2. analisis dan tinjauan teori 2.1 teori buku ilustrasi 2.1 · ilustrasi tentang benyamin franklin...
Post on 07-Dec-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Universitas Kristen Petra
12
2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI
2.1 Teori Buku Ilustrasi
2.1.1 Pengertian Ilustrasi
Menurut Ensiklopedi Indonesia, Ilustrasi berarti :
Ilustrasi (Dari kata latin: illustrare: menerangi, menghias). Suatu bentuk
penghiasan buku; dapat berupa ornamen-ornamen abstrak, ragam-ragam hias yang
berasal dari dunia tumbuhan, hewan, vignette/penggambaran beserta naskah yang
menyertainya. Secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut: 1) Dalam
pengertian umum: gambar-gambar dan foto-foto yang menyertai naskah dalam
buku, majalah/media massa untuk lebih menjelaskan naskah tersebut; 2) Dalam
pengertian khusus: ilustrasi diluar naskah maupun diantaranya, juga berfungsi
untuk menyemarakkan halaman-halaman buku sebagai kaya abstrak yang
mempunyai keindahan sendiri dalam kombinasi dengan jenis huruf cetak yang
dipakai; 3) Dalam pengertian yang lebih khusus dan historis dulu dipergunakan
istilah iluminasi untuk gambar-gambar dan hiasan-hiasan yang keseluruhannya
dikerjakan dengan tangan sebelum seni cetak ditemukan (3:1388).
2.1.2 Sejarah Buku Ilustrasi
Menurut Triyadi Guntur Wiratmo, sejarah ilustrasi bermula dari:
Pada awal abad pertengahan terjadi pembagian tugas kerja antara seorang
‘Scrittori’ dan seorang ‘Illustrator’ dalam pembuatan sebuah illuminated
manuscript. Posisi seorang Scrittori bertugas untuk menyiapkan dan mendesain
huruf atau kaligrafi dari teks sebuah buku atau manuskrip. Sedangkan seorang
Ilustrator bertugas untuk memproduksi ornamen dan gambar yang memperjelas isi
teks. Pemilahan tersebut mengawali dan mempertegas istilah Ilustrasi menjadi
selalu berdimensi fungsi.
Fungsi memperjelas sebuah teks atau bahkan memberi sentuhan dekorasi pada lembar-lembar teks memberi gambaran bahwa saat itu gambar (ilustrasi) adalah subordinan dari teks. Gambar adalah pelengkap teks. Gambar hanyalah wahana untuk mengantarkan pemahaman secara lebih utuh dari sebuah teks.
Universitas Kristen Petra
13
Seorang Ilustrator harus dapat memahami isi teks dan kemudian mengilustrasikannya dalam bentuk gambar. Kemampuan mentranslasikan dari sesuatu yang tekstual ke dalam bentuk yang visual menjadi poin penting sebagai seorang Ilustrator. Ilustrator berperan sebagai penerjemah (interpreter) ke pada pembaca dari sesuatu yang abstrak (wilayah bahasa/tekstual) ke dalam sesuatu yang konkret sifatnya (wilayah rupa). Tuntutan kepiawaiannya tidak berhenti pada tataran olah rupa (visualisasi) saja, tetapi juga mencakup wawasan (pemahaman terhadap teks) dan olah komunikasinya (bagaimana cara menyampaikan kepada pembacanya melalui rupa). Posisi Ilustrator dalam hal ini adalah sebagai visual interpreter. Secara fungsional Ilustrator berada di posisi antara (in between) penulis dan pembacanya. Di sisi lain posisi seorang Ilustrator adalah sebagai seorang visual dekorator. Menyiapkan iluminasi sebagai bingkai penghias ataupun mengisi ruang-ruang kosong dalam sebuah manuskrip. Era illuminated manuscript ini berakhir ketika gambar yang sebelumnya dieksekusi melalui teknik manual, mulai dicetak dengan teknik woodcut.
Ilustrasi dengan teknik woodcut Teknik reproduksi pertama kali yang berkembang pada zaman dahulu
adalah teknik woodcut alias membuat cukilan atau relief pada sebuah papan kayu kemudian dicap pada kertas atau kain. Karya dengan teknik woodcut juga ditemukan di Cina yang jauh lebih tua daripada di benua Eropa maupun Amerika. Sebuah karya yang dibuat pada tahun 868 Masehi dari seniman grafis yang tidak diketahui namanya.
Seniman-seniman dari era woodcut yang terkenal dari periode abad ke -14 ialah Albrecht Durer dan Lucas Cranach di Jerman, sedangkan di Italia ada Fransesco Parmigianino dan di Belanda ada Lucas van Leyden. Pada abad ke-19. muncul Paul Gauguin, Jean Francois Millet, hingga E.munic. Sementara itu, di Amerika teknik ini berkembang pada abad ke-18 dengan ditemukannya karya-karya cetak pada era itu (Kusrianto 140-1).
Selanjutnya mekanisasi dan massalisasi sebuah buku menjadi semakin menemukan bentuknya dengan penemuan movable type (1451). Walaupun penyajiannya tidak terlalu beranjak jauh dari era illuminated manuscript; unsur dekorasi dalam bentuk ornamen membingkai tiap halamannya dan gambar kadang tampil penuh satu halaman sebagai penjelas teks.
Universitas Kristen Petra
14
Pada akhir abad 18, muncul sebuah Gerakan Romantik yang kemudian
mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan fungsi dari Ilustrasi.
Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya bebas dalam
menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator menjadi
lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai
tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator
bagai seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad
6 SM di Cina. Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan
demikian, karyanya mencerminkan gabungan dari keduanya.
Gambar 2.1. Ilustrasi tentang Benyamin Franklin (1706-1790)
menggunakan tehnik woodcut yang dibuat oleh perusahaan
percetakan Cox & Sons pada tahun 1785
Sumber: Kusrianto (2009, p.142)
Ilustrasi dengan teknik lithografi
Kemudian, dikarenakan teknik fotografi belum begitu maju pada akhir
abad 18, seniman lebih suka memanfaatkan goresan pena ilustrasi untuk
menggambarkan suatu pemandangan atau suasana maka teknik reproduksi
dilakukan dengan lithografi. Lithografi adalah proses pencetakan yang ditemukan
pada tahun 1798 oleh Aloys Senefelder dari Jerman. Lithografi pada awalnya
Universitas Kristen Petra
15
merupakan teknik cetak diatas batu (lithos) yang diukir, yang pada
perkembangannya kemudian menggunakan pelat metal. Pada awal era lithografi
itulah ilustrasi mengalahkan fotografi dalam teknik pembuatan dan reproduksinya.
Oleh karena itu, sebuah karya ilustrasi dibuat sedemikian detailnya mendekati
keadaan sebenarnya. Karya-karya itu kemudian dikelompokkan sebagai Fine art
sebagai karya-karya lukis yang ada pada zaman itu.
Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi
Ilustrasi adalah pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan
munculnya Livre De Peintre (painter’s book). Ilustrasi tidak hanya menjadi
bagian atau pelengkap sebuah buku, tetapi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih
dominan. Buku-buku tersebut di desain oleh para seniman dan diproduksi dalam
jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah Pararellment karya Pierre
Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain yang juga
menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.
Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan
aktifitas-aktifitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di
daerah peperangan untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan
gambar, ataupun para Kartunis dengan komentar-komentar visualnya melalui
kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi sudah tidak berfungsi sebagai
penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri. Ilustrasi tidak
sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator sebagai
author itu sendiri.
Sejarah Ilustrasi Indonesia 1920-1960
Sejarah panjang Ilustrasi tidak bisa dilepaskan dari dunia buku.
Pemahaman kita terhadap fungsi Ilustrasi sebagai penjelas, memperindah atau
bahkan pemahaman fungsi yang lebih avant garde tidak terpisah dari
perkembangan dan pemaknaan ulang media di mana ilustrasi tersebut
diaplikasikan. Pergulatan panjang posisi Ilustrator melalui cara ungkap visual
maupun pesan tidak lepas dari semangat jamannya.
Di Indonesia karya Ilustrasi dapat kita jejak melalui artifak-artifak visual
naratif yang ada. Merunut khasanah visual naratif di Indonesia tidak kalah
Universitas Kristen Petra
16
panjang dengan sejarah visual naratif di belahan dunia lainnya. Catatan-catatan
visual di garca-garca goa yang bertebaran dari Leang-leang di Sulawesi sampai
goa Pawon di Jawa Barat menjadi penanda bertutur visual era pra sejarah.
Gambar-gambar pada lembar-lembar lontar ataupun pada media Wayang Beber
menandai era pra modern. Di era kolonialisasi muncul media-media modern
seperti majalah atau surat kabar. Melalui media surat kabar ataupun majalah
tersebut terjadi transfer ilmu (ilustrasi) baik teknis maupun gagasan dari Ilustrator
asing (era kolonialisme) kepada para Ilustrator bumi putra. Walaupun istilah
‘Ilustrasi’ bukan dari kamus bahasa kita sendiri, secara subtantif artifak-artifak
visual/gambar tersebut memiliki kesamaan secara fungsional, menjelaskan atau
menerangkan.
Dari rentang waktu antara tahun 1920-1960 (di Indonesia) dari artifak
yang berhasil dikumpulkan (dalam media massa) akan memberi gambaran
dinamika Ilustrator dan karya Ilustrasinya. Pengklasifikasian artifak temuan terdiri
dari dua jenis: ilustrasi untuk rubrikasi dan ilustrasi yang menjelaskan cerita atau
artikel.
Ilustrasi pada rubrikasi secara fungsi menjelaskan atau memberi
gambaran umum tentang isi rubrik yang diwakilinya. Wakil-wakil visual adalah
resonansi dari judul-judul rubrikasi. Sebagai contoh, judul sebuah rubrikasi
”PAGERAKAN” atau pergerakan wakil visual yang hadir adalah sosok pemuda
berjas dan berpeci dengan gestur bergerak dinamis sebagai foreground. Ikon
catatan-catatan dan suluh lilin menjadi pelengkap penjelas rubrikasi tersebut
dalam background nya. Ada korelasi yang jelas antara gambar dan teks. Gambar
berfungsi memperjelas teks. Ilustrasi sebagai interpretasi visual terhadap teks.
Beberapa artifak rubrikasi dijumpai juga gambar-gambar memiliki
korelasi terasa jauh atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan rubrik
yang diwakilinya. Teks bertuliskan “Panjebar Semangat” sedangkan wakil visual
yang hadir adalah gambar pegunungan dengan sawah dan petani, atau stilasi Kala
menyerupai ukiran pintu gerbang. Pemilihan wakil-wakil visual tersebut dapat
kita baca lebih simbolis. Gambar landscape gunung beserta sawah dan petani
ataupun stilasi Kala tersebut sebagai subtitusi Nasionalisme atau Negara
Indonesia. Relasi antara gambar dan teks melalui pendekatan simbolis seperti itu-
Universitas Kristen Petra
17
pun masih terasa jauh. Relasi gambar dan teks tidak langsung menjelaskan,
terkadang malah terjebak sebagai dekorasi saja. Fungsi gambar pada ilustrasi
rubrikasi jenis ini memiliki kecenderungan besar ke arah ilustrasi sebagai dekorasi
visual, walaupun tidak menutup kecenderungan lainnya.
Kategori lainnya adalah gambar-gambar yang menyertai teks di dalam
media massa. Artifak visual biasanya muncul mengiringi teks pada cerpen dan
tajuk utama atau editorial. Seorang Ilustrator dalam menanggapi teks melalui
gambar atau wakil visual yang dihadirkannya dapat kita klasifikasikannya dalam
dua pola; pertama, bagaimana Ilustrator mengolah pesan (what to say), kedua,
adalah bagaimana cara Ilustrator mengolah rupa (how to say). Hampir sebagian
besar artifak visual yang telah dikumpulkan bersifat Naratif dalam olah pesannya.
Dalam hal ini berarti Ilustrator memposisikan dirinya sebagai interpreter visual.
Modusnya mencoba menterjemahkan teks dengan mencari moment yang paling
menarik dan mewakili dari naskah tersebut, kemudian mencari wakil visualnya
yang paling gamblang/jelas dalam menyampaikan pesan. Beberapa artifak tampil
unik dengan menggunakan pendekatan olah pesan yang lebih metaforik. Artifak
yang muncul di harian Fikiran Ra’jat (1932), menggambarkan permasalahan
imperialisme dengan metafora seekor anjing berjenis Bulldog berkalung leher
bertuliskan “Imperialisme“, dengan ujung ekor muncul sosok kepala priyayi Jawa
yang bertuliskan “boeroeh imperialisme”. Permainan subtitusi visual
menghasilkan kiasan-kiasan tak langsung menguatkan pesan yang
disampaikannya. Ilustrator dengan pendekatan metafora, sedikit atau banyak telah
memasukkan opini pribadinya dalam menanggapi teks yang ada. Gambar tidak
hanya sebagai penjelas teks, tetapi sudah bergeser pada opini visual yang lebih
personal. Ilustrasi mulai mencari ruang-ruang otonominya.
Pada wilayah olah rupa, terjadi eksplorasi yang cukup luas (dalam
keterbatasan teknis yang ada) dari gaya visual yang rumit, realis, obyektif dan
khusus sampai ke wilayah ujung paradoksnya yang sederhana, ikonis atau abstrak,
subyektif dan umum. Rentang waktu antara tahun 1929 sampai 1951/53, sebagian
besar ilustrator menggali potensi garis, outline, dan bidang-bidang datar. Garis-
garis liris maupun ekspresif melalui media gambar pena, tinta dengan kuas
menghasilkan kualitas visual yang khas. Garis arsir membentuk tonal gradasi
Universitas Kristen Petra
18
maupun gelap terang dari obyek-obyek yang dihadirkannya. Di tahun 1956
ditemukan artifak ilustrasi bernada penuh dengan gradasi yang halus.
Kecenderungan tersebut dihadirkan melalui pendekatan teknis hitam putih media
cat air. Gaya gambar yang muncul lebih realis mendekati karya fotografis. Di
akhir 60-an muncul kecenderungan baru dalam mengolah huruf sebagai bagian
dari gambar. Tipografi sebagai gambar (type as image) adalah sebuah kesadaran
baru dari para ilustrator di era tersebut. Kemampuan olah huruf sebagai
pendukung resonansi visual, mengingatkan kita pada Onomatopea di ranah seni
sekuensial.
Gambar 2.2. Sebuah tanda di jendela toko di Italia menyatakan "Tidak Tic Tac",
meniru bunyi jam. (onomatopea)
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Onomatopoeia
Era 1942-1945
Di masa Jepang (1942-1945) para seniman sering mengerjakan karya
ilustrasi dalam rangka propaganda Jepang. Keimin Bunka Shidosho adalah wadah
kelompok kesenian yang langsung dibawah pengawasan Sendenbu atau Barisan
Propaganda Bala Tentara Dai Nippon (Dullah, Raja Realisme Indonesia: 17).
Ilustrator (para seniman yang mengerjakan karya ilustrasi) mendapat posisi yang
baik secara politis karena pemanfaatan untuk kepentingan perang. Dalam berbagai
aplikasi medianya seperti di poster maupun media massa dapat kita amati
seringkali ilustrator memposisikan dirinya sebagai interpreter visual. Pesan-pesan
baik gagasan propaganda maupun pesan naskah pada media massa ditranslasikan
dengan gamblang oleh ilustrator. Tetapi di era ini juga muncul jurnalisme-
jurnalisme visual yang kuat dari para seniman.
Universitas Kristen Petra
19
Dokumentasi peristiwa-peristiwa penting dalam pergerakan kemerdekaan
tergambarkan dalam catatan-catatan visual para seniman. Bagaimana Soekarno
membakar semangat para pemuda ter-capture dengan baik dalam “Di Bawah
Bendera Revolusi” catatan visual sederhana dengan kuas spontan on the spot oleh
Dullah. Bahkan beberapa muridnya yang masih belia seperti Moh. Toha terjun ke
area peperangan ikut mengabadikan melalui goresan tangannya.
Gambar 2.3. Buku “Dibawah Bendera Revolusi”
Sumber: http://longthumbs.tripod.com/
Di era 1945 pula, muncul karya poster yang fenomenal “Boeng Ajo
Boeng” menjadi tonggak sejarah perjuangan, kontribusi dari para seniman. Poster
tersebut hasil kolaborasi antara S. Soedjojono, Affandi dan Dullah (sebagai model
untuk di gambar), sedangkan Chairil Anwar menyumbangkan slogan untuk
Headline teksnya. Goresan-goresan kuat dan ekspresif dapat kita temukan hampir
di semua artifak ilustrasi di era ini. Semangat jaman dari akumulasi keinginan
untuk merdeka seakan terepresentasikan melalui tangan-tangan ilustrator di kala
itu. Opini-opini visual melalui media poster maupun jurnalisme visual semakin
mengukuhkan pergeseran posisi fungsi Ilustrasi menjadi lebih mandiri. Pada
awalnya Ilustrasi sebagai gambar terbingkai oleh nilai-nilai fungsinya yang
heteronomi kini mulai bergeser ke ruang-ruang yang lebih otonom. (Desain Grafis
Indonesia)
Universitas Kristen Petra
20
Gambar 2.4. Poster Boeng ajo boeng karya Affandi
Sumber : http://jatuhkeatas.blogspot.com/2009/08/boeng-ajo-boeng.html
2.1.3 Perkembangan Buku Ilustrasi di Indonesia
Para illustrator Indonesia sejak tahun 1930-an telah menampilkan karya-
karya dalam bentuk iklan dalam media-media yang sangat terbatas. Grafis-grafis
berikut merupakan sebagian karya ilustrator Indonesia sejak tahun 30-an hingga
50-an (Kusrianto 152).
Menurut buku ensiklopedi nasional Indonesia:
Dalam babak pertama sejarah seni rupa Indonesia hampir tidak tampak figure
seniman yang hidup semata-mata dari ilustrasinya. Pada awal sejarah seni rupa
Indonesia modern berjalan dan awal dunia perbukuan Indonesia berkembang,
seniman yang tercatat sebagai illustrator adalah pelukis. Misalnya Suromo dan
Abdoel Salam, yang agaknya hanya meneruskan langkah illustrator Belanda,
seperti M.A. Koek Koek, C. Jetses atau W.K. de Bruin. Hal ini semata-mata agar
dunia ilustrasi yang ada di Indonesia tidak terputus. Banyak para Ilustrator yang
terpaksa bermata pencaharian di bidang lain, seperti Mulyadi W. yang masih tetap
menjual lukisan. Namun ada juga illustrator yang hidup jaya seperti G.M. Sudarta,
Pramono dan Si Jon, dikarenakan mereka sudah bernaung di perusahaan besar.
Hal ini menunjukkan kehidupan sebagai illustrator di Indonesia masih tergolong
sulit (7:36).
Pada tahun 1970-an mulai bermunculan buku-buku dan majalah yang
menggunakan ilustrasi. Salah satu ilustrator dengan coretan yang khas adalah
Universitas Kristen Petra
21
H. Danarto (seorang seniman yang serba bisa) sempat menghiasi majalah yang
terbit di tahun 70-an dengan karya ilustrasinya yang sangat “Indonesia”
(Kusrianto 153-4).
Gambar 2.5. Ilustrasi karya H. Danarto dalam cerpen berjudul
“laki-laki itu” di majalah tahun 80-an
Sumber: Kusrianto (2009, p.154)
Perbedaan komik dengan ilustrasi adalah ilustrasi hanya terdiri dari
beberapa gambar yang melukiskan isi cerita, maka komik adalah gambar-gambar
yang memvisualkan keseluruhan cerita. Dari sisi style atau gaya gambar, ilustrasi
juga memiliki kecenderungan untuk bebas. Pada awal kemunculan ilustrasi,
gambar-gambarnya dibuat secara natural seperti seni foto. Namun seiring dengan
perkembangannya, ilustratorpun mewarnai ilustrasi cerita sesuai karakter maupun
style dari cerita atau artikel tersebut (Kusrianto 154).
Karena terjadi masalah peniruan dan penjiplakan maka diperlukan hal
cipta. Dalam Undang-undang Hak Cipta tahun 1982 jelas tersirat bahwa ilustrasi
sebagai suatu hasil cipta adalah suatu bentuk seni yang khas (pasal 1 a dan b).
Ilustrasi sejajar dan otonom dalam proses penciptaan dan mempunyai nilai yang
sama seperti teks atau karangan. Jika teks atau karangan merupakan hasil cipta
yang dibaca, ilustrasi merupakan hasil cipta yang dilihat (pasal 1c). Karena itu
ilustrasi sebagai bagian seni rupa yang dilindungi hak ciptanya (pasal 11 butir
5)”(7: 36-7).
Universitas Kristen Petra
22
Pada tahun 1980-an, kehidupan ilustrasi Indonesia tumbuh dengan subur.
Nama-nama muda seperti Rien Bachtiar, Wedha, Rahardjo, Fung Wayming,
Tefon, Gendut Riyanto menjadi pembicaraan yang menarik. Sementara yang telah
mendapat nama lebih dahulu adalah Si Jon., juga pelukis komik Jan Mintaraga
dan Steve Kamajaya (7:35).
Gambar 2.6. Cover komik Jan Mintaraga
Sumber: http://www.anelinda-store.com/images/gallery/jan/jan03.jpg
Menggambar Ilustrasi dengan Computer Graphic
Pada saat teknologi komputer sudah popular, goresan ilustrasi berwarna
yang terutama dibuat dengan pena dan tinta hitam maupun cat air , kini digantikan
dengan program-program gambar berbasis vektor seperti Coreldraw, Illustrator,
Canvas, maupun Freehand (Kusrianto 157).
2.2 Cerita Rakyat Indonesia
2.2.1 Pengertian Cerita Rakyat (Dongeng)
Cerita rakyat disebut juga folklore, hampir di setiap daerah di Nusantara
ini memiliki cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di daerahnya. Cerita
rakyat berkembang dengan bercirikan tanpa diketahui pengarangnya (anonim), ia
bagaikan sesuatu yang terlahir dalam suatu komunitas kemudian menyebar
melalui lisan dari satu generasi ke generasi hingga akhirnya sampai ke generasi
berikutnya termasuk kita sekarang ini, seperti yang dikemukakan oleh Ariyono
Suyono bahwa cerita rakyat (tale) yaitu cerita yang disebarluaskan dan diwariskan
secara lisan (Suyono 74).
Universitas Kristen Petra
23
2.2.2 Jenis Cerita Rakyat
Ariyono Suyono menggolongkan cerita rakyat menjadi tiga kelompok
besar yaitu mite, legenda, dan dongeng. Sedangkan dalam Upaya Bidang
Jarahnitra (Tjetjep 1) dijelaskan empat jenis cerita rakyat, yaitu:
1. Mite adalah jenis cerita yang tokoh-tokohnya dianggap keramat.
2. Legenda adalah jenis cerita yang tokoh-tokohnya dianggap pernah ada dan
berkaitan dengan kejadian alam yang dianggap luar biasa oleh masyarakat.
3. Fabel adalah cerita tentang binatang yang dianggap seperti manusia
(personifikasi). Biasanya cerita ini mengandung unsur pendidikan bagi anak-
anak dan petuah-petuah mengenai hal baik dan buruk.
4. Cerita jenaka adalah cerita yang isinya mengandung sindiran, kritik sosial,
pendidikan, dan lain-lain yang bersifat menghibur.
Dalam kesusastraan Bahasa Indonesia disebutkan bahwa cerita rakyat
atau dongeng dibagi menjadi lima jenis yaitu mite, legenda, sage, fabel, dan
parable. Sage adalah cerita rakyat atau dongeng yang mengandung unsur-unsur
kesejarahan, sedangkan parable adalah cerita rakyat atau dongeng yang tidak
masuk keempat katagori sebelumnya (mite, sage, legenda, fabel).
Cerita rakyat Indonesia nampak mulai tersisihkan oleh cerita-cerita yang
berasal dari mancanegara. Padahal cerita rakyat mempunyai nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia yang ditemurunkan dari generasi ke generasi dan penyebaran
cerita rakyat sendiri kebanyakan secara lisan. Meski pada saat ini, buku cerita
rakyat telah beredar dan tersedia di toko buku. Namun jumlah buku cerita rakyat
Indonesia sangatlah sedikit apabila dibandingkan dengan buku-buku impor yang
ada.
Universitas Kristen Petra
24
Beberapa buku cerita rakyat yang berada di Toko Buku Gramedia Surabaya :
Gambar 2.7. Kisah Dewi Sri oleh Heny V. Tineke
Bandung: Nuansa Aulia (2006)
Gambar 2.8. Dongeng Klasik Indonesia “Si Leungli”
Jakarta: Gramedia (2005)
Gambar 2.9. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Terpopuler
Bandung: Ruang Kata (2009)
Universitas Kristen Petra
25
Gambar 2.10. Cerita Rakyat dari Sabang Sampai Merauke
Jakarta: Pustaka Widyatama (2008)
2.3 Legenda Dewi Sri
Menurut Ensiklopedian Indonesia, kata dewi merupakan bentuk feminism
kata Dewa (Deva, dari kata div), biasanya dewi hanya dipakai untuk menyatakan
hormat pada istri Batara Siwa, yaitu Mahadewi. Karena punya kekuatan gaib adi-
insani dewa-dewa ini sering dipandang sebagai makhluk yang dapat menguasai
sunia serta kehidupan manusia. Mereka harus ditentramkan dengan sesajen dan
dielu-elukan dengan kehormatan tetapi tidak disembah sebagai Hyang Widhi
Wasa (Yang Maha Esa). Sedangkan kata Sri berarti keuntungan, kekayaan,
dipersonifikasikan dalam Dewi Sri dan menurut kepercayaan orang Hindu, Sri
adalah sebutan istri Wisnu (6: 3283).
Di dalam buku Serat Cariyos Dewi Sri disebutkan, cerita tentang Dewi
Sri merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa. Cerita itu mengisahkan turunnya
Dewi Sri dari surga ke dunia dengan membawa benih padi yang kemudian
menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dewi Sri dianggap sebagai tokoh
mistis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia sebagai pelindung pertanian
(Maryoto, par. 20).
Legenda Dewi Sri sendiri memiliki versi yang berbeda-beda menurut
daerahnya masing-masing. Ada mitos Dewi Sri yang menyatakan bahwa Dewi Sri
berasal dari telur yang merupakan tetesan air mata Batara Anta (menurut tradisi
Jawa Barat), tetapi masyarakat Jawa lebih percaya bahwa Dewi Sri adalah putri
seorang raja dan memiliki kakak yang bernama Raden Sadhana. Di beberapa
Universitas Kristen Petra
26
versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadhana dengan
burung sriti.
2.3.1 Deskripsi Visual Mengenai Dewi Sri
Gambar 2.11. Wayang Dewi Sri
Sumber: http://o-oum.com/indonesia-folklorethe-story-birth-rice-ii-chronicle-
version-ilaila-java/
Gambar 2.12. Patung Dewi Sri di Ubud, Bali
Sumber: http://www.balireals.com/online-estate-agents
Universitas Kristen Petra
27
Gambar 2.13. Lukisan Dewi Sri yang digambar diatas kanvas
menggunakan cat minyak ukuran 90x130cm. Dibuat pada tahun 1999
Sumber: http://muchartgallery.blogspot.com/2008_01_01_archive.html
Gambar 2.14. Lukisan Dewi Sri, salah satu karya Pasopati Gombong
(Paguyuban Seniman Perupa Sejati di kota Gombong)
Sumber: http://pasopati-gombong.blogspot.com/
Gambar 2.15. Salah satu produk Martha Tilaar, Dewi Sri Spa
Sumber: http://www.kabarindo.com/print.php?no=2962
Universitas Kristen Petra
28
Deskripsi verbal mengenai Dewi Sri :
Dalam beberapa buku cerita mengenai Dewi Sri disebutkan bahwa Dewi
Sri memiliki kecantikan yang sempurna. Menurut legenda Dewi Sri yang berasal
dari Sunda karena kecantikan Dewi Sri yang sempurna inilah membuat Batara
Guru jatuh cinta pada Dewi Sri (Tinneke 59).
Pada buku kisah Dewi Sri disebutkan ciri-ciri yang menyatakan bahwa:
Dewi Sri adalah gadis cantik rupawan. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya
kuning langsat tampak halus dan mulus, kedua matanya indah dihiasi oleh
lengkungan-lengkungan alis yang hitam lebat. Hidungnya yang mancung serta
bibirnya yang merekah indah menambah pesona dalam dirinya. Sikap yang
anggun, tutur bahasanya halus membuat dirinya semakin dikagumi para dewa
(15).
2.3.2 Legenda Dewi Sri Menurut Tradisi Jawa
Dewi Sri yang lebih di kenal dengan dewi Kesuburan yang merupakan
Dewi bercocok tanam dari Orang Jawa dan Bali. Orang Jawa tradisional memiliki
tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri agar mendapatkan
kemakmuran yang dihiasi dengan ukiran ular. Di masyarakat pertanian, ular yang
masuk ke dalam rumah tidak diusir karena ia meramalkan panen yang berhasil,
sehingga malah diberi sesajen. Di Bali, mereka menyediakan kuil khusus untuk
Dewi Sri di sawah. Orang Sunda memiliki perayaan khusus dipersembahkan
untuk Dewi Sri.
Dewi Sri memiliki amat banyak versi cerita, salah satunya adalah versi
cerita dari Jawa Timur yang menceritakan Dewi Sri bersaudara dengan laki-laki
yang bernama Sadana dan memiliki ayahanda bernama raja Purwacarita. Seperti
yang di ceritakan dalam “Serat Babad Ila-Ila”, Jkt 1986, hal 57-63 alih Bahasa
Oleh: Mulyono Sastro Naryatno, Jilid I, Proyek Penerbitan Buku Sastra dan
Daerah menceritakan bahwa :
Dewi Sri dan Raden Sadhana adalah kakak beradik. Karena mereka tidak
mau tinggal di kraton, maka oleh ayahandanya Prabu Purwacarita mereka dikutuk,
Dewi Sri menjadi ular sawah dan Raden Sadhana menjadi burung Sriti. Kemudian
Universitas Kristen Petra
29
mereka pergi entah kemana. Perjalanan Dewi Sri atau ular sawah lebih banyak
halangan daripada Raden Sadhana sebagai burung Sriti. Akhirnya Ular sawah
sampai di negeri Wirata, berhenti sebentar di dusun Wasutira lalu tidur melingkar
ditengah-tengah padi. Di dusun Wasutira inilah Ular sawah diletakkan di Petanen.
Ular sawah itu nantinya akan menjaga bayi yang dikandung oleh Ken Sanggi atau
istri dari Kyai Brikhu, sebab bayi yang dikandung itu adalah titisan Dewi
Tiksnawati.
Apabila ular itu mati, maka bayi itu juga akan mati. Demikianlah pada
malam hari Ken Sanggi melahirkan anak perempuan dengan selamat. Maka Kyai
Brikhu dalam memelihara ular sawah itu sangat berhati-hati jangan sampai mati.
Sewaktu Kyai Brikhu tertidur, ular sawah itu seakan-akan berkata agar jangan
diberi makan katak melainkan sesaji berupa sirih ayu, bunga serta lampu yang
menyala terus. Setelah Kyai Brikhu terbangun dari tidur langsung menyiapkan
sesaji seperti apa yang diminta ular sawah tadi. Dewi Tiksnawati yang menitis
pada tubuh bayi itu membuat huru hara di tempat kediaman dewa-dewa karena
Dewi Tiksnawati tanpa memberi tahu atau ijin dari Sang Hyang Jagadnata.
Sang Hyang Jagadnata menjadi murka dan mengutus para dewa untuk
memberi bencana pada sang Bayi. Akan tetapi gagal karena kena pengaruh tolak
bala yang diberikan Kyai Brikhu dari Ular sawah tadi. Setelah beberapa kali gagal
tahulah Sang Hyang Jagadnata bahwa semua itu berasal dari Dewi Sri. Kemudian
Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru mengutus para bidadari untuk
memanggil Dewi Sri.
Dia akan dijadikan bidadari untuk melengkapi bidadari yang ada
dikhayangan. Permintaan Sang Hyang Jagadnata diterima oleh Dewi Sri, akan
tetapi ia mohon agar Raden Sadhana yang dikutuk menjadi burung Sriti agar dapat
diruwat menjadi manusia kembali. Ternyata Raden Sadhana telah diruwat menjadi
manusia oleh Bagawan Brahmana Marhaesi, putra dari Sang Hyang Brahma.
Kemudian Raden Sadhana dikumpulkan dengan putri yang bernama Dewi
Laksmitawahni. Apabila telah berputra, Raden Sadhana akan diangkat menjadi
dewa. Kemudian ular sawah diruwat menjadi Dewi Sri kembali oleh para
bidadari.
Universitas Kristen Petra
30
Sepeninggal para bidadari, Kyai Brikhu ketika tengah membersihkan
petanen terkejut melihat ular sawah lenyap. Yang ada hanya seorang wanita
cantik. Kyai Brikhu akhirnya tahu bahwa Dewi Sri adalah putri dari Prabu
Mahapunggung di negeri Purwacarita. Sebelum Dewi Sri meninggalkan Kyai
Brikhu dan keluarganya dia berpesan agar memberikan sesajen di depan petanen
atau kamar tengah agar sandang pangannya tercukupi. Setelah itu Dewi Sri moksa
dan juga Raden Sadhana kembali ke khayangan. Itulah sebabnya pada sethong
tengah pada rumah Jawa selalu diberi gambar ular naga sebagai lambang
kewanitaan. Yaitu Dewi Sri yang memberikan kemakmuran. Para petani apabila
ada ular sawah masuk ke dalam rumah dijadikan pertanda bahwa sawahnya akan
diberikan hasil yang baik. atau banyak rejeki. Karenanya mereka tidak mau
mengganggu ular sawah dan memberi sesaji (“Dewi”).
2.3.3 Kaitan Dewi Sri Dengan Budaya Agraris Indonesia
Budaya agraris Indonesia sudah dilakukan sejak awal abad masehi,
meskipun pada waktu itu pertanian padi di nusantara masih sederhana. Sentuhan
teknologi mulai muncul ketika pengaruh India masuk. “Didalam beberapa tulisan
di jurnal Orissa Review, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh provinsi Orissa di
India selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad keempat. Kedatangan
mereka yang terdiri dari berbagai kasta membawa pengaruh dalam teknologi
penanaman padi”(Mulyono, par.9). Seperti yang dilakukan oleh Kasta Brahmana
yang menguasai ilmu pengetahuan, antara lain membawa metode penanaman padi
dengan pengairan dan memperkenalkan sejumlah teknologi yang memungkinkan
produksi padi meningkat.
Dalam buku Indonesia heritage, gambaran mengenai pertanian Indonesia
terutama pertanian Jawa klasik dapat diketahui dengan adanya bukti-bukti
prasasti, sumber sastra dan relief candi Indonesia yang memuat tentang kehidupan
pertanian pada zaman dahulu kala.
1. Prasasti Tugu
Prasasti yang ditulis oleh Raja Purnawarman, ditulis dengan bahasa
Sansekerta dan aksara Palawa abad kelima. Prasasti ini melaporkan perintah
Purnawarman untuk menggali saluran sepanjang 11 km ke kediaman
Universitas Kristen Petra
31
kakeknya. Prasasti tugu ditemukan di Jakarta, berisi tulisan pertama mengenai
pengelolaan air di Indonesia.
Gambar 2.16. Prasasti Tugu
Sumber: http://awidyarso65.wordpress.com/2009/08/28/pengendalian-banjir-
jakarta-kini-dan-1500-tahun-silam/prasasti_tugu-7/
2. Sumber-sumber sastra terutama Arjunawiwaha dan Sutasoma yang keduanya
ditulis oleh Mpu Tantular. Sumber sastra ini menceritakan pertanian Jawa
klasik terutama pada pemerintahan Raja Rajasanagara pada masa kejayaan
Majapahit.
3. Relief candi-candi Jawa melukiskan keadaan ideal dan cerita binatang berisi
ajaran moral. Namun demikian, adegan-adegan yang mencerminkan keadaan
sehari-hari kehidupan pertanian ditemukan di beberapa situs seperti borobudur
dan Prambanan di Jawa Tengah (Miksic 90-91).
Gambar 2.17. Relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang tengah
membajak menggunakan dua ekor lembu.
Sumber: http://www.wiki.qgito.net/id/wiki/Bajak.html
Universitas Kristen Petra
32
Sejarah tersebut menunjukkan karena adanya pengaruh budaya India
pada sistem pertanian Indonesia. Agama Hindu yang berasal dari India juga
memberikan pengaruh pada petani tentang kepercayaan pada dewa-dewa alam,
seperti Wisnu, Sywa dan Brahma. Menurut kepercayaan orang Hindu, Sri adalah
sebutan istri Wisnu. Sehingga kepercayaan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan yang
membawa berkah bagi para petani masih melekat sampai sekarang. Hal ini
terbukti dengan pemberian sesaji yang diletakkan di sekitar sawah untuk
menghormati Dewi Sri, dewi padi, terutama di provinsi Jawa Barat (Miksic, 90).
Sebagian besar para petani Indonesia sekarang masih tetap menggunakan
teknologi dan cara-cara tradisional (91). Dan masih banyak petani masih
menggunakan adat tertentu seperti perhitungan hari baik yang rumit untuk
menentukan waktu menanam dan memanen padi yang tepat
Budaya agraris Indonesia sampai sekarang masih tetap dipertahankan
karena petani Indonesia didukung oleh keadaan lingkungan yang menguntungkan,
seperti tanah yang subur dan iklim yang tidak terlalu ganas. Disamping itu
kepadatan penduduk Indonesia yang relatif tinggi merupakan faktor pendorong
Indonesia untuk melakukan kegiatan bercocok tanam. Sehingga kebiasaan
bercocok tanam ini yang dilakukan sejak zaman prasejarah sampai sekarang ini,
menjadi salah satu budaya Indonesia, yaitu budaya agraris.
2.4 Tinjauan Tentang Perkembangan Anak
2.4.1 Perkembangan Anak Usia 9-12 Tahun Dari Teori Pengamatan
Dalam perkembangan jiwani anak, pengamatan menduduki tempat yang
sangat penting. Beberapa teori mengenai fungsi pengamatan ini dipaparkan oleh
Meumann, Stern dan Oswald Kroh.
Teori Meumann : Ia membedakan tiga fase perkembangan fungsi pengamatan,
yaitu:
1. Fase sintese fantastis. Semua pengamatan atau penghayatan anak memberikan
kesan-total. Hanya beberapa onderdil/bagian saja yang bisa ditangkap jelas
oleh anak. Selanjutnya, anak akan melengkapi tanggapan tersebut dengan
fantasinya. Periode ini berlangsung pada usia 7-8 tahun.
Universitas Kristen Petra
33
2. Fase analisa, 8-9 tahun. Ciri-ciri dari macam-macam benda mulai diperhatikan
oleh anak. Bagian atau onderdil mulai ditangkap, namun belum dikaitkan
dalam kerangka keseluruhan/totalitasnya. Sekarang fantasi anak mulai
berkurang, dan diganti dengan pemikiran yang lebih rasional.
3. Fase sintese logis, kurang lebih 12 tahun ke atas. Anak mulai memahami
benda-benda dan peristiwa. Tumbuh wawasan akal budinya atau insight.
Bagian/onderdil-onderdil sekarang mulai dikaitkan dengan hubungan
totalitasnya.
Teori Stern menampilkan 4 stadium dalam perkembangan fungsi pengamatan
anak; yaitu:
1. Stadium-keadaan; 0-8 tahun. Disamping mendapatkan gambaran total samar-
samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa orang secara lebih
teliti.
2. Stadium-perbuatan, 8-9 tahun. Anak menaruh minat besar terhadap pekerjaan
dan perbuatan orang dewasa, serta tingkah laku binatang.
3. Stadium-hubungan, 9-10 tahun dan selanjutnya. Anak mengamati relasi/
hubungan dalam dimensi ruang dan waktu; juga hubungan kausal dari benda-
benda dan peristiwa.
4. Stadium-perihal (sifat): anak mulai menganalisa hasil pengamatannya, dengan
mengkonstatir ciri-ciri/sifat dari benda-benda, orang dan peristiwa.
Teori Oswald Kroh dalam bukunya: “Die Psychologie des Grundschulkindes”
(Psikologi anak Sekolah Dasar) menyatakan adanya 4 periode dalam
perkembangan fungsi pengamatan, yaitu:
1. Periode sintese-fantastis, 7-8 tahun. Artinya, segala hasil pengamatan
merupakan kesan totalitas/global, sedang sifatnya masih samar-samar.
Selanjutnya, kesan-kesan tersebut dilengkapi dengan fantasi anak. Asosiasi
dengan ini, anak suka sekali pada dongeng-dongeng, sage, mite, legenda,
kisah-kisah, dan cerita khayalan.
2. Periode relisme naïf, 8-10 tahun. Anak sudah bisa membedakan
bagian/onderdil, tetapi belum mampu menhubung-hubungkan satu dengan lain
Universitas Kristen Petra
34
dalam hubungan totalitas. Unsur fantasi sudah banyak diganti dengan
pengamatan konkrit.
3. Periode realisme-kritis, 10-12 tahun. Pengamatannya bersifat realistis dan
kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintese logis, karena munculnya
pengertian, insight/wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan.
Anak kini bisa menghubungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan atau
menjadi satu struktur.
4. Fase subyektif, 12-14 tahun. Unsur emosi atau perasaan muncul kembali, dan
kuat sekali mempengaruhi penilaian anak terhadap semua pengamatannya.
Masa ini dibatasi oleh gejala PUBERTAS KEDUA (Trotzalter kedua, masa
menentang kedua) (Kartono 135-7).
2.4.2 Perkembangan Anak Usia 9-12 Tahun Dari Segi Psikologi
Menurut Dr. Kartini Kartono yang membahas tentang psikologi anak, mengatakan
bahwa :
Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah dasar berkembang
secara berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul ada dalam stadium
belajar. Disamping keluarga, sekolah memberikan pengaruh yang sistematis
terhadap pembentukan akal-budi anak. Pengetahuannya bertambah pesat. Banyak
keterampilan yang dikuasai, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu mulai
dikembangkannya. Dari iklim yang egosentris, anak memasuki dunia obyektif dan
dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk mengetahui realitas benda dan peristiwa-
peristiwa mendorong anak untuk meneliti dan melakukan eksperimen (Kartono
138).
Apabila dilihat dari segi volutif (konatif, kemauan anak), fungsi kemauan
ini pada masa ini belum berkembang dengan penuh. Anak belum mempunyai
kekuasaan atas diri sendiri: belum ada proses regulasi diri dan lebih suka tunduk
pada kewibawaan yang tegas dari orangtua dan pendidik sehingga disiplin sekolah
dan kewibawaan para guru memberikan kegairahan pada situasi bekerja dan usaha
belajar anak. Pada galibnya anak senang pergi ke sekolah selama periode ini. Ia
merasa suka dan “betah-kerasan” tinggal di sekolah. Pada usia 10-11 tahun,
biasanya timbul kesukaan pada satu dua mata pelajaran; umpama matematika/
Universitas Kristen Petra
35
berhitung dan ilmu hayat. Dan baginya, belajar merupakan aktivitas yang
menyenangkan khususnya bagi anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya
(Kartono 144).
Dalam keadaan normal, pada usia kelompok 12 tahun anak sekolah dasar
tersebut merupakan individu yang tenang dan seimbang. Oleh karena itu, anak
disebut sebagai “I’ enfant fait”, yaitu anak yang komplit lengkap, anak yang sudah
“mapan besarnya” atau “een volgroeid kind”, Ciri-ciri “I’ enfant fait” ialah :
1. Rohani dan jasmani dalam kondisi baik
2. Saat ketenangan dan pengendapan perasaan-perasaan
3. Minat yang besar dan segar terhadap macam-macam peristiwa
4. Ingatan yang sangat kuat
5. Dorongan ingin tahu yang besar
6. Semangat belajar yang tinggi
Untuk usaha pendidikan-kemauan, perlu dipupuk motif-motif (prayojana, pola
pendorong, alasan) yang jelas dan kokoh kuat (Kartono 145).
2.4.3 Perkembangan Anak Usia 9-12 Tahun Dari Segi Intelektual
Menurut Dr. Zulkifli :
Dalam pertumbuhan yang biasa, pikiran berkembang secara berangsur-
angsur, sampai anak berumur sekitar 8-12 tahun, ingatannya kuat sekali. Biasanya
mereka suka menghafal banyak-banyak. Anak mengalami masa belajar. Pada
masa belajar ini anak menambah pengetahuannya, menambah kemampuannya,
mencapai kebiasaan yang baik.
Anak tidak lagi berpikir egosentris; artinya anak tidak lagi memandang
dirinya sendiri sebagai pusat perhatian lingkungannya. Anak mulai
memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan sikap objektif karena timbul
keinginannya untuk mengetahui kenyataan, keinginan itu akan mendorongnya
untuk menyelidiki segala sesuatu yang ada di lingkungannya (Zulkifli 80).
2.4.4 Peranan Buku Ilustrasi Pada Anak Berusia 9-12 Tahun
Menurut Murti Bunanta, salah seorang pengamat dan praktisi bacaan
anak, setidaknya terdapat tiga peran ilustrasi bagi anak. “Pertama, ilustrasi harus
Universitas Kristen Petra
36
mampu memberi ruang pada anak untuk berimajinasi. Kedua, ilustrasi harus
mampu menimbulkan rangsangan bagi anak untuk mengenal estetika. Dan
terakhir, ilustrasi harus mampu memberi kenikmatan bagi anak yang membaca”
(dalam Raditya par. 5).
Menurut Dr. Kartini Kartono:
Pada usia 8-9 tahun, anak menyukai sekali buku cerita-cerita dongeng. Misalnya
Timun emas, Bawang putih dan bawang merah, Malin Kundang. Unsur-unsur
yang hebat dan ajaib dalam dongeng-dongeng ini mencekam segenap minat anak.
Lambat laun, unsur kritis mulai muncul, dan anak mulai mengoreksi peristiwa
yang dihayati. Namun unsur fantasi masih tetap memegang peranan penting. Kini
anak menghendaki peristiwa riil yang betul-betul terjadi, atau semestinya harus
terjadi. Karena itu anak lalu menyenangi cerita-cerita (Kartono 138).
2.5 Wawancara
2.5.1 Analisis Data Wawancara
Wawancara dengan psikolog anak
Nama : Dra. Fenny Hartiani, M.Psi
Tanggal : 15 Maret 2010
1. Berapa batasan usia anak-anak jika dilihat dari sudut pandang psikologi?
Definisi anak secara psikologis tentunya berbeda dengan sudut
pandang hukum. Pengertian usia seorang anak sebenarnya adalah 12 tahun ke
bawah. Selepas usia 12 tahun (12-15 tahun) adalah masa pra remaja, usia 15-
18 tahun adalah remaja, dan seterusnya.
2. Pada usia berapa kreativitas anak muncul, mengingat salah satu ciri target
market yang dituju adalah anak yang kreatif?
Biasanya seorang anak yang mulai bisa berkomunikasi sudah muncul
kreativitasnya. Sebuah penelitian mengatakan bahwa anak yang berusia sekitar
5 tahun sedang mengalami puncak kreatifitasnya.
Universitas Kristen Petra
37
3. Apakah ada perbedaan antara anak urban dengan anak rural?
Ya. Hal ini disebabkan cara hidup yang berbeda di kota dan di desa.
Anak kota cenderung untuk bersikap lebih terbuka dan berani untuk
menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan seorang anak desa
lebih mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai (sense of
value). Di kota, anak mendapat sistem pembelajaran dan fasilitas PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini) lengkap yang mendukung perkembangan pola
pikir anak supaya lebih kreatif dan cerdas serta didukung asupan gizi yang
seimbang. Sebaliknya di desa, kebutuhan asupan gizi anak kurang
diperhatikan, dan sarana pendidikan PAUD juga tidak memadai.
4. Apakah buku cerita anak memiliki peranan penting untuk anak?
Tentu saja iya. Melalui buku cerita anak dapat dirangsang
kecerdasan bahasa dan visualnya. Dengan kekuatan cerita, kemasan, dan
ilustrasi, buku mampu berkomunikasi dan berdialog dengan anak. Buku
membawa anak berkelana ke alam yang dikehendaki dimana batasan imajinasi
dan kreativitas tak perlu dikekang.
5. Apa saran anda pada desainer/ilustrator untuk mendesain buku ilustrasi yang
tepat dan efektif bagi anak-anak?
Sebagai desainer/illustrator buku anak harus memperhatikan sudut
pandang anak. Desainer harus dapat kembali masuk ke dunia anak-anak dan
berimajinasi layaknya seorang anak dimana tidak ada batasan dan apapun bisa
terjadi. Pemikiran inilah yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain.
2.5.2 Asumsi Data Wawancara
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa puncak kreativitas manusia
justru terletak pada masa kanak-kanak. Perkembangan kreatifitas anak tidak lepas
dari kebutuhan gizi, lingkungan tempat tinggal dan peran orangtua dalam
mendidik anak. Buku cerita anak sebagai media penting untuk mengembangkan
bahasa dan visual seorang anak dengan didukung kekuatan cerita, kemasan dan
ilustrasi yang menarik. Namun dalam perancangan buku cerita anak yang baik
tentunya harus memperhatikan sudut pandang anak, bagaimana imajinasi seorang
anak itu, bila perlu desainer harus dapat kembali masuk ke dunia anak.
Universitas Kristen Petra
38
2.6 Analisis Data
2.6.1 SWOT
1. Kisah Dewi Sri
Penerbit : Nuansa Aulia
Gambar 2.18. Buku Kisah Dewi Sri
Sumber: Dokumentasi pribadi
Tabel 2.1. SWOT Buku Kisah Dewi Sri
Strength Weakness
Dari segi cerita tergolong lengkap sehingga segmennya cocok untuk usia sekolah
Memakai softcover dan kertas CD (buram) sehingga biaya percetakan dan harga jualnya tidak mahal Gaya desain ilustrasi cover memakai gaya manga Jepang, karena manga Jepang sekarang sangat diminati oleh remaja dan anak-anak
Gambar Ilustrasi didalam buku tidak berwarna (hitam putih) sehingga kurang menarik secara visual saat membaca Pesan moralnya tidak dicantumkan Teksnya terlalu panjang sehingga menimbulkan kebosanan saat membaca Adanya perbedaan gaya gambar cover Dewi Sri dengan gambar ilustrasi didalam buku. Terutama penggambaran ekspresi wajah karakter Dewi Sri
Universitas Kristen Petra
39
Tabel 2.1. SWOT Buku Kisah Dewi Sri (sambungan)
Opportunities Threads
Kisah Dewi Sri yang dibawakan
adalah versi Sunda, Jawa Barat.
Buku Dewi Sri yang mengangkat
cerita versi Sunda jarang ditemui di
toko-toko buku
Harga yang terjangkau sehingga
semua golongan dapat membelinya
Banyak pesaing yang mengangkat
cerita rakyat yang lebih menarik dalam
segi visual dan verbal
2. Buku Dewi Sri
Penerbit : PT Elex Komputindo
Gambar 2.19. Buku Cerita asli Indonesia; Dewi Sri
Sumber: Dokumentasi pribadi
Tabel 2.2. SWOT Buku Dewi Sri
Strength Weakness
Tampilan visual dari cover buku sudah
lumayan menarik (sudah berwarna)
Bahasa verbalnya mudah dimengerti
Adanya pesan moral dalam buku cerita
Cerita kurang lengkap
Kurangnya promosi
Universitas Kristen Petra
40
Tabel 2.2. SWOT Buku Dewi Sri (sambungan)
Opportunities Threads
Cerita Dewi Sri yang dibawakan
adalah versi Jawa. Buku Dewi Sri
yang mengangkat cerita versi Jawa
jarang ditemui di toko-toko buku
Banyaknya buku impor dan lokal yang
sudah beredar di pasaran dengan
tampilan visual maupun verbal yang
lebih menarik untuk dibaca
3. Putri raja menjadi padi
Penerbit : Kanisius
Gambar 2.20. Buku Putri Raja Menjadi Padi
Sumber: Dokumentasi pribadi
Tabel 2.3. SWOT Buku Putri Raja Menjadi Padi
Strength Weakness
Ilustrasi dalam buku sudah berwarna
Bahasa verbalnya mudah dimengerti
Adanya pesan moral dalam buku cerita
Tampilan covernya kurang menarik
Cerita Dewi Sri yang dibawakan adalah versi Jawa. Buku Dewi Sri yang mengangkat cerita versi Jawa jarang ditemui di toko-toko buku
Banyaknya buku impor dan lokal yang sudah beredar di pasaran dengan tampilan visual maupun verbal yang lebih menarik untuk dibaca
Universitas Kristen Petra
41
2.6.2 Kesimpulan Analisis Data
Kesimpulan umum dari semua buku cerita yang telah diamati dan diteliti
dapat diketahui bahwa kelebihan suatu buku cerita dapat dilihat dari tampilan
visual dan verbal untuk menarik minat pembaca. Sebaiknya tampilan visual dan
verbal sesuai dengan pendekatan target market yang dituju. Karena tampilan
visual dan verbal yang menarik adalah salah satu faktor untuk mencapai sasaran
target market.
Kelemahan yang ada dalam buku cerita tersebut, antara lain: pada buku
“Kisah Dewi Sri”, gaya desain ilustrasi cover tidak memiliki konsistensi dengan
gaya desain ilustrasi bacaan dalam buku. Cover buku kisah Dewi Sri memakai
gaya manga, tetapi gambar ilustrasi pelengkap teksnya, tidak memakai gaya
manga lagi. Hal ini menunjukkan cover manga pada buku kisah Dewi Sri sebagai
point of selling dan sebagai stopping power dalam marketing. Tetapi kelemahan
ini dapat berakibat kekecewaan pada para pembaca sehingga memiliki persepsi
buruk tentang buku lokal. Maka untuk menghindari kelemahan seperti itu,
perancangan pada buku ilustrasi legenda Dewi Sri ini nantinya akan lebih
konsistensi dalam penggambaran karakter dan penggunaan gaya desain eklektik.
Kesempatan dalam perancangan bertemakan buku cerita rakyat memiliki
banyak peluang, meski sudah banyak buku cerita rakyat yang sudah beredar di
pasaran tetapi belum memiliki tujuan dan target market yang jelas. Sedangkan
perancangan buku Legenda Dewi Sri ini bertujuan sebagai wacana budaya agraris
Indonesia pada anak usia 9-12 tahun.
Ancaman pada perancangan buku ilustrasi legenda Dewi Sri adalah
banyaknya pesaing buku bacaan anak baik lokal maupun impor yang sudah
beredar di toko buku, pandangan negatif masyarakat pada buku cerita rakyat
Indonesia adalah sesuatu yang membosankan dan kuno. Pada sisi ilustrasi, buku-
buku lokal lebih mengutamakan gambar sampulnya saja, tanpa memperhatikan
gambar dalam buku.
top related