1. pengesahan fix revisi 3/pengaruh... · dari kemampuan interpersonal siswa (studi kasus...
Post on 07-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD
(STUDENT ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN TGT (TEAM GAME
TURNAMENT) TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA DITINJAU
DARI KEMAMPUAN INTERPERSONAL SISWA
(studi kasus pembelajaran memahami wujud zat dan perubahannya pada
Kompetensi dasar massa jenis dalam kehidupan sehari-hari pada
Siswa smp negeri 1 wonogiri tahun pelajaran 2009/2010)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sains
Minat Utama Fisika
Oleh
Muhammad Irianto Mewal
NIM. S831107110
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah telah berupaya dengan berbagai usaha untuk meningkatkan
mutu pendidikan dalam rangka menghasilkan lulusan yang berkualitas. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah usaha peningkatan kompetensi guru melalui
penataran-penataran, pelatihan-pelatihan, workshop ataupun kajian-kajian teori
pendidikan. Namun kenyataannya menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih
jauh dari harapan. Peningkatan kualitas pendidikan perlu didukung oleh sumber
daya manusia yang memadai. Tuntutan di masa datang adalah manusia Indonesia
yang cerdas, terampil, berke-Tuhanan, serta jujur dan sikapnya tetap menjunjung
tinggi moral budaya bangsanya.
Belajar merupakan salah satu sarana untuk mencerdaskan manusia. Dari
belajar, manusia bertambah pengetahuannya, dari tidak tahu menjadi tahu, semula
belum bisa menjadi bisa, dan sikapnyapun berubah, perubahan ini mencerminkan
penguasaan pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, pendidikan
selalu diupayakan dan dikemas dengan baik agar dapat menghasilkan manusia-
manusia yang berpengetahuan tinggi serta memiliki sikap yang sesuai dengan
tingkat pengetahuannya.
Untuk memenuhi harapan itu, pertama-tama guru dituntut untuk
meningkatkan kompetensinya, guru diharap selalu terbuka untuk dapat
mengembangkan diri dengan terus belajar untuk mengembangkan praktek
mengajarnya sesuai dengan perkembangan jaman. Sebagai agen pembelajaran,
guru dituntut untuk dapat menguasai bahan yang diajarkannya, dan agar dapat
dijadikan tauladan, guru harus dapat bersikap jujur dan adil terutama dalam hal
menetapkan kebijakannya dalam menilai siswa. Guru juga harus dapat
membangun komunikasi yang baik dengan siswanya, dengan demikian siswa
tidak merasa takut dengan gurunya. Komunikasi yang baik dapat dipercaya
sebagai upaya untuk melatih komunikasi antar siswa, sehingga tukar pengalaman
diantara siswa dapat membantu meningkatkan pengetahuannya dan sekaligus
dapat untuk melatih siswa dalam menentukan sikapnya yang terbaik ditengah-
tengah pendapat siswa yang lainya. Lewat hubungan yang dekat ini, guru akan
lebih mudah membantu siswa untuk belajar
Hasil belajar yang dicapai oleh siswa banyak bergantung pada kemampuan
siswa dalam berkomunikasi, baik antar siswa, siswa dengan guru, serta model
pembelajaran yang dipilih guru. Tukar pendapat (sharing) diantara siswa, siswa
dengan guru dapat membantu membangun pengetahuan baru yang sebelumnya
belum ada serta dapat mengembangkan dan memodifikasi pengetahuan yang telah
ada itu. Kemampuan guru dalam mengembangkan model-model pembelajaran
juga sangat menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Minimnya pengetahuan
guru tentang model-model pembelajaran mengakibatkan minimnya variasi
pembelajaran yang dilakukan dikelas. Hendaknya model pembelajaran yang
dipilih oleh guru dapat membangun pengetahuan siswa, dapat melatih
ketrampilannya, dapat memunculkan tauladan, dapat menerima pendapat orang
lain, aktif memberikan pemikiran serta jujur dalam bertindak sehingga sikapnya
mencerminkan manusia yang berpengetahuan serta berbudi pekerti luhur.
Kenyataan dilapangan menunjukan bahwa sebagian besar siswa hasil
belajar yang dicapainya belum seperti yang diharapkan. Sikap yang muncul tidak
sejalan dengan prestasi belajar yang diperoleh. Nilai rapotnya relatif tinggi tetapi
siswa belum berani mengemukakan pendapatnya, tidak obyektif, masih saja
memanipulasi data hasil pengukuran sehingga kejujurannyapun diragukan, belum
dapat menerima pendapat orang lain sehingga rasa egonya masih tinggi, keaktifan
dalam kelas atau kelompoknya belum tampak nyata sehingga fungsi dan tugasnya
tidak jelas.
Untuk mengerti gejala dan peristiwa alam fisis dengan hukum alamnya
yang teratur perlu mempelajari fisika. Dalam mempelajari fisika diperlukan
ketrampilan proses yang cukup tinggi. Bagi siswa ketrampilan proses ini
dipergunakan untuk mengembangkan kecakapan hidup (life skill) dan kecakapan
sikap. Selama ini ketrampilan proses masih dikesampingkan yang seharusnya
mendapatkan porsi yang selayaknya. Ketrampilan proses merupakan kemampuan
untuk merumuskan atau mengembangkan konsep-konsep fisika berdasarkan
fenomena-fenomena alam.
Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru kurang bervariasi,
padahal guru paham bahwa untuk menyampaikan konsep tertentu diperlukan
metode dan model pembelajaran tertentu. Disadari atau tidak, didalam kelas siswa
memerlukan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajarannya.
Kompetensi guru dalam menyampaikan pembelajaran terlihat dari cara guru
tersebut mampu tidak mengembangkan model-model pembelajaran yang ada.
Sudah semestinya guru menggunakan model pembelajaran sehingga dalam proses
pembelajarannya mampu membuat siswa selalu dalam keadaan senang tidak
membosankan, dan dalam proses pembelajaran itu juga harus terjadi induksi
pengetahuan sebagaimana mestinya dan muncul tauladan yang menjadi sikap
yang diharapkan.
Kecerdasan siswa dalam kelas atau kelompoknya sangat bervariasi. Ada
siswa yang kecerdasan logikanya tinggi tetapi kecerdasan ritmiknya rendah
sehingga siswa macam ini sudah semestinya nilai matematikanya tinggi
sedangkan nilai menyanyi rendah, demikian pula siswa yang nilai bahasanya lebih
tinggi dari matematika sudah semestinya akan lebih unggul dalam berbahasa dari
pada ia diminta untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
matematika. Kecerdasan lain yang kurang diperhatikan oleh guru yaitu kecerdasan
siswa yang berhubungan dengan kemampuan siswa untuk berhubungan dengan
orang-orang disekitarnya, baik hubungan siswa dengan siswa atau hubungan guru
dengan siswa. Kecerdasan ini diyakini memberi kontribusi terhadap hasil belajar
terutama pada pembentukan sikap (ranah afektif).
Kenyataan dilapangan memperlihatkan bahwa produk belajar yang
merupakan hasil dari proses belajar tidak muncul dengan kadar yang sama.
Prestasi belajar, ketrampilan serta sikap siswa yang kesemuanya merupakan hasil
dari proses belajar tidak muncul bersamaan. Ketiganya mempunyai kadar yang
tidak sama dari siswa disebuah kelas. Sebagian besar guru menyadari bahwa
kondisi pembelajaran yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar yang
maksimal ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam siswa itu sendiri
(faktor internal) dan faktor dari luar siswa (faktor eksternal). Faktor-faktor internal
itu antara lain : kesiapan, kemampuan, aspirasi, pengetahuan prasyarat, motivasi,
kreatifitas, sikap, bakat dan kecerdasan (intelegensi). Sedangkan faktor-faktor
eksternal antara lain : kurikulum, guru, sarana prasarana, lingkungan tempat
tinggal maupun lingkungan sekolah.
Di SMP Negeri 1 Wonogiri hal ini terlihat jelas, bahwa prestasi belajar
IPA relatif tinggi tetapi prestasi tinggi itu tidak dibarengi dengan sikap ilmiah
yang semestinya diharapkan. Untuk memperoleh prestasi tinggi siswa dibimbing
untuk menguasai rumus-rumus, konsep-konsep atau bentuk problem tertentu.
Langkah ini telah diupayakan dengan berbagai cara sehingga prestasi yang
dimaksud dapat dicapai. Walaupun demikian pada akhir pelajaran ternyata sikap
ilmiah sebagai konsekwensi dari ciri pembelajaran IPA hasilnya belum sebanding
dengan prestasi yang dicapai siswa. Guru belum mampu membentuk sikap ilmiah
seperti yang diharapkan walaupun variasi model pembelajaran yang digunakan
sudah diterapkan pada kegiatan belajar mengajarnya. Model pembelajaran yang
dipilih hanya mampu meningkatkan prestasi belajar siswa sedangkan sikap ilmiah
siswa masih rendah. Oleh karena itu guru dituntut untuk dapat memilih metode
dan model pembelajarannya agar prestasi belajar yang dihasilkan tinggi dan sikap
ilmiah juga muncul.
Lebih dari separuh peserta didik SMP negeri 1 Wonogiri memiliki IQ
lumayan tinggi (hasil tes IQ), tetapi guru belum mampu mengidentifikasi bakat
dan kecerdasan siswa secara tepat, sehingga persiapan dan tindakan guru dalam
kegiatan belajar mengajarnya tidak sesuai dengan karakter siswa, padahal faktor
ini memberi andil terhadap hasil belajar siswa. Kenyataannya, anak yang memiliki
kecerdasan tinggi, sedang atau rendah memiliki problem yang berbeda dalam
menangkap pelajaran. Kurang peduli, tidak jujur serta rasa ego yang berlebihan
masih terlihat kental dalam sikapnya sehari-hari.
Latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi orang tua juga ikut
mempengaruhi sikap siswa disekolah. Tanggungjawab pribadi ditengah-tengah
siswa kalam kelompoknya belum terbangun. Siswa masih menganggap ia berasal
dari orang kaya sehingga bebas berbuat apa saja, sedangkan siswa yang berasal
dari latar belakang sosial ekonomi lebih rendah merasa takut untuk berpendapat.
Keberagaman cara mendidik orang tua terhadap putra putrinya dirumah juga
mempengaruhi perilaku disekolah. Kebiasaan baik buruk akan tercermin pada
tutur kata maupun tingkah lakunya. Sebagian anak memberi salam pada gurunya
atau temannya, tetapi sebagian lagi acuh tak acuh pada guru dan temannya.
Pembelajaran kooperatif dianggap sangat tepat sebagai solusi untuk
mengatasi sikap ilmiah siswa. Pembelajaran kooperatif sebagai model merupakan
suatu strategi yang melibatkan pembentukan kelompok yang bertujuan pencapaian
hasil belajar, penerimaan keberagaman dan ketrampilan sosial yang tercipta dalam
kerja sama anggota didalam kelompok tersebut. Pembelajaran kooperatif ini
dilaksanakan dengan maksud agar siswa dapat lebih membiasakan diri
bekerjasama dan belajar berkelompok dalam rangka memecahkan masalah atau
mengerjakan tugas.
Berdasarkan uraian diatas, maka usaha untuk perbaikan pendidikan yang
dilakukan mengarah kepada pembelajaran yang berpusat pada siswa, sehingga
pada saatnya prestasinya yang tinggi dimbangi dengan sikap ilmiahnya yang
tinggi pula. Model pembelajaran yang cocok untuk membawa siswa bersikap
ilmiah sesuai dengan konsekwensi pembelajaran IPA adalah pembelajaran
kooperatif tipe STAD dan TGT. Pembelajaran kooperatif dipilih karena
pembelajaran ini dapat membantu siswa memahami konsep-konsep IPA yang sulit
serta menumbuhkan kemampuan kerja sama, berfikir kritis dan mengembangkan
sikap sosial siswa. Kemampuan kerja sama ditunjukan dalam situasi semangat
pembelajaran diantaranya menumbuhkan kerja sama untuk mencapai tujuan
bersama dan mengkoordinasikan usahanya untu menyelesaikan tugas. Berfikir
kritis ditunjukan dengan kemampuan siswa berani mengeluarkan pendapat,
walaupun ia sendiri juga harus belajar menerima pendapat orang lain dan sikap
sosial siswa ditunjukan dengan saling bantu dalam menyelesaikan masalah dan
saling menghormati pendapat orang lain.
Keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran tergantung pada strategi
pembelajaran yang digunakan. Siswa berinteraksi dengan siswa lain secara
langsung dimana salah satu siswa dapat berperan sebagai fasilitator yang
membantu mencapai tujuan belajarnya. Usaha yang diupayakan adalah dengan
membuat lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk dapat
mengembangkan sikap yang cenderung untuk berperilaku dan dapat mengambil
tindakan pemikiran sesuai dengan metode ilmiah (sikap ilmiah).
Penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa strategi dan model
pembelajaran yang tepat serta pengaruh tingkat kecerdasan siswa akan mampu
meningkatkan sikap ilmiah siswa. Analisa sementara menunjukan bahwa sikap
ilmiah tidak muncul karena siswa kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran
kelompok, siswa masih belajar secara individu. Model pembelajaran yang
diterapkan oleh guru serta tugas yang diberikan tidak mengarah pada kerja
kelompok sehingga kesulitan-kesulitan belum sepenuhnya teratasi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat didentifikasi
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.
2. Tidak sebanding antara prestasi yang dicapai siswa dengan sikap ilmiah yang
diharapkan, hal ini disebabkan sikap ilmiah siswa belum diperhatikan dalam
proses belajar mengajar.
3. Belum adanya kesesuaian antara strategi dan model pembelajaran yang
diterapkan pada materi pembelajaran IPA sehingga pengaruhnya tidak mampu
meningkatkan sikap ilmiah siswa
4. Model pembelajaran yang digunakan oleh banyak guru kurang bervariasi
5. Masih banyak guru menggunakan model pembelajaran konvensional dalam
proses kegiatan belajar mengajarnya
6. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan untuk memahami dan membina
hubungan dengan orang lain berbeda-beda antara siswa satu dengan siswa
lainnya perbedaan ini belum diperhatikan guru.
7. Sikap bekerja sama dan belajar berkelompok untuk memecahkan masalah
masih sangat rendah.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka agar penelitian ini dapat
dilaksanakan dengan baik, lebih terfokus dan terarah, maka perlu dibatasi masalah
yang akan dikaji. Pembatasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Produk belajar yang diteliti adalah aspek afektif yaitu sikap ilmiah siswa
2. Model pembelajaran yang digunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Team Achievement Divisions) dan TGT (Team Game Turnament).
3. Variabel lain yang diteliti adalah kemampuan interpersonal
4. Materi pembelajaran yang dipilih adalah massa jenis zat
5. Sikap ilmiah diukur dengan skala Likert
D. Perumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif melalui tipe
STAD dan tipe TGT terhadap sikap ilmiah siswa?
2. Apakah ada pengaruh kemampuan interpersonal yang tinggi, sedang dan
rendah terhadap sikap ilmiah siswa ?
3. Apakah ada interaksi antara penggunakan model pembelajaran dan
kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa ?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui :
1. Pengaruh pembelajaran kooperatif model STAD dan model TGT terhadap
sikap ilmiah siswa
2. Pengaruh kemampuan interpersonal siswa terhadap sikap ilmiah siswa
3. Interaksi antara model pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan
interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat. Adapun manfaat yang
diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis :
a. Memberi pengetahuan lebih tentang penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dan TGT yang lebih sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai dalam proses belajar mengajar.
b. Dapat meningkatkan wawasan bagi para pembelajar tentang penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT.
c. Sebagai acuan untuk penelitian lanjut yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa dengan cara memilih dan
menggunakan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajarannya.
b. Dapat meningkatkan kegiatan kooperatif dalam kegiatan belajar siswa
sehingga sikap ilmiah siswa menjadi lebih baik.
c. Dapat meningkatkan kemandirian siswa dalam melakukan kerja ilmiah
dan meningkatkan keberanian siswa dalam berpendapat secara ilmiah.
d. Member sumbangan yang bermanfaat bagi institusi sekolah dalam rangka
perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Pengertian Belajar
Banyak definisi yang diberikan tentang belajar. Belajar menurut kamus
umum bahasa Indonesia adalah usaha (berlatih dan sebagainya) supaya mendapat
suatu kepandaian (W.J.S. Poerwadarminta, 2003:121).
Belajar menurut Gagne dalam Ratna Wilis Dahar (1989 :11) didefinisikan
"sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman". Dari definisi ini dapat dikatakan bahwa adanya suatu proses yaitu
butuh waktu dalam belajar. Tanda yang kedua yaitu adanya suatu perubahan
perilaku artinya adanya perbedaan tingkah laku yang lebih baik dari seseorang,
misalnya perubahan perilaku berbicara, mengingat, memecahkan masalah,
berpikir dan berbuat kreatif. Ciri ketiga yaitu akibat dari pengalaman belajar
merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan dan
pengalaman. Belajar melibatkan perolehan kemampuan yang bukan merupakan
kemampuan yang dibawa sejak lahir. Belajar bergantung pada pengalaman.
Sebagaian pengalaman itu merupakan umpan balik dari lingkungan.
Berdasar teori kognitif yang dimaksud belajar adalah perubahan persepsi
dan pemahaman yang tidak selalu tampak sebagai tingkah laku. Tingkah laku
seseorang selalu didasari oleh kognisi yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Perkembangan kognitif merupakan proses
genetik yaitu perkembangan sistem saraf artinya makin bertambahnya umur
seseorang maka semakin kompleks susunan syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya.
Pandangan B.F Skiner tentang belajar dalam Syaiful Sagala (2005 :14)
adalah "suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung
secara progesif ". Belajar dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang
belajar, maka responya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar, maka
responnya menurun. Jadi belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau
peluang terjadinya respon.
Berdasarkan pengertian belajar tersebut di atas maka belajar dapat
diartikan sebagai suatu usaha oleh seseorang untuk mendapatkan ilmu yang
melalui suatu proses perubahan tingkah laku sebagai buah dari pengalaman yang
merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya dalam usaha memenuhi
kebutuhan dn kelangsungan hidupnya. Seseorang dikatakan belajar jika telah
mengalami perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ini dapat terdiri dari
perubahan secara kognitif yang meliputi pengetahuan dan pemahaman, perubahan
secara afektif atau perubahan sikap/nilai, dan perubahan psikomotorik
(ketrampilan).
2. Pengertian Pembelajaran
Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi
antara guru dengan siswa serta komunikasi antar siswa yang menghasilkan
perubahan sikap. Secara konseptual maupun operasional konsep-konsep
komunikasi dan perubahan sikap selalu melekat pada pembelajaran. Pembelajaran
merupakan usaha untuk membelajarkan siswa menggunakan azas pendidikan
maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh
pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau
siswa.
Pembelajaran memiliki dua karakteristik, yang pertama dalam proses
pembelajaran melibatkan proses mental secara maksimal, bukan hanya menuntut
siswa sekedar mendengar dan mencatat akan tetapi menghendaki aktivitas siswa
dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran terjadi suasana dialogis dan
proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan berpikir siswa yang pada gilirannya kemampuan
berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka
konstruksi sendiri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan
suatu usaha yang dilakukan guru dalam membantu siswa mempelajari suatu hal
atau nilai yang baru dengan cara interaktif melalui proses yang sistematis. Dari
definisi pembelajaran diatas diketahui pula bahwa kegiatan belajar mengajar
melibatkan beberapa komponen, oleh Gino dkk. (1999 : 30) yaitu : "Siswa, guru,
tujuan, isi pelajaran, metode, media dan evaluasi ". Siswa sebagai penerima ,
pencari dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
Guru, sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar dan peran lainnya yang
memungkinkan terjadinya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Tujuan, yaitu
pernyataan tentang perubahan tingkah laku kognitif, afektif dan psikomotorik. Isi
pelajaran, yakni segala informasi yang berupa fakta, prinsip dan konsep yang
diperlukan untuk mencapai tujuan. Metode, yaitu cara yang teratur untuk memberi
yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar,
yang meliputi kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Media, yakni bahan pengajaran dengan atau
tanpa peralatan yang dipakai untuk menyajikan informasi pada siswa agar
mencapai tujuan. Evaluasi, yakni cara tertentu yang digunakan untuk menilai
suatu proses dan hasilnya.
Gagne berpendapat (Dimyati dan Mujiono, 2006 : 12) bahwa dalam
belajar ada tiga tahapan yang meliputi sembilan fase (lihat tabel 2.1). Tahapan itu
sebagai berikut : (1) persiapan untuk belajar, fase pertama pada tahap ini adalah
mengarahkan perhatian dengan tujuan untuk menarik perhatian siswa untuk
memulai pelajaran misalnya guru mengajukan pertanyaan mengapa kapal bisa
terapung sedangan batu tidak ?. Fase kedua adalah ekspektasi yaitu memberitahu
tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Penulisan tujuan ini hendaknya
dituliskan secara jelas dipapan tulis agar dapat dibaca dan untuk mengingatkan
kembali tujuan pembelajaran apabila siswa lupa. Dan fase terakhir pada tahap ini
adalah retrival yaitu merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar
sebelumnya misalnya untuk menghitung massa jenis maka siswa dipersyaratkan
telah mampu menggunakan neraca untuk mengukur massa benda, mampu
membaca skala hasil pengukur, jika hal ini masih belum dikuasi siswa maka guru
perlu membimbing sekali lagi cara menimbang dan membaca skalanya lagi (2)
pemerolehan dan unjuk perbuatan (performasi). (3) retrival dan alih belajar.
Adanya tahap dan fase belajar tersebut mempermudah guru untuk melakukan
pembelajaran. Dalam rangka pembelajaran maka guru dapat menyusun acara
pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan
antara fase belajar dengan acara-acara pembelajaran dapat dilukiskan seperti pada
tabel 2.1:
Tabel 2.1 Hubungan antara Fase belajar dan acara pembelajaran
Tahapan belajar Fase belajar Acara Pembelajaran
Persiapan untuk belajar
1. Mengarahkan perhatian
Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti
biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus
2. Ekspektasi Memberitahu siswa mengenai tujuan belajar
3. Retrival (informasi dan ketrampilan yang relevan untuk memori kerja)
Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya
Perolehan dan unjuk perbuatan
4. Persepsi selektif atas sifat stimulus
Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya
5. Sandi semantik Memberikan bimbingan belajar 6. Retrival dan respon Memunculkan perbuatan siswa 7. Penguatan Memberikan balikan informasi Retrival dan alih belajar
8. Pengisyaratan Menilai perbuatan siswa
9. Pemberlakuan secara umum
Meningkatkan retensi dan alih belajar
3. Model Pembelajaran Kooperatif
Pengertian kooperatif dapat diartikan melakukan sesuatu secara bersama-
sama dengan saling membantu dan bekerjasama dalam sebuah kelompok.
Sedangkan menurut Gagne (1994), pembelajaran didefinisikan sebagai
"seperangkat peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung terjadinya
proses belajar yang sifatnya internal dengan tujuan membantu orang belajar".
Dari pendapat tersebut maka pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) dapat diartikan sebagai pendekatan pembelajaran pada sekelompok kecil
siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan proses belajar untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pada dasarnya manusia memiliki derajat, potensi, latar belakang historis,
serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, manusia
dapat saling asah, asih dan asuh. Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi
yang asah, asih dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning
community).
a. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Kindsvatter dkk (Paul Suparno : 135), belajar bersama
mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut : "(1) meningkatkan hasil belajar;
(2) alternatif pembelajaran kompetitif; (3) meningkatkan kerja sama antar siswa;
(4) memfasilitasi siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi".
Dari tujuan diatas dapat disimpulkan bahwa kerja sama kelompok diyakini
dapat meningkatkan hasil belajar yang ingin dicapai. Belajar dengan model
kooperatif merupakan alternatif terhadap pembelajaran kompetitif. Pembelajaran
kompetitif sering membuat siswa lemah menjadi minder, sedangkan pembelajaran
kooperatif justru membantu siswa yang lemah untuk maju. Dengan belajar
bersama dalam kelompok hubungan antar siswa makin akrab dan kerja sama
antara siswa akan semakin baik. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan
interpersonal tinggi cara pembelajaran kooperatif sangat cocok untuk
memutakhirkan pengetahuannya. Siswa akan lebih mudah mengkonstruksi
pengetahuannya lewat bekerja sama dengan teman.
b. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif
Terdapat empat prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif (Wina
Sanjaya : 246). Keempat prinsip itu dijelaskan sebagai berikut, pertama " Prinsip
ketergantungan Positip (positive interdependence)", dalam pembelajaran
kooperatif guru menciptakan suasana agar siswa merasa saling membutuhkan.
Hubungan saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling
ketergantungan positip; kedua " Tanggungjawab Perseorangan (individual
accountability)", hasil penilaian oleh guru ditunjukan untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian
secara individual selanjutnya disampaikan kepada kelompok agar semua anggota
kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan
siapa yang memberi bantuan. Nilai kelompok yang merupakan jumlah rata-rata
penguasaan semua anggota kelompok secara individu ini yang dimaksud dengan
tanggungjawab perseorangan; prinsip yang ketiga " Interaksi Tatap Muka (Face to
Face Promotion Interactive)", interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling
bertatap muka dalam kelompok sehingga mereka saling berdialog. Interaksi ini
sangat penting karena siswa merasa mudah belajar dari sesamanya; serta yang ke
empat " Partisipasi dan Komunikasi (participation communication)", ketrampilan
sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan
bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran, tidak mendominasi
orang lain, mandiri dan sikap lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan
antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan.
c. Pengelolaan (manajemen) Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (2008:260) " Unsur penting lainnya dalam sebuah sistem
manajemen pembelajaran kooperatif yang baik adalah harapan yang jelas". Dalam
hal ini guru terlebih dahulu menetapkan tindakan yang perlu dilakukan dikelas
agar pembelajaran kooperatif dapat difungsikan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan guru dalam mengelola suasana ruang
kelas kooperatif antara lain :
Sinyal kebisingan-nol. Pada umumnya pada saat pembelajaran kooperatif
sedang berjalan suasana kelas menjadi riuh atau bising, ada kalanya juga
kebisingan itu disebabkan topik yang dibicarakan pada masing-masing kelompok
keluar dari pembicaraan yang semestinya, untuk itu guru perlu mengembalikan
suasana sebagaimana mestinya. Untuk keperluan tersebut guru perlu memberi
sinyal atau tanda, misalnya dengan cara mengangkat tangan atau membunyikan
bel sehingga perhatian siswa kembali kepada kerja kelompok yang telah
ditetapkan tugasnya;
Pujian Kelompok. Memberikan apresiasi pada kelompok yang bekerja
dengan baik dengan cara memberi pujian tanpa harus memberi tambahan nilai
kelompok bersangkutan. Pujian itu itu misalnya “inilah kelompok yang patut
dicontoh.
Buletin Rekognisi Spesial. Buletin Rekognisi merupakan sebuah
pengakuan berisi catatan spesial bagi kelompok yang menampakan perubahan
tingkah laku atau sikap yang sangat diharapkan. Cara ini sangat membantu siswa
dalam satu kelompok untuk bekerja keras dan saling membantu karena ia tahu
hasil kelompok yang diperoleh akan di rekognisi.
Upacara Rekognisi Spesial. Individu atau tim yang paling baik
mencatatkan poin-poin yang ia peroleh dalam diagram rekognisi spesial dan guru
mengajak siswa dalam kelas itu untuk memberi penghargaan, misalnya dalam
bentuk tepuk tangan.
d. Prosedur Pembelajaran Kooperatif di Kelas
Agar pembelajaran kooperatif yang dilakukan dikelas dapat berjalan
efektif, maka ada empat tahap yang harus dilakukan oleh guru (Wina Sanjaya
2007 : 248) yaitu : " Penjelasan Materi, Belajar dalam kelompok, Penilaian, dan
Pengakuan Tim ".
Pada penjelasan materi guru menyampaikan pokok-pokok materi pelajaran
yang akan dibahas kepada siswa sebelum siswa dibagi dalam kelompoknya.
Dalam tahap penjelasan materi pelajaran yang akan disampaikan guru dapat
menggunakan metode ceramah atau metode lain yang dianggap perlu.
Setelah gambaran umum materi-materi pokok yang telah disampaikan,
maka selanjutnya siswa diminta untuk belajar dalam kelompok yang sebelumnya
telah dibentuk. Pembentukan kelompok kelas kooperatif bersifat heterogen,
artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya,
baik perbedaan jenis kelamin, etnik, sosial ekonomi, latar belakang agama
maupun kemampuan akademiknya. Khusus dalam hal kemampuan akademiknya
menurut Anita Lie (Wina Sanjaya 2007 : 248) "biasanya kelompok terdiri dari
satu orang berkemampuan tinggi, dua orang berkemampuan sedang dan satu
orang lainnya berkemampuan kurang".
Dalam pembelajaran kooperatif penilaian dilakukan dengan cara tes atau
kuis. Tes atau kuis yang dibuat guru dapat disampaikan secara individu atau
kelompok. Tes individu nantinya akan memberikan informasi atas kemampuan
setiap siswa, sedang tes yang disampaikan untuk kelompok akan memberikan
informasi atas kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah
gabungan antara nilai individu dan kelompok dibagi dua. Setiap siswa mempunyai
nilai kelompok yang sama karena nilai kelompok merupakan hasil kerja sama
antar anggota kelompok.
Pengakuan Tim. Dalam pembelajaran kooperatif pengakuan tim perlu
dilakukan. Pengukan tim diberikan kepada tim yang dianggap paling berprestasi
dan untuk kemudian tim tersebut layak untuk diberi sebuah penghargaan atau
hadiah. Penghargaan yang diberikan sebaiknya tidak berupa nilai. Penghargaan
yang diberikan merupakan sesuatu yang dapat membangkitkan motivasi kepada
individu atau kelompok agar lebih berprestasi lebih tinggi.
4. Tipe Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model pembelajaran.
Model pembelajaran yang banyak dikembangkan saat ini antara lain : STAD
(Student Team Achievement Divisions) dan TGT (Team Game Tournament).
"Kedua model ini banyak kemiripannya, satu-satunya perbedaan antara
keduannya adalah STAD menggunakan kuis-kuis pada akhir pembelajaran,
sementara TGT menggunakan game-game akademik" (Salvin 2008 : 143).
a. Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
STAD (Student Team Achievement Divisions), merupakan model
pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Robert E. Slavin di Universitas
John Hopkins, AS.
STAD terdiri dari lima fase kegiatan, yaitu : (1) Presentasi kelas, pada fase
ini guru memperkenalkan materi-materi pokok yang akan dibahas lebih lanjut.
Pada saat menyampaikan materi-materi pokok, guru dapat melakukannya dengan
diskusi kelas atau tanya jawab tetapi bisa juga dengan menggunakan media
audiovisual; (2) Tim (kelompok belajar), tim terdiri dari empat atau lima siswa.
Setelah guru menyampaikan materi-materi pokok yang akan dibahas siswa
diminta untuk mengelompok sesuai dengan kelompok yang sebelumnya telah
terbentuk untuk mempelajari materi-materi atau lembar kerja siswa. Guru harus
dapat mengendalikan tim agar tim selalu dalam suasana belajar. Tiap anggota tim
diarahkan untuk selalu mengerjakan kegiatan secara maksimal dan diingatkan
sekali lagi bahwa nilai individu akan memberi kontribusi kepada nilai tim; (3)
Kuis. Kuis diberikan kepada siswa secara individual setelah beberapa kali
pertemuan. Yang harus dipahami bahwa setiap siswa mengerjakan kuis ini secara
mandiri, tidak boleh saling membantu. Materi kuis merupakan materi yang
mengukur aspek kognitif, sikap, dan psikomotor; (4) Skor Kemajuan Individual.
Fase ini bertujuan untuk membandingkan sikap awal siswa dengan sikap akhir
setelah siswa belajar dalam kelas kooperatif; (5) Rekognisi Tim. Apabila sebuah
tim mendapatkan nilai atau skor rata-rata mencapai kriteria yang telah ditetapkan,
maka tim tersebut diberi penghargaan.
b. Pembelajaran Kooperatif tipe TGT
Pada umumnya TGT (Team Game Tournament) sama dengan STAD.
Dalam pelaksanaannya TGT menggunakan turnamen akademik, kuis-kuis dan
sistem skor kemajuan akademik individu, dimana para siswa satu sama lainnya
saling berlomba sebagai wakil tim atau kelompok dengan anggota kelompok lain
yang pada awalnya memiliki kemampuan akademik yang setara.
TGT juga terdiri dari lima fase kegiatan, yaitu : fase presentasi kelas dan
pembentukan kelompok serta fase rekognisi tim sama dengan model pembelajaran
menggunakan STAD. Dua fase lain yang diberlakukan pada pembelajaran model
TGT adalah sebagai berikut : (1) Game. Konten dari game terdiri dari pertanyaan-
pertanyaan yang relevan dan dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang
diperolehnya dari presentasi kelas dan pembahasan materi dalam kelompoknya.
Tiga orang siswa yang mewakili kelompok yang berbeda memainkan sebuah
game dalam satu meja; (2) Turnamen. Turnamen merupakan fase yang dirancang
dan dilaksanakan setelah beberapa game dilakukan. Fase ini biasanya
dilaksanakan pada akhir unit bahasan atau satu bab materi bahasan berakhir. Pada
turnamen pertama, guru menunjuk siswa yang berprestasi tinggi untuk berkumpul
dalam meja satu, siswa yang berprestasi dibawahnya berkumpul pada meja dua
dan seterusnya. Setelah siswa berkelompok menurut tingkat prestasinya,
kemudian lanjutkan pelaksanaan turnamen. Kompetisi ini dianggap adil karena
dalam satu kelompok siswa berada dalam tingkat yang sama. Turnamen yang ke
dua, siswa bertukar meja, siswa yang memperoleh skor paling tinggi dipindahkan
ke meja kerikutnya yang lebih tinggi sedangkan mereka yang memperoleh skor
paling rendah diturunkan ke meja dibawahnya dan siswa yang memperoleh skor
diantaranya tetap pada mejanya.
5. Teori-teori Belajar
Belajar bukanlah aktivitas reaktif mekanistis belaka, tetapi juga ada
pemahaman terhadap perangsang yang datang pada saat seseorang melakukan
aktivitas belajar. Belajar tidak berlangsung seketika tetapi berproses pada hal-hal
esensial seshingga aktivitas belajar itu akan menimbulkan makna yang berarti.
Setiap individu mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya
sehinggamenyebabkan perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Informasi
yang diperoleh disesuaikan dengan kognitif yang telah dimiliki sebelumnya
sehingga terjadi proses asimilasi. Sebaliknya bila struktur kognitif yang dimiliki
yang dimodifikasi dengan informasi baru dari luar maka terjadi proses akomodasi.
Menurut Lewin dalam Saiful Sagala (2003:46) " belajar berlangsung sebagai
akibat dari perubahan dalam struktur kognitif ". Perubahan struktur kognitif
merupakan hasil dari dua macam kekuatan, yaitu dari struktur medan kognisi itu
sendiri dan yang lain dari kebutuhan dan motivasi internal individu.
Teori belajar konstruksivisme menurut Slavin (1997 : 269) adalah teori
yang berpandangan bahwa "siswa sendiri yang harus menemukan dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru, kemudian
membandingkan dengan aturan lama dan merevisi aturan itu apabila tidak sesuai
lagi ". Pendekatan pembelajaran yang searah dengan teori belajar konstruksivisme
salah satunya adalah pembelajaran kooperatif. Konstruksivisme lahir dari gagasan
Piaget dan Vygotsky, keduanya berpandangan bahwa "perubahan kognitif hanya
terjadi jika konsep yang telah dimiliki sebelumnya diolah melalui proses
ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi baru". Keduanya juga
menekankan adanya hakekat sosial dari belajar dan menyarankan penggunaan
kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggotanya yang beragam untuk
mengupayakan perubahan koseptual.
Teori yang mendasari pembelajaran kooperatif antara lain :
a. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses dari pada hasil
belajarnya. Penganut teori ini berpandangan bahwa belajar tidak hanya sekedar
melibatkan antara stimulus dan respon. Dalam Teori belajar kognitif tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahaman siswa tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi
dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang
nampak.
Penganut teori belajar kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan
suatu proses internal yang mencakup, ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang
melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi dengan
melibatkan pengaturan stimulus yang diterima kemudian disesuaikan dengan
struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk dalam pikiran seseorang yang
merupakan pemahaman dan pegalaman-pengalaman sebelumnya.
b. Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget, "perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,
yaitu suatu proses yang didasari atas mekanisme biologis perkembangan sistem
syaraf". Semakin bertambah usia seseorang maka semakin komplek susunan
syarafnya dan makin meningkat pula kemampuan kognitifnya.
Kecakapan intelektual yang diperoleh seseorang pada dasarnya diperoleh
dari proses mencari keseimbangan (adaptasi) antara apa yang dirasakan dan
diketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat sebagai fenomena baru
sebagai pengalaman. Keseimbangan seseorang tidak akan terganggu jika ia dapat
mengatasi situasi atas pengalaman baru yang diperolehnya, tetapi jika tidak maka
ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya.
Pada dasarnya dalam belajar terjadi proses adaptasi. Proses adaptasi
mempunyai dua bentuk secara simultan, yang pertama asimilasi yaitu proses
perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang.
Apabila seseorang menerima informasi baru atau pengalaman baru maka
informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif
yang telah dipunyainya (proses asimilasi), kedua akomodasi yaitu proses
perubahan struktur kognitif. Apabila struktur kognitif yang sudah dimilikinya
harus disesuaikan dengan informasi baru yang diterima maka seseorang harus
menyesuaikannya (proses akomodasi).
Asimilasi dan akmodasi akan terjadi apabila terjadi konflik kognitif.
Konflik kognitif terjadi jika tidak ada keseimbangan (ekuilibrasi) antara apa yang
telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya. Konflik kognitif akan
mempengaruh struktur kognitif seseorang.
Menurut Piaget, "proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahapan
asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi". Proses asimilasi merupakan proses
pengintegrasian informasi baru kedalam struktur kognitifnya. Proses akomodasi
merupakan proses penyesuaian struktur kognitifnya terhadap situasi baru. Dan
proses ekuilibrasi merupakan proses penyesusian antara asimilasi dan akomodasi.
c. Teori Belajar Bruner
Bruner berpendapat bahwa "dalam proses belajar selalu ada pengaruh
kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang". Proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Menurut Bruner dalam Ratna Willis Dahar (1989:101) bahwa "belajar
sebagai proses perkembangan kognitif melibatkan tiga proses yang berlangsung
hampir bersamaan. Ketiga proses itu ialah (1) memperoleh informasi baru, (2)
transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan".
Teori ini menjelaskan bahwa informasi yang diperoleh dapat merupakan
penghalusan dari informasi sebelumya yang telah dimilikinya. Sementara itu
transformasi informasi merupakan cara bagaimana memperlakukan informasi itu
apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain.
Selanjutnya kita menguji relevansi dan ketepatan informasi dengan cara menilai
apakah dalam memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada.
Disisi lain Bruner mengatakan (Budiningsih 2005:41) bahwa
perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh
caranya melihat lingkungan, (1) tahap enactive, seseorang melakukan aktivitas-
aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Dalam memahami
dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motoriknya, misalnya melalui
gigitan, sentuhan, dan pegangan. (2) tahap iconic untuk memahami dunianya atau
obyek-obyek, seseorang menggunakan gambar-gambar dan visualisasi verbal.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan
dan perbandingan. (3) tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide
atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya
dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika. Komunikasinya dilakukan
dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun terjadi
demikian tidak berarti seseorang tidak lagi menggunakan sistem enactive dan
iconic, contohnya masih digunakannya media dalam kegiatan pembelajarannya.
Demikian pula model pemahaman konsep dari Bruner (Budiningsih
2005:42) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep
merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses
berpikir berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi
dan menempatkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep
sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep terjadi sebaliknya,
tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru merupakan tindakan penemuan
konsep. Dengan kata lain kegiatan mengkategori memiliki dua komponen, yaitu
(1) tindakan pembentukan konsep, dan (2) tindakan pemahaman konsep. Artinya,
langkah pertama adalah pembentukan konsep kemudian baru pemahaman konsep.
Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep dulu, mencari artinya,
kemudian mencari hubungan-hubungan yang kesemuanya melalui proses intuitif
untuk akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning).
d. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel (Dahar 1989:112) belajar bermakna merupakan suatu
proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Pada saat proses belajar dihasilkan
perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan
informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari. Lebih lanjut
dijelaskan, bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam
struktur hirarkis, ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusi dan
abstrak membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan kongkrit. Pengetahuan
yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu akan dapat memudahkan
perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci.
Ausubel juga mengembangkan advence organizers (Dahar 1989 : 44) yang
merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang
pembelajaran. Penggunaan advence organizers sebagai kerangka isi akan dapat
meningkatkan kemampuan seseorang dalam mempelajari informasi baru, karena
merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar
tentang apa yang dipelajari dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam
struktur kognitifnya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif, dikembangkanlah suatu
model yang lebih eksplisit yang disebut skemata. Sebagai struktur organisasional
skemata berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang
terpisah-pisah atau sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Jadi
skemata memiliki fungsi ganda, yaitu (1) sebagai skema yang mengambarkan
organisasi pengetahuan, (2) sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau
merangkai pengetahuan baru.
Skemata juga memiliki fungsi asimilatif, artinya bahwa skemata berfungsi
untuk mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam hirarkhi pengetahuan yang
lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses belajar
yang paling mendasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam skemata
yang tersusun secara hirarkhis. Skemata yang telah dimiliki seseorangmenjadi
penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh orang tersebut.
Oleh karena itu diperlukan adaya upaya untuk mengorganisasi isi atau materi
pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses
asimilasi pengetahuan baru kedalam struktur kognitif orang yang belajar.
e. Teori Perkembangan Kognitif
Piaget memandang perkembangan intelektual berdasarkan struktur
kognitif dan setiap anak akan melewati tahapan demi tahapan secara hirarkhi
namun perkembangan itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda, tergantung
dari seberapa jauh anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu
(1) tahap sensorimotor (sensory motor stage) usia 0-2 tahun, pada masa ini bayi
bisa membedakan dan mengetahui nama-nama benda; (2) tahap pra-operasional
(preoperational stage) usia 2-7 tahun, tahap ini terbagi lagi menjadi tahap
prakonseptual (preconseptual stage) usia 2-4 tahun masa awal perkembangan
bahasa dengan pemikiran yang sederhana dan tahap pemikiran intuitif (intuitif
thought) usia 4-7 tahun merupakan masa perpikir khayal. Pada masa ini anak
belum bisa berpikir abstrak; (3) tahap operasi kongkrit (concrete operational) usia
7-11 tahun, kemampuan berpikir anak telah lebih tinggi, tetapi masih terbatas
pada hal-hal yang kongkrit, anak sudah menguasi operasi-operasi hitungan seperti
menambah, mengurangi, membagi, menyusun dan sampai mengurutkan; (4) tahap
operasi formal (formal operational)usia 11 tahun keatas. Pada tahap ini
kemampuan berpikir anak telah sempurna ia telah dapat berpiir abstrak, berpikir
deduktif, dan induktif, berpikir analitis dan sintesis.
f. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar yang paling berpengaruh dalam pembelajaran fisika yakni
teori belajar konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme merupakan teori
belajar kognitif yang dinyatakan oleh Piaget. Teori belajar menurut pandangan
konstruktivis, menyatakan bahwa anak tidak menerima begitu saja pengetahuan
dari orang lain, tetapi anak secara aktif membangun pengetahuannya, dengan cara
terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru.
Konstruktivisme merupakan teori perkembangan kognitif yang
menekankan peran aktif anak dalam membangun pemahaman mereka tentang
dunia nyata yang mereka hadapi. Sedangkan menurut Paul Suparno (1997),
prinsip-prinsip teori belajar konstruktivisme adalah sebagai berikut (1)
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara individu maupun secara
berkelompok; (2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa,
kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar dan mengkonstruksi secara
terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih
rinci dan lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah. Dalam hal ini guru hanya
sekedar membantu menyediakan sarana dan membuat situasi agar proses
konstruksi kognitif berjalan mulus dan bukan merupakan penerimaan informasi
yang pasif.
6. Sikap Ilmiah
Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang berpotensi
untuk mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan pribadi yang dilakukannya
(Suhaenah S 2001 :15). Sikap terbentuk dan berubah sejalan dengan
perkembangan individu dan potensi penguatan terbentuk dan perubahannya
tergantung dari interaksi sosialnya. Sikap juga merupakan produk belajar,
seseorang yang mempunyai sikap positip akan lebih positip setelah ia mendapat
pembinaan yang baik dan sebaliknya sikapnya akan menjadi negatif jika ia
mendapat pembinaan yang jelek.
Sikap mempunyai tiga komponen yaitu : (1) Kognitif, yang berhubungan
dengan pengetahuan; (2) Afektif, yang berhubungan dengan perasaan; (3)
Psikomotor, yang berhubungan dengan respon atau tindakan (Sears 1988 : 123).
Tiga komponen ini saling beriteraksi dalam memahami, merasakan dan
berperilaku terhadap sesuatu.
Sikap yang dikembangkan dalam IPA atau sains adalah sikap ilmiah
(scientific attitude). Sikap ilmiah mengandung dua makna (Harlen W, 1985), yaitu
: (1) attitude to science, sikap terhadap IPA; (2) attitude of science, sikap yang
melekat pada seseorang setelah ia mempelajari IPA. Pada kajian ini akan dibahas
scientific attitude yang berkaitan dengan attitude of science.
Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul
apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi
individu. respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai
sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang
memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-
negatip, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai
potensi reaksi terhadap obyek sikap.
Beberapa scientific attitude yang lazim dikembangkan disekolah meliputi ;
sikap jujur, sikap terbuka, sikap tekun, sikap logis, sikap kritis, sikap ingin tahu,
sikap luwes terhadap gagasan baru, sikap peka atau peduli terhadap lingkungan
atau sesamanya.
Bagaimanakah cara mengukur sikap ilmiah? Sikap ilmiah termasuk dalam
ranah afektif. Salah satu alat ukur aspek afektif adalah Skala Likert (Likert scale),
yang bertujuan untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap seseorang (Robert
dalam Muhibin Syah, 1999 :155). Bentuk skala Likert menampung pendapat yang
mencerminkan sikap sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak
setuju. Sikap ilmiah akan diamati pada saat siswa melakukan percobaan
dilaboratorium dan selama siswa presentasi dikelas.
7. Kecerdasan Interpersonal (interpersonal intelligence)
Kecerdasan interpersonal berhubungan erat dengan kemampuan seseorang
untuk bekerja sama dan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal dengan
orang lain. Dalam penelitiannya, Gardner (Asri Budiningsih 2005 : 112)
mengidentifikasi ada tujuh kecerdasan manusia dalam memahami dunia nyata.
Hasil penelitiannya juga menunjukan bahwa tidak ada satuan kegiatan manusia
yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, semua kecerdasan bekerja
sama sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu.
Tujuh kecerdasan manusia itu adalah sebagai berikut : (1) kecerdasan
verbal atau berbahasa; (2) kecerdasan logika atau matematika; (3) kecerdasan
Visual atau ruang; (4) kecerdasan tubuh atau gerak; (5) kecerdasan ritmik atau
musikal; (6) kecerdasan interpersonal; dan (7) kecerdasan intrapersonal.
Untuk setiap orang komposisi keterpaduan antara kecerdasan-kecerdasan
itu berbeda-beda. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-
kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah. Juga menurut Gardner, (1)
manusia mempunyai kemampuan untuk meningkatkan dan memperkuat
kecerdasannya; (2) kecerdasan selain dapat berubah dapat pula diajarkan kepada
orang lain; (3) kecerdasan merupakan realita majemuk yang muncul dibagian-
bagian yang berbeda pada sistem otak manusia; (4) pada tingkat tertentu,
kecerdasan ini merupakan satu kesatuan yang utuh.
Penelitian ini hanya akan mengkaji kecerdasan interpersonal, yaitu
kecerdasan yang berhubungan erat dengan kemampuan seseorang untuk bekerja
sama dan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal dengan orang lain,
mampu mengenali perbedaan perasaan, temperamen maupun motivasi orang lain.
Pada tingkat yang lebih tinggi kecerdasan ini dapat membaca konteks kehidupan
orang lain, kecenderunganya dan kemungkinan sikap yang akan diambil.
8. Bahan Belajar Massa Jenis Zat
Bahan belajar yang dipilih pada penelitian ini adalah konsep massa jenis.
Bahan belajar itu didasarkan pada buku acuan Ilmu Pengetahuan Alam I (BSE)
(Depdiknas, 2008 : 63-82).
a. Zat dan Wujudnya
1) Wujud Zat
Dalam kehidupan sehari-hari banyak benda/zat yang dijumpai, benda-
benda itu misalnya meja, batu, tanah, air, es, besi, pohon, udara. Benda-benda
tersebut tersusun dari zat yang berbeda, misalnya zat yang menyusun air berbeda
dengan zat yang menyusun besi, walaupun zat penyusunya berbeda, semua benda
masih mempunyai kesamaan yaitu membutuhkan ruang sebagai tempat
keberadaannya. Ruang dibutuhkan karena benda memiliki besaran volume.
Kesamaan yang lain yaitu massa. Massa merupakan jumlah zat penyusun benda
tersebut dan untuk setiap benda jumlah zat yang dikandung berbeda-beda
walaupun bentuk dan ukurannya sama. Dari sekilas uraian itu dapat dikatakan
bahwa benda/zat merupakan sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang.
Menurut wujudnya zat dibedakan menjadi tiga yaitu : (1) zat padat, (2) zat
cair dan (3) zat dalam wujud gas. Bentuk serta volume benda dalam wujud padat
adalah selalu tetap. Apabila balok kayu diletakkan diatas lantai dan kemudian
dipindahkan keatas meja akan terlihat bahwa bentuk dan volumenya tidak akan
berubah walaupun balok kayu dipindah dari lantai ke atas meja hal ini
menggambarkan bahwa perubahan posisi tidak akan merubah wujud zat. Lain
halnya dengan zat cair misalnya air, sejumlah air dituangkan dalam gelas maka
bentuk air akan sesuai dengan bentuk gelas yang ditempatinya dan apabila air
yang sama dipindahkan kedalam gelas yang lain yang bentuknya lain pula maka
bentuk air akan menyesuaikan dengan tempat barunya. Sifat zat dalam wujud gas
berlainan dengan sifat zat dalam wujud padat dan cair. Sejumlah udara dalam
sebuah ban mempunyai bentuk dan volume sesuai dengan volume dan bentuk ban
yang ditempatinya. Apabila ban itu bocor maka udara akan keluar dari ban, udara
yang mengalir dari dalam keluar ban akan menempati ruang disekitar ban yang
bentuknya berubah sesuai dengan bentuk ruang disekitar ban sedangkan volume
udara akan mengembang seukuran volume ruang disekitar ban tersebut.
2) Perubahan Wujud
Perubahan wujud zat dapat berlangsung apabila zat mendapat pengaruh
panas maupun tekanan baik dari luar maupun dari dalam zat itu sendiri.
(a) (b) (c)
Gambar 2.1 Air dalam tiga wujud
Untuk merubah wujud zat dibutuhkan sejumlah panas. Dalam keadaan
tertentu air dapat berwujud padat (lihat gambar 2.1a ). Jika panas yang diberikan
mencukupi maka es batu seluruhnya akan mencair dan apabila panas terus
diberikan maka air akan mendidih dan kemudian akan menjadi uap. Perubahan
wujud juga dapat terjadi jika zat melepaskan sejumlah panas misalnya uap air
melepaskan sejumlah panasnya maka uap air akan berubah wujudnya menjadi
embun. Jadi pada saat perubahan wujud, zat memerlukan sejumlah panas atau zat
melepaskan panasnya. Perubahan wujud zat secara skematik dapat digambarkan
seperti pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Skema Perubahan Wujud Berdasarkan skema perubahan wujud diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut : (1) membeku, yaitu perubahan wujud dari wujud cair menjadi wujud
pada peristiwa ini proses melepaskan sejumlah panas, (2) mencair, yaitu
perubahan wujud dari wujud padat menjadi wujud cair pada peristiwa ini proses
membutuhkan sejumlah panas, (3) menguap, yaitu perubahan wujud dari wujud
cair menjadi uap pada peristiwa ini proses membutuhkan sejumlah panas, (4)
mengembun, yaitu perubahan wujud dari wujud gas menjadi wujud cair pada
peristiwa ini proses melepaskan sejumlah panas, (5) mengkristal, yaitu proses
perubahan wujud dari wujud gas menjadi wujud padat pada peristiwa ini proses
melepaskan sejumlah panas, (6) menyublim, yaitu perubahan wujud dari wujud
padat menjadi wujud gas pada peristiwa ini proses membutuhkan sejumlah panas.
3) Gerak Partikel pada Berbagai wujud Zat melalui Penalaran
Kita pernah menjemur pakaian basah diterik matahari setelah beberapa
saat pakaian tersebut menjadi kering, kemanakah air dalam pakaian basah tersebut
? Tentunya kita tahu bahwa air dalam pakaian itu menguap. Apakah kita dapat
melihat uapnya ? Tentunya tidak hal ini disebabkan uap air tersebut merupakan
partikel-partikel yang sangat kecil sehingga tidak tampak oleh mata kita.
Partikel-partikel itu selanjutnya disebut molekul. Molekul tersusun oleh
partikel yang lebih kecil yang disebut atom. Bisa jadi dua atom yang sama dan
berlainan secara kimia dapat bergabung membentuk molekul misalnya air
gabungan dari dua atom hidrogen (H) dan satu atom oksigen (O) atau gas oksigen
merupakan gabungan antara dua atom oksigen.
Teori molekul atau teori atom dapat digunakan untuk menjelaskan
perubahan wujud zat. Menurut teori ini zat padat (lihat gambar 2.3) mempunyai
bentuk yang tetap hal ini disebabkan molekul-molekul penyusun zat padat saling
berdekatan dan teratur, selain itu molekul-molekul zat padat tidak mudah bergerak
dengan bebas hal ini disebabkan interaksi gaya diantara molekul sangat kuat.
Gerakan molekul zat padat hanya terbatas pada getaran dan gerak rotasi pada
tempatnya saja.
Gambar 2.3 Susunan Molekul zat Padat, Zat Cair dan Gas
Pada zat cair interaksi gaya antar molekul relatif kurang kuat sehingga
gerakan molekul lebih leluasa. Molekul-molekul zat cair selain bergetar molekul –
molekul itu dapat perpindah tempat tetapi masih dalam kelompoknya. Sifat ini
yang menyebabkan bentuk zat cair tidak tetap. Zat dalam wujud gas memiliki
bentuk dan volume yang berubah-ubah hal ini disebabkan karena molekul-
molekul gas relatif dapat bergerak bebas. Jarak antar molekul berjauhan dibanding
dengan ukuran molekulnya sehingga interaksi antar molekul sangat lemah.
b. Mengukur Besaran Massa dan Volume
1) Mengukur Besaran Massa
Besaran massa dapat diukur dengan menggunakan neraca. Ada berbagai
macam neraca tetapi yang paling banyak digunakan di berbagai laboratorium
sekolah adalah neraca jenis Ohaus (gambar 2.4). Untuk tipe Ohaus 2610 memiliki
tiga lengan dapat mengukur massa sampai 2.610 gram dengan ketelitian 0,1 gram
sedangkan neraca Ohaus yang lebih teliti adalah tipe 311, tipe ini memiliki empat
lengan dapat mengukur massa sampai 310 gram dengan ketelitian 0,01 gram.
Gambar 2.4 Neraca Ohaus
Pembacaan skala pada dua tipe neraca tersebut pada prinsipnya sama yaitu
menjumlahkan angka yang terbaca pada tiap lengan. Sebagai contoh misalnya
pengukuran menggunakan neraca tipe 311 gram. Posisi anak timbangan pada
empat lengan neraca tersebut seperti pada gambar 2.5. Pembacaan skala hasil
pengukuran adalah sebagai berikut :
Lengan 1 posisi anak timbangan pada angka 100 gram, lengan 2 pada
posisi angka 60 gram, dan lengan 3 pada posisi angka 5 gram serta lengan 4 pada
posisi angka 0,6 gram. Hasil akhir pengukuran merupakan jumlah dari angka-
angka yang ditunjuk oleh anak timbangan sehingga hasil akhir pengukurannya
adalah : 100 gram + 60 gram + 5 gram + 0,6 gram = 165,6 gram
2) Mengukur Besaran Volume
Volume merupakan salah satu besaran turunan yang dapat diukur secara
langsung maupun tidak langsung. Besaran volume untuk benda atau zat berwujud
cair dapat diukur secara langsung. Salah satu alat ukur yang dapat digunakan
adalah gelas ukur (gambar 2.6). Cara ini dianggap yang paling mudah yaitu
langsung menuangkan zat cair pada gelas ukur sampai tinggi permukaan zat cair
sesuai dengan volume yang dikehendaki.
Agar pengukuran sesuai dengan yang diharapkan dan tidak terjadi
kesalahan paralaks maka letakkan gelas ukur itu diatas tempat yang
permukaannya rata hal dimaksudkan agar permukaan zat cair nampak jelas
menyentuh angka berapa pada skala yang tertera pada dinding gelas ukur.
Untuk zat padat pengukuran volume dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu pertama jika zat padat yang dimaksud bentuknya tidak teratur misal
bentuknya berupa bongkahan. Untuk mengukur volume benda padat yang
bentuknya tidak teratur digunakan gelas ukur (gambar 2.7). Misalnya akan diukur
volume sebongkah batu, mula-mula gelas ukur diisi air setinggi 40 ml (gambar
2.7a) kemudian bongkahan batu dimasukan kedalam gelas ukur yang telah berisi
air tadi, periksa kembali tinggi permukaan air dalam gelas ukur (gambar 2.7b).
Volume batu sama dengan selisih tinggi permukaan air sesudah dan
sebelum batu dimasukan dalam gelas ukur. Sesuai dengan contoh gambar 3.5
maka volume batu adalah : 80 ml – 40 ml = 40 ml.
Benda padat yang bentuknya teratur misalnya balok volumenya dapat
dihitung secara tidak langsung ( gambar 2.8). Untuk menghitung volume balok
biasanya diukur lebih dahulu panjang masing-masing rusuk dengan sebuah mistar.
Setelah diukur panjang rusuknya dan dengan operasi perkalian terhadap tiga
rusuknya (p x q x r) diperoleh volume balok (V).
Beberapa bangun benda serta volumenya dapat dilihat pada tabel 2.2
dibawah ini :
Tabel 2.2 Bangun benda dan Volumenya
No Bangun Gambar Rumus
1. Kubus
V = a x a x a V : Volume a : Panjang rusuk
2. Silinder
V = π x r2 x t V : volume r : jari-jari alas t : tinggi π : 3,14
3. Bola
V = 4/3 π x r3 r : jari-jari alas π : 3,14
4. Kerucut
V = 1/3 π x r2 x t r : jari-jari alas t : tinggi π : 3,14
c. Massa Jenis
Massa jenis (density), merupakan sifat khas sebuah benda, ukuran
maupun bentuk tidak berpengaruh terhadap besarnya massa jenis. Besarnya massa
jenis ditentukan oleh seberapa besar kepadatan partikel-partikel yang menyusun
zat itu. Analisa sementara menunjukan bahwa konsep massa jenis masih belum
sepenuhnya dipahami oleh banyak siswa. Siswa masih menganggap massa jenis
ternggantung pada ukuran dan bentuk benda.
Massa jenis ( Giancoli 2001 : 325) didefinisikan sebagai massa persatuan
volume : Vm
, dimana m adalah massa benda satuannya kg dan V merupakan
volume benda satuannya 3m , sehingga satuan SI massa jenis adalah 3mkg .
Besaran-besaran temperatur dan tekanan sebenarnya juga ikut mempengaruhi
besarnya massa jenis. Karena efeknya dianggap kecil, maka pengaruh temperatur
dan tekanan dapat diabaikan. Massa jenis berbagai zat (Giancoli 2001 : 325) dapat
dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1 Massa jenis beberapa zat
Zat Massa Jenis, (kg/m3)
Padat : Aluminium 2,70 103 Besi dan Baja 7,8 103 Tembaga 8,9 103 Timah 11,3 103 Emas 19,3 103 Beton 2,3 103 Granit 2,7 103 Kayu 0,3 – 0,9 103 Gelas 2,4 – 2,8 103 Es 0,917 103 Tulang 1,7 – 2,0 103
Cair : Air (4oC) 1,00 103
Darah, plasma 1,03 103 Darah, keseluruhan 1,05 103 Air laut 1,025 103 Air raksa 13,6 103 Alkohol, ethyl 0,79 103 Bensin 0,68 103 Minyak tanah 0,8 103
Gas :Udara 1,29
Helium 0,179 Karbondioksida 1,98 air (uap 100oC) 0,598
Untuk menghitung besar massa jenis suatu benda, harus terlebih dahulu
menentukan massa benda dan volumenya, kemudian membaginya antara massa
dengan volumenya. Dalam penelitian ini penentuan massa jenis difokuskan pada
benda berwujud (fase) padat yang bentuknya teratur maupun tidak teratur, dan
benda dalam wujud cair. Untuk menghitung massa jenis ditentukan dengan cara
sebagai berikut : (a) Zat padat (Aluminium, Besi, Tembaga, kayu) bentuk teratur :
mula-mula pajang rusuk masing-masing zat diukur, kemudian kalikan rusuk-rusuk
itu sehingga diperoleh volumenya. Untuk mengukur massanya timbang satu per
satu zat-zat itu dengan neraca yang tersedia, isikan variabel hasil pengukuran pada
tabel yang telah disediakan, kemudian untuk memperoleh massa jenisnya bagi
besaran massa dengan volume hasil pengukuran. (b) Zat padat yang bentuknya
tidak teratur : untuk mengukur volume benda padat yang bentuknya tidak teratur
dilakukan dengan cara mencelupkan benda yang bersangkutan kedalam gelas ukur
yang telah diisi air. Selisih volume air sebelum dan sesudah benda dicelupkan
merupakan volume benda tersebut sedangkan massa benda ditimbang dengan
neraca yang tersedia. Dan selanjutnya massa jenis dihitung dengan cara
membandingkan besaran massa dengan volume hasil perhitungan itu. (3) Zat cair :
untuk zat cair bentuknya sesuai dengan bentuk yang ditempainya. Untuk
menghitung volume zat cair, zat tersebut langsung dimasukan kedalam gelas ukur,
volume zat cair sesuai skala yang tertunjuk dengan tinggi permukaan
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang relevan dan akan dikaji pada penelitian ini
adalah :
1. Tarono (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “pengaruh penggunaan
metode inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas termodifikasi terhadap prestasi
belajar fisika ditinjau dari sikap ilmiah siswa”; Dalam penelitiannya Tarono
memilih sikap ilmiah siswa sebagai variabel moderator dan diselidiki seberapa
besar pengaruhnya terhadap peningkatan prestasi belajar siswa jika dalam
pembelajarannya menggunakan metode inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas
termodifikasi. Untuk meningkatkan prestasi belajar fisika tidak hanya diperlukan
kemampuan kognitif belaka tetapi diperlukan pula sikap tertentu untuk lebih
memahami dan menyikapi gejala-gejala alam yang ada. Lain dengan yang
dilakukan Tarono dalam penelitian ini sikap ilmiah diletakan sebagai variabel
terikat sedangkan kemampuan interpersonal siswa sebagai variabel moderatornya.
Sikap ilmiah dipandang penting karena sikap ilmiah yang merupakan produk
belajar perlu dimiliki lebih dahulu oleh siswa. Dalam penelitian ini akan diselidiki
pengaruh dua model pembelajaran kooperatif terhadap sikap ilmiah siswa ditinjau
dari kemampuan interpersonal.
2. Sumarsono (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan
pembelajaran kooperatif model STAD (Student Team Achievement Divisions) dan
Model JIGSAW terhadap prestasi belajar fisika pada pokok bahasan tegangan
dan arus bolak balik ditinjau dari aktivitas belajar siswa”. Dalam penelitian,
Sumarsono meneliti pengaruh model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar.
Hasil penelitian menunjukan bahwa model JIGSAW dengan aktivitas tinggi atau
rendah hasilnya masih lebih baik dari pada model STAD. Digambarkan bahwa
dalam pembelajarannya JIGSAW menggunakan simulasi-simulasi yang
menyenangkan sehingga mampu meningkatkan prestasi belajar sekalipun terhadap
siswa yang aktivitas belajarnya rendah.
Berbeda dengan yang dilakukan Sumarsono dalam penelitian ini akan
dicoba model pembelajaran kooperatif lainnya yaitu model STAD dan TGT
apakah ada pengaruhnya terhadap sikap ilmiah siswa. Variabel moderator
Sumarsono menggunakan aktivitas belajar siswa kategori tinggi dan rendah
sedangkan dalam penelitian ini variabel moderatornya menggunakan kemampuan
interpersonal.
3. Tulus Yunanto (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
pembelajaran Kooperatif tipe STAD dan TPS terhadap prestasi belajar ditinjau
dari sikap ilmiah”, Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa prestasi belajar siswa
yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada tipe
TPS dan siswa yang mempunyai sikap ilmiah tinggi menghasilkan prestasi belajar
lebih tinggi daripada siswa yang memiliki sikap ilmiah rendah. Berbeda dengan
penelitian ini model pembelajaran kooperatif tipe STAD akan dibandingkan
dengan tipe TGT. Menurut penelitian Tulus Yunanto tipe STAD lebih baik dari
tipe TPS tetapi menurut penelitian ini diduga bahwa tipe STAD tidak lebih baik
dari tipe TGT.
Dalam penelitiannya Tulus Yunanto menduga bahwa ada perbedaan
signifikan prestasi belajar siswa yang diajar dengan STAD dan TPS pada siswa
yang memiliki sikap ilmiah tinggi atau rendah sedangkan pada tesis ini peneliti
menduga ada perbedaan yang signifikan sikap ilmiah siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan model STAD dan TGT pada siswa yang memiliki
kemampuan interpersonal tinggi dan rendah.
C. Kerangka Berpikir Teoritis
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Wonogiri merupakan studi kasus
pembelajaran fisika memahami wujud zat dan perubahannya pada kompetensi
dasar massa jenis. Input siswa berasal dari beberapa sekolah terbaik disekitar
Wonogiri sehingga bagi guru lebih mudah melatih siswa untuk mencapai prestasi
belajarnya. Latar belakang sosial ekonomi orang tua relatif cukup memadai
sehingga kontribusi terhadap kemajuan pendidikan putra putrinyapun sangat
mendukung, dirumah sarana belajar semua serba ada hal ini memicu sikap anak
yang kurang peka terhadap lingkungannya, saling tolong menolong diantara siswa
rendah. Untuk itu dilakukan penelitian model pembelajaran macam apa yang
mungkin mampu meningkatkan prestasi belajar sekaligus mampu meningkatkan
sikap ilmiah siswa.
Agar penelitian ini lebih terarah hingga bisa sesuai dengan tujuan
penelitian, maka diperlukan kerangka pemikiran yang jelas. Kerangka pemikiran
yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah :
1. Peranan model pembelajaran tipe TGT dan STAD terhadap peningkatan sikap
ilmiah siswa.
Inovasi pembelajaran melalui pemilihan model pembelajaran yang tepat
perlu dilakukan. Secara eksplisit prosedur pembelajaran kooperatif tipe TGT
maupun STAD telah ditetapkan. Keduanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama
dalam langkah-langkah pembelajarannya, yang membedakan diantara keduanya
yaitu adanya game-game dalam pembelajaran TGT sedangkan pada STAD dalam
pembelajarannya terdapat kuis-kuis. Walaupun sedikit terdapat perbedaan
keduanya sama-sama mengedepankan kerja sama antar siswa dalam kelompok.
Model pembelajaran ini juga menekankan munculnya sikap dan perilaku yang
diharapkan yaitu sikap ilmiah siswa.
Dugaan sementara mengatakan bahwa model pembelajaran tipe TGT
maupun STAD mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa, dan diduga pula bahwa
siswa yang dalam pembelajaranya menggunakan TGT sikap ilmiahnya muncul
lebih kuat dibanding dengan kelompok siswa yang dalam pembelajarannya
menggunakan STAD.
2. Perbedaan sikap ilmiah pada siswa yang memiliki kemampuan interpersonal
tinggi dan rendah jika siswa diberi model pembelajaran tipe TGT dan STAD.
Kemampuan interpersonal adalah kecerdasan yang berhubungan erat
dengan kemampuan seseorang untuk bekerja sama dan berkomunikasi, baik
verbal maupun non verbal dengan orang lain. Kemampuan ini dibagi menjadi dua
kategori yaitu tinggi dan rendah. Ciri-ciri siswa yang memiliki kemampuan
interpersonal tinggi antara lain mudah berteman, ia suka berada disekitar orang
lain, ramah sekalipun dengan orang yang baru ia kenal, ia tahu bagaimana
menunggu gilirannya, suka berbagi walaupun itu hanya sebuah ide atau gagasan.
Diduga bahwa siswa yang kemampuan interpersonalnya tinggi akan
mampu menjalankan peranya dalam kelompok belajar sehingga sikap ilmiahnya
akan lebih kuat munculnya dari siswa yang memiliki kemampuan interpersonal
rendah.
3. Pengaruh interaksi model pembelajaran tipe TGT dan STAD dengan
kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa
Dalam pembelajaran dimungkinkan akan terjadi fenomena dimana siswa
yang kemampuan interpersonalnya tinggi dalam pembelajarannya menggunakan
tipe TGT sikap ilmiahnya akan muncul lebih kuat dari pada dalam
pembelajarannya menggunakan tipe STAD. Dugaan kedua bisa terjadi bahwa
siswa yang kemampuan interpersonalnya rendah jika dalam pembelajarannya
menggunakan tipe STAD sikap ilmiahnya akan muncul lebih kuat dari pada dalam
pembelajaranya menggunakan tipe TGT. Jika dua dugaan itu terjadi maka dapat
dikatakan bahwa ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan
interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa.
D. Hipotesis
Dari kerangka berpikir yang telah diuraikan, hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ada pengaruh model pembelajaran tipe TGT dan model pembelajaran tipe
STAD terhadap sikap ilmiah.
2. Ada pengaruh kemampuan interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal
rendah terhadap sikap ilmiah.
3. Ada interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan interpersonal
terhadap sikap ilmiah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Wonogiri tahun
pelajaran 2009/2010 yang terdiri dari enam kelas dengan jumlah 182 siswa.
2. Sampel
Dari populasi enam kelas, diambil dua kelas sebagai sample dengan
menggunakan teknik random sampling.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009
semester gasal tahun pelajaran 2009/2010 bertempat di SMP Negeri 1 Wonogiri.
C. Metode Penelitian
Kategori penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen
yang bertujuan menyelidiki kemungkinan saling hubung sebab akibat antara
variabel-variabel bebas dan variabel moderator terhadap variabel terikat.
Penilitian ini melibatkan dua kelas eksperimen, pada kelas eksperimen satu dalam
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran STAD dan kelas eksperimen
dua dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran TGT.
D. Instrumen Penelitian
Untuk pengumpulan data diperlukan instrumen penelitian. Instrumen
penelitian ini dibagi menjadi dua :
1. Instrumen pelaksanaan penelitian,
Instrumen ini digunakan pada saat pembelajaran yang berupa silabus dan
Rencana Program Pembelajaran (RPP). Silabus yang digunakan merupakan
silabus yang sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sedangkan RPP
yang disusun dipersiapkan dan disesuaikan dengan rencana tatap muka dengan
siswa.
2. Instrumen pengambilan data
Yang termasuk dalam instrumen ini adalah instrumen yang digunakan
untuk tes kemampuan interpersonal siswa yang berupa angket dengan enam
indikator. Sedangkan instrumen lain adalah lembar observasi untuk mengamati
empat sikap ilmiah siswa.
E. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan kerangka pemikiran diatas, data yang didapat berupa hasil
dari tes kemampuan interpersonal sebelum pembelajaran dilaksanakan. Data yang
kedua diperoleh dari pengamatan sikap ilmiah pada dua kali tatap muka.
1. Angket kemampuan interpersonal
Angket merupakan salah satu teknik pengambilan data, hal ini dilakukan
guna mendapatkan informasi tentang kemampuan interpersonal siswa. Bentuk
angket yang dipakai adalah angket langsung tertutup sebanyak 31 butir soal.
Setiap item pertanyaan diikuti dengan lima alternatif jawaban yaitu berupa
pernyataan : sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Jawaban pernyataan tersebut akan mendapat skor sesuai dengan pernyataan
positip dengan bobot yaitu : Sangat setuju = 5, setuju = 4, netral = 3, tidak setuju
= 2, dan sangat tidak setuju = 1, skor untuk pernyataan negatif dengan bobot
sebaliknya.
2. Lembar observasi sikap ilmiah
Lembar observasi dibutuhkan guna untuk mengumpulkan data sikap
ilmiah siswa. Dalam lembar ini terdapat enam sikap ilmiah yang harus diamati
yaitu : sikap jujur, menerima gagasan baru (terbuka), rasa ingin tahu, teliti,
menghargai pendapat orang lain, dan kritis. Agar sikap ilmiah dapat mudah
teramati maka masing-masing sikap ilmiah itu ditentukan indikatornya.
Setiap item sikap ilmiah diikuti dengan lima alternatif pernyataan yang
berkaitan dengan indikator pengamatan, yaitu : sikap yang muncul sangat kuat
teramati, sikap yang muncul kuat teramati, sikap yang muncul teramati, sikap
yang diharapkan kurang teramati, dan sikap yang diharapkan tidak teramati.
Masing-masing sikap yang diamati tersebut tersebut diberi skor sebagai berikut :
jika sikap yang muncul sangat kuat teramati = 5, sikap yang muncul kuat teramati
= 4, sikap yang muncul teramati = 3, sikap yang diharapkan kurang teramati = 2,
dan sikap yang diharapkan tidak teramati = 1.
F. Uji Coba Instrumen
Sebelum digunakan untuk mengambil data penelitian angket kemampuan
interpersonal diujicobakan disekolah lain untuk mengetahui validitas dan
realibilitas dari angket tersebut.
1. Uji Validitas
Uji validitas merupakan ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrumen. Instrumen yang valid memiliki validitas yang tinggi
dan sebaliknya instrumen yang kurang valid atau tidak valid meliliki validitas
yang rendah. Untuk mengetahui validitas instrumen digunakan rumus sebagai
berikut :
r =NΣXY − (ΣX)(ΣY)
{NΣX − (ΣX) }{NΣY − (ΣY) }
(Suharsimi Arikunto 2006:274)
dengan penjelasan sebagai berikut : X = skor item, Y = skor total, N = bilangan
cacah subyek, dan rxy = angka validitas item. Kriteria harga dari rxy adalah sebagai
berikut : item tes angket dikatakan valid jika rxy observasi > rxy tabel pada taraf
signifikan 5 %.
Pada penelitian ini diuji cobakan 30 butir soal angket kemampuan
interpersonal siswa. Setelah diolah terdapat 24 soal yang valid dan 6 soal yang
tidak valid yaitu soal nomor 1, 3, 16, 21, 23, dan 28. Dua puluh empat butir soal
kemampuan interpersonal akan digunakan untuk menentukan kategori tinggi dan
rendah kemampuan interpersonal siswa. Diambil 24 butir soal dengan alasan
butir-butir soal itu sudah mewakili indikator yang telah ditentukan.
2. Uji Reliabilitas
Realibilitas menunjukan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen
cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena
instrumen tersebut sudah cukup baik. Instrumen memiliki keajegan dalam menilai
apa yang seharusnya dinilai, artinya kapanpun digunakan akan memberikan hasil
yang relatif sama.
Untuk mengukur indeks reliabilitas keseluruhan pernyataan dalam angket
digunakan rumus Alpha (Suharsimi Arikunto, 2006: 196)
r =k
k − 1 1 −Σσσ
dengan penjelasan sebagai berikut : r11= reliabilitas instrumen, k = banyaknya
butir pernyataan atau soal, b2 = jumlah varians butir soal, t
2 = varians total.
Kriteria reliabilitas adalah sebagai berikut : 0 r11 0,2 : sangat rendah, 0,2 r11
0,39 : rendah, 0,39 r11 0,59 : cukup, 0,59 r11 0,79 : tinggi, 0,79 r11 1,0 :
sangat tinggi. Untuk angket kemampuan interpersonal diperoleh indeks reliabilitas
0,8152 (sangat tinggi)
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel Penelitian
Ada dua variabel dalam penelitian ini yaitu : (1) Variabel bebas yang
terdiri dari model pembelajaran jenis STAD dan TGT dan kemampuan
interpersonal siswa tinggi dan sedang serta rendah; (2) Variabel terikat adalah
sikap ilmiah siswa; (3) sedangkan variabel lain adalah kemampuan interpersonal
siswa
2. Definisi operasional
Untuk memperjelas variabel tersebut dapat dijelaskan definisi operasional
sebagai berikut :
a. Model pembelajaran kooperatif
Merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran dimana siswa
secara berkelompok belajar secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama
yang telah ditetapkan lebih dahulu. Kelompok belajar terdiri dari 4-5 orang siswa
yang merupakan campuran laki-laki dan perempuan, mempunyai kemampuan
akademik yang beragam, dan saling mendiskusikan masalah-masalah yang
dibahas serta saling membantu untuk mencapai ketuntasan belajarnya.
b. Model pembelajaran STAD
Salah satu model pembelajaran kooperatif yang mempunyai 5 sintak
dalam pembelajarannya. Lima sintak itu adalah Presentasi kelas, Tim, Kuis, Skor
kemajuan individual dan Rekognisi tim.
c. Model pembelajaran TGT
Model pembelajaran kooperatif yang lain, yang dalam pembelajarannya
mengikuti lima sintak. Lima sintak itu adalah Presentasi kelas, Tim, Game dan
Turnamen serta Rekognisi tim.
d. Kemampuan Interpersonal
Kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja sama
dan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Beberapa indikator
kemampuan interpersonal rendah : Tidak suka berbaur, Tidak suka bergiliran,
Sangat posesif, Sangat agresif. Sedangkan indikator kemampuan interpersonal
tinggi : Berteman dan berkenalan dengan mudah, Suka berada disekitar orang lain,
Ramah dengan orang lain, Suka berbagi, Mengetahui bagaimana menunggu
gilirannya.
e. Sikap Ilmiah
Sikap diartikan sebagai kesiapan, kesediaan dan kecenderungan untuk
bertindak terhadap obyek tertentu sebagai hasil dari interaksi sosial. Sikap yang
dikembangkan dalam sains adalah sikap ilmiah atau dikenal dengan scientific
attitude. Beberapa contoh yang termasuk sikap ilmiah antara lain : teliti, jujur,
disiplin, terbuka, luwes, tekun, kritis, kreatif, sikap ingin tahu, dan sikap selalu
mendahulukan bukti.
H. Analisis Data
1. Uji Pendahuluan
Pada uji pendahuluan digunakan statistik uji t dengan tujuan untuk
mengetahui sampel dari dua kelompok eksperimen dalam keadaan seimbang atau
tidak (Budiyono : 157). Maka secara statistik apakah terdapat perbedaan rata-rata
yang signifikan antara kedua kelompok eksperimen tersebut.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai sebikut :
a. Menentukan hipotesis
Ho : µ1 = µ2
H1 : µ1 ≠ µ2
b. Dipilih : α = 0,05
c. Statistik Uji-t , adalah :
푡 = 푋 − 푋
푆 1푛 − 1
푛
푆 = (푛 − 1)푠 + (푛 − 1)푠
푛 + 푛 − 2
X1 : Nilai USBN kelas VII, kelompok eksperimen model pembelajaran STAD.
X2 : Nilai USBN kelas VII, kelompok eksperimen model pembelajaran TGT
푆12 : variansi kelompok eksperimen model pembelajaran STAD
푆22 : variansi kelompok eksperimen model pembelajaran TGT
푛1 : Banyaknya siswa kelompok eksperimen model pembelajaran STAD
푛2 : Banyaknya siswa kelompok eksperimen model pembelajaran TGT
d. Daerah Kritik
Dk : 푡 푡 ; < 푡 푎푡푎푢 푡 < − 푡 ;
2. Uji Prasyarat Analisis
a. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk memperoleh gambaran apakah populasi
terdistribusi normal. Uji normalitas menggunakan uji dengan metode Lilliefors.
Langkah-langkahnya sebagai berikut ;
1) Menetapkan hipotesis
a) Ho : sampel berasal dari populasi terdistribusi normal.
b) H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang terdistribusi normal
c) Dipilih : α = 0,05
d) Statistik uji yang digunakan
L = Maks │F(Zi) – S(Zi)│
Dengan : Z berdistribusi N(0,1)
F(Zi) = P(Z≤ Zi)
S(Zi) = proporsi cacah Z≤ zi terhadap seluruh zi
zi =
e) Daerah Kritik (Dk)
Dk : 퐿 퐿 ≥ 퐿 ⁄ , dengan n adalah ukuran sampel. Dk dikonsultasikan
dari tabel Lilliefors.
2) Keputusan Uji
Ho ditolak jika Dk jatuh didalam daerah kritik, dan Ho tidak ditolak jika Dk
jatuh diluar daerah kritik.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas diperlukan untuk mengetahui apakah varians-varians
tersebut sama atau tidak. Jika populasi memiliki varians-varians yang sama
dikatakan populasi homogen. Uji Homogenitas menggunakan uji Bartllet.
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Hipotesis
Ho : σ12 = σ2
2 (populasi-populasi homogen)
H1 : tidak semua varians sama atau paling sedikit satu varians berbeda
(populasi-populasi tidak homogen)
2) Dipilih : α = 0,05
3) Statistik uji yang digunakan ;
χ = , f log RKG − ∑ f log s
dimana :
SS = ΣX − ΣX
n
S = nΣX − (ΣX)
n(n− 1)
C = 1 + 1
3(k − 1) Σ
1f−
1f
RKG = ΣSSΣf
4) Daerah kritik
Dk = { χ2 │ χ2 > χ2α, k-1}; dimana χ2
α, k-1 diperoleh dari daftar distribusi Chi
kuadrat dengan taraf signifikan α dan derajat kebebasan (k-1)
5) Keputusan Uji
Ho ditolak jika 휒 ∈ 퐷푘 atau tidak ditolak jika 휒 ∉ 퐷푘
3. Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis menggunakan analisis varians dua jalan 2x2 dengan
frekwensi tidak sama dengan model data sebagai berikut :
Xijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Xijk : data pengamatan ke- k yang dikenai faktor model pembelajaran (A) ke- i
dan faktor kemampuan interpersonal (B) ke- j
µ : rerata besar dari seluruh data amatan (pada populasi)
αi : efek faktor A baris ke- i terhadap Xijk (variabel terikat)
βj : efek faktor B baris ke- j terhadap Xijk (variabel terikat)
(αβ)ij : kombinasi efek faktor A baris ke- i efek faktor B baris ke- j pada variabel
terikat
εijk : kesalahan eksperimental berdistribusi normal
i = 1,2 1 : model pembelajaran STAD. 2 : model pembelajaran TGT
j = 1,2 1 : interpersonal tinggi 2 : interpersonal rendah
k = 1,2,3, ...,nij = banyaknya data amatan pada sel abij
a. Anava
Hipotesis-hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1) Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT terhadap sikap
ilmiah siswa
HoA : Tidak ada perbedaan sikap ilmiah siswa pada pembelajaran
kooperatif tipe STAD dan TGT
H1A : Ada perbedaan sikap ilmiah siswa pada pembelajaran kooperatif tipe
STAD dan TGT.
2) Pengaruh kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa
HoB : Tidak ada perbedaan sikap ilmiah siswa yang memiliki kemampuan
interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal rendah.
H1B : Ada perbedaan sikap ilmiah siswa yang memiliki kemampuan
interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal rendah.
3) Interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT dengan
kemampuan interpersonal siswa
HoAB : Tidak ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan TGT dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah
siswa.
H1AB : Ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan
TGT dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa.
b. Komputasi
1) Data sel
Rancangan anava dua jalan isi sel tidak sama adalah
B B1 B2 A A1 A1B1 A1B2
A2 A2B1 A2B2
Keterangan :
A : Kemampuan interpersonal siswa
A1 : Kemampuan interpersonal Tinggi
A2 : Kemampuan interpersonal Rendah
B : model pembelajaran Kooperatif
B1 : model pembelajaran kooperatif tipe STAD
B2 : Model pembelajaran kooperatif tipe TGT
2) Komponen Jumlah Kuadrat ( Budiyono : 229)
(1) = G
n p q = GN
(2) = SS,
(3) = Aq
(4) = Bp
(5) = AB
n,
3) Jumlah Kuadrat (sum square) (Budiyono : 229)
n = pq
∑ 1n
JK = N {(3) − (1)}
JK = N {(4) − (1)}
JK = N {(1) + (5) − (3) − (4)}
JK = (2)
4) Derajat Kebeasan (Degree of Freedom) (Budiyono : 229)
dk = p − 1
dk = q − 1
dk = (p − 1)(q − 1)
dk = N − pq
5) Rataan kuadrat (Mean square) (Budiyono : 230)
RK = JKdk
RK = JKdk
RK =
RK = JKdk
6) Statistik Uji (Budiyono : 230)
F = RKRK
F = RKRK
F = RKRK
7) Daerah Kritik (Budiyono : 230)
DK = F |F > Fα; ;
DK = F |F > Fα; ;
DK = F |F > Fα;( )( );
8) Keputusan Uji
HoA ditolak jika F ≥ Fα; ;
HoB ditolak jika F ≥ Fα; ;
HoAB ditolak jika F ≥ Fα;( )( );
9) Rangkuman Analisis
Sumber Variansi
JK dk RK Fhitung Ftabel
Efek Utama :
A (baris) JKA p-1 RKA FA Fα;p-1;N-pq
B (kolom) JKB q-1 RKB FB Fα;q-1;N-pq
Interaksi :
AB JKAB (p-1)(q-1) RKAB FAB Fα;(p-1)(q-1);N-pq
c. Uji Lanjut Anava
Uji lanjut anava merupakan tindak lanjut dari analisis variansi apabila
hasil analisis variansi menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak. Tujuan dari uji
lanjut anava ini adalah untuk melakukan pengacakan terhadap rerata setiap kolom,
baris dan pasangan sel sehingga diketahui pada bagian mana sajakah terdapat
rerata yang berbeda.
Dalam penelitian ini uji lanjut anava menggunakan metode Komparasi
Ganda dengan Uji Scheffe. Langkah-langkahnya sebagai berikut ( Budiyono,
2004:201) :
a) Identifikasikan semua pasangan komparasi rataan yang ada, jika terdapat k
perlakuan, maka ada k (k-1)2
pasangan rataan
b) Merumuskan hipotesis yang sesuai dengan komparasi tersebut
c) Menentukan tingkat signifikan
d) Mencari nilai statistik uji F dengan menggunakan formula :
1). F = komparasi rataan antar baris
2). F = komparasi rataan antar kolom
3). F = komparasi antar sel pada kolom yang sama
4). F = komparasi antar sel pada baris yang sama
e) Menentukan daerah kritik dengan rumus sebagai berikut :
1). Komparasi rataan antar baris
DK = F F > (p − 1)Fα;( );( )
2). Komparasi rataan antar kolom
DK = F F > (q − 1)Fα;( );( )
3). Komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama (sel ij dan sel kj)
DK = F F > (pq − 1)Fα;( );( )
4). Komparasi rataan antar sel pada baris yang sama ( sel ij dan sel ik)
DK = F F > (pq − 1)Fα;( );( )
f) Menentukan keputusan uji
g) Menentukan kesimpulan dari keputusan uji yang ada
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas data kemampuan
interpersonal siswa dan sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah diamati pada saat siswa
mengikuti pembelajaran pada standar kompetensi memahami wujud dan
perubahannya serta pada kompetensi dasar mendiskripsikan konsep massa jenis
dalam kehidupan sehari-hari.
1. Data Kemampuan Interpersonal
Dalam penelitian ini kemampuan interpersonal diperoleh dari pemberian
angket kemampuan interpersonal kepada responden. Kemampuan interpersonal
dibagi dua menjadi kategori yaitu kemampuan interpersonal tinggi dan
kemampuan interpersonal rendah. Penggolongan kategori didasarkan pada ±
standar deviasi. Deskripsi kemampuan interpersonal dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Deskripsi data Kemampuan Interpersonal
Kelompok Jumlah Data
Nilai Tertinggi
Nilai terendah Rata-rata Standar
Deviasi TGT 23 109 81 95,17 6,05
STAD 23 102 77 92,26 5,83
Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa untuk kelompok STAD nilai
tertinggi untuk kemampuan interpersonal siswa adalah 102 dan nilai terendahnya
77 sedangkan standar deviasinya 5,83. Untuk kelompok TGT nilai tertinggi untuk
kemampuan interpersonal siswa adalah 109, nilai terendahnya 81 dengan standar
deviasi 6,05. Data diatas menggambarkan bahwa kelompok TGT memiliki
kemampuan interpersonal lebih baik dari kelompok STAD walaupun standar
deviasinya lebih besar. Sebaran distribusi frekwensi untuk kemampuan
interpersonal pada kelompok STAD diperlihatkan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Frekwensi Kemampuan interpersonal kelompok STAD
Interval Frekwensi Prosentasi Prosentase Kumulatif 77 – 82 1 4,35 4,35 83 – 88 3 13,04 17,39 89 – 94 11 47,83 65,22
95 – 100 7 30,43 95,65 101 – 106 1 4,35 100,00 107 – 112 0 0,00 100,00
23 100,00
Pada tabel 4.2 terlihat bahwa frekwensi terbesar jatuh pada interval 89-94,
ini berarti siswa yang memperoleh skor kemampuan interpersonal paling banyak
berada pada interval 89-94. Untuk memperjelas distribusi frekwensi kemampuan
interpersonal kelomppok STAD perhatikan histogram pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Histogram Kemampuan Interpersonal Kelompok STAD
Dari gambar 4.1 sekaligus juga terlihat bahwa histogramnya berbentuk
kurva normal dengan frekwensi terbanyak pada interval 89-94. Pada interval itu
prosentasenya 47,83 %. Sedangkan pada interval 107-112 nol artinya tidak ada
siswa yang kemampuan interpersonalnya didaerah itu dibanding dengan siswa
kelompok TGT
0
2
4
6
8
10
12
77-82 83-88 89-94 95-100 101-106 107-112
FREK
WEN
SI
INTERVAL
Distribusi frekwensi kemampuan interpersonal kelompok TGT
diperlihatkan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Distribusi Frekwensi Kemampuan Interpersonal Kelompok TGT
Interval Frekwensi Prosentasi Prosentase Kumulatif 77-82 1 4,35 4,35 83-88 1 4,35 8,70 89-94 9 39,13 47,83 95-100 7 30,43 78,26
101-106 4 17,39 95,65 107-112 1 4,35 100,00
23 100
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa frekwensi terbanyak terletak pada interval
89-94. Untuk memperjelas distribusi frekwensi kemampuan interpersonal
kelompok TGT tersebut diperlihatkan pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Histogram Kemampuan Interpersonal Kelompok TGT
Berdasarkan gambar 4.2 bentuk kurvanya tidak sebaik kurva kelompok
STAD (gambar 4.1) tetapi pada kelompok TGT kemampuan interpersonalnya
masil lebih baik (kurva condong kekiri) dengan frekwensi terbanyak pada interval
0
2
4
6
8
10
12
77-82 83-88 89-94 95-100 101-106 107-112
FREK
WEN
SI
INTERVAL
89-94. Kemampuan tertinggi pada kelompok ini berada pada interval 107-112
sebanyak satu siswa.
2. Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui apakah sampel dari dua
kelompok dalam keadaan seimbang atau tidak. Pada uji ini digunakan statistik
Uji-t (Budiyono : 157). Data yang digunakan adalah nilai USBN siswa. Dari
perhitungan diperoleh :
Tabel 4.4 Data Sampel
Kelompok Sampel n Rata-rata Variansi
TGT 23 26,69 1,3615 STAD 23 25,74 1,4533
Hipotesis Ho menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kemampuan
awal siswa kelompok TGT dan kelompok STAD. Dengan taraf signifikan 5% dan
derajat kebebasan 44, maka nilai yang sesuai dengan daerah kritik nya adalah
2,02. Dari hasil perhitungan menggunakan statistik Uji-t diperoleh hasil thitung =
2,35, sehingga keputusan ujinya Ho diterima, artinya kemampuan awal siswa
kelompok TGT sama dengan kemampuan awal kelompok STAD.
B. Uji Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
Untuk mengetahui apakah suatu populasi terdistribusi normal atau tidak ,
maka dilakukan uji normalitas. Dalam hal ini uji normalitas dilakukan dengan
menggunakan model lilliefors. Uji normalitas dilakukan baik pada populasi
kelompok TGT maupun kelompok STAD . Uji normalitas diperoleh dengan
menggunakan statistik uji Lobs = max |F(Zi) – S(Zi)| . Untuk kelompok TGT
dengan taraf signifikan 0,05 dan sampel yang dipilih sebanyak 23 siswa diperoleh
Lobs sebesar 0,104. Daerah kritik untuk uji ini adalah DK = {L|L > L0,05;23 =
0,173}, jika Lobs < Ltabel, maka Ho diterima, karena lobs = 0,104 < L0,05;23 = 0,173 ,
maka kesimpulannya kelompok TGT memang terdistribusi normal.
Demikian pula untuk kelompok STAD, pada taraf signifikan 0,05 dan
sampel yang dipilih juga 23 siswa diperoleh Lobs lebih besar dari kelompok TGT
yaitu 0,126, tetapi hasil ini juga belum masuk dalam daerah kritik, sehingga
hipotesis nol untuk kelompok STAD juga diterima, artinya populasi kelompok
TGT juga terdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas Variansi Populasi
Uji homogenitas diperlukan, karena dalam analisis variansi yang di
persyaratkan agar populasi-populasi yang diperbandingkan harus mempunyai
variansi-variansi yang sama. Data yang digunakan pada uji normalitas adalah data
kemampuan interpersonal siswa dari kelompok TGT maupun data kemampuan
interpersonal dari kelompok STAD. Dalam hal ini Statistik Uji yang digunakan
adalah menggunakan Uji Bartlett χ = , f log RKG − ∑ f log s .
Hipotesisi nol yang diuji adalah Ho : 12 = 2
2, artinya dua variansi yaitu
variansi kelompok TGT dan STAD mempunyai variansi yang sama. Perhitungan
dimulai dari menghitung variansi dari masing-masing kelompok TGT dan STAD
diperoleh hasil s12 = 36,210 dan s2
2 = 34,950. Kemudian menghitung nilai c yang
hasilnya 1,023, sedangkan rataan kuadrat galat yang diperoleh adalah 35,579,
selanjutnya menghitung 2 dan diperoleh hasil 2
hitung = 0,0057.
Dengan taraf signifikan 5 % dan ukuran sampel (n-1) diperoleh 2 pada
tabel 3,84, sedangkan 2 hitung besarnya adalah 0,057. Daerah Kritik untuk uji ini
adalah DK = ( χ | χ > χ , ; = 3,84), sehingga 2hitung = 0,0057 DK.
Karena 2hitung tidak masuk pada daerah kritik, maka keputusan ujinya Ho
diterima, artinya variansi-variansi dari dua populasi TGT dan STAD adalah sama
atau homogen.
C. Hasil Pengujian Hipotesis
1. Analisa Variansi Dua Jalan
Data diperoleh dari hasil penelitian berupa skor sikap ilmiah yang ditinjau
dari kemampuan interpersonal dengan kategori tinggi dan rendah. Pengambilan
data dilakukan pada saat pembelajaran dilakukan. Satu kelas dalam
pembelajarannya menggunakan model STAD sedangkan kelas yang lain
menggunakan model TGT. Dari dua kali tatap muka pada setiap kelasnya
diperoleh data amatan berupa sikap ilmiah siswa antara lain kejujuran,
keterbukaan, obyektif, dan menghargai pendapat orang lain, Data-data yang
diperoleh dianalisa menggunakan analisis variansi dua jalan sel tak sama. Data
amatan, rataan dan jumlah kuadrat deviasinya dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai
berikut :
Tabel 4.5 Data amatan, rataan dan jumlah kuadrat deviasi Model
B1 B2 Kategori
Tin
ggi
n 14 12 ΣX 45,89 44,75 퐗 3,28 3,73
ΣX2 151,12 167,31 C 150,41 166,88 SS 0,70 0,43
Ren
dah
n 9 11 ΣX 28,39 36,58 퐗 3,15 3,33
ΣX2 90,04 122,52 C 89,55 121,65 SS 0,49 0,87
Hasil dari anava antara model pembelajaran dan kemampuan interpersonal
terhadap sikap ilmiah siswa diperoleh harga-harga seperti yang terangkum pada
tabel 4.6.
Tabel 4.6. Rangkuman Analisis Variansi dua jalan
Sumber Variansi JK dk RK Fhitung Ftabel Keputusan Kemampuan
Interpersonal (A) 0,787 1 0,787 14,18 4,08 Ho ditolak
Model Pembelajaran (B) 1,112 1 1,112 20,03 4,08 Ho ditolak
Interaksi (A)(B) 0,204 1 0,204 3,68 4,08 Ho diterima
Galat 2,499 42 0,056 - - -
Total 4,602 45 - - - -
Berdasarkan tabel 4.Anava dua jalan dengan sel tidak sama didapatkan
hasil sebagai berikut : (a) Hipotesis 1, FB(hitung) = 20,03 dan FB(tabel) = 4,08, tampak
bahwa FB(hitung) > FB(tabel) , maka Ho ditolak. (b) Hipotesis 2, FA(hitung) = 14,18 dan
FA(tabel) = 4,08, tampak bahwa FA(hitung) > FA(tabel) , maka Ho ditolak. (c) Hipotesis
3, FAB(hitung) = 0,204 dan FAB(tabel) = 4,08 tampak bahwa FAB(hitung) < FAB(tabel), maka
Ho diterima.
Hasil perhitungan anava meng hasilkan dua efek utama, yaitu efek model
pembelajaran terhadap sikap ilmiah dan efek kemampuan interpersonal terhadap
sikap ilmiah serta interaksi antara keduanya terhadap sikap ilmiah siswa.
(1) efek utama, efek utama yang berupa kemampuan interpersonal setelah
dilakukan perhitungan diperoleh harga statistik uji FA = 14,18 melampaui harga
tabel Ftabel = 4,08 pada taraf signifikan 5 % yang berarti bahwa faktor A
(kemampuan Interpersonal) mempunyai pengaruh terhadap sikap ilmiah siswa
pada kompetensi dasar mendiskripsikan konsep massa jenis dalam kehidupan
sehari-hari. Efek utama lain adalah model pembelajaran kooperatif, setelah
dilakukan perhitungan menghasilkan harga statistik uji FB = 20,03 melampaui
harga tabel Ftabel = 4,08 pada taraf signifikan 5 % yang berarti bahwa faktor B
(model pembelajaran kooperatif) mempunyai pengaruh terhadap sikap ilmiah
siswa juga pada kompetensi dasar mendiskripsikan konsep massa jenis dalam
kehidupan sehari-hari. (2) Interaksi, berdasarkan hasil perhitungan yang
ditunjukan dengan harga statistik uji FAB = 3,68 tidak melampaui harga tabel Ftabel
= 4,08 pada taraf signifikan 5 % yang berarti bahwa tidak ada interaksi antara
faktor A dan faktor B sehingga mempengaruhi sikap ilmiah siswa.
Berdasarkan hasil uji hipotesis diatas, dapat dikemukakan bahwa : (a) ada
perbedaan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan tipe TGT
terhadap sikap ilmiah siswa; (b) ada perbedaan kemampuan interpersonal tinggi
dan rendah terhadap sikap ilmiah siswa; (c) tidak ada interaksi model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT sehingga interaksinya berpengaruh
terhadap sikap ilmiah siswa .
2. Uji Pasca Anava
Karena hipotesis nol ditolak pada uji anava, maka perlu dilakukan uji
pasca anava untuk menguji komparasi rataan antar sel. Dengan menggunakan
model Scheffe hasil uji pasca anava adalah sebagai berikut:
a) Untuk sel a1b1- a1b2, Fhitung =23,3654 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang
berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan STAD berbeda dengan
siswa berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan TGT tetapi siswa
yang menggunakan TGT masih lebih baik dari siswa yang menggunakan
STAD.
b) Untuk sel a1b1-a2b1, Fhitung =1,6533 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang
berkemampuan interpersonal tinggi atau rendah tidak berbeda jika
pembelajarannya menggunakan STAD
c) Untuk sel a1b1-a2b2, Fhitung =1,6533 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang
kemampuan interpersonalnya tinggi menggunakan STAD tidak berbeda
dengan siswa yang kemampuan interpersonal rendah menggunakan TGT.
d) Untuk sel a1b2-a2b1, Fhitung =30,8939 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang
berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan TGT berbeda dengan siswa
berkemampuan interpersonal rendah menggunakan STAD tetapi diantara
keduanya yang masih lebih baik adalah siswa berkemampuan interpersonal
tinggi dengan TGT.
e) Untuk sel a1b2-a2b2, Fhitung = 16,3975 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang
berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan TGT berbeda dengan siswa
berkemampuan interpersonal rendah menggunakan TGT tetapi siswa yang
berkemampuan interpersonal tinggi masih lebih baik dari siswa yang
berkemampuan interpersonal rendah.
f) Untuk sel a2b1-a2b2, Fhitung =2,8639 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang
berkemampuan interpersonal rendah menggunakan STAD tidak berbeda
dengan siswa yang berkemampuan interpersonal rendah menggunakan TGT
D. Pembahasan Hasil Anava
1. Hipotesis Pertama
Harga FB = 20,03 lebih besar dari Ftabel = 4,08 sehingga hipotesis nol
ditolak dan hipotesis alternatif diterima, maka terdapat perbedaan pengaruh
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tipe TGT terhadap
sikap ilmiah siswa. Melihat rataan kelompok TGT lebih tinggi dari rataan
kelompok STAD, maka ini berarti sikap ilmiah siswa lebih kuat muncul jika
dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran tipe TGT dari pada
menggunakan model pembelajaran tipe STAD, hal ini disebabkan dalam TGT
siswa lebih banyak belajar dalam suasana bermain yang penuh dengan tantangan
untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dalam TGT siswa dituntut
lebih untuk saling bekerja sama dalam kelompok dan didalam turnamen, dituntut
lebih berani dalam mengemukan pendapat dalam presentasi kelompok dan
presentasi kelas sehingga tanpa disadarinya sikap ilmiah dengan sendirinya akan
muncul.
2. Hipotesis Kedua
Harga FA = 14,18 lebih besar dari Ftabel = 4,08 sehingga hipotesis nol
ditolak, hal ini berarti ada perbedaan pengaruh kemampuan interpersonal terhadap
sikap ilmiah siswa. Pada kelompok siswa yang kemampuan interpersonalnya
tinggi rataan sikap ilmiah yang diperoleh masih lebih tinggi dari kelompok siswa
yang kemampuan interpersonalnya rendah. Siswa yang mempunyai kemampuan
interpersonal tinggi lebih mudah berteman, suka berkumpul (berkelompok),
ramah dan mudah bergaul, tahu bagaimana menunggu gilirannya sehingga dalam
pembelajaran sikap ilmiah mudah berkembang sehingga sikap ilmiah itu segera
muncul.
3. Hipotesis Ketiga
Berdasarkan analisis variansi dua jalan diperoleh harga statistik FAB = 3,68
lebih kecil dari Ftabel = 4,08 sehingga hipotesis nol diterima, ini berarti tidak ada
interaksi antara kemampuan interpersonal dengan model pembelajaran yang
digunakan. Ini berarti, jika dilihat dari masing-masing kemampuan interpersonal
tinggi atau rendah, kelompok siswa yang diajar dengan model TGT munculnya
sikap ilmiah lebih kuat dari pada kelompok siswa yang diajar dengan model
pembelajaran STAD. Demikian pula sebaliknya, kalau dilihat dari model
pembelajaran yang diberikan, kelompok siswa yang berkemampuan interpersonal
tinggi sikap ilmiahnya mudah muncul dari pada kelompok siswa yang
berkemampuan interpersonal rendah.
E. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian yang telah dilakukan, peneliti telah berusaha semaksimal
mungkin. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa hasil yang didapat mungkin tidak
sesuai dengan harapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi atau membatasi hasil
penelitian ini diantaranya :
1. pelaksanaan penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan dirasa
sangat kurang sehingga ada kemungkinan pengaruh perlakuan belum tampak
jelas;
2. Hasil belajar berupa sikap ilmiah hanya didasarkan pada faktor model
pembelajaran kooperatif dan kemampuan interpersonal saja, sedangkan faktor
lain dianggap sudah terkontrol. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu,
biaya dan banyaknya variabel yang diabaikan;
3. Kemampuan interpersonal hanya dibagi menjadi dua kategori saja yaitu
kategori tinggi dan rendah, kemampuan interpersonal kategori sedang tidak
dipasang, hal ini menyebabkan pengelompokan terlalu ekstrim (kurang halus);
4. Faktor miskonsepsi yang terjadi dikalangan siswa tidak dilacak penyebabnya.
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada pembelajaran
mendiskripsikan konsep massa jenis dalam kehidupan sehari-hari dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT mampu meningkatkan sikap ilmiah
siswa. Konsep pembelajaran yang dipilih dalam penelitian ini sangat sederhana
sesuai dengan kemampuan perkembangan siswa SMP. Walaupun anggota
kelompok berasal dari latar belakang yang heterogen pembelajaran kooperatif ini
mampu menambah semangat dalam bekerja sama untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil analisis data yang telah
dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap ilmiah siswa antara siswa
yang diberi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran tipe
STAD dengan TGT. Siswa yang mendapat pembelajaran dengan model
pembelajaran tipe TGT sikap ilmiahnya lebih kuat terlihat dibanding dengan
siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD.
2. Terdapat perbedaan yang signifikan pula pada sikap ilmiah antara kelompok
siswa yang mempunyai kategori kemampuan interpersonal tinggi dengan
kelompok siswa yang mempunyai kategori kemampuan interpersonal rendah.
Sikap ilmiah dari siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal tinggi
lebih kuat dan mudah munculnya dari pada kelompok siswa yang
kemampuan interpersonalnya rendah.
3. Tidak ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan
TGT dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa. Dengan
menggunakan model apapun juga sikap ilmiah akan lebih mudah muncul
pada siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal tinggi. Demikian pula
sikap ilmiah akan mudah muncul pada siswa yang dalam pembelajaranya
menggunakan model TGT dari pada siswa yang dalam pembelajaranya
menggunakan model STAD walaupun ketegori kemampuan interpersonalnya
tinggi atau rendah.
B. Implikasi Hasil Penelitian
Implikasi teoritik penelitian ini yaitu bahwa siswa dengan kemampuan
interpersonal yang tinggi mempunyai sikap ilmiah yang lebih baik, masih lebih
jujur, terbuka, obyektif, teliti, kritis dan bisa menghargai pendapat orang lain. Hal
ini kurang tampak pada siswa yang memiliki kemampuan interpersonal rendah,
cederung tidak jujur menyontek sana sini, malu mengemukan pendapatnya, hasil
pratikum selalu dibuat-buat, tidak kritis dan sukar menerima pendapat orang lain
sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujungnya.
Penggunaan model pembelajaran tipe STAD dan TGT banyak
berpengaruh terhadap munculnya sikap ilmiah yang diharapkan walaupun dalam
hal ini model TGT masih lebih baik dibanding dengan model STAD tetapi
keduanya cocok dan telah mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa yang selalu
dituntut pada pembelajaran IPA.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang berjudul Model
Pembelajaran STAD dan Model Pembelajaran TGT terhadap Sikap Ilmiah Siswa
ditinjau dari Kemampuan Interpersonal Siswa sebagai implikasi praktisnya
adalah kemampuan interpersonal dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan TGT berpengaruh terhadap sikap ilmiah siswa. Siswa yang mempunyai
kemampuan interpersonal tinggi diberi perlakuan dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT akan memiliki sikap ilmiah lebih
baik dari pada siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal rendah.
C. Saran
Pada umumnya pada setiap pembelajaran, guru dituntut untuk
menggunakan strategi jitu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan
efektif. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah ia
harus dapat menguasai beberapa model pembelajaran. Model pembelajaran
yang paling efektif dan sesuai dengan mata pelajaran IPA adalah model
pembelajaran kooperatif.
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi yang telah dikemukakan, maka
penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Kepada Para Guru
a. Hendaknya guru menggunakan model pembelajaran kooperatif jika ingin
mengungkap sikap ilmiah dalam pembelajarannya.
b. Apabila guru menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD atau TGT
dalam proses pembelajarannya, maka guru perlu memperhatikan
beberapa hal, antara lain : pada materi yang benar-benar sesuai, RPP
yang digunakan harus serinci mungkin sehingga dalam proses
pembelajarannya tetap dalam kaidah kooperatif STAD atau TGT, guru
harus dapat menjamin bahwa interaksi antara siswa dengan siswa, siswa
dengan guru berjalan dengan baik.
c. Proses pembelajaran perlu dirancang untuk dapat mengembangkan sikap
ilmiah siswa, misalnya sikap jujur, teliti, kritis, terbuka, menghargai
pendapat orang lain. Indikator sikap ilmiah dapat dengan mudah teramati
sehingga dapat diberi skor sesuai dengan skala sikap yang sudah
ditetapkan.
2. Kepada Peneliti
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian yang
sejenis dengan materi atau topik bahasan lain yang sesuai
b. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah variabel atribut
lain, misalnya kemampuan awal, gaya belajar dan kreatifitas
3. Kepada Lembaga Pendidikan
Sekolah merupakan salah satu tempat siswa belajar, disekolah sebagai
sumber ilmu dan ilmu tersebut akan diserap oleh siswa. Proses belajar
mengajar merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari untuk
menghasilkan lulusan yang berkompetensi, berkualitas dan berbudi pekerti
luhur. Pembelajaran kooperatif merupakan sarana untuk melatih siswa agar
bersikap dan berperilaku yang diharapkan. Oleh karena itu dipandang perlu
bahwa sekolah berkewajiban meningkatkan kompetensi gurunya melalui
pelatihan-pelatihan dan workshop.
DAFTAR PUSTAKA
Anita lie. 2002. Cooperative Learning, Jakarta : Grasindo
Arend, Richard. 1997. Classroom intruction and Management, Central
Connecticut State University : The McGraw Hill Companies Inc.
Asri Budiningsih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Budiyono. 2004. Statistik Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret
University Press.
Carl J. Wenning, Scientific epistemology : How scientist know what they
know. Journal Of Physics Teacher Education, Vol. 5 No 2 Autumn 2009.
http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo
Depdiknas. 2004. Model-model Pengajaran dalam Pembelajaran Sains.
Bandung : Dimenum Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA.
Deborah L. Hanuscin. 2007. Collaborative action research to improve
classroom assessment in an introductory physics course for
teachers. Journal Of Physics Teacher Education, Vol.4 No.2, Winter 2007.
http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo
Dimyati, Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Elliot, Stephen, N. 1999. Educational Psychology. Madison Brown &
Benchmark Publisher.
Giancoli, Doglas C. 2001. Fisika, edisi kelima, jilid 1. Jakarta : Erlangga
Hisyam Zaini. 2007. Startegi Pembelajaran Aktif. Jogyakarta : CTSD
May Lwin, Adam Khoo, Keneth Lyen, Caroline Sim. 2008. Cara
Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan. Jogyakarta :
Penerbit PT. Indeks
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung : Remaja Rosdakarya
-----------------------------------. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Nana Sudjana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogyakarta :
Penerbit Kanisius.
-----------------.2006. Metodologi Pembelajaran Fisika. Jogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Renata Holubova,. The Motivation and Recruitment of Physics and Teachers.
Journal Of Physics Teacher Education, Vol4 No.3, Summer 2007.
http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo
Ratna Wilis Dahar, 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Bandung : Penerbit Nusa Media
Samson Madera Nashon. 2006. A proposed model for planning and
implementing high school physics instruction. Journal Of Physics
Teacher Education Vol. 4 No. 1, Autumn 2006.
http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo
Saifuddin Azwar. 2005. Sikap manusia Teori dan Pengukurannya. Jogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito
William Crain. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. Jogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Wina Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Kencana.
top related