219121732 referat obstruksi sistem saluran nafas atas new
Post on 11-Dec-2015
39 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Anatomi Sistem Saluran Nafas Atas
1. Hidung
Di dalam hidung (nasus) terdapat organum olfactorium perifer. Fungsi hidung
dan cavitas nasi berhubungan dengan:
Fungsi penghidu
Pernafasan
Penyaringan debu
Pelembapan udara pernapasan
Penampungan sekret dari sinus paranasales dan ductus nasolacrimalis
Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama
karena perbedaan pada tulang rawan hidung. Punggung hidung yang meluas dari akar
hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung) . Hidung meliputi bagian eksternal yang
menonjol dari wajah dan bagian internal berupa rongga hidung sebagai alat penyalur
udara. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit dan disupport oleh sepasang tulang hidung.
Rongga hidung terdiri atas :
a. Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi
b. Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis
udara
c. Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar
karena 94strukturnya yang berlapis
d. Sel silia yang berperan untuk mlemparkan benda asing ke luar dalam
usaha untuk membersihkan jalan napas. 1
Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga
hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-
masing rongga hidung dibagi menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau konka
dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat
banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara
terus-menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak
ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia.
1
Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni pada bagian anterior ke bagian
posterior yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas 2 bagian,
yakni secara longitudinal oleh septum hidung dan secara transversal oleh konka
superior, medialis, dan inferior. Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir
ke dan dari paru-paru. Jalan napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan
melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-paru. Hidung
bertanggung jawab terhadap olfaktori atau penghidu karena reseptor olfaksi terletak
dalam mukosa hidung. Fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
Pendarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui cabang arteria
spheno palatina, arteria ethmoidalis anterior dan arteria ethmoidalis posterior, arteri
palatina mayor, arteri labialis superior, dan rami lateralis arteria facialis. Plexus venosus
menyalurkan darah kembali ke dalam vena sphenopalatina, vena facialis, dan vena
ophtalmica.
Persarafan bagian dua pertiga inferior membran mukosa hidung terutama terjadi
melalui nervus nasopalatinus, cabang nervus cranialis V2. Bagian anterior dipersarafi
oleh nervus ethmoidalis anteior, cabang nervus nasociliaris yang merupakan cabang
nervus cranialis V1. Dinding lateral cavitas nasi memperoleh persarafan melalui rami
nasales maxilaris (nervus cranialis V2), nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis
anterior.1
2. Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang
menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak. Faring
meluas dari dasar cranium sampai tepi bawah cartilago cricoidea di sebelah anterior dan
sampai tepi bawah vertebra cervicalis VI di sebelah posterior. Dinding faring terutama
dibentuk oleh dua lapis otot-otot faring. Lapisan otot sirkular di sebelah luar terdiri dari
tiga otot konstriktor.
Lapisan otot internal yang terutama teratur longitudinal, terdiri dari muskulus
palatopharyngeus, musculus stylopharingeus, dan musculus salphingopharingeus. Otot-
otot ini mengangkat faring dan laring sewaktu menelan dan berbicara.
nasofaring ada saluran penghubung antara nasopharinx dengan telinga 2
bagian tengah, yaitu Tuba Eustachius dan Tuba Auditory
ada Phariyngeal tonsil (adenoids), terletak pada bagian
posterior nasopharinx, merupakan bagian dari jaringan
Lymphatic pada permukaan posterior lidah
Mempunyai fungsi respiratorik.
orofaring Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak dan
tulang hyoid. Refleks menelan berawal dari orofaring
menimbulkan dua perubahan, makanan terdorong masuk ke
saluran pencernaan (oesephagus) dan secara simultan katup
menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam
saluran pernapasan
Mempunyai fungsi pencernaan makanan
laringofaring Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian
bawahnya, sistem respirasi menjadi terpisah dari sistem
digestil. Makanan masuk ke bagian belakang, oesephagus
dan udara masuk ke arah depan masuk ke laring.1
3. Laring
Laring tersusun atas 9 Cartilago (6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar). Terbesar adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal,
bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “adam’s apple”, dan di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit di bawah cartilago thyroid
terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan Laringopharynx dengan trachea, terletak pada garis tengah anterior dari leher pada vertebrata cervical
4 sampai 6. Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing
dan memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas:1
Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium ke
arah laring selama menelan
Glotis : ostium antara pita suara dalam laring
Kartilago Thyroid : kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari
kartilago ini membentuk jakun ( Adam’s Apple )
Kartilago Krikoid : satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam
3
laring (terletak di bawah kartilago thyroid )
Kartilago Aritenoid : digunakan dalam gerakan pita suara dengan
kartilago thyroid
Pita suara : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang
menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat
pada lumen laring.
Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas yang disebabkan
oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral
sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.1
Gejala Klinis Obstruksi Saluran Nafas Atas
1. Kongenital
a. Atresia koana
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi
oleh membran abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat kegagalan
embriologik dari membran bukonasal untuk membelah sebelum kelahiran.
Gejala yang paling khas pada atresia koana adalah tidak adanya atau tidak
adekuatnya jalan napas hidung. Pada bayi baru lahir yang hanya bisa bernapas
melalui hidung, kondisi ini merupakan keadaan gawat darurat dan perlu
pertolongan yang cepat pada jalan napas atas untuk menyelamatkan hidupnya.
Obstruksi koana unilateral kadang-kadang tidak menimbulkan gejala pada saat
lahir tapi kemudian akan menyebabkan gangguan drainase nasal kronis
unilateral pada masa anak-anak sedangkan atresia koana bilateral menyebabkan
keadaan darurat pada saat kelahiran.
4
Gambar 1. Atresia koana endoskopi
Atresia koana bilateral memerlukan tindakan yang darurat bertujuan
untuk menjamin jalan napas, karena dapat menyebabkan asfiksia berat dan
kematian setelah kelahiran. Kelainan penyerta yaitu adanya meningosil
sehingga operasi ini dilakukan bersama bagian Bedah Saraf. Tindakan yang
dilakukan adalah koanoplasti dan pemasangan stent menggunakan pipa
nasogastrik ukuran 12.2
b. Stenosis subglotik
Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat
penyempitan. Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotik ialah :
1. Penebalan jaringan submukosa dengan hyperplasia kelenjar mucus dan
fibrosis.
2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil.
3. Bentuk tulang rawan normal dengan ukuran lebih kecil
4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen
krikoid.
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispneu, retraksi di suprasternal,
epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat akan
ditemukan sianosis dan apnea sebagai akibat sumbatan jalan, sehingga mungkin
juga terjadi gagal pernafasan (respiratory distress). Terapi tergantung kelainan
yang menyebabkannya.
5
Gambar 2. Stenosis subglotik
Pada umumnya terapi stenosis subglotik yang disebabkan oleh kelainan
submukosa ialah dilatasi atau dengan laser CO2. Stenosis subglotik yang
disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid dilakukan terapi
pembedahan dengan melakukan rekontruksi.3
c. Laringomalasia
Pada stadium awal ditemukan epiglotis lemah, sehingga pada waktu
inspirasi epiglotis tertarik ke bawah dan menutup rima glotis. Dengan demikian
bila pasien bernafas, nafasnya berbunyi (stridor). Stridor merupakan gejala awal,
dapat menetap dan mungkin hilang timbul, ini disebabkan lemahnya rangka
laring.
Gambar 3. Laringomalasia
6
Tanda sumbatan jalan nafas dapat dilihat dengan adanya cekungan
(retraksi) di daerah supra sterna, epigastrium, interkostal dan supraklavikular.
Bila sumbatan ini makin hebat, dilakukan intubasi endotrakea.3
2. Radang
a. Epiglotitis akut
Epiglotitis akut adalah suatu keadaan inflamasi akut yang terjadi pada
daerah supraglotis dari orofaring, meliputi epiglotis, valekula, aritenoid, dan
lipatan ariepiglotika.4 Epiglotitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri,
bakteri paling sering ditemukan adalah Haemophilus influenza. Epiglotitis akut
paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2-4 tahun namun akhir-akhir ini
dilaporkan bahwa prevalensi dan insidennya meningkat pada orang dewasa.5
Onset dari gejala epiglotitis akut biasanya terjadi tiba-tiba dan berkembang
secara cepat. Pada pasien anak-anak, gejala yang sering ditemui adalah sesak
napas dan stridor yang didahului oleh demam, sedangkan pada pasien dewasa
gejala yang terjadi lebih ringan, dan yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri
tenggorokan dan nyeri saat menelan.4
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan
tanda serta gejala klinis yang ditemui, dan dari foto rontgen lateral leher yang
memperlihatkan edema epiglotis (thumb sign) dan dilatasi dari hipofaring.6
Penatalaksanaan pada pasien dengan epiglotitis diarahkan kepada mengurangi
obstruksi saluran napas dan menjaganya agar tetap terbuka serta mengeradikasi
agen penyebab.4 Dapat dilakukan intubasi jika telah terjadi obstruksi, dengan
ekstubasi setelah 48-72 jam, serta pemberian antibiotika yang adekuat.
b. Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak berusia dibawah lima tahun.
Hal ini terjadi karena usia tersebut ruang retrofiring masih berisi kelenjar limfa
dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga
tengah. Pada usia diatas enam tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
7
Keadaan yangbisa menyebabkan terjadinya abses retrofiring ialah infeksi saluran
nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofiring,trauma dinding belakang
faring oleh benda asing dan tuberculosis vertebra servikalis bagian atas ( abses
dingin ). Gejala utama abses retrofiring adalah rasa nyeri dan sukar menelan.
Pada anak kecil rasa nyeri akan menyebabkan anak menangis terus dan tidak
mau makan atau minum, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak nafas karena
timbul sumbatan terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai
mengenai laring dapat timbl stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat menganggu
resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring
tampak benjolan, biasnaya unilateral. Mukasa terlihat bengkak dan hiperemis.
Diagnosa ditegakan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klink serta pemeriksaan penunjang foto
rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran
ruang retrofiring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa. Terapi abses retrofiring
adalah dengan medika mentosa dan pembedahan. Sebagai terapi medikamentosa
diberikan antibiotic dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob diberika secara
parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap
agar tidak terjadi inspirasi. Tindakan dapat dilakukan dengan anestesi local atau
umum.
3. Trauma
a. Paralisis laring
Paralisis n. laringeus superior
Cabang ekstern n. laringeus superior mensarafi m. krikotiroid
yang menegangkan pikta suara.cabang internnya mengurus mukosa
laring. Paralisis n. laringeus superior di proksimal percabangannya
menjadi cabang ekstern dan intern menyebabkan penderita tersedak bila
minum akibat anastesi mukosa sebab tidak merasa minuman turun.
8
Terjadi juga perubahn nada dan resonansi suara bila penderita bicara
keras atau menyanyi terlalu lama karena tegangan pita suara terganggu.
Gerakan abduksi dan adduksi pita suara tidak terganggu.
Paralisis n. laringeus rekurens
N.laringeus rekurens atau n. laringeus inferior melayani
m.abduktor dan m.adduktor pita suara. Paralisis n. laringeus inferior
mengakibatkan suara mendesau. Gejala ini dapat menghilang dalam
beberapa minggu bila terjadi kompensasi oleh otot aduktor kontralateral
sehingga pita suara yang sehat bergerak melewati garis tengah sehingga
bertemu dengan pita suara yang lumpuh.
Paralisis bilateral n. laringeus rekurens menyebabkan sesak nafas
karena celah suara sempit karena kedua pita suara tidak dapat abduksi
pada inspirasi, sehingga menetap pada posisi paramedian. Oleh karena
itu, penderita terpaksa istirahat dan menghindari keadaan yang
memerlukan lebih banyak zat asam seperti kerja, gerakan berlebihan,
takut dan demam.3,6
b. Menelan bahan kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorid atau basa
kuat seperti soda kaustik, potassium kaustik dan amonium bila tertelan dapat
mengakibatkan terbakarnya mukosa saluran cerna. Pada penderita yang tidak
sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan besar luka bakar hanya pada mulut
dan faring, karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja masuk ke
dalam lambung. Pada mereka yang mencoba bunuh diri akan terjadi luka bakar
yang luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berada
agak lama sebelum memasuki kardiak lambung. Diagnostik berdasarkan riwayat
menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di sekitar dan dalam mulut.6
4. Tumor
a. Hemangioma
9
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotik. Sering pula disertai
dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher.
Gambar 4. Hemangioma
Gejalanya ialah terdapat hemoptisis dan bila tumor itu besar, terdapat juga
sumbatan laring. Terapinya ialah dengan bedah laser, kortikosteroid atau dengan
obat-obat skleroting.3
b. Papiloma laring
Tumor epithelial papiler yang multipel pada laring ini disebabkan oleh
papova virus. Penderitanya sering mempunyai veruka kulit yang mengandung
virus. Biasanya kelainan sudah mulai pada usia dua tahun. Jika si ibu mempunyai
veruka vagina maka kelainan ini dapat terjadi pada bayi usia enam bulan. Gejala
khas berupa disfonia dan sesak napas yang bertambah hebat sampai terjadi
sumbatan total jalan napas.Terapi terdiri dari pembedahan dengan
mikrolaringoskopi. Eksisi papiloma dilakukan tanpa mengikutsertakan jaringan
sehat. Kadang digunakan laser CO2, pembedahan dingin atau radiasi ultrasonik.
Angka kekambuhan tinggi sehingga perlu dilakukan pembedahan berulang kali.
10
Papiloma pada orang dewasa merupakan lanjutan dari papilomatosis infantile
atau tumbuh pada usia pertengahan dan tetap sebagai satu lesi tunggal terbatas
pada satu korda.
Kedua keadaan ini dapat berubah jadi karsinoma sel skuamosa.
Perubahan ke keganasan terjadi khusus pada penderita yang sebelumnya pernah
mendapat radioterapi. Penanganannya sama seperti pada anak-anak, hanya tidak
memerlukan trakeotomi.6,7
5. Benda Asing Saluran Nafas Atas
a. Benda asing di hidung
Benda asing di hidung sering terjadi pada anak, dan pada anak sering
luput dari perhatian, gejala yang sering ditimbul yaitu hidung tersumbat, rinore
unilateral dengan cairan kental dan berbau, kadang – kadang demam, nyeri,
epitaksisi dan bersin. Hasil pemeriksaan tampak edem dengan inflamasi mukosa
hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi.
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan
memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas,
menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengeit
diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan cara ini benda asing ikut terbawa
keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau “wire loop”. Pemberian
antibiotic sistemik selama 5 – 7 hari hanya jika kasus benda asing hidung yang
telah menimbulkan infeksi.3,6,7
b. Benda asing di orofaring dan hipofaring
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di
tonsil, dasar lidah, valekula dan sinus piriformis yang akan menimbulkan rasa
nyeri menelan (odinofagia), baik saat makan maupun meludah, terutama benda
asing tajam seperti tulang ikan dan tulang ayam. Pemeriksaan di dasar lidah,
11
valekula dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorokan yang besar. Benda
asing di sinus piriformis menunjukkan tanda Jakcson (Jackson’s Sign) yaitu
terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.
Bila benda asing menyumbat intoitus esophagus, maka tampak ludah
tergenang di kedua sinus piriformis. Benda asing di tonsil dapat diambil dengan
memakai pinset atau cunam. Biasanya yang tersangkut di tonsil ialah benda
tajam, seperti tulang ikan, jarum, atau kail. Benda asing di dasar lidah, dapat
dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar. Pasien diminta menarik lidah
sendiri dan pemeriksaan memegang kaca tenggorokan dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanan memegang cunam untuk mengambil benda tersebut.
Bila pasien sangat perasa sehingga menyulitkan tindakan, maka sebelumnya
dapat disemprotkan xylocain atau pantocain. Tindakan pada benda asing di
valekula dan sinus piriformis kadang-kadang untuk mengeluarkannya dilakukan
dengan cara laringoskopi langsung.3,6,7
c. Benda asing di laring
Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Jika benda asing
dilaring menutupi secara total merupakan kegawatan dan akan menimbulkan
gejala berupa disfonia sampai afonia, apne dan sianosis. Pertolongan pertama
harus segera dilakukan karena asfiksia dapat terjadi dalam waktu hany abeberapa
menit. Tehnik yang dilakukan berupa Heimlich (Heimlich manueuver). Menurut
teori Heimlich , benda asing masuk ke dalam laring ialah pada waktu inspirasi,
dengan demikian paru penuh oleh udara, diibaratkan sebagai botol plastik yang
tertutup, dengan menekan botol itu maka sumbatan akan terlempar keluar.
Sumbatan tidak total dilaring dapat menyebabkan gejala suara parau,
disfonia sampai afonia, batuk yang di sertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis,
hemoptisis dan rasa subyektif dari benda asing (pasien akan menunjuk lehernya
sesuai dengan letak benda asing itu tersangkut) dan dispne dengan derajat
bervariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila benda asing masih tersangkut di laring,
dapat juga benda asing sudah turun ke trakea, tetapi masih meninggalkan reaksi
laring oleh karena udem. Pada kasus sumbatan subtotal, tidak menggunakan
12
perasat Heimlich, pasien masih dapat dibawa ke rumah sakit terdekat untuk di
beri pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau bronkoskop, atau jika
alat – alat tersebut tidak tersedia maka dapat di lakukan trakeostomi, dengan
pasien tidur dengan posisi Trendelenburg, kepala lebih rendah dari badan, supaya
benda asing tidak turun ke trakea.3
Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
a. Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :
Serak (disfoni) sampai afoni
Sesak napas (dispnea)
Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai
upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang
adekuat.
Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.3
Penatalaksanaan Obstruksi Saluran Nafas Atas
Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran napas atas
diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.
Tindakan konservatif : Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika
serta pemberian oksigen intermiten, yang dilakukan pada obstruksi laring
stadium I yang disebabkan oleh peradangan.
Tindakan operatif/resusitasi : Memasukkan pipa endotrakeal melalui
mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea),
13
membuat trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi laring stadium II
dan III, atau melakukan krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi
laring stadium IV.3
1. Intubasi Endotrakea
Intubasi endotrakeal adalah memasukan suatu pipa melalui mulut atau melalui
hidung kedalam trakea.
a. Indikasi intubasi endotrakea:
Untuk mengatasi sumbatan saluran napas atas
Membantu ventilasi
Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari
lambung
Kontraindikasi intubasi endotrakea adalah trauma jalan napas atau
obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi seperti
pada kasus trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servikal.
b. Alat untuk intubasi
Laringoskopi
Pipa endotrakea
Pipa orofaring atau nasofaring
Plester
Forsep intubasi
Suction
c. Teknik intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal merupakan tindakan penyelamat (life saving
procedure) yang dapat dilakukan tanpa atau dengan analgetika topikal dengan
xylocain 10%. Posisi pasien tidur terlentang, leher sedikit fleksi dan kepala
ekstensi. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,
dimasukan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong kekiri. Spatel
diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat
14
keatas, sehingga pita suara dapat terlihat, dengan tangan kanan pipa endotrakea
dimasukan melalui mulut terus melalui celah antara kedua pita suara kedalam
trakea. Pipa endotrakea dapat juga dimasukan melalui salah satu lubang hidung
sampai rongga mulut dan dengan cunam ujung pipa endotrakea dimasukan
kedalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea. Kemudian balon diisi
udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik. Apabila menggunakan spatel
laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur terlentang itu, pundaknya harus
diganjang dengan bantal pasir sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal
ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.
Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukan melalui
celah pita suara sampai ditrakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa
endotrakea di fiksasi dengan plester. Memasukan pipa endotrakea harus hati-hati
karena dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara timbul
granuloma dan stenosis laring atau trakea.6,7
2. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior
trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan
memintas jalan nafas bagian atas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak
yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1)
trakeostomi darurat (dalam waktu yang segera dan persiapan sarana sangat kurang) 2)
trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik.3
a. Indikasi trakeostomi
Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas dan
gangguan non obstruksi yang mengubah ventilasi dan pasien dengan crtical ill
yang memerlukan intubasi cukup lama (7-21 hari). Gangguan yang
mengindikasikan perlunya trakeostomi; 3,7
15
Untuk mengatasi obstruksi laring yang menghambat jalan nafas.
Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran nafas atas
seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan
adanya stoma maka seluruh oksigen yang masuk kedalam paru,
tidak ada yang tertinggal diruang rugi itu. Hal ini berguna pada
pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang
tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada
pasien dalam keadaan koma.
Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak
mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.
Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina
ludwig), epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik
yang timbul melalui mekanisme serupa
b. Gejala-gejala yang mengindikasikan adanya obstruksi pada jalan nafas yang
progresif, dibagi 4 stadium menurut Jackson: 3
Cekungan tampak pada waktu inspirasi disuprasternal, stridor pada waktu
inspirasi dan pasien masih tenang.
Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalan,
ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien
sudah mulai gelisah. Stridor terdengar saat inspirasi.
Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di
Infrakalvikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stridor saat inspirasi dan ekspirasi
Cekungan-cekungan di-atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah dan
tampak sangat ketakutan serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung
terus, maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik
karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal
karena asfiksia.
16
Tindakan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring
stdium 2 dan 3. Tindakan ini akan menurunkan jumlah udara residu
anatomis paru hingga 50 % nya. Sebagai hasilnya, pasien hanya
memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan
meningkatkan ventilasi alveolar. Tetapi hal ini juga sangat tergantung
pada ukuran dan jenis pipa trakeostomi. 3
Indikasi lain yaitu:
Cedera parah pada wajah dan leher
Setelah pembedahan wajah dan leher
Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan
sehinggamengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi
c. Syarat dan Kontra Indikasi
Perkutaneus trakeostomi memerlukan penahan rasa sakit, sedasi dan
penghambat neuro muscular pada pasien yang dipasang intubasi dan ventilator
mekanik.Perkutaneus Trakeostomi tidak dapat dilakukan pada pasien kegawat
daruratan jalan nafas terutama pada trauma suprglotis atau orofasial.Staf medik
yang ada dirumah sakit harus terlatih dan berpengalaman dalam menajemen jalan
nafas, PT, bronkoskopi dan surgical tracheostomy jika PT gagal atau terjadi
komplikasi.Pasien umur dibawah 16 tahun terutama umur 12 tahun tidak dapat
dilakukan PT.
Deformitas yang tampak jelas pada jalan nafas, jaringan parut yang
sebelumnya didapatkan dari operasi seperti trakeostostomi atau sternotomi, udem
leher, obesitas, gondok, atau tumor pada leher yang menyulitkan untuk palpasi
lokasi lapangan operasi seperti kartilago krikoid.Pada keadaan seperti ini dapat
dianjurkan untuk SST.Pembuluh darah yang tampak di bawah kulit, inflamasi,
dan/ atau ruam pada lokasi operasi juga merupakan kontra indikasi PDT.
17
Kesulitan untuk mengoptimalkan regangan leher pasien akibat trauma
servical atau arthritis, adanya leher yang pendek atau akibat kifosis yang berat
adalah kontra indikasi PDT.PDT harus ditunda jika hemodinamik pasien tidak
stabil.Untuk melakukan PDT pada pasien yang telah diketahui mengalami
gangguan jalan nafas bergantung pada opini dan pengalaman operator.
Pendarahan diathesis yang tidak teratasi merupakan risiko mutlak yang
dapat menimbulkan pendarahan yang tidak dapat dikontrol selama prosedur.3,7
d. Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital.
Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip
aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum dengan
10%-15% Lidokain dengan 1;200.000 disuntikkan dikartilago tarakeal 1 dan 2
atau 2 dan 3 secara infiltrasi. Dimulai pada insisi transversal 2-3 mm pada
midline subkrikoid dibuat pada kulit yang ditandai. Pasang curved mosquito
forceps dapat digunakan untuk diseksi tumpul secara vertikal dan tranversal pada
fasia pretrakea. Dengan ujung jari, trakea bagian depan yang telah dipotong
dibebaskan dari semua jaringan sampai terasa area interkartilago. Jika terdapat
isthmus, isthmus dipisahkan dari area interkartilago yang akan ditusuk.
Jarum pertama bersama kateter dimasukkan melalui semprit yang berisi
larutan saline untuk suction continous diarahkan pada midline trakea, posterior
dan kaudal. Jarum insersi paramedian akan terpasang benar dengan percobaan
berulang dituntun dengan bronkoskopik. Tanda telah masuknya jarum pada jalan
udara di trakea dibuktikan dengan adanya gelembung udara pada aspirasi
semprit. Pengatur jalan nafas dipastikan dengan jarum yang dimasukkan dari
pipa translaringeal dengan melihat pergerakan jarum yang pelan dari pipa.
Selanjutnya jarum ditarik perlahan ketika memasukkan kateter beberapa
milimeter ke dalam trakea, dan diperiksa pengaturan jalan nafas dengan
bronkoskopi.
18
Saat jarum dan semprit sepenuhnya telah dilepaskan, kawat penuntun
telah terpasang beberapa sentimeter ke dalam trakea. Kateter kemudian
sepenuhnya dicabut jika kawat penuntun telah masuk ke lumen trakea.Untuk
menjaga kawat penuntun tetap pada kulit yang telah ditandai, kawat tadi
dimasukkan pada dilator yang telah dilubrikasi untuk melebarkan jalan masuk ke
trakea dengan gerakan memutar pelan. Dilator ini dilepaskan jika kawat
penuntun ini telah tepat pada posisi yang telah ditandai. Selama menjaga posisi
kawat penuntun pada kateter dan dilator yang digunakan akan mencegah trauma
pada dinding posterior.
Menurut arah dari tuntunan kateter dan menjaga ujungnya dengan safety
ridge mengarah pada pasien agar kawat penuntun tetap pada kulit yang telah
ditandai. Kateter dengan kawat penuntun dimasukkan sebagai satu unit ke dalam
trakea sampai safety ridge pada kateter tepat pada kulit yang ditandai. Ujung
proximal dari kateter dan kawat dijaga agar tetap lurus, ini dapat dipastikan
ujung distal dari kateter telah diposisiskan dengan baik dibelakang kawat untuk
mencegah trauma dinding posterior trakea selam tindakan berikutnya.
Dilator serial yang telah dilubrikasi seluruhnya dan pelebaran dimulai
pada jalan masuk ke trakea. Tindakan ini dimulai dengan terlebih dahulu
memasukkan kateter dan kawat penuntun pada dilator curved biru secara
serentak. Untuk meletakkan alat tadi secara tepat, ujung proximal dari dilator
ditempatkan pada tanda posisi tunggal di kateter penuntun. Penempatan ujung
distal dilator tepat pada safety ridge dalam kateter penuntun. Perhatikan posisi
amam, dimana tiga uniut tersebut dimasukkan dengan gerakan memutar. Ketiga
alat tadi dimasukkan dan ditarik sewaktu-waktu,saat memutar, untuk melakukan
dilatasi yang efektif pada tempat masuk trakea. Kemudian dilator tadi dilepaskan
dan kawat serta kateter tetap pada tempatnya.
Pelebaran pada trakeostomi ini dilanjutkan dengan menggunakan dilator
yang lebih besar. Jalan masuk trakea tadi telah dilebarkan sedikit sampai ukuran
yang muat untuk pipa trakeostomi yang dipilih. Pelebaran ini memudahkan
untuk memasukkan bagian balon dari pipa ke dalam trakea. Tabel 1 memuat
19
ukuran dilator yang digunakan untuk melebarkan stoma sesuai dengan pipa
trakeostomi yang dimasukkan.
Pipa trakeostomi yang akan dimasukkan sebelumnya diisi pada dilator
biru yang telah dilubrikasi dengan ukuran yang sesuai. Pipa dengan balon yang
kempis dimasukkan ke dalam dilator, sehingga ujungnya kira-kira 2 cm dari
dilator. Sistim ini dimasukkan mengikuti kateter penuntun sampai ke safety ridge
dan selanjutnya dimasukkan sebagai satu unit ke dalam trakea. Segera setelah
balon memasuki trakea, dilator biru, kateter dan kawat penuntun dikeluarkan.
Untuk memasukkan pipa trakeostomi dual kanul, kanul yang lebih dalam
dikeluarkan lebih dulu untuk insersi dan kemudian prosedur selanjutnya dapat
dijalankan. Pipa trakeostomi kemudian dimasukkan pada cincinnya. Jika
menggunakan pipa dengan dual kanul, kanul yang lebih dalam dimasukkan pada
titik ini. Sekarang pipa telah terhubung dengan ventilator, balon dikembangkan
dan pipa translaringeal dikeluarkan setelah dipastikan ventilasi telah dapat
melewati pipa baru yang dimasukkan. AM melihat trakea melalui pipa
trakeostomi dengan menggunakan bronkoskopi, untuk mencari daerah yang
terluka pada dinding trakea posterior dan menghisap darah jika ada.
Pipa trakeostomi difiksasi dengan sutura dan dibalut dengan sebaik-
baiknya Pasien dihindari dari ektensi leher dan alas kepala dinaikkan 30-40
derajat selama satu jam.Pemeriksaan rontgen dada segera setelah tindakan
diperlukan untuk menilai pemasangan yang benar dari pipa trakeostomi dan
untuk mencegah terjadinya pneumotorak. Pemberian analgetik jika diperlukan.3,7
e. Perawatan Pasca Trakeostomi segera setelah trakeostomi dilakukan:
Rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya
komplikasi
Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa
trakeostomi
20
Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat
menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan
kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya
dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus
dipasang dalam jangka waktu lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu
sekali. Kain basah di bawah kanul harus diganti untuk menghindari timbulnya
dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah
insisi.6
3. Krikotiroidotomi
Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan
gawat napas. Dengan cara membelah membrane krikotiroid untuk dipasang kanul.
Membrane ini terletak dekat kulit, tidak terlalu kaya darah sehingga lebih mudah
dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat.
Krikotiroidotomi dibagi menjadi 2 macam yaitu needle cricothyroidotomy dan surgical
cricothyroidotomy.
Needle cricothyroidotomy
Pada needle cricothyroidotomy sebuah semprit dengan jarum digunakan
untuk melubangi melewati membran krikoid yang berada sepanjang trakea.
Setelah jarum menjangkau trakea, kateter dilepaskan dari jarumnya dan
dimasukkan ke tenggorokan dan dilekatkan pada sebuah kantung berkatup.
21
Gambar 7. Krikotiroidotomi
Surgical cricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya membuat
insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan memasukkan
pipa untuk ventilasi pasien.6,7
a. Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto
oksipitalis.Puncak tulang rawan tiroid (Adam’s apple) mudah diidentifikasi
difiksasi dengan jari tangan kiri.Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan
tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago krikoid.Membrane krikotiroid
terdapat diantara kedua tulang rawan ini.Daerah ini diinfiltrasi dengan
anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit.Jaringan dibawah
sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.Setelah tepi bawah kartilago tiroid
terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.Kemudian, masukkan kanul bila
tersedia.Jika tidak, dapat dipakai pipa plastic untuk sementara.
Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12 tahun,
demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat
laryngitis. Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama
karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan disekitar
22
subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya segera diganti
dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.3,7
b. Indikasi
Indikasi Absolut
Gagal intubasi, tidak terjadi ventilasi, atau pasien tidak bisa tenang
terhadap pemasangan alat bantu nafas.
Indikasi relative
Trauma wajah atau orofaringeal yang massif dan pembengkakan wajah
atau orofaringeal yang masif.
c. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolute:
Tidak ada kontraindikasi absolute untuk dilakukan krikotiroidotomi
Kontrainsokasi relative :
Transeksi trakea dengan retraksi trakea ke mediastinum
Fraktur laring atau trauma pada kartilago krikoid
Tumor laring
Anak usia < 8 tahun karena anatomi kecil dan jaringannya sangat lembut
Gangguan perdarahan
Edema leher yang massif
Inflamasi laring yang berat (laringotrakeitis, difteri, inflamasi kimia, TB).7
DAFTAR PUSTAKA
1. Seeley, stephens, tate. 2004. Anatomy and physiology. The McGrow – Hill Companies
avaible in serve. FKUnram.edu/anatomyfisiology
2. Perkasa, Fadjar. Penanganan pada atresia koana bilateral. 2013.
http://www.orli.or.id/index.php. Diakses pada tanggal 7 Agustus 2015
23
3. Soepardi, efiaty dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 162-259
4. Gompf. Epiglotitis. 2011. http//emedicide.medscape.com, diakses 8 Agustus 2015
5. Chung, C. H. Case and literature review: Adult acute epiglotitis – Rising incidence or
increasing a wareness. http//www.hkcem.com/html/publications/journal, diakses 8
Agustus 2015
6. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Penerbit
Binarupa Aksara. Jakarta. 1994.
7. Maisel, Robert H. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. h. 473-485
24
top related