3.1 definisi mutu · pandangan eksternal mengenai mutu agar penyusunan sasaran mutu lebih realistis...
Post on 21-Mar-2019
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI MUTU
Tantangan bagi perusahaan untuk menjadi dan tetap kompetitif belum pernah
sekeras sekarang. Landasan persaingan bukan berpusat pada biaya saja, tetapi pada
sejumlah faktor kesuksesan lain seperti mutu, pelayanan, dan inovasi. Perusahaan dengan
mutu bagus dapat mengendalikan harga yang lebih tinggi dan akan selalu diingat
konsumen. Mutu merupakan istilah yang mempunyai makna berbeda bagi setiap orang.
Memahami dimensi mutu produk perusahaan merupakan langkah awal dalam
mengembangkan dan memelihara keunggulan produk dalam persaingan bisnis. Disukai
atau tidak, konsumen merupakan pihak yang paling berkepentingan dalam menilai mutu
produk yang dikonsumsinya.
Nasution (2005) mengatakan ada hubungan yang erat antara mutu produk
(barang dan jasa), kepuasan pelanggan, dan laba perusahaan. Semakin tinggi mutu,
semakin tinggi kepuasan pelanggan dan pada waktu yang bersamaan mendukung harga
jual yang tinggi dan seringkali biaya produksi menjadi rendah. Oleh karena itu program
perbaikan mutu umumnya meningkatkan laba. Dalam pemilihan setiap produk yang akan
dikonsumsi, konsumen seringkali mempertimbangkan mutu dari produk tersebut. Sama
halnya dengan perusahaan dalam memproduksi dan menyalurkan suatu produk selalu
mengaitkan dengan mutu produk tersebut. Jelas dapat kita lihat bahwa mutu memegang
peranan yang penting baik bagi pihak konsumen maupun produsen.
Beberapa pakar mutu mendefinisikan mutu dalam pengertian yang berbeda.
Berikut merupakan definisi mutu yang dikemukakan oleh para ahli:
- Joseph M. Juran
Juran berpendapat bahwa mutu berarti kesesuaian dengan penggunaan (fitness
for use). Juran menjelaskan arti fitness for use sebagai: (1) quality of design (mutu
rancangan) atau sering disebut sebagai mutu absolut artinya mutu yang dirancang dan
direncanakan dan (2) quality of conformance (mutu kesesuaian), yaitu tingkat kesesuaian
produk atau jasa terhadap rancangan yang sudah dibuat. Produk dan jasa dapat
mempunyai rancangan yang baik tetapi dalam pembuatannya memiliki kemungkinan
terjadinya ketidaksesuaian (kekurangan). Hal ini dapat mengakibatkan scrap (waste),
pekerjaan ulang, penurunan mutu, dan jika lolos ke pasar tidak laku atau malah akan
menimbulkan citra negatif ( Muhandri dan Kadarisman 2008).
- Philips B. Crosby
Didefinisikan bahwa mutu sebagai conformace to requirement. Dengan definisi
ini Crosby menitikberatkan kegiatan mutu perusahaan untuk mencoba mengerti harapan-
harapan konsumen, memenuhi harapan-harapan konsumen tersebut, sehingga perlu
pandangan eksternal mengenai mutu agar penyusunan sasaran mutu lebih realistis dan
sesuai dengan permintaan dan keinginan (Tenner 1992).
12
- Feigenbaum
Feigenbaum mengemukakan bahwa mutu sebagai total composite product and
service characteristics of marketing, engineering, manufacture, and maintenance
through which the 20 product and service in use will meet the expectation of the
customer. Memiliki pengertian bahwa mutu merupakan keseluruhan gabungan
karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan
yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan
(Feigenbaum 1996).
- ISO 9000
ISO 9000 mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik
produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan (Suardi
2001). Muhandri dan Kadarisman (2008) menyimpulkan bahwa mutu adalah kesesuaian
serangkaian produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan perusahaan berdasarkan
syarat, kebutuhan dan keinginan konsumen. Pemahaman mengenai mutu dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 2. Pemahaman mengenai mutu (Muhandri dan Kadarisman 2005).
Dari berbagai definisi mutu yang ada Manik (2004) juga menjelaskan bahwa
semuanya mengacu pada suatu konsep mutu, yakni total customer satisfaction yang
dijelaskan pada Gambar 3.
Perusahaan Produk/Jasa
Karakteristik
Standar
Konsumen
- Syarat
- Kebutuhan
- Keinginan
Membuat
Menetapkan
sesuai
Permintaa n
13
Permintaan konsumen terus berkembang
Persyaratan mutu juga berkembang
Diperlukan pengembangan metode atau pendekatan (tools) untuk menghasilkan mutu
yang baik
Karena mutu memiliki berbagai karakteristik maka perlu didefinisikan dengan tepat
Tanpa definisi yang jelas maka mutu sulit untuk dibangun, diukur, dikendalikan, dan
dikembangkan
Gambar 3. Konsep mutu (Manik 2004)
3.2 GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)
Good Manufacturing Practices merupakan prasyarat minimum untuk
pengolahan dan sanitasi yang harus diterapkan di semua industri pengolahan makanan
agar dapat menghasilkan produk yang bermutu baik dan aman secara konsisten.
Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT)
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 mencakup:
1. Lokasi dan Lingkungan Produksi
Lokasi IRTP seharusnya dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau, asap,
kotoran, dan debu. Lingkungan seharusnya selalu dipertahankan dalam keadaan bersih.
2. Bangunan dan Fasilitas
Ruang produksi sebaiknya cukup luas dan mudah dibersihkan. Ruang produksi
sebaiknya tidak digunakan untuk memproduksi produk lain selain pangan Dari segi
konstruksi ruangan sebaiknya terbuat dari bahan yang tahan lama dan seharusnya mudah
dipelihara dan dibersihkan atau didesinfeksi, serta meliputi: lantai, dinding atau pemisah
ruangan, atap dan langit-langit, pintu, jendela, lubang angin atau ventilasi dan permukaan
tempat kerja serta penggunaan bahan gelas.
3. Peralatan Produksi
Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama, tidak
beracun, mudah dipindahkan atau dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan dan
dipelihara serta memudahkan pemantauan dan pengendalian hama. Permukaan yang
kontak langsung dengan pangan harus halus, tidak bercelah atau berlubang, tidak
mengelupas, tidak berkarat dan tidak menyerap air. Peralatan harus tidak menimbulkan
pencemaran terhadap produk pangan oleh jasad renik, bahan logam yang terlepas dari
14
mesin / peralatan, minyak pelumas, bahan bakar dan bahan-bahan lain yang menimbulkan
bahaya; termasuk bahan kontak pangan /zat kontak pangan dar kemasan pangan ke dalam
pangan yang menimbulkan bahaya.
4. Suplai Air atau Sarana Penyediaan Air
Air yang digunakan untuk proses produksi harus air bersih dan sebaiknya dalam
jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan
5. Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi
Sarana pembersihan / pencucian bahan pangan, peralatan, perlengkapan dan
bangunan (Iantai, dinding dan lain-lain), seperti sapu, sikat, pel, lap dan / atau kemoceng,
deterjen, ember, bahan sanitasi sebaiknya tersedia dan terawat dengan baik.
. Sarana higiene karyawan seperti fasilitas untuk cuci tangan dan toilet / jamban
seharusnya tersedia dalam jumlah cukup dan dalam keadaan bersih untuk menjamin
kebersihan karyawan guna mencegah kontaminasi terhadap bahan pangan.
6. Kesehatan dan Higiene Karyawan
Karyawan yang bekerja di bagian pangan harus memenuhi persyaratan
diantaranya dalam keadaan sehat, Jika sakit atau baru sembuh dari sakit dan diduga
masih membawa penyakit tidak diperkenankan masuk ke ruang produksi. Jika
menunjukkan gejala atau menderita penyakit menular, tidak diperkenankan masuk ke
ruang produksi.
7. Pemeliharaan dan Program Higiene dan Sanitasi
Lingkungan, bangunan, peralatan dan lainnya seharusnya dalam keadaan terawat
dengan baik dan berfungsi sebagaimana mestinya. Peralatan produksi harus dibersihkan
secara teratur untuk menghilangkan sisa-sisa pangan dan kotoran. Bahan kimia pencuci
sebaiknya ditangani dan digunakan sesuai prosedur dan disimpan di dalam wadah yang
berlabel untuk menghindari pencemaran terhadap bahan baku dan produk pangan
8. Penyimpanan
Bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih,
sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama, penerangannya cukup .Penyimpanan
bahan baku tidak boleh menyentuh lantai, menempel ke dinding maupun langit-langit.
Penyimpanan bahan dan produk akhir harus diberi tanda dan menggunakan
sistem First In First Out (FIFO) dan sistem First Expired First Out (FEFO), yaitu bahan
yang lebih dahulu masuk dan / atau memilki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus
digunakan terlebih dahulu dan produk akhir yang lebih dahulu diproduksi harus
digunakan / diedarkan terlebih dahulu.
9. Pengendalian Proses
Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus
dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga
pangan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Penetapan spesifikasi bahan;
b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan;
15
c) Penetapan cara produksi yang baku ;
d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan
e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama
produk, tanggal produksi, tanggal kadaluwarsa.
10. Pelabelan Pangan
Label pangan IRT harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan atau perubahannya;
dan peraturan lainnya tentang label dan iklan pangan. Label pangan sekurang-kurangnya
memuat :
a) Nama produk sesuai dengan jenis pangan IRT yang ada di Peraturan Kepala Badan
POM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pemberian Sertifikat Produksi
Pangan Industri Rumah Tangga.
b) Daftar bahan atau komposisi yang digunakan
c) Berat bersih atau isi bersih
d) Nama dan alamat IRTP
e) Tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa
f) Kode produksi
g) Nomor P-IRT Label pangan IRT tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan atau
klaim gizi
11. Pengawasan dan Penanggung Jawab
Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan tentang prinsip-
prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang
ditanganinya dengan pembuktian kepemilikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan
(Sertifikat PKP). Penanggungjawab seharusnya melakukan pengawasan secara rutin yang
mencakup : Pengawasan bahan dan pengawasan koreksi serta tindakan koreksi yang
mungkin diperlukan
12. Penarikan Produk
Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan
karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit/keracunan pangan atau karena tidak
memenuhi persyaratan/ peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Tujuannya
adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan
yang membahayakan kesehatan dan/ atau melindungi masyarakat dari produk pangan
yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan
.
13. Pencatatan dan Dokumentasi
Pemilik seharusnya mencatat dan mendokumentasikan Penerimaan bahan baku,
bahan tambahan pangan (BTP), dan bahan penolong sekurang-kurangnya memuat nama
bahan, jumlah, tanggal pembelian, nama dan alamat pemasok.
Dan untuk Produk akhir sekurang-kurangnya memuat nama jenis produk,
tanggal produksi, kode produksi, jumlah produksi dan tempat distribusi / penjualan
16
14. Pelatihan dan Karyawan
Pimpinan dan karyawan IRTP harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai
prinsip - prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses Pengolahan pangan
yang ditanganinya agar mampu mendeteksi resiko yang mungkin terjadi dan bila perlu
mampu memperbaiki penyimpangan yang terjadi serta dapat memproduksi pangan yang
bermutu dan aman.
3.3 SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE
(SSOP)
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) adalah prosedur tertulis
dimana proses pembuatan pangan harus diproduksi dalam kondisi dan cara yang saniter.
SSOP merupakan prosedur dimana proses produksi harus dilakukan dalam kondisi dan
cara yang saniter. SSOP menurut FDA (1995) terdiri dari delapan aspek, yaitu:
1. Keamanan air untuk proses produksi
Air yang kontak langsung dengan makanan atau peralatan dan digunakan dalam
proses produksi harus aman dan bersumber dari air yang bersih.
2. Kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus
didesain dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak toksik dan tidak mudah
terkikis. Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan harus dibersihkan
dengan metode pembersihan yang efektif setiap setelah selesai produksi. Sarung tangan
dan seragam produksi yang kontak dengan bahan pangan harus terbuat dari bahan yang
kuat dan tidak mudah terkelupas.
3. Pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter
Tangan pekerja, sarung tangan, seragam produksi, peralatan dan perlengkapan
yang kontak dengan bahan pangan harus dalam keadaan bersih dan tidak boleh digunakan
jika terkena kotoran atau cemaran. Tangan pekerja, sarung tangan, seragam produksi,
peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan tidak boleh digunakan jika
tercemar dengan bahan baku yang mempengaruhi mutu produk akhir. Proses pengolahan
kondisi peralatan atau perlengkapan produksi harus tertutup untuk mencegah kontaminasi
silang selama proses.
4. Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet
Lokasi fasilitas sanitasi dan cuci tangan harus mudah dijangkau oleh pekerja dan
dekat dengan area pengolahan. Fasilitas toilet harus cukup tersedia dan dilengkapi dengan
tempatpenggantian pakaian kotor.
5. Perlindungan bahan pangan, kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak
dengan bahan pangan
Bahan pangan, kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan
bahan pangan harus terlindung dari cemaran kimia, fisik dan biologis. Bahan pangan,
kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan bahan pangan harus
terlindung dari tetesan, aliran air dan debu/kotoran yang jatuh ke bahan pangan.
17
6. Pelabelan dan Penyimpanan
Komponen yang toksik harus dalam kemasan yang tertutup rapat dan terpisah
penempatannya dari peralatan produksi dan produk akhir Pengemasan dan penyimpanan
didesain untuk meminimumkan kontaminasi silang dari cemaran fisik, kimia, dan biologis
7. Kontrol kesehatan pekerja
Kondisi yang dalam keadaan sakit, luka yang dapat menjadi sumber kontaminasi
pada proses pengolahan, kemasan dan produk akhir tidak boleh masuk sampai kondisinya
normal
8. Pencegahan hama pabrik
Ruang produksi, gudang dan ruang lain harus bebas dari hama pabrik, seperti
tikus, serangga, dan lain-lain
3.4 SISTEM MUTU Feigenbaum (1996) mendefinisikan suatu sistem adalah sesuatu yang disetujui
bersama, struktur kerja operasi keseluruhan perusahaan dan pabrik terdokumentasi dalam
prosedur-prosedur manajerial dan teknik terpadu yang efektif, untuk membimbing tindakan-
tindakan terkoordinasi dari orang, mesin, dan informasi di perusahaan dan pabrik tersebut
melalui cara yang baik dan paling praktis untuk menjamin kepuasan pelanggan akan mutu dan
biaya mutu yang ekonomis. Sistem mutu yang tangguh menyediakan suatu landasan
manajemen dan kerekayasaan untuk kendali yang berorientasi pada pencegahan efektif yang
menangani secara ekonomis dan serasi tingkat kerumitan masa kini dari manusia, mesin, dan
informasi yang merupakan karakteristik operasi pabrik dan perusahaan masa kini.
Sedangkan sistem mutu menurut ISO 9000 dalam Kadarisman (1994) mencakup mutu
(karakteristik menyeluruh produk atau jasa), kebijakan mutu (keseluruhan maksud dan tujuan
organisasi), manajemen mutu (seluruh aspek fungsi manajemen yang menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mutu), pengendalian mutu (teknik dan kegiatan operasional untuk
memenuhi persyaratan mutu), dan jaminan mutu (perencanaan dan kegiatan sistematis yang
diperlukan untuk memberikan keyakinan). Sistem mutu dimaksudkan untuk mengidentifikasi
seluruh tugas yang berkaitan dengan mutu, mengalokasikan tanggung jawab dan membangun
hubungan kerjasama dalam perusahaan. Sistem mutu juga dimaksudkan untuk membangun
mekanisme dalam rangka memadukan semua fungsi menjadi suatu sistem yang menyeluruh.
3.4.1 HACCP HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan mutu
yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya) dapat timbul
pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, teteapi dapat dilakukan pengendalian untuk
mengontrol bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi
titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan daripada mengandalkan
pengujian produk akhir (Winarno 2004).
18
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero risk atau
tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimukan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem
HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai
pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis,
kimia dan fisik (Winarno 2004).
Para pakar ilmu pangan berpendapat bahwa HACCP memberikan elemen-elemen penting
dalam sistem manajemen keamanan maupun GMP (Good Manufacturing Practices) dengan
cara yang sangat sistematis dan mudah sehingga dapat diterapkan dalam berbagai level industri
pangan, dan seluruh rantai produksi pangan.
Codex Alimentarius Commission pada tahun 1993 mengadopsi sistem HACCP yang
kemudian disempurnakan pada tahun 1996, telah memberikan pedoman implementasi HACCP
dengan membagi langkah-langkah penerapan secara sistematis menjadi 12 langkah, yang
terdiri dari 5 langkah awal persiapan dan diikuti 7 langkah berikutnya yang merupakan 7
prinsip HACCP. Kedua belas langkah tersebut digambarkan sebagai suatu alur tahap
penerapan HACCP. Menurut Winarno (2004), Aplikasi HACCP terdiri dari 12 tahapan, yaitu
menyusun tim HACCP, deskripsi produk, identifikasi tujuan penggunaan, menyusun diagram
alir, verifikasi diagram alir, analisa bahaya dan tindakan pencegahannya, menetapkan titik
kendali kritis (CCP), menyusun batas kritis untuk masing-masing CCP, menentukan prosedur
pemantauan, menentukan prosedur tindakan koreksi, prosedur verifikasi, dan membuat sistem
pencatatan yang efektif
3.5 PENGENDALIAN PROSES SECARA STATISTIK
Menurut Gaspersz (1998), pengendalian proses statistikal adalah suatu metodologi
pengumpulan dan analisis data mutu, serta penentuan dan interpretasi pengukuran-pengukuran
yang menjelaskan tentang proses dalam sistem suatu industri untuk meningkatkan mutu produk
yang dihasilkan guna memenuhi kebutuhan dan ekspektasi atau kepuasan pelanggan. Menurut
Deming (1995), pengendalian proses secara statistik ialah alat yang digunakan industri dan
bisnis untuk mencapai mutu yang diinginkan dari suatu produk dan jasa.
Menurut Wayworld (2001), pengendalian proses secara statistik adalah metode
pengukuran, pemahaman, dan pengawasan variasi dalam suatu proses manufacturing.
Pengendalian proses secara statistik juga menyediakan alat yang andal untuk memonitor
stabilitas dari variabel proses. Pengendalian proses statistikal bertujuan untuk 1)
mengendalikan dan memantau terjadinya penyimpangan mutu produk, 2) memberikan
peringatan dini untuk mencegah terjadinya penyimpangan mutu produk lebih lanjut, 3)
memberikan petunjuk waktu yang tepat untuk segera melakukan tindakan koreksi dari proses
yang menyimpang, dan 4) mengenali penyebab keragaman atau penyimpangan produk
(Hubeis 1999).
Tujuan utama pengendalian proses secara statistik adalah pengurangan variasi yang
sistematik dalam karakteristik mutu kunci produk. Pengendalian proses secara statistik akan
menstabilkan proses dan mengurangi variasi sehingga menghasilkan biaya mutu yang lebih
rendah dan mempertinggi posisi dalam kompetisi yang semakin ketat (Montgomery 1996).
Mengetahui variasi suatu proses dalam menghasilkan output sangat penting, agar dapat
mengambil tindakan-tindakan perbaikan terhadap proses itu secara tepat. Metode statistik
diperlukan untuk mengidentifikasi penyimpangan dan menunjukkan penyebab berbagai
19
penyimpangan baik untuk proses produksi maupun bisnis, sehingga menyebabkan peningkatan
produktivitas (Ryan 1989).
Pengendalian proses secara statistik berarti proses itu dikendalikan berdasarkan catatan
data yang secara terus menerus dikumpulkan dan dianalisis agar menghasilkan informasi yang
dapat digunakan dalam mengendalikan dan meningkatkan proses sehingga proses memiliki
kemampuan untuk memenuhi spesifikasi output yang diinginkan (Gaspersz 1998).
Menurut Gaspersz (1998), teknik-teknik pengendalian proses yang dapat digunakan
berupa : 1) lembar pemeriksaan (check sheet), 2) stratifikasi, 3) diagram Pareto, 4) diagram
pencar (scatter diagram), 5) diagram sebab-akibat, 6) histogram, dan 7) bagan kendali
(control chart). Sedangkan Langkah - langkah pengendalian proses secara statistikal dapat
diuraikan sebagai berikut : 1) merencanakan penggunaan alat-alat statistikal, 2) memulai
menggunakan alat-alat statistikal, 3) mempertahankan atau menstabilkan proses dengan cara
menghilangkan variasi penyebab khusus yang dianggap merugikan, 4) merencanakan
perbaikan proses terus-menerus melalui pengurangan variasi penyebab umum, dan 5)
mengevaluasi dan meninjau ulang terhadap penggunaan alat-alat statistikal tersebut
1. Lembar Pemeriksaan (Check Sheet)
Check sheet adalah alat bantu manajemen mutu sederhana yang bentuknya
menyerupai tabel dan digunakan untuk mengoleksi data. Check sheet dalam
pengertian yang sebenarnya tak lain adalah tempat menuliskan catatan tentang
jumlah sesuatu, di mana jumlah tersebut diisikan satu demi satu, sehingga pada
akhirnya dapat dijumlahkan nilai totalnya. Lembar pemeriksaan memiliki banyak
tujuan, tetapi yang utama adalah untuk memudahkan pengumpulan data dalam
bentuk yang dapat dengan mudah digunakan, dan dianalisis secara otomatis. Lembar
pemeriksaan yang biasanya digunakan pada suatu pabrik mempunyai fungsi
pemeriksaan distribusi proses produksi, pemeriksaan item cacat, pemeriksaan lokasi
cacat, pemeriksaan penyebab cacat, pemeriksaan konfirmasi pemeriksaan, dan lain-
lain. Salah satu fungsi yang disebutkan adalah pemeriksaan item cacat, untuk
mengurangi jumlah cacat yang terjadi dalam suatu proses perlu diketahui macam
kerusakan dan persentasenya. Karena setiap kerusakan mempunyai penyebab yang
berlainan, maka tidak tepat kalau hanya mencatat jumlah total kerusakan (Ishikawa
1989).
2. Bagan Kendali (Control Chart)
Bagan kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart
dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924 dengan maksud
untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang
disebabkan oleh penyebab khusus (special-causes variation) dari variasi yang
disebabkan oleh penyebab umum (common-causes variation) (Gaspersz 2001).
Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), bagan kendali (control chart)
merupakan grafik garis yang mencantumkan batas maksimum dan batasminimum
yang merupakan daerah batas pengendalian. Menurut Gaspersz (1998), pada
dasarnya setiap bagan kendali memiliki : 1) sumbu X melambangkan nomor contoh,
2) sumbu Y melambangkan karakteristik output, 3) garis tengah atau Central Line
(CL), dan 4) sepasang batas pengendali, yaitu Batas Pengendali Atas (BPA) atau
20
Upper Control Limit (UCL) dan Batas Pengendali Bawah (BPB) atau Lower Control
Limit (LCL).
Data variabel menunjukkan karakteristik mutu yang mempunyai dimensi
kontinyu yang dapat mengambil nilai-nilai kontinyu dalam kemungkinan yang tidak
terbatas, seperti : panjang, kecepatan, volume, volume, dan lain-lain. Data atribut
hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti : sesuai
atau tidak sesuai, berhasil atau gagal, lulus atau tidak lulus, hadir atau tidak hadir,
dan lain-lain (Gaspersz 1998).
Bagan kendali X-bar (rata-rata) dan R (Range) digunakan untuk memantau
proses yang mempunyai karakteristik berdimensi kontinyu, sehingga bagan kendali
X-bar dan R sering disebut sebagai bagan kendali untuk data variabel. Bagan kendali
X-bar menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran
titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari suatu proses. Hal ini mungkin
disebabkan oleh faktor-faktor seperti peralatan yang dipakai, peningkatan suhu
secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shift, material baru, tenaga
kerja baru yang belum dilatih, dan lain-lain. Sementara itu bagan kendali R (Range)
menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi,
dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan
melalui suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti bagian
peralatan yang hilang, minyak pelumas mesin yang tidak mengalir dengan baik,
kelelahan pekerja, dan lain-lain (Gaspersz 2001).
Menurut Tapiero (1996), bagan kendali X-bar digunakan untuk mengetahui
tingkat mutu proses rata-rata, sedangkan bagan kendali R digunakan untuk
mengetahui kisaran atau keragaman mutu. Menurut Gaspersz (2001), pembuatan
bagan kendali individual X dan MR (Moving Range = rentang bergerak) diterapkan
pada proses yang menghasilkan produk relatif homogen, misalnya dalam cairan
kimia, kandungan mineral dalam air, makanan, dan lain-lain.
Menurut Gaspersz (1998), pada dasarnya setiap bagan kendali memiliki : 1)
sumbu x yang melambangkan nomor contoh, 2) sumbu y yang melambangkan
karakteristik output, 3) garis tengah atau central line, 4) sepasang batas pengendali.
Satu batas pengendali ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai Batas
Pengendali Atas (BPA) atau Upper Control Limit (UCL) dan yang satu lagi
ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai Batas Pengendali Bawah
(BPB) atau Lower Control Limit (LCL).
Menurut Deming (1995), kegunaan bagan kendali adalah : 1) meningkatkan
produktivitas, 2) mencegah produk cacat, 3) mencegah pengaturan proses yang tidak
perlu, 4) memberikan informasi tentang proses, dan 5) memberikan informasi tentang
kapabilitas proses. Proses terkendali secara statistik dicirikan oleh bagan kendali
yang semua titik-titik contohnya berada dalam batas-batas pengendalian (diantara
batas pengendali atas dan batas pengendali bawah). Dengan demikian apabila nilai-
nilai yang ditebarkan pada bagan kendali jatuh diluar batas pengendali, maka dapat
dinyatakan bahwa proses berada dalam keadaan tidak terkendali secara statistik
(Gaspersz 1998).
Menurut Montgomery (1996), bila proses terkendali, hampir semua titik
contoh akan berada di antara kedua batas pengendali. Titik yang berada di luar batas
pengendali menandakan bahwa proses tidak terkendali, dalam hal ini perlu diadakan
21
penyelidikan untuk menemukan penyebabnya dan perbaikan pada proses untuk
menghilangkan penyebab tersebut.
3. Diagram Ishikawa (Sebab-Akibat)
Diagram tulang ikan (fishbone diagram) atau Diagram Ishikawa pertama kali
diperkenalkan oleh ahli management berkebangsaan Jepang yang bekerja di
perusahaan Kawasaki bernama Kaoru Ishikawa pada sekitar awal tahun 1960. Oleh
karena diagram ini berbentuk seperti tulang ikan, maka sering disebut juga Diagram
Tulang Ikan. Selain itu, karena penggunaannya untuk mengungkapkan semua
kemungkinan faktor yang menjadi menyebab suatu masalah, maka dinamakan
diagram sebab-akibat. Diagram ini dapat dikategorikan atas jenis klasifikasi proses,
dengan identifikasi proses dibuat terpisah atas dua bagian, dan jenis analisis
keragaman yang didasarkan pada faktor sebab utama dan lainnya (faktor
pendukung) atau hubungan sekuensial (Hubeis dan Kadarisman 2007).
Penyusunan Diagram Ishikawa bertujuan untuk mencari dan menemukan
beberapa sumber masalah yang menjadi kunci penyebab suatu masalah. Sumber-
sumber masalah yang teridentifikasi kemudian dijadikan target perbaikan. Diagram
ini juga mengungkapkan hubungan hirarki antar faktor penyebab masalah menuju
akibat yang ditimbulkannya. Mutu yang ingin kita perbaiki dan kendalikan secara
jelas disajikan dengan angka-angka yang menunjukkan panjang, kekerasan,
persentase cacat, dan sebagainya. Mereka disebut dengan “karakteristik mutu”.
Komposisi kimia, ukuran, dan seterusnya yang dapat menyebabkan penyebaran,
disebut faktor. Untuk mengilustrasikan pada sebuah diagram hubungan antara sebab
dan akibat, kita ingin mengetahui sebab dan akibat dalam bentuk yang nyata. Oleh
karenanya, akibat adalah karakteristik mutu dan sebab adalah faktor (Ishikawa
1989).
Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), secara umum terdapat lima
faktor utama yang berpengaruh terhadap suatu masalah, yaitu: lingkungan, manusia,
metode, bahan, mesin dan peralatan. Faktor penyebab akan digolongkan ke dalam
beberapa faktor utama tersebut yang diyakini sebagai sumber penyebab dari
masalah. Penyebab turunannya kemudian disusun berdasarkan hirarki
kepentingannya atau menurut detilnya, sehingga mampu mengungkap dan
menggambarkan hubungan sebab-akibat yang terjadi antar golongan penyebab itu.
Dengan demikian, diagram ini akan sangat bermanfaat untuk menelusuri akar
permasalahan, mengidentifikasi daerah-daerah di mana dapat timbul masalah serius
serta berguna dalam membandingkan kepentingan relatif berbagai penyebab
masalah tersebut.
Bentuk umum Diagram Ishikawa adalah bentuk tulang ikan yang disertai
berbagai tulang-tulang cabang dan ranting tergambarkan pada Gambar 4.
22
Gambar 4. Bentuk Diagram Ishikawa.
Perlu diingat bahwa diagram diatas hanya merupakan alat untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan
mengidentifikasi penyebab masalah. langkah selanjutnya adalah melakukan
verifikasi di industri untuk menjawab pertanyaan “apakah setiap faktor sudah sesuai
dengan SOP atau aturan baku?”. Dari kegiatan verifikasi ini akan diperoleh faktor-
faktor yang diduga kuat menjadi penyebab masalah, perbaikan mutu dapat
difokuskan pada faktor-faktor ini (Muhandri dan Kadarisman 2008).
4. Why-Why Analysis
Why-Why Analysis adalah alat bantu (tools) root cause
analysis untuk problem solving. Tools ini membantu mengidentifikasi akar masalah
atau penyebab dari sebuah ketidaksesuaian pada proses atau produk. Why-Why
Analysis atau 5 Why’s Analysis biasa digunakan bersama dengan Diagram Tulang
Ikan (Fishbone Diagram) dan menggunakan teknik iterasi dengan bertanya mengapa
(Why) dan diulang beberapa kali sampai menemukan akar masalahnya (Anonim
2011)
5. Diagram Pareto
Nama Diagram Pareto diambil dari nama seorang ahli eknonomi
berkebangsaan Italia, Vilfredo Pareto, yang hidup disekitar awal abad ke-20.
Diagram Pareto didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar dari masalah yang
timbul berakar pada sebagian kecil masalah utama. Diagram ini pada awalnya
menampilkan distribusi frekuensi tentang kesejahteraan beberapa negara, yang
kemudian ternyata sesuai untuk diterapkan pada manajemen mutu. Diagram Pareto
menunjukkan bahwa sekitar 80 % dari kekayaan atau kesejahteraan negara-negara
dikuasai oleh sekelompok kecil negara. Jika diterapkan pada manajemen mutu,
Diagram Pareto umumnya mengatakan bahwa 80% dari problem dapat diselesaikan
jika penyebab utamanya, yang umumnya ditimbulkan oleh sekelompok kecil
penyebab utama (20%), dapat diselesaikan (Hoyle 1994).
Diagram Pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik
baris yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap
keseluruhan (Muhandri dan Kadarisman 2008). Sebuah Diagram Pareto seperti ini,
menunjukkan masalah apa yang pertama harus kita pecahkan untuk menghilangkan
23
kerusakan dan memperbaiki operasi. Walaupun ini terlihat sangat sederhana, grafik
balok ini sangat berguna dalam pengendalian mutu pabrik (Ishikawa 1989). Secara
rinci, Diagram Pareto berguna untuk hal-hal berikut (Muhandri dan Kadarisman
2008):
a. Menunjukkan masalah utama.
b. Menyatakan perbandingan masing-masing masalah terhadap keseluruhan.
c. Menunjukkan tingkat perbandingan setelah dilakukan tindakan pada masalah
terpilih.
d. Menunjukkan perbandingan masing-masing masalah sebelum dan sesudah
perbaikan.
Langkah-langkah pembuatan Diagram Pareto (Muhandri dan Kadarisman
2008):
a. Stratifikasi masalah dan nyatakan dengan angka.
b. Tentukan jangka waktu pengumpulan data.
c. Atur masing-masing penyebab (dari hasil stratifikasi dibuat berurutan sesuai
dengan besarnya nilai dan gambarkan grafik kolom (balok). Penyebab terbesar
ada di sebelah paling kiri.
d.Gambar grafik baris yang menunjukkan jumlah persentase pada bagian atas
grafik kolom, dimulai dari yang terbesar. Di bagian bawah masing- masing
kolom ditulis nama atau keterangan kolom.
e.Pada bagian atas atau samping diberikan keterangan atau nama diagram dan
jumlah unit seluruhnya.
3.6 KAPABILITAS PROSES
Menurut Gaspersz (1998), kapabilitas proses adalah kemampuan dari proses
dalam menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki
kapabilitas yang baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada dalam batas-
batas spesifikasi. Sebaliknya, apabila proses memiliki kapabilitas yang tidak baik,
proses itu akan menghasilkan banyak produk yang berada diluar batas-batas
spesifikasi, sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk yang ditolak.
Apabila ditemukan banyak produk yang ditolak, hal itu mengindikasikan bahwa
proses produksi memiliki kemampuan proses yang rendah untuk menghasilkan output
sesuai dengan yang diharapkan.
Perhitungan kapabilitas proses dilakukan berdasarkan indeks kapabilitas proses
(Cp). Indeks Cp memiliki dua kekurangan besar. Pertama, tidak dapat digunakan
kecuali terdapat baik spesifikasi atas maupun bawah. Kedua, tidak dapat menghitung
data yang distribusinya tidak normal. Jika rata-rata proses tidak berada pada garis
tengah pada persyaratan perekayasaan, indeks Cp akan memberikan hasil yang
menyesatkan. Situasi ini akan lebih direfleksikan secara akurat dengan menghitung
indeks kapabilitas proses yang baru, Cpk. Dalam hal ini indeks Cp digantikan dengan
Cpk (Pyzdek 2002). Untuk parameter yang hanya memiliki satu spesifikasi (atas atau
bawah) maka yang dipakai adalah nilai CPU (Upper Capability Indeks) dan CPL
(Lower Capability Indeks).
24
Kriteria yang digunakan untuk penilaian adalah sebagai berikut : Cp > 1.33,
maka proses memiliki kapasitas baik; 1.00 < Cp < 1.33, maka proses dianggap baik
namun perlu pengendalian apabila Cp telah mendekati 1.00, dan Cp < 1.00, maka proses
dianggap tidak baik (Gasperz 1998).
Kriteria yang digunakan untuk penilaian Cpk : Cpk > 1.33, maka proses masih
mampu memenuhi batas spesifikasi bawah atau atas; 1.00 < Cpk < 1.33, maka proses
masih mampu memenuhi batas spesifikasi bawah atau atas, dan Cpk < 1.00, maka proses
tidak mampu memenuhi batas spesifikasi atas atau bawah (Gasperz 1998).
top related