ahmed proposal skripsi
Post on 02-Aug-2015
289 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
RENCANA SKRIPSI
PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA
BPK RI PERWAKILAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN STRES KERJA SEBAGAI
VARIABEL INTERVENING
Diajukan oleh:
AHMAD DWI ARIANTO
NPM: 104060005353
Juli 2012
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
TANDA PERSETUJUAN RENCANA SKRIPSI
Nama : Ahmad Dwi Arianto
Nomor Pokok Mahasiswa : 104060005353
Bidang Skripsi : Manajemen Strategi Sektor Pemerintah
Judul Skripsi : Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Kinerja
Pegawai Pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat
Dengan Stres Kerja Sebagai Variabel Intervening
Mengetahui, Menyetujui,
Kepala Bidang Akademis Dosen Pembimbing,
Pendidikan Akuntan,
Dra. Lies Sunarmintyastuti, M.M.
NIP 195705201982022001 NIP
Metode Penelitian 2
DAFTAR ISI
I. PROPOSAL PENELITIAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Gambaran Objek Penelitian dan Ruang Lingkup
C. Pertanyaan Riset
D. Tujuan Penelitian
E. Reviu Literatur dan Landasan Teoritis
F. Variabel dan Hipothesis (Model Penelitian)
G. Metode Prosedur
1. Instrumentasi
2. Populasi, sampel, atau responden yang dituju
3. Pengumpulan data
4. Analisis Data
5. Mekanisme validitas dan reliabilitas
H. Keterbatasan Riset
I. Kontribusi Riset
II. RENCANA DAFTAR PUSTAKA
III. PENUTUP
A. Rencana Pelaksanaan Penelitian
B. Kontijensi
Metode Penelitian 3
I. PROPOSAL PENELITIAN
A. Latar Belakang Penelitian
‘Man behind the gun’, Manusia (Sumber daya manusia/SDM) adalah sumber daya
yang paling utama bagi suatu organisasi. Keterampilan mengelola SDM akan memberikan
kontribusi yang besar dalam pencapaian tujuan organisasi, demikian pula sebaliknya. Kita
dapat belajar dari sejarah munculnya pengendalian internal versi COSO, yang menorehkan
catatan berharga bahwa sebaik apapun sistem (hard control) jika faktor manusianya (soft
control) tidak selaras dengan sistem tersebut maka sistem tersebut tidak akan efektif.
Manusia adalah ‘dalang’ yang mengatur jalan cerita dan menggerakkan sistem suatu
organisasi, maka sukses tidaknya ‘pertunjukan wayang’ tersebut sangat tergantung kepada
faktor manusianya.
Sisi kemanusiaan menjadi pembeda antara manusia dengan sumber daya
manajemen lainnya (money, machine, methods, material). Sisi kemanusiaan tersebut
mengejawantah dalam berbagai bentuk: menyayangi pekerjaan dan semua orang di
lingkungan kerjanya, ketidakpuasan dalam bekerja dan perasaan ingin mencari pekerjaan
lain, perasaan ingin dihargai dan berbagai gejala lainnya. Keterampilan mengelola sisi
kemanusiaan adalah fokus dari manajemen sumber daya manusia.
Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Individu berasal dari kata
bahasa latin individum (in= tidak, dividum= terbagi), sebagai makhluk individu, manusia
adalah satu kesatuan rohani dan jasmani yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sosial
berasal dari bahasa latin socius yang berarti teman, sebagai makhluk sosial manusia pasti
membutuhkan pertemanan/interaksi dengan orang lain.
Konflik Pekerjaan-Keluarga
Secara alamiah manusia sebagai makhluk sosial akan mengalami banyak peran
(multiple role), akibat interaksi sosial yang dijalaninya. Misalkan interaksi dengan keluarga,
seorang manusia dapat secara sekaligus berperan sebagai: anak, orang tua, kakek/nenek,
ayah/istri, kakak/adik, paman/bibi, keponakan, sepupu dsb. Interaksi yang lain, misalnya
dalam tempat kerja akan memunculkan peran sebagai: atasan, bawahan, dan rekan kerja.
Kondisi ini secara otomatis akan menimbulkan konflik (berasal dari bahasa latin configere,
yang bermakna saling memukul) manakala tuntutan satu peran saling mengganggu tuntutan
peran yang lain. Konflik pekerjaan-keluarga adalah salah satu contoh dari inter-role conflict
(Kahn et al, 1964 dalam Hartini, 2009), yang timbul akibat tuntutan peran dalam keluarga
saling mengintervensi dengan tuntutan peran dalam pekerjaan.
Metode Penelitian 4
Stres Kerja
Monodualisme manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sering
menimbulkan fakta lain yang dikenal dengan stres. Menurut Robbins (2002) dalam Jimad
(2010) Stress adalah suatu kondisi dinamik yang di dalamnya seorang individu
dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa
yang sangat diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.
Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa stres dapat timbul akibat keinginan (manusia
sebagai makhluk individu), yang dikonfrontasikan dengan peluang, kendala, dan hasil yang
timbul dari interaksi sosial (manusia sebagai makhluk sosial).
Lebih lanjut menurut Robbins (2002) dalam Jimad (2010) mengungkapkan tiga
sumber potensial dari stres, yaitu lingkungan, organisasi dan individual. Konflik pekerjaan-
keluarga merupakan salah satu pemicu stres yang berasal dari faktor organisasi (tuntutan
tugas kerja) dan faktor individu (tuntutan keluarga).
Kinerja Pegawai
Manusia secara kodrati memiliki rasa ingin tahu, salah satu bentuk pemuasan rasa
ingin tahu tersebut adalah dengan belajar. Membandingkan adalah salah satu metode
belajar yang dikenal manusia. Manusia membandingkan suatu hal dengan hal lainnya untuk
memperoleh persamaan dan perbedaan karakteristik akan hal-hal tersebut, kemudian
menarik kesimpulan dari proses perbandingan yang telah dilakukannya. Salah satu
perbandingan yang sering dilakukan manusia di lingkungan pekerjaan adalah perbandingan
kinerja pegawai. Pengukuran kinerja pegawai biasanya membandingkan antara hasil aktual
yang dicapai oleh pegawai dengan hasil yang diharapkan organisasi (sesuai standar).
Alasan Penelitian
BPK adalah salah satu organisasi tempat berkumpulnya para pegawai untuk bekerja.
Faktor-faktor dalam paparan penulis di atas adalah faktor yang terkait dengan manusia.
Idealnya secara teoritis suatu kondisi dengan faktor yang sama (manusia/SDM) tentunya
memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik di manapun manusia tersebut bekerja.
Selaku auditor eksternal pemerintah, kadang pegawai dituntut untuk tinggal di luar
kota selama kurun waktu tertentu (saat melakukan audit), kondisi ini berpotensi
menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja bahkan mungkin dapat mempengaruhi
kinerja auditor ybs. Demikian pula tuntutan pekerjaan sebagai penunjang pendukung
(jangkung), yang kadangkala menyita waktu untuk keluarga, misal: bagian keuangan saat
akhir tahun; bagian umum saat pengadaan dan serah terima pengadaan tentunya juga
Metode Penelitian 5
berpeluang menciptakan konflik pekerjaan-keluarga. Karena itulah penulis tertarik untuk
menggali masalah ini dalam skripsi.
Beberapa penelitian mengenai masalah ini antara lain:
No Periset Judul riset Keterangan 1 Habibullah
Jimad (2010)Konflik Pekerjaan-Keluarga, Stress Dan Kinerja (dimuat dalam jurnal bisnis dan manajemen FE Universitas Lampung)
Merupakan systematic review yang menghasilkan kesimpulan ada keterkaitan antara konflik dengan stres, antara stres dengan kinerja, antara konflik dengan kinerja (ada pengaruh positif dan negatif)
2 Ifah Lathifah (2008)
Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Turnover Intentions Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik di Indonesia ), Tesis.
Menghasilkan simpulan bahwa konstruk Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) memediasi hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga (work family conflict) terhadap Keinginan Berpindah (Turnover Intentions-TI). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Pasewark dan Viator (2006).
3 AZAZAH INDRIYANI, SE (2009)
Pengaruh Konflik Peran Ganda Dan Stress Kerja Terhadap Kinerja Perawat Wanita Rumah Sakit (Studi Pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang), Tesis.
Menghasilkan simpulan:1. Konflik peran ganda yang
dialami oleh perawat akan menyebabkan timbulnya stress kerja;
2. Stress kerja berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja perawat rumah sakit.
4 Rio Radityo (2009)
Hubungan Sumber Stres Kerja dengan Kinerja Karyawan Perusahaan Teknologi Informasi pada PT X
Menghasilkan simpulan adanya hubungan negatif antara stres kerja dengan kinerja karyawan
5 Pratama Juli Hartini (2009)
Hubungan work-family conflict dan Kepuasan Kerja pada Karyawati di Perusahaan Ritel
Menghasilkan simpulan:1. terdapat hubungan yang
signifikan antara konflik kerja-keluarga dengan kepuasan kerja pada karyawati perusahaan ritel di Jakarta.
2. Arah hubungan antara kedua variabel tersebut adalah negatif. Dengan kata lain, semakin tinggi konflik kerja-keluarga, semakin rendah
Metode Penelitian 6
No Periset Judul riset Keterangan kepuasan kerja atau sebaliknya, semakin rendah konflik kerja-keluarga diikuti dengan kenaikan pada kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat konflik kerja-keluarga, semakin rendah kepuasan kerja yang dirasakan.
Berdasarkan paparan mengenai konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja dan kinerja
pegawai di atas, Penulis berniat untuk meneliti bagaimana hubungan antara ketiga variabel
di atas. Judul penelitian yang penulis ajukan adalah “Pengaruh Konflik Pekerjaan-
Keluarga Terhadap Kinerja Pegawai Pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat
Dengan Stres Kerja Sebagai Variabel Intervening”.
Penelitian ini merupakan replikasi dari systematic review yang diteliti oleh Jimad
(2010) dan tesis Indriyani (2009). Perbedaan utama dengan Jimad (2010) adalah
penggunaan statistik sebagai alat bantu untuk merumuskan pengaruh antar variabel (Jimad
hanya melakukan systematic review bukan meta-analysis), sedangkan perbedaan dengan
Indriyani (2009) adalah pada objek penelitian (pegawai pada BPK RI Perwakilan Provinsi
Jawa Barat dan penggantian variabel intervening kepuasan kerja menjadi stres kerja.
B. Gambaran Objek Penelitian dan Ruang Lingkup
1. Gambaran Umum BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat
Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23E, yang menyatakan
bahwa BPK berkedudukan di ibukota negara dan mempunyai perwakilan di setiap provinsi,
maka BPK RI melakukan pembukaan Perwakilan di Provinsi Jawa Barat, yang
berkedudukan di Bandung. Dengan semakin meningkatnya luas lingkup pemeriksaan,
pembukaan perwakilan dimaksud untuk meningkatkan mutu hasil pemeriksaan, serta untuk
memperkuat peran dan kinerja BPK RI sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa di
Indonesia.
BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat didirikan pada 27 Januari 2006. Pembukaan
dilakukan oleh Ketua BPK Anwar Nasution. Peresmian dilakukan di gedung eks KASIPA II
Bandung di Jalan Surapati 12 Bandung. Status gedung adalah pinjam pakai.
Pada saat didirikan Kepala Perwakilan dijabat oleh Ir. Saiful Anwar Nasution (2006
sampai dengan Oktober 2007). Estafet kepemimpinan di Perwakilan Provinsi Jawa Barat
diberikan kepada Kepala Perwakilan kedua, yaitu Gunawan Sidauruk, S.H., M.M., M.H
(Oktober 2007 sampai dengan Juli 2010). Selanjutnya sejak Juli 2010 sampai dengan
Metode Penelitian 7
sekarang Slamet Kurniawan, M.Sc., Ak. diangkat sebagai Kepala Perwakilan menggantikan
Gunawan Sidauruk.
BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu unsur pelaksana BPK
yang berada di bawah Auditorat Keuangan Negara (AKN) V dan bertanggung jawab kepada
anggota V BPK melalui Auditor Utama Keuangan Negara V (Tortama KN V). BPK RI
Perwakilan Provinsi Jawa Barat dipimpin oleh seorang kepala perwakilan. Tugas BPK RI
Perwakilan Provinsi Jawa Barat adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan daerah pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota/Kabupaten di
Provinsi Jawa Barat, serta BUMD dan lembaga terkait di lingkungan entitas tersebut di atas,
termasuk melaksanakan pemeriksaan yang dilimpahkan oleh AKN. Lingkup wilayah kerja
BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat 27 entitas audit Pemerintah daerah, yang terdiri dari
18 Pemerintah Kabupaten, 1 Pemerintah Propinsi dan 8 Pemerintah Kota.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat
didukung oleh para pegawai yang dikelompokkan menjadi pegawai fungsional pemeriksa
(auditor), bagian administrasi umum (penunjang dan pendukung), dan pegawai tidak tetap
(PTT) yang jumlahnya mencapai 164 orang, dengan rincian: 71 orang auditor;72 orang
jangkung; 21 orang PTT.
Penulis memilih BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat sebagai objek penelitian
karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Perwakilan BPK RI merupakan miniatur dari BPK RI Pusat, unit kerja yang ada dalam
suatu perwakilan dapat mewakili berbagai tuntutan kerja yang ada pada BPK RI dan
jumlah pegawai (populasi) yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan BPK RI
Pusat.
b. Jumlah auditor yang hanya sekitar 71 orang dibandingkan dengan objek pemeriksaan
sebanyak 27 entitas, dengan asumsi tiap entitas membutuhkan 4 orang auditor,
seharusnya BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat memiliki auditor sebanyak 108
orang (27 x 4 orang). Kondisi ini dapat mengakibatkan dipakainya tenaga jangkung
untuk menunjang tugas pemeriksaan, sehingga berpotensi menimbulkan kelebihan
beban kerja.
Terkait dengan penelitian ini Penulis akan menggunakan data primer yang berasal
dari kuesioner mengenai konflik pekerjaan-keluarga dan stres kerja yang akan diberikan
kepada para pegawai, juga kuesioner tentang kinerja pegawai yang akan diberikan kepada
atasan langsung pegawai tersebut.
Metode Penelitian 8
Dalam penelitian ini, populasi pegawai adalah seluruh pegawai BPK RI Perwakilan
Provinsi Jawa Barat, baik auditor, jangkung ataupun PTT sejumlah 164 pegawai (tidak
termasuk pejabat struktural). Sedangkan, data sampel yang akan diambil adalah sebanyak
117 peserta diklat dengan menggunakan rumus Slovin untuk menentukan jumlah sampel.
C. Pertanyaan Riset
1. Apakah konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh terhadap kinerja?
2. Apakah konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh terhadap stres kerja?
3. Apakah stres kerja berpengaruh terhadap kinerja?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah (pertanyaan riset) di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk:
1. Menguji pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap kinerja,
2. Menguji pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stres kerja,
3. Menguji pengaruh stres kerja berpengaruh terhadap kinerja.
E. Reviu Literatur dan Landasan Teoritis
1. Konflik Pekerjaan-Keluarga
a) Definisi Konflik Pekerjaan-Keluarga
Teori yang melandasi timbulnya konflik ini adalah teori peran (role theory). Peran
(role) menurut Siegel dan Marconi (1989) dalam Lathifah (2008) adalah ”parts that people
play in their interactions with others.” Konflik peran (role conflict) terjadi ketika ”a person
occupies several position that are incompatible or when a single position has mutually
incompatible behavioral expectation” (Siegel dan Marconi, 1989).
Senada dengan hal itu Kahn, Wolf, Quinn, Snoek, dan Rosenthal (1964) dalam
Hartini (2009) mendefinisikan peran sebagai sekumpulan aktivitas yang dianggap sebagai
tingkah laku potensial. Konflik peran didefinisikan sebagai dua tekanan atau lebih yang
terjadi secara bersamaan yang mana pemenuhan salah satunya akan menyulitkan
pemenuhan yang lainnya.
Lebih jauh lagi, Kahn, et.al (1964) memaparkan konflik peran yang terbagi menjadi
empat tipe, yaitu:
1) Intra sender, yakni apabila konflik bersumber satu pihak saja. Misalnya, seorang atasan
memberikan tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh pekerja dengan semestinya.
Metode Penelitian 9
2) Inter-sender, yakni apabila konflik bersumber dari dua pihak yang berbeda. Misalnya,
dua orang atasan yang memberikan instruksi yang bertentangan pada seorang pekerja
akan membingungkan pekerja dan menimbulkan konflik dalam melakukan tanggung
jawab perannya.
3) Inter-role conflict, yakni apabila tekanan peran diasosiasikan dengan keanggotaan
seseorang dalam suatu organisasi dan keanggotaannya di kelompok lain. Konflik kerja-
keluarga termasuk dalam tipe konflik peran ini dimana pekerja memiliki tanggung jawab
di dua kelompok yang berbeda, yaitu di tempat kerja dan keluarga.
4) Person-role conflict, yakni tuntutan yang dialami oleh seseorang bertentangan dengan
etika moral yang ia pegang.
Manusia dalam kehidupannya memerankan berbagai peran yang secara alamiah
melekat padanya, misalkan peran sebagai orang tua sekaligus peran sebagai anak,
kakak/adik, paman/bibi, sepupu dsb. Selain peran alamiah tersebut, manusia juga memiliki
peran akibat interaksinya dengan lingkungan, peran dalam pekerjaan misalnya. Tuntutan
dari berbagai peran ini dapat menimbulkan suatu konflik yang para ahli menyebutnya
dengan konflik peran. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Kahn et al.
Salah satu bentuk konflik peran yang terkenal adalah konflik pekerjaan-keluarga
(work-family conflict), Spector (1997) dalam Hartini (2009) menyatakan bahwa konflik
antarperan (interrole conflict) dalam bekerja dan berkeluarga disebut juga dengan konflik
kerja-keluarga (work-family conflict), yakni apabila tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan
bertentangan satu sama lain. Hal senada juga diungkapkan oleh Greenhaus dan Beutell
(1985) dalam Lathifah (2008) yang menyatakan konflik pekerjaan-keluarga dihasilkan oleh
adanya tekanan secara bersamaan antara peran pekerjaan dan keluarga yang bertentangan
satu sama lainnya.
Lebih lanjut, Lathifah (2008) mengutip Greenhaus dan Beutell (1985)
mengungkapkan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi ketika seseorang
harus melaksanakan multi peran, yaitu sebagai karyawan, pasangan (suami/istri) dan orang
tua. Tekanan dalam lingkungan kerja yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga,
antara lain tidak teraturnya atau tidak fleksibelnya jam kerja, overload pekerjaan, perjalanan
dinas yang banyak, konflik antar individu karyawan dan tidak adanya dukungan dari
supervisor atau perusahaan. Tekanan dalam lingkungan keluarga yang dapat menghasilkan
konflik pekerjaan-keluarga, antara lain kehadiran anak yang paling kecil, tanggung jawab
utama terhadap anak, tanggung jawab sebagai anak yang tertua, konflik antar anggota
keluarga dan tidak adanya dukungan dari anggota keluarga. Gutek et al. (1991)
mengemukakan bahwa masing-masing peran di atas membutuhkan waktu dan tenaga jika
Metode Penelitian 10
akan dilaksanakan secara memadai. Konsekuensinya adalah seseorang akan mengalami
gangguan dengan adanya campur tangan antara pekerjaan terhadap keluarga atau
sebaliknya.
Hartini (2009) mengutip Herman dan Gyllstrom (1977) dalam Greenhaus & Beutell,
1985) menemukan bahwa seseorang yang sudah menikah mengalami konflik kerja-keluarga
yang lebih besar daripada orang yang tidak menikah. Selain itu, orang tua akan mengalami
konflik kerja-keluarga yang lebih dibandingkan dengan bukan orang tua. Orang tua dengan
anak kecil (yang cenderung menuntut waktu orang tuanya) mengalami konflik yang lebih
besar daripada orang tua dengan anak yang lebih besar (Beutell & Greenhaus; Greenhaus
& Kopelman; Pleck et al dalam Greenhaus & Beutell, 1985).
Lebih lanjut Hartini (2009) mengutip penelitian Greenhaus dan Beutell (1985)
mengemukakan bahwa konflik kerja keluarga memiliki tiga bentuk besar konflik peran, yakni:
1) Time-Based Conflict, yakni tuntutan waktu pada satu peran mempengaruhi keterlibatan
di peran yang lainnya. Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung dari alokasi waktu
kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki
individu (Greenhaus, www.brandeis.edu).
2) Strain-Based Conflict. Stres yang ditimbulkan dari salah satu peran yang mempengaruhi
peran yang lain sehingga mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Persepsi
stres peran ini dapat muncul dari predisposisi seseorang dalam mengalami stres. Selain
itu, kemampuan individu berbeda-beda dalam mengalami stres (Greenhaus,
www.brandeis.edu).
3) Behavior-Based Conflict. yakni tingkah laku yang efektif untuk satu peran tapi tidak
efektif untuk digunakan untuk peran yang lain. Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat
disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada
orang lain (Greenhaus, www.brandeis.edu).
Dari berbagai paparan di atas mengenai konflik pekerjaan-keluarga, penulis
menyimpulkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga adalah konflik yang timbul akibat tuntutan
pekerjaan dan tuntutan keluarga yang saling mengintervensi satu sama lain.
b) Dimensi Konflik Pekerjaan-Keluarga
Netemeyer et al. (1996) dalam Lathifah (2008) membagi dimensi keluarga menjadi
dua yaitu:
1) Work Interfering with Family (WIF), sebentuk konflik antarperan dimana tuntutan waktu
dan ketegangan secara keseluruhan yang dihasilkan dari pekerjaan mempengaruhi
pekerja untuk memenuhi tanggung jawab berkaitan dengan keluarga. Penelitian
Grandey et al (2005) menunjukkan bahwa bagi wanita, WIF merupakan prediktor yang
Metode Penelitian 11
unik dan signifikan pada kepuasan kerja. Hal tersebut terjadi karena individu
menganggap peran di keluarga sebagai bagian dari identitas dirinya (self-identity).
2) Family Interfering with Work (FIW), sebentuk konflik antarperan dimana tuntutan waktu
dan ketegangan secara keseluruhan yang dihasilkan dari keluarga mempengaruhi
pekerja untuk memenuhi tanggung jawab berkaitan dengan pekerjaan.
c) Pengukuran Konflik Pekerjaan-Keluarga
Pengukuran konflik pekerjaan-keluarga sesuai dengan dimensi konflik pekerjaan-
keluarga menurut penelitian Netemeyer et al. (1996), yang juga digunakan Lathifah (2008)
adalah sebagai berikut:
1) Pengukuran dimensi pekerjaan mengintervensi keluarga (Work Interfering with
Family/WIF) menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Netemeyer et al. (1996)
yang terdiri dari 6 pertanyaan. Masing-masing responden diminta menjawab setiap
pertanyaan dengan skala Likert 5 poin yaitu mulai dari angka 1 (sangat tidak setuju)
sampai dengan angka 5 (sangat setuju). Skor yang rendah menunjukkan rendahnya
konflik pekerjaan mengintervensi keluarga sedangkan skor yang tinggi menunjukkan
tingginya konflik pekerjaan mengintervensi keluarga.
2) Pengukuran dimensi keluarga mengintervensi pekerjaan (Family Interfering with
Work/FIW) menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Netemeyer et al. (1996)
yang terdiri dari 6 pertanyaan. Masing-masing responden diminta menjawab setiap
pertanyaan dengan skala Likert 5 poin yaitu mulai dari angka 1 (sangat tidak setuju)
sampai dengan angka 5 (sangat setuju). Skor yang rendah menunjukkan rendahnya
konflik keluarga mengintervensi pekerjaan dan begitu pula sebaliknya.
2. Stres Kerja
a) Definisi stres kerja
Menurut Selye (1956) dalam Wikaningtyas (2007), terdapat dua jenis stres, yaitu
eustress, stres yang mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, dan distress,
stres yang dapat membawa dampak negatif bagi seseorang. Salah satu dampak positif dari
stres adalah meningkatnya motivasi seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Di
lain pihak, terdapat juga banyak dampak negatif dari stres, diantaranya adalah berbagai
penyakit seperti hipertensi dan pendarahan ulkus, serta gejala psikopatologis seperti depresi
dan anxiety.
Jimad (2010) mengutip penjelasan Dunham (1992) dalam Wang, Lin, Cao
(2009:460) mendefinisikan stres sebagai proses perilaku, emosional, mental dan reaksi
Metode Penelitian 12
psikis yang berkepanjangan, meningkat atau tekanan baru yang lebih besar dari
kemampuan seorang individu.
Dalam skripsi ini penulis membatasi stres hanyalah pada stres kerja (occupational
stress). Definisi stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dan karakteristik pekerja,
yang mana tuntutan pekerjaan melebihi kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menghadapinya (Ross & Altmaier, 1994 dalam Wikaningtyas, 2007). Definisi stres kerja
lainnya adalah suatu respon adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses
psikologi individu yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi
atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang
(Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam Indriyani, 2009).
Wikaningtyas (2007) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang
melibatkan interaksi antara pekerja dan lingkungan pekerjaannya, dimana terdapat
ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja. Penulis sependapat
dengan Wikaningtyas (2007) mengenai definisi stres kerja. Dalam penulisan skripsi ini stres
kerja merujuk pada definisi yang diberikan oleh Wikaningtyas (2007) tersebut.
b) Dimensi stres kerja
Radityo (2009) mengutip penjelasan Selye dalam Beehr, et al. (1992: 623)
mendefinisikan stres kerja sebagai berikut:
“Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors.
Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural
reaction”.
Kurang lebih artinya adalah respon yang diberikan seorang individu baik berupa
reaksi fisiologis, psikologis maupun perilaku terhadap stressor (pemicu stres) yang berasal
dari lingkungan kerjanya.
Jadi dimensi stres kerja ada dua yaitu stressor (pemicu stres) dan reaksi individu
atas stressor tersebut, baik reaksi fisiologis (fisik), psikologis maupun perilaku.
Dimensi stres kerja yang pertama yaitu pemicu stres (stressor), Wikaningtyas (2007)
mengutip penjelasan dari Ross & Altmaier (1994) dalam Rice (1999) membagi stressor
menjadi dua faktor utama yaitu faktor individu dan faktor lingkungan (organisasi atau
pekerjaan).
(1) Faktor individu, diuraikan menjadi:
(a) karakteristik pribadi
Misalnya adalah kepribadian/perilaku. Apakah seorang individu tersebut masuk
kategori Tipe A (berkepribadian suka terburu-buru, tidak sabaran agresif, suka
Metode Penelitian 13
kompetisi) ataukah masuk kategori Tipe B (tidak terburu-buru, sabar, tidak agresif,
tidak suka kompetisi), individu dengan Tipe A cenderung lebih mudah terken stres.
Contoh lain adalah kontrol diri, individu yang memiliki kontrol diri cenderung lebih
susah terkena stres dibandingkan individu yang tidak mempunyai kontrol diri.
Berbagai penelitian juga menyatakan bahwa gender juga berpengaruh terhadap
stres kerja, wanita lebih rentan terkena stres dibanding pria karena berbagai hal
antara lain peran ganda dan pelecehan di tampat kerja.
(b) respon/coping
Keberadaan dukungan sosial adalah contoh untuk kategori ini, dukungan sosial
dapat berupa dukungan kuantitatif, yaitu jumlah orang yang dapat membantu ketika
individu mengalami kesulitan; dan dukungan kualitatif, yaitu persepsi individu tentang
seberapa jauh hubungan antara individu dengan orang lain dapat memenuhi
kebutuhannya.
(2) Faktor Organisasi/Pekerjaan, diuraikan menjadi:
(a) Kondisi Kerja. Yang termasuk dalam kondisi kerja adalah:
a.1. Beban kerja yang berlebihan (work overload)
Beban kerja yang berlebihan dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif, beban dapat muncul ketika tuntutan fisik dari pekerjaan melebihi
kemampuan yang dimiliki oleh pekerja. Secara kualitatif, beban muncul ketika
pekerjaan terlalu kompleks atau sulit dan kemampuan teknis atau keterampilan
yang dimiliki oleh pekerja tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut.
a.2. Work underload
Work underload adalah suatu kondisi dimana pekerjaan dinilai tidak menantang
dan tidak menarik minat ataupun perhatian pekerja. Hal ini dapat terjadi karena
pekerjaan tidak menuntut digunakannya seluruh kemampuan yang dimiliki oleh
individu. Pengulangan atau repetisi pekerjaan, dimana pekerja harus
melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang kali, dapat menimbulkan
kebosanan dan lama-kelamaan menyebabkan stres kerja. Keadaan ini sering
disebut dengan assembly-line hysteria, dan sering kali terjadi pada orang yang
bekerja di bidang perakitan atau di suatu organisasi dengan birokrasi yang
rumit.
a.3. Kondisi lingkungan kerja yang tidak mendukung.
Kondisi kerja yang berbahaya juga dapat memicu stres kerja. Tempat kerja
yang bising adalah salah satu contoh keadaan yang dapat memicu stres kerja.
Metode Penelitian 14
Selain itu, penggunaan teknologi yang terbatas juga dapat memicu stres kerja
(Ross & Altmaier, 1994).
(b) Ambiguitas Peran.
Menurut Rice (1999), ambiguitas peran merupakan suatu hal yang sering
dikatakan berkaitan dengan stres kerja. Rice mengatakan bahwa ambiguitas peran
terjadi ketika individu tidak tahu apa yang diharapkan oleh perusahaan dari dirinya.
Selain itu, ambiguitas peran dapat dialami ketika terdapat ketidakjelasan tujuan dari
suatu pekerjaan, atau batas-batas tanggung jawab yang dimiliki oleh pekerja.
(c) Hubungan Interpersonal Di Tempat Kerja.
Menurut Rice (1999), hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan
suatu bagian yang penting dari kepuasan kerja. hubungan interpersonal dapat
membantu individu dalam menghadapi stres. Terdapat tiga jenis hubungan
interpersonal dalam tempat kerja (Ross & Altmaier, 1994), yaitu:
c.1. Hubungan dengan rekan kerja
Hubungan yang buruk dengan rekan kerja diasosiasikan dengan rasa
terancam pada individu. Selain itu hubungan yang buruk dengan rekan
kerja juga diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kepercayaan, saling
mendukung, dan keinginan untuk mendengarkan atau bersifat empatik.
Dikatakan juga bahwa hubungan yang baik dengan rekan kerja dapat
membantu individu dalam melakukan coping stres kerja.
c.2. Hubungan dengan atasan
Selain hubungan dengan rekan kerja, hubungan individu dengan atasan
juga memiliki pengaruh dalam dialaminya stres kerja. Sikap atasan yang
melibatkan individu dalam pengambilan keputusan dan memberikan
kesempatan bagi komunikasi dua arah dapat mengurangi kemungkinan
dialaminya stres kerja. Namun, dilain pihak, perilaku individu juga dapat
mempengaruhi dialaminya stres oleh atasan.
c.3. Hubungan dengan pelanggan atau klien
Kesulitan dalam komunikasi dengan klien atau pelanggan biasanya dialami
oleh orang yang pekerjaannya melibatkan pemberian jasa kepada klien,
seperti praktisi kesehatan dan pekerja sosial.
(d) Pengembangan Karir
Pada umumnya, pekerja memiliki suatu harapan dari pekerjaannya, seperti
dapat mempelajari berbagai hal baru, mengalami kemajuan yang tetap, serta
harapan akan pendapatan yang meningkat (Rice, 1999). Namun, terkadang hal
Metode Penelitian 15
tersebut tidak dapat dicapai oleh sebagian pekerja, sehingga dapat menyebabkan
stres kerja. Rice juga menambahkan, ketika harapan seseorang tidak dapat dicapai,
terkadang orang tersebut kehilangan sense of accomplishment dan kepercayaan diri.
Sehubungan dengan pengembangan karir, umpan balik tentang hasil kerja karyawan
dikatakan dapat meningkatkan kinerja dan motivasi, sebaliknya, jika tidak mendapat
umpan balik, potensi dialaminya stres kerja lebih tinggi bagi karyawan (Ross &
Altmaier, 1994).
(e) Struktur Organisasi.
Sering kali, pekerja mengeluh tentang adanya struktur yang kaku, politik yang
berlaku di tempat kerja, ataupun pengawasan yang kurang memadai dari
manajemen (Rice, 1999). Rice juga mengatakan bahwa kurangnya kesempatan
untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan serta kurangnya
dukungan atasan bagi kreatifitas pekerja dapat juga menimbulkan stres kerja. Ross
dan Altmaier (1994) mengatakan bahwa posisi atau tingkat yang diemban seseorang
dalam organisasi juga berperan dalam proses timbulnya stres kerja. Dalam hal ini,
karyawan yang memiliki posisi rendah dalam hierarki organisasi, lebih tinggi
kemungkinannya untuk mengalami stres kerja.
.
Beehr & Newman (1978) dalam Wikaningtyas (2007) menjelaskan dimensi jenis
reaksi individu dengan menggunakan istilah ‘gejala’. Lebih lanjut Wikaningtyas menukil
penjelasan mereka sebagai berikut:
1) Gejala Psikologis, yang dimaksud dengan gejala psikologis adalah masalah emosi dan
kognitif yang muncul dalam kondisi stres kerja. Yang termasuk dalam gejala psikologis
antara lain:
(a) kecemasan, ketegangan, rasa bingung
(b) merasa frustrasi dan marah
(c) penurunan efektifitas komunikasi
(d) kebosanan dan ketidakpuasan kerja
(e) kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kurang konsentrasi
(f) menurunnya self-esteem
2) Gejala Fisik, sedangkan yang dimaksud dengan gejala fisik adalah penurunan
kesehatan fisik secara gradual. Yang termasuk gejala fisik antara lain:
(a) peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan potensi terkena penyakit jantung
(b) peningkatan sekresi hormon stres, seperti adrenalin dan noradrenalin
(c) kelainan pencernaan, seperti kolitis dan ulkus.
Metode Penelitian 16
(d) kelelahan fisik
(e) masalah pernafasan
(f) kelainan kulit
(g) sakit kepala, sakit punggung, dan ketegangan otot
Menurut Ross dan Altmaier (1994), telah banyak penelitian yang menemukan
hubungan antara stres kerja dengan penyakit jantung dan masalah pencernaan.
3) Gejala Perilaku, Beberapa gejala perilaku yang timbul akibat adanya stres kerja juga
dikemukakan oleh Beehr dan Newman sebagai berikut:
(a) menunda dan menghindari pekerjaan serta perilaku absen
(b) kinerja dan produktifitas rendah
(c) peningkatan konsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang.
(d) agresi, pencurian atau perbuatan merusak.
Beehr dan Newman menambahkan bahwa terdapat gejala perilaku yang memiliki
dampak bagi organisasi. Stres kerja sering dikaitkan dengan penurunan kinerja, perilaku
membolos, dan kecenderungan kecelakaan. Karena stres, para pekerja menjadi lebih sedikit
terlibat dalam pekerjaan dan kehilangan rasa tanggung jawab atas pekerjaannya. Lebih
lanjut pekerja menjadi kurang perhatian terhadap organisasi serta rekan kerjanya. Salah
satu dampak akhir yang dapat terjadi adalah individu meninggalkan pekerjaannya.
Menurut Ivancevich dan Matteson (1980) dalam Indriyani (2009) menentukan
dimensi/indikator stres kerja adalah:
1) Beban kerja
2) Tuntutan/tekanan dari atasan
3) Ketegangan dan kesalahan
4) Menurunnya tingkat hubungan interpersonal
Selanjutnya dimensi menurut Ivancevich dan Matteson ini yang akan dipakai dalam
pengukuran stres kerja.
c) Pengukuran stres kerja
(1) Pengukuran stres kerja menggunakan kuesioner yang terdiri dari 4 item
pertanyaan untuk mengukur dimensi stres kerja menurut Ivancevich dan
Matteson yang akan dibagikan kepada responden (pegawai). (terlampir)
Pengukuran akan menggunakan skala likert (1 sampai 5). Dengan keterangan:
1 = sangat tidak setuju
2 = tidak setuju
3 = netral
Metode Penelitian 17
4 = setuju
5 = sangat setuju
(2) Wawancara (jika memungkinkan) untuk mendukung kuesioner. (terlampir)
3. Kinerja Pegawai
a) Definisi Kinerja
Jimad (2010) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil atas pekerjaan
yang dilakukan seseorang sesuai dengan ketentuan atau standar yang telah
ditetapkan oleh perusahaan. Menurut Cherrington (1994) dalam Indriyani (2009),
kinerja kerja menunjukkan pencapaian target kerja yang berkaitan dengan kualitas,
kuantitas dan waktu. Pencapaian kinerja kerja tersebut dipergunakan oleh
kecakapan dan motivasi. Kinerja kerja yang optimum akan tercapai jika organisasi
dapat memilih karyawan yang memungkinkan mereka dapat bekerja secara
maksimal.
Lebih lanjut Jimad (2010) menerangkan istilah kinerja berasal dari kata job
performance atau actual performance merupakan prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000 dalam vivi dan
Rorlen, 2007:53), penulis sepakat dengan Mangkunegara mengenai definisi kinerja
ini.
Sukses tidaknya manajemen SDM seringkali dikaitkan dengan tingkat kinerja
pegawai. Tingkat kinerja pegawai menjadi tolok ukur keberhasilan proses perekrutan,
pengembangan (diklat), penempatan, promosi/mutasi, kompensasi, hingga job
retirement SDM. Semakin tinggi kinerja pegawai (semakin mendekati standar yang
ditetapkan organisasi), maka semakin baik manajemen tersebut, demikian pula
sebaliknya.
b) Dimensi Kinerja
Kinerja karyawan menurut Prawirosentono (1999) mempunyai dimensi
sebagai berikut:
1) Tingkat absensi
2) Terlambat masuk kerja
3) Prestasi dan produktivitas menurun
4) Kualitas
5) Kuantitas
6) Ketepatan waktu
Metode Penelitian 18
7) Sikap
8) Efektivitas
9) Komitmen
Selanjutnya dimensi yang akan diukur dalam skripsi ini adalah poin 1,2,4,5 dan 6,
dengan alasan poin tersebut menurut penulis paling relevan untuk pengukuran kinerja
pegawai di objek penelitian.
c) Pengukuran Kinerja
(1) Menggunakan kuesioner (terlampir) yang menggunakan skala 1 sampai 5,
dengan keterangan:
1 = sangat kurang
2 = kurang
3 = cukup
4 = baik
5 = sangat baik
(2) jika memungkinkan akan dilakukan observasi untuk mendukung kuesioner.
Keterkaitan Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Stres Kerja
Penelitian yang dilakukan oleh Murtiningrum (2005) menemukan bahwa konflik
pekerjaan-keluarga memiliki pengaruh terhadap timbulnya stres kerja, Murtiningrum (2005)
menambahkan bahwa hasil penelitian ini mendukung temuan-temuan peneliti terdahulu
seperti: Kahn, et al dalam Thomas & Ganster (1995) dan Judge et al (1994).
Keterkaitan Stres Kerja dan Kinerja
Penelitian yang dilakukan oleh Indriyani (2009:108) menyatakan bahwa stres kerja
secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja perawat wanita di rumah sakit. Hal senada
juga diungkapkan oleh Selviana (2009) dalam Jimad (2010) yang menyatakan bahwa stres
kerja yang terdiri dari stres kerja fisik, stres kerja emosional, stres kerja intelektual dan stres
kerja interpersonal berpengaruh terhadap kinerja perawat di rumah sakit. Mirzatriana (2008)
dalam Jimad (2010) menyatakan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan
bidang keuangan PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat.
Keterkaitan Konflik dan Kinerja
Jimad (2010) menyatakan Konflik peran yang dihadapi seorang karyawan memiliki
dampak terhadap kinerja karyawan tersebut. Meski dalam beberapa kasus konflik dapat
Metode Penelitian 19
meningkatkan kinerja karyawan, namun pada umumnya karyawan yang memiliki konflik
umumnya tidak fokus dalam mengerjakan pekerjaannya, hal ini akan mempengaruhi kinerja
mereka.
Lebih lanjut Jimad (2010) menambahkan bahwa meskipun telah banyak dilakukan
penelitian tentang konflik dan kinerja, namun berbagai penelitian tentang pengaruh konflik
peran terhadap kinerja menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa peneliti yaitu
Bhuian et al (2005); Lusch dan Jawaorski (1991); Singh (1998) dalam Knight, Kim, dan
Crutsinger (2007:382) menemukan bahwa konflik peran memiliki pengaruh yang negatif
pada prestasi kerja dan lain-lain. Sedangkan Babin dan Boles (1996); Dubinsky et al (1992)
dalam Knight, Kim, dan Crutsinger, (2007:382) menemukan bahwa konflik menghasilkan
efek positif pada prestasi kerja. Bahkan Singh (1998) menyatakan bahwa tingkat konflik
peran moderat bisa merangsang beberapa orang untuk melakukan penjualan dan
meningkatkan kinerja mereka. Namun para peneliti sebagian besar setuju bahwa konflik
peran yang ekstrim akan mengurangi kinerja (Singh et al, 1994 dalam Knight, Kim, dan
Crutsinger, 2007:382).
F. Variabel dan Hipotesis
Dalam penelitian ini, Penulis akan menggunakan tiga jenis variabel, yaitu variabel
terikat, variabel bebas dan variabel intervening.Penjelasan variabel-variabel tersebut antara
lain:
1. Variabel independen (bebas) .
Variabel bebas, yaitu variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah konflik pekerjaan-keluarga.
2. Variabel dependen (terikat).
Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi variabel bebas dan menjadi perhatian
utama Penulis. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kinerja pegawai.
3. Variabel intervening (antara/mediasi)
Variabel mediasi atau intervening merupakan variabel antara atau mediating, yang
berfungsi memediasi hubungan antara variabel independent (predictor) dengan variabel
dependen (predictand)
Metode Penelitian 20
Model penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
X = variabel bebas; konflik kinerja-pegawai
Y = variabel terikat; kinerja pegawai
M = variabel intervening; stres kerja
Hipotesis yang penulis ajukan adalah:
H1: X berpengaruh positif terhadap M.
H2: M berpengaruh positif terhadap Y.
H3: X berpengaruh positif terhadap Y.
H4: M memediasi hubungan antara X terhadap M.
Hipotesis tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
Hipotesis awal tersebut akan diuji secara statistik dengan bantuan program aplikasi
statistik.
Metode Penelitian 21
G. Metode dan Prosedur
1. Instrumentasi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, penelitian ini akan menggunakan 3 variabel,
yaitu konflik pekerjaan-keluarga (variabel bebas), kinerja pegawai (variabel terikat) dan stres
kerja (variabel intervening). Penjelasan dari definisi operasional yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Definisi IndikatorKonflik Pekerjaan-Keluarga
Spector (1997) dalam Hartini (2009)
konflik antarperan (interrole conflict) dalam bekerja dan berkeluarga disebut juga dengan konflik kerja-keluarga (work-family conflict), yakni apabila tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan bertentangan satu sama lain
1. Work Interfering with Family (WIF)
2. Family Interfering with Work (FIW)
Netemeyer et al. (1996)
Stres kerja
Wikaningtyas (2007)
suatu keadaan yang melibatkan interaksi antara pekerja dan lingkungan pekerjaannya, dimana terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja
1) Beban kerja
2) Tuntutan/tekanan dari
atasan
3) Ketegangan dan kesalahan
4) Menurunnya tingkat
hubungan interpersonal
Ivancevich dan Matteson
(1980) dalam Indriyani (2009)
Kinerja karyawan
Mangkunegara (2000) dalam Vivi dan Rorlen (2007) dalam Jimad (2010)
prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya
1) Tingkat absensi
2) Terlambat masuk kerja
3) Kualitas
4) Kuantitas
5) Ketepatan waktu
Prawirosentono (1999) dalam
Indriyani (2009)
Dalam penelitian ini, untuk mengukur variabel, penulis menggunakan Skala Likert
yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi tentang fenomena
sosial. Penelitian ini akan menggunakan instrumen data berupa kuesioner, wawancara dan
observasi.
Model penelitian yang digunakan adalah melakukan pengujian analisis regresi
variabel intervening dengan metode kausal step untuk menjawab pertanyaan riset.
Metode Penelitian 22
2. Populasi, sampel atau responden yang dituju
Populasi pegawai adalah seluruh pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat,
baik auditor, jangkung ataupun PTT sejumlah 164 pegawai (tidak termasuk pejabat
struktural). Sedangkan, data sampel yang akan diambil untuk pembagian kuesioner adalah
sebanyak 117 peserta diklat dengan menggunakan rumus Slovin untuk menentukan jumlah
sampel.
Rumus Slovin : n = N/{1+(N x e2}
n = sampel
N = populasi
E = error level (diambil 5%)
Sementara itu, untuk responden wawancara, Penulis merencanakan untuk mewawancarai
sebanyak tujuh orang responden dengan asumsi wawancara akan dilakukan pada dua
minggu pertama waktu penelitian.
3. Pengumpulan data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer yang
dikumpulkan dengan metode pengumpulan data berupa:
a. Kuesioner, yaitu dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan yang bersifat tertutup
untuk memudahkan responden dalam memberikan penilaian. Kuesioner terdiri dari dua
bagian:
1. kuesioner untuk pegawai (konflik pekerjaan-keluarga: 12 item pertanyaan dan stres
kerja: 4 item pertanyaan)
2. kuesioner untuk atasan langsung (penilaian kinerja: 5 item pertanyaan)
(kuesioner terlampir)
b. Wawancara, dilakukan untuk menggali informasi atau keterangan yang berkaitan
dengan variabel penelitian, tetapi tidak tergali dalam kuesioner. Wawancara bersifat
semi terstruktur dan akan dilakukan terhadap beberapa orang responden dari
pegawai/pejabat struktural.
c. Observasi, untuk memperkuat data dari penilaian kinerja dengan cara observasi
absensi/keterlambatan kerja dan kuantitas pekerjaan yang diselesaikan pegawai.
4. Analisis Data
Data akan dianalisis dengan uji statistik deskriptif untuk menggambarkan data dalam
bentuk kuantitatif untuk mengetahui informasi tentang data dalam kuesioner. Uji analisis
regresi untuk variabel intervening menggunakan kausal step dilakukan dalam penelitian ini
Metode Penelitian 23
untuk melihat apakah terdapat pengaruh antar dimensi. Untuk pengujian analisis regresi
linier ini disertai dengan uji asumsi klasik, seperti uji normalitas atau menggunakan MSI, uji
heteroskedastisitas, dan uji multikolineraritas.
5. Mekanisme untuk memastikan kualitas riset (validitas dan reliabilitas)
Untuk mengukur ketepatan data kuesioner, Penulis akan melakukan uji validitas dan
reliabilitas. Pengujian ini akan dilakukan dengan bantuan aplikasi program statistik SPSS 20.
H. Keterbatasan Riset
Terdapat beberapa kondisi yang mungkin timbul dalam penelitian ini yang berada di
luar kendali Penulis, seperti:
1. Jangka waktu penelitian yang sempit;
2. Prosedur dan tata cara melakukan riset di objek penelitian kurang mendukung;
3. Jumlah pegawai kurang dari jumlah minimum sampel yang akan diambil karena
sedang melakukan pemeriksaan dsb.
I. Kontribusi Riset
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan manajemen BPK RI
Perwakilan Jawa Barat (SDM/Subauditorat dsb) dalam hal manajemen SDM.
II. RENCANA DAFTAR PUSTAKA
Indriyani, Azazah. 2009. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Stress Kerja Terhadap Kinerja
Perawat Wanita Rumah Sakit : Studi Pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah
Semarang. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Jimad, Habibullah. 2010. Konflik Pekerjaan-Keluarga, Stress dan Kinerja. Jurnal. Lampung:
Universitas Lampung.
Lathifah, Ifah. 2008. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Turnover Intentions
Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris pada Auditor
Kantor Akuntan Publik di Indonesia ). Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Murtiningrum, Afina. 2005. Analisis Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Stress
Kerja Dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi: Studi Kasus Pada
Guru Kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten Kendal. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Metode Penelitian 24
III. PENUTUP
A. Rencana Pelaksanaan Penelitian
Rencana mengenai kegiatan dan periode pelaksanaan penyusunan skripsi yang diperkirakan
oleh Penulis adalah sebagai berikut:
Rencana Januari 2013
Februari 2013
Maret 2013 April 2013 Mei 2013
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan Outline
Penyusunan BAB I
Penyusunan BAB II
Penyusunan BAB III
Penyusunan BAB IV
Penyusunan BAB V
Tahap Penyelesaian
B. Kontinjensi
Apabila dalam penyusunan skripsi ini Penulis menemui hambatan baik dalam hal
pengumpulan data maupun dalam pembahasannya, Penulis akan melakukan perubahan
terhadap rencana skripsi yang telah disusun ini. Perubahan tersebut dapat berupa
perubahan objek penelitian, perubahan metodologi penelitian, ataupun perubahan bagian-
bagian dalam rencana skripsi ini. Perubahan tersebut sebelumnya akan dikonsultasikan dulu
dengan dosen pembimbing dan dengan sepengetahuan lembaga.
Metode Penelitian 25
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Kuesioner konflik pekerjaan-keluarga
Petunjuk Pengisian:
Mohon Bpk/Ibu memberikan tanda silang (X) pada salah satu skala 1 sampai 5 yang tersedia pada
kolom di samping pertanyaan untuk menentukan seberapa setuju Bpk/Ibu mengenai kondisi-kondisi
berikut:
1 2 3 4 5
Sangat tidak setuju
Tidak setuju netral setuju Sangat setuju
Pekerjaan Mengintervensi Keluarga
(Work Interfering with Family-WIF)STS TS N S SS
1) Pekerjaan kantor mengintervensi kehidupan keluarga dan rumah tangga saya.
1 2 3 4 5
2) Tuntutan waktu pekerjaan kantor saya membawa kesulitan untuk mengurus rumah, keluarga atau tanggung jawab pribadi.
1 2 3 4 5
3) Sesuatu yang ingin saya lakukan di rumah tidak dapat dilakukan karena tuntutan dari pekerjaan kantor saya.
1 2 3 4 5
4) Pekerjaan saya menimbulkan stress yang membawa kesulitan untuk memenuhi kewajiban aktivitas keluarga.
1 2 3 4 5
5) Berkaitan dengan kewajiban terhadap perkerjaan kantor, saya ingin mengubah rencana untuk waktu beraktivitas bersama keluarga.
1 2 3 4 5
6) Tuntutan pekerjaan kantor saya membawa kesulitan untuk bersantai dengan keluarga di rumah.
1 2 3 4 5
Keluarga Mengintervensi Pekerjaan
(Family Interfering with Work- F I W)STS TS N S SS
1) Tuntutan keluarga saya atau suami (istri) saya mencampuri dan mengganggu kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan kantor saya.
1 2 3 4 5
2) Saya menunda melakukan sesuatu pekerjaan kantor karena tuntutan keluarga saya atau suami (istri) saya.
1 2 3 4 5
Metode Penelitian 26
Keluarga Mengintervensi Pekerjaan
(Family Interfering with Work- F I W)STS TS N S SS
3) Saya kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor karena tuntutan keluarga saya atau suami (istri) saya.
1 2 3 4 5
4) Kehidupan keluarga mengintervensi tanggung jawab saya dalam pekerjaan kantor seperti hadir tepat waktu, menyelesaikan tugas-tugas harian dan kerja lembur.
1 2 3 4 5
5) Tekanan/Stres keluarga mengganggu saya untuk melakukan kewajiban pekerjaan kantor.
1 2 3 4 5
6) Keluarga saya dan teman-teman saya mengurangi waktu yang akan saya pergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor
1 2 3 4 5
2. Kuesioner Stres Kerja
Stres Kerja STS TS N S SS
1) Saya merasa tidak cocok dengan beban kerja saya saat ini 1 2 3 4 5
2) Atasan saya terlalu penuntut, sehingga saya merasa tidak nyaman 1 2 3 4 5
3) Saya merasa tegang saat bekerja, sehingga sering melakukan kesalahan
1 2 3 4 5
4) Kondisi pergaulan di kantor kurang mendukung saya untuk bekerja 1 2 3 4 5
3. Kuesioner Kinerja (untuk atasan langsung)
Petunjuk Pengisian:
Mohon Bpk/Ibu memberikan tanda silang (X) pada salah satu skala 1 sampai 5 yang tersedia pada
kolom di samping kriteria untuk menilai kinerja karyawan, semakin baik kinerja karyawan nilainya
akan semakin tinggi:
Keterangan:
1 2 3 4 5
Sangat Kurang Kurang Cukup Baik Sangat Baik
Metode Penelitian 27
Misal :
KRITERIA PENILAIAN KINERJA PEGAWAI SK K C B SB
Tingkat absensi/ bolos kerja (jika pegawai sering bolos = kinerjanya buruk, maka nilainya makin kecil; misal 1 (sangat kurang)
Namun jika karyawan tidak pernah bolos = kinerjanya bagus, maka nilainya makin besar, misal 5 (sangat baik) dst
1 2 3 4 5
Nama Pegawai : ..................................................
KRITERIA PENILAIAN KINERJA PEGAWAI SK K C B SB
1) Tingkat absensi 1 2 3 4 5
2) Terlambat masuk kerja 1 2 3 4 5
3) Kesesuaian kualitas pekerjaan dengan standar organisasi 1 2 3 4 5
4) Kesesuaian kuantitas pekerjaan yang diselesaikan dengan target 1 2 3 4 5
5) Ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan 1 2 3 4 5
4. DAFTAR PERTANYAAN UNTUK WAWANCARA (STRES KERJA)
a) Apakah Bpk/Ibu merasa nyaman dengan kondisi kantor saat ini?
b) Apakah Bpk/Ibu merasa bahwa beban kerja Bpk/Ibu saat ini, terlalu berat/terlalu
membosankan?
c) Apakah rekan kerja/atasan/bawahan Bpk/Ibu mendukung/men-support kerja Bpk/ibu?
Metode Penelitian 28
top related