al-quran dan konservasi lingkungan · 2014 konsentrasi tafsir hadis program magister fakultas...
Post on 29-Jan-2020
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
i
AL-QURAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN
(Suatu Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah)
TESIS
Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi
Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama Islam (M.Ag)
Pembimbing
Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag
Dr. M. Suryadinata, M.A
Disusun oleh
Mamluatun Nafisah
NIM: 21140340000003
PRODI KONSENTRASI TAFSIR PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 1438/2017
-
gkjkjhkjhkhklh
-
v
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur alhamdulillah kepada Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan
judul Al-Quran dan Konservasi Lingkungan (Suatu Pendekatan Maqâsid al-
Syarî’ah), yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Konsentrasi Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Shalawat dan salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad saw., juga
kepada keluarga, para sahabat, dan pengikut setia hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dalam menyelesaikan tesis ini. Karena itu, pertama-tama saya ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pembimbing I, Dr.
Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag, yang dengan sangat teliti mengoreksi dan
berdiskusi mengenai substansi dari isi penulisan tesis ini, sehingga menghasilkan
suatu karya ilmiah yang layak. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada
pembimbing II, Dr. M. Suryadinata, M.A, yang memberikan penguatan argumen
dalam tesis ini. Juga kepada para penguji; Dr. Yusuf Rahman, M.A, Dr. Faizah
Ali Syibromalisi, M.A, Dr. Bustamin, M.Si. Terima kasih juga saya sampaikan
kepada pimpinan Program Magiter Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Atiyatul Ulya, M. Ag, dan Sekretaris Program Magiter Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs. Maulana, M.Ag.
-
vi
Penulisan tesis ini, harus saya akui, menjadi mungkin karena berkat
bimbingan yang selama ini saya terima dari sejumlah guru dan dosen, seperti;
Prof. Dr. M. Darwis Hude, M.Si, Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A, Dr. Syamsul
Bahri Tanrere, MA, dan Dr. Muhammad Ulinnuha Khusnan, M.A. Berkat mereka,
saya belajar banyak mengenai bagaimana membuat sebuah karya ilmiah yang
layak, melalui event-event Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), baik tingkat
Provinsi maupun Nasional. Kepada mereka saya sampaikan terima kasih.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman angkatan
2014 Konsentrasi Tafsir Hadis Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Mabrur, Azwar, mba Zukhruf, Helmi, Fasjud, Masrukhin,
dan kang Wahyudi atas dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.
Dengan penuh cinta dan kasih, penulis sampaikan terima kasih kepada
orang tua, Bapak M. Mughni Labib (Alm), Ibu Nur Hidayah, dan Bapak Asrori,
karena berkat bimbingan dan dukungannya, baik moril ataupun materil, tesis ini
bisa diselesaikan. Untuknya, saya berdoa agar Allah tetap memberinya kesehatan,
agar kuat beribadah dan mampu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya
dengan penuh kesabaran. Dan penghargaan yang terindah, tentu saya alamatkan
kepada Miftakhul Arif al-Mahbub, M.Pd, karena telah menjadi sumber dukungan,
terutama pada saat sulit dan berat sepanjang penulisan tesis ini. Kepadanya, tesis
ini saya persembahkan.
Ciputat, 14 Maret 2017
Penulis
Mamluatun Nafisah
-
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2012
yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Konsonan
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
alif tidak اdilambangkan
tidak dilambangkan
ba‟ b be ب ta‟ t te ث tsa‟ ts te dan es د jim j je ج (ha ẖ ha (dengan garis di bawah ح kha kh ka dan ha ر dal d de د dzal dz de dan zet ذ ra r er ر zai z zet ز sin s es س syin sy es dan ye ش (sad s es (dengan garis di bawah ص (dad ḏ de (dengan garis di bawah ض (ta ṯ te (dengan garis di bawah ط (za ẕ zet (dengan garis di bawah ظ
ع„ain
ʹ koma di atas menghadap ke
kanan
ghain gh ge dan ha غ
fa‟ f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ه
mim m em م
nun n en ى
wau w we و
-
viii
ha h ha ه
hamzah ` apostrop ء
ya‟ y ye ي
2. Vocal
Vocal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ fathah a a
َ kasrah i i
َ dammah u u
Vocal Rangkap
Tanda Nama Tanda Vocal Latin Keterangan
َ ي fathah dan ya ai a dan i
َ و fathah dan wau au a dan u
3. Maddah
Tanda Nama Tanda Vocal Latin Keterangan
َ ا fathah dan alif â a (dengan topi di atas)
َ ي kasrah î i (dengan topi di atas)
َ و dammah û u (dengan topi di atas)
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu “اه” dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
-
ix
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( َ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tandah syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata ة ر و ر ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah الضَّ
demikian seterusnya.
6. Tâ’ Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
tarîqah طريقت 1
al-jâmi„ah al-islâmiyyah الجاهعت اإلسالهيت 2
Wahdat al-wujûd وددة الىجىد 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
-
x
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya.
Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
-
xi
Kata Arab Alih Aksara
خ اذ ه ة اْل س dzahaba al-ustâdzu ذ
ر ج tsabata al-ajru ث ب ج اْل
ر يَّت ت الع ص م ر al-harakah al-„Asriyyah الذ
ه د أ ى َل إ ل ه إ َلَّ هللاأ ش asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
ال خ ل ل الص ن ا ه َل ى Maulânâ Malik al-Sâlih ه
م ن هللا ثِّر yu‟atstsirukum Allâh ي ؤ
ق ل يَّت ظ اه ر ال ع a-mazâhir al-„aqliyyah الو
ن يَّت ى al-âyât al-kauniyyah اآلي اث الن
ذ ر ح ب ي خ الو و ر اثالضَّ ر ظ ى al-darûrat tubîhu al-mahzûrât
-
xii
ABSTRAK
Mamluatun Nafisah, “Al-Quran dan Konservasi Lingkungan (Suatu
Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah)”, tesis Konsentrasi Tafsir Program
Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam perspektif al-
Quran tentang konservasi lingkungan. Penelitian ini berbentuk library research,
dengan sumber primer al-Quran dan kitab-kitab tafsir (klasik maupun
kontemporer). Sementara sumber sekundernya adalah buku-buku, jurnal, dan
artikel yang terkait dengan obyek penelitian ini. Metode yang dipakai adalah
metode maudu’i, dengan pendekatan maqasîd al-syarî’ah. Pendekatan ini
digunakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana teknis operasional
pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan berlebih-lebihan,
dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan.
Lingkungan merupakan sebuah lingkup di mana manusia hidup, baik yang
bersifat dinamis seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, maupun yang statis
seperti alam (tabî’ah) yang diciptakan Allah Swt. dan industri (sinâ’iyyah) yang
merupakan kreasi manusia. Dalam menyikapi lingkungan, al-Quran menggariskan
nilai dasar dan hukum praktis yang substantif dalam pengelolaannya, meliputi
prinsip yang mendasari pemanfataan potensi bumi dan prinsip pemeliharaannya.
Dalam rangka memanfatkan potensi bumi, al-Quran memerintahkan manusia
untuk melakukan ‘imârat al-ard,(huwa ansya’akum min al-ard wasta’marakum
fîhâ) yaitu menjadikan bumi atau lingkungan sebagai media mewujudkan
kemaslahatan hidup makhluk secara keseluruhan di muka bumi. Al-Quran
memerintahkan kepada manusia untuk menggali potensi bumi (fantasyirû fî al-ard
wabtaghû min fadl al-Allâh) agar dapat memberikan manfaat untuk
kehidupannya. Untuk itu, agar tetap memberikan kemaslahatan (sesuai dengan
tujuan penciptaannya), manusia dalam memanfaatkan potensi bumi, tidak
diperkenankan mengeksploitasinya secara sewenang-wenang, terutama sumber
daya umum yang tidak dimiliki perorangan (al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâtsin fî
al-kalâ’ wa al-mâ’ wa al-nâr). Aset-aset publik merupakan benda-benda umum
yang Allah berikan untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik untuk
memenuhi kebutuhan darûriyyah maupun hâjiyah-nya. Oleh karena itu aktivitas
privatisasi merupakan bentuk penindasan hak asasi manusia (HAM) atas sumber
daya umum, karena bertentangan dengan maqâsid al-syarî’ah yang
menitikberatkan pada hifz al-mâl.
Sementara prinsip pemeliharaannya, al-Quran menekankan pentingnya
memperlakukan lingkungan dengan baik (anna al-arda yaritsûhâ ‘ibâdiya al-
sâlihûn). Salah satu prinsip yang mendasari hubungan antara manusia dengan
alam adalah semua makhluk mempunyai status hukum muhtaram (wa mâ min
dâbbatin fî al-ard wa lâ tairin yatiru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum),
yakni dihormati eksistensinya dan dilarang membunuh ataupun merusaknya. Al-
Quran dengan sangat tegas melarang manusia melakukan kerusakan di bumi (wa
lâ tufsidû fi al-ardi ba’da islâhihâ), terlebih tindakan tersebut akan berdampak
pada menurunnya kualitas lingkungan, sehingga akan mempengaruhi kualitas
-
xiii
kehidupan manusia. Larangan ini menjadi jelas, jika dianalisis melalui pendekatan
maqâsid al-syarî’ah; pertama, hifz al-dîn (menjaga agama), artinya perilaku
perusakan lingkungan sangat mengancam keagamaan seseorang, baik dari segi
akidah maupun dalam pelaksanaan yang menjadi kewajibannya. Kedua, hifz al-
nafs (menjaga jiwa), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam
jiwa, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti
terpenuhinya kebutuhan air, udara, dan pangan. Apabila kebutuhan dasar tersebut
tidak terpenuhi, baik secara kualitas maupun kuantitas, maka kehidupan itu sendiri
akan terancam eksistensinya dan terganggu kesehatannya. Ketiga, hifz al-nasl
(melindungi keturunan), artinya perilaku perusakan lingkungan mengancam
keberlangsungan hidup generasi manusia, Keempat, hifz al-‘aql (menjaga akal),
artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam akal seseorang. Banyak
orang kehilangan kesadarannya setelah dilanda bencana. Kelima, hifz al-mâl
(menjaga harta), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam harta
seseorang. Singkatnya, segala prilaku yang mengarah kepada perusakan
lingkungan, semakna dengan perbuatan mengancam agama, jiwa, keturunan, akal,
dan harta.
Sebagai mandataris Tuhan di bumi (innî jâ’il fî al-ard khalîfah), amanat
pengelolaan lingkungan hendaknya dibaca dalam kerangka istikhlâf (tugas
kekhalifahan), yaitu mengantarkan alam memenuhi tujuan penciptaannya.
Sehingga, pengelolaan lingkungan yang dapat mendatangkan maslahah
(kebaikan), maka hal itu dibolehkan, bahkan diwajibkan. Sementara pengelolaan
yang dapat menghilangkan fungsi penciptaannya yaitu menimbulkan mafsadah
(kerusakan), maka hal itu dilarang, bahkan diharamkan. Pelakunya berhak
mendapat hukuman dan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Karena pada prinsipnya, lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun
tatanan masyarakat yang religius. Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu
terkait dengan lingkungan alam sekitar. Kewajiban memeliharanya berbanding
lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa,
keturunan, akal, dan harta). Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan
pemeliharaan lingkungan menjadi doktrin utama (usûl) syariat Islam.
Hasil penelitian ini menguatkan kesimpulan yang diberikan oleh beberapa
pengkaji sebelumnya, seperti Yusuf al-Qardawi yang berusaha membangun
sebuah paradigma fikih berbasis lingkungan yang sarat dengan akhlak. Hal senada
juga dilakukan oleh Ali Yafi dan Mudhofir Abdullah yang dengan argumennya
ingin menjadikan pemeliharaan lingkungan sebagai bagian dari maqâsid al-
syarî’ah dengan menambahkannya menjadi enam. Namun, yang perlu
digarisbawahi di sini, dalam penelitian sebelumnya tidak dijelaskan bagaimana
teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan
berlebih-lebihan dalam eksplorasinya.
-
xiv
ABSTRACT
Mamluatun Nafisah, "Al-Quran and Environmental Conservation (Maqâsid
al-Syarî'ah Approach)", thesis Concentration Interpretation Master Program
in the Faculty of Islamic Theology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, in the
Year 2017
This research aims to determine the Quran in depth perspective about
environmental conservation. This research is library research, the primary source
of the Quran and books of tafsir (classical and contemporary). While secondary
sources are books, journals, and articles related to the object of this research. The
method used is a method maudu’i, with the approach of maqasîd al-syarî’ah. This
approach is used in order to determine the extent to which technical and
operational utilization of the earth and the extent to which content is said to be
exaggerated, with more emphasis on welfare.
The environment is a sphere in which man lives, whether they are dynamic
such as humans, animals, and plants, as well as static as nature (tabî'ah) created
by Allah. and industrial (sinâ'iyyah) which is a human creation. In addressing the
environment, the Quran outlines the basic values and practical substantive law in
its management, including the principle underlying the utilization potential of the
earth and the principle of maintenance. In order to take advantage of the potential
of the earth, the Quran commands people to do the ‘imârat al-ard,(huwa
ansya’akum min al-ard wasta’marakum fîhâ) that made the earth or the
environment as a medium to realize the benefit of overall living creatures on
earth. The Quran commands human to explore the potential of the earth
(fantasyirû fî al-ard wabtaghû min fadl al-Allâh) in order to provide benefits for
life. Therefore, in order to keep providing the benefit (in accordance with the
purpose of its creation), man to harness the potential of the earth, are not allowed
to exploit it arbitrarily, especially common resources that are not owned by
individuals (al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâtsin fî al-kalâ’ wa al-mâ’ wa al-nâr).
Public assets are common objects that God has given for the benefit of humanity
as a whole, both to meet the needs of its darûriyyah and hajiyyah. Therefore,
privatization activity is a form of oppression of human rights on common
resources, as opposed to maqâsid al-syarî'ah which focuses on hifz al-mâl.
While the principle of its maintenance, the Quran emphasizes the
importance of treating the environment well (anna al-arda yaritsûhâ ‘ibâdiya al-
sâlihûn). One of the principles underlying the relationship between humans and
nature are all beings have legal status muhtaram (wa mâ min dâbbatin fî al-ard wa
lâ tairin yatiru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum), which honored its
existence and should not kill or hurt it. Quran very firmly forbidden them to
damage the earth (wa lâ tufsidû fi al-ardi ba’da islâhihâ), especially those actions
will have an impact on environmental degradation, so it will affect the quality of
human life. This prohibition became clear, when analyzed through maqâsid
approach al-syarî'ah; First, hifz al-dîn (keeping religion), meaning that the
behavior of the environment is very threatening a person's religious, both in terms
of faith as well as in the implementation of which it was his duty. Second, hifz al-
-
xv
nafs (keeping the soul), meaning that the behavior of the environment will be life-
threatening, especially in order to meet their basic needs, such as the requirement
for water, air, and food. When basic needs are not met, both in quality and
quantity, then life itself would be threatened their existence and their health
impaired. Third, hifz al-nasl (protecting offspring), meaning that the behavior of
environmental destruction threatening the survival of human generation, Fourth,
hifz al-'aql (keep sense), meaning that the behavior of the environment will
threaten the reasonable person. Many people lost consciousness after being hit by
the disaster. Fifth, hifz al-mâl (maintain the property), meaning that the behavior
of environmental destruction would threaten someone's property. In short, all the
behaviors that lead to destruction of the environment, to convey the same
threatening acts of religion, life, lineage, intellect, and property.
As the mandatory of God on earth (innî jâ’il fî al-ard khalîfah),
environmental management mandate should be read within the framework of
istikhlâf (task Caliphate), which deliver natural fulfill the purpose of creation.
Thus, environmental management can bring maslahah (goodness), then it is
permissible, even obligatory. While management can eliminate the function of
creation which cause mafsadah (damage), it is prohibited, even forbidden. The
culprit is entitled to penalties and sanctions in accordance with the level of errors
made. Because, in principle, the environment became the keywords in order to
build a religious community. As well as the rights and obligations are always
linked to the surrounding natural environment. Liabilities directly proportional to
the care of the maintenance of the ultimate goal of Islamic law (preserve religion,
life, lineage, intellect, and property). So it is not an exaggeration to say to preserve
the major doctrines (usûl) of Islamic law.
The results of this research reinforce the conclusions given by some
previous reviewers, such as Yusuf al-Qaradawi is trying to build an environment-
based paradigm of fiqh are loaded with character. The same thing was done by Ali
Abdullah Yafi and Mudhofir want to make the argument that the maintenance of
the environment as part of maqâsid al-syarî’ah by adding them to six. However,
that should be highlighted here, the previous studies have not explained how the
technical and operational utilization of the earth and the extent to which content is
said to be effusive in his exploration.
-
xvi
لخصالممملوءة النفيسة, "القرآن والحفاظ على البيئة: بحث من منظور مقاصد الشريعة"، أطروحة برنامج
شريف هداية اهلل في جاكرتا، سنة في جامعة الماجستير، تركيز التفسير في كلية أصول الدين7102.
يف مجع واعتمدت الباحثة .هدف ىذا البحث اىل معرفة القيم القرآنية للحفاظ على البيئةي
والكتب األخرى يادلعلومات عن طريق حبث مكتيب على كتب التفسري القدمية واحلديثة كمصدر أساسومن خالل البحث والتحليل . للبحثاينوغريىا كمصدر ث ًتاثالىت ذلا عالقة بادلوضوع كادلقاالت وال
.د الشريعةوعالج ادلوضوع على أساس مقاص ,منهج التفسري ادلوضوعي ققامت الباحثة بتطبيوجاء ىف القرأن .فيها ادلخلوق كاإلنسان واحليوان والنباتاتومفهوم البيئة ىي العامل اليت تعيش
عمارة األرض كوسيلة فأمر اهلل اإلنسان .ادلبادي واألحكام التطبيقي لالستفادة فيها واحلفاظ عليهاالكرمي .كتشافات الثروة الطبيعية واالستفادة منهاكما أمر اهلل اإلنسان القيام با ,ادلصلحة لإلنسان لتخقيق
دون حتطيط وخاصة فيما يا و اشعتغالل الثروة الطبيعية وللحفاظ على سالمة البيئة منع اهلل اإلنسان اس الكالء وادلاء والنار.. لذال تعتر ثالث يفحيتاج اليها اجلميع كالكالء وادلاء والنار )وادلسلمون شركاء يف
.وق االنساناخلصخصة إىدار حلقومبدأ من مبادئ االسالم الىت تنظم عالقة اإلنسان .وأكد القرأن أمهية معاملة طيبة مع البيئة قوق ادلخلوق األخرى اليت تعيش يف البيئة معا. فالقرأن حرم حبة امبحاذ نسانن تكون حقوق اإلا بالبيئة
طيبة للبيئة وتؤثر على حياة مستوى ال ريىا, ألنو يؤدى إىل اخنفاضماإلنسان القيام بإفساد األرض وتدأوال حفظ الدين مبعٌت أنو القيام بإفساد البيئة ,منها ,اإلنسان. والتحرمي لو عالقة واضحة مبقاصد الشريعة
اد البيئة سفا , فإنولو عالقة باعتقاده من القيم الدينية ادلفروضة على اإلنسان حفظها. ثانيا حفظ النفسإذا مل تتوفر ىذه .مثل ادلاء واحلواء والغداء لىت حتتاج توافر احلاجة الضروريةختالف مبدأ حفظ النفس ا
بسبب البيئة الفاسدة أصبح بقاء اإلنسان يف العامل ,رضة للهالك. ثالثا حفظ النسلعفالبيئة م ,الثالثة فيهاسبب حدوث إنو إفساد البيئة ب ,وجودىا جيال بعد جيل عرضو لالنقراض. رابعا حفظ العقلواستمرار
إنو إفساد ,. خامسا حفظ ادلاللإلكتئاب واضطراب النفسجيعل اإلنسان معرضة مما الكوارث الطبيعية البيئة يؤدي إىل فساد مصادر األموال. من ىنا تقول إن أي نشاط تفسد البيئة خمالفة دلقاصد الشريعة من
حفظ الدين والنفس والعقل والنسل وادلال.
-
xvii
قام دلنحل اجلميع و اة على اإلنسان كخليفة اهلل يف األرض لتحقيق مصفحفظ البيئة إذا أمانجزاء ما فعلو من افسادىا, ألن البيئة احلجر االساس لبناء اجملتمع ادلثايل ةمبإفساد البيئة فعليو عقوبة صار
.من أصول الشريعةفاصبح حفظ البيئة .الذي يتوفر فيو حفظ الدين والنفس والنسل والعقل وادلالالذي حاول لتأسيس إليو يوسف القرضاوي ذا توصلنا إىل نتيجة البحث اليت تؤيد ما ذىبهبحفظ البيئة جزء اليتجزأ ن جتعالا انيريد الذانافر عبد اهلل ظ ومياىففقو البيئة كما حاول على منهج عن الثروة الطبيعية توضح فيو عملية اإلستفادة من ةث القدميو البح قاصد الشريعة. واجلدير بالذكر أنمن م
استغالل مبالغة يف اإلستفادة منها. ال تكون ىناك حىت وضوابطها
-
xvii
DAFTAR ISI
Judul .......................................................................................................................... i
Persetujuan Pembimbing ........................................................................................ ii
Persetujuan Penguji ................................................................................................. iii
Pernyataan Keaslian ................................................................................................ iv
Kata Pengantar ........................................................................................................ v
Pedoman Transliterasi ............................................................................................. vii
Abstrak ...................................................................................................................... xii
Daftar Isi ................................................................................................................... xviii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 11
C. Pembatasan dan perumusan Masalah ............................................................. 12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 14
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................................... 15
F. Metodologi Penelitian .................................................................................... 21
G. Kerangka Teori............................................................................................... 23
H. Sistematika Penulisan .................................................................................... 30
BAB II: DISKURSUS ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Problematika Lingkungan Hidup ................................................................... 33
1. Pengertian Lingkungan Hidup ................................................................. 34
2. Fenomena Kerusakan Lingkungan Hidup ................................................ 37
3. Akar Krisis Lingkupan Hidup .................................................................. 50
B. Pandangan Islam Tentang Lingkungan Hidup ............................................... 64
1. Lingkungan sebagai Ruang Kehidupan Manusia ..................................... 65
2. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan sebagai Makhluk Tuhan .............. 69
-
xviii
3. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan dalam Aspek Spiritual ................. 74
BAB III: KONSERVASI LINGKUNGAN DAN PARADIGMA
PENGEMBANGAN KONSEP MAQÂSID AL-SYARÎ’AH
A. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah .................................................................... 80
B. Kajian Maqâsid al-Syarî’ah dalam Lintas Sejarah ........................................ 82
C. Menimbang Hifz al-Bî’ah dalam Maqâsid al-Syarî’ah ................................. 91
1. Basis Ontologi Paradigma Hifz al-Bî’ah .................................................. 92
2. Basis Epistmologii Paradigma Hifz al-Bî’ah ........................................... 94
3. Basis Aksiologi Paradigma Hifz al-Bî’ah ................................................ 95
BAB IV: PEMELIHARAAN LINGKUNGAN SEBAGAI USÛL AL-SYARÎ’AH
DALAM AL-QURAN
A. Rekonstruksi Ayat-ayat Lingkungan
1. Prinsip-Prinsip Pemanfaatan Lingkungan
a) Penundukan Alam sebagai Pemenuhan Kebutuhan Manusia
di Bumi ............................................................................................... 103
b) Manusia Makhluk yang Diperintahkan untuk Memakmurkan
Bumi ................................................................................................... 110
2. Prinsip-Prinsip Pemeliharaan Lingkungan
a) Bumi sebagai Warisan Hamba Tuhan yang Saleh ............................. 121
b) Larangan Melakukan Kerusakan di Bumi.......................................... 130
3. Rekonstruksi Makna Khalîfah sebagai Wakil Tuhan di Bumi................. 139
B. Konservasi Lingkungan sebagai Doktrin Utama Syariat Islam
1. Lingkungan sebagai Basis Fundamental Keimanan ................................ 149
2. Lingkungan sebagai Basis Kelangsungan Hidup ..................................... 153
3. Hukuman Setimpal bagi Pelaku Pelanggaran Lingkungan ...................... 165
-
xix
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 175
B. Saran ............................................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 179
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini sudah pada taraf
yang sangat mengkhawatirkan.1 Perubahan iklim akibat dari global warming
menyebabkan bumi tidak lagi seimbang. Rentetan bencana, seperti banjir, tanah
longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, kekeringan yang berkepanjangan,
kebakaran hutan dan lahan, serta gempa bumi seakan sudah menjadi rutinitas
musibah di negeri ini, bahkan sudah menjadi musibah dunia.
Manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi, yang diberi kepercayaan
untuk memelihara dan memakmurkan bumi, tampaknya justru menjadi aktor
utama kerusakan bumi. Manusia dengan segala kegiatan dan tindakannya, sudah
semakin tidak selaras dengan alam. Dengan keserakahannya mereka
mengeksploitasi alam dengan terus menguras energi yang ada di dalamnya.
Mereka menjadikan alam sebagai objek nilai, ekonomi, dan kebutuhan hidup
pragmatis. Di sisi lain pengaruh paham materialisme dan kapitalisme serta
pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna dan ramah lingkungan,
mengakibatkan rusaknya lingkungan yang semakin masif.2
1 Selama tahun 2016, berdasarkan data sementara dari awal Januari sampai 30 September
2016, telah terjadi 1.707 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 411 orang meninggal
dunia dan hilang, sebanyak 2.214.256 korban menderita dan mengungsi, dan banyaknya kerusakan
pemukiman sebanyak 25. 578. Lihat Pusat Data Informasi dan Humas-BNPB di dibi.bnpb.go.id 2 Muhammad Harfin Zuhdi, Rekonstruksi Fiqh al-Bî‟ah Berbasis Maslahah, dalam Jurnal
Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2015, h. 43
-
2
Namun ironisnya, manusia seakan tidak pernah merenung dan mengambil
pelajaran, apalagi merasa jera di balik bencana yang terjadi. Padahal sebelumnya,
manusia sangat mematuhi dan menghargai alam sebagai karunia Tuhan, hingga
dalam peradaban sebelumnya harmonisme alam dan manusia terasa begitu
kental.3 Kebudayaan yang dihasilkan manusia tidak pernah lepas dari inspirasi
alam. Namun, setelah manusia menciptakan mesin-mesin canggih, lambat laun
perubahan semakin terlihat jelas. Alam, bumi, atau lingkungan menjadi objek
manusia untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Pertanyaannya kemudian,
bagaimana manusia begitu mudahnya mengabaikan lingkungan hidup dan
bersikap sangat merusak? Padahal perilaku yang mereka kerjakan tidak lepas dari
campur tangan keyakinan atas agama yang dianutnya.4 Hal ini mengingat perilaku
manusia (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of
thought), sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsiran atas teks-teks
keagamaan, yang kemudian menjadi sistem etika teologi yang mereka yakini. Ini
artinya, pendekatan agama melalui rekonstruksi penafsiran al-Quran terhadap
persoalan lingkungan memang tidak bisa dielakkan.5
Al-Quran yang merupakan sumber ajaran agama Islam memiliki posisi
yang strategis. Umat Islam di seluruh dunia meyakini bahwa petunjuk al-Quran
3 Etika lingkungan sesungguhnya telah lama dianut oleh nenek moyang manusia secara
tradisional dengan bersumber pada agama, mitologi, dan legenda, termasuk cerita-cerita rakyat.
Jejak tersebut mungkin masih bisa dikenali dalam bentuk berbagai kearifan tradisional. Di
Indonesia masih ada sebagian kecil dari suku-suku bangsa yang kuat memegang etik lingkungan
kuno seperti pada suku Nias, Mentawai, Dayak, Baduy dan yang lebih modern dan mengesankan
adalah Bali. Lihat Eka Budianta, Eksekutif Bijak Lingkungan, (Jakarta: Dana Mitra Lingkungan,
1997), h. 3 4Ahmad Sururi, Menggapai Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia: Studi
Perbandingan Etika Islam dan Etika Ekofeminisme, dalam Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014,
h. 97 5Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta:
paramadina, 2001), h. 16
-
3
wajib diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekedar sumber untuk
merumuskan ajaran teologi dan hukum, tetapi juga konsep etika dalam kehidupan
manusia. Banyak ayat al-Quran memberikan perhatian besar terhadap kelestarian
lingkungan. Term lingkungan dalam al-Quran disebutkan dalam bentuk yang
variatif, seperti al-„âlamîn (spesies), al-samâ‟ (langit), al-ard (bumi), dan al-bî‟ah
(lingkungan). Varian-varian yang disebutkan dalam al-Quran ini pada prinsipnya
mengilustrasikan tentang spirit rahmatan li al-„âlamîn. Artinya, lingkungan tidak
saja diafiliasikan kepada bumi, tetapi mencakup semua alam, seperti planet bumi,
ruang angkasa, dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada pentingnya
pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki
hubungan dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Allah berfirman:
..
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu. (QS. al-Baqarah [2]: 22)
Ada dua kata kunci yang menjadi pesan ekologis dalam ayat di atas.
Pertama, bumi sebagai hamparan. Bumi diciptakan dan didesain Allah sebagai
tempat yang sangat ideal bagi makhluk hidup. Kedua, langit sebagai atap, artinya
langit diciptakan Allah sebagai pelindung kehidupan. Dalam terminologi
meteorologi, yang menjadi pelindung bagi kehidupan di bumi adalah lapisan
atmosfer. Oleh karenanya, ungkapan والسماء بناء dalam ayat ini dapat dipahami
dengan lapisan atmosfir, yang merupakan lapisan pelindung seluruh alam
-
4
(spesies).6 Eksistensi bumi berhubungan erat dengan eksistensi atmosfir.
Pengrusakan terhadap ekosistem langit akan berimplikasi langsung terhadap
kerusakan spesies yang ada di bumi dan ekosistemnya.7 Untuk itu, Allah sangat
melarang dan memberikan batasan kepada manusia untuk tidak melakukan
kerusakan terhadap ekosistem langit dan bumi, demi untuk kemaslahatan
kelangsungan hidup manusia.
Banyak peristiwa yang digambarkan al-Quran tentang keserakahan
manusia terdahulu yang menyebabkan kerusakan bumi, misalnya kisah kaum
Saba‟. Kaum Saba‟ membangun peradaban selama satu milenium sebelum
datangnya agama Islam. Mereka maju dalam bidang urbanisme dan irigasi. Pada
masa itu, kota Saba‟ dijuluki sebagai kota metropolitan, paling makmur, dan
sejahtera. Di setiap sudut kota terdapat tanaman dan kebun buah-buahan. Di
kerajaan ini telah dikenal adanya lingkungan alam dan lingkungan buatan.
Lingkungan alamnya yang subur, ditandai turunnya hujan secara teratur.
Sedangkan lingkungan buatan, merupakan kota yang menjadi pusat pemerintahan,
yang dikenal dengan nama al-Ma‟rib. Tidak hanya itu, bangsa Saba‟ juga
membangun bendungan yang digunakan untuk menampung air hujan, sehingga
hujan tidak mengalir habis menyusuri tanah terjal.8 Namun, kaum Saba‟tidak lama
menikmati kemajuan tersebut, Allah mengirimkan banjir besar yang memorak-
porandakan bendungan Ma‟rib, sekaligus membinasakan mereka.9 Hal ini
6 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 93
7 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 231
8 Meizer Said Nahdi, Kerusakan Lingkungan Kaum Saba‟: Studi Analisis Kaum Saba‟
dalam al-Quran, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001, h. 89-91 9 QS. Sabâ‟ [34]: 16
-
5
disebabkan karena bangsa Saba‟ tidak memperhatikan etika pemeliharaan
lingkungan.
Pada dasarnya, unsur-unsur upaya pemeliharaan lingkungan dalam Islam
dapat dilacak pada diri Nabi Muhammad. Sebagai contoh, Nabi pernah
mengajarkan cara konservasi alam melalui pencanangan konsep himâ,10
yakni
lahan konservasi yang dalam konteks sekarang sepadan dengan istilah taman kota,
kawasan terbuka hijau, atau suaka marga satwa dan sejenisnya. Kawasan tersebut
tidak dipergunakan untuk penduduk, terutama untuk kepentingan yang sifatnya
eksploitatif.11
Ini menunjukkan adanya kepedulian dan sensitivitas yang besar dari
Nabi dalam menjaga lingkungan. Apa yang telah dilakukan Nabi kala itu,
merupakan sebuah lompatan pemikiran yang luar biasa dalam menjaga kelestarian
lingkungan hidup manusia. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa ajaran Islam
mengandung kerangka dasar etika konservasi lingkungan yang relevan.
Namun persoalannya, selama ini para intelektual muslim belum
mengelaborasi lebih dalam tentang kajian lingkungan. Misalnya, dalam kitab-
kitab tafsir al-Quran yang ada sekarang, sedikit sekali menjelaskan secara rinci
dan sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan membangun
10
Himâ merupakan salah satu bentuk konservasi lingkungan. Istilah ini muncul dalam
tradisi arab yang oleh Rasulullah direvitalisasi sebagai konsep integral ajaran Islam. Konsep ini
oleh fikih didefinisikan suatu tempat berupa tanah kosong (mati) di mana pemerintah (penguasa)
melarang orang untuk menggembala di situ. Selain definisi di atas, himâ juga didefinisikan sebagai
area yang dibangun secara khusus untuk konservasi satwa liar hutan yang merupakan inti dari
undang-undang Islam tentang lingkungan hidup. Dengan demikian konsep himâ bukan hanya
memperoleh basis historis dalam peradaban awal dunia Islam, akan tetapi juga memiliki basis
teologis dalam syariat. Lihat Muhammad Rawwas Qalahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 159 11
M. Hasan Ubaidillah, Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqâsid al-Syarî‟ah dalam
Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal al-Qânûn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, h. 29
-
6
pola relasi dengan alam.12
Demikian halnya ketika penulis menelusuri kitab-kitab
tafsir modern, seperti al-Manâr, al-Marâghi, dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr juga
kurang mendapati uraian yang memadai tentang persoalan lingkungan.13
Hal ini
disebabkan kitab-kitab tafsir sesungguhnya merupakan produk dari anak
zamannya, yang pada masa itu kerusakan lingkungan belum semasif sekarang.
Banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep hakikat hubungan
manusia dengan alam dipahami secara parsial. Ada empat konsep dasar hidup
manusia menjadi simpul-simpul teologi yang bias antroposentris. Pertama,
konsep manusia sebagai makhluk yang paling istimewa.14
Kedua, ayat-ayat yang
menggambarkan manusia sebagai makhluk berakal.15
Ketiga, ayat-ayat yang
menggambarkan manusia sebagai paling kuasa atas sumber daya alam dan
lingkungan.16
Keempat, ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagai manifestasi
12
Lihat misalnya penafsiran terhadap surah ar-Rum [30]: 41:
Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam. Misalnya, Ibn
Katsîr dalam Tafsîr Ibn Katsîr, dan Abu Bakr al-Jazâ`irî, dalam Aisîr al-Tafâsîr, ketika
menafsirkann ayat di atas, keduanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan (fasad)
dengan perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah. Hal ini
disebabkan, pada saat itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang, sehingga fasad
dimaknai sebagai kerusakan sosial dan kerusakan spiritual semata. Lihat Abu al-Fida‟ Ismail bin
Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, (t.tp: Dar al-Tîbah li al-Nasyr, 1999), jilid 6, h. 319 13
Lihat misalnya penafsiran terhadap surah al-A‟râf [7]: 56
Penafsiran ayat di atas, baik Râsyid Ridhâ, al-Marâghî, maupun Ibnu „Âsyur memahami
kata ifsâd (kerusakan atau pengrusakan), bermakna teologis (non-fisik), seperti menyekutukan
Allah swt., membunuh, mencuri, melakukan kemaksiatan, dan mengikuti hawa nafsu, dsb. Lihat
Muhammad Râsyid Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: al-Hay‟ah al-Mishriyyah, 1990), juz 8, h. 410.
Lihat juga Ahmab bin Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir: Musthafa al-Babî al-
Halâbî, 1946), juz 8, h. 178. Lihat juga Muhammad Tahir Ibn „Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr,
(Tunis: al-Dâr al-Tûnisiyyah, 1984), juz 8, h. 173-174. 14
QS. al-Isra‟ [17]: 70, al-Taghâbun [64]: 3, al-Infitar [82]: 7-8, al-Tin [95]: 4 15
QS. al-Baqarah [2]: 75, al-Nahl [16]: 78, al-Rûm [30]: 7, al-Anfâl [8]: 21, al-Hajj [22]:
46, al-Ra‟d [13]: 2, Hûd [11]: 123, dan lain-lain 16
QS. al-Baqarah [2]: 22, 29, al-Jâtsiyah [45]: 13, Luqmân [31]: 20
-
7
wakil Allah di bumi.17
Dari keempat dasar keagamaan inilah yang kemudian
dipahami bahwa, manusia merupakan makhluk terbaik karena dibekali akal.
Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan teknologi untuk menguasai
sumber daya alam dan lingkungan, bahkan menjelajah angkasa luar. Pemahaman
inilah yang selanjutnya diduga melebur menjadi satu dalam bingkai teologi
lingkungan yang terkesan antroposentris.18
Oleh sebab itu, menafsirkan kembali ayat-ayat lingkungan menjadi sebuah
keniscayaan. Jika selama ini dikenal slogan habl min al-Allâh (relasi dengan
Allah) dan habl min al-nâs (relasi dengan manusia), maka sudah saatnya juga
dikumandangkan slogan habl min al-bî‟ah (relasi yang baik dengan lingkungan).
Dengan kata lain, trilogi (tigal hal yang saling terkait) relasi Tuhan sebagai
Pencipta, manusia sebagai khalifah, dan lingkungan sebagai tempat untuk
menjalankan misi kekhalifahan, perlu dilakukan berdasarkan aturan-aturan etis
yang komprehensif, sehingga ketimpangan-ketimpangan yang memunculkan
bencana alam bisa diminimalisir.
Menurut Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M)19
dalam bukunya, Ri‟âyat
al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, bahwa Islam meletakkan pemeliharaan lingkungan
17
QS. al-Baqarah [2]: 30, al-An‟âm [6]: 165, dan Sad [38]: 26 18
Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Ayat-ayat Antroposentrisme, dalam Jurnal Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, h. 68 19
Yusuf Qardhawi lahir di sebuah desa di Republik Arab Mesir, yaitu desa Shafth Turab
pada tahun 1926. Desa ini dikenal sebagai desa ramai, di desa inilah salah satu sahâbiyyât
Rasulullah SAW, Abdullah bin Al-Harits bin Jaz al-Zubaidi dikuburkan, sebagaimana yang ditulis
oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dan yang lainnya. Ia lahir pada tanggal 9 September 1926 dalam keadaan
yatim. Oleh karena itu tanggung jawab kepengasuhan dan pendidikan diambil alih oleh pamannya.
Sang paman inilah yang selalu menemani Qardawi kecil ke surau tempat mengaji. Di sana ia
mampu menghafal al-Quran dan menguasai hukum-hukum tajwid dengan sangat baik, di usianya
yang masih belia, 10 tahun. Penduduk di desa itu telah menjadikannya sebagai imam dalam
usianya yang relatif muda, khususnya pada shalat Subuh. Lihat Ishom Talimah, Al-Qardawi
-
8
sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok agama (al-darûriyyât al-
khams).20
Sederhananya dapat dikatakan bahwa, lingkungan adalah prasyarat
untuk mewujudkan tujuan pokok agama. Pertama, menjaga lingkungan sama
dengan hifz al-dîn, artinya segala usaha pemeliharaan lingkungan sama dengan
menjaga agama, karena perbuatan dosa pencemaran lingkungan sama dengan
menodai substansi keberagamaan, yang secara tidak langsung meniadakan
eksistensi manusia sebagai khalîfah fi al-ard. Oleh karena itu, manusia tidak boleh
lupa bahwa ia diangkat sebagai khalifah karena kekuasaan Allah di atas bumi
milik-Nya. Penyelewengan terhadap lingkungan secara implisit, telah menodai
perintah Allah untuk menjaga dan memelihara alam dan lingkungan,21
Kedua, menjaga dan melestarikan lingkungan sama dengan menjaga jiwa,
yaitu menjaga kehidupan dan keselamatan manusia. Pencemaran lingkungan dan
eksploitasi berlebihan, mengakibatkan timbulnya ancaman dan bahaya bagi
kehidupan manusia. Syariat Islam menaruh perhatian besar terhadap
keberlangsungan kehidupan manusia.22
Ketiga, menjaga lingkungan sama dengan
hifz al-nasl, yaitu menjaga keberlangsungan hidup generasi manusia di muka
bumi. Perbuatan menyimpang terkait lingkungan hidup akan berakibat pada
kesengsaraan generasi berikutnya. Upaya menjaga kesinambungan generasi
tercermin dalam ajaran dan anjuran untuk bersatu dan bersaudara membangun
solidaritas, yang teraplikasi secara konkrit dalam menjaga segala bentuk
Faqîhan: Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardawi, terj. Samson Rahman, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2001), p. 3-4. 20
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000),
h. 39 21
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 47 22
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 48-49
-
9
eksploitasi sumber-sumber rizeki yang menjadi hak bagi generasi yang akan
datang.23
Keempat, menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal, dalam artian
bahwa beban taklîf untuk menjaga lingkungan di-khitâb-kan untuk manusia yang
berakal. Hanya orang yang tidak berakal saja yang tidak terbebani untuk menjaga
dan melestarikan lingkungan. Upaya menjaga keberlangsungan hidup manusia
tidak akan berjalan kecuali kalau akalnya dijaga, sehingga apabila ada manusia
yang melakukan perusakan terhadap lingkungan, maka manusia tersebut telah
kehilangan akalnya. Terkait dengan hal itu, Umar ibn al-Khattab berpesan,
“Barang siapa yang melindungi lingkungan sama dengan menjaga keseimbangan
dalam berfikir, keseimbangan antara hari ini dan hari esok, antara yang maslahah
dan mafsadah, antara kenikmatan dan kesengsaraan, antara kebenaran dan
kebatilan. Sebab tidaklah layak perilaku para pemabuk (orang yang kehilangan
akal) diterapkan dalam pola interkasi dengan lingkungan. Karena ketika peran
akal telah ditiadakan, maka manusia tidak akan pernah memahami manakah yang
hak dan manakah yang batil.24
Kelima, menjaga lingkungan sama dengan hifz al-mâl. Allah Swt., telah
menjadikan harta sebagai bekal dalam kehidupan manusia di atas bumi. Harta
bukan hanya uang, emas, dan permata, melainkan semua yang menjadi kebutuhan
manusia, seperti pepohonan, binatang, air, udara, serta seluruh yang ada di atas
23
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 49-50 24
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 50
-
10
maupun di dalam perut bumi adalah harta kekayaan yang tak terhingga, yang
diberikan Allah untuk kebutuhan makhluk-Nya.25
Dengan demikian memelihara lingkungan sama hukumnya dengan
memelihara maqâsid al-syarî‟ah, merusak lingkungan dengan menghilangkan
prinsip ekosistemnya, sama halnya dengan menghilangkan maqâsid al-syarî‟ah.
Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa
wâjib (sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya
wajib). Jelasnya pemeliharaan lingkungan menjadi hal yang sangat wajib,
mengingat pemeliharaan lingkungan merupakan basis pemeliharaan maqâsid al-
syarî‟ah. Untuk itu mewacanakan lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat
Islam menjadi sebuah keniscayaan. Karena kerusakan lingkungan dewasa ini telah
mencapai taraf yang memprihatinkan, yang jika tidak diatasi secara serius akan
mengancam eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia. Pemikiran ini memiliki
landasan dalam al-Quran, yaitu firman Allah:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar). (QS. al-Rûm [30]: 41
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan munculnya kerusakan lingkungan
(al-fasâd) akibat ulah manusia. Ini artinya krisis lingkungan hidup akan terjadi
bila manusia sudah tidak memperhatikan kelestarian ekologi secara keseluruhan
ketika mengeksploitasi alam. Munculnya kerusakan fisik lingkungan hidup ini,
25
Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 51
-
11
pada hakekatnya juga diakibatkan adanya krisis mental manusia. Untuk
menghindari bencana yang bakal terjadi, sebenarnya manusia dianjurkan kembali
kepada metode al-Quran dan sekaligus mengadakan penelitian terhadap ekosistem
lingkungan hidupnya, sambil membandingkan dengan peristiwa kehancuran
lingkungan hidup yang pernah terjadi pada bangsa-bangsa terdahulu.
Oleh sebab itu, munculnya wacana ekologi sebagai doktrin utama dalam
Islam patut dipertimbangkan. Hal ini berdasarkan pada pertama, situasi dan
kondisi lingkungan yang makin kritis baik di negara-negara muslim maupun di
level global, sehingga memerlukan partisipasi dari ajaran agama Islam sebagai
agama rahmatan lil „âlamîn. Kedua, adanya kenyataan bahwa terpeliharanya al-
darûriyyât al-khams pada dasarnya tidak akan tercapai tanpa lingkungan hidup
yang baik yang menjadi prasyarat kehidupan. Ketiga, lingkungan alam adalah
amanah, bukan aset yang terus dieksploitasi tanpa memikirkan visi keberlanjutan
bagi generasi manusia di masa mendatang. Untuk itu manusia harus
memanfaatkan alam secara baik, serta merawat dengan penuh tanggung jawab.
Dari ketiga landasan inilah menunjukkan bahwa merumuskan kembali wacana
ekologi menjadi hal yang sangat urgen.
B. Identifikasi Masalah
1. Krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini, mulai dari longsor, banjir,
kebakaran hutan, telah menjadi ancaman kehidupan manusia.
2. Ada yang salah dari cara pandang manusia terhadap teks-teks keagamaan
tentang relasi manusia dengan alam, sehingga yang berkembang, alam
-
12
semesta ini disediakan oleh Tuhan hanya untuk kemakmuran manusia.
Akibatnya, eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam tidak bisa
dielakkan.
3. Kitab-kitab tafsir tidak menjelaskan secara rinci dan sistematik tentang
bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan membangun pola relasi
dengan alam. Hal itu bisa dimengerti, karena boleh jadi problem krisis
lingkungan saat kitab-kitab tafsir itu lahir tidaklah semasif sekarang.
4. Konstruksi konsep lingkungan perlu dirumuskan kembali dengan
mengkaji ayat-ayat lingkungan dengan pendekatan maqâsid al-syarî‟ah,
mengingat pemeliharaan lingkungan merupakan basis pemeliharaan
maqâsid al-syarî‟ah (menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta)
5. Memformulasikan konsep lingkungan sebagai doktrin utama (usûl)
syariat Islam, karena dimungkinkan mampu mempengaruhi dan merubah
mainstream manusia untuk berprilaku baik terhadap eksistensi
lingkungan. Kewajiban memeliharanya, berbanding lurus dengan
pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa,
keturunan, akal, dan harta)
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dalam penelitian ini, penulis
membatasi kajian lingkungan pada term-term tertentu, yaitu al-„âlamîn, al-samâ‟,
al-ard, dan al-bî‟ah. Pada penelitian ini penulis memfokuskan pada dua objek
-
13
kajian. Pertama, merekonstruksi penafsiran ayat-ayat al-Quran terhadap persoalan
lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah. Adapun ayat-ayatnya, untuk
term al-„âlamîn diantaranya QS. al-A‟raf [7]: 54, al-Mu‟min [40]: 64-66.
Sedangkan term al-samâ‟; QS. al-An‟am [6]: 99, QS. al-A‟râf [7]: 96, QS. Yûnus
[10]: 6, 31, QS. al-Ra‟d [13]: 2, 15, QS. Ibrahîm [14]: 32-34, QS. al-Nahl [16]:
49, 65, QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 16, 30-33, QS. al-Nûr [24]: 41, QS. al-Furqân [25]:
48-50, QS. al-Naml [27]: 60-61, QS. al-„Ankabût [29]: 44, QS. al-Ahzâb [33]:
72, QS. Fâtir [35]: 27-28, QS. al-Zukhruf [43]: 11-12, QS. al-Dukhân [44]: 38-
39, QS. Qaf [50]: 6-12, QS. al-Qamar [54]: 11-12, QS. al-Hadîd [57]: 4. Untuk
term al-ard; QS. Baqarah [2]: 29, 30, 36, 60, 164, 168, 205, Ali „Imrân [3]: 137,
al-Mâidah [5]: 32, 33, al-An‟âm [6]: 6, 38, 165, al-A‟râf [7]: 10, 24, 56, 74, 85,
128, Hûd [11]: 85, ar-Ra‟d [13]: 3, 4, al-Nahl [16]: 10-14, al-Isrâ‟ [17]: 37, al-
Kahfi [18]: 7, Taha [20]: 53-54, QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 31, 105, al-Hajj [22]: 18, 63,
65, al-Mu‟minûn [23]: 18, al-Syu‟arâ‟ [26]: 7-8, 181-183, al-Naml [27]: 61-63,
al-„Ankabût [29]: 61-63, al-Rûm [30]: 8-9, 22-24, Luqmân [31]: 10-11, 20, Shad
[38]: 26, 27-28, al-Zumar [39]: 21, al-Mu‟mîn [40]: 64, al-Syurâ [42]: 27-30, al-
Jâtsiyah [45]: 5, 13, al-Ahqâf [46]: 4, al-Dzâriyât [51]: 20-23, al-Najm [53]: 31,
al-Hadîd [57]: 17, al-Jumu‟ah [62]: 10, al-Mulk [67]: 15, Nûh [71]: 15-20.
Sedangkan term al-bî„ah diantaranya QS. al-A‟râf [7]: 74 dan al-Nahl [16]: 41.
Kedua, merekonstruksi wacana ekologi sebagai doktrin utama (usûl)
syariat Islam, mengingat pemeliharaan lingkungan sebagai basis fundamental
keimanan dan sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia.
-
14
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: bagaimana pandangan al-Quran tentang pola interaksi
manusia dengan lingkungan hidupnya? Dan bagaimana memformulasikan wacana
pemeliharaan lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Beradasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Mengetahui pesan-pesan al-Quran mengenai prinsip pemanfaatan dan
pemeliharaan lingkungan, dalam rangka meminimalisir kerusakannya
b) Mengembangkan wacana pemeliharaan lingkungan sebagai doktrin
utama syariat Islam
c) Memenuhi tugas akademik guna melengkapi salah satu persyaratan
mendapatkan gelar Magister Agama Islam (M.Ag) prodi Konsentrasi
Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, secara konseptual
memberikan kontribusi ilmiah dalam khazanah keislaman, sebagai respon dalam
mengatasi krisis lingkungan. Sedangkan secara operasional, kajian ini diharapkan
-
15
dapat memberikan panduan terhadap perilaku yang seimbang bagi komunitas
masyarakat secara luas.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pembahasan mengenai konsep lingkungan dalam kajian Islam dapat
dikatakan bukanlah hal baru. Beberapa karya ilmiah baik berupa buku, jurnal,
disertasi, tesis, telah membahas lingkungan hidup, sebagai kontribusi
penanggulangan krisis lingkungan, di antaranya:
1. Karya Yusuf al-Qardawi dengan judul Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-
Islâm, yang dicetak oleh Dâr al-Syurûq, Kairo pada tahun 2000. Secara
umum dalam kitab tersebut, Yusuf al-Qardawi berusaha membangun
sebuah paradigm fikih berbasis lingkungan yang sarat dengan akhlak,
sehingga tidak berlebihan ketika beliau disebut sebagai penggagas fikih
ramah lingkungan. Menurutnya, fikih yang ada selama ini cenderung
hanya menjerat dengan hukum atas hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia. Melalui fikih ramah lingkungan ala
Yusuf al-Qardawi ini, diharapkan hubungan manusia dengan alam terjalin
harmonis. Adapun prinsip-prinsip yang dapat diambil dari pemikiran etika
lingkungan Yusuf al-Qardawi adalah prinsip hormat terhadap alam, kasih
sayang dan kepedulian, tanggung jawab, kesederhanaan, keadilan, dan
kebaikan. Prinsip-prinsip tersebut setidaknya dijadikan landasan etis
manusia dalam berperilaku terhadap lingkungannya.26
26
Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 3
-
16
2. Jurnal yang ditulis oleh La Jamaa dalam jurnal Asy-Syir‟ah: Jurnal Ilmu
Syariah dan Hukum tahun 2011, dengan judul Dimensi Ilahi dan Dimensi
Insani dalam Maqâsid al-Syarî‟ah.27
Dalam karyanya, beliau
menyimpulkan bahwa konsep maqâsid al-syarî‟ah pada hakekatnya
didasarkan pada wahyu untuk mewujudkan kemasalahatan hidup umat
manusia. Dalam maqâsid al-syarî‟ah sebenarnya terdapat dimensi ilahi
dan dimensi insani. Dimensi ilahi tersebut adalah nilai-nilai ketuhanan
karena bersumber dari Tuhan serta bernilai ibadah. Sedangkan dimensi
insaninya adalah nilai kemaslahatan bagi kehidupan manusia bagi di dunia
maupun di akherat. Namun selaras dengan kemajuan zaman yang tidak
hanya membawa dampak positif, namun juga menimbulkan negatif bagi
kehidupan manusia, seperti penipisan lapisan ozon yang menimbulkan
kerusakan lingkungan, maka menambah dan memperluas maqâsid al-
syarî‟ah dengan pemeliharaan lingkungan menjadi suatu keharusan.
Karena kerusakan lingkungan dewasa ini telah mencapai taraf yang sangat
memprihatinkan, yang jika tidak diatasi secara serius akan mengancam
eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia.
3. Jurnal yang ditulis oleh Abrar dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan tahun
2012, dengan judul „Islam dan Lingkungan‟.28
Dalam tulisannya, Abrar
merumuskan bahwa kajian tentang lingkungan dalam Islam harus dilihat
dari berbagai perspektif, karena lingkungan menjadi kata kunci dalam
27
La Jamaa, Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqâsid al-Syarî‟ah, dalam Jurnal
al-Syir‟ah, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011. 28
Abrar, Islam dan Lingkungan, dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Edisi, 1, Tahun 1,
Juli 2012
-
17
membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan
terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta.
Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan
alam sekitar. Dengan demikian memposisikan aspek lingkungan sebagai
ajaran Islam yang utama menjadi sebuah keharusan. Karena dengan
menjadikan doktrin utama ajaran Islam, dimungkinkan mampu merubah
mainstream umatnya untuk berperilaku baik terhadap eksistensi
lingkungan.Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Paramadina
tahun 2001 dengan judul Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran,
yang ditulis oleh Mujiyono Abdillah. Dalam karyanya, ia menegaskan
bahwa perspektif tentang ekologi yang berkembang, cenderung bersifat
antroposentris, sekularistik, bahkan ateis. Implikasi dari pemikiran
antroposentris ini menjadi biang keladi munculnya kerusakan-kerusakan
ekosistem. Oleh sebab itu, menurutnya dibutuhkan paradigma ekologi
yang bernuansa rasional dan ekoreligi Islam, yaitu pemahaman yang
holistik integeralistik, yang mensinergikan antara teknologi, ekologi, dan
spiritul relegius. Menurutnya prilaku ekologi sangat ditentukan oleh
bentuk keyakinan yang dianut oleh masyararakat ekologi itu sendiri.
Keyakinan yang dimaksud adalah keyaninan yang holistik dan sempurna
sehingga penting untuk mengkonstruk konsep ekoteologi Islam.29
Menurutnya teologi lingkungan dalam konsep Islam dikembangkan
melalui dasar-dasar keberimanan yang meliputi tentang: 1) tidak sempurna
29
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 222-223
-
18
iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. 2) peduli lingkungan adalah
sebagian dari iman, 3) perusak lingkungan adalah kafir ekologis, 4)
Pemboros energi adalah teman syaitan. 5. Banjir adalah fenomena ekologis
bukan fenomena teologis.
4. Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Dian Rakyat pada tahun
2010, dengan judul Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan
Tertinggi Syariat,30
yang ditulis oleh Mudhofir Abdullah. Dalam
disertasinya, dia menyimpulkan bahwa; Pertama, krisis lingkungan yang
sedang melanda dunia saat ini disebabkan oleh cara pandang postivistik-
developmentalisme. Paradigma ini telah melahirkan era modernitas yang
bertumpu pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
industrialisasi. Krisis lingkungan semakin lengkap seiring menguatnya
kapitalisme global yang mempengaruhi perilaku lingkungan seseorang.
Bagi Mudhofir, akar-akar krisis juga disebabkan karena manusia dilanda
krisis spiritual, krisis alamiah dan krisis-krisis multidimensional. Kedua,
aspek krisis lingkungan sangat variatif, fikih adalah salah satu jawaban,
terutama dalam pendekatan agama.
5. Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Mizan pada tahun 2014,
dengan judul „Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia
Perspektif Al Quran‟, yang ditulis Nur Arfiyah Febriani. Kajian ini
dilatarbelakangi karena ada cara pandang yang mempermasalahkan laki-
laki sebagai aktor pemicu berbagai bentuk kerusakan lingkungan. Pola
30
Mudhofir Abdullah, Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi
Syariat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010). h. v
-
19
interaksi laki laki yang arogan, diskriminatif, dan dominatif terhadap
perempuan, disinyalir juga bertindak sama terhadap bumi, karena
keduanya memiliki kesamaan karakter yang pasif dan submisif.31
Cara
pandang inilah yang menurut Febriani mengakibatkan pola pikir yang
sangat sempit dalam memandang dan mengklasifikasi antara karakter laki-
laki dan perempuan. Padahal di dalam al-Quran setiap ayat yang
mengisyaratkan tentang karakter manusia didapati dalam bentuk umum
sebagai indikasi bahwa ayat itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam ekologi alam, terdapat deskripsi al-Quran tentang keseimbangan
karakter feminin dan maskulin dalam setiap entitas makhluk. Hanya saja,
alam raya tidak memiliki sisi negatif dalam karakternya. Artinya,
keseluruhan alam raya patuh pada ketentuan Allah Swt. dalam
menjalankan fungsi dan perannya tanpa membelot sedikitpun. Kepatuhan
alam raya dengan ketentuan Allah adalah sebagai bentuk ibadah alam raya
kepada-Nya. Manusia yang menyadari tujuan penciptaan-Nya adalah
untuk beribadah, tentu dapat belajar dari ketundukan alam raya sebagai
bentuk ibadah kepada Allah. Keseimbangan karakter feminin dan
maskulin yang memiliki nilai dan sisi positif dalam setiap makhluk di
alam raya ini, dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dapat
menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai
positif dalam dirinya. Untuk itu stereotip karakter laki laki dan perempuan
seharusnya tidak menjadi penyebab bagi manusia untuk saling
31
Nur Arfiyah Febriani, Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia Perspektif
Al Quran. (Jakarta: Mizan, 2014), h. 8
-
20
menyalahkan dan merasa lebih dominan dalam berbagai pola interaksi
sosialnya termasuk dalam upaya konservasi lingkungan.
6. Tesis Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2008 dengan
judul Etika Lingkungan dalam al-Quran yang ditulis Muhirdan. Dalam
kajiannya, Muhirdan mencoba menganalisa tentang bagaimana etika
lingkungan hidup melalui perspektif al-Quran dengan pendekatan tafsir
tematik. Untuk menghasilkan konsep etika lingkungan secara
komprehensif, Muhirdan melakukan penelusuran term-term yang
digunakan al-Quran dalam menjelaskan tentang lingkungan, yaitu term al-
samâ‟, al-ard, dan al-bî‟ah. Muhirdan menyimpulkan bahwa terdapat
etika lingkungan hidup yang perlu diterapkan untuk menjaga
keseimbangan ekosistem alam, yaitu pertama, etika konservasi lingkungan
hidup secara menyeluruh. Kedua, etika pembersihan dan penyehatan
lingkungan hidup. Ketiga, etika menjaga lingkungan hidup dari perusakan.
Keempat etika pengelolaan lingkungan hidup dengan cara tidak
mengeksploitasi sumber daya alam dan meminimalisir penggunaan sesuai
neraca kebutuhan.32
7. Tesis Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2009
dengan judul „Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hossein
Nasr‟, yang ditulis oleh Muhammad Ridhwan. Dalam tesisnya, ia
menyimpulkan bahwa krisis lingkungan sudah sangat masif. Hal ini
disebabkan bersumber pada kesalahan fundamentalis-filosofis cara
32
Muhirdan, Etika Lingkungan dalam al-Quran, dalam tesisnya di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Tahun 2008, h. iv
-
21
pandang manusia terhadap diri dan alamnya. Kesalahan pola pikir manusia
tersebut mengakibatkan perilaku eksploitatif besar-besaran. Paham
materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme semakin menambah
kerusakan lingkungan. Menurutnya kesalahahpahaman tersebut akibat
krisis moral dan spiritual manusia. Adapun untuk pengendaliannya,
menurut Nasr dengan menempuh jalan sufisme yang kelak mengarah pada
harmonisasi manusia dengan alam.33
Dari semua literatur yang disebutkan di atas, belum ada yang melakukan
kajian lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah untuk mengetahui
sejauh mana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan kadar dikatakan
berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan. Kebanyakan
penelitian yang ada, mengkaji seputar konsep lingkungan Islam pada aspek
teologi. Ada penelitian yang memang melakukan kajian terhadap fikih
lingkungan, namun baru sebatas hukum lingkungan yang sarat dengan akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa kajian lingkungan dengan pendekatan maqâsid
as-syarî‟ah belum dilakukan. Karena, ketika sebuah penelitian memiliki
perbedaan dalam sudut pandang dan pendekatan, tentu saja akan melahirkan
kesimpulan dan implikasi yang berbeda pula.
F. Metodologi Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian, kajian ini termasuk dalam penelitian pustaka
(library research). Sumber datanya meliputi kitab-kitab tafsir sebagai sumber
33
Muhammad Ridhwan, Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hoosein
Naser, dalam karya tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2009, h. vi
-
22
primernya, sementara sumber sekundernya meliputi kitab-kitab, buku-buku,
jurnal, dan artikel tentang lingkungan dan maqâsid al-syarî‟ah serta yang
berhubungan dengan keduanya, baik dari karya-karya ulama klasik maupun
modern.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis34
dengan pendekatan maqâsid al-
syarî‟ah. Metode analisis yang digunakan adalah gabungan antara deduktif dan
komparatif. Deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran detail
konsep lingkungan dalam al-Quran, dengan menggunakan metode tafsir maudu‟i,
yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat setema, untuk mendapatkan gambaran
secara utuh, holistik, dan komprehensif mengenai tema yang dikaji, kemudian
mencari makna yang relevan dan aktual untuk konteks kekinian. Sedangkan
komparatif digunakan untuk membandingkan pendapat mufasir antara satu
dengan penafsir lainnya, mengenai kajian ayat-ayat lingkungan dalam al-Quran.
Adapun pendekatan maqâsid al-syarî‟ah digunakan dalam rangka
menyingkap dan menjelaskan prinsip ekologi al-Quran, mengenai sejauh mana
teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan
berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan manusia.
Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban dan larangan (taklîf)
34
Deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian dideskripsikan, sehingga dapat memberikan
kejelasan terhadap kenyataan atau realitas. Sedangkan analitis adalah sebuah tahapan guna
menguraikan data-data yang terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi, metode Deskritif
Analitis adalah sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data yang telah tersusun dengan
melakukan kajian terhadap data-data tersebut, kemudian menganalisanya secara proporsional.
Lihat Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada, 2009) Cet.ke-I, h. 73
-
23
diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.35
G. Kerangka Teori
Salah satu teori tafsir menyatakan taghayyur al-tafsîr bi taghayyur al-
azmân wa al-amkân, bahwa perubahan penafsiran dipengaruhi oleh perubahan
zaman dan tempat.36
Berangkat dari teori ini maka tafsir sebagai sebuah produk
dialektika antara teks al-Quran dan konteks, sesungguhnya harus selalu
mengalami perkembangan sesuai dengan gerak waktu, tempat, bahkan juga
perubahan lingkungan. Jika dulu tafsir sering hanya berkutat bagaimana
memaknai ayat-ayat secara deduktif-normatif, bahkan terkesan hanya mengulang-
ulang (al-qirâ‟ah al-mutakarrirah) atas pemaknaan masa lalu, maka sudah
saatnya produk tafsir harus mampu membaca secara produktif dan kreatif agar
bisa menjadi solusi atas problem sosial keagamaan kontemporer.37
Artinya, fungsi
tafsir harus dikembalikan kepada fungsi al-Quran sebagai solusi atau obat (syifâ‟)
bagi problem sosial masyarakat modern, tidak terkecuali masalah lingkungan
yang dewasa ini semakin memperlihatkan tingkat kerusakannya. Oleh sebab itu,
paradigma tafsir lingkungan menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Untuk
merumuskan konsep lingkungan berbasis al-Quran, perlu adanya sebuah
35
Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, (Beirut: Dar al-Ma„rifah, t.t.),
Juz 2, h.195. Lihat juga „Izz al-Dîn ibn „Abd al-Salâm, Qawâ„id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm,
(Kairo: Maktabah al-Kulliyyâh al-Azhariyyah, 1994), Juz ke-1, h.5. Lihat juga Ibn al-Qayyim al-
Jauziyyah, I„lâm al-Muwaqqi„în „an Rabb al-„Âlamîn, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1425 H/2004 M), Juz
ke-3, h.5. Baca juga Tâhir ibn „Âsyûr, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun,
Kairo: Dar al-Salâm, 1427 H/2006 M), h.12. 36
Muhamad Syahrûr, Nahwa Usûl al-Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî, (Damaskus: al-Ahali li
al-Tibâ‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 2000), h. 95 37
Lebih lanjut baca Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS, 2010), h. 78
-
24
pendekatan baru sebagai pisau analisis dalam memahami sebuah teks, yaitu
dengan pendekatan maqâsid al-syarî‟ah yang dalam hal ini tema utamanya adalah
maslahah.38
Berbicara mengenai maslahah dalam konteks maqâsid al-syarî‟ah, al-
Syâṭibi (w. 790 H/1388 M)39
mengatakan bahwa, tujuan pokok pembuat undang-
undang (Syâri‟) adalah taḥqîq maṣâlih al-khalq (merealisasikan kemaslahatan
makhluk). Oleh sebab itu setiap doktrin dan nilai-nilai yang diwahyukan, baik itu
berbentuk perintah ataupun larangan, keduanya selalu berorientasi pada
kemaslahatan manusia (human welfare). Pertanyaannya kemudian bagaimana
38
Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), maslahah diidentifikasi dengan sebutan
(atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (al-asl, al-qâ„idah, al-mabda‟), sumber atau dalil hukum
(masdar, dalîl), doktrin (al-dâbit), konsep (al-fikrah), metode (al-tarîqah), dan teori (al-
nazâriyyah). Lihat „Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî„ al-Islâmi fîmâ lâ Nass fîh,
(Kuwait: Dâr al-Qalam, 1392 H/1972 M). Lihat juga Zakariyya al-Birri, Masâdir al-Ahkâm al-
Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-„Arabi, 1395 H/1975 M); dan Mustafa Dîb al-Bughâ, Atsâr
al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî„ al-Taba„iyyah fi al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus:
Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.). Baca juga Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah
wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî„ al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi„i, 1403 H/1983 M), h.16.
Secara etimologis, arti al-maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan,
kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah
yang artinya kerusakan. Lihat Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ, Mu„jam Maqâyîs al-
Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, 1403 H/1981 M), Juz ke-3, h.303; dan Jamâl al-Dîn
Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzûr al-Ifrîqi, Lisân al-„Arab, (Riyad: Dâr „Âlam al-Kutub,
1424 H/2003 M), Juz ke-2, h.348. Sementara secara terminologis, maslahah telah diberi muatan
makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Ghazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa
makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau
menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa„ah atau daf„ al-madarrah) Menurut al-
Ghazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti terminologis syar‟i, adalah memelihara dan
mewujudkan tujuan syara‟ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ditegaskan oleh al-Ghazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi
kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan
menghilangkan sesuatu dapat dikualifikasi sebagai maslahah. Lihat Abû Hâmid Muhammad al-
Gazâli, al-Mustasfâ min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq Muhammad Sulaimân al-Asyqâr, (Beirut:
Mu‟assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417. 39
Nama lengkap al-Syâtibî adalah Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsa al-Gharnati al-Syâtibî. Ia
dilahirkan di Granada pada tahun 730 H dan wafat pada tahun 790 H di tempat yang sama. Al-
Syâtibî, nama populer yang ada dibelakang nama lengkapnya, adalah nama kota kelahiran
keluarganya. Keluarga al-Syâtibî awalnya tinggal di Syâtiba, tetapi karena situasi politik waktu itu,
keluarga al-Syâtibî tidak memungkinkan untuk tinggal di Syâtiba. Mereka pun terpaksa harus
tinggal di Granada. Lihat Imam Rosyadi, Pemikiran al-Syâtibî tentang Maslahah Murasalah,
dalam jurnal Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013, h. 79
-
25
mengetahui maslahah dalam sebuah teks? Menjawab hal ini, al-Syâtibi
menggagas pemikiran bahwa maslahah dapat diketahui dengan cara sebagai
berikut: Pertama, memahami tujuan legislasi suatu hukum melalui logika
kebahasaan, al-amr dan al-nahy dari teks-teks syariat. Kedua, memahami secara
tekstual sekaligus kontekstual „illah perintah dan larangan. Ketiga, memahami
tujuan-tujuan primer (al-maqâsid al-asliyyah) dan tujuan-tujuan sekunder (al-
maqâsid al-tabâ„iyyah). Keempat, tidak adanya keterangan Syâri‟ (sukût al-
Syâri‟).40
Sementara menurut Yûsuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M), cara untuk
mengetahui maslahah, yaitu: Pertama, meneliti setiap „illah (baik mansûsah
maupun ghairu mansûsah) pada teks al-Quran dan Hadis. Misalnya, QS. al-Hadîd
[57]:25, ayat ini sesungguhnya menjadikan keadilan sebagai tujuan seluruh
doktrin agama samawi. Hal ini merupakan simpulan dari adanya lâm ta„lîl yang
menyertai frase “li yaqûm al-nâs bi al-qist”. Hal yang sama juga terdapat pada
QS. al-Hasyr [59]:7 (li kai lâ yakûna dûlatan bain al-aghniyâ‟ minkum), dan QS.
al-Anbiyâ‟ [21]: 107 (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-„âlamîn). Kedua,
mengkaji dan menganalisis hukum-hukum partikular, untuk kemudian
menyimpulkan cita pikiran hasil pemaduan hukum-hukum partikular tersebut.41
Sedangkan menurut Ibn „Âsyur (w. 1325 H/1907 M),42
ada tiga cara untuk
mengetahui maslahah. Pertama, melalui metode induktif (istiqra‟), yakni
40
Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, Juz 2, 393-414 41
Yusuf al-Qardawi, Fiqih Maqâsid Syarî‟ah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual
dan Aliran Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h.23-25. 42
Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Tâhir Ibnu Muhammad bin Muhammad al-
Thâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Syâdzili bin al-„A lim Abd al-Qâdir bin Muhammad bin
„Âsyur. Ibnu „Âsyur dilahirkan di pantai La Marsa sekitar 20 kilometer dari kota Tunisia pada
-
26
mengkaji syariat dari semua aspek berdasar ayat partikular. Cara ini dibagi dalam
dua klasifikasi: 1) Meneliti semua hukum yang diketahui kausalnya (al-„illah).
Contoh: larangan meminang perempuan yang sedang dalam pinangan orang lain,
demikian pula larangan menawar sesuatu barang dagangan yang sedang ditawar
orang lain. „Illah dari larangan ini adalah keserakahan dengan menghalangi
kepentingan orang lain. Dari „illah ini dapat ditarik satu maslahah, yaitu
kelanggengan persaudaraan antar saudara seiman. 2). Meneliti dalil-dalil hukum
yang sama „illah-nya, sampai yakin bahwa „illah tersebut adalah maslahah-nya.
Misalnya, larangan membeli produk makanan yang belum ada di tangan, dan
larangan memonopoli produk makanan. Keduanya mempunyai „illah yang sama,
yaitu larangan menghambat peredaran produk makanan di pasaran. Dari „illah ini
dapat diketahui adanya maslahah, yaitu bertujuan bagi kelancaran peredaran
produk makanan, dan mempermudah orang memperoleh makanan.43
Kedua, maslahah dapat ditemukan secara langsung dari dalil-dalil al-
Quran secara sarîh (jelas), serta kecil kemungkinan untuk dipalingkan dari makna
zahir-nya, seperti bunyi ayat 183 surat al-Baqarah tentang kewajiban puasa
„kutiba „alaikum al-siyâm.‟ Pada ayat ini, sangat kecil kemungkinan mengartikan
kata „kutiba‟ dengan arti selain “diwajibkan,” dan tidak mungkin dimaknai
sebagai „ditulis.‟ Ketiga, maslahah dapat ditemukan langsung dari dalil-dalil
Sunah yang mutawatir, baik mutawatir ma„nawi yaitu pengalaman sekelompok
sahabat yang menyaksikan perbuatan Nabi saw., seperti disyariatkannya khutbah
tahun 1296 H bertepatan dengan 1879 M. Ia meninggal di Tunisia pada hari Ahad 3 Rajab tahun
1393 H bertepatan 12 Juni 1973 M. Lihat Safriadi, Kontribusi Ibnu „Âsyur dalam Kajian Maqâsid
al-Syarî‟ah, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 15. No. 2, Februari 2016, h. 289 43
Muhammad al-Tahir Ibn „Asyur, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Tunisia:
Maktabah al-Istiqâmah, 1366 H), h. 15-17
-
27
pada dua hari raya, maupun mutawatir „amali yaitu praktik seorang sahabat yang
melakukan secara berulang kali pada masa hidup Nabi saw., dan Nabi
mendiamkannya.44
Dari semua langkah yang dilakukan di atas, pada dasarnya hanya satu
yang dicari, yaitu kemaslahatan yang terkandung dalam syariat Islam. Sementara
dalam kajian ini, penulis menggunakan teori maslahah al-Syâtibi.
Menurut al-Ghazâli (w. 505 H/1111 M), ada tiga konsep maslahah
manakala ditilik dari objeknya, yaitu: 1) maslahah yang mendapat ketegasan
justifikasi Syâri‟ terhadap penerimaannya (maslahah mu„tabarah). Dalam hal ini,
dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan, baik secara
langsung maupun tidak terdapat indikator dalam syara‟; 2) maslahah yang
mendapat ketegasan justifikasi Syâri‟ terhadap penolakannya (maslahah
mulghah). Jenis maslahah ini biasanya berhadapan secara kontradiktif dengan
bunyi nas baik al-Quran maupun hadis; dan 3) maslahah yang tidak mendapat
ketegasan justifikasi Syâri‟, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya
(maslahah mursalah), tapi cakupan makna nas terkandung dalam substansinya.
Muhammad Muslehuddin melihat bahwa kategorisasi maslahah dengan trilogi
44
Ibn „Âsyur mencontohkan dengan sebuah Hadis yang dibukukan dalam Sahih al-
Bukhari. Diriwayatkan dari al-Azraq ibn Qays, ia menceritakan: “Kami berada di sebuah tepi
sungai yang sedang kekeringan di daerah Ahwaz, lalu Abu Barzah datang dengan mengendarai
seekor kuda. Kemudian mengistirahatkan kudanya untuk salat, lalu tiba-tiba kudanya lari. Maka ia
pun menghentikan salat dan mengejar kudanya, lalu ia kembali mengerjakan salatnya. Di antara
kami ada yang berkomentar: lihat Abu Barz
top related