amerika serikat dan ian konflik israel

18
AMERIKA SERIKAT DAN PENYELESAIAN KONFLIK ISRAEL PALESTINA Latar Belakang Berakhirnya perang dingin, mengakibatkan perubahan struktur politik global yang menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai adidaya tunggal. Hal ini menghadapkan AS persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan peran internasional yang dimainkannya. Menurutnya ancaman komunisme dan kemunduran ekonomi AS mengundang perdebatan tentang sejauhmana AS sebaiknya terlibat dalam persoalan-persoalan internasional yang secara tidak langsung berkaitan dengan kepentingan nasionalnya. Sebagian pengamat dan praktisi politik luar negeri AS berpendapat bahwa AS perlu mempertahankan peranannya sebagai adidaya tunggal. Dalam situasi dunia yang transisional, kehadiran AS mutlak diperlukan guna mencegah kediktatoran, penindasan dan pelanggaran hak azasi manusia. Asumsinya bahwa sistem internasional sedang berada dalam kondisi unipolar, dimana AS bertindak sebagai satu-satunya penjaga ketertiban dunia atau “polisi dunia”. Sebagian lain berpendapat bahwa sebaiknya AS lebih berkonsentrasi pada upaya-upaya pembangunan ekonomi domestiknya yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran. Kalangan ini berpendapat bahwa mempertahankan keterlibatan AS secara luas dalam politik internasional, dengan peranannya sebagai hegemoni 1

Upload: funkycansa

Post on 16-Jun-2015

782 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

AMERIKA SERIKAT DAN PENYELESAIAN KONFLIK ISRAEL

PALESTINA

Latar Belakang

Berakhirnya perang dingin, mengakibatkan perubahan struktur politik global yang

menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai adidaya tunggal. Hal ini menghadapkan AS

persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan peran internasional yang dimainkannya.

Menurutnya ancaman komunisme dan kemunduran ekonomi AS mengundang perdebatan

tentang sejauhmana AS sebaiknya terlibat dalam persoalan-persoalan internasional yang secara

tidak langsung berkaitan dengan kepentingan nasionalnya.

Sebagian pengamat dan praktisi politik luar negeri AS berpendapat bahwa AS perlu

mempertahankan peranannya sebagai adidaya tunggal. Dalam situasi dunia yang transisional,

kehadiran AS mutlak diperlukan guna mencegah kediktatoran, penindasan dan pelanggaran hak

azasi manusia. Asumsinya bahwa sistem internasional sedang berada dalam kondisi unipolar,

dimana AS bertindak sebagai satu-satunya penjaga ketertiban dunia atau “polisi dunia”.

Sebagian lain berpendapat bahwa sebaiknya AS lebih berkonsentrasi pada upaya-upaya

pembangunan ekonomi domestiknya yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran. Kalangan ini

berpendapat bahwa mempertahankan keterlibatan AS secara luas dalam politik internasional,

dengan peranannya sebagai hegemoni tunggal hanya akan menguras dan menghabiskan energi.

Lebih baik AS melakukan semacam pembagian beban (burden sharing) dengan kekuatan-

kekuatan lain seperti Jerman dan Jepang, selain mengefektifkan melalui organisasi regional dan

PBB. Asumsinya adalah dunia akan segera mencapai kondisi multipolar, dimana AS tidak perlu

lagi bertindak sebagai satu-satunya adidaya. (Layne, 1993). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa secara politik militer AS merupakan satu-satunya adidaya, namun dalam bidang ekonomi

ada kekuatan-kekuatan lain yang menjadi pesaingnya seperti Jepang, Negara-Negara Uni Eropa,

Cina, Rusia dan Negara-Negara Industri Baru. Konstelasi politik internasional seperti ini,

menurut Huntington disebut “uni-multipolar” yakni AS sebagai adidaya tunggal dalam

keamanan dan militer, tetapi mendapat saingan banyak kekuatan dalam bidang ekonomi,

terutama Jepang dan Jerman.(Huntington, 1994:510).

1

Page 2: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

Terlepas dari perdebatan tersebut, berakhirnya perang dingin telah menjadikan AS

sebagai kekuatan politik dan militer yang paling berpengaruh di dunia. Hal ini dapat dibuktikan

dengan peran yang dimainkan dalam memprakarsai sekaligus memimpin aliansi negara-negara

anti Irak dalam krisis dan Perang Teluk yang memaksa pasukan Saddam Husein dengan cara

ekonomi, politik dan militer untuk meninggalkan Kuwait. (Republika, 29 April, 2002). AS

dapat melakukan peran yang sangat signifikan dalam menghentikan invasi Saddam ke Kuwait.

Kemudian AS melalui Operasi Anakonda berhasil merontokkan pemerintahan Taliban di

Afghanistan yang dituduh menjadi Markas Teroris al Qaeda.

Kepeloporan AS dengan menggunakan PBB sebagai wadah untuk memobilisasi

tindakan-tindakan yang keras terhadap Irak. Serangan AS ke Afghanistan juga merupakan bukti

lain. AS juga mampu meyakinkan masyarakat dunia, bahwa terorisme internasional merupakan

musuh bersama pasca tragedi WTC 11 September 2001. Berangkat dari kasus ini, niat AS untuk

mempelopori suatu “tata dunia baru” (new world order) dimana hukum internasional ditegakkan

dan fungsi PBB diefektifkan. Namun dalam menghahadapi konflik Israel-Palestina, hegemon AS

seolah-olah tidak berdaya melakukan tindakan tegas terhadap Israel. Meskipun dunia

internasional, baik Liga Arab, Negara-Negara OKI, Uni Eropa bahkan PBB, mengecam tindakan

Israel dibawah Ariel Sharon telah melakukan kebiadaban, barbarisme, pelanggaran hukum

internasional serta pelanggaran HAM berat. Menlu AS Colin L Powell gagal membujuk Sharon

menghentikan kekerasan militer terhadap rakyat Palestina. Bahkan Sharon dan Bush meminta

Arafat menghentikan aksi bom bunuh diri. Bagi mereka, tindakan represif yang dilakukan adalah

sebagai upaya pertahanan diri. AS sebagai pihak yang mempunyai kompetensi tinggi tampak

ragu-ragu dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut.

Permasalahan

Jika menghadapi tindakan invasi, pelanggaran hukum, barbarian dan tindakan-tindakan

yang dilakukan negara-negara Irak, Iran, Libya, Taliban, AS nampak sangat powerful. Atas

nama kemanusiaan, mengapa AS tidak mampu melakukan tindakan drastis guna menghentikan

aksi kekerasan Israel terhadap Palestina? Bagaimana hubungan kedua negara tersebut, sehingga

AS sebagai kekuatan hegemoni atau polisi dunia bersikap memihak epada Israel dalam

penyelesaian konflik Israel-Palestina?

2

Page 3: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

Kerangka Teori

Kerjasama dan konflik merupakan karakteristik utama interaksi antar negara-negara yang

berdaulat. Diantara dua tipe ekstrim tersebut, ada situasi yang disebut persaingan. Holsti

memasukkan krisis sebagai salah satu tahapan konflik. Interaksi antar negara ditentukan oleh

sifat negara dan masyarakat internasional. Sifat utama negara adalah bahwa merupakan bentuk

tertinggi dari organisasi manusia, dan negara hanya diperintah oleh kepentingan nasionalnya.

Sedang masyarakat internasional tidak menerapkan kekuasaan otoritatif terhadap negara

meskipun masyarakat internasional menerapkan peraturan-peraturan mengenai tingkah laku

tertentu. Pada umumnya, negara-negara di dunia mengembangkan hubungan mereka dalam

kerangka dua karakteristik tersebut sesuai kepentingan nasionalnya.

Persamaan kepentingan nasional seringkali mendorong kerjasama. Tetapi perbedaan

kepentingan antar negara seringkali menimbulkan konflik internasional yang tidak dapat

dihindari. Menurut Holsti, pada dasarnya segala jenis hubungan menunjukkan adanya sifat

konflik. Bahkan dalam bentuk hubungan kerjasama antar pemerintah, berbagai perbedaan

pendapat akan selalu timbul. (Holsti, 1988:171). Lebih lanjut Holsti mengkaji bahwa konflik

internasional, empat komponen yang harus diperhatikan yakni para pihak yang melakukan,

bidang isu, sikap dan tindakan. Para pihak yang konflik adalah negara atau non-negara. Berdasar

bidang isunya, konflik bersumber dari konflik wilayah terbatas, konflik yang berkaitan dengan

komposisi pemerintah, konflik kehormatan nasional, imperialisme regional, konflik pembebasan

dan konflik untuk menyatukan suatu negara yang terpecah. (). Tindakan bisa berupa nota protes,

ancaman, blokade sampai perang.

Dalam setiap pengambilan kebijakan luar negeri, suatu negara enantiasa mendasarkan

pada kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Menurut Donald E. Nuckertlein,

kepentingan nasional adalah kebutuhan dan keinginan yang dirasakan oleh suatu negara dalam

hubungan dengan negara-negara lain yang merupakan lingkungan eksternalnya. (Nuckertlein,

1979:75)

Dalam konteks AS, kepentingan nasional yang dicapai AS dari waktu ke waktu adalah:

(1) mempertahankan negara AS dan sistem konstitusionalnya; (2) perluasan eksistensi ekonomi

3

Page 4: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

AS dan mempromosikan produk-produknya ke luar negeri; (3) menciptakan suatu tata dunia baru

atau sistem keamanan internasional yang favorable; (4) mempromosikan nilai-nilai demokrasi

AS dan sistem pasar bebasnya. (Nuchertlein, 1991).

Namun dalam periode pasca perang dingin, pemerintah AS perlu menemukan komponen-

komponen baru bagi kepentingan nasionalnya. Anthony Lake menggariskan tujuh aspek

kepentingan nasional AS yaitu (1) ntuk mempertahankan AS, warga negaranya di dalam dan luar

negeri serta para sekutunya, dari berbagai bentuk serangan langsung, (2) untuk mencegah

timbulnya agresi yang dapat mengganggu perdamaian internasional, (3) untuk mempertahankan

kepentingan ekonomi AS, (4) untuk menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi, (5) mencegah

proliferasi senjata nuklir, (6) untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS serta

(7) memerangi kemiskinanan, kelaparan dan pelanggaran terhadap HAM.(Lake, 1995).

Untuk menjaga kepentingannya, AS senantiasa melakukan tiga hal yakni pertama, AS

tetap menjaga posisinya sebagai kekuatan utama dalam ekonomi global, meskipun ia harus

menghadapi kekuatan ekonomi Jepang, kedua AS akan menentang munculnya kekuatan

hegemoni politik-militer di Eropa dan ketiga negara itu akan melindungi kepentingannya di

negaranegara ketiga.(Huntington, 1994:510).

Bagi kepentingan AS, kawasan Timur Tengah sebagai prioritas ketiga karena selain

wilayah itu menguasai lalu lintas laut dan udara Eropa-Asia Pasifik-Afrika, wilayah ini juga

merupakan sumber utama energi bagi negaranegara sekutunya di Eropa Barat dan Asia Timur

(Jepang). Sengketa Arab-Israel yang berkepanjangan, invasi Soviet ke Afghanistan, perang Iran-

Irak, invasi Irak ke Kuwait, dan hubungan Soviet dengan Libya, Irak, PLO selama perang dingin.

Di kawasan Timur Tengah, maka kepentingan nasional AS adalah sebagai berikut; (1) menjaga

kelangsungan impor minyak dari Timur Tengah, terutama dari negara-negara Teluk, (2) menjaga

eksistensi Israel. Hal ini penting mengingat Israel adalah kawan dekat AS di Timur Tengah yang

dapat dijadikan kepanjangan tangan AS di kawasan tersebut, (3) untuk emperlancar dua

kepentingan diatas, AS perlu menjaga stabilitas politik dan keseimbangan kekuatan di kawasan

tersebut.

Maka AS menciptakan ketergantungan terhadap beberapa negara, mencegah rezim yang

cenderung radikal untuk berkuasa dengan jalan mendukung kelompok minoritas yang menentang

4

Page 5: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

penguasa untuk berontak, mempersenjatai negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi

guna mencegah timbulnya dominasi politik maupun militer, menjadikan kawasan tersebut

sebagai pangsa pasar industri senjata.

5

Page 6: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

PEMBAHASAN

Hambatan Penyelesaian Konflik

Tidak bisa dipungkiri bahwa AS telah tampil sebagai kekuatan politik dan militer yang

paling berpengaruh di dunia. Untuk mendeskripsikan kekuatan global AS ada beberapa

parameter yang dapat digunakan seperti anggaran militer, kekuatan politik dan diplomasi serta

kekuatan ekonominya. Dengan kekuatan yang dimilikinya, AS mampu memainkan peran yang

besar dalam berbagai masalah dunia.

Sengketa berkepanjangan Israel-Palestina adalah sejarah konflik itu sendiri. Baik Israel

maupun Palestina sama tuanya dengan usia klaim hak atas bumi Palestina. Perdamaian kawasan

Timur Tengah nampak menjadi utopis. Namun bukan berarti tanpa penyelesaian. Berbagai

perundingan perdamaian telah banyak digelar. Morgenthau menawarkan balance of power dan

akomodasi atau diplomasi. Namun untuk menuju ke arah itu banyak kendala yang dihadapi. Ada

perbedaan persepsi tentang Resolusi PBB No.242 dan 338 sebagai landasan perundingan yakni

penarikan total pasukan Israel dari wilayah Arab. Israel menolak resolusi itu dilaksanakan karena

merasa telah dilaksanakan engan mengembalikan Gurun Sinai kepada Mesir lewat Perjanjian

Camp avid 1979. Bagi Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah tanah biblika Yudea dan Samare

yang tidak dapat dirundingkan.

Dengan demikian formula penyelesian land for peace, yakni Israel mengembalikan Tepi

Barat dan Gaza ke Palestina tidak pernah akan terjadi. Shamir menafsirkan land for peace

sebagai, sedang Rabin menafsirkan sebagai land for me, peace for you. Kegagalan konferensi

Madrid yang merupakan rekayasa AS yang dipaksakan sebagai strategi Bush untuk

memenangkan pemilu 1992. Diingkarinya Perjanjian Oslo I 1993, yang mencantumkan batas

akhir pemerintahan otonomi Palestina pada 4 Mei 1999. Berbagai perundingan dan kesepakatan

telah ditanda tangani, dari konferensi Madrid (1991), perjanjian Oslo I (1993), persetujuan Kairo

(1994), perjanjian Oslo II (1995), persetujuan Hebron (1997), Memorendum Wye River 1998),

Camp David II (2000), kesepakatan Sharm Seikh (2000), Tenet Plan (2001), keputusan PBB

6

Page 7: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

nomor 423 dan 322, dan tawaran KTT Liga Arab 2002. Peluncuran roadmap 14 Maret 2003

yang diprakarsai AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB pun kandas. Semua kesepakatan, perjanjian dan

keputusan PBB pada intinya menuntut kedua belah pihak menahan diri dari aksi kekerasan. Dan

lebih khusus lagi meminta Israel untuk menarik diri dari wilayah Palestina yang didudukinya.

Selain itu juga menuntut Israel menghentikan penyerangan warga sipil dan mengakui eksistensi

Palestina.

Namun semua kesepakatan dan resolusi itu tetap saja dilanggar oleh Israel. Pelanggaran

itu disebabkan oleh beberapa persoalan prinsip kedua belah pihak berkaitan dengan kesepakatan

perjanjian. Pertama, masalah Al-Quds. Keberadaan Al-Quds sebagai kota suci tiga agama besar

yakni Islam, Kristen dan Yahudi, menjadikan masalah krusial dan vital dalam proses perdamaian

Palestina-Israel. Bagi Palestina, Al-Quds adalah Ibukota Palestina merdeka masa depan, namun

bagi Israel Quds tetap sebagai kota utuh, tidak terbagi-bagi dan dimasa depan menjadi ibukota

Israel. Hingga kini, wilayah tersebut masih dikuasai militer Israel, meski belum jelas statusnya.

AS memberikan dukungan cita-cita Israel tersebut dalam bentuk memindahkan kedubesnya ke

Quds (Jerusalem).

Kedua, masalah negara. Kesepakatan Oslo (1993) tidak jelas atau menentukan hal yang

menyangkut masalah negara Palestina. Sikap Israel adalah tidak melarang deklarasi resmi negara

Palestina, sebab tidak bertentangan dengan upaya Israel. Namun diingatkan, deklarasi dari satu

pihak saja akan berakibat serius bagi masa depan Palestina dan terancamnya perdamaian.

Sebenarnya sikap Israel tersebut tidak menghendaki adanya negara Palestina merdeka dan

independen.

Ketiga, masalah penyerahan Tepi Barat. Kesepakatan Oslo menghendaki Israel harus

melaksanakan tiga gelombang penarikan tentaranya dari Tepi Barat. Namun sikap keras dari para

pemimpin Israel, hingga sekarang belum tercapai pelaksanaannya. Akibatnya, Palestina hingga

kini hanya menguasai 40% dari Tepi Barat. Bahkan Israel terus membangun pemukiman di tepi

Barat, sebagai pengingkaran kesepakatan.

Keempat, masalah Pengungsi. Sejak berdirinya Israel 1948, hingga kini lebih dari 5 juta

rakyat Palestina hidup sebagai pengungsi di berbagai negara. Kelima, masalah perbatasan. Kedua

perbatasan telah diatur dalam perjanjian Oslo, yakni kawasan jajahan 1948, 78% adalah wilayah

7

Page 8: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

Palestina. Keenam, masalah air. Pada tahun 1996, Israel, Palestina dan Yordania menandatangani

kesepakatan mengenai sumber-sumber air.

Dan hingga tahun 2004, AS telah melakukan veto yang ke-79 kalinya. (Tempo, 26

Maret 2004). Ketiga, intangan terbesar sebenarnya adalah sikap Israel sendiri, yakni sikap

politik, ideologis dan biblikal untuk tidak mengembalikan Tepi Barat dan Jalur Gaza kepada

Palestina. Sikap ini telah ditanamkam Manachem Begin sejak pertengahan 1970-an yang kini

telah menjadi sikap nasional Israel. Penggunaan politik mitos, baik mitos teologis maupun mitos

abad kedua pulu satu, dipakai sebagai alat untuk lobi-lobi dalam mencapai tujuan-tujuan Israel.

Mitos-mitos tersebut adalah mitos tanah yang dijanjikan, mitos bangsa terpilih, mitos

Yosua, mitos antifasisme orang Zionis, mitos pengadilan Nuremberg, mitos Holocaust, dan

mitos tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah. Keempat, dari pihak Arab ada kantung-

kantung tertentu yang menyulitkan tercapainya perdamaian, terutama kelompok-kelompok yang

menolak setiap kompromi dengan Israel. Terakhir yang menjadi faktor penghambat adalah

adanya faktor perbedaan antar-Arab tentang solusi masalah Palestina.

PLO terus memperjuangkan aspirasinya membentuk negara Palestina merdeka. Selama

tujuan ini belum tercapai, konflik Israel-Palestina tetap akan berlanjut. Bahkan perang mungkin

bisa meletus kembali, terutama jika Arab frustrasi akibat gagal mencapai tujuannya melalui

diplomasi. Sebaliknya, Israel tidak akan segan mengurbankan upaya perdamaian jika situasi

mengancam eksistensi negara dan bangsanya. Hal itu bisa dilihat dari penolakan Israel terhadap

tawaran rencana perdamaian yang dilontarkan oleh Liga Arab pada KTT Liga Arab pada tanggal

27-28 Maret 2002 di Beirut.(Republika, 30 Maret 2002). Sikap ini sesuai dengan paradigma

hubungan internasional, bahwa suatu negara tidak mustahil akan mengorbankan perdamaian

andaikata keselamatannya terancam.(Aron, 1973:100). Eksistensi negara adalah kepentingan

nasional primer atau vital sehingga tidak bisa ditawar-tawar oleh siapapun.

Sekalipun konflik Timur Tengah tampaknya tidak diorientasikan pada perang total yang

membawa kehancuran semua pihak, namun tetap akan berdampak negatif baik dalam

menghambat pembangunan maupun membawa korban materi dan jiwa. Oleh karena itu sangat

dimaklumi jika banyak orang yang menghendaki perdamaian di kawasan tersebut.

8

Page 9: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

Bukti Keberpihakan AS pada Israel

Sebagai negara adidaya tunggal, mestinya AS bersikap adil dalam penyelesaian konflik

Israel-Palestina. Namun faktanya menunjukkan sebaliknya, dan sikap ini menjadi salah satu

hambatan dalam penyelesaian konflik. Sikap wishy-washy AS dan keberpihakannya terhadap

Israel tersebut justru melanggengkan konflik itu sendiri. Bagi AS, Isarel adalah satu-satunya

sekutu strategis di kawasan Timur Tengah.

kelompok Israel First dan menadopsi pandangan sayap kanan (Hawkish) serta

kemampuan lobi politik Israel terutama melalui AIPAC. Keberhasilan lobi tersebut menurut

Corbett disebabkan empat faktor yakni (1) orang Yahudi rata-rata memiliki pendapatan dan

pendidikan yang sangat tinggi, serta menunjukkan kemampuan yang luar biasa; (2) orang Yahudi

sangat aktif dalam perpolitikan AS di semua negara bagian; (3) konsentrasi orang Yahudi berada

di New York; (4) Yahudi sangat aktif dan gigih mencari akses terhadap kongres dan Gedung

Putih.

Sementara itu, menurut Lipson dukungan dan keberpihakan AS terhadap Israel,

didasarkan pada : pertama, kekuatan militer Israel yang dapat dikatakan terbesar di kawasan

Timur Tengah dan kekuatan tersebut dapat diandalkan sebagai parter regional; kedua,

penentangan yang kuat dari Israel terhadap negara-negara Arab radikal, yang dalam waktu

panjang menjadi sekutu Soviet atau menggantikannya dan masih menjadi ancaman suplai

minyak serta stabilitas politik sejumlah pemerintahan Arab sekutu AS. Ketiga, kesuksesan Israel

sebagai negara demokrasi yang stabil, sehingga menarik

AS untuk menjadikannya sebagai mitra di tengah wilayah yang selalu bergejolak.

Kesamaan kepentingan politik, ekonomi dan adanya musuh bersama mendorong kedua negara

dapat melakukan kerjasama untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Dan pengejaran

kepentingan adalah sesuatu yang harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Dalam setiap

perundingan sangat terlihat jelas bahwa AS mendukung Israel, karena selain mewarisi semangat

demokrasi liberal-sekuler, juga menjadi buffer state AS untuk menghadapi negara-negara Islam

radikal.

Banyak bukti yang menunjukkan keberpihakan AS terhadap Israel, antara lain: (Safari,

2005)

9

Page 10: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

1. Persetujuan dan dukungan AS terhadap berdirinya negara komonoleth Yahudi

Israel di Palestina pasca perjanjian Balfour 2 Februari 1917.

2. Keputusan senator dan kongres AS atas dukungan penuh berdirinya negara Israel

di Palestina 11 September 1922.

3. Keputusan bersama untuk merubah Palestina menjadi negara Yahudi, dan jika

mereka menolak maka harus diatasi dengan kekuatan militer pada 11 Mei 1942

4. Surat Presiden Roosevelt mendukung eksodus dan migrasi Yahudi ke Palestina

dan mendirikan negara Yahudi di Palestina pada 16 Maret 1945

5. Surat Presiden Truman kepada PM Inggris Attlee menijinkan 100 ribu Yahudi

segera dikirim ke Palestina pada 31 Agustus 1945

6. AS menekan secara intensif beberapa negara untuk mendukung voting pemecahan

palestina menjadi 2 wilayah, Yahudi dan bangsa Arab pada 29 November 1947

7. Presiden Trumen mengumumkan pengakuan berdirinya negara Israel dan

langsung membuka hubungan diplomatik resmi sepuluh menit terbentuknya

negara Israel 14 Mei 1948

8. Pada tanggal 12 Juni 1966 AS menekan badan Keamanan PBB untuk

menghentikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina.

9. Pada tanggal 12 November 1983 Presiden Reagan menegaskan bahwa sikap

Washington tetap konsisten menjaga keamanan Israel.

10. Pada 28 Oktober 1984 Presiden Reagan menegaskan bahwa Israel adalah negara

koalisi strategis dan sahabat Amerika.

11. Pada tanggal 15 Mei 1985 Menlu AS menegaskan bahwa Washington akan

menghalangi usaha sebagian kalangan untuk membentuk negara Palestina

merdeka.

12. Pada tanggal tanggal 16 Februari 1988 Juru Bicara Gedung Putih menyatakan

bahwa politik AS tetap pada persepsi lamanya tentang hakikat perdamaian di

Timur Tengah yakni semua rakyat Palestina dan bangsa Arab dan muslim agar

melepaskan tanah Palestina kepada Israel, dan kalu itu terpenuhi, maka berarti

perdamaian di kawasan itu akan cepat terwujud.

10

Page 11: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

13. Hingga tahun 2004, AS melakukan 79 kali veto terhadap resolusi Dewan

Keamanan PBB yang berkaitan dengan masalah-masalah sanksi terhadap Israel,

mengutuk kekerasan Israel, dan resolusi yang dianggap merugikan Israel.

14. Pada bulan Juli 2006 Bush menyatakan kepada PM Inggris Tony Blair tentang

sikapnya mendukung serangan Israel ke Libanon sebagai balasan atas penculikan

tentara Israel.

Sebenarnya masih banyak bukti keberpihakan AS terhadap Israel dalam berbagai

kebijakannya. Sebagai gambaran alur kebijakan AS terhadap Israel dan pengaruh Israel terhadap

pengambilan kebijakan AS adalah sebagai berikut:

Sumber : Kompas, 1 september 2004

11

Pemerintah/Senat As

Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld

Wakil menteri pertahanan Paul wolfowitz

Kepala Bidang Kebijakan Douglas Feith

Analis timur tengah Larry Franklin (Pembocor)

Pemerintahan Israel

Kedubes Israel di AS Naor Gilon)

AIPAC

Page 12: Amerika Serikat Dan ian Konflik Israel

Kesimpulan

Penyelesaian konflik Palestina-Israel akan sulit tercapai manakala pihakpihak yang

konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah ditandatangani atau harus ada political will. Untuk

pelaksanaan kesepakatan, perlu ada pihak netral yang kuat dan bisa diterima semua pihak. AS

yang diharapkan sebagai pihak netral yang kuat, ternyata cenderung mendukung kepentingan

Israel. Banyak sekali bukti keberpihakan tersebut. Sikap ini sangat dipengaruhi oleh besarnya

pengaruh kelompok Israel First maupun Hawkish serta lobi AIPC untuk mempengaruhi

kebijakan AS yang menguntungkan Israel. Sementara negaranegara di Timur Tengah sendiri

mengalami konflik internal kawasan.

12