amerika serikat dan ian konflik israel
TRANSCRIPT
![Page 1: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/1.jpg)
AMERIKA SERIKAT DAN PENYELESAIAN KONFLIK ISRAEL
PALESTINA
Latar Belakang
Berakhirnya perang dingin, mengakibatkan perubahan struktur politik global yang
menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai adidaya tunggal. Hal ini menghadapkan AS
persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan peran internasional yang dimainkannya.
Menurutnya ancaman komunisme dan kemunduran ekonomi AS mengundang perdebatan
tentang sejauhmana AS sebaiknya terlibat dalam persoalan-persoalan internasional yang secara
tidak langsung berkaitan dengan kepentingan nasionalnya.
Sebagian pengamat dan praktisi politik luar negeri AS berpendapat bahwa AS perlu
mempertahankan peranannya sebagai adidaya tunggal. Dalam situasi dunia yang transisional,
kehadiran AS mutlak diperlukan guna mencegah kediktatoran, penindasan dan pelanggaran hak
azasi manusia. Asumsinya bahwa sistem internasional sedang berada dalam kondisi unipolar,
dimana AS bertindak sebagai satu-satunya penjaga ketertiban dunia atau “polisi dunia”.
Sebagian lain berpendapat bahwa sebaiknya AS lebih berkonsentrasi pada upaya-upaya
pembangunan ekonomi domestiknya yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran. Kalangan ini
berpendapat bahwa mempertahankan keterlibatan AS secara luas dalam politik internasional,
dengan peranannya sebagai hegemoni tunggal hanya akan menguras dan menghabiskan energi.
Lebih baik AS melakukan semacam pembagian beban (burden sharing) dengan kekuatan-
kekuatan lain seperti Jerman dan Jepang, selain mengefektifkan melalui organisasi regional dan
PBB. Asumsinya adalah dunia akan segera mencapai kondisi multipolar, dimana AS tidak perlu
lagi bertindak sebagai satu-satunya adidaya. (Layne, 1993). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa secara politik militer AS merupakan satu-satunya adidaya, namun dalam bidang ekonomi
ada kekuatan-kekuatan lain yang menjadi pesaingnya seperti Jepang, Negara-Negara Uni Eropa,
Cina, Rusia dan Negara-Negara Industri Baru. Konstelasi politik internasional seperti ini,
menurut Huntington disebut “uni-multipolar” yakni AS sebagai adidaya tunggal dalam
keamanan dan militer, tetapi mendapat saingan banyak kekuatan dalam bidang ekonomi,
terutama Jepang dan Jerman.(Huntington, 1994:510).
1
![Page 2: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/2.jpg)
Terlepas dari perdebatan tersebut, berakhirnya perang dingin telah menjadikan AS
sebagai kekuatan politik dan militer yang paling berpengaruh di dunia. Hal ini dapat dibuktikan
dengan peran yang dimainkan dalam memprakarsai sekaligus memimpin aliansi negara-negara
anti Irak dalam krisis dan Perang Teluk yang memaksa pasukan Saddam Husein dengan cara
ekonomi, politik dan militer untuk meninggalkan Kuwait. (Republika, 29 April, 2002). AS
dapat melakukan peran yang sangat signifikan dalam menghentikan invasi Saddam ke Kuwait.
Kemudian AS melalui Operasi Anakonda berhasil merontokkan pemerintahan Taliban di
Afghanistan yang dituduh menjadi Markas Teroris al Qaeda.
Kepeloporan AS dengan menggunakan PBB sebagai wadah untuk memobilisasi
tindakan-tindakan yang keras terhadap Irak. Serangan AS ke Afghanistan juga merupakan bukti
lain. AS juga mampu meyakinkan masyarakat dunia, bahwa terorisme internasional merupakan
musuh bersama pasca tragedi WTC 11 September 2001. Berangkat dari kasus ini, niat AS untuk
mempelopori suatu “tata dunia baru” (new world order) dimana hukum internasional ditegakkan
dan fungsi PBB diefektifkan. Namun dalam menghahadapi konflik Israel-Palestina, hegemon AS
seolah-olah tidak berdaya melakukan tindakan tegas terhadap Israel. Meskipun dunia
internasional, baik Liga Arab, Negara-Negara OKI, Uni Eropa bahkan PBB, mengecam tindakan
Israel dibawah Ariel Sharon telah melakukan kebiadaban, barbarisme, pelanggaran hukum
internasional serta pelanggaran HAM berat. Menlu AS Colin L Powell gagal membujuk Sharon
menghentikan kekerasan militer terhadap rakyat Palestina. Bahkan Sharon dan Bush meminta
Arafat menghentikan aksi bom bunuh diri. Bagi mereka, tindakan represif yang dilakukan adalah
sebagai upaya pertahanan diri. AS sebagai pihak yang mempunyai kompetensi tinggi tampak
ragu-ragu dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut.
Permasalahan
Jika menghadapi tindakan invasi, pelanggaran hukum, barbarian dan tindakan-tindakan
yang dilakukan negara-negara Irak, Iran, Libya, Taliban, AS nampak sangat powerful. Atas
nama kemanusiaan, mengapa AS tidak mampu melakukan tindakan drastis guna menghentikan
aksi kekerasan Israel terhadap Palestina? Bagaimana hubungan kedua negara tersebut, sehingga
AS sebagai kekuatan hegemoni atau polisi dunia bersikap memihak epada Israel dalam
penyelesaian konflik Israel-Palestina?
2
![Page 3: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/3.jpg)
Kerangka Teori
Kerjasama dan konflik merupakan karakteristik utama interaksi antar negara-negara yang
berdaulat. Diantara dua tipe ekstrim tersebut, ada situasi yang disebut persaingan. Holsti
memasukkan krisis sebagai salah satu tahapan konflik. Interaksi antar negara ditentukan oleh
sifat negara dan masyarakat internasional. Sifat utama negara adalah bahwa merupakan bentuk
tertinggi dari organisasi manusia, dan negara hanya diperintah oleh kepentingan nasionalnya.
Sedang masyarakat internasional tidak menerapkan kekuasaan otoritatif terhadap negara
meskipun masyarakat internasional menerapkan peraturan-peraturan mengenai tingkah laku
tertentu. Pada umumnya, negara-negara di dunia mengembangkan hubungan mereka dalam
kerangka dua karakteristik tersebut sesuai kepentingan nasionalnya.
Persamaan kepentingan nasional seringkali mendorong kerjasama. Tetapi perbedaan
kepentingan antar negara seringkali menimbulkan konflik internasional yang tidak dapat
dihindari. Menurut Holsti, pada dasarnya segala jenis hubungan menunjukkan adanya sifat
konflik. Bahkan dalam bentuk hubungan kerjasama antar pemerintah, berbagai perbedaan
pendapat akan selalu timbul. (Holsti, 1988:171). Lebih lanjut Holsti mengkaji bahwa konflik
internasional, empat komponen yang harus diperhatikan yakni para pihak yang melakukan,
bidang isu, sikap dan tindakan. Para pihak yang konflik adalah negara atau non-negara. Berdasar
bidang isunya, konflik bersumber dari konflik wilayah terbatas, konflik yang berkaitan dengan
komposisi pemerintah, konflik kehormatan nasional, imperialisme regional, konflik pembebasan
dan konflik untuk menyatukan suatu negara yang terpecah. (). Tindakan bisa berupa nota protes,
ancaman, blokade sampai perang.
Dalam setiap pengambilan kebijakan luar negeri, suatu negara enantiasa mendasarkan
pada kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Menurut Donald E. Nuckertlein,
kepentingan nasional adalah kebutuhan dan keinginan yang dirasakan oleh suatu negara dalam
hubungan dengan negara-negara lain yang merupakan lingkungan eksternalnya. (Nuckertlein,
1979:75)
Dalam konteks AS, kepentingan nasional yang dicapai AS dari waktu ke waktu adalah:
(1) mempertahankan negara AS dan sistem konstitusionalnya; (2) perluasan eksistensi ekonomi
3
![Page 4: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/4.jpg)
AS dan mempromosikan produk-produknya ke luar negeri; (3) menciptakan suatu tata dunia baru
atau sistem keamanan internasional yang favorable; (4) mempromosikan nilai-nilai demokrasi
AS dan sistem pasar bebasnya. (Nuchertlein, 1991).
Namun dalam periode pasca perang dingin, pemerintah AS perlu menemukan komponen-
komponen baru bagi kepentingan nasionalnya. Anthony Lake menggariskan tujuh aspek
kepentingan nasional AS yaitu (1) ntuk mempertahankan AS, warga negaranya di dalam dan luar
negeri serta para sekutunya, dari berbagai bentuk serangan langsung, (2) untuk mencegah
timbulnya agresi yang dapat mengganggu perdamaian internasional, (3) untuk mempertahankan
kepentingan ekonomi AS, (4) untuk menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi, (5) mencegah
proliferasi senjata nuklir, (6) untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS serta
(7) memerangi kemiskinanan, kelaparan dan pelanggaran terhadap HAM.(Lake, 1995).
Untuk menjaga kepentingannya, AS senantiasa melakukan tiga hal yakni pertama, AS
tetap menjaga posisinya sebagai kekuatan utama dalam ekonomi global, meskipun ia harus
menghadapi kekuatan ekonomi Jepang, kedua AS akan menentang munculnya kekuatan
hegemoni politik-militer di Eropa dan ketiga negara itu akan melindungi kepentingannya di
negaranegara ketiga.(Huntington, 1994:510).
Bagi kepentingan AS, kawasan Timur Tengah sebagai prioritas ketiga karena selain
wilayah itu menguasai lalu lintas laut dan udara Eropa-Asia Pasifik-Afrika, wilayah ini juga
merupakan sumber utama energi bagi negaranegara sekutunya di Eropa Barat dan Asia Timur
(Jepang). Sengketa Arab-Israel yang berkepanjangan, invasi Soviet ke Afghanistan, perang Iran-
Irak, invasi Irak ke Kuwait, dan hubungan Soviet dengan Libya, Irak, PLO selama perang dingin.
Di kawasan Timur Tengah, maka kepentingan nasional AS adalah sebagai berikut; (1) menjaga
kelangsungan impor minyak dari Timur Tengah, terutama dari negara-negara Teluk, (2) menjaga
eksistensi Israel. Hal ini penting mengingat Israel adalah kawan dekat AS di Timur Tengah yang
dapat dijadikan kepanjangan tangan AS di kawasan tersebut, (3) untuk emperlancar dua
kepentingan diatas, AS perlu menjaga stabilitas politik dan keseimbangan kekuatan di kawasan
tersebut.
Maka AS menciptakan ketergantungan terhadap beberapa negara, mencegah rezim yang
cenderung radikal untuk berkuasa dengan jalan mendukung kelompok minoritas yang menentang
4
![Page 5: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/5.jpg)
penguasa untuk berontak, mempersenjatai negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi
guna mencegah timbulnya dominasi politik maupun militer, menjadikan kawasan tersebut
sebagai pangsa pasar industri senjata.
5
![Page 6: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/6.jpg)
PEMBAHASAN
Hambatan Penyelesaian Konflik
Tidak bisa dipungkiri bahwa AS telah tampil sebagai kekuatan politik dan militer yang
paling berpengaruh di dunia. Untuk mendeskripsikan kekuatan global AS ada beberapa
parameter yang dapat digunakan seperti anggaran militer, kekuatan politik dan diplomasi serta
kekuatan ekonominya. Dengan kekuatan yang dimilikinya, AS mampu memainkan peran yang
besar dalam berbagai masalah dunia.
Sengketa berkepanjangan Israel-Palestina adalah sejarah konflik itu sendiri. Baik Israel
maupun Palestina sama tuanya dengan usia klaim hak atas bumi Palestina. Perdamaian kawasan
Timur Tengah nampak menjadi utopis. Namun bukan berarti tanpa penyelesaian. Berbagai
perundingan perdamaian telah banyak digelar. Morgenthau menawarkan balance of power dan
akomodasi atau diplomasi. Namun untuk menuju ke arah itu banyak kendala yang dihadapi. Ada
perbedaan persepsi tentang Resolusi PBB No.242 dan 338 sebagai landasan perundingan yakni
penarikan total pasukan Israel dari wilayah Arab. Israel menolak resolusi itu dilaksanakan karena
merasa telah dilaksanakan engan mengembalikan Gurun Sinai kepada Mesir lewat Perjanjian
Camp avid 1979. Bagi Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah tanah biblika Yudea dan Samare
yang tidak dapat dirundingkan.
Dengan demikian formula penyelesian land for peace, yakni Israel mengembalikan Tepi
Barat dan Gaza ke Palestina tidak pernah akan terjadi. Shamir menafsirkan land for peace
sebagai, sedang Rabin menafsirkan sebagai land for me, peace for you. Kegagalan konferensi
Madrid yang merupakan rekayasa AS yang dipaksakan sebagai strategi Bush untuk
memenangkan pemilu 1992. Diingkarinya Perjanjian Oslo I 1993, yang mencantumkan batas
akhir pemerintahan otonomi Palestina pada 4 Mei 1999. Berbagai perundingan dan kesepakatan
telah ditanda tangani, dari konferensi Madrid (1991), perjanjian Oslo I (1993), persetujuan Kairo
(1994), perjanjian Oslo II (1995), persetujuan Hebron (1997), Memorendum Wye River 1998),
Camp David II (2000), kesepakatan Sharm Seikh (2000), Tenet Plan (2001), keputusan PBB
6
![Page 7: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/7.jpg)
nomor 423 dan 322, dan tawaran KTT Liga Arab 2002. Peluncuran roadmap 14 Maret 2003
yang diprakarsai AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB pun kandas. Semua kesepakatan, perjanjian dan
keputusan PBB pada intinya menuntut kedua belah pihak menahan diri dari aksi kekerasan. Dan
lebih khusus lagi meminta Israel untuk menarik diri dari wilayah Palestina yang didudukinya.
Selain itu juga menuntut Israel menghentikan penyerangan warga sipil dan mengakui eksistensi
Palestina.
Namun semua kesepakatan dan resolusi itu tetap saja dilanggar oleh Israel. Pelanggaran
itu disebabkan oleh beberapa persoalan prinsip kedua belah pihak berkaitan dengan kesepakatan
perjanjian. Pertama, masalah Al-Quds. Keberadaan Al-Quds sebagai kota suci tiga agama besar
yakni Islam, Kristen dan Yahudi, menjadikan masalah krusial dan vital dalam proses perdamaian
Palestina-Israel. Bagi Palestina, Al-Quds adalah Ibukota Palestina merdeka masa depan, namun
bagi Israel Quds tetap sebagai kota utuh, tidak terbagi-bagi dan dimasa depan menjadi ibukota
Israel. Hingga kini, wilayah tersebut masih dikuasai militer Israel, meski belum jelas statusnya.
AS memberikan dukungan cita-cita Israel tersebut dalam bentuk memindahkan kedubesnya ke
Quds (Jerusalem).
Kedua, masalah negara. Kesepakatan Oslo (1993) tidak jelas atau menentukan hal yang
menyangkut masalah negara Palestina. Sikap Israel adalah tidak melarang deklarasi resmi negara
Palestina, sebab tidak bertentangan dengan upaya Israel. Namun diingatkan, deklarasi dari satu
pihak saja akan berakibat serius bagi masa depan Palestina dan terancamnya perdamaian.
Sebenarnya sikap Israel tersebut tidak menghendaki adanya negara Palestina merdeka dan
independen.
Ketiga, masalah penyerahan Tepi Barat. Kesepakatan Oslo menghendaki Israel harus
melaksanakan tiga gelombang penarikan tentaranya dari Tepi Barat. Namun sikap keras dari para
pemimpin Israel, hingga sekarang belum tercapai pelaksanaannya. Akibatnya, Palestina hingga
kini hanya menguasai 40% dari Tepi Barat. Bahkan Israel terus membangun pemukiman di tepi
Barat, sebagai pengingkaran kesepakatan.
Keempat, masalah Pengungsi. Sejak berdirinya Israel 1948, hingga kini lebih dari 5 juta
rakyat Palestina hidup sebagai pengungsi di berbagai negara. Kelima, masalah perbatasan. Kedua
perbatasan telah diatur dalam perjanjian Oslo, yakni kawasan jajahan 1948, 78% adalah wilayah
7
![Page 8: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/8.jpg)
Palestina. Keenam, masalah air. Pada tahun 1996, Israel, Palestina dan Yordania menandatangani
kesepakatan mengenai sumber-sumber air.
Dan hingga tahun 2004, AS telah melakukan veto yang ke-79 kalinya. (Tempo, 26
Maret 2004). Ketiga, intangan terbesar sebenarnya adalah sikap Israel sendiri, yakni sikap
politik, ideologis dan biblikal untuk tidak mengembalikan Tepi Barat dan Jalur Gaza kepada
Palestina. Sikap ini telah ditanamkam Manachem Begin sejak pertengahan 1970-an yang kini
telah menjadi sikap nasional Israel. Penggunaan politik mitos, baik mitos teologis maupun mitos
abad kedua pulu satu, dipakai sebagai alat untuk lobi-lobi dalam mencapai tujuan-tujuan Israel.
Mitos-mitos tersebut adalah mitos tanah yang dijanjikan, mitos bangsa terpilih, mitos
Yosua, mitos antifasisme orang Zionis, mitos pengadilan Nuremberg, mitos Holocaust, dan
mitos tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah. Keempat, dari pihak Arab ada kantung-
kantung tertentu yang menyulitkan tercapainya perdamaian, terutama kelompok-kelompok yang
menolak setiap kompromi dengan Israel. Terakhir yang menjadi faktor penghambat adalah
adanya faktor perbedaan antar-Arab tentang solusi masalah Palestina.
PLO terus memperjuangkan aspirasinya membentuk negara Palestina merdeka. Selama
tujuan ini belum tercapai, konflik Israel-Palestina tetap akan berlanjut. Bahkan perang mungkin
bisa meletus kembali, terutama jika Arab frustrasi akibat gagal mencapai tujuannya melalui
diplomasi. Sebaliknya, Israel tidak akan segan mengurbankan upaya perdamaian jika situasi
mengancam eksistensi negara dan bangsanya. Hal itu bisa dilihat dari penolakan Israel terhadap
tawaran rencana perdamaian yang dilontarkan oleh Liga Arab pada KTT Liga Arab pada tanggal
27-28 Maret 2002 di Beirut.(Republika, 30 Maret 2002). Sikap ini sesuai dengan paradigma
hubungan internasional, bahwa suatu negara tidak mustahil akan mengorbankan perdamaian
andaikata keselamatannya terancam.(Aron, 1973:100). Eksistensi negara adalah kepentingan
nasional primer atau vital sehingga tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun.
Sekalipun konflik Timur Tengah tampaknya tidak diorientasikan pada perang total yang
membawa kehancuran semua pihak, namun tetap akan berdampak negatif baik dalam
menghambat pembangunan maupun membawa korban materi dan jiwa. Oleh karena itu sangat
dimaklumi jika banyak orang yang menghendaki perdamaian di kawasan tersebut.
8
![Page 9: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/9.jpg)
Bukti Keberpihakan AS pada Israel
Sebagai negara adidaya tunggal, mestinya AS bersikap adil dalam penyelesaian konflik
Israel-Palestina. Namun faktanya menunjukkan sebaliknya, dan sikap ini menjadi salah satu
hambatan dalam penyelesaian konflik. Sikap wishy-washy AS dan keberpihakannya terhadap
Israel tersebut justru melanggengkan konflik itu sendiri. Bagi AS, Isarel adalah satu-satunya
sekutu strategis di kawasan Timur Tengah.
kelompok Israel First dan menadopsi pandangan sayap kanan (Hawkish) serta
kemampuan lobi politik Israel terutama melalui AIPAC. Keberhasilan lobi tersebut menurut
Corbett disebabkan empat faktor yakni (1) orang Yahudi rata-rata memiliki pendapatan dan
pendidikan yang sangat tinggi, serta menunjukkan kemampuan yang luar biasa; (2) orang Yahudi
sangat aktif dalam perpolitikan AS di semua negara bagian; (3) konsentrasi orang Yahudi berada
di New York; (4) Yahudi sangat aktif dan gigih mencari akses terhadap kongres dan Gedung
Putih.
Sementara itu, menurut Lipson dukungan dan keberpihakan AS terhadap Israel,
didasarkan pada : pertama, kekuatan militer Israel yang dapat dikatakan terbesar di kawasan
Timur Tengah dan kekuatan tersebut dapat diandalkan sebagai parter regional; kedua,
penentangan yang kuat dari Israel terhadap negara-negara Arab radikal, yang dalam waktu
panjang menjadi sekutu Soviet atau menggantikannya dan masih menjadi ancaman suplai
minyak serta stabilitas politik sejumlah pemerintahan Arab sekutu AS. Ketiga, kesuksesan Israel
sebagai negara demokrasi yang stabil, sehingga menarik
AS untuk menjadikannya sebagai mitra di tengah wilayah yang selalu bergejolak.
Kesamaan kepentingan politik, ekonomi dan adanya musuh bersama mendorong kedua negara
dapat melakukan kerjasama untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Dan pengejaran
kepentingan adalah sesuatu yang harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Dalam setiap
perundingan sangat terlihat jelas bahwa AS mendukung Israel, karena selain mewarisi semangat
demokrasi liberal-sekuler, juga menjadi buffer state AS untuk menghadapi negara-negara Islam
radikal.
Banyak bukti yang menunjukkan keberpihakan AS terhadap Israel, antara lain: (Safari,
2005)
9
![Page 10: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/10.jpg)
1. Persetujuan dan dukungan AS terhadap berdirinya negara komonoleth Yahudi
Israel di Palestina pasca perjanjian Balfour 2 Februari 1917.
2. Keputusan senator dan kongres AS atas dukungan penuh berdirinya negara Israel
di Palestina 11 September 1922.
3. Keputusan bersama untuk merubah Palestina menjadi negara Yahudi, dan jika
mereka menolak maka harus diatasi dengan kekuatan militer pada 11 Mei 1942
4. Surat Presiden Roosevelt mendukung eksodus dan migrasi Yahudi ke Palestina
dan mendirikan negara Yahudi di Palestina pada 16 Maret 1945
5. Surat Presiden Truman kepada PM Inggris Attlee menijinkan 100 ribu Yahudi
segera dikirim ke Palestina pada 31 Agustus 1945
6. AS menekan secara intensif beberapa negara untuk mendukung voting pemecahan
palestina menjadi 2 wilayah, Yahudi dan bangsa Arab pada 29 November 1947
7. Presiden Trumen mengumumkan pengakuan berdirinya negara Israel dan
langsung membuka hubungan diplomatik resmi sepuluh menit terbentuknya
negara Israel 14 Mei 1948
8. Pada tanggal 12 Juni 1966 AS menekan badan Keamanan PBB untuk
menghentikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina.
9. Pada tanggal 12 November 1983 Presiden Reagan menegaskan bahwa sikap
Washington tetap konsisten menjaga keamanan Israel.
10. Pada 28 Oktober 1984 Presiden Reagan menegaskan bahwa Israel adalah negara
koalisi strategis dan sahabat Amerika.
11. Pada tanggal 15 Mei 1985 Menlu AS menegaskan bahwa Washington akan
menghalangi usaha sebagian kalangan untuk membentuk negara Palestina
merdeka.
12. Pada tanggal tanggal 16 Februari 1988 Juru Bicara Gedung Putih menyatakan
bahwa politik AS tetap pada persepsi lamanya tentang hakikat perdamaian di
Timur Tengah yakni semua rakyat Palestina dan bangsa Arab dan muslim agar
melepaskan tanah Palestina kepada Israel, dan kalu itu terpenuhi, maka berarti
perdamaian di kawasan itu akan cepat terwujud.
10
![Page 11: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/11.jpg)
13. Hingga tahun 2004, AS melakukan 79 kali veto terhadap resolusi Dewan
Keamanan PBB yang berkaitan dengan masalah-masalah sanksi terhadap Israel,
mengutuk kekerasan Israel, dan resolusi yang dianggap merugikan Israel.
14. Pada bulan Juli 2006 Bush menyatakan kepada PM Inggris Tony Blair tentang
sikapnya mendukung serangan Israel ke Libanon sebagai balasan atas penculikan
tentara Israel.
Sebenarnya masih banyak bukti keberpihakan AS terhadap Israel dalam berbagai
kebijakannya. Sebagai gambaran alur kebijakan AS terhadap Israel dan pengaruh Israel terhadap
pengambilan kebijakan AS adalah sebagai berikut:
Sumber : Kompas, 1 september 2004
11
Pemerintah/Senat As
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld
Wakil menteri pertahanan Paul wolfowitz
Kepala Bidang Kebijakan Douglas Feith
Analis timur tengah Larry Franklin (Pembocor)
Pemerintahan Israel
Kedubes Israel di AS Naor Gilon)
AIPAC
![Page 12: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022081209/5571f3c749795947648e90f6/html5/thumbnails/12.jpg)
Kesimpulan
Penyelesaian konflik Palestina-Israel akan sulit tercapai manakala pihakpihak yang
konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah ditandatangani atau harus ada political will. Untuk
pelaksanaan kesepakatan, perlu ada pihak netral yang kuat dan bisa diterima semua pihak. AS
yang diharapkan sebagai pihak netral yang kuat, ternyata cenderung mendukung kepentingan
Israel. Banyak sekali bukti keberpihakan tersebut. Sikap ini sangat dipengaruhi oleh besarnya
pengaruh kelompok Israel First maupun Hawkish serta lobi AIPC untuk mempengaruhi
kebijakan AS yang menguntungkan Israel. Sementara negaranegara di Timur Tengah sendiri
mengalami konflik internal kawasan.
12