25 nagasasra dan sabuk inten_singgih hadi mintardja
Post on 15-Aug-2015
88 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91
I
engan cepat ia mendorong adiknya ke samping. Kedua
gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel Kaliki
terpaksa menggeliat menghindari Kyai Sangkelat.
Namun sentuhan itu mengenai dada kiri Sawung Sariti. Tetapi
sentuhan itu adalah sentuhan tangan iblis ganas dari Gunung
Cerme. Karena itu akibatnya pun mengerikan.
Dada Sawung Sariti sebelah kiri yang tersentuh tangan Bugel
Kaliki itu serasa seperti terhantam reruntuhan bukit Merbabu.
Karena itu Sawung Sariti terlempar dan terbanting di tanah.
Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat
kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.
Bugel Kaliki yang telah berhasil menjatuhkan satu lawannya
tertawa berderai, membelah sepi malam. Ia yakin, bahwa anak
kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu bertahan diri
meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya.
Pertempuran itu untuk sesaat terhenti dengan sendirinya.
Sawung Sariti masih bergerak-gerak menahan sakit. Namun dari
mulutnya telah mengalir darah yang merah.
Sesaat kemudian, ketika Arya Salaka menyadari apa yang
terjadi, menggelegaklah dadanya seperti akan meledak. Betapa
prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik
sepupunya itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah
menuntut pembelaan padanya. Anak itu adalah sisiran kulit
dagingnya. Sehingga bencana yang menimpanya berarti bencana
pula baginya. Apalagi tangan yang telah melukai adiknya itu adalah
tangan orang dari gerombolan hitam. Karena itu, maka tiba-tiba
terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya
sendiri. Yang terukir di hatinya adalah menuntut balas.
Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring sambil meloncat
dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning berkilau
D
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91
itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi
yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti
burung sikatan yang menghindar. Suara tertawanya masih
menggetar memenuhi udara. Namun suara itu kemudian berhenti
ketika datang serangan Karang Tunggal yang tidak pula dapat
menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang terkenal itu
berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan
kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan
perhatiannya. Seandainya anak itu tidak memegang Kiai
Sangkelat, Karang Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat
banyak perlawanan darinya. Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati
menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung rambutnya, akan
berarti maut baginya.
Maka terulang kembalilah pertempuran yang sengit di bawah
pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah berkurang
seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang
tak terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah
kesalahan mereka bersama, sehingga dengan demikian, mereka
yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus memperbaiki
kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat
bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun
tidak berkurang, namun ia telah melihat titik kemenangan di
pihaknya. Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan
Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan berhadapan dengan anak
yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin menangkapnya
hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia
mendapatkan Kyai Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu
Lembu Sekilan. Baru apabila keterangan-keterangan itu telah
didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan caranya.
Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang
diduga. Anak itu benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya.
Meskipun Arya telah bertempur mati-matian, namun nafasnya
masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91
Sedangkan Sawung Sariti agaknya benar-benar terluka parah.
Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya dari tempatnya,
meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun
sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.
Pada saat yang demikian itulah Galunggung melihat Pamingit
terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah tidak mampu lagi berlari
sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat kakinya
bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan
malahan beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah
ia bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.
Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi
cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di hadapannya
dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidak-
tidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar
yang dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit.
Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat, pikirnya, “Bagaimanakah
kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?”
Galunggung memperlambat langkahnya. Nafasnya saling
berkejaran dari lubang hidungnya. Meskipun demikian, ia mencoba
untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu. Kalau
orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan
nyawanya begitu saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah
hampir habis dan nafasnya sudah hampir putus.
“Tiga orang” desisnya di antara deru nafasnya.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak sekeras-kerasnya karena
kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi semakin
dekat padanya, menjadi semakin jelas pula, “Tuan...” suaranya
terputus oleh nafasnya yang berdesak-desak.
Orang yang ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka
pun bersiaga, siapakah orang yang berlari-lari ke arah mereka itu.
Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya. Galunggung.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91
“Kenapa kau Galunggung?” tanya salah seorang.
Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya
benar-benar telah habis. Karena itu dengan lemahnya ia terjatuh
di tanah. “Tuan...” desisnya. Nafasnya masih saja berkejaran.
“Bugel Kaliki”
“Bugel Kaliki?” sahut mereka bertiga hampir bersamaan.
“Di mana dan mengapa?”
Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah.
Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar. “Di
bawah pohon nyamplung”
“Pohon nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.
Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan
lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.
Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian
terdengarlah salah seorang berkata, “Di manakah pohon
nyamplung itu?”
“Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon” jawab yang lain.
“Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya”
kata yang lain lagi. “Berilah aku ancar-ancar”
Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk
sampai dibawah pohon nyamplung. Begitu ia selesai berbicara,
meloncatlah yang dua orang berlari sekencang-kencangnya seperti
angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak
seperti sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir
kegelapan sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.
Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh udara malam, dan matanya
masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan ke luar.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91
kejemuan mereka, mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan
desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat kepada muridnya. Dan tiba-tiba
hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama Sawung
Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena
itu tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk berjalan-jalan ke
Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika ditemuinya
seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar
halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu
terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya.
Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki
melawan Mas Karebet dan Arya Salaka masih berjalan dengan
serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun
juga, akhirnya kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui
di dalam hatinya, bahwa hantu bongkok itu benar-benar
berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat dari umur
mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin
lama terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-
tambah. Karena beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah
matang itu melihat dengan jelas, di manakah kelemahan-
kelemahan dan kekuatan kedua lawannya yang pantas menjadi
cucunya itu.
Dan tiba-tiba saja terdengar hantu itu tertawa berderai
mengerikan, seolah-olah daun pohon nyamplung yang lebat itu
ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu jauh berbeda
dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang
didalamnya dilontarkan pula aji GelapNgampar, namun suara
tertawa Bugel Kaliki itu benar-benar menyakitkan hati.
Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah.
“Tutup mulutmu hantu bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau
kau tertawa sekali lagi, aku sobek mulutmu dengan Kiyai
Sangkelat ini”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91
Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian
kembali suara itu menggetarkan udara malam. Bahkan kemudian
Bugel Kaliki berkata, “kalau kau mampu berbuat begitu anak yang
perkasa, pastilah sudah kau lakukan”
Karang Tunggal menjadi bertambah marah. Namun Bugel
Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya. Orang yang bongkok itu
masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari
setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali
iapun mampu menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa
hantu itu benar-benar tak mampu melawan. Karena ia masih
menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan kesempatan itu
semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda
itu berada diambang bahaya.
Tetapi dengan tak mereka sangka, dari tanggul parit yang
menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok bayangan yang
terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur itu
menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping,
mencari kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu.
Karang Tunggal dan Arya Salakapun tidak mengejarnya. Mereka
juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada
mereka.
Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut bukan
main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika keduanya
telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti siapakah
yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri
sudah terlalu sempit sebab orang yang datang itu pasti akan
mengejarnya, sampai diujung langitpun. Karena itu maka tidak
ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar
jiwa. Tetapi untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan
dapat sambil tertawa. Apalagi kalau kedua orang itu bergabung
dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya. Meskipun
demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri, apa pun
caranya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91
Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima
depa didepan mereka. Mahesa Jenar berdiri tegak dengan wajah
tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat seseorang
berbaring ditanah. “Siapakah dia?” gumamnya
“Adi Sawung Sariti” sahut Arya Salaka. namun matanya masih
tertanam dimata Bugel Kaliki.
“Sawung Sariti” ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
bersamaan. Kebo Kanigarapun segera melangkah mendekati
tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau melepaskan
diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.
Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti
sambil berbisik, “Sawung Sariti”
Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo
Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah, “siapakah kau?”
“Kebo Kanigara” jawabnya.
“Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?” desis
Sawung Sariti lirih.
“Ya” jawab Kebo Kanigara pendek. Tiba-tiba wajah Sawung
Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian perasaan sakit di dalam
dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba untuk bergerak,
tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.
“Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali” kata Kebo
Kanigara.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa.
Katanya, “Nah kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan
persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau bertempur
secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut,
berempat sekaligus”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91
Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat,
“setan” desisnya marah, “ia telah melukai dadaku” Sedemikain
marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan perasaanya itu
ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh.
dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali
terkulai di tanah.
“Jangan bergerak” kembali Kebo Kanigara menasihati.
Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.
“Iblis itu” desis Sawung Sariti
“Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya”
“Apakah paman Mahesa Jenar disini?” bertanya Sawung Sariti.
“Ya” jawab Kebo Kanigara
“Syukurlah” gumam Sawung Sariti, “mudah-mudahan
nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua”
Dalam pada itu, terdengar Bugel Kaliki berkata pula, “Ayolah.
Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku
lukai?”
“Diamlah!” potong Mahesa Jenar, “Jangan mencoba
mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin
bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian. Kau tak
usah mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu”
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. “Gila!” geramnya. “Kau
terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya
Sima Rodra yang garang itu”
“Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan
berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak” bantah Mahesa
Jenar.
“Mereka yang mulai. Bukan aku” jawab Bugel Kaliki.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91
Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka membantah kata-
kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan.
Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati,
ada di tempat itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia
kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka menengadah.
Meskipun demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki
tiba-tiba melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan
aji Lembu Sekilan pun masih diterapkannya.
Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula
melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya yang
tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat
menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula.
Bahkan terdengar hantu itu berkata, “Mahesa Jenar, kau benar-
benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkar-lingkar.
Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan. Kau atau
sahabatmu itu. Atau anak-anak tikus yang tak tahu diri itu”
Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya, “Akulah
yang sudah berdiri paling dekat”
“Bagus!” teriak Bugel Kaliki.
Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan
kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun telah
bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia berhasil
menghindarkan dirinya.
Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit di
bawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah Mahesa
Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang
berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan.
Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung Sariti.
Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari mereka yang
sedang bertempur mati-matian itu. Arya Salaka dan Karang
Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91
mereka mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-
mendesak. Sesekali mereka melihat Mahesa Jenar terdorong
surut, namun sesaat kemudian mereka melihat Bugel Kaliki
meluncur beberapa langkah mundur.
Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu
berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak
meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu
menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-
nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk dengan
paruhnya yang tajam runcing. Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-
akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun
melawannya setangguh seekor banteng jantan.
Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki
bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian yang luar
biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak
mampu melawannya. Karena itu, maka untuk keselamatan diri,
akhirnya diurainya senjata andalannya, yang seakan-akan tak
pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna
merah, dan di salah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja
kuning. Pusaka peninggalan nenek moyangnya. Dengan
memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya
seperti baling-baling.
Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang tegang. Ia
tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu, maka ia tidak
sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sawung
Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-
lamat ia masih mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-
kadang mengeluh pendek menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa
Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala
kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.
Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin
lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung barat. Namun
pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih berlangsung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91
terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya.
Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-
nyambar seperti burung alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah
sekadar burung merpati yang ketakutan.
Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan,
namun tandangnya sesuai benar dengan namanya dan wajahnya
yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya
menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing
dan melibat lawannya dari segenap arah.
Mahesa Jenar merasakan kedahsyatan dan kecakapan Bugel
Kaliki mempermainkan senjata aneh itu. Beberapa kali ia terpaksa
meloncat surut dan beberapa kali timah lawannya itu mengiang
dekat benar dengan kepalanya. Bahkan karena perhatian Mahesa
Jenar terpaku pada senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu
bongkok itu menyambar lambungnya, sehingga Mahesa Jenar
yang kokoh itu terpaksa terdorong surut. Bahkan sekali-kali
tangan Bugel Kaliki itu sempat menyentuh tubuh Mahesa Jenar dan
sekali-kali mendorongnya mundur.
Dengan demikian Mahesa Jenar terpaksa melawannya dengan
sepenuh tenaga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar bertubuh kuat
sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya berusaha untuk
melumpuhkannya, namun dengan gigihnya ia bertahan. Meskipun
demikian, senjata Bugel Kaliki itu benar-benar mengganggunya.
Sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk menembus lingkaran timah baja
kuning yang berterbangan mengitari tubuhnya. Namun Mahesa
Jenar tidak pernah kehilangan akal. Ia memperhitungkan setiap
kemungkinan. Betapa pun sulitnya, sekali-kali ia berhasil juga
mengenai tubuh lawannya. Dengan kaki atau dengan tangannya.
Tetapi sentuhan-sentuhan itu agaknya tidak banyak berarti,
karena setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu menghalang-
halanginya.
Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Mas Karebet memandangi
perkelahian itu dengan penuh perhatian sehingga nampaknya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91
seperti patung dalam ketegangan. Mereka mengikuti setiap gerak,
baik Mahesa Jenar maupun Bugel Kaliki. Namun setiap saat
mereka menjadi bertambah tegang. Apalagi ketika mereka melihat
setiap kali Bugel Kaliki berhasil melibas Mahesa Jenar dan sekali-
kali kemudian berhasil melontarkannya surut.
Namun meskipun demikian, mereka tetap terpaku di tempat
masing-masing dengan ketegangan yang semakin meningkat.
Maka setelah mereka bertempur semakin lama, serta usaha
Mahesa Jenar untuk menjatuhkan lawannya masih belum berhasil,
karena senjatanya yang aneh itu, bahkan terasa betapa tekanan
Bugel Kaliki semakin lama menjadi semakin ketat, karena timah
baja kuningnya yang seolah-olah dapat mengurung Mahesa Jenar,
sehingga ia tidak sempat untuk menyerang. Akhirnya Mahesa
Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mempertahankan
hidupnya dengan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Dengan
demikian, Mahesa Jenar dengan lincahnya meloncat ke samping
beberapa langkah untuk membebaskan diri dari libatan timah baja
kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian dengan
garangnya ia mengangkat satu kakinya, ditekuknya ke depan, satu
tangannya diluruskan ke atas seperti akan menyentuh bintang-
bintang di langit, tangannya yang lain menyilang dada. Dan dalam
pada itu, tersalurlah kekuatan Aji Sasra Birawa.
Bugel Kaliki melihat tata gerak Mahesa Jenar itu. Ia pun telah
mengetahui pula, bahwa dengan demikian Mahesa Jenar sedang
mateg aji yang terkenal. Dengan dahsyatnya ia meloncat sambil
memutar senjatanya demikian kerasnya sehingga terdengar angin
berdesing. Namun apa yang dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu
cepat. Sehingga ketika serangan itu tiba, Mahesa Jenar sempat
meloncat mundur sambil merendahkan dirinya. Timah baja kuning
itu nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi sesaat kemudian ia telah
tegak kembali dan dengan kecepatan kilat ia meloncat maju.
Tangan kanannya menyambar, dengan dahsyat menghantam
tengkuk Bugel Kaliki. Bugel Kaliki masih mencoba untuk
menghindar, namun ia terlambat. Sebuah hantaman yang dahsyat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91
telah mengenainya. Terdengarlah ia berteriak nyaring kemudian
melenting dan jatuh terguling di tanah.
Tetapi hantu itu tidak mau
menyerah pada keadaannya.
Dengan tertatih-tatih ia bang-
kit kembali. Sekali terdengar
umpatan kotor dari mulutnya
serta matanya menyorot sinar
kemarahan yang liar. Kemu-
dian dengan sekuat tenaga ia
melempar Mahesa Jenar
dengan senjatanya. Untunglah
Mahesa Jenar tetap waspada,
sehingga secepat itu pula ia
berhasil menghindari senjata
Bugel Kaliki itu.
Sekali lagi terdengar Bugel
Kaliki mengumpat, kemudian
jatuh kembali, terjerembab.
Arya Salaka memalingkan wajahnya melihat saat-saat terakhir
yang mengerikan dari hantu yang hampir membunuhnya itu.
Mahesa Jenar masih berdiri tegak seperti patung.
Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring di tanah. Mati.
Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya
terpanjatlah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah menyelamatkannya dari senjata Bugel Kaliki yang
mengerikan, serta telah memberinya kekuatan, bahkan
membinasakan hantu yang menakutkan itu. Bersyukurlah bahwa
ia telah berhasil melakukan pengabdian sekali lagi atas
kemanusiaan dalam pancaran cinta kasih yang abadi.
Tidak saja Mahesa Jenar, namun Kebo Kanigara, Arya Salaka
dan Karang Tunggal pun menarik nafas pula. Seakan-akan sesuatu
yang menekan dadanya telah dapat dipunahkan. Bahkan tiba-tiba
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91
terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan ketika ia
mendengar teriakan ngeri, “Paman, apakah yang terjadi?”
Kebo Kanigara memandang wajah anak itu. Tampaklah
kadang-kadang mulutnya menyeringai menahan sakit. Maka
jawabnya, “Sawung Sariti, bersyukurlah kau, karena pamanmu
Mahesa Jenar telah mengakhiri pertempuran”
“Bagaimana dengan hantu bongkok itu?” tanya Sawung Sariti
lemah.
“Ia sudah binasa” sahut Kebo Kanigara.
“Tuhan Maha Besar” desisnya. Tetapi hatinya sendiri tergetar
mendengar suaranya. Selama ini tak pernah ia menyebut nama
Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba saja kata-kata itu
terluncur begitu saja dari mulutnya. Namun setelah itu terasa
betapa dekatnya ia dengan Tuhan. Maka timbullah keinginannya
untuk sekali lagi menyebut nama itu, nama yang selama ini
terlupakan olehnya. Maka katanya, “Tuhan Mahabesar. Ya, Tuhan
Mahabesar”
Mahesa Jenar menoleh mendengar suara Sawung Sariti itu.
Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berjongkok di sampingnya.
Perlahan-lahan ia berkata, “Tenangkan hatimu, Sawung Sariti”
“Terimakasih, Paman” jawabnya lirih. “Hatiku telah puas.
Hantu itu telah binasa” Tampaklah senyum mengambang di bibir
Sawung Sariti. Meskipun demikian nafasnya terdengar semakin
cepat mengalir dari lubang hidung dan mulutnya, sedang dari
mulut itu masih menetes darah yang merah.
“Mahesa Jenar...” kata Kebo Kanigara kemudian, “Apakah
tidak sebaiknya Sawung Sariti segera mendapat pengobatan?”
Sawung Sariti menggeleng lemah, katanya, “Obat yang paling
baik, telah aku dapatkan, Paman”
“Apakah itu?” tanya Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya, “Di
manakah Kakang Arya Salaka?”
Arya Salaka ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa
Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.
“Mendekatlah Arya” kata Mahesa Jenar.
“Kakang..” Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun
matanya telah memancarkan segenap perasaan yang tersimpan di
dadanya.
“Tenangkan hatimu Adi” pinta Arya Salaka mengulangi kata-
kata Kebo Kanigara. Dan sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.
“Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit” kata Kebo
Kanigara. “Mungkin Paman Sora Dipayana dapat mengobatinya”
“Sebaiknyalah demikian, Kakang” jawab Mahesa Jenar, “Dan
biarlah Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti”
Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya,
berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah, “Tolonglah Kakang
Arya, jemputlah ibuku sekali”
“Baiklah Adi” jawab Arya, “Akan aku bawa Bibi Lembu Sora
bersama ibuku ke Pamingit”
Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau wajahnya
semakin sayu. Katanya, “Terimakasih Kakang”
Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil mengangkat
tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan. Dalam pada itu terdengar
Sawung Sariti berkata perlahan-lahan, “Paman, aku telah
menyulitkan Paman”
“Jangan berpikir demikian Sawung Sariti” jawab Kebo
Kanigara. “Adalah kewajiban manusia untuk saling membantu.
Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan bantuanmu pula”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi
terharu. Apakah Kebo Kanigara akan berbuat demikian manisnya
pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya Salaka?
“Hem..” Ia menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di
dalam dadanya. Sesal atas segala macam pekertinya yang jauh
tersesat ke daerah nafsu.
Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda.
Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke Sarapadan, sedang Kebo
Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.
Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya
Salaka dengan permintaan, apakah boleh pergi bersamanya.
“Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo
Kanigara?” tanya Arya Salaka, “Barangkali Paman Kebo Kanigara
perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung Sariti. Di Pamingit
nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak
mampunyai ceritera yang menarik”
“Oh!” Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat
membantu pamannya itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Adi,
aku membantu Paman Karang Jati” Dan berlari-larilah Karebet
menyusul pamannya.
Ketika ia telah berjalan di belakang pamannya, berkatalah ia
perlahan-lahan, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung”
Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab.
Karena itu hati Karang Tunggal menjadi berdebar-debar. Akhirnya
ia berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Hatinya berdesir ketika pamannya itu bertanya, “Kenapa kau
berada di sini, Karebet?”
Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut
kepada pamannya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91
“Kenapa?” ulang Kebo Kanigara.
Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu hatinya
menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, “He, Karebet. Kau akan ikut
aku ke Pamingit?”
“Ya, Paman” jawab Karebet singkat.
“Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari
pasukan Nara Manggala” sambung Kebo Kanigara.
Karebet terkejut bukan buatan. “Nara Manggala?” ulangnya.
“Ya” jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh. “Ki Gajah Alit, dan
para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron”
“Benarkah keduanya di sini?” desak Karebet semakin terkejut.
“Kenapa?” tanya Kebo Kanigara.
Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting di
tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Karebet..” kata Kebo Kanigara kemudian, “Seharusnya kau
menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan perwira-
perwira dari pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah menjadi
lurah Wira Tamtama”
“Ya, Paman, tetapi...” Karebet tak dapat meneruskan kata-
katanya.
“Tetapi kenapa?” desak Kebo Kanigara.
Sekali lagi Karebet terbungkam.
Akhirnya terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara yang
berat, “Karebet, apakah yang sebenarnya terjadi?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91
Karebet masih berjalan dengan muka tunduk di belakang
pamannya. Ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi
sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih hidup dan
lepas dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena
Sultan sejak semula telah tertarik kepada keperwiraan dan
kecekatannya, sehingga kasih yang dilimpahkan kepadanya agak
berlebihan dibanding dengan para prajurit lainnya.
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku sudah tahu
apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau sangka di seluruh
kolong langit ini hanya kau sendiri seorang laki-laki?”
Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu
wajahnya menjadi semakin tumungkul memandang ujung-ujung
jari kakinya yang bergerak-gerak karena langkahnya.
Tiba-tiba ia terkejut ketika dengan tiba-tiba pula pamannya
berhenti. Bahkan tanpa sengaja ia mengerutkan pundaknya. Ia
menyangka bahwa pamannya akan memarahinya.
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada
kemenakannya yang nakal itu. Maka katanya, “Karebet,
bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para
perwira dari prajurit Demak itu?”
Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi berlega hati ketika
pamannya tidak memaki-makinya. Setelah debar jantungnya
mereda, ia berkata, “Aku kira lebih baik tidak, Paman”
“Nah, kalau demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke Banyubiru.
Setelah semuanya selesai, aku akan ke sana mengantarkan Arya
Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus berkata sebenarnya
apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan”
“Baik Paman” jawab Karebet. “Aku sekarang berada di rumah
Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih”
“Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau
tempuh?” tanya Kebo Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91
seluruh jalan di sekitar pegunungan Merapi, Merbabu, Slamet,
Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi sampai di
daerah barat dan timur telah dilintasinya.
Karebet pun kemudian mengambil jalan lain untuk langsung
pergi ke Banyubiru. Daerah yang tidak terlalu dekat. Namun
berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya sehari-hari.
II
Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah
kemenakannya itu. Karebet benar-benar memiliki tubuh idaman
bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu raga, olah
keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang. Tangan-tangan
serta kaki-kakinya kokoh kuat seperti baja. Sedang geraknya
lincah cekatan seperti burung sikatan. Dan Karebet mempunyai
modal yang cukup lengkap. Selain tubuhnya yang serasi, ia pun
memiliki wajah yang tampan. Tetapi wajahnya yang tampan itulah
yang menyebabkan ia diusir dari Demak.
Kebo Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu benar-
benar membunuh orang Demak. Cara Paningron
menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-
senyum yang aneh. Dan ia telah memaklumi maksudnya.
Pada saat itu bintang-bintang di langit telah bergeser jauh dari
tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam jantan berkokok
bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar Sawung Sariti
berbisik, “Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke
Banyubiru? Aku ingin berkenalan dengan pemuda yang perkasa
itu”
Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan
agak cepat. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab “Barangkali
lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada masa-masa
yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam. Terasa seolah-olah
beribu-ribu jarum menusuk-nusuk dadanya dari dalam. Dengan
lirih ia berdesis, “Mudah-mudahan aku mempunyai waktu”
“Jangan berangan-angan demikian” Kebo Kanigara
menasihati, “Berdoalah supaya lukamu sembuh kembali” Namun
sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat
anak muda dalam dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan
semakin cepat, supaya segera sampai ke Pamingit.
Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan ke arah
yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke langit yang
bersih. Perlahan-lahan ia berkata, “Hujan sudah jauh berkurang,
Paman”
“Sudah kita lampaui mangsa kesanga” sahut pamannya.
“Mudah-mudahan hari-hari yang akan datang tidak selalu diliputi
oleh awan yang kelam”
“Hari-hari yang cerah” desis Arya Salaka.
Kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba
terdengar Arya berkata, “Paman, ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat
yang aku sangka. Bukankah ia termasuk tokoh yang sejajar
dengan Sima Rodra dan sebagainya?”
“Tentu” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi pengaruh keadaan telah
menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia benar-benar telah
putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya menjadikan
Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat kehadiranku
dan Kakang Kebo Kanigara bersama-sama. Sedang sebelum itu
pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah
melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa.
Apalagi dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat
kekalahannya adalah bongkah di punggungnya. Sejak semula aku
melihat, betapa ia melindungi punggungnya itu, sehingga aku
berpikir bahwa orang itu pasti memiliki kelemahan di punggungnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91
itu. Demikianlah ketika tanganku mengenai tengkuknya, ternyata
Bugel Kaliki tak mampu melawannya”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia yakin,
bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus mempergunakan
tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga dapat diketahuinya,
kekuatan dan kelemahan lawan.
Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh
suara kokok ayam jantan dari desa di hadapan mereka,
Surapadan.
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya serasa
gemetar, dan ingin meloncat berlari mencari pondok yang
dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari gardu di mulut
jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya berjalan di
sampingnya.
Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa
Jenar berkata, “Ibumu dan bibimu berada di desa itu Arya?”
“Ya paman” jawab Arya.
“Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti?” bertanya
Mahesa Jenar kemudian.
Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula, “Ya
paman”.
“Apakah yang terjadi?” berkata Mahesa Jenar pula.
“Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet
tiba-tiba saja berada di tempat itu pula” jawab Arya bimbang.
“Sebelum itu apakah yang terjadi?” desak Mahesa Jenar.
Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera menjawab.
Apakah pamannya tahu bahwa ia lebih dahulu bertempur melawan
Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar Mahesa Jenar
berkata, “Arya aku tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91
Bugel Kaliki sebab ia tidak bersenjata tajam, bahkan kalau kau
tersentuh tangannya maka akibatnya akan sama seperti yang
diderita oleh Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah
yang melukaimu?”
Mulut Arya menjadi berat seberat perasaannya untuk
menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk berusaha
melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar
mendesaknya. Karena itu, betapa pun beratnya ia terpaksa
berkata, “Sawung Sariti, paman”
“Aku sudah menduga” desis Mahesa Jenar. “Dan kau pun telah
melukai pundaknya”
“Ya, paman” Arya tidak dapat mengelak lagi.
“Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung
Sariti dengan Kiyai Suluh?”
“Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang diberikan
oleh Karang Tunggal”
“Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu?” tanya Mahesa
Jenar.
“Sudah paman” Sahut Arya, kemudian diceritakannya apa
yang diketahuinya. Sejak ia pergi bersama Sawung Sariti sehingga
melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti dibawah pohon
nyamplung Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung
Sariti telah menunggunya disitu.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari
mulutnya adalah, “itulah gardu dimulut lorong”
Kembali dada Arya berdebar cepat sekali. Beberapa langkah
lagi ia akan sampai ke tempat ibunya menyembunyikan diri.
Namun ia masih mendengar gurunya bergumam, “untunglah kau
tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan
demikian setiap orang, juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91
Dipayana akan melihat kesaktian pusaka itu. Dan kaulah
pembunuh yang sebenarnya dari adik sepupunya”
Arya menundukkan wajahnya. “Ya untunglah yang demikian
tidak terjadi”
Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu di mulut
lorong desa Sarapadan itu. Dan terdengarlah ia bergumam. “Kita
membelok ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya yang
melangkah perlahan menyusuri lorong itu sambil menghitung
halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu ternyata
cukup luas.
Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui
halaman yang ketiga, di dadanya serasa telah menggetarkan
seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Halaman ketiga
ini dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya
runtuh dan rumah yang berdiri di halaman itupun sudah tidak
tegak lagi. Sebuah gubuk bambu beratap ilalang.
“Di sinikah ibu beserta bibi itu?” desis Arya Salaka ragu-ragu.
“Ya” sahut Mahesa Jenar pasti.
“Tetapi....” kata-kata Arya tertutup.
“Eyangmu Titis Anganten telah mencoba mempergunakan
perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti menduga bahwa Ibu dan
Bibimu berada dirumah yang paling baik di desa ini?”
Arya mengangguk.
“Orang lain pun akan menduga demikian. Karena itulah maka
ibu dan bibimu berhasil bersembunyi” sahut Mahesa Jenar.
“Oh” Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91
Kemudian dengan dada berdebar-debar ia melangkahi
bongkah kayu yang berserak serak disamping regol halaman itu.
Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu.
“Ketuklah” desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan Arya mengetuk
pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu terdengar sapa
perlahan, suara laki-laki tua. “Siapa?”
“Aku kakek” sahut Arya Salaka.
“Aku siapa?” orang itu menegaskan.
Arya telah menerima pesan dari Titis Anganten bagaimana ia
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya bahwa
kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten. Orang yang
menitipkan dua orang pengungsi kepadanya.
“Aku kek, burung elang dari lereng bukit” sahut Arya.
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi
ketika Arya Salaka menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa
Jenar maksud jawaban itu.
Kemudian terdengarlah langkah perlahan menuju ke pintu.
Dan sesaat kemudian terdengarlah derak pintu lereg itu terbuka.
Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok dimuka pintu sambil
berusaha mengamati tamunya.
“Masuklah” orang tua itu mempersilahkan.
“Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu
masih disini?” bertanya Arya Salaka seperti pesan Titis Anganten.
Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua orang yang berdiri di
muka rumahnya itu adalah orang-orang setidak-tidaknya suruhan
orang yang menitipkan kedua pengungsi kepadanya. Karena itu ia
menjawab, “Ya, ya, aku telah menjaganya dengan baik”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91
Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk.
Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu. Berderak-
deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu
memberati bale-bale.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan
terdengarlah ia berkata, “Nyai telah datang utusan dari orang yang
membawa nyai berdua kemari”
“Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.
“Aku yakin, nyai” jawab orang itu.
Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang
wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang lampau.
Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya
menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia
melihat betapa muridnya menjadi gemetar.
“Siapakah kau?” bertanya salah seorang daripadanya.
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak
mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar.
“Adakah Nyai lupa kepadaku?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah
dan dengan ragu-ragu ia berkata, “Adi Mahesa Jenar”
“Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin
cerah. “Lalu siapa anak muda ini?”
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak
mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka yang sedang
tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu
Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara
tigabelas tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda
perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang. Karena itulah maka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91
Mahesa Jenar berkata, “Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah
namanya?”
Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir
ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba saja anak
muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya.
“Ibu....”
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau
kah itu”
Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu.
Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya
menjadi panas.
Wanita itu kini yakin. Anak
itu adalah anak yang pernah
dibelainya enam tahun lalu,
anak yang tidur di pang-
kuannya, dicium keningnya.
Namun sering pula dima-
rahinya karena kenakalannya.
Tiba-tiba tangannya yang
lemah memeluk kepala Arya
Salaka dan menekankan ke
dadanya. Dan terasa tiba-tiba
dada yang tipis itu meng-
gelombang. Meledaklah se-
buah tangis kegembiraan.
“Arya, bukankah kau Arya
Salaka?”
Juga Arya tidak mampu
berkata sepatahpun. Sebagai laki laki yang tabah menghadapi
setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang
berhati baja. Namun kali ini ia tidak kuasa menahan diri.
Meneteslah sebutir air mata.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91
Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah
yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada saat terakhir
sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini.
Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri
pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai
Gajahsora tak sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu
seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi
dahi anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusora pun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa
sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia tidak tahu apa
yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara suaminya
dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka
sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan
demikian iapun terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu
hilang selama enam tahun didsisi ibunya.
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia
gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat
menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa
mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan
kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus
mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus
karena isaknya, “Kemana kau selama ini Arya?, ayahmu tak
kunjung kembali dan kau meninggalkan aku seorang diri dalam
sepi dan duka”
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia samasekali
tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin mengatakan
bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejap pun terhapus dari
angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya
serasa menjadi semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat
menelan ludahnya beberapa kali.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91
Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya
berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya, “Oh, kau sudah
besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti
belahannya dalam cermin.”
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun
suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap ungkapan
kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan
dalam suasana yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan
dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah
seseorang yang akan menantinya? atau mencemaskannya ?. Dan
tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang
setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya. Hari
demi hari…..
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada
dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya setiap wajah
yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka yang
melihat perubahan wajahnya.
“Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya
berkata, “jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat
dewasa”
Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusora pun segera berkemas-
kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit. Meskipun
Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang
keadaan adik sepupunya.
Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua
perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang
sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih
atas perlindungan yang diberikan.
“Eh,” sahut kakek tua itu. “Sudah menjadi kewajiban setiap
warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku
lakukan sekadar menerima Nyai berdua dan memberikan sekadar
tempat untuk beristirahat.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91
“Aku tidak akan melupakan kau, kek” sahut Arya Salaka.
“Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”
“Terimakasih ngger, terimakasih,” jawab orang itu.
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju
Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing bergetarlah angan
angan menyongsong hari yang akan datang. Nyai Ageng Gajahsora
menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang
hilang dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya
Salaka memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa
lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai.
Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya.,
kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan
panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai
Nagasasra dan Sabuk Inten. Sesudah itu datanglah saatnya
mengurus dirinya sendiri.
Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi
semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit telah
menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup
karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan
seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan
berempat itu menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari
yang cerah.
Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi.
Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.
Langit biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih
sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok
seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang ditiup
angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung
liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan.
Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon
nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91
debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel
Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai
Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain.
Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.
“Paman” tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa
Jenar. “Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita
selesaikan mayat itu sebaik-baiknya”
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata, “Ibu
dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan
aku lihat lebih dahulu”
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka
bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora, “Apakah keadaan di Pamingit
masih belum baik Arya?”
“Tidak ibu” jawab Arya, “kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi
parit yang menyilangi jalan disebelah pohon nyamplung yang
tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan terlalu
dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”
“Oh” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik
nafas lega, maka berkatalah ibu Arya, “pergilah.”
Arya pun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta
bibinya menjadi terkejut dan ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat
itu sudah tak ditemuinya di sana. “Hilang” pikirnya. Yang dilihatnya
hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir dari lukanya, luka
Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia melihat
pakaiannya. Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai
bajunya dengan noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka
didadanya tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan
bibinya telah melihat luka itu. Tetapi mereka berdua tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91
mengucapkan sepatah pertanyaan pun. “Ah!” desisnya. “Adalah
hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang
mengalami luka di tubuhnya.”
Ketika ia menengok ke belakang, dilihatnya ibunya, bibinya
serta Mahesa Jenar sudah berjalan semakin dekat. Cepat-cepat ia
berusaha menghapus bekas-bekas darah yang mewarnai tanah di
bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan
melingkar-lingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki?
Apakah ia masih belum benar-benar mati dan kemudian bangkit
kembali?
Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia
terpaksa berpura-pura berjalan ke parit yang menyilang jalan di
sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri ketika ia melihat
aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil yang
berserak-serakan di atas pasir. Aliran air di parit itu masih seperti
kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis. “Hem” gumam Arya,
“Tidak mungkin parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam”
Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari jauh
mereka melihat Arya Salaka membungkuk-bungkuk kemudian
duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung. Tetapi mereka
tidak tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu.
Ketika itu Arya sedang memungut sebatang pedang yang
dipergunakan melawan Sawung Sariti, serta sebatang pedang
Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan oleh
Sawung Sariti untuk melawan Bugel Kaliki.
Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali memandang langit yang
biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak turun hujan.
Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan lebat kalau parit
itu benar-benar banjir.
Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng Gajah
Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari sebetis dalamnya.
“Sudah tidak banjir lagi, Arya?” ia bertanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91
“Tidak Ibu,” jawab Arya.
Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam
wajah ibunya, namun tak satupun yang terkatakan.
Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan
menyusur jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar, “Bagaimana
dengan mayat itu?”
“Hilang,” bisik Arya singkat.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Hilang?” ia
mengulang.
“Ya, hilang!” jawab Arya.
“Aneh” desis Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada saat ia
melihat Bugel Kaliki terbaring di tanah, ia sudah yakin bahwa orang
itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata
lagi, meskipun tampak juga ia sedang berpikir.
Di perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka
pertanyakan. Mereka sibuk dengan angan-angan di kepala masing-
masing. Sedang matahari merayapi bola langit dengan tekunnya,
semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar dan
terbanting di atas batu-batu padas yang kemerah-merahan.
Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar
bunyi garengpung. Teringatlah ia pada masa kanak-kanaknya.
Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu.
Apabila didapatnya, disimpannya didalam ketupat janur yang
masih kosong.
“Kita sudah memasuki ujung musim kemarau,” desisnya.
“Suara garengpung itu?” tanya gurunya.
“Ya,” jawab Arya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91
Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi berdebar-
debar ketika mereka melihat dikejauhan, disela-sela batang-
batang jagung yang telah rusak, desa yang mereka tuju, jantung
Daerah Perdikan Pamingit.
Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin cepat tanpa
mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat apa
yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan orang-orang
yang mereka kasihi. Sanak keluarga dan tetangga-tetangga yang
baik hati.
Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pusat
pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur
terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.
“Beginikah Pamingit sekarang?” keluh Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-
orang dari segerombolan hitam, Bibi” sahut Arya, “Sedang orang-
orang itu sendiri kini sudah dibinasakan”
“Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?” tanya Nyai
Ageng Lembu Sora.
“Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi
kita selama kita berada di atas kebenaran” jawab Arya, namun di
dalam hatinya ia meneruskan, “Kebenaran dalam firman-firman
Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita masing-masing,
sebab akan berlipat-lipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan
batas antara kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar
menguntungkan kita sendiri”
Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan mereka
menjadi saling berbisik, “Itulah, Nyai Ageng Lembu Sora telah
kembali.”
Dan jawab yang lain, “Syukurlah kalau Nyai Ageng selamat.
Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai Ageng pergi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91
Dan beberapa orang kemudian menemuinya di perjalanan itu
sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan selamat. Nyai Ageng
Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum yang tulus.
Senyum yang memancarkan kegembiraan hatinya serta
pertanyaan syukur bahwa ia masih sempat bertemu dengan
mereka.
Ketika mereka menginjak halaman rumah Nyai Ageng Lembu
Sora, di hadapan alun-alun yang tak begitu luas sekali lagi hati
mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan menjadi
terpaku di regol halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu.
Tinggal beberapa bagiannya yang masih tersisa dan roboh
berserak-serakan.
Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia
bergumam, “Ya ampun. Malapetaka telah menimpa Pamingit.” Dan
di dalam hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata, “Aku telah
mencoba mencegah Ki Ageng supaya tidak terlalu memanjakan
nafsu, namun agaknya tak dihiraukannya. Sekarang hukuman
Tuhan telah menimpa keluarga Pamingit.”
Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata, “Bibi, Eyang dan
beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah kita
pergi ke sana.”
Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir
airmata yang menetes.
Maka pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang
ditempati untuk sementara waktu oleh para pemimpin Pamingit.
Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa orang
telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya melihat pula
ayahnya, Gajah Sora.
Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian.
Semua orang mengangkat wajahnya dan bergumam di dalam hati
mereka. “Itulah mereka dating.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91
Yang paling terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng Gajah
Sora. Seperti orang bermimpi ia melihat suaminya, Ki Ageng Gajah
Sora duduk di antara beberapa orang itu. Beberapa kali ia
mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih tetap
berada di tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri.
Telah sekian lama ia menahan keinginannya untuk mengetahui
keselamatan isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang. Karena
itu maka ia pun segera melangkah ke pintu menyongsong
kedatangan isterinya itu.
Dada Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang. Yang
berdiri di muka pintu itu adalah suaminya. Bukan dalam mimpi.
Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya yang hilang
telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi
lebih dahulu dari anaknya, berdiri pula di hadapannya.
Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai Ageng
berdesis, “Arya, apakah itu benar ayahmu?”
“Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora,” jawab Arya perlahan-lahan.
Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi menahan perasaannya.
Ia pun segera berlari dan bersimpuh di kaki suaminya sambil
menangis sejadi-jadinya.
Sekali lagi dada Mahesa Jenar seperti diguncang. Seorang
isteri yang setia telah menemukan suaminya kembali. Di
Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya dari Gunung
Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah Sora menerima
kedatangan suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air
dingin yang jernih. Pada saat itu ia telah berangan-angan,
alangkah sejuknya penerimaan yang demikian itu di hati
suaminya. Sekarang Nyai Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh
kaki suaminya dengan air yang bening, tetapi ia telah
membasuhnya dengan air mata.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu atas pertemuan itu.
Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91
membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis.’Namun
kemudian setelah ia tersadar dari pesona itu, diangkatnya isterinya
supaya berdiri dan diajaknya ia masuk ke dalam banjar desa itu.
Maka kemudian suasana Banjar Desa itu menjadi gembira dan
mengharukan. Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora
masih meneteskan air mata, namun air mata yang memancarkan
rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukannya
dengan anak dan sekaligus suaminya.
Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia ikut
bersyukur bersama kakak iparnya itu. Keluarga yang seakan-akan
telah terpecah belah, kini mereka telah berkumpul kembali dalam
suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian,
hatinya menjadi kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara
mereka. Bahkan setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki
Ageng Lembu Sora tidak juga menampakkan diri. Meskipun
demikian, ia tidak sampai hati untuk menanyakannya.
Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri
dari perasaan gelisah. Di dalam peperangan, dapat saja segalanya
terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas hati.
Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke
banjar desa itu. Kepada Wulungan yang duduk di dekat pintu, ia
berkata, “Kakang Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah
datang?”
“Ya” jawab Wulungan, “Belum terlalu lama.”
“Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?”
Orang itu berjalan pula.
“Ya, beserta keduanya,” jawab Wulungan pula.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata pula
perlahan-lahan, “Ki Ageng Lembu Sora minta mereka datang ke
pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di banjar, pagi ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91
Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau
Sawung Sariti terluka. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora belum
diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku
diberitahu akan hal ini.” Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku
persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera dating.”
Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam
dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan tergagap ia bertanya,
“Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tidak apa-apa, Nyai,” jawab Wulungan. “Ki Ageng Lembu
Sora dalam keadaan sehat wal afiat. Mungkin ada yang harus
diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai Ageng pergi
ke sana. Marilah aku antarkan.” Kemudian pandangan mata
Wulungan pun beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa
Jenar, Gajah Sora dan yang lain-lain, dengan melontarkan
pertanyaan, “Bagaimanakah dengan Angger Arya Salaka dan yang
lain?”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan
Sawung Sariti pun segera menjawab hampir bersamaan, “Aku ikut
serta.”
“Marilah?” sahut Wulungan. Dan sesaat kemudian hampir
semua orang di banjar desa itupun pergi ke pondok Ki Ageng
Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa itu. Nyai
Ageng Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang
hanya beberapa ratus tombak itu, bagi Nyai Ageng Lembu Sora
terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat jalan-jalan sempit,
di antara dinding-dindingbatu halaman-halaman rumah yang
sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa, rumah Si Gersik,
Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-rumah lain yang sering
dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah itu seakan-akan
menjadi bertambah panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah
dilihatnya sebelum terjadi peperangan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91
Beberapa saat kemudian sampailah mereka ke satu halaman
yang sedang. Rumah itu pun pernah dilihatnya. Rumah Ki naripan.
Di situlah Lembu Sora berada selama rumahnya sendiri belum
dapat didiami
Nyai Ageng Lembu Sora menjadi semakin cemas ketika dari
lubang pintu ia melihat beberapa orang berada di dalam rumah.
Seakan-akan jarak yang terentang di hadapannya itu akan
diloncatinya.
III
Demikian Nyai Ageng Lembu Sora sampai di muka pintu,
segera ia berlari masuk. Beberapa orang telah berada di ruangan
itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan
suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya.
“Oh!”
Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya berguncang ketika
pandangan matanya terbanting di atas bale-bale bambu, dimana
sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni oleh beberapa orang.
Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum
dikenalnya dan dua orang gadis yang belum pernah dilihatnya
pula. Ketika orang-orang itu melihat kehadirannya, segera mereka
menduga bahwa itulah Nyai Ageng Lembu Sora, dan karena itu
segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai Ageng Lembu
Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas bale-
bale bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung Sariti.
Sesaat ia menjadi terbungkam melihat tubuh yang pucat dan
memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba
ia memekik sambil berlari memeluk tubuh Sawung Sariti, “Sariti!”
Terdengar suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang
tenggelam dalam tangisnya yang meledak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91
Sawung Sariti mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia membuka
matanya. Ia masih merasa betapa mesra ibunya memeluk
tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.
“Ibu,” desisnya perlahan-lahan.
“Ngger, kenapa kau?” tanya ibunya sambil menangis.
Diciumnya kening anaknya beberapa kali.
Tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari cengkereman
keadaan itu. Semua orang menundukkan kepalanya. Sawung Sariti
adalah satu-satunya anak Nyai Ageng Lembu Sora. Dan sekarang
jiwa anak itu berada di ujung bahaya.
Tetapi Sawung Sariti sendiri tersenyum dengan penuh
keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua orang yang
hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki Ageng dan
Nyai Ageng Gajah Sora, ayahnya, eyangnya yang telah
mendidiknya dengan tekun dan mengharapnya dapat
menyelamatkan daerah ini dari terkaman orang-orang dari
golongan hitam, Kebo Kanigara yang perkasa, yang telah
mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang
mengagumkan, baik kekuatan jasmaniahnya maupun
rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang sebagian menurun kepada
muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis lincah yang bernama
Endang Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu,
betapa sejuk dan lunak, selunak hati gurunya. Tiba-tiba terdengar
bibirnya berdesis, “Kakang Arya, kemarilah.”
Suara itu perlahan sekali, tetapi karena bilik itu dicengkam
oleh kesepian, Arya Salaka pun mendengar suara itu dengan jelas,
bahkan ia menjadi terkejut karenanya. Seperti kehilangan
kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping bibinya.
Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di samping bale-bale
pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.
Hampir tidak kedengaran ia berkata, “Bagaimana dengan luka di
dadamu, Kakang?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91
Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru
luka di dadanya itu. Maka jawabnya, “Baik Adi. Sudah baik.”
“Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan” bisik Sawung
Sariti kemudian, “Di dadamu, Kakang, akan tergores sebuah garis
bekas luka itu. Dan garis itu tak akan hilang. Apabila Kakang nanti
bercermin di air Rawa Pening, maka Kakang akan melihat goresan
luka itu. Dan teringatlah Kakang kepadaku”
Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia
berkata, “Aku akan selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu tak
akan berulang.”
“Ya, tak akan berulang kembali” desis Sawung Sariti. Suaranya
menjadi bertambah lemah. Meskipun Ki Ageng Sora Dipayana telah
mencoba mengobatinya dengan ramuan daun-daunan yang
diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah
berbahaya.
“Kakang” kembali Sawung Sariti berdesis, “Kau maafkan aku?”
“Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah,”
jawab Arya.
Sawung Sariti tersenyum, katanya, “Jangan berkata begitu.
Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu, Kakang?”
“Ya, ya tentu, tentu,” jawab Arya cepat-cepat.
“Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga?” bisik Sariti
kemudian.
“Tentu, tentu,” jawab Arya pula.
“Kakang telah memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua juga
akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman Pandan Kuning,
dan Sawungrana....”
“Jangan sebut-sebut itu, Adi,” potong Arya Salaka.
“Lupakanlah. Mereka semua sudah memaafkanmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91
”Tetapi adakah Tuhan memaafkan aku pula?” kata Sariti tiba-
tiba.
Dada Arya Salaka
berguncang. Mahesa Jenar dan
Ki Ageng Gajah Sora Dipayana
pun segera berjongkok di
sampingnya. Mereka sudah
tidak dapat mempertahankan
nyawa itu. Tuhan telah
memanggilnya. Karena itu Ki
Ageng Sora Dipayana berbisik
ditelinga anak muda itu.
“Sebutlah nama Tuhan. Tuhan
Maha Pengampun”
“….Tuhan Maha Pengam-
pun....” Kata kata itu hampir
tak terdengar, namun Sawung
Sariti telah mengucapkannya.
Dengan tenangnya ia menutup
matanya.
Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai
Ageng Lembu Sora memekik dan memanggil nama anaknya.
Namun Sawung Sariti telah pergi. Dengan air mata yang berlinang
Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya.
Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak
yang akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi
tempat menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu
kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan
nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau
demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa
anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri
boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91
Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar
dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi suram dan
berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi kemudian
bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang
pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum
keihlasan. Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan
memancar gambaran peristiwa yang pernah terjadi. Anak itu
terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang
telah mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh harapan dan
khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu,
kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan
Pangratunan.
Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira
telah menghentak dadanya seperti akan pecah. Demikian
dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba
tubuhnya mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut
ruangan itu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak
menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti.
Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang
memenuhi ruangan itu.
Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun
nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak
sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya.
Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan
melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon
sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas.
Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang
jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.
Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya
kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak muda yang
berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang
Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut
merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu
kehilangan pemimpinnya. Pemimpin bagi masa depan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91
Sehari-hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka
disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang
masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan
Hantu Bongkok yang sakti.
Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan
telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan pemakaman Sawung
Sariti dengan upacara kebesaran. Seluruh penduduk Pamingit
tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati iringan
jenazah. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir
terhadap pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi
kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu
menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan
Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah tengah
reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu
tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu
Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok
kayu yang berserak-serakan di sekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit
berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah
siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah sampai
ke peristirahatannya terakhir.
Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu
merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan. Laskar
yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin
yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan
rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan
Banyu Biru yang sedang berada di Pamingit.
Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara disisi
alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan.
Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa
disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91
berada di gardu-gardu, di langgar, dan disetiap rumah yang
memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi
sangkakala.
Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk
mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah
diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran,
Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh
Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan
Demak. Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara
Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan
penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang
diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah
mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada
yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi suara
hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya.
Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu
ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi. Namun
adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama
anaknya pada saat-saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai
pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah
membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah
bertempur melawan demit itu.
Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali
lagi Nyai Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia kemudian
meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis.
Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba
hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan
dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus, “Sudahlah Nyai
anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia
gugur sebagai pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap
Tuhan dengan tenang.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91
Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya.
Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan perasaannya
dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan suaminya,
hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya
menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng
Lembu Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya
tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung
barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap perkasa,
dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka
yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak.
Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia
menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya.
Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyela-
matkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima
adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya
segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya
diantara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari
pegunungan.
Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi jalan
meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati
yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya
putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak
terlalu dimanjakan.
“Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.
Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan
ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap
Tuhannya.
Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari
Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91
tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula
dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap
orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti
dibelakangnya mengantar sampai ke makam.
Pamingit benar-benar berkabung.
Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan
terakhir sebagai seorang pahlawan. Apa pun yang pernah
dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia
gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.
Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu,
didalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan
lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan mencoba
membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan
matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.
Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggung
pun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan
duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum,
didengarnya bunyi kentongan. “Tanda apakah itu?” terdengar ia
bertanya lemah.
“Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah
seorang bawahannya yang sedang merawatnya.
“Apa katamu?” kata Galunggung membelalakkan matanya.
Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia
menjawab juga, “Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”
“Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?” berkata
Galunggung.
“Ya,” jawab bawahannya itu.
“Omong Kosong!” bentaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba
menjelaskan, “Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang
bertempur melawan Bugel Kaliki.”
Dada Galunggung bergoncang keras. Dan tiba-tiba ia
berteriak, “Kau berkata sebenanya?”
“Ya,” jawab orang itu sambil menyeka peluh di keningnya.
“Gila, gila!” Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri
sambil memaki habis habisan. Tetapi tenaganya lemah. Sehingga
sekali lagi ia terbanting ditempat pembaringannya. Galunggung
pingsan kembali.
Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya
kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk
dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang
sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang
kehilangan ingatan ia berdiri tegak dan berteriak. “He, kau tahu
kenapa Sawung Sariti mati?”
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab
sekenanya, “Tidak.”
“Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel
Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka bersama-sama
membunuh Sawung Sariti!” teriak Galunggung dengan mata
bertambah liar.
“Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel
Kaliki,” sahut bawahannya.
“Bodoh, Bodoh kalian” teriak Galunggung. “Kalian tahu apa.
Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus
membalas dendam.”
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi
bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba Galunggung
menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91
meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi
halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman
itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat
mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi sesaat
kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya.
Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-
tidaknya melaporkan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu
maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.
“Kemana?” tanya salah seorang dari mereka.
“Menyusul ke makam,” jawab yang lain.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam,
dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di
makamkan.
Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang kubur
yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah dibaringkan,
doapun dipanjatkan.
Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala sesuatu
seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan meninggalkan
onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang
masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok
disamping gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan
beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya.
Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai
perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima
segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun
peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah
dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur
berantakan.
Sesaat kemudian makam itu telah sunyi kembali. Seonggok
tanah dan sepasang maejan baru berada di tengah-tengahnya. Di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91
atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin pegunungan, daun-
daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi
hati Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung
pipit yang beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang
ditinggalkan di atas sarang.
Di perjalanan pulang itulah mereka melihat tiga orang berjalan
bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora Dipayana yang
berjalan di paling depan bersama-sama dengan Paningron dan
Gajah Alit segera bertanya kepada mereka.
“Apa yang terjadi?”
Orang itu pun berceramah tentang Galunggung. Mereka
menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke makam dan
mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada diantara
mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya.
Galunggung adalah gambaran diri seorang yang mabuk pada
kekuasaan, pangkat dan penghargaan. Ia dapat berbuat apa saja
untuk mencapai maksudnya. Dan sekarang orang itu agaknya
kehilangan keseimbangan pikirannya. Sebab dengan hilangnya
Sawung Sariti, segala cita-citanya ikut lenyap pula.
“Wulungan....” Ki Ageng Lembu Sora memanggil.
Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.
“Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu,” desisnya.
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera
berjalan mendahului orang-orang yang pulang dari makam itu.
Ketika Galunggung meninggalkan regol halaman, ia memang
tidak bermaksud pergi ke makam. Otaknya yang dipengaruhi oleh
bermacam-macam persoalan itu ternyata tidak dapat lagi bekerja
dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke banjar
desa.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91
Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan sedang
mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu Sora yang
beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis
melolong-lolong, seperti anak-anak yang kehilangan golek
kesayangannya. Namun semakin lama ia menjadi semakin tenang.
Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh kedatangan
Galunggung. Pedangnya yang telanjang itu diayun-ayunkan sambil
berteriak memaki-maki. Dan karena itu bubarlah perempuan-
perempuan desa itu bercerai berai.
Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak dan berlari-larian.
Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah Galunggung itu.
Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan, apalagi
perempuan-perempuan muda. Sekarang orang yang menakutkan
itu membawa pedang sambil berteriak memaki-maki.
Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga melihat kedatangan
Galunggung. Sesaat ia lupa pada keadaan dirinya sendiri. Ketika
sebagian dari perempuan-perempuan itu telah berlarian keluar,
maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata,
“He, di mana Arya Salaka?”
“Galunggung!” panggil Nyai Ageng Lembu Sora.
“Aku mencari Arya Salaka,” jawab Galunggung.
“Kenapa dengan Arya Salaka?” tanya Nyai Ageng.
“Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama
dengan Bugel Kaliki,” jawab Galunggung.
Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kau keliru Galunggung. Mereka berdua telah berjuang bersama-
sama melawan Bugel Kaliki itu.”
“Omong kosong!” bentak Galunggung.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91
“Galunggung!” potong Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau kenal aku
bukan?”
“Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora,” jawab Galunggung.
“Nah, kalau demikian dengar kata-kataku,” sahut Nyai Ageng
Lembu Sora, “Kau terlalu letih barangkali. Beristirahatlah.”
“Tidak!” jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar.
“Aku harus membunuh Arya Salaka.”
Semua orang yang masih tinggal di dalam banjar itu melihat
betapa mata Galunggung itu menjadi merah dan bola matanya
bergerak-gerak dengan buasanya. Nyai Ageng Lembu Sora yang
telah mengenalnya dengan baik menjadi ngeri juga
memandangnya. Apalagi perempuan-perempuan lain. Mereka
menjadi kemetar dan mencar-cari jalan untuk lari ke luar apabila
Galunggung itu berbuat sesuatu.
“Jangan sembunyikan monyet itu,” bentaknya.
“Jangan membentak-bentak aku Galunggung” jawab Nyai
Ageng Lembu Sora, “Aku adalah ibu Sawung Sariti itu, dan aku
adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah perdikanmu.”
Sejenak Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri
kepala daerah perdikannya. Tetapi sesaat kemudian otaknya yang
sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak kembali. Dan tiba-
tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar seperti
suara hantu yang kegirangan.
“Diam!” bentak Nyai Ageng Lembu Sora.
Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya bertambah
keras.
“Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka.
Kalau demikian, akulah tinggal satu-satunya orang yang setia.
Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada cita-citanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91
Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng
Lembu Sora sendiri pun sudah tidak setia lagi. Kalau begitu semua
harus aku lenyapkan. Arya Salaka, Lembu Sora dan monyet
bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak itu.”
“Galunggung!” teriak Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau sudah
gila!”
Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya
ia berkata, “Kalian, perempuan-perempuan ini pun akan aku
bunuh pula, sebab kalian tidak mau menunjukkan di mana Arya
Salaka berada.”
“Jangan mengigau” potong Nyai Ageng Lembu Sora, tetapi
hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng Gajah Sora,
menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah benar-benar
kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayun-
ayunkan, bergetarlah setiap dada orang yang melihatnya.
Beberapa orang menjadi menggigil dan yang lain menjadi lemas
tak berdaya.
“Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat
keluar, aku akan dapat mengejar kalian. Dan kalian akan aku
bunuh satu persatu. Satu demi satu!” Kembali suara tertawanya
membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.
“Galunggung….” kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun
suaranya sudah agak gemetar, “Kau telah mengkhianati Ki Ageng
Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu”
“Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada cita-
citanya. Kenapa tidak dibunuhnya Arya Salaka. Dan kenapa
dibiarkannya Gajah Sora itu kembali? Pengkhianat!” teriaknya.
Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Galunggung telah menjadi gila dan tidak dapat mendengarkan
kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin ngeri. Apalagi
ketika kemudian setapak demi setapak sambil tertawa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91
berkepanjangan, Galunggung melangkah maju. “Tak ada gunanya
kalian lari.”
Tetapi perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan mereka
menghambur keluar dari ruangan itu. Beberapa orang yang masih
sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai
Ageng Gajah Sora sambil berbisik, “Selamatkan diri Nyai Ageng
berdua.”
“O!” teriak Galunggung. “Ke mana kalian akan menyelamatkan
diri?”
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora benar-
benar tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri. Agaknya
mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan. Karena
itu mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga
keduanya menjadi saling berpegangan dengan eratnya.
Namun di antara perempuan-perempuan itu, tidaklah semua
menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak semua berlari-lari
sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak dapat
mendengarkan kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia
melangkah maju setapak demi setapak, maka tanpa berjanji
tampillah dua orang gadis, berdiri tegak dengan tenangnya di
hadapan dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai
Gajah Sora itu.
Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka
terdengarlah bisik Rara Wilis perlahan, “Tenangkan hati Nyai. Akan
aku coba mencegah perbuatan orang itu.”
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora terkejut,
bahkan Galunggung yang gila itu pun terkejut melihat ketenangan
dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu
Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91
Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu, dan
bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis Pamingit dan bukan pula
gadis Banyubiru.
“Nini....” panggil Nyai Gajah Sora, “Kemarilah.”
Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi dari
tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangan mereka tertuju
ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat tajam. Meskipun
demikian Rara Wilis menjawab, “Biarlah aku coba, Nyai.”
“Jangan Nini,” Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba
mencegahnya. Ia tahu benar betapa berbahayanya Galunggung
bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.
Sejenak Galungung memandangi keduanya. Mula-mula
matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil tertawa dalam gilanya,
“Hai gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku
selesaikan urusanku. Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau
akan menjadi istri kepala daerah perdikan Pamingit dan Banyubiru.
Kau dan kau.” Ujung pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke
wajah Rara Wilis dan Endang Widuri. Namun kedua gadis itu tidak
beranjak dari tempatnya.
“Nini,” panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas,
“Menyingkirlah.”
Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi
lawan. Bahkan ia pernah behadapan dengan orang yang sedang
terganggu syarafnya. Gila.
Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan
hati Galunggung,katanya, “Galunggung, kalau ada persoalan
biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan antara kau dan Arya
Salaka atau antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi kami
perempuan-perempuan di sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan
kalau kau bunuh kami pun persoalanmu tidak akan selesai.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91
Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora
menjadi keheran-heranan. Kata-kata Rara Wilis diucapkan las-
lasan, kata demi kata. Samasekali tak menunjukkan tanda-tanda
kecemasan apalagi ketakutan.
Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya tiba-tiba
menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun lamat-
lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis itu.
Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya
menjadi tegang ketika kemudian teringat olehnya, dimana ia
bertemu dengan kedua gadis itu. Sehingga terlontarlah dari
mulutnya, “He bukankah kau gadis-gadis gila dari Gedangan?”
“Kau masih mengenal kami?” jawab Widuri. “Bukankah kau
pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina
dari Gunung Tidar dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa
Pening?”
“Gila!” teriak Galunggung. Matanya menjadi liar kembali.
Kedua gadis itu ternyata pernah menghadapi laskarnya sebagai
lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah bertempur
melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung
itu benar-benar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah
sesaat terpencar di kepalanya. Kemudian kembali gilanya
mempengaruhinya.
Karena itu maka sekali lagi ia tertawa, “Bagus, bagus. Kalian
akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah
perempuan itu melarikan diri.”
“Jangan maju lagi,” potong Rara Wilis.
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora sekali lagi
terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Rara Wilis.
Tetapi sekali lagi mereka mendengar gadis itu memerintah,
“Galunggung, tetap di tempatmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91
Galunggung yang hampir saja melangkah maju, terhenti juga.
Dipandangnya Rara Wilis dengan tajamnya. Matanya telah
memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring,
“Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?”
Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis itu benar-benar
menjadi cemas, mereka tidak mau mengorbankan orang lain untuk
keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah Sora berkata,
“Biarlah kami selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.”
“Tenangkan hati Nyai Ageng berdua,” sahut Wilis, dan kedua
perempuan yang ketakutan itu menjadi semakin tidak mengerti.
Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak melihat
kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan
kekerasan. Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik, “Serahkanlah
kepadaku, Bibi.”
Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu. Gadis
kecil ini masih terlalu sukar untuk mengendalikan dirinya. Kalau
kemudian Galunggung itu terbunuh oleh Widuri, masih belum
diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena
itu maka ia menjawab, “Aku sajalah yang menyelesaikannya,
Widuri.”
“Ia bersenjata,” jawab Widuri, “Sedangkan bibi tidak. Apalagi
bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk bertempur.”
“Kau juga tidak Widuri,” sahut Wilis. Ketika Galunggung
kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata,
“Berikan kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala
macam senjata, selain kekhususan dalam bermain pedang.
Rantaimu itu akan lebih baik daripada sulur-sulur kayu yang
pernah aku pakai berlatih dengan eyang Pandan Alas.”
Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas,
“Serahkanlah. Orang gila itu sudah hampir mulai.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91
Widuri tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan kalung
peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri disamping Nyai
Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah cemas. “Pergilah,
pergilah,” teriaknya.
“Biarlah nyai,” sahut Widuri, “Bibi Wilis akan dapat menjaga
diri.”
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat
berbuat apa-apa lagi. Galunggung sudah berdiri selangkah dimuka
Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa menyangkut ujung kain
panjangnya pada sabuknya.
IV
Pada saat itulah pedang Galunggung teracung didadanya.
Sambil tertawa ia berkata, “Sayang dada ini akan tembus oleh
senjataku.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata orang itu benar-
benar mengerikan. Namun Rara Wilis adalah gadis yang tabah.
Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah bersiap
menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai
Widuri di pangkalnya dan menggunakan Cakra yang tersangkut
dirantai itu untuk melawan Galunggung. Tetapi Rara Wilis
memegang pada ujungnya dimana cakra itu tersangkut. Bahkan
Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri. Widuri
melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan senjatanya.
Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis agaknya
hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa itu.
Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis
membentaknya dengan nada yang tinggi, “Diam, dan tinggalkan
tempat ini!”
Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis
dengan mata merah, katanya, “Apa maumu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91
“Tinggalkan tempat ini,” ulang Rara Wilis.
Galunggung memandang semakin tajam. Gadis ini memang
cantik. tapi baginya, bagi otaknya yang sudah tidak waras lagi,
lebih baik menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada
menuruti perintah itu. Jarak jangkau pada kedudukan kepala
daerah perdikan disangkanya terlampau pendek. Bukankah tinggal
membunuh Arya Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah
sekali, mudah sekali. Karena itu ia menggeram, “Jangan gila.
Jangan menghalangi aku!”
“Kau yang gila,” bantah Rara Wilis.
Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba ia
menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang telanjang
itu diacung-acungkannya dengan gerakan menghentak-hentak.
Berdesirlah dada Nyai Ageng GajahSora dan Nyai Ageng Lembu
Sora. Namun Rara Wilis bergeserpun tidak.
“Jangan berlaku seperti Buta Terong,” teriak Widuri yang tidak
dapat menahan gelinya melihat solah Galunggung.
Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah dalam
kegilaannya itu dianggap sebagai suatu pertunjukan yang
mengasyikkan oleh gadis ini.
Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata
Widuri itu telah memanaskan kupingnya. Karena itu ia
berteriak”tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya”
Widuri benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan
karena Galunggung tak dapat menahan diri lagi. Langsung ia
meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara Wilis
tetapi menyerang Endang Widuri.
Bagaimanapun Galunggung mencoba mempergunakan setiap
kemampuan yang ada dalam dirinya, namun dengan lincahnya
Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor kijang ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91
melompat kesamping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud
Rara Wilis, karena itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti
seekor kelinci dan bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun
tawanya masih saja terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha
untuk menahannya.
Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika
Widuri sudah berdiri dibelakangnya ia berbisik, “Jangan terlampau
nakal Widuri”
“Aku tidak dapat menahan geli bibi,” jawabnya. Namun ia tidak
berani lagi mengganggu orang gila itu.
Galunggung telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya
kemudian diputar-putarnya diatas kepala. Sambil berteriak-teriak
ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara Wilis sudah
bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, kemudian
rantai di tangannya pun diurainya.
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora meskipun
tidak memiliki kemampuan bertempur dan tata bela diri namun
mereka adalah istri-istri kepala daerah perdikan, yang dalam
kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya perkelahian,
meskipun hanya dalam latihan-latihan laskar-laskar mereka.
Karena itu, ketika mereka melihat bagaimana Endang Widuri
menghindar dan bagaimana Rara Wilis dengan gerak sederhana
membebaskan dirinya dari serangan Galunggung, mereka pun
menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu samasekali tidak
takut menghadapi Galunggung.
Maka, ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung
tidak lebih daripada seorang raksasa rucah (tak berguna) yang
bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa. Meskipun ia
berjuang mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah
meloncat-loncat tak karuan. Bahkan sekali dua kali rantai Rara
Wilis telah menyentuh tubuhnya, dan membuat bekas luka yang
nyeri. Kulitnya seperti terkelupas dan darah menetes dari luka-luka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91
itu. Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu,
sengatan rantai itu pun tidak terlampau berbahaya.
Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin menggila, Rara
Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya dipertajam, dan
Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian masih
saja ia berteriak dan memaki-maki.
Akhirnya serangan Rara Wilis semakin terasa berat. Pangkal
rantai perak itu mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya.
Bahkan pipinya, hidungnya dan dahinya. Kulit Galunggung itu telah
dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan lecet-lecet berdarah.
Dalam kesibukan memper-
tahankan diri itulah Galung-
gung mendengar suara Rara
Wilis, “Tinggalkan tempat ini.
Menghadaplah Ki Ageng Lem-
bu Sora, dan mintalah maaf
kepadanya.”
“Persetan dengan orang
itu,” jawab Galunggung, tetapi
belum lagi mulutnya terkatub,
pangkal rantai itu benar-benar
mengenai bibirnya. “Gila!”
teriaknya, dan darah mengalir
dari bibir yang tebal itu.
“Jagalah mulutmu” bentak
Rara Wilis, “Pergi dan turuti
perintahku.”
Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak akan
dapat melawan gadis itu. Karena itu tiba-tiba matanya yang liar
melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari ruangan yang celaka
itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91
Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya disakiti
oleh rantai Rara Wilis, Galunggung meloncati pintu dan berlari ke
halaman. Rara Wilis tidak segera mengejarnya ketika ia melihat
Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri dengan mengacung-
acungkan pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu
sambil memaki habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata, “Aku
tidak dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi kalau
lain kali kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.”
Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa
tertahan-tahan, sedang kedua tangannya menutup mulutnya.
“Jangan banyak tingkah,” teriak Galunggung dari halaman.
“Gadis kecil itu akan aku lumatkan kalau ia berani menghina aku
lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan lama.”
Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah setapak maju sambil
memutar rantainya. Melihat sikap Rara Wilis, Galunggung mundur
beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar tubuhnya dan
menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya
masih terdengar, “Awas kalau kau sekali lagi berani melawan aku.
Aku cerai kau”
Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia harus menangkap
orang gila itu. Ia akan menjadi sangat berbahaya bagi penduduk
dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah kalau ia
bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit
mengeroyoknya beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat
menyedihkan.
Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa dua pasang tangan
memeluknya sambil terisak-isak. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya dengan uraian
air mata.
“Duduklah Nyai Ageng,” kata Wilis, lalu kepada Widuri ia
berkata, “Widuri, lihatlah di luar regol, kalau-kalau Galunggung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91
berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang ditemuinya, tetapi
jangan berbuat terlampau jauh.”
“Baik, Bibi,” jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar
setelah ia menerima rantainya kembali.
Dengan langkah yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil di
muka halaman banjar desa itu. Kemudian ia membelok ke kanan,
menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia berhenti. Di kejauhan
ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan dengan seorang
yang bertubuh tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri
menyelinap, dan kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati
orang gila itu. Sekali-kali Widuri harus meloncati pagar-pagar batu,
dan sekali-kali ia harus menyusup gerumbul-gerumbul liar yang
masih berserakan di sana-sini, di halaman-halaman yang kosong
dan terbentang di antara rumah-rumah kecil.
Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri, maka
ia pun mendengar apa yang dipercakapkan mereka.
“Galunggung....” terdengar orang yang tinggi besar itu
berkata, “Marilah kita pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki Ageng
Lembu Sora akan datang. Darinya kau akan mendengar beberapa
keterangan yang perlu.”
Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian
jawabnya, “Aku temui di sini seorang pengkhianat lagi.”
“Jangan berkata begitu,” sahut lawan bicaranya, orang tinggi
itu.
Ketika Widuri sempat mengintip mereka, maka tahulah Widuri,
bahwa orang yang tinggi itu adalah salah seorang pemimpin laskar
Pamingit, yang pernah didengarnya dipanggil dengan nama
Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.
“Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah
Sora, Arya Salaka atau Galunggung,” kata Galunggung kemudian.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91
“Apanya yang harus aku pilih?” tanya Wulungan.
“Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal
Sawung Sariti, akulah yang paling berhak atas kedudukan yang
sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling setia. Dan
akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk mencapai
cita-citanya itu” jawab Wulungan.
Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang liar
itu. Maka katanya, “Katakanlah itu kepada Ki Ageng”
“Akulah kepala daerah perdikan sekarang,” kata Galunggung.
“Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku.”
Wulungan menjadi tidak sabar lagi.
“Apa kau bilang?” bantah Galunggung, “Atas nama kepala
daerah perdikan Pamingit? Omong kosong. Akulah kepala daerah
perdikan itu” Mata Galunggung menjadi semakin merah dan liar,
bahkan ujung pedangnya sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian
orang gila itu berteriak, “Pengkhianat ini harus aku selesaikan.”
Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung
sudah menyerangnya. Untunglah Wulungan cekatan. Ia berhasil
menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah Galunggung.
“Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri.
Ki Ageng Lembu Sora akan menghukummu.”
Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak, “Akulah
yang akan menghukumnya.”
Sekali lagi Wulungan terpaksa meloncat menghindari, namun
Galunggung yang gila itu tidak mau berhenti. Bahkan ia
menyerang semakin buas. Sehingga kemudian, terpaksa
Wulunganpun mencabut pedangnya dan di jalan desa itu pun
terjadilah suatu perkelahian antara Galunggung, pemomong
Sawung Sariti yang otaknya digoncangkan oleh kekecewaan,
melawan Wulungan yang terpaksa membela dirinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91
Karena itu, Wulungan telah melawannya dengan pedang pula,
maka Widuri tidak menampakkan diri. Ia masih saja berada di balik
pagar sambil mengintip apa yang terjadi. Tetapi akhirnya ia tidak
puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga kemudian ia
meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.
Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata
Galunggung yang liar itu menyambarnya beberapa kali. Kemudian
ia berteriak, “He gadis gila. Kubunuh kau.”
Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang
berjuntai. Tetapi ketika ia akan menjawab, terdengar Wulungan
berkata, “He Ngger, kembalilah ke banjar desa. Orang ini dapat
berbahaya bagimu.”
Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih
berjuntai. Sambil tersenyum ia menjawab, “Tidak, Paman
Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman
Wulungan.”
“Ah” desis Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar gadis
itu. Tampaknya Widuri memang tidak takut sama sakali. Namun
Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya, semata-mata
karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab
Wulungan masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan nasib
Widuri. Serangan Galunggung semakin lama menjadi semakin
garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-mula Wulungan
selalu mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil
menunggu kedatangan rombongan dari makam, dengan demikian
ia mengharap dapat menangkap Galunggung hidup-hidup. Tetapi
agaknya tidak dapat berlaku demikian. Serangan Galunggung
benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian
terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga
akhirnya pertempuran itu pun menjadi bertambah sengit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91
Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak terganggu,
masih selalu berusaha untuk berhati-hati. Serangan-serangannya
tidak mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia ingin
melumpuhkan lawannya tanpa membahayakan jiwanya.
Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang Widuri.
Wulungan dalam ilmu tata bela diri berada dalam tataran yang
sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak bertempur
dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak disangka-
sangka, sebuah goresan menyobek pundaknya. Wulungan terkejut
dan dengan satu lontaran panjang ia melangkah surut. Terasa
betapa pedihnya pundak kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat
melihat luka itu, betapa ia menjadi marah. Darahnya mengalir
melumuri baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya oleh
tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram pendek,
dengan suara gemetar. “Galunggung, apakah kau sudah benar-
benar gila?”
Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak
itu ia berkata: “Kakang Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka
yang kecil. Meski demikian kau telah menjadi pucat dan ketakutan.
Karena itu berjongkoklah. Inilah kepala daerah perdikan yang
baru”
Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang bergelora.
Meskipun ia telah lama bergaul dalam satu lungkungan suka duka
dengan Galunggung, namun sifat-sifat Galunggung sejak lama
tidak disukainya. Kini, orang itu telah melukai dan menghinanya.
Dengan demikian, maka seperti tergugahlah semua ketidak
senangannya akan sifat-sifat Galunggung itu. Karena itu, maka
untuk terakhir kalinya ia berkata, “Atas nama Ki Ageng Lembu
Sora, aku memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir.”
“Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia
sesudah aku membunuhmu,” jawab Galunggung dengan
sombongnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91
Mendengar jawaban itu, hati Wulungan benar-benar terbakar.
Ternyata Wulungan benar-benar gila. Gila dengan pedang di
tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu, maka Wulungan
tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan
menyerang. Pedangnya terjulur. Meskipun demikian pedang itu
tidak mengarah lambung, dada atau leher lawan. Betapa pun
marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud membunuh
lawannya itu.
Tetapi karena keragu-raguan itulah maka Galunggung sempat
menghindarkan diri. Pedang Wulungan yang mengarah kepala itu
dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring Galunggung memutar
pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan
Wulungan. Tetapi Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-
ragu dalam setiap ayunan pedangnya. Karena itu serangannya
sangat berbahaya. Wulungan terkejut melihat sambaran pedang
Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan kepalanya.
Dan berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya.
Dengan demikian akhirnya Wulungan mengambil keputusan
untuk melawan Galunggung dengan segenap kemampuan yang
ada padanya. Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun
seandainya ia terpaksa membunuh lawannya. Maka, kemudian
adalah perkelahian yang seru. Galunggung menyerang seperti
angin ribut, sedang Wulungan bertahan dan menyerang kembali
seperti Srigala yang marah.
Widuri yang melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-tawa
lagi. Ia melihat bahaya yang mengancam keduanya. Justru karena
ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan yang sama, maka
mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh
atau di bunuh.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu
berlangsung. Apakah ia harus mencegah perkelahian itu,
membantu Wulungan atau membiarkannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu
berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti. Keduanya
mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-
masing, sebab mereka masing-masing tidak mau dadanya
ditembus oleh pedang lawan. Dalam keadaan itu, Wulungan sudah
tidak teringat lagi, apakah Galunggung itu akan ditangkapnya
hidup atau mati. Yang ada dikepalanya adalah pilihan hidup atau
mati.
Gemerincing pedang beradu telah mengejutkan daun-daun
dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung dan belalang
beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang sesekali
diselingi oleh teriakan Galunggung memaki.
Dalam keadaan yang demikian, Widuri menjadi semakin
berbimbang hati. Tetapi lambat laun dilihatnya bahwa
keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan
ternyata memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak
menggunakan otaknya dengan baik. Dalam nafsu gilanya,
Galunggung telah kehilangan sebagian pengamatan diri, sehingga
ia bertempur tanpa mempergunakan perhitungan yang cermat.
Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah memuncak dan
membakar dadanya, namun dalam olah pedang ia masih dapat
melihat segala kemungkinan dengan baik.
Widuri yang melihat perkelahian itu menarik nafas lega. Ia
benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat seperti orang
dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa peralihan.
Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan, sebelah kakinya
masih berada didunia anak-anak. Dalam masa pancaroba itu
Widuri sering berbuat yang aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk
berkelahi melonjak lonjak didalam dadanya, tetapi ia kadang
menunjukkan sifat keibuan yang sejuk.
Pada saat itu Widuri dapat melihat keadaan dengan baik.
Ketika ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91
pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan urusan
mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian Ki
Ageng Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi
dengan tanpa campur tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan
kecewa. Tanpa menyalahkan siapa pun di luar lingkungan
kekuasaannya.
Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi Widuri
menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung dengan tiba-
tiba mencakup segenggam pasir. Sebelum Wulungan sempat
berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya.
Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah ia memejamkan
matanya, namun beberapa butir pasir telah menyakitkan matanya,
sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula.
Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa
nyaring. Berbareng dengan suara itu terdengar Wulungan
mengumpat, “Gila kau Galunggung” Dan Wulungan mencoba
membuka matanya, namun mata itu telah menjadi kabur. Ia tidak
dapat melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya yang
hitam seperti bayangan hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan
hanyalah meloncat mundur sejauh-jauhnya untuk mendapatkan
waktu membersihkan matanya itu, namun Galunggung pun
meloncat menyusulnya.
Widuri melihat kecurangan itu. Perasaan muaknya tiba-tiba
bangkit kembali. Dengan serta merta ia melompat turun, dan
berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, “He Galunggung, kau
telah berbuat curang”
Galunggung tidak mau mendengarkan kata-kata itu. Lawannya
telah hampir lumpuh. Alangkah mudahnya untuk membunuhnya
pada saat yang demikian itu. Pada saat berbahaya itu Wulungan
mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis
yang kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena
itulah ia berteriak, “Pergilah ngger, pergilah.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91
Pedang Galunggung sudah terjulur kearah perut Wulungan.
Betapa pun sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk
melihat gerak Galunggung. Namun sekali lagi ia hanya melihat
bayangan hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan putus asa,
Wulungan menggerakkan pedangnya seperti baling-baling. Ia
mencoba untuk melindungi dirinya. Namun ia sadar bahwa
usahanya itu adalah usaha yang sia-sia.
Tetapi ternyata bayangan yang hitam tidak segera menyentuh
tubuhnya dengan ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia
mendengar Galunggung memaki-maki habis-habisan. Wulungan
segera mengusap matanya, dan membersihkannya dengan ujung
kainnya. Ketika ia membuka matanya, meskipun masih agak
kabur, ia melihat Galunggung bertempur. Hampir ia tidak percaya
pada matanya yang kabur itu. Galunggung bertempur dengan
gadis yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi. Dengan mulut
ternganga ia melihat perkelahian itu. Benar-benar mengagumkan.
Gadis kecil itu bertempur dengan rantai putih berkilat-kilat di
tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti, pertempuran itu
seperti perkelahian antara kucing dan tikus. Galunggung benar-
benar mirip seekor tikus raksasa yang samasekali tak berdaya
menghadapi kucing kecil itu.
Ketika mata Wulungan itu telah sembuh kembali, dan kembali
ia dapat melihat setiap garis di wajah Galunggung, maka timbullah
rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena itu, kemudian ia pun
berkata, “Angger yang perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku
yang menangkapnya.”
“Kau sudah baik, Paman?”, tanya Widuri.
“Mudah-mudahan aku dapat melawannya,” sahut Wulungan.
Suaranya datar dan rata, namun di dalamnya mengandung
tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Galunggung
atas segala perbuatan gilanya dan kelicikannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91
Widuri kemudian melepaskan lawannya. Kembali ia menonton
sebuah perkelahian yang sengit. Galunggung masih saja berteriak-
teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin terasa, bahwa
Wulungan akan menguasai keadaan.
Dalam kesulitan, orang gila itu mencoba untuk berbuat sekali
lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi Wulungan
bukan orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk
kedua kalinya. Karena itu, ketika ia melihat Galunggung
membukuk, dan dengan tangan kirinya mencakup segenggam
pasir, Wulungan meloncat dengan cepatnya. Secepat kilat.
Gerakan yang belum pernah dilakukan selama hidupnya. Tetapi
didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah
melakukan suatu perbuatan yang seakan-akan berada di luar
kemampuannya.
Terdengarlah kemudian suatu pekik ngeri. Darah yang merah
memancar dari lambung Galunggung. Kemudian tubuh itu
terdorong surut beberapa langkah.
Ketika Wulungan mencabut pedangnya, ia melihat Galunggung
itu masih tegak berdiri dengan pedang ditangannya. Matanya yang
merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya yang
berbusa terdengarlah ia menggeram, “Wulungan, kau tinggal
memilih, Lembu Sora atau Galunggung” Galunggung yang luka
parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah
hilang, dan jatuhlah ia terguling di tanah.
Meskipun demikian, matanya yang liar masih saja
memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap.
Tetapi tiba-tiba ia menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah
ia berteriak, “He Wulungan, kau berani menyakiti aku?”
Wulungan tegak seperti patung. Ia melihat mulut Galunggung
yang berbusa-busa itu masih memaki-maki, dan kemudian
Galunggung itu menggeliat menahan sakit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91
Widuri bukan seorang gadis berhati kecil. Tetapi ia belum
pernah menyaksikan peristiwa semacam itu. Ia belum pernah
melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara demikian.
Karena itu, ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya
yang kecil sambil berkata nyaring, “Kasihan orang itu, Paman.”
Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi ia tidak mampu lagi
berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin cepat
mengalir. Meskipun demikian masih terdengar ia berkata, “Hai,
Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah kepala daerah perdikanmu.”
Wulungan akhirnya menjadi beriba hati. Bagaimana pun juga
ia pernah mengalami suka duka bersama-sama bertahun-tahun.
Menyerahkan diri masing-masing dalam lingkungan yang sama.
Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang terkutuk. Untunglah
Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang
Galunggung telah benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya.
Karena itu, kemudian Wulungan melangkah maju dan berjongkok
di samping kawannya yang gila itu. Dengan suara yang berat ia
berkata, “Maafkan aku, Adi Galunggung.”
Mata Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki,
“Setan, panggil aku Ki Ageng.”
“Maafkan aku Ki Ageng,” sahut Wulungan.
Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi mengendor.
Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah
orang pertama sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah
memihaknya. Karena itu pekerjaannya untuk merebut tanah
perdikan Pamingit menjadi semakin mudah. Katanya, “Bagus, kau
memihak aku?”
Dengan wajah kosong, Wulungan mengangguk, “Ya, Ki
Ageng.”
Sekali lagi Galunggung tersenyum. Namun kemudian
wajahnya menjadi tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91
terdengar ia berkata lemah dan gemetar, “Akhirnya tercapai juga
cita-citaku.”
Oleh kata-katanya sendiri Galunggung menjadi tenang.
Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya telah satu-satu
meluncur dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah
kelahirannya. Akhirnya Galunggung menutup matanya sambil
tersenyum bangga. Kata-kata yang terakhir keluar dari mulutnya,
“Panggil aku Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung” Dan kata-kata itu
hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan
penuh kebanggan dalam kegilaan.
V
Wulungan menundukkan
kepalanya. Dadanya bergolak
seperti darah dijantungnya itu
mendidih. Perlahan lahan ia
mengangkat mukanya dan
menoleh ke arah Endang
Widuri yang masih berdiri
tegak ditepi jalan. Tetapi
Wulungan kini tidak meman-
dangnya sebagai seorang
gadis yang nakal, yang tidak
tahu akan bahaya, tetapi kini
ia memandangnya sebagai
penyelamat jiwanya. Karena
itu sambil berjongkok ia
menunduk hormat, “Angger,
betapa besar terimakasihku
kepada angger yang telah
menyelamatkan nyawaku. Aku samasekali tak menduga angger
mampu berbuat sedemikian rupa mengagumkan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91
Wajah Widuri menjadi kemerahan mendengarkan pujian itu.
Karena itu, malahan ia tidak dapat berkata sepatah katapun selain
berdesis, “Ah.”
Tetapi Wulungan masih berdiri diatas lututnya. “Aku tak akan
dapat membalas budi angger. Mudah mudahan Tuhan
mengaruniakan Kasihnya yang berlimbah.”
Widuri menjadi semakin malu. Ia tidak tahu apa yang akan
diucapkan dan apa yang akan dilakukan. Karena itu tiba-tiba ia
memutar tubuhnya berlari ke banjar desa sambil berteriak, “Aku
akan ke banjar desa paman.”
Wulungan menarik nafas. Perlahan ia berdiri sambil
bergumam, “Hem, alangkah bangga orang tuanya.”
Ketika Widuri telah hilang di balik tikungan, kembali Wulungan
merenungi mayat Galunggung. Sekali-kali ia menebarkan
pandangan berkeliling, tetapi Pamingit benar-benar seperti
dicekam kesepian yang mengerikan.
Sebenarnya beberapa perempuan yang tinggal di rumah ditepi
jalan itu menjadi ketakutan, dan menutup pintu mereka rapat-
rapat. Seorang dua orang yang sempat mendengar teriakan
Galunggung menjadi berbimbang hati, “Apakah yang sebenarnya
terjadi?” Tetapi, mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka
menunggu sampai suami mereka kembali dari perlayatan.
Ketika sekali lagi Wulungan memandang keujung jalan di
kejauhan, dilihatnya orang pertama yang datang dari makam.
Kemudian kedua dan seterusnya. Iringan itu berjalan perlahan
lahan menuju ke arahnya.
Melihat kedatangan mereka, Wulungan menjadi berdebar-
debar. Apakah ia tidak berbuat kesalahan? tetapi ia telah berbuat
demikian untuk membela dirinya, mempertahankan hidupnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91
Tubuh Galunggung yang terkapar di jalan itu benar-benar telah
mengejutkan mereka. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu
Sora dan yang lain-lain.
“Apa yang terjadi Wulungan?” terdengar suara Ki Ageng Lembu
Sora datar.
Wulungan mengangguk hormat. Kemudian dijawabnya, “Kami
bertengkar dan inilah akhirnya.”
Lembu Sora melihat luka di pundak Wulungan, karena itulah ia
tahu bahwa Wulungan telah bertempur sengit melawan
Galunggung. Ia melihat pedang Galunggung masih ditangannya,
sedang pedang Wulungan ada belum disarungkan.
“Sarungkan pedangmu Wulungan” berkata Ki Ageng Lembu
Sora.
Wulungan menjadi gugup. Cepat-cepat ia menyarungkan
pedangnya.
“Kami tidak menyalahkan engkau,” kembali terdengar Ki
Ageng Lembu Sora berkata.
Wulungan tersentak, kemudian sekali lagi ia membungkuk
sambil berkata, “Terima kasih Ki Ageng.”
Orang Pamingit menjadi saling berpandangan dan menebak-
nebak apakah sebenarnya yang telah terjadi. Beberapa orang
menjadi kecewa. Pengikut Galunggung bergumam di dalam hati
mereka, “Kenapa Galunggung terbunuh?”
Ki Ageng Lembu Sora dapat melihat gelora hati mereka.
Mereka memandang Wulungan dengan marah. Bahkan di
antaranya terpancarlah perasaan dendam dan benci. Seperti
Galunggung yang menggantungkan harapannya kepada Sawung
Sariti, maka demikianlah beberapa orang yang telah menerima
janji dari padanya. Karena itu, maka kematiannya benar-benar
disesalkan. Tetapi, disamping mereka yang mendendam Wulungan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91
karena peristiwa itu, beberapa orang berdiri tegak di belakangnya.
Tak ada kata-kata yang mereka ucapkan, namun dari wajah
mereka terpancarlah janji, “Jangan cemas Kakang Wulungan, kami
akan bersama-sama memikul akibatnya.”
Tetapi karena itu alangkah sedih Lembu Sora. Kematian
anaknya telah memukul jantungnya sedemikian parah. Sekarang
ia melihat sinar mata bermusuhan diantara rakyatnya. Karena itu
dengan sedih ia berkata, “telah banyak korban jatuh. Daerah
perdikan ini telah basah kuyup oleh darah putra terbaik. Sergapan
gerombolan liar telah menghancurkan sendi kehidupan kita.
Marilah kita jadikan Sawung Sariti korban yang terakhir, dan
Galunggung yang lenyap karena kehilangan keseimbangan jiwa,
adalah contoh mereka yang kehilangan akal karenanya” Kemudian
Lembu Sora mengangkat wajahnya memandang kepada orang
Pamingit yang berada di sekitarnya, “siapa akan menyusul?”
Suasana dicengkam oleh kesepian. Tak ada yang terdengar
selain desah nafas tegang di antara kemerisik daun-daun yang
digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang memandang
Wulungan dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di
belakang Wulungan, menundukkan wajah mereka.
Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata,
“Para pemimpin laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum
matahari terbenam. Tak seorang pun berhak memberikan tafsiran
atas peristiwa ini selain aku sendiri.”
Kemudian kepada Wulungan ia berkata, “Wulungan, ikut aku.”
Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Baik Ki Ageng.”
Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata,
“Selenggarakan pemakamannya baik-baik.”
Kemudian orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai
mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian menuju ke banjar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91
desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing. Perlahan-
lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa orang
yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke
pondoknya.
Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan
pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara
kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan
diselenggarakan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik
kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya, “Kakang,
mayat Bugel Kaliki lenyap.”
Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi
kemudian ia tersenyum, “Aku belum memberitahukan kepadamu”
“Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.
“Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku
telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat
itu,” jawab Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam,
“Sederhana sekali.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum, “Ya, sederhana sekali.
Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup
kembali maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula.
Dengan demikian sekali lagi kita harus berjuang melawan
mereka.”
Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun
kemudian diberitahunya pula. “Ah” sahut anak muda itu. “Aku
menjadi gelisah karenanya.”
Ketika mereka sampai di banjar desa, mereka melihat
perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91
Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan
Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya
kenapa mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan
penuh kekaguman mereka bertanya-tanya, bagaimana mereka
dapat memiliki ilmu tata bela diri. Pertanyaan- pertanyaan yang
sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis mencoba pula
untuk menjawab satu demi satu.
“O,” sahut salah seorang, “Jadi orang tua berjanggut putih
itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, itu kakekku,” sahut Rara Wilis.
“Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain.
Ketika orang-orang yang datang dari pemakaman, setelah
membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka
perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk
mempersiapkan minum serta makanan yang akan mereka
hidangkan.
Demikianlah Pamingit dan Banyubiru telah melampaui suatu
masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka
lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah
terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa
yang pernah terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang
di dalam kenangan masing-masing tidak sama, tergantung dari
apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami, namun mereka
mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri
merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan
kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia
menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang menimpanya.
Ikhlas atas kematian anak satu-satunya. Demikianlah agaknya
Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya
kembali ke jalan yang telah digariskan.
Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan
Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara. Di bawah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91
cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan
kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.
“Pekerjaanku sudah selesai Kakang Tohjaya” terdengar Gajah
Alit berkata, “Sultan menghendaki penyelesaian yang sebaik-
baiknya antara Banyubiru dan Pamingit. Kini agaknya penyelesaian
itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara keduanya.
Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan
mereka mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan
liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke tahta
Demak”
Gajah Alit berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Tetapi
selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku
mendapat perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke
Demak”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik
nafasnya dalam-dalam, ia bertanya, “Sebagai tawanan?”
“Tidak. Samasekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat.
“Persoalan yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah
dilupakan. Tidak saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak
pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepada Kakang
Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau Kakang
ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang
meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan
mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang
kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan.
Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih
mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan pemerintahannya
menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami
keguncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91
untuk menolak seandainya Sultan memanggilnya, meskipun
sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal pula, bahwa ia begitu
saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa itu telah
lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan
kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana
memangilnya.
“Adi....” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku tidak dapat
menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku
ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi
saranku menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah
berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri
usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat
diketemukan.”
Gajah Alit tersenyum. Jawabnya, “Tepat. Kanjeng Sultan pun
telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu
Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang
kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang
akan diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat
menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu
tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat
dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah
berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-
lahan ia berkata, “Sampaikan sembah sujudku kepada Baginda.
Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan Tuhan
berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali
pusaka-pusaka yang hilang itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing
menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91
Di luar, malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang
berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang
putih mengalir dihembus angin.
Malam itu adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit
berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa kembali
ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya.
Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara
Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan
liar yang mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak,
sehingga karenanya Demak tidak perlu mengirimkan pasukan
bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang
tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di
atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk
Inten.
Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah Alit yang pergi
meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun akhirnya
beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke
tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali
pemerintahan tanah yang selama ini mengalami kegoncangan.
Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui bahwa akhirnya Ki
Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena
itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin
menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan telah kehilangan
pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.
Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-
nya orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru,
rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan
yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh
dua orang bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling
membinasakan. Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain.
Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah pimpinan
Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91
berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan,
seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing,
mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.
Untuk sementara Ki Ageng Sora Dipayana tetap tinggal di
Pamingit. Orang tua itu masih ingin mendampingi putera
bungsunya yang masih belum dapat melupakan apa yang baru saja
terjadi. Karena itu ia tidak ikut serta pergi ke Banyu Biru bersama
putera sulungnya.
Sementara itu Titis Anganten yang tidak mempunyai kepen-
tingan-kepentingan lain, kecuali menuruti hasrat hati menikmati
hari tuanya dengan kegemarannya merantau dan berjalan dari
satu tempat ke tempat lain, melihat daerah-daerah yang belum
pernah dikunjungi, berziarah ke tempat-tempat yang dianggap
suci, terpaksa memenuhi pemintatn sahabatnya, Ki Ageng Sora
Dipayana untuk tinggal menemaninya di Pamingit.
Tetapi Ki Ageng Pandan Alas lebih senang pergi bersama-sama
dengan cucunya ke Banyu Biru. Meskipun ia tidak mempunyai
kepentingan apa pun, selain cucunya itu, namun ia tak dapat di-
tahan-tahan lagi. Karena itu maka ia pun berkemas-kemas untuk
ikut serta dalam rombongan ke Banyu Biru. –
Rombongan itu ternyata terpaksa menunda-nurda
keberangkatannya. Ada-ada saja sebabnya. Ketika mereka sudah
bersiap di halaman banjar desa. mereka terpaksa masuk kembali
ke dalam banjar. Nyai Ageng Lembu Sora mengharap mereka
untuk makan siang lebih dahulu, sebelum menempuh perjalanan.
“Tak baik menolak rejeki,” berkata Ki Ageng Gajah Sora sambil
tersenyum.
“Makan besar,” sela Arya Salaka.
“Tak seberapa,” sahut Ki Ageng Lembu Sora, “Sekadar
pernyataan terima kasih dari rakyat Pamingit.”
Alangkah nikmatnya makan bersama.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91
Di langit matahari berjalan terus. Semakin lama semakin
tinggi. Ketika telah dicapainya titik puncak, maka kembali matahari
itu menurun ke arah barat.
Akhirnya rombongan itu pum bersiap pula. Beberapa ekor kuda
untuk mereka telah menanti di halaman. Sejenak, sebelum Mahesa
Jenar meloncat ke punggung kuda, berbisiklah Ki Ageng Lembu
Sora, “Ki Rangga Tohjaya, ternyata Ki Rangga telah membuat aku
kembali menjadi manusia”
“Kenapa aku?” bertanya Mahesa Jenar.
“Baru pada saat-saat terakhir aku mengagumi sikap Ki
Rangga,” sahut Ki Ageng Lembu Sora tanpa menjawab pertanyaan
Mahesa Jenar. Tetapi pembicaraan itu terhenti. Tiba-tiba mereka
melihat Nyai Ageng Lembu Sora berlari dan dengn serta merta
memeluk Arya Salaka yang sudah berdiri di samping kudanya.
Sambil menangis terisak-isak ia berkata, “Arya, adikmu Sawung
Sariti telah tak ada lagi. Karena itu, kaulah menjadi ganti anakku.”
Arya menundukkan wajahnya. Tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya.
Yang terdengar kemudian kembali suara Nyai Ageng Lembu
Sora. Kali ini kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Kakang, biarlah aku
ngempek kamukten. Kalau kakang berkenan di hati, biarlah aku
ikut serta mengaku Arya Salaka sebagai anakku.
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya,
sebelum ia menjawab terdengar Nyai Ageng Gajah Sora berkata,
“Adi, anakku adalah anakmu.”
Tangis Nyai Ageng Lembu Sora bertambah nyaring, serta
pelukannya menjadi bertambah erat, seakan-akan tak mau
melepaskannya lagi.
Tak seorang pun mengganggunya. Bahkan mereka ikut serta
merasakan betapa dalam luka yang menggores hati isteri kepala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91
Tanah Perdikan Pamingit itu. Luka yang tidak akan dapat sembuh
kembali apa pun obatnya.
Sesaat kemudian barulah tangis itu mereda. Perlahan-lahan
Arya dilepaskan. Di antara isak yang masih terdengar berkatalah
Nyai Ageng Lembu Sora, “Maaflah kalau aku mengganggu per-
jalanan ini.”-
“Arya akan sering berkunjung kemari, adi,” sahut Nyai Ageng
Gajah Sora.
“Terima kasih,” desis Nyai Ageng Lembu Sora, sedang dari
matanya masih menetes sebutir-sebutir air matanya.
Akhirnya rombongan itu pun dilepas pergi. Kuda-kuda itu
berjalan beriring-iringan. Orang-orang Pamingit menyaksikan
dengan bangga dan melepas mereka dengan lambaian tangan
sampai mereka hilang di balik kelokan jalan. Hanya kepulan debu
yang putih yang masih mereka lihat naik ke udara.
Di perjalanan itu Widuri menjadi gembira. Dilarikannya
kudanya di paling depan. Di mukanya terbentang lembah dan
dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali perjalanan itu menurun,
namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang
berbaris seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari telah
condong. Widuri mengerutkan keningnya. Mereka berangkat
terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru
sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan
dapat cepat, karena Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat
menunggang kuda dengan baik. Meski demikian Widuri kadang-
kadang memacu kudanya jauh ke depan. Kemudian sambil
menanti kawan-kawannya ia berhenti diatas sebuah punhtuk yang
menjorok. Dari sana ia dapat melihat, betapa luasnya tanah yang
terbentang di hadapannya. Betapa besar alam. Dan betapa Maha
Besar Sang Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi. Beribu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91
berjuta kali lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang
gumelar di hadapannya.
Rombongan itu berjalan terus. Meskipun perlahan-lahan
namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan
Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah
membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian
membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik
Ala.
Widuri tersenyum memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah
olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang lalu di
Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh sepasang
Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka
telah dibinasakan oleh Arya Salaka.
“Hem!” gumamnya, “Alangkah gagahnya anak itu.” Tiba-tiba
wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke
arah rombongannya. “Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,”
pikirnya. Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada
pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka.
Karena itu sekali lagi ia melarikan kudanya ke punthuk yang
lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya tentang anak
muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia
berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali.
Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan
sedang seluruh rombongan. Gajah Sora mendampingi istrinya
bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas
berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi
cemas melihat kenakalan anaknya yang jauh di depan.
Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar, dan di
sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di
perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya
tentang daerah yang mereka lewati.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91
Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara
Wilis, “Sudahkah kita sampai ke daerah tanah perdikan
Banyubiru?”
Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu pasti,
manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”
Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya
kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih
bertebaran di lembah. “Tanah itu belum digarap,” katanya.
“Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab
Mahesa Jenar. “Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru
demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan
yang akan menggarapnya.”
Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan
Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat
Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan
yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian
sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-
pedukuhan kecil, yang seakan-akan terpisah dari induk tanah
perdikan mereka. Namun mereka pun merupakan sendi-sendi
kehidupan yang tak dapat dilupakan.
“Adakah Kakang akan menetap di Banyubiru?”
Mahesa Jenar tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis
yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana ia harus
menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang duduk di atas
punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa
betapa sepasang mata yang tajam memandanginya,
ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.
Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu
dengan seksama. Sejak semula ia memang mengagumi kecantikan
Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari Nagasasra dan
Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91
Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak
mempunyai waktu lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu.
Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu itu. Namun hatinya
menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu,
tampaklah beberapa bintik air mata.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang
dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik itu.
Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya
kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan
kepada Tuhannya. Dua pengabdian yang tak mungkin dipisah-
pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang bukan berarti
bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah
mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis itu. Ia merasa bahwa
sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan hatinya,
tanpa mendapat perhatiannya samasekali. Telah terlalu lama ia
membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia
ingin menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap
demikian. Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata, “Wilis,
kalau sampai sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku
ingin hidup kelak tidak terganggu oleh kesanggupan dan janji diri.
Aku ingin hidup tentram setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.
Aku harap kau dapat mengerti, bahwa apa yang aku lakukan
adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan semata-mata aku
membiarkan diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa
mempertimbangkan pendapatmu. Sebab.”
“Kakang!” potong Rara Wilis. Gadis itu mengangkat wajahnya
dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya. Katanya
meneruskan, “Kenapa Kakang berkata demikian? Apakah aku
pernah menyatakan penyesalan atas semua yang pernah terjadi
selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi
kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai
sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang,
setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91
melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri?
Aku telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup
dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia” Rara Wilis tak dapat
meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras
mengalir dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.
“Maafkan aku Wilis,” desis Mahesa Jenar. Ia menyesal telah
mengatakan apa yang tersimpan didalam hatinya. Ia menyesal
bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang samasekali tak
dikehendaki oleh Rara Wilis.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berkata, “Wilis, sekarang semua
kewajiban itu sudah selesai.”
Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah.
Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Pekerjaanku telah selesai,” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.
“Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
tanya Rara Wilis.
“Keris itu sudah aku ketemukan,” jawab Mahesa Jenar.
“Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba
menjadi cerah. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali.
Katanya, “Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati
Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?”
Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut, “Tidak, tidak Wilis. Aku
samasekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua
pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu
benar-benar telah dapat diketemukan.”
Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali.
Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih memancar
berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak
terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia
berkata, “Wilis, kau tak perlu bercemas hati tentang kedua keris
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91
itu. Sudah sejak lama aku mengetahui, di mana kedua keris itu
berada. Namun sampai saat ini belum tiba masanya kedua pusaka
itu kembali ke istana.”
“Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya.
Mahesa Jenar ragu sejenak. Karena itu maka Rara Wilis segera
berkata, “Maafkan, barangkali aku tidak perlu mengetahuinya.”
“Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat. “Kau boleh
mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan
Panembahan Ismaya.”
“Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.
“Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu
dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar, “Namun apa yang dilakukan
itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin
menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih
buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-
orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”
“Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.
“Dari Panembahan Ismaya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja
persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung
Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih
menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat
penanggungan hati Mahesa Jenar.
Meskipun ia tidak tahu menhapa Mahesa Jenar tidak segera
menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya
lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar
tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk
mencarinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91
Rara Wilis kemudian berdiam diri. Namun di dalam hatinya
bergolaklah angan- angan seorang gadis. Seorang gadis yang telah
berdiri di ambang pintu idaman.
Yang berbicara kemudian adalah Mahesa Jenar, “Karena itu
Wilis. Kita telah mempunyai waktu untuk berbicara tentang diri
kita”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Dadanya serasa berdesir.
Waktu yang ditunggu- tunggu akhirnya akan datang. Namun ia
tidak menjawab.
“Segala kesulitan telah kita lampaui,” Mahesa Jenar
meneruskan, “Mudah-mudahan kita tidak terlalu tua untuk mulai
dengan suatu kehidupan baru.”
Betapa menyenangkan kata-kata itu. Namun Rara Wilis telah
melampaui masa pergolakan jiwa. Karena itu ia dapat
menanggapinya dengan wajar, dengan hati yang mengendap.
Katanya, “Tidak Kakang. Tidak semua kesulitan telah selesai.
Dalam hidup yang baru itu, kesulitan-kesulitan lain justru baru
akan mulai. Kesulitan-kesulitan yang sekarang belum dapat kita
bayangkan.”
Mahesa Jenar tersenyum. Senyum yang memancar dari
hatinya yang cerah. “Kau benar Wilis.”
Kemudian keduanya berdiam diri. Angan-angan mereka
terbang mengawang bersama mega-mega putih di langit. Tanpa
dirasa, hari telah menjadi gelap. Bintang- bintang telah
berhamburan menggantung di sisi bulan yang masih muda. Jarak
mereka berdua pun telah menjadi semakin jauh dari Ki Ageng
Pandan Alas dan Kebo Kanigara. Maka berkatalah Mahesa Jenar
kemudian, “Marilah kita susul mereka.”
Mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Ketika
mereka telah berada tepat di belakang Ki Ageng Pandan Alas dan
Kebo Kanigara, mereka melihat Endang Widuri pun telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91
memperlambat kudanya dan kemudian berhenti di tepi jalan
menunggu kawan-kawan seperjuangannya.
Angin malam berdesir menggerakkan daun-daun dan ujung
batang-batang ilalang. Suara angup dan belalang saling
bersahutan, menggores sepi malam. Rombongan itu berjalan
dengan tenangnya. Sekali-sekali mendaki dan sekali-kali menurun.
“Kita belum melampaui laskar yang mendahului kita?” tanya
Endang Widuri.
“Mereka telah sampai atau setidak-tidaknya hampir memasuki
Banyubiru,” jawab Arya Salaka.
“Bukankah kita juga hampir sampai?” tanya gadis itu pula.
“Ya!” jawab Arya, “Dari balik bukit di hadapan kita itu kita akan
dapat melihat dataran di hadapan bukit Telamaya dan Rawa
Pening”
Widuri tidak berkata-kata lagi. Ia mengharap agar perjalanan
itu lekas berakhir. Malam nanti ia dapat beristirahat dengan
tenang. Dan besok pagi, mulailah masa istirahatnya. Ia akan dapat
menikmati lembah di sekitar Rawa Pening dengan tenang tanpa
suatu kegelisahan apa pun. Ia tidak perlu berpikir tentang Uling
Putih dan Uling Kuning, Nagapasa, Lawa Ijo dan sebagainya.
Dengan getek ia dapat bermain-main di Rawa itu, sambil mengail.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika rombongan itu sampai di
punggung bukit. Sebentar lagi akan tampaklah nyala-nyala lampu
yang memancar dari lubang-lubang pintu. Atau obor-obor di
simpang-simpang jalan yang gelap. Karena itu tiba-tiba ia
mempercepat jalan kudanya, kembali mendahului rombongan itu.
Namun tiba-tiba ketika ia mencapai punggung bukit itu, ia
terkejut. Di hadapannya, di lereng bukit Telamaya, dilihatnya api
menjilat ke udara. Bukan obor, tetapi seperti beribu-ribu obor.
Melihat nyala api itu, Endang Widuri tertegun. Tiba-tiba ia
berteriak nyaring, “Kebakaran!”
top related