agama dan kekuasaan
Post on 25-Jun-2015
2.158 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Tugas Kelompok
Disusun Oleh Kelompok 3 :
Setiawan Kasim
Dwi Halima Sari
Cakrawati Basri
Fardiana Fatha
Nur Vinawahyu
Mutahhar Syan
Hairil Anwar
Pendidikan AntropologiFakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Makassar
PEMBAHASAN
AGAMA DAN KEKUASAAN
Pengertian Agama
Umumnya istilah agama sama artinya dengan istilah asing seperti religion
(Inggris), de religie (Belanda). Istilah agama secara etimologis berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun.
Pada masyarakat sederhana yang tidak mengenal istilah agama, kepercayaan
kepada yang gaib merupakan sebagian dari adatnya yang tradisional. Jadi apa
yang dinamakan ‘ agama suku’ adalah bagian dari ‘ adat suku’ yang menyangkut
keagamaan.
Dalam ensiklopedi indonesia didefinisikan dari segi kepercayaan yakni
pengakuan akan adanya yang suci. Dalam pengertian lain manusia insaf bahwa
ada sesuatu kekuasaan yang mungkin dan melebihi segala yang ada. Berdasarkan
pengertian tersebut menunjukkan bahwa beragama berati menganut agama,
beribadat kalau dikaitkan dengan perilaku yang bermakna perbuatan, maka
perilaku beragama diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ajaran atau
pelaksanaan ajaran agama.
Pengertian agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan tersebut juga lebih
jauh di ulas oleh Yusuf, menjelaskan bahwa agama merupakan praktek dimana
suatu masyarakat atau kelompok sosial yang berjaga-jaga menghadapi persoalan
terakhir. Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa agama merupakan seperangkat
jawaban koheren atau dilema keberadaan manusia sehingga menjadikan
kehidupan lebih bermakna.1
Menurut Durkheim bahwa masyarakat dan agama adalah satu dan sama.
Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam fakta sosial
nonmaterial.2 Dalam penjelasan tersebut bahwa fakta sosial nonmaterial
menempati posisi yang lebih sentral.
Jadi menurut pendapat kami yang menjadi sebab latar belakang orang
berperilaku keagamaan, percaya kepada yang ghaib adalah dikarenakan ada
dorongan emosi keagamaan dalam batin manusia sendiri. Karena adanya emosi
1 Yusuf, 2001(dalam kepercayaan dan upacara tradisonal kominitas adat sul-sel):532 George Ritzer-Douglas J. Goodman edisi- 6: 22
keagamaan maka timbullah pemikiran, pendapat, perilaku kepercayaan terhadap
sesuatu benda yang dianggap mempunyai kekuatan luar biasa, dianggap keramat
atau dikeramatkan dan dianggap suci, serta disayangi atau ditakuti.
Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan
Sebelum membahas tentang fungsi dan kedudukan agama, maka perlu
terlebih dahulu diawali dengan penjelasan mengenai pengertian agama.
Eksisitensi agama dalam kehidupan sering dianggap sebagai way of life yang
ajarannya dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi
pedoman bagi segala aktivitas yang pada gilirannya melahirkan sistem perilaku
yang berpola sebagai pegangan. Fungsi agama inilah yang mendorong sehingga J.
Milton Yinger mengemukakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan
praktek untuk menghadapi aneka masalah manusia dalam masyarakat.3
Demikian pentingnya dan berharganya kedudukan agama dalam kehidupan
masyarakat tersebut mendorong para ahli memberikan beragam fungsi
berdasarkan sudut pandang masing-masing baik secara prosedual maupun secara
fungsional. Karena itu, berangkat dari dasar pemikiran tersebut, maka fungsi dan
kedudukan agama meliputi tiga aspek utama yakni sebagai pencipta keteraturan
sosial, pengintegrasian nilai-nilai, serta pengukuhan dari nilai-nilai atau kontrol
sosial.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau
kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan
yang diberikan,kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang
3 Hendopuspito, 1983:35
diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi
tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku4 .
Di negara-negara demokrasi yang memiliki arti bahwa kekuasaan berasal
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat seperti yang dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat Abraham Lincon, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui
jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik dengan cara
pemilihan umum yang dipilih langsung oleh rakyat secara langsung seperti yang
terjadi di Indonesia seperti beberapa waktu yang lalu.
Kekuasaan atau power berarti suatu kemampuan untuk mempengaruhi
orang atau merubah orangatau situasi. Kekuasaan dapat berkonotasi positif
maupun negatif. Kekuasaan dapat didefinisikansebagai suatu potensi pengaruh
dari seorang pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh
kemampuannya dalam memahami situasi serta ketrampilan dalam menentukan
macam kekuasaan yang tepat untuk merespon tuntutan situasi.Unsur-unsur
kekuasaan.
Wewenang mengenai peranan atas posisi yang resmi atau adanya hak, ada
kejelasan dan ada surat yang pasti. Wewenang dapat bersifat formal maupun
informal. Wewenang yang bersifat informal biasanya untuk mendapatkan
kerjasama yang baik dengan bawahannya. Contoh : hubungan pembantu rumah
tangga dengan majikannya pembantu rumah tangga melaksanakan perintah-
perintah yang diperintahkan majikannya serta memberikan tenaganya untuk
membantu pekerjaan rumah tangga majikannya dan di pihak majikannya yang
mempunyaiwewenang untuk memerintah agar pekerjaan rumah tangganya dapat
berjalan dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu. Paksaan Adanya
ancaman yang tidak di inginkan kekuasaan yang bersifat ilegal atau tidak resmi
Agama Dan Kekuasaan
Berbicara mengenai agama dan kekuasaan, maka kita juga tidak bisa
terlepas dari kata As-Siyasah. Adapun kata As-Siyasah berasal dari kata mengatur
atau memimpin, Siyasah bisa juga berarti pemerintahan dan politik atau membuat
4 Miriam Budiardjo,2002
kebijaksanaan5. Secara terminologi, Siyasah adalah mengatur atau memimpin
sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.
Agama berfungsi sebagai alat pengabsahan dan melindungi kepentingan
politik dan kelas sosial yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu
sndiri. Menurut pandangan ini bahwa agama adalah kekuatan konserfatif secara
inheren, yang secara aktif meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial
yang telah mapan dan menetralisasi setiap usaha yang signifikan untuk mengubah
orde itu.6 Akan tetapi, juga dikemukakan bahwa agama berfungsi sebagai
panggilan berhimpun guna melakukan perubahan besar dalam lembaga-lembaga
yang telah ditetapkan.
Kekuasaan adalah tema sentral dalam dunia perpolitikan. Tak ada
perdebatan yang lebih penting dalam ilmu politik selain mengenai kekuasaan.
Kekuasaan dipandang sebagai jalan untuk mencapai tujuan tetapi lebih banyak
yang memandangnya sebagai tujuan itu sendiri.
Agama berfungsi sebagai alat pengabsahan dan melindungi kepentingan
politik dan kelas sosial yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu
sndiri. Menurut pandangan ini bahwa agama adalah kekuatan konserfatif secara
inheren, yang secara aktif meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial
yang telah mapan dan menetralisasi setiap usaha yang signifikan untuk mengubah
orde itu.7 Akan tetapi, juga dikemukakan bahwa agama berfungsi sebagai
panggilan berhimpun guna melakukan perubahan besar dalam lembaga-lembaga
yang telah ditetapkan.
Negara dan agama adalah dua hal yang, meski pun tidak harus berlawanan,
jelas berbeda. Tidak bisa secara otomatis pemimpin agama layak menjadi
pemimpin negara. Juga tidak “negara agama” dalam pengertian bahwa negara
harus tunduk pada ketentuan-ketentuan legal-formal suatu agama. Karena
sebagian dari hukum agama hanya bisa bermakna jika dijalankan dengan
kesukarelaan hati, sementara pendekatan negara selalu mengandaikan sanksi yang
memaksa. Atau karena hukum agama tertentu tidak bisa begitu saja diterapkan
5 Asy-Syariah hal:2316 Prof. Dr. h. Mahmud Msi-Dr. Ija Suntana, M.Ag :837 Prof. Dr. h. Mahmud Msi-Dr. Ija Suntana, M.Ag :83
sebagai hukum positif, tanpa persetuan lebih dahulu dari lembaga publik
(parlemen) , yang tidak otomatis atas dasar nalar agama.
Memisahkan antara agama dan kekuasaan pun tidaklah mudah apalagi untuk
menemukan relasi yang tepat diantara keduanya. Agama merupakan keyakinan
transendental yang senantiasa ditempatkan sebagai nilai yang luhur, murni, suci
dan berlawanan dengan kekuasaan yang cenderung menindas, profan, tidak adil,
dan pragmatis atau berorientasi materi semata seperti ungkapan populer power
tends to corrupct. Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara
kembar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain
tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah pondasi sementara kekuasaan
adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya pondasi akan rusak dan jika tidak
dijaga, ia akan hilang8. Banyak contoh apabila agama dan kekuasaan itu
dipisahkan misalnya saja terjadi krisis pemimipin yang menjadi panutan
masyarakat, penyelewengan-penyelewengan terjadi seperti KKN dan lain
sebagainya.
Dalam hal inilah terjadilah yang dinamakan kekuasaan negatif yang
merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta
apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan
yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan cara paksaan atau tekanan baik
secara fisik maupun mental.
Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki
kecerdasan intelektual dan emosional yang baik, mereka hanya berfikir pendek
dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam
mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri terkadang tidak dapat
menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau
kelompok yang berada dibawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi.
dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari
keuntungan pribadi atau golongan diatas kekuasannya itu. karena mereka tidak
memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan
apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersebut biasanya tidak
8 Asy-Syariah hal:232
akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya
oleh rakyatnya
Memang sejarah kekuasaan agama tidak selamanya putih. Banyak tragedi
kemanusiaan yang diinsinuasi atau dihasud oleh persentuhannya dengan agama.
Kita mengenal perang agama, pertumpahan darah yang kejam, yang
berkelindangan dengan semangat keagamaan. Misalnya perang Salib antara islam
dengan kristen yang melelahkan karena berlangsung dalam 200 tahun dan perang
Israel dengan Negara-negara Arab Beberapa dekade yang lalu. Namun demikian,
jika dibandingkan dengan kekuasaan lain yang atheistik atau bahkan sekedar
sekularistik, maka kekuasaan keagamaan tidak selalu lebih buruk.
Lord Acton mengatakan kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan
yang absolut akan korup secara absolut pula. Berdasarkan teori Max Weber
kekuasaan di bedakan atas tiga jenis otoritas yaitu:
1. Otoritas kharismatis yang berdasarkan pada pengaruh dan
kewibawwaan pribadi.
2. Otoritas traditional yaitu yang di miliki berdasarkan pewarisan atau
turun temurun.
3. Otoritas legal rasional, yaitu yang dimiliki berdasarkan jabatan serta
kemampuannya.9
Hal ini memberikan gambaran jelas bahwa kekuasaan menjadi baik
ataupun buruk sangat bergantung kepada pemilik kekuasaan. Max Weber juga
membuat analisis bagaimana fenomena agama dengan kekuasaan dimana agama
telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme di barat, namun
pada akhirnya agama itu menjadi rintangan sementara.10
Kekuasaan ditangan pemimpin yang tidak tepat dijadikan sebagai alat
untuk menundukkan, mengontrol, mengeksploitasi, menindas, dan melemahkan
lawan politiknya sehingga kekuasaannya dapat bertahan dengan langgeng.
Penguasa menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk membentuk pikiran dan
pandangan orang lain diluar kekuasaannya sebagai yang lemah, yang tidak
9 Sartono Kartodirjo 1993:15010 George Ritzer- Douglas J. Goodman edisi ke-6: 40
memiliki kemampuan untuk mengubah keadaannya dan akhirnya bergantung
sepenuhnya kepada penguasa. Kebanyakan kekuasaan bagi penguasa selalu
bertalian erat dengan posisi ekonomis, kelas sosial, atau pada umumnya peranan
seseorang dalam sistem ekonomis, sosial dan politik semata saja, jadi jelaslah
disini bahwa kepentingan kekuasaan semata-mata adalah fungsi ekonomis atau
fungsi lainnya yang merugikan masyarakat luas.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks pemerintahan dimulai dengan
melakukan penyempitan kawasan pengambilan keputusan dengan tidak
memberikan ruang bagi pihak diluar kekuasaan untuk ikut terlibat dalam proses
tersebut. Hal ini menyebabkan proses pengambilan kebijakan hanya menjadi
otoritas dalam lingkaran kekuasaan. Selanjutnya penguasa dengan segala cara
berupaya membatasi partisipasi rakyat atau membungkam suara-suara perlawanan
yang datang dari komunitas pro perubahan, baik itu dengan ancaman, teror,
sabotase, penculikan, pencemaran nama baik, bahkan pembunuhan terhadap
tokoh-tokohnya. Kasus hilangnya aktivis mahasiswa pada tahun 1998 dan kasus
pembunuhan aktivis HAM, Munir, mewakili tindakan penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya secara absolut. Untuk menyempurnakan
hegemoni kekuasaannya, penguasa membentuk opini masyarakat bahwa
penguasa/pemerintah telah melakukan yang terbaik untuk masyarakat dan orang
atau kelompok yang tidak mendukung pemerintah adalah pihak yang
bertanggungjawab terhadap keadaan carut marut bangsa secara totalitas.
Pada sisi lain kekuasaan tidak berdiri secara tunggal tetapi mengandung
nilai moral yang diyakini secara bersama. Ketika kekuasaan tidak menjadi tujuan
melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, maka kecenderungannya kepada
pengambilan kebijakan tidak terbatas hanya dalam lingkaran kekuasaan,
membangun partisipasi rakyat secara luas, dan memiliki nilai luhur untuk
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Bahaya akibat dari penyalahgunaan kekuasaan tidak ada bedanya dengan
dampak negatif dari tuna kuasa. Tuna kuasa dipahami sebagai ketidakkuasaan
atau ketidakmampuan seseorang untuk keluar dari situasi yang tidak adil pada diri
dan lingkungannya. Orang yang tuna kuasa memandang ketidakadilan dan
penindasan yang dialaminya sebagai sebuah kenyataan harus diterima secara
mutlak.
Kondisi tuna kuasa seperti ini yang sedang dialami oleh masyarakat kita
hari ini. Masyarakat tidak lagi peduli dengan kondisi dirinya dan lingkungannya,
masyarakat tidak berani melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, dan
akhirnya secara tidak langsung kondisi ini melegitimasi hegemoni kekuasaan yang
absolut. Orang atau masyarakat tuna kuasa bukannya tidak menyadari kondisi
ketidakadilan yang dialami tetapi kekuasaan yang absolut melemahkan semangat
dan rasa percaya diri masyarakat untuk keluar dari kondisi yang dialami tersebut.
Dalam kajian kontemporer, agama ditempatkan pada dua sisi yang
bertolak belakang. Satu sisi agama adalah ajaran transendental yang menjadi
kekuatan moral sekaligus sebagai alat legitimasi bagi mereka yang tak mampu
bangkit dari ketertindasannya. Persoalan kemiskinan, ketimpangan sosila-budaya,
marginalisasi dan eksploitasi dianggap hal yang given. Hal ini berangkat dari
paham jabariyah (fatalistik) yang menyatakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini merupakan takdir Tuhan yang telah ditentukan dan tidak
dapat diubah.
Pada sisi lain agama ditempatkan sebagai ajaran yang menginspirasi
manusia untuk melakukan perlawanan atau membebaskan diri dari ketertindasan,
kemiskinan, kebodohan, dan tindakan eksploitatif secara struktural maupun
kultural. Pandangan tentang agama sebagai nilai moral dan transendental,
memiliki kesamaan dengan pandangan Karl Marx tentang agama sebagai candu
sekaligus alat pembenaran ketidakadilan sosial yang dialami dengan menjanjikan
kebahagiaan sejati di akhirat kelak. Bahwa seluruh derita manusia termasuk
didalamnya kemiskinan, ketidakadilan, penindasan akan mendapatkan balasan
kebahagiaan di akhirat kelak.
Menurut Frank Whaling, sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai
agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satu unsur
pokok itu adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial dan politik (involvement in
social and political contexts). Maka, agama layak disebut sebagai agama yang
sejati apabila memiliki keterlibatan sosial dan politik, dimana perubahan sebagai
inspirasi dan tujuannya sekaligus.
Agama apapun terlebih lagi Islam sejatinya tidak melegitimasi
ketertindasan yang dialami oleh penganutnya apalagi melegitimasi kekuasaan
yang absolut, tetapi harus menjadi nilai yang mengontrol dan mengawasi
kekuasaan sekaligus menjadi inspirasi yang menggerakan manusia untuk
membebaskan diri dari ketertindasan yang dialaminya. Ketika agama hanya
berada pada satu sisi maka ketimpangan akan tetap terjadi dan tidak akan pernah
menyelesaikan hegemoni kekuasaan absolute terhadap mereka yang berada diluar
kekuasaan dan mengalami ketidakkuasaan atau tuna kuasa.
Kekuasaan dalam pandangan agama merupakan amanat, bukannya berkah
apalagi hak milik yang digunakan untuk mengeruk keuntungan materil sebanyak-
banyaknya. Tanpa peran agama, kekuasaan seringkali disalahgunakan untuk
mendapatkan fasilitas, menumpuk kekayaan, menakut-nakuti, bahkan melakukan
tindakan kekerasan terhadap rakyat yang sesungguhnya telah memberikan mandat
kepada penguasa (pemerintah). Jadi kekuasaan dalam terminologi agama
merupakan titipan Allah Swt untuk mengayomi, melindungi, menyejahterahkan
rakyat yang dipimpinnya. Namun sebaliknya jika kekuasaan ditempakan sebagai
sesuatu yang dimiliki secara mutlak oleh penguasa, maka kekuasaan tidak lagi
mendengar aspirasi masyarakat melainkan melakukan pengkhianatan terhadap
kemanusiaan universal.
Tuna kuasa atau ketidakkuasaan semakin menguatkan hegemoni
kekuasaan ketika peran agama hanya dipahami secara sempit sebagai nilai vertikal
(hablumminallah) semata dan menggeser peran agama pada wilayah kemanusiaan
(hablumminannas)nya. Sehingga memandang segala hal yang berkaitan dengan
realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi dan yang lainnya adalah otoritas Tuhan
semata tanpa ada usaha dari manusia. Hal ini kemudian menggiring manusia
untuk melupakan keadaan sesamanya (individualis) didalam menyikapi realitas
kehidupan. Agama seakan-akan hanya memberikan rezeki kepada mereka yang
memiliki kekuasaan tidak bagi mereka yang berada diluar lingkaran kekuasaan
tersebut sehingga mereka mengalami ketidakadilan sosial dan kemiskinan
struktural maupun kultural.
Agama (Islam) memberikan jaminan bahwa orang atau masyarakat tuna
kuasa yang fatalistik tidak akan mampu untuk keluar dari keadaan yang
dialaminya tanpa memberikan konstribusi secara nyata untuk memperbaiki
keadaannya. Hal ini mengaskan bahwa orang atau masyarakat yang mengalami
ketidakadilan sosial dan penindasan harus menyadari untuk kemudian bangkit dari
kondisi yang dialaminya, karena tanpa upaya dan usaha dari manusia maka tidak
akan terjadi perubahan bagi individu maupun masyarakat.
Proses legitimasi kekuasaan oleh agama adalah upaya politisasi agama,
atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan politik penguasa
untuk mengalahkan lawan politiknya sekaligus melanggengkan kekuasaannya.
Agama benar-benar telah disubordinasikan dalam wilayah-wilayah profan dan
pragmatis Penguasa hanya memanfaatkan sentimen agama semata untuk
mendapatkan dukungan masyarakat secara massif sekaligus memburamkan peran
agama ditengah-tengah masyarakat.
Akhirnya patut untuk kita sadari bersama, bahwa kehadiran agama tidak
diperuntukkan kepada Tuhan tapi bagi kemanusiaan sebagai spirit pembebasan
dan perlawan manusia terhadap penindasan dan ketidakadilan sosial politik yang
dialaminya. Agama menjamin hak yang sama bagi semua manusia untuk
mendapatkan kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan bagi umat manusia di muka
bumi. Disinilah pentingnya kita menempatkan moral agama secara tepat
sebagai nilai yang mengarahkan dan mengontrol kekuasaan dan menempatkan
agama disisi lain sebagai keyakinan dan spirit untuk membangun kesadaran
masyarakat untuk kritis terhadap kesewenang-wenangan penguasa dalam
menggunakan kekuasaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern Edisi Ke-
6. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bahri, Syamsul, dkk. 2012. Kepercayaan Dan Upacara Tradisional Komunitas
Adat Di Sulawesi Selatan. Makassar: De La Macca.
Mahmud dan Ija Suntana. 2012. Antropologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Majalah Asy Syariah (khazanah ilmu-ilmu islam) 2003.
Abdullah, Syamsuddin. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi
Agama. Jakarta: Logos.
Dahl, Robert A. 1965. Modern Political Analysis. New Jersey: Prentice Hall Inc.
top related