4. pembahasan 4.1 karakteristik ekstrak cacing laut nereis ...repository.ub.ac.id/6463/5/bab 4...
Post on 04-Dec-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
35
4. PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Ekstrak Cacing Laut Nereis sp, Cacing Tanah Lumbricus rubellus, dan Cacing Tanah Eisenia foetida
Proses pembuatan ekstrak cacing laut Nereis sp, cacing tanah
Lumbriscus rubellus, dan cacing tanah Eisenia foetida diawali dengan melakukan
proses maserasi. pelarut yang digunakan dalam proses maserasi adalah etil
asetat. Hasil maserasi dari 50 gram tepung cacing laut Nereis sp ditambah
dengan pelarut etil asetat sebanyak 500 mL menghasilkan ekstrak kasar sebesar
4 gram. Efisiensi evaporasi sebesar 89% dimana filtrat sebelum dievaporasi
sebanyak 450 mL dan setelah dievaporasi diperoleh pelarut sebanyak 400 mL.
Ekstrak kasar cacing laut Nereis sp yang diperoleh yakni berwarna coklat
kehitaman, kental, dan bau menyengat.
Hasil maserasi dari tepung cacing tanah Lumbriscus rubellus sebanyak
50 gram yang ditambahkan dengan pelarut etil asetat sebanyak 500 mL, dapat
diperoleh hasil ekstrak kasar sebesar 3,3 gram. Efisiensi evaporasi sebesar 89%
dimana filtrat sebelum dievaporasi sebanyak 450 mL dan setelah dievaporasi
diperoleh pelarut sebanyak 400 mL. Ekstrak kasar cacing laut Lumbricus rubellus
yang diperoleh yakni berwarna coklat kehitaman, kental, dan berbau.
Hasil maserasi dari tepung cacing tanah Eisenia foetida sebanyak 50
gram dengan pelarut etil asetat sebanyak 500 mL, diperoleh ekstrak kasar
sebesar 4,7 gram. Efisiensi evaporasi sebesar 85% dimana filtrat sebelum
dievaporasi sebesar 450 mL dan setelah dievaporasi diperoleh sebanyak 383
mL. Kenampakan ekstrak yang diperoleh yakni berwarna coklat kehitaman,
kental, dan berbau. Ekstrak yang didapat dimasukkan kedalam botol vial.
Etil asetat merupakan pelarut yang mudah untuk menguap. Pelarut etil
asetat yang digunakan untuk proses maserasi tidak akan mempengaruhi
36
pembentukan zona hambat. Hal ini berdasarkan penelitian Sugara et al., (2016),
yang menyatakan bahwa pelarut etil asetat yang diuji aktivitas antibakteri tidak
terbentuk daerah zona hambatnya. Sehingga pelarut etil asetat tidak akan
mempengaruhi ekstrak kasar pada cacing laut Nereis sp , cacing tanah
Lumbricus rubellus dan cacing tanah Eisenia foetida dalam pembentukan zona
bening atau zona hambatnya. Tabel 5 menunjukkan kenampakan ekstrak cacing
tanah dan cacing laut. Sedangkan untuk perhitungan presentase pelarut yang
terevaporasi dan residu pelarut dapat dilihat pada Lampiran 20.
Tabel 1. Hasil Pembuatan Ekstrak Etil Asetat
No Ekstrak Etil
Asetat Foto Ekstrak Berat
Prosentase pelarut yang terevaporasi
1 Nereis sp.
4 gram 89 %
2 Lumbricus rubellus
3,3 gram 89 %
3 Eisenia foetida
4,7 gram 85%
37
4.2 Kurva Standar Brown
Larutan brown yang dibuat untuk menentukan kepadatan bakteri adalah
dari larutan brown 1 sampai brown 10. Kepadatan yang diperoleh dari suspensi
bakteri Salmonella typhi dalam larutan NaCl 0,9 % setara dengan larutan brown
2. Hasil penentuan absorbansi optimum larutan Brown adalah pada panjang
gelombang 650 nm. Pemilihan panjang gelombang ini disebabkan hasil kurva
regresi yang sesuai dengan hukum Lambert-Beer. Pada panjang gelombang 550
nm dan 750 nm terjadi penyimpangan hukum Lambert-Beer yang ditunjukkan
dengan ketika terjadi penambahan konsentrasi larutan absorbansi tidak
bertambah secara linear. Sehingga didapatkan panjang gelombang optimum
untuk larutan brown adalah panjang gelombang 650. Lampiran 16 menunjukkan
kurva standar yang diperoleh pada panjang gelombang 550 nm, 650 nm dan 750
nm pada larutan Brown. Tabel 6 menunjukkan kepadatan suspensi bakteri
Salmonella typhi yang digunakan dalam penelitian. Perhitungan regresi linier
dilakukan menggunakan aplikasi minitab 17 dan perhitungan diperkuat dengan
menggunakan MS Excell 2010. Rumus regresi linier untuk pengujian daya
hambat yang diperoleh adalah :
Dimana Y : absorbansi pada λ 650 nm X : kepadatan suspensi bakteri (CFU/mL)
Tabel 2. Kepadatan Suspensi Bakteri Salmonella typhi
Jenis Uji Absorbansi (Y) Kepadatan dalam 106 CFU/mL (X)
Uji Daya Hambat 0,198±0,005 661
Uji MIC 0,248 1.161
𝑌 = 1319 + 1𝑥1 −10𝑋
38
4.3 Uji Daya Hambat Metode Kirby-Bouer
Aktivitas antibakteri pada uji daya hambat metode kirby-bouer dapat
dilihat dari adanya zona bening yang terbentuk. Zona bening atau zona hambat
bakteri dapat ditentukan dengan pengukuran menggunakan jangka sorong.
Pengukuran hasil dari zona bening dapat dihitung dengan menggunakan rumus
diameter zona bening dikurangi dengan diameter kertas blankdis oksoid steril
yang digunakan. Pengujian ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Hasil rata
rata dari diameter zona bening sampel dapat dilihat pada Tabel 7.
Data zona hambat yang telah diperoleh dilakukan uji Rancangan Acak
lengkap Faktorial dengan taraf 5% menggunakan aplikasi SPSS 16. Jika hasil
analisis ANOVA dari berbagai konsentrasi dan sampel cacing menunjukkan hasil
yang berbeda nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut BNJ (Beda Nyata
Jujur) atau Tukey untuk mengetahui perbedaan perlakuan antar sampel.
Lampiran 18 menunjukkan hasil perhitungan ANOVA dan uji lanjut Tukey.
Tabel 3. Diameter zona hambat
No Eksperimen
Jenis Ekstrak Konsentrasi Zona bening
1
Ekstrak etil asetat Neris sp (A)
Kloramfenikol 30ppm (a) 18,39 ± 0,0173f 0 ppm (b) 0 ± 0a 10 ppm (c) 0 ± 0a 100 ppm (d) 0 ± 0a 1.000 ppm (e) 0 ± 0a 10.000 ppm (f) 0 ± 0a 100.000 ppm (g) 2,29 ± 0,065b
2
Ekstrak etil asetat Lumbricus rubellus (B)
Kloramfenikol 30ppm (a) 18,47 ± 0,087f 0 ppm (b) 0 ± 0a 10 ppm (c) 0 ± 0a 100 ppm (d) 0 ± 0a 1.000 ppm (e) 0 ± 0a 10.000 ppm (f) 2,39 ± 0,011c 100.000 ppm (g) 3,07 ± 0,035e
3
Ekstrak etil asetat Eisenia foetida (C)
Kloramfenikol 30ppm (a) 18,41 ± 0,065f 0 ppm (b) 0 ± 0a 10 ppm (c) 0 ± 0a 100 ppm (d) 0 ± 0a 1.000 ppm (e) 0 ± 0a 10.000 ppm (f) 2,31 ± 0,028bc 100.000 ppm (g) 2,44 ± 0,036d
39
Penggunaan kontrol positif pada pengujian daya hambat ini
menggunakan kloramfenikol. Kloramfenikol digunakan sebagai antibiotik yang
kuat terhadap sintesis protein pada bakteri. Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu
dengan cara menghambat sintesis protein, melekat pada subunit 50S dari
ribosom. Obat ini menganggu pengikatan asam amino baru pada rantai peptida
yang sedang dibentuk, sebagian besar karena kloramfenikol menghambat
peptidil transferase (Jawetz et al., 1996). Ditambahkan oleh Taufiq et al., (2015),
melaporkan bahwa mekanisme kerja kloramfenikol adalah menghambat peptidil
transferase pada fase pemanjangan sehingga mengganggu sintesis protein
dengan waktu paruh 3-5 jam setelah pemakaian oral.
Kloramfenikol menurut Cita (2011), masih merupakan jenis antibiotika
yang digunakan dalam pengobatan demam tifoid (53,55%) dan merupakan
antibiotika pilihanutama yang diberikan untuk demam tifoid. Berdasarkan
efektivitasnya terhadap Salmonella typhi, disamping obat tersebut relatif murah
namun pada penelitian yang lain menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol.
Tingkat resistensi strain bakteri Salmonella spp menurut Bouchrif et al.,
(2009), terhadap antibiotik juga telah berkembang dalam beberapa tahun
terakhir, terutama terhadap antibiotik jenis aminopenicillines, tetrasiklin,
sulfonamida dan kloramfenikol. Menurut Sirinavin & Garner (2009) antibiotik yang
memiliki daya serap yang baik terhadap sel bakteri seperti amoxycilin,
chloramphenicol, tetracycline, ampicillin, golongan floroquinolone (ciprofloxacin)
juga biasa digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh
Salmonella spp.
Bakteri gram negatif termasuk Salmonella typhi mempunyai kemampuan
multi drug effluks jika didapati senyawa antibiotik masuk ke dalam sel, selain itu
40
bakteri gram negatif memiliki barrier pada membran luar sehingga senyawa
antibiotik tidak dapat dengan mudah masuk ke dalam sel. Mekanisme kerusakan
sel pada bakteri Salmonella typhi menurut Asriani et al, (2007) adalah ion K+
merupakan kation utama yang terkandung dalam sitoplasma pada sel yang
sedang tumbuh. Sedangkan ion Ca2+ dan Mg2+ terdapat di bagian sitosol yaitu
cairan sitoplasma. Kedua jenis ion ini ditemukan dalam dinding sel bakteri yang
turut berperan dalam aktivitas enzim. Ion Ca2+ dan Mg2+ berfungsi
menghubungkan lipopolisakarida pada dinding sel bakteri gram negatif.
Beberapa senyawa antibakteri dapat merusak membran sel bakteri dengan cara
merusak ikatan kation divalen Ca2+ dan Mg2+. Sehingga senyawa antibakteri
dapat masuk kedalam sel dan merusak membran sel.
Dari hasil uji lanjut yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ekstrak etil
asetat Lumbriscus rubellus konsentrasi 100.000 ppm memiliki hambatan paling
kuat terhadap bakteri Salmonella typhi dibandingkan dengan jenis ekstrak cacing
lainnya. Sedangkan pada konsentrasi 10.000 ppm ekstrak Lumbriscus rubellus
juga memiliki daya hambat lebih kuat yang jelas berbeda nyata dengan ekstrak
Nereis sp. pada konsentrasi 100.000 ppm. Namun hal ini jika dibandingkan
dengan ekstrak Eisenia foetida 100.000 ppm lebih kuat menghambat
pertumbuhan Salmonella typhi. Gambar 6 menunjukkan zona hambat ekstrak
Nereis sp yang didapatkan dalam penelitian ini. Gambar 7 menunjukkan zona
hambat ekstrak Lumbricus rubellus yang didapatkan dalam penelitian ini. Dan
Gambar 8 menunjukkan zona hambat ekstrak Eisenia foetida yang didapatkan
dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil zona bening pada Gambar 6., Gambar 7., dan Gambar
8, dapat diketahui bahwa sifat dari bakteri Salmonella typhi menunjukkan
resistensi terhadap antibakteri yang diperoleh dari ekstrak etil asetat Nereis sp
dan kepekaan terhadap kontrol positif kloramfenikol 30 ppm dengan diameter
41
zona bening lebih dari 18 mm. Zona hambat yang tidak muncul pada beberapa
konsentrasi ekstrak cacing laut Nereis sp. menunjukkan bahwa cacing laut tidak
efektif untuk digunakan sebagai antibakteri untuk bakteri Salmonella typhi.
(A)
(A1) (A2)
Keterangan tanda panah : konsentrasi ekstrak 0 ppm : konsentrasi ekstrak 10 ppm : konsentrasi ekstrak 100 ppm : konsentrasi ekstrak 1000 ppm : konsentrasi ekstrak 10000 ppm : konsentrasi ekstrak 100000 ppm : kontrol positif kloramfenikol 30 ppm
A
Gambar 1. Zona Hambat Ekstrak Nereis sp (A), Nereis sp kontrol positif (A1), dan Nereis sp konsentrasi 100.000 ppm (A2)
42
(B)
(B1) (B2)
(B1) (B3)
Keterangan tanda panah : konsentrasi ekstrak 0 ppm : konsentrasi ekstrak 10 ppm : konsentrasi ekstrak 100 ppm : konsentrasi ekstrak 1000 ppm : konsentrasi ekstrak 10000 ppm : konsentrasi ekstrak 100000 ppm : kontrol positif kloramfenikol 30 ppm
B
Gambar 2. Zona Hambat Ekstrak Lumbricus rubellus (B), Lumbricus rubellus kontrol positif (B1), Lumbricus rubellus konsentrasi 100.000 ppm (B2), dan Lumbricus rubellus konsentrasi 10.000 ppm (B3) (B3)
43
(C)
(C1) (C2) (C1) (C3) Keterangan tanda panah : konsentrasi ekstrak 0 ppm : konsentrasi ekstrak 10 ppm : konsentrasi ekstrak 100 ppm : konsentrasi ekstrak 1000 ppm : konsentrasi ekstrak 10000 ppm : konsentrasi ekstrak 100000 ppm : kontrol positif kloramfenikol 30 ppm
C
Gambar 3. Zona Hambat Ekstrak Eisenia foetida (B) Eisenia foetida kontrol positif (B1), Eisenia foetida konsentrasi 100.000 ppm (B2), dan Eisenia foetida konsentrasi 10.000 ppm (B3)
44
Cacing tanah Lumbricus rubellus mengandung senyawa lumbricin.
Lumbricin merupakan senyawa cacing tanah termasuk dalam golongan peptida
antimikroba yang umumnya dimiliki hewan sebagai bentuk pertahanan alamiah
terhadap kehadiran mikroba patogen di lingkungannya (Tasiemski, 2006).
Peptida antimikroba memiliki kemampuan untuk merusak membran plasma
bakteri patogen dengan cara interaksi elektrostatik dengan dinding sel bakteri
sehingga terbentuk lubang ionik atau celah yang menyebabkan terjadinya
perubahan pada permeabilitas membran sel (Willey et al., 2009). Berdasarkan
penelitian Istiqomah et al.,(2014) bakteri gram negatif Escherichia coli,
Salmonella pullorum, dan Pseudomonas aeruginosa pertumbuhannya dapat
terhambat akibat dari aktivitas antibakteri ekstrak kering cacing tanah Lumbricus
rubellus. Ditambahkan oleh Widiyatmi et al., (2010) melaporkan bahwa ekstrak
bubuk cacing tanah mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif
antara lain Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa cacing tanah Eisenia foetida
memiliki manfaat sebagai antibakteri. Cacing tanah Eisenia foetida menurut
Popovix et al., (2005), melaporkan bahwa cacing ini menghasilkan
glikolipoprotein G-90 yang berguna sebagai antibakteri. Selain itu cacing
berjenis Eisenia foetida ini dapat menghambat ertumbuhan bakteri patogen.
Cacing laut Nereis sp dapat digunakan sebagai antibakteri. Hal ini juga telah di
butikan pada uji ekstrak nyale jantan atau cacing laut pada bakteri bentos
bahwa hampir semua fraksi mampu menghambat bakteri. Adanya zat
antibakteri pada tubuh nyale jelas sangat berarti untuk mempertahankan
hidupnya dari lungkungan. Protein hemerythrin berfungsi sebagai “cadmium
scavenger” atau pemakan cadmium dan “iron scavenger” atau pemakan zat
besi yang digunakan cacing dalam mempertahankan diri dari serangan bakteri.
Protein tersebut diproduksi dan diekspresikan dalam pusat haematopoitik yang
45
melayang bebas dalam cairan lambung sebelum disimpan dalam granulosit.
Cacing laut Nereis sp. juga dilaporkan memiliki senyawa aktif antibakteri yaitu
hedistin (Jekti, 2008).
.
4.4 Uji Minimum Inhibition Concentration (MIC)
Uji Minimum Inhibition Concentration (MIC) adalah uji yang digunakan
untuk mengetahui konsentrasi terendah dari ekstrak yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri. Kontrol positif yang digunakan dalam pengujian MIC
adalah ampicilin. Ampicilin merupakan antibiotik yang termasuk dalam golongan
penicilin. Karena dalam suatu golongan maka obat tersebut memilliki mekanisme
kerja yang sama. Ampicilin tidak memunuh bakteri secara langsung tetapi
dengan cara mencegah bakteri membentuk semacam lapisan kapsul yang
melekat disekujur tubuhnya. Lapisan kapsul bagi bakteri berfungsi sangat vital
yaitu melindungi bakteri dan perubahan lingkungan dan menjaga agar tubuh
bakteri tidak tercerai berai. Bakteri tidak akan mampu bertahan hidup tanpa
adanya lapisan kapsul ini (Wirawan, 2007).
Media yang digunakan untuk uji MIC adalah media cair Trypticase Soy
Broth (TSB). Pertumbuhan bakteri pada media TSB ditandai dengan warna
kekeruhan pada media, sedangkan media yang jernih menandakan tidak adanya
pertumbuhan bakteri. Penghambatan bakteri ditentukan berdasarkan perubahan
kekeruhan media pada absorbansi dengan panjang gelombang 686 nm sebelum
diinkubasi dengan setelah diinkubasi. Perubahan kekeruhan sebelum dan
sesudah inkubasi dianggap terjadi penghambatan pertumbuhan bakteri. Nilai
MIC diambil dari konsentrasi terendah yang menunjukkan penurunan absorbansi.
Mekanisme ampicillin sebagai kontrol positif memiliki sifat penghambatan
bakteri dengan cara penghancuran terhadap dinding peptidoglikan pada sel
bakteri. Hal ini disebabkan karena gugus amino pada ampicillin mampu
46
menembus membran terluar pada bakteri gram positif ataupun bakteri gram
negatif (Yanti, 2014). Ditambahkan oleh Cita (2011), melaporkan bahwa
mekanisme resistensi terhadap ampisilin sebagai kontrol positif, dapat terjadi
karena bakteri menghasilkan inaktivator berupa enzim laktamase, perubahan
target antibiotika sehingga kekurangan Penicillins Binding Protein (PBP),
kegagalan dalam mengaktifkan enzim autolisis dan bakteri tidak memiliki
peptidoglikan. Resistensi terhadap kloramfenikol, dapat terjadi melalui perubahan
target (ribosom) dari antibiotika, dihasilkannya inaktivator berupa enzim
kloramfenikol asetil transferase dan mekanisme yang membatasi antibiotika
masuk secara terus menerus melalui membran luar serta akan memompa keluar
antibiotika dari sitoplasma. Menurut Krisnata et al., (2014), senyawa-senyawa
yang mempunyai aktivitas bakteristatik itu dapat meningkat menjadi bakterisid,
jika kadar senyawa antibakteri itu ditingkatkan melebihi kadar hambat minimal.
Hasil pengujian dari MIC didapatkan nilai Minimum Inhibition
Concentration (MIC) ekstrak cacing laut Nereis sp pada konsentrasi 50.000 ppm;
100.000 ppm; dan kontrol positif ampicilin 10.000 ppm. nilai Minimum Inhibition
Concentration (MIC) ekstrak cacing Lumbricus rubellus pada konsentrasi 12.500
ppm; 25.000 ppm; 50.000 ppm; 100.000 ppm dan kontrol positif ampicilin 10.000
ppm. Sedangkan nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) ekstrak cacing
Eisenia foetida pada konsentrasi 12.500 ppm; 25.000 ppm; 50.000 ppm; 100.000
ppm; dan kontrol positif ampicilin 10.000 ppm. Tabel 8 menunjukkan hasil dari
absorbansi MIC pada λ 686 nm. Hasil dari MIC di hitung menggunakan MS
Excell untuk mengetahui rata rata dan standar deviasinya.
47
Tabel 4. Hasil Absorbansi MIC (λ 686 nm)
No Sampel Konsentrasi
Optical Density Salmonella
typhi sebelum inkubasi
Optical Density
Salmonella typhi setelah
inkubasi
1
Ekstrak Etil asetat Nereis sp (A)
Ampicillin 10.000 ppm (a) 0.609±0,010 0,029±0,002 0 ppm (b) 0,232±0,016 0,234±0,026 12.500 ppm (c) 1,231±0,002 1,115±0,003 25.000 ppm (d) 1,235±0,005 0,989±0,002 50.000 ppm (e) 1,333±0,005 1,302±0,005 100.000 ppm (f) 1,862±0,003 1,749±0,007
2
Ekstrak Etil asetat Lumbricus rubellus (B)
Ampicillin 10.000 ppm (a) 0,728±0,004 0,003±0002 0 ppm (b) 0,006±0,004 0,740±0,040 12.500 ppm (c) 0,687±0,003 0,651±0,004 25.000 ppm (d) 1,184±0,003 1,157±0,004 50.000 ppm (e) 1,473±0,003 1,391±0,004 100.000 ppm (f) 2,056±0,002 1.888±0,146
3
Ekstrak Etil asetat Eisenia foetida (C)
Ampicillin 10.000 ppm (a) 0,025±0,004 0,023±0,002 0 ppm (b) 0,129±0,009 0,023±0,002 12.500 ppm (c) 0,153±0,004 0,194±0,004 25.000 ppm (d) 0,319±0,003 0,213±0,005 50.000 ppm (e) 0,504±0,004 0,383±0,004 100.000 ppm (f) 0,633±0004 0,624±0,003
4.5 Uji Minimum Bactericidal Concentration (MBC)
Uji Minimum Bactericidal Concentration (MBC) bertujuan untuk
mengetahui sifat bakterisidal dari suatu antibakteri yang telah diekstrak.
Pengujian dilakukan dengan penanaman pada konsentrasi nilai MIC yang
mengalami penurunan absorbansi. Bakteri yang telah dipaparkan dengan ekstrak
pada uji MIC dipindahkan pada media Trypticase Soy Broth (TSB) steril baru
untuk mengetahui sifat dari senyawa antibakteri yang diekstraksi. Hasil penelitian
ditandai dengan adanya kekeruhan pada tabung reaksi yang menandakan
adanya pertumbuhan koloni bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam. Tabel 9
menunjukkan hasil penelitian uji MBC. Hasil uji MBC menunjukkan bahwa
ekstrak etil asetat cacing tanah Lumbricus rubellus, Eisenia foetida dan cacing
laut Nereis sp., menunjukkan adanya kekeruhan pada tabung uji yang
menandakan pertumbuhan koloni dan bersifat bakteristatik terhadap bakteri
48
Salmonella typhi. Kontrol positif ampicillin yang digunakan bersifat bakteristatik
pada konsentrasi 10.000 ppm.
Tabel 5. Hasil Uji MBC
No Sampel Konsentrasi Kekeruhan
1 Ekstrak etil asetat Nereis sp
(A)
0 ppm (a) Keruh
12.500 ppm (b) Keruh
25.000 ppm (c) Keruh
50.000 ppm (d) Keruh
100.000 ppm (e) Keruh
2 Ekstrak etil asetat
Lumbricus rubellus (B)
0 ppm (a) Keruh
12.500 ppm (b) Keruh
25.000 ppm (c) Keruh
50.000 ppm (d) Keruh
100.000 ppm (e) Keruh
3 Ekstrak etil asetat Eisenia foetida (C)
0 ppm (a) Keruh
12.500 ppm (b) Keruh
25.000 ppm (c) Keruh
50.000 ppm (d) Keruh
100.000 ppm (e) Keruh
4 Kontrol Ampicillin 10.000 ppm Bening
4.6 Pengamatan Morfologi
4.6.1 Pengamatan Morfologi dengan Mikroskop Cahaya
Hasil pengamatan dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali
tidak bisa diketahui adanya perubahan morfologi dari bakteri uji Salmonella typhi.
Pengamatan dengan mikroskop cahaya dilakukan pada konsentrasi ekstrak yang
menjadi nilai MIC, yaitu konsentrasi dari MIC yang memiliki nilai penurunan pada
absorbansi sebelum dan sesudah diinkubasi. Pengamatan dengan mikroskop
cahaya ini menggunakan zat warna safranin karena bakteri Salmonella typhi
merupakan bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif dapat menyerap zat warna
kedua yaitu safranin dan menyebabkan warna merah.
Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel dengan kandungan lipid
yang tinggi. Penambahan safranin pada pengujian pengamatan morfologi bakteri
49
ini menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena persenyawaan kompleks
kristal violet-yodium larut dan dinding sel kemudian mengikat zat warna kedua
yang berwarna merah (Lay,1994). Hasil pengamatan morfologi bakteri
Salmonella typhi dengan pewarnaan yang terpapar ekstrak kasar cacing laut
Nereis sp tidak menunjukkan adanya perubahan morfologi bakteri. Seiring
dengan bertambahnya konsentrasi maka jumlah koloni bakteri semakin
berkurang. Gambar 9 menunjukkan hasil Salmonella typhi yang terpapar ekstrak
cacing laut Nereis sp menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 100 kali.
Foto Pengamatan
Ekstrak Cacing Laut Nereis sp. 0 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak Cacing Laut Nereis sp. 12.500 ppm dengan pelarut etil asetat Gambar 4. Pengamatan Salmonella typhi yang terpapar ekstrak Cacing Laut
Nereis sp dengan pelarut etil asetat (dilanjutkan)
10 µM
10 µM
50
(lanjutan)
Ekstrak Cacing Laut Nereis sp 25.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak Cacing Laut Nereis sp. 50.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak Cacing Laut Nereis sp. 100.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Gambar 9. Pengamatan Salmonella typhi yang terpapar ekstrak Cacing Laut
Nereis sp dengan pelarut etil asetat (dilanjutkan)
10 µM
10 µM
10 µM
51
(lanjutan)
Ekstrak Cacing Laut Nereis sp kontrol positif ampicillin 10.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Hasil pengamatan morfologi bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan
yang terpapar ekstrak kasar cacing tanah Lumbriscus rubellus dengan pelarut etil
asetat tidak menunjukkan adanya perubahan morfologi bakteri namun
menunjukkan adanya pemisahan koloni akibat paparan ekstrak. Seiring dengan
bertambahnya konsentrasi maka jumlah koloni bakteri semakin berkurang.
Gambar 10 menunjukkan hasil Salmonella typhi yang terpapar ekstrak etil asetat
Lumbriscus rubellus mikroskop cahaya pada perbesaran 100 kali.
Foto Pengamatan
Ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus 0 ppm dengan pelarut etil asetat Gambar 10. Pengamatan Salmonella typhi yang terpapar ekstrak cacing tanah
Lumbriscus rubellus dengan pelarut etil asetat (dilanjutkan)
Gambar 9. Pengamatan Salmonella typhi yang terpapar ekstrak etil asetat
Nereis sp
10 µM
10 µM
52
(lanjutan)
Ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus 12.500 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus 25.000 ppm dengan pelarut etil asetat Ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus 50.000 ppm dengan pelarut etil asetat Gambar 10. Pengamatan Salmonella typhi yang terpapar ekstrak cacing tanah
Lumbriscus rubellus dengan pelarut etil asetat (dilanjutkan)
10 µM
10 µM
10 µM
53
(lanjutan)
Ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus 100.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus kontrol positif ampicillin 10.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Hasil pengamatan dari morfologi bakteri Salmonella typhi dengan
pewarnaan sederhana yang terpapar ekstrak kasar cacing tanah Eisenia foetida
dengan pelarut etil asetat menunjukkan tidak adanya perubahan morfologi
namun terdapat pemisahan koloni bakteri. Koloni bakteri pada konsentrasi
12.500 ppm mengalami penurunan dikarenakan ekstrak memiliki penghambatan
bakteri atau nilai MIC pada konsentrasi 12.500 ppm . Gambar 11 menunjukkan
hasil Salmonella typhi yang terpapar ekstrak etil asetat Eisenia foetida mikroskop
cahaya pada perbesaran 100 kali.
Gambar 10. Pengamatan Salmonella typhi yang terpapar ekstrak cacing tanah Lumbriscus rubellus dengan pelarut etil asetat
54
Foto Pengamatan
Ekstrak cacing tanah Eisenia foetida 0 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak cacing tanah Eisenia foetida 12.500 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak cacing tanah Eisenia foetida 25.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Gambar 11. Pengamatan Salmonella typhi terpapar ekstrak Eisenia foetida (dilanjutkan)
10 µM
10 µM
10 µM
55
(lanjutan)
Ekstrak cacing tanah Eisenia foetida 50.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak cacing tanah Eisenia foetida 100.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Ekstrak cacing tanah Eisenia foetida kontrol positif ampicillin 10.000 ppm dengan pelarut etil asetat
Gambar 11. Pengamatan Salmonella typhi terpapar ekstrak cacing tanah Eisenia foetida dengan pelarut etil asetat
10 µM
10 µM
56
4.6.2 Pengamatan Menggunakan Scaning Electron Microscop (SEM)
Dari hasil pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscope
perbesaran 15.000X tidak ditemukan kerusakan struktur morfologi secara
keseluruhan pada bakteri Salmonella typhi yang terpapar ketiga jenis ekstrak.
Bakteri yang terpapar ekstrak cacing laut Nereis sp, cacing tanah Lumbricus
rubellus dan cacing tanah Eisenia foetida hanya mengalami sedikit kerusakan
pada dinding sel seperti pengkerutan. Hal ini disebabkan karena ekstrak yang
bersifat bakteristatik yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri. Koloni
bakteri juga mengalami pemisahan yang disebabkan terpaparnya ekstrak cacing
laut Nereis sp, cacing tanah Lumbricus rubellus, dan cacing tanah Eisenia
foetida. Gambar 12 menunjukkan pengamatan morfologi bakteri Salmonella typhi
terpapar ekstrak cacing laut Nereis sp dengan Scanning Electron Microscop.
Gambar 13 menunjukkan pengamatan morfologi bakteri Salmonella typhi
terpapar ekstrak cacing tanah Lumbricus rubellus dengan Scanning Electron
Microscop. Gambar 14 menunjukkan pengamatan morfologi bakteri Salmonella
typhi terpapar ekstrak cacing tanah Eisenia foetida dengan Scanning Electron
Microscop.
Mekanisme kerja antibiotik menurut Effonora (1990), dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu menghambat metabolisme sel mikroba sehingga
diperoleh efek bakteriostatik, menghambat sintesis dinding sel mikroba sehingga
terjadi kerusakan dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis.
Ditambahkan oleh Brock and Madigan (1994), mengemukakan bahwa
mekanisme kerja bakteriostatik adalah menghambat sintesis protein dengan
mengikat ribosom, sedangkan bakterisidal mencegah pertumbuhan dan
menyebabkan kematian, namun tidak menyebabkan sel bakteri menjadi lisis.
Berbeda dengan bakterisidal, bakterilitik bekerja dengan cara membuat lisis sel-
sel bakteri.
57
Keterangan tanda panah : morfologi bakteri yang mangalami pengkerutan
Keterangan tanda panah : morfologi bakteri yang mangalasmi pengkerutan
Gambar 12. Pengamatan Bakteri Salmonella typhi Terpapar Ekstrak Cacing Laut Nereis sp dengan pelarut etil asetat menggunakan Scanning
Electron Microscop (perbesaran 15.000X)
Gambar 13. Pengamatan Bakteri Salmonella typhi Terpapar Ekstrak Cacing Tanah Lumbricus rubellus dengan pelarut etil asetat menggunakan Scanning Electron Microscop (perbesaran15.000X)
58
Keterangan tanda panah : morfologi bakteri yang mangalami pengkerutan
Gambar 14. Pengamatan Bakteri Salmonella typhi Terpapar Ekstrak Cacing Tanah Eisenia foetida dengan pelarut etil asetat menggunakan Scanning Electron Microscop (perbesaran 15.000X)
top related