aids 1
Post on 15-Apr-2016
216 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk family retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam)
2.2. Tahapan dalam infeksi HIV
Terdapat 3 fase dalam infeksi HIV.
Pertama sekali adalah fase serokonversi akut. Dalam fase ini, infeksi
tersebut akan menghasilkan simpanan proviral. Simpanan ini terdiri daripada
sel - sel yang terinfeksi seperti makrofag dan ini melepaskan virus - virus
secara terus menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak
dan jumlah sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa
minggu sampai ke beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam,
limfadenopati, dan gatal - gatal.
Fase yang kedua adalah infeksi HIV asimptomatik. Pada fase ini, pasien
yang terinfeksi HIV tidak menunjukan gejala atau simptom untuk beberapa
tahun yang akan datang. Replikasi viral berlangsung dalam fase ini dan
respon imun terhadap virus masih aktif. Jumlah virus terus bertambah secara
stabil dan jumlah sel T-CD4 menurun.
Fase yang ketiga adalah AIDS. Penderita yang terinfeksi HIV dikatakan
menderita AIDS apabila terdapat kerusakan sistem imun yang sangat
menyolok sehingga bisa menimbulkan infeksi oppurtunistik. Secara
laboratorium diagnose AIDS jumlah sel T-CD4 kurang dari 200/μL. ( e-
medicine, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2.3. Patogenesis
HIV merupakan lentivirus, subgroup dari retrovirus. Ada dua jenis virus utama
yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah partikel ikosahedral bertutup (envelope)
dengan ukuran 100-140 nanometer. Inti virus terdiri dari untaian RNA serta enzim
reverse transcriptase, integrase dan protease yang diperlukan untuk proses
replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai
tonjolan - tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari
glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 berperan pada pengikatan HIV dengan
reseptor CD4 dari sel. GP41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel
host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA yaitu struktur pasang
basanya terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur – struktur
virusm yaitu gen gag, pol dan env. Selain itu, terdapat gen tambahan yaitu tat, rev
dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain
adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan
RNA virus. (Pathologic Basic of Disease)
Gambar 2.3.1. – Illustrasi skematik untuk struktur HIV-1 (dikutip dari buku
Pathologic Basic of Disease )
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3.2. – Genome untuk HIV (dikutip dari buku Harrison; Greene &
Peterlin)
Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada sel-sel yang mempunyai
molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T, monosit, makrofag dan sel
– sel dendritik yang lain. Gp120 yang merupakan reseptor permukaan virus akan
berikatan dengan CD4. Kemudian GP120 akan berinteraksi dengan koreseptor
yang tertanam dalam membrane sel dan terpapar dengan peptide dari Gp41 dan
mulailah terjadi fusi antara virus dan membrane sel. Setelah fusi, internal virion
core akan dilepaskan ke sitoplasma sebagain suatu kompleks ribonukleoprotein.
(Pathologic Basic of Disease)
Gambar 2.3.3. – Mekanisme HIV masuk ke sel ( dikutip dari buku Pathologic
Basic of Disease )
Universitas Sumatera Utara
HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang akan mengubah RNA virus
menjadi DNA. DNA ini akan memasuki inti sel host dan dengan bantuan enzim
integrase akan berintegrasi dengan DNA sel host dan membentuk provirus.
Setelah terjadi integrasi, DNA provirus mengadakan transkripsi dengan bantuan
enzim polymerase sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan
translasi dengan protein – protein structural sampai terbentuk protein mRNA.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membrane sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan
matang. (Pathologic Basic of Disease)
Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang berada
dalam sel – sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe regional dan
akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara lain merekrut
limfosi – limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan menyebabkan sel – sel
CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak. Monosit dan limfosit yang terinfeksi
akan menyebarkan virus ke seluruh tubuh. HIV juga dapat memasuki otak melalui
monosit atau melalui infeksi sel endotel. (Pathologic Basic of Disease)
Beberapa hari setelah infeksi HIV, akan terjadi limfopenia akibat penurunan
CD4 T dalam darah. Selama periode awal ini, virus – virus bebas dan protein
virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi dalam darah dan jumlah sel –
sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini, virus bereplikase secara
cepat dengan sedikit control dari respon imun. Kemudian setelah 2-4 minggu akan
terjadi peningkatan dramatis jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh
peningkatan jumlah sel CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon
imun terhadap virus. Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang
neutralising antibodi. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga
namun kadang – kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas
dan sel yang terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T.
Sel CD8 yang teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi
sejumlah sitokin terlarut yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel – sel
CD4 T tanpa menyebabkan lisis sel. Setelah itu, jumlah sel CD4 akan kembali ke
Universitas Sumatera Utara
kadar semula seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut, kebanyakan kasus
menunjukkan gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam,
letargi, mialgia dan sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati
dan ruam. (Pathologic Basic of Disease)
Setelah infeksi fase akut, terjadi keadaan asimtomatik selama beberapa tahun
walaupun jumlah CD4 menurun secara perlahan – lahan. Jumlah virus dalam
darah dan sel – sel perifer yang dapat dideteksi rendah. Penurunan jumlah CD4
dalam darah rata – rata 65 sel/ul setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem
imun tapi tidak bersifat laten dan masih dapat mengalami perbaikan terutama
dalam limfonoduli. Penurunan jumlah sel CD4 T selama infeksi HIV secara
langsung dapat mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh
sel CD4 T seperti hipersensitivitas tiper lambat, transformasi sel muda limfosit
dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik. Munculnya strain HIV yang lebih pathogen
dan lebih cepat bereplikasi pada host merupakan faktor utama dalam mengontrol
kemampuan sistem imun. Dikatakan juga bahwa jumlah dan fungsi sel T
sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4 menurun sampai < 200 sel/ul.
Karena sel – sel ini berperan dalam mengontrol sel yang terinfeksi virus dan
membersihkan virus pada tahap awal infeks sehingga dikemukakan hilangnya
aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan jumlah virus.
Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus sehingga tidak
dikenal oleh sel T sitotoksik. Rata – rata masa dari infeksi HIV sampai masa
AIDS adalah 8-10 tahun.
2.4. Etiologi dan Transmisi
HIV masuk tubuh manusia melalui darah, semen dan secret vagina serta
transmisi dari ibu ke anak. Terdapat tiga cara penularan HIV. Pertama sekali
adalah melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan
pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi iaitu meliputi 80 – 90%
total kasus sedunia. Kedua adalah dengan kontak langsung dengan darah, produk
darah atau jarum suntik. Hal ini termasuklah transfusi darah yang tercemar,
pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan penyalahgunaann narkoba dengan
Universitas Sumatera Utara
jarum suntik yang dipakai secara bersamaan. Kecelakaan tertusuk jarum pada
petugas kesehatan juga salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan
darah. Ketiga adalah transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada
bayinya, (selama proses kelahiran dan melalui ASI). (Sudoyo AW et al., Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam)
2.5. Diagnosis
Diagnosis untuk pesakit HIV adalah sama untuk mendiagnosa penyakit –
penyakit lain yaitu dimulai dengan anamnese. Harus ditanyakan adakah pesakit
tersebut berhubungan sex tanpa alat kontrasepsi dan adakah pesakit tersebut
mempunyai banyak teman sexual. Juga ditanyakan dengan siapa pesakit tersebut
membuat hubungan seks. Selain itu, harus ditanyakan sama ada pesakit tersebut
mempunyai kontak dengan darah yang tercemar iaitu adakah pesakit tersebut
pernah tercucuk jarum yang terinfeksi. Menanyakan riwayat keluarga juga penting
untuk mengetahui adakah pesakit tersebut mendapat HIV dari luar atau dari
ibunya. ( e-medicine, 2010)
Pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa infeksi HIV adalah tidak terlalu penting.
Hal ini karena tiada penemuan yang spesifik untuk infeksi HIV. Secara umum,
infeksi HIV akan menyebabkan limfadenopati di seluruh tubuh dan berat badan
yang menurun. Infeksi minor yang oppurtunistik seperti oral candidiasis yang luas
juga merupakan petunjuk awal untuk infeksi HIV. ( e-medicine, 2010)
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan laboratorium. Salah satu tes yang
dijalankan adalah tes antibodi HIV yaitu dengan menggunakan test enzyme-linked
immunoabsorbent assay ( ELISA ). Hasil tes yang positif berarti pernah terinfeksi,
bukan adanya kekebalan terhadap virus. Sensitivitas ELISA sebesar 98 – 100%.
Hasil positif ELISA harus dinkonfirmasi dengan Western Blot. Western Blot lebih
spesifik mendeteksi antibodi terhadap komponen antigen permukaan virus.
Spesifisitas Western Blot sebesar 99.6 – 100%. Hasilnya dinyatakan positif,
negative atau indeterminate. CDC merekomendasikan reaksi dengan dua dari
band berikut sebagai kriteria untuk hasil positif; p24, Gp41, Gp 120. Hasil
indeterminate dihasilkan dari reaksi nonspesifik sera HIV negatif dengan beberapa
Universitas Sumatera Utara
protein HIV. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial
selama 6 bulan sebelum menyatakan negatif. Untuk mendeteksi antigen virus
digunakan pemeriksaan PCR. ( Harrison, 2005)
• Gambar 2.5.1 – Algoritma dalam tes serologi untuk mendiagnosa infeksi HIV-1
atau HIV – 2. ( dikutip dari buku ajar Harrison )
Staging HIV adalah berdasarkan kepada manifestasi klinisnya,tetapi
pemeriksaan lab lain bisa membantu untuk memulakan pengobatan. Antaranya
adalah menghitung CD4 T sebagai indicator terhadap resiko untuk infeksi
oppurtunistik. Biasanya selepas serokonversi, jumlah CD4 akan menurun secara
perlahahan – lahan dan apabila CD4 menurun sehingga kurang dari 200/ul, ini
didefiniskan sebagai AIDS. Tes alternatif yang lain adalah menghitung virus
bebas pada pembuluh darah perifer. Tes ini disebut tes alternative karena tidak
terlalu tepat. Hal ini karena replikasi virus berlaku di kelenjar limfa dan bukannya
di pembuluh darah perifer. ( Harrison, 2005)
Terdapat juga tes – tes yang lain seperti kultur virus yang jarang digunakan
karena terlalu mahal. Biopsi kelenjar limfa juga bisa dilakukan. HIV DNA, RNA
dan proteinnya bisa dideteksi dengan teknik molekular dan dengan menggunakan
mikroskop elektron untuk melihat virions. ( e-medicine, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2.6. Terapi Farmakologi
Pengobatan infeksi HIV terdiri dari pengobatan terhadap virus dan pencegahan
terhadap infeksi oportunistik. Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi viral
load sebanyak mungkin dengan target <20-50 kopi/ml sehingga dapat
menghentikan atau memperlambat progresivitas selama mungkin, memperbaiki
status imun dalam segi kuantitas dan kualitas CD4, serta memperpanjang usia
hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan yang sekarang dianut adalah
pengobatan kombinasi tiga obat, yaitu terdiri dari dua nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI) dan satu protease inhibitor (PI) atau satu non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Ini adalah untuk mengontrol
replikasi virus dalam jaringan dan plasma serta memperbaiki sistem imun. Saat
memulai pengobatan anti retroviral adalah pada keadaan simptomatik AIDS dan
pada keadaan CD4 <200/mm3 dengan atau tanpa gejala klinis.
Obat golongan NRTI yaitu Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine
(ddL), Zalcitabine (ddC) dan lain – lain bekerja melalui fosforilasi interselluler
menjadi bentuk trifosfat dan bergabung ke DNA selanjutnya dapat menghambat
pemanjangan rantai RNA virus.
Obat golongan NNRTI seperti Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV) dan
Efavirenz (EFV) bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase melalui
ikatan dengan tempat aktivitas enzim. Obat ini dapat menghambat atau
menginduksi aktivitas sitokrom p450 sehingga dapat berinteraksi dengan obat –
obatan yang lain.
Obat golongan PI seperti Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV)
dan lain – lain bekerja dengan mencegah pelepasan polipeptida pasca translasi
menjadi protein virus fungsional. PI dapat menghambat sitokrom p450, dan ini
akan meningkatkan potensi interaksi dengan banyak obat. ( e-medicine)
Universitas Sumatera Utara
2.7. Terapi Non – Farmakologik
Terapi non – farmakologik terdiri daripada pencegahan penularan HIV. Ini
melibatkan 5 P’s iaitu Partners, Prevention of Pregnancy, Protection of Sexual
transmitted diseases, Practices, Past history of sexual transmitted disease. (CDC)
Metode yang sering digunakan adalah menggalakan orang menggunakan alat
kontrasepsi. Antara kontrasepsi yang sering digunakan adalah kondom. Selain itu,
menyarankan agar penderita untuk abstinen dan jika sudah berkawin,
menyarankan penderita dan pasangannya agar tidak berhubungan seks dengan
orang lain. (CDC)
Untuk pencegahan transmisi secara vertical, proses kelahiran haruslah
dilakukan secara pembedahan yaitu caesarean. Penyusuan bayi oleh ibu yang
menderita juga harus dielakkan. (CDC)
Universitas Sumatera Utara
top related