amitriptyline vs divalproate in migraine

28
Efikasi dan Keamanan Amitriptyline vs Divalproate Sebagai Profilaksis Migrain: Ikhtisar dari Sebuah Randomized Controlled Trial J. Kalita, S. K. Bhoi, U. K. Misra Departmen Neurologi, Sanjay Gandhi Post Graduate Institute of Medical Sciences, Lucknow, India Tujuan – Studi berikut membandingkan efikasi dan keamanan penggunaan divalproate lepas lambat (divalproate extended release; DVA-ER) dan amitriptyline (AMT) untuk kasus-kasus migrain. Material dan Metode – Sebanyak 300 penderita migrain yang mengalami episode serangan migrain > 4 kali per bulannya dimasukkan secara random ke dalam 2 kelompok terpisah, yakni ke dalam kelompok yang memperoleh sediaan divalproate lepas lambat (DVA-ER) dan kelompok yang menerima pemberian amitryptiline (AMT). Parameter- parameter outcome primer yang dinilai berupa reduksi frekuensi nyeri kepala hingga > 50%, perbaikan derajat keparahan nyeri yang dialami setidaknya sebesar 1 satuan skala, dan peningkatan skor visual analogue scale (VAS) > 50%. Sedangkan beberapa parameter outcome sekunder yang dinilai diantaranya: disabilitas fungsional, jumlah rescue medication (ibuprofen 400 mg) yang dikonsumsi, dan kejadian efek samping akibat konsumsi agen profilaksis migrain.

Upload: wildansyamsudinfahmy

Post on 21-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

neurologi

TRANSCRIPT

Efikasi dan Keamanan Amitriptyline vs Divalproate Sebagai Profilaksis Migrain: Ikhtisar dari Sebuah Randomized Controlled TrialJ. Kalita, S. K. Bhoi, U. K. MisraDepartmen Neurologi, Sanjay Gandhi Post Graduate Institute of Medical Sciences, Lucknow, India

Tujuan Studi berikut membandingkan efikasi dan keamanan penggunaan divalproate lepas lambat (divalproate extended release; DVA-ER) dan amitriptyline (AMT) untuk kasus-kasus migrain.Material dan Metode Sebanyak 300 penderita migrain yang mengalami episode serangan migrain > 4 kali per bulannya dimasukkan secara random ke dalam 2 kelompok terpisah, yakni ke dalam kelompok yang memperoleh sediaan divalproate lepas lambat (DVA-ER) dan kelompok yang menerima pemberian amitryptiline (AMT). Parameter-parameter outcome primer yang dinilai berupa reduksi frekuensi nyeri kepala hingga > 50%, perbaikan derajat keparahan nyeri yang dialami setidaknya sebesar 1 satuan skala, dan peningkatan skor visual analogue scale (VAS) > 50%. Sedangkan beberapa parameter outcome sekunder yang dinilai diantaranya: disabilitas fungsional, jumlah rescue medication (ibuprofen 400 mg) yang dikonsumsi, dan kejadian efek samping akibat konsumsi agen profilaksis migrain.Hasil Median usia para pasien yang terlibat dalam studi ini adalah 32 tahun dan sebanyak 241 pasien berjeniskelamin perempuan. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 150 pasien yang memperoleh terapi berupa pemberian DVA-ER dan AMT. Pada periode 3 bulan berikutnya, dalam kelompok DVA-ER ditemukan terjadinya perbaikan berupa penurunan frekuensi terjadinya nyeri kepala pada 74,7% pasien dan dalam kelompok AMT ditemukan hal serupa pada 62% pasien (P = 0,02) dan pada periode 6 bulan, perbaikan serupa ditemukan terjadi pada 65,3% pasien dalam kelompok DVA-ER dan hanya 54% pasien dalam kelompok AMT (P = 0,90). Pada periode 3 bulan, ditemukan temuan berupa peningkatan skor VAS > 50% pada 80,7% pasien dalam kelompok DVA-ER dan 64% pasien dalam kelompok AMT (P = 0,005). Pada periode 6 bulan, tidak ditemukan terdapatnya perbedaan yang signifikan terkait skor VAS di antara 2 kelompok pasien tersebut (69,3% vs 56%; P = 0,47) dan parameter-parameter keluaran (outcome) lainnya. Dalam studi ini tidak dijumpai perbedaan terkait berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan kedua obat tersebut dalam 2 kelompok pasien diatas (68% vs 81%); meskipun demikian, terjadinya kerontokan rambut, ketidakteraturan siklus menstruasi, polycystic ovary syndrome (PCOS), dan pertambahan berat badan lebih umum dijumpai pada kelompok DVA-ER.Kesimpulan Pada periode 3 bulan, penggunaan divalproate extended release (DVA-ER) bersifat lebih efektif dibandingkan amitryptiline (AMT); meskipun demikian, pada periode 6 bulan selanjutnya, keduanya sama-sama bersifat efektif untuk digunakan sebagai profilaksis migrain.Kata kunci: migrain; divalproate; amitriptyline; antiepileptik; natrium valproate; antidepresan trisiklik; randomized controlled trial; profilaksisPendahuluanNyeri kepala merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang paling umum dan diderita oleh banyak orang, dimana penderitanya sendiri melebihi jumlah pasien-pasien asma ditambahkan dengan jumlah pasien-pasien diabetes mellitus (1, 2). Nyeri kepala yang dialami dapat menyebabkan terjadinya disabilitas (gangguan) derajat sedang/moderat) hingga berat pada > 50% penderitanya (3). Sebagaimana yang diungkapkan oleh World Health Organization (WHO), migrain menjadi salah satu gangguan kesehatan yang paling menyusahkan penderitanya dan apabila terjadi secara berkelanjutan, migrain dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, bahkan hingga mencapai derajat kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan yang dimiliki oleh pasien-pasien diabetes, penyakit jantung, dan depresi (4-6). Migrain bukan hanya sekadar merupakan gangguan kesehatan yang bersifat periodik saja, sehingga dalam manajemennya perlu diperhatikan aspek terapi profilaksis yang memiliki tujuan untuk mencegah atau mengurangi frekuensi serangan akut yang dialami dan memperbaiki fungsi diri pasien melalui perbaikan disabilitas yang dialami. Untuk profilaksis migrain, terdapat beberapa obat yang berasal dari kelas yang berbeda yang telah digunakan, diantaranya berupa agen-agen antidepresan (amitriptyline, fluoxetine, dan venlaflexine), antiepileptik (valproate, divalproate, dan topiramate), dan penyekat adrenergik-beta/beta-adrenergic blockers (propranolol, atenolol, dan metoprolol), dan calcium channel blocker (flunarizine).Amitriptyline (AMT) untuk pertamakalinya digunakan dalam manajemen migrain pada tahun 1964, dan pada sebuah studi yang melibatkan sebanyak 27 pasien, pemberian AMT yang dilakukan menghasilkan terjadinya perbaikan kondisi yang signifikan pada 56% pasien (7). Pemberian AMT juga diketahui bersifat superior dibandingkan dengan pemberian plasebo saja dalam mereduksi frekuensi terjadinya nyeri kepala (55% vs 34%) (8). Dalam sebuah randomized controlled trial (RCT) yang dilakukan, AMT berkontribusi dalam terjadinya perbaikan yang signifikan berupa berkurangnya frekuensi nyeri kepala dalam periode 8 dan 16 minggu pemberian dibandingkan dengan pemberian plasebo bagi pasien-pasien yang menderita nyeri kepala kronis harian (chronic daily headache) (9). Dalam sebuah RCT terkini, diketahui bahwa pemberian AMT memiliki efektifitas yang sama dengan pemberian topiramate (10). Sejak tahun 2005, terdapat sebuah rekomendasi yang menyarankan pemberian divalproate lepas lambat (divalproate extended release; DVA-ER) sebagai salah satu modalitas profilaksis migrain, dan efikasi pemberiannya dilaporkan ditemukan pada 45-75% populasi pasien 911). Dalam sebuah analisis retrospektif yang melibatkan 642 pasien yang memperoleh pemberian natrium valproate (sodium valproate; SVA), ditemukan terjadinya perbaikan pada 65% pasien, tanpa mempedulikan usia, jenis kelamin, dan durasi pemberian (12). Mayoritas studi-studi terkait pemberian DVA/SVA yang dilakukan umumnya berupa perbandingan efikasi DVA/SVA dengan plasebo saja (randomized placebo-controlled study). Hanya terdapat sedikit studi yang membandingkan efikasi pemberian DVA/SVA dengan agen-agen profilaksis migrain lainnya. Dalam sebuah studi yang dilakukan, dinyatakan bahwa pemberian SVA menyebabkan terjadinya perbaikan migrain yang dialami pada 71% pasien, sementara pemberian flunarizine hanya pada 65% pasien saja (13). Natrium valproate dan topiramate ditemukan memiliki efektifitas yang relatif serupa dalam mereduksi jumlah total hari dengan nyeri kepala yang dialami (14). Baik DVA maupun AMT memiliki rekomendasi kelas 1 (class 1 recommendation) terkait penggunaannya sebagai agen profilaksis migrain. Meskipun demikian, tidak terdapat satupun studi yang membandingkan efikasi dan tolerabilitas relatif dari DVA dan AMT. Menyikapi hal tersebut, dalam studi ini, kami melaporkan efikasi dan tolerabilitas DVA-ER vs AMT dalam penggunaannya sebagai agen-agen profilaksis migrain.Material dan MetodeDesain StudiStudi ini merupakan studi prospektif yang dilakukan di sebuah pusat riset tunggal dan menggunakan randomized controlled open-labelled design dan memiliki tujuan untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan penggunaan DVA-ER dan AMT. Studi ini dilakukan di sebuah Rumah Sakit Pendidikan tersier dan pasien-pasien yang terlibat didalamnya diperoleh dari pasien-pasien rawat jalan dari bagian Neurologi. Protokol studi dirancang oleh peneliti ke-1 dan ke-3. Trial ini memang tidak terregistrasi; meskipun demikian, pelaksanaannya telah disetujui oleh the Institute Ethics Committee. Seluruh pasien yang terlibat telah memberikan persetujuan (informed consent) untuk disertakan dalam studi ini. Ukuran sampel yang digunakan diperoleh dengan menggunakan metode Z-test of proportion dengan tetap memperhatikan agar type 1 error a = 0,05 dan type II error b = 0,1. Dalam setiap kelompok perlakuan terdapat sebanyak 150 pasienPemilihan dan Evaluasi Pasien Kriteria Inklusi - Pasien-pasien yang disertakan dalam studi ini adalah pasien-pasien migrain yang berusia 15-60 tahun yang mengalami lebih dari 4 kali serangan migrain derajat sedang hingga berat. Diagnosis migrain ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria diagnosis yang terdapat dalam International Headache Society Criteria (15).Kriteria Eksklusi - Pasien-pasien berikut adalah pasien yang dieksklusikan, yakni pasien-pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu, hipertensi berat, penyakit arteri koroner, sedang hamil, memiliki riwayat ketidateraturan siklus menstruasi, disfungsi hepar atau ren, menderita PCOS, penyakit sistemik atau psikiatrik, malignansi, glaukoma, disotonomia, dan yang tak bersedia menjalani protokol studi.Evaluasi Klinis Dalam pelaksanaan studi, diperlukan keberadaan riwayat medis berupa durasi migrain yang dialami, distribusi, frekuensi, dan berbagai faktor yang memicu terjadinya serangan migrain, riwayat penyakit keluarga terkait nyeri kepala, diabetes, hipertensi, dan penyakit-penyakit lainnya. Derajat keparahan nyeri kepala yang dialami dinilai pada skala 0-3 (0 = tidak nyeri kepala, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat). Disabilitas fungsional yang dialami dinilai dalam skala 0-4 (0 = tidak mengalami disabilitas fungsional, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = gangguan berat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, 4 = ketidakmampuan untuk melakukan kegaiatan sehari-hari dan memerlukan tirah baring). Derajat keparahan dari sejumlah gejala terkait, seperti mual, muntah, fotofobia, dan fonofobia dinilai dalam skala 0-3 (0 = tidak terdapat gejala-gejala terkait, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat). Pada setiap pasien dilakukan pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis. Semua pasien diminta untuk membuat catatan/diari terkait nyeri kepala yang dialami selama 1 bulan sebelum dilakukannya randomisasi dan selama periode berlangsungnya studiInvestigasi Pada setiap pasien dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, hemoglobin, laju endap eritrosit (ESR), urinalisis, GDP dan GDPP, kreatinin serum, elektrolit, bilirubin, enzim-enzim transaminase, dan kadar kalsium. Selain itu dilakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan USG abdominal bagi pasien-pasien wanita yang mengalami ketidakteraturan siklus menstruasi.Randomisasi dan Perlakuan Pasien-pasien tersebut selanjutnya dirandomisasikan/dimasukkan ke dalam kelompok AMT atau DVA-ER secara random dengan menggunakan teknologi berupa computer-generated random table numbers. Randomisasi, perlakuan, dan investigasi terhadap pasien-pasien tersebut dilakukan oleh sejumlah investigator yang berbeda. Dalam pelaksanaan studi identitas obat yang diberikan sengaja tidak diberitahukan. Amitriptyline diberikan dalam sebuah dosis tunggal sebanyak 12,5 mg per oral selama durasi 2 minggu, selanjutnya dapat diberikan dosis harian sebanyak 25 mg, yang dapat dinaikkan hingga mencapai 50 mg apabila diperlukan, bergantung terhadap respons dan tolerabilitas pasien. Divalproate lepas lambat diberikan dalam sebuah dosis tunggal sebanyak 250 mg per oral selama durasi 2 minggu, selanjutnya diikuti pemberian dosis harian sebanyak 500 mg dan dapat ditingkatkan hingga mencapai 1000 mg apabila diperlukan, bergantung terhadap respons dan tolerabilitas pasien. Sebagai rescue medication, dipersiapkan sediaan berupa ibuprofen 400 mg. Pasien-pasien tersebut diminta untuk melapor kepada peneliti apabila mengalami sejumlah efek samping tertentu.Follow-up Selanjutnya, pada 3 dan 6 bulan paska studi, dilakukan follow-up dan pencatatan dan penilaian terkait frekuensi nyeri kepala yang dialami, derajat keparahannya, disabilitas fungsional yang dialami, jumlah rescue medication yang dikonsumsi, perbaikan secara keseluruhan dalam skala visual analogue scale (VAS).Outcome Beberapa parameter outcome primer yang digunakan adalah (i) reduksi frekuensi terjadinya nyeri kepala yang dialami hingga >50%, (ii) perbaikan dari nyeri kepala yang dialami secara keseluruhan yang dilihat dalam skor VAS hingga >50%, dan (iii) reduksi derajat keparahan nyeri kepala yang dialami, setidaknya sebesar 1 satuan skala. Parameter-parameter outcome sekunder diantaranya (i) perbaikan dari disabilitas fungsional yang dialami, setidaknya sebesar 1 satuan skala, (ii) reduksi dari jumlah rescue medication yang digunakan, dan (iii) terjadinya sejumlah efek samping tertentu.Analisis Statistik Berbagai parameter demografik, klinis, dan laborat dari kelompok AMT dan DVA-ER yang telah diperoleh, selanjutnya dibandingkan dengan menggunakan berbagai uji parametrik maupun non-parametrik. Derajat keparahan dan frekuensi nyeri kepala yang terjadi, jumlah rescue medication yang dikonsumsi, dan disabilitas fungsional yang teramati pada periode 3 dan 6 bulan paska pemberian terapi (baseline) dibandingkan dengan menggunakan uji analysis of variance (ANOVA). Jumlah pasien yang tercatat sesuai parameter outcome primer dan sekunder yang dinilai pada 3 dan 6 bulan dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square dengan menggunakan koreksi Yates. Selain itu, juga dilakukan intention to treat analysis (ITT) untuk data-data terkait parameter-parameter outcome primer dan sekunder. Variabel-variabel dipertimbangkan bersifat signifikan apabila memiliki two-tailed P-value < 0,05. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows, version 12 (SPSS Inc., Chicago, Illinois, USA) dan GraphPad Prism for windows, Version 3 (GraphPad software Inc., Sandiego, California, USA).HasilRekrutmen PasienSelama periode berlangsungnya studi, terdapat sebanyak 360 pasien yang mengalami migrain >4 kali serangan per bulan yang menjalani skrining. Sebanyak 60 pasien dieksklusikan karena pada 14 pasien diketahui menderita nyeri kepala yang dihubungkan dengan tension-type headache (TTH), 8 pasien menderita gangguan fungsi hepar dan ren, 6 pasien menderita penyakit jaringan ikat, 4 pasien sedang hamil atau menyusui, 3 pasien menderita penyakit arteri koroner, 2 pasien mengalami pembesaran prostat, 2 pasien mengalami depresi mayor, 1 pasien menderita glaukoma sudut tertutup yang akut, dan ketiadaan persetujuan (informed consent) pada 20 pasien lainnya (Gambar 1). Sehingga, dalam studi ini diperoleh sebanyak 300 pasien yang menderita migrain yang berusia 15-60 tahun (median usia = 32 tahun) dan sebanyak 241 pasien diantaranya berjenis kelamin wanita. Median dari durasi migrain yang dialami adalah 5 tahun (6 bulan hingga 40 tahun). Riwayat penyakit keluarga berupa kejadian nyeri kepala yang di derita oleh anggota keluarga lini pertama ditemukan pada 86 pasien. Keseluruhan pasien mengeluhkan mengalami nyeri kepala derajat sedang hingga berat. Median dari frekuensi nyeri kepala yang dialami adalah sebanyak 6 kali per bulan. Sebagian besar pasien mengalami migrain yang tidak disertai dengan aura, kecuali pada 19 pasien yang mengalami migrain dengan aura. Median dari derajat keparahan nyeri kepala yang dialami adalah 2,91 (berkisar antara 2-3), dan median dari disabilitas fungsional yang dialami adalah 3. DVA-ER dan AMT masing-masing diberikan pada 150 pasien. Tidak ditemukan terdapatnya perbedaan yang signifikan antara berbagai fitur demografis dan klinis dari pasien-pasien yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut (Tabel I).OutcomeOutcome Primer Keseluruhan parameter-parameter outcome primer maupun sekunder menunjukkan tercapainya perbaikan yang signifikan pada periode 3 dan 6 bulan paska pemberian terapi dibandingkan dengan baseline, baik pada kelompok DVA-ER maupun AMT. Meskipun demikian tidak dijumpai terdapatnya perubahan yang signifikan terkait aspek frekuensi terjadinya nyeri kepala dan jumlah rescue medication yang dikonsumsi pada periode 6 bulan dibandingkan dengan periode 3 bulan pada kelompok DVA-ER (Gambar 2 dan 3). Dalam perbandingan efikasi AMT dan DVA-ER pada periode 3 bulan, ditemukan terjadinya perbaikan yang lebih signifikan terkait frekuensi terjadinya nyeri kepala di kelompok DVA-ER dibandingkan dengan yang dijumpai pada kelompok AMT (P = 0,02). Dalam kelompok DVA-ER group, terdapat sebanyak 112 pasien (74,7%) yang mengalami perbaikan kondisi, yakni berupa penurunan frekuensi terjadinya nyeri kepala, sedangkan di kelompok AMT terdapat 93 pasien (62%) yang mengalami perbaikan kondisi. Meskipun demikian, pada periode 6 bulan, tidak ditemukan terdapatnya perbedaan yang signifikan dari respons terapi yang dijumpai pada kelompok DVA-ER dengan AMT (65,3% vs 54%, P = 0,90). Dalam kelompok DVA-ER, pada periode 3 bulan terdapat 1 pasien dan 6 bulan terdapat 9 pasien yang tidak mengalami nyeri kepala lagi, sedangkan dalam kelompok AMT, pada periode 3 bulan terdapat 2 pasien dan 6 bulan terdapat 9 pasien yang tidak mengalami nyeri kepala lagi. Baik dalam kelompok DVA-ER amupun AMT, dijumpai terjadinya penurunan derajat nyeri kepala pada periode 3 dan 6 bulan dibandingkan dengan baseline, meskipun demikian tidak dijumpai terdapatnya perbedaan yang signifikan antara kelompok DVA-ER dengan AMT pada periode 3 bulan (P = 0,09) dan juga pada periode 6 bulan as well (P = 0,05). Terdapat sebanyak 138 (92%) pasien dalam kelompok DVA-ER merasakan perbaikan pada periode 3 bulan dan 102 (68,0%) pada periode 6 bulan, sedangkan dalam kelompok AMT, terdapat 131 (87,3%) pasien yang merasakan terjadinya perbaikan pada periode 3 bulan dan 78 (52%) pasien pada periode 6 bulan. Pada skor VAS yang dinilai, dalam kelompok DVA-ER, terdapat 121 (80,7%) pasien yang mengalami berlangsungnya perbaikan kondisi hingga > 50% pada periode 3 bulan dan 104 (69,3%) pasien pada periode 6 bulan. Detail terkait temuan-temuan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.Selain itu, juga dijumpai terjadinya perbaikan parameter-parameter sekunder dalam kedua kelompok ketika dibandingkan dengan baseline, meskipun tidak dijumpai terdapatnya perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut. Rincian mengenai respons terkait disabilitas fungsional, jumlah rescue medication yang dikonsumsi, dan berbagai efek samping yang terjadi tercantum dalam Tabel 2 dan 3. Dalam penghitungan subanalysis intention to treat analysis (ITT) yang digunakan untuk menentukan jumlah hari migrain (jumlah kumulatif hari dimana pasien mengalami migrain) pasien-pasien yang mengalami migrain < 10 kali dan > 10 kali per bulannya, pada kelompok DVA-ER ditemukan terdapatnya perbaikan yang signifikan terkait skor VAS pada periode 3 bulan (80% vs 62,7%, P = 0,001) maupun pada periode 6 bulan (69,3% vs 56%, P = 0,02) ketika dibandingkan dengan kelompok AMT. Meskipun demikian, tidak ditemukan terdapatnya perbedaan yang signifikan terkait respons dari berbagai parameter outcome lainnya. Tidak ditemukan terdapatnya perbedaan efek pemberian AMT yang signifikan ketika diberikan pada pasien-pasien yang mengalami migrain < 10 kali per bulan dengan pasien-pasien yang mengalami migrain > 10 kali per bulan pada periode 3 bulan (68,4% vs 63,2%, P = 0,52) dan 6 bulan (66,7% vs 52,9%, P = 0,10).Efek Samping Pada periode 3 bulan, sebanyak 38 pasien dalam kelompok DVA-ER dan 81 pasien dalam kelompok AMT mengeluhkan terjadinya sejumlah efek samping (P = 0,16). Mayoritas efek samping yang dikeluhkan terjadi dalam derajat yang relatif ringan: pemberian DVA-ER dihentikan pada 6 pasien dan pemberian AMT dihentikan pada 4 pasien karena efek samping yang dialami. Mengantuk dan mulut terasa kering merupakan efek samping yang lebih umum dijumpai terjadi sebagai akibat pemberian AMT, sedangkan kerontokan rambut, ketidakteraturan menstruasi, gejala gastrointestinal, pertambahan berat badan, dan polycystic ovarian syndrome (PCOS) lebih sering dijumpai pada kelompok DVA-ER. Pertambahan berat badan (66 vs 27, P = 0,001) dan PCOS (6 vs 0, P = 0,03) cenderung bersifat signifikan ditemukan terjadi pada periode 6 bulan paska studi dibandingkan dengan pada periode 3 bulan paska studi. Sejumlah efek samping yang terjadi terangkum dalam Tabel 3.DiskusiDalam studi menganai profilaksis migrain berikut, baik pada kelompok DVA-ER maupun AMT dijumpai terjadinya perbaikan yang signifikan pada seluruh parameter-parameter outcome saat periode 3 bulan dan 6 bulan paska studi apabila dibandingkan dengan baseline. Pada periode 3 bulan, pemberian DVA-ER dapat mereduksi frekuensi nyeri kepala yang terjadi (74,7% vs 62%) dan dijumpai terjadinya peningkatan skor VAS (80,7% vs 64%) dengan lebih signifikan dibandingkan dengan AMT. Meskipun demikian, pada periode 6 bulan, tidak ditemukan terdapatnya perbedaan respons yang signifikan diantara keduanya. Sejauh ini, belum terdapat literatur dan studi yang membandingkan efikasi pemberian DVA-ER dengan AMT sebagai profilaksis migrain. Efikasi pemberian DVA/SVA yang terlaporkan diketahui berada dalam kisaran 45% dan 86,2% (11, 1323). Berbagai studi tersebut kebanyakan hanya membandingkan efikasi pemberian DVA/SVA dengan pemberian plasebo saja. Hanya terdapat sejumlah studi yang membandingkan pemberian DVA dengan pemberian topiramate (14, 23). Sebagian besar dari studi-studi tersebut hanya menggunakan frekuensi terjadinya nyeri kepala sebagai parameter outcome primer, kecuali pada 2 studi; satu studi membandingkan durasi, frekuensi, dan derajat keparahan migrain (16), dan sebuah studi lainnya membandingkan derajat keparahan, general pain VAS score, dan frekuensi terjadinya nyeri kepala (18). Sebagai tambahan, selain aspek frekuensi terjadinya nyeri kepala, kami juga menyertakan aspek derajat keparahan nyeri kepala, perbaikan nyeri kepala secara keseluruhan (overall improvement in headache), disabilitas fungsional, dan jumlah rescue medication yang dikonsumsi, sehingga dapat dikatakan bahwa studi yang kami lakukan bersifat sebagai evaluasi yang lebih komprehensif.Superioritas DVA-ER atas AMT pada periode 3 bulan nyatanya tidak dapat bertahan hingga periode 6 bulan. Paska 6 bulan, efikasi pemberian DVA-ER dan AMT berupa reduksi frekuensi terjadinya nyeri kepala hingga 50% relatif sama. Hal tersebut diperkirakan dirasakannya kerja/respons atas pemberian DVA-ER yang lebih cepat dan respons atas pemberian ATM yang relatif lebih lambat dan memiliki durasi yang lebih lama (tahan lama). Sebagian besar dari studi-studi sebelumnya mengevaluasi dan menyatakan bahwa respons tersebut berlangsung antara 4-12 minggu (8, 24). Pemberian natrium valproate sebesar 900-1200 mg per intravena juga digunakan sebagai modalitas terapi abortif pada 36 pasien yang menderita migrain derajat berat. Penggunaan agen tersebut memberikan hasil berupa reduksi nyeri kepala pada 75% pasien yang efeknya segera muncul hanya dalam 1 jam paska pemberian dan tanpa disertai dengan munculnya efek samping (25). Dalam sebuah studi terkini yang melibatkan sebanyak 331 pasien migrain, dilakukan perbandingan antara efikasi dan tolerabilitas topiramate dan AMT. Dari studi tersebut diketahui bahwa tidak ditemukan terdapatnya perbedaan yang signifikan atas rerata jumlah kejadian serangan migrain per bulannya dalam kedua kelompok tersebut. Selain itu juga tidak ditemukan perbedaan terkait beberapa parameter outcome sekunder, seperti derajat keparahan gejala-gejala terkait migrain, rerata jumlah hari dengan migrain per bulannya, dan jumlah total hari dengan nyeri kepala antara kelompok topiramate dengan AMT. Meskipun demikian, pasien-pasien yang berada dalam kelompok topiramate mengalami perbaikan yang lebih signifikan dalam aspek disabilitas fungsional dan penurunan berat badan dibandingkan dengan pasien-pasien yang berada dalam kelompok AMT (10). Dalam studi ini, amitriptyline yang diberikan dititrasi hingga mencapai dosis 100 mg; dimana dosis ini berada dalam kisaran 2 kali lipat dibandingkan dosis pembanding yang kami gunakan dalam studi kami. Terdapat sebuah trial berskala besar mengenai AMT yang dilakukan pada tahun 1976-1979 (8). Dimana, laporan dari trial tersebut tidak kunjung dipublikasikan akibat hilangnya loss of patent protection yang terjadi pada tahun 1980, dan dilakukan reanalisis dan data yang diperoleh diterbitkan kembali pada tahun 2011 (9). Sejauh ini tidak terdapat satupun studi mengenai pemberian AMT dalam dosis yang lebih rendah yang dilakukan dalam skala besar. Bahakan dengan pemberian AMT dalam dosis yang lebih kecil sekalipun yang kami lakukan dalam studi kami, terdapat 81 pasien yang mengeluhkan berlangsungnya efek samping, yang memaksa dilakukannya penghentian pemberian AMT pada 4 pasien. Meskipun demikian, perbaikan berbagai parameter nyeri kepala dalam studi kami masih dapat dibandingkan dengan hasil-hasil dari beberapa studi lain yang menggunakan AMT dalam dosis yang lebih besar. Efikasi penggunaan AMT yang diberikan dalam dosis yang lebih kecil dalam studi kami diperkirakan akibat konfigurasi tubuh pasien-pasien yang kami gunakan yang lebih kecil (kebanyakan merupakan keturunan India), laju metabolisme yang berbeda dan tatanan genetik yang berbeda pula.Dalam sebuah studi, penggunaan AMT dilaporkan dapat mereduksi frekuensi terjadinya migrain hingga 42% dalam periode 8 minggu, 47% dalam periode 12 minggu, 48% dalam periode 16 minggu, dan 51% dalam periode 20 minggu, dimana temuan tersebut menunjukkan terjadinya respons/perbaikan yang progresif. Perbaikan terhadap derajat keparahan dan berkurangnya durasi migrain dapat bertahan dalam wkatu yang relatif lama, dimana dilaporkan bahwa respons maksimum tercapai dalam periode 3 bulan (9). Meskipun demikian, dalam studi kami, perbaikan terkait aspek frekuensi dan derajat keparahan nyeri kepala yang terjadi, skor VAS, dan disabilitas fungsional terhitung relatif lebih signifikan pada periode 6 bulan apabila dibandingkan dengan yang dijumpai pada periode 3 bulan, dimana hal tersebut mengkonfirmasi berlangsungnya perbaikan yang berkelanjutan (ongoing improvement).Agen-agen antidepresan trisiklik (tricyclic antidepressants; TCAs) meningkatkan keberadaan reseptor GABA-B (GABA-B receptor), menekan keberadaan reseptor histamin, dan dapat mereduksi sensitivitas neuronal terhadap substansi P (substance-P). TCA tersebut juga dapat berinteraksi dengan sistem adenosin endogen dalam SSP melalui penghambatan neurogenic uptake adenosine dan meningkatkan aksi adenosine. Kelimpahan adenosin dan reseptor-reseptor adenosin turut berkontribusi dalam berlangsungnya antinosisepsi (26). Terdapat sejumlah mekanisme aksi SVA dalam profilaksis migrain, diantaranya berupa memfasilitasi neurotransmisi GABA-ergik (facilitation of GABA-ergic neurotransmission), menurunkan aktivitas sel-sel serotonergik, dan mereduksi inflamasi neurogenik yang terjadi. Sedangkan, SVA/DVA bekerja baik pada stimulus maupun pada lokasi nyeri yang menyebabkan terjadinya reduksi inflamasi neurogenik (27). Meskipun efek samping kumulatif yang dialami oleh pasien-pasien yang menerima pemberian DVA-ER dan yang memperoleh pemberian AMT tidak jauh berbeda, tetapi efek samping antikolinergik dan sedasi lebih umum dijumpai terjadi pada pasien-pasien yang memperoleh AMT, dan kerontokan rambut, ketidakteraturan menstruasi, dan PCOS umum ditemukan terjadi pada kelompok DVA-ER. Dalam sebuah studi yang melibatkan sebanyak 194 pasien yang menderita migrain yang memperoleh AMT; efek samping yang dirasakan oleh pasien-pasien tersebut berupa mulut terasa kering pada 68 pasien, konstipasi pada 23 pasien, retensi urin pada 6 pasien, pusing pada 21 pasien, dan somnolen pada 53 pasien dimana berbagai efek samping tersebut bersifat signifikan apabila dibandingkan dengan pasien-pasien yang hanya memperoleh plasebo saja. Setidaknya terdapat satu efek samping yang dirasakan oleh 111 pasien yang memperoleh AMT dan 53 pasien yang berada dalam kelompok plasebo (9). Dalam sebuah studi mengenai DVA pada kasus-kasus nyeri kepala kronik yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, ditemukan keluhan terjadinya efek samping pada 35% pasien. Pertambahan berat badan diketahui terjadi pada 7,1% pasien. Tidak terdapat pasien yang menderita efek samping yang berat, sehingga harus dilakukan penghentian pemberian obat (12). Dalam sebuah studi lainnya, tidak ditemukan terdapatnya perbedaan yang signifikan terkait efek samping yang terjadi antara kelompok DVA dengan plasebo (17). Efek samping yang umum terjadi yang seringkali mengakibatkan harus dihentikannya pemberian obat adalah anoreksia, mual, dan gangguan atensi (22). Frekuensi berlangsungnya efek samping yang lebih banyak dialami oleh pasien-pasien wanita dalam studi kami diperkirakan disebabkan oleh kerentanan yang lebih besar dan monitoring yang lebih ketat, dan tidak disertakannya gambaran USG pelvis.Dalam studi kami, kami tidak menyertakan penggunaan plasebo. Meskipun sebenarnya, efek plasebo dilaporkan memiliki proporsi peranan yang patut diperhitungkan, baik dalam modalitas terapi abortif maupun profilaksis migrain. Dalam sebuah meta-analisis terhadap 22 placebo-controlled trials, persentase pasien yang memberikan respons terhadap plasebo/placebo responders (perbaikan kondisi > 50%) adalah 23,5% 8,0% (28). Respons tersebut tampak lebih kentara dalam studi-studi yang menggunakan invasive placebo treatment (29). Analisis terhadap data yang diperoleh dari 2 randomized placebo-controlled trial yang meneliti penggunaan abotulinum toxin A menunjukkan ditemukannya plasebo efek yang terjadi pada 35,1% pasien dalam kurun waktu 24 minggu (30). Tujuan dari studi kami adalah membandingkan efikasi dan tolerabilitas dari 2 obat yang telah memiliki rekomendasi kelas I untuk profilaksis migrain. Dosis AMT yang kami gunakan dalam studi kami relatif berada dalam dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan yang digunakan dalam berbagai studi yang terlaporkan; meskipun diberikan dalam dosis yang relatif lebih rendah, efikasi AMT tetap dapat dibandingkan dengan efikasi DVA pada periode 6 bulan paska pelaksanaan studi.Sebagai ikhtisar, dapat disimpulkan bahwa dari studi kelas I ini, pemberian DVA-ER bersifat lebih efektif pada periode 3 bulan apabila dibandingkan dengan pemberian AMT, meskipun pada periode 6 bulan, efektivitas pemberian AMT relatif sama dan tampaknya lebih aman dan cocok untuk diberikan untuk/diminati oleh pasien-pasien wanita.

Tabel 1. Bagan pelaksanaan studi