4. zona agroekologi sebagai basis kajian … · kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya...
Post on 18-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
77
4. ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH
4.1 Rasional
Ide konsep pertanian berkelanjutan di dunia diilhami oleh Komisi
Brundtland yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987.
Paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut ditindaklanjuti dengan
diselenggarakannya Konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang
mendeklarasikan program pertanian berkelanjutan. Keluarnya gagasan pertanian
berkelanjutan merupakan respon terhadap penurunan kualitas sumberdaya alam
dan timbulnya masalah ekonomi dan sosial, sebagai dampak dari revolusi hijau
yang memperkenalkan pupuk agrokimia, obat pestisida dan bibit unggul
(Edward, 1994; dalam Altieri, 2002). Proposal tentang konsep agroekologi
merupakan upaya untuk memfasilitasi pemecahan masalah yang disebabkan oleh
dampak revolusi hijau tersebut (Gliessman, 2002).
Tujuan utama konsep agroekologi adalah untuk mewujudkan pertanian
berkelanjutan (Altieri, 1989, 2002). Munculnya konsep agroekologi di negara-
negara maju pada hakekatnya merupakan keinginan para pakar pertanian untuk
mengembalikan sistem pertanian yang sesuai dengan kaidah-kaidah ekosistem,
dalam hal ini adalah agroekosistem. Pengalaman penerapan revolusi hijau yang
mengabaikan kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin dapat
meningkatkan produktivitas lahan. Namun demikian, dalam jangka panjang akan
dapat mengakibatkan kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan.
Kekhawatiran inilah yang menjadi dasar pentingnya penerapan konsep
agroekologi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan.
Agroekologi adalah ilmu tentang aplikasi konsep dan prinsip-prinsip
ekologi untuk mendesain dan mengelola keberlanjutan agroekosistem. Aplikasi
agroekologi dapat dikatakan sebagai metode untuk mendiagnosa sistem pertanian
yang sehat, dengan mendelineasi prinsip-prinsip ekologi yang sesuai untuk
mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan (Gliessman, 1998, dalam
Gliessman, 2002). Agroekologi ini bersifat multidimensi karena merupakan
perpaduan ilmu ekologi, ekonomi, dan sosial (Altieri, 2002; Dalgaard et al. 2003).
Ketiga dimensi keilmuan tersebut adalah sebagai dasar penilaian keberlanjutan
78
pertanian, yaitu mantap secara ekologis, berlanjut secara ekonomi, adil,
manusiawi, dan luwes (Gips, 1986; dalam Sabiham, 2008).
Karena aspek-aspek agroekologi dapat dipetakan pada skala yang berbeda-
beda (Dalgaard et al. 2003; Rao dan Rogers, 2006), maka prinsip-prinsip ekologi
dapat didelineasi sebagai zona agroekologi, dengan menggunakan teknologi SIG.
Sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara maju, zona agroekologi
ini cocok untuk digunakan sebagai basis kajian keberlanjutan lahan sawah di Jawa
sebagai sentra produksi padi yang nampaknya masih terpuruk karena masalah
lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya
4.2 Tinjauan Pustaka
4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan
Kata ”pertanian berkelanjutan” terdiri dari dua kata, yaitu kata ”pertanian”
dan ”berkelanjutan”. Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1999), kata ”pertanian” diartikan sebagai segala sesuatu
yang bertalian dengan tanam-menanam. Kata ”berkelanjutan” berarti berlangsung
terus-menerus atau berkesinambungan. Sehingga, dalam konteks kata, pertanian
berkelanjutan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan tanam-menanam yang
berlangsung terus-menerus atau berkesinambungan.
Dalam kata ”keberlanjutan pertanian, kata kunci ”keberlanjutan” dapat
diartikan sebagai ”menjaga agar suatu upaya terus berlangsung atau kemampuan
untuk bertahan dan menjaga agar tidak menurun”. Keberlanjutan pada dasarnya
berarti sebagai kemampuan lahan untuk tetap produktif sekaligus tetap dapat
mempertahankan eksistensi sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidup manusia.
Dalam konteks pertanian, definisi pertanian berkelanjutan ada bermacam-
macam. Dari kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, pertanian
berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input
Sustainable Agriculture), yaitu pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat (seperti tanah, air,
tumbuhan, tanaman, dan hewan lokal serta tenaga manusia, pengetahuan, dan
ketrampilan) dan yang secara ekonomi layak, mantap secara ekologis, disesuaikan
79
menurut budaya dan adil secara sosial (Reijntjes et al. 1999). Nasution (1995)
mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai kegiatan pertanian yang berupaya
untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologi
dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas
pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup, dan produktivitas sumberdaya
sepanjang masa. Menurut Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC-
CGIAR, 1988, dalam Mangkuprawira, 2007), pertanian berkelanjutan adalah
pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu
kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan
kualitas dan melestarikan sumberdaya alam. Pertanian berkelanjutan diistilahkan
oleh Word Bank/Trie Societies (1998, dalam Notohadinegoro, 1999) sebagai
sustainable intensification, yaitu sistem pengelolaan pertanian terpadu yang
secara berangsur meningkatkan produktivitas lahan sambil mempertahankan
keutuhan dan keaneragaman ekologi dan hayati sumberdaya alam selama jangka
panjang, memberikan keuntungan ekonomi kepada para perorangan,
menyumbang kepada mutu kehidupan dan memperkuat pembangunan ekonomi
negara. Secara ringkas, sistem pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah
back to nature, yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi,
selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk
pada kaidah-kaidah alamiah (Salikin, 2003). Pembangunan pertanian
berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha
pertanian melalui penerapan teknologi pertanian dan kelembagaan secara
berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan (Deptan, 2006). Setidaknya,
pertanian berkelanjutan mengandung makna empat aspek, yaitu (1) kesadaran
ekologi (ecological sound), (2) bernilai ekonomi (economic viability), (3)
berkeadilan sosial (social justice), dan (4) berperikemanusiaan (humaness)
(Anonim, http://allianceforsustainability.net, 18 Juli 2008). Karena pembangunan
pertanian tidak dapat terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya, sistem
pertanian berkelanjutan setidaknya mengandung makna sesuai secara teknis, layak
secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya masyarakat setempat
(Puslitanak, 1999). Pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika mantap secara
ekologis (kualitas sumberdaya alam dan kemampuan agroekosistem dijaga dan
80
ditingkatkan), bisa berlanjut secara ekonomi (petani mendapat penghasilan yang
cukup dan kelestarian sumberdaya alam dijaga), adil (sumberdaya dan kekuasaan
didistribusikan kepada petani secara demokratis), manusiawi (integritas budaya
dan spiritualitas masyarakat petani dijaga dan dipelihara), dan luwes (masyarakat
petani mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang
berkelanjutan) (Gibs, 1986; dalam Reijntjes et al., 1999). Sabiham (2008)
mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah sebagai pengelolaan
sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan,
dan papan), sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan
dan melestarikan sumberdaya alam.
4.2.2 Konsep Agroekologi
Istilah agroekologi secara paralel diusulkan oleh ahli zoologi Jerman dan
ahli fisiologi tanaman Amerika pada tahun 1930 dan 1939, sebagai sinonim untuk
aplikasi ekologi dalam bidang pertanian (Gliessman, 2002; Dalgaard et al.,
2003). Pemikiran ahli ekologi pada saat itu, walaupun fokusnya relatif masih
sempit, telah memberi wawasan ke depan tentang pengintegrasian ekosistem
(Dalgaard et al., 2003). Lahirnya disiplin ilmu agroekologi, menurut Altieri
(1989), dilatarbelakangi oleh adanya ancaman keberlanjutan pengembangan
pertanian selama dua dekade terakhir karena keterbatasan sumberdaya, terjadinya
degradasi lingkungan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, tidak terkontrolnya
atau macetnya pertumbuhan ekonomi, marjinalisasi sosial, dan lain-lain. Faktor-
faktor yang mengakibatkan terancamnya pembangunan pertanian berkelanjutan
tersebut berasal dari ekternalitas negatif dari penerapan revolusi hijau yang telah
mengintrodusir penggunaan pupuk kimia (sintetis), pestisida, dan bahan-bahan
kimia lainnya untuk memacu produktivititas hasil panen biji-bijian (Dalgaard et
al., 2003; Salikin, 2003). Kekhawatiran terhadap ancaman pertanian
berkelanjutan tersebut mendorong pengusulan ilmu agroekologi yang diharapkan
dapat mengatasi permasalahan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, serta
gizi buruk masyarakat (Dalgaard et al., 2003).
Dalam berbagai konsep, agroekologi diusulkan sebagai disiplin ilmu baru
yang mendefinisikan, mengklasifikan, dan mempelajari sistem pertanian dari
81
perspektif ekologi, sosial, dan ekonomi (Altieri, 1987, dalam Altieri, 1989).
Selain manyajikan metodologi yang mendiagnosa kesehatan sistem pertanian,
agroekologi seharusnya mendeliniasi prinsip-prinsip ekologi yang diperlukan
untuk mengembangkan sistem produksi pertanian berkelanjutan (Altieri, 1989).
Agroekologi sebagai ilmu baru yang mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan
(Altieri, 1989, GFAR, 2000, Dalgaard et al., 2003) diarahkan untuk dapat
menjelaskan aliran energi, informasi dan bahan dalam ekosistem pertanian agar
keluaran yang diperoleh dapat optimal, penggunaan masukan eksternal dapat
diminimalkan, serta pencemaran terhadap sumberdaya alam dapat dihindari
(GFAR, 2000). Agroekologi membahas dimensi agroekosistem secara lebih luas,
mulai dari aspek genetik, agronomi, edapologinya, dan lain-lain. Dalam hal ini,
agroekologi menitikberatkan hubungan antar komponen dalam agroekosistem dan
dinamika yang komplek dari proses ekologi. Karena cakupan bahasannya yang
bersifat terpadu dari multidisiplin, agroekologi dapat diartikan sebagai pengkajian
agroekosistem yang bersifat holistik, yang mencakup semua unsur-unsur
lingkungan dan manusia (Vandemeer, 1995 dalam Altieri, 2002). Dalgaard et al.
(2003) mengilustrasikan konsep agroekologi yang bersifat multidisiplin seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 33. Agroekologi didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari interaksi antara tanaman, hewan, manusia, dan lingkungan di
dalam sistem pertanian. Oleh karena itu, agroekologi merupakan bidang studi
yang mengintegrasikan bidang agronomi, ekologi, sosiologi, dan ekonomi
(Dalgaard et al., 2003). Menurut Gliesmann (1989, dalam Gliessman, 2000)
agroekologi merupakan aplikasi ilmu ekologi untuk mendesain dan mengelola
agroekosistem berkelanjutan. Karena pembangunan pertanian tidak dapat
terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya (Puslitanak, 1999), sistem
pertanian berkelanjutan setidaknya mengandung makna sesuai secara teknis, layak
secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya masyarakat setempat.
Agroekologi merupakan suatu pendekatan bertani untuk merespon
ketidakefisienan agronomi dan ketidak-adilan sosial dari pertanian konvensional.
Prinsip dan penerapan agroekologi menggabungkan metode-metode bertani yang
telah terbukti, ilmu ekologi baru, dan budaya lokal petani untuk meningkatkan
produktivitas, keberlanjutan, dan manfaat sosial bertani (Cohn et al., 2006).
82
Dalgaard et al. (2003) menjelaskan bahwa faktor ekologi dan agronomi
yang mempengaruhi kelangsungan produksi pangan merupakan faktor fisik, dan
disebut sebagai faktor piranti keras (hard agroecology). Melalui agroekosistem
dimana terjadi interaksi antara tanaman, hewan dan lingkungan, piranti keras
agroekologi ini berinteraksi dengan faktor aktifitas manusia (sosiologi), yang
disebut sebagai faktor piranti lunak agroekologi (soft agroecology). Menurut
Checkland (1999, dalam Dalgaard et al. 2003), masuk-keluarnya modal dalam
sistem pertanian tidak hanya ditentukan oleh faktor fisik saja, tetapi juga oleh
faktor budaya (cultural knowledge), pengalaman manusia, potensi pengembangan
teknologi, dan lain-lain. Berbeda dengan investasi dalam piranti keras, investasi
piranti lunak bersifat fleksibel, dan bahkan perannya dapat menggantikan
sebagian investasi peran piranti keras agroekologi (Pearce, 1996, dalam Dalgaard
et al., 2003). Menurut Reijntjes et al. (1999), konsep utama dalam agroekologi
adalah adaptabilitas (relung), yaitu fungsi atau peran suatu organisme dalam
ekosistem serta sumberdaya kehidupannya yang menentukan kesempatannya
untuk bertahan hidup dan pengaruh positip atau negatipnya terhadap komponen
lain. Agroekosistem dengan tingkat keanekaragaman tinggi cenderung lebih
Tanaman Hewan
Lingkungan
Agroekosistem
Manusia
Masyarakat
Kepercayaan
Fisika Kimia
Ekologi
Sosiologi
Ekonomi
Agronomi
Filosofi Teologi
Bahan
Gambar 33. Agroekologi merupakan integrasi dari ekologi, agronomi, sosiologi, dan ekonomi (Dalgaard et al., 2003).
83
stabil dari pada yang ditempati oleh hanya satu spesies (seperti dalam budidaya
monokultur). Suatu agroekosistem yang keanekaragamnya tinggi memberi
jaminan yang lebih tinggi bagi petani. Jika keanekaragaman fungsional bisa
dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki ciri
saling melengkapi dan berinteraksi secara positif, maka bukan kestabilan saja
yang bisa diperbaiki, namum juga produktivitas pertanian dengan input rendah.
Tujuan utama agroekologi adalah untuk menjawab permasalahan
keberlanjutan pertanian. Agroekologi diarahkan untuk meningkatkan ekonomi
dan keberlanjutan ekologi dari agroekosistem, dengan memperhatikan kondisi
lingkungan, sosial dan ekonomi yang ada di daerah. Di dalam strategi
agroekologi, pengelolaan komponen-komponen yang mempengaruhi
kelangsungan produksi pangan diarahkan ke konservasi dan peningkatan
sumberdaya pertanian lokal (plasmanutfah, tanah, fauna, keragaman tanaman, dan
lain-lain) dengan mengembangkan metodologi yang mendorong partisipasi petani,
penggunaan budaya lokal, dan adaptasi usaha tani yang dapat mempertemukan
kebutuhan lokal dan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial (Altieri, 1989).
4.2.3 Hubungan Zona Agroekologi dan Daya Dukung Lahan Sawah
Dalam agroekologi, faktor ekologis (biofisik), ekonomi, dan sosial-budaya
memiliki skala yang berbeda-beda. Ketiga faktor tersebut dapat diintegrasikan
dengan teknologi SIG (Rao dan Rogers, 2006). Proses integrasi dengan teknologi
SIG ini mendelineasi faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi sistem produksi
pertanian di suatu wilayah, yang disebut sebagai zona agroekologi (ZAE).
Menurut FAO (1996), ZAE adalah suatu wilayah yang memiliki kesamaan
karakteristik tanah, bentuklahan (landform), dan iklim, terutama faktor iklim dan
edafik untuk persyaratan pertumbuhan tanaman dan sistem pengelolaan yang
diterapkan. Penciri ZAE tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Wiradisastra
(2003), utamanya ditekankan pada penciri tertentu, yaitu lingkungan pertumbuhan
tanaman yang dapat menghasilkan produk dan membawa keuntungan ekonomi.
Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa pengelompokkan dalam ZAE
bertujuan untuk menetapkan areal pertanian dan komoditas potensial, berskala
84
ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang
berkelanjutan.
Dalam penelitian ini, ZAE lahan sawah merupakan pengelompokan lahan
sawah berdasarkan kesamaan tingkat kesesuaian padi sawah dan tingkat
intensitas pertanaman yang disesuaikan dengan ketersediaan air dan kondisi
sosial-budaya masyarakat petani setempat. Tingkat kesesuaian dan intensitas
pertanaman padi sawah merupakan penciri utama dari ZAE lahan sawah.
Tingkat kesesuaian tanaman padi sawah mencerminkan tingkat kemantapan
ekologis, sedangkan tingkat intensitas pertanaman menunjukkan budaya lokal
masyarakat petani dalam melakukan pengelolaan lahan untuk mendapatkan hasil
dengan perolehan keuntungan yang optimal.
Sebagai wilayah pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan, ZAE lahan
sawah berperan penting sebagai basis kajian daya dukung lahan. Melalui ZAE
lahan sawah, permasalahan keberlanjutan pertanian padi sawah karena tekanan
pertambahan jumlah penduduk dapat dideteksi, yaitu dengan mengidentifikasi
status daya dukung lahan sawah. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 34,
Gambar 34. Hubungan zona agroekologi lahan sawah dengan daya dukung lahan sawah
Produksi Padi
Agroekologi
Tanaman Hewan
Lingkungan
Agroekosistem
ZAE Lahan Sawah
Penduduk
Status Daya Dukung Lahan Sawah
Kebutuhan Pangan Biofisik
Ekonomi
Sos-bud
85
agroekosistem sebagai sistem produksi padi di zona agroekologi lahan sawah
berperan sebagai penghasil padi (beras). Produksi beras yang dihasilkan
agroekosistem ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan (beras) yang
diperlukan penduduk. Rasio antara suplai beras dari agroekosistem di zona
agroekologi lahan sawah terhadap kebutuhan pangan (beras) yang diperlukan
penduduk di suatu wilayah mencerminkan status (tingkat) daya dukung lahan
sawah. Informasi tentang status daya dukung lahan sawah ini berperan penting
untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan
(agroekosistem lahan sawah). Semakin tinggi tingkat tekanan penduduk semakin
besar tekanan yang diterima oleh agroekosistem lahan sawah. Tertekannya
agroekosistem ini mencerminkan terancamnya keberlanjutan lahan sawah karena
pertambahan jumlah penduduk.
4.3 Bahan dan Metode 4.3.1 Interpretasi Citra Satelit Inderaja
Data Inderaja satelit optik utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah citra ALOS PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2, (Juni 2007), serta
Landsat ETM komposit band 7,4,2 yang difusi dengan band 8 (Mei 2005)
sebagai data pembanding. Semua data citra satelit tersebut telah terektifikasi
terhadap peta Rupabumi skala 1: 25.000. Data pendukung yang digunakan
meliputi peta Rupabumi skala 1: 25.000 dan peta penutup lahan skala 1: 250.000
tahun 2000 yang ada di BAKOSURTANAL. Spesifikasi data citra satelit
Inderaja optik untuk penelitian disajikan pada Tabel 10.
Interpretasi obyek diutamakan pada lahan sawah dan daerah permukiman
yang bertopografi datar, agar pengaruh topografi terhadap distorsi luasan lahan
sawah yang diukur dari data citra dapat diabaikan. Interpretasi obyek dilakukan
secara visual dengan dukungan data sekunder dan survei lapangan. Delineasi
obyek hasil interpretasi secara visual didijitasi secara langsung pada layar
komputer yang diiterasi pada berbagai skala. Interpretasi obyek tersebut
didasarkan pada bentuk, ukuran, pola, tekstur, lokasi, dan tone (Lillesand dan
Kiefer, 1979).
86
Tabel 10. Data citra satelit Inderaja optik untuk penelitian
No.
Jenis Citra Path/Row
atau Path/center
Akuisisi
Resolusi Spasial
(m)
Band yang digunakan
1. ALOS PRISM 110/3730 13/4/2007
2,5 Panchromatik
2. ALOS AVNIR-2 103/3750 98/3770
13/4/2007 5 /6/2007
10 4,3,2
3. Landsat 7 118/66 119/65 122/64
10 /5/2005 17/5/2005 15/5/2005
30, 15
7,4,2, dan 8
4. SPOT-4 285/363 285/364
12/11/ 2003 20 1,2,3
Keterangan: Citra Alos AVNIR-2: band 1 (0,42-0,5 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,61-0,69 µm) band 4 (0,76-0,89 µm) Citra Landsat 7 : band 1 (0,45-0,52 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,63-0,69 µm) band 4 (0,76-0,90 µm), band 5 (1,55-1,75 µm), band 7 (2,08-2,35 µm) band 8 : 0.52-0.90 µm (Panchromatic) Citra SPOT-4 : band 1 : 0,50 – 0,59 µm, band 2: 0,61 – 0,68 µm, band 3 : 0,79 – 0,89 µm
Penggunaan metode interpretasi secara visual tersebut mempertimbangkan
kondisi sebagai berikut, yaitu 1) pola tanam padi sawah di Jawa bersifat tidak
seragam, 2) Basis data luasan lahan sawah yang dibangun berbasis format vektor,
3) Konversi data dari format raster menjadi vektor mengakibatkan sebagian besar
struktur topologi terfragmentasi yang editingnya time consuming atau sulit
ditangani oleh sistem perangkat lunak SIG yang ada saat ini.
Dalam melakukan delineasi obyek hasil interpretasi, tampilan citra pada
layar komputer awal mulanya diperbesar (zoom in) atau diperkecil (zoom out) di
berbagai skala, sehingga dapat diperoleh tampilan citra skala optimal. Apabila
sudah diperoleh tampilan citra skala optimal, dijitasi obyek mulai dilakukan pada
tampilan citra terpilih tersebut. Hasil dijitasi obyek disimpan sebagai file SHP
dengan menggunakan software ArcGIS versi 9.3, File SHP hasil dijitasi
didefinisikan sebagai fitur penutup lahan. Untuk menghitung luasan obyek, fitur
SHP penutup lahan hasil dijitasi selanjutnya diedit, dibangun topologinya, dan
ditransformasikan pada proyeksi UTM dengan georeferensi WGS’84. Untuk
mengevalusi peningkatan tingkat akurasi dari berbagai citra satelit Inderaja optik
yang digunakan, data luasan sawah dan permukiman hasil interpretasi citra
Landsat 7 ke ALOS PRISM dan AVNIR-2 dihitung perubahannya.
87
4.3.2 Pembuatan Basisdata Geospasial
Data yang digunakan terdiri dari primer dan sekunder. Data primer
meliputi data C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi ekonomi
dan sosial-budaya petani; sedangkan data sekunder terdiri dari berbagai data peta
skala 1: 250.000 dan 1: 25.000 (peta Rupabumi, sistem lahan, penutup lahan, peta
status hara P dan K, status hutan, potensi sumberdaya air dan irigasi, pola
pemanfaatan ruang) dan data statistik (jumlah penduduk dan produksi padi sawah).
Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, sedangkan data sekunder
diperoleh dari instansi-instansi terkait.
Dalam penelitian ini, proses pembuatan basisdata geospasial diperlihatkan
pada Gambar 35. Tahapan pembuatan basisdata meliputi (1) penentuan fitur
dataset, (2) pengklasifikasian fitur, (3) pendefinisan atribut dan tipe fitur, (4)
digitalisasi fitur, (5), validasi topologi, (6) standarisasi georeferensi, (7)
pengintegrasian atribut fitur, dan (8) finalisasi basisdata.
Tahap awal pembuatan basisdata geospasial adalah pengelompokan data
menjadi fitur kumpulan data (dataset) dasar dan tematik. Fitur data dasar
berfungsi sebagai referensi penyajian fitur tematik. Fitur dataset data dasar
tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan temanya, yaitu layer perairan,
layer komunikasi (jaringan jalan), layer ketinggian (hipsografi), layer toponimi
(nama-nama geografi), dan layer batas wilayah administrasi. Fitur dataset
tematik dirinci menjadi layer sistem lahan, layer penutup lahan, layer status
kawasan, layer agroklimat, layer irigasi, layer sosial-budaya. Data yang telah
diklasifikasikan tersebut digunakan sebagai input untuk proses selanjutnya.
Dalam inputing data, data-data yang diperoleh dalam bentuk dijital langsung
di-loading dan dilakukan pendefinisian atribut, sedangkan data dalam bentuk
analog melalui proses dijitalisasi fitur terlebih dahulu. Tahapan berikutnya,
atribut dari setiap fitur geospasial tersebut didefinisikan strukturnya, seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 11. Struktur atribut ini digunakan sebagai template data
entry nilai-nilai atribut yang diaktualisasikan dalam bentuk angka, simbol, atau
deretan karakter.
Dijitalisasi fitur dilakukan langsung melalui layar komputer dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3. Validasi topologi dimaksudkan
88
untuk mengecek akurasi geometri setiap fitur. Komponen topologi yang dikoreksi
meliputi penghapusan overlaping antar fitur poligon atau garis penyambungan
garis poligon yang terputus (dangles atau gaps), penghapusan garis overshoot
atau kelebihan fitur titik. Fitur-fitur yang topologinya telah divalidasi, selanjutnya
dilakukan standarisasi georeferensi terhadap semua fitur yang sudah bebas dari
kesalahan (clean data). Standarisasi georeferensi menggunakan referensi
nasional, yaitu Datum Geodesi Nasional Tahun 1995 (DGN95). DGN95 ini
mengadopsi ellipsoid World Geodetic System tahun 1984 (WGS84). Tahap
berikutnya, semua data atribut dengan format DBF yang di key-in dengan program
MS Excel diintegrasikan dengan fitur geospasialnya yang memiliki format SHP.
Pengintegrasikan data atribut dan fitur geospasial menggunakan model relasional,
seperti yang dijelaskan oleh Fleming dan Halle (1989). Dalam model DBMS
(Database Management System) relasional ini, penggabungan atribut dan fitur
geospasial menggunakan kunci primer (primary key). Fitur geospasial yang telah
Penentuan Fitur Dataset
Pengklasifikasian Fitur
Pendefinisian Atribut
Dijitalisasi Fitur
Validasi Topologi
Standarisasi Georeferensi
Pengintegrasian Atribut Fitur
Finalisasi basisdata
Basisdata Geogeospasi
al
Loading Data
Dijital
Analog
Gambar 35. Tahapan proses pembuatan basisdata geospasial
89
Tabel 11. Daftar fitur dan struktur atribut basisdata sumberdaya lahan
No. Fitur/Atribut Karakteristik atribut
Bentuk Fitur
Keterangan
1. Sistem Lahan Poligon
SIMBOL C (3) Kode sistem lahan (kunci primer)
NAM_LSYM C (25) Nama sistem lahan
LAN_TYPE C (25) Nama bentuklahan
SOIL_DOM C (15) Jenis batuan dominan
TC C (15) Suhu rata-rata tahunan
W1 C (15) Lama bulan kering
W2 RC1 RC2 RC3
C (15) C (15) C (15) C (15)
Jenis tanah dominan Curah hujan rata-rata tahunan Kelas drainase tanah Tekstur tanah
NR1 C (15) . KTK (me/100g tanah) (subsoil)
NR2 FREQ_BAN EROSI
C (15) C (15) C (15)
.
.
.
pH (surface soil) Frekwensi banjir Tingkat erosi tanah
PRODUK dll
C (10) Produktivitas padi (ton/ha)
2. Penutup Lahan Poligon
LCOVER C (5) Kode penutup lahan (kunci primer)
NAM_LCOVER C (25) Nama tipe penutup lahan
3. Batas Wilayah/ SOSEK
Poligon
Wil_PROV C (10) Wilayah provinsi (kunci prmer)
Wil_KAB C (15) Wilayah kabupaten
JUM_PDD I (15) Jumlah penduduk (jiwa)
KEP_PDD N,2 (10) Kepadatan penduduk (jiwa/km2)
TH_PDD C (8) Tahun jumlah penduduk
JUM_PTN I (15) Jumlah petani
JUM_GUR I (15) Jumlah petani gurem
4. Kawasan Hutan
KWH C (15) Nama status kawasan hutan
5. AGROKLIMAT
Oldeman C (5) Tipe agroklimat menurut Oldeman
6. Irigasi Poligon
Klas_irigasi C (10) Klasifikasi kondisi irigasi
Debit N,2 (5) Debit air irigasi (l/det/km2) Keterangan: I = integer, C=karakter,N=numerik
90
dilengkapi dengan atribut kemudian difinalkan kembali, yaitu dengan melakukan
validasi unsur-unsur data baik dari aspek topologi maupun nilai-nilai atributnya,
sehingga diperoleh basisdata geospasial seperti yang diinginkan. Gambar 36
menyajikan ilustrasi penggabungan data spasial (fitur geospasial) dengan atribut
menggunakan model DBMS relasional.
4.3.3 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah
Zonasi agroekologi lahan sawah menggunakan basismodel SIG (Gambar
37). Model SIG ini merupakan basisdata sintesis yang dibangun melalui proses
overlay (menu union dalam perangkat lunak ArcGIS versi 9.3) dari layer sistem
lahan, penutup lahan, kawasan hutan, kondisi irigasi, dan batas wilayah
administrasi. Setiap layer dalam basismodel SIG ini memiliki skala 1: 250.000
dan georeferensi standar nasional, yaitu DGN95, yang mengadopsi ellipsoid
WGS’84.
Gambar 36. Ilustrasi penggabungan data spasial dengan atribut menggunakan DBMS relasional.
Nama coverage Info
ARC AAT Tic BND PAT
SISTEM LAHAN
SIMBOL (kunci primer)
SIMBOL
KAWASAN HUTAN
KWH (kunci primer)
KWH
PENUTUP LAHAN
LCOVER (kunci primer)
LCOVER
DATA SPASIAL DATA ATRIBUT
91
Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 12.
Delineasi ZAE lahan sawah diawali dengan penilaian kesesuaian lahan dengan
menggunakan basisdata sistem lahan sebagai satuan unit lahan (land unit) yang
digabungkan dengan data atribut tentang persyaratan tumbuh tanaman padi
sawah (menggunakan menu join pada perangkat lunak SIG ArcGIS).
Penggabungan data spasial sistem lahan dan atribut ini menggunakan prinsip
model DBMS relasional. Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode yang
dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staf (1983). Kualitas lahan untuk
penilaian kesesuaian lahan tersebut terdiri dari rejim temperatur (t), ketersediaan
air (w), kondisi perakaran (r), retensi hara (f), ketersediaan hara (n), toksisitas
(x), dan kondisi terrain (s). Kesesuaian lahan untuk padi sawah
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup
sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Kriteria kesesuaian lahan
untuk tanaman padi sawah dimaksud disajikan pada Tabel 13.
Gambar 37. Basismodel SIG konseptual untuk zonasi agroekologi lahan sawah
Batas Administrasi
SOSBUD
Irigasi
ZAE Lahan Sawah
Intensitas Pertanaman
Kawasan Hutan
Penutup Lahan union
join
union
Agroklimat
Sistem Lahan
Persyaratan Tumbuh Tanaman
Padi Sawah
join union
Kawasan Budidaya
Kesesuaian Lahan
Input Proses Output
92
Tabel 12 . Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah
Zona Agroekologi
Status Kawasan
Kesesuaian Lahan
Kondisi Irigasi
Intensitas Pertanaman
A (S1/ IP 300) Budidaya S1 Baik 3 (3 PS) B (S1/IP 200) Budidaya S1 Sedang 2 (2 PS + 1 PL) C (S1/IP 100) Budidaya S1 Buruk 1 (1 PS + 2 PL)
D (S2 /IP 300) Budidaya S2 Baik 3 (3 PS) E (S2 /IP200) Budidaya S2 Sedang 2 (2 PS + 1 PL) F S2 /IP 100) Budidaya S2 Buruk 1 (1 PS + 2 PL) G (S3/IP 300) Budidaya S3 Baik 3 (3 PS) H (S3/IP 200) Budidaya S3 Baik 3 (3 PS) I (S3/IP100) Budidaya S3 Buruk 1 (1 PS + 2 PL) J (N/IP100) Lindung N Tadah Hujan Tidak
didefinisikan
Lahan kelas S1 memiliki faktor pembatas yang tidak berarti atau minor dan
tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Lahan kelas S2 memiliki
faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan
masukan, biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Lahan kelas S3 memiliki
faktor pembatas berat, berpengaruh nyata terhadap produktivitas, dan memerlukan
modal tinggi sehingga perlu intervensi pemerintah atau pihak swasta. Lahan kelas
N memiliki faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi (Balai
Penelitian Tanah, 2003) Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman padi sawah yang dianalisis adalah kesesuaian lahan potensial, yaitu
kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan
perbaikan.
Hasil penilaian kesesuaian lahan kemudian diverifikasi dengan basisdata
kawasan budidaya yang diidentifikasi dengan layer penutup lahan dan status
kawasan hutan. Basisdata kawasan budidaya ini memiliki atribut ketersediaan
lahan yang diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu lahan tersedia dan lahan
tidak tersedia. Lahan tersedia adalah areal dengan penutup lahan sawah (SW)
dan berada di kawasan hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
Keterangan: PS: padi sawah, PL: palawija, IP: Indeks Pertanaman, kondisi irigasi baik: debit air >10 l/det/km2 (sesuai untuk 3 PS ) Kondisi irigasi sedang: debit air 2,5 – 10 l/det/km2 (sesuai untuk 2 PS + 1 PL) , kondisi irigasi buruk: debit air < 2,5 l/det/km2 (1 PS + 2 PL) Penanaman padi diasumsikan menggunakan varietas umur gernjah (105-124 hari) seperti Ciherang, IR64, dll
93
Tabel 13. Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (CSR/FAO Staff, 1983) Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan
S1 S2 S3 N
Rejim Temperatur (t) Suhu rata-rata tahunan (oC)
25-29 30-32, 24-22 33-35, 21-18 > 35, < 18
Ketersediaan Air (w) 1. Bulan kering (<100 mm) 2. Rata-rata curah hujan
tahunan
0-3 > 1500
3,1-9 1200-1500
9,1-9,5 800-1200
> 9,5 < 800
Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase 2. Tekstur tanah (permukaan) 3. Kedalaman tanah (cm)
Agak buruk, agak baik Sandy clay, loam, silt loam, silt clay loam
> 50
Sangat buruk, buruk Sandy loam, loam, silty clay loam, silty clay 41-50
Baik Loamy sand, massive clay 20-40
Ekstrim berlebih, berlebih Berbatu, pasir < 20
Retensi hara (f) 1. KTK me/100g tnh (subsoil) 2. pH (permukaan)
> medium 5.5-7.0
Rendah 7.1-8.0, 5.4-4.5
Sangat rendah 8.2-8.5, 4.5-4.0
> 8.5, < 4.0
Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan) P 2O5 tersedia (permukaan) K 2O5 tersedia (permukaan)
> medium Sangat tinggi, > medium
Rendah Tinggi rendah
Sangat rendah Medium-rendah Sangat rendah Medium rendah Sangat rendah
Sangat rendah
Toksisitas (x) Salinitas (mmhos/cm (sub soil
< 3
3.1-5
5.5-8
> 8
Terrain (s) Lereng (%) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)
0-3 0 0
3-5 < 0,01 < 2
5-8 0,01 2 – 10
> 8 > 0,1 > 10
Lahan tidak tersedia adalah areal dengan penutup lahan non-sawah dan berada di
kawasan non-budidaya, seperti kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi
(HK) seperti Cagar Alam Darat, Suaka Margasatwa Darat, Taman Nasional
Darat, Taman Hutan Raya, Taman Buru, dan Taman Wisata Alam.
Hasil penilaian kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan tersebut kemudian
dipadukan dengan basisdata intensitas pertanaman yang merupakan hasil
perpaduan antara basisdata agroklimat Oldeman, kondisi irigasi, dan sosial-
budaya petani padi sawah di suatu wilayah. Basisdata agroklimat Oldeman dan
kondisi irigasi digunakan untuk menentukan ketersediaan air, sedangkan kondisi
94
sosial-budaya digunakan untuk mengetahui kebiasaan para petani padi sawah
dalam melakukan pola tanam selama satu tahun. Penilaian ketersediaan air
berdasarkan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi secara berurutan
disajikan pada Tabel 14 dan 15. Hasil penilaian data ketersediaan air dan
kebiasaan (budaya) para petani padi sawah digunakan sebagai dasar penetapan
basisdata intensitas pertanaman (IP). Dalam hal ini, intensitas pertanaman
dialokasikan untuk tanaman padi sawah varietas umur genjah (105-124 hari),
seperti Ciherang yang dominan dijumpai pada saat survei lapangan dilakukan.
Basisdata intensitas pertanaman ini kemudian dipadukan dengan basisdata
kesesuaian lahan dan kawasan budidaya, sehingga diperoleh zona agroekologi
lahan sawah (ZAELS) seperti yang diinginkan.
Berdasarkan proses penentuan zona agroekologi lahan sawah tersebut,
kriteria setiap zona seperti yang disajikan pada Tabel 14 di-query dari file
basisdata ZAELS, yaitu hasil overlay (U) sistem lahan (SL), penutup lahan (PL),
status kawasan hutan (KWH), agroklimat (IKLIM), kondisi irigasi (IRIGASI),
dan kondisi sosial-budaya (SOSBUD). Proses overlay tersebut dinotasikan
sebagai berikut:
LS = sistem lahan (fluvial, volkanik, denudasional, struktural, kars)
PL = penutup lahan (lahan sawah atau non sawah)
KWH = status kawasan hutan (HP, HL, APL, atau APL)
IKLIM = agroklimat Oldeman (periode bulan basah atau kering)
IRIGASI = kondisi irigasi (kondisi irigasi baik, sedang, atau buruk)
SOSBUD = kondisi sosial-budaya (kebiasaan pola tanama padi)
KES_LAHAN = kesesuaian lahan (S1, S2, S3, atau N)
KET_LAHAN = ketersediaan lahan (tersedia atau tidak tersedia)
IP = intensitas pertanaman (IP 300, 200, atau 100)
Query kriteria penetapan ZAELS menggunakan file atribut ZAE-LS. Field
atribut ZAELS yang digunakan untuk query adalah KES-LAHAN, LCOVER,
ZAELS = LS U (PL U KWH) U (IKLIM U IRIGASI U SOSBUD)
= KES_LAHAN U KET-LAHAN U IP
95
KWH, OLDEMAN, IRIGASI, dan IP-SOSBUD. Query nilai masing-masing
atribut tersebut menggunakan pernyataan logika Boolean (AND, OR, NOT,
Tabel 14. Hubungan tipe agroklimat Oldeman dengan pola tanam Tipe Iklim Pola Tanam
A1, A2, B1 Sesuai untuk padi sawah varietas umur genjah terus menerus atau dua kali padi sawah varietas genjah dan satu kali palawija (3 PS atau 2 PS + 1 PL)
B2 Dua kali padi sawah varietas umur genjah dan satu kali palawija (2 PS + 1 PL)
C1, C2, C3, C4
Tanam padi sawah varietas genjah sekali dan palawija dua kali (1 PS + 2 PL)
D1 Padi sawah varietas umur genjah satu kali dan palawija (1 PS + 1 PL)
D2,D3,D4 Hanya mungkin satu kali padi sawah atau satu kali palawija (1 PS atau 1 PL)
E Terlalu kering, hanya mungkin satu kali palawija
Keterangan: PS = padi sawah, PL= palawija Varietas padi sawah berumur genjah: 105-124 hari (Ciherang, Mekongga, Cibogo, dll)
Tabel 15. Klasifikasi daerah irigasi (Deppu, 2003)
Kelas Dangkal Sedang Dalam Debit air (l/det/ ha)
Baik Baik Baik Baik > 10
Sedang Terbatas
setempat
Baik Baik/terbatas
setempat
2.5-10
Langka Langka Langka Langka < 2.5
Tabel 16. Operasi pernyataan logika Boolean
A B NOT A A AND B A OR B A XOR B
1 1 0 1 1 0
1 0 0 0 1 1
0 1 1 0 1 1
0 0 1 0 0 0 Keterangan: 1 = true, 0 = false
96
atau XOR), seperti yang dijelaskan oleh Burrough (1986) dan Worboys dan
Duckhamm (2004). Operasi pernyataan logika Boolean ini dinyatakan dengan
dua alternatif, yaitu benar (true) atau salah (false) (Tabel 16). Pada perangkat
lunak ArcGIS (ArcMap versi 9.3), QUERY operasi pernyataan logika Boolean
tersedia di fasilitas modul SELECT By Attribute.
4.3.4 Penilaian Daya Dukung Lahan Sawah
Dalam penelitian ini, nilai daya dukung lahan sawah didefinisikan sebagai
rasio antara produksi beras dan kebutuhan beras yang dikonsumsi penduduk di
suatu wilayah. Penghitungan nilai daya dukung lahan sawah dirumuskan sebagai
berikut:
DDLS = SB/ DB
DDLS = daya dukung lahan sawah
SB (stok beras) = luas lahan sawah (ha) x 0,65 x produktivitas padi (ton/ha) per tahun DB(kebutuhan beras) = 0.9x jumlah penduduk (orang) x konsumsi beras (kg/kapita/tahun )
Apabila nilai DDLS lebih besar atau sama dengan 2.00 berarti daya
dukung lahan sawah termasuk kategori baik (sustainable). Apabila nilai daya
dukung lahan sawah terletak antara 1 dan 2 (1.00 <= DDLS < 2.00 ) berarti daya
dukung lahan sawah termasuk kategori bersyarat (conditional). Apabila nilai
DDLS lebih kecil dari 1.00 berarti daya dukung lahan sawah termasuk dalam
kategori terlampaui (over shoot).
Daya dukung lahan sawah diukur di setiap zona agroekologi yang ada di
provinsi Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Jawa
Tengah (Jateng), Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur (Jawa
Timur). Penghitungan daya dukung lahan sawah diskenariokan pada 5 tingkat
konsumsi beras (kg/kapita/tahun): 100, 110, 120, 130, dan 140. Dari hasil
skenario tersebut dapat diketahui apakah pemanfaatan lahan sawah pada setiap
tingkat konsumsi beras di setiap wilayah provinsi telah melampaui daya
dukungnya. Selain itu, kelayakan tingkat konsumsi beras standar nasional saat ini
yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, juga dapat dikaji
apakah sudah sesuai atau terlalu besar.
97
Penilaian daya dukung lahan sawah pada lima skenario tingkat konsumsi
beras tersebut menggunakan data jumlah penduduk di setiap provinsi dari tahun
2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 (Tabel 17). Data jumlah penduduk tahun 2005
diperoleh dari hasil sensus penduduk tahun 2005, sedangkan lainnya merupakan
data proyeksi jumlah penduduk dari BPS. Penghitungan daya dukung lahan
sawah menggunakan beberapa asumsi: (1) produksi padi (beras) di lahan sawah
bersifat konstan, (2) luas lahan sawah yang didelineasi dalam zona agroekologi
tidak mengalami perubahan, (3) tidak terjadi degradasi lahan dan lingkungan, (4)
jumlah penduduk Indonesia yang memakan nasi adalah 90%, dan (5) faktor
konversi dari massa gabah kering giling (GKG) menjadi beras adalah 65%.
Tabel 17. Jumlah penduduk pulau Jawa (2005-2025)
Tahun Banten DKI
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Total
2005 9,028,816 8,860,381 38,965,440 31,977,968 3,343,651 36,294,000 128,470,256
2010 10,661,100 8,981,200 42,555,300 32,451,600 3,439,000 36,269,500 130,918,700
2015 12,140,000 9,168,500 46,973,800 32,882,700 3,580,300 36,840,400 141,585,700
2020 13,717,600 9,262,600 49,512,100 33,138,900 3,694,700 37,183,000 146,508,900
2025 15,343,500 9,259,900 52,740,800 33,152,800 3,776,500 37,194,500 151,468,000
Sumber: http://www.datastatistik-indonesia.com
4.4 Hasil dan Pembahasan
4.4.1 Karakteristik Zona Agroekologi Lahan Sawah
Hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 38 dan 39 menunjukkan
bahwa lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha (Poniman dan
Nurwadjedi, 2008) dapat dikelompokkan menjadi sepuluh tipe zona agroekologi
lahan sawah (ZAELS), yaitu A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S1/IP100), D
(S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100),
J (N/IP100). Sepuluh ZAELS tersebut terdiri dari 9 ZAELS yang merupakan
zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang sesuai (S1,S2, dan S3) dengan luas
3,101,354 ha (86.9%) dan 1 ZAELS, yaitu zona J (N/IP100) yang merupakan
zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang tidak sesuai, dengan luas 468.475
ha (13.1%). Faktor pembatas Zona J (N/IP100) adalah topografi (lereng > 65%)
98
dan agroklimat (tipe E). Zona J (N/IP100) di lahan tidak sesuai ini dikeluarkan
dalam analisis berikutnya karena status kawasan hutannya termasuk dalam hutan
lindung. Adapun 9 ZAELS di lahan sesuai didominasi oleh zona B (S1/IP200)
dan H (S3/IP200), dengan luasan total 2,776,092 ha (78%). Luasan ZAELS
yang berada di provinsi Banten, DKI. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa (ha) Zona
Agroekologi Banten
DKI.
Jakarta Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Total
A (S1/IP300) 0 0 24,447 9,452 339 1,303 35,541
B (S1/IP200) 78,519 1,315 491,044 586,785 38,358 768,239 1,964,259
C (S1/IP100) 0 0 9,290 15,654 1,965 9,735 36,644
D (S2/IP300) 0 0 9,514 0 0 0 9,514
E (S2/IP200) 62,630 1,973 36,464 22,027 0 14,632 137,725
F (S2/IP100) 0 0 51,860 17,508 6,547 7,629 83,544
G (S3/IP300) 0 0 3,918 708 0 4,638 9,264
H (S3/IP200) 50,510 0 263,221 297,303 153 200,646 811,833
I (S3/IP100) 467 0 3,006 3,765 740 5,052 13,030
Total 192,126 3,288 892,763 953,201 48,100 1,011,876 3,101,354
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
A(S1/IP300)
B(S1/IP200)
C(S1/IP100)
D(S2/IP300)
E(S2/IP200)
F(S2/IP100)
G(S3/IP300)
H(S3/IP200)
I (S3/IP100)
Zona Agroekologi
Luas
(00
0 ha
)
Gambar 38. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa
Sumber: Hasil analisis
99
Gambar 39. Peta zona agroekologi lahan sawah pulau Jawa
100
Pada peta ZAELS, luasan lahan sawah yang diinterpretrasi citra satelit
Landsat ETM komposit band 542 memiliki tingkat akurasi yang sesuai dengan
ukuran piksel 30 m atau pada skala optimum 1: 100.000. Hasil uji tingkat akurasi
luasan lahan sawah citra satelit Alos PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2,
serta SPOT-4 XS1,XS2,XS3 di kabupaten Subang, Sragen, dan Jember seperti
yang diperlhatkan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa luasan lahan sawah (Sw)
mengalami pengurangan dari 3% hingga 33%. Pengurangan luasan lahan sawah
tersebut dikonstribusikan kepada luasan daerah permukiman (P), sehingga
luasan daerah permukiman mengalami peningkatan. Pengurangan luasan
lahan sawah ini kemungkinan disebabkan oleh lahan daerah permukiman yang
terkena generalisasi pada saat delineasi lahan sawah dari citra Landsat ETM
Tabel 19. Perubahan luas lahan sawah dan permukiman hasil interpretasi
citra Landsat ETM, SPOT-4, ALOS AVNIR-2, dan PRISM
Wilayah Kabupaten
Sumber Data Lahan Sawah (ha)
Permukiman (ha)
Sragen Landsat ETM 65,920.52 11,806.85
ALOS AVNIR-2 44,138.88 21,585.46
Beda luas (%) - 33 + 83
Cianjur Landsat ETM 39,685 -
SPOT-4 33.966 -
Beda luas (%) - 14 -
Jember Landsat ETM 73,801.82 26,211.48
ALOS AVNIR-2 71,703.34 44,397.40
Beda luas (%) - 3 + 69
Subang Landsat ETM 79,704.94 11,631.86
ALOS PRISM 75,705.60 13,289.06
Beda luas (%) - 5 + 14
(Nurwadjedi dan Poniman, 2009). Selain kontribusi dari luasan lahan sawah,
peningkatan luasan lahan daerah permukiman juga dimungkinkan adanya
fragmentasi (peningkatan detil) daerah permukiman pada saat didelineasi dengan
Sumber: Hasil analisis
101
citra ALOS AVNIR-2 atau PRISM yang memiliki resolusi spasial jauh lebih
tinggi daripada citra Landsat ETM. Kesalahan terbesar seperti yang terjadi di
kabupaten Sragen diprediksi disebabkan oleh kondisi topografinya yang banyak
bergelombang atau berbukit. Contoh proses uji tingkat akurasi perubahan lahan
sawah hasil interpretasi citra Landsat ETM komposit band 7, 4, 2 dengan citra
Alos PRISM, AVNIR-2 , dan SPOT-4 dimaksud diperlihatkan pada Gambar 40
dan 41. Hasil penelitian ini bermakna bahwa tingkat akurasi peta penutup lahan
sawah dari hasil interpretasi Landsat ETM relatif terhadap citra Alos PRISM,
AVNIR-2 , dan SPOT-4 adalah sekitar > 75%.
Gambar 40. Contoh hasil delineasi lahan sawah dengan citra Inderaja satelit optik SPOT-4 band X1, X2,X3, Alos PRISM, dan AVNIR-2 band 4, 3, 2
a) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten Sragen, 1: 25.000
Fase vegetatif
SW
Ber
Bera
P
Fase vegetatif
SW
b) ALOS PRISM daerah kabupaten Subang
c) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten . Jember, 1: 25.000 d) SPOT-4 daerah kabupaten Cianjur 1: 25.000
SW
SW
SW
SW
SW
102
Berdasarkan genetiknya, lahan sawah hasil interpretasi dari citra Landsat
ETM yang ditetapkan sebagai zona agroekologi dapat dikelompokkan menjadi
lima bentukan asal sistem lahan. Hasil penelitian pada Gambar 42
menunjukkan bahwa ZAELS sebagian besar terbentuk dari sistem lahan bentukan
asal fluvial dan volkanik, dengan luas total 2,748,768 ha (77%). ZAELS lainnya
terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional, struktural dan kars,
dengan luas total 352,586 ha (10%). ZAELS dari bentukan asal fluvial
merupakan dataran aluvial dari endapan aluvium yang banyak mengandung bahan
volkan karena posisinya pada umumnya berada di lereng bawah gunung api.
Sistem lahan dari bentukan asal fluvial umumnya merupakan dataran aluvial atau
dataran banjir hasil proses agradasi endapan aluvium-volkanik yang terangkut
oleh aliran sungai. Sistem lahan bentukan asal volkanik terbentuk dari proses
volkanik, yaitu muntahan bahan volkan yang terdiri dari bahan piroklastik
(bahan yang disemburkan dan diangkut oleh angin) dan lahar (bahan yang
Delineasi dari Landsat ETM Delineasi dari Avnir-2
Gambar 41. Peningkatan akurasi delineasi lahan sawah dari Landsat ETM dengan menggunakan citra Alos Avnir-2 (Daerah kabupaten Subang)
103
diangkut melalui aliran). Sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik
membentuk zona A (S1/IP300) 35,541 ha (1%) dan zona B (S1/IP200):
1,964,259 ha (55%). Zona B (S1/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan
bentukan fluvial (Bf ) adalah 1,162,499 ha (33%), sedangkan yang terbentuk dari
sistem bentukan volkanik (Bv) adalah 801,760 ha (22%). Zona H (S3/IP200)
yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal volkanik (Hv) adalah 265,268 ha
(7%), dari denudasional (Hd) 45,022 ha (1%), dan dari struktural (Hs) 322,446
ha (9%) (Tabel 20). Sistem lahan bentukan fluvial yang membentuk zona B
(S1/IP200) meliputi BKN (Bakunan): dataran banjir antar bukit, KHY
(Kahayan): dataran fluvial atau kumpulan estuari, MKS (Makasar): dataran fluvial
atau kumpulan estuari di daerah kering, NGR (Nangger): dataran banjir minor di
daerah kering LBS (Lubuksikaping): kipas aluvial non-volkanik berlereng landai,
APA (Ampala): dataran fluvial luas dan berteras, dan SRI (Sumari): teras sungai
datar dan luas.
Sistem lahan bentukan asal volkanik terdiri dari ABG (Asembagus): dataran
volkanik beriklim kering, KNJ (Kuranji): kipas aluvial berlereng landai, SLK
(Solok): dataran aluvial volkanik, SSN (Susukan): dataran volkanik datar hingga
berombak, TBO (Tombalo): kipas aluvial volkanik berlereng landai di daerah
kering, dan TLU (Talamau): kelerengan lahar terdiseksi dan agak curam.
Berdasarkan peta tanah skala 1: 250,000 (LPT, 1968), tanah di zona A (S1/IP300)
Gambar 42. Distribusi zona agroekologi lahan sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan
0.00.20.40.60.81.01.21.4
A (S1/IP
300)
B (S1/IP
200)
C (S1/I
P100)
D (S2/I
P300)
E (S2/IP
200)
F(S2/I
P100)
G (S3/I
P300)
H (S3/I
P200)
I (S3/IP
100)
Zona Agroekologi
Luas
(jut
a ha
)
Fluvial
Volkanik
Denudasional
Struktural
Kars
104
dan zona B (S1/IP200) sebagian besar bahan induknya berbahan volkan
intermedier. Pengukuran kandungan silika (SiO2) dari batuan volkan di
gunung-gunung api di Jawa yang dilakukan oleh Mohr (1944) berkisar antara
49.52 – 58.91%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayes (2000) di daerah
Tabel 20. Hubungan antara zona agroekologi lahan sawah dan sistem lahan
ZAE Sistem Lahan (Jenis Tanah Dominan) Lahan Sawah Fluvial
(Epiaquepts) Volkanik
(Epiaquerts) Denudasional (Epiaquults)
Struktural (Dystrustepts)
Kars Calciustepts)
A (S1/IP300) BKN, KHY, MKS
ABG, SSN, TLU
- - -
B (S1/IP200) BKN, KHY, MKS,NGR,CTM,LBS
ABG,KNJ,SLK, SSN, TBO, TLU
- - -
C (S1/IP100) APA,BKN,CTM,KHY, MKS,NGR,SRI
ABG, SSN, KNJ
- - -
D (S2/IP300) - BTK,TLU CKU - -
E (S2/IP200) - GGK,GJO, JKT
BG1,CGN,CJB, CKU, OMB, SMI,WTE
CPR KPR
F (S2/IP100) - GJO, JKT AWY,CGN,CKU,CGN,EMK, OMB, PYN,WTE
CPR -
G (S3/IP300) - BTK,SMD - - -
H (S3/IP200) - BOM,BRI,BTG,BTK,CBN,CKD,CSG,CTU,GOG,GSM,KDT,LKU,LTG,MLG,MNU, PAN, SMD,TGM,TLU, TYR,UBD
BRN,KMP,LAR, LDH,SAR,SFO, SFO,SKL,SNA, TWH,
DKN,DML,STR,SBJ
NPA,SKN
I (S3/IP100) - BOM,BRI,BTG,BTK,CBN,CTU,GOG,GSM,LKULTG,MLG,PAN,SMD,TGM,TLU
LAR,LDH,SAR,SFO,SNA,TWH
DKN,DML,SBJ,STR
NPA,SKN
Keterangan: diskripsi sistem lahan secara lengkap disajikan pada Lampiran 1
105
kabupaten Sleman- Yogyakarta (lereng gunung Merapi) yang termasuk dalam
zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal volkanik (sistem lahan SSN
dan KNJ) menunjukkan bahwa mineral yang dominan dari fraksi pasir pada
tanah sawah umumnya adalah plagioklas intermedier (35%), augit (12%),
amfibol (3%), magnetit (8%), hiperstin, dan kuarsa. Mineral utama dalam
fragmen batuan adalah plagioklas. Prasetyo (2007) telah membuktikan
kandungan mineral liat tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang
(Chromic Endoaquerts, bahan induk endapan aluvium bersifat andesitik) dan
Vertisol di dataran volkanik Gedangan (Madiun) (Chromic Hapluderts, bahan
induk alluvium/koluvium bahan volkan andesitik) yang termasuk zona B
(S1/IP200). Pada tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang yang termasuk
zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal fluvial (sistem lahan BKN),
mineral liatnya banyak mengandung smektit. Adapun zona B (S1/IP200) dari
sistem lahan bentukan asal volkanik (Sistem lahan ABG), kandungan mineral liat
smektitnya sangat tinggi. Kapasitas tukar kation tanah sawah baik di sistem lahan
bentukan fluvial maupun di volkanik tergolong sangat tinggi (> 40 me/100g).
Kandungan unsur hara fosfat (P2O5) total dan kalium (K20) total pada lapisan
olah tanah Vertisol tersebut secara berurutan tergolong sedang (21 – 40 mg/100g)
hingga sangat tinggi (> 60 mg/100g). Berdasarkan peta status hara P dan K total
(Puslitanak, 1998) dan hasil analisis laboratorium sampel-sampel tanah di zona
agroekologi lahan sawah terpilih, kandungan unsur hara P dan K total di zona
agroekologi lahan sawah bentukan asal fluvial dan volkanik sebagian besar
tergolong tinggi (Gambar 43).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zona agroekologi lahan sawah dari
sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik memiliki tanah yang subur.
Temuan dalam penelitian ini memperkuat pendapat para ahli (Adiningsih et al.,
2004) yang mengatakan bahwa tanah sawah di pulau Jawa tergolong tanah
yang subur karena bahan induknya berbahan volkan.
Zona agroekologi lahan sawah lainnya yang cukup penting dalam menjaga
keberlanjutan lahan sawah adalah zona H (S3/IP200) karena cakupannya cukup
luas, yaitu 814,136 ha (23%). Zona ini terbentuk dari sistem lahan bentukan asal
volkanik Hv (S3/IP200) 265,268 ha (7%) , denudasional Hd (S3/IP200) 226,422
106
ha (6%), dan struktural Hs (S3/IP200) 322,446 ha (9%). Berbeda dengan
bentukan asal volkanik, zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan
asal denudasional memiliki tanah yang kurang subur karena bahan induknya
umumnya berasal dari batuan sedimen non-volkanik. Sistem lahan dari bentukan
asal denudasional tersebut merupakan bentuklahan dari hasil degradasi batuan
karena proses denudasi. Proses denudasi ini merupakan kumpulan proses yang
didominasi oleh proses pelapukan batuan yang disertai proses transport bahan
terlapuk melalui erosi dan gerakan tanah (mass wasting) (van Zuidam, 1983).
Sistem lahan bentukan asal denudasional yang membentuk zona H (S3/IP200)
meliputi BRN (Bogoran): dataran berbatuan napal bergelombang di daerah kering,
JBG (Jemblong): bukit membulat (hillock) pada batu-liat dan breksi, KMP
(Kumpai): dataran hillock dengan lembah luas pada napal dan batuliat, LAR
(Larangan): igir hillock linier pada batuan sedimen campuran, LDH (Lidah):
dataran hillok pada batukapur, napal, dan batupasir, SAR (Sungaiaur): dataran
hillock pada sedimen tuf, SFO (Sungaifauro): dataran bergelombang dengan
P-tersedia (ppm) – P2O5 Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) 2 – 3 : sedang (16 – 25) 3 – 4 : tinggi (26 – 35)
P-total (mg/100g) – P2O5 Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 –20) 2 – 3 : sedang (21 – 40) 3 – 4 : tinggi (41 – 60)
K-tersedia (mg/100g) – K2O Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 5) 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) 2 – 3 : sedang (11 - 15) 3 – 4 : tinggi (16 – 25)
K-total (mg/100g) – K2O Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) 2 – 3 : sedang (21 - 40) 3 – 4 : tinggi (41 - 60)
Sumber: CSR/FAO Staff (1983)
0
0.51
1.52
2.5
33.5
4
Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars
Bentukan Asal
Ting
kat K
andu
ngan
Har
a
P-tersediaP-totalK-tersediaK-total
Keterangan:
Gambar 43. Tingkat kandungan unsur hara P dan K tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)
107
hillock pada napal, SKL (Sikali): dataran hillok pada batuan sedimen campuran di
daerah kering, SNA (Sumengko): dataran sedimen campuran berombak di daerah
kering, TWH (Teweh): dataran hillok pada batuan sedimen campuran.
Berbeda dengan proses yang membentuk sistem lahan dari bentukan
denudasional, sistem lahan dari bentukan asal struktural yang termasuk zona H
(S3/IP200) merupakan dataran plato yang pembentukannya lebih dominan
disebabkan oleh proses endogen daripada proses eksogen (degradasi dan agradasi).
Dalam pembentukannya, tenaga dari proses endogen mengangkat kerak bumi
(earth’crust) sehingga terbentuk dataran luas, yang dikenal sebagai plato
(Thornbury, 1969). Menurut van Zuidam (1983), bentuklahan dari bentukan asal
struktural terkontrol oleh struktur geologi. Ciri khas dari sistem lahan dari
bentukan struktural ini merupakan dataran luas dengan pola drainase rektangular,
paralel atau dendritik. Sistem lahan dari bentukan asal struktural yang
membentuk zona H (S3/IP200) meliputi CPR (Cipancur): plato miring pada
batuliat bertufa, DKN (Dukun): plato miring terdiseksi sedang, DML
(Donomulyo): plato miring bergelombang berbatuan sedimen, STR (Salatri): plato
hillok miring pada sedimen tuf, dan SBJ (Sumbermanjing): plato miring terdiseksi
sedang pada batukapur di daerah kering. Mencermati jenis batuan baik dari
sistem lahan bentukan asal denudasional maupun dari bentukan asal struktural
yang tersusun dari batuan non-volkanik, kondisi kesuburan tanahnya diperkirakan
tidak jauh berbeda. Jenis tanah sawah yang dominan dari sistem lahan dari
bentukan asal denudasional dan struktural ini adalah Podsolik (Epiaquults) dan
Latosol (Epiaqualfs) dengan tekstur halus.
Berdasarkan peta status hara P dan K dari Puslitanak, sistem lahan
RePPProT (1989), dan hasil analisis laboratorium, tanah sawah pada kedalaman
0 – 20 cm yang termasuk zona H (S3/IP200) baik dari sistem lahan bentukan asal
denudasional maupun struktural memiliki kandungan P-tersedia, P-total, K-
tersedia, dan K-total tergolong rendah hingga sedang, serta KTK rendah (5 – 16
me/100g). Pada zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal
kars yang terbentuk karena proses pelarutan batukapur, jenis tanah dominannya,
berdasarkan peta tanah LPT (1968), adalah Mediteran (Epiaqualfs). Kandungan
unsur hara tanahnya seperti unsur hara P-total, K-total, dan K- tersedia pada
108
kedalaman 0 – 20 cm tergolong sedang; sedangkan K-tersedia tergolong rendah,
pH 6.0 – 6.5, dan KTK sedang (17 – 24 me/100g). .
Berdasarkan kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 21,
zona agroekologi lahan sawah yang memiliki kelas S1 (sangat sesuai) untuk
tanaman padi sawah adalah zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100).
Kecuali zona C (S1/IP100), kondisi irigasi di zona A (S1/IP300) dan B
(S2/IP200) tergolong baik-sedang (debit air 2.5 - > 10 liter/detik/ha). Pada zona C
(S1/IP100) , lahan sawahnya merupakan tadah hujan dengan agroklimat tipe D
(bulan basah 3- 4 bulan). Kelas kesesuaian lahan potensial di ketiga zona ini
dapat dikatakan hampir tidak memiliki faktor pembatas edafik (faktor dari aspek
sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi sawah) yang
permanen. Ketiga zona agroekologi lahan sawah ini memiliki topografi datar
hingga berombak dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts) dan
Grumusol (Epiaquerts). Permasalahan dari faktor edafik yang perlu diperhatikan
adalah kandungan bahan organik tanah. Hasil analisis kandungan bahan organik
tanah dari sampel tanah sawah pada kedalaman 0 - 20 cm menunjukkan bahwa
kandungan C-organik dan N-total tanah di semua zona agroekologi lahan sawah
tergolong sangat rendah (< 1%) hingga rendah (1-2%) (Gambar 44). Dalam hal
ini, kandungan C-organik tanah penting diperhatikan karena kandungan N-total
tanah tergantung pada kandungan C-organik tanah sebagai sumber energi proses
nitrifikasi yang memproduksi unsur hara N (Alexander, 1976; Mengel dan
Kirkby, 1982; Prasetyo et al., 2004). Rendahnya kandungan C- organik tanah
adalah sebagai dampak dari penggunaan lahan sawah yang sudah sangat lama dan
diusahakan secara intensif dengan penerapan pupuk kimia. Rendahnya kandungan
C-organik tanah di semua zona agroekologi dari hasil penelitian ini sinergis
dengan terjadinya gejala pelandaian produktivitas lahan sawah di beberapa
wilayah sentra produksi beras di Jawa. Menurut Pramono (2004), menurunnya
kandungan bahan organik tanah menunjukkan menurunnya kualitas sumberdaya
tanah sawah. Upaya untuk mengembalikan kesuburan tanah karena kandungan C-
organik yang rendah diantaranya dapat ditempuh dengan pengggunaan bahan
organik tanah pada usahatani padi sawah. Penambahan bahan organik tanah pada
tanah sawah sangat penting karena fungsinya dapat meningkatkan kapasitas tukar
109
Tabel 21. Karakteristik zona agroekologi lahan sawah di Jawa
ZAE
Topografi
Jenis Tanah Dominan
Kelas Kesesuaian
Lahan
Irigasi
Status Kawasan
A (S1/IP300)
Datar - berombak
Alluvial Grumusol
S1
Baik
Budidaya
B (S1/IP200)
Datar - berombak
Alluvial Grumusol
S1
Sedang-Baik
Budidaya
C
(S1/IP100)
Datar - berombak Alluvial
Grumusol
S1
Buruk/tadah hujan
Budidaya
D
(S2/IP300) Berombak
Bergelombang Lotosol Podsolik
S2s
Baik
Budidaya
E (S2/IP200)
Berombak Bergelombang
Latosol Podsolik
S2s
Sedang-baik
Budidaya
F (S2/IP100)
Berombak
Bergelombang
Latosol
Podsolik
S2ws
Buruk/tadah
hujan
Budidaya
G (S3/IP300)
Bergelombang
Berbukit
Latosol
S3s
Baik
Budidaya
H (S3/IP200)
Bergelombang Berbukit
Latosol Podsolik
S3s Tadah hujan Budidaya
I (S3/IP100)
Bergelombang
Berbukit
Podsolik
S3ws
Tadah hujan
Budidaya
s = kondisi terrain (medan), w = ketersediaan air; Irigasi baik dengan debit air: > 10 liter/detik/ha, irigasi sedang dengan debit air: 2,5 – 10 liter/detik/ha, irigasi buruk dengan debit air: < 2,5 liter/detik/ha.
kation tanah, meningkatkan daya sangga tanah dan meningkatkan ketersediaan
beberapa unsur hara serta meningkatkan efisiensi penyerapan P, dan fungsi
biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas mikroorganisme tanah. Tanpa
bahan organik, kesuburan tanah akan menurun meskipun pupuk anorganik
diberikan dengan dosis tinggi (Karama et al., 1990). Untuk mengkonservasi dan
merehabilitasi tanah sawah yang mengalami gejala sakit, pemberian bahan
organik tanah dapat menggunakan dosis 1 – 2 ton/ha. Pemberian bahan organik
dengan dosis tersebut dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi
teknis sekitar 647 kg/ha – 958 kg/ha GKG (Pramono, 2004). Khusus untuk zona
B (S1/IP200) dengan jenis tanah Grumusol, selain penanganan masalah bahan
organik tanah, pengelolaan airnya perlu diperhatikan untuk menghindarkan tanah
dari kondisi kering karena jenis tanah Grumusol ini memiliki sifat yang khas.
110
Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan plastis serta kedap air, tetapi ketika
kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yang
terpisahkan oleh rekahan (van Wambeke, 1992 dalam Prasetyo, 2007).
Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s (cukup sesuai)
Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s diklasifikasikan dalam
zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100). Faktor pembatas di ketiga
zona dengan jenis tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults)
yang bertekstur halus (lempung liat bedebu, liat berdebut) ini disebabkan oleh
kondisi terrain-nya (s), yaitu lereng 8 - 15% (landai) dengan topografi
bergelombang dan lokal relief 0 - 50 m. Selain faktor pembatas tersebut, khusus
untuk zona F (S2/IP100), faktor pembatasnya juga disebabkan oleh ketersediaan
air (S2ws). Faktor pembatas ketersediaan air ini ditunjukkan oleh kondisi
agroklimat tipe D1, yang dicirikan oleh lama bulan basah 3 – 4 bulan.
Terbatasnya bulan basah ini menjadi penyebab intensitas pertanaman padi sawah
hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun (IP100). Adapun kondisi
ketersediaan air di zona D (S2/IP300) dan E (S2/IP200) tergolong baik hingga
sedang karena agroklimatnya termasuk tipe B dan C yang memiliki bulan basah
6 – 9 bulan serta kondisi irigasinya tergolong baik (debit air > 10 liter/detik/ha)
hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air yang cukup atau
berlebih di kedua zona terakhir ini membuat para petani dapat melakukan
penanaman padi sawah dua kali (IP200) atau tiga kali (IP300) dalam setahun.
00.20.40.60.8
11.21.41.61.8
Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars
Bentukan Asal
Pers
en (%
)
C-organikN-total
Gambar 44. Distribusi kandungan C-organik dan N-total tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)
111
Zona G (S3/IP300), zona H (S3/IP200), dan zona I (S3/IP100) dengan jenis
tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults) yang bertekstur
halus hingga agak halus (liat berdebu, lempung liat berdebu, liat berpasir) serta
topografi berbukit memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) dengan
faktor pembatas kondisi terrain (S3s) serta ketersediaan air (S3ws). Faktor
pembatas kondisi terrain disebabkan oleh lereng (> 15%) dan banyaknya
singkapan batuan (5 – 10 %). Sebagai upaya untuk konservasi tanah dan air,
lahan sawah di ketiga zona ini sudah berterasering. Kecuali di zona I (S3/IP100),
ketersediaan air di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200), berdasarkan hasil survei
lapangan, termasuk cukup hingga berlebih, terutama zona G (S3/IP300).
Berdasarkan peta irigasi dari Departemen Pekerjaan Umum (2003), debit air
irigasi di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200) tergolong baik (> 10 liter/det/ha)
hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air di zona I (S3/IP100)
tergolong langka (debit air irigasi < 2,5 det/ha), sehingga petani dalam melakukan
penanaman padi sawah banyak yang mengandalkan air hujan dengan periode
pendek (3 – 4 bulan). Masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah
dengan kesesuaian lahan kelas S3 ini hampir sama dengan zona agroekologi lahan
sawah lainnya dengan kesesuaian lahan kelas S1 dan S2, yang dihadapkan
kepada kandungan C-organik tanah yang rendah. Yang perlu menjadi perhatian
adalah masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah dari bentukan
asal denudasional. Pada zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100), zona
agroekologi lahan sawah dari bentukan asal denudasional dengan jenis tanah
dominan Podsolik (Epiaquults) memiliki kandungan C-organik tanah sangat
rendah (< 1,0%). Kondisi ini, selain dari dampak penerapan revolusi hijau yang
telah berlangsung lama dan diusahakan secara intensif, rendahnya kandungan C-
organik tanah diprediksi juga disebabkan oleh tingkat pelapukan di sistem lahan
bentukan asal denudasional berlangsung lebih lama dan intensif daripada
bentukan asal lainnya. Pada tanah Podsolik, lebih intensifnya tingkat pelapukan
berdampak pada reaksi tanahnya (pH) lebih masam (4,5 – 5,0), KTK rendah (5 –
16 me/100g), P-tersedia rendah (< 10 ppm), K-tersedia rendah (5 – 10 mg/100g),
P-total rendah (10 – 20 mg/100g), K-total rendah (10 – 20 mg/100g). Rendahnya
kandungan unsur hara P-tersedia merupakan dampak dari pH tanah yang masam.
112
Pada kondisi tanah yang masam, unsur hara P difiksasi oleh ion Fe2+ dan Al3+
menjadi ikatan Fe-P dan Al-P yang sukar larut (Tisdale dan Nelson, 1975).
Rendahnya kandungan unsur hara K-total karena bahan induk tanah dari bentukan
asal denudasional ini berasal dari batuan sedimen non-volkanik yang miskin
mineral primer yang mudah lapuk seperti ferromagnesium, plagioklas, dan lain-
lain sebagaimana yang ada dalam tanah dengan bahan induk berbahan volkan.
Walaupun kesuburan tanahnya kurang baik daripada zona agroekologi lahan
sawah dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik, zona H (S3/IP200)
yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional (Hd (S3/IP200))
dinilai masih sangat penting sebagai penghasil padi, mengingat luasannya cukup
besar, yaitu 346,375 ha (11%). Masalah kesuburan tanah yang ada dapat
diperbaiki dengan melakukan pengelolaan tanah yang tepat, seperti pemupukan
berimbang yang mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
Ditinjau dari luasannya yang sangat luas, zona B (S1/IP200) dan H
(S3/IP200) berpotensi memberikan peran penting dalam menjaga keberlanjutan
lahan sawah di Jawa. Zona B (S1/IP200) dengan luasan 1,964,259 ha (55%)
merupakan zona agroekologi lahan sawah yang produktif karena tanahnya yang
subur didukung dengan infrastruktur irigasi cukup baik ( debit air irigasi 2.5 – 10
liter/detik/ha hingga > 10 liter/det/ha). Walaupun kesesuaian lahannya tergolong
marginal, zona H (S3/IP200) masih cukup berperan dalam mendukung produksi
padi karena cakupannya cukup luas, yaitu 811,833 ha (23%). Pada kedua zona
ini, penanaman padi dengan IP200 mencerminkan budaya lokal masyarakat
petani di setiap wilayah. Penerapan IP200 ini bukan berarti ketersediaan air yang
disuplai dari curah hujan atau saluran irigasi tidak mencukupi untuk penerapan
IP300 (penanaman padi sawah tiga kali dalam setahun). Penanaman padi dengan
IP200 secara luas diterapkan di provinsi Jawa Timur (968,886 ha atau 35%),
kemudian menyusul provinsi Jawa Tengah (884.088 ha atau 31%), Jawa Barat
(756,484 ha atau 27%), Banten (179,540 ha atau 6%), dan D.I Yogyakarta (38.511
ha atau 1%) (Gambar 45). Urutan luasan penerapan IP200 di zona B (S1/IP200)
dan H (S3/IP200) ini mencerminkan tingkat kontribusi setiap wilayah dalam
113
memproduksi padi sawah. Luas zona agroekologi lahan sawah di setiap
kabupaten/Kota di Jawa yang berperan sebagai lumbung padi (Tabel 22) memang
didukung dengan saluran irigasi teknis yang memadai (Tabel 23). Lebih
rendahnya cakupan penanaman padi sawah dengan IP200 di wilayah Banten dan
Jawa Barat apabila dibandingkan dengan petani di wilayah Jawa Timur dan Jawa
Tengah, bukan berarti ketersediaan air lahan sawah mereka tidak mencukupi
untuk penanaman padi dengan IP300. Masyarakat petani di provinsi Banten dan
Jawa Barat umumnya memiliki kebiasaan untuk menanam padi dengan IP200.
Mereka lebih suka menaman padi dengan IP200 dengan alasan ingin beristirahat
setelah terus-menerus bekerja selama kurang lebih enam bulan.
Sebaliknya, masyarakat petani di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan Jawa
Timur yang menanam padi sawah dengan IP200 adalah untuk menyesuaikan
dengan kondisi agroklimatnya yang bertipe C dengan bulan basah selama 5 – 6
bulan. Saat ini, banyak diantara para petani di daerah tersebut seperti Madiun,
Jember, Nganjuk, Jombang, Bantul, Pemalang, dan Sragen memaksakan
penanaman padi sawah dengan IP300, yaitu dengan memompa air tanah.
Gambar 46 memperlihatkan contoh pemompaan air tanah untuk penanaman padi
sawah dengan IP300 walaupun ketersediaan airnya tidak cukup.
Apabila ditinjau dari aspek legalitasnya, zona agroekologi lahan sawah
secara teknis telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang
Gambar 45. Disribusi zona agroekologi lahan sawah yang dominan sebagai penghasil padi sawah di Jawa
0100,000200,000300,000400,000500,000600,000700,000800,000900,000
Banten Jabar Jateng DI.Yogyakarta
Jatim
Provinsi
Luas
(Ha)
Zona B (S1/IP200)Zona H (S3/IP200)
114
Tabel 22. Daerah yang berperan sebagai lumbung padi di Jawa (ha)
Kabupaten/Kota
Zona Agroekologi Lahan Sawah Kabupaten/Kota
Zona Agroekologi Lahan Sawah B
(S/IP200) H
(S3/IP200) Total B
(S1/IP200) H
(S3/IP200) Total
Kota. Cilegon 468 301 769 Pemalang 25,821 7,631 33,452 KotaTangerang 1,288 1,288 Purbalingga 9,445 8,521 17,966 Lebak 7,795 14,467 22,262 Purworejo 23,359 1,675 25,034 Pandegelang 24,859 24,887 49,746 Rembang 13,649 42,209 55,858 Serang 23,675 10,855 34,530 Semarang 2,016 18,052 20,068 Tangerang 20,432 50,510 70,942 Sragen 23,732 8,603 32,335 Bandung 27,049 29,656 56,705 Sukoharjo 21,992 1,461 23,453 Bekasi 54,062 9,922 63,984 Tegal 34,289 2,730 37,019 Bogor 1,170 25,528 26,698 Temanggung 15,990 15,990 Cianjur 7,682 17,416 25,098 Wonosobo 5,045 5,045 Ciamis 24,090 43,300 67,390 Bantul 12,095 36 12,131 Cirebon 55,326 2,494 57,820 Kulonprogo 4,681 4,681 Garut 6,389 21,682 28,071 Sleman 21,474 117 21,591 Indramanyu 116,623 116,623 Bangkalan 1,578 1,578 Karawang 106,967 5,957 112,924 Banyuwangi 28,972 28,112 57,084 Kota Bandung 1,459 1,459 Blitar 48,116 3,058 51,174 Kota. Banjar 1,768 1,636 3,404 Bojonegoro 33,931 12,934 46,865 Kota Sukabumi 2,690 2,690 Bondowoso 14,619 20,436 35,055 Kota Tasikmalaya 4,299 5,889 10,188 Gresik 6,214 412 6,626 Kuningan 410 12,704 13,114 Jember 57,283 14,082 71,365 Majalengka 32,298 5,767 38,065 Jombang 45,831 3,164 48,995 Purwakarta 5,281 4,942 10,223 Kediri 65,294 5,286 70,580 Subang 44,463 6,604 51,067 Kota Batu 2,795 2,795 Sukabumi 742 26,547 27,289 Kota. Blitar 1,942 1,942 Sumedang 22 14,550 14,572 Kota Kediri 2,800 21 2,821 Tasikmalaya 246 27,721 27,967 Kota Madiun 1,198 1,198 Banjarnegara 1,458 1,549 3,007 Kota Malang 1,420 87 1,507 Banyumas 12,247 9,203 21,450 Kota Mojokerto 1,056 1,056 Batang 3,959 7,432 11,391 Kota Pasuruan 1,910 1,910 Blora 18,818 57,709 76,527 Kota Probolinggo 3,696 3,696 Boyolali 12,671 15,670 28,341 Kota Surabaya 1,631 1,631 Brebes 35,659 7,924 43,583 Kotif Jember 2,236 592 2,828 Cilacap 40,011 1,093 41,104 Lamongan 48,605 5,971 54,576 Demak 62,695 62,695 Lumajang 19,990 23,133 43,123 Grobogan 60,933 14,387 75,320 Madiun 27,608 4,530 32,138 Jepara 9,293 8,788 18,081 Magetan 18,528 4,754 23,282 Karanganyar 9,521 9,985 19,506 Malang 16,493 6,153 22,646 Kebumen 28,456 22 28,478 Mojokerto 32,857 1,055 33,912 Kendal 17,792 3,076 20,868 Nganjuk 35,091 2,190 37,281 Klaten 37,147 6 37,153 Ngawi 33,158 11,585 44,743 Kota Pekalongan 981 6 987 Pasuruan 30,208 20,560 50,768 Kota Purwokerto 596 713 1,309 Ponorogo 25,138 1,696 26,834 Kota Salatiga 1,283 1,283 Probolinggo 32,449 9,611 42,060 Kota Semarang 471 1,107 1,578 Sidoarjo 32,606 32,606 Kudus 12,058 9,347 21,405 Situbondo 35,169 285 35,454 Magelang 13,720 12,361 26,081 Trenggalek 7,016 7,016 Pati 39,953 21,528 61,481 Tuban 24,167 16,658 40,825 Pekalongan 39,953 21,528 61,481 Tulungagung 29,413 1,080 30,493
115
Tabel 23. Luasan lahan sawah berdasarkan tipe irigasi (ha)
Provinsi Teknis ½ Teknis Sederhana Lainnya Total
Banten 51,908 18,217 46,030 78,349 194,504
DKI. Jakarta 510 782 582 370 2,244
Jawa Barat 376,718 119,407 250,525 171,075 917,725
Jawa Tengah 382,569 120,113 188,227 276,899 967,808
DI. Yogyakarta 18,493 22,630 6,742 9,323 57,188
Jawa Timur 641,001 110,435 109,866 234,775 1,096,077
Total 1,471,199 391,584 601,972 770,791 3,235,546 Sumber: BPS (2005).
Penataan Ruang (UUPR), Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No. 26/2008), dan Undang-Undang
Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(UUPLPPB). Delineasi zona agroekologi lahan sawah bersifat sinergis dengan
upaya untuk mewujudkan kawasan budidaya sebagaimana yang diatur dalam
UUPR Pasal 1 butir 10: “Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan”; UUPR Pasal
Gambar 46. Contoh pemompaan air tanah untuk mengejar target penanaman padi sawah dengan IP300 di desa Sidoharjo kecamatan Taraman, kabupaten Sragen
116
5 butir 2: “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan
lindung dan kawasan budidaya”; Penetapan zona agroekologi lahan sawah yang
didesain sebagai kawasan budidaya peruntukan pertanian disesuaikan dengan PP
No. 26/2008 Pasal 66 butir 1a: “Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan
dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian. Sebagai kawasan budidaya peruntukan pertanian yang sesuai dengan
UUPR, zona agroekologi lahan sawah dari hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai dasar perencanaan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan seperti
yang diatur dalam UUPLPPB Pasal 2.
Berdasarkan apa yang telah dibahas tersebut, zona agroekologi lahan
sawah yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat mencerminkan
pengklasifikasian lahan pertanian yang telah mempertimbangkan aspek potensi
biofisik, legalitas, dan budaya lokal. Ketiga aspek ini merupakan prinsip-prinsip
yang melandasi zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian keberlanjutan
lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan
pangan di pulau Jawa, terutama dari aspek ketersediaan pangan (beras).
4.4.2 Daya Dukung Lahan Sawah
Keterkaitan daya dukung lahan sawah dengan zona agroekologi adalah
untuk mengetahui kemampuan zona agroekologi lahan sawah di suatu wilayah
dalam mendukung kehidupan manusia, terutama dari aspek penyediaan pangan
(beras). Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa
kemampuan zona agroekologi lahan sawah dalam memproduksi padi/beras
dipengaruhi oleh kualitas lahan zona agroekologi lahan sawah yang dicerminkan
oleh kelas kesesuaian lahannya. Berdasarkan sampel data produksi padi sawah di
kecamatan-kecamatan terpilih (n = 139) yang dipublikasikan BPS (2003-2008),
produktivitas padi rataan di zona agroekologi lahan sawah dengan kelas
kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan S3 (sesuai marginal)
secara berurutan adalah 6.02 ton/ha, 5.64 ton/ha, dan 5.23 ton/ha. Ketiga
produktivitas padi tersebut berbeda sangat nyata pada uji-t dengan tingkat
kesalahan (α) 5%. Potensi produksi padi setiap tahun di semua zona agroekologi
lahan sawah dengan luas 3,101,354 ha dan luas panen 6,123,810 ha adalah
117
Tabel 24. Produksi padi sawah potensial di zona agroekologi lahan sawah di Jawa
Zona Agroekologi Lahan Sawah
Luas (ha)
Produktivitas (ton/ha)
IP
Luas Panen
(ha) Produksi Padi
(ton/th)1
A (S1/IP300)
35,541
6.02 a (n:73,sd:0.61)
3
106,624
641,874
B (S1/IP200)
1,964,259
6,02 a (n:73,sd:0.61)
2
3,928,519
23,649,682
C (S1/IP100)
36,644
6,02a (n:73,sd:0.61)
1
36,644
220,594
D (S2/IP300)
9,514
5,64b (n:43,sd:0)
3
28,541
160,969
E (S2/IP200) 137,725
5,64b (n:43,sd:0) 2 275,451 1,553,542
F (S2/IP100)
83,544
5,64b (n:43,sd:0)
1
83,544
471,187
G (S3/IP300)
9,264
5,23c (n:23,sd:0.46)
3
27,793
145,356
H (S3/IP200)
811,833
5,23c (n:23,sd:0.46)
2
1,623,667
8,491,777
I (S3/IP100)
13,030
5,23 c (n:23,sd:0.46)
1
13,030
68,145
Total 3,101,354 - - 6,123,810 35,403,127 Produksi padi GKG = Produktivitas x Luas panen, Luas panen = Luas x IP a, b, c = berbeda sangat nyata (tα = 0,05). Sampel produktivitas padi sawah dari data kecamatan BPS (2003-2008) sd:standar deviasi
35,403,127 ton/ha GK atau setara dengan 23,012,032 ton beras/ha. Potensi
produksi padi tersebut dicerminkan oleh varietas Ciherang yang mendominasi
tanaman padi sawah di Jawa. Pencapaian potensi produksi padi ini diasumsikan
dengan pengelolaan lahan sawah secara intensif melalui pemupukan berimbang
untuk mengatasi faktor pembatas kesuburan tanah (bahan organik tanah, N, P, dan
K), ketersediaan air sesuai kondisi agroklimat dan potensi air irigasi (debit air 2.5
– 10 liter/det/ha), dan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu.
118
Pengelolaan lahan sawah tersebut diasumsikan tanpa adanya gangguan bencana
alam yang berarti, terutama banjir dan kekeringan.
Potensi luas panen dan produksi padi di setiap provinsi yang berdasarkan
zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 25 dan 26. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat
merupakan lumbung padi andalan, dengan potensi produksi padi per tahun
11,737,780 ton GKG (33 %), 10,817,616 ton GKG (31 %), dan 10,104,863 ton
GKG (29%). Kontribusi produksi padi dari ketiga provinsi ini mencapai 93% dari
produksi padi per tahun di Jawa (35,403,127 ton GKG). Tingginya potensi
produksi padi tersebut bersesuaian dengan potensi luas panen yang sebagian besar
berada di zona B (S1/IP200).
Tabel 25. Potensi luas panen di Jawa per tahun berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ha)
Zona Agrokologi
Lahan Sawah
Banten
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Total
A (S1/IP300) 0 0 73,340 28,356 1,017 3,910
106,624
B (S1/IP200) 157,038 2,630 982,087 1,173,569 76,715 1,536,479
3,928,519
C (S1/IP100) 0 0 9,290 15,654 1,965 9,735
36,644
D (S2/IP300) 0 0 28,541 0 0 0
28,541
E (S2/IP200) 125,259 3,946 72,928 44,054 0 29,263
275,451
F (S2/IP100) 0 0 51,860 17,508 6,547 7,629
83,544
G (S3/IP300) 0 0 11,754 2,123 0 13,915
27,793
H (S3/IP200) 101,021 0 526,441 594,606 306 401,293
1,623,667
I (S3/IP100) 467 0 3,006 3,765 740 5,052
13,030
Total
383,785
6,576
1,759,249
1,879,635
87,289
2,007,277
6,123,810
Sumber: hasil analisis
Apabila dibandingkan dengan data produksi padi sawah aktual dari BPS
tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008, produksi padi sawah potensial berdasarkan
zona agroekologi lahan sawah di Jawa masih lebih besar (Gambar 47). Hal ini
119
dimungkinkan disebabkan oleh berbagai hal, seperti kejadian banjir, kekeringan,
serangan hama dan penyakit tanaman, dan atau pemupukan tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Kondisi yang tidak menguntungkan ini,
namun demikian, belum menimpa semua wilayah lumbung beras. Satu-satunya
wilayah lumbung beras yang produksi padi sawah aktualnya berhasil
Tabel 26. Potensi produksi padi sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ton GKG/tahun)
Zona
Agroekologi Lahan Sawah
Banten
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Total
A (S1/IP300) 0 0 441,510 170,704 6,123 23,537 641,874
B (S1/IP200) 945,370 15,833 5,912,166 7,064,886 461,826 9,249,601 23,649,682
C (S1/IP100) 0 0 55,926 94,235 11,827 58,607 220,594
D (S2/IP300) 0 0 160,969 0 0 0 160,969
E (S2/IP200) 706,461 22,255 411,316 248,465 0 165,045 1,553,542
F (S2/IP100) 0 0 292,491 98,744 36,922 43,030 471,187
G (S3/IP300) 0 0 61,476 11,103 0 72,778 145,356
H (S3/IP200) 528,339 0 2,753,288 3,109,790 1,600 2,098,760 8,491,777
I (S3/IP100) 2,443 0 15,722 19,691 3,868 26,422 68,145
Total
2,182,613 (6 %)
38,088 (0 %)
10,104,863 (29 %)
10,817,616 (31 %)
522,167 ( 1%)
11,737,780 (33 %)
35,403,127 (100 %)
Gambar 47. Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di Jawa
0
5
10
1520
25
30
35
40
2005 2006 2007 2008
Tahun
Pro
duks
i (ju
ta to
n/th
)
Produksi potensialProduksi aktual
Produksi 2005 2006 2007 2008 Potensial (ton GKG) 35.403.127 35.403.127 35.403.127 35.403.127 Aktual (ton GKG) 29.764.392 28.880.220 30.466.339 32.346.997 Perbedaan (ton GKG) -5.638.735 -6.522.907 -4.936.788 -3.056.130
(%) -16 -18 -14 -9
120
menembus produksi potensial adalah provinsi D.I Yogyakarta. Selama periode
2005-2008, produksi padi sawah aktual di provinsi ini berkisar antara 559,890
ton/th GKG hingga 798,232 ton/th GKG. Produksi padi di provinsi D.I
Yogyakarta adalah 522.127 ton/th GKG. Selain itu, pencapaian produksi padi
sawah seperti di D.I Yogyakarta juga diraih oleh provinsi Jawa Barat (Jabar),
yaitu dengan produksi 10,111.,069 ton/th GKG. Produksi padi sawah potensial
di provinsi Jawa Barat (Jabar) adalah 10,104,863 ton/ha GKG. Berdasarkan survei
lapangan di provinsi D.I Yogyakarta, para petani padi sawah di wilayah ini
0
2
4
6
8
10
12
14
2005 2006 2007 2008
Tahun
Prod
uksi
(Jut
a to
n/th
)
Jatim Produksi Potensial
Jateng Produksi Potensial
Jabar Produksi Potensial
Banten Produksi Potensial
DI Yogyakarta Produksi Potensial
DKI Jakarta Produksi Potensial
Jatim Produksi Aktual
Jateng Produksi Aktual
Jabar Produksi Aktual
Banten Produksi Aktual
DI Yogyakarta Produksi Aktual
DKI Jakarta Produksi Aktual
umumnya mengelola tanah sawahnya sangat intensif. Bahkan, lahan sawah di
zona agroekologi yang hanya mampu ditanami dua kali dalam setahun (IP200)
dipaksakan dengan penanaman padi tiga kali dalam setahun (IP300) pada musim
kemarau, yaitu dengan memompa air tanah (Gambar 49). Di provinsi lainnya,
yaitu Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), dan Banten; produksi padi
sawah aktualnya belum melebihi produksi potensialnya.
Dengan menggunakan 5 skenario konsumsi beras, yaitu 100, 110, 120 , 130,
dan 140 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan sawah di Jawa dari tahun 2005
hingga 2025 cenderung menurun sesuai dengan peningkatan konsumsi beras dan
pertambahan jumlah penduduk (Gambar 50). Daya dukung lahan sawah untuk 5
skenario tersebut semuanya berada pada kondisi bersyarat. Pada tahun 2020, daya
dukung lahan sawah dengan potensi produksi beras sekitar 23,012,032 ton
Gambar 48. Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di setiap provinsi di Jawa
121
GKG/tahun dan jumlah penduduk mencapai 146.5 juta jiwa akan berada pada
kondisi terlampaui apabila diterapkan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun.
Kondisi daya dukung lahan sawah tersebut akan terwujud apabila daya dukung
lahan hanya dipengaruhi oleh faktor jumlah penduduk, sedangkan faktor lainnya
seperti iklim, konversi lahan sawah, kesuburan tanah, ekonomi, dan sosial-
budaya dalam kondisi cateris paribus. Dalam penelitian ini, proyeksi jumlah
penduduk dari tahun 2010 hingga 2025 yang diperoleh dari BPS
(http://www.datastatistik-indonesia.com) menggunakan laju pertambahan
penduduk sebesar 1%. Walaupun hanya faktor penduduk yang mempengaruhi
daya dukung lahan sawah, hasil penelitian ini masih memberikan makna cukup
Gambar 49. Pengelolaan lahan sawah sangat intensif dengan memompa air tanah untuk mencapai IP300 (lokasi: desa Parangtritis kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta, 15 Agustus 2009)
Terlampaui
Bersyarat
Berkelanjutan
Gambar 50. Daya dukung lahan sawah di Jawa berdasarkan lima skenario konsumsi beras
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Day
a D
ukun
g
Konsumsi Beras:100 kg/kap /th
Konsumsi beras:110 kg/kap/th
Konsumsi Beras:120 kg/kap/th
Konsumsi Beras: 130 kg/kap/th
Konsumsi Beras:140 kg/kap/th
122
penting untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah karena pemicu utama (driving
force) dalam kepunahan sumberdaya lahan adalah faktor penduduk. Pengaruh
faktor-faktor lainnya (biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya) terhadap
keberlanjutan pertanian, seperti yang dijelaskan oleh Rao dan Rogers (2006), pada
hakekatnya bersumber dari faktor penduduk. Soemarwoto (2008) menjelaskan
bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk, sumberdaya lain di samping lahan
juga diperlukan dalam jumlah yang meningkat, sehingga kita dihadapkan pada
masalah penyusutan dan habisnya sumberdaya. Selain itu, pertambahan jumlah
penduduk juga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, kondisi
daya dukung lahan sawah dengan tingkat konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun
yang terlampaui pada tahun 2020 patut menjadi perhatian bagi pengambil
kebijakan yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Apabila ditinjau berdasarkan
pada konsumsi energi yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional,
konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun yang mendekati konsumsi beras nasional
139.15 kg/kapita/tahun adalah terlalu besar. Jika dibandingkan dengan negara
lainnya di Asia, konsumsi beras di Jepang hanya 60 kg/kapita/tahun dan
Malaysia 80 kg/kapita/tahun. Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun adalah
setara dengan 1,400 kilo kalori (kkal)/kapita/hari atau 64% dari konsumsi energi
yang ditetapkan oleh PPH Nasional, yaitu 2,200 kkal/kapita/hari. Sesuai dengan
standar PPH Nasional, konsumsi karbohidrat dari padi-padian adalah 50% atau
setara dengan 1,100 kkal/kapita/hari (Hardinsyah et al., 2001). Konsumsi energi
1,100 kkal/kapita/hari setara dengan konsumsi beras 278 gram beras/kapita/hari
atau 110 kg beras/kapita/tahun. Namun demikian, berdasarkan penelitian ini,
daya dukung lahan sawah di Jawa dengan konsumsi 110 kg/kapita/tahun
masih akan tetap berada pada kondisi bersyarat hingga pada tahun 2025. Kondisi
daya dukung lahan sawah seperti ini membuat upaya bagi Indonesia untuk
mencapai dan mempertahankan ketahanan pangan menjadi berat, mengingat
sekitar 54% produksi beras nasional dipasok dari Jawa (BPS, 2008). Apabila
kebijakan penerapan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun tetap dipertahankan,
kebutuhan beras di Jawa tidak dapat dipenuhi sendiri. Bahkan, dalam jangka
panjang diperkirakan kebutuhan beras di Jawa harus dipasok dari daerah atau
negara lain (harus impor). Untuk mencapai keberlanjutan lahan sawah agar
123
ketahanan pangan terjaga, beberapa langkah kebijakan yang perlu diperhatikan,
diantaranya adalah pengendalian jumlah penduduk, konversi lahan, serta
diversifikasi pangan.
Kondisi daya dukung lahan sawah di Jawa yang cukup mengkhawatirkan
tersebut secara detil dijelaskan di setiap provinsi (Gambar 51). Dari 5 skenario
konsumsi beras yang dirancang, kondisi daya dukung lahan sawah terburuk
terjadi di provinsi DKI Jakarta, yang kemudian diikuti secara berurutan oleh
provinsi Banten, DI. Yogyakarta, Jawa Barat, serta Jawa Timur, dan Jawa
Tengah. Kondisi ini bersesuaian dengan urutan kepadatan penduduk seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 52. Hasil penelitian ini mencerminkan perbedaan
tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan sawah sebagai produsen beras.
Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi tekanannya terhadap
sumberdaya lahan sawah. Dengan demikian, semakin tinggi tekanan penduduk,
semakin rendah daya dukung lahan sawah.
Hasil yang disajikan pada Gambar 51 juga menunjukkan bahwa titik kritis
daya dukung lahan sawah berbeda di setiap provinsi, tergantung pada konsumsi
beras. Untuk semua konsumsi beras yang diskenariokan, daya dukung lahan
sawah di provinsi DKI. Jakarta dengan produksi padi 38,088 ton GKG/tahun (0%)
dari produksi padi sawah di Jawa dari tahun 2005 hingga 20025 telah terlampaui.
Kondisi ini bisa dimaklumi mengingat kepadatan penduduk provinsi ini sangat
tinggi dan merupakan daerah metropolitan, sebagai pusat kegiatan pelayanan jasa
dan manufaktur. Di daerah produsen beras, seperti di provinsi Banten dan Jawa
Barat, dengan konsumsi beras 100 kg/kapita/tahun, status daya dukungnya sudah
termasuk bersyarat dari tahun 2005 hingga 2025, sedangkan di provinsi DI.
Yogyakarta akan menjadi terlampaui pada tahun 2020. Dengan konsumsi beras
110 kg/kapita/tahun, status daya dukung lahan sawah di provinsi-provinsi yang
berperan sebagai lumbung padi andalan seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur termasuk bersyarat dan berlanjut dari tahun 2005 hingga 2025.
Dengan konsumsi beras 120 kg/kapita/tahun, status daya dukung lahan sawah di
provinsi Banten menjadi terlampaui pada tahun 2025, sedangkan di provinsi D.I
Yogyakarta telah terjadi pada tahun 2015. Yang penting dicatat dari hasil
penelitian ini adalah daya dukung lahan sawah di provinsi Jawa Tengah dan
124
Jawa Timur. Antara tahun 2005-2025, daya dukung lahan sawah di kedua provinsi
ini tetap berada di status berlanjut untuk konsumsi beras 100 dan 110
kg/kapita/tahun, sedangkan di provinsi Banten dan Yogyakarta masih dalam status
bersyarat. Dengan konsumsi beras 130 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan
sawah di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai menjadi bersyarat. Hasil
penelitian ini bermakna bahwa konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Day
a D
ukun
g
Jawa TengahJawa TimurJawa BaratBantenD.I YogyakartaDKI. Jakarta
0.0
0.5
1.01.5
2.0
2.5
3.0
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Day
a D
ukun
g
Jawa TengahJawa TimurJawa BaratBantenD.I YogyakartaDKI. Jakarta
Berkelanjutan Berkelanjutan
Bersyarat Bersyarat Bersyarat
Terlampaui Terlampaui
0.00.51.01.5
2.02.53.0
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Day
a D
ukun
g
Jawa TengahJawa TimurJawa BaratBantenD.I YogyakartaDKI. Jakarta
Berkelanjutan
Bersyarat
Terlampaui
0.00.51.01.52.02.53.0
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Daya D
uku
ng
Jaw a Tengah
Jaw a Timur
Jaw a Barat
Banten
D.I Yogyakarta
DKI. Jakarta
Berkelanjutan
Bersyarat
Terlampaui
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Day
a D
uku
ng
Jaw a Tengah
Jaw a Timur
Jaw a Barat
Banten
D.I Yogyakarta
DKI. Jakarta
Berkelanjutan
Bersyarat
Terlampaui
a) Konsumsi beras 100 kg/kapita/tahun b) Konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun
c) Konsumsi beras 120 kg/kapita/tahun
d) Konsumsi beras 130 kg/kapita/tahun e) Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun
Gambar 51. Daya dukung lahan sawah di setiap provinsi berdasarkan lima skenario konsumsi beras (a,b,c,d,e)
125
dengan 1,130 kkal/orang/hari atau 51.4% dari kebutuhan energi 2,200
kkal/orang/hari (dengan asumsi 1 gram beras mengandung 3.70 kkal) merupakan
pilihan yang tepat untuk digunakan sebagai standar konsumsi beras nasional
dengan pertimbangan sebagai berikut, yaitu 1) paling mendekati standar
kebutuhan energi 1,100 kkal atau 50% dari energi 2,200 kkal untuk memenuhi
kebutuhan energi seorang manusia dalam sehari sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam PPH Nasional, 2) tidak terlalu memberatkan provinsi-provinsi
lumbung padi andalan dalam penyediaan beras, dan 3) merupakan angka
moderat untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah. Dengan penerapan konsumsi
beras 110 kg/kapita/tahun, daerah lumbung padi andalan, terutama Jawa Tengah
dan Jawa Timur, memiliki peluang untuk mengekspor beras, sedangkan provinsi
lainnya seperti Banten dan D.I Yogyakarta masih dapat berswasembada beras
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Penerapan konsumsi beras 140
kg/kapita/tahun (389 gram/kapita/hari) yang mendekati konsumsi beras standar
nasional, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, dinilai terlalu tinggi karena konsumsi
beras 389 gam/kapita/hari mengandung energi 1,439 kkal (65% energi
kebutuhan/orang/hari) yang melebihi standar kebutuhan energi dari padi-padian,
yaitu 1,100 kkal/kapita/hari atau 50% dari kebutuhan energi setiap orang dalam
sehari, yaitu 2,200 kkal seperti yang ditetapkan dalam PPH nasional. Berdasarkan
pada hasil penelitian ini, penerapan konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun dapat
mengakibatkan kondisi daya dukung lahan sawah di wilayah-wilayah yang
berperan sebagai lumbung padi andalan seperti provinsi Jawa Tengah dan Jawa
0
2,000
4,000
6,0008,000
10,000
12,000
14,000
16,000
2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Kepa
data
n (j
iwa/
km2 )
DKI JakartaJawa BaratDI. YogyakartaJawa TengahJawa Timur
Gambar 52. Perkembangan kepadatan penduduk di Jawa (2005-2025).
126
Timur menjadi status bersyarat. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan
karena penerapan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/hari membawa konsekwensi
kepada pemerintah daerah untuk mengejar target produksi padi yang melebihi
daya dukungnya.
Penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun tentunya harus disertai
dengan kebijakan diversifikasi pangan agar kebutuhan energi setiap orang per hari
yang masih terbiasa dengan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun masih dapat
terpenuhi. Kebijakan diversifikasi pangan dimaksud sebenarnya sudah diarahkan
dalam GBHN 1999-2004 (bab IV), yang dinyatakan bahwa pembangunan pangan
diarahkan untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada
keanekaragaman sumberdaya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam
rangka menjamin tersedianya pangan dan gizi dalam jumlah dan mutu yang
dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan
peningkatan pendapatan petani dan nelayan serta peningkatan produksi
(Hardinsyah et al., 2001). Arahan kebijakan pangan tersebut dimaksudkan untuk
mendukung terwujudnya ketahanan pangan. Dalam Propenas tahun 2000-2004
(Republik Indonesia, 2000) telah diamanatkan tentang tujuan program ketahanan
pangan, yaitu (1) meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan, dan
konsumsi pangan bersumber pada ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, dan
kebun serta produk-produk olahannya, (2) mengembangkan kelembagaan pangan
yang menjamin peningkatan produksi pangan dan distribusi, serta konsumsi
pangan yang lebih beragam, (3) mengembangkan usaha/bisnis pangan yang
kompetitif dan menghindarkan monopoli usaha/bisnis pangan, dan (4) menjamin
ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat.
Untuk mewujudkan program diversifikasi pangan, Hardinsyah et al.
(2001) telah memformulasikan susunan konsumsi pangan dari tahun 1999 hingga
2020 seperti pada Tabel 27. Penerapan konsumsi pangan dengan konsumsi beras
110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 51,4% kebutuhan energi 2.200
kakl/organg/hari konsumsi energi yang disertai pangan umbi-umbian, pangan
hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan
buah, dan lain-lain telah memenuhi target konsumsi energi 2.200 kkal yang
ditetapkan dalam PPH nasional untuk tahun 2020.
127
Tabel 27 Pola konsumsi energi (%) tahun 2002-2020 (Hardinsyah et al., 2001)
No.
Kelompok Pangan Tahun
2002 2003 2004 2005 2020
1 Padi-padian 55,4 55,1 54,8 54,5 50
2 Umbi-umbian 3,5 3,7 3,8 4,0 6,0
3 Pangan hewani 5,2 5,6 5,9 6,3 12,0
4 Minyak dan lemak 8,1 8,2 8,3 8,4 10
5 Buah/biji berlemak 2,0 2,1 2,1 2,2 3,0
6 Kacang-kacangan 2,8 2,9 3,0 3,2 5,0
7 Gula 4,3 4,4 4,4 4,4 5,0
8 Sayur dan buah 3,6 3,7 3,9 4,0 6,0
9 Lain-lain 1,4 1,5 1,6 1,7 3,0
Total 86,4 87,2 87,9 88,7 100
4.5 Kesimpulan dan Saran
4.5.1 Kesimpulan
1. Lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha didominasi oleh
zona agroekologi yang sesuai untuk tanaman padi sawah dan berada dalam
kawasan budidaya, dengan luas total 3,101,354 ha (87%). Sebagian besar
dari zona agroekologi lahan sawah tersebut merupakan tanah sawah yang
berbahan induk bahan volkan, dengan jenis tanah dominan Alluvial
(Epiaquepts) dan Grumusol (Epiaquerts). Dengan potensi luas panen
6,123,810 ha, zona agroekologi lahan sawah ini memiliki potensi produksi
35,403,127 ton GKG/tahun atau setara dengan 23,012.032 ton beras/tahun.
Meskipun didukung oleh budaya usahatani dengan penerapan IP200 yang
bersifat ramah lingkungan, produktivitas lahan sawah di semua zona
agroekologi masih menghadapi kendala karena rendahnya kandungan C-
organik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia.
2. Kondisi daya dukung lahan sawah di setiap provinsi di Jawa berbeda-beda,
tergantung pada kualitas zona agroekologi lahan sawah, jumlah penduduk,
128
dan tingkat konsumsi beras. Penerapan konsumsi beras standar nasional
sebesar 139.15 kg/kapita dinilai terlalu tinggi dan berpotensi mengancam
keberlanjutan lahan sawah karena daya dukung lahan sawah di wilayah-
wilayah produsen beras andalan seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Jawa Barat berada dalam kondisi bersyarat. Keberlanjutan lahan sawah di
wilayah-wilayah tersebut akan terjaga hingga tahun 2025 apabila diterapkan
konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 1,130
kkal/kapita/hari. Penerapan konsumsi beras pada level ini dinilai paling
ideal karena selain keberlanjutan lahan sawah dapat terjaga, konsumsi
energi setiap orang dari pangan padi-padian sesuai dengan yang ditetapkan
pada Pola Pangan Harapan nasional, yaitu 50% dari energi 2,200 kkal
untuk memenuhi kebutuhan energi setiap manusia per hari.
4.5.2 Saran
1. Luasan zona agroekologi lahan sawah sekitar 3.1 juta ha dari hasil
penelitian ini disarankan untuk dapat dimanfaatkan sebagai data indikasi
luasan baku lahan sawah. Keunggulan zona agroekologi lahan sawah ini
dapat mencerminkan distribusi potensi lahan sawah, status kawasan, dan
sosial-budaya petani dalam melakukan penanaman padi sawah.
2. Agar penggunaan zona agroekologi lahan sawah sesuai dengan daya
dukungnya, konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan energi
1,100 kkal/kapita/hari dapat dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan
sebagai pengganti konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun yang dinilai
terlalu tinggi. Penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun dinilai layak
untuk menggantikan konsusmsi beras 139.15 kg/kapita/tahun karena
kebutuhan energi sebesar 1,100 kkal atau 50% dari energi 2,200 kkal yang
dibutuhkan setiap orang per hari sebagaimana yang ditetapkan dalam Pola
Pangan Harapan (PPH) Nasional untuk tahun 2020 dapat terpenuhi. Dengan
konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun, produksi beras di Jawa sangat
memungkinkan akan surplus, mengingat produksi beras aktual di Jawa
dengan konsumsi beras 139.15 kg/kapital sudah pernah mencapai 90% dari
produksi beras potensialnya. Untuk mewujudkan keberlanjutan lahan sawah
129
di setiap wilayah, penerapan konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun ini
memerlukan komitmen pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
diversifikasi pangan dan pengendalian jumlah penduduk, konversi lahan,
serta konservasi tanah dan air secara konsisten.
3. Untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah, pemupukan anorganik
perlu diikuti dengan pupuk organik karena kandungan C-organik tanah
sawah di Jawa tergolong rendah. Penambahan pupuk C-organik ini dapat
memperbaiki degradasi kesuburan tanah sawah yang telah mengalami
pelandaian produktivitas.
top related