analisis fosfor dan krom
Post on 23-Jul-2015
1.121 Views
Preview:
TRANSCRIPT
k.wr ‘14
ANALISIS FOSFOR DAN KROM (VI) SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS
TUJUAN
Menentukan konsentrasi fosfat dalam sampel secara spektrofotometri
Mempelajari metode analisis spesies krom (VI) dengan metoda difenilkarbazida
Menguasai teknik analisis spektrofotometri untuk unsure logam dan non logam
LANDASAN TEORI
Fosfor adalah senyawa kimia nonlogam dengan nomor atom 15. Fosfor merupakan
senyawa yang berbeda karena ada dalam bentuk solid berbeda disebut allotrop.
Kebanyakan allotrop yakni fosfor putih, fosfor merah, dan fosfor hitam. Fosfor secara
eksklusive ditentukan oleh fotometri menggunakan bentuk yang disukainya yakni bentuk
molibdeum heteropolyacid (Beatty, 2001).
Metode paling poluler untuk analisis fosfat yakni yang melibatkan kompleks fosfat
dengan ion molibdat dalam kondisi asam. Senyawa kompleks yang dihasilkan berwarna biru
fosfomolibdenum yang kehadirannya sebagai agen pereduksi seperti asam askorbat dan
stannous chloride, dan juga sebagai katalis. Warna kompleks biru ini dapat diketahui
langsung oleh spektrofotometri pada 700 nm (Nollet, 2006). Sedangkan menurut metode
Deniges yang didasarkan kecocokan agen pereduksi, saat ditambahkan ammonium molibdat
pada asam tertentu akan menghasilkan warna biru menandakan adanya fosfat, di mana
digunakan SnCl₂ sebagai agen pereduksi (Wright, 1994).
Kromium, Cr (Ar: 51,996) adalah logam kristalin yang putih, tak begitu liat dan tak
dapat ditempa dengan berarti, ia melebur pada 176,5⁰C. logam ini larut dalam asam klorida
encer atau pekat. Ion kromium (II) dapat dioksidasikan menjadi kromat (Svehla, 1979).
Pada analisis kromium dengan metode difenilkarbazida, di mana asam kromat
bereaksi dengan difenilkarbazida dalam kondisi asam menghasilkan larutan violet dengan
panjang gelombang absorbansi maksimum 540 nm. Reaksi warna ini sangat sensitive pada
konsentrasi kromium yang kecil dengan sensitifitas 0,02 – 0,05 μg/ml. Metode ini dapat
dipakai pada semua media kompleks, seperti tanah, batuan, biji besih, tumbuhan, dan
hewan (National Research Council, 1974).
Spektofotometer merupakan instrument untuk mengukur absorbansi menggunakan
monokromator untuk menentukan panjang gelombang. Instrument simple yang digunakan
untuk penyerapan molekul UV/Vis disebut filter fotometer yang menggunakan absorpsi atau
penyaringan interferensi untuk mengisolasi pita radiasi. Instrument yang menggunakan
monokromator untuk memilih panjang gelombang disebut spectrometer (Harvey, 2000).
Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-tampak karena mereka
mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat
energi yang lebih tinggi. Panjang gelombang yang mana absorpsi itu terjadi, bergantung
pada berapa kuat elektron itu terikat dalam molekul itu. Elektron dalam suatu ikatan
k.wr ‘14
kovalen tunggal terikat dengan kuat, dan diperlukan radiasi berenergi tinggi atau panjang
gelombang pendek untuk eksitasinya (Day, 1998).
UV-Vis spektrofotometri untuk ketersediaan, kesederhanaan, fleksibilitas,
kecepatan, ketepatan, presisi, dan efektivitas biaya, secara rutin digunakan dalam kimia
analitik untuk penentuan kuantitatif analit. Spektrofotometer UV-Vis telah menjadi
instrumen analitis populer di laboratorium modern. Namun, konsentrasi rendah banyak
analit dalam sampel nyata yang kompleks membuat sulit untuk langsung mengukur dengan
UV-Vis spektrofotometri. Oleh karena itu, langkah persiapan sampel diperlukan sebelum
pengukuran untuk meningkatkan selektivitas dan sensitivitas (Kahkhi, 2013).
Hukum absorbansi dikenal dengan Hukum Lambert-Beer menjelaskan bagaimana
jumlah kuantitatif bergantung pada pengurangan konsentrasi dari molekul absorbansi.
Menurut Hukum Beer, absorbansi secara proporsional terhadap spesies absorbing c dan d
pada bagian panjang b merupakan medium absorbing yang dinyatakan persamaan berikut
(Skoog, 2004).
Persamaan di atas dapat dinyatakan dalam mol perl liter dan b dalam cm. Konstanta
proporsional disebut absorptivitas molar dan disimbolkan ɛ (L mol⁻1 cm-1), sehingga
persamaan dinyatakan sebagai berikut (Skoog, 2004).
A = ɛbc
Kestabilan termodinamik suatu spesi merupakan ukuran sejauh mana spesi ini akan
terbentuk dari spesi-spesi lain pada kondisi tetentu. Kestabilan suatu kompleks jelas akan
berhubungan dengan kemampuan mengompleks dari ion logam yang terlibat dan dengan
ciri-ciri khas ligan itu (Bassett, 1991).
Larutan difenil karbazida merupakan larutan yang dibuat dari 1 gram difenil
karbazida dalam 100 cm3. Larutan difenil karbazida biasanya digunakan sebagai bahan uji
adanya ion arsenat, cadmium, kromium, dan raksa (Pudjaatmaka, 2002).
1,5-difefil karbazida (DCPI) dapat dioksidasi oleh zat pengoksidasi menjadi 1,5-difenil
karbazon (DPCO) yang dapat diektraksi sebagai pelarut organik. Senyawa ini akan
menampilkan absorbansi dalam rentang panjang gelombang terlentu (Meng, 2013).
Campuran dari senyawa ammonium molibdat dan ammonium vanadat membentuk
larutan ammonium molibdovanadat. Larutan ini merupakan larutan bening berwarna
kuning-hijau yang memiliki titik didih 212 – 227 0F dan titik leleh 320F (00C). larutan ini
umumnya digunakan sebagai pengompleks dalam identifikasi fosfat membentuk senyawa
kompleks molibdovanadat asam fosfat yang berwarna kuning (Wright, 1994).
ALAT DAN BAHAN
Alat-alat yang diperlukan dalam percobaan ini meliputi spektrofotometer UV-Vis,
gelas beker, pipet ukur, pipet tetes, pipet pump, wadah sampel, kuvet,
k.wr ‘14
Sedangkan bahan-bahan digunakan dalam percobaan ini meliputi larutan stock P 100
ppm, larutan stok Cr(VI) 10 ppm, larutan ammonium molibdovanadat, larutan
difenilkarbazida 0,1%, larutan H2SO4 0,1 M, larutan HCl 0,1 M, larutan Cr(III) 10 ppm,
akuades, sampel P, dan sampel Cr.
CARA KERJA
Alanisis Fosfor secara Spektrofotometri
Pembuatan larutan standar, dibuat larutan P 10 ppm dengan diambil 2,5 ml
larutan P 100 ppm, diencerkan dalam labu takar 25 ml dan diulang 2 kali. Lalu
disediakan 6 labu takar 25 ml. Diambil 0 ml; 2,5 ml; 5 ml; 7,5 ml; 10 ml; dan 12,5 ml
larutan P 10 ppm ke dalam tiap labu takar. Setiap labu takar ditambahkan 1 ml
ammonium molibdovanadat. Kemudian tiap labu diisi akuades hingga tanda batas.
Penentuan panjang gelombang maksimum digunakan larutan P 0 ppm
sebagai blangko dan larutan P 3 ppm sebagai pengukuran. Pengukuran absorbansi
dilakukan untuk panjang gelombang antara 340 – 400 nm dengan interval 5 nm.
Penentuan waktu kestabilan kompleks digunakan larutan P 0 ppm sebagai
blangko dan larutan P 3 ppm sebagai pengukuran. Pengukuran absorbansi dilakukan
dengan panjang gelombang maksimum pada waktu 10 – 40 menit interval 5 menit.
Pengukuran larutan standar digunakan larutan P 0 ppm sebagai blanko.
Kemudian diukur semua larutan standar 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm menggunakan panjang
gelombang maksimum. Lalu dibuat kurva kalibrasinya.
Diambil 5 ml sampel dan ditambahkan 1 ml ammonium molibdovanadat dan
diencerkan dalam labu takar 25 ml. Kemudian didiamkan hingga waktu kestabilan
kompleks dan diukur absorbansinya dengan panjang gelombang optimum.
Analisis Krom (VI) secara Spektrofotometri
Pada pembuatan larutan standar, dibuat larutan Cr 1 ppm dengan diambil 2,5
ml larutan Cr 10 ppm, diencerkan dalam labu takar 25 ml dan diulang 2 kali. Lalu
disediakan 6 labu takar 25 ml. Diambil 0 ml; 2,5 ml; 5 ml; 7,5 ml; 10 ml; dan 12,5 ml
larutan Cr 1 ppm ke dalam tiap labu takar. Setiap labu takar ditambahkan 1 ml
larutan H₂SO₄ 0,1 M dan 1 ml difenilkarbazida 0,01%. Kemudian tiap labu diisi
akuades hingga tanda batas. Cara serupa dilakukan tapi dengan mengganti
penambahan H₂SO₄ dengan larutan HCl 0,1 M.
Penentuan panjang gelombang maksimum digunakan larutan Cr 0 ppm
sebagai blangko dan larutan Cr 0,3 ppm sebagai pengukuran. Pengukuran absorbansi
dilakukan untuk panjang gelombang antara 500-550 nm dengan interval 5 nm.
Pengukuran larutan standar digunakan larutan Cr 0 ppm sebagai blanko.
Kemudian diukur larutan standar 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; dan 0,5 ppm menggunakan
panjang gelombang maksimum.
k.wr ‘14
Diambil 2 ml sampel dan ditambahkan 1 ml H₂SO₄ 0,1 M dan 1 ml
difenilkarbazida 0,01% dan diencerkan dalam labu takar 25 ml. Kemudian diukur
absorbansi dengan panjang gelombang maksimum. Cara serupa dilakukan dengan
mengganti H₂SO₄ dengan HCl 0,1 M.
Disediakan 4 labu takar 25 ml. Diambil 1 ml, 3 ml, 6 ml, dan 10 ml larutan Cr
(III) 10 ppm ke dalam tiap labu takar. Tiap labu takar ditambahkan 2 ml larutan Cr
(VI) 10 ppm, 1 ml larutan H₂SO₄ 0,1 M dan 1 ml difenilkarbazida 0,01%. Kemudian
tiap labu diisi akuades hingga tanda batas dan diukur absorbansinya dengan panjang
gelombang maksimum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PERCOBAAN
Analisis Fosfor secara Spektrofotometri
o Penentuan panjang gelombang maksimum
Panjang Gelombang (nm) Absorbansi
400.008 0.232593
395.1013 0.260498 390.1947 0.293287
385.288 0.327797 380.3813 0.371028
370.568 0.481049 365.6613 0.522183
360.7547 0.594995 355.848 0.663739
350.9413 0.704635 346.0347 0.736478
341.128 0.850224 336.2213 0.821478
331.3147 0.907545 326.408 0.706449
321.5013 0.431483 316.5947 0.151698
311.688 0.082405 306,781 -0.05638
o Penentuan waktu kestabilan kompleks
Waktu (menit) Absorbnsi
10 2.436 15 0.4467
20 2.8090 25 1.8266
k.wr ‘14
30 2.5754
35 0.3003 40 0.6062
o Pengukuran absorbansi larutan standard dan sampel
Konsentrasi (ppm) Asorbansi
1 0.2118 2 0.421
3 0.2606 4 0.4959
5 5.7811 Sampel 2.3067
Analisis Cr(VI) secara Spektrofotometri
o Penentuan panjang gelombang maksimum
Panjang Gelombang
(nm)
Absorbansi
H₂SO₄ 0,1 M HCl 0,1 M
500
505
510
515
520
525
530
535
540
545
550
0,060
0,067
0,073
0,079
0,086
0,090
0,094
0,097
0,098
0,099
0,097
0,065
0,068
0,070
0,079
0,082
0,085
0,088
0,090
0,091
0,092
0,087
o Pengukuran larutan standard dan sampel
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi
H₂SO₄ 0,1 M HCl 0,1 M
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,034
0,065
0,099
0,127
0,148
0,031
0,070
0,092
0,111
0,138
Sampel 0,199 0,163
o Uji pengaruh Cr(III) pada analisis penentuan Cr(VI)
NO Absorbansi
1 0,201
k.wr ‘14
2
3
4
0,200
0,199
0,155
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini akan dilakukan analisis fosfor dan krom(VI) dengan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Pada penentuan fosfor digunakan
penambahan ammonium molibdovanadat. Sementara pada penentuan krom(VI)
digunakan metode difenilkarbazida.
Penggunaan larutan standard dan sampel harus diencerkan dahulu saat
preparasi karena proses analisis dengan spektrofotometer tidak bisa dilakukan
dengan larutan yang memiliki konsentrasi tinggi. Jika digunakan larutan dengan
konsentrasi tinggi justru akan menyebabkan penyimpangan nilai absorbansinya.
Grafik antara absorbansi vs konsentrasi akan linear untuk konsentrasi larutan yang
kecil, sedangkan jika konsentrasinya terlalu besar justru akan menyimpang (tidak
linear lagi). Hal ini karena konsentrasi yang tinggi akan terdapat banyak molekul
dalam larutan, sehingga justru terjadi interaksi antar molekul sendiri. Hal ini
menyebabkan interaksi molekul dengan cahaya atau penyerapan radiasi menjadi
tidak maksimal.
Setiap analisis menggunakan spektrofotometri UV-Vis, perlu diukur terlebih
dahulu panjang gelombang optimumnya. Hal ini dikarenakan panjang gelombang
optimum merupakan panjang gelombang di mana absorbansi yang dialami oleh
suatu zat terjadi yang paling besar. Hal ini karena pada panjang gelombang tertentu
absorbansi akan kecil dan pada panjang gelombang optimum inilah nilai
absorbansinya paling tinggi. Namun, jika panjang gelombang terus dinaikkan, justru
nilai absorbansinya akan kembali menurun. Sehingga, pada panjang gelombang
optimum inilai yang merupakan kondisi paling sesuai untuk melakukan analisis.
Pada penentuan panjang gelombang optimum, digunakan salah satu jenis
larutan standar dengan konsentrasi tertentu. Penggunaan konsentrasi yang akan
digunakan tidak terlalu berpengaruh ingin digunakan konsentrasi berapa saja asalkan
saat pengujian selalu digunakan konsentrasi yang sama.
Larutan yang akan diuji nantinya dimasukkan ke dalam kuvet. Penggunaan
kuvet untuk mengukur sampel harus dengan bentuk dan ukuran yang sama antara
larutan satu dengan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar luasan daerah paparan
penyerapan sinar oleh larutan dapat sama pada setiap analisis larutan. Jika
penggunaan ukuran kuvet berbeda, maka dapat mempengaruhi perbandingan hasil
absorbansi yang terjadi.
Penuangan larutan yang akan dianalisis juga harus sama pada setiap larutan
(volumenya harus sama). Hal ini dikarenakan jika volumenya berbeda antar larutan
satu dengan lainnya, maka tentu saja besarnya komposisi yang terpapar oleh sinar
pun akan berbeda, sehingga juga dapat mempengaruhi perbandingan absorbansi
k.wr ‘14
yang terjadi. Sebelum dimasukkan ke sel sampel, bagian luar kuvet juga perlu
dibersihkan dengan tisu agar tidak basah, karena kondisi luar kuvet yang tidak kering
juga dapat berpengaruh pada hasil absorbansinya.
Setiap pengukuran spektrofotometri harus ada larutan blangko. Larutan
blangko ini bertujuan untuk mengetahui besarnya absorbansi terhadap larutan jika
tanpa analit. Larutan blanko biasanya digunakan untuk tujuan kalibrasi sebagai
larutan pembanding dalam analisis. Dapat dikatakan juga sebagai larutan penetralan,
karena untuk menstabilkan absorbsi akibat perubahan voltase dari sumber cahaya.
Sehingga, saat pengujian dengan spektrofotometri UV-Vis, pengujian harus selalu
diawali pengujian terhadap larutan blangko dahulu baru pengujian pada larutan yang
akan dianalisis.
Larutan dalam kuvet yang kemudian masuk ke dalam sel sampel pada
spektrofotometri UV-Vis nantinya akan dikenai sinar dari lampu. Sinar ini akan
terserap oleh molekul pada larutan. Namun, tidak semua sinar terabsorb oleh
molekul karena ada sebagian sinar yang diteruskan. Sinar yang diteruskan inilah yang
kemudian masuk ke detector dan diubah ke dalam sinyal listrik. Sinyal listrik yang
dihasilkan sangat lemah sehingga harus diamplifikasi dan baru dapat terbaca sebagai
data pada rekorder (absorbansi).
Analisis Fosfor secara Spektrofotometri
Pada analisis fosfor dilakukan empat macam percobaan, yaitu penentuan
panjang gelombang optimum, penentuan waktu kestabilan kompleks, pembuatan
kurva kalibrasi (penentuan absorbansi larutan standar), dan penentuan absorbansi
sampel. Analisis fosfor dilakukan dengan melakukan penambahan ammonium
molibdovanadat. Pada percobaan ini, digunakan larutan standar P dengan
konsentrasi bervariasi, yakni dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm dari larutan
stock P 100 ppm.
Adanya penambahan ammonium molibdovanadat bertujuan agar fosfor
bereaksi dengan ammonium molibdovanadat membentuk kompleks dengan warna
yang khas, yakni warna kompleks kuning. Reaksi yang terjadi saat fosfor direaksikan
dengan ammonium molibdovanadat adalah sebagai berikut.
Pada analisis fosfor ini digunakan spektrofotometer UV. Hal ini dikarenakan
panjang gelombang yang diserap oleh fosfor berada di bawah 400 nm, yang sudah
masuk dalam kawasan daerah sinar UV. Penggunaan spektrofotometri UV ini juga
karena energi cahaya UV lebih besar dari energi cahaya tampak maka energi UV
dapat menyebabkan transisi elektron σ dan μ. Sementara lampu yang digunakan
yakni lampu deuterium dengan panjang gelombang 190-380 nm.
Pada penentuan panjang gelombang optimum, digunakan larutan P 0 ppm
sebagai larutan blangko dan larutan P 3 ppm sebagai larutan yang akan diuji. Larutan
bangko di sini merupakan pengenceran 1 ml ammonium molibdovanadat dalam labu
takar 25 ml (tidak mengandung fosfor). Penentuan panjang gelombang optimum
k.wr ‘14
dilakukan pada panjang gelombang 305 – 400 nm dengan interval 5 nm. Semakin
pendek interval akan semakin baik karena ketelitian. Sebelum larutan diukur, perlu
dimasukkan dahulu larutan blangko dan diatur panjang gelombangnya 305 nm dan
diatur pada absorbansi 0. Hal ini karena larutan blangko tidak menyerap radiasi dan
memiliki transmitansi 100%. Setelah itu baru dimasukkan larutan yang akan diuji.
Jika akan mengubah ke panjang gelombang berikutnya, spektrofotometri harus
dinetralkan terlebih dahulu dengan memasukkan larutan blangko, begitu pula
seterusnya.
Berdasarkan hasil percobaan penentuan panjang gelombang maksimum,
kemudian dibuat grafik λ vs A yang ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa nilai absorbansi tertinggi yakni pada
0,907545 yang diperoleh saat nilai panjang gelombangnya 331,3147 nm. Hal ini
berarti bahwa panjang gelombang optimumnya adalah 331,3147 nm. Pada panjang
gelombang inilah kemudian digunakan untuk analisis larutan selanjutnya. Namun,
pada teoritis seharusnya warna kuning dari hasil pereaksian fosfor dengan
ammonium molibdovanadat dapat diukur pada panjang gelombang 460 nm.
Sehingga, hasil itu belum sesuai teoritisnya.
Dengan panjang gelombang optimumnya 331,3147 nm, setiap larutan
standar yang akan dianalisis dan larutan sampel diuji absorbansinya. Hal ini untuk
mengoptimalkan hasil absorbansi yang diperoleh dengan menggunakan larutan
blangko P 0 ppm.
Waktu kestabilan kompleks perlu ditentukan karena waktu itu merupakan
waktu yang dibutuhkan senyawa dan pengompleksnya untuk membentuk senyawa
kompleks yang stabil. Artinya, kondisi di mana pada watu tersebut senyawa telah
mempentuk senyawa kompleks yang kuat yang ditunjukkan dengan besarnya nilai
absorbansi. Nilai absorbansi yang semakin tinggi (paling tinggi) menunjukkan waktu
di mana senyawa kompleks telah mencapai kestabilan.
k.wr ‘14
Waktu yang dibutuhkan senyawa untuk mencapai kestabilan kompleksnya
berbeda-beda tiap senyawa. Pada kurun waktu singkat umumnya senyawa kompleks
masih belum stabil. Namun, jika pada kurun waktu yang terlalu lama juga justru akan
melemah kembali. Sehingga, pada analisis fosfor perlu diuji waktu saat kompleks
mencapai kestabilan tertingginya, dengan menggunakan larutan P 3 ppm sebagai
penguji dan larutan P 0 ppm sebagai larutan blangko.
Berdasarkan hasil percobaan waktu kestabilan kompleks, kemudian dibuat
grafik t vs A yang ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa nilai absorbansi tertinggi yakni pada
2,8090 yang diperoleh saat nilai waktunya 20 menit. Hal ini berarti bahwa waktu
kestabilan kompleksnya adalah 20 menit. Sehingga, pada penentuan absorbansi
sampel, sampel perlu didiamkan selama 20 menit untuk menjadi stabil pada kondisi
kompleksnya. Kamudian, baru diukur absorbansinya dengan menggunakan panjang
gelombang 331,3147 nm.
Berdasarkan hasil percobaan penentuan absorbansi larutan standar 1, 2, 3, 4,
dan 5 ppm dan nilai absorbansi sampel yakni 2,3067, sehingga dapat dibuat kurva
kalibrasi antara C vs A, di mana akan membentuk garis lurus dengan persamaan garis
y = 1,121 x – 1,93 dan R2 = 0,531. Dengan menggunakan persamaan garis tersebut,
maka dapat diketahui konsentrasi fosfor dalam sampel yakni 18,897 ppm.
Analisis Krom(VI) secara Spektrofotometri
Pada analisis krom (VI) akan dilakukan empat macam percobaan, yaitu
penentuan panjang gelombang optimum, pembuatan kurva kalibrasi (penentuan
absorbansi larutan standar), penentuan absorbansi sampel, dan penentuan
pengaruh Cr (III) terhadap analisis Cr (VI). Analisis Cr(VI) ini digunakan metode
difenilkarbazida dan menggunakan spektrofotometri visible, sehingga larutan yang
diamati harus berwarna (mengandung kromofor). Sementara itu, lampu yang
k.wr ‘14
digunakan yakni lampu Wolfram yang memiliki panjang gelombang 350-800 nm.
Lampu ini hanya dapat digunakan untuk mengukur sampel pada daerah tampak saja.
Pada percobaan ini, digunakan larutan standar Cr(VI) dengan konsentrasi
bervariasi, yakni dengan konsentrasi 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 dan 0,5 ppm dari larutan stock
Cr(VI) 10 ppm. Terdapat 2 variasi penggunaan asam, yakni H2SO4 dan HCl. Larutan
Cr(VI) yang digunakan adalah larutan CrO42-. Adanya penambahan larutan asam
bertujuan untuk memberikan suasana asam pada larutan. Hal ini dikarenakan saat
larutan Cr(VI) direaksikan dengan 1,5-difenilkarbazida 0,01%, maka reaksi
pengompleksan Cr(VI) hanya berlangsung pada kondisi asam. Adanya ion-ion
hydrogen dari asam ini juga menyebabkan kromat berubah menjadi drikromat.
Reaksi yang terjadi saat larutan Cr(VI) direaksikan dengan asam adalah
sebagai berikut.
Adanya penambahan larutan 1,5-difenilkarbazida 0,01% bertujuan agar Cr(VI)
bereaksi dengan larutan 1,5-difenilkarbazida 0,01% membentuk kompleks dengan
warna kompleks merah keungungan (pink) jernih. Proses ini harus dalam suasana
asam. Adanya warna tersebut sangat diperlukan karena proses analisis yang
menggunakan spektrofotometri visible sangat disyaratkan untuk larutan berwarna.
Reaksi yang terjadi saat penambahan larutan larutan 1,5-difenilkarbazida
0,01% adalah sebagai berikut.
Pada analisis ini digunakan variasi larutan pengasam H2SO4 dan HCl. Variasi
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan larutan pengasam yang
digunakan. Seperti yang diketahui bahwa pada analisis Cr(VI) mengandung
interferensi berupa Mo(VI), Hg(I), Hg(II), Fe(III), dan V. Penggunaan H2SO4 akan lebih
baik dibandingkan HCl, karena jika dalam larutan mengandung interferensi Fe(III)
maka akan membentuk warna kompleks yang lebih rendah. Jika warna kompleks
dengan Fe(III) terlalu terlihat (menggunakan HCl), maka tentu akan mempengaruhi
proses absorbansi yang terjadi karena penyerapan cahaya oleh Cr(VI) juga akan
berbeda. Larutan dengan HCl akan berwarna lebih pink jika dibandingkan dengan
H2SO4.
Pada penentuan panjang gelombang optimum, digunakan larutan Cr(VI) 0
ppm sebagai larutan blangko dan larutan Cr(VI) 0,3 ppm sebagai larutan yang akan
k.wr ‘14
diuji. Pengujian dilakukan pada panjang gelombang 500 – 550 nm dengan interval 5
nm. Semakin pendek interval akan semakin baik karena lebih teliti.
Berdasarkan hasil percobaan penentuan panjang gelombang maksimum,
kemudian dibuat grafik λ vs A yang ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa pada penambahan dengan H2SO4,
nilai absorbansi tertinggi yakni pada 0,099 yang diperoleh saat nilai panjang
gelombangnya 545 nm. Sementara itu, pada penambahan dengan HCl, nilai
absorbansi tertinggi yakni pada 0,092 yang diperoleh saat nilai panjang
gelombangnya 545 nm. Hal ini berarti bahwa panjang gelombang optimum pada
H2SO4 dan HCl adalah 545 nm. Pada panjang gelombang tersebutlah yang lalu
digunakan untuk analisis larutan krom selanjutnya.
Dengan panjang gelombang optimumnya 545 nm, setiap larutan standar yang
akan dianalisis dan larutan sampel dengan menggunakan larutan P 0 ppm sebagai
blangko.
k.wr ‘14
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh panjang gelombang optimum baik
pada pada penambahan H2SO4 maupun HCl yakni 545 nm. Seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa penambahan 1,5-difenilkarbazida akan menyebabkan
terbentuknya senyawa kompleks berwarna merah keunguan. Warna ini merupakan
warna yang diamati, namun warna yang diserap merupakan warna
komplementernya. Warna merah keunguan memiliki warna komplementer hijau
dengan panjang gelombang 495 – 570 nm. Sehingga, hasil 540 nm sebagai panjang
gelombang optimum sudah benar karena berada pada rentang panjang gelombang
warna hijau yang merupakan warna komplementer dari larutannya.
Berdasarkan hasil percobaan penentuan absorbansi larutan standar 0,1; 0,2;
0,3; 0,4; dan 0,5 ppm dan nilai absorbansi sampel pada penambahan H2SO4 yakni
0,199 dan pada penambahan HCl yakni 0,163 , sehingga dapat dibuat kurva kalibrasi
antara C vs A. Kurva akan membentuk garis lurus dengan persamaan garis pada
penambahan H2SO4 yakni y = 0,27 x + 0,011 dan R2 = 0,974, sedangkan pada
penambahan HCl yakni y = 0,255 x + 0,011 dan R2 = 0,982. Dengan menggunakan
persamaan garis tersebut, maka dapat diketahui konsentrasi Cr(VI0 dalam sampel
dengan penambahan H2SO4 yakni 8,7 ppm, sedangkan dengan penambahan HCl
yakni 7,45 ppm.
Jika dibandingkan antara penambahan H2SO4 dengan HCl, terlihat bahwa nilai
absorbansi tiap senyawa dengan penambahan HCl akan lebih rendah disbanding
dengan penambahan H2SO4. Hal ini dimungkinkan karena adanya interferensi Fe(III)
dalam larutan yang mana jika dalam kondisi asam HCl akan membentuk sedikit
kompleks warna dibandingkan dengan asam H2SO4. Sehingga, penyerapan sinar pada
molekul senyawa pun akan berbeda, yang akibatnya nilai absorbansinya juga akan
berbeda.
Berdasarkan hasil percobaan tentang pengaruh Cr(III) terhadap analisis Cr(VI)
menunjukkan hasil bahwa dalam konsentrasi Cr(III) berapapun tidak memberikan
efek terhadap absorbansinya. Tapi, ada penyimpangan di mana saat ditambah 10 ml
Cr(III) terjadi perbedaan absorbansi yang cukup signifikan. Namun, jika dibandingkan
dengan 3 data sebelumnya masih dapat disimpulkan kalau Cr(III) tidak berpengaruh.
KESIMPULAN
...
DAFTAR PUSTAKA
Bassett, dkk., 1991, Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis Including
Elementary Instrumental Analysis, Longman Group UK Limited, London.
Beatty, R., 2001, The Elements Phosphorous, Marshall Cavendish Corporation, Tarrytown.
k.wr ‘14
Day, dkk., 1989, Analisis Kimia Kuantitatif, (ditejermahkan oleh: Pujaatmaka), Erlangga,
Jakarta.
Harvey, D., 2000, Modern Analytical Chemistry, McGraw-Hill Companies, USA.
Kakhki, R. M. et al., 2013, Extraction and Determination of Rose Bengal in Water Sample by
Dispersive Liquid-Liquid Microextraction Coupled to Uv-Vis Spectrophotometry, Arabian
Journal Of Chemistry, Hal 1-5.
Skoog, dkk., 2004, Fundamentals of Analytical Chemistry, Edisi Kedelapan, Thomsons
Learning Inc., Canada.
Meng, Z. D. et al., 2013, Enhanced Visible Light Photocatalytic Activity of Ag2S-
Graphene/TiO2 Nanocomposites Made by Sonochemical Synthesis, Chin. J. Catal., Vol 34, No
8, 1527-1533.
National Research Council, 1974, Chromium, National Academy of Science, Washington.
Pudjaatmaka, A. H., 2002, Kamus Kimia, Balai Pustaka, Jakarta.
Svehla, G., 1979, Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis, Edisi
Kelima, Longman Group Limited, London.
Wright, H., 1994, A Handbook of Soil Analysis, Logos Press, New Delhi.
top related