158264 diakses pada 27 September 2019 104 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 10 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
65
Komitmen dapat diperoleh secara tertulis, lisan, atau keduanya. Suara
dilemparkan melalui pemungutan suara rahasia, sehingga tidak mungkin untuk
memastikan apakah negara anggota telah menepati janji mereka. Ada beberapa
alasan mengapa komitmen suara dapat diingkari. Seorang pejabat tinggi di suatu
negara dapat menjanjikan suara negara tersebut untuk kandidat tertentu tetapi gagal
untuk menyampaikan komitmen terhadap misi permanen ke PBB di New York, di
mana suara diberikan. Atau, jika ada perubahan dalam pemerintahan, pemerintah
baru mungkin tidak menganggap dirinya terikat oleh janji dari pemerintahan
sebelumnya. Mengingat kerahasiaan surat suara, ada insentif untuk menjaminkan
semua kandidat dalam pemilihan yang kompetitif. Mengetahui bahwa komitmen
tidak selalu pasti ditepati, beberapa negara kandidat berulang kali menghubungi
negara-negara yang telah berjanji untuk memilih mereka, mencari kepastian bahwa
mereka tidak berubah pikiran. Kandidat anggota tidak tetap DK PBB sering
mencari komitmen suara dari negara-negara anggota di berbagai tingkat
pemerintahan baik secara regional maupun non-regional.105
Berikut merupakan beberapa diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia
dalam rangka kampanyenya sebagai kandidat anggota tidak tetap DK PBB periode
2019-2020.
1. Diplomasi Bilateral
Diplomasi bilateral yang dilakukan oleh Indonesia dalam rangka
kampanyenya sebagai kandidat anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020
105 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2019” 14 Mei
2019, Hal. 10 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2019.pdf
66
dimulai sejak dua tahun, yakni 2016, sebelum hari pemilihan dilakukan. Pada
Februari 2016, Indonesia telah meminta dukungan kepada Republik Ceko yang
melakukan kunjungan bilateral ke Indonesia. Dalam pertemuan bilateral tersebut
juga dibahas mengenai peningkatan perdagangan Indonesia-Ceko yang pada 2015
mencapai USD 260 juta dan beasiswa mahasiswa kedua negara lewat pola
diplomasi people to people contact.106
Selanjutnya pada Maret 2016, Menlu RI juga meminta dukungan kepada
Sierra Leone lewat Menlu Samura M.W Kamara pada Konferensi Tingkat Tinggi
Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (KTT LB OKI) 2016 di Senayan, Jakarta.
Permintaan dukungan ini disambut baik oleh Sierra Leone karena merasa memiliki
pandangan yang sama mengenai isu Palestina.107 Dukungan dari Angola
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Angola Georges Rebelo Chicoti dalam
kunjungannya ke Gedung Pancasila pada 11 April 2017. Angola akan memberikan
dukungannya dalam berbentuk nota tertulis. Menlu Chicoti mengatakan kedua
negara memiliki visi yang sama dalam beberapa visi internasional. Dukungan ini
juga diikuti sinyal kuat dari Angola yang hendak membuka kedutaannya di
Indonesia sebagai tanda keeratan hubungan bilateral kedua negara.108
106 Fira, 2016, “Jokowi Minta Dukungan Ceko, Jadi Anggota Tak Tetap DK PBB”, tersedia
dalam https://www.obsessionnews.com/jokowi-minta-dukungan-ceko-jadi-anggota-tak-tetap-dk-
pbb/ diakses pada 27 September 2019 107 Emirald Junio, 2016, “Indonesia Minta Dukungan Sierra Leone untuk Masuk DK PBB”,
tersedia dalam https://news.okezone.com/read/2016/03/06/18/1329053/indonesia-minta-dukungan-
sierra-leone-untuk-masuk-dk-pbb diakses pada 27 September 2019 108 Medcomid, 2017, “Angola Beri Dukungan Kuat Keanggotaan Indonesia di DK PBB”,
tersedia dalam
https://www.medcom.id/internasional/asia/eN4JEwok-angola-beri-dukungan-kuat-
keanggotaan-indonesia-di-dk-pbb diakses pada 27 September 2019
67
Pada 13 Maret 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta dukungan
kepada Kazakhstan dalam kunjungan Delegasi senat parlemen Republik
Kazakhstan resmi menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam
permintaannya kepada perwakilan dari Kazakhstan, Presiden Jokowi berharap
Indonesia-Kazakhstan sebagai negara dengan penduduk Muslim dapat
merepresentasikan Islam yang damai dan dapat memberikan kesejahteraannya
untuk dunia. Presiden Jokowi menekankan bahwa kedua negara perlu
meningkatkan kerja samanya, terutama untuk merealisasikan kemerdekaan
Palestina. Dengan terpilihnya Indonesia dalam keanggotaan DK PBB, Indonesia
juga menjanjikan isu ini untuk lebih diperhatikan di dalam DK PBB.109
Dukungan dari negara-negara Eropa juga berdatangan kepada Indonesia.
Swedia menjadi negara Eropa yang mendukung penuh pencalonan Indonesia dalam
kontestasi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Pernyataan tersebut
disampaikan Peter Hultqvist kepada Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu
pada 7 April 2017. Swedia berharap Indonesia yang telah berpengalaman dalam
menjaga perdamaian dunia sekiranya dapat menjadi inspirasi dari pengalaman
tersebut, khususnya terkait peredaman konflik dan mencari simpati masyarakat di
wilayah konflik.110 Georgia juga berkomitmen untuk mendukung Indonesia dalam
kontestasi tersebut pada pertemuan bilateral Indonesia-Georgia di Georgia pada 13
Mei 2017 yang diwakili oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dan Wakil Menteri
109 Dessy Saputri, 2018, “Indonesia Minta Dukungan Jadi Anggota tak Tetap DK PBB”,
tersedia dalam https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/03/13/p5izcv335-indonesia-
minta-dukungan-jadi-anggota-tak-tetap-dk-pbb diakses pada 27 September 2019 110 Golda Eksa, 2017, “Swedia Dukung Indonesia Masuk Anggota Tidak Tetap Dewan
Keamanan PBB”, tersedia dalam https://mediaindonesia.com/read/detail/104165-swedia-dukung-
indonesia-masuk-anggota-tidak-tetap-dewan-keamanan-pbb diakses pada 27 September 2019
68
Luar Negeri Georgia, David Zalkaliani.111
Sedangkan di wilayah Asia, Indonesia melakukan upaya diplomasi bilateral
dengan Jepang dalam pencarian dukungannya. Jepang menyatakan mendukung
Indonesia kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, di kantor
Kementerian Luar Negeri Jepang, Tokyo, pada 14 April 2017. Hingga 2017,
Pemerintah Indonesia mencatat telah memperoleh komitmen dukungan dari 95
negara. Perinciannya yakni 22 dukungan unilateral, 19 dukungan lisan, dan 54
dukungan melalui pengaturan saling dukung.112
Pada April 2018, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI),
Retno Marsudi berkunjung ke Amerika Serikat (AS) adalah dalam rangka
pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Menlu Retno
mengharapkan dukungan AS pada pemilihan di Majelis Umum PBB pada 8 Juni
2018. Permohonan ini diutarakan langsung oleh Menlu RI dalam pertemuan
bilateral dengan Menlu AS Michael Richard Pompeo di Washington DC meski
tidak tertulis secara resmi dalam agenda yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri
AS. Pada kunjungan ini Menlu RI juga menyampaikan kembali posisi Indonesia
yang mendukung Palestina. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan
penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia mengharapkan AS dapat
memperhatikan kepentingan dunia Islam.113
111 Koran Sindo, 2017, “Georgia Dukung RI Jadi Anggota DK PBB”, tersedia dalam
http://koran-sindo.com/page/news/2017-05-22/0/7/Georgia_Dukung_RI_Jadi_Anggota_DK_PBB
diakses pada 27 September 2019 112 Tempo, 2017, “Jepang Dukung Indonesia Jadi Anggota Dewan Keamanan PBB”,
tersedia dalam https://nasional.tempo.co/read/866151/jepang-dukung-indonesia-jadi-anggota-
dewan-keamanan-pbb/full&view=ok diakses pada 27 September 2019 113 Natalia Santi, 2018, “Menlu RI Minta Dukungan AS untuk Jadi Anggota DK PBB”,
tersedia dalam https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180607004605-134-304131/menlu-
ri-minta-dukungan-as-untuk-jadi-anggota-dk-pbb diakses pada 27 September 2019
69
Selain itu, pada April 2018, di bulan yang sama, Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Bambang Soesatyo, juga melakukan
pertemuan bilateral dengan Paskistan guna menyampaikan permintaan dukungan
bagi Indonesia dalam pemilihan anggota tidak tetap DK PBB. Ketua DPR RI
menjanjikan kepada Pakistan jika terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB pada
periode mendatang maka Indonesia akan ikut berfokus menyikapi konflik yang
terjadi di duna, terutama konflik yang terjadi antara Pakistan dan India.114
Dalam kampanyenya pada pencalonan anggota tidak tetap DK PBB periode
2019-2020, pada 22 September 2016 Menlu RI setidaknya melakukan pertemuan
dengan sekitar 28 negara pada Sidang Majelis Umum PBB ke-71. Pada pertemuan
tersebut telah terdapat beberapa negara yang memang sebelumnya sudah
memberikan dukungan dan terdapat pula beberapa negara yang sudah secara resmi
memberikan dukungan, meskipun belum menyampaikan secara tertulis. Pada
Sidang Umum PBB tersebut beberapa negara anggota PBB langsung mengatakan
akan segera membuat nota tertulis.115 Satu tahun kemudian, pada Sidang Majelis
Umum PBB ke-72, Menlu RI melakukan maraton diplomasi dengan bertemu
negara-negara sahabat yang bertujuan menggalang dukungan bagi pencalonan
Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Menlu Retno
menghadiri kurang lebih 70 pertemuan bilateral dengan negara-negara sahabat.116
114 Anggi Martaon, 2018, “DPR Minta Dukungan Indonesia Jadi Anggota Tidak Tetap DK
PBB”, tersedia dalam https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/8N0Vq1rk-dpr-minta-dukungan-
indonesia-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb diakses pada 27 September 2019 115 Victor Maulana, 2016, “Indonesia Resmi Calonkan Diri Jadi Anggota Tidak Tetap DK
PBB”, terdapat dalam https://international.sindonews.com/read/1143362/40/indonesia-resmi-
calonkan-diri-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb-1475158264 diakses pada 27 September 2019 116 Liputan6, 2017, “Indonesia Galakkan Dukungan untuk Jadi Anggota Tak Tetap DK
PBB”, tersedia dalam https://www.liputan6.com/global/read/3100828/indonesia-galakkan-
dukungan-untuk-jadi-anggota-tak-tetap-dk-pbb diakses pada 27 September 2019
70
2. Diplomasi Multilateral
Diplomasi Multilateral yang dilakukan Indonesia yakni pada forum-forum
Internasional yang bertujuan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk
memperoleh dukungan dari berbagai negara untuk menjadi anggota tidak tetap DK
PBB 2019-2020. Dalam setiap kesempatannya, Indonesia selalu menekankan
prioritas dan tujuannya untuk menjaga perdamaian dunia dan stabilitas di tingkat
global serta meningkatkan kerjasama global untuk melawan terorisme, radikalisme
dan gerakan ekstrimisme lainnya guna mendapatkan dukungan dari berbagai negara
di forum internasional.
Setelah peluncuran kampanye Indonesia pada DK PBB 22 September 2016
oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Indonesia langsung mendapatkan dukungan dari
negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Dukungan ini
disampaikan dalam informal meeting yang berlangsung di New York pada 25
September 2016. Dalam pertemuan multilateral tersebut Indonesia menyatakan
mampu membuktikan bahwa Islam, demokrasi, modernitas dan penguatan peran
perempuan dapat terjalin dalam satu harmoni. Sehingga alasan tersebut merupakan
salah satu alasan Indonesia layak menjadi anggota tidak tetap DK PBB.117
Pada forum internasional Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan
Australia (MIKTA) Indonesia meminta dukungan negara-negara anggota MIKTA
untuk mendukung Indonesia dalam pencalonannya tersebut. Diplomasi multilateral
yang dilakukan Indonesia ini dilakukan pada Pertemuan Tingkat Menteri ke-8
117 Ari Faturrokhmah, 2016, “ASEAN Dukung Penuh Pencalonan Indonesia di DK PBB”,
tersedia dalam
http://rri.co.id/post/berita/311664/nasional/asean_dukung_penuh_pencalonan_indonesia_di_dk_pb
b.html diakses pada 27 September 2019
71
MIKTA di Sydney 24-25 November 2016.118 Sedangkan pada pertemuan Indian
Ocean Rim Association (IORA) di Bali, Indonesia mendapatkan dua komitmen
dukungan dari Australia dan Sri Lanka. IORA merupakan sebuah organisasi dengan
anggota 21 negara di kawasan lingkar Samudera Hindia. Pada kunjungannya ke
Indonesia dalam rangka menghadiri KTT IORA Maret 2017, Menlu Australia Julie
Bisho menyatakan alasan yang membuat Indonesia layak menduduki posisi anggota
tidak tetap DK PBB. Alasan itu yakni Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang
signifikan. Indonesia berjuang dalam setiap forum internasional agar mencapai
kesejahteraan dan stabilitas baik dalam negeri maupun regional bahkan dunia.119
Dalam lawatan Menlu RI ke AS pada April 2018, Menlu RI menghadiri
resepsi diplomatik dalam rangka pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap
DK PBB periode 2019-2020 yang digelar di Markas PBB, New York. Pada forum
ini Menlu RI menyampaikan slogan kampanye Indonesia dalam pencalonannya
bertajuk mitra sejati perdamaian dunia (A True Partner for the World). Menlu RI
menekankan bahwa Indonesia telah memberikan banyak kontribusi bagi
perdamaian dunia karena memiliki rekam jejak yang jelas bagi perdamaian,
kemanusiaan dan kesejahteraan global. Indonesia juga berkontribusi pada bantuan
kemanusiaan misalnya pada bencana alam Haiti, Fiji dan Nepal.120
118 AntaraNEWS, 2016, “Indonesia minta MIKTA dukung pencalonan di DK-PBB”,
tersedia dalam https://www.antaranews.com/berita/597781/indonesia-minta-mikta-dukung-
pencalonan-di-dk-pbb diakses pada 27 September 2019 119 Aditya Mardiastuti, 2016, “RI dapat Dukungan Menlu Australia Jadi Anggota Tidak
Tetap Dewan Keamanan PBB”, tersedia dalam https://news.detik.com/berita/d-3331369/ri-dapat-
dukungan-menlu-australia-jadi-anggota-tidak-tetap-dewan-keamanan-pbb diakses pada 27
September 2019 120 Natalia Santi, 2018, “Menlu RI Minta Dukungan AS untuk Jadi Anggota DK PBB”,
tersedia dalam https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180607004605-134-304131/menlu-
ri-minta-dukungan-as-untuk-jadi-anggota-dk-pbb diakses pada 27 September 2019
72
Kampanye terakhir Indonesia dalam pencalonannya itu berlangsung pada
14 Mei 2018 di Markas PBB, New York. Menlu RI menyampaikan pidato yang
berisi kampanye Indonesia di hadapan seluruh anggota DK PBB di ajang "High
Level Open Debate on Respecting International Law.” Pada kesempatan itu, Menlu
Retno menyampaikan pidato debat berjudul “On Upholding International Law
Within the Context of the Maintenance of International Peace and Security” di
hadapan majelis DK PBB.121 Menlu Retno menekankan perlunya DK PBB untuk
memenuhi mandatnya dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional
dengan menjadi bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah itu sendiri. Ia
juga menyoroti pentingnya anggota DK PBB menegakkan hukum internasional
dengan menerapkan berbagai resolusi PBB, sehingga pekerjaan dan produk-produk
DK PBB dapat bermanfaat bagi masyarakat global.122
B. Kontribusi Indonesia dalam Perdamaian Internasional
Presiden Jokowi menyampaikan empat alasan keberhasilan Indonesia
masuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB itu, yakni:
1. Kondisi dalam negeri Indonesia yang demokratis stabil dan damai. Kondisi
dalam negeri indonesia ini memiliki kontribusi yang besar dalam
pemenangan ini.
2. Rekam jejak dan kontribusi diplomasi Indonesia dalam turut menjaga
121 Rizky Akbar Hasan, 2018, “Kampanye Terakhir untuk Pencalonan Indonesia di DK
PBB, Menlu Bertolak ke New York”, tersedia dalam
https://www.liputan6.com/global/read/3525053/kampanye-terakhir-untuk-pencalonan-indonesia-
di-dk-pbb-menlu-bertolak-ke-new-york diakses pada 27 September 2019 122 AntaraNEWS, 2018, “Indonesia calls on UN Security Council to uphold international
law “, tersedia dalam https://en.antaranews.com/news/115773/indonesia-calls-on-un-security-
council-to-uphold-international-law diakses pada 27 September 2019
73
perdamaian dunia.
3. Independensi dan netralitas politik luar negeri bebas aktif Indonesia.
4. Peran Indonesia dalam menjembatani perbedaan yang ada, termasuk
negara-negara yang sedang dilanda konflik.123
Sebagai anggota pendiri ASEAN, Indonesia telah berkontribusi dalam
menciptakan ekosistem perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di Asia Tenggara
dan di wilayah yang lebih luas. Indonesia juga secara aktif mempromosikan
perdamaian dunia dan merupakan anggota G20 yang mewakili negara-negara
berkembang. Indonesia juga merupakan salah satu pendiri dan anggota aktif
Gerakan Non-Blok dan Kelompok 77 yang berupaya memajukan kerja sama di
antara negara-negara berkembang untuk memastikan kemajuan bersama bagi
semua.124
Menurut Wapres Jusuf Kalla, terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak
tetap DK PBB periode 2019-2020 didasari oleh pengalaman Indonesia terlibat
dalam penjagaan perdamaian di sejumlah negara melalui pasukan perdamaian
dunia. Wapres Jusuf Kalla mengatakan, “Sejak 1950-an, Indonesia selalu mengirim
'peacekeeping force' apakah itu di Timur Tengah, dahulu di Semenanjung Sinai,
kemudian Kongo di Afrika, di Bosnia juga, di mana-mana pasukan Indonesia ikut
serta,” Kontingen Garuda, yang turut serta dalam pasukan penjaga perdamaian PBB
di negara-negara berkonflik menjadi salah satu nilai lebih terpilihnya Indonesia
123 Arys Aditya, 2018, “Jokowi Ungkap Alasan RI Berhasil Jadi Dewan Keamanan PBB”,
tersedia dalam https://www.cnbcindonesia.com/news/20180612143601-4-18915/jokowi-ungkap-
alasan-ri-berhasil-jadi-dewan-keamanan-pbb diakses pada 27 September 2019 124 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 4 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
74
sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk keempat kalinya.125
Sejak 1957, Indonesia telah menjadi kontributor aktif bagi lebih dari 30
Operasi Penjagaan Perdamaian PBB atau UN Peacekeeping Operations (UNPKO)
dengan penyebaran lebih dari 30.000 pasukan Indonesia dan personel polisi.
Indonesia bercita-cita untuk memperbesar kontribusinya terhadap UNPKO dengan
mewujudkan “Visi 4.000 Penjaga Perdamaian”, yang membayangkan penyebaran
4.000 pasukan penjaga perdamaian Indonesia pada tahun 2019. Untuk memenuhi
visi ini, Indonesia mendirikan Perdamaian Indonesia dan Pusat Keamanan yang
menampung Pusat Pelatihan Penjaga Perdamaian terbesar di Asia Tenggara.126
Indonesia berkontribusi 2.871 Pasukan tersebar di sembilan misi perdamaian PBB,
dengan mayoritas melayani dengan United Nations Hybrid Operation in Darfur
(UNAMID) dan United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Indonesia
berjanji untuk meningkatkan total kontribusinya menjadi 4.000 pada akhir 2019.
Indonesia menjadi negara terbesar ke-8 pengirim pasukan perdamaian di daerah
konflik.127
125 Kabar 24, 2018, “Faktor Indonesia Menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB Menurut
Jusuf Kalla”, tersedia dalam https://kabar24.bisnis.com/read/20180611/19/805207/faktor-yang-
bikin-indonesia-jadi-anggota-tak-tetap-dewan-keamanan-pbb-menurut-jusuf-kalla diakses pada 29
September 2019 126 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, Hal. 4 diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
2020.pdf 127 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 4 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
75
Gambar IV.1.Jumlah Personel UNPKO Indonesia
Sumber: Kemlu RI128
Sepanjang kampanyenya, Indonesia telah menyoroti posisinya di komunitas
internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara terpadat
keempat di dunia negara kepulauan terbesar, dan negara dengan populasi Muslim
terbesar di dunia. Ini juga merupakan anggota pendiri Gerakan Non-Blok, G77,
ASEAN, dan anggota G20. Indonesia bercita-cita untuk terus bermain peran
penting sebagai suara moderat dan pembangun jembatan di antara anggota DK dan
dalam sistem PBB yang lebih luas. Indonesia telah menekankan perlunya DK untuk
mereformasi menjadi lebih demokratis, responsif, dan kredibel. Indonesia telah
menguraikan tiga prioritas utama sebagai global pasangan. Ini akan mencari
“ekosistem global” dari perdamaian dan stabilitas melalui mempromosikan
penyelesaian sengketa secara pasif dan memperkuat peran pengaturan regional dan
penjagaan perdamaian dan pembangunan perdamaian PBB. Kedua, itu akan
128 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, Hal. 4 diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
2020.pdf
76
mencari sinergi antara yang mendukung agenda perdamaian dan pembangunan
dengan memastikan perdamaian, keamanan dan stabilitas untuk
mengimplementasikan Agenda 2030, termasuk di Afrika, dan membangun
kemitraan global untuk menangani implikasi keamanan ekonomi, kesehatan dan
tantangan lingkungan. Ketiga, Indonesia mengusulkan untuk memprioritaskan
memerangi terorisme, radikalisme dan ekstremisme kekerasan melalui
pembentukan pendekatan komprehensif global dan mengatasi akar permasalahan
terorisme.129
Kinerja Kemlu RI sejak 2010 dalam capaian Sasaran Strategis telah
melampaui 100%. Capaian organisasi Kementerian Luar Negeri pada tahun 2010
sebesar 94,47%, sedangkan pada tahun 2011 capaian kinerja organisasi telah
mencapai 114,99% dan pada tahun 2012 telah mencapai 121,27%. Dari capaian
kinerja organisasi Kementerian Luar Negeri tahun 2013 sebesar 91,82% dan tahun
2014 sebesar 95,56% telah menunjukan bahwa Kementerian Luar Negeri telah
berhasil mencapai tujuan dan sasaran strategis organisasinya yang mendukung
pencapaian visi Kementerian Luar Negeri tahun 2010-2014, yaitu ”Memajukan
Kepentingan Nasional melalui Diplomasi Total”.130
Indonesia berperan aktif dalam upaya perdamaian Palestina, yakni dengan
melakukan beberapa hal. Pertama menolak status Yerusalem sebagai Ibu Kota
129 Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations Security
Council 2019-2020”, Hal. 5 diunduh dari https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-
2020.pdf 130 Kemlu RI, “Renstra 2015-2019” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9BS0lQL0tlbWVudGVya
WFuJTIwTHVhciUyME5lZ2VyaS9SZW5jYW5hJTIwU3RyYXRlZ2lzJTIwS2VtbHUlMjAyMD
E1LTIwMTkucGRm diakses pada 15 Desember 2019
77
Israel. Kedua, mendesak PBB menjalankan prinsip demokrasi dari hasil voting
terhadap status quo Israel. Ketiga, menegaskan dukungan terhadap Palestina dalam
pertemuan OIC Extraordinary Summit di Istanbul, Turki. Keempat, membebaskan
biaya masuk kurma dan minyak zaitun asal Palestina ke Indonesia sejak tahun 2018
agar Palestina semakin mendapatkan keuntungan.
Selain Palestina, Indonesia juga mendorong rekonsiliasi kelompok
berseteru di Afghanistan dengan beberapa cara. Presiden Jokowi mengadakan
pertemuan trilateral dengan Afghanistan dan Pakistan terkait penyebaran bibit
perdamaian di Afghanistan yang melakukan kegiatan ekstremisme dan kekerasan.
Indonesia memberikan bantuan beasiswa pelatihan polisi, pembangunan
infrastruktur, pertukaran ulama, dan pemberdayaan perempuan di Afghanistan.
Penyelenggaraan pertemuan Trilateral Ulama Afghanistan-Pakistan-Indonesia di
Istana Presiden Bogor, 11 Mei 2019. Terakhir, Menlu RI Retno Marsudi
menandatangani perjanjian pembangunan klinik “Indonesia Islamic Center” di
Afghanistan.131
C. Kepentingan Nasional Indonesia dalam Keanggotaan Dewan
Keamanan PBB
Indonesia mewakili negara yang secara politik stabil, kuat secara ekonomi,
dan taat hukum di mana keragaman agama dan demokrasi berjalan seiring untuk
mencapai keadilan sosial bagi rakyatnya.132 Indonesia adalah negara terbesar
131 Kompas, 2018, “Politik Luar Negeri Jokowi-JK dalam 4 Tahun, Apa Saja
Pencapaiannya?”, tersedia dalam https://nasional.kompas.com/read/2018/10/20/17563621/politik-
luar-negeri-jokowi-jk-dalam-4-tahun-apa-saja-pencapaiannya diakses pada 30 September 2019 132 Kemlu RI, 2019, “Our Country at a Glance”, tersedia dalam
https://indonesia4unsc.kemlu.go.id/index.php/our-country-at-a-glance diakses pada 27 September
2019
78
keempat dengan lebih dari 250 juta orang dan populasi Muslim terbesar di dunia.
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan rumah bagi
masyarakat multikultural yang sangat percaya pada persatuan dalam
keanekaragaman. Kontribusi Indonesia untuk perdamaian dunia sudah ada sejak
tahun-tahun awal kemerdekaannya. Indonesia adalah salah satu penggagas
Konferensi Asia-Afrika 1955 yang mempromosikan kesetaraan dunia di antara
negara-negara, penyelesaian konflik secara damai, kerja sama antar negara, dan
menentang kolonialisme.133
Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah
Amerika Serikat dan India. Keberhasilan proses konsolidasi demokrasi di dalam
negeri, serta upaya-upaya yang dilakukan Indonesia selama ini untuk
mempromosikan dan memajukan demokrasi telah mendapatkan apresiasi dan
pengakuan dunia internasional. Selama ini Indonesia sudah melakukan promosi
demokrasi dan HAM di tingkat regional dan multilateral, misalnya melalui
penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF), kontribusi Indonesia dalam
pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR),
dan melalui kontribusi sebagai anggota Dewan HAM PBB. Negara-negara Timur
Tengah dan ASEAN telah membuka kerjasama untuk saling berbagi pengalaman
terkait dengan pelaksanaan demokrasi. Dengan potensi tersebut, Indonesia dapat
berperan memajukan demokrasi pada tingkat regional dan global.134
133 United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, Hal. 4 diunduh dari https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf 134 Kemlu RI, “Renstra 2015-2019” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9BS0lQL0tlbWVudGVya
WFuJTIwTHVhciUyME5lZ2VyaS9SZW5jYW5hJTIwU3RyYXRlZ2lzJTIwS2VtbHUlMjAyMD
79
Pemerintah Indonesia menyampaikan beberapa prioritas yang menjadi
tujuan utama dalam pelaksanaan kepentingan nasional dalam keanggotaan DK
PBB. Beberapa prioritas tersebut antara lain dialog penyelesaian konflik, penguatan
sinergi organisasi internasional dan regional, penciptaan ekosistem internasional
yang damai, dan mengaitkan antara perdamaian dunia dengan pembangunan
berkelanjutan. Melalui keanggotaan DK PBB, Indonesia dapat meningkatkan peran
kepemimpinan internasionalnya terkait dalam pengambilan keputusan internasional
mengenai isu keamanan dan perdamaian dunia.135
Keanggotaan DK PBB memungkinkan Indonesia menerapkan
perspektifnya yakni prinsip politik luar negeri bebas aktif dengan memberikan
pendekatan yang lebih mewakili kepentingan middle power ataupun third world
country. Keanggotaan itu juga memberikan peluang Indonesia dalam berinvestasi
politik dengan negara maju maupun negara berkembang sehingga memberikan
peluang lebih besar bagi Indonesia dalam bekerjasama secara keseluruhan sekaligus
menjaga kedaulatan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pada akhirnya keanggotaan DK PBB memberikan direct exposure pada
penanganan berbagai isu perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini
memungkinkan Indonesia untuk secara lebih langsung mengamankan berbagai
kepentingan nasionalnya.136
E1LTIwMTkucGRm diakses pada 15 Desember 2019
135 AntaraNEWS, “Menilik manfaat-tantangan keanggotaan Indonesia di Dewan
Keamanan PBB,” 17 Mei 2019, terdapat dalam
https://www.antaranews.com/berita/873803/menilik-manfaat-tantangan-keanggotaan-indonesia-di-
dewan-keamanan-pbb diakses pada 15 Desember 2019 136 AntaraNEWS, “Menilik manfaat-tantangan keanggotaan Indonesia di Dewan
Keamanan PBB,” 17 Mei 2019, terdapat dalam
https://www.antaranews.com/berita/873803/menilik-manfaat-tantangan-keanggotaan-indonesia-di-
dewan-keamanan-pbb diakses pada 15 Desember 2019
80
Prinsip politik luar negeri Indonesia yang mengusung politik bebas aktif
menyebabkan Indonesia diizinkan untuk memperjuangkan kepentingan nasional.
Menlu Retno menyampaikan tiga hal yang menjadi prioritas dalam kepentingan
nasional yaitu masalah perlindungan NKRI, masalah WNI di luar negeri, dan
diplomasi untuk kepentingan ekonomi Indonesia. Ia juga menyampaikan mengenai
pentingnya multilateralisme bagi antar negara, dimana tiap negara diharapkan
mampu memberikan solusi mementingkan kebutuhan kedua belah pihak.137
Dalam menjadi anggota tidak tetap DK PBB, artinya Indonesia memiliki
kesempatan untuk menyuarakan perhatiannya kepada isu-isu yang selama ini ingin
diperjuangkan. Indonesia akan memastikan bahwa isu Palestina tidak
terpinggirkan, tetap berada di radar dan bahkan menjadi pusat perhatian DK PBB.
Secara sinergis, Indonesia akan mendukung upayanya di DK PBB dengan
penguatan bantuan kemanusiaan dan peningkatan kapasitas bagi rakyat Palestina,
baik melalui mekanisme bilateral, trilateral, maupun forum multilateral.138
Selain itu, pada saat Presidensi, Indonesia akan mengangkat sejumlah isu
yang menjadi prioritas nasional, antara lain:
Peacekeeping Operations, di mana Indonesia antara lain akan mengusung
kontribusi Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang misi
perdamaian PBB terbesar.
Penanggulangan terorisme, di mana Indonesia antara lain akan mendorong
137 Wanda Ayu, “Diplomasi Indonesia: Tantangan dan Peluang,” 26 April 2019, terdapat
dalam https://www.ui.ac.id/diplomasi-indonesia-tantangan-dan-peluang/ diakses pada 15 Desember
2019 138 Kemlu RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB,” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/portal/id/page/47/keanggotaan_indonesia_pada_dk_pbb diakses pada 15
Desember 2019
81
pendekatan yang komprehensif dalam upaya penanggulangan terorisme.
Organisasi regional, di mana Indonesia akan mengangkat peran dan
pemberdayaan organisasi-organisasi kawasan, termasuk ASEAN.
Peran Indonesia juga tidak terbatas di forum DK PBB, namun direncanakan
juga akan memberikan sejumlah bantuan teknis dan pengembangan kapasitas di
sejumlah negara, khususnya Timur Tengah, Afrika, dan negara-negara kepulauan
kecil, untuk semakin mengoptimalkan tujuan dan kepentingan nasional Indonesia
dalam mewujudkan perdamaian dunia melalui keanggotaan DK PBB.139
139 Kemlu RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB,” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/portal/id/page/47/keanggotaan_indonesia_pada_dk_pbb diakses pada 15
Desember 2019
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemenangan Indonesia pada pemilihan anggota tidak tetap DK PBB
periode 2019-2020 atas Maladewa dikarenakan Indonesia mendapatkan banyaknya
perolehan suara saat berlangsungnya pemilihan 8 Juni 2018. Beberapa alasan
terpilihnya Indonesia dalam skripsi ini dianalisis ke dalam dua bagian. Pertama,
kekuatan diplomasi Indonesia dengan pola diplomasi bilateral dan multilateral.
Dalam menggalang dukungan komitmen suara dari negara-negara anggota PBB,
Indonesia mengupayakan kampanye dengan meminta dukungan untuk dipilih pada
sesi-sesi khusus pertemuan bilateral maupun multilateral dengan negara-negara
anggota PBB. Indonesia berhasil mendapat dukungan kuat dari negara-negara Asia,
Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Di sisi diplomasi multilateral, Indonesia
mengupayakan kampanyenya dalam Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN), Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia (MIKTA), dan
Indian Ocean Rim Association (IORA). Dimana dalam ketiga forum tersebut
Indonesia banyak mendapatkan dukungan.
Kedua, Indonesia terpilih atas rekam jejak kontribusinya dalam perdamaian
dunia. Tercatat hingga 2019, Indonesia kontribusi personel untuk United Nations
Peacekeeping Operations (UNPKO) sebanyak 2.871 orang tersebar di sembilan
misi perdamaian PBB, mayoritas melayani United Nations Hybrid Operation in
Darfur (UNAMID) dan United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL).
83
B. Saran
Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020
merupakan peluang besar bagi Indonesia dalam mempromosikan perdamaian dunia
dan melaksanakan agenda maupun visi politik internasional Indonesia. Contohnya,
isu perjuangan rakyat Palestina, krisis kemanusiaan di Rakhine State, dan konflik-
konflik lainnya. Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya
masa jabatan dalam DK PBB dan dapat menciptakan ekosistem perdamaian dunia
yang berkelanjutan. Indonesia harus mengedepankan penyelesaian konflik melalui
dialog, konsultasi dan negosiasi.
xii
DAFTAR PUSTAKA
[Buku]
Bourantonis, Dimitris, 2005, “The History and Politics of UN Security Council
Reform”, (London: Routledge)
Bull, Hedley, 2012, “The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics
Fourth edition”, (New York: Palgrave Macmillan)
Cooper, Andrew F., 2013, “The Oxford Handbook of Modern Diplomacy”,
(Oxford: Oxford University Press)
Creswell, John W., 2014, “Research Design: Qualitative and Quantitative
Approach and Mixed Methods”, (California: Sage Publication)
Einsiedel, Sebastian von, 2007b, “Security Council,” “The Oxford Handbook on
the United Nations” oleh Thomas G. Weiss (Oxford: Oxford University
Press)
Fasulo, Linda, 2015, “An Insider’s Guide to The UN: Third Edition”, (London:
Yale University Press)
Ganghof, Steffen (2003) “Promises and Pitfalls of Veto Player Analysis”, Swiss
Political Science Review 9 (2): 1-25
Leira, Halvard, 2016, “A Conceptual History of Diplomacy”, (London: SAGE
Publications)
Lim, C. L., 2007, “The Great Power Balance, the United Nations and What the
Framers Intended: In Partial Response to Hans Köchler”, Chinese Journal of
International Law, 6(2)
Nasution, Nazaruddin, 2018, “Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia”, (Jakarta:
Yayasan Bina Insan Cita)
Rosenau, James N, 1976, “The Study of Foreign Policy” (New York: Free Press)
White, Brian, 2005, “The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations”, 3rd edition. (Oxford: Oxford University Press)
[Jurnal]
Cox, Brian, 2009, “United Nations Security Council Reform: Collected Proposals
and Possible Consequences”, South Carolina Journal of International Law
and Business Volume 6,
https://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1035&context=s
cjilb
xiii
Hidriyah, Siti, “Peran Strategis Indonesia Menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa” Vol. X, No. 12/II/Puslit/Juni/2018
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-X-12-II-
P3DI-Juni-2018-229.pdf
Hurd, Ian, “Myths of Membership: The Politics of Legitimation in U.N. Security
Council Reform,” Global Governance 14, no. 2 (April–Juni 2008)
http://www.jstor.org.libproxy.nps.edu/stable/27800702
Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2011, “Diplomasi Indonesia 2010”,
Kementerian Luar Negeri Indonesia,
https://www.kemlu.go.id/Buku/Buku%20Diplomasi%20Indonesia%202010.
Kemlu RI, “Indonesia For Non-permanent Membership Of The United Nations
Security Council 2019-2020”, https://ex.kemlu.go.id/manila/id/arsip/lembar-
informasi/Pages/Brochure%20-
%20Indonesia%20for%20UN%20Security%20Council%202019-2020.pdf
Kuziemko, Ilyana, 2006, “How Much Is a Seat on the Security Council Worth?
Foreign Aid and Bribery at the United Nations”, Harvard Journal of Political
Economy, http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20Files/06-029.pdf
Leonard Hutabarat, 2014, “Indonesian Participation in the UN Peacekeeping as an
Instrument of Foreign Policy: Challenges and Opportunities”, Jurnal Unair
Global & Strategis,
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/jgs45b74e5c14full.pdf
Norlyanti, Nia, “Indonesia as Non-Permanent Member of United Nations Security
Council: Pursuit of Peace for Rohingya and Palestine”, Atlantis Press Vol.
241 https://download.atlantis-press.com/article/25904108.pdf
Resolusi Majelis Umum PBB, “Resolusi nomor A/RES/491 (V) tentang
penerimaan Republik Indonesia dalam keanggotaan di Perserikatan Bangsa
Bangsa”, http://www.worldlii.org/int/other/UNGARsn/1950/2.pdf
United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2018” 21 Mei
2018, https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2018.pdf
United Nations Security Council Report. “Security Council Elections 2019” 14 Mei
2019, https://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-
4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/unsc_elections_2019.pdf
Wuryandari, Ganewati, 2008, “Politik Luar Negeri Indonesia: Refleksi dan Prediksi
10 Tahun”, Pusat Penelitian Politik LIPI
http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/503/312
xiv
Yani, Yanyan Mochamad, “Change and Continuity In Indonesian Foreign Policy”,
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/01/change_and_continuity_in_indonesia_foreign_poli
cy.pdf
[Internet]
AntaraNEWS, “Menilik manfaat-tantangan keanggotaan Indonesia di Dewan
Keamanan PBB,” 17 Mei 2019, terdapat dalam
https://www.antaranews.com/berita/873803/menilik-manfaat-tantangan-
keanggotaan-indonesia-di-dewan-keamanan-pbb
AntaraNEWS, 2016, “Indonesia minta MIKTA dukung pencalonan di DK-PBB”,
tersedia dalam https://www.antaranews.com/berita/597781/indonesia-minta-
mikta-dukung-pencalonan-di-dk-pbb
AntaraNEWS, 2018, “Indonesia calls on UN Security Council to uphold
international law”, tersedia dalam
https://en.antaranews.com/news/115773/indonesia-calls-on-un-security-
council-to-uphold-international-law
Ari Faturrokhmah, 2016, “ASEAN Dukung Penuh Pencalonan Indonesia di DK
PBB”,
http://rri.co.id/post/berita/311664/nasional/asean_dukung_penuh_pencalona
n_indonesia_di_dk_pbb.html
Arys, Aditya, 2018, “Jokowi Ungkap Alasan RI Berhasil Jadi Dewan Keamanan
PBB”, https://www.cnbcindonesia.com/news/20180612143601-4-
18915/jokowi-ungkap-alasan-ri-berhasil-jadi-dewan-keamanan-pbb
Australian Department of Foreign Affairs and Trade, “The role of the United
Nations Security Council” https://dfat.gov.au/international-
relations/international-organisations/un/unsc-2013-2014/Pages/the-role-of-
the-united-nations-security-council.aspx
Autesserre, Séverine, 2019, “The Crisis of Peacekeeping: Why the UN Can’t End
Wars”, https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/crisis-
peacekeeping
CNBC Indonesia, 2018, “Pernyataan Menlu Usai RI Didapuk Jadi Dewan
Keamanan PBB”, tersedia dalam
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180609112449-4-
18579/pernyataan-menlu-usai-ri-didapuk-jadi-dewan-keamanan-pbb
Dag Hammarskjöld Foundation, “How does the UN choose its leader?”,
https://www.daghammarskjold.se/un-choose-leader/
xv
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, “Sejarah Singkat KAA, Kelahiran Dasasila
Bandung” terdapat dalam http://disdik.jabarprov.go.id/news/84/sejarah-
singkat-kaa%2C-kelahiran-dasasila-bandung-%28bagian-2%29
Fira, 2016, “Jokowi Minta Dukungan Ceko, Jadi Anggota Tak Tetap DK PBB”,
https://www.obsessionnews.com/jokowi-minta-dukungan-ceko-jadi-anggota-tak-
tetap-dk-pbb/
Freeman, Chas. W. dan Sally Marks, “Diplomacy”,
https://www.britannica.com/topic/diplomacy
Gnanasagaran, Angaindrankumar, 2018, “What would Indonesia bring to the UN
Security Council?”, https://theaseanpost.com/article/what-would-indonesia-
bring-un-security-council
Golda, Eksa, 2017, “Swedia Dukung Indonesia Masuk Anggota Tidak Tetap
Dewan Keamanan PBB”, https://mediaindonesia.com/read/detail/104165-
swedia-dukung-indonesia-masuk-anggota-tidak-tetap-dewan-keamanan-pbb
Hasan, Rizky Akbar, 2018, “Kampanye Terakhir untuk Pencalonan Indonesia di
DK PBB, Menlu Bertolak ke New York”,
https://www.liputan6.com/global/read/3525053/kampanye-terakhir-untuk-
pencalonan-indonesia-di-dk-pbb-menlu-bertolak-ke-new-york
Humas Kemensetneg, 2018, “Indonesia Terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap
Dewan Keamanan PBB”,
https://www.setneg.go.id/baca/index/indonesia_terpilih_sebagai_anggota_ti
dak_tetap_dewan_keamanan_pbb
Humas UGM. “Politik Bebas Aktif Indonesia Masih Relevan” (7 September 2018)
https://ugm.ac.id/id/berita/16997-politik-bebas-aktif-indonesia-masih-
relevan
Jailani, Abdulkadir, 2018, “Great opportunity, great responsibility”,
https://www.thejakartapost.com/academia/2018/06/11/great-opportunity-
great-responsibility.html
Junio, Emirald, 2016, “Indonesia Minta Dukungan Sierra Leone untuk Masuk DK
PBB”, https://news.okezone.com/read/2016/03/06/18/1329053/indonesia-minta-
dukungan-sierra-leone-untuk-masuk-dk-pbb
Kabar 24, 2018, “Faktor Indonesia Menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB
Menurut Jusuf Kalla”, tersedia dalam
https://kabar24.bisnis.com/read/20180611/19/805207/faktor-yang-bikin-
indonesia-jadi-anggota-tak-tetap-dewan-keamanan-pbb-menurut-jusuf-kalla
xvi
Kemlu RI, “Frequently Asked Questions”,
https://kemlu.go.id/portal/en/read/141/halaman_list_lainnya/frequently-
asked-questions-faq
Kemlu RI, “Indonesian Membership on The UN Security Council”,
https://kemlu.go.id/portal/en/read/147/halaman_list_lainnya/indonesian-
membership-on-the-un-security-council
Kemlu RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB,” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/portal/id/page/47/keanggotaan_indonesia_pada_dk_pbb
diakses pada 15 Desember 2019
Kemlu RI, “Keanggotaan Indonesia pada DK PBB”,
https://kemlu.go.id/portal/en/read/147/view/keanggotaan-indonesia-pada-
dk-pbb
Kemlu RI, “Renstra 2015-2019” terdapat dalam
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9B
S0lQL0tlbWVudGVyaWFuJTIwTHVhciUyME5lZ2VyaS9SZW5jYW5hJT
IwU3RyYXRlZ2lzJTIwS2VtbHUlMjAyMDE1LTIwMTkucGRm diakses
pada 15 Desember 2019
Kemlu RI, 2019, “Indonesia and Global Peace”,
https://indonesia4unsc.kemlu.go.id/index.php/indonesia-global-peace
Kemlu RI, 2019, “Our Country at a Glance”,
https://indonesia4unsc.kemlu.go.id/index.php/our-country-at-a-glance
Kemlu RI. “Indonesia on The UN Security Council”,
https://kemlu.go.id/portal/en/read/148/halaman_list_lainnya/about-
indonesia-on-the-un-security-
Kompas, 2016, "Wapres Buka Kampanye Pencalonan Indonesia sebagai Anggota
DK PBB", tersedia dalam
https://nasional.kompas.com/read/2016/09/23/13174501/wapres.buka.kamp
anye.pencalonan.indonesia.sebagai.anggota.dk.pbb
Kompas, 2018, “Politik Luar Negeri Jokowi-JK dalam 4 Tahun, Apa Saja
Pencapaiannya?”, tersedia dalam
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/20/17563621/politik-luar-negeri-
jokowi-jk-dalam-4-tahun-apa-saja-pencapaiannya
Koran Sindo, 2017, “Georgia Dukung RI Jadi Anggota DK PBB”, tersedia dalam
http://koran-sindo.com/page/news/2017-05-
22/0/7/Georgia_Dukung_RI_Jadi_Anggota_DK_PBB
xvii
Liputan6, 2017, “Indonesia Galakkan Dukungan untuk Jadi Anggota Tak Tetap DK
PBB”, https://www.liputan6.com/global/read/3100828/indonesia-galakkan-
dukungan-untuk-jadi-anggota-tak-tetap-dk-pbb
Mardiastuti, Aditya, 2016, “RI dapat Dukungan Menlu Australia Jadi Anggota
Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB”, https://news.detik.com/berita/d-
3331369/ri-dapat-dukungan-menlu-australia-jadi-anggota-tidak-tetap-
dewan-keamanan-pbb
Martaon, Anggi, 2018, “DPR Minta Dukungan Indonesia Jadi Anggota Tidak Tetap
DK PBB”, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/8N0Vq1rk-dpr-
minta-dukungan-indonesia-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb
Maulana, Victor, 2016, “Indonesia Resmi Calonkan Diri Jadi Anggota Tidak Tetap
DK PBB”, https://international.sindonews.com/read/1143362/40/indonesia-
resmi-calonkan-diri-jadi-anggota-tidak-tetap-dk-pbb-1475158264
Medcomid, 2017, “Angola Beri Dukungan Kuat Keanggotaan Indonesia di DK
PBB”, https://www.medcom.id/internasional/asia/eN4JEwok-angola-beri-
dukungan-kuat-keanggotaan-indonesia-di-dk-pbb
Merriam-Webster, “Veto”, https://www.merriam-webster.com/dictionary/veto
Nadin, Peter, 2014, “Security Council 101”,
https://unu.edu/publications/articles/united-nations-security-council-
101.html
Nadin, Peter, 2014, “Security Council 101”,
https://unu.edu/publications/articles/united-nations-security-council-
101.html
Permanent Mission of the Republic of Maldives to the UN, “Maldives for the
United Nations Security Council 2019-2020”, 20 Juni 2018,
http://maldivesmission.com/campaign/maldives_for_the_unsc_2019_2020
Republika, 2019, “Menlu Ungkap 5 Prioritas Politik Luar Negeri Indonesia”,
tersedia dalam https://internasional.republika.co.id/berita/q04ugr382/menlu-
ungkap-5-prioritas-politik-luar-negeri-indonesia
Santi, Natalia, 2018, “Menlu RI Minta Dukungan AS untuk Jadi Anggota DK
PBB”, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180607004605-134-
304131/menlu-ri-minta-dukungan-as-untuk-jadi-anggota-dk-pbb
Saputri, Dessy, 2018, “Indonesia Minta Dukungan Jadi Anggota tak Tetap DK
PBB”,
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/03/13/p5izcv335-
indonesia-minta-dukungan-jadi-anggota-tak-tetap-dk-pbb
xviii
Sekarwati, Suci, 2019, “Reformasi Hak Veto Anggota PBB Diimbau Realistis”,
https://dunia.tempo.co/read/1165715/reformasi-hak-veto-anggota-pbb-
diimbau-realistis/full&view=ok
Tempo, 2017, “Jepang Dukung Indonesia Jadi Anggota Dewan Keamanan PBB”,
https://nasional.tempo.co/read/866151/jepang-dukung-indonesia-jadi-
anggota-dewan-keamanan-pbb/full&view=ok
The Guardian, 2015, “What's the point of peacekeepers when they don't keep the
peace?,” https://www.theguardian.com/world/2015/sep/17/un-united-
nations-peacekeepers-rwanda-bosnia
The Jakarta Post, 2019, “Indonesia’s UNSC Non-Permanent Membership Begins”,
https://www.thejakartapost.com/news/2019/01/03/indonesias-unsc-non-
permanent-membership-begins.html
United Nations Peacekeeping, “Role of The Security Council”,
https://peacekeeping.un.org/en/role-of-security-council
United Nations Security Council Report. “UN Security Council Working Methods:
Arria-Formula Meetings” (2 Juli 2019)
https://www.securitycouncilreport.org/un-security-council-working-
methods/arria-formula-meetings.php
United Nations, “Charter of the United Nations”,
http://legal.un.org/repertory/art51.shtml
United Nations, “Legal Framework”, http://legal.un.org/repertory/art39.shtml
United Nations, “U.N. Charter”, http://www.un.org/en/sections/un-
charter/chapter-vii/index.html
United Nations, “UN Security Council” http://www.un.org/en/sections/about-
un/main-organs/index.html
United Nations. “Security Council: Function and Powers”,
https://www.un.org/securitycouncil/content/functions-and-powers
Wanda Ayu, “Diplomasi Indonesia: Tantangan dan Peluang,” 26 April 2019,
terdapat dalam https://www.ui.ac.id/diplomasi-indonesia-tantangan-dan-
peluang/
Wangke, Humphrey, “Prioritas Diplomasi Indonesia Di Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa”, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol.
XI, No.04/II/Puslit/Februari/2019
Lampiran 1
Pertemuan ke-93 Majelis Umum PBB
United Nations A/72/PV.93
General Assembly Seventy-second session
93rd plenary meeting
Friday, 8 June 2018, 10 a.m. New York
Official Records
President: Mr. Lajčák . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (Slovakia)
The meeting was called to order at 10.05 a.m.
Agenda item 113 (continued)
Elections to fill vacancies in principal organs
(a) Election of five non-permanent members of the
Security Council
The President: The General Assembly will
proceed to the election of five non-permanent members
of the Security Council to replace those members
whose term of office expires on 31 December 2018. The
five outgoing non-permanent members are the
following: the Plurinational State of Bolivia, Ethiopia,
Kazakhstan, the Netherlands and Sweden. Those five
States cannot be re-elected. Their names should
therefore not appear on the ballot papers.
Apart from the five permanent members, the
Security Council will include the following States in
the year 2019: Côte d’Ivoire, Equatorial Guinea,
Kuwait, Peru and Poland. The names of those States
should therefore also not appear on the ballot papers.
Of the five non-permanent members that will remain
in office in the year 2019, three are from among African
and Asia-Pacific States, one is from among Eastern
European States and one is from among Latin
American and Caribbean States. Consequently,
pursuant to paragraph 3 of resolution 1991 A (XVIII),
of 17 December 1963, the five non-permanent members
should be elected according to the following pattern:
two from African and Asia-Pacific States, one from
Latin American and Caribbean States and two from
Western European and other States. The ballot papers
reflect this pattern.
In accordance with established practice, there is an
understanding to the effect that, of the two States to be
elected from among the African and Asia-Pacific
States, one should be from Africa and one should be
from the Asia-Pacific region.
I should like to inform the Assembly that those
candidates — their number not to exceed the number of
seats to be filled — receiving the greatest number of
votes and a two-thirds majority of those present and
voting will be declared elected. If the number of
candidates obtaining a two-thirds majority is less than
the number of members to be elected, there shall be
additional ballots to fill the remaining places, the
voting being restricted to the candidates obtaining the
greatest number of votes in the previous ballot to a
number not more than twice the places remaining to be
filled.
Also, consistent with past practice, in the case of a tie
vote, and when it becomes necessary to determine the
candidate that will proceed to the next round of restricted
balloting, there will be a special restricted ballot limited
to those candidates that have obtained an equal number of
votes.
May I take it that the General Assembly agrees to
these procedures?
It was so decided.
This record contains the text of speeches delivered in English and of the translation of speeches
delivered in other languages. Corrections should be submitted to the original languages only.
They should be incorporated in a copy of the record and sent under the signature of a member
of the delegation concerned to the Chief of the Verbatim Reporting Service, room U-0506
([email protected]). Corrected records will be reissued electronically on the Official
Document System of the United Nations (http://documents.un.org).
18-17676 (E)
*1817676*
A/72/PV.93 08/06/2018
The President: In accordance with rule 92 of the
rules of procedure, the election shall be held by secret
ballot.
Regarding candidatures, I have been informed by
the Chairs of the respective regional groups of the
following: for the two vacant seats from among the
African and Asia-Pacific States, three candidates have
been communicated, namely, Indonesia, Maldives and
South Africa. Of those three candidates, South Africa
is an endorsed candidate. For the one vacant seat from
among the Latin American and Caribbean States, there
is one endorsed candidate, namely, the Dominican
Republic. For the two vacant seats from among the
Western European and other States, two candidates
have been communicated, namely, Belgium and
Germany.
In accordance with rule 92 of the rules of procedure,
we shall now proceed to the election by secret ballot.
Before we begin the voting process, I should like to
remind members that, pursuant to rule 88 of the rules of
procedure of the General Assembly, no representative
shall interrupt the voting except on a point of order on
the actual conduct of the voting. In addition, ballot
papers will be given only to the representative seated
directly behind the country’s name plate.
We shall now begin the voting process. Members are
requested to remain seated until all ballots have been
collected.
Ballot papers marked “A”, “B” and “C” will now be
distributed. In accordance with resolution 71/323, of 8
September 2017, the names of the candidates that have
been communicated to the Secretariat at least 48 hours
prior to the election today have been printed on the ballot
papers for each of the regional groups. Also, additional
blank lines corresponding to the number of vacant seats
to be filled for each of the regional groups have been
provided on the ballot papers for inscribing other names,
as necessary.
I request representatives to use only those ballot
papers that have been distributed and to put an “X” in the
boxes next to the names of the candidates for which they
wish to vote and/or to write other eligible names on the
blank lines. If the box next to the name of a candidate is
checked, the name of that candidate does not have to be
repeated on the blank line. The total number of checked
boxes and/or handwritten names
should not exceed the number of vacant seats to be filled
as indicated on the ballot paper.
A ballot will be declared invalid if it contains more
names of Member States from the relevant region than the
number of seats assigned to it. Accordingly, on the ballot
papers marked “A”, for the African States and Asia-
Pacific States, the total number of checked boxes and/or
handwritten names should not exceed two; on the ballot
papers marked “B”, for the Latin American and
Caribbean States, representatives may only check the box
or write one name of an eligible Member State from the
same region in the space provided; and on the ballot
papers marked “C”, for Western European and other
States, the total number of checked boxes and/or
handwritten names should not exceed two.
If a ballot paper for a region contains one of the
following names of Member States, the ballot remains
valid but the vote for those Member States will not be
counted: first, the names of Member States that do not
belong to the region concerned or, secondly, the names
of Member States that will continue to be non-
permanent members of the Security Council next year.
At the invitation of the President, Mr. Marques
(Brazil), Ms. Houghton (Canada), Ms. Runge
(Latvia), Mr. El Jallad (Lebanon), Mr. Traore (Mali)
and Mr. Al-Kuwari (Qatar) acted as tellers.
A vote was taken by secret ballot.
The meeting was suspended at 10.15 a.m. and
resumed at 11.05 a.m.
The President: The result of the voting is
as follows:
Group A — African and Asia-Pacific States (2 seats) Number of ballot papers: 190
Number of invalid ballots: 0
Number of valid ballots: 190
Abstentions: 0
Number of members present and voting: 190
Required two-thirds majority: 127
Number of votes obtained:South Africa: 183
Indonesia: 144
Maldives 46
Group B — Latin American and Caribbean States (1
seat)
Number of ballot papers: 190
2/3 18-17676
08/06/2018 A/72/PV.93
Number of invalid ballots: 0
Number of valid ballots: 190
Abstentions: 6
Number of members present and voting: 184
Required two-thirds majority: 123
Number of votes obtained:
Dominican Republic 184
Group C — Western European and other States (2
seats)
The President: I congratulate the States that have
been elected members of the Security Council. I thank the
tellers for their assistance in this election.
This concludes our consideration of sub-item (a) of
agenda item 113.
Announcement regarding the results of the election
of the Chairpersons of the Main Committees
The President: I wish to inform members that
Number of ballot papers: 190 the following representatives have been elected
Number of invalid ballots: 0 Chairpersons of the six Main Committees of the
Number of valid ballots: 190 General Assembly at its seventy-third session and are
Abstentions: 2 accordingly members of the General Committee for that session: First Committee, Mr. Ion Jinga of Romania;
Number of members present and voting: 188 Special Political and Decolonization Committee
Required two-thirds majority: 126 (Fourth Committee), Mr. Lewis Brown of Liberia;
Number of votes obtained: Second Committee, Mr. Jorge Skinner-Kleé Arenales
Germany 184 of Guatemala; Third Committee, Mr. Mahmoud Saikal
Belgium 181 of Afghanistan; Fifth Committee, Ms. Gillian Bird of
Having obtained the required two-thirds majority
and the largest number of votes, Belgium, the
Dominican Republic, Germany, Indonesia and
South Africa were elected members of the Security
Council for a two-year term beginning on 1
January 2019.
Australia; and Sixth Committee, Mr. Michel Xavier
Biang of Gabon.
I congratulate the Chairpersons of the six Main
Committees for the seventy-third session of the General
Assembly on their election.
The meeting rose at 11.10 a.m.
18-17676 3/3
securitycouncilreport.org 1 Security Council Report Research Report May 2018
Lampiran 2
Pemilihan Dewan Keamanan PBB 2018
Research Report
Security Council Elections 2018
Introduction: The 2018 Elections
On 8 June, the 72nd session of the UN General
Assembly is scheduled to hold elections for the
Security Council. The five seats available for elec-
tion in 2018 according to the regular distribution
among regions will be as follows:
• one seat for the African Group (currently held
by Ethiopia);
• one seat for the
Group of Asia and
the Pacific Small
Island Developing
States (the Asia-
Pacific Group,
currently held by 2018, No. #2
21 May 2018
This report is available online at
securitycouncilreport.org.
For daily insights by SCR on evolving Security Council actions please
The delegate from Togo casts his ballot during the General Assembly meeting to elect the five non- permanent members of the Security Council, 16 October 2006. (UN Photo/ Marco Castro)
2 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
Kazakhstan);
• one seat for the Group of Latin American and
Caribbean States (GRULAC, currently held by
Bolivia); and
• two seats for the Western Europe and Others
Group (WEOG, currently held by the Nether-
lands and Sweden).
The East European Group is not contesting any
seat this year as its seat, held by Poland through 2019,
comes up for election every other year. The five new
members elected this year will take up their seats on 1
January 2019 and will serve until 31 December 2020.
securitycouncilreport.org 3 Security Council Report Research Report May 2018
The 2018 Candidates
Six member states—Belgium, the Domini-
can Republic, Germany, Indonesia, the
Maldives and South Africa—are running
for the five available seats. Indonesia and
the Maldives are contesting the single Asia-
Pacific Group seat, while the other four
candidates will run unopposed. Four of the
six current candidates have served on the
Council previously: Belgium has served five
times (1947–1948, 1955–1956, 1971–1972,
1991–1992, and 2007–2008); Germany, also
five times (1977–1978, 1987–1988, 1995–
1996, 2003–2004, and 2011–2012); Indo-
nesia, three times (1973–1974, 1995–1996,
and 2007–2008); and South Africa, twice
(2007–2008 and 2011–2012). The Domini-
can Republic and the Maldives have never
served on the Council.
The table below shows the number of
seats available per region in the 2018 elec-
tion, the declared candidates, and their prior
terms on the Council.
REGION SEATS AVAILABLE IN
THE 2018 ELECTION
MEMBER STATES RUNNING AND
PREVIOUS TERMS ON THE COUNCIL
Africa 1 South Africa (2007–2008, 2011–2012)
Asia-Pacific 1 Indonesia (1973–1974, 1995–1996, 2007–
2008) and the Maldives (never served)
Latin America and Caribbean 1 The Dominican Republic (never served)
Western Europe and Others 2 Belgium (1947–1948, 1955–1956, 1971–
1972, 1991–1992, 2007–2008); Germany
(1977–1978, 1987–1988, 1995–1996,
2003–2004, 2011–2012)
Thus Belgium and Germany, having
served five terms each, have the most prior
Council experience, followed by Indonesia,
which has served three terms, then South
Africa, which has served on the Council twice.
The Dominican Republic and the Maldives
are among the 66 UN member states—over
34 percent of the total membership—that
have never served on the Council.
African Seats
Three non-permanent seats are allocated to
Africa. One seat comes up for election during
every even calendar year, and two seats are
contested during odd years. Although there
have been exceptions, elections for seats allo-
cated to Africa tend to be uncontested, as the
African Group maintains an established pat-
tern of rotation among its five sub-regions
(Northern Africa, Southern Africa, Eastern
Africa, Western Africa and Central Africa).
This year, South Africa is running unop-
posed for the Southern Africa seat.
South Africa South Africa is a founding member state of
the UN. Owing to international opposition
to the apartheid regime, South Africa’s par-
ticipation in the General Assembly was sus-
pended in 1974. The end of apartheid and
the democratic elections in South Africa in
April 1994 paved the way for the restora-
tion of South Africa’s full membership in the
UN. Since then, South Africa has served on
the Security Council twice (2007–2008 and
2011–2012) and was endorsed by the AU for
the 2019-2020 seat at the organisation’s 30th
Ordinary Session in January 2018.
During its campaign, South Africa has
stressed that as a strong proponent of multi-
lateralism and global governance, it believes
the UN remains the best place to address
major international issues, including food
security; climate change and natural disas-
ters; and refugees and migration. South
Africa has indicated that it hopes to use its
term on the Council to prioritise diploma-
cy, mediation, the pacific settlement of dis-
putes, conflict resolution, and peacebuilding
through inclusive dialogue and negotiations,
with the ultimate aim of supporting parties
to achieve sustainable peace, national unity,
and reconciliation. If elected, South Africa
plans to encourage effective partnerships
between the UN and regional and subre-
gional organisations. South Africa would aim
to highlight Africa’s priorities in the area of
peace and security, while continuing to work
with all AU and UN members in pursuit of
effective global governance, multilateralism
and reform of the UN system. Additionally,
South Africa has expressed its determination
1 Introduction: The 2018 Elections
2 The 2018 Candidates
4 Likely Council Dynamics in 2019
6 The Process of Election
6 Regional Groups and Established
Practices
9 The 2017-2018 Split Term
9 Becoming a Candidate
9 Campaigning for the Council
10 UN Documents on Security
Council Elections
11 Useful Additional Resources
11 Annex 1: Rules and Process for Election to the Council: Relevant
Charter Provisions and Rules of
Procedure
12 Annex 2: Historical Background
13 Annex 3: Results of Recent
Elections for Non-Permanent
Members of the Council
4 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
The 2018 Candidates
to work towards improving the working meth-
ods of the Security Council.
South Africa currently contributes 1,231
personnel to UN peacekeeping missions,
1,185 of whom are serving with the UN Orga-
nization Stabilization Mission in the Demo-
cratic Republic of the Congo (MONUSCO)
while the rest are serving with the UN Mis-
sion in Darfur (UNAMID) and the UN Mis-
sion in South Sudan (UNMISS).
GRULAC Seat
Two non-permanent seats are allocated to
Latin America and the Caribbean, with one
coming up for election every year. Since
2008, candidates for the GRULAC seat have
run unopposed, even when they lacked the
endorsement of the regional group.
The Dominican Republic The Dominican Republic is a founding mem-
ber of the UN, and has never served on the
Security Council. The Dominican Republic
ran unsuccessfully for the Council seat on
two previous occasions, in 2001 and 2007.
Its candidacy for the 2019-2020 seat was
endorsed by GRULAC in August 2017.
In its campaign, the Dominican Republic
has emphasised the importance of advanc-
ing protection issues, including the protection
of civilians; women, peace and security; and
children and armed conflict. It has expressed
interest in promoting the role of youth in
conflict prevention and resolution. Further-
more, the Dominican Republic has high-
lighted the link between hunger and conflict
and the importance of addressing human-
made causes of hunger before, during and
after conflict. It has emphasised its commit-
ment to mediation efforts in its region; along
these lines, it has highlighted its mediating
role between the government and the oppo-
sition in Venezuela. The Dominican Repub-
lic has stressed the importance of promoting
sustainable development and Agenda 2030,
and the interlinkages of those issues with
peace and security. Given its vulnerability to
the impact of climate change as a Caribbean
country, it has placed particular emphasis on
the environmental issues, including the impli-
cations of climate change for international
peace and security.
The Dominican Republic currently has
five nationals serving in the UN Verification
Mission in Colombia.
WEOG Seat
Two non-permanent seats are allocated to
WEOG and both come up for election every
even calendar year. This year, Belgium and
Germany are running for the two available
seats.
Belgium Belgium is a founding member of the UN and
has served on the Security Council five times
(1947–1948, 1955–1956, 1971–1972, 1991–
1992, and 2007–2008). Belgium announced
its candidacy for the current election in 2009.
Belgium has campaigned on the promise
of being a constructive and transparent part-
ner that will use its term on the Council to
benefit the entire UN membership and build
bridges between members and non-members
of the Council. Conflict prevention would be
a priority, and Belgium would aim to pro-
mote timely action, focusing on mediation
and the role of women in the maintenance
of peace and security. In UN peace opera-
tions, Belgium would work together with
regional organisations, troop- and police-
contributing countries, and neighbouring
countries to those hosting peace operations.
Belgium stresses that it would seek to pro-
mote greater efficiency of peace operations
by defining political objectives clearly; refin-
ing mandates and placing the protection of
civilians, particularly children, at their centre;
and ensuring adequate means for sustaining
peace. Other priorities that have been out-
lined by the Belgian campaign include the
elimination of landmines and curbing the
illicit flow of small arms and light weapons;
fighting impunity, particularly in instances of
mass atrocities; and countering terrorism and
violent extremism. Belgium would also strive
to build consensus on the growing impact of
climate change, and would support this as a
regular agenda item of the Council while also
seeking the appointment of a Special Envoy
on the issue.
Currently, Belgium is contributing 108
troops serving in three UN peacekeeping mis-
sions: the UN Multidimensional Stabilization
Mission in Mali (MINUSMA), MONUSCO,
and the UN Truce Supervision Organization
in the Middle East. Belgium has committed
to adding an additional 200 troops to its over-
all contribution to UN peacekeeping opera-
tions by the end of 2018.
Germany The Federal Republic of Germany and the
German Democratic Republic were admitted
to the UN on 18 September 1973. Through
the accession of the German Democratic
Republic to the Federal Republic of Germany,
effective from 3 October 1990, the two Ger-
man states united to form one sovereign state.
Germany has served on the Council five
times (1977–1978, 1987–1988, 1995–1996,
2003–2004, and 2011–2012) and announced
its current candidacy in 2013.
Germany views serving on the Council as
consistent with its increasing international
role. As Europe’s most populous country
and largest economy, Germany has high-
lighted that it has the material resources
and political will to shoulder responsibil-
ity on the world stage, particularly through
its commitment to the UN. It has cited its
membership in international forums, such
as the G7, the Organization for Security
and Co-operation in Europe and the G20,
as well as the Syria Support Group and par-
ticipation in the negotiations on the Iranian
nuclear programme, as examples of its dedi-
cation to peace and security. Germany has
said that it will seek to use all the tools avail-
able to the Council to advance the causes
of sustaining peace and conflict prevention.
Germany’s campaign has also emphasised
its contributions of personnel to UN peace
missions, notably in Mali. Its campaign has
highlighted its active involvement in peace
missions for over 30 years; its financial
contributions to humanitarian assistance,
including for Syrian refugees; and its com-
mitment to human rights.
Germany currently contributes 869 per-
sonnel spread across nine UN peace oper-
ations, the bulk of whom are serving with
MINUSMA.
Asia-Paciftc Seat
One of the two Council seats allocated to
the Asia-Pacific Group comes up for election
every year. This year, Indonesia and the Mal-
dives are running for the one available seat.
The winner will succeed Kazakhstan, joining
Kuwait as the two Council members from the
Asia-Pacific Group.
Indonesia Indonesia, a UN member since 1950, has
served on the Security Council three times
securitycouncilreport.org 5 Security Council Report Research Report May 2018
The 2018 Candidates
(1973–1974, 1995–1996, and 2007–2008). It
announced its candidacy in 2009.
Throughout its campaign, Indonesia has
highlighted its place in the international com-
munity as the world’s third-largest democ-
racy, fourth most-populous country, the
largest archipelagic country, and the coun-
try with the world’s largest Muslim popu-
lation. It is also a founding member of the
Non-Aligned Movement, the Group of 77
developing countries (G77) and the Associa-
tion of Southeast Asian Nations (ASEAN), a
promoter of South-South cooperation, and
a member of the G20 from emerging econo-
mies. Indonesia aspires to continue to play
a significant role as a moderating voice and
bridge-builder among the members of the
Security Council and in the broader UN sys-
tem. Indonesia has emphasised the need for
the Security Council to reform to be more
democratic, responsive and credible. Indone-
sia has outlined three top priorities as a global
partner. It will seek a “global ecosystem” of
peace and stability through promoting the
pacific settlement of disputes and strength-
ening the roles of regional arrangements and
UN peacekeeping and peacebuilding. Second,
it will seek synergy between the sustaining
peace and development agendas by ensuring
peace, security and stability to implement the
2030 Agenda, including in Africa, and forg-
ing a global partnership for addressing the
security implications of economic, health
and environmental challenges. Third, Indo-
nesia proposes to prioritise combatting ter-
rorism, radicalism and violent extremism
through establishing a global comprehensive
approach and addressing root causes.
Indonesia is currently contributing 2,694
troops spread across nine UN peace missions,
with the majority serving with UNAMID and
the UN Interim Force in Lebanon (UNIFIL).
It has pledged to increase its total contribu-
tion to 4,000 by the end of 2018.
The Maldives The Maldives, a member of the UN since
1965, has never served on the Security
Council, and this is its first time running
for a non-permanent seat. It announced its
candidacy in 2008. If elected, it would suc-
ceed Kazakhstan.
The Maldives has campaigned for a
Council seat under the slogan “shared solu-
tions, shared destiny” and has put forward
five reasons why its candidacy deserves
support, namely that it will offer fresh and
new perspectives; advocate for tolerance and
moderation; work to build bridges and pro-
mote consensus; advocate for cross-cutting
reforms; and that it will operate in a transpar-
ent, effective and accountable manner. The
Maldives says that it would bring diversity to
the Council as a South Asian, Muslim, small
island developing state that is also a member
of the G77 and Non-Aligned Movement, and
will work to promote the interests of devel-
oping countries within the UN system and
on the international stage. The Maldives has
highlighted its work on initiatives with regard
to the security of small states and the human
dimensions of climate change, and includes
small states and climate change among its
thematic priorities if elected to the Council. It
pledges to ensure a considerate approach to
the vulnerable, and work towards an effective
UN system and a balanced Security Coun-
cil. Other priorities will include disarmament
and non-proliferation, conflict prevention,
combatting international terrorism, and pro-
moting human rights.
The Maldives is not currently a troop- or
police-contributing country.
Likely Council Dynamics in 2019
Current divisions within the Council over
issues including Syria and Israel/Palestine
are likely to persist following the departure
of the five current non-permanent members
and the arrival of the five newly elected mem-
bers. Although it is difficult to assess how the
Council’s dynamics might evolve next year,
the priorities raised in the campaigns by the
candidates as well as their longstanding inter-
ests provide an indication of some general
patterns that might emerge.
Belgium has expressed interest in issues
concerning the protection of civilians, par-
ticularly the children and armed conflict
agenda. As such, it may work to have these
agendas integrated better into the Council’s
country-specific work, and may be interested
in chairing the Council’s Working Group on
Children and Armed Conflict. Belgium also
provides multi-layered support to the coun-
tries in the Sahel region. It is currently taking
part in three operations in Mali to support
peace and security: MINUSMA, the EU
Training Mission in Mali, and the EU Capac-
ity Building Mission in Mali. As such, it is
likely that Belgium would be active on these
files while serving on the Council.
Because of its geographical location and
vulnerability to the effects of climate change,
the Dominican Republic could be expected
to join in efforts to promote addressing these
matters while on the Council. The Domini-
can Republic is also likely to take a keen inter-
est in the situation in Haiti, given its proxim-
ity. With the possibility that the UN Mission
for Justice Support in Haiti (MINUJUSTH)
may draw down or even close in the coming
years, it is likely that the Dominican Repub-
lic will seek to influence this process so as
to secure stability. It may also seek to play
a role on Colombia, as it contributes per-
sonnel to the UN Verification Mission there.
Although Venezuela is not on the Council’s
agenda, members have on several occasions
discussed the situation in the country in con-
sultations. Having played a prominent role in
mediation efforts in Venezuela, the Domini-
can Republic may want to be active in the
Council’s engagement on Venezuela should
members decide to address this issue more
substantively in the future.
Germany has expressed interest in engag-
ing closely on several issues on the Council’s
agenda. High on its list of priorities are the
Syrian conflict, Libya,Yemen, and the migra-
tion crisis. As Germany contributes the bulk
of its peacekeepers to the UN mission in Mali,
it can be expected to seek an active role on this
file as well. Having expressed keen interest in
pursuing issues pertaining to the protection
of civilians and the women, peace and secu-
rity agenda, Germany may seek involvement
with the informal expert group on women,
6 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
Likely Council Dynamics in 2019
peace and security, currently co-chaired by
Peru and Sweden. Given its involvement in
the work of the Peacebuilding Commission
(PBC), Germany may continue to promote
the sustaining peace agenda.
Indonesia, describing itself as a moderate
Muslim country with a keen interest in coun-
tering terrorism and violent extremism may,
if elected, focus its efforts on the Council on
the various aspects of its counterterrorism
agenda including the UN Global Counter-
Terrorism Strategy. It also stresses its promo-
tion of preventive diplomacy and may seek
to enhance the Council’s cooperation with
regional arrangements, such as ASEAN, as
foreseen by Chapter VIII of the UN Charter.
The Maldives can be expected to pur-
sue issues pertaining to climate change and
security. The integration of climate change
dimensions in relation to standing issues on
the Council’s agenda remains contentious
among some members, but the Maldives, if
elected, may join several other member states
that believe the Council must address the
repercussions of climate change on conflict
situations on its agenda.
South Africa can be expected to put
great emphasis on African issues, which
make up the bulk of the Council’s agenda.
It has indicated that it will work to promote
partnerships between the UN and regional
and subregional bodies. In its previous two
terms on the Council, South Africa advo-
cated for closer cooperation between the
UN Security Council and the AU Peace
and Security Council (AUPSC), based
on the belief that this would enhance the
effectiveness of the UN Security Council in
addressing challenges to peace and security
in Africa. These efforts culminated in the
adoption in 2012 of the landmark resolu-
tion 2033, which made specific recommen-
dations about strengthening the coopera-
tion between the UN Security Council and
the AUPSC. It can be expected that South
Africa will use its term on the Council to
continue to enhance this relationship.
The role of the Council in designing
and overseeing the mandates of peacekeep-
ing operations is likely to be an important
issue for several of the candidates, as most
of them contribute personnel to UN peace
missions. It is likely that these member
states will continue to build upon ongoing
efforts by the Council and the Secretariat to
conduct strategic assessments of peacekeep-
ing operations with the aim of increasing
their effectiveness and efficiency. As troop-
and police-contributing countries, if elected,
Belgium, the Dominican Republic, Germa-
ny, Indonesia and South Africa are likely to
be interested in fine-tuning the Council’s
approach to mandating, and to encourage
constructive engagement with other troop-
and police-contributors regarding peace
operations’ mandates.
The conflict prevention and sustaining
peace agenda is a common priority among
this year’s candidates, which is also in line
with the Secretary-General’s renewed
emphasis on these issues. Several candidates,
most notably Germany and Indonesia, have
been playing an active role in the PBC and
could be expected to further advance this
work if elected to the Council. Over the past
several years there has been noticeable inter-
est in strengthening the PBC, triggered in
part by the 2015 review of the UN peace-
building architecture (the PBC, Peacebuild-
ing Support Office and the Peacebuilding
Fund). Subsequently, both the General
Assembly and the Security Council adopted
comprehensive resolutions on peacebuild-
ing: these also established the notion of
“sustaining peace” and the understanding of
peacebuilding as activities to be undertaken
to prevent conflict as well as during peace-
making and peacekeeping.
Over the course of the past several years,
a growing number of the Council’s elected
members have emphasised the interlinkag-
es between development and international
peace and security. This trend is likely to con-
tinue next year since several candidates have
stressed the importance of this issue and have
supported the 2030 Agenda for Sustainable
Development. The tendency of elected mem-
bers to widen the scope of the Council’s work
on conflict prevention has led to some dif-
ficult dynamics among its members. The P3
have been receptive to Council discussions of
links between specific aspects of development
and peace and security. However, China and
Russia have been more cautious in this regard
and have advocated keeping the Council’s
agenda more narrowly focused on issues that
primarily involve situations of armed conflict.
Similarly, the Council has increasing-
ly acknowledged climate change as a root
cause of conflict in several areas on the
Council’s agenda. Belgium, the Dominican
Republic, Germany and the Maldives have
all stressed that the Council must address
climate change and security and will likely
advocate for this if elected. Some members
are resistant to integrating this issue into the
Council’s work, however.
There appears to be a strong desire
among most candidates to enhance the
transparency and inclusiveness of the Coun-
cil’s work. This has been a prominent trend
in candidates’ agendas during recent elec-
tion cycles. Although there have been some
positive developments regarding the work-
ing methods of the Council, most elected
members have continued to draw attention
to aspects of the Council’s work that need
further improvement. These include inad-
equate time to negotiate Council outcomes
and the limited interactivity of Council
meetings. In their campaigns, most mem-
bers have pledged to listen to stakeholders
not on the Council and to take their perspec-
tives into account. One continuing member,
Peru, and one candidate, the Maldives, are
members of Accountability, Coherence and
Transparency (ACT), an initiative launched
in May 2013 by a group of member states
focusing on the Council’s working meth-
ods, particularly those that enhance non-
members’ interaction with the Council. The
goals of ACT are likely to resonate with the
Council members that are not part of the
group but are nevertheless committed to
enhancing the accountability, effectiveness
and legitimacy of the Council.
The five departing Council members
serve as the chairs of six sanctions com-
mittees and three other subsidiary bodies.
Over the past few years, there has been a
trend towards increased transparency in the
work of the sanctions committees, including
public briefings by the chairs, engagement
with regional actors, and several field visits
(although there has also been resistance by
permanent members in some cases). This
will be the third time that the Council elec-
tions are held more than six months prior to
the start of the new elected members’ terms,
in line with General Assembly resolution A/
RES/68/307 making it likely that the process
of selection of chairs will take place consider-
ably earlier than was the case until 2016. After
the 2016 elections, Council members agreed
on a note by the president (S/2016/619)
securitycouncilreport.org 7 Security Council Report Research Report May 2018
Likely Council Dynamics in 2019
concerning transitional arrangements for
newly elected members, which, among other
matters, called on Council members to agree
provisionally on the appointment of chairs of
subsidiary bodies by 1 October. In 2016, such
agreement was reached only on 31 October,
though this was still significantly earlier than
in previous years. In 2017, the Council incor-
porated the provisions of its 2016 note on
transitional arrangements into a comprehen-
sive document on working methods, Note by
the President S/2017/507. Later that year, the
Council agreed on the selection of chairs by
the end of the first week of October. It will be
interesting to observe how the process will
unfold this year and what positive impact it
might have on the management of the Coun-
cil’s subsidiary bodies.
The Process of Election
A country must obtain the votes of two-thirds
of the member states present and voting at the
General Assembly session in order to secure
a seat on the Council, regardless of whether
the election is contested. This means that at
least 129 votes are required to win a seat if
all 193 UN member states vote. Member
states that abstain are considered not voting.
A member state can be excluded from voting
as a result of arrears in payment of financial
contributions, in accordance with Article 19
of the UN Charter. At press time, Libya was
the only member not permitted to vote in the
General Assembly because of its arrears.
Elections to the Council, as with other prin-
cipal organs of the UN, require formal ballot-
ing, even if candidates have been endorsed by
their regional group and are running unop-
posed. If no candidate obtains the required
number of votes in the first round, voting in the
next round is restricted to the candidates that
received the most votes. In this restricted ballot,
the number of countries included is limited to
twice the number of vacant seats; for example,
if one seat is available, only the two countries
that received the most votes in the first round
can contest the next round. Any votes for other
candidates during this restricted voting round
are considered void. This restricted voting pro-
cess can continue for up to three rounds of vot-
ing. If a candidate at that point still fails to gar-
ner the required number of votes, unrestricted
voting is reopened for up to three rounds.This
pattern of restricted and unrestricted voting
continues until a candidate is successful in
securing the required two-thirds majority.
In theory, it is possible that a country
running unopposed might not garner the
required number of votes of those present
in the General Assembly in the first round
of voting. Such a country may then be chal-
lenged in subsequent rounds and could ulti-
mately fail to obtain a seat. However, this is
unlikely and has never happened.
Historically, there have been several
instances in which extended rounds of voting
were required to fill a contested seat.This was
more common before the Council’s enlarge-
ment from 11 to 15 members in 1966, and
resulted in a number of agreements to split
terms. Despite the enlargement, extended vot-
ing has still occurred, although such situations
have always been solved by the withdrawal of
one of the contenders or the election of a com-
promise candidate, rather than by agreeing on
a split term.The sole exception to this practice
since 1966 was the 2016 agreement between
Italy and the Netherlands to split the 2017-
2018 term. A summary of the recent voting
in the General Assembly elections for non-
permanent seats on the Security Council is
contained in Annex 3 of this report. A com-
plete list of voting records since 1946 is avail-
able on the Security Council Report website.
Regional Groups and Established Practices
For purposes of elections to the Security Coun-
cil, the regional groups have been governed by
a formula set out in General Assembly reso-
lution 1991 A (XVIII), which was adopted in
1963 and took effect in 1966.The main feature
of the resolution was to amend the UN Charter
to increase the number of Council members
from 11 to 15. Under this resolution, the seats
previously assigned to the African and Asia-
Pacific states were combined. In reality, how-
ever, the candidates for election to the African
and Asia-Pacific seats operate separately, and
this report reflects that customary practice.
Article 23 of the Charter, which sets the
number of Council members, also specifies
the criteria that the members of the Gener-
al Assembly are to apply when considering
which countries should be elected to serve
on the Council. It provides that due regard
shall be “specially paid, in the first instance
to the contribution of Members of the United
Nations to the maintenance of international
peace and security and to the other purpos-
es of the Organization, and also to equitable
geographical distribution”.
The Charter does not define equitable
geographic distribution, stipulate how it
should be achieved, or suggest the composi-
tion of appropriate geographical groups. The
principle of equitable geographic distribution
gave rise to the establishment of electoral
groups as a vehicle for achieving that goal,
however. The regional groups, as they now
operate, are as follows:
African Group
Asia-Pacific Group
Eastern European
Group
WEOG
8 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
Regional Groups and Established Practices
Kiribati, which had not participated in
any regional group within the UN, joined the
Asia-Pacific group in 2013. The US is not a
member of any group but attends meetings
of WEOG as an observer and is considered a
member of this group for electoral purposes.
Israel, which did not belong to any group for
many years, was given temporary member-
ship in WEOG in May 2000.
African Group
Most of the groups have informal under-
standings on internal selection processes
that are not codified into actual rules. The
African Group is an exception to this in that
it has adopted the rules of procedure of the
AU’s Ministerial Committee on Candida-
tures within the International System for the
selection of candidates to occupy the three
African seats on the Council. Subregional
groups within the African Group tend to fol-
low a rotation system, though there have been
some departures from this scheme. Theoreti-
cally, under this system every country in Afri-
ca should eventually get a turn to be a candi-
date for a seat on the Council.
In most years, this means that the UN
membership at large has little choice regard-
ing the African candidates. However, there
have been exceptions. The election in 2011
was unusual in that three candidates (Mau-
ritania, Morocco and Togo) ran for two seats.
This happened because Mauritania decided
to contest the Northern Africa/Arab swing
seat with Morocco, rather than wait its turn
in the rotational cycle. Morocco prevailed, as
did Togo, which won the seat allocated by the
African Group to the Western Africa subre-
gion. In 2000, when Sudan was the endorsed
candidate, Mauritius decided to contest the
seat and won election to the Council.
The African rotation generally follows
a systematic cycle based on the following
principle:
• Northern Africa and Central Africa rotate
running for one seat every odd calendar
year;
• Western Africa runs for one seat every odd
calendar year; and
• Eastern Africa and Southern Africa rotate
running for one seat every even calendar
year.
Nonetheless, the picture can become com-
plicated, as some countries that can claim to
straddle more than one geographic region have
at times chosen to shift from one subgroup to
another. Challengers can emerge within the
same subregional grouping, upsetting the
rotation. Candidate countries can often be
persuaded to drop out to avoid a competitive
election. However, there have been times when
rival candidacies have emerged and continued
all the way through to the election. In addition,
within a subgroup some countries may choose
to run more often, while others choose to run
infrequently or not at all.
The process of selecting a candidate in the
African Group usually follows a defined path,
in accordance with the AU rules of procedure
cited above. First, the subregional groups
select the potential candidate countries and
forward their names to the African Group for
endorsement. The group submits the candi-
dates to the Committee on Candidatures of
the African Group in New York, which trans-
mits the information to the AU Ministerial
Committee on Candidatures. This commit-
tee follows its written rules of procedure in
selecting candidates. The African Group and
the AU are made up of the same members.
(For over three decades the sole exception
was Morocco, which had been a founding
member of the Organisation of African Unity
[OAU], the AU’s precursor, but which with-
drew from membership in the OAU in 1984
after the organisation admitted the Sahrawi
Arab Democratic Republic. In January 2017,
Morocco joined the AU.) Subregional organ-
isations may add their endorsement before
the list goes to the AU Ministerial Commit-
tee.The AU Executive Committee makes the
final decision during an AU summit meet-
ing. Despite the written rules of procedure for
candidate selection, some countries have in
the past submitted their candidature directly
to the AU Ministerial Committee on Candi-
datures, bypassing the process in New York.
Overall, the system of rotation tends to
favour unopposed elections.There have been
times when this has resulted in the election
of candidates that might have struggled in a
contested election and whose presence on the
Council was perceived as counterproductive.
A factor that seems to be coming into
play is the growing desire by some mem-
ber states in the region to be elected more
often than strict adherence to the rotation
system would allow. Nigeria was elected
for the 2014-2015 term after having been
a Council member in 2010-2011. South
Africa was on the Council in 2007-2008,
again in 2011-2012, and is running for
the 2019-2020 term. Although some have
argued against the “miniaturisation” of the
Council by including too many small states,
smaller countries have stated that they too
contribute to international peace and securi-
ty and should have the opportunity to serve
on the Council.
Asia-Paciftc Group
In 2011, the Asian Group officially changed
its name to the Group of Asia and the Pacific
Small Island Developing States, also known
as the Asia-Pacific Group. The name change
was made to account for the fact that more
than 26 percent of the group’s members are
Pacific Island countries.
In the Asia-Pacific Group, there are no
formally established practices of rotation to
fill the two seats, one of which becomes avail-
able every year.While it has the same number
of countries as the African Group, the Asia-
Pacific Group’s wide geographic span—from
the Middle East to Polynesia—has led to
much looser regional coordination.
Until the mid-1990s, there was a fair-
ly consistent South Asian presence on the
Council, with Bangladesh, India, Nepal and
Pakistan rotating seats. In practice, South
Asian countries rarely run against each other.
One exception occurred in 1975 when India
and Pakistan contested the same seat and
eight rounds of voting were needed before
Pakistan prevailed.
Since 1958, Japan has also been a regular
presence on the Council. When it completed
its last term at the end of 2017, Japan had accu-
mulated 22 years on the Council, the most of
any non-permanent member. Since 1966, it
has never been off the Council for more than
six consecutive years. With a total of 20 years
on the Council, Brazil comes in second.
The absence of a formal rotation system
has meant that there is frequently competi-
tion for the Asia-Pacific seat regardless of
whether a candidate declares itself far in
advance or not. While larger member states
have tended to declare their candidacy closer
to the election year, smaller candidate coun-
tries have tended to announce their decision
to run many years ahead of time. The only
subgroup within the Asia-Pacific Group that
endorses its candidates is ASEAN, made up
of Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia,
securitycouncilreport.org 9 Security Council Report Research Report May 2018
Regional Groups and Established Practices
Laos, Malaysia, Myanmar, the Philippines,
Singapore, Thailand and Viet Nam.
The Arab Swing Seat
There is an established practice that spans
the Asia-Pacific and African Groups. As dis-
cussed in Annex 2 below, General Assembly
resolution 1991 A (XVIII) provided five seats
for “Asia and Africa”, and in practice the seats
have been divided into three seats for Africa
and two for Asia. In 1967, after Jordan ended
its two-year term in what had been the Middle
East seat, there was a year with no Arab state
European Group for a seat. When the vot-
ing remained deadlocked betweenYugoslavia
and the Philippines after 36 rounds, the two
countries agreed to accept a split term:Yugo-
slavia served on the Council in 1956 and the
Philippines in 1957.)
Latin American and Caribbean Group
After the expansion of the Council and the
reorganisation of the regional groups that
occurred as a result of General Assembly res-
olution 1991 A (XVIII), the Latin American
Group took in the Caribbean states, several
Peru (2017), and now the Dominican Repub-
lic have all been unopposed candidates for
Council seats. One GRULAC seat is up for
election each year.
Western European and Others Group
With 28 members, WEOG is the second-
smallest regional group, and two seats become
available to it every even calendar year. Strictly
speaking, it is not a geographical group, as it
comprises Western Europe plus “others”, but
its members share broadly similar levels of eco-
nomic development and political values. The
on the Council, which coincided with the Six- of which were members of the British Com- “others” subgroup is made up of three mem-
Day War. It appears that at some point there
was an informal agreement, although there
are no known records, that one seat would be
reserved for an Arab state and that Asia and
Africa would take turns every two years to
provide a suitable candidate. As a result, this
seat is often called the “Arab swing seat”. An
Arab country has always occupied a seat on the
Council since 1968.
Eastern European Group
The Eastern European Group is the small-
est regional group, consisting of 23 member
states, with an election for one seat every
odd calendar year. This is the group that has
expanded the most in recent decades, with
15 new members added since 1991 due to
the dissolution of the Soviet Union and the
splitting of both Czechoslovakia and Yugosla-
via. Today, 11 of its countries are EU mem-
bers, four are candidates for EU membership,
and Bosnia and Herzegovina is considered a
“potential candidate”. An Eastern European
seat was included in the permanent mem-
bers’ “gentlemen’s agreement” in 1946 (see
Annex 2), but soon thereafter, the meaning
of that agreement was contested, with the
Soviet Union and the West vying for 20 years
to place their preferred candidates in this seat.
It also became a hotly contested seat among
new member states that did not have a clear
regional grouping. (For example, in 1955,
when there was no Asian seat, the Philip-
pines competed with members of the Eastern
monwealth, and became the Group of Latin
American and Caribbean States (GRULAC).
It currently has 33 members.
Like most of the other groups, GRULAC
has no formal rules regarding rotation. For
much of the last 60 years, non-Caribbean
countries have tended to dominate region-
al representation. Historically, the group
was often able to reach consensus on “clean
slates”. However, the group has also pro-
duced two of the most protracted and bit-
terly contested voting sessions in UN history.
The 1979 contest between Colombia and
Cuba went to 154 rounds and into the fol-
lowing year before Mexico was elected as a
compromise candidate in the 155th round
(the process took from 26 October 1979 until
7 January 1980). In 2006, elections for the
GRULAC seat on the Security Council were
inconclusive after 47 rounds of voting over
several weeks. With the General Assembly
unable to decide between Guatemala and
Venezuela, Panama agreed to stand and was
elected on the 48th round as the compromise
candidate, in a process lasting from 16 Octo-
ber until 7 November.
As a result of this experience, an informal
understanding developed among GRULAC
members to avoid contested elections, start-
ing with the 2007 elections for the 2008-
2009 term. Since then, Mexico (2008), Brazil
(2009), Colombia (2010), Guatemala (2011),
Argentina (2012), Chile (2013), Venezue-
la (2014), Uruguay (2015), Bolivia (2016),
bers of what was previously called the British
Commonwealth Group.The British Common-
wealth Group grew rapidly in the late 1950s as
states in Africa and Asia became independent.
Most of these newly independent states joined
the Asian and African Groups and GRULAC.
Australia, Canada and New Zealand became
the “others” in WEOG. Israel is the other non-
European state that participates in WEOG,
having been a temporary member since 2000.
With France and the UK as members and the
US attending meetings as an observer,WEOG
includes three of the five permanent members
of the Council.The Holy See is also an observ-
er in WEOG.
WEOG practices what might be called an
open-market approach to elections, which
produces a regular pattern of contested can-
didatures that is likely to remain highly com-
petitive in the coming years.
There are several subgroups within
WEOG: the Nordic countries (Denmark,
Finland, Iceland, Norway and Sweden),
CANZ (Canada, Australia and New Zea-
land), and the Benelux (Belgium, the Nether-
lands and Luxembourg). There are informal
understandings within the Nordic countries
and CANZ subgroups that have encouraged
members to support each other’s campaigns.
In its first term on the Council (1951-
1952), Turkey served as the Middle Eastern
Council member. It occupied the Eastern
European seat twice (1954-1955 and 1961)
and has since run for the WEOG seat.
10 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
The 2017-2018 Split Term
In the 2016 elections, three candidates—
Italy, the Netherlands and Sweden—ran for
the two available WEOG seats. During the
first round of voting, on 28 June, Sweden
received more than the necessary two-thirds
majority of votes to be elected (134), while
Italy and the Netherlands were tied after five
rounds of voting, whereupon the meeting
was suspended. On 29 June 2016, the Chair
of WEOG sent a letter (A/70/964) inform-
ing the president of the General Assembly
that Italy and the Netherlands had agreed
to split the 2017-2018 term in view of the
inconclusive results for the remaining non-
permanent seat.The letter indicated that the
Netherlands had withdrawn its candidacy
in favour of Italy, which was consequently
endorsed by WEOG as the group’s only can-
didate. On 30 June 2016, in a stand-alone
vote, Italy was elected to the seat. According
to the agreement, Italy relinquished its seat
on 31 December 2017 and the Netherlands
ran as the sole and endorsed WEOG candi-
date in a by-election held on 2 June 2017, the
same day as the regular elections for non-
permanent members of the Council for the
2018-2019 term.
Russia and Egypt, a non-permanent
member during the 2016-2017 term, wrote
to the president of the General Assembly
outlining their concerns over the arrange-
ment between Italy and the Netherlands
(A/70/971 and A/70/974). Both letters said
that they viewed the agreement to split the
term as an exceptional case that should not
set a precedent. They argued that a prac-
tice of split terms would have a negative
impact on the functionality and efficiency
of the Security Council in its responsibil-
ity for maintaining international peace and
security. Russia, in its letter, noted that the
last time a decision was taken on splitting a
term had been more than 50 years earlier,
following which the Council’s workload had
greatly increased, and said it was “gravely
disappointed by the inability of the Western
European and other States to designate a
candidate by consensus, which has led to the
current stalemate”.
Article 23(2) of the UN Charter states that
the non-permanent members of the Securi-
ty Council shall be elected for a term of two
years. Split terms started to appear in the
late 1950s due to disagreements regarding
regional rotation and associated Cold War
politics, as well as to accommodate the aspi-
rations of newly independent countries. Two
candidates would occasionally agree to split
the term following multiple rounds of incon-
clusive voting. The member that was elected
first would relinquish its term after one year
on the Council, thus enabling the holding of
a by-election to fill the vacant seat. By-elec-
tions are in line with Rule 140 of the Rules
of Procedure of the General Assembly, which
states: Should a member cease to belong to
a Council before its term of office expires, a
by-election shall be held separately at the next
session of the General Assembly to elect a
member for the unexpired term.
The practice of splitting terms ended in
the mid-1960s when the non-permanent
membership of the Council was enlarged
from six to ten members and regional repre-
sentation was introduced. (For further back-
ground, see “Security Council Elections: Italy
and the Netherlands Agree to a Split Term”,
What’s in Blue, 29 June 2016: www.whatsin-
blue.org/2016/06/security-council-elections-
italy-and-the-netherlands-agree-to-a-split-
term.php.)
Becoming a Candidate
Most candidate countries follow a fairly stan-
dard path in announcing and pursuing their
bids for the Council, with the exception of can-
didates from the African Group, which has a
more complex process, as described earlier. If
the country is a member of a subregional group,
it will often first inform members of that group
of its intention to run and seek support. The
endorsement of the subregional group then
becomes an important factor in the next step.
A candidate country formalises its inten-
tion to seek a Council seat by notifying
the rotating monthly chair of its respective
regional group in New York. This is done
in writing, specifying the two-year term the
country seeks. The chair then incorporates
that information into the UN candidacy chart
of the regional group, which is maintained by
each group and reviewed at monthly group
meetings. Most candidate countries then pre-
pare a circular note to all missions in New
York informing them of the candidacy. Most
also send a note to the Secretariat or the
president of the General Assembly, or both,
although this is not required by the General
Assembly’s rules of procedure.
As the relevant election year approaches,
the regional group may decide to give its
endorsement, and nearer to the election date,
the chair of the regional group will inform
the president of the General Assembly wheth-
er elections will be contested or not. This
becomes a guide to help the Secretariat pre-
pare documentation for the election process.
Campaigning for the Council
Candidates seek voting pledges from member
states, often years in advance of the election,
and may continue to do so up until the day
of the vote. Campaigning for the Council can
involve significant investments of time and
financial resources, although funds brought to
bear vary greatly depending on a number of
factors, including the wealth of the candidate
and whether the candidacy is contested. (Can-
didates predictably tend to spend less in unop-
posed elections.)
securitycouncilreport.org 11 Security Council Report Research Report May 2018
Campaigning for the Council
Commitments are sought in writing, orally or
both. Member states that promise to vote for
a particular candidate do not always keep their
word, and as votes are cast by secret ballot, it
is not possible to determine which member
states have reneged on their pledges.There are
several reasons why pledges may be broken. In
some cases, there may have been inadequate
communication within the pledging govern-
ment. A high-level official in the capital may
pledge the country’s vote to a particular can-
didate but fail to convey the commitment to
the permanent mission to the UN in NewYork,
where the votes are cast. Additionally, if there is
a change in government, the new government
may not consider itself bound by the pledges
of a previous administration. Given the secrecy
of the ballot, there are incentives to pledge to
all candidates in a competitive election. Know-
ing that commitments are not always secure,
some candidate countries repeatedly cultivate
those countries that have already promised to
vote for them, seeking reassurances that they
have not changed their minds. Candidates
often seek pledges from member states at
many levels of government.
As candidate countries generally focus their
campaigns on influencing the voting decisions
of diplomats in member state capitals and at
UN headquarters, the foreign minister and
permanent representative to the UN play sig-
nificant roles in the campaign process. Addi-
tionally, particularly in contested elections,
many candidates employ special envoys who
try to secure voting pledges from high-level
officials in various capitals. These envoys are
usually former senior government officials
or diplomats. Depending on their campaign
strategies and resources, candidate countries
may use multiple envoys, often focusing their
efforts on particular regions where they lack
strong diplomatic representation.
To secure voting commitments from
member states, candidate countries may vol-
unteer, or be asked for, certain inducements.
For example, a candidate may offer develop-
ment assistance to a member state in seeking
its vote, or it may promise that while on the
Council it will bring attention to or avoid an
issue of concern to that member state. Such
quid pro quo arrangements are a not uncom-
mon element of the campaign process.
The promotion of candidacies by arrang-
ing trips to the candidate’s capital or holding
workshops on issues of interest (normally not
particularly controversial issues) in attractive
locations has been used by several candi-
dates in recent years to raise the profile of
their campaign and attract permanent rep-
resentatives (who will cast the actual vote) to
these events. “Swag bags” filled with items
imprinted with the logo of the candidate that
are handed out within UN circles are intend-
ed to increase the outreach of the campaign.
Customarily, on the day of the elections, per-
manent representatives are offered gifts by
most candidates, even those headed for an
unopposed election.
As contested elections may continue for
several rounds, candidates try to ensure that
member states that voted for them in the first
round continue to do so, while also attempt-
ing to secure support from member states
that did not commit to voting for them in the
first round.
As a result of such bids for second round
or subsequent votes, some member states
have stated when they commit their vote to
a candidate that they do so for the duration
of the electoral process, regardless of the
number of rounds. However, in protracted
elections that come down to two candidates
vying for a single seat, member states will
often eventually shift their vote if it appears
that their candidate of choice is losing ground
and appears unlikely to prevail.
UN Documents on Security Council Elections
Security Council Documents
S/2017/507 (30 August 2017) was the updated com-
pendium of Security Council working methods.
S/2016/619 (15 July 2016) was a note by the Council
president concerning transitional arrangements for
newly elected Council members, which among other
matters called on Council members to agree provi-
sionally on the appointment of chairs of subsidiary
bodies by 1 October.
General Assembly Documents
A/RES/71/323 (8 September 2017) was on the revi-
talization of the work of the General Assembly which
decided that on the day of the election in the General
Assembly or in the Main Committees, the campaign
materials distributed in the General Assembly Hall or
in the Committee meeting room shall be limited to a
single page of information regarding the candidates.
A/71/PV.86 (2 June 2017) was the record of the 2017
election of five non-permanent members.
A/70/PV.108 (30 June 2016) was the record of the
2016 elections for the remaining non-permanent
member from WEOG.
A/70/974 (30 June 2016) was the letter from Egypt
expressing its understanding that the agreement
between Italy and the Netherlands to split the 2017-
2018 term would not lay the ground for future prac-
tice and would have no legal or procedural implica-
tions on future elections to the Security Council.
A/70/971 (30 June 2016) was the letter from Russia
expressing the position that the exceptional case of
the agreement between Italy and the Netherlands to
split the term would not set a precedent, arguing that
this practice would have a negative impact on the
Security Council’s efficiency.
A/70/964 (29 June 2016) was the letter from the chair
of WEOG stating that Italy and the Netherlands had
agreed to split the term, with Italy serving in 2017 and
the Netherlands in 2018, requiring a by-election for
the remainder of the term.
A/70/PV.107 (28 June 2016) was the record of the
2016 elections of the non-permanent members for the
remaining candidates from WEOG when Italy and the
Netherlands announced that they would split the term.
A/70/PV.106 (28 June 2016) was the record of the
2016 elections of four non-permanent members.
A/70/PV.33 (15 October 2015) was the record of the
2015 elections of non-permanent members.
A/69/PV.25 (16 October 2014) was the record of the
2014 elections of non-permanent members.
A/RES/68/307 (18 September 2014) decided that
elections of the non-permanent members of the
Security Council would take place about six months
before the elected members assume their
responsibilities.
A/59/881 (20 July 2005) was a note verbale from
Costa Rica containing information on elections from
1946 to 2004.
A/RES 1991 A (XVIII) (17 December 1963) was the
resolution adopting amendments to the Charter on
the composition of the Council and establishing the
allocation of seats to various regions.
GAOR 1st Session, Part I, 14th Plenary Session and
Part II (12 January 1946) was the first election of non-
permanent members.
Other
Charter of the United Nations, http://www.un.org/en/
charter-united-nations/
12 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
UN Documents on Security Council Elections
A/520/Rev.15 and amendments 1 and 2 are the Rules
of Procedure of the General Assembly, including
amendments and additions.
Repertory of Practice of the United Nations Organs,
Supplement no. 6, Volume III on Article 23 (1979-
1984).
See http://www.un.org/en/sc/repertoire/ for the
online version of the Repertoire of the Practice of the
Security Council. (The Repertory and the Repertoire
are different resources.)
Useful Additional Resources
David L. Bosco, Five to Rule Them All: The UN Secu-
rity Council and the Making of the Modern World
(Oxford: Oxford University Press, 2009).
Andrew Boyd, Fifteen Men on a Powder Keg: A His-
tory of the UN Security Council, (New York: Stein and
Day, 1971).
Bruce Bueno de Mesquita and Alastair Smith, “The
Pernicious Consequences of UN Security Council
Membership,” Journal of Conflict Resolution, vol. 54,
no. 5 (2010), 667-686.
Terrence L. Chapman and Dan Reiter, “The United
Nations Security Council and the Rally ’Round the
Flag Effect”, Journal of Conflict Resolution vol. 48, no.
6 (2004), 886-909.
Axel Dreher et al, The Determinants of Election to
the United Nations Security Council, CESifo Working
Paper Series, no. 3902 (2012).
Jared Genser and Bruno Stagno Ugarte, eds., The
United Nations Security Council in the Age of Human
Rights (Cambridge: Cambridge University Press, 2014).
Edward C. Luck, Reforming the United Nations: Les-
sons from a History in Progress, International Rela-
tions Studies and the United Nations Occasional
Papers, no.1 (2003).
David M. Malone, “Eyes on the Prize: The Quest for
Nonpermanent Seats on the UN Security Council”,
Global Governance vol. 6, no. 1 (2000), 3-23.
Norman J. Padelford, “Politics and Change in the
Security Council”, International Organization vol. 14,
no.3 (1960), 381-401.
Ruth B. Russell, A History of the United Nations Char-
ter: The Role of the United Nations, 1940-1945, (The
Brookings Institute), 1958.
Bruce Russett, ed., The Once and Future Security
Council (New York: St Martin’s Press, 1997).
Loraine Sievers and Sam Daws, The Procedure of the
UN Security Council, Fourth Edition, (Oxford: Oxford
University Press, 2014) and its website www.scpro-
cedure.org.
Bruno Simma et al, eds., The Charter of the United
Nations, A Commentary (Oxford: Oxford University
Press, 2002).
Ramesh Thakur, ed., What is Equitable Geographic
Representation in the Twenty-first Century?, Interna-
tional Peace Academy, the United Nations University
Seminar Report, 26 March 1999.
Thomas G. Weiss and Sam Daws, eds., The Oxford
Handbook on the United Nations, (Oxford: Oxford
University Press, 2007).
Taking Stock, Moving Forward: Report to the Foreign
Ministry of Finland on the 2012 Elections to the United
Nations Security Council, International Peace Insti-
tute, April 2013.
Rules of Procedure of the AU Ministerial Committee
on Candidatures within the International System, Doc.
EX.CL/213 (VIII), African Union, (2006).
United Nations Handbook 2017-2018, New Zealand
Ministry of Foreign Affairs and Trade, (2017).
Annex 1: Rules and Process for Election to the Council: Relevant Charter Provisions and Rules of Procedure
Charter Provisions on Election to the
Council
The UN Charter, in Article 23, specifies the
number of non-permanent members to be
elected, as amended in 1963:
The General Assembly shall elect ten oth-
er Members of the United Nations to be non-permanent members of the Security
Council… Article 23(2) also stipulates the length of
their term:
The non-permanent members…shall be
elected for a term of two years. The practical impact of rotation occurring
every two years is mitigated by staggering the
cycle, so that the General Assembly elects five
members each year for the stipulated two-year
period.This was determined by rule 142 of the
rules of procedure of the General Assembly.
Despite the specification of a two-year term,
there have been exceptions when members
have served shorter terms. There have been
one-year terms, either to establish the required
rotational cycle or to break electoral deadlocks.
Article 23(2) also contains a provision that
ensures that no member can become a de
facto permanent member by being re-elected
to serve continuously in the Council:
A retiring member shall not be eligible for
immediate re-election. This is further reinforced by Rule 144 of
the Rules of Procedure of the General Assem-
bly, which also states that a retiring member
of the Council is not eligible for immediate
re-election.
In addition to the provisions stated above,
the Charter specifies the criteria that the
members of the General Assembly shall apply
when considering which countries should be
elected to serve on the Council. It provides in
Article 23 that due regard shall be:
…specially paid, in the first instance to the
contribution of Members of the United
Nations to the maintenance of interna- tional peace and security and to the other
purposes of the Organization, and also to
equitable geographical distribution.
“Contribution to the maintenance of inter-
national peace and security” is often interpret-
ed in this context as the personnel or finan-
cial contributions for peacekeeping operations
and peace processes. “Contribution to the
other purposes of the Organization”, by con-
trast, is a very wide term. In recent years, most
discussions regarding Article 23 at the Gen-
eral Assembly have focused on the criteria of
equitable geographical distribution, with issues
securitycouncilreport.org 13 Security Council Report Research Report May 2018
Annex 1: Rules and Process for Election to the Council: Relevant Charter Provisions and Rules of Procedure related to the candidates’ contribution to inter-
national peace and security being left aside.
A key procedural provision of the Char-
ter that is relevant to Security Council elec-
tions is Article 18(2). This requires a two-
thirds majority vote in the General Assembly
on important questions. Under that article,
election to the Council is defined as an
important question.
In addition, Article 18(3) defines the
required majority by reference to members
present and voting. This refers to members
casting an affirmative or negative vote. Mem-
bers who abstain from voting are considered
not voting.
Relevant Rules of Procedure
Voting, especially during elections to the
Security Council, can sometimes produce
tense and dramatic situations on the floor of
the General Assembly. In such circumstances,
understanding the relevant rules of procedure
can become very important.
Rule 88 of the Rules of Procedure of the
General Assembly indicates that once the
president of the General Assembly announc-
es the commencement of voting, the process
can only be interrupted on a point of order
regarding the conduct of the vote. Further-
more, explanations of vote are not permitted
when votes are cast by secret ballot.
Elections are governed by Rules 92, 93
and 94 of the Rules of Procedure of the Gen-
eral Assembly.
Under Rule 92, elections to the Coun-
cil are held by secret ballot. Nominations
are not required. Countries simply declare
their intention to run, sometimes many years
ahead, either by circular note to all members
of the UN or to the chair of their regional
grouping, or both.
Rule 93 sets out the procedure that applies
when there is only one vacancy to be filled
and no candidate obtains the required two-
thirds majority in the first ballot. It provides
that:
…a second ballot shall be taken, which shall
be restricted to the two candidates
obtaining the largest number of votes…if a
two-thirds majority is required, the ballot- ing shall be continued until one candidate
secures two-thirds of the votes cast... What this first part of Rule 93 means is
that if there are more than two candidates
and there is no clear winner on the first bal-
lot, the lower-polling candidates drop out
and the contest then continues to a second
ballot between the top two candidates. The
effect of Rule 93 is that voting simply con-
tinues until one candidate prevails, either by
securing the required majority or because the
other withdraws.
If neither candidate receives the required
majority on the second and third ballots,
Rule 93 says that after the third inconclu-
sive ballot, votes may be cast for “an eligible
… Member”. This allows new candidates to
come into the process, and the fourth bal-
lot is therefore technically referred to as an
unrestricted ballot. (It also allows any candi-
date excluded after the first restricted ballot
to come back again.)
If a result is not achieved after three of
these unrestricted ballots, Rule 93 requires
that the pool again be reduced to the top
two. This cycle then repeats until a result is
achieved. The emergence of new candidates
during the unrestricted stage is rare but
not unprecedented. If a trend is starting to
emerge in one direction after a succession of
inconclusive ballots, it is not unusual for the
candidate with fewer votes to withdraw.
Rule 94 is similar to Rule 93 but is applied
when there are two or more seats to be filled:
When two or more elective places are to be
filled at one time under the same conditions,
those candidates obtaining in the first bal-
lot the majority required shall be elected. Rule 94 also specifies that if additional
rounds of voting are required, the pool is
reduced by a formula that says that remain-
ing candidates should not be more than twice
the number of places available.
Annex 2: Historical Background
When the UN was established in 1945, the
Charter provided for 11 members of the
Security Council: five permanent members
and six elected members.
Article 23(2) included a provision that in
the first election of Council members, three
members would be chosen for a period of one
year so that in the future three new members
could be elected annually.This was decided by
drawing lots for the one- and two-year terms.
In the first election, on 12 January 1946,
the following countries were elected: Austra-
lia, Brazil, Egypt, Mexico, the Netherlands
and Poland. The pattern of geographical
distribution was: two seats for Latin Amer-
ica, one for the Middle East, one for Eastern
Europe, one for Western Europe, and one for
the British Commonwealth.
The interpretation of what equitable geo-
graphic distribution should mean in terms of
seats was based on an informal agreement
among the permanent members, sometimes
known as the London Agreement. From the
start there was a lack of agreement about
what had been agreed to. The US saw the
1946 formula as applying only to the first
election, but the Soviet Union maintained
that there had been a gentlemen’s agreement
of a more general nature for the future mean-
ing of geographic distribution.
The Charter clearly specifies a two-year
term for elected members of the Coun-
cil, but in addition to the 1946-1947 peri-
od, split terms started to occur in the late
1950s until the Council was enlarged in
1966. This was in part driven by fallout from
the disagreement over regional rotation and
associated Cold War politics. But the aspi-
rations of newly independent countries was
also an important factor. The first example
of this was seen in 1955 when the Philip-
pines and Poland contested a seat. After four
inconclusive ballots, Poland withdrew and
Yugoslavia declared its candidacy. Howev-
er, the stalemate continued, and after two
months and more than 30 rounds of vot-
ing, it was informally agreed that the Philip-
pines would withdraw and that Yugoslavia
would resign after one year, at which point
the Philippines would run as the only can-
didate for that seat. Over the next few years,
this became a common occurrence.
By the early 1960s, there was a growing
acceptance that the original composition of
14 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
Annex 2: Historical Background
the Council had become inequitable and
unbalanced. Between 1945 and 1965, UN
membership rose from 51 to 117 member
states, with the proportion of Asian, African
and Caribbean states increasing from 25 per-
cent to about 50 percent. On 17 December
1963, the General Assembly adopted resolu-
tion 1991 A (XVIII), which contained amend-
ments to the Charter to address the issue by
increasing the number of elected members to
ten.The resolution also dealt with the issue of
geographic distribution, which was resolved
as follows:
• five elected members from the African and
Asian states—(this was subsequently sub-
divided in practice into two seats for the
Asian Group and three seats for the Afri-
can Group);
• one from the Eastern European states;
• two from the Latin American states (this
included the Caribbean); and
• two from the Western European and other
states (this included Australia, Canada
and New Zealand.)
At the same time, Article 27 was altered
so that resolutions of the Council required
the vote of nine members instead of seven.
This also meant that for the first time the
permanent members could be out-voted by
non-permanent members, although only on
procedural questions, which are not subject
to vetoes by permanent members.
Annex 3: Results of Recent Elections for Non-Permanent Members of the Security Council
The left-hand column lists the year and the
UN General Assembly Session in which
the voting was held, as well as the number
of the plenary meetings (the ordinal num-
bers) and the date of meetings. The middle
column reflects the highest number of votes
and abstentions in a given round of elections.
(The number of votes cast to fill the different
seats in a given round is not always the same.)
Candidate countries that won the election
are in bold. A table with the complete results
from 1946 on can be found at www.security-
councilreport.org.
2007 UNGA62 3 ROUNDS
26th 16-10-07 Round 1: 190 votes, 4 abstentions Burkina Faso 185, Viet Nam 183, Libyan Arab Jamahiriya 178,
Costa Rica 116, Croatia 95, Czech Republic 91, Dominican Republic
72, Mauritania 2, Senegal 1
Round 2: 190 votes, 3 abstentions, restricted Costa Rica 119, Croatia 106, Czech Republic 81, Dominican
Republic 70
Round 3: 189 votes, 9 abstentions, restricted Croatia 184, Costa Rica 179, Czech Republic 1, Dominican Republic
1
2008 UNGA63 1 ROUND
28th 17-10-08 Round 1: 192 votes, 6 abstentions Mexico 185, Uganda 181, Japan 158, Turkey 151, Austria 133,
Iceland 87, Iran (Islamic Republic of) 32, Madagascar 2, Australia 1,
Brazil 1
2009 UNGA64 1 ROUND
20th 15-10-09 Round 1: 190 votes, 7 abstentions Nigeria 186, Gabon 184, Bosnia and Herzegovina 183, Brazil 182,
Lebanon 180, Iran (Islamic Republic of) 1, Liberia 1, Sierra Leone 1,
Togo 1, Venezuela (Bolivarian Republic of) 1
2010 UNGA65 3 ROUNDS
28th 12-10-10 Round 1: 191 votes, 5 abstentions India 187, Colombia 186, South Africa 182, Germany 128, Portugal
122, Canada 114, Pakistan 1, Swaziland 1
Round 2: 191 votes, restricted Portugal 113, Canada 78
Round 3: 184 votes, 2 abstentions, restricted Portugal 150, Canada 32
2011 UNGA66 17 ROUNDS
37th 21-10-2011 Round 1: 193 votes, 2 abstentions Guatemala 191, Morocco 151, Pakistan 129, Togo 119, Mauritania
98, Azerbaijan 74, Slovenia 67, Kyrgyzstan 55, Hungary 52, Fiji 1
Round 2: 193 votes, 2 abstentions, restricted Togo 119, Slovenia 97, Azerbaijan 90, Mauritania 72
securitycouncilreport.org 15 Security Council Report Research Report May 2018
Annex 3: Results of Recent Elections for Non-Permanent Members of the Security Council
Round 3: 193 votes, 1 abstention, restricted Togo 131, Slovenia 99, Azerbaijan 93, Mauritania 61
38th 21-10-11 Round 4: 192 votes, 1 abstention, restricted Slovenia 98, Azerbaijan 93
Round 5: 193 votes, 1 abstention, unrestricted Azerbaijan 98, Slovenia 93, Hungary 1
Round 6: 193 votes, 1 abstention, unrestricted Azerbaijan 96, Slovenia 95, Estonia 1
Round 7: 193 votes, 1 abstention, unrestricted Azerbaijan 100, Slovenia 91, Estonia 1
Round 8: 191 votes, 1 abstention, restricted Azerbaijan 110, Slovenia 80
Round 9: 191 votes, 1 abstention, restricted Azerbaijan 113, Slovenia 77
39th 24-10-11 Round 10: 193 votes, restricted Azerbaijan 110, Slovenia 83
40th 24-10-11 Round 11: 193 votes, 1 abstention, unrestricted Azerbaijan 110, Slovenia 82
Round 12: 193 votes, 1 abstention, unrestricted Azerbaijan 111, Slovenia 81
Round 13: 192 votes, 1 abstention, unrestricted Azerbaijan 111, Slovenia 80
Round 14: 192 votes, 1 abstention, restricted Azerbaijan 110, Slovenia 81
Round 15: 193 votes, restricted Azerbaijan 117, Slovenia 76
Round 16: 193 votes, restricted Azerbaijan 116, Slovenia 77
Round 17: 193 votes, 24 abstentions, unrestricted Azerbaijan 155, Slovenia 13, Hungary 1
2012 UNGA67 2 ROUNDS
27th 18-10-2012 Round 1: 193 votes, 8 abstentions Argentina 182, Rwanda 148, Australia 140, Luxembourg 128,
Republic of Korea 116, Finland 108, Cambodia 62, Bhutan 20,
United Republic of Tanzania 3, Barbados 1, Cuba 1, Democratic
Republic of the Congo 1
Round 2: 192 votes, restricted Republic of Korea 149, Luxembourg 131, Finland 62, Cambodia 43
2013 UNGA68 1 ROUND AND A SPECIAL ELECTION
34th 17-10-2013 Round 1: 191 votes, 5 abstentions Lithuania 187, Chile 186, Nigeria 186, Chad 184, Saudi Arabia 176
(declined), Senegal 2, The Gambia 2, Lebanon 1, Croatia 1
61st 6-12-2013 Round 1: 185 votes, 4 abstentions Jordan178, Saudi Arabia 1
2014 UNGA69 3 ROUNDS
25th 16-10-2014 Round 1: 193 votes, 10 abstentions Angola 190, Malaysia 187, Bolivarian Republic of Venezuela 181,
New Zealand 145, Spain 131, Turkey 109, Democratic Republic of
the Congo 1, Brazil 1
Round 2: 193 votes, restricted Spain 120, Turkey 73
Round 3: 192 votes, 1 abstention, restricted Spain 132, Turkey 60
2015 UNGA69 1 ROUND
33rd 15-10-2015 Round 1: 192 votes, 14 abstentions Senegal 187, Uruguay 185, Japan 184, Egypt 179, Ukraine 177
2016 UNGA70 6 ROUNDS
106th 28-06-2016 Round 1: 191 votes, 8 abstentions Ethiopia 185, Bolivia 183, Sweden 134, Netherlands 125,
Kazakhstan 113, Italy 113, Thailand 77, Colombia 1, Cuba 1, Belgium 1
Round 2: 193 votes, 2 abstentions, restricted Kazakhstan 178, Netherlands 99, Italy 92, Thailand 55
Round 3: 190 votes, 3 abstentions, restricted Netherlands 96, Italy 94
107th 28-06-16 Round 4: 191 votes, 2 abstentions, restricted Netherlands 96, Italy 95
Round 5: 190 votes, 2 abstentions, unrestricted Netherlands 95, Italy 95
108th 30-06-16 Round 6: 184 votes, 6 abstentions, unrestricted Italy 179, Netherlands 4, San Marino 1
2017 UNGA71 1 ROUND
86th 02-06-2017 Round 1: 192 votes, 5 abstentions Poland 190, Côte d'Ivoire 189, Kuwait 188, Peru 186, Equatorial
Guinea 185, Netherlands 184, Argentina 1, Guinea 1, Morocco 1
securitycouncilreport.org 15 Security Council Report Research Report May 2018
16 whatsinblue.org Security Council Report Research Report May 2018
The material in this publication is subject to copyright ownership. Material in this publication may be
freely used as in the public domain. You are free to copy, distribute, or make derivative works of the
work under the following conditions: you must attribute the work to Security Council Report, Inc.;
you may not use this work for commercial purposes; if you alter, transform, or build upon this work,
you may distribute the resulting work only under a license identical to this one.
Security Council Report Staff
Karin Landgren
Executive Director
Joanna Weschler
Deputy Executive Director
Shamala Kandiah Thompson
Deputy Executive Director
Paul Romita
Senior Policy Analyst
Victor Casanova Abos
Policy Analyst
Lindiwe Knutson
Policy Analyst
Dahlia Morched
Policy Analyst
Vladimir Sesar
Policy Analyst
Eran Sthoeger
Policy Analyst
Vanessa Tiede
Policy Analyst
Benjamin Villanti
Policy Analyst
Robbin VanNewkirk
Website Manager
Audrey Waysse
Operations Manager
Maritza Lopez
Administrative Assistant
Kaitlyn Lynes
Research Assistant
Security Council Report is a non-
profit organisation supported by the Governments of Australia, Austria, Belgium, Denmark, Equatorial Guinea, Finland, Germany, Iceland, India, Ireland, Italy, Kazakhstan, Kuwait, Liechtenstein, Luxembourg, the Netherlands, New Zealand, Norway, Peru, Poland, Republic of Korea, Singapore, Spain, Sweden, Switzerland, Timor-Leste, Turkey and United Arab Emirates, and Carnegie Corporation, Humanity United and the John D. and Catherine T. MacArthur Foundation.
Design Point Five, NY
Security Council Report
One Dag Hammarskjöld Plaza 885 2nd Ave at 48th St, 21st Floor New York NY 10017
Telephone +1 212 759 6394
Fax +1 212 759 4038
Web securitycouncilreport.org whatsinblue.org