abstrak kadar 25-hydroxyvitamin d plasma …
Post on 16-Oct-2021
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ABSTRAK
KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF
DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA
Kusta adalah penyakit infeksi dengan spektrum klinis bervariasi yang sangat
dipengaruhi oleh respon imunitas penderita untuk melawan M. leprae. Sistem
imunitas alamiah yang terutama diperankan oleh makrofag dapat melawan invasi
patogen melalui produksi antimikrobial katelisidin. Penelitian terakhir
menemukan peranan vitamin D pada proses transkripsi gen peptida antimikroba
katelisidin, dan terdapat hambatan pada jalur antimikrobial tergantung vitamin D
pada kusta tipe lepromatosa, sehingga didapatkan indeks bakteri yang lebih tinggi
dibandingkan kusta tipe tuberkuloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan indeks bakteri pada
penderita kusta.
Penelitian ini adalah penelitian cross sectional analitik, melibatkan 55 orang
penderita kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini
subjek pasien kusta dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling
yang dikorelasikan dengan klasifikasi kusta menurut WHO menjadi 18 subjek
kusta tipe pausibasilar dan 37 subjek kusta tipe multibasilar. Seluruh subjek
dilakukan pemeriksaan indeks bakteri dan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
dengan metode ELISA.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar 25-
hydroxyvitamin D plasma antara subjek kusta tipe multibasilar (19,48 ± 3,17
ng/mL dan median 18,36 ng/mL) dengan subjek kusta tipe pausibasilar (24,44 ±
1,98 ng/mL dan median 25,57 ng/mL), dengan nilai p < 0,001. Didapatkan pula
korelasi negatif yang kuat antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan
indeks bakteri (r = -0,860; p < 0,001).
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
berkorelasi negatif dengan indeks bakteri pada penderita kusta. Semakin rendah
kadar 25-hydroxyvitamin D plasma maka indeks bakteri semakin tinggi.
Kata kunci: 25-hydroxyvitamin D plasma, indeks bakteri, kusta
2
ABSTRACT
NEGATIVE CORRELATIONS BETWEEN
PLASMA 25-HYDROXYVITAMIN D LEVEL WITH BACTERIAL
INDEX IN LEPROSY PATIENTS
Leprosy is a chronic graulomatous infection whose clinical spectrum are highly
influenced by the immune respon of the subject againts M. leprae invasion. Innate
immunity system whose playing by macrophage will fight the patogen through
cathelicidin antimycrobial production. Recent studies found the role of vitamin D
as an transcription factor of cathelicidin antimycrobial peptida. Also found that
there are inhibition on vitamin D-dependent antimicrobial pathway in lepromatous
type of leprosy, result in higher bacterial index of lepromatous type compare with
tuberculoid type of leprosy. Purpose of this study is to show the correlation
between plasma 25-hydroxyvitamin D level with bacterial index in leprosy
patients.
This study was observational analytic cross-sectional study. The number of
leprosy subject that quality inclusion and exclusion criteria were 55 patients.
The leprosy subjects in this study were classified based on Ridley and Jopling
classification and were correlated with WHO classification into 18
paucibacillary and 37 multibacillary type of leprosy subjects. Examination of
bacterial index and plasma 25-hydroxyvitamin D level by ELISA were done in
all of the subjects.
This study shows there were significant difference between 25-
hydroxyvitamin D levels average of multibacillary type of leprosy subject
[19,48 ± 3,17 ng/mL and median 18,36 ng/mL] compare with paucibacillary
type [24,44 ± 1,98 ng/mL and median 25,57 ng/mL] with p < 0,05. Also
found there were a negative correlation between plasma 25-hydroxyvitamin D
levels with bacterial index (r = -0,862; p < 0,001).
It is concluded that plasma 25-hydroxyvitamin D level have negative correlation
with bacterial index, which mean lower levels of plasma 25-hydroxyvitamin D
will increases the bacterial index of leprosy subject.
Keywords : plasma 25-hydroxyvitamin D, bacterial index, leprosy
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan
perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(WHO), terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Pengobatan
penyakit kusta dengan mutly drug therapy (MDT) yang direkomendasikan oleh
WHO telah mampu menurunkan kasus kusta secara bermakna, namun kasus kusta
baru tetap ada. Pasien kusta yang sudah sembuh dapat mengalami kecacatan fisik
akibat kerusakan saraf yang progresif dan menetap, dapat mengalami relaps, atau
mengalami reaksi kusta yang merusak jaringan. Stigma sosial yang beranggapan
kusta sebagai penyakit menular yang tidak bisa diobati, penyakit keturunan, atau
akibat kutukan memperburuk kondisi pasien dan keluarga serta masyarakat
sekitarnya. Permasalahan ini juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh
para klinisi.
Data WHO mengenai epidemiologi penyakit kusta menunjukkan adanya
penurunan prevalensi kusta secara global yang signifikan setelah pengenalan
MDT. Kasus kusta pada pertengahan tahun 1980 didapatkan sejumlah lebih dari
lima juta kasus, kemudian mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2015
menjadi kurang dari 200.000 kasus, tetapi kasus baru masih terus muncul
walaupun dalam skala kecil. Indonesia pada tahun 2014 menempati peringkat
ketiga untuk temuan kasus kusta baru di seluruh dunia setelah Brazil dan India
1
4
sejumlah 17.025 kasus. Indonesia juga merupakan penyumbang kasus kusta baru
tipe multi basilar (MB) tertinggi di Asia Tenggara sejumlah 14.213 kusta tipe MB
atau sekitar 83,4% (WHO, 2015). Jumlah kasus baru tertinggi di Indonesia
didapatkan di Propinsi Jawa Timur sejumlah 4.132 kasus (Infodatin, 2015).
Prevalensi penyakit kusta di Bali pada tahun 2014 berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Bali sejumlah 0,21 per 10.000 penduduk dengan jumlah kasus
baru 89 orang. Jumlah total pasien kusta yang melakukan rawat jalan di Poliklinik
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum (RSUP) Sanglah Denpasar per Januari
2015 hingga Januari 2016 sejumlah 44 kasus, 30 kasus diantaranya merupakan
kusta tipe MB (Yudianto et al., 2014; Dinkes Provinsi Bali, 2015).
Manifestasi klinis penyakit kusta sangat bervariasi, dibedakan menjadi
spektrum penyakit kusta. Ridley dan Jopling pada tahun 1966 mengklasifikasikan
spektrum penyakit kusta berdasarkan klinis, respon imunitas, histopatologi, dan
indeks bakteri (IB), menjadi kusta tipe lepromatosa polar dan tuberkuloid polar.
Diantara kusta tipe tuberkuloid polar dan lepromatosa polar didapatkan kusta tipe
borderline yang terdiri atas kusta borderline tuberkuloid (BT), mid borderline
(BB), dan borderline lepromatosa atau BL (Lastoria, 2014). World Health
Organization menetapkan klasifikasi kusta pada tahun 1997, menjadi tipe
pausibasilar (PB) dan MB berdasarkan jumlah lesi kulit atau IB untuk
memudahkan pemberian pengobatan. Jumlah lesi satu atau dua hingga lima
diklasifikasikan menjadi tipe PB, sedangkan jumlah lesi lebih dari lima menjadi
tipe MB. Apabila didapatkan IB yang positif pada pemeriksaan slit-skin smear,
5
maka diklasifikasikan ke dalam tipe MB tanpa memandang jumlah lesi kulit
(Santos et al, 2013).
Mycobacterium leprae (M. lepra) sebagai penyebab kusta merupakan
bakteri yang bersifat obligat intraseluler dengan tingkat virulensi yang rendah.
Virulensi yang rendah diperankan oleh komponen kapsul M. lepra yaitu phenolic
glicolipid-1 (PGL-1). Phenolic glicolipid-1 merupakan antigen spesifik M. leprae
yang lemah, namun bersifat stabil dalam jangka waktu lama dalam tubuh host
(Sekar, 2010). Kondisi ini menyebabkan patogenesis kusta tidak semata-semata
dipengaruhi oleh paparan mikobakteri, namun lebih dipengaruhi faktor imunitas
host. Sistem imunitas seluler tinggi akan menghasilkan spektrum penyakit kusta
tuberkuloid polar yang ditandai dengan IB rendah. Sebaliknya sistem imunitas
seluler rendah akan menghasilkan spektrum penyakit kusta lepromatosa polar
yang ditandai dengan IB yang tinggi. Sistem imunitas alamiah host merupakan
barier pertama melawan infeksi M. leprae yaitu terutama diperankan oleh
makrofag teraktivasi yang dapat menghancurkan mikobakteri, dilanjutkan dengan
terbentuknya sistem imunitas adaptif (Modlin, 2010).
Terdapat 4 jalur metabolik respon imun pada kusta yang diekspresikan
pada makrofag. Empat jalur tersebut melibatkan interaksi molekuler yaitu pertama
melalui jalur aktivasi toll-like receptor 2 dan 1 (TLR2/1) oleh antigen M. leprae,
kedua melalui jalur tumor growth factor (TGF-), ketiga melalui jalur tumor
necrosis factor (TNF-), dan keempat adalah jalur yang diperantarai reseptor
vitamin D atau vitamin D receptor (VDR). Vitamin D pada kusta diketahui
berperan sebagai imunomodulator melalui jalur anti mikroba yang diperantarai
6
oleh VDR (Goulart et al., 2008; Bartley et al., 2013). Vitamin D telah diketahui
terlebih dahulu memiliki peran klasik (peran skeletal) dalam menjaga homeostasis
kalsium dan fosfor dalam tubuh. Kondisi defisiensi vitamin D dahulu
dihubungkan dengan penyakit riketsia atau osteomalasia. Penelitian terakhir dari
wide genome analysis berdampak pada terungkapnya peranan non klasik (peran
ekstra skeletal) vitamin D melalui penemuan VDR, dan enzim 1-hydroxylase
(CYP27B1). Enzim ini yang mengkonversi vitamin D belum aktif 2,5-
hydroxyvitamin D (25-OHD) menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxyvitamin D
1,25-(OH)2 D. Reseptor vitamin D diekspresikan oleh sekitar 60 tipe sel, dan
lebih dari 30 sel dimodulasi oleh vitamin D seperti sel monosit-makrofag,
epidermis, pankreas, kolon, dan plasenta (Chun et al, 2014). Kondisi defisiensi
vitamin D saat ini juga dihubungkan dengan berbagai penyakit autoimun seperti
psoriasis, vitiligo, arthritis reum atoid, diabetes melitus tergantung insulin, dan
multipel sklerosis (Gupta, 2012). Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi
kronis oleh mikobakteri yang dihubungkan dengan defisiensi kadar vitamin D.
Metaanalisis dari tujuh penelitian observasional melaporkan adanya penurunan
risiko tuberkulosis aktif pada kelompok dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi
dibandingkan yang lebih rendah, dan defisiensi vitamin D dapat meningkatkan
progresifitas tuberkulosis. Sebelum penemuan penyebab tuberkulosis, vitamin D
yang diperoleh melalui minyak hati ikan kod dan paparan sinar matahari sudah
dimanfaatkan sebagai pengobatan tuberkulosis kutis atau lupus vulgaris (Telet et
al, 2010; Hawthorne et al, 2010).
7
Mekanisme vitamin D sebagai imunomodulator pada infeksi oleh
mikobakteri hingga saat ini masih dalam penelitian, namun beberapa mekanisme
telah diketahui (Gupta, 2012; Luong et al, 2012). Pada infeksi oleh mikobakteri
vitamin D berperan sebagai imunomodulator pada jalur anti bakteri melalui VDR
yang mempengaruhi sistem imunitas alamiah. Adanya invasi patogen, berbagai
sitokin inflamasi seperti IFN- akan mengaktivasi enzim CYP27B1 untuk
mengubah 25-OHD menjadi vitamin D aktif 1,25-(OH)2D. Infeksi kronis
memerlukan kadar 1,25-(OH)2D yang tinggi untuk memodulasi transkripsi gen
target cathelicidin antimicrobial peptida (CAMP), yaitu gen pengkode peptida
antimikroba katelisidin yang berfungsi membunuh bakteri. Kebutuhan akan kadar
1,25-(OH)2D yang tinggi ini akan menyebabkan rendahnya kadar 25-OHD.
Vitamin 25-OHD dalam plasma memiliki waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan bentuk aktif, dan meningkat secara signifikan setelah penambahan
suplemen, sehingga bentuk inaktif dapat mempresentasikan kadar vitamin D aktif
dalam plasma (Youssef et al, 2011; Chun et al, 2014).
Aktivasi sistem vitamin D intrakrin pada kusta sesuai dengan respon
imunitas seluler host. Pada kusta tipe tuberkuloid, sistem vitamin D intrakrin tidak
mengalami gangguan, menyebabkan jalur anti bakteri yang diperantarai vitamin D
pada makrofag dapat berfungsi optimal, ditandai dengan rendahnya nilai IB. Hal
ini berlaku sebaliknya pada kusta lepromatosa dengan sistem vitamin D intrakrin
yang terganggu, menyebabkan penurunan kemampuan makrofag membunuh
mikobakteri, ditandai dengan IB yang tinggi (Montoya et al, 2009; Chun et al,
2014). Penelitian kadar vitamin D pada penderita kusta sudah pernah dilakukan
8
sebelumnya, namun jumlahnya masih terbatas. Penelitian oleh Mandal et al.
(2015), ditemukan kadar 25-OHD plasma yang lebih rendah pada penderita kusta
yaitu sebesar 27,47±4,17 ng/ml, sedangkan pada individu normal sebesar 33±3,76
ng/ml. Penelitian yang menghubungkan kadar vitamin 25-OHD dengan IB belum
pernah dilakukan di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kadar 25-
OHD plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma antara
penderita kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar di RSUP
Sanglah Denpasar?
2. Apakah terdapat korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara 25-hydroxyvitamin D plasma dengan
penyakit kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
antara penderita kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar di
RSUP Sanglah Denpasar.
9
2. Untuk mengetahui adanya korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D
plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah
Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang peranan vitamin D
pada patogenesis penyakit kusta, serta hubungan vitamin D dengan indeks bakteri
pada penderita kusta.
1.4.2 Manfaat praktis
1.4.2.1 Manfaat untuk klinisi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pemikiran pada
penelitian selanjutnya untuk mengetahui apakah kadar 25-hydroxyvitamin D
plasma penderita kusta dapat berperan sebagai salah satu faktor risiko
perkembangan kusta tipe multibasilar.
1.4.2.2 Manfaat untuk penderita
Pembuktian hubungan antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan
indeks bakteri pada penderita kusta, maka pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin
D plasma dapat dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat
keparahan penyakit kusta.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Definisi kusta
Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan
oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer
Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae
berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi,
dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam tubuh
dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran pernafasan
atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan testis
(Kumar dan Dogra, 2010).
2.1.2 Epidemiologi kusta
Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121
negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun
2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah
154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus
kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064
kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha
tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di
Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025
8
11
kasus. Jawa Timur menempati posisi dengan jumlah kasus kusta baru terbanyak
sejumlah 4.132 kasus dari total 16.856 kasus pada tahun 2013 (Infodatin, 2015).
Diantara negara-negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus
kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi,
serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,3%
(Depkes, 2013). Keadaan ini memberi kesan bahwa MDT berhasil menurunkan
prevalensi namun tidak dapat mencegah timbulnya kasus kusta baru di
masyarakat. Kondisi ini dihubungkan dengan fenomena gunung es dimana MDT
hanya membasmi kusta yang sudah bermanifestasi, namun kusta subklinis sebagai
kandidat kasus kusta baru tidak terjamah (Desikan et al, 2003).
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit kusta dapat terjadi pada
semua usia, namun yang terbanyak pada usia muda dan produktif. Berdasarkan
jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun
laporan di beberapa negara menemukan angka kejadian yang lebih sering pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial
ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Hando et al, 2011).
2.1.3 Etiologi kusta
Mycobacterium leprae merupakan mikobakteri berbentuk batang tahan
asam, gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, bersifat non motil,
aerob, dan obligat intraseluler. Bakteri ini memiliki ukuran panjang 1 mikron
hingga 8 mikron, diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang
membulat. Seperti mikobakteri yang lain M. leprae membelah secara biner.
12
Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula
pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga
13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30o C hingga 33
o C. Pemeriksaan
mikroskopis secara langsung menunjukkan bentukan khas adanya basil
menggerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi)
yang terletak intraseluler dan ekstraseluler (Rees dan Young, 1994).
Dinding sel M. leprae mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan
arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target respon
imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar.
Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol
dimycocerosate yang berperan sebagai perlindungan pasif terhadap terhadap
respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae
yang aktif secara serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat
memicu immunoglobulin kelas imunoglobulin M (IgM) yang ditemukan pada
60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Mahapatra et al, 2008).
2.1.4 Mekanisme penularan kusta
Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti. Penelitian mengenai mekanisme penularan penyakit kusta sulit
dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang
panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak
diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang paling utama
dibandingkan tipe pausi basiler (PB), namun semua kasus kusta aktif harus
dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial.
Saluran pernafasan
13
terutama mukosa nasal merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga
inhalasi droplet merupakan mekanisme penularan yang paling penting.
Kemampuan transmisi M. leprae yang bersifat rendah menyebabkan kontak yang
lama (nara kontak) serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko
(Thorat et al, 2010).
Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen (HLA-DR2) dan gen
non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum
maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam
mengendalikan kerentanan terhadap kusta. Penelitian lain di India menunjukkan
lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB
(Thorat et al, 2010).
Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode
transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air
susu ibu (ASI). Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena
adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi
melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun
hipotesis ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Penularan juga
dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak (Thorat et al, 2010).
2.1.5 Imunopatogenesis kusta
Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor
patogen (M. leprae), faktor host (usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik),
lingkungan (kelembaban, daerah endemis), dan sosial (lingkungan padat,
pendidikan rendah, kebersihan diri rendah, dan ventilasi yang kurang). Faktor
14
patogen adalah M. leprae yang bersifat obligat intraseluler dengan afinitas tinggi
terutama pada sel Schwann, dan sel dalam sistem retikuloendothelial. Kondisi
jaringan yang dingin merupakan tempat pertumbuhan paling baik untuk M. leprae
seperti saraf tepi, kulit, saluran pernafasan atas, dan testis (Sekar, 2010).
Komponen imunogenik M. leprae yaitu polisakarida yang menginduksi respon
imun humoral, dan protein yang menginduksi baik respon humoral maupun imun
seluler. Komponen imunogen M. leprae ini berasal dari antigen sitoplasma dan
antigen yang disekresikan oleh sel mikobakteri (Bryceson, 1990).
Penyakit kusta ditandai dengan spektrum klinis luas yang didasarkan atas
respon imunitas seluler host. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan
adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh sel Thelper 1 (Th1) pada kulit
dan saraf, menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap
antigen M. leprae. Hal ini mengakibatkan gambaran klinis adanya gangguan saraf
tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe
lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 yang
tidak responsif terhadap antigen M. leprae (Modlin, 2010).
Respon imunitas host terhadap infeksi M. leprae diawali masuknya
patogen menembus barier fisik mukosa hidung, kemudian menuju ke kulit dan
saraf tepi melalui sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae menembus barier fisik,
kemudian direspon oleh sistem seluler yang diperankan oleh makrofag, sehingga
sistem fagositosis makrofag merupakan barier pertama untuk melawan M. leprae
(Modlin, 2010).
15
Terdapat 4 rute sinyal disertai interaksi molekuler pada makrofag yang
melibatkan aktivasi TRLs, TGF-, jalur regulasi TNF-, dan jalur yang
diperantarai oleh VDR seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 (Lastoria,
2014). Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding
sel M. leprae yang dikenali oleh complement receptor atau CR1(CD35), CR3
(CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18), serta diregulasi oleh protein kinase.
Sistem fagositosis makrofag diaktivasi melalui pengenalan PGL-1 oleh TLRs
pada permukaan makrofag. Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini
menimbulkan aktivasi sel Tnaive melalui sekresi interleukin-12 (IL-12) dan IL-10.
Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan sel Tnaive menjadi sel Th1 maupun sel
Th2. Masing-masing sel limfosit T teraktivasi ini akan mempromosikan sel respon
imun seluler dan humoral terhadap M. leprae, sehingga muncul perkembangan
penyakit kusta ke bentuk tuberkuloid atau lepromatosa.
Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1--
hydroxylase vitamin D yang menyebabkan induksi peptida anti mikroba
katelisidin untuk membunuh M. leprae. Selain itu, stimulasi TLRs memicu
aktivasi nuclear transcription factor (NF) yang berperan dalam proses
transkripsi berbagai gen pada respon imun (Lastoria, 2014; Spierings et al, 2000).
16
Sitokin proinflamasi akibat aktivasi makrofag memodulasi TGF- yang
berperan mempertahankan toleransi sistem imun melalui regulasi proliferasi,
diferensiasi, dan pertahanan hidup limfosit. Aktivasi TGF- ini mengontrol
inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi respon imun terhadap
patogen. Aktivasi TGF- memicu protein SMAD3 yang berfungsi sebagai
koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti (Lastoria, 2014). Makrofag
teraktivasi akibat stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF- yang dapat
menginduksi inducible nitric oxide species (iNOS) dan nitric oxide (NO) yang
berperan untuk membunuh M. leprae (Lastoria, 2014).
Gambar 2.1
Jalur metabolik respon imun pada kusta (Lastoria, 2014)
17
2.1.6 Penegakan diagnosis dan klasifikasi kusta
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
dan didukung dengan pemeriksaan slit skin smear. Diagnosis kusta ditegakkan
bila memenuhi satu atau lebih dari tanda kardinal sebagai berikut: (WHO,1997).
1. Lesi kulit disertai anestesi.
Lesi kulit dapat berupa makula, atau plak eritema berwarna seperti tembaga,
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga berupa infiltrasi atau edema. Jumlah
lesi dapat tunggal atau multipel. Hilangnya fungsi kelenjar menyebabkan
permukaan lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel rambut
dapat menghilang. Anestesi atau gangguan hingga hilangnya fungsi sensorik
terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu dapat ditemukan pada lesi dan area yang
dipersarafi oleh saraf perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai
area di luar persarafan yang terlibat.
2. Penebalan saraf tepi
Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit, paling
sering mengenai nervus ulnaris dan nervus peroneus komunis. Pembesaran saraf
multipel umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Pemeriksaan saraf
meliputi pemeriksaan nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus
ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus
peroneus, dan nervus tibialis posterior (WHO, 1997).
3. Pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam
Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100% dengan sensitivitas lebih
rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit dapat diambil dari kedua lobus telinga, lesi
18
kulit, bagian dorsum interfalang digiti III manus, dan bagian dorsum digiti I pedis.
Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan
slit skin smear dapat ditentukan IB dan indeks morfologis (IM) yang membantu
dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi. Indeks bakteriologi merupakan
ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus yang dihitung
menurut skala logaritma Ridley. Nilai IB berkisar dari terendah +1 yang
mengandung jumlah bakteri paling sedikit, hingga +6 yang mengandung jumlah
bakteri paling banyak pada setiap lapangan pandang (WHO,1997).
Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan,
prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan untuk identifikasi pasien
yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering
digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling (1966) yang
membagi kusta menjadi lima spektrum berdasarkan pada kriteria klinis,
bakteriologis, imunologis dan histopatologis seperti yang ditunjukkan pada Tabel
2.1. Lima spektrum kusta tersebut yaitu kusta tipe tuberkuloid atau tuberculoid
tuberculoid (TT), kusta tipe lepromatosa atau lepromatous lepromatous (LL), dan
kusta tipe borderline. Kusta tipe borderline terdiri atas tiga tipe yaitu kusta
borderline-borderline (BB), borderline tuberculoid (BT), dan borderline
lepromatous atau BL. Pada fase awal perjalanan alamiah penyakit kusta dapat
terbentuk tipe inderterminate (Suzuki et al, 2012).
19
Tabel 2.1
Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Suzuki et al, 2012)
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah biasanya
tunggal
(sampai
dengan 3
lesi)
sedikit
(sampai
dengan 10
lesi)
beberapa
(10-30
lesi)
banyak
asimetris
(>30 lesi)
tidak
terhitung,
simetris
Ukuran bervariasi,
umumnya
besar
bervariasi,
beberapa
besar
Bervariasi kecil,
beberapa
dapat besar
kecil
Permukaan kering,
dengan
skuama
kering,
dengan
skuama,
terlihat
cerah,
infiltrasi
kusam atau
sediki
mengkilap
mengkilap mengkilap
Sensasi absen menurun
dengan
jelas
menurun
sedang
sedikit
menurun
menurun
minimal,
atau
normal
Pertumbuhan
rambut
absen menurun
dengan
jelas
menurun
sedang
sedikit
menurun
normal
pada tahap
awal
BTA negatif negatif
atau sedikit
jumlah
sedang
banyak banyak
sekali
termasuk
globi
Reaktivitas
lepromin
positif kuat
(+++)
positif
lemah (+
atau ++)
negatif
atau positif
lemah
negatif negatif
Berdasarkan kepentingan pengobatan dan untuk memudahkan petugas
lapangan, WHO mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe berdasarkan jumlah
lesi kulit yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit, dan PB lesi tunggal
(single lession paucibacillary atau SLPB), dan PB dua hingga lima lesi kulit.
Apabila didapatkan hasil IB yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa
20
memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Northern
Territory Government, 2010).
Tabel 2.2
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO
(Northern Territory Government, 2010)
Klasifikasi klinis SLPB PB MB
Jumlah lesi kulit Hanya 1 lesi 2- 5 lesi 6 atau lebih lesi
DAN
Sediaan hapusan Negatif pada
semua area
Negatif pada
semua area
Positif pada semua
area
Distribusi - Asimetris Lebih simetris
Hilangnya
sensasi
Terbatas Terbatas Luas
Kerusakan saraf Saraf dibadan
tidak terlibat
Hanya 1 saraf
dibadan yang
terlibat
Banyak saraf
dibadan yang
terlibat
Korelasi dengan
Ridley dan Jopling
I, TT, BT TT, kebanyakan
BT
Beberapa BT, BB,
BL, LL
2.1.7 Pengobatan kusta
World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan
penggunaan MDT yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk
pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden
relaps paska pengobatan, menurunkan efek samping serta menurunkan durasi
pengobatan sehingga menurunkan biaya. Untuk kepentingan terapi, WHO
mengklasifikasi penderita kusta menjadi tiga kelompok yaitu kusta PB dengan lesi
tunggal, kusta PB dengan lesi kulit dua hingga lima, dan kusta MB dengan lesi
kulit lebih dari lima, atau semua pasien dengan BTA positif. Regimen PB dengan
lesi kulit dua hingga lima terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah
dapson 100mg/hari selama enam bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari
21
lima, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali, klofazimin
300mg/sebulan sekali dan 50mg/hari, dapson 100mg/hari dengan lama
pengobatan 12 bulan. Regimen PB lesi tunggal terdiri atas rifampisin 600mg
ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin 100mg (ROM) dosis tunggal.
Regimen PB 2-5 lesi terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100
mg setiap hari selama 6 bulan (Worobec, 2009; Desikan et al, 2003).
2.2 Vitamin D
2.2.1 Definisi vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin larut dalam lemak yang berperan sebagai
hormon sekosteroid yaitu hormon steroid dengan cincin B yang hilang. Terdapat
dua bentuk vitamin D yang belum aktif yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol), dan
vitamin D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 bersumber dari tumbuhan seperti ragi
dan jamur. Vitamin D3 (kolekalsiferol) yang disintesis di kulit manusia dengan
bantuan sinar matahari dan dikonsumsi dari diet makanan berbahan hewan seperti
ikan salmon, tuna, makarel, sarden, kuning telur, hati, keju. Kedua jenis vitamin
dapat disintesis secara komersial dan didapatkan dalam suplemen diet dan
makanan yang difortifikasi. Struktur vitamin D2 dan D3 hanya berbeda pada rantai
samping (Norman, 2008).
Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen oleh kulit saat terpapar
radiasi sinar ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 nm. Pada
kondisi normal kulit dapat memenuhi 80-100% kebutuhan vitamin D. Paparan
tubuh dari sinar matahari langsung bersifat terbatas, sehingga suplai tergantung
22
juga pada asupan vitamin D yang akan diolah menjadi vitamin D yang
sebenarnya. Walaupun individu banyak mengkonsumsi makanan mengandung
vitamin D, tanpa paparan sinar matahari tidak akan cukup memenuhi kebutuhan
tubuh terhadap vitamin D. Sehingga paparan sinar matahari yang terbatas, tanpa
disertai asupan vitamin D dengan dosis 800-1000 IU atau 20-25 mcg per hari,
maka akan meningkatkan risiko menderita defisiensi vitamin D (DeLuca, 2013).
2.2.2 Sejarah penemuan vitamin D
Penemuan vitamin D berawal dari penelitian oleh Sir Edward Mellanby
dari Inggris pada tahun 1914 mengamati tingginya insiden riketsia di Inggris,
berpendapat vitamin A dalam minyak dari hati ikan kod yang berhasil
menyembuhkan penyakit riketsia. Rekan Mellanby yaitu McCollum di Universitas
Johns Hopkins pada tahun 1922 menguji kembali hipotesis apakah vitamin A
yang bertanggung jawab pada penyembuhan riketsia. McCollum dan rekan-rekan
akhirnya menyimpulkan bahwa yang menyembuhkan riketsia adalah vitamin baru,
yaitu vitamin D. Sementara itu Huldsshinky seorang fisikawan dari Vienna, Chick
et al menemukan bahwa paparan sinar matahari selama musim panas atau sinar
ultraviolet artifisial dapat menyembuhkan riketsia.
Profesor Steenbock pada tahun 1916 melakukan pengamatan pada
kambing yang berada di luar kandang saat musim panas memiliki kalsium yang
seimbang dibandingkan kambing saat berada di dalam kandang pada musim
dingin. Steenbock menyimpulkan bahwa lemak yang belum aktif dalam diet dan
pada kulit diubah oleh sinar ultraviolet menjadi substansi aktif sebagai anti
riketsia (DeLuca, 2013).
23
Isolasi dan identifikasi vitamin D2 pertama kali dilakukan oleh Askew et
al. Windaus dan Linsert membuktikan bahwa vitamin D1 hanya merupakan
artefak tambahan diantara vitamin D2 dan lamisterol. Pada tahun 1935, 7-
dehydocholecalceferol diisolasi oleh Windaus et al, sedangkan vitamin D3 oleh
Windaus dan Bock pada tahun 1937. Esvelt et al mengisolasi dan
mengidentifikasi vitamin D3 melalui mass spectrometry (DeLuca, 2013).
Sejarah penemuan vitamin D berkembang dengan penemuan 41 metabolit,
diantaranya 25-OHD dan 1,25-(OH)2D. 1,25-dihydroxyvitamin D merupakan
produk aktif akhir dari regulasi kompleks produksi ginjal dan berperan sebagai
hormon steroid. Selanjutnya pengangkutan metabolit vitamin D ekstra sel oleh
lipoprotein, albumin, dan vitamin D binding protein (DBP), sedangkan intra sel
oleh VDR. Vitamin D receptor kemudian diidentifikasi sebagai faktor transkripsi
nukleus yang mengatur sejumlah gen target. Hal ini menegaskan bahwa 1,25-
(OH)2D sebagai hormon klasik. Vitamin D receptor ini terdapat di berbagai
tempat, dan VDR ekstra renal memproduksi metabolit vitamin D, meregulasi
berbagai gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (DeLuca, 2013).
2.2.3 Metabolisme vitamin D
Metabolisme vitamin D3/D2 bersifat identik, dapat melalui proses
bioaktivasi melalui jalur klasik yang melibatkan renal dan jalur non klasik atau
ekstra renal. Vitamin D3 disintesis di kulit dengan perubahan 7-
dehydrocholesterol melalui proses fotolitik menjadi pre vitamin D3, selanjutnya
melalui isomerisasi termal menjadi vitamin D3. Proses berikutnya vitamin D3
dikeluarkan melalui membran plasma keratinosit dan vitamin D2 yang berasal
24
dari intestin ditarik oleh DBP ke dalam plasma, kemudian ke dalam sistem
limfatik, memasuki darah vena, diikat oleh DBP dan lipoprotein, yang akhirnya
diangkut menuju hepar. Proses hidroksilasi vitamin D2/D3 di hepar pada rantai C-
25 oleh enzim 25-hydroxilase vitamin D (CYP2R1) akan menghasilkan 25-OHD.
Vitamin 25-OHD ditransport oleh DBP dan disimpan dalam lemak. Kadarnya
meningkat secara proporsional dalam serum dengan asupan vitamin D, memiliki
waktu paruh sekitar tiga minggu, sehingga kadar 25-OHD merupakan marker
yang baik untuk mengukur kandungan vitamin D dalam tubuh (Bilke, 2014).
Proses metabolisme yang kedua adalah bioaktivasi vitamin D yang terjadi
di renal. Enzim vitamin D 1-hydroxylase (CYP27B1) menghidrolisis 25-OHD
pada posisi C1 rantai A menjadi 1,25-(OH)2D. Regulasi di ginjal ini sangat ketat,
dan dilakukan oleh hormon paratiroid. Penurunan kadar kalsium atau peningkatan
kadar fosfat akan segera memicu produksi hormon paratiroid oleh kelenjar
paratiroid yang meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D. Hidroksilasi 1,25-(OH)2D
ditekan oleh peningkatan kalsium atau oleh 1,25-(OH)2D sendiri. 1,25-
dihydroxyvitamin D kemudian ditransport menuju usus halus, dan berinteraksi
dengan reseptor VDR spesifik, yang akan meningkatkan efisiensi absorpsi
kalsium intestinal.
Aktivitas biologi 1,25-(OH)2D 500 kali hingga 1000 kali lebih tinggi
dibandingkan 25-OHD, namun konsentrasi serum 25-OHD yang normal sekitar
100 kali lebih tinggi dibandingkan 1,25-(OH)2D. Setelah beberapa kali proses
hidroksilasi dan oksidasi, dihasilkan produk degradasi yaitu asam kalsitroik yang
diekskresikan melalui urin. Sebagian metabolit vitamin D juga masuk ke sirkulasi
25
intra hepatik, dan sebagian dari simpanan vitamin D menghilang melalui saluran
empedu (Bilke, 2014).
Enzim CYP27B1 yang berperan penting dalam bioaktivasi vitamin D
dominan diekspresikan pada renal, namun belakangan sebagai dampak dari
genome wide analysis, telah dibuktikan bahwa enzim ini juga dieskpresikan pada
berbagai sel atau jaringan ekstra renal seperti sel imunitas alamiah
(monosit/makrofag, sel dendritik, dan sel T), sel beta pankreas, plasenta, sel
paratiroid, kolon, payudara, dan paru. Enzim CYP27B1 dan VDR akan berperan
dalam sintesis vitamin D intrakrin melalui mekanisme yang berbeda dengan
sintesis di renal sesuai dengan target sel yang spesifik. Hal ini mengungkapkan
berbagai fungsi vitamin D ekstra skeletal seperti peran pada sistem imun,
endokrin, muskuler, kardiovaskuler, kanker, neurogeneratif, renal, dan pulmonal
(Christakos, 2010; Gupta, 2015)
2.2.4 Peranan vitamin D sebagai anti bakteri
Penelitian epidemiologi terkini telah mengamati adanya peran ekstra
skeletal (peran non klasik) vitamin D sebagai imunomodulator dalam sistem
imunitas. Terdapat hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan
berbagai penyakit autoimun maupun infeksi. Vitamin D dikatakan memiliki efek
anti mikroba dan memodulasi imunitas serta mempengaruhi kadar sitokin
(Viswewaran dan Lekha, 2015; Bartley dan Camargo, 2013). Respon
imunomodulator vitamin D bentuk aktif 1,25-(OH)2D telah diketahui sejak
beberapa tahun yang lalu, namun baru sejak 5 tahun terakhir diketahui peranan
penting vitamin D pada fungsi imunitas normal manusia. Hal ini merupakan
26
dampak dari wide genome analysis yang mendefinisikan kembali perspektif
mengenai vitamin D dan imunitas (Pike, 2011).
Dari berbagai laporan mengenai efek imunomodulator vitamin D, yang
paling menarik perhatian adalah kemampuan vitamin D untuk meregulasi sistem
imunitas alamiah dan adaptif. Berawal dari penelitian seorang ilmuwan peraih
nobel, Dr. Finsen pada tahun 1903 yang mampu menyembuhkan epidermis dari
infeksi tuberkulosis dan lupus vulgaris dengan menggunakan iradiasi sinar
terkonsentrasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa paparan sinar UV
dapat memicu sintesis vitamin D epidermis dan mendorong penelitian lebih lanjut
yang menunjukkan keberhasilan suplementasi vitamin D oral dalam pengobatan
lupus vulgaris dan infeksi mikroba seperti kusta. Pada tahun 2006, wide genome
analysis menemukan bukti bahwa aktivasi sistem vitamin D intrakrin pada
monosit/makrofag oleh patogen berhubungan dengan mekanisme anti mikroba
vitamin D. Talat et al. (2010) melaporkan hubungan antara defisiensi vitamin D
dengan progresifitas tuberkulosis.
Pengungkapan mengenai respon anti bakteri vitamin D berawal dari dua
pengamatan. Pengamatan pertama melaporkan sebagian besar sel-sel yang
berproliferasi dalam sistem imunitas mengekspresikan VDR untuk 1,25-(OH)2D
seperti ikatan 1,25-(OH)2D dengan sel dalam sistem imunitas adaptif (sel limfosit
T dan B), dan ikatan spesifik 1,25-(OH)2D dengan sel-sel dalam sistem imunitas
seluler (monosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, dan derivat sel monositik).
Pengamatan kedua melaporkan metabolisme vitamin D oleh sel-sel dalam sistem
imunitas. Berdasarkan dua pengamatan ini disimpulkan bahwa sel imun yang
27
mengekspresikan VDR ini dapat merespon vitamin D aktif sirkulasi sama halnya
dengan jaringan target vitamin D klasik seperti intestinal, renal dan tulang (Chun
et al, 2014). Secara garis besar vitamin D berperan penting pada imunoregulasi
sistem imunitas alamiah seperti induksi peptida anti mikroba katelisidin dan
defensin 2 pada berbagai jenis sel, sedangkan pada sistem imunitas adaptif seperti
supresi aktivasi sel T, induksi sel T regulator, regulasi pola sekresi sitokin,
regulasi maturasi dan diferensiasi APC (Chun et al, 2014).
Respon anti mikroba yang diperantarai vitamin D, diawali dengan
pengenalan patogen oleh pattern recognition receptor TLR2/1 yang menginduksi
ekspresi 1--hydroxylase (CYP27B1) dan VDR. Induksi ekspresi CYP27B1 pada
sistem intrakrin akan mengubah 25-OHD menjadi vitamin D bentuk aktif 1,25-
(OH)2D, yang kemudian berikatan dengan VDR dan mendorong regulasi
transkripsi gen dari sel target. Respon penting dari aktivasi vitamin D intrakrin
meliputi, pertama induksi cathelicidin antimicrobial peptide (CAMP) dan -
defensin-4 (DEFB4), kedua menekan iron-regulatory hepcidin (HAMP), ketiga
mendorong autofagosom, keempat menginduksi ekspresi protein nucleotide-
binding oligomerization domain containing 2 (NOD2), dan kelima memberikan
umpan balik regulasi ekspresi TLR2/1 yang pada akhirnya akan meningkatkan
pembunuhan bakteri. Respon induksi DEFB4 juga memerlukan sinyal imun
asesoris seperti ikatan muramyl dipeptide (MDP) yang berikatan dengan NOD2,
dan respon interleukin-1 (IL-1) melalui NK, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.2 (Jo et al, 2013).
28
2.2.5 Peranan vitamin D pada penyakit kusta
Genome wide analysis berperan penting dalam mengungkapkan
mekanisme utama yang memicu sistem vitamin D intrakrin dan respon imunitas
terkait dalam sel monosit/makrofag dan sel dendritik. Penelitian tersebut
menggunakan baik sel imun yang diisolasi secara langsung dari subyek penelitian
maupun yang dikultur, telah membuktikan adanya respon vitamin D yang
diinduksi oleh patogen. Bagaimana respon ini berfungsi pada penyakit imun yang
sebenarnya seperti halnya pada kusta, belum sepenuhnya jelas (Chun et al, 2014).
Seperti halnya pada tuberkulosis, vitamin D pernah dipertimbangkan
sebagai terapi putatif pada kusta. Berbeda dengan tuberkulosis, penyakit kusta
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kusta tipe lerpomatosa dan kusta tipe
tuberkuloid. Kedua tipe kusta ini memiliki profil imunitas serta prognosis yang
Gambar 2.2
Mekanisme induksi respon anti bakteri yang diperantarai oleh vitamin D
pada makrofag (Chun et al, 2014)
29
berbeda. Berdasarkan hasil analisis DNA, didapatkan profil ekspresi gen pada
kusta tuberkuloid menunjukkan adanya peningkatan ekspresi CYP27B1,
CYP24A1, dan VDR yang signifikan, sebaliknya pada kusta tipe lepromatosa
didapatkan ekspresi yang lebih rendah (Montoya et al, 2009). Disimpulkan dari
penelitian ini bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih
intak atau tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri
dari vitamin D. Berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa
yang terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae
(Chun et al, 2014).
Terdapat beberapa mekanisme yang diduga meyebabkan sistem vitamin D
intrakrin terganggu pada kusta lepromatosa seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3
Mekanisme sistem vitamin D yang terganggu pada makrofag
(Chun et al, 2014)
30
Mekanisme pertama adanya gangguan sistem vitamin D intrakin yang
diinduksi TLR2/1 oleh adanya peningkatan IL4, IL-10, IFN/. Sitokin IFN
melalui IL-10 berperan menekan ekspresi CYP27B1 (Teles et al, 2013).
Sedangkan sitokin IFN- pada kusta tuberkuloid berperan meningkatkan aktivasi
vitamin D yang diinduksi TLR2/1 (Edelfelt et al, 2010; Fabri et al, 2011).
31
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Wide genome analysis mengungkap berbagai fungsi ekstraskeletal vitamin
D meliputi modulasi sistem imun, menghambat diferensiasi dan proliferasi sel,
serta kontrol sistem hormonal lainnya. Pada sistem imun alamiah terutama yang
diperankan oleh makrofag, vitamin D melalui reseptor vitamin D (VDR) berperan
meningkatkan fungsi makrofag dalam melawan patogen melalui jalur anti bakteri
yang diperantarai vitamin D. Vitamin D dikonversi menjadi bentuk 25-
hydroxyvitamin D (25-OHD) di liver, dan selanjutnya di ginjal menjadi bentuk
aktif 25-dihydroxyvitamin D [1,25-(OH)2 D]. Pengukuran kadar 25-OHD plasma
merupakan indikator status vitamin D dalam darah karena memiliki waktu paruh
yang lebih panjang dibandingkan bentuk aktif.
Patogenesis kusta sangat dipengaruhi oleh peran sistem imunitas seluler
host. Sistem imunitas alamiah yang diperankan oleh sistem fagositosis makrofag
merupakan barier pertama melawan infeksi M. leprae. Pada sistem vitamin D
intrakrin terjadi induksi toll-like receptor 2/1 oleh M. leprae yang akan
meningkatkan ekspresi enzim CYP27B1. Enzim ini selanjutnya menghidrolisis
25-OHD menjadi bentuk aktif 1,25-(OH)2D. Metabolit aktif vitamin D ini akan
berikatan dengan vitamin D receptor (VDR) yang berperan sebagai faktor
transkripsi gen cathelicidine antimycrobial peptide (CAMP), sehingga terjadi
peningkatan ekspresi katelisidin untuk menghancurkan mikobakteri. Aktivasi
29
32
sistem vitamin D intrakrin pada kusta dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
host. Pada kusta tuberkuloid, sitokin IFNγ memicu bioaktivasi vitamin D yang
diinduksi oleh TLR2/1, sehingga makrofag mampu menghasilkan katelisidin,
sebaliknya pada kusta lepromatosa terjadi supresi bioaktivasi vitamin D intrakrin
oleh sitokin IL-10 dan IFN.
3.2 Kerangka Konsep
Konsep penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar 25-OHD
plasma dengan IB pada penderita kusta, yang ditunjukkan pada Gambar 3.1
Faktor Instrinsik:
Umur
Genetik
Faktor ekstrinsik:
Penyakit autoimun
Penyakit infeksi
Penyakit sistemik
Gangguan
keseimbangan
hormonal
Suplemen vitamin
D, steroid, anti
kejang
Paparan sinar
matahari
Status gizi
Faktor
intrinsik:
Sistem
imunitas
seluler
Genetik
Diteliti dan dianalisis
Tidak dianalisis
Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian
Keterangan
Infeksi M. leprae
Kadar 25-hydroxyvitamin D
plasma
Kusta tipe PB dan MB
Indeks Bakteri
Katelisidin
33
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Kadar 25-OHD plasma penderita kusta tipe MB lebih rendah dibandingkan
kusta tipe PB di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Kadar 25-OHD plasma memiliki korelasi negatif dengan indeks bakteri
pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
34
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross-
sectional study adalah rancangan penelitian yang dipilih untuk mengetahui adanya
korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan IB pada penderita kusta. Rancangan
penelitian ini dapat dilihat secara skematis pada Gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4.1
Rancangan penelitian cross-sectional
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Denpasar selama satu setengah bulan, dimulai pada pertengahan bulan Mei 2016
sampai dengan Juni 2016. Pemeriksaan BTA untuk menghitung indeks bakteri
dilakukan di Laboratorium Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Populasi
32
Sampel
Kusta Tipe PB
-Kadar 25-OHD plasma
-Indeks Bakteri
Kusta Tipe MB
-Kadar 25-OHD plasma
-Indeks Bakteri
35
Denpasar. Pemeriksaan kadar 25-OHD plasma dilakukan di Unit Pelayanan
Teknik Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi penelitian
1. Populasi target adalah seluruh pasien kusta di Bali yang berusia antara 5
tahun hingga 65 tahun.
2. Populasi terjangkau adalah semua pasien kusta, berusia antara 5 tahun
hingga 65 tahun, yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
Subdivisi Morbus Hansen RSUP Sanglah Denpasar pada periode
pertengahan bulan Mei 2016 sampai dengan Juni 2016.
4.3.2 Sampel penelitian
Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi terjangkau melalui
metode consecutive sampling, yaitu mengambil setiap pasien yang didiagnosis
sebagai kusta dan memenuhi kriteria penerimaan sampel sampai memenuhi
jumlah yang diperlukan.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a. Semua pasien kusta dalam periode pengobatan yang berkunjung ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, yang memenuhi kriteria
diagnosis penyakit kusta secara klinis dan dilakukan pemeriksaan BTA untuk
menghitung indeks bakteri, kemudian diinterpretasikan berdasarkan skala
logaritme Ridley.
b. Kewarganegaraan Indonesia, berumur antara lima hingga 65 tahun dengan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
36
c. Bersedia untuk mengikuti penelitian dan menandatangani lembaran informed
consent.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi
a. Semua pasien kusta yang sudah selesai pengobatan MDT atau release
from treatment (RFT).
b. Semua pasien kusta yang sedang mengalami reaksi kusta baik reaksi kusta
tipe satu maupun tipe dua.
c. Semua pasien kusta yang mengalami relaps.
d. Terdapat penyakit atau kondisi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan
hormonal seperti penyakit tiroid, paratiroid, kehamilan, menyusui,
menstruasi, dan tumor ovarium.
e. Terdapat penyakit infeksi seperti infeksi tuberkulosis, infeksi saluran
pernafasan atas.
f. Terdapat penyakit sistemik seperti gagal ginjal kronis, penyakit hati
kronis, multipel sklerosis, dan kardiovaskuler.
g. Status gizi dikatagorikan obesitas.
h. Terdapat penyakit autoimun seperti diabetes melitus, arthritis reumatoid,
sistemik lupus eritematosus, psoriasis, dan vitiligo.
i. Terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan anti kejang (penobarbital,
fenitoin, karbamazepin), dan steroid dalam satu bulan terakhir.
j. Melakukan fototerapi dengan NB-UVB dalam empat minggu terakhir.
k. Subjek mengkonsumsi suplemen vitamin D dalam satu bulan terakhir.
37
4.3.3 Besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunkan rumus untuk
uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mencari korelasi antara kadar
25-OHD plasma dengan IB pada pasien kusta. Rumus yang digunakan adalah
rumus dari Ronald Fisher’s classic Z transformation (Dahlan, 2008; Madiyono
dkk, 2010).
Informasi data yang diperlukan untuk menentukan besar sampel pada
penelitian cross-sectional dengan menggunakan koefisien korelasi (r), yaitu :
1. Taksiran koefisien korelasi, r yaitu sebesar 0,4.
2. Tingkat kemaknaan atau interval kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95%,
yaitu α = 0,05
3. Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, yaitu β = 0,20
Rumus Ronald Fisher’s Classic Z transformation (Dahlan, 2008; Madiyono
dkk, 2010):
Pada penelitian dengan rancangan cross-sectional ini direncanakan
menggunakan power sebesar 80 persen, yaitu β = 0,20 dengan Zβ = 0,842. Pada
penelitian ini juga ditetapkan α = 0,05 sehingga besarnya Zα = 1,96 dan koefisien
korelasi yang diperkirakan adalah 0,4. Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan
n = Zα + Zβ 2
0,5 ln[ (1+r)/(1-r)]
+3
38
untuk rancangan ini adalah 47 orang. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 55
orang.
4.4.4 Variabel Penelitian
4.4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel
Variabel penelitian merupakan karakteristik sampel penelitian yang
diukur, baik secara numerik maupun kategorikal. Variabel pada penelitian ini
adalah:
1. Variabel bebas adalah kadar 25-OHD plasma yang digolongkan variabel
numerik.
2. Variabel tergantung adalah nilai indeks bakteri yang dikategorikan variabel
numerik.
3. Variabel kendali adalah umur, status gizi, menstruasi, kehamilan, menyusui,
tumor ovarium, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, gagal ginjal kronis,
diabetes melitus, sistemik lupus eritematosus, multipel sklerosis, psoriasis,
vitiligo, penyakit hati kronis, tuberkulosis, infeksi saluran pernafasan atas,
penyakit kardiovaskuler, status gizi, fototerapi NB-UVB, paparan sinar
matahari, suplemen vitamin D, obat anti kejang, dan steroid.
Indeks Bakteri
Kadar 25-OHD plasma
Indeks bakteri
Variabel Bebas Variabel Tergantung
39
Keterangan :
Gambar 4.2
Hubungan antar variabel
4.4.4.2 Definisi operasional variabel
1. Kusta adalah penyakit infeksi granulomotosa kronis yang ditandai tiga tanda
kardinal yaitu adanya lesi kulit berupa bercak putih atau bercak merah yang
mati rasa, pembesaran saraf, dan didapatkan adanya basil tahan asam (BTA)
pada hapusan sayatan kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu atau lebih
tanda kardinal kusta melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
BTA, dan histopatologi kemudian diklasifikasikan sesuai klasifikasi Ridley
dan Jopling menjadi kusta tipe TT, BT, BB, BL, dan LL. Kusta menurut
klsifikasi Ridley dan Jopling dapat dikorelasikan dengan klasifikasi kusta
menurut WHO, dimana TT dan BT diklasifikasikan menjadi PB, sedangkan
BB, BT, LL diklasifikasikan menjadi kusta tipe MB.
2. Kusta relaps adalah munculnya gejala dan tanda baru penyakit kusta pada
individu yang sudah menyelesaikan pengobatan MDT secara lengkap, selama
periode pengamatan 2 tahun untuk kusta tipe PB dan lima tahun untuk kusta
tipe MB atau setelahnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
Suplemen vitamin D, steroid, obat anti kejang, menstruasi, kehamilan,
menyusui, tumor ovarium, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, gagal ginjal
kronis, penyakit hati kronis, diabetes melitus, artritis reumatoid, sistemik lupus
eritematosus, multipel sklerosis, psoriasis,vitiligo, tuberkulosis, infeksi saluran
pernafasan atas, status gizi, umur.
,
Variabel Kendali
40
pemeriksaan fisik serta penunjang.
3. Reaksi kusta adalah reaksi yang terjadi selama perjalanan alami penyakit,
selama pengobatan atau setelah pengobatan. Terdapat dua tipe reaksi kusta
yaitu reaksi kusta tipe satu yang juga disebut reaksi reversal (RR) dan reaksi
kusta tipe dua yang disebut juga eritema nodusum leprosum (ENL).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
4. Indeks bakteri adalah jumlah rata-rata basil M. leprae pada kulit yang didapat
dari hasil pemeriksaan hapusan sayatan kulit dan pengecatan Ziehl Nielzen.
Jumlah rata-rata basil M. leprae dihitung di bawah mikroskop cahaya dengan
mencari BTA yang solid, fragmentasi dan granuler pada 100 lapangan
pandang. Berdasarkan skala logaritme Ridley’s, IB diberi skor mulai dari 0
sampai +6.
5. Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma adalah kadar 25-hydroxyvitamin D
dengan satuan ng/mL dalam plasma pasien kusta dari darah vena di fossa
kubiti dengan nilai defisiensi <10 ng/mL; insufisiensi 10-30 ng/mL; sufisiensi
30-100 ng/mL, dan toksisitas >100 ng/mL, yang diperiksa dengan teknik the
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
6. Warga negara Indonesia dilihat dari kewarganegaraan subjek sesuai dengan
yang tercantum pada kartu tanda penduduk (KTP).
7. Jenis kelamin pasien adalah laki-laki/perempuan, ditetapkan berdasarkan
jenis kelamin yang tercantum dalam KTP.
8. Umur adalah jumlah tahun kehidupan ditentukan dari tanggal kelahiran
sampai saat datang ke rumah sakit yang dapat ditentukan dengan melihat data
41
kelahiran pada kartu tanda penduduk, surat ijin mengemudi atau kartu
keluarga.
9. Multiple drug therapy (MDT) adalah pengobatan standar kusta menurut
WHO terdiri dari kombinasi obat rifampisin, dapson, dan klofazimin.
Regimen PB dosis tunggal terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin
400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal. Regimen PB dengan
lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah
dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari
5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali, klofazimin
300 mg/bulan dan 50 mg/hari, dapson 100 mg/hari dengan lama pengobatan
12 bulan, diperoleh melalui teknik wawancara.
10. Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14
hari setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium
uterus yang diperoleh melalui teknik wawancara.
11. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam rahim seorang wanita
yang ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turut
dihitung berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT).
12. Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan
air susu ibu (ASI) dari payudara ibu yang diperoleh melalui tekhnik
wawancara
13. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium, yang
diketahui melalui teknik wawancara.
42
14. Penyakit tiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar
tiroid sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak seimbang berupa
kelebihan hormon tiroid (hipertiroid) dan kekurangan hormon tiroid
(hipotiroid) yang diketahui melalui teknik wawancara.
15. Penyakit paratiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada
kelenjar paratiroid sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak
seimbang berupa kelebihan hormon paratiroid (hiperparatiroid) dan
kekurangan hormon paratiroid (hipoparatiroid) yang diketahui melalui teknik
wawancara.
16. Sistemik lupus eritematosus adalah riwayat penyakit lupus yang diderita oleh
pasien yang ditemukan dari teknik wawancara.
17. Multipel sklerosis adalah penyakit pada sistem saraf pusat ditandai dengan
defisit neurologis yang pernah atau sedang dialami, diketahui melalui teknik
wawancara.
18. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit autoimun bersifat kronis yang ditandai
dengan adanya hiperproliferasi epidermis, diferensiasi keratinosit epidermis
yang berlangsung singkat dan inflamasi kulit disertai dengan fenomena
tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner, yang diketahui melalui teknik wawancara.
19. Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang
ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi akibat
adanya kerusakan selektif pada melanosit, yang diketahui melalui teknik
wawancara.
43
20. Penyakit kardiovaskuler adalah riwayat penyakit jantung yang pernah atau
sedang dialami yang ditemukan dari teknik wawancara.
21. Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak
faktor seperti kurangnya insulin atau resistensi insulin yang ditandai dengan
gejala hilangnya berat badan, poliuri (sering berkemih), polidipsi (sering
haus), dan polifagi (sering lapar). Informasi diperoleh berdasarkan anamnesis.
22. Tuberkulosis adalah infeksi oleh M. tuberculosis yang menyerang terutama
paru-paru, kelenjar getah bening, tulang yang diketahui melalui teknik
wawancara.
23. Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi salauran pernafasan atas yang
disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri, ditandai dengan nyeri menelan,
batuk dan atau pilek, ditanyakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
24. Gagal ginjal kronis adalah seseorang yang menjalani hemodialisis atau
seseorang yang sebelumnya telah didiagnosis mengalami gagal ginjal kronis
oleh dokter, yang ditanyakan melalui anamnesis.
25. Penyakit hati kronis adalah riwayat menderita gangguan fungsi hati kronis
yang telah didiagnosis oleh dokter, ditanyakan melalui anamnesis.
26. Riwayat fototerapi dengan NB-UVB adalah riwayat melakukan pengobatan
menggunakan sinar NB-UVB dalam 1 bulan terakhir, diketahui melalui
wawancara.
27. Riwayat konsumsi suplemen vitamin D adalah riwayat mengkonsumsi
suplemen yang mengandung vitamin D dalam waktu satu bulan terakhir,
diketahui melalui wawancara.
44
28. Riwayat konsumsi steroid adalah konsumsi obat-obatan yang mengandung
glukokortikoid yang dikonsumsi dalam satu bulan terakhir, diketahui melalui
wawancara.
29. Riwayat konsumsi obat anti kejang adalah riwayat konsumsi obat-obatan
yang mengandung diazepam, fenitoin, karbamazepin, asam valproat yang
dikonsumsi dalam satu bulan terakhir, diketahui melalui wawancara.
30. Status gizi adalah keadaan kecukupan gizi seseorang yang diukur berdasarkan
nilai indeks massa tubuh (IMT), dihitung dengan rumus perbandingan berat
badan (BB) dalam killogram dengan kuadrat tinggi badan dalam sentimeter,
diklasifikasikan menjadi BB ideal apabila nilai IMT < 18,5, BB normal
apabila IMT antara 18,5-22,9, BB lebih apabila IMT > 23, dan obesitas
apabila nilai IMT > 25.
4.4 Bahan Penelitian
Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah
yang diambil dari pembuluh darah vena fossa kubiti dari subjek penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian
4.5.1 Instrumen
Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
45
1. Lembaran informed consent.
2. Lembaran status pemeriksaan dermatologis, seperti tampak pada lampiran.
3. Kuesioner dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh karakteristik pasien.
4. Perlengkapan untuk mengambil sampel darah vena seperti sarung tangan,
torniket, antiseptik, jarum serta spuit sekali pakai 5 ml, kasa verban, plester.
5. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kadar 25-(OH)D plasma adalah
sarung tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi koagulan, HVD3 (25-
hydroxyvitamin D3) ELISA Kit merek Elabscience, kupet, pipet, kacamata
pelindung, jas laboratorium.
6. Ice box dan centrifuge dengan pendingin 40C untuk memisahkan sel darah
dengan plasma.
7. Microplate reader dan aksesoris.
8. Pengocok dan pengaduk.
9. Mikropipet 10µL, 50 µL, 100 µL.
10. Tabung kaca, rak tabung dan gelas beker.
4.5.2 Reagen
1. Micro ELISA plate
2. Standart referensi & pencair sampel
3. Concentrated biotinylated detection Ab
4. Biotinylated detection Ab diluents
5. Concentrated HRP conjugate dan concentrated wash buffer (25x)
6. Substrate reagent dan stop solution
46
4.6 Prosedur dan Alur Penelitian
1. Pemilihan sampel penelitian berdasarkan kriteria penerimaan sampel dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan hapusan sayatan
kulit.
2. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih tanda
kardinal kusta dengan kriteria tanda kardinal sebagai berikut: bercak kulit
putih atau merah yang mati rasa, penebalan saraf, dan didapatkan adanya
basil tahan asam (BTA) pada hapusan sayatan kulit. Kusta kemudian
diklasifikasikan menjadi kusta tipe PB dan MB.
3. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diminta untuk
menandatangani informed consent sebagai bukti telah setuju untuk ikut serta
dalam penelitian.
4. Pemeriksaan IB melalui hapusan sayatan kulit, dengan cara sebagai berikut:
a. Menentukan lokasi pengambilan spesimen (5 lokasi : cuping telinga kiri
dan kanan, lesi kulit yang paling aktif pada bagian tubuh kanan dan kiri,
ruas kedua dorsum interfalang digiti III manus dan dorsum digiti I
pedis).
b. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan
c. Membersihkan tepi lobus telinga dan lesi dengan kapas alkohol 70%
sampai mengering.
d. Menjepit lobus telinga dengan kuat menggunakan ibu jari dan telunjuk
sampai kulit menjadi pucat.
47
e. Melakukan sayatan menggunakan scalpel (scalpel no. 15) dengan
panjang sayatan ± 5 mm dan kedalaman 2-3 mm, pisau scalpel diputar
90°, arah sayatan dari atas ke bawah sampai didapat bubur jaringan.
f. Serum atau bubur jaringan pada scalpel dioleskan pada object glass
pada sisi yang sama dengan letak identitas, hapuskan serum berbentuk
lingkaran berukuran diameter 8 mm. Satu object glass dapat digunakan
untuk membuat 2-3 hapusan. Object glass dibiarkan mengering dalam
suhu ruangan.
g. Fiksasi hapusan dengan melewatkan bagian bawah object glass
sebanyak 3 kali diatas api bunsen sebelum dilakukan pewarnaan.
h. Pada saat pengambilan spesimen, hindari terjadinya perdarahan, karena
mengganggu pewarnaan dan pembacaan. Jika terjadi perdarahan bisa
dibersihkan dengan kapas alkohol 70%.
i. Luka ditutup dengan kapas dan dilekatkan dengan selotip.
j. Melakukan dekontaminasi alat yang telah dipakai: scalpel dihapus
dengan kapas alkohol dan lewatkan di atas nyala api bunsen selama 3-4
detik dan biarkan dingin.
k. Langkah yang sama diulangi pada lokasi lain.
l. Melakukan pewarnaan dengan metode Ziehl-Neelsen dengan cara
sebagai berikut:
1) Object glass diletakkan pada rak pewarnaan
2) Seluruh permukaan object glass ditutup dengan larutan carbol
fuchsin (dibiarkan selama 10 menit).
48
3) Object glass dipanaskan dengan hati-hati diatas lampu spiritus
sampai uap carbol fuchsin keluar tetapi tidak sampai mendidih.
4) Object glass dibasuh dengan hati-hati di bawah air mengalir dan
dikeringkan.
5) Asam alkohol 3% diteteskan pada permukaan object glass selama
10 detik kemudian dibilas perlahan dengan air.
6) Sediaan ditetesi dengan methylene blue 0,3% selama 1 menit.
7) Object glass dibilas air dan dibiarkan mengering di rak
pengeringan.
m. Cara melakukan pembacaan slit-skin smear:
1) Object glass diletakkan di bawah mikroskop. Posisi hapusan
menghadap ke atas.
2) Atur fokus menggunakan pembesaran 10 kali kemudian object
glass ditetesi dengan setetes minyak emersi.
3) Atur fokus obyektif dengan pembesaran 100 kali.
4) Basil tahan asam terlihat sebagai batang merah dengan latar
belakang biru dengan bentuk bervariasi (batang lurus atau
melengkung), berwarna merah homogen yang disebut kuman
solid (utuh), atau tidak rata akibat dinding sel terputus sebagian
atau secara keseluruhan yang disebut kuman tidak utuh (
fragmentasi dan granuler).
49
5) Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama,
dipindahkan ke lapangan pandang berikutnya. Pemeriksaan
dilakukan sekitar 100 lapangan pandang tiap hapusan.
6) Jika terlihat BTA lakukan penghitungan BTA menurut skala di
bawah ini, dan penjumlahan IB dilakukan untuk setiap hapusan
secara terpisah.
a) 0 : 0 BTA per 100 LP
b) +1 : 1-10 BTA per 100 LP
c) +2 : 1-10 BTA per 10 LP
d) +3 : 1-10 BTA per rata-rata 1 LP
e) +4 : 10-100 BTA per rata-rata 1 LP
f) +5 : 100-1000 BTA per rata-rata 1 LP
g) +6 : >1000 BTA per rata-rata 1 LP
5. Pengambilan sampel penelitian dilakukan oleh petugas laboratorium pada
darah vena di fossa kubiti sebanyak 1 cc dan ditampung dalam tabung dengan
koagulan.
6. Pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin D dilakukan dari sampel darah vena di
Unit Pelayanan Teknik Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar.
7. Prosedur analisis 25-hydroxyvitamin D
Tambahkan 100µL standart atau sampel dan diinkubasi selama 90 menit pada
suhu 370 C lalu tambahkan 100µL biotinylated detection Ab dan diinkubasi
selama 1 jam pada suhu 370
C lalu aspirasi dan wash tiga kali. Tambahkan
100µL HRP conjugate, inkubasi 30 menit pada suhu 370C lalu aspirasi dan
50
wash lima kali. Tambahkan 90µL substrate reagent dan diinkubasi selama 15
menit pada suhu 370C lalu tambahkan stop solution. Baca pada 450nm
secepatnya lalu kalkulasi hasil. Untuk mempermudah dalam pelaksanaan
penelitian, maka dibuat alur penelitian dalam bentuk bagan alur penelitian pada
Gambar 4.3.
Gambar 4.3
Alur penelitian
Populasi terjangkau
Pasien kusta, berumur 5 tahun hingga 65 tahun, yang berobat ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah selama periode Mei 2016-Juni 2016
Kriteria Eksklusi
Pemeriksaan Indeks Bakteri
Pengambilan darah vena
Data penelitian
Kadar 25-OHD plasma
Indeks bakteri
Analisis data
Populasi target
Semua pasien kusta berumur 5 tahun hingga 65 tahun
Kriteria Inklusi
Informed Consent
Sampel
Kusta tipe PB
Sampel
Kusta tipe PB
51
4.7 Analisis Data
Data yang dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah tersusun,
diolah dan dianalisis secara deskriptif menggunakan perangkat lunak komputer
SPSS 17 maupun secara manual, kemudian dianalisis dengan uji statistik yang
sesuai.
1. Analisis statistik deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik subjek
penelitian yaitu: umur, jenis kelamin, indeks bakteri, riwayat kontak,
riwayat terapi MDT, tipe kusta menurut WHO, dan tipe kusta menurut
Ridley dan Jopling.
2. Uji normalitas data
Untuk menilai normalitas data, digunakan uji normalitas Kolmogorov-
Smirnov karena jumlah sampel lebih dari 50. Pada uji normalitas, data
memiliki distribusi normal apabila nilai kemaknaan atau nilai p > 0,05 dan
berdistribusi tidak normal apabila nilai p < 0,05.
3. Analisis komparasi
Analisis komparasi dipergunakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan kadar 25-OHD plasma antara penderita kusta tipe MB dengan
kusta tipe PB, dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar 25-
OHD antara penderita kusta yang belum dengan yang sudah mendapat
pengobatan MDT. Uji Mann-Whitney dipergunakan untuk menganalisis
perbedaan kadar 25-OHD plasma karena data pada penelitian ini memiliki
distribusi yang tidak normal.
52
4. Analisis korelasi dan regresi linear
Untuk mengetahui korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan IB pada
pasien kusta dilakukan analisis korelasi. Analisis yang digunakan adalah
uji Spearman’s rho karena data berdistribusi tidak normal dengan tingkat
kepercayaan α=0,05 .
4.8 Etika Penelitian
Peneliti telah mendapatkan protokol penelitian untuk ethical clearance
dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah Denpasar sebelum penelitian dilaksanakan. Subjek yang memenuhi
kriteria penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan dari protokol penelitian
serta diminta untuk mengisi secara tertulis informed consent.
Subjek penelitian memiliki hak sepenuhnya untuk menolak ikut serta
dalam penelitian apabila tidak bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Seluruh biaya penelitian dan biaya lainnya yang dibutuhkan akibat penelitian ini
ditanggung oleh peneliti.
53
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian mulai dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2016 sampai
dengan Juni 2016 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dengan
melibatkan 55 subjek kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Karakteristik jenis kelamin, umur, indeks bakteri, riwayat kontak, tipe kusta, dan
riwayat terapi MDT, disajikan pada Tabel 5.1.
Distribusi jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan, masing-masing sejumlah 34 orang (61,8%) dan
21 orang (32,8%). Kharakteristik umur subjek menunjukkan umur termuda adalah
9 tahun, dan tertua adalah 65 tahun. Rerata umur subjek kusta adalah 38,71 ±
14,237 tahun dengan median 37,00 tahun. Kelompok umur terbanyak pada
rentang umur 26 – 35 tahun sebesar 30,9%. Kelompok umur yang paling sedikit
adalah rentang usia 6 – 15 tahun sejumlah 2 orang (3,6%).
Riwayat kontak subjek dengan penderita kusta didapatkan subjek kusta
dengan riwayat kontak didapatkan sedikit lebih banyak dibandingkan tanpa
kontak, masing-masing sejumlah 28 orang (51%) dan 27 orang (49%). Subjek
yang kontak dengan keluarga yang menderita kusta sebesar 25,5%, kontak dengan
teman sebesar 18,2%, dan sebesar 7,3% yang kontak dengan teman kerja.
Tabel 5.1
Karakteristik subjek penelitian
54
No Karakteristik Jumlah (n)
Persentase (%)
1. Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
34
21
61,8
38,2
2. Umur (tahun)
06 – 15
16 – 25
26 – 35
36 – 45
46 – 55
56 – 65
2
8
17
11
7
10
3,6
14,5
30,9
12,0
12,7
18,2
3. Indeks bakteri
0
+1
+2
+3
+4
14
12
6
15
8
25,5
21,8
10,9
27,3
14,5
4. Riwayat kontak
Tidak ada kontak
Kontak serumah
Kontak tetangga
Kontak teman kerja/dll
27
14
10
4
49,1
25,5
18,2
7,3
5. Riwayat terapi MDT
Belum diterapi
Sudah diterapi
13
42
23,6
76,4
6. Riwayat kusta (WHO)
Kusta tipe PB
Kusta tipe MB
18
37
32,7
67,3
7. Riwayat kusta (Ridley-Jopling)
TT
BT
BB
BL
LL
2
16
9
20
8
3,6
29,1
16,4
36,4
14,5
Indeks bakteri paling banyak adalah IB +3 yang didapatkan pada 15 subjek
(27,3%), berikutnya adalah IB 0 didapatkan pada 14 subjek kusta (25,5%). Subjek
kusta dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WHO, didapatkan kusta terbanyak
55
adalah kusta tipe MB sejumlah 37 (67,3%) kasus, dan tipe PB sejumlah 18
(32,7%) kasus. Berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling didapatkan tipe kusta
terbanyak adalah kusta tipe BL sejumlah 20 (36,4%) kasus. Kusta tipe TT
merupakan tipe kusta yang paling sedikit yaitu sejumlah 2 (3,6%) kasus. Dari
keseluruhan subjek kusta terdapat 42 (76,4%) orang yang sudah mendapat
pengobatan MDT, sedangkan 13 (23,6%) orang belum mendapat pengobatan
MDT.
5.2 Uji Normalitas Data
Uji normalitas dilakukan terhadap data penelitian kadar 25-OHD plasma
dan indeks bakteri dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov
karena jumlah subjek sebanyak 55 orang. Hasil uji normalitas disajikan pada
Tabel 5.2, didapatkan bahwa data kadar 25-OHD plasma dan indeks bakteri pada
subjek kusta berdistribusi tidak normal, karena masing-masing didapatkan nilai p
< 0,05.
Tabel 5.2
Hasil uji normalitas data
No Variabel P
1.
2.
Kadar 25-OHD plasma
Indeks bakteri
0,003
< 0,001
Signifikansi nilai p > 0,05
5.3 Komparasi Kadar 25-OHD Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar
dan Kusta Tipe Multibasilar
Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kadar 25-OHD plasma pada
kelompok subjek kusta tipe PB adalah 24,44 ± 1,98 ng/mL, dan nilai median
56
25,57 ng/mL dengan nilai minimum 20,86 ng/mL, nilai maksimum 26,59 ng/mL.
Pada kelompok subjek kusta tipe MB didapatkan rerata kadar 25-OHD plasma
adalah 19,48 ± 3,17 ng/mL, dan nilai median 18,36 ng/mL dengan nilai minimum
adalah 14,73 ng/mL, nilai maksimum adalah 26,58 ng/mL. Uji non parametrik
Mann-Whitney pada data kadar 25-OHD plasma menurut tipe kusta menunjukkan
bahwa kadar 25-OHD plasma pada subjek kusta tipe MB lebih rendah secara
signifikan dibandingkan pada subjek kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001, seperti
yang disajikan di Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hasil analisis perbandingan kadar 25-OHD plasma
antara kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar
Kadar 25-
OHD
n Rerata ± SD
(ng/mL)
Median (ng/mL)
(minimum -
maksimum)
P
Kusta Tipe
PB
Kusta Tipe MB
18
37
24,44 ± 1,98
19,48 ± 3,17
25,57
(20,86 - 26,59)
18,36
(14,73 - 26,58)
< 0,001
Signifikansi nilai p < 0,05
Grafik box plot menunjukkan perbandingan nilai kadar 25-OHD plasma
pada kelompok subjek kusta tipe MB lebih rendah dibandingkan kelompok subjek
kusta tipe PB, seperti yang disajikan pada Gambar 5.1.
57
Gambar 5.1
Grafik boxplot perbandingan kadar 25-OHD plasma antara
kelompok subjek kusta tipe PB dengan tipe MB
Riwayat pengobatan dengan MDT pada subjek kusta dapat menjadi
variabel perancu pada penelitian ini. Sejumlah 42 subjek kusta (76,4%) sudah
mendapatkan pengobatan MDT, sedangkan sisanya 13 subjek (23,6%) belum
mendapatkan pengobatan. Hal ini diatasi dengan melakukan analisis terhadap
kadar 25-OHD plasma antara subjek kusta yang sudah mendapatkan pengobatan
MDT dengan yang belum pengobatan. Rerata kadar 25-OHD plasma pada
kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan pengobatan MDT adalah 21,23 ±
3,66 ng/mL, dan nilai median 21,23 ng/mL, dan nilai minimum 14,73 ng/mL,
serta nilai maksimum 26,59 ng/mL. Rerata kadar 25-OHD plasma pada kelompok
subjek kusta yang belum mendapatkan pengobatan MDT adalah 20,69 ± 3,83
ng/mL, dan nilai median 21,74 ng/mL, dan nilai minimum 15,62 ng/mL, serta
nilai maksimum 26,58 ng/mL. Perbedaan kadar 25-OHD pada kelompok kusta
Kad
ar
25-O
HD
(n
g/m
L)
Tipe Kusta
WHO
58
yang sudah dengan yang belum mendapatkan pengobatan MDT dianalisis
menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan
yang tidak signifikan antara kadar 25-OHD plasma pada kelompok subjek kusta
yang sudah mendapatkan pengobatan MDT dengan yang belum mendapatkan
pengobatan MDT dengan nilai p = 0,663 (p > 0,05), seperti yang disajikan pada
Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Hasil analisis perbandingan kadar 25-OHD plasma
antara subjek kusta yang sudah mendapat pengobatan
MDT dengan yang belum mendapatkan pengobatan MDT
Kadar 25-
OHD
n Rerata ± SD
(ng/mL)
Median (ng/mL)
(minimum -
maksimum)
p
Belum
terapi
Sudah terapi
13
42
20,69 ± 3,83
21,23 ± 3,66
21,74
(15,62 - 26,58 )
21,12
(14,73 - 26,59)
0,663
Signifikansi nilai p < 0,05
Grafik box plot menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara nilai kadar 25-OHD plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah
mendapatkan pengobatan MDT dengan yang belum mendapat pengobatan MDT,
seperti yang disajikan pada Gambar 5.2.
59
Gambar 5.2
Grafik boxplot perbandingan kadar 25-OHD plasma antara
kelompok subjek kusta yang sudah mendapat pengobatan MDT
dengan yang belum mendapat pengobatan MDT
5.4 Korelasi Kadar 25-OHD Plasma dengan Indeks Bakteri
Untuk mengetahui korelasi kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri
pada subjek kusta, dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena data kadar 25-
OHD plasma dan indeks bakteri berdistribusi tidak normal. Dari uji ini didapatkan
bahwa terdapat korelasi negatif antara kadar 25-OHD plasma dan indeks bakteri
dengan nilai r = -0,860; p < 0,001, seperti yang disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri
Variabel Kekuatan Korelasi
(r)
p
25-OHD – Indeks Bakteri -0,860 < 0,001
Kad
ar
25-O
HD
(n
g/m
L)
Riwayat Terapi MDT
60
Grafik boxplot kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri disajikan
pada Gambar 5.3. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar
25-OHD, maka semakin rendah nilai indeks bakteri.
Gambar 5.3
Grafik boxplot kadar 25-OHD dengan indeks bakteri
5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar 25-OHD Plasma dengan IB
Hasil analisis regresi linier didapatkan koefisien beta (β = -0,341),
menunjukkan adanya pengaruh bermakna antara kadar 25-OHD plasma dengan
indeks bakteri pada subjek kusta. Artinya setiap penurunan kadar 25-OHD plasma
sebesar 1 ng/mL, akan diikuti oleh peningkatan indeks bakteri sebesar 0,341
Berdasarkan koefisien determinasi (R2 = 74,3%), artinya sebesar 74,3% indeks
bakteri dipengaruhi oleh kadar 25-OHD plasma, dan sisanya sebesar 25,7%
dipengaruhi oleh faktor lain, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Kad
ar
25
-OH
D (
ng
/mL
)
Indeks bakteri
61
Hasil analisis regresi linier hubungan kadar 25-OHD plasma
dengan indeks bakteri
Variabel Koefisien beta
(β)
P Koefisien determinasi
(R2)
25-OHD -0,341 < 0,001 74,3%
62
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 55 subjek kusta yang dipilih secara concecutive
sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak ada subjek yang
hilang dalam penelitian ini. Keseluruhan subjek kusta diperlakukan sama yaitu
mendapat pemeriksaan kadar 25-OHD plasma melalui pengambilan darah vena,
dan pemeriksaan BTA untuk menentukan indeks bakteri.
Pada penelitian ini didapatkan frekuensi penderita kusta laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan yaitu laki-laki sejumlah 34 orang (61,8%), dan
perempuan sebanyak 21 orang (38,2%), dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan adalah 1,6:1. Studi oleh Teixeira et al. (2010) melaporkan jumlah
penderita kusta laki-laki (65,2%), lebih tinggi dibandingkan perempuan (34,8%).
Studi oleh Maria (2008) mendapatkan laki-laki memiliki risiko 2,9 kali menderita
kusta dibandingkan perempuan, dimana hal ini kemungkinan disebabkan oleh
mobilitas laki-laki yang lebih tinggi sehingga kemungkinan terpapar lebih besar
dibandingkan perempuan.
Pada penelitian ini didapatkan pada subjek kusta umur termuda adalah 9
tahun dan tertua adalah 65 tahun dengan rerata umur 38,71 ± 14,237 tahun.
Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini adalah pada kelompok umur 26 –
35 tahun sebesar 30,9%. Kelompok umur paling sedikit adalah pada rentang umur
6 – 15 tahun hanya sejumlah 2 kasus. Penelitian oleh Bakker et al. (2006) di
63
Makasar menemukan hal yang serupa dimana kasus kusta terbanyak ditemukan
pada kelompok usia produktif yaitu 15-44 tahun (59,6%), terkait dengan mobilitas
yang tinggi dan risiko mendapatkan paparan yang lebih besar. Kasus kusta pada
anak lebih jarang ditemukan. Hal ini disebabkan karena masa inkubasi yang
panjang hingga puluhan tahun. Namun kasus kusta pada anak sering ditemukan di
daerah endemik kusta. Widodo et al.(2012) di RSCM menemukan kasus kusta
berusia 5-14 tahun sebesar 5,9%, sedangkan Bakker et al. (2006), menemukan
kasus kusta pada rentang umur 6-14 tahun sebesar 18,1%.
Pada penelitian ini didapatkan riwayat kontak subjek dengan penderita
kusta lebih banyak dibanding tanpa kontak yaitu 51% dan 49%. Riwayat kontak
paling besar adalah kontak subjek dengan keluarga atau kontak serumah yaitu
sebanyak 25,5% Hal ini sesuai dengan mekanisme penularan pada penyakit kusta
yang memerlukan kontak erat dan lama. Penelitian yang dilakukan oleh Goulart et
al. (2008) menemukan bahwa kontak keluarga terutama penderita kusta tipe MB
memiliki risiko 5-10 kali lebih besar untuk menderita kusta dibandingkan populasi
umum. Sales et al. (2011), melaporkan risiko menderita kusta sebesar 1,96 kali
lebih tinggi pada penderita dengan kontak serumah dibandingkan tanpa kontak,
dan didapatkan pula peningkatan risiko menderita kusta seiring dengan
peningkatan indeks bakteri dari kontak pasien kusta tipe MB.
Berdasarkan pemeriksaan hapusan sayatan kulit, nilai indeks bakteri
terbanyak pada subjek kusta adalah +3 (27,3%.). Hal ini sesuai dengan jumlah
kasus kusta tipe MB yang ditemukan lebih dominan pada penelitian ini. Pada
penelitian ini tidak mengekslusi subjek kusta dengan riwayat pengobatan MDT,
64
pertimbangannya adalah dampak penurunan IB paska pengobatan berlangsung
perlahan (Mahajan, 2015). Nilai IB 0 juga banyak didapatkan pada penelitian ini
karena sesuai dengan jumlah kusta tipe PB. Berdasarkan tipe kusta WHO, pada
penelitian ini ditemukan kusta tipe MB (67,3%) lebih banyak dibanding PB
(32,7%). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Teixeira et al.(2010), dimana didapatkan kasus MB lebih banyak yaitu 50,2%
dibanding PB sebesar 49,8%. Penelitian yang dilakukan di Makasar oleh Apriani
et al. (2013) menemukan kasus MB sebanyak 88,6% dan kasus PB sebanyak
11,39%. Epidemiologi kusta di Indonesia berdasarkan laporan WHO pada tahun
2015, tercatat kasus MB sebesar 83,4% dari total kaus kusta baru. Lebih tingginya
kasus kusta tipe MB dibandingkan PB, berkaitan dengan tingginya tingkat
penularan kasus kusta tipe MB.
Berdasarkan tipe kusta Ridley dan Jopling, kusta tipe BL ditemukan
paling banyak yaitu sebesar 36,4%, diikuti oleh tipe BT sebanyak 29,1%, tipe BB
sebanyak 16,4%, tipe LL sebanyak 14,5% dan yang paling sedikit adalah tipe TT
sebanyak 3,6%. Penelitian dengan hasil serupa dilaporkan oleh Mattos et al.
(2015), mendapatkan kusta tipe lepromatosa (BL dan LL) lebih dominan, masing–
masing sebesar 34,39% dan 35,93%. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Thakkar dan Patel (2014) di India, yang mendapatkan jumlah
kasus terbanyak adalah tipe TT. Perbedaan jumlah tipe kusta terbanyak pada
masing-masing penelitian tergantung pada lokasi dimana penelitian dilakukan.
Penelitian di rumah sakit rujukan pada umumnya mendapatkan kusta yang lebih
65
berat karena keterlambatan pasien berobat sehingga kasus yang terbanyak adalah
kasus yang sudah berat (Mattos et al, 2015).
6.2 Komparasi Kadar 25-OHD Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar
dengan Kusta Tipe Multibasilar
Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kadar 25-OHD plasma pada
kelompok kusta tipe PB adalah 24,44 ± 1,98 ng/mL, nilai median 25,57 ng/mL
sedangkan pada kelompok kusta tipe MB didapatkan 19,48 ± 3,17 ng/mL, dan
nilai median 18,36 ng/mL. Hasil uji non parametrik Mann-Whitney, didapatkan
rerata kadar 25-OHD plasma pada kelompok kusta tipe MB lebih rendah secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001.
Pemeriksaan kadar 25-OHD plasma pada penelitian ini dilakukan baik pada
subjek kusta yang belum maupun yang sudah mendapat pengobatan, karena
variabel pengobatan MDT bukan sebagai variabel perancu. Hal ini dibuktikan
dengan analisis data menggunakan uji Mann-Withney pada kadar 25-OHD plasma
dari subjek kusta yang belum mendapat pengobatan MDT dibandingkan dengan
yang sudah mendapat pengobtan, tidak didapatkan perbedaaan yang signifikan.
Infeksi mikobakteri seperti oleh M. leprae dikaikan dengan vitamin D.
Talat et al. (2010), melaporkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan
dengan peningkatan risiko terinfeksi tuberkulosis sebesar 5 kali lipat dibandingkan
populasi normal. Penelitian oleh Mandal et al. (2015), ditemukan kadar 25-OHD
plasma yang lebih rendah pada penderita kusta yaitu sebesar 27,47±4,17 ng/ml,
sedangkan pada individu normal sebesar 33±3,76 ng/ml. Penelitian yang
66
membandingkan kadar vitamin 25-OHD dengan tipe kusta PB dan MB belum
pernah dilakukan.
Wide genome analysis mengungkap peran vitamin D pada modulasi sistem
imunitas alamiah. Makrofag merupakan barier imun pertama untuk melawan
invasi kuman M. leprae. Sistem TLR2/1 yang diaktivasi oleh M. leprae akan
memicu ekspresi CYP27B1 dan reseptor vitamin D, sehingga terjadi bioaktivasi
25-OHD menjadi 1,25-(OH)2 D. Vitamin D aktif dan reseptor akan bekerja pada
transkripsi gen target peptida antimikroba katelisidin yang berfungsi membunuh
M. leprae. Chun et al. (2014), melaporkan adanya gangguan sistem vitamin D
intrakrin pada kusta tipe lepromatosa. Sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe
tuberkuloid masih intak atau tidak terganggu, sehingga mampu memicu
bioaktivasi vitamin D yang berperan pada transkripsi gen target katelisidin,
berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa yang
terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae. Hal
ini menyebabkan kadar vitamin D pada kusta tipe PB lebih tinggi dibandingkan
kusta tipe MB.
6.3 Korelasi Kadar 25-OHD Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek
Kusta
Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif antara kadar 25-OHD plasma
dan indeks bakteri dengan nilai r = -0,860 dan nilai p < 0,001, seperti yang
disajikan pada Tabel 5.6. Hal ini berarti terdapat hubungan bermakna antara kadar
25-OHD plasma dengan nilai indeks bakteri, yaitu semakin rendah kadar 25-OHD
67
maka semakin tinggi nilai indeks bakteri. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini
didapatkan lebih kuat (nilai r = -0,860), dibandingkan hipotesisnya (r=0,4). Hasil
penelitian mengenai korelasi kadar 25-OHD dengan indeks bakteri belum
ditemukan, namun beberapa peneliti melaporkan mekanisme gangguan sistem
vitamin D intrakrin pada kusta. Teles et al. (2013), melaporkan bahwa pada kusta
tipe lepromatosa, didapatkan adanya supresi bioaktivasi sistem vitamin D
intrakrin oleh sitokin IL-10 dan IFNα/β akibat sistem imunitas seluler yang
rendah. Edfeldt, et al. (2010), juga melaporkan IL-4 yang ditemukan tinggi pada
kusta tipe lepromatosa berperan memicu aktivasi enzim CYP27A1, yaitu enzim
yang berperan pada katabolisme vitamin D. Supresi bioaktivasi vitamin D dan
meningkatkanya katablisme vitamin D menyebabkan defisiensi vitamin D
sehingga tidak tercapai transkripsi gen target katelisidin. Hal ini menyebabkan
makrofag tidak mampu membunuh kuman M. leprae dan berdampak pada
tingginya indeks bakteri. Hal ini terjadi sebaliknya pada kusta tipe tuberkuloid,
dimana didapatkan tingginya IFN- yang dapat meningkatkan aktivasi vitamin D
yang diinduksi oleh TLR2/1, sehingga makrofag mampu menghasilkan katelisidin
untuk membunuh M. leprae ditandai dengan tidak ditemukannya M. leprae
(Edfeldt et al. 2010; Fabri, et al. 2010).
Vitamin D merupakan suatu prohormon yang metabolitnya mengalami
hidroksilasi karbon 25 di liver dan diubah menjadi 25-OHD, selanjutnya melalui
hidroksilasi 1α pada ginjal akan menghasilkan 1,25-(OH)2 D (Shuler et al. 2012).
Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular VDR di berbagai sel, yang
mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon
68
biologis, salah satunya adalah target gen katelisidin (Dusso et al, 2005). Kadar 25-
OHD meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan
ini kadar plasma 25-OHD biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D
(Dusso et al, 2005). Penelitian ini dirancang menggunakan metode cross sectional
yang memiliki kelemahan dalam menentukan hubungan sebab akibat antara
penurunan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan nilai indeks bakteri. Untuk
mengetahui defisiensi vitamin D sebagai faktor risiko perkembangan kusta tipe
multibasilar maka penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya
dengan rancangan case control.
69
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa semakin rendah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma,
semakin tinggi indeks bakteri yang dibuktikan dengan:
1. Rerata kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada subjek kusta tipe
multibasilar (19,48 ± 3,17 ng/mL, median 18,36 ng/mL) lebih rendah
dibandingkan kusta tipe pausibasilar (24,44 ± 1,98 ng/mL, median 25,57
ng/mL).
2. Terdapat korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
penderita kusta dengan indeks bakteri (r = -0,860; p < 0,001).
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebagai dasar pada
penelitian lanjutan untuk mengetahui kadar 25-hydroxyvitamin D
plasma yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya kusta tipe
multibasilar menggunakan rancangan case control.
2. Penelitian lanjutan menggunakan rancangan randomized controlled
trial untuk mengetahui keefektifan vitamin D pada kusta, sebagai
70
bahan petimbangan pemberian terapi tambahan derivat vitamin D pada
pengobatan kusta tipe multibasilar.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi bagi
penderita kusta mengenai pentingnya peranan sinar matahari sebagai
sumber utama vitamin D untuk mencegah perburukan klinis penyakit
kusta.
71
DAFTAR PUSTAKA
Apriani, D.W., Rismayanti, Wahiduddin. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Kusta di Kota Makasar. Skripsi . Makasar: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Udayana.
Bakker, I.M., Hatta, M., Kwenang, A., Mosseveld, P.V., Faber, W.R., Klatser,
P.R., Oskam, L. 2006. Risk Factor for Developing Leproy-a Population-
Based Cohort Study in Indonesia. Lepr Rev;77:48-61.
Bartley, J., Camargo, C. A. 2013.Vitamin D and Infection. In: Gombart, A. F.
Vitamin D: Oxidative Stress, Immunity, and Aging. United State: CRC
press.p.323-51.
Bilke, D.D. 2014.Vitamin D Metabolism, Mechanism of Action, and Clinical
Applications. Chemistry and Biology; 21(3): 319-29.
Bryceson, A, Pfaltzgraff, R.E. 1990. Symptoms and Sign of Leprosy. In:
Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy, 3rd
ed. London: Churchill
Livingstone. p. 25-55.
Bryceson, A., Pfaltzgraff. R.E. 1990. Bryceson, A., Pfaltzgraff. R.E. Immunology.
In: Leprosy. 3rd
ed. London: Churchill Livingstone. p. 93-114.
Bryceson, A.A., Pfaltzgraff, R.E. 1990. Diagnosis of Leprosy. In: Bryceson A,
Pfaltzgraff RE. Leprosy, 3rd
ed. London: Churchill Livingstone.p.57-75.
Chun, R.F., Liu, P.T., Modlin, R.L., Adams, J.S., Hewison, M. 2014. Impact of
Vitamin D on Immune Function: Lessons Learned from Genom-Wide
Analysis. Frontiers in Physiology. (serial online), [cited 2015 Jul. 10].
Available from: doi:10.3389/fphys.2014.00151.
Christakos, S., Ajibade, D.V., Dhawan, P., Fechner, A.J., Mady, L.J. 2010.
Vitamin D: Metabolism. Endocrinol Metab Clin North Am; 39(2): 243-53.
Dahlan, M.S. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba
Medika.p.35-48.
DeLuca, H.F. 2013. History of the Discovery of Vitamin D and Its Active
Metabolits. BoneKey Reports 3; 479. Doi:10.1038/bonekey.2013.213.
Depkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Pusat Data dan Informasi. [cited
2015 Aug. 10]. Available from: depkes.go.id.
69
72
Desikan, K.V. 2003. Multy Drug Regimen in Leprosy and Its Impact on
Prevalence of the Disease. MJAFI; 59: 2-4.
Dinas Kesehatan Propinsi Bali. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Bali. Diakses
dari:www.depkes.go.id/PROPINSI_2015/17_Profil_Kes.Prov.Bali_2015.p
df (diakses tanggal 12 Februari 2016).
Dusso, A.S., Brown, A.J., Slatopolsky, E. 2005. Vitamin D. Am J Physiol Renal
Physiol; 289: 8-28.
Edfelt, K., Liu, P.T., Chun R., Fabri, M., Schenk, M., Wheelwright, M. 2010. T-
cell cytokines differentially controlhuman monocyte antimicrobial
adaptations. Proc. Natl.Acad. Sci. USA 107, 22593-98. Cited on: [2015
Aug. 15]. Available from: doi:10.1073/pnas.1011624108.
Fabri, M., Stenger, S., Shin, D., Yuk, J.M., Liu, P.T., Realegeno, S. 2011. Vitamin
D is Required for IFN-gamma-mediated antimycrobial activity of human
macrophages. Sci.Transl. Med. 3, 104ra102. Cited on: [2016 April. 15].
Available from: doi: 10.1126/sci-translamed.3003045.
Goulart, L. R., Goulart, I. M. B. 2008. Leprosy Pathogenetic Background; A
Review and Lessons From Other Mycobacterial Disease. Arch Dermatol
Res;1-15.
Goulart, M.B., Souza, D.O.B., Marquez, C.R., Pimenta, V. L., Goncalves, M.A.,
Goulart, L.R. 2008. Risk and Protective Factors for Leprosy Development
Determined by Epidemiological Surveillance of Household Contacts.
Clinical and Vaccine Immunnology;15(1):101-05.
Gupta, V. 2012. Vitamin D: Extra Skeletal Effects. Journal of Medication
Nutrition and Neutraceuticals; 1(1):17-26.
Handog, E.B., Gabriel, T.G., Co, C.C. 2011. Leprosy in the Philippines: a Review.
Int. J. Dermatol; 50: 573–81.
Hawthorne, G. M., Thickett, D. R. 2011.Vitamin D and Tuberculosis. JPMI;
29(3):185-87.
Infodatin, 2015. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Kusta. p. 1-7.
Jo, E.K., Shin, D.M., Modlin, R. L. 2013.Vitamin D and Human Innate Immunity.
In: Gombart, A. F. Vitamin D, Oxidative Stress, Immunity, and Aging.
New York: CRC Press. p. 223-39.
73
Kumar, B., Dogra, S. 2010. Case Definition and Clinical Type. In: Kar H.K.,
Kumar, B. IAL Texbook of Leprosy. India: Jaypee. p.152-66.
Lastoria, J.C. 2014. Leprosy: Review of the Epidemiological, Clinical, and
Etiopathogenic Aspect-Part 1. An Bras Dermatol; 89(2): 205-18.
Liu, P.T., Stenger S., Li H., Wenzel, I., Tan, B.H., Krutzik, S.R., Ochoa, M.T.,
Schauber, J., Wu, K., editors. Toll-like Receptors Triggering of a Vitamin
D Mediated Anti-Microbial Response. Science.2006;311:1770-3.
Luong, K.V.Q., Nguyen, L.T.H. 2012. The Role of Vitamin D ini Leprosy. The
American Journal of the Medical Sciences; 343(6): 471-82.
Mahapatra, S., Crick, D.C., McNeil, M. R., Brennan, P. J. 2008. Unique Structural
Features of the Peptidoglycan of Mycobacterium leprae. Jurnal of
Bacteriology; 190(2): 655-61.
Madiyono, B., Moeslichan, S. Sastrosamoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H.
2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sudigdo, S., Sofyan, I., penyunting.
Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis. Edisi ke-3, cetakan kedua.
Jakarta: Sagung Seto. p. 301-30.
Mahajan,V. 2013. Smear in Leprosy: Lest We Forget It. Indian J Lepr;85:77-83.
Mandal, D., Reja, A.H.H., Biswas, N., Bhattacharyya, P., Patra, P.K.,
Bhattacharyya, B.2015. Vitamin D Receptor Expression Levels Determine
the Severity and Complexity of Disease Progression among Leprosy
Reaction Patients.New Microbe and New Infect;6:35-9.
Maria C., 2008. “Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah
Sakit Kusta Donorejo Jepara)” (Skripsi). Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Modlin. R.L. 2010. The Innate Immune Response in Leprosy. Curr Opin
Immunol; 22(1): 48-54.
Montoya, D., Cruz, D., Teles, R.S.M., Lee, D. J., Ochoa, M.T., Kritzik, S. R.,
Chun, R., Schenk, M., Zhang, X., Ferguson, B.G., Burdick, A.E., Sarno,
E.N., Rea, T.H., Hewison, M., Adams, J.S., Cheng, G., Modlin, R. 2009.
Divergence of Macrophage Phagocytic and Antimicrobial Programs in
Leprosy. Cell Host Microbe;6(4):343-53.
Norman, A.W. 2008. From Vitamin D to Hormone D: Fundamentals of the
Vitamin D Endocrine System Essential for Good Health. Am J Nutr; 88:
491s-9s.
74
Northern Territory Goverment. 2010. Guidelines for the Control of Leprosy in the
Northern Territory. Department of Health and Family.p.1-55.
Pike, J. W., Meyer, M. B., Lee, S. M. 2011.Vitamin D Receptor: Biochemical,
Molecular, Biological, and Genomic Era Investigation. In: Feldman, D.,
Pike, J. W., Adams, J. S. Vitamin D. 3rd
ed. London: Elsevier.p.97-137.
Rees, R.J.W., Young, D.B. 1994.The Mycrobiology of Leprosy. In: Hasting, R.C.,
Opromolla, D.V.A. Leprosy. 2nd
ed. London: Churchill Livingstone. p. 49-
86.
Sales, A.M., Ponce de Leon, A., Duppre, N.C., Hacker, M., Nery, J.A.C., Sarno,
E.N., Penna, M.L.F. 2011.Ploss Neglected Tropical Diseases:5(3) e1013
[2016 July. 04]. Available at: doi:10.1371/journal.pntd.0001013.t002.
Santos, V.S., Teles de Mendonca Neto. P., Raposo, O. F. F., Fakhouri, R., Reis, F.
P., Feitosa, V.L.C. 2013. Evaluation of Agreement Between Clinical and
Histopathological Data for Classifying Leprosy. International Journal of
Infectious Diseases, 17:e189-92.
Sekar, B. 2010. Bacteriological Aspect. In: Kar H.K., Kumar, B. IAL Texbook of
Leprosy. India: Jaypee. p.87-99.
Shuler, F.D., Wingate, M.K., Moore, G.H., Giangarra, C. 2012. Sports Health
Benefits of Vitamin D. Sports Health: 496-501
Spierings, E., De Boer, T., Zulianello, L., Ottenhoff, T. H. 2000. The Role of
Schwann Cells, T Cells, and Mycobacterium leprae in the
Immnunopathogenesis of Nerve Damage in Leprosy. Lepr Rev; 7: s121-9.
Suzuki, K., Akama, T., Kawashima, A., Yoshihara, A., Yotsu, R.R., Ishii, N.
2012. Current Status of Leprosy: Epidemiology, Basic Science and
Clinical Perspectives. J of Dermatol; 39: 121–29.
Talat, N., Perry, S., Parsonnet, J., Dawood, G., Hussain, R. 2010.Vitamin D
Deficiency and Tuberculosis Progression. Emerg Infect Dis. 2010 May;
16(5): 853–55.
Teixeira, M.AG., Magalhaes da Silveira, V., Rodrigues de Franca, E. 2010.
Characteristic of Leprosy Reaction in Paucibacillary and Multibacillary
Individuals Attented at Two Refference Centers in Recife,
Pernambuco.Revista de Sociadade Brasileira de Medicina
Tropical;43(3);287-92.
Teles, R.M., Graeber, T.G., Krutzik, S.R., Montoya, D., Schenk,M., Lee, D.J.
2013. Type I Interferon Suppresses Type II Interferon-Triggered
75
Mycobacterial Responses. Science 339,1448-53 (serial online), cited on
[2016 April. 05]. Available from: doi:10.1126/science.1233665.
Thakkar, S., Patel, S.V. 2014. Clinical Profile of Leprosy Patients: A Prospective
study. Indian J Dermatol;59(2):158-62.
Thorat, D.M., Sharma, P. 2010. Epidemiology. In: Kar H. K., Kumar, B. IAL
Texbook of Leprosy. India: Jaypee. p. 24-31.
Viswewaran, R.K., Lekha, H. 2015. Extraskeletal Effects and Manifestations of
Vitamin D Deficiency. Indian J Endocrinology Metab; 17(4): 602-10.
Widodo, A.A., and Menaldi, S.L. 2012. Characteristics of Leprosy Patients in
Jakarta. J Indon Med Assoc; 62(11): 423-27.
World Health Organization. 2015. Global Leprosy Update 2014: Need for Early
Case Detection. WHO Weekly Epidemiological Record; 36(90): 461-76.
Worobec, S.M. 2009.Treatment of Leprosy/Hansen's Disease in the Early 21st
Century. Dhermatol.Ter; 22: 518-37.
Yudianto, Didik, B. Boga, H., Titu, A. S. 2015. Pengendalian Penyakit. Dalam:
Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014: Jakarta. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. p. 134-68.
Youssef, D.A., Miller, C.W.T., El-Abbassi, A. M., Cutchins, D.C., Grant, W.B.,
Peiris, A. N.2011. Antimicrobial Implications of Vitamin D. Dermato-
Endocrinology; 3(4): 220-9.
top related