3 -dinamika kelompok - r3 - insteps.or.id teknologi informasi dan... · dinamika kelompok 1/37...
Post on 31-Jan-2018
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Dinamika Kelompok 1/37
DINAMIKA KELOMPOK
(Apa dan Bagaimana Membangun Teamwork Yang Efektif)
Mata Kuliah : Organization Theory
Pengajar : 1. Prof. Dr. Wagiono Ismangil
2. Dr. Budi W. Soetjipto
Nama Mahasiswa : 1. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
( NPM : 8605210299)
2. Manerep Pasaribu
( NPM : 860521028 Y )
Program Doktor Strategic Management
Program Studi Ilmu Manajemen
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Ekonomi
Universitas Indonesia
2005
Dinamika Kelompok 2/37
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Abstraksi 1
Bab 1 Group dan Fungsinya 2
1.1. Pengantar 2
1.2. Pertumbuhan Group 4
1.3. Peran-Peran Dalam Group 5
1.4. Keuntungan Group 7
1.5. Efektivitas Kelompok 8
1.6. Ancaman-Ancaman Terhadap Efektifitas Group 10
1.7. Kemalasan Sosial versus Fasilitasi Sosial 12
1.8. Pengaruh Budaya 14
Bab 2 Group dan Tim 16
2.1. Definisi 16
2.2. Tipe-Tipe Tim 17
2. 3. Norma-Norma Group 18
2.4. Dari Group Menjadi Tim 20
Bab 3 Team Building 21
a. Pengantar 21
b. Peran seorang group leader 21
c. Teknik Peningkatan Efektifitas 25
Bab 4 Teori Atribusi
4. 1. Pengantar 26
4. 2. Model Atribusi Dari Kelley 27
Bab 5 Kesimpulan 30
Daftar Kepustakaan ii
Dinamika Kelompok 3/37
ABSTRAKSI
Paper ini membahas dinamika kerja sama dalam sebuah tim, yang merupakan
fondasi utama bagi suksesnya sebuah organisasi. Pemikiran yang mendasarinya, setiap
orang yang bekerja menginginkan kesuksesan. Ada yang diraih atas usaha seorang diri,
dan lebih banyak lagi yang meraih kesuksesan karena bekerja bersama orang lain dalam
sebuah kelompok kerja (work team) (Greenberg dan Baron, 2003:273). Reaksi individu
ketika bekerja bersama orang lain dalam tim bervariasi. Ada yang merasakan terbentuknya
teamwork akan meringankan pekerjaan. Sebaliknya ada yang merasa tidak nyaman
bekerja bersama orang lain. Hasil yang diperoleh pasti membutuhkan waktu yang lama
dan belum tentu memuaskan, jika diukur dari kepentingan dan kecenderungan pribadi
(Cook dan Hunsaker, 2001:339).
Hasil survey membuktikan bahwa para karyawan (employee) dalam work group
secara sadar dapat bertumbuh lebih baik melalui interaksi group. Ada sharing
pengalaman, persoalan dan solusi orang lain. Sebaliknya, kalau ada persoalan dalam work
team, di mana anggota tim tidak bekerja sebagaimana layaknya, atau kurang maksimal,
tidak produktif dan mengalami kekecewaan, pada umumnya penyebabnya bukan pada
teamwork. Akar masalahnya ada pada kurangnya knowledge, skill dan respek dari anggota
tim pada prinsip serta sikap kerja sama secara efektif. Atau anggota teamwork tidak
dilengkapi perspektif yang jelas mengenai objectives, structure, dan lingkungan
perusahaan yang semestinya (appropriate environment) oleh manajer.
Ternyata kesuksesan bekerja dalam tim merupakan pengalaman yang penuh
dinamika. Ada saja tantangan dan hambatan (Cook dan Hunsaker, 2001:339). Hal ini
dirasakan juga oleh para manajer dan profesional yang bekerja dalam satu panitia kerja
atau work team. Memang tidak mudah dan muskil untuk menyusun satu resep yang baku
dan komprehensif sebagai kunci membentuk teamwork dengan kinerja yang tinggi.
Namun demikian, dari hasil survey banyak temuan yang memberi arah bagi terbentuknya
satu work team yang handal (Staw dan Ross, 1987). Setidak-tidaknya dapat diperoleh
pokok-pokok pikiran mengenai nilai-nilai esensial yang perlu untuk membangun sebuah
teamwork. Paper ini bermaksud memperkaya pemahaman, memperkuat apresiasi dan
memperluas wawasan tentang fungsi dan kontribusi kelompok (groups) bagi organisasi.
Juga menyediakan perangkat (tools) untuk berpartisipasi sebagai anggota yang efektif dan
kreatif dalam work team, serta memperoleh gambaran tentang cara menata dan
Dinamika Kelompok 4/37
mengembangkan groups secara handal pada saat dibutuhkan maupun manakala ada
kesulitan. Hal penting yang juga disajikan dalam paper ini adalah berhubungan dengan
kinerja buruk dari individu di dalam tim. Dengan bantuan model atribusi yang
dikembangkan Kelley, hal tersebut disikapi secara bijak, sekaligus melakukan pengarahan
kembali (re-direction) misi dan mekanisme kerja tim.
Dinamika Kelompok 5/37
BAB 1
GROUP DAN FUNGSINYA
1. 1. Pengantar
Berada dalam group dan membangun interaksi di dalamnya dialami individu sejak
dilahirkan. Group yang di dalamnya individu berada dan berinteraksi makin bertambah
luas dan banyak seiring pertambahan usia, luas lingkup pergaulan dan jumlah kebutuhan
kita. Menjadi warga dari group itu ada yang bersifat wajib, ada juga yang karena pilihan
(Cook dan Hunsaker, 2001:339). Dalam group-group ini kebutuhan-kebutuhan manusia
seperti persahabatan, penerimaan dan penghargaan serta penemuan identitas diri
dipuaskan. Ternyata banyak hal dalam dunia yang dilaksanakan dalam group atau
organisasi (Covey, 2005).
Kelompok kerja (work group) adalah wadah yang dapat digunakan seorang
pemimpin untuk menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Jika begitu, apa itu kelompok
kerja? Dalam kelompok terjadi dua bentuk interaksi: fisik dan psikis. Jadi, group adalah
satu kumpulan yang terdiri dari dua atau lebih orang yang memiliki satu pola relasi yang
baku (tetap) dengan tujuan bersama dan tiap orang menyadari diri sebagai anggota group
itu. Dengan demikian, ada empat karakter dasar untuk layak disebut sebuah group. 1) Ada
interaksi sosial antara dua atau lebih orang. 2) Adanya struktur interaksi yang stabil. 3)
Perlu ada minat atau goal bersama di antara mereka. 4) Tiap individu harus melihat diri
sebagai anggota group dan membedakan diri dengan yang bukan anggota group
(Greenberg dan Baron, 2003:273). Jadi group adalah satu kenyataan sosial yang memiliki
empat kriteria sosiologis tadi (Kreitner dan Kinichi, 2004:410).
Menurut Greenberg dan Baron (2003:276) ada empat dorongan yang mendasari
keputusan seseorang untuk bergabung dalam group. Pertama, untuk memuaskan minat
dan mengembangkan bakat secara bersama-sama. Kedua, memberi rasa aman sekaligus
proteksi terhadap musuh atau bahaya bersama. Ketiga, menolong orang memperoleh
kepuasan dasar, yakni berada sebagai makhluk sosial. Keempat, group memberi
kesempatan bagi manusia untuk diterima dan diakui.
Selanjutnya, group dibagi dalam dua tipe: formal dan informal. McGrath (1984)
membedakan dua tipe group: natural dan concocted. Natural group menunjukkan pada
group yang berdiri sendiri terlepas dari organisasi resmi. Sedangkan concocted group
adalah yang dirancang untuk maksud khusus (O'Leary-Kelly, Martocchio & Frink, 1994:
Dinamika Kelompok 6/37
219). Formal group adalah yang dibentuk dengan sadar oleh manager untuk mengerjakan
satu tugas tertentu. Fungsi group ini ada dua. Pertama, bagi organisasi. Schein (1980)
mencatat enam poin. 1) Menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks dan interdependent
dalam organisasi yang melampaui kapasitas individu. 2) Menciptakan ide-ide baru. 3)
Mengkoordinir pekerjaan dalam unit-unit. 4) Memecahkan masalah-masalah kompleks
yang membutuhkan informasi dan perspektif yang bervariasi. 5) Mengimplementasikan
rencana dari aksi-aksi. 6) Menyosialisasi dan melatih anggota baru (newcomers).
Kedua, fungsinya bagi individu. Schein (1980) menyebut ada lima. 1) Memuaskan
kebutuhan untuk berserikat. 2) Mengaktualisasi diri dan menguatkan self-esteem. 3)
Menilai dan menshare persepsi-persepsi tentang realitas sosial. 4) Menghalau perasaan
tidak berdaya dan lemah. 5) Menciptakan mekanisme untuk menyelesaikan persoalan
personal atau antara personal.
Group yang formal ini terdiri dari dua bentuk: yang permanen (a standing task
group). Ini dibentuk secara khusus dalam struktur organisasi untuk memimpin dan
mengawasi pelaksanaan tugas dalam unit-unit, dan yang temporer (a task group). Group
ini dibentuk untuk menuntaskan satu tugas atau persoalan tertentu (Cook dan Hunsaker,
2001:340). Perlu juga dicatat bahwa dalam work group yang bersifat temporer perlu
diperhatikan task deadline dan group composition.
Group yang informal muncul karena upaya dari individu-individu untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan individu yang tidak diperhatikan secara formal oleh organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan itu seperti persahabatan, hobi, dan rekreasi. Anggota group ini
biasanya orang-orang dengan minat yang sama dan saling tertarik satu-sama lain (Cook
dan Hunsaker, 2001:342). Bentuk-bentuk group informal ada tiga. Pertama, group minat
(an interest group). Ini terbentuk karena individu-individu dengan minat yang sama
menyatu untuk mencapai satu tujuan bersama yang mereka minati. Kedua, group
persahabatan (a friendship group). Ia dibentuk atas dasar kesamaan status perkawinan,
pandangan politik, hobi, dan lain - lain. Group ini meskipun informal tetapi punya dampak
yang kuat. Manajer perlu memperhatikan group ini. Ketiga, group referensi (a reference
group). Ia dibentuk oleh individu-individu dengan maksud membentuk opini,
mempengaruhi pengambilan keputusan, atau menentukan prosedur dari sebuah tindakan.
Group ini didasarkan pada persahabatan dan minat, tetapi terlebih pada kesamaan
perjuangan untuk pembentukan opini publik, seperti isu ras, gender, agama, pendidikan,
keadilan, lingkungan hidup, dan seterusnya. Group referensi melengkapi anggotanya
Dinamika Kelompok 7/37
dengan nilai dan prinsip sebagai penuntun untuk tingkah laku dan kebijakan publik ((Cook
dan Hunsaker, 2001:342-245).
Betapapun group-group infomal ini eksis untuk melayani minat individu, tetapi
kontribusinya bagi organisasi formal juga ada. Lunt (1991) mencatat kontribusi group
informal ini dalam dua aras: individu dan organisasi. Kontribusi bagi individu antara lain:
kepuasan kebutuhan sosial, kepuasan kebutuhan keamanan dan dukungan, mempertinggi
status anggotanya jika group itu memiliki nama di dalam masyarakat, memperbesar
perasaan self-esteem kalau satu anggota dihargai oleh anggota group lainnya. Akhirnya,
merasa lebih memiliki kompetensi karena adanya sharing power dalam group untuk
mempengaruhi dan mencapai sesuatu tujuan (Kreitner dan Kinicki, 2004:411).
Kontribusi bagi organisasi adalah (Kreitner dan Kinicki, 2004:411): memperkuat
nilai-nilai dan harapan-harapan bersama dalam masyarakat yang sejalan dengan budaya
organisasi. Menyediakan dan menetapkan guidelines bagi sikap yang tepat. Memberi
kepuasan sosial bagi setiap individu yang bekerja dalam organisasi. Memberi rasa percaya
diri yang sering disertai dengan peningkatan status. Memperbesar peluang untuk
memperoleh informasi. Menolong pekerja baru untuk mengintegrasikan diri dalam
harapan dan objectives informal dari organisasi.
1. 2. Pertumbuhan Group
Sama seperti manusia, group juga memiliki sejarah. Kelangsungan hidupnya
bergantung pada kualitas kerja sama dan hasil yang dicapai. Untuk itu, tujuan, power dan
kedekatan antar - anggotanya perlu dijaga secara saksama. Ada lima tahap pertumbuhan
sebuah group. Pertama, tahap pembentukan (forming). Dalam periode ini ada banyak
ketidak-jelasan mengenai tujuan, struktur, dan kepemimpinan dalam group. Anggota-
anggotanya peduli dengan soal saling mengenal sifat dan potensi masing-masing dalam
melaksanakan tugas-tugas (Kreitner dan Kinicki, 2004:415). Mereka belum memiliki
strategi pelaksanaan tugas yang harus diemban (Cook dan Hunsaker, 2001;343). Sikap dan
reaksi yang dituntut dalam organisasi juga belum mereka tetapkan (Greenberg dan Baron,
2003:277).
Kedua, tahap keributan (storming). Di sini mulai timbul konflik internal mengenai
klarifikasi peran dan sikap tiap anggota (Cook dan Hunsaker, 2001;343). Ketidak-cocokan
pendapat adalah biasa saat penetapan prosedur kerja, peran, cara-cara berelasi, dan alokasi
power tiap anggota (Greenberg dan Baron, 2003:277). Hal penting yang patut dikelola
Dinamika Kelompok 8/37
dengan baik untuk menemukan solusi dari konflik adalah sekitar power dan structure.
Selain itu berusaha untuk menggantikan sikap permusuhan dengan sikap saling menerima
dan memiliki. Dua hal ini penting untuk melangkah ke tahap selanjutnya (Kreitner dan
Kinicki, 2004:415).
Tahap ketiga, penetapan norma (norming). Kerja sama adalah tema utama dari
tahap ini (Greenberg dan Baron, 2003:277). Ini mencakup komunikasi yang terbuka
menyangkut sasaran yang hendak dicapai, dan memperbesar kohesi saat anggota-anggota
menetapkan pola tingkah laku yang diharapkan bersama (Kreitner dan Kinicki, 2004:415).
Tiap anggota memberi persetujuan pada struktur pembagian kerja, kepemimpinan, dan
alokasi peran-peran sehingga ada saling mendukung dan harmoni. Kalau group menjadi
terlalu kaku dengan pendirian masing-masing group itu bisa mandek pada tahap ini.
Tahap keempat, penyelenggaraan tugas (performing). Kalau sudah sampai tahap
ini, anggota tidak lagi berkonflik tentang sikap saling menerima dan berelasi (Cook dan
Hunsaker, 2001;344). Mereka kini bekerja secara independen untuk mencari solusi
terhadap persoalan dalam komitmen terhadap mission dari group. Produktivitas adalah
puncak dari performing. Bagi work group yang permanen tahap ini adalah fase terakhir
yang hanya butuh untuk dipertahankan seterusnya (Greenberg dan Baron, 2003:277).
Tahap terakhir, pembubaran (adjourning). Bagi work group yang temporer ini
adalah titik di mana kelompok itu bubar. Ini menimbulkan kesedihan karena berakhirnya
pertemuan dan persahabatan, tapi juga kebahagiaan karena tugas-tugas telah dilaksanakan
dengan berhasil (Cook dan Hunsaker, 2001;344). Pemimpin dapat membubarkan tim
dengan memberi reward terhadap anggota-anggotanya (Greenberg dan Baron, 2003:278).
1. 3. Peran-Peran Dalam Group
Sebuah group dewasa kalau: pertama, ada pola relasi yang baku dan tetap antara
anggota. Kedua, ada network komunikasi, ikatan keakraban serta daya pikat interpersonal.
Ketiga, teridentifikasi anggota yang berpengaruh dan berwibawa. Keempat, terjadi
persetujuan mengenai tindakan-tindakan yang harus dihasilkan. Kelima, tersedia
penghargaan bagi tiap anggota tim dalam hirarki (Greenberg dan Baron, 2003:280).
Kematangan mengarah pada pelaksanaan peran. Peran adalah kelakuan-kelakuan yang
diharapkan muncul terus-menerus dari setiap anggota dalam group. Peran bersifat
fungsional, yakni yang menolong group meraih tujuan. Peran (fungsi) lain biasa
dimotivasi oleh kebutuhan spesifik dari individu (Kreitner dan Kinicki, 2004:418). Fungsi
Dinamika Kelompok 9/37
seperti ini bersifat kontradiktif dan mengganggu efektifitas group. Makin dewasa sebuah
group makin nampak juga kesediaan untuk mengeliminasi peran-peran destruktif dan
mengembangkan peran-peran yang konstruktif.
Ada dua tipe peran yang konstruktif (Greenberg dan Baron, 2003:280): peran yang
berorientasi apda tugas (task-oriented role), yang menolong pencapaian tujuan group; dan
peran yang berorientasi pada hubungan (relation-oriented-role) atau disebut juga peran
untuk menjaga hubungan (maintenance role) antar anggota. Peran yang terakhir ini
membantu menegakkan dan menjaga relasi yang sehat dalam group. Selain itu ada juga
peran yang berorientasi pada diri sendiri (self-oriented roles) atau memerankan
kepentingan diri sendiri (personal role), yang hanya melayani kebutuhan individu dan
umumnya bersifat merusak interaksi dan integrasi group. Benne & Sheats (1948) membuat
tabel berikut (Greenberg dan Baron, 2003:280).
Tipe-Tipe Peran Indikatornya
Task-oriented roles
Selalu berinisiatif dan memberi kontribusi.
Merekomendasikan new solution bagi group
problems. Mencari informasi. Berusaha
memperoleh fakta-fakta yang penting. Suka
memberi pendapat. Membagi pendapat dengan
orang lain. Berenergi. Mendorong group pada
aksi kalau minat group merosot
Relations-oriented roles. Peran ini disebut
socio-emotinal role (Maintenance Roles)
Memberi dukungan dan pengasuh yang baik.
Berusaha agar setiap orang merasa diterima.
Menjaga harmoni. Memediasi konflik.
Kompromis. Mengubah opini pribadi demi
harmoni. Memberi dorongan. Memuji dan
memotivasi orang. Menyarankan cara group
bertindak agar dapat bertindak efektif. Tampil
sebagai pelancar (expediter).
Self-oriented role (Personal Roles)
Bertindak sebagai perintang (blocker).
Membandel dan melawan group. Mencari nama.
Minta perhatian terhadap prestasi yang sudah
dicapai. Mendominasi. Menuntut kekuasaan
dengan memanipulasi group. Selalu
menghindar. Menjadi jarak, menutup diri.
Dinamika Kelompok 10/37
Kalau kedua roles pertama dikembangkan akan tercipta kohesi, yakni rasa saling
memiliki antara tiap anggota. Mereka menghormati satu sama lain dan ingin
mempertahankan group itu. Menurut Kiesler (1971) dan Salancik (1977) kohesi adalah
komitmen dari anggota pada tugas-tugas group. Sumber dari kohesi itu ada delapan (Cook
dan Hunsaker, 2001:347). Pertama, goals dari group jelas (specified) dan sesuai
(compatible) dengan kebutuhan anggota. Kedua, prestasi dan keberhasilan, untuk
membangkitkan perasaan positif terhadap group. Ketiga, ukuran group yang kecil. Kalau
interaksi dan komunikasi group makin luas kohesi antara group bisa terganggu.
Kesempatan untuk saling mendengar, memberi kontribusi, dan menyatakan penghargaan
juga makin berkurang. Keempat, ada daya tarik antar-anggota (interpersonal attraction).
Daya tarik itu terletak pada misalnya: common values, kesediaan saling mendukung,
karakter kejiwaam, common interest. Kelima, musuh bersama (challenge of a common
enemy). Kalau ada musuh luar maka konflik internal akan dilupakan. Keenam, status yang
tinggi. Group yang tinggi statusnya akan diberi nilai ekstra dibanding group yang kurang
berstatus (Greenberg dan Baron, 2003:281). Status ini bergantung pada sukses masa lalu,
penting dan bernilainya aktivitas group, status group itu dalam organisasi, standard
perijinan. Ketujuh, kerja sama antara anggota. Group yang suka bekerja sama memperkuat
kohesi antar- anggotanya, sementara kompetisi justru merusak kohesi itu. Kedelapan,
komposisi perempuan. Group yang anggota-anggotanya perempuan lebih kuat kohesi
dibanding yang laki-laki atau campuran kedua jenis kelamin ini (Cook dan Hunsaker,
2001:347).
Kohesi punya konsekuensi positif terhadap produktifitas, kepuasan, dan
pertumbuhan group itu (Goodman, Ravlin dan Schminke, 1987:144). Tapi potensi ini
bergantung pada apakah group itu mengidentifikasi diri dengan goal organisasi dan
apakah norma-norma mendukung high productivity (Cook dan Hunsaker, 2001:347).
1. 4. Keuntungan Group
Bekerja dalam satu work team tidak mudah (Cook dan Hunsaker, 2001:351), tetapi
hasilnya lebih kreatif, keputusannya lebih baik dan lebih bisa diterima luas. Kalau
manajemen group buruk efektivitasnya justru tidak nampak (Greenberg dan Baron,
2003:283).
Keuntungan group Kekurangan Group
1. More informationi and knowledge. 2. Competing goals. Anggota tim sering
Dinamika Kelompok 11/37
Anggota tim memperoleh pengalaman
dan pengetahuan yang lebih luas dan
dalam dibanding yang dimiliki individu.
2. Diversity of viewpoints. Satu tim dengan
latar belakangan berbeda dapat
menghasilkan opsi dan ekstra alternatif
kreatif. Mereka juga menawarkan lebih
banyak solusi terhadap masalah tersebut.
3. Increase understanding. Ambil bagian
dalam proses pemecahan masalah anggota
tim akan memperoleh pengertian tentang
keputusan itu dan mengapa itu diambil.
4. Increased acceptance. Keputusan yang
rasional dan dipahami biasa lebih
diterima.
5. Better implementation. Ambil bagian
dalam proses pengambilan keputusan
menimbulkan rasa memiliki keputusan
itu. Hasilnya mereka akan berusaha
menerapkan keputusan itu, bahkan juga
mempengaruhi orang lain untuk
menerima keputusan itu.
mempunyai komitmen sebelumnya
terhadap sebuah reference group yang lain
atau punya agenda pribadi yang
menciptakan konflik.
3. Time consuming. Tim harus menunggu
adanya rapat, sabar menanti kehadiran tiap
anggota, telaten mendengar dan
memahami satu sama lain, memecahkan
konflik internal. Ini makan waktu.
4. Social pressure to conform. Dalam group
dengan kohesi yang tinggi anggotanya
sering menyesuaikan diri dengan opini
mayoritas yang tidak optimal demi simpati
dan pengakuan.
5. Domination by a few. Anggota yang
punya, kuasa, status dan berkarakter
cenderung mendominasi keputusan group.
Apalagi kalau ia seorang myopia
sementara anggota lain cenderung berdiam
diri.
6. Ambiguous responsibility. Kalau ada yang
mendominasi pengambilan keputusan
akan ada ketidak-pastian tentang siapa
yang bertanggung-jawab bagi
implementasinya, dan siapa yang dipuji
atau dipojokkan bila hasil dicapai. Ini
beresiko karena tak seorang pun mau
bertanggung-jawab kalau hasil jelek.
1.5. Efektivitas Kelompok
Keberadaan kelompok dalam organisasi merupakan suatu kelaziman, baik yang
dibentuk berdasarkan ketentuan formal maupun yang bersifat informal. Ada tiga model
untuk mengetahui kinerja kelompok yang dapat menunjukan efektivitas kelompok:
heuristic model, technological model, dan organization-specific model. Heuristic model
Dinamika Kelompok 12/37
dapat digunakan pada berbagai tpe organisasi yang berbeda. Persoalannya, apakah asumsi
yang digunakan untuk menganalisis kinerja suatu kelompok dapat diterapkan pada
kelompok lain yang berbeda sifat dan karakternya. Model yang cocok untuk gugus tugas
penjualan belum tentu cocok untuk diterapkan pada kelompok petani atau operator pabrik.
Meski pada tataran abstrak model heuristic dapat diterapkan untuk berbagai type
kelompok yang berbeda, namun pada tataran praktikal kondisinya sungguh berbeda. Pada
kelompok petani atau operator pabrik, keberadaan peralatan, rancangan teknologi dan
kondisi lingkungan kerja mendominasi perilaku kelompok. Dalam konteks oerator pabrik,
keberadaan teknologi menentukan struktur kelompok. Oleh karenanya, untuk dapat
memahami efektivitas kelompok, mesti dapat dibuat model dalam konteks teknologi
tertentu, bukan dalam kontek kelompok yang sangat umum.
Teknologi dalam konteks model dimaksud di atas terdiri dari empat komponen:
peralatan, material, lingkungan fisik, dan program yang digunakan dalam mengubah suatu
objek dari suatu keadaan menjadi bentuk atau keadaan lainnya. Keempat komponen ini
menentukan pola dan hambatan bagi aktivitas kelompok.Untuk mengembangkan model
kinerja kelompok yang dapat hidup terus diperlukan pemahaman terhadap sistem
teknologi. Technological model digunakan untuk analisis efektivitas kelompok pada suatu
organisasi yang menggunakan teknologi tertentu. Jika pada heuristic model produktivitas
merupakan fungsi teknologi (modal) dan pekerja (labor), pada technological model, masih
diperlukan variabel independen yang mencerminkan kondisi teknologi yang dipakai oleh
kelompok. Dalam kasus kelompok operator pabrik, misalnya, dibutuhkan spesifikasi rinci
bagaimana peralatan, lingkungan fisik, dan tenaga kerja akan mempengaruhi kinerja. Ada
berbagai cara untuk menjelaskan spesifikasi peralatan: kapasitas (berapa banyak
kemampuan produksi), availability (berapa lama Mean Time Between Failure-nya).
Demikian halnya dapat digunakan ukuran type peralatan yang dapat mempengaruhi
produksi dan perbedaan peralatan yang satu dengan lainnya dalam mendukung kegiatan
produksi. Dari berbagai spesifikasi teknologi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa peralatan
mempunyai pengaruh langsung terhadap produksi. Pada intinya, pemahaman terhadap
teknologi yang digunakan oleh suatu kelompok dapat membantu untuk menjelaskan
mengapa suatu kelompok memiliki kinerja lebih baik dari kelompok lainnya.
Bila di suatu organisasi terdapat beberapa kelompok, interaksi antar kelompok,
kepemimpinan kelompok, dan ketrampilan menjalankan tugas atau perannya pada masing
– masing kelompok akan berkorelasi terhadap kinerja kelompok dan seterusnya terhadap
Dinamika Kelompok 13/37
kinerja organisasi (Kolodny and Kigundu, 1980). Namun demikian, pada umumnya tidak
dijelaskan bagaimana antar variabel tersebut berhubungan satu dengan lainnya sehingga
dapat mempengaruhi kinerja kelompok dan organisasi. Permasalahan ini dapat dijawab
menggunakan konsep interaksi antar – kelompok dalam organisasi. Teknologi yang
digunakan oleh kelompok kerja terdiri dari seperangkat komponen yang kompleks, ada
berbagai kombinasi dari komponen ini yang dapat disusun untuk menghasilkan produk
yang sama. Dua organisasi dapat memiliki teknologi yang sama, namun variasi dalam
perawatan atau kebijakan inventory dapat berujung pada perbedaan pembatasan perilaku
kelompok, dan bagaimana kelompok menghadapi pembatasan – pembatasan ini dapat
berujung pada perbedaan efektivitas kelompok. Dalam hal lain, perbedaan organisasi
menciptakan perbedaan konteks di mana kelompok kerja beraktivitas. Perbedaan konteks
dapat disebabkan oleh karena perbedaan filosofi manajemen, sistem penghargaan, dan lain
sebagainya. Konteks di dalam organisasi akan mempengaruhi efektivitas kinerja kelompok
– kelompok di dalam organisasi tersebut.
Untuk dapat memahami efektivitas kelompok, perlu disepakati terlebih dahulu
pengertian efektivitas kerja-kelompok (work-group effectiveness). Di antara para peneliti,
belum ada kepakatan mengenai definisi baku efektivitas kerja-kelompok.
Mengindentifikasi dimensi efektivitas tidak sama dengan mendefinisikan efektivias.
Untuk mendefinisikan efektivitas perlu dibuat spesifikasi acuan (referent) sebagai
pembanding dan faktor pembatas (constraints) yang relevan (Goodman, 1986). Persoalan
berikutnya berkaitan dengan domain efektivitas, dimensi apa yang harus dikaji? Dari sudut
pandang anggota kelompok, kepuasan atas tercapainya kebutuhan mereka dapat menjadi
kriteria salah satu kriteria dalam menentukan dimensi yang perlu dikaji. Goodman (1986)
menyebut luaran kelompok (group output) dapat digunakan sebagai kriteria efektivitas,
sementara Fry & Socum (1984) menunjuk komitmen organisasi dan rating kinerja
supervisor. Sementara Argote (1982) memilih promptness of care, quality of nursing care
dan quality of medical care,dan sebelumnya Middlemist & Hill (1981) menggunakan
kepuasan pelanggan, kecepatan layanan, penanganan komplen, efisiensi dan 23 item
lainnya sebagai kriteria untuk mengetahui efektivitas kelompok. Poin yang ingin
dikemukakan melihat efektivitas hanya dari perspektif kerja-kelompok atau hanya dari
perspektif satu konstituen saja akan menghasilkan bias di dalam pengujian. Isu – isu lain
berkenaan dengan arti efektivitas antara lain dimensi waktu, dan hubungan antara
determinan efektivitas dan ukuran efektivitas.
Dinamika Kelompok 14/37
1. 6. Ancaman-Ancaman Terhadap Efektifitas Group
Teamwork sangat bermanfaat. Meskipun begitu ada juga ancaman-ancamannya.
Cook dan Hunsaker (2001:347) mencatat empat ancaman. Pertama, penyesuaian diri yang
tidak tepat (inappropriate conformity). Banyak anggota yang sadar bahwa menyetujui
begitu saja kebijakan-kebijakan team adalah kebodohan. Tapi tidak banyak yang berani
menentang keputusan itu karena bisa dicap memperjuangkan pandangan pribadi. Kedua,
groupthink phenomenon. Ini adalah keadaan di mana ada tekanan yang sangat kuat bagi
adanya konsesi untuk menerima pendapat figur yang dominan. Menghindari bahaya ini
pemimpin harus netral, mendorong adanya pertimbangan kritis, membuka peluang bagi
ide baru, meminta pertimbangan orang di luar tim. Ada delapan gejala groupthink (Janis
1982).
1. Ilusi kedigjayaan dari group. Anggota group merasa tim mereka tak terkalahkan, sehingga
boleh melakukan apa saja (ambil contoh kasus Pearl Harbor).
2. Collective rationalization. Menolak data yang bertentangan atau memikirkan secara
saksama alternatif yang tidak menyenangkan (umpamanya meremehkan peringatan dini
dari insinyur tentang ring-O dalam bencana pesawat bolak-balik Challenger).
3. Ilusi moralitas group. Anggota tim merasa tindakan mereka benar secara moral dan tepat
dari perspektif agama (perang agama atau etnis antara Arab dan Yahudi, Serbia, Kroasia).
4. Stigma (stereotype) mengenai rival. Melihat saingan sebagai yang lemah, bodoh dan iblis
(sikap komunis terhadap kapitalis)
5. Tekanan membuat konsesi. Tekanan untuk penyesuaian pada satu anggota yang
menyarankan alternatif lain, atau analisa tim keliru (kepala polisi Los Angeles memukul
Rodney King karena orang banyak menuntut begitu padahal kepala polisi berpikir bahwa
itu hal yang keliru).
6. Menyensor diri sendiri (self-censorship). Anggota enggan memberi pertimbangan karena
berseberangan dengan opini umum semua anggota.
7. Ilusi kesepakatan. Keyakinan bahwa semua setuju dan menerima konsensus yang
prematur.
Dinamika Kelompok 15/37
8. Sikap mengelak (mind guarding). Anggota tim mencegah group untuk mendengar ide lain
yang mengganggu atau pertimbangan dari orang luar yang netral.
Ketiga, kemalasan sosial (social loafing). Ini adalah kebiasaan untuk melakukan
sedikit saja pekerjaan kalau ada dalam tim dibanding kalau bekerja secara individu
(Somech dan Anit, 1996). Sikap ini timbul kalau: 1) Seseorang berpikir bahwa anggota
group lain tidak memberi kontribusi maksimal; 2) Anggota berpendapat bahwa inputnya
tidak diperhatikan; dan 3) Jika tugas dinilai tidak penting atau membosankan (Greenberg
dan Baron, 2003:287). Ada beberapa solusi untuk mengubah social loafing jadi social
facilitation. Pertama, ciptakan mekanisme agar kontribusi tiap anggota teridentifikasi.
Kedua, jadikanlah tugas itu menarik dan penting. Ketiga, berilah reward bagi individu
untuk kontribusi mereka. Keempat, terapkan mekanisme pemberian sangsi (Greenberg dan
Baron, 2003:285).
Keempat, komposisi anggota (group composition). Group yang komposisi
anggotanya heterogen memiliki keanekaan pengalaman, informasi, dan pendapat yang
berguna untuk memperbesar efektivitas pemecahan masalah (Greenberg dan Baron,
2003:288). Dalam tim yang mixed-gender, laki-laki lebih agresif menginterupsi
perempuan. Ini berakibat pereduksian power dan pengaruh bagi kaum Hawa. Bahkan akan
makin buruk kalau perempuan menduduki posisi yang mulanya didominasi para pria
(Cook dan Hunsaker, 2001:352). Pemimpin group harus bijak untuk mencegah adanya
diskriminasi dan kekerasan seksual (Cook dan Hunsaker, 2001:353).
1.7. Kemalasan Sosisal versus Fasilitasi Sosial
Studi yang dilakukan oleh Erez dan Someh (1996) melaporkan ada empat penyebab
kerugian (loss) kinerja kelompok: ketegasan sasaran (goal specificity), komunikasi
(communication), perangsang untuk tercapainya sasaran (incentives for goal attainment),
dan tinggi rendahnya rasa kebersamaan (high versus low cultural collectivism). Meski
komunitas bisnis dunia barat telah menunjukkan tumbuhnya minat terhadap kerja
kelompok, namun sejumlah riset membuktikan bahwa kerja tim tidak senantiasa
meningkatkan efektivitas organisasi. Bahkan beberapa pakar menyatakan orang – orang
yang bekerja bersama cenderung untuk berkinerja tidak lebih baik dibandingkan bila
mereka bekerja sendiri – sendiri, meskipun ketika mereka bekerja diawasi (Gabrenya,
Latane, & Wang, 1983; Latane, Williams, & Harkins, 1979). Fenomena individu
Dinamika Kelompok 16/37
mengurangi upayanya dalam bekerja ketika mereka digabungkan dalam kelompok
dibandingkan bila mereka bekerja sendiri disebut kemalasan sosial / social loafing
(Levine, Resnick, Higgins, 1993; Shepperd, 1993). Perilaku kemalasan sosial ini
berdampak kuat dan menjadi ciri umum pada berbagai tugas dan populasi pekerjaan.
Namun demikian sejumlah keadaan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya
kemalasan sosial, antara lain ketika individu bekerja dalam kelompok yang saling
mengenal satu sama lain, atau ketika seluruh anggota kelompok mengetahui dengan jelas
standar kinerja yang duharapkan, dan ketika kinerja masing – masing anggota kelompok
dapat dievaluasi. Kemalasan sosial juga cenderung tidak terlihat jelas ketika tugas – tugas
individu dalam kelompok memiliki arti bagi dirinya, mereka tidak merasa bahwa masukan
yang disampaikan tidak berlebih – lebihan (redundant), tidak ada yang merasa ada orang
lain yang memanfaatkan orang lain, dan adat atau budaya yang tumbuh di dalam
kelompok menunjang eksistensi kelompok. Permasalahan yang sering dihadapai adalah
apakah kemalasan sosial ini merupakan aturan atau pengecualian, mengingat semua
kelompok dalam organisasi terdiri dari individu yan bekerja bersama – sama dan berusaha
saling mengerti satu dengan lainnya.
Kemalasan sosial dipengaruhi dua hal, motivasi dan kinerja anggota kelompok
lainya. Sebagai anggota kelompok, seseorang seringkali berkeyakinan bahwa selalu ada
anggota kelompok lainnya yang bersedia berupaya untuk mencapai sasaran kelompok,
sehingga menjadikan upaya dirinya sendiri menjadi tidak diperlukan atau tidak penting.
Fenomena seperti ini disebut free-rider effect (Kerr, 1983). Di sisi lain, potensi terjadinya
ketidak-adilan dalam kontribusi dapat muncul ketika seseorang memberi kontribusi lebih
besar dari anggota kelompok lainnya. Untuk mencegah seseorang menjadi kontributor
tunggal ketika tidak ada seorang pun yang bersedia melakukan tugas kelompok (sucker),
individu mengurangi upaya kontribusinya sehingga merugikan kinerja kelompok secara
keseluruhan (kerr & Bruun, 1983; Kidwell & Bennett, 1993).
Namun demikian dalam situasi di mana seseorang bekerja di tengah – tengah
kehadiran orang lain, pada kenyataannya, dapat meningkatkan level kinerja dibandingkan
bila bekerja sendirian. Perilaku semacam ini disebut fasilitasi sosial (Social Facilitation),
merupakan perwujudan motivasi seseorang untuk menjaga citr apositif dirinya di hadapan
orang lain, khususnya bila orang lain tersebut dianggap sebagai penguji. Tiga faktor yang
mempengaruhi terjadinya sosial facilitation effect: kehadiran orang lain (presence of
others), ketakutan akan penilaian (evaluation apprehension) , dan motivasi untuk menjaga
Dinamika Kelompok 17/37
citra diri yang positif (motivation to maintain a positive self-iamge). Ketakutan akan
penilaian akan meningkat bila ada ukuran yang jelas tentang kinerja, diterapkannya
standar atau norma di mana kinerja dapat dibandingkan, dan diberikan umpan balik
(Guzzo & Shea, 1992; Pritchard, Jones, Roth, Stuebing & Ekberg, 1988). Keberadaan
ukuran kinerja dan standar kinerja memfasilitasi evaluasi kelompok dan meningkatkan
kinerja kelompok (Harkins & Szymanski, 1989). Kemalasan diminimalisasi dengan
meningkatkan kontribusi anggota yang dapat diidentifikasi dan bersifat unik, serta dengan
mingkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab personal (George, 1992; Wagner, 1995;
Weldon & Gargano, 1988; Weldon & Weingart, 1993).
Pemberian insentif disebut dapat menguatkan kembali upaya pencapaian sasaran dan
umpan balik. Pada umumnya individu akan lebih bertanggung jawab terhadap sasaran
yang harus dicapainya bila diperolehnya sasaran tersebut menghasilkan penghargaan
(Locke & Latham, 1990). Ada tiga type penghargaan yang dipercaya dapat mengatasi
kemalasan sosial: penghargaan dalam bentuk manfaat ekonomi (dapat berbentuk uang atau
lainnya) bagi kelompok yang mencapai sasaran; penghargaan sosial, keanggotaan
kelompok dan status; dan penghargaan untuk diri sendiri yang dialami ketika suatu tugas
sangat menarik dan kinerja individu merupakan nilai (value) yang diharapkan. Kemalasan
sosial dapat dihilangkan ketika seluruh anggota suatu kelompok hadir, bekerja bersama,
berkomunikasi satu dengan lainnya, memiliki sasaran kinerja dan standar tertentu, dan
tercapainya sasaran selalu dikutakn kembali. Namun demikian kemalasan sosial masih
dapat terjadi dalam kondisi tertentu yang tidak mengijinkan individu untuk
mengembangkan keterpaduan (cohesiveness) dan kesadaran (awareness) bersama; atau
ketika kelompok dibentuk untuk tujuan sementara atau berada dalam tahap awal
pembentukan.
1.8. Pengaruh Budaya
Pemahaman terhadap budaya yang melatari dinamika kelompok diperlukan dalam
upaya memahami efek kemalasan sosial. Early (1989) menunjukkan bahwa anggota
kelompok yang memegang tinggi nilai – nilai kebersamaan tidak menunjukkan kemalasan
dan memberi kontribusi kepada kinerja kelompok, sementara mereka yang berasal dari
tradisi individualistik menyukai kemalasan (loafed), khususnya ketika mereka tidak
memegang tanggung jawab pribadi dalam mencapai kinerja kelompok. Alasan yang
Dinamika Kelompok 18/37
menjelaskan mengapa social loafing tidak terjadi di masyarakat yang menjunjung tinggi
kebersamaan – seperti di China dan Israel – adalah karena mereka menempatkan sasaran
kelompok dan karya bersama di atas kepentingan pribadi. Sebaliknya, individualis
termotivasi oleh keuntungan personal, dan oleh karenanya kontribusi kepada kelompok
tidak konsisten dengan kepentingan pribadi, kecuali jika mereka memegang akuntabilitas
dan tanggung jawab pribadi terhadap tercapainya sasaran kelompok. (Farley, 1989, 1993).
Perilaku kerjasama kolektif tidak bergantung pada ukuran kelompok atau dapat tidaknya
individu diidentifikasi, namun demikian perilaku kooperatif pada individu lebih banyak
diamati pada kelompo kecil dari pada kelompok besar, dan ketika mereka dapat
diidentifikasi secara personal (Wagner, 1995).
Masyarakat yang hidup dalam lingkungan budaya yang berbeda menggunakan
konsep kolektivitas atau individualitas untuk mengevaluasi keinginan mengikatkan diri
pada anggota kelompok lainnya serta pengaruhnya pada gagasan menyejahterakan dirinya
(Erez, 1994). Dalam budaya kolektif perbedaan antara diri sendiri dan orang lain sangat
tipis. Markus & Kitayama, (1991); dan Triandis, (1989) mengemukakan masyarakat
kolektif lebih menekankan pada pentingnya memerhatikan persamaan dengan anggota
kelompok lainnya, pemikiran dan perasaan yang dialami kelompok, dan menganggap
dirinya akan memperoleh manfaat jika kelompoknya juga mendapatkan manfaat
(interdependent self). Sebaliknya dalam budaya individualistik ada perbedaan yang jelas
antara diri sendiri dan orang lain, dan pemahaman yang dianut agar individu menjadi tidak
bergantung dari orang lain, menemukan atau mengekpresikan atribut dirinya yang unik.
Esensi nilai – nilai individualistik melibatkan konsepsi diri sendiri sebagai insan otonom,
dan sebagai manusia bebas yang kemudian menuju pada konsep “kebebasan diri sendiri”
(independent self). Satu kenyataan yang perlu disadari, manusia sebagai makhluk sosial
memiliki kedua karakter ini: kebebasan diri sendiri dan sekaligus ketergantungan terhadap
anggota kelompok lainnya (interdependent). Persoalannya, budaya dan nilai yang
dipegang oleh individu akan menentukan salah satu yang akan menjadi dominan.
Independensi dan interdependensi individu mempengaruhi kerja kelompok dan
peluang untuk memberi kontribusi kepada kinerja kelompok secara berbeda. Pada individu
yang memegang prinsip kebebasan diri sendiri, kontribusi kepada kelompok akan terlihat
menonjol bila individu tersebut secara pribadi akuntabel terhadap kinerja kelompok dan
ketika kontribusinya kepada kelompok dapat diidentifikasi atau dievaluasi. Di pihak lain,
interdependent self lebih terbiasa dengan evaluasi oleh orang lain khususnya yang menjadi
Dinamika Kelompok 19/37
sesama anggota kelompoknya. Nilai – nilai budaya membentuk apakah seseorang menjadi
independent dan interdependent self. Kedua perilaku sosial ini berperan sebaai kriteria
untuk mengevaluasi kontribusi, dan motivasi seseorang dalam partisipasinya di dalam
dinamika kelompok.
Dinamika Kelompok 20/37
BAB 2
GROUP DAN TIM
2. 1. Definisi
Dalam bab terdahulu digunakan kata group dan tim (kelompok) secara bergantian,
seolah-olah kedua ungkapan itu sinonim adanya. Tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Memang ada kesamaan antara group dan tim, tetapi seiring dengan kesamaan ada juga
perbedaan antara kedua ungkapan tadi. Bab ini dimaksudkan untuk membahas persoalan
tadi secara lebih rinci.
Definisi tentang group sudah dijelaskan di muka, yaitu pertemuan secara reguler
dari dua atau lebih orang yang berbeda tetapi ingin berbagi pengalaman, saling memberi
dan menerima pengaruh untuk waktu yang lama, dan bekerja bagi tujuan bersama.
Anggota group berbagi informasi, membuat keputusan, menolong satu sama lain, tetapi
mereka memroduksi output dalam tanggung jawab individu. Satu hasil dari work group
adalah buah dari apa yang dikerjakan oleh anggotanya secara individu. Group terdiri dari
individu-individu yang bekerja bersama. Mereka tidak selamanya harus membentuk diri
dalam satu tim (Cook dan Hunsaker, 2001:339).
Sebaliknya, tim merupakan satu tipe group yang dapat didefinisikan sebagai
sejumlah kecil orang (a small number of people) dengan ketrampilan (skill) yang saling
melengkapi, yang berkomitmen pada satu maksud bersama, mengarah pada tujuan yang
tertentu, dan pendekatan yang serupa yang mengikat-satukan mereka dalam tanggung
jawab secara mutual. Satu tim ambil bagian dalam pekerjaan kolektif yang dihasilkan
lewat usaha yang terkoordinasi sehingga hasilnya melebihi usaha individu, tetapi buah dari
adanya sinergi. Anggota tim bertanggung jawab bagi pelaksanaan tugas-tugas baik sebagai
individu maupun sebagai group (Cook dan Hunsaker, 2001:352).
Singkat kata, group menunjuk pada kesatuan orang-orang yang tiap-tiap anggota
bekerja sendiri-sendiri untuk tujuan bersama, sedangkan tim adalah kesatuan orang-orang
di mana tiap anggota secara bersama-sama melakukan pekerjaan yang sama untuk tujuan
bersama. Tim lebih bersifat work group yang permanen (Greeberg dan Baron, 2003:293).
Anggotanya memiliki tujuan yang sama dan saling membutuhkan, dan bertanggung jawab
bersama sebagai satu unit fungsional dalam satu keseluruhan (Greeberg dan Baron,
2003:273). Iktisar lengkap tentang beda group dan tim dapat dilihat dalam tabel berikut ini
(Cook dan Hunsaker, 2001:357).
Dinamika Kelompok 21/37
Group Kriteria Tim
Ditetapkan secara formal Kepemimpinan Kolektif
Individu Tanggung jawab Kolektif dan individu
Gabungan dari hasil kerja individu Pelaksanaan tugas Kolektif dan sinergi
Berbeda-beda Ketrampilan Kolektif saling melengkapi.
2. 2. Tipe -Tipe Tim
Sedikitnya ada tiga tipe tim (Drucker, 1998). Pengelompokan ini dibuat
berdasarkan perbedaan dalam struktur, persyaratan kelakuan bagi anggota, kekuatan,
ancaman, keterbatasan, dan persyaratan-persyaratan (Greeberg dan Baron, 2003:293). Tipe
pertama mirip dengan group (Cook dan Hunsaker, 2001:357). Tiap anggota ada dalam
tim secara nominal, tetapi tidak bergantung secara langsung atau berinteraksi satu sama
lain untuk mencapai tujuan. Tiap anggota memiliki posisi dan spesialisasi yang tetap yang
hanya bisa ditempati mereka saja. Hasil kerja tim adalah gabungan dari karya individu-
individu tadi. Contoh tim tipe ini ada track team atau tim badminton. masing-masing
anggota harus bertarung sendiri-sendiri untuk keberhasilan tim (Greeberg dan Baron,
2003:293)..
Tipe kedua adalah seperti tim sepak bola. Tiap pemain punya posisi yang tetap dan
pasti, tetapi mereka perlu membangun koordinasi sebagai sebuah tim. Tiap anggota
bekerja secara individu tetapi juga dalam koordinasi satu sama lain (Cook dan Hunsaker,
2001:357). Contoh lain dari tipe ini adalah symphony orchestra atau unit gawat darurat
dalam sebuah Rumah Sakit.
Tipe ketiga adalah seperti tim ganda dalam permainan tenis. Tiap pemain
menempati posisi yang primer dan wajib melengkapi penampilan rekannya dengan
menyesuaikan diri dengan kekuatan dan kelemahan rekannya serta situasi yang terus
berubah (Greeberg dan Baron, 2003:293)..
Tiga tipe tim di atas dilihat dari sudut pandangan kebutuhan perilaku anggota
(member behavior requirements). Selain itu, ada juga tiga tipe tim kalau dilihat dari sudut
pandangan sasaran yang ingin dicapainya (objectives). Ketiga tipe itu adalah: tim yang
merekomendasikan sesuatu, tim yang melakukan sesuatu, dan tim yang mengendalikan
sesuatu (Cook dan Hunsaker, 2001:357). Pertama, tim yang merekomendasikan sesuatu.
Tim ini bersifat temporer, akan segera dibubarkan setelah menganalisa persoalan,
merekomendasikan solusi, dan memformulasikan rencana aksi (action plans) untuk
diimplementasikan pihak lain. Kedua, tim yang mengerjakan sesuatu. Ini tim yang
Dinamika Kelompok 22/37
permanen dan bertanggung jawab untuk menciptakan aktivitas yang memberi nilai tambah
yang berkelanjutan bagi organisasi seperti marketing, sales, dan service (Cook dan
Hunsaker, 2001:358). Ketiga, tim yang mengendalikan sesuatu. Anggotanya adalah para
top manajer dari satu organisasi (Cook dan Hunsaker, 2001:359). Tim ini bertanggung-
jawab menetapkan misi, tujuan, strategic plan, dan operation procedure dari organisasi.
Mereka juga melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang dilaporkan kepada mereka
untuk memastikan implementasinya dan hasil yang diharapkan. Tim ini mengendalikan
pada tingkat atas, mulai dari aras organisasi secara keseluruhan, sampai pada divisi dan
departemen, serta program bagi kelanjutan aktivitas.
2. 3. Norma-Norma Group
Group juga mengembangkan harapan-harapan bersama yang disebut norma.
Mengenai pertanyaan: apa itu norma? Jawaban yang diperoleh sangat bervariasi.
Kejamakan dari definisi tentang norma yang diberikan oleh para peneliti dicantumkan
dalam daftar definisi yang bersumber pada Goodman, et al., (1987:152) seperti yang
tertera di bawah ini..
Untuk mempermudah pembahasan dalam paper ini, norma didefinisikan sebagai
harapan-harapan mengenai perilaku yang cocok bagi individu maupun kolektif yang
disepakati bersama oleh tiap anggota. Fungsi dari norma ialah mempertinggi fungsional
role dan meminimalkan dysfungsional role di dalam group. Jadi norma menggariskan
bentuk-bentuk tindakan yang harus dilakukan dalam group (Goodman, et al., 1987:152).
Nama Peneliti Definisi Norma
Thibaut & Kelley (1959)
Norma adalah beberapa pola tingkah-laku interaksi yang
dikembangkan antara dua atau lebih orang.
McGrath & Altman (1965)
Norma merupakan kelakuan yang diantisipasi dan diharapkan oleh
group dari anggota-anggotanya.
Katz & Kahn (1978) Norma adalah kepercayaan umum mengenai satu tipe evaluasi
yang membentuk adanya sindrom koheren dan saling berkaitan.
Norma menunjuk pada kelakuan yang diharapkan yang ditetapkan
oleh sistem sehingga menjadi sebuah kewajiban yang harus ditaati.
Steers (1981)
Norma adalah standard yang dimiliki bersama oleh setiap anggota
dan bersifat mengatur kelakuan anggota-anggotanya.
Hellreigel et al (1983) Norma disetujui secara umum sebagai kelakuan standard yang ada
Dinamika Kelompok 23/37
sebagai hasil dari interaksi yang berkelanjutan dari anggota-
anggota kelompok.
McGrath (1984) Norma adalah rangkaian harapan-harapan tentang apa yang
seseorang harus lakukan dalam satu kondisi tertentu. Pelanggaran
terhadap norma itu dikenakan sangsi.
Norma-norma ini bisa muncul secara serentak dan juga bertahap. Ia mempunyai
pengaruh yang penting sekali bagi group, seperti mempertahankan keberadaan group,
memperbaiki kelakuan yang diharapkan dari anggota, menjamin kepuasan anggota,
menjaga nilai-nilai yang penting bagi identitas group, dan mencegah adanya persoalan-
persoalan interpersonal yang memalukan. Tipe-tipe norma ada dua: norma formal dan
norma informal (Cook dan Hunsaker, 2001:346). Yang pertama tercantum dalam bentuk
tertulis yang harus ditaati semua anggota. Yang kedua, biasa berkembang dalam
pengalaman anggota group.
Tipe norma yang paling biasa dalam kebanyakan work group yakni performance-
related process. Ia memberi bimbingan tentang bagaimana harus bekerja keras,
melaksanakan satu tugas, berapa banyak harus melakukan produksi, dan bagaimana
berkomunikasi. Juga ada norma mengenai penampilan, misalnya menggunakan atribut
standar, menyibukkan diri, loyal kepada perusahaan. Juga tipe norma informal social
arrangement yang menggariskan dengan siapa kita boleh membuat joke, makan siang
bersama, dan menunjukkan sikap persahabatan. Tipe terakhir ialah norma yang mengatur
allocation of resources seperti, siapa yang harus menyajikan kopi, siapa yang melakukan
tugas yang berat, dan siapa memperoleh fasilitas kantor yang baru (Cook dan Hunsaker,
2001:346).
Sejarah lahirnya norma-norma informal ini juga bervariasi. Pernyataan lisan dari
supervisor dapat didefinisikan sebagai rule yang perlu diperhatikan. Kondisi kritis juga
menjadi preseden penting yang membentuk norma (Kreitner dan Kinicki, 2004:442).
Misalnya keteledoran menceritakan rahasia group yang merugikan, bisa jadi titik
berangkat untuk membuat norma baru guna melindungi group dalam situasi serupa di
masa depan. Ada juga norma yang bertolak dari jenjang kepangkatan (primacy). Misalnya,
siapa yang harus duduk di kursi depan pada saat rapat. Ada juga norma yang terbawa dari
organisasi yang lain (carry-over behaviors). Misalnya sikap siswa terhadap dosen di kelas,
terbawa juga pada saat berada di tempat pesta. Supaya norma-norma ini ditaati sebagai
pedoman dalam group maka cara yang ditempuh ada dua. Pertama, memberi apresiasi
Dinamika Kelompok 24/37
kepada mereka yang menaatinya. Kedua, mengenakan sangsi bagi mereka yang
mengingkarinya (Cook dan Hunsaker, 2001:346).
Dalam proses pertumbuhan group akan menjadi jelas siapa yang paling memberi
kontribusi bagi produktifitas dan popularitas group. Mereka akan mendapat respek dan
diberi status lebih oleh yang lain. Pada awal pembentukan group status dan respek
diberikan kepada orang-orang berdasarkan status orang itu yang berasal dari hal eksternal
seperti pendidikan, income, pekerjaan, dan gelar. Tapi pola pemberian status itu akan
berubah berdasarkan peran tiap orang dan kontribusinya bagi tujuan group. Status tertinggi
diberikan pada mereka yang memberi banyak bagi keberhasilan group. Status paling
rendah menjadi bagian mereka yang mengancam keamanan dan integritas group
(Goodman at al., 1987:153).
2. 4. Dari Group Menjadi Tim
Menjadi tim kerja yang efektif dan memiliki high performance tentu jadi cita-cita
setiap group. Untuk itu empat butir ini perlu diperhatikan, yakni: a). Common value,
anggota group perlu memiliki core value yang memperkuat tanggung jawab kolektif untuk
mendukung output hasil kerja sama semua anggota; b). Dukungan dari kondisi dalam
organisasi, sebuah tim bekerja baik jika tersedia dukungan (support) dari manajemen,
team leader yang trampil dan dapat memberi waktu dan menunda produktifitas agar tim
belajar bekerja bersama; c). Anggota tim yang trampil dan saling melengkapi untuk
melakukan tugas-tugas tim; dan d). Peran tim sejalan dengan preferensi anggotanya.
Dinamika Kelompok 25/37
BAB 3
TEAM BUILDING
3.1. Pengantar
Yang dimaksudkan dengan team building adalah satu upaya bersama yang
bertujuan mempertinggi fungsi-fungsi internal dari satu work group. Makin tinggi fungsi-
fungsi internal dari satu tim, kinerja tim itu makin baik dan efektif. Upaya ke arah itu
mencakup upaya mempelajari teknik-teknik eskperimental seperti interpersonal trust
exercise, latihan manajemen konflik melalui satu permainan simulasi, atau membangun
dialog yang interaktif di antara anggota.
Hasil survey mencatat delapan atribut dari sebuah tim yang punya kinerja yang
baik dan efektif (Kreitner dan Kinicki, 2004:471)
1. Kepemimpinan partisipatif. Terdapat interdependensi antar-anggota dengan jalan
penguatan kapabilitas anggota (empowering), memberi kebebasan berkreasi dalam
koridor misi dan goal organisasi, serta pelayanan kepada orang lain.
2. Tanggung jawab bersama. Dibangun atmosfir di mana semua anggota merasa
memiliki tanggung-jawab yang sama seperti manajer dalam mengefektifkan unit
tugas di mana ia berada.
3. Berkiblat pada tujuan. Memiliki kepedulian terhadap tujuan bersama yang
mendasari keberadaan tim dan fungsi-fungsi yang dilakukannya.
4. Kominikasi tinggi. Adanya keterbukaan, saling mempercayai dan komunikasi yang
jujur.
5. Berorientasi ke depan. Melihat perubahan sebagai kesempatan untuk bertumbuh.
6. Berkonsentrasi pada tugas. Menjaga agar rapat atau pertemuan tim fokus pada
hasil yang ingin dicapai.
7. Bakat kreatif. Menerima dan mendaya-gunakan talenta dan kreatifitas individu.
8. Respons segera. Mengidentifikasi dan bertindak cepat dan tepat waktu.
3.2. Peran Seorang Group Leader.
Efektifitas satu tim bergantung pada dua hal. Pertama, skill dari anggota-
anggotanya. Kedua, kemampuan leader untuk memfasilitasi proses. Sebagai contoh,
anggota group yang berstatus lebih rendah biasanya tunduk pada anggota dengan status
yang lebih tinggi, betapa pun ide yang mereka ajukan briliant. Peranan group leader
Dinamika Kelompok 26/37
penting di sini. Ia harus meyakinkan semua anggota bahwa mereka bebas untuk memberi
kontribusi bagi group (Cook dan Hunsaker, 2001:355). Di sini group leader berperan
menciptakan suasana kerja sama di mana semua pendapat didengar dan dievaluasi
sebelum dicapai keputusan. Kalau group leader tidak menyadari dinamika dalam proses
ini atau tidak berperan efektif sebagai fasilitator kohesi, group dapat mengalami deadlock
bahkan akan terjadi ancaman bermalas-malasan dan groupthink sebagaimana yang sudah
diuraikan terdahulu.
Salah satu wadah strategis yang harus dikelola dengan baik oleh group leader
untuk membangun tim yang solid adalah rapat (meeting). Memang ada banyak joke
tentang inefektivitas dan inefisiensi dari meeting. Tapi itu semua bergantung pada
manajemen meeting yang dikelola oleh group leader (Cook dan Hundsaker, 2001:354). Di
bawah ini ada beberapa guidelines yang perlu mendapat perhatian seorang group leader
dalam mengefektifkan sebuah meeting (Cook dan Hundsaker, 2001:354).
1. Membagikan agenda sebelum rapat berlangsung. Ini menolong peserta untuk
mengetahui siapa bakal hadir, bagaimana mempersiapkan diri, dan sasaran yang
hendak dicapai.
2. Berkonsultasi dengan peserta sebelum rapat. Ini untuk meyakinkan bahwa semua
peserta sudah siap dan tidak melupakan hal-hal yang perlu.
3. Tetapkan alokasi waktu. Ini berguna agar menggunakan waktu secara efektif dan
peserta membuat agenda untuk kegiatan lain. Rapat harus mulai dan selesai on time.
4. Jaga diskusi tetap pada fokus. Interupsi, intermezo, dan pokok yang tidak relevant
harus dikesampingkan supaya percakan jadi terarah.
5. Beri dorongan dan dukungan agar semua peserta ambil bagian dalam diskusi. Idea
briliant biasanya ada di kepala peserta yang berdiam diri. Dia harus diberi dorongan
untuk berbicara.
6. Memberi kesempatan bagi adanya ide opposan. Berpikir kritis, disagreement yang
konstruktif, dan uji materi percakapan adalah penting untuk mencegah keputusan
premature.
7. Cegah terjadinya serangan terhadap pribadi tertentu. Serangan terhadap salah satu
peserta akan menimbulkan kemarahan dan permusuhan. Ini membuat meeting menjadi
ineffective.
8. Mendengar dengan empati sehingga memberi respons yang tepat.
9. Buatlah penutupan yang benar. Meeting perlu diakhiri dengan meringkas
Dinamika Kelompok 27/37
kesempakatan-kesepakatan dan menetapkan tindakan-tindakan follow-up
Selain mengendalikan meeting sebagai satu alat yang efektif untuk membangun
kekompakan tim group leader juga wajib membentuk group (forming groups). Yang
dimaksud dengan forming groups adalah upaya group leader mengubah group yang ada
dari keadaannya yang berantakan (breakdown) menjadi group yang efektif. Untuk tujuan
itu group leader perlu mengajak anggota-anggota guna kembali efektif dengan
mengajukan beberapa pertanyaan di awal pelaksanaan suatu pekerjaan (Cook dan
Hunsaker, 2001:355). Untuk mudahnya disebut tugas group leader ini dengan uangkapan
tugas 3W.1H.
W pertama adalah where are we going. Goal pribadi dan goal tim harus dijelaskan
sehingga tiap anggota memiliki visi, purpose, dan goal bersama. Prioritas yang realistis
harus diterangkan kepada tiap person sehingga masing-masing tahu bagaimana
berpartisipasi dalam tim dengan cara yang cocok dengan komitmen anggota yang lain.
W kedua menunjuk pada who we are. Anggota perlu berbagi cerita mengenai harapan
dan kepedulian mereka tentang bekerja dalam tim. Mereka juga perlu share kekuatan,
kelemahan, pekerjaan yang mereka sukai, nilai, keyakinan, keunikan masing. Ini perlu
diperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk meminimalkan konflik yang bakal
muncul.
W ketiga menyangkut soal where are we now. Anggota-anggota dapat menggunakan
kesempatan awal dan menetapkan situasi mereka pada saat itu (where are we now), dan
membandingkannya dengan goal yang akan mereka tujuan (where are we going).
H adalah inisial dari pertanyaan how will we get there. Ini mencakup penetapan
guidelines dalam bertindak, pengambilan keputusan, metode kerja, partisipasi,
pemecahan konflik, penyelesaian tugas dan kemajuan tim.
Dalam usaha ke arah team building, group leader juga perlu mengenal tipe-tipe
gejala yang kemungkinan dapat merusak integritas tim. Tipe paling umum terjadi adalah
kebiasaan anggota untuk curhat masalah-masalah dan ketidak-puasannya di luar group
dan bukan pada saat meeting. Gejala lainnya ialah kebergantungan yang berlebihan
Dinamika Kelompok 28/37
terhadap leader pada waktu satu anggota harus mengambil tindakan yang segera.
Keputusan yang tidak dilaksanakan juga mengindikasikan rendahnya komitmen pada
group goals. Produktifitas yang rendah dan kekecewaan juga mengisyaratkan adanya
konflik tersembunyi. Pertengkaran tanpa penyelesaiannya yang terjadi secara terbuka, serta
sikap penolakan perlu segera ditangani. Akhirnya, terbentuknya self-interesst group yang
lebih mementingkan pendapat group itu di atas kebutuhan unit secara total menunjukkan
rendahnya komitmen pada goals dari tim dan organisasi (Greenberg dan Baron, 2003:289-
291). Dan kalau keadaan ini terus berlanjut, itu menunjukkan bahwa the leader belum
berperan dengan baik.
Dalam kaitan dengan tersebut di atas, group leader perlu menciptakan kodisi
dalam tim sehingga tercipta apa yang oleh Manz dan Sims (1998) di sebut self-
management leadership. Ungkapan ini dipakai untuk mendeskripsikan proses memimpin
orang lain untuk dapat memimpin diri sendiri. Pemimpin yang berkarakter self-
management leadership, menurut kedua pakar tadi (Manz dan Sims, 1998) adalah
pemimpin yang berhasil membebaskan diri dari definisi klasik tentang kepemimpinan
yang cenderung bergaya seperti komandan, yakni memberi perintah dan mengawasi agar
semua dikerjakan sesuai order. Ini bukan gaya kepemimpinan yang efektif. Pemimpin
yang efektif, menurut mereka, ialah pemimpin yang melakukan tugas empowerment
(memampukan), dan bukan domination (mendominasi) (Kreitner dan Kinicki, 2004:472).
Ada enam komponen yang perlu dikembangkan oleh seorang pemimpin yang
berkarakter self-management leadership (Kreitner dan Kinicki, 2004:472). Pertama,
mendorong adanya self-reinforcement. Contohnya, membimbing anggota tim untuk saling
memberi apresiasi bagi pekerjaan yang baik dan hasil yang baik. Kedua, mendorong
adanya self-observation-evaluation. Misalnya melengkapi anggota tim untuk menilai
seberapa baik mereka telah mengerjakan sesuatu. Ketiga, mendorong adanya self-
expectation, anggota tim perlu dirangsang untuk mengharapkan kinerja yang tinggi dari
diri dan tim mereka. Keempat, mendorong self-goal-setting, menempatkan tim dan goal
yang dapat mereka capai sesuai kemampuan. Kelima, mendorong rehearsal, memotivasi
anggota tim untuk berpikir dan melakukan tugas-tugas yang baru. Keenam, mendorong
adanya self-criticism, memberdayakan anggota tim untuk bersikap kritis terhadap kinerja
buruk yang mereka sendiri ciptakan (Kreitner dan Kinicki, 2004:473).
Secara ringkas peran leader dalam membangun tim yang solid terurai dalam daftar
berikut (Katzenback & Smith, 1993). Tetapkan sasaran yang dapat dicapai dalam waktu
Dinamika Kelompok 29/37
segera. Pasti bahwa anggota mempunyai skill yang tepat untuk tugas tersebut. Tetapkan
standard kinerja yang dikehendaki dan tentukan arah kerja. Ciptakan rasa urgensi pada
meeting pertama. Aturan-aturan kerja harus jelas dan transparan. Pemimpin harus menjadi
teladan berkelakuan yang pantas. Anggota-anggota bekerja bersama sebagai tim dan juga
dalam suasana persaudaraan. Terus menerus memberi feedback dan reward kepada
anggota. Secara regular tim harus ditantang dengan proyek serta pemecahan masalah baru.
3. 3. Teknik Peningkatan Efektifitas
Dalam sebuah tim, betapa pun solid dan produktif selalu saja ada insiden di mana
konflik muncul di antara anggota-anggotanya. Group leader berperan di sini sebagai
penengah dalam rangka menjaga dan meningkatkan efektivitas tim. Tugas itu adalah
sebuah kebajikan. Hasil research mencatat ada teknik yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, teknik negosiasi peran (role negotiation technic) dari tiap anggota tim. Ini adalah
sebuah proses negosiasi antara anggota-anggota tim tentang siapa yang mempunyai
persoalan yang bersumber pada power dan otoritas (Cook dan Hunsaker, 2001:365).
Teknik ini dibuat untuk memfokuskan anggota tim bekerja berdasarkan work behavior dan
bukan perasaan pribadi satu sama lain.
Kedua, teknik memetakan tanggung jawab (responsibility charting). Perlu
diklarifikasi tentang siapa di dalam tim yang bertanggung-jawab untuk menentukan
keputusan dan tindakan tertentu dalam group. Dengan begitu tanggung-jawab tiap anggota
tim jelas. Ketiga, menjaga kepercayaan dan keterbukaan (Kreitner dan Kinicki, 2004:464).
Relasi antara pribadi antara anggota tim baru akan terjadi kalau tiap anggota sadar akibat
dari satu tindakannya terhadap anggota tim lainnya, serta bagaimana mengembangkan
kelakuannya secara produktif. Ada tiga cara untuk itu (Cook dan Hunsaker, 2001:360).
Pertama, sensitive training, yakni satu pertemuan tak terstruktur dan tanpa agenda
formal di mana tiap peserta membagi-bagi observasi dan feeling mereka tentang proses,
relasi, kekecewaan yang dipendam. Ini dapat menolong pengertian satu sama lain dan
memperbaiki kinerja tim. Kedua, proses inventarisasi kelakuan. Tiap orang mencatat
kelakuan dan karakter mereka untuk diketahui anggota tima lain. Ketiga, latihan dan
simulasi.
Dinamika Kelompok 30/37
BAB 4
TEORI ATRIBUSI
4. 1. Pengantar
Sejauh ini uraian mengenai dinamika kelompok mengedepankan banyak hal positif
yang berfaedah untuk mengidentifikasi dan mengembangkan kinerja dari individu-
individu di dalam organisasi demi membangun teamwork yang efektif. Tetapi satu
simptom (kasus) yang lolos dari perhatian, yaitu kinerja yang buruk dari seseorang dalam
melaksanakan satu tugas. Alasan bagi kinerja buruk dari seseorang cenderung
menyudutkan orang tersebut. Penilaian seperti ini dinamakan causal attribution. Jadi teori
atribusi adalah satu asumsi yang didasarkan atas anggapan bahwa orang mencoba
membawa masuk berbagai penyebab ke dalam perilaku yang diobservasi dan bukan
mencari penyebab di dalam obyek observasi itu (Kreitner dan Kinicki, 2004).
Adapun ciri dari teori causal attribution bersifat self-service dan diambil
mendahului observasi yang proporsional. Contoh aktual untuk itu seperti dikemukakan
Kreitner dan Kinicki (2004) sebagai berikut. "Joe suka minum karena dia tidak berdaya
terhadap godaan minum. Sedangkan saya minum setelah bekerja untuk rileks dan
melupakan stress selama siang di tempat kerja."
Tidak semua kelompok mampu menghasilkan kinerja yang baik. Pada umumnya
riset terdahulu melihat permasalahan ini dari sisi bagaimana reaksi supervisor terhadap
penurunan kinerja individu (Mitchell, Green, & Wood, 1981; Weiss & Shaw, 1979).
Penurunan kinerja seluruh kelompok kerja menjadi persoalan unik yang tidak ditemukan
dalam kasus – kasus kinerja buruk individu. Keunikan ini dihasilkan dari berbagai sifat
persoalan kinerja kelompok. Penurunan output atau kualitas kelompok berdampak serius
terhadap organisasi, Jika kinerja beberapa karyawan buruk, dampaknya akan lebih terasa
bagi organisasi dibandingkan bila hanya satu karyawan saja yang berkinerja buruk Selain
itu, penurunan kinerja kelompok dapat menjadi indikator dari adanya problem besar di
dalam organisasi, yang dapat disebabkan oleh berbagai hal.
Dalam banyak kasus, kinerja buruk kelompok akan dinilai sebagai kinerja buruk
supervisor dari pada individu anggota kelompok. Atribusi tentang penyebab buruknya
kinerja mempengaruhi kemampuan organisasi untuk mengelola produktivitas sumber daya
manusia secara efektif. Atribusi yang dibuat oleh supervisor untuk menjelaskan penyebab
permasalahan kinerja akan menentukan tindakan yang akan diambilnya untuk
Dinamika Kelompok 31/37
memperbaiki keadaan (Green & Mitchell, 1979). Jika atribusi difokuskan pada karyawan,
tindakan perbaikan akan berupa diskusi mencari solusi atau menerbitkan surat teguran.
Sebaliknya, jika atribusi fokus di luar karyawan, maka tindakan perbaikannya akan
melibatkan lingkungan kerja atau substansi tugas yang menjadi tangung jawab kelompok.
Atribusi yang akurat akan berujung pada tindakan perbaikan yang tepat pula. Ada dua
dimesi teori atribusi yang acap digunakan dalam diagnosa problem kinerja kelompok,
mereka adalah actor-observer differences (Jones & Nisbett, 1972) dan efek perbedaan
konsistensi, konsensus, dan isyarat informasi khusus pada atribusi pengamat (Kelley,
1967; MacArthur, 1972).
Kelley dan Weiner (Kreitner dan Kinicki, 2004) menunjukkan bahwa penilaian
seperti itu berdampak sangat kuat terhadap perilaku organisasi, karena bersifat destruktif.
Ia mencela (mencerca) orang yang melakukan sesuatu tanpa dasar yang kuat. Padahal
tidak semua penampilan buruk (poor performance) dari seorang karyawan bersumber dari
kekurangan atau ketidak-mampuan yang ada padanya. Kelley (1967) menolak pola
atribusi ini. Ia lalu mengembangkan satu model atribusi yang berguna untuk menilai dan
menyikapi poor performance dari seorang karyawan di dalam organisasi secara efektif dan
konstruktif.
4. 2. Model Atribusi Dari Kelley
Berdasarkan kerangka pemikiran yang digagas oleh Fritz Heider yang dikenal
sebagai ibu dari attribution theory, Kelley (1967) melihat dua faktor penyebab terjadinya
poor performance dari karyawan. Kedua faktor itu adalah internal factors. Ini
berhubungan dengan kemampuan karyawan. Dan external factors yang berkenaan dengan
tugas yang rumit untuk dikerjakan (Kreitner dan Kinicki, 2004).
Dalam membangun model atribusi itu Kelley (1967) menegaskan bahwa ada tiga
tipe informasi yang biasa dimanfaatkan orang dalam membuat atribusi. Ketiga tipe
informasi itu adalah consistensi, consensus, dan distinctiveness (Brown, 1984). Ketiga tipe
informasi ini bervariasi dan independen sehingga bisa menghasilkan berbagai bentuk
kombinasi atribut. Informasi yang konsisten menggariskan adanya kinerja individu yang
relatif stabil untuk satu periode yang lama (Brown, 1984). Tipe informasi consensus
mempersiapkan basis untuk memperbandingkan kinerja seorang karyawan dengan
karyawan lainnya. Sedangkan informasi distinctiveness mengindikasikan tingkatan kinerja
dalam melaksanakan tugas tertentu yang memberi hasil yang berbeda dengan kinerja
Dinamika Kelompok 32/37
untuk tugas lainnya (Brown, 1984).
Kreitner dan Kinicki (2004) membuat sebuah diagram yang mengilustrasikan tipe-
tipe informasi tersebut sekaligus dengan gambaran mengenai kinerja karyawan.
KELLEY’S MODEL OF ATTRIBUTION
IND
IVID
UA
L P
ER
FO
RM
AN
CE
PEOPLE
A B C D E
PEOPLE
IND
IVID
UA
L P
ER
FO
RM
AN
CE
A B C D E
LOW HIGH
CONSENSUS
Source : Kreitner, R & Kinicki, A. (2004). Organizational Behavior (6th ed). USA : Mc. Graw -Hill
TASKS
IND
IVID
UA
L P
ER
FO
RM
AN
CE
A B C D E
TASKS
IND
IVID
UA
L P
ER
FO
RM
AN
CE
A B C D E
LOW HIGH
DISTINCTIVENESS
KELLEY’S MODEL OF ATTRIBUTION
Source : Kreitner, R & Kinicki, A. (2004). Organizational Behavior (6th ed). USA : Mc. Graw -Hill
(A) (B)
TIME
IND
IVID
UA
L P
ER
FO
RM
AN
CE
TIME
IND
IVID
UA
L P
ER
FO
RM
AN
CE
LOW HIGH
(C)
Kinerja pertama seperti pada diagram A. Semua karyawan diberikan tugas yang
sama. Kalau ternyata semua melakukan pekerjaan itu dengan hasil yang baik, seperti
ditunjukan dalam diagram A di sebelah kanan, jelas bahwa semua individu berkompetensi
untuk tugas itu. Tapi kalau ada salah satu karyawan yang berkinerja buruk, karyawan C,
penyebab buruknya kinerja itu ada pada faktor internal karyawan tersebut. Ini tipe
konsensus. Di situ dibandingkan pekerjaan seseorang dengan orang yang lain. Kinerja
dilanjutkan dengan tipe keunikan (distinctiveness) seperti pada diagram B. Kepada setiap
karyawan ditugaskan melakukan lima tugas. Kalau semua tugas dikerjakan dengan hasil
yang buruk (diagram B bagian kiri), hal ini indikasi bahwa si karyawan tidak mampu
lakukan tugas-tugas tersebut (faktor internal). Tetapi kalau ternyata hanya salah satu dari
kelima tugas yang tidak dikerjakan dengan baik (diagram B bagian kanan), maka
buruknya kinerja untuk tugas tadi penyebabnya bukan pada aspek internal melainkan
eksternal. Ini tipe distinctiveness. Dalam tipe ini kinerja karyawan dievaluasi dengan
Dinamika Kelompok 33/37
melihat kinerjanya melaksanakan beberapa tugas. Kinerja ketiga untuk tipe konsistensi
seperti diilustrasikan dalam diagram C. Kinerja karyawan dinilai dengan memperhatikan
kinerjanya selama satu periode waktu. Kinerjanya buruk jika grafik kerjanya naik turun
(tidak konsisten) seperti diagram C bagian kiri. Sedang jika selama periode itu kinerjanya
tetap baik, itu berarti kinerja karyawan tersebut baik.
Hasil uji kinerja ini menolong sekali dalam menetapkan sumber buruknya kinerja
karyawan. Kalau setelah tiga test tadi hasil yang diperoleh seseorang rata-rata rendah, jelas
orang tersebut kurang berkompetensi melakukan tugas-tugas tersebut. Tapi kalau kinerja
orang rata-rata tinggi, dan hanya buruk dalam satu tugas saja, maka penyebab buruknya
kinerja yang bersangkutan terdapat di luar diri orang itu. Penyebab kinerja yang buruk dari
karyawan itu bukan pada ketidakmampuannya, tetapi pada sistem atau lingkungan
kerjanya. Faktor-faktor eksternal ini dalam model Kelley antara lain: pengaruh sosial,
level administrasi, hedonic relevance, akumulasi kegagalan, harapan-harapan (Brown,
1984).
Pengetahuan ini berguna bagi seorang supervisor. Dengan ini ia dapat belajar
memecahkan masalah dalam tim kerja yang dibentuk. Dengan mengetahui penyebab dari
kinerja yang rendah tadi, dia dapat mengambil kebijakan yang proporsional dalam
memberi penugasan. Dia umpamanya dapat memberi hanya satu tugas saja kepada
seorang individu yang memperlihatkan kinerja lemah, tugas yang tidak bisa dibuat
perbandingan dengan yang lain.
Selain itu jika ternyata bahwa semua anggota tim justru memiliki kinerja buruk,
maka jelas bahwa penyebabnya pastilah bersifat eksternal. Karena itu tindakan korektif
yang perlu diambil adalah melakukan redirection terhadap faktor eksternal tadi yang
menjadi penyebab kinerja buruk itu.
Dinamika Kelompok 34/37
BAB 5
KESIMPULAN
Dari uraian pada bab – bab terdahulu, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, mayoritas dari pekerjaan dalam satu organisasi diselesaikan oleh orang-orang
yang bekerja dalam tim. Tim-tim ini dibentuk untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Ada
yang permanen. Ada juga temporer (Cook dan Hunsaker, 2001:364).
Kedua, dalam organisasi tim-tim tadi ada yang sukses menjalankan misi yang diembankan
kepadanya (dreamteam). Tetapi ada juga tim yang gagal mengeksekusi tugasnya
(nightmare team). Penyebabnya ada pada keanggotaan tim itu, struktur yang diberlakukan,
proses yang dijalani, training yang diperoleh, dan leadership mode yang dilakonkan oleh
group leader.
Ketiga, kalau anggota tim punya skill yang tepat, dilatih untuk memahami tugasnya,
berperan sesuai role dan rule yang disepakati bersama, dan dipimpin oleh seorang leader
yang efektif, mereka dapat mengembangkan kolaborasi tanpa konflik-konflik
dysfungsional dalam mewujudkan common objectives mereka. Tetapi ada juga beberapa
gejala yang perlu terus-menerus dikelola dengan arif oleh group leader.
Keempat, salah satu aspek yang perlu ditangani secara kontinu oleh group leader adalah
kohesi di antara anggota-anggota tim.
Kelima, untuk meningkatkan kinerja dan efektivitas tim, anggota tim perlu meningkatkan
grafik kepercayaan, keterbukaan berkomunikasi, partisipasi dan konfrontasi yang
konstruktif. Selain itu, individu dengan skill dan minat yang khas perlu difungsikan dalam
tugas yang sesuai.
Keenam, tim dengan grafik kinerja yang tinggi perlu menerapkan teknik team building
untuk meningkatkan working relationship (Cook dan Hunsaker, 2001:365). Proses ini
mencakup a) Pengumpulan data yang berkelanjutan dan analisa serta evaluasi hal-hal yang
perlu ditingkatkan. b) Pemecahan masalah untuk menentukan sumber dan solusi
persoalan. c). Training dan pelatihan untuk meningkatkan skill dan proses yang penting
Dinamika Kelompok 35/37
untuk kontinutas dari high performance.
Ketujuh, dalam sebuah tim selalu saja ada perbedaan kinerja di antara anggotanya.
Buruknya kinerja ini tidak selalu disebabkan oleh faktor internal (ketidak-mampuan)
karyawan. Kinerja yang buruk itu paling banyak disebabkan oleh faktor lingkungan kerja
dan sistem.
Kedelapan, teori atribusi yang dikembangkan Kelley sangat berguna untuk menolong
manajemen mengenal faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya kinerja karyawan,
sekaligus menuntun untuk melakukan tindakan penanganan terhadap persoalan itu dalam
membangun tim yang efektif.
Dinamika Kelompok 36/37
Daftar Kepustakaan
7. Bernthal, P.R., Insko, C.A., Cohesiveness Without Groupthink. The Interactive Effects of
Social and Task Cohesion, dalam: Group and Organizational Management, Maret 1993.
8. Cook, Curtis W., Hunsaker, Phillip L., Management and Organizational Behavior (Third
edition), McGraw-Hill/Irwin, New York, 2001.
9. Covey, S., The 8th Habit, 2004.
10. Crown, D.F., Rosse, J.G.,, Your, Mine, and Ours: Facilitating Group Productivity through
the Integration of Individual ang Group Goals, dalam Organizational Behavior and
Human Decision Processes, 1995 64(2).
11. Goodman, P.S., Ravlin, E., dan Schminke M., Understanding Groups in Organization,
dalam: Research in Organizational Behavior, Volume 9, 1987.
12. Greenberg, Jerald and Baron, Robert A, Behavior in Organizations (Eight Edition),
Prentice Hall, New Jersey, 2003.
13. Kreitner, Robert dan Kinicki, Angelo, Organizational Behavior, McGraw-Hill / Irwin.
New York, 2004.
14. O'Leary-Kelly, A.M., Martocchio,J.J., Frink, D.D., A Review of the Influence of Group
Goals on Group Performance, dalam Forum Academy of Management Journal, 1994,
37(5).
15. Porter, Lyman W., Bigley, Gregory A., Steers, Richard M., Motivation and Work
Behavior, McGraw-Hill/Irwin, New York, 2003
16. Prussia, G.E., A & Kinicki, A.J., Motivational Investigation of Group Effectiveness Using
Social-Cognitive Theory, dalam: Journal of Applied Psychology Vol. 81. (1996).
17. Somech, M., Is Group Productivity Loss the rule or the Exception? Effects of Culture and
Group-Based Motivation, dalam: Academy of Management Journal (1996).
Dinamika Kelompok 37/37
18. Staw, B.M., Ross, J., Bahavior in Eschalation Situations: Antecedents, Prototypes, and
Solutions, dalam: Research in Organization Behavior, Volume 9 (1987).
19. Wagner & Ill, J.A., Studies of Individualism-Collectivism: Effects on Cooperation, dalam:
Academy of Management Journal (1995).
top related