akulturasi budaya masa islam di indonesia.doc
Post on 16-Feb-2015
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SENI BUDAYA LOKAL SEBAGAI
BAGIAN DARI TRADISI ISLAM
1. Seni Bangunan
Masjid
1) Bentuk Bangunan
Kebanyakan masjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti pendopo yang
berbentuk bujur sangkar. Selain itu atap masjid berbentuk tumpang. Ini merupakan
perpaduan dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura. Atap ini
sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan
tetapi dalam Idlam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting
dapat dijadikan sebagai tempat sholat. Atap ini juga selalu ganjil, yaitu 3 atau 5
2) Manara
Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan. Menara merupakan salah
satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjidKudus dan banten saja
yang memiliki menara. Menara msjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti
candi sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa.
3) Letak Masjid
Selain bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki keunikan. Penemptan
masjid di Indonesia terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata letak macapat,
yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana (keraton) yang
emrupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan
majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid diletakkan
dekat dengan makam. Letak yang seperti ini terutama untuk makam raja-raja.
Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid
Kudus dan sebagainya.
Makam
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada
bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 1.2 makam Sendang Duwur
berikut ini.
Yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
1. Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
2. Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,
nisannya juga terbuat dari batu.
3. Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup
atau kubba.
4. Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam
dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada
yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi
bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
5. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan
biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
1. 3. Seni Ukir
Dalam agama Islam ada larangan untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia.
Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi masuk
zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada zaman ini
kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun sudah
disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola yang
diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit karang,
pemandangan dan garis-garis geometri. Huruf-huruf Arab juga ikut meramaikan tradisi
ukir yang masuk ke dalam pola. Pola-pola ini sering sekali digunakan untuk
menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya menghiasi makam-
makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja. Ukir-ukiran di
makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup. Di Indonesia ada masjid yang
memiliki ukiran samar dari zaman madya, yaitu masjid mantingan di Jepara.
Istana
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga
memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias,
maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi
dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).
Demikianlah contoh wujud akulturasi pada seni bangunan untuk selanjutnya simak
contoh wujud akulturasi yang berikutnya.
Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang
menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula
Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, misalnya
ragam hias pada gambar 1.3. ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang
distilir.
Ukiran ataupun hiasan seperti pada gambar 1.3., selain ditemukan di masjid juga
ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Untuk hiasan pada gapura
dapat Anda simak kembali gambar 1.2.
Kesusasteraan
kesusasteraan zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi
perkembangnya tidak sebesar kesusasteraan zaman purba (Hindu-Budha). Hal ini
dikarenakan tidak ada tempat khusus untuk melestarukannya seperti kesusasteraan
purba yang masih tersimpan rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada saat ini
sebagaian besar merupakan hasil gubahan baru. Hal ini menyebabkan kesusasteraan
zaman madya sulit diturutkan kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-
bagi menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian tersebut tidak dapat
dilakukan secara tegas krena suatu naskah dapat masuk dalam 2 golongan.
Kesusasteraan zaman madya tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan
dari kesusasteraan zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di Jawa.
Banyak gubahan-gubahan sastra purba berkembang di zaman madya. Gubahan-gubahan
sastra ini biasanya ditulis dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yangditulis
dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang ditulis dalam tembang disebut
syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf
Arab, sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga yang
menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan.
Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi :
a) Hikayat
Hikayat merupakan cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan krajaiban dan
kenehan. Tidak jarang pula hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah dan peristiwa-
peristiwa yang benar-benar terjadi.
Contoh : hikayat Raja-Raja pasai, Hikalyat Salasih, Hikayat Perak, Hikayat si MIskin,
Hikayat Hang Tuah.
b) Babad
Babad merupakan dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad
tokoh, tempat dan peristiwa hamper semuanya ada dalam sejarah, tetapi
penggambarannya dilakukan secara berlebihan.
Contoh : babad Tanah Jawi, babad Cirebon, Babad Giyanti, Babad Pakepung.
c) Suluk
suluk merupakan kitab-kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat
menarik karena sifatny pantheisme, yang menjelaskan tentang bersatuinya manusia
dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo lan Gusti). Beberpa pujangga yang menulis
suluk diantaranya adalah Ronggoearsito, Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dan Syaekh
Yusuf.
d) Kitab primbon
Kitab primbon memiliki kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang
kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan buruk, dan pemberian
makna pada suatu kejadian.
Contoh : Kitab primbon Bataljemur Adammakna, kitab primbon Lukman Hakim.
SENI BUDAYA LOKAL SEBAGAI BAGIAN DARI
TRADISI ISLAM
Kesenian
Di beberapa tempat di Indonesia terdapat bentuk-bentuk tarian yang berkaiatn dengan
bacaan sholawat dan dalam tarian biasanya dipengaruhi oleh tasawuf (paham sufi).
1. Debus
kesenian Debus erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus
merupakan kesenian bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata
gedebus (almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang
menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini
dimulai dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan
benda tajam ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari Debus ini
berkembang di Banten, Minangkabau dan Aceh.
1. Tari Seudati
Tari Seudati merupakan jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari
Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permaianan orang-orang besar.
Disebut sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh delapan
orang. Dalam tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang berupa sholawat.
1. Gamelan/ Wayang
Wayang dan alat musiknya sering disebut senbagai gamelan. Wayang merupakan
kebudayaan asli Indonesia. Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya
tidaklah musnah begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah
dan dimainkan menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan
penyebarannya cerita-cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada
merupakan sesuatu yang telah mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai
pnyebar agama di Jawa juga menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam.
Aksara
Dengan masuknya Islam, dalam bidang aksara juga ikut terpengaruhi. Huruf yang
berkembang adalah huruf Hijriah (aksara Arab). Di Indonesia huruf Arab tersebut
diolah menjadi lebih sederhana menjadi huruf Arab yang dipakaidi daerah-daerah
dengan percampuran menggunakan bahasa daerah setempat. Bunyi dari tulisan
menggunakan bahasa setempat (Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa), tetapi akasaranya
mengunakan aksara Arab. Secara keseluruhan tulisan yang demikian disebut dengan
Arab Gundul atau Arab Gondil. Sedangkan di Jawa dan Sunda disebut Arab Pegon.
Sampai saat ini huruf Arab Pegon masih digunakan oleh sebagain masyarakat di
Indonesia. Masyarakat penggunanya terutama berasal dari daerah pesisir dan kalangan
pesantren-pesantren tradisional. Penggunaan huruf atau bahasa Pegon itu misalnya saja
dalam kitab-kitab keagamaan dan matra-mantra.
Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal
Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini
ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah
berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan
menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti
Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-
nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari
pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai
tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal
8 Agustus 1633 M.
Akulturasi Bentuk Non-Fisik
Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan juga terdapat akulturasi antara kebudayaaan Islam dan kebudayaan
pra Islam. Bentuk akulturasi tersebut terlihat dalam penyebutan nama raja dan system
pengangkatan raja.
1. Penyebutan nama raja
Masuknya Islam menimbulkan perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suati negeri
pada masa pra Islam disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil
sultan, sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan
dengan nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jwa masih digunakan nama Jawa. Selain itu
muncul suatu tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara berturut-turut.
Untuk membedakan antara raja maka dibelakang nama ditambah dengan angka urutan,
misalnya Hamengku Buwono I,II,III dst.
1. Sistem pengangkatan raja
Walaupun Islam telah masuk, akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama
tidak ditinggalkan. Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh
pengangkatan raja diatur dalam permufakatan dengan hokum adapt. Tata caranya adalah
berdiri di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di
sebelah kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa peadang berdiri di sebelah
kiri. Hal ini hamper sama dengan di Jwa, system pengangkatan raja berdasarkan
permufakatan yang tidak melepaskan perabnan wali, hanya saja tidak menggunakan
rangkaian acara seperti berdiri di atas tabal.
1. Kedudukan Raja
Pada masa Hindu Budha raja merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga
melekatlah kata-kata “kultus dewa raja”. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak
berlaku lagi. Hal ini dikarenakan ajaran Islam menolak bahawa manusia sama dengan
Tuhan. Ajaran Islam menempatakan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan
seagung zaman Hindu Budha, melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia).
Penghapusan kultus dewa raja tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan
raja mutlak terhadap atas seluruh rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat
dan dapat menghubungkan dengan alam gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan
mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang. Seorang raja harus
memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di Jawa disebut dengan pulung atau
wahyu (cahaya nurbuat). Karena raj menduduki posisi sentral makan seluruh aparat
pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.
Filsafat / Tasawuf
Filsafat dapat diartikan sebgai pikiran untuk mencari kebenaran yang hakiki. Orang
Islam kemudian merumuskan kebenaran melalui pendektan tasawuf. Tasawuf dalam
perekembangan gama Islam adalah perlajaran yang berisi soal-soal ketuhanan, berkaitan
dengan hasrat manusia yang didorong oleh rasa cinta terhadap Tuhan sehingga mereka
selalu berusaha mendekati-Nya, yaitu dengan mencari hungan langsung melalui jalan-
jalan suci.
Bentuk-bentuk akulturasi dalam bidang Tasawuf yaitu ;
1. Aliran kebatinan
Usaha-usaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan ini disebut dengan Manunggaling
Kawula lan Gusti. Contohnya adalah tokoh sufi Syeh Siti Jenar. Ajaran-ajaranSyeh Siti
Jenar banyak diwarnai oleh unsure-unsur budaya pra Islam. Ajaran yang disampaikan
ditolak oleh para wali yang lain karena dianggap menyesatkan ajaran Islam.
1. Charisma wali
Wali sebagai penyebar agam Islam memiliki kelebihan-kelebihan hkarisma yang luar
biasa yang oleh masyarakat disebut sebagai kesaktian. Kelebihan para wali dalam
mengajarkan tasawuf merupakan daya tarik tersendiri bagi keberhasilan penyebaran
agama Islam di Indonesia.
Upacara-Upacara
Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu contoh institusi social yang terdapat dalam
masyarakat. Secara garis besar perniakahan diberbagai daerah di Indonesia sama, yaitu
adanya akad nikah dan walimahan (pesta).dalam perniakahan juga telah berakulturasi
dengan kebudayaan pra Islam. Di dalam ajaran Islam pernikahan selalu dipanjatkan
doa-doa yang menggunakan bahasa Arab. Walaupun demikian, atar daerah mempunyai
tradisi yang berbeda-beda dalam prosesi pernikahan. Misalnya saja di Sumatra, tradisi
tersebut diantaranya adalah diadakannya selamatan dengan berbagai macam sajian
makanan sebagai ungkapan syuikur kepada Allah. Pesta ini melibatkan dua kelompok,
yaitu pembaca doa dan pembaca Al-Quran. Dalam tradisi ini juga memadukan unsure-
unsur adapt, seperti perlambang dan kiasan dalam makanan yang disajikan. Selain itu
ada pula tradisi yang mengharuskan seorang wanita memegang daun berisi beras dalam
pernikanan . Daun berisi beras merupakan perlambang unsure alam. Tujuan ini
meruapkan persiapam dari proses kelahiran seorang anak.
Pernikahan juga terakulturasikan dalam budaya Jawa. Seangai pelengkap prosesi
pernikahan adapt Jawa diadakan siraman, selamatan, sesaji dan benda-benda
perlambang yang harus diikutkan dalam prosesi upacara perniakahan. Sebenarnya
selamatan dan sesaji merupakan warisan tradisi Hindu Budha yang masih berkembang
dalam masyarakat samapi saat ini. Selain itu dalam pakaian pengantinpun juga
mendapatkan akutasi dua budaya, antara Islam dan pra Islam. Akulturasi dalam
perniakhan tidak hany terjadi di Sumatra dan Jawa saja, akan tetapi juga terjadi di
berbagai daewrah di Indonesia yang tentunya memiliki tradisi yang berbeda-beda.
Kelahiran
Dengan masuknya budaya Islam ternyata juga berpengaruh pada proses kelahiran
seorang bayi. Sebagai contohnya kelahiran di Aceh terutama di daerah Gayo. Tradisi
menuju proses kelahiran dimulai sejak pernikahan, dimana seorang wanita harus
memegang daun berisi beras. Daun berisi beras merupakan perlambang unsure alam.
Maksud dari tradisi tersebut yaitu, ketika seorang ibu nantinya mengandung dan
melahirkan anak, maka secara tidak langsung telah memperkenalkan anak terhadap
dunia luar dan memohon keselamatan dari berbagai bahaya yang mungkin dating.
Sedangkan di Jawa, prosesi kelahiran dimulai dengan upacara mitoni. Upacara ini
dilakukan pada saat usia kandungan 7 bulan. Dalam upacara tersebut calon ibu
melakukan siraman untuk melindungi bayi dan ibunya dari bahaya. Sedangkan dalam
Islam, roh kehidupan masuk kedalam janin pada sat usia kandungan sekitar 4 bulan.
Akulturasi diantara keduanya terlihat dalam doa-doa yang dibacakan. Setelah bayi lahir,
masyarakat jawa baiasanya melakukan sepasaran dan selapanan.
Upacara ini dilakukan ketika bayi berumur sepasar (5 hari) dan selapanan (35 hari). Dan
sebagai ungkapan syukur atas kelahiran bayi, maka diadakan selamtan dengan
melakukan pembagian sedekah berupa nsi tumpeng dengan urapan sayuran. Selain itu
dikenal pula tradisi aqiqa. Tradisi ini bersumber pada ajaran Nabi Muhammad SAW
untuk menyembelih domba bagi anak yang baru lahir. Aqiqa dialksanakan ketika bayi
berusia 7 hari. Akan tetapi dengan adanya akulturasi tardisi aqiqa dalam pelaksanaannya
dilakukan bersaman dengan sepasaran dan selapanan. Hal ini berbeda dengan tradisi di
Sualwesi. Pada acara aqiqa dialnjutkan dengan upacara pemotongan rambut. Akuturasi
kelahiran sama halnya dengan pernikahan, yaitu setiap daerah memiliki tradisi yang
berbeda-beda yang telah tecapur dengan tradisi Islam.
Pemakaman / Kematian
Pemakaman dalam Islam tidak serumit tata upacara pemakaman di Indonesia. Di
Indonesia setelah jenazah dikuburkan maka akan diadakan selamtan. Selamatan dimulai
dengan hitungan hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000.
Selamtan hari ke-1000 (3 tahun) dinggap sebgai selmtan penutupan dan bebaslah
keluarga yang ditinggalkan. Tradisi ini sesungguhnya dari Hindu, yang masih dipegang
teguh dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Selamatan di hari ke-1000 sama
denagn upacara srada dalam agama Hindu. Akulturasi yang lain adalah kebiasaan
memasukkan jenasah dalam peti. Kebiasaan ini merupakan warisan zaman megalitikum,
yaitu kubur batui dan sarkofagus yang masih hidup sampai saat ini.
Sekaten
Di Jawa ada pula grebeg mauled Nabi dalam rangka memperingati hari kelahiran nabi.
Dalam acara tersebut dilantunkan nyanyian-nyanyianh, pji-pujian yang ditujuakan
kepada nabi Muhammad SAW. Selain itu dilakukan pula berbagai kegiatan yang
mengiringinya. Misalnya saja di Yogyakarta ditambahi dengan pertunjukan gamelan
dan pencucian benda-benda pusaka, ada pula acara gunungan, yaiatu membawa
makanan berbentuk gunug dalam tanpah besar dari alun-alun menuju masjid.
Sedangkan di Cirebon cara Maulud dilengkapi dengan upacara pembagian nasi yang
dibuat dari berswa yang ditumbuk, tetapi dikupas satu persatu sebanyak satu periuk
yang dimasak khusus.
Selamatan
Upacara selamatan dalam bentuik kenduri dilakukan masyrakat Jawa pada waktu
tertentu. Mislanya knduri pada tanggal 10 Muharram, Maulud nabi, Ruwahan (Nyadran)
dan pada hari Raya Idul Fitri. Kenduri/ selamtan dilakukan dengan beberapa anggota
masyarakat yang berkumpul sambil mengitari berbagai jenis makanan dan saji-sajian.
Pada waktu itu dibacakan doa menurut ajaran Islam oleh seorang modin kaum.
Sedangkan kenduri dan perelengkapan yang menyertainya bukan merupakan budaya
Islam.
Sistem Keagamaan
Proses akuturasi antara agama dan budaya Islam dan Pra Islam mengembangkan corak
kehidupan keagamaan yang khas.misalnya saja tradisi pemakaman dengan segala atribut
yang serba menonjol yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Islam juga tidak
mengenal kegiatan perkabungan dalam bentuk persedekahan. Diluar kewajiban untuk
memperlakukan jenasah, mulai dari memandikan samapai dengan upacara pemakaman,
tidak dikenal peringatan kematian.
Selain itu ada pula kebaisaan yang telah mendapat akulturasi, yaitu kebiasaan menabuh
bedug menjelang hari Raya sebagai tanda bahwa Hari Raya Idul Fitri telah dating.
Memukul bedug merupakan kebiasaan zaman dahulu, karena nenek moyang kita telah
memiliki kebiasaan memukul suatu media untuk memanggil atau mengumpulkan orang,
baik dalam keadaan bahaya maupun upacara-upacara keagamaan.
Ada pula kebiasaan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu wektu telu di
lombok. Mereka melaksanakan sholat tidak seperti orang muslim lainnya yaitu sholat 5
waktu, tetapi mereka melakukan sholat tiga waktu. Wektu telu ini merupakan Islam
ortodoks yantg telah bercampur dengan budaya kejawen dan hindu Bali. Olah karena itu
wektu telu dapat dipandang sebagai sekte yang berpegang pada kebiasaan tradisional
(adat) dan syariah.
top related