akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa …lib.unnes.ac.id/31869/1/3312412028.pdf · ke...
Post on 10-Jul-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
AKSEPTABILITAS DAN KAPABILITAS KEPALA DESA PEREMPUAN DALAM PEMERINTAHAN DESA
(Studi di Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal)
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
Oleh
Afdhalia Nurfitri Bestari
3312412028
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan ke
sidang panatia ujian skripsi pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Eko Handoyo, M.Si Puji Lestari, S.Pd., M.Si
NIP. 196406081988031001 NIP. 197707152001122008
Ketua Jurusan
Politik dan Kewarganegaraan
Drs. Tijan, M.Si
NIP. 196211201987021001
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan ke
sidang panatia ujian skripsi pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui
Dosen Penguji I
Drs. Sumarno, M.A
NIP. 19561010 1985031 003
Dosen Penguji II Dosen Penguji III
Dr. Eko Handoyo, M.Si Puji Lestari, S.Pd., M.Si
NIP. 196406081988031001 NIP. 197707152001122008
Dekan,
Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
NIP. 196308021988031001
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 2017
Afdhalia Nurfitri Bestari
NIM. 3312412028
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
“Only God can keep your heart, remember your God and God always remember
you.” (Afdhalia Nurfitri Bestari)
Persembahan
Seberkas cinta bertaburan dalam karya ini, yang ananda persembahkan untuk :
1. Ayahanda Rony Yudiyantoro RS, S.Sos dan Ibunda Eni Setiyawati yang telah
memayungi dan mendekap ananda dengan do’a dan titikan air mata serta cinta
kasih sayang yang tak pernah padam.
2. Adik Ryesendra Hadyan Adiwidya Wicaksono, adik sepupu Rizqy Andrian
Pramana, Sari Fitri Fatimah, Ramadhan Ar Rasyid, Maulyta Wiraasti,
Fernanda Dwi Aulia Fajar, Maulana Alfasyahrial, Mufajar Tyas Adityanto,
Bryant Pradananta Wirajjudha Nayakatama, Ryland Wirrajudha Natanegara,
Karen Aulia Rahmananta, Hanania Sekar Asmanda, Om, Bulik, terimakasih
telah menjadi penyemangatku.
3. Mbah Rochmad Sukardi, Mbah Utami, Mbah Slamet Riyadi, Mbah Sunarti,
Alm. Mbh Soetam, Mbah Chasanah dan segenap keluarga serta sahabat
Mukhamad Ali Afif, Mahmudah, Menik Fatullatifah, Regina Singestecia, Adi
Prayitno, Chandra Kartika Kusman, Arum Roudlotul Jannah terimakasih telah
menjadi pelangi yang mewarnai hidupku. Kehidupanku adalah bingkaian
warna cinta dari mereka semua.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Akseptabilitas dan Kapabilitas
Kepala Desa Perempuan dalam Pemerintahan Desa (Studi di Desa Mindaka
Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal)” dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat dukungan dan bimbingan
dari banyak pihak, maka perkenankanlah dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum selaku Rektor Universitas Negeri
Semarang yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di
UNNES hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. Moh. Solehatul Mustofa, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Drs. Tijan, M.Si Selaku Ketua Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah
memberikan kesempatan dan motivasi sehingga penulis dapat dengan
lancar menyelesaikan penyusunan skripsi.
4. Dr. Eko Handoyo, M.Si selaku dosen pembimbing I dengan sabar telah
memberikan pengarahan, masukan, bimbingan, motivasi dan semangat
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
vii
5. Puji Lestari, S.Pd, M.Si selaku dosen Pembimbing II dengan sabar telah
memberikan pengarahan, masukan, bimbingan, motivasi dan semangat
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6. Drs. Sumarno, M.A. selaku dosen penguji utama yang memberikan
pengarahan dan masukan pada saat ujian skripsi ini.
7. Bapak Ibu dosen Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu
Sosial yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan yang tak
ternilai harganya selama belajar di Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
8. Ibu Nur Yamah selaku Kepala Desa Mindaka yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk melaksanaakan penelitian sampai selesainya
penulisan skripsi dengan baik.
9. Masyarakat Desa Mindaka yang telah bersedia memberikan informasi
dalam penelitian ini. Sahabat-sahabatku Mukhamad Ali Afif, Mahmudah,
Menik Fatullatifah, Regina Singestecia, Adi Prayitno, Chandra Kartika
Kusman, Arum Roudlotul Jannah dan semua sahabat yang selalu berbagi
baik dalam suka maupun duka selama menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuanganku Ilmu Politik angkatan 2012 dan Jurusan
Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial terimakasih untuk
kobaran api semangatnya UNNES.
11. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu
terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
viii
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca khususnya dan
perkembangan pendidikan pada umumnya. Amin.
Semarang, Januari 2017
Penulis
ix
SARI
Bestari, Afdhalia Nurfitri. 2017. Akseptabilitas dan Kapabilitas Kepala Desa Perempuan dalam Pemerintahan Desa (Studi di Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal. Skripsi. Jurusan Politik Kewarganegaraan. Universitas Negeri
Semarang. Pembimbing Dr. Eko Handoyo, M.Si dan Puji Lestari, S.Pd, M.Si, 98
halaman.
Kata Kunci: Akseptabilitas, Kapabilitas,Kepemimpinan Perempuan, Kepala Desa Perempuan
Budaya patriarki yang berkembang di Indonesia dimana kaum laki- laki
lebih memiliki kekuatan untuk memimpin dan kaum laki- laki lebih mendominasi
dibanding kaum perempuan. Hal tersebut menimbulkan stereotip dimana
masyarakat menganggap perempuan itu lemah tidak bisa berfikir rasional serta
dipandang nomer dua. Untuk itu terjadilah diskriminasi perempuan di ranah
politik. Perempuan dianggap tidak layak dan tidak mampu sebagai pemimpin.
Karena itu perlu adanya kajian mengenai kepimimpinan perempuan dalam
penelitian ini. Tujuan dalam penelitian ini adalah : (1) Mengkaji akseptabilitas
kepala desa perempuan di dalam pemerintahan Desa Mindaka Kecamatan Tarub
Kabupaten Tegal. (2) Mengkaji kapabilitas kepala desa perempuan di dalam
pemerintahan Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
Fokus dalam penelitian ini adalah akseptabilitas masyarakat desa terhadap
kepala desa perempuan serta kapabilitas dari seorang kepala desa perempuan
sebagai pemimpin di Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi lapangan, dan
dokumentasi. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa akseptabilitas keberadaan pemimpin
perempuan sudah mulai diterima oleh masyarakat. Terjadinya realitas sosial
mengenai pemimpin perempuan khususnya di Desa Mindaka dijelaskan melalui
tiga momen dialektis dari Peter Berger, yaitu eksistensi, objektivitas, dan
internalisasi. Kapabilitas kepala desa perempuan dalam memimpin desanya
berasal dari pengalaman berorganisasi yang dimiliki serta gaya kepemimpinan
Kepala Desa Mindaka yang memfokuskan perhatiannya kepada transaksi
interpersonal antar pemimpin dengan masyarakat yang melibatkan hubungan
pertukaran pemilihannya dengan adanya organisasi masyarakat.
Saran yang diberikan untuk penelitian ini adalah: Kepada Masyarakat
Perempuan Desa Mindaka untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam
kegiatan keorganisasian agar menjadi perempuan yang aktif dan menciptakan
suasana baru dengan melahirkan pemimpin – pemimpin perempuan dari generasi
ke generasi. Kepada kepala Desa Mindaka perlu adanya tambahan kegiatan agar
menciptakan suatu yang erat antar pemerintahan Desa Mindaka dengan
Masyarakat dengan tujuan terciptanya kedekatan serta pemahaman secara tidak
langsung bahwa pemimpin perempuan juga mampu membangun desa.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN .................................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
PRAKATA .......................................................................................................... vi
SARI .................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
xi
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
1.5. Batasan Istilah ......................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
2.1. Landasan Konseptual ............................................................................... 10
2.2. Penelitian yang Relevan ........................................................................... 22
2.3. Kerangka Berfikir ................................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 32
3.1. Latar Penelitian ....................................................................................... 32
3.2. Fokus Penelitian ...................................................................................... 33
3.3. Sumber Data Penelitian ........................................................................... 33
3.4. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 38
3.5. Uji Validitas Data ................................................................................... 50
3.6. Metode Analisis Data .............................................................................. 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 58
4.1. Hasil Penelitian ....................................................................................... 58
4.1.1. Gambaran Umum Desa Mindaka ................................................ 58
4.1.2. Profil Kepala Desa Mindaka... .....................................................60
4.1.3. Akseptabilitas Kepala Desa Mindaka dalam Pemerintahan
Desa ................................................................................................ 69
xii
4.1.3.1. Keberterimaan Masyarakat terhadap Kepemimpinan Kepala
Desa Mindaka.......................................................................... 69
4.1.3.2. Pendapat Masyarakat yang Menolak Kepemimpinan
Kepala Desa Mindaka.............................................................. 73
4.1.4. Kapabilitas Kepemimpinan Kepala Desa Mindaka dalam
Pemerintahan Desa............................................................................ 75
4.2. Pembahasan ............................................................................................. 86
4.2.1. Akseptabilitas Kepala Desa Mindaka dalam Pemerintahan
Desa ................................................................................................. 86
4.2.2. Kapabilitas Kepala Desa Mindaka dalam Pemerintahan Desa
...................................................................................................... 90
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 95
A. Simpulan ............................................................................................... 95
B. Saran ..................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 97
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 99
xiii
DAFTAR BAGAN
Tabel 2.1 : Kerangka Berfikir .......................................................................... 31
Tabel 3.1 : Komponen dalam Analisis Data (Interaction Model) .................... 57
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Daftar Informan Kunci ................................................................... 35
Tabel 3.2 : Daftar Informan Utama .................................................................. 35
Tabel 3.3 : Daftar Informan Pendukung .......................................................... 37
Tabel 3.4 : Daftar Hasil Wawancara ................................................................ 46
Tabel 4.1 : Daftar RW Desa Mindaka .............................................................. 58
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. : Wawancara dengan Kepala Desa Mindaka (Nur Yamah) ........ 64
Gambar 4.2. : Wawancara dengan Bapak Wuswanto, S,Pd.............................. 70
Gambar 4.3. : Wawancara dengan Bapak Heru Setiyawan ............................... 71
Gambar 4.4. : Wawancara dengan Bapak Karmadi ........................................ 74
Gambar 4.5. : Papan Laporan Realisasi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa Mindaka ...................................................................................... 80
Gambar 4.6. : Pengaspalan Desa Mindaka RW 1 ............................................ 81
Gambar 4.7. : Pengaspalan Desa Mindaka RW 2 dan RW 3 ........................... 83
Gambar 4.8.: Pengaspalan Desa Mindaka RW 4 ................................................ 83
Gambar4. 9. : Pembangunan Makadam Desa Mindaka ...................................... 84
Gambar 4.10.: Pavingisasi Desa Mindaka RW 4 ............................................... 85
Gambar 4.11. : Draenase Desa Mindaka RW4 RT 2 .......................................... 86
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 99
INSTRUMEN PENELITIAN ............................................................................ 100
PEDOMAN WAWANCARA ............................................................................ 112
DAFTAR INFORMAN ..................................................................................... 115
FOTO DOKUMENTASI ................................................................................... 123
SURAT - SURAT ............................................................................................... 128
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada zaman kemajuan sekarang ini, para perempuan ikut serta mengambil
bagian dalam membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Kepemimpinan
perempuan merupakan fenomena kemasyarakatan yang berpengaruh dalam
pembagian kerja terhadap perkembangan corak dan arah kehidupan masyarakat.
Pembagian kerja yang demikian sejak dulu kala sudah ada, tetapi dalam
perkembangannya pembedaan itu lebih mengukuhkan dominasi salah satu pihak
terhadap pihak lain. Oleh karena itu sering dijumpai adanya satu kelompok
memainkan lebih dari satu peran, sedangkan kelompok lainnya tidak demikian.
Konstruksi sosial perempuan dan image kaum perempuan melahirkan
konsep stereotip dilihat dari berbagai sektor. Image yang kebanyakan merupakan
stereotip tentang perempuan akhirnya ”ditarik” ke dunia publik termasuk di dunia
politik bahwa perempuan “tidak layak memimpin, karena perempuan tidak
rasional dan tidak dapat mengendalikan emosinya”. Akhirnya timbul ketimpangan
gender di berbagai sektor (Astuti, 2011:16).
Pandangan tersebut bahkan mendapatkan legitimasi dari adanya ideologi
gender yang sudah dianggap baku oleh masyarakat. Menurut Astuti (2011: 16),
faktor utama yang menghambat kesempatan perempuan untuk terjun dalam dunia
politik yaitu pandangan stereotip bahwa dunia politik adalah dunia yang keras,
memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan membutuhkan pikiran-pikiran
2
cerdas, yang kesemuanya itu diasumsikan milik laki-laki bukan milik perempuan.
Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah penghuni dapur atau
domestik, tidak bisa berfikir rasional dan kurang berani mengambil resiko,
kesemuanya itu sudah menjadi stereotip perempuan. Apalagi dalam hal
memimpin atau menjadi seorang pemimpin di suatu wilayah atau desa.
Kegusaran laki-laki atas posisi yang dipersamakan dengan perempuan
nampak jelas pada pola relasi politik gender yang dikonstruksikan. Dominasi laki-
laki dalam tubuh privat rumah tangga maupun publik menjadi simbol superioritas
kekuasaan laki – laki pada ruang yang perempuan dianggap tidak mampu dan
tidak pantas menjamahnya. Namun ada hal yang unik ketika perempuan yang
menjadi pemimpin sebagaimana yang terjadi Desa Mindaka Kecamatan Tarub
Kabupaten Tegal.
Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada seorang pemimpin yang
berupa suatu sifat tertentu seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability),
dan kesanggupan (capability). Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan
(activity) pemimpin yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan (position)
serta perilaku pemimpin itu (Kaloh J, 2009). Fenomena perempuan terjun ke
dunia politik sebagai kepala desa memberikan motivasi yang berbeda dalam
konstruksi gender di Desa Mindaka. Perempuan mulai berani terjun ke dalam
ranah politik yang implikasinya menjadikan perempuan memiliki peran ganda.
Perempuan dianggap turut memiliki akses dalam memimpin dan mengontrol
pendayagunaan sarana prasarana sosial. Interpretasi progresif dari perempuan,
yang pada awalnya digambarkan sebagai sosok lemah, bodoh, dan dinomor
3
duakan menjadi insan yang dianggap memiliki kapasitas mumpuni bahkan dalam
ruang privat kehidupannya (domestik-publik).
Hadirnya kepala desa perempuan memungkinkan perempuan untuk turut
menunjukkan eksistensinya dalam dunia politik ditengah hegemoni kaum laki-
laki dengan bekal intelektual, profesionalitas dan keterampilan yang ada, meski
dalam rangkaian relasi sosialnya kepala desa perempuan masih terkungkung
dalam persepsi tradisional dan konservatif yang mengagungkan supremasi laki –
laki (kepala desa laki- laki) atas perempuan (kepala desa perempuan). Sehingga
keberadaannya bukan sebagai jatidiri yang independen, namun tetap bersandar
dan melengkapi peran laki - laki (kepala desa perempuan) dalam sebuah
kepemimpinan di desa.
Cara pandang masyarakat yang hegemonis ini, lebih menitikberatkan pada
penempatan kepala desa perempuan sebagai aktor sosial yang pasif, bukan sebagai
makhluk yang aktif, yang tidak begitu saja menyerah pada ketentuan struktur dan
kultur. Namun hal tersebut tidak dirasakan sebagai suatu sistem yang secara
langsung menekan dan men-subordinasikan perempuan, karena status dan peran
perempuan telah terbatasi oleh persepsi masyarakat yang dilingkupi oleh nilai -
nilai patriarkis.
Secara tidak langsung, perempuan yang berpolitik dianggap sebagai
kompetitor dalam proses pendayagunaan sarana prasarana sosial. Oleh karenanya,
interpretasi akseptabilitas dan kapabilitas kepemimpinan perempuan yang
dicondongkan kearah patriarkis menjadi sebuah “realitas objektif” yang harus
diterima oleh masyarakat meskipun harus melanggengkan ketimpangan gender
4
dalam relasi sosial yang ada. Apresiasi yang begitu rendah dan penghormatan
semu terhadap eksistensi kepala desa perempuan seakan menjadi hal yang wajar
oleh konsep kekuasaan dalam budaya patriarki. Seiring berkembangnya zaman
perempuan berpolitik muncul sebagai pemimpin perempuan merubah pandangan
khalayak tentang persepsi perempuan bahwa aktifitas perempuan tidak hanya
berada dirumah dan laki – laki beraktifitas diluar rumah. Munculnya wajah
perempuan di berbagai profesi semakin menguatkan eksistensinya di panggung
publik.
Perempuan yang terjun di dunia politik, pada umumnya diasumsikan
sebagai kaum marginal. Kepala desa perempuan memberikan suatu pandangan
konsep dari sebuah gaya kepemimpinan yang berbeda pada umumnya. Pemimpin
perempuan membuktikan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh perempuan tidak
kalah dengan kemampuan yang dimiliki oleh laki- laki. Oleh karenanya
perempuan mempunyai peran strategis dalam pencapaian bentuk kekuasaan
politik ketika dia memiliki prestasi dan ketrampilan yang mendukung
kompetensinya sebagai seorang pemimpin. Biasanya perempuan terkadang lebih
mencari garis aman dengan menduduki posisi yang tidak terlalu memiliki
tanggungjawab yang besar. Sama halnya dengan keikutsertaan perempuan untuk
maju menjadi pemimpin yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penelitian yang dilakukan oleh Partini dalam bukunya yang berjudul Bias
Gender dalam Birokrasi mengungkapkan bahwa sebagian besar PNS perempuan
tidak menginginkan menjadi orang teratas karena resiko yang di tanggung terlalu
berat. Pada lingkup DIY, jika ada perempuan yang menginginkan jabatan
5
struktural, lebih senang pada tingkat menengah kebawah, misalnya Kakanwil
(Kepala kantor wilayah), Kepala Dinas, dan semacamnya, karena resiko dan
tanggungjawabnya tidak seberat pimpinan atas. Hal ini menunjukan bahwa hanya
sedikit perempuan yang berambisi dan berani untuk menjadi seorang pemimpin.
Banyak cara yang ditempuh para perempuan untuk mengapresiasikan
kemampuannya dalam memimpin dunia kerja. Perempuan berpolitik
membuktikan bahwa dirinya tidak selemah dengan apa yang dipandang oleh
masyarakat selama ini. Desa yang dipimpin oleh seorang perempuan membuka
mindset kita terhadap suatu asumsi bahwa perempuan juga bisa menjadi
pemimpin rakyat tanpa mengesampingkan peranannya sebagai istri. Sebagaimana
yang terjadi di Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengambil judul
“Akseptabilitas dan Kapabilitas Kepala Desa Perempuan dalam Pemerintahan
Desa (Studi di Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal).
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana akseptabilitas Kepala Desa perempuan di dalam Pemerintahan
Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal?
2. Bagaimana kapabilitas Kepala Desa perempuan di dalam Pemerintahan
Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal?
6
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji akseptabilitas kepala desa perempuan di dalam pemerintahan
Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
2. Mengkaji kapabilitas kepala desa perempuandi dalam pemerintahan Desa
Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu politik khususnya mengenai kajian politik gender dan
konstruksi sosial dalam kaitan dengan akseptabilitas dan kapabilitas kepala
desa perempuan dalam pemerintahan desa.
2. Secara Praktis
A. Bagi Penulis
Penulis mendapatkan pengalaman serta mengetahui secara langsung
akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa perempuan dalam pemerintahan
desa di Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
B. Bagi Masyarakat
Memberikan sebuah deskripsi yang verstehen dan aktual mengenai urgensi
peran Kepala Desa Perempuan, sehingga diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pengetahuan bagi pemangku kebijakan dan masyarakat umum
untuk mencari sebuah solusi dalam mengatasi berbagai masalah, berupa
7
perlakuan diskriminatif dan peran gender seorang Kepala Desa Perempuan
dilihat dari aspek akseptabilitas dan kapabilitas yang dimilikinya.
C. Bagi Civitas Akademika
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan penelitian yang
sejenis dan menambah referensi mata kuliah terkait.
1.5. Batasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian dalam penelitian maka perlu diberi
penegasan istilah dalam batasan sebagai berikut :
1. Akseptabilitas
Akseptabilitas memiliki makna keterimaan, kecocokkan dan kepantasan.
Dalam hal ini, keikutsertaan perempuan dalam pilkada mengisyaratkan
akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik. Akseptabilitas perempuan dalam
jabatan publik setidaknya ditentukan oleh beberapa aspek. Pertama, perempuan
setidaknya telah memiliki ambisi personal, sebuah tahapan yang penting untuk
mendapatkan kekuasaan politik. Kedua, adanya peluang jabatan yang
memungkinkan perempuan muncul sebagai kandidat politik. Dalam konteks ini
perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa
mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Ketiga, dukungan organisasi
politik yang memungkinkan perempuan dicalonkan oleh partai politik. Dukungan
menjadi sangat penting untuk membantu perempuan memutuskan untuk
mendapatkan jabatan (Hayunta dan Wasono, 2011 : 37).
8
2. Kapabilitas
Kapabilitas adalah daya respon atau gabungan komponen yang sangat
berkaitan erat dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dan atau beradaptasi
dengan lingkungannya yang berubah. Jadi konsep kapabilitas menunjukkan
adanya kelenturan dan dinamis (flexibility and dinamic) dalam kemampuan.
Kapabilitas memiliki arti yang sama dengan Kompetensi, yaitu Kemampuan.
Namun pemaknaan kapabilitas tidak sebatas memiliki keterampilan (skill) saja
namun lebih dari itu, yaitu lebih paham secara mendetail sehingga benar benar
menguasai kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara mengatasinya (Yuni,
2010: 254).
3. Kepala Desa Perempuan
Kepala desa perempuan merupakan pimpinan penyelenggaraan
pemerintahan desa yang berjenis kelamin perempuan, yang memperoleh jabatan
sebagai pemimpin berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan
dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki
wewenang mendapatkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama
BPD. Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades)
oleh penduduk desa setempat (Mahmudi, 2011 : 7).
4. Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat
memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan
keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu
9
adanya Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan
pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda
pemerintahan berjalan dengan optimal Pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa
dan Perangkat Desa, yakni terdiri atas sekretaris desa dan perangkat lainnya
(Purwanti Iga, 2013: 3).
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Konseptual
2.1.1. Konsep Gender
Gender menjadi isu penting dan istilah yang sering diperbincangkan akhir-
akhir ini. Gender telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan
sekitar perubahan sosial dan pembangunan di Dunia Ketiga. Demikian juga di
Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat
maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan
masalah gender. Namun dari pengamatan, masih banyak terjadi kesalahpahaman
tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan
perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan.
Banyak orang yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan
dengan perempuan, sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju
kesetaraan dan keadilan gender hanya dilakukan dan diikuti oleh perempuan tanpa
harus melibatkan laki-laki. Kesalahpahaman tentang konsep gender ini sebagai
akibat dari belum dipahaminya secara utuh atau kurangnya penjelasan tentang
konsep gender dalam memahami sistem ketidakadilan sosial dan hubungannya
dengan ketidakadilan lainnya. Oleh karena itu untuk memahami konsep gender
harus dibedakan kata gender dengan kata seks (Dewi Rostyaningsih, 2010 : 2).
11
2.1.2. Pengertian Gender
Jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu.Jenis kelamin laki-laki memiliki penis, jakala (kala menjing) dan
memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan
memunyai alat menyusui.Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada jenis
kelamin laki-laki maupun perempuan, artinya secara biologis alat-alat tersebut
tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis
atau dapat dikatakan dengan kodrat (Fakih, 2012: 7-8).
Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran,
kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan
melaui konstruksi secara sosial maupun kultural (Nurhaeni, 2009). Sedangkan
menurut Oakley (1972) dalam Fakih (1999), gender adalah perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni
perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan
oleh manusia melalui proses sosial dan kultural.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Irwan (2009:46) mengatakan bahwa gender
adalah perbedaan konsep tentang kepatuhan bagi perempuan dan laki- laki dalam
segala hal yang lebih banyak dipengaruhi oleh adat, tradisi, dan lingkungan
tempat mereka tinggal. Analisis gender pada dasarnya memberikan makina ,
konsepsi , asumsi, ideologi, dan praktik hubungan baru antara kaum perempuan
12
dan laki- laki serta implikasinya terhadap aspek- aspek kehidupan lainnya yang
lebih luas. Gender menyangkut masalah sifat yang diberikan dan terwaris secara
kultural.
Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya struktur budaya
patriarkhal. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah
daripada laki- laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas
perempuan diberbagai bidang kehidupan (Muniarti, 2004:5)
2.1.3. Gender Stereotip
Menurut Astuti (2011: 3), konsep gender adalah suatu sifat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural,
karena konstruksi tersebut berlangsung secara terus-menerus dan dilanggengkan
dalam berbagai pranata sosial, maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum
laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya.
Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, nrimo,
manut, dan tidak neka-neka. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,
dan perkasa. Sebenarnya ciri atau sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan. Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan
perempuan tersebut dapat berubah dari tempat ke tempat lain, dari waktu ke waktu,
dan dari masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara
sifat laki-laki dan perempuan, bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke
tempat lain merupakan pengertian konsep gender.
Perbedaan gender terkadang mengakibatkan ketidakadilan gender pada laki-
laki maupun perempuan, salah satunya stereotip atau pelabelan negatif. Menurut
13
Astuti (2011:5), stereotip merupakan anggapan mengenai individu atau kelompok
atau obyek. Stereotip yang ada sampai saat ini adalah kerancuan membedakan
antara konsep gender dan kodrat, sayangnya stereotip ini lebih banyak yang
bersifat negatif untuk perempuan dan positif untuk laki-laki. Implikasi dari
pelabelan tersebut biasanya mengarah pada perbedaan peran-peran sosial baik
untuk laki-laki maupun perempuan. Terdapat peran-peran tertentu dalam
masyarakat, pendidikan, pekerjaan, yang hanya pantas untuk perempuan dan
sebaliknya juga ada yang pantas untuk laki-laki.
Menurut Inge Broverman (dalam Astuti, 2011: 85), penstereotipan
mengenai peran jenis kelamin yang berkaitan dengan ciri pribadi sangat luas
cakupannya. Sifat-sifat yang baik cenderung dilekatkan kepada laki-laki, sehingga
laki-laki mampu membentuk kelompok yang unggul, sementara ciri perempuan
membentuk kelompok yang hangat-ekspresif. Dengan demikian, perempuan
memiliki keterbatasan untuk bisa terjun ke dalam dunia publik, sehingga
perempuan merupakan nomordua atau tersubordinasi oleh laki-laki.
Subordinasi merupakan keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin yang lain, misalnya
keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dan karenanya tidak sederajad dengan
laki-laki (Astuti, 2011:90). Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau
emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat
munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting
(Fakih, 2012: 15).
14
2.1.4. Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan Bernard M. Bass (Bass,1990) menyatakan bahwa
pemimpin / leaders adalah agen perubahan, seorang yang bertindak untuk
mempengaruhi orang lain, sementara perbuatan kepemimpinan
/ Leadership terjadi apabila seorang anggota group melakukan modifikasi
terhadap motivasi atau kompetensi orang lain di dalam group tersebut. Pemimpin
merupakan orang yang mampu mempengaruhi orang-orang disekitarnya
khususnya bagian dari kelompoknya. Seorang pemimpin juga layaknya layar pada
perahu yang mampu membawa, mendorong, dan memanfaatkan daya disekitarnya
untuk menggerakkan anggota kelompoknya menuju visi dan misinya. Seorang
pemimipin adalah agen perubahan, dimana kelompoknya menaruh harapan-
harapan mereka pada sosok pemimpinnya. Seorang pemimpin harus mampu
merespon perubahan yang terjadi secara konstan dan memimpin organisasi
mereka, tidak sekedar bertahan hidup tetapi mentransformasi struktur, fungsi,
pendanaan, dan metode yang dapat mengantarkan organisasi secara efektif meraih
misinya (trautmann, 2007).
Kepemimpinan suatu daerah tertentu dan menunjukan eksistensinya, baik
sebagai pemimpin organisasi pemerintahan dalam mengayomi, melindungi, dan
melayani masyarakat maupun dalam memimpin organisasi administrasi
pemerintahan. Hal ini menunjukan urgensi dan eksistensi kepemimpinan Kapala
Daerah dalam mewujudkan tujuan organisasi administrasi pemerintahan daerah
dan peningkatan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan
keberhsilan tersebut, Kepala Daerah memerlukan kemampuan untuk menggerakan
15
dan mengarahkan setiap anggota masyarakat dan seluruh aparatur untuk meraih
keberhasilan tersebut.
Kemampuan manajerial Kepala Daerah yang tampak dalam merencanakan,
menggerakan, mengkoordinasikan, dan mengawasi serta mengendalikan kegiatan
di lingkungan organisasi pemerintah daerah sangat dipengaruhi oleh perilaku
(behaviour) Kepala Daerah sebagai kegiatan nyata yang dilakukan pemimpin di
dalam jabatannya. Konsep Yulk (1989) tentang perilaku kepemimpinan, yaitu
menyebarkan informasi (informing); merencanakan (planning); mengorganasir
(organizing); memecahkan masalah (problem solving); merumuskan peranan dan
tujuan (clarifying); memonitoring (controlling); memotivasi (motivating);
mencegah konflik dan mengembangkan kelompok (managing conflict and team
building); serta membuat jaringan (networking) (Kaloh J, 2009).
Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada seorang pemimpin yang
berupa suatu sifat tertentu, seperti: kepribadian (personality), kemampuan
(ability), dan kesanggupan (capability). Kepemimpinan adalah serangkaian
kegiatan (activity) pemimpin yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan
(position) serta perilaku pemimpin itu. Kepemimpinan adalah serangkaian
kegiatan (activity) pemimpin yang terkait dengan kedudukan (posisi) serta gaya
atau perilaku pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan adalah sebagai proses
antarhubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi (Kaloh J,
2009).
Pemimpin dan kepemimpinan, dua kata yang saling mempunyai keterkaitan
satu sama lain, ada batasan kriteria dari makna yang terkandung pada keduanya.
16
Yang satu (pemimpin) berhubungan dengan subyek (personalifikasi) dengan
segala kriteria dan batasan terhadap tampakan kemampuan atas dasar “kekuatan”
yang dimilki personal yang bersangkutan.
2.1.5. Kepemimpinan Transaksional
Burns 1978 Model kepemimpinan yang terjadi ketika pola relasi antara
pemimpin konstituen maupun antar pemimpin dengan elit politik lainnya yang
dilandasi oleh semngat pertukaran kepentingan ekonomi atau politik untuk
memelihara atau melanjutkan status quo.
1. Pengertian menurut Beycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995)
Kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang
pemimpin memfokuskan perhatiannya kepada transaksi interpersonal antar
pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran
tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klarifikasi sasaran, standar kerja
dan penghargaan.
Sehingga dapat diartikan, kepemimpinan transaksional sebagai cara yang
digunakan seseorang pemimpin dalam menggerakan anggotanya dengan
menawarkan imbalan atau akibat konstribusi yang diberikan oleh anggota kepada
organisasi.
2. Unsur –unsur kepemimpinan
A. Unsur kerja sama antara pengikut dan pemimpin yang bersifat kontraktual.
B. Unsur prestasi yang terukur.
C. Unsur reward atau upah yang dipertukarkan dengan loyalitas. (Burns 1978)
17
2.1.6. Kepemimpinan Transformasional
Kemampuan melakukan transformasi aneka sumber daya sekolah
dimutlakkan dalam kerangka kepemimpinan sekolah yang dikelola secara berbasis
MBS. Istilah transformasional berinduk dari kata to transform, yang bermakna
mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda
misalnya mentransformasikan visi menjadi realita, panas menjadi energi, potensi
menjadi aktual, laten menjadi manifes, dan sebagainya. Transformasional,
karenanya, mengandung makna sifat- sifat yang dapat mengubah sesuatu menjadi
bentuk lain, misalnya mengubah energi potensial menjadi energi aktual atau motif
berprestasi menjadi prestasi riil (Burns, 1978).
2.1.7. Kepemimpinan Perempuan
Pemimpin merupakan seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan
kelebihan, sehingga memunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan
dan membimbing bawahannya. Selain itu, seorang pemimpin mendapatkan
dukungan dari bawahannya dan mampu menggerakkan bawahan ke arah tujuan
tertentu (Kartono, 2011: 38). Kepemimpinan merupakan hubungan antar manusia,
yaitu hubungan memengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhtaatan para
pengikut atau bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin. Para
pengikut terkena pengaruh kekuatan dari pemimpinnya, dan bangkitlah secara
spontan rasa ketaatan pada pemimpin (Kartono, 2011: 2).
Menurut Kartono (2011: 57), kepemimpinan memiliki beberapa unsur,
yaitu:
1. Kemampuan memengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok.
18
2. Kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau orang lain.
3. Dapat mencapai tujuan organisasi kelompok.
Unsur-unsur kepemimpinan di atas dapat dihubungkan dengan penelitian
tentang persepsi masyarakat terhadap kepemimpinan kepala desa perempuan,
yaitu:
1. Kemampuan kepala desa perempuan dalam memengaruhi orang lain,
bawahan atau masyarakat.
2. Kemampuan kepala desa perempuan dalam mengarahkan tingkah laku
bawahan atau masyarakat.
3. Kemampuan kepala desa perempuan dalam mecapai tujuan kelompok
masyarakat.
Kepemimpinan perempuan, legitimasinya masih belum diakui oleh
masyarakat. Secara kuantitatif, perempuan merasa sulit untuk terjun di dunia
publik secara maksimal, ketika ada konstruksi atau budaya yang menganggap
bahwa perempuan mempunyai tanggung jawab mengurusi urusan domestik.
Misalkan gugatan sebagian kaum feminisme untuk mendapatkan suara tersendiri
(kuota perempuan) dalam pemilu. Oleh sebab itu, pandangan sebagian feminis
bahwa perempuan tidak seharusnya terjun dalam dunia publik disebabkan oleh
konstruksi sosial perlu dilihat dalam konteks filsafat budaya masyarakat dan
pandangan agama yang memengaruhi konstruksi sosial masyarakat (Faiqoh, 2003:
108).
Salenda (2012) menjelaskan bahwa, ulama pada zaman klasik memandang
kedudukan perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua, sehingga tidak
19
berhak untuk diangkat menjadi pemimpin. Akan tetapi, seiring perubahan zaman,
ternyata perempuan telah sanggup menunjukkan kemampuannya setara dengan
laki-laki. Karena itu, tidak ada alasan bagi ulama untuk memandang perempuan
sebagai bagian masyarakat yang termarginal. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi
masyarakat, sehingga persepsi mereka tentang perempuan mengalami perubahan
dengan menerima kepemimpinan perempuan. Semua itu, tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh perubahan dan pola hidup masyarakat terhadap perkembangan
pemikiran ulama dalam hukum islam khususnya mengenai kepemimpinan.
2.1.8. Konsep Konstruksi Sosial
Penelitian mengenai akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa perempuan
dalam suatu pemerintahan desa di Desa Mindaka Kabupaten Tegal ini mengacu
pada teori Berger dan Luckmann tentang konstruksi sosial, Menurut Peter
BergerTeori konstruksi sosial (sosial construction)merupakan teori sosiologi
kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini
terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan
dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan
adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui
memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada
kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-
fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (2013:1).
Konstruksi sosial menurut Berger dan Luckmann (2013) ialah suatu proses
pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek
diluar dirinya,yakni makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran
20
orang yang menjalani aktifitas kehidupan sehari- hari. Teori L. Berger memiliki
tujuan untuk mendefinisikan kembali pengertian pengertian kenyataan dan
pengetahuan dalam konteks sosial.
Berger dan Luckmann (2013:83) berpandangan bahwa kenyataan itu
dibangun secara sosial , dalam pengertian individu- individu dalam masyarakat
yang telah membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat
terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang
objektif melalui 3 (tiga) momen dialektis yang simultan, yaitu:
1) Eksternalisasi merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia
kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik . Proses
inimerupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu
dalam masyarakat.
2) Objektivitas merupakan hasil yang telah dicapai berupa realitas objektif
yang mungkin akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu
faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya.Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang
objektif atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
3) Internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam
kesadaran sedemikian rupa, sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh
struktur dunia sosial.
Teori konstruksi sosial atas Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menjadi
teori dalam penelitian ini. Berger dan Luckmann mengatakan bahwa realitas
21
dibentuk oleh realitas obyektif dan realitas subyektif. Berger dan Luckmann
mengatakan bahwa ada beberapa kekuatan dari konstruksi sosial. Pertama, bahasa
adalah hal penting untuk membawa realitas kedalam kehidupan masyarakat,
mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, konstruksi sosial dapat
menandakan bahwa terdapat kerumitan dalam satu realitas. Ketiga, konstruksi
sosial akan selalu hadir sesuai dengan masyarakat dan waktu. Konstruksi sosial
yang dilakukan oleh setiap manusia akan terus menerus memengaruhi dan
membentuk tingkah laku individu, sehingga realitas terlihat seperti sesuatu yang
sudah melekat pada manusia.
Konstruksi tersebut telah membuat kaum perempuan seperti kelompok yang
terpinggirkan, bahwa perempuan hanya pantas berada di ranah domestik dan tidak
layak terjun ke dalam ranah publik terutama bidang politik. Hal ini menyebabkan
terkekangnya perempuan sehingga mereka tidak dapat berkembang dan berkiprak
seluas – luasnya dalam ruang publik. Konstruksi ini memandang ketidakmampuan
perempuan bersaing dengan laki- laki sehingga untuk menjalankan peran diruang
publik dianggap tidak mampu. Hal ini mengakibatkan rendahnya keterwakilan
perempuan.
Dalam Sastriyani (2009:69) telah dijelaskan bahwa konsep gender adalah
suatu konstruksi sosial yang dibentuk karena adanya nilai budaya yang berkaitan
dengan peranan laki-laki dan perempuan . Oleh sebab itu, ketika nilai sosial
budaya memposisikan perempuan tersubordinasikan oleh laki- laki, secara
otomatis peranan sosial yang dimainkan oleh laki- laki dan perempuan menjadi
22
berbeda, sehingga menimbulkan dominasi laki- laki terhadap perempuan atau
eksploitasi terhadap perempuan dan sebagainya.
Seperti halnya konsep seorang perempuan telah dikonstruksi sama dengan
mengatakan bahwa perempuan itu sendirijuga dikonstruksi. Klaim bahwa entitas-
entitas itu diciptakan dari aktivitas manusia yang disengaja memang lebih kuat.
Dalam kasus perempuan, mudah saja mengetahui bagaimana perempuan bisa jadi
berubah haluansehingga dapat dikonstruksi. Konstruksi ini adalah salah satu
skenario yang masuk akal (namun sama sekali bukan sesuatu yang baru).
Sastriyani (2009:185) mengatakan bahwa dunia politik adalah dunia milik laki-
laki yang cara pandangnya selalu maskulin. Perempuan yang digambarkan
sebagai sosok yang halus dan lembut dianggap tidak cocok berada di zona politik
yang penuh intrik dan dipenuhi oleh aroma kecurangan, konspirasi
persekongkolan, dan hal- hal yang kejam. Konstruksi demikian yang
mengakibatkan kaum perempuan yang yang terjun ke bidang politik masih dapat
dihitung dengan jari. Akibatnya, kaum laki- laki menjadi pihak yang diuntungkan
karena mereka mendominasi wilayah politik di Indonesia.
2.2. Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (2004), Kurnia (2004), Partini
(2004), Ramli dan Hamid (2006), Situmorang (2011), Partini (2013). Penelitian
yang pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (2004) yaitu tentang
potret kuota perempuan di parlemen. Metode dalam penelitian Partini adalah
metode yang berdasarkan kajian teoritis, sedangkan fokusnya yakni jumlah posisi
23
perempuan yang ada di dalam struktur birokrasi parlemen khususnya keadilan
pengisian kuota perempuan tahun 2008 padakursi parlemen sebesar 30%.
Penelitian Ratnawati menggunakan konsep gender. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian Ratnawati adalah mengedepankan kesetaraan perempuan dalam kursi
parlemen dan partai, feminim transaksional.
Persamaan dalam penelitian Ratnawati dengan penelitian ini yaitu sama-
sama mengkaji keterlibatan perempuan di dunia publik dalam kesetaraan jumlah
kuota perempuan dalam kursi pemerintahan. Perbedaannya terletak pada metode
yang digunakannya, metode dalam penelitian Ratnawati yaitu metode yang
berdasarkan kajian teoritis, sedangkan metode dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Fokus penelitian Ratnawati dengan penelitian ini juga
berbeda, fokus dalam penelitian Ratnawati yakni posisi perempuan yang ada di
dalam struktur birokrasi khususnya dalam masalah pelayanan publik, sedangkan
fokus dalam penelitian ini adalah akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa
perempuan dalam pemerintahan desa. Konsep yang digunakan dalam penelitian
ini adalah konsep gender dilihat dari akseptabilitas dan kapabilitas serta
subordinasi perempuan, serta kepemimpinan perempuan yang didalamnya secara
tidak langsung terdapat unsur konstruksi sosial, sedangkan dalam penelitian
Ratnawati menggunakan konsep gender dilihat dari keterlibatan perempuan dalam
birokrasi lokal .
Penelitian kedua, penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (2004) yaitu
tentang perempuan dalam dunia public relations. Metode dalam penelitian Kurnia
adalah metode yang berdasarkan kajian eksploratif, sedangkan fokusnya yaitu
24
mengkaitkan peranan perempuan dengan PR dalam manejemen perusahaan.
Penelitian Kurnia menggunakan konsep gender. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian Kurnia adalah peranan dan status praktisi humas perempuan dalam
berbagai organisasi.
Persamaan dalam penelitian Kurnia dengan penelitian ini yaitu sama-sama
mengkaji keterlibatan perempuan di dunia publik. Perbedaannya terletak pada
metode yang digunakannya, metode dalam penelitian Kurnia (2004) yaitu metode
yang berdasarkan kajian eksplorasi, sedangkan metode dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif. Fokus penelitian Kurnia dengan penelitian ini juga
berbeda, fokus dalam penelitian Kurnia Yaitu mengkaitkan peranan perempuan
dengan PR dalam manejemen perusahaan, sedangkan fokus dalam penelitian ini
adalah akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa perempuan dalam pemerintahan
desa. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep gender dilihat
dari akseptabilitas dan kapabilitas dan subordinasi perempuan, serta
kepemimpinan perempuan yang didalamnya secara tidak langsung terdapat unsur
konstruksi sosial, sedangkan dalam penelitian Kurnia menggunakan konsep
gender dilihat dari keterlibatan perempuan dalam dunia PR (Public Ralation).
Penelitian ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Partini (2004) yaitu
tentang potret keterlibatan perempuan dalam pelayanan publik di era otonomi
daerah. Metode dalam penelitian Partini adalah metode yang berdasarkan kajian
teoritis, sedangkan fokusnya yakni posisi perempuan yang ada di dalam struktur
birokrasi khususnya dalam masalah pelayanan publik. Penelitian Partini
menggunakan konsep gender. Hasil yang diperoleh dalam penelitian Partini
25
adalah mengedepankan keterlibatan perempuan dalam birokrasi lokal, yaitu:
feminim-maskulin, feminim transaksional, maskulin transformasional dan
transaksional-transformasional.
Persamaan dalam penelitian Partini dengan penelitian ini yaitu sama-sama
mengkaji keterlibatan perempuan di dunia publik. Perbedaannya terletak pada
metode yang digunakannya, metode dalam penelitian Partini yaitu metode yang
berdasarkan kajian teoritis, sedangkan metode dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Fokus penelitian Partini dengan penelitian ini juga berbeda,
fokus dalam penelitian Partini yakni posisi perempuan yang ada di dalam struktur
birokrasi khususnya dalam masalah pelayanan publik, sedangkan fokus dalam
penelitian ini adalah akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa perempuan
dalampemerintahan desa. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
konsep gender dilihat dari akseptabilitas dan kapabilitas dan subordinasi
perempuan, serta kepemimpinan perempuan yang didalamnya secara tidak
langsung terdapat unsur konstruksi sosial, sedangkan dalam penelitian Partini
menggunakan konsep gender dilihat dari keterlibatan perempuan dalam birokrasi
lokal .
Penelitian keempat, penelitian yang dilakukan oleh Ramli dan Hamid
(2006) yaitu tentang gaya kepemimpinan wanita dan hubungannya dengan tahap
motivasi guru Sekolah. Metode dalam penelitian Ramli dan Hamid adalah metode
yang berdasarkan kajian kuantitatif deskriptif, sedangkan fokusnya yaitu meninjau
persepsi guru terhadap gaya kepimpinan wanita dan juga hubungannya dengan
tahap motivasi guru di sekolah-sekolah menengah. Penelitian Ramli dan Hamid
26
menggunakan konsep gender dan gaya kepemimpinan. Hasil yang diperoleh
dalam penelitian Ramli dan Hamid adalah Mengerti persepsi guru – guru di
sekolah menengah berdasarkan gaya kepemimpinan perempuan yakni kepala
sekolah di sekolah menengah dilihat dari persepsi hubungan kereja dari anggota
secara relevan.
Persamaan dalam penelitian Ramli dan Hamid dengan penelitian ini yaitu
sama-sama mengkaji keterlibatan perempuan sebagai pemimpin. Perbedaannya
terletak pada metode yang digunakannya, metode dalam penelitian Ramli dan
Hamid yaitu metode yang berdasarkan kajian kuantitatif deskriptif, sedangkan
metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Fokus penelitian
Ramli dan Hamid dengan penelitian ini juga berbeda, fokus dalam penelitian
Ramli dan Hamid yaitu meninjau persepsi guru terhadap gaya kepimpinan wanita
dan juga hubungannya dengan tahap motivasi guru di sekolah-sekolah menengah,
sedangkan fokus dalam penelitian ini adalah akseptabilitas dan kapabilitas kepala
desa perempuan dalam pemerintahan desa. Konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah konsep gender dilihat dari akseptabilitas dan kapabilitas dan
subordinasi perempuan, serta kepemimpinan perempuan yang didalamnya secara
tidak langsung terdapat unsur konstruksi sosial, sedangkan dalam penelitian Ramli
dan Hamid menggunakan konsep gender dan pemimpin perempuan dilihat dari
hubungan antara pemimpin perempuan perempuan dengan anggotanya secara
relevan dalam lingkup sekolah menengah.
Penelitian kelima, penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2011) yaitu
tentang gaya kepemimpinan perempuan. Metode dalam penelitian Situmorang
27
adalah metode yang berdasarkan kajian teoretis, sedangkan fokusnya yaitu
menemukan model gaya kepemimpinan yang khas perempuan. Penelitian
Situmorang menggunakan konsep gender dan gaya kepemimpinan. Hasil yang
diperoleh dalam penelitian Situmorang adalah karakteristik pekerjaan dan gaya
kepemimpinan perempuan terbentuk menjadi empat gaya kepemimpinan, yaitu:
feminim-maskulin, feminim transaksional, maskulin transformasional dan
transaksional-transformasional.
Persamaan dalam penelitian Situmorang dengan penelitian ini yaitu sama-
sama mengkaji kepemimpinan perempuan. Perbedaannya terletak pada metode
yang digunakannya, metode dalam penelitian Situmorang yaitu metode yang
berdasarkan kajian teoritis, sedangkan metode dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Fokus penelitian Situmorang dengan penelitian ini juga
berbeda, fokus dalam penelitian Situmorang yaitu menemukan konsep gaya
kepemimpinan yang khas perempuan, sedangkan fokus dalam penelitian ini
adalah akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa perempuan dalam pemerintahan
desa. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep gender dilihat
dari akseptabilitas dan kapabilitas dan subordinasi perempuan, serta
kepemimpinan perempuan yang didalamnya secara tidak langsung terdapat unsur
konstruksi sosial, sedangkan dalam penelitian Situmorang menggunakan konsep
gender dan gaya kepemimpinan.
Penelitian keenam, Partini (2013) melakukan penelitian yang berjudul Glass
Ceiling dan Guilty Feeling sebagai Penghambat Karir Perempuan di Birokrasi.
Penelitian Partini menggunakan metode penggabungan antara kuantitatif dan
28
kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bireuen dan Aceh Tengah. Fokus
dalam penelitian Partini adalah faktor-faktor yang menyebabkan belum
terbukanya akses untuk menjadi pejabat. Hasil penelitian Partini menunjukkan
perasaan ambigu, kurang percaya diri, dan kurangnya dukungan lingkungan sosial
yang disebabkan karena dominasi dari kultur dan struktur menguatkan fenomena
glass ceiling. Rendahnya akses perempuan dalam jabatan strategis akan
berdampak pada kualitas kebijakan publik yang dirumuskan menjadi tidak sensitif
gender.
Persamaan antara penelitian Partini dengan penelitian ini adalah sama-sama
meneliti tentang tentang perempuan dalam birokrasi. Perbedaannya terletak pada
metode yang digunakan dan fokus penelitiannya. Metode yang digunakan dalam
penelitian Partini adalah metode penggabungan antara metode kualitatif dengan
metode kuantitatif, sedangkan penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Fokus dalam penelitian Partini yaitu faktor-faktor yang menyebabkan
belum terbukanya akses untuk menjadi pejabat, sedangkan fokus dalam penelitian
ini adalah akseptabilitas dan kapabilitas kepala desa perempuan dalam
pemerintahan desa . Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep
gender dilihat dari akseptabilitas dan kapabilitas perempuan, serta kepemimpinan
perempuan yang di dalamnya secara tidak langsung terdapat unsur konstruksi
sosial.
29
2.3. Kerangka Berpikir
Kerangka Berfikir “Akseptabilitas dan Kapabilitas Kepala Desa Perempuan
dalam Pemerintahan Desa (Studi Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten
Tegal)” yakni bertumpu pada akseptabilitas dan kapabilitas (penerimaan dan
kemampuan) kepala desa perempuan pada pemerintahan desa. Akseptabilitas dan
kapabilitas disini adalah sebuah kepantasan dan kemampuan yang muncul dari
seorang kepala desa perempuan karena pengaruh yang dimilikinya. Pengaruh ini
merupakan manifestasi dari konstribusi peran perempuan dalam ranah publik
seperti yang terjadi di desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal.
Masyarakat Indonesia tergolong memiliki angka keterlibatan perempuan
dalam dunia politik publik yang tergolong masih rendah. Hal ini sesuai dengan
budaya patriakhi pada masyarakat yang menganggap bahwa kaum laki-laki
merupakan makhluk utama, sedangkan bagi kaum perempuan adalah makhluk
yang dinomor duakan. Perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,
penyabar, irasional, keibuan, manut, dan tidak neka-neka, sedangkan sosok laki-
laki dikenal sebagai sosok yang kuat, rasional, bertanggung jawab, dan keras.
Dengan kata lain bisa melakukan kebebasan apapun. Persentase perempuan dalam
dunia publik masih di bawah laki-laki, sehingga perempuan dikesampingkan
posisinya dalam lingkup ruang publik. Hal ini menyebabkan kesenjangan gender
bagi perempuan, karena dengan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada perempuan
menyebabkan perempuan dianggap lebih pantas untuk terjun dalam dunia
domestik daripada dunia publik. Dunia publik dianggap dunia yang keras,
sehingga dianggap hanya pantas untuk laki-laki.
30
Di dalam pelayanan publik, budaya masyarakat setempat sangat besar
pengaruhnya terhadap budaya birokrasi di wilayah tersebut. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila ada asumsi yang berkembang yang menyatakan bahwa
birokrasi memperlihatkan citra laki- laki daripada citra kesetaraan. Struktur
birokasi bukan hanya memiliki pegawai dan pejabat struktural saja, tetapi juga ada
jabatan politik, terutama jabatan puncak seperti kepala daerah dan kepala dinas.
Mereka yang memegang jabatan jabatan politik inilah yang biasanya merumuskan
kebijakan. Sementara itu perempuan yang dapat menduduki jabatan puncak
jumlahnya masih sangat kecil.
Secara konseptual, birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang
mempunyai kemampuan sangat besar. Kekuatan yang dimiliki oleh adanya
fenomena kepala desa perempuan dalam pemerintahan desa ditinjau dari sudut
pandang akseptabilitas dan kapabilitas dengan memberikan tingkat partisipasi
masyarakat serta kepercayaan masyarakat terhadap adanya kepala desa
perempuan tersebut. Kepala desa perempuan tersebut dapat bersaing melihat
budaya patriarkhi yang kental menjadi sebuah terobosan untuk bangkit dan
membuktikan bahwa kemampuan dan kepantasan kaum perempuan tidak kalah
hebatnya dengan kaum laki-laki. Tidak hanya mampu tapi pantas menjadi sosok
Perempuan sebagai pemimpin, memunculkan persepsi atau anggapan masyarakat
terhadap kepemimpinan perempuan. Masyarakat memberikan penilaian terhadap
kepemimpinan perempuan yang meliputi kemampuan dalam memimpin dan
kemampuan untuk mencapai tujuan. Dari persepsi masyarakat terhadap
kemampuan memimpin dan mencapai tujuan ini, dapat dikaitkan dengan konsep
31
gender stereotip dan subodinasi perempuan, kepemimpinan perempuan serta
Konstruksi sosial.
Berikut adalah bagan dari kerangka berpikir yang digambarkan dalam
penelitian ini :
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
Budaya Patriaki Desa
Pemerintahan Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten T l
Kepala Desa Perempuan
Akseptabilitas kepala desa perempuan
dalam pemerintahan Desa Mindaka
Kapabilitas kepala desa perempuan
dalam pemerintahan Desa Mindaka Teori
Gender dan
Teori Konstruksi Sosial
Penerimaan Masyarakat terhadap Kepala Desa Perempuan Meningkat
95
BAB V
PENUTUP
5.1. SIMPULAN
1. Akseptabilitas kepala desa perempuan Desa Mindaka mengenai
kepemimpinan perempuan di Desa Mindaka dimulai dari ekspresi individu
untuk menunjukan diri, kemudian dibuktikan dengan hasil dan yang
terakhir adalah proses penilaian masyarakat yang menimbulkan kesadaran
diri (menerima atau menolak).
2. Kapabilitas kepala desa perempuan dalam memimpin desanya berasal dari
pengalaman berorganisasi yang dimiliki serta gaya kepemimpinan Kepala
Desa Mindaka yang memfokuskan perhatiannya kepada transaksi
interpersonal antar pemimpin dengan masyarakat yang melibatkan
hubungan pertukaran pemilihannya dengan adanya organisasi masyarakat.
Hal ini terlihat pada kemampuan kepala desa perempuan dalam mencapai
tujuan visi dan misi. Pelayanan administrasi, pengembangan fisik desa
serta terbentuknya suatu kegiatan yang positif bagi masyarakat Desa
Mindaka yakni dengan dibentuknya paguyuban dimana paguyuban
dibentuk agar keterbukaan antar masyarakat dan pemerintahan desa
terserap lengkap informasi serta keluh kesah warga tersalurkan.
96
5.2. SARAN
Saran yang dapat peneliti rekomendasikan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Kepada Masyarakat Perempuan Desa Mindaka untuk meningkatkan
partisipasi perempuan dalam kegiatan keorganisasian agar menjadi
perempuan yang aktif dan menciptakan suasana baru dengan
melahirkan pemimpin – pemimpin perempuan dari generasi ke
generasi.
2. Kepada kepala Desa Mindaka perlu adanya tambahan kegiatan agar
menciptakan suatu yang erat antar pemerintahan Desa Mindaka
dengan Masyarakat dengan tujuan terciptanya kedekatan serta
pemahaman secara tidak langsung bahwa pemimpin perempuan juga
mampu membangun desa.
97
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adi, Rianto. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Arkunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Astuti, Tri Marhaeni P. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas
Sosial.Semarang: Unnes Press.
Berger dan Luckmann. 2013. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta. LP3ES
Burns, James MacGregor. 2010. Leadership. United States of America. Hepper
Perennial.
Charles R Ngangi, Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial, Jurnal Vol 7, No
2,Mei 2011, h 1.
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Faiqoh. 2003. Nyai Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta: Kucica.
Fithri, Muta’afi, Konstruksi Sosial Terhadap Penderita Kusta, Jurnal Vol 03, No 3,
2015, h 2-3.
Hayunta dan Wasono.2011. Perempuan dalam Pemilukada.Jakarta. Kemitraan
bagi Tata Pemerintah di Indonesia
Kaloh, J.2009.Kepemimpinan Kepala Daerah. Jakarta. Sinar Grafika.
Kartono, Kartini. 2013. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Kepemimpinan
Abnormal itu?. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta :
Gramedia.
Lovenduski, Joni. 2008. Politik Berparas Perempuan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Mahmudi. 2011. Peran Ganda Perempuan dalam Pembangunan Desa Rembang,
Kebumen. UNNES. Skripsi: Tidak diterbitkan.
Miles, Matthew B dan A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
98
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
RemajaRosdakarya.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua, Perempuan Indonesia
dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: Indonesiatera.
Partini. 2013. Bias Gender dalam Birokrasi. Yogyakarta. Tiara Wacana
Partini. 2013. Glass Ceilling dan Guilty Feeling sebagai Penghambat Karir
Perempuan di Birokrasi. Jurnal Komunitas. Vol.5 No.2: 218-228.
Septianto.Marzuqo.2015.Nyai Lebe ; Otoritas Modin Perempuan Pada
Masyarakat Pesisir Jawa.UNNES.Skripsi: Tidak diterbitkan.
Situmorang, Nina Zulida. 2011. Gaya Kepemimpinan Perempuan.
JurnalProceeding PESAT. Vol 4. ISSN 1858-2559.
Suciptaningsih, Oktaviani Adhi. 2010. Partisipasi Perempuan dalam Lembaga
Legislatif di Kabupaten Kendal. Jurnal Komunitas, Vol. 2 No. 2: 66-73.
Supartiningsih. 2003. Peran Ganda Perempuan, Sebuah Analisis Filosofis Kritis.
Jurnal Filsafat, Jilid 33. Nomor 1: 42-54.140
Suparno. 1997. “Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan”.Yogyakarta.Kanisius.
Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Yuni.2010.Pemodelan Kapabilitas Organisasi terhadap Kinerja Ditinjau dari
Faktor Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Perilaku Politik dalam
Organisasi Studi Kassnpada Kelompok Perkebuanan Kelapa Sawit
Swasta.Vol 9.Hal 254.
top related