22 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja
Post on 15-Aug-2015
111 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91
I
emuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk
mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata
kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau
gila, secepat petir menyambar.
Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten
dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya
Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang
menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa.
Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada
mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam,
namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka
melihat apa yang terjadi kemudian.
Ternyata Kebo Kanigara samasekali tidak berusaha untuk
menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia
membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di
lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan
melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan
dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu
kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan
yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi
apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada
mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan
disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut.
Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat
dipercaya. Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar
pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap
tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan-
lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat sedikit
pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus
terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua
S
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91
kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo
Kanigara, orang yang samasekali tak dikenal, baik oleh golongan
hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit.
Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali
ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati.
Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan
peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung Sariti
tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya
kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng
runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja,
laskar Banyubiru berteriak-teriak, “Nagapasa mati, Nagapasa
mati...!” Kemudian disusul, “Sima Rodra mati, Sima Rodra mati....”
Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya.
Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua
dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu
mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih
mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke
segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita
itu sangat meragukan.
Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan
Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun,
meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama
lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka
dengan penuh kekaguman dan keheranan.
“Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana.
Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan
mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri,
serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama
Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar
pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun samasekali tak
diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan
Pengging yang gemilang. Bahkan sedemikian sempurnanya
sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91
adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka.
Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata,
sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam
suatu benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu
kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra
Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang
perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada
di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri
melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa
ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai
membunuh Nagapasa. Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun
ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra
telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya
Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya
sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah
suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat
yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa.
“Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan
dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten.
Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu kepastian
tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar.
Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa
punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat dalam
perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang
beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun
kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia
dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar
itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya
Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira
yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin
kepalanya akan terlontar dan pecah berserak-serakan. Diam-diam
Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar
tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa
Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91
selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu
sikap yang jarang ditemuinya.
Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru,
kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru
menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di
laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara
mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar
mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel
Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya.
Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya
dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo
Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat?
Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah.
Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang
sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini,
mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia
ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan
ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang
menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan.
Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima
Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru
mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka
memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi
gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah
tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang
terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan
golongan hitam pun samasekali tak berarti baginya. Sebab
kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan
atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat
mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh
sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi
itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi
kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu,
Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91
kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia
memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia
menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena
keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan
lain yang semakin menyulitkan kedudukannya.
Dalam pada itu, matahari
beredar terus. Ketika tokoh-
tokoh sakti dari keduabelah
pihak terlibat kembali dalam
pertempuran, warna-warna
yang kelam mewarnai lembah-
lembah yang cekung. Perla-
han-lahan warna itu merayapi
tebing semakin tinggi. Angin
pegunungan yang sejuk terasa
silirnya mengusap tubuh.
Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang telah kehi-
langan lawannya tidak segera
berbuat sesuatu. Mereka masih
diam dan tegak di tempat
masing-masing. Namun di
daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-
orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari
kedua orang yang luar biasa itu.
Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi
semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah kehilangan
pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah
sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora
Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan
Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan
peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-
kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang
dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91
itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian
mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka
tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya,
namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan
dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti.
Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga
mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu
sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang
baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah
rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk
tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka
meninggalkan medan. Satu-Dua orang mencoba menolong kawan-
kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan
dari mereka samasekali tidak ambil pusing kepada mereka yang
terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir
merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan
parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun samasekali
tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka,
laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan
untuk kepentingan rahasia mereka, samasekali mereka tidak
segan membunuh kawan sendiri.
Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera
mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Pemimpin-
pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar
mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk
gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang
mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang
terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas
tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada
kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat
pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.
Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi.
Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas
mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91
kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus
mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok
mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan
mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan
pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah
dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai,
segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu,
tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Mereka pun
segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki
Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, “Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan
Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah
kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar
dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger
telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya
karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain
yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa
Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami
orang-orang tua yang tak tahu diri.”
Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat
sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu.
Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab.
Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, “Ada
kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-
Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang
ditunjuknya.”
Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara
itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat
beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan
mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91
Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan
pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib.
Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka
yang terluka.
Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului
kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di
sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti
itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka
bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan
mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu
kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui
kesaktian mereka sendiri.
Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana
mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan
mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang
mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap
gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka
lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat
dengan tertib.
Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama
dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil
air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya
mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang.
Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora
Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya
bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu.
Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus
dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar?
Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, “Tuhan telah
menerangi hatinya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91
Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia,
“Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, “Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang
mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada
Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa
samasekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah
menemukan jalannya. Tetapi....” kata-kata orang tua itu terputus
oleh tarikan nafasnya.
“Tetapi....” Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi
kata itu.
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar
dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit
hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng
Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya.
Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja
langkah orang tua itu sambil berdiam diri.
Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora
Dipayana bertanya, “Dari mana kau Arya?”
Arya berhenti, kemudian ia menjawab, “Sesuci Eyang.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?”
Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman
Lembu Sora.”
“Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa
petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta
orang tua itu.
“Baiklah Eyang,” jawab Arya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi
pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.
“Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa
Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa
keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam
Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar
mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan
nasib cucunya, Sawung Sariti.
Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut
masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti
pagi tadi.Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka
terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan
yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar
mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri.
Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan
beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat
berceritera. Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat
laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat.
Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas
anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil
memeluk senjata masing-masing.
Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai
oleh mimpi yang segar.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan
dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati
mereka. Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang
kepada mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil
mempersilahkan, “Marilah Ki Ageng.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91
Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda
dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula
didekat perapian yang masih menyala-nyala itu.
“Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati....” Ki Ageng
Lembu Sora mulai, “Aku memerlukan datang kepada kalian berdua
untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku
lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku
masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal
pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah
kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku
lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-
lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar
pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora
memandang kepada diri sendiri.
Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang
dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa
nyamannya.
Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan,
“Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami
sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat
pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.”
Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah
menyumbat kerongkongan. “Tetapi Kakang, apabila besok aku
terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang
menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora
kelak.”
“Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut
Mahesa Jenar. “Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku
tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra.
Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan
ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91
“Ya....” Lembu Sora menjawab, “Aku tahu itu. Aku sadar
betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak-
kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas.
Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau
meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak
mengetahui samasekali persoalan di antara kami. Syukurlah
bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan
itu.”
“Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah
Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa
miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.”
“Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?”
Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian
bodohnya.
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar, “Meskipun hidup dan mati
berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan
menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di
pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka
bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan
melimpahkan rahmat-Nya.”
Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram, merenungi api
yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di
dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa
kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan,
kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat
yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana
Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk
Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng
Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah
bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana
dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-
citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91
diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk
lesu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa
penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa
ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh.
Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.
Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi
semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas
dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka
terletak tanggung jawab atas keselamatan perkemahan
Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu
menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang
nyenyak tertidur.
Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka
matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama
dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera
bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat
di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan
tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu
seperti masa anak-anak dahulu.
“Arya....” desisnya, “Maafkan pamanmu.”
Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-
kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah
terkunci. Namun hatinya berkata, “Aku akan berusaha
melupakannya, Paman.”
Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi
panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar.
Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki
Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.
Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan
kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91
hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah
membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa.
Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap
dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di
manakah adikmu?”
Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang
serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, “Aku tidak tahu,
Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira
Adi bersama-sama dengan Paman.”
Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti
anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang samasekali tidak
mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan
manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada
diri sendiri. Kenapa selama ini hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah
membatasi perbuatan anaknya yang diandalkannya untuk dapat
mendampinginya dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak
itulah yang didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh
tersesat lebih jauh daripada dirinya sendiri.
“Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku
sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya
sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, adikmu
telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat
melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun
demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke
jalan yang benar?”
“Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu
sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya
itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha.
Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran
ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91
enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan
yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas?
Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka
Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia pun
kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya
kepada Mahesa Jenar, “Tuan, apakah Tuan telah mendengar
laporan para pengawas?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Belum Wulungan,”
jawabnya. “Laporan tentang apa?”
“Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana
pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya
Salaka,” sambung Wulungan.
“Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.
“Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. “Kalau
demikian....” ia melanjutkan, “Biarlah aku panggil orang itu.”
II
Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa.
Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam
hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang
pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang itu duduk pula, dan
berkatalah ia, “Inilah orang yang menyampaikan laporan itu,
Tuan.”
Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama.
Kemudian berkatalah ia, “Katakanlah apa yang kau lihat?”
Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu
Sora ia berkata, “Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas
untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91
melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan
Kakang Galunggung.”
Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik
nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar
atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora mengerutkan
keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan
anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan,
penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara
berdesing ditelinganya. “Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu
memang kau didik demikian.”
“Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu
Sora menggeram.
“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari
rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.
“Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak.
Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, “He,
apa kerjanya di sana?”
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik
dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah
perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang
dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-
kotornya di Pangrantunan. Di rumahnya ada dua tiga orang gadis.
Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub
yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi
terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang
melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa
yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan
demikian ia tetap berdiam diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91
Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, “Bagus, jangan
kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak
itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku
sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati
dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah
laporan itu?”
“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya
pengawas itu.
Lembu Sora menggelengkan kepalanya. “Belum.”
“Agak terlambat,” katanya. “Aku telah melihat beberapa waktu
yang lalu.”
“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.
“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda
meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,”
jawabnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak
maju sambil bertanya, “Siapakah mereka?”
“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,”
jawabnya.
“He…!” Arya hampir berteriak. “Kau tahu benar?”
“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. “Karena itu aku
yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede,
mereka membelok ke timur.”
“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.
“Aku pun pasti,” sahut pengawas itu, “Tetapi aku tidak dapat
mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti,
akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku.
Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula
meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91
aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu
penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku
itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu
kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
“Gila,” desah Lembu Sora. “Sawung Sariti dan Galunggung
tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana
atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”
“Wulungan....” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, “panggil
mereka!”
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera
bangkit. “Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di
dalam gelap.
“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah
seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”
“Pasingsingan…?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba
meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata
apapun juga ia berlari kencang-kencang.
“Arya....” panggil Mahesa Jenar, “Apa yang akan kau lakukan?”
“Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya.
Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian
berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi,
tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami
mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati
melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau
di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura
Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka. Mahesa Jenar sendiri
mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun
ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91
bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar,
aku pergi bersamamu.”
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar
akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan
muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.
Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat
telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, “Ada apa Tuan-
tuan?”
“Aku akan pergi sebentar,
Bantaran. Jagalah laskar baik-
baik. Tempatkan dirimu
langsung di bawah perintah Ki
Ageng Sora Dipayana apabila
besok pagi-pagi aku belum
kembali,” kata Mahesa Jenar
dengan tergesa-gesa. Ia tidak
sempat memberi banyak
penjelasan. “Aku titipkan
laskar Banyubiru kepadamu Ki
Ageng,” katanya kepada
Lembu Sora.
“Baik Adi,” jawab Lembu
Sora. “Tetapi tidakkah Adi
perlu membawa pasukan?”
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar, “Di Banyubiru masih ada separo
laskar Arya Salaka.”
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat
berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan
tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi.
Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi
ke tempat kuda-kuda dipersiapkan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91
Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti
angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera
meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup
baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.
Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, “Aku ambil
seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka
melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-
masing kuda dengan tergesa-gesa.
“Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, “Kami sedang berlatih
berpacu kuda.”
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun
demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya
berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang
mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka
tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi.
Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-
senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi
di perkemahan itu.
Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat
peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung
Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah
membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang
Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya
dalam hati pula. Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa
yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan
laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah
yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak
tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada
Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91
Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan
yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora
Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di
sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil
menggeram, “Apa kerjamu Sawung Sariti?”
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum
pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang
demikian kepadanya.
“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya.
Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti
hendak menelannya hidup-hidup.
“Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. “Sawung
Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan
matanya masih saja melekat kepada anaknya. “Terlambat,” geram
Lembu Sora.
“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Kabar itu,” jawab Lembu Sora. “Mungkin sesuatu telah terjadi
sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”
“Sabarlah,” potong ayahnya, “Apakah yang sebenarnya
terjadi?”
“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti
bertanya.
“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan
perkemahan mereka,” jawab ayahnya.
“Ke mana?” desak Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91
“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung. Agaknya Ki
Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak
mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika
Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, “Kemana? Tidakkah
kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu
hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi
semakin jelek?”
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya
bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin
menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih
kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak
kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, “Aku belum selesai ayah.
Aku baru menyampaikan sebagian.”
“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan
laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?”
bentak ayahnya.
“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, “Biarlah
anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang
kepadaku.”
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya.
Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan
perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, “Jadi
kau belum lama menghadap eyangmu?”
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia
menjawab, “Ya ayah.”
“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.
Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak berani berkata kepada
ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91
tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya,
Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa
disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta
supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu.
Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia
menjawab, “Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”
“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki Ageng Lembu
Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah
mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan. Tiba-
tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya
berteriak, “Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti
mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu.
Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-
benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan
yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba
berkata membela diri, “Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang
mengatakan?”
Mata Lembu Sora bertambah menyala, “Kau mau bohong
Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat
melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora
meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung
sambil berteriak, “Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu
kotor untuk mengucapkannya.”
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau
tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak
kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah
merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam
dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91
“Lembu Sora....” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya,
“Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk
pula di samping ayahnya. Sawung Sariti samasekali tidak berani
menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar
bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba
merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya
waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang
golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di
dalam hatinya, “Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya
dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap
darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya,
terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, “Sudahlah
Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba.
Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari
masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang
cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu,
bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka.
Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi
anak semuda cucuku Sawung Sariti.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar
pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-
mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. “Nah, Sawung
Sariti....” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, “Apakah yang kau
katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera
tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan
suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah
melaporkan keadaan, “Orang-orang dari golongan hitam itu pergi
ke Banyubiru, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Ke Banyubiru?” ulangnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91
“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan
yang didengarnya dari pengawas itu.
“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?”
bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung
pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati,
“Mati kau pengawas gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada
Sawung Sariti ia berkata, “Panggillah kakakmu Arya Salaka.”
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, “Baiklah
Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama
dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka
keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan
tangan bersilang dada.
Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau
lihat Kakang Arya?”
Wulungan menggelengkan kepala. “Tidak Angger.”
Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-
gesa. Galunggung samasekali tidak mengucapkan sepatah
katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di
belakang mereka.
Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, “Tak akan
dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil
menoleh kepada anaknya ia bertanya, “Kenapa?”
“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu
Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91
“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Sendiri?”
“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang
Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?” tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya
perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, “Dari mana anak itu
mendengar?”
“Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora.
Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu,
serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana
Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan
tombaknya dalam genggaman.
“Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.
“Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke
Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar
dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka
segera menyusul.”
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa
Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam
Ki Ageng Sora Dipayana. “Mereka orang-orang yang memiliki
firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini.
Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya
di antara kita.”
“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak
terlambat,” desah Lembu Sora. “Mudah-mudahan segala sesuatu
tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan
Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91
karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus
mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?”
“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. “Mahesa
Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya
dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang
harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat
pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya
lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak
pula.”
“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian
iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun
kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak.
Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar,
kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut.
Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan
merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar
mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-
mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin
dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya
tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain.
Sawung Sariti dan Galunggung samasekali tidak menyesalkan
perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu.
Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar
batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur,
Sawung Sariti menggeram, “Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian
dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu
sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?”
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung
Sariti.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91
“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu
kecemasan.
“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. “Benar angger,” jawabnya. “Aku
telah bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara
aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu.
Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti
agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata
sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng
Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata,
“Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan
apa yang aku lihat demi kewajibanku.”
“Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. “Kau bisa berkata
hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna
hijau.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus
dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung
melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya,
“Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki
Ageng Lembu Sora.”
Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang
kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak
seorangpun yang berani mencampurinya.
Tiba-tiba Galunggung itu berkata, “Ikuti aku.”
“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!” bentak Galunggung.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di
belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti.
Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan
atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang
diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia
perlu mendapat hukuman.
Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka
menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa.
Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping
desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika
ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam,
tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung
mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
“Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku
kubur hidup-hidup.”
“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar. “Seandainya aku
berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati
dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan
pekerjaanku sebaik-baiknya.”
“Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain.” jawab Sawung
Sariti, “Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di
Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus
dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana,
tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia
tidak mengerti kenapa kebenaran samasekali tidak menjadi
pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran
dari seginya sendiri.
Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.
“Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk
menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91
diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka
beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil
membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.”
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di
dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang
sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat
mempengaruhi keadaannya? Namun ia menjawab, “Aku dapat
menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan
membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat
memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan
itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk
menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
“Kau tak usah terlalu
banyak bicara,” potong
Galunggung. “Nikmatilah uda-
ra terakhir ini sebaik-baiknya.
Sesudah itu, kau tak akan
mengenalnya lagi.”
Pengawas itu menjadi
semakin gemetar. Namun ia
berkata, “Kalau ada akibat
yang kurang baik bagi kalian
berdua, bukankah itu bukan
salahku. Kalau kalian tidak
sengaja memperlambat berita
itu, maka segala sesuatu akan
menjadi baik.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Galunggung. “Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”
Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada
pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah
pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91
kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas
kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan
ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri. Dirasanya
sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri
di hadapan dua orang yang samasekali di atas kemampuannya
untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan
seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau
perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan
sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi
kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia melangkah maju
sambil menggeram, “Jangan melawan, sebab kalau kau melawan
berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang
terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia
meloncat mundur sambil menarik kerisnya.
Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.
“Benar-benar kau sedang sekarat.” Kemudian sambil tertawa ia
melangkah maju.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang
samasekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh
pengaruh. Katanya, “Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat
kebenaran diinjak-injak.”
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti
mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya
Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya
tergantung di lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil
melangkah maju ia berkata, “Paman Wulungan, kau berani
mengganggu pekerjaanku?”
“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91
“Tidak…?” sahut Sawung Sariti, “Lalu apa yang Paman
kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu
bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid
Sora Dipayana?”
“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora
Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua
dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan
Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung
Sariti sambil mengangkat dadanya.
“Tidak apa-apa.” jawab Wulungan, “Aku tidak akan melawan
Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya.
Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”
“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung
Sariti.
“Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku
yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan
Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk
mengulangi laporannya.”
“Hem....” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua
sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh
sekalian?”
“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan
masih setenang tadi. “Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak
Sawung Sariti.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91
“Tidak,” jawab Wulungan. “Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan
Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat
dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku,
maupun kini.”
“Gila!” umpat Sawung Sariti. “Kau bukan seorang jantan.”
“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib
menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran
ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat,
bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora
Dipayana…?”
“Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk
menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu. “Ki Sanak,
baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung
melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa
pembicaraan lain.”
Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan
benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama
itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-
duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat
melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-
serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila
terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
“Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-
mukul dadanya.
Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak
ia berkata, “Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”
Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di
dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun
demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91
perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan
menjawab, “Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu
Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger
memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”
“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa
pengendalian,” jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, “Kepalamu
memang harus dipenggal.”
Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-
katanya, “Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku
berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang
terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka
mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan
berkata, “Begitu kan…?”
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya
bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.
Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, “Apa
jaminanmu?”
“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.
“Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan
diantara keluarga sendiri.”
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,
“Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau
memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan
cara untuk membunuhmu.”
“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia
melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya
dibelakang.
“Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu.
Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya
bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua
berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan
demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan
dilakukan seandainya orang itu akan mencoba
menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan
terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah
merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau
Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian
Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya.
Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap
mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya
Salaka. “Persetan dengan anak itu,” geramnya. “Dan persetan
dengan Banyubiru.”
“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang
Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak
dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung
pun segera pergi.
III
Malam berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam.
Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.
Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke
Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang
dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa
langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di
belakangnya adalah Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91
Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah
mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu
kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada
Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah
mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera
ditemuinya.
Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang
di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya.
Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai.
Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya.
Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara.
Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi
keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di
antara orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan.
Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya
Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau
kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan
nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi sangat cemas?
Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau
Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang
pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-
orang dari golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan
rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya
kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang
Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri.
Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian
ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya
untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib
gadis nakal yang aneh itu.
Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu
kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang
menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan
tebing-tebing yang curam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91
Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya
Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan,
mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan
Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah.
Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing-
tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang
karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-
jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang
sedang bermalas-malas.
Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin
gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah
berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batu-
batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut
ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih
cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di
serambi matanya seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya,
memanggilnya, “Arya, tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti
seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai
perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya. Tetapi
senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-
abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-
tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa
Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang
sedang marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu
berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung
jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru.
Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta
ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari
Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan
Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?”
“Tetapi….” Hatinya membantah sendiri, “Kalau segala sesuatu
telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit
nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91
suara itu hanyalah pekik burung hantu yang sedang berkelahi.
Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi
bertambah sepi.
Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai
permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit,
Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga
Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya
malam.
Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi.
Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana.
Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib
suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang
di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya
malam.
Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih
tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan
malasnya dibelai angin malam.
Dua orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol
halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu dengan mata
yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa
bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.
“Beristirahatlah Paman.” Terdengar suara Mantingan lemah.
“Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu.
“Ya,” sahut Mantingan.
“Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya
terlempar ke halaman, menembus kelam.
Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91
“Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya
Wanamerta.
“Mungkin,” jawab Mantingan. “Baru saja aku selesai
berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca,
Pergiwa dan Pergiwati.”
Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar
kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin.
Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya
malam.
“Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.
“Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.
Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-
gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening sepi,
namun penuh kemesraan hati manusia.
“Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.
“Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab
Mantingan.
Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di
hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah
hari bertambah tajam.
Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman
bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.
Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang
dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
“Aneh,” gumam Wanamerta.
“Apakah yang aneh?” tanya Mantingan.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun
sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91
Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya
berdesir halus. “Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya.
Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya
menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah.
Namun betapa merdunya suara seruling itu.
Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan
mengangkat wajahnya. “Berhenti,” desisnya.
“Ya,” sahut Wanamerta, “Agaknya Angger Wirasaba
kedinginan.”
Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di halaman.
Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah.
Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di
halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman,
pohon-pohon kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak
hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol.
Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke
pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan
malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang
Parapat yang telah hampir sembuh.
Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang. “Ah….”
gumam Wanamerta. “Kenapa aku berubah menjadi penakut?”
“Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.
“Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar
langkah hantu,” jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi
perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat pinggangnya,
sedang tangannya menggenggam kapaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91
Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo
yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya
menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu
tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena
itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu
bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di
tangan, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata
lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?”
Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut
ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum
tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka
mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat
bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari
pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para
penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan
terpaksa menghentikan langkahnya.
“Lawa Ijo,” gumamnya.
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun
dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh tinggi
besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat
orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya.
Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah
dibinasakan oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…?
Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba
menggeram, “Hem, kau Wadas Gunung.”
Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang
perlahan, “Wadas Gunung. Siapakah dia?”
“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91
Wirasaba menggeleng. “Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini
pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-
sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu Wadas
Gunung telah berjalan bebe-
rapa langkah maju. Sambil
tertawa pendek ia berkata,
“Nah, kau orang berkapak
yang membantu Mahesa Jenar
di Pliridan dahulu? Kau masih
mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga maju. “Kau
datang pula ke Gedong Songo
beberapa hari yang lalu,”
katanya. Dan kapaknya tiba-
tiba bergetar di tangannya.
Ketika ia hampir meloncat
menyerbu, terdengar Wana-
merta yang tua itu berbisik,
“Hati-hatilah Angger. Ia pasti
tidak datang sendiri.”
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara
kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut. “Kebakaran,” desis
Wanamerta.
Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, “Kebakaran.
Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera
menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika
ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa,
muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia
belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91
berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam
sebuah tongkat warna hitam.
“Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
“Jangan risaukan siapa aku.”
Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat
banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,
“Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi
sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat
memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-
tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat
terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa
suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar
halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera
bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut
pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan
tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu
dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun
kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu
telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap
penjuru Banyubiru.
Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun
dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah
mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir
yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu.
Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa
mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang
singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa
bahaya yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91
segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu
segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran.
Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya
ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah. Ia mengerutkan
keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, “Jangan
berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.”
Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik
pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang
itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di
belakangnya, “Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera
menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia
menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut
seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia
merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila
karena dirinya.
Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia
masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu
terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum
yang aneh.
Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi
dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan
laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-
luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya,
sebagai ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu
dengan gadis ini.
Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan
pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh
bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa,
bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan
rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, “Jaka Soka,
apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah
selesai…?”
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang
dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan
gadis manis yang menyapanya, “Hem, agaknya kau mendapat
pekerjaan baru di sini Jaka Soka.”
Jaka Soka tersenyum, jawabnya, “Bukan, Wadas Gunung.
Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya
beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya ia pun tetap menanti.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan
pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri
Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang
di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka
Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari
lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang.
Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat
diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari
dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian
disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama
semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya
bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya.
Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka.
Sambil tertawa pendek ia berkata, “Jaka Soka. Apa kau masih
mengharapkan gadis itu?”
“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali lagi wajah Rara Wilis
menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab
adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, “Benar Paman
Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda
kami menjadi kekurangan rumput.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang
berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram. Tetapi Lawa Ijo
tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Ha, dengar. Apa yang
dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya
kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada
saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah
mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis
itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang
samasekali, katanya, “He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi.
Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa,
sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo menyahut,
“Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata
sebenarnya.”
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia
memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak bisa
meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau
saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak
perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara
Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung
di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh
istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di
tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia
tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar
dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di
lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main
dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di
ujungnya.
Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak
lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91
benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta
pedang yang terselip di dalamnya.
Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh
dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika
penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya,
mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para
penjaga yang lain pun terkejut. Tetapi mereka terpaku di
tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang
seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh
tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan
dan Sura Sarunggi.
Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi
kemudian terdengar suaranya menggeram. “Lawa Ijo. Permainan
apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi
kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah
memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari
orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat
kebakaran. Waktu kita tidak banyak.”
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di
Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka
menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, “Baiklah Guru. Dan
apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”
“Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka
masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku
akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-
benar masih ada di sini.”
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia
sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula,
bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk
memancing laskar Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91
Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-
apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan
seenaknya.
Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi
pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka
memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan
trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang
Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun
tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak
berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia
telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu
bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu
ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri.
Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis
yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada
Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan
sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan segera mema-
suki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan
itu.
Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu,
mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata,
“Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak
terlalu banyak.”
Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju,
dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada saat yang
bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar
bahwa Ular Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya
meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambak-
baya. Tetapi sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan
senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk membunuh
lawannya itu.
Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya
meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91
berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun
menerima serangan Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua
belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang.
Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Kedua-
duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa.
Keduanya memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba
kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-
benar pulih kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa
Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian
pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan
senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam.
Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara,
memercik berhamburan.
Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah
berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu. Yang masih
berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat
dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban
Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang
Lawa Ijo. Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di
tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan
tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka
sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu perkelahian
yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera
dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu meloncat
dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah
lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa Ijo, maka dalam
pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang
dinamainya Pacar Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya
bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari
segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di
Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu.
Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang
Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang
tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka
Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan berhasil.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91
Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah
mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang pernah
terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta.
Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya di Pliridan, ia
pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga,
meskipun tidak sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit.
Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari
kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan
orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang mati-
matian. Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling
Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai
seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke
tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah
memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya,
penjahat ulung yang bernama Wadas Gunung itu. Dengan
demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing-
masing memiliki kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas
Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan
ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang
melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu
seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang
membatasinya. Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya
samasekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.
Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping
pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan
dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-
matian. Ia melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan
bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar. Namun
dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena
itu hatinyapun menjadi tegang.
Yang belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia
masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia
memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung
menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91
seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang
Mantingan. Sebagai seorang yang cukup berilmu, segera Jaka
Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak
perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk
melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum.
Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya.
Karena itu untuk menakut-nakuti lawannya ia berkata, “Wilis,
lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan
terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang
terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui pula, bahwa
ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun
demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya. Sebab
apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya
menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam pertempuran itu,
ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah
mengorbankan dirinya untuk ikut serta mempertahankan hak atas
Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak
begitu dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak
menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang
sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia menjatuhkan
pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia
sadar, bahwa Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih
banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau
Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk
merebut keadaannya kini, sehingga dengan demikian Sarayuda
tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih
harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat hakekat dari
perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk
menempatkan dirinya pada tempat yang sebaik-baiknya,
meskipun ia samasekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa
Jenar berjuang untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru
mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti
halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk
Inten, samasekali tidak ada hubungannya dengan kamukten yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91
akan diharapkan. Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa
pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada
kemanusiaan. Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di
tangan golongan hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia,
akan musnahlah sendi-sendi pergaulan manusia. Dan akan lenyap
pulalah kesempatan untuk menjalankan ibadah mereka,
memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak suatu
negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah yang kuat,
merekalah yang berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum
yang ada.
Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan kembali Arya
Salaka pada tempatnya, samasekali adalah perjuangan tanpa
pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia
yang melihat kebenaran terinjak-injak.
Dengan demikian, sebagai seorang yang telah menyatakan
dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara Wilis
samasekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya,
bulat-bulat diserahkan dalam pengabdian seperti apa yang
dilakukan oleh Mahesa Jenar, orang yang dikaguminya sejak
pertemuannya yang pertama.
Tetapi ia menjadi ngeri, kalau Ular Laut akan berhasil
menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan, seperti
yang diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas
kehadiran tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, jangan-jangan
ia akan membantu Ular Laut itu, membuatnya tidak berdaya.
Namun karena itu, ia berkeputusan untuk melawan mati-
matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru itu.
Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat pedangnya
mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata, “Jaka Soka, jangan
menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang
ketakutan melihat senyum yang aneh serta matamu yang redup.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91
Nah, marilah kita bermain-main dengan pedang. Kau atau aku
yang mati karenanya.”
Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata
sungguh-sungguh.
“Cabutlah pedangmu,” desis Rara Wilis, “Supaya aku tidak
membunuh orang yang tidak bersenjata.”
Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke arah leher Jaka
Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser mundur.
“Wilis....” katanya, “Aku tidak akan melukai kulitmu. Apakah
yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar tidak akan kembali
kepadamu, karena ia telah terbunuh di Pamingit.”
Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang
kembali. Katanya, “Siapakah yang telah membunuhnya?”
“Paman Pasingsingan,” jawab Jaka Soka.
Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih keras.
Katanya, “Pasingsingan tak akan mampu melawan Paman Mahesa
Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain kali kau perlu mempelajari
keadaan sebelum kau mencoba berbohong.”
Mata Jaka Soka menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah tidak
tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas Gunung yang
menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya, karena
Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat yang lain, Jaka
Soka memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik
keadaannya. Meskipun demikian Ki Dalang Mantingan berjuang
dengan gigihnya.
Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat selangkah ke belakang
dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di tangan kanan,
digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di tangan
kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah tongkat yang
berwarna hitam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91
Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke
depan dengan tangan terjulur lurus. Pedangnya mengarah kedada
lawannya.
jaka soka terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya.
Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki pengalaman yang luas.
Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia
memukul pedang Rara Wilis yang menjulur beberapa jari dari
dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan
senjatanya, untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya
telah datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam
pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu
mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur
membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk mengaburkan
perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari
segala arah. Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali
ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan pedang
yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa
Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia telah jauh lebih dahulu
mendalami ilmu-ilmu perkelahian daripada gadis itu, namun
ternyata gadis itu dapat menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama
ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada
menekuni ilmunya.
Sendang Parapat berdiri seperti patung melihat lingkaran-
lingkaran perkelahian. Ia melihat betapa Dalang Mantingan
berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo. Wirasaba dengan
garangnya mengayunkan kapak raksasanya, sedang Rara Wilis
dengan lincahnya bergulat di antara hidup dan mati. Dengan
demikian, ia merasa bahwa tenaganya tak akan berguna
samasekali seandainya ia mencoba untuk membantu salah
seorang di antaranya. Malahan mungkin ia akan mengganggu
kelincahan mereka. Para penjaga halaman itu juga menjadi
pening. Mereka tidak bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-
tokoh itu. Apalagi lingkaran-lingkaran pertempuran itu seolah-olah
telah menjadi sedemikian sulitnya untuk dipisah-pisahkan lagi di
antara lawan dan kawan. Yang tampak di mata mereka adalah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91
bayangan yang melontar berputar-putar dengan cepatnya. Karena
itu, perhatian mereka segera tertuju kepada kawan-kawan mereka
yang luka. Empat orang.
Hanya Endang Widuri-lah yang dapat mengerti betapa suasana
maut telah melingkar-lingkar di halaman itu. Kali ini gadis yang
nakal itu benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat lagi bergurau
dalam keadaan yang demikian, sehingga senyumnya samasekali
telah lenyap dari bibirnya. Matanya yang bening itupun menjadi
tajam, setajam gerigi yang melingkari cakranya. Ia melihat betapa
Wirasaba dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas
Gunung. Bahkan pengembala itupun dapat bertempur dengan
kasar pula. Kapaknya mendesing-desing mengerikan. Sekali
terayun ke dada Wadas Gunung, namun kemudian tangkainya
mengarah ke tengkuk lawannya. Namun dua pisau belati panjang
di tangan Wadas Gunung itupun bergerak dengan cepatnya pula.
Mematuk-matuk ke segenap tubuh Wirasaba, sehingga kemudian
yang tampak hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang silau.
Rara Wilis pun dengan lincahnya menggerakkan pedangnya
dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang yang tipis itu selalu
bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka Soka dapat
bertempur seperti Ular yang membelit, melingkar untuk kemudian
meloncat, mematuk dengan ujung pedangnya, maka Rara Wilis
berhasil melawannya seperti seekor sikatan yang dengan
lincahnya menari-nari dengan sayap-sayapnya yang cepat
cekatan. Demikian ia meloncat-loncat seperti anak-anak yang
menari-nari riang namun ketika tiba-tiba seekor ular mematuknya,
cepat-cepat ia meloncat melenting, untuk kemudian dengan
lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung lawannya.
Dengan demikian, maka keringat yang dingin segera mengalir
membasahi pakaian Jaka Soka yang gemebyar karena tretes intan
pada timang dan anak kancing bajunya. Tiba-tiba ia merasa malu.
Seandainya gadis itu benar-benar dapat dibawanya ke
Nusakambangan, bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk
menjadi isterinya, maka apabila pada suatu saat timbul
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91
perselisihan antara mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka
apakah ia mampu untuk mengatasinya. Karena itu kemudian yang
menjalar dalam hati Jaka Soka bukan lagi perasaan seorang laki-
laki terhadap seorang gadis seperti beberapa saat yang lampau.
Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar terancam, maka yang ada
di dada Jaka Soka kemudian adalah kemarahan yang menyala-
nyala. Dengan setinggi gunung atas kematian gurunya, Nagapasa.
Karena itu, ia harus membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya.
Juga gadis yang garang ini harus dibinasakan.
Demikianlah, kemudian Jaka Soka telah kehilangan
kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis cantik
yang mempesona, tetapi yang tampak adalah seorang yang
berbahaya bagi jiwanya.
Namun ternyata seimbang dengan itu, Rara Wilis bertambah
marah pula. Baginya pertempuran kali ini adalah pertempuran
yang menentukan. Kalau ia terbunuh, biarlah ia mengorbankan
dirinya, namun kalau ia berhasil membinasakan laki-laki itu, maka
ia akan terbebas dari kecemasan dan kengerian yang mengejar-
ngejarnya sepanjang umurnya.
Tetapi berbeda dengan mereka berdua. Mantingan benar-
benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah melawan Lawa
Ijo dalam puncak ilmu Pacar Wutah, namun Lawa Ijo benar-benar
memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Lawa Ijo itu dapat ilmu
yang paling licik disamping ilmunya yang memang dahsyat dan
bertempur dengan segala macam cara. Yang paling kasar, sampai
yang menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan terdesak
terus. Hanya karena ketabahan dan kepercayaannya pada
Kekuasaan Yang Tertinggi, ia masih mampu bertahan dalam
ketenangan.
Melihat keadaan itu, Widuri menjadi cemas. Ia telah
kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya yang
benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu, dengan
penuh tekad dan keberanian, mendidihlah darah Pengging Sepuh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91
di dalam tubuhnya. Ketika Widuri melihat Mantingan terdesak,
maka ia tidak mau membiarkannya. Dengan lincahnya ia meloncat
sambil berkata nyaring di antara desing rantainya yang berputar
seperti baling-baling, “Paman Mantingan, biarlah aku ikut serta.”
Mantingan memandang dalam sekejap, gadis itu melontarkan
diri seperti terbang ke arah Lawa Ijo. Dan dilihatnya Lawa Ijo
menjadi terkejut karenanya. Sehingga iblis dari Mentaok itu
meloncat beberapa langkah surut. Dengan liarnya matanya
memandang kepada Dalang Mantingan yang sudah hampir sampai
pada saat terakhir itu, namun kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi
suram ketika memandang Widuri yang sudah berdiri dihadapannya
dengan senjatanya yang berbahaya itu. Tiba-tiba terdengar suara
Lawa Ijo itu perlahan-lahan, “Ngger, jangan ikut campur dengan
persoalan kami. Biarlah kami orang tua-tua menyelesaikan
masalah kami dengan cara yang kami senangi.”
Widuri melihat mata yang suram itu. Namun ia tidak mau
terpengaruh oleh keadaan yang tak diketahui sebabnya itu. Maka
jawabnya, “Biarlah Lawa Ijo. Kau datang dengan membawa
senjata dan hasrat yang hitam di dalam hatimu. Bukankah kau
telah dibekali oleh nafsu untuk membunuh…? Marilah, kami telah
bersedia untuk melawannya. Kami bukan sebangsa cacing yang
membiarkan diri kami terbunuh tanpa perlawanan. Karena kami
sadar bahwa saat ini adalah saat-saat kami terakhir. Sebab
seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan berhasil
membebaskan diri dari tanganmu, hantu-hantu hitam yang berada
didalam rumah inipun segera akan menangkap kami dan
membunuh kami bersama. Terhadap mereka, kami tak akan dapat
berbuat sesuatu. Karena itu, biarlah kami melawan selagi kami
masih sempat. Nah, lihatlah dada kami yang tengadah di hadapan
ujung-ujung belatimu itu.”
Lawa Ijo menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang suram
itu menjadi menyala. Katanya, “Aku sudah berusaha untuk
mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benar-benar keras
kepala.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91
Widuri tidak peduli lagi, ia melangkah semakin dekat sambil
menjawab, “Kenapa kau mencegah aku? Bukankah kau datang
untuk melepaskan nafsumu? Membunuh dan kemudian kau sangka
akan kau temukan keris-keris itu di sini…?”
Lawa Ijo bukanlah seorang yang berdada longgar. Karena itu
ia menjadi semakin marah. Namun sekali lagi ia mencoba
memperingatkan, “Kalau kau mau menyingkir, aku akan
membebaskan kau. Guruku pun tak akan mengusikmu. Biarlah aku
membunuh Ki Dalang yang masyhur ini.”
Tetapi Widuri tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab, “Kami
mempunyai pendirian yang berbeda dengan golonganmu. Kami
memiliki kesetiakawanan yang dalam untuk menegakkan
kemanusiaan. Bunuhlah Paman Mantingan bersama kami semua.”
Lawa Ijo menggeram, “Sekehendakmulah,” desisnya. Lalu ia
mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang
Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhati-hati, sehingga ia
masih sempat untuk menghindarkan dirinya.
Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali dengan serangannya yang
dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya berputar cepat seperti
baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya. Sekali
cakranya mengarah ke leher. Mendapat lawan baru yang lincah
disamping lawan lamanya, Lawa Ijo merasakan, bahwa keadaan
pertempuran itu menjadi jauh berubah. Kembali ia mengagumi
gadis itu. Betapa berbahayanya permainan rantai yang berputar-
putar, disamping ujung trisula Mantingan yang mematuk-matuk
dalam ilmu gerak Pacar Wutah.
Dengan kerasnya Lawa Ijo menggeram. Sambil memusatkan
segenap tenaganya ia mencoba untuk mengatasi desakan lawan.
Betapa ganasnya kelelawar yang buas itu bertempur. Kedua pisau
belatinya seakan-akan merupakan kuku yang panjang diujung
sayap-sayapnya yang mengembang dan bergerak gerak dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91
cepatnya. Namun untuk menghadapi dua orang sekaligus terasa
betapa beratnya.
Mantingan dan Widuri, meskipun keduanya memiliki bekal
yang berbeda, namun meeka berusaha untuk menyesuaikan
dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah tangkasnya dengan
Mantingan. Dengan gerak-gerak yang tangguh Endang Widuri
berjuang dengan berani. Darah Ki Ageng Pengging Sepuh yang
mengalir didalam tubuhnya telah membekalinya dengan api yang
menyala nyala didalam dada gadis itu. Api yang mengobarkan
semangat berjuang dan keteguhan hati.
Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam hatinya. Ia pernah
bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian melawan muridnya
yang bernama Arya Salaka. Sekarang berhadapan dengan gadis
yang bernama Endang Widuri. Namun gadis ini memiliki tatanan
berkelahi sama hebatnya dengan Arya dan Mahesa. Apakah Widuri
ini juga muridnya Mahesa?. Namun Lawa Ijo tidak sempat
menemukan jawabannya, sebab lawannya semakin lama semakin
mendesaknya kedalam bahaya.
Mantingan melihat keadaan itu. Juga Widuri dapat merasakan
bahwa akhirnya mereka akan dapat menguasai keadaan. Karena
itu Endang Widuri dan Mantingan berjuang semakin sengit untuk
segera dapat mengakhiri pertempuran. Dengan demikian mereka
akan mendapat kesempatan untuk memusnahkan orang lain yang
telah mencoba untuk menghancurkan Banyubiru, sebelaum tokoh-
tokoh sakti yang sedang mengaduk seluruh isi rumah itu tanpa
dapat dicegah selesai dengan pekerjaan mereka. Sebab apabila
mungkin mereka harus berusaha untuk menyelematkan diri
mereka atau mereka harus berusaha untuk berada di antara laskar
Banyu Biru.
Tetapi Lawa Ijo adalah seorang yang luar biasa. Tentu saja ia
tidak mau untuk dengan demikian saja menerima kekalahan.
Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya, iapun berjuang
semakin keras. Bahkan, akhirnya ia melompat mundur beberapa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91
langkah. Kemudian terdengarlah ia menggeram dengan keras.
Dengan gerak yang dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian
sekali lagi ia menggeram keras.
Yang kemudian terasa, betapa udara yang hangat mengalir
perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuh-tubuh Mantingan
dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat, dan akhirnya
jadi panas. Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam
Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya
yang mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah
mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian pula Endang
Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan
kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini ternyata
betapa maut telah mengancam jiwanya.
Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk memper-
tahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat
berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil
memancarkan ilmunya, namun Widuri masih sempat
menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa
berusaha menghindarkan diri dari sambaran gigi-gigi cakra yang
sangat berbahaya. Tetapi sesaat kemudian Mantingan dan Widuri
telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara
disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas. Udara yang
panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum
mereka. Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri
terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi
lawannya. Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi.
Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan
meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran
aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan merasa bahwa
seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat
meloncat lagi.Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti
Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas
telah menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir
itu, Mantingan masih mencoba untuk mengangkat trisulanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91
menanti saat-saat terakhir yang mengerikan. Widuri yang
meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut
menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi
tegang dan dadanya bergolak hebat.
Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan
itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu
untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang dahsyat itu. Sebab
demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah
terbakar hangus.
Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang yang
mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa
petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam
kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata kepadanya, bahwa manusia
tidak boleh berputus asa. Meskipun keputusan terakhir berada
dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan
berusaha. Berusaha sampai kemungkinan terakhir.
Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan yang
dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu. Ketika ia
melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti
serigala meloncat memburu Dalang Mantingan, berputarlah
cakranya beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga,
sebagai usahanya terakhir untuk melawan Kelelawar Serigala dari
Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus.
Suatu hal yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang
memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan. Kepada
Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan. Tetapi, demikian ia
meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke arahnya,
sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.
Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat.
Ketika ia berusaha menghindar, cakra itu dengan derasnya
mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya
terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo terhuyung ke
samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91
kerasnya. Cakra pemberian Kebo Kanigara itu benar-benar senjata
yang luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik yang
tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo memegang
kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa
kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi
semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi
semakin keras.
Dalang Mantingan untuk
sesaat tertegun. Ia melihat
hantu itu kesakitan. Namun
karena tekanan yang tajam
pada saat yang mengerikan,
yang hampir saja merampas
nyawanya, Mantingan menjadi
seperti orang yang kebi-
ngungan. Tetapi cepat ia
menguasai kesadarannya kem-
bali. Ia merasa bahwa Kekua-
saan Tertinggi dengan Tangan-
tangannya yang Adil telah
membebaskannya. Karena itu,
ketika ia melihat kesempatan
terbuka di hadapannya, de-
ngan sisa-sisa tenaganya yang
terakhir, ia mengangkat trisu-
lanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari
pandai besi. Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng
Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa.
Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo yang
telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu
meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa
dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari Mentaok itu
berteriak tinggi. Dan kemudian iapun terhuyung sekali lagi, dan
akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi oleh darahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91
Halaman Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian.
Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah menggetarkan udara
Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang
ranting-ranting yang kering berpatahan.
Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia
tahu perasaan apa yang menjalar di dalam dirinya. Namun tiba-
tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu
ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa
disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun
jatuh tertunduk di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya
obor yang remang-remang.
Wadas Gunung juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik
yang memekakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama mendengar
Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan
kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu
Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian
yang terdengar adalah jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun
berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah
yang kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang
gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan
pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi
pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia dihadapkan pada saat
yang menentukan. Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan
sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian
dan kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas
Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba
melihat kelemahan itu. Setelah ia bertempur beberapa lama,
dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang pendek itu banyak
mempunyai arti baginya. Wadas Gunung melihat seleret sinar yang
menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong
beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia
berusaha untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia
tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia
memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak lawannya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91
dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu,
Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan tangkai
kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini
tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah
keseimbangan perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung
berusaha menghindar, kapak Wirasaba telah berubah arah.
Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar punggung
Wadas Gunung. Kini sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah
teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak
akan bangun kembali.
Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi. Jaka Soka telah
melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena
pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihin-
darinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang
terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat, jantungnya seperti
berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik seperguruan
telah jatuh dalam pertempuran itu.
Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya
sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian Lawa Ijo
dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti
atau mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang
demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang
berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat
memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang dibang-
ga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya
terbunuh pula. Karena itu darah di dalam tubuhnya serasa
menggelegak seperti banjir yang melanda dinding jantungnya.
Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar pendapa itu.
Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya
yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri
pun masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai
seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula. Untunglah bahwa
ia tidak kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri
Ular Laut yang menggelisahkan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91
IV
Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang
berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang berkepala
besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling.
Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah.
Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo,
yang masih bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.
“Lawa Ijo....” desis Pasingsingan itu.
Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan kembali
Pasingsingan memanggilnya, “Lawa Ijo….”
“Hem....” Lawa Ijo berusaha untuk menjawab. Ternyata orang
itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun darahnya telah
mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya, namun ia masih
dapat membuka matanya. Pasingsingan kemudian tegak berdiri di
samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan
tajam bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba
kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang
kaku di tempat masing-masing itu samasekali tak diperhitungkan.
“Aku tidak menyangka....” Hantu bertopeng itu menggeram.
“Bahwa kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar
ia memekik, aku menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu.
Akhirnya aku sadar bahwa kedua muridku pasti terluka. Ternyata
mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.”
Kemudian tangan hantu itu perlahan-lahan terangkat dan
menunjuk kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mula-
mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri,
Wirasaba dan Rara Wilis. “Kau, kau, kau dan kau. Hem. Alangkah
sombongnya kalian. Kalian berani membunuh murid Pasingsingan
di hadapan gurunya. Benar-benar suatu perbuatan yang gila.
Karena itu kalian harus mati dengan cara yang paling
menyedihkan. Tidak oleh tangan Pasingsingan. Aku tidak mau
dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan kami ikat di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91
belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke
Pamingit. Besok sahabat-sahabat di sana akan menemukan mayat
kalian yang sudah terkelupas seperti pisang.”
Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar.
Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara yang
demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata
di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar
bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu
mengelakkan diri. Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau
satu tekanan di dada mereka, maka hantu itu benar-benar akan
dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin
ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka
Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan
mengenai dirinya.
Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar,
“Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku terakhir?”
Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-
isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang yang
berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping
muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun
mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.
“Apakah permintaamu?” jawab Pasingsingan.
“Pertama....” Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar.
Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya. “Nyawa
Dalang Mantingan.”
“Hem....” Pasingsingan menggeram sambil memandang
Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamat-lamat ia
mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu. Namun ia
sudah tidak terkejut.
“Kedua....” Lawa Ijo meneruskan, “Jangan bunuh gadis nakal
itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91
Pasingsingan menarik nafas. “Kenapa…?” Ia bertanya.
Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan
dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang
pendapa.
“Guru....” desis Lawa Ijo, “Dapatkah aku melihat senjata itu?”
Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra yang
mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya.
Kemudian senjata itupun diserahkan kepada muridnya. Lawa IJo
dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu. “Luar
biasa,” desisnya. “Lumrah kalau Lawa Ijo terbunuh karena senjata
yang ampuh ini,” katanya pula.
Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu,
namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat masih
ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar
menelan beberapa rumah yang samasekali tak bersalah.
“Widuri, kemarilah….” Terdengar Lawa Ijo memanggil.
Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak percaya
pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu
memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam?
Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati,
terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih keras, “Widuri,
kemarilah.”
Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak
tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada suaranya,
Lawa Ijo samasekali tak bermaksud jahat.
Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali
lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya, “Guru, panggilkan gadis itu.
Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku minta jangan
ganggu dia.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91
Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk
memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia berkata,
“Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu.”
Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi
cemas. Katanya, “Jangan, Widuri.”
“Hem....” Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan
nafasnya sudah terputus di dadanya, “Sebelum aku mati..”,
mintanya.
Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah
kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya.
Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut
dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat
tenaga mengayunkan kapaknya pada saat terakhir. Kini ia tidak
tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat
tentang Widuri.
“Guru....” tiba-tiba Lawa Ijo berkata, “Silahkan guru
meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.”
“Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…?”
tanya Pasingsingan.
“Gadis itu.” jawabnya, “Aku sedang mengenangkan almarhum
anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat untuk pertama
kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku melihat
wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya,
mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia
masih hidup, ia pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula.
Setangkas anak itu,”
Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa
Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti perempuan cengeng.
Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir
berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91
lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil
berkata kasar, “Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu.”
Lawa Ijo yang lemah itu kemudian berusaha untuk
melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini
menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya
dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.
Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang
berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang
mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu.
Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara
Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil berkata, “Widuri.”
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara
Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak oleh
ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai
pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis
kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata, “Aku adalah manusia
seperti kalian, meskipun apa yang aku lakukan selama ini tidak
ubahnya seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami,
sesudah aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku
tidak akan menambah dosa.”
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang
gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri
memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga
Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati
hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai ajalnya itu.
“Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui senjata yang pernah
aku kenal,” desis Lawa Ijo.
“Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini
di lingkaran bergerigi itu.” Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak
di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai beserta
cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91
Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan
mata akik yang berwarna merah menyala.
“Lawa Ijo…!” Pasingsingan berkata lantang. “Apakah yang kau
berikan itu?”
“Kelabang Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.
“Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan. “Akik
Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku
pinjamkan kepadamu.”
“Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah
Lawa Ijo dengan suara gemetar.
Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati
muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa
dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh
Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat
pemecahan yang mengerikan. “Biarlah akik itu diberikan, namun
gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari tangannya.”
Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo
menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu.
Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja
tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu. Hanya Rara
Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri
seorang diri berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun
mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.
“Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan.”
Terdengar suara Lawa Ijo gemetar. “Mudah-mudahan aku dapat
mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima
cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-
hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut,
kecuali Mahesa Jenar. Aku tidak tahu kenapa ia berhasil
membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan
hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91
dapat menolongmu.” Lawa Ijo berhenti. Nafasnya menjadi
semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh.
Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba
berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras
dan kejam itu, maka kini perasaan itu telah hilang.
“Widuri....” bisiknya. “Bukankah namamu Widuri?” Widuri
mengangguk. “Aku telah membunuh anakku tanpa aku sengaja.
Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki
lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula istriku.
Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih
kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi
buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai
anakku itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu
kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku lempar ke
sungai.”
Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak
teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian berbisik
kembali perlahan-lahan. “Tetapi ternyata aku salah sangka.”
Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka
matanya, lalu meneruskan, “Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi
lelaki itu yang berbuat bengis. Berbuat di luar batas
perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu
kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia. Aku jadi
menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula.
Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor
binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada
perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya
ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus
asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya,
pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh keluarganya,
anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku
Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”
Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar
penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91
Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam.
Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya
yang mendidih. “Matilah segera Lawa Ijo,” kata hatinya.
Pasingsingan sudah tidak mempunyai harapan untuk
menyembuhkan luka-luka muridnya. “Sesudah itu aku akan
membunuh setiap orang di sini. Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis
dan gadis yang telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di
matanya untuk mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka
di belakang kuda dan dipacunya ke Pamingit untuk meruntuhkan
keberanian dan ketahanan perlawanan orang-orang Banyubiru.”
Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya
satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi sesaat
kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu,
dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.
Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh
kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan
masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat
kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi
berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk
puncaknya. Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo.
Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata
mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-
amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik
yang merah menyala. Kelabang Sayuta. Tetapi ia menjadi terkejut
ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti
bergulung-gulung di dalam perutnya. “Widuri, agaknya kau telah
berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena
kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada
almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga
ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku.
Sebelum mati ia pun berpesan demikian pula untuk tidak
mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi.
Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91
akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan
mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.”
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu
menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari
mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo,
mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing.
Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka
berhadapan dengan iblis bertopeng dari Alas Mentaok.
Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih
trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah
berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan
masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali.
Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri.
Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di
jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya
kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak
akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga
segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan
kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan
orang yang bernama Pasingsingan itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi,
disamping gelaknya yang riuh. “Aku menjadi geli melihat kelinci-
kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku tidak tahu
apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga
kekuatanmu, Pasingsingan?”
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka
Soka, “Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang
kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab, “Perempuan
itu sangat berbahaya, Paman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91
Pasingsingan tertawa. “Lalu…?” ia bertanya pula. Jaka Soka
menggeleng, jawabnya, “Selama ia masih seperti sekarang, aku
tidak memerlukan lagi.”
“Bagus,” sahut Pasingsingan, “Perempuan itulah yang
pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama
dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan
memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, “Sayang.”
Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi
satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir
adalah mayat muridnya. “Ia mati di luar lingkungan kami”
desisnya.
“Ya,” sahut Sura Sarunggi. “Ia mati setelah menanggalkan
kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua
muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa
Pening.”
“Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak. “Aku
tidak punya banyak waktu.”
Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi
Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera
berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang
siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak
raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara.
Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat
dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan
kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan, senjata-
senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun
berhati-hati pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91
“Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi, “Mungkin orang-
orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan
utama kita belum selesai?”
“Ya,” jawab Pasingsingan. “Aku menduga kalau keris-keris itu
disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai
orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita.
Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-
tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di
sana.”
“Tetapi jangan membuang-buang waktu.” sahut Sura
Sarunggi.
“Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan.
Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata, “Kau benar-
benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun
demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau
akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh
kuda-kuda kita.”
“Bagus,” kata Pasingsingan pula. “Aku akan dengan mudah
membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui
kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya
pekerjaanku segera selesai.”
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat
orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung.
Pasingsingan pun melangkah dari arah lain.
Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh
ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik
nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan
Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Mereka
lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di
belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91
“Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima
kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi” desis Pasingsingan.
“Hadiah yang tak ternilai” jawab Sura Sarunggi.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang
tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba mengangkat
wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
“Hem….” geram Pasingsingan, “Apakah ini?”
Mata Sura Sarunggi menjadi liar.
Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan
harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-
bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu
mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat
apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung
mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang
gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang
kelabu. Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras.
Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak
dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran.
Apakah yang ditunggu lagi?
Tak seorang pun yang akan dapat menghalang-halangi
mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…?
Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para
penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun
Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata
dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar,
bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu
melawan.
Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang.
Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata, “Jangan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91
bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis
Anganten atau Sura Dipayana?”
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru.
Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil,
“Ayah barangkali?”
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan
kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi dan
Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya
yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-
orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau
sahabat-sahabat mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan
segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan
tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberi-
tahukan kehadiran mereka.
“Tetapi siapakah selain mereka?” bisik Sura Sarunggi di dalam
hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu
dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa
Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta
empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua
orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika
Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di
halaman itu.
Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan
dahsyatnya. Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan.
“Akulah yang datang.”
“Siapa?” teriak Pasingsingan.
“Pasingsingan,” jawab suara itu.
Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu.
Pasingsingan…? “Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,” pikir
mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti
suara Pasingsingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91
Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di
halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang
terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang
hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah
abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.
Terdengar ia berteriak nyaring, “Siapakah kau? Apakah kau sudah
bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus
Pasingsingan?”
“Aku Pasingsingan” jawab suara itu.
“Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan.
“Aku satu-satunya.”
“Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain. “Aku
juga Pasingsingan.” Ketika semua orang menoleh ke arah suara
itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah seseorang lagi
yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di
wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka.
Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan
topeng kasar di wajah mereka.
Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-
tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia
mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-
ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata, “Apakah kalian
tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu
tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah
mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan
kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang
pandang dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa.
Katanya, “Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91
dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang jelek itu,
bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian pasti akan
mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan
memang hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau
barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh,
maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”
“Kau benar,” sahut Pasingsingan. “Aku muak melihat mereka
dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus
mati.”
“Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.”
Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab. “Tetapi
terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat
meramalkan, apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu
adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan
untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga
menamakan dirinya Pasingsingan.”
Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti
rintihan hantu.
Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah
dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka
terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan
kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga
telah terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh
benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya,
sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri
pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk
pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat.
Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang yang
sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih
dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran beradu
punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91
matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak
tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing
menamakan diri mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang
lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama.
Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi
mereka.
Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya.
Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah
kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang
terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi
terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih.
Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi
semakin lemah. Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah
melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka
sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan
gemetar.
Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya.
Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji
sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Gelap
Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu
berbuat demikian?”
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab.
Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu.
Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah.
Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat
tangan di dadanya.
Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu
merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan
Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru
di dalam dirinya. Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh
aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91
berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka
membawakan ketenangan dalam diri.
Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak
mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi
di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah hati-
nya. Sehingga tak sesadarnya ia berbisik, “Alangkah dahsyatnya.
Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.”
Widuri, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu
mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka
pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di
tengahnya.
“Dahsyat…!” Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak. “Aku
merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap
Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya.
Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain
seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah.
Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan.
Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.”
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti
ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah
membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi
semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang
yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada
itu, ia berkata, “Setan. Agaknya kau mampu mengimbangi aji
Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak
menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja
mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau
menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji
Gelap Ngampar?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91
“Hem....” geram orang berjubah yang menyilangkan
tangannya. “Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama
Pasingsingan.”
“Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan.
Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap
Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan
hampir berteriak.
Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di
samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat
wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia
menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.
“Kau juga bernama Pasingsingan?” Orang itu bertanya dengan
suara yang dalam.
“Akulah Pasingsingan itu” jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang, “Aku
tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan
Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri
Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum
kau terbunuh olehku.”
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu
berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap Ngampar,
sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci
seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi
Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti
orang yang tak tahu keadaan diri.
“Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang
berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu.
“Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji
yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar,
dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91
demikian aji itu dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang
terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.”
“Jangan mencoba mengajari aku” bentak Pasingsingan guru
Lawa Ijo, “apapun yang terjadi, namun Gelap Ngampar benar-
benar ditakuti orang”.
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan itu tertawa,
“Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau
lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan
membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap
Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-
orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita
yang kasar.”
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. “Jangan
banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan
tentang Pasingsingan.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu
bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek, jawabnya,
“Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan?
Aku tidak tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan.
Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan
dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari
kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan
nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata
pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan
kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”
“Huh....” potong Pasingsingan, “Tak ada orang yang berbuat
sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk
kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita
sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya
sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala
kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang
menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91
akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah
kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh
seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang
berusaha.”
“Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang
berdiri di samping Mantingan.
“Jangan berpura-pura” jawab Pasingsingan.
“Hem....” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.
“Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten?”
“Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong
Pasingsingan.
“Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang
berdiri di samping Mantingan. “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten?
Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu
yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak
menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud
merajai Demak?”
“Apa pedulimu?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu,
guru Lawa Ijo.
Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula,
“Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal
yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?”
“Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab
Pasingsingan.
“Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan
Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha
untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya
Pasingsingan di samping Mantingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91
“Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak,
“Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”
“Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti
bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak. Kebesaran
itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah,
urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
“Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan. “Kita
berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau
berhak bernama Pasingsingan.”
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. “Kalian berbicara
tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil
kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku
harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan
yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua
Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya
mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan
segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
“Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di
samping Mantingan. “Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap
Ngampar?” Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia
berkata, “Kau juga ingin melihat kebenaran itu?”
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-
debar. Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap
Ngampar seperti dirinya? Dalam kegelisahannya, ia menebak-
nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu
salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya,
pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis,
Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka, Jaka Soka pun
menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi
pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91
Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan
tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat
dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat
yang tepat baginya.
Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat
wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap
orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan
kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga
yang sudah kehilangan kesadaran mereka. “Hem....” desahnya,
“Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi
semakin parah.”
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa.
“Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?”
“Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu. “Tetapi kalau aku ingin
memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa
maksud.”
“Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak
berarti?” jawab guru Lawa Ijo.
Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang
berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia
menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping
Sura Sarunggi, ia berkata, “Kalau kau ingin mencoba menjajarkan
diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku
lakukan.”
“Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu
melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi
itu.
“Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun
hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu
berbuat demikian?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91
“Menjemukan,” sela Sura Sarunggi. “Marilah kita bertempur,
Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Yang
mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan
satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”
Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba
Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahan-lahan,
namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang
menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-
olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke
seluruh penjuru. Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira
dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu
berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya.
Suara Pasingsingan itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo
yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja,
seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung
kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang
mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.
Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada
Mantingan, berdesislah ia, “Aji Gelap Ngampar.” Dan berusahalah
ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri
dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya
untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada
mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh
mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.
Tetapi, Mantingan dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka
pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka mulai
bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari
persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan
pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu
mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut serta di
dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang
dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91
dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang
berguguran di halaman itu.
Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap
Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka.
Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak
sekasar tenaga yang pertama.
Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin
basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam
tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan
namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap
Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan
itupun terhenti pula.
“Hem....” geramnya, “Kau mampu melawan aji Gelap
Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping
Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di tempatnya sambil
menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada.
Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi
tertawa, “Permainan yang mengasyikkan” katanya. “Jangan
bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu
yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua
adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan
Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar.
Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber
dari mata air yang sama.”
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil
menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar.
Dengan suara yang berat ia berkata pula, “Gila. Kalian memiliki aji
gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan
mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa
menamakan diri Pasingsingan.”
“Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya
Pasingsingan di samping Mantingan. “Mungkin kau mampu pula,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91
menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu.
Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan.
Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya
Pasingsingan dengan pasti.
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan
Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu kelaparan yang
kehilangan mangsanya. “Gila, darimana kau dapatkan benda itu?”
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura
Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati panjang
yang bercahaya kuning menyilaukan. “Inikah yang kau maksud?”
katanya.
“Hem....” desis Pasingsingan di samping Mantingan. “Kalian
mau bermain-main dengan senjata.” Ia tidak berkata lebih lanjut,
namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip
benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain itu.
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya
serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa
disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya.
Sebuah belati panjang yang berkilau.
Kini ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu
masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata
yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar
biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada
duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang
yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri
kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang
kuning berkilauan.
Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata, “Setan.
Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini.
Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat
oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91
oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai akik yang
berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?”
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah
semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu menjadi
bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar
di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema
diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di
udara seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat
dilangit. Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di
langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular
Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi
dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata
Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena
ketamakannya.
Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang
berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo
dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di
pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam
pendirian masing-masing.
Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata
sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, “Ha
apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada
Pasingsingan?”
top related