1 pe garuh ki erja li gku ga hidup perusahaa serta sistem ma ajeme
Post on 14-Jan-2017
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PE�GARUH KI�ERJA LI�GKU�GA� HIDUP PERUSAHAA�
SERTA SISTEM MA�AJEME� LI�GKU�GA� HIDUP PERUSAHAA�
TERHADAP KI�ERJA KEUA�GA� PERUSAHAA�
PE�DAHULUA�
Dewasa ini, semakin nyata adanya permintaan bagi perusahaan untuk memperlihatkan
tidak hanya pencapaian di bidang kinerja keuangan (Financial Performance) namun juga kinerja
sosialnya (Social performance) sebagai cerminan dari tanggung jawab sosial perusahaan
(Corporate Social responsibility). Hal ini dikarenakan falsafah tanggung jawab sosial perusahaan
dan kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable development) adalah dua
hal yang semakin umum dalam dunia bisnis saat ini.
Menurut Wood (1991) salah satu aspek penting dalam kinerja social perusahaan adalah
kinerja lingkungan hidup perusahaan. Hal ini pun ternyata dirasakan oleh para pebisnis, di
Amerika semakin banyak pebisnis yang beranggapan bahwa menjalankan bisnis dengan
menekankan pada aspek kinerja lingkungan (going green) akan berpengaruh secara positip
terhadap kinerja keuangannya (Starovic, 2004; dan Steiner, 2002).
Hubungan mengenai kinerja sosial (termasuk didalamnya kinerja lingkungan hidup)
merupakan isu yang menarik dalam penelitian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dan
pembangunan keberlanjutan. Karena hingga sejauh ini hasil-hasil penelitian di bidang ini
memperlihatkan hasil yang beragam (Al Tuwaijri, 2004). Beberapa penelitian memperlihatkan
adanya hubungan negatif, sementara sebagian lainnya memperlihatkan hubungan positip.
Bahkan ada pula hasil penelitian yang memperlihatkan hasil yang netral.
2
Di Indonesia sendiri konsep kinerja lingkungan adalah sesuatu yang masih belum begitu
dianggap umum di Indonesia. Bahkan belum ada suatu keharusanpun bagi para perusahaan untuk
mencantumkan informasi-informasi mengenai lingkungan hidup didalam laporan keuangannya.
Semuanya masih sebatas anjuran. Namun, dengan arus informasi yang saat ini makin tiada batas,
menyebabkan isu-isu lingkungan hidup terkini di belahan dunia manapun dapat dengan cepat
diserap dan disuarakan di dalam lingkup nasional. Pada beberapa kebijakan pemerintah mulai
terlihat jelas adanya keberpihakan terhadap isu-isu lingkungan, misal dengan dikeluarkannya
program PROPER sejak tahun 2002 serta adanya peraturan BI no 7/2005 atas perlunya kinerja
lingkungan dalam penelaahan persetujuan kredit. Bahkan sejak lima tahun belakangan ini
pemberitaan pers mengenai isu-isu kerusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan mulai
marak dan terbuka.
Khusus mengenai PROPER, sejak tahun 2002 kementrian negara lingkungan hidup
bekerja sama dengan Bapedal dan instansi terkait lainnya mencanangkan program PROPER
(Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup)
berdasarkan UU No. 3/1997 dan KepMen 127/MENLH/2002. PROPER dikondisikan sebagai
reputation award dan merupakan perwujudan transparansi dan public partisipasi dalam
pengelolaam lingkungan. Program ini melakukan pemeringkatan perusahaan dari yang terbaik
sampai yang terburuk dalam hal ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Perusahaan yang
dimasukkan dalam kegiatan pemeringkatan ini meliputi perusahaan BUMN, PMA dan PMDN,
yang termasuk dalam sektor industri manufaktur, prasarana dan jasa, sektor pertambangan,
energi dan migas serta sektor pertanian dan kehutanan. Terdapat lima kategorisasi yang
tercermin dalam peringkat warna yaitu kategori EMAS, HIJAU, BIRU, MERAH dan HITAM.
3
Dimana warna EMAS mencerminkan peringkat terbaik (insentif reputasi tertinggi), sementara
HITAM mencerminkan peringkat terburuk (disinsentif reputasi tertinggi).
Sejauh ini program PROPER telah dilakukan sebanyak 3 kali (2002—2003, 2003-2004
serta 2004-2005). Dengan jumlah peserta yang makin meningkat setiap tahun penilaiannya (85,
251 serta 466 perusahaan untuk setiap tahun penilaian secara berturutan). PROPER dianggap
cukup berhasil dalam meningkatkan jumlah ketaatan perusahaan, hal ini dibuktikan dengan
meningkatnya jumlah ketaatan sebesar 13.15% dari tahun 2003-2004 ke tahun 2004-2005
(Rasudin, 2005). Bahkan program ini juga diadopsi oleh beberapa negara seperti Filipina,
Kolombia, Mexico, Cina dan India (Siaran Pers KLH, 2004).
Sungguhpun program ini terlihat begitu menarik dan menjanjikan, namun dalam setiap
tahun penilaian kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia umumnya berada dalam tataran biru,
merah dan hitam. Jumlah perusahaan dikategori peringkat hijau senantiasa berkisar kurang dari
5%, bahkan tidak pernah ada perusahaan yang mencapai peringkat emas. Selain itu tidak ada
satupun sanksi hukum pun bagi perusahaan di kategori merah dan hitam. Sanksi yang
diberlakukan lebih kepada sanksi sosial, yaitu reputasi di mata masyarakat.
Walaupun pemerintah mulai tahun 2005 melalui peraturan BI no 7/2005 mewajibkan
perlunya kinerja lingkungan dalam penelaahan persetujuan kredit (perusahaan tidak akan
mendapat akses kredit jika mendapat rating merah atau hitam). Namun sepertinya hal tersebut
belum banyak membantu peningkatan jumlah perusahaan yang berada di rating hijau. Ini berarti
perusahaan di indonesia cenderung bersikap sekedarnya ketimbang memperlihatkan kinerja
lingkungan yang baik. Kemungkinan hal ini terjadi karena belum banyaknya bukti empiris yang
memperlihatkan keterkaitan kinerja PROPER dengan kinerja keuangan perusahaan. Mengingat
sifat pengusaha yang senantiasa mempertimbangkan manfaat dan biaya dalam mengambil
4
keputusan (enlightment self-interest theory), amat penting untuk melihat ada tidaknya keterkaitan
antara keduanya. Dengan mendapatkan bukti empiris, maka akan memberikan keyakinan bagi
kalangan bisnis mengenai efektivitas kinerja lingkungan dalam suatu perusahaan.
Penelitian ini mencoba mengisi kekosongan atas bukti-bukti empiris di Indonesia dalam
hal tanggung jawab sosial – lingkungan hidup, yaitu dengan mencoba melihat hubungan antara
kinerja keuangan dan kinerja lingkungan berdasarkan peringkat PROPER atas perusahaan-
perusahaan di Indonesia. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat hubungan dan
bagaimana arah hubungan yang terjadi antara kinerja lingkungan terhadap kinerja keuangan dari
perusahaan-perusahaan PROPER di Indonesia. Dalam pengamatan juga dilihat interaksi antara
variable manajemen lingkungan hidup serta level pengungkapan informasi perusahaan.
LA�DASA� TEORI
Penelitian mengenai hubungan antara kinerja lingkungan dan kinerja keuangan umumnya
terkait dengan kerangka besar penelitian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan serta
bagaimana perusahaan melaporkan aktivitas tanggung jawab sosial tersebut dalam laporan
pengungkapan informasi lingkungannya. Adanya kepercayaan bahwa kinerja sosial
berhubungan dengan kinerja keuangan merupakan suatu hal yang ingin dibuktikan oleh banyak
peneliti di bidang ini.
Hasil berbagai penelitian yang melihat hubungan antara kinerja sosial perusahaan dengan
kinerja ekonomi perusahaan belum memiliki kesimpulan yang bulat. Ada peneliti yang
menemukan hubungan positif (Bowman dan Haire, 1975; Sturdivant dan Ginter, 1977, Waddock
dan Graves, 1991; Wu, 2006), ada yang menemukan hubungan negatif (Vance, 1975), namun
5
ada pula yang tidak menemukan hubungan signifikan antara kedua hal tersebut (Abott and
Monsen, 1979; Alexander and Buchholz, 1978; Aupperle et al., 1985).
Hubungan yang positif dapat diartikan bahwa aktivitas sosial perusahaan meningkatkan
reputasi perusahaan sebagai “good citizen” (Nikolai, Bazley, and Brummet, 1976, dalam Wu,
2006). Reputasi itu akan menguntungkan perusahaan dengan banyak cara, yang terkadang tidak
dapat diukur. Sehingga, biaya aktual dari aktivitas tanggung jawab sosial menjadi minimal
dengan hasil yang maksimal (Waddock dan Graves, 1997). Hubungan yang negatif
mengindikasikan bahwa biaya dari menyelenggarakan aktivitas tanggung jawab sosial
menempatkan perusahaan pada posisi yang tidak menguntungkan dibanding perusahaan lain
yang kurang bertanggung jawab secara sosial (Aupperle et al., 1985; Vance, 1975).
Hasil seperti ini telah diprediksi oleh Ullmann (1985), bahwa penelitian dibidang ini akan
memberikan hasil yang secara umum tidak seragam, meliputi hubungan antara kinerja
ekonomi/keuangan dan kinerja sosial, antara kinerja sosial dan pengungkapan informasi
lingkungan, serta antara pengungkapan informasi sosial dan kinerja keuangan. Hal ini terjadi
karena ketidakseragaman dalam pengambilan dan pengukuran variable dan sampel terkait serta
perbedaan metode dalam menganalisa sampel terkait.
Dalam lingkup kinerja lingkungan hidup sebagai bagian dari kinerja sosial, hasil–hasil
penelitian yang ada pun memberikan hasil yang beragam, walaupun umumnya memberikan hasil
yang positip (Al-Tuwaijri, 2004). Bahkan belum ada penelitian dibidang ini yang memberikan
hasil yang negatip secara signifikan. Keberagaman hasil ini umumnya dikarenakan ketidak
seragaman sebagaimana yang telah ditenggarai oleh Ullmann (1985) sebelumnya.
Pemilihan variabel proxy kinerja keuangan misalnya, bisa menggunakan variable
accounting based atau market based perfomance. Dimana masing-masingnya pun memiliki
6
beberapa variasi lebih lanjut. Kebanyakan peneliti yang menggunakan accounting based measure
menggunakan ROA atau ROE (misal Preston dan O’bannon, 1997), sementara harga saham atau
imbal hasil saham merupakan variabel yang sering dipakai pada market based measure (misal
Blacconiere dan patten, 1994).
Disisi lain variabel yang digunakan sebagai proxy kinerja lingkungan hidup pun tidak
seragam. Beberapa peneliti menggunakan hasil index yang dikeluarkan oleh lembaga independen
(misal Waddock dan Graves, 1997), tingkat pencemaran lingkungan perusahaan (misal
Rockness, Schlachter dan Rockness, 1986), rating reputasi kinerja lingkungan hidup (misal
Preston dan O’bannon, 1997), penghargaan yang diterima (misal Mcwilliam dan Siegel, 1997)
atau pengungkapan atas lingkungan hidup (misal Belkaoui, 1976).
Beberapa dari penelitian dalam hal kinerja lingkungan memperlihatkan hasil yang positip
dan siginifikan, misal pada penelitian Belkaoui, (1976) dan Blacconiere dan patten (1994).
Blacconiere dan patten (1994) meneliti reaksi pasar atas terjadinya bencana Union carbide dalam
bentuk imbal hasil saham. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pasar bereaksi negatip pada
seluruh industri yang sensitif terhadap isu ini. Namun perusahaan yang memberikan
pengungkapan lebih banyak dalam laporan keuangannya sebelum terjadinya bencana mendapat
efek negatif yang lebih kecil dibandingkan perusahaan yang mengungkapkan secara lebih
sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa investor memberikan sinyal positip atas kinerja
lingkungan hidup dan kebijakan manajemen lingkungan perusahaan yang terungkap pada
laporan keuangan perusahaan
Sebagian lainnya memberikan hasil yang non-signifikan, misal penelitian yang dilakukan
Ingram dan Frazier (1983) dan Freedman dan Jaggi (1982). Penelitian yang dilakuan Freedman
dan Jaggi (1992) mencoba melihat hubungan jangka panjang antara kinerja keuangan yang
7
diwakili oleh ratio keuangan (ROA, ROE) serta kinerja lingkungan hidup yang diwakili oleh 3
pengukuran polusi. Keduanya mencoba menguji apakah terdapat hubungan yang positip antara
keduanya. Hasil penelitiannya ternyata memperlihatkan tidak signifikannya hubungan antara
kinerja keuangan dan kinerja lingkungan hidup.
Penelitian di bidang ini ada pula yang memberikan hasil campuran (mixed result), misal
pada penelitian Rockness, Schlater dan Rockness (1986). Sayangnya, penelitian-penelitian
semacam itu hanya dilakukan di negara-negara barat yang notabene secara struktural dan sosial,
infrastruktur, masyarakat dan pasar sahamnya sudah amat matang dalam menyikapi pentingnya
kinerja lingkungan. Terkait dengan kondisi penelitian di Indonesia terhadap topik kinerja
lingkungan, umumnya penelitian yang ada masih berkisar pada trend pengungkapan informasi
sosial perusahaan di Indonesia (Utomo, 2000), hubungan antara pengungkapan informasi sosial
terhadap kinerja keuangan (Hartanti, 2003) serta hubungan antara pengungkapan informasi sosial
serta kaitannya dengan corporate governance (Veronika dan Bachtiar, 2006).
Satu penelitian terdahulu yang mencoba melihat kinerja lingkungan dan kinerja keuangan
di Indonesia telah dilakukan oleh Sarumpaet (2005). Dalam penelitian ini digunakan peringkat
PROPER 2002 sebagai proxy dari kinerja lingkungan dan ROA sebagai proxy dari kinerja
keuangan. Hasil yang didapat menunjukkan tidak signifikannya hubungan antara kinerja
keuangan (ROA) dengan kinerja lingkungan (peringkat PROPER).
HIPOTESA PE�ELITIA�
Dalam pendahuluan mengenai kinerja lingkungan dan kinerja keuangan oleh Sarumpaet
(2005), hubungan kinerja lingkungan dan kinerja keuangan adalah tidak signifikan. Sayangnya
masih banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kajian penelitian kinerja lingkungan hidup dan
8
keuangan yang belum terjawab. Misal, adakah hubungan kausalitas diantara keduanya? Adakah
pengaruh unsur manajemen lingkungan perusahaan serta tingkat pengungkapan (sebagaimana
yang dianjurkan oleh Ullman (1985) sebagai salah satu unsur yang mempengaruhi hubungan
antara keduanya)? Juga tidak diperhitungkannya beda waktu hasil antara kedua kinerja ini, yang
diyakini akan memberikan hasil yang lebih bermakna sebagaimana yang dilakukan dalam
penelitian Preston dan O Bannon (1997).
Preston dan O’Bannon (1997) melakukan penelitian terhadap 67 perusahaan dalam
periode 1982-1992 dalam melihat hubungan kinerja sosial dan kinerja keuangan. Mereka
membuat beberapa skenario: adanya hubungan kontemporer (tahun yang sama), hubungan lead
(kinerja keuangan mendahului kinerja sosial), dan hubungan lag (kinerja sosial mendahului
kinerja keuangan). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan model lead hasil yang didapat
lebih baik dibandingkan kontemporer ataupun lag.
Fenomena mengenai lead dan lag ini juga disupport oleh Waddock dan Graves (1997)
yang melakukan penelitian melihat hubungan antara kinerja sosial dan keuangan. Mereka
menerapkan pola lead-lag sebagaimana Preston dan O’Bannon (1997). Kinerja sosial diambil
dari rating KLD sementara kinerja keuangan menggunakan ROA. Berbeda dengan
pendahulunya, hasil yang didapat ternyata membuktikan bahwa baik dalam posisi lead maupun
lag, keduanya signifikan.
Terkait dengan masalah tingkat pengungkapan indikator lingkungan hidup dan kinerja
lingkungan hidup, penelitian ini mencoba menggali lebih dalam mengenai hal tersebut. Pada
penelitian mengenai kinerja lingkungan hidup terdahulu, diketahui bahwa level pengungkapan
tidak selalu selaras dengan kinerja sosial/lingkungan hidup (Ingram dan Frazier, 1980; Freedman
dan Jaggi, 1982; Freedman dan Wesley, 1990). Hal ini dikarenakan variabel pengukur untuk
9
kinerja sosial/lingkungan hidup terkadang tidak sesuai dengan kategorisasi pengungkapan yang
diukur. Namun demikian amatlah penting untuk melihat bagaimana hubungan yang terjalin
diantara keduanya mengingat hal ini merupakan sebuah justifikasi atas pentingnya dan
bermaknanya tanggung jawab sosial perusahaan (Al-Tuwaijri et al 2004). Sejauh ini kami belum
melihat bagaimana justifikasi PROPER terhadap pengungkapan lingkungan hidup oleh
perusahaan.
Berdasarkan teori-teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai kinerja lingkungan
hidup dan kinerja keuangan, hipotesa yang akan diuji pada penelitian ini adalah adalah :
H1: Kinerja Keuangan pada tahun t-1 mempengaruhi Kinerja Lingkungan Hidup pada tahun t
(lag variabel)
Dengan model statistik:
EP t = β0 + β1 FP t-1 + β2 SIZE t + β3 RISK t + β4 DISCL + β5 MGT + β6 ISO + ε
H1: Kinerja Lingkungan Hidup pada tahun t-1 mempengaruhi Kinerja Keuangan pada tahun t
(lead variabel).
Dengan model statistik:
FP t = β0 + β1 EP t-1 + β2 SIZE t + β3 RISK t + β4 DISCL + β5 MGT + β6 ISO + ε
H3: Kinerja lingkungan hidup serta manajemen lingkungan hidup yang baik mempengaruhi
tingkat pengungkapan kinerja lingkungan hidup perusahaan.
Dengan model statistik:
DISCL = β0 + β1 EP + β2 MGT + β3 ISO + ε
10
METODE PE�ELITIA�
1. Pengumpulan Data
Untuk dapat dimasukkan dalam sampel, suatu perusahaan haruslah memenuhi kriteria dibawah
ini:
a) Termasuk dalam kategori perusahaan yang dinilai dalam PROPER 2002, 2003 dan 2004.
b) Memiliki laporan keuangan tahunan untuk tahun 2002, 2003 dan 2004.
2. Sample
Berdasarkan kategorisasi diatas total perusahaan yang dapat dimasukkan ke dalam sampel
perusahaan adalah 34 perusahaan PROPER sebagaimana terlihat pada tabel 1 . Jumlah sampel
yang didapat (34 perusahaan) secara keseluruhan amat sangat sedikit dari total populasi yang ada
(119 perusahaan publik dari 760 perusahaan PROPER) yaitu hanya 29% saja.
Masukkan Tabel 1 disini
3. Deskripsi Variabel
a) Variabel Kinerja Lingkungan Hidup (EP)
Variabel kinerja lingkungan hidup dinilai dengan peringkat PROPER. Digunakan variabel
dummy disini dimana kategori emas, hijau dan biru akan mendapat nilai 1, sementara
kategori merah dan hitam akan mendapat nilai 0. Terkait dengan variabel lead-lag, pada
saat FP adalah lead, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2003. Sementara saat FP
sebagai lag, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2002.
b) Variabel Kinerja Keuangan (FP)
11
Variabel kinerja keuangan akan menggunakan dua macam pengukuran: accounting dan
market based. Untuk accounting based, penelitian ini mengikuti yang telah dilakukan
Waddock dan Graves (1997), dimana variabel kinerja keuangan menggunakan ratio
keuangan ROA. Angka ROA dihitung dengan membagi laba setelah pajak ditambah bunga
dengan rata-rata total asset. Untuk Market Based, penelitian ini mengikuti yang telah
dilakukan oleh Shane dan Spicer (1983) dengan menggunakan harga saham perusahaan,
dihitung 6 bulan setelah pengumuman PROPER dilakukan. Terkait dengan variabel lead-
lag, pada saat FP adalah lead, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2003. Sementara
saat FP sebagai lag, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2002.
c) Variabel Pengungkapan Lingkungan Hidup Perusahaan (DISCL).
Kerangka dari Global Reporting Innitiative (GRI Guideline) aspek indikator lingkungan
hidup digunakan dalam analisa isi laporan (laporan keuangan tahunan) untuk melihat skor
dari pengungkapan di bidang lingkungan hidup oleh perusahaan. Terdapat 30 indikator di
bidang lingkungan hidup yang mana 16 diantaranya adalah indikator utama, sementara
sisanya adalah indikator sekunder (lihat lampiran). Bobot 2 akan diberikan untuk setiap
indikator utama (dengan tulisan tebal/bold), sementara bobot satu akan diberikan untuk
indikator sekunder, sehingga total bobot nilai adalah 46.
d) Variabel Manajemen Lingkungan Hidup Perusahaan (MGT dan ISO)
Variabel manajemen lingkungan hidup perusahaan diwakili oleh dua hal yaitu:
- ISO (Ada tidaknya sertifikat ISO 14001)
Variabel Dummy digunakan disini, dengan bobot 1 jika perusahaan memiliki sertikat
ISO 14001 dan 0 jika tidak memilikinya.
12
Secara intuitif, perusahaan yang telah menerapkan ISO 14001 dianggap telah
memiliki prosedur yang tertata baik sesuai standar dalam pengelolaan lingkungan
perusahaan dan merupakan nilai tambah bagi perusahaan.
- MGT (Pernyataan Manajemen Mengenai Kebijakan Manajemen Lingkungan Hidup)
Diukur dengan menggunakan skor analisa isi laporan keuangan tahunan perusahaan
berdasarkan kerangka GRI bagian manajemen lingkungan hidup. Terdapat tujuh
indikator manajemen lingkungan hidup yang baik berdasarkan GRI, sehingga total
nilai secara keseluruhan adalah 7 (lihat lampiran).
Menurut Divisi Pembangunan Berkelanjutan PBB (1999), dikatakan bahwa
manajemen lingkungan dimaksudkan untuk melakukan identifikasi, pengumpulan,
analisa, pelaporan internal dan penggunaan informasi yang terkait dengan bahan
baku, air dan energy, biaya-biaya lingkungan dan informasi moneter lainnya.
Sementara indikator pada GRI, bagian manajemen lingkungan hidup telah mencakup
semua hal tersebut. Sehingga, diasumsikan jika perusahaan telah melaporkan hal
tersebut, maka paling tidak sistem manajemen lingkungannya diharapkan sudah
tertata cukup baik.
e) Variabel Kontrol
Mengenai variabel kontrol, sebagaimana pada penelitian terdahulu dibidang kinerja sosial
dan kinerja lingkungan hidup (Waddock dan Graves (1997) dan Al-Tuwaijri (2004)), kami
menggunakan komponen SIZE dan RISK sebagai variabel kontrol.
Deskripsi variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Ukuran perusahaan (SIZE), dinyatakan sebagai Total Asset.
• Resiko perusahaan (RISK), dinyatakan dalam Ratio Long Term Debt To Total equity.
13
HASIL PE�ELITIA�
Secara deskriptif, terlihat adanya kecenderungan kinerja PROPER yang baik,
sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2, dimana komposisi PROPER baik (73.5%) lebih banyak
daripada PROPER buruk (26.5%). Hasil ini walaupun memperlihatkan fenomena yangbaik,
namun hendaknya disikapi sebagai akibat dari proses pemilihan sampel yang sangat tergantung
dengan ketersediaan laporan keuangan tahunan perusahaan. Sehingga boleh jadi, apabila seluruh
sampel yang ada memiliki laporan keuangan tahunan yang siap untuk diolah maka akan didapat
hasil yang berbeda.
Selain itu jika kita melihat tabel 3, terlihat bahwa terdapat skor pengungkapan kinerja lingkungan
hidup yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indikator ”energi”
merupakan yang paling banyak diungkapkan oleh perusahaan diikuti oleh indikator materi dan
emisi gas buang. Sementara indikator kepatuhan sama sekali tidak diungkapkan oleh perusahaan
dalam tiga tahun pengamatan. Kepatuhan disini mencakup kejadian, denda atau sanksi non
moneter untuk ketidakpatuhan yang terkait dengan peraturan lingkungan hidup. Hal ini dapat
mengindikasikan dua hal; ada kemungkinan perusahaan tidak melaporkan kejadian pelanggaran
dalam perusahaannya, atau perusahaan memang telah mematuhi segenap peraturan lingkungan
hidup yang ada.
Hasil deskriptif statistik mengenai manajemen lingkungan hidup perusahaan
memperlihatkan bahwa terdapat tren yang meningkat mengenai kebijakan perusahaan dalam
menghadapi isu-isu lingkungan hidup (lihat tabel 4). Perusahaan terlihat lebih mengemukakan
mengenai ”policy” perusahaan diikuti dengan ”objective of goal and performance”. Ketiadaan
perusahaan dalam mengemukakan informasi mengenai denda yang terkait dengan lingkungan
hidup mendukung temuan pada table 3 diatas terkait dengan isu kepatuhan yang sama sekali
14
tidak dikemukakan dalam laporan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kebijakan
lingkungan hidup perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung untuk mengemukakan sisi visi
tanpa implementasi yang lebih rinci.
Masukkan Tabel 2, 3 dan 4 Disini
Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov memperlihatkan bahwa semua variabel
kecuali SIZE, RISK dan SML memiliki sebaran yang normal. Dengan hasil ini dimungkinkan
bagi kita untuk melanjutkan pengujian hipotesa sebagaimana yang direncanakan di bagian awal.
a). Pengujian atas Hubungan Lag Variabel Antara Kinerja Lingkungan Hidup dan Kinerja
Keuangan
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah kinerja keuangan tahun
sebelumnya mempengaruhi kinerja lingkungan hidup pada tahun ini. Kami menggunakan Binary
Logistic Regression test untuk menguji data yang ada dikarenakan variabel dependen yaitu
kinerja lingkungan hidup memiliki merupakan variabel biner, yaitu baik dan buruk. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa baik saat menggunakan kinerja keuangan berbasis market
maupun accounting, hasil uji wald memberikan hasil yang signifikan sebagaimana terlihat pada
tabel 5 dan 6.
Masukkan Tabel 5 dan 6 Disini
15
b). Pengujian atas Hubungan Lead Variabel Antara Kinerja Lingkungan Hidup dan Kinerja
Keuangan
Tujuan pengujian ini adalah untuk melihat apakah kinerja keuangan saat ini dipengaruhi
oleh kinerja lingkungan hidup di tahun sebelumnya. Kami menggunakan analisa multiple regresi
untuk menguji hipotesa ini. F statistik memberikan hasil yang signifikan, baik saat kinerja
keuangan dalam bentuk market based maupun accounting based sebagaimana terlihat pada tabel
7 dan 8 dibawah ini.
Masukkan Tabel 7 dan 8 Disini
c). Pengujian atas Hubungan antara Kinerja Lingkungan Hidup dengan Tingkat Pengungkapan
Lingkungan Hidup serta Sistem Manajemen Lingkungan Hidup Perusahaan.
Tujuan pengujian ini adalah untuk melihat apakah sistem manajemen lingkungan, kinerja
lingkungan hidup dan keberadaan sertifikasi ISO mempengaruhi luasnya pengungkapan
mengenai lingkungan hidup oleh perusahaan dalam laporan keuangan tahunannya. Hasil
pengujian menunjukkan F statistik yang signifikan sebagaimana terlihat pada tabel 9 dibawah
ini.
Masukkan Tabel 9 Disini
PEMBAHASA�
Pengujian untuk melihat hubungan lag variabel memperlihatkan bahwa pengaruh kinerja
keuangan masa lampau (lag variabel) terhadap kinerja lingkungan hidup saat ini adalah positip,
walaupun tidak signifikan. Hal ini berlaku baik untuk kinerja keuangan yang menggunakan
accounting based maupun market based. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapat oleh
16
waddock dan graves (1997). Ada beberapa kemungkinan mengapa perbedaan ini dapat terjadi.
Perbedaan proxy kinerja lingkungan hidup mungkin bisa menjadi penyebabnya, dimana kami
menggunakan model dummy untuk kinerja PROPER sementara waddock dan graves (1997)
menggunakan angka index dari KLD. KLD index sendiri tidak khusus mengenai isu lingkungan
hidup namun juga isu sosial kemasyarakatan lainnya. Sementara PROPER khusus mengenai
lingkungan hidup. Adanya isu lain dalam KLD, bisa jadi menyebabkan hasil yang berbeda
terhadap kinerja keuangan. Besaran sampel mungkin pula menjadi penyebabnya, sampel kami
hanya 34 perusahaan, sementara penelitian-penelitian sejenis diluar negeri yang memeberikan
hasil positip umumnya lebih dari 100 pengamatan.
Sementara untuk pengujian atas hubungan kinerja lingkungan hidup masa lampau
terhadap kinerja keuangan saat ini (lead variabel), walau F statistik menunjukkan hasil yang
signifikan baik di variable market based maupun accounting based, namun t-test untuk kinerja
lingkungan hidup tidak signifikan. Kembali hal tersebut mengindikasikan bahwa walau kinerja
keuangan dimasa lalu memiliki pengaruh yang positip terhadap kinerja lingkungan hidup saat
ini, namun hal tersebut secara statistik tidak signifikan.
Pada pengujian lead variabel dengan harga saham sebagai proxy kinerja keuangan, semua
variabel memiliki pengaruh yang positip, kecuali MGT dan ISO yang pengaruhnya negatip,
namun t-test yang signifikan hanya ditemui pada variable SIZE dan MGT. Ini mengindikasikan
semakin baiknya manajemen lingkungan hidup perusahaan, yang berarti berkonotasi dengan
meningkatnya investasi/biaya untuk lingkungan hidup, masih dianggap beban atau pemborosan
oleh pasar. Sehingga pernyataan pihak manajemen justru direspon secara negative oleh pasar.
Sementara walaupun tidak signifikan, namun keberadaan ISO juga direspon negatip oleh pasar.
17
Pada pengujian lead variabel dengan ROA sebagai proxy kinerja keuangan, semua
variabel memiliki pengaruh positip kecuali pada variabel ISO. Namun t test yang signifikan
hanya ditemui pada variabel RISK dan ISO. Kembali dapat diindikasikan bahwa keberadaan ISO
merupakan beban bagi kinerja keuangan. Hal ini diperkuat dengan bukti saat dilakukan uji
tabulasi silang antara ISO dan kinerja lingkungan hidup (lihat tabel 10). Hasil yang didapat
ternyata mayoritas perusahaan sampel lebih banyak yang tidak memiliki ISO. Pada perusahaan
dengan nilai Proper baik prosentasi ISO dan tanpa ISO amatlah tipis. Hasil ini memberikan
dugaan bahwa perusahaan di Indonesia masih belum menyadari pentingnya pemilikan ISO
yangterkait dengan lingkungan hidup. Lebih jauh lagi dapat diartikan bahwa manajemen
lingkungan hidup yang sesuai dengan standar internasional ternyata masih belum dianggap
penting bagi perusahaan di indonesia.
Masukkan Tabel 10 Disini
Hipotesa terakhir yang mencoba menguji pengaruh sistem manajemen lingkungan hidup,
keberadaan ISO 14001 dan peringkat PROPER terhadap pengungkapan yang dilakukan
perusahaan memberikan hasil F-test yang signifikan (lihat tabel 9). Lebih lanjut terlihat bahwa
kinerja lingkungan hidup berpengaruh negatif terhadap level pengungkapan, sementara ISO dan
MGT berpengaruh positip terhadap level pengungkapan. Namun penelusuran pada t-test
memperlihatkan hanya variable MGT yang memberikan t-test signifikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa hanya keberadaan manajemen lingkungan hidup perusahaan yang akan
akan membuat pihak manajemen lebih percaya diri dalam memberikan pengungkapan kinerja
lingkungan hidup lebih bannyak dalam laporan keuangannya. Sehingga walaupun manajemen
memperoleh kinerja yang baik ataupun telah memiliki ISO, tidak akan berpengaruh signifikan
18
terhadap level pengungkapan. Menariknya disini juga dapat disimpulkan kinerja (EP) yang baik
tidak akan membuat perusahaan lebih banyak mengungkapkan.
Mengenai hubungan antara DISCL dengan EP yang bersifat negatif, kami mencoba
melakukan tabulasi silang antara keduanya dan menemukan bahwa perusahaan PROPER buruk
malah melakukan pengungkapan lebih banyak dibandingkan perusahaan PROPER baik (lihat
tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi PROPER yang jelek memicu perusahaan untuk
mengungkapkan lebih banyak lagi informasi kepada public, yang mana hal ini merupakan
cerminan dari legitimate Teory (Tilt, 2001; Gray et al 1995).
Masukkan Tabel 11 Disini
Temuan-temuan diatas tentu menarik, karena mengindikasikan bahwa masyarakat bisnis
di indonesia masih merasa bahwa isu lingkungan bukan sesuatu yang patut menjadi perhatian
bersama. Bahkan mungkin tidak pernah menjadi isu strategis bagi perusahaan dalam
menjalankan bisnis selama ini. Hal ini amat memprihatinkan mengingat kondisi lingkungan
hidup di Indonesia saat ini semakin memburuk, sementara tidak ada kesadaran bagi pelaku bisnis
untuk menjalankan pola bisnis dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.
Penelitian ini juga mengindikasikan bahwa fenomena yang terjadi di masayarakat bisnis
Indonesia adalah cerminan dari teori Slack, bukan teori Good Management ( Waddock dan
Graves (1997)). Artinya kinerja keuanganlah yang akan memicu kinerja sosial. Apabila
perusahaan memiliki kinerja keuangan yang cukup bagus di masa lalu (lead position), maka hal
tersebut memberikan keyakinan kepemilikan modal yang lebih baik dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak memiliki kinerja keuangan yang tidak cukup bagus di masa lalu. Hal ini
selanjutnya akan berpengaruh dengan semakin mudahnya dialokasikan dana untuk pengelolaan
19
aspek lingkungan hidupnya. Sehingga membaiknya kinerja lingkungan hidup adalah akibat
sisa/kelebihan (Slack) atas kinerja keuangan dimasa lampau. Padahal idealnya, perusahaan
sudah memiliki kemampuan manjerial yang bagus (Good Management) dalam mengelola aspek
lingkungan hidupnya dimasa lampau, yang kemudian hal ini meningkatkan kepercayaan
stakeholder perusahaan terhadap kinerja lainnya, yaitu kinerja keuangan.
KESIMPULA� DA� SARA�
Kesimpulan
Penelitian ini mencoba menggali lebih dalam bagaimana hubungan antara kinerja lingkungan
hidup, manajemen lingkungan hidup serta kinerja keuangan perusahaan di Indonesia dengan
menggunakan PROPER sebagai proxy kinerja lingkungan hidup, GRI Guideline dan keberadaan
ISO 14001 sebagai proxy manajemen lingkungan hidup serta dua macam pengukuran (market
dan accounting based) proxy kinerja keuangan; ROA dan harga saham. Hasil yang didapat
adalah :
a. Hipotesa lead-lag hanya dapat dibuktikan saat kinerja keuangan berfungsi sebagai lead
variabel. Sementara saat kinerja keuangan berfungsi sebagai lag variable, hipotesa
ditolak.
b. Hubungan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan hidup adalah positip,
walaupun tidak signifikan.
c. Terdapat perbedaan hasil antar variabel saat digunakan dua macam proxy untuk kinerja
keuangan. Pada saat menggunakan accounting based (ROA), hanya variabel RISK dan
ISO yang terbukti secara siginifikan berpengaruh terhadap kinerja keuangan saat ini. T-
20
test variabel kinerja lingkungan hidup, SIZE, DISCL dan MGT tidak signifikan.
Sementara pada saat menggunakan market based, hanya variabel SIZE dan MGT yang
terbukti secara signifikan.
d. Manajemen lingkungan hidup yang baik terbukti secara signifikan akan meningkatkan
pengungkapan lingkungan hidup oleh perusahaan.
e. Keberadaan ISO tidak menjadi jaminan membaiknya kinerja lingkungan hidup
f. Isu dan aspek lingkungan hidup dalam perusahaan berpengaruh negatif terhadap kinerja
keuangan perusahaan.
Saran
Melihat penelitian seperti ini seharusnya digalakkan untuk memberikan bukti empiris
yang memotivasi pasar dalam bersikap ”green”, maka pengembangan penelitian sejenis haruslah
didukung dan digalakkan. Pada penelitian ini kami melihat beberapa keterbatasan yang mungkin
dapat menjadi pengembangan dalam penelitian sejenis dimasa datang. Saran-saran kami antara
lain:
1. Mengigat penelitian seperti ini kebanyakan mendasarkan pada ketersediaan annual report,
kami menyarankan agar penelitian sejenis dimasa datang perlu mengupayakan untuk
mendapatkan sumber data lain selain PRPM agar didapat jumlah sample yang semakin besar.
2. Kami juga melihat kemungkinan adanya penggunaan model data primer dalam melihat
keluasan manajemen perusahaan dalam bentuk interview pada level manajemen perusahaan.
3. Kemungkinan lain adalah pengunaan variabel kontrol lainnya agar didapat hasil yang lebih
baik.
21
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada pada penelitian ini. Oleh
karenanya kami menyarankan agar penelitian sejenis dimasa datang makin digalakkan untuk
mencari bukti-bukti yang lebih valid dengan metode yang lebih tepat agar semakin memperkaya
penelitian di bidang tanggung jawab sosial khususnya mengenai aspek lingkungan hidup
perusahaan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Adams, CA (2002) “ Factors Influencing Corporate Social and Ethical Reporting : Moving on
From Extant Theories”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, 15:2, pp 223-
250.
Al-Tuwaijri, Sulaeman A, et al (2004) “The Relations Among Environmental Disclosure,
Environmental Performance And Economic Performance: A Simultaneous Equation
Approach”, Accounting, Organizations And Society, 29:447-471.
Aupperle et al (1985), “ An empirical examination of the relationship between corporate social
responsibility and profitability”, academy of management journal, 28:2, pp446-463
Cochran PL dan RA Wood (1984), “ Corporate social responsibility and Financial Performance”,
Academy Management journal, 27, pp42-56
Freedman M and Bikki Jaggi, (1992) “ An Investigation Of The Long Run Relationship Between
Pollution Performance And Economic Performance: The Case Of Pulp And Paper Firms”,
Critical Perspectives On Accounting, 3, 315-336
Freedman M and Bikki Jaggi, (1986), “ An analysis of the impact of corporate pollution
disclosures included in annual financial statement on investor decision”, advances in public
interest accounting.
Gray Rob et al (1995) “Corporate Social and Environmental Reporting: A Review of The
Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure”, Accounting, Auditing and
Accountability Journal, 8:2, pp47-77.
Griffin JJ dan John M Mahon (1997), “ The Corporate Social Performance and Corporate
Financial Performance Debate”, Business and Society, 36:1, pp 5-31.
Hassel, Lars G et al (2005), “The Value Relevance of Environmental Performance”, European
Accounting Review, Vol 14 (1). Dapat diakses online pada : www.ssrn.com (28/7/07)
Holman et al (1990) The impact of corporate social responsibility in shareholder wealth
Academy of management Journal,
Klassen, Robert and Curtis P McLaughlin (1996), “ The Impact of Environmental Management
on Firm Performance”, Management Science, 42:8, pp 1199-1214.
Kompas (2005) “Upaya Menjerakan Perusahaan Pencemar Lingkungan”. Dapat diakses online
pada : http://kompas.com/kompas-cetak/0404/29/humaniora/995375.htm (28/7/07)
23
Margolis, JD and walsh JP (2001) “People and profits? The search for a link between a
company’s social and financial performance”, Lawrence Erlbaum Associates, London,
2001.
McGuire JB, T Schneewis dan A Sundgren (1988), “Corporate Social Responsibility and Firm
Financial Performance”, Accounting Management Journal, 31:4, pp 854-872.
Preston, Lee dan Daouglas O Bannon (1997), “ The Corporate Social-Financial Performance’,
Business and Society, 36:4, pp 419-429.
Rasidin, Yanuar, (2005) KLH: Cuma 5 Persen Perusahaan Peringkat "Hijau"
Dapat diakses pada : http://www.bangda.depdagri.go.id/modules.php?name
=News&file=article&sid=89 (28/7/07)
Rochness et al (1986) hazardous waste disposal, corporate disclosure and financial performance
in the chemical industry”, advances in Public interest accounting , 1, pp 167-191.
Sarumpaet, Susi (2005)” The Relationship between environmental performance and financial
performance of Indonesian companies” , Working paper, Jurusan Akuntansi FE Universitas
Kristen Petra.
Shane, Phillip dan Barry H Spicer (1983), “ Market Response to Environmental Information
Produced Outside the Firm”, The Accounting Review, 58:3, pp 521-539.
Starovic, Danka (2004) “Green Signals Go”, Financial Management, 2 Oct 2004, pp 12
Tilt CA (2001), “The Content and Disclosure of Australian Corporate Environmental Policies”,
Accounting, Auditing and Accountability Journal, 14:2, pp 190-213.
Ullman Ariech (1985) Data in Search Of Theory: A critical Examination of the relationship
among social performance social disclosure and economic performance, Academy of
Management Review, 10, pp 540-577.
Waddock, Sandra A dan Samuel B Graves (1997) “The Corporate Social Performance and
Financial Performance link”, Strategic Management Journal, !8:4, pp 303-319
24
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Total Perusahaan PROPER dan Ketersediaan Perusahaan Sampel
PROPER
2002
PROPER
2003
PROPER
2004
Total
Jumlah Perusahaan PROPER 85 251 466 760
Perusahaan PROPER:
- Publik
- BUMN
- PMA/PMDN (non publik)
20
21
44
52
76
123
47
95
324
119
192
491
Perusahaan Sampel:
- Publik dengan data lengkap
4
12
18
34
Tabel 2
Kompisisi Variabel PROPER Dalam Sampel
Kategori Frekwensi Persentasi (%)
BURUK 9 26.5
BAIK 25 73.5
Total 34 100.0
Tabel 3
Kompilasi Skor Pengungkapan Kinerja Lingkungan Hidup
Tahun Materi Energy Air Bio
diversity
Emisi
dan gas
buang
Produk
dan jasa
Kepatu-
han
Transpor
tasi
lain
-
lain
Total
2002 2 4 2 2 1 4 0 0 1 16
2003 10 28 5 5 11 7 0 2 0 68
2004 12 22 6 3 10 9 0 2 1 65
TOTAL 24 54 13 10 22 20 0 4 2 149
Tabel 4
Kompilasi Skor Indikasi Manajemen Lingkungan Lingkungan Hidup
Tahun Policy Responsibility Indicator of
goal &
performance
Objective of
goal and
performance
Awards Fine TOTAL
2002 4 1 1 2 2 0 10
25
2003 9 3 4 8 3 0 27
2004 11 3 3 10 5 0 32
TOTAL 24 7 8 20 10 0 69
Tabel 5
Hasil pengujian Pengujian Hubungan Lag Knerja Keuangan
Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup (FP=ROA) Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant 1.022 .389 6.907 1 .009 2.778
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1(a)
ROA -.005 .052 .008 1 .929 .995
SIZE .000 .000 2.519 1 .113 1.000
RISK -.028 .021 1.710 1 .191 .972
DISCL -.312 .176 3.133 1 .077 .732
MGT 1.710 1.084 2.488 1 .115 5.532
ISO(1) 2.417 2.090 1.337 1 .248 11.209
Constant -1.042 2.198 .225 1 .635 .353
a Variable(s) entered on step 1: ROA, SIZE, RISKSOL, DISCL, MGT, ISO. Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 10.579 6 .102
Block 10.579 6 .102
Model 10.579 6 .102
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 28.720 .267 .390
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 3.482 8 .901
26
Tabel 6
Hasil pengujian Pengujian Hubungan Lag Knerja Keuangan
Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup (FP=Share) Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant 1.022 .389 6.907 1 .009 2.778
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1(a)
SIZE .000 .000 3.068 1 .080 1.000
RISK -.028 .022 1.656 1 .198 .973
DISCL -.302 .167 3.244 1 .072 .740
MGT 1.638 .942 3.023 1 .082 5.144
ISO(1) 2.193 1.830 1.435 1 .231 8.959
SHARE .000 .000 .036 1 .849 1.000
Constant -.952 1.924 .245 1 .621 .386
a Variable(s) entered on step 1: SIZE, RISKSOL, DISCL, MGT, ISO, SHARE. Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 10.608 6 .101
Block 10.608 6 .101
Model 10.608 6 .101
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 28.691 .268 .391
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 3.578 8 .893
27
Tabel 7
Pengujian Hubungan Lead Kinerja Keuangan Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup
(FP= Share)
Model
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regressio
n
737106765
0.483 6
1228511275.0
80 25.541 .000(a)
Residual 129867700
4.113 27 48099148.300
Total 866974465
4.596 33
a Predictors: (Constant), DISCL, EP, RISK, ISO, SIZE, MGT
b Dependent Variable: SHARE
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant
) 3387.803 3977.222 .852 .402
EP 36.092 2839.039 .001 .013 .990
SIZE 1.537E-09 .000 1.140 11.943 .000
RISK 16.073 65.752 .019 .244 .809
MGT -3665.536 760.630 -.537 -4.819 .000
ISO -706.506 2808.884 -.022 -.252 .803
DISCL 252.314 191.395 .114 1.318 .198
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .922(a) .850 .817 6935.355 1.593
28
Tabel 8
Pengujian Hubungan Lead Kinerja Keuangan Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup
(FP=ROA)
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .677(a) .459 .338 11.4242151 1.715
a Predictors: (Constant), EP, RISK, ISO, DISCL, SIZE, MGT
b Dependent Variable: ROA
Model
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regressio
n 2984.871 6 497.479 3.812 .007(a)
Residual 3523.843 27 130.513
Total 6508.714 33
a Predictors: (Constant), EP, RISK, ISO, DISCL, SIZE, MGT
b Dependent Variable: ROA
Coefficientsa
-8.510 6.551 -1.299 .205
1.162E-13 .000 .099 .548 .588
.339 .108 .468 3.129 .004
1.215 1.253 .206 .970 .341
-12.569 4.627 -.451 -2.717 .011
.320 .315 .166 1.015 .319
5.587 4.677 .178 1.195 .243
(Constant)
SIZE
RISK
MGT
ISO
DISCL
EP
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coefficients
Beta
Standardized
Coefficients
t Sig.
Dependent Variable: ROA a.
29
Tabel 9
Pengujian Hubungan Pengungkapan lingkungan hidup, Manajemen
lingkungan hidup serta Kinerja Lingkungan Hidup
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .481(a) .231 .154 6.707 1.505
a Predictors: (Constant), ISO, EP, MGT
b Dependent Variable: DISCL
ANOVA(b)
Model
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regressio
n 405.859 3 135.286 3.007 .046(a)
Residual 1349.582 30 44.986
Total 1755.441 33
a Predictors: (Constant), ISO, EP, MGT
b Dependent Variable: DISCL
Coefficients(a)
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant
) 7.095 2.468 2.874 .007
EP -3.448 2.643 -.212 -1.305 .202
MGT 1.380 .574 .449 2.402 .023
ISO .436 2.700 .030 .161 .873
a Dependent Variable: DISCL
30
Tabel 10
Hasil Tabulasi Silang PROPER dan ISO
ISO Total
tidak
ISO ada ISO
Proper buruk 6 3 9
Proper baik 13 12 25
Total 19 15 34
Tabel 11
Tabulasi Silang PROPER dan DISCL
PROPER
Total buruk baik
DISC
L
2 3 8 11
4 1 1 2
5 1 1 2
6 1 5 6
7 0 1 1
8 0 1 1
11 0 1 1
12 0 2 2
13 0 1 1
16 0 1 1
17 0 1 1
19 1 1 2
21 1 0 1
23 0 1 1
29 1 0 1
Total 9 25 34
top related