analisis kejadian gempa bumi di jawa timur 2017 ...repository.ub.ac.id/8705/1/farizky...
Post on 08-Nov-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS KEJADIAN GEMPA BUMI DI JAWA TIMUR
TAHUN 1960 – 2017 DENGAN MODEL RANTAI MARKOV
SKRIPSI
oleh:
FARIZKY HISYAM
115090713111003
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
ANALISIS KEJADIAN GEMPA BUMI DI JAWA TIMUR
TAHUN 1960 – 2017 DENGAN MODEL RANTAI MARKOV
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dalam bidang Fisika
oleh:
FARIZKY HISYAM
115090713111003
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
ANALISIS KEJADIAN GEMPA BUMI DI JAWA TIMUR
TAHUN 1960 – 2017 DENGAN MODEL RANTAI MARKOV
oleh:
FARIZKY HISYAM
115090713111003
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji
pada tanggal ...
dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dalam bidang Fisika
Pembimbing I
Drs. Adi Susilo, M.Si, Ph.D
NIP. 19631227 1991 03 1002
Pembimbing II
Drs. Wasis, M.AB
NIP. 19551109 1984 03 1001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Fisika
Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Muhammad Nurhuda, Rer.Nat
NIP. 19640910 1990 02 1001
iv
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
v
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Farizky Hisyam
NIM : 115090713111003
Jurusan : Fisika
Penulis Skripsi berjudul : Analisis Kejadian Gempa Bumi di
Jawa Timur Tahun 1960 – 2017 dengan Model Rantai Markov
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Isi skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya
sendiri dan tidak menjiplak karya orang lain. Karya-
karya dari nama-nama yang tercantum dalam Daftar
Pustaka digunakan semata-mata sebagai referensi atau
acuan.
2. Apabila di kemudian hari ternyata Skripsi yang saya
tulis terbukti hasil jiplakan maka saya akan bersedia
menanggung semua risiko yang akan saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, Oktober 2017
Yang menyatakan,
(Farizky Hisyam)
NIM. 115090713111003
vi
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
vii
ANALISIS KEJADIAN GEMPA BUMI DI JAWA TIMUR
TAHUN 1960 – 2017 DENGAN MODEL RANTAI MARKOV
ABSTRAK
Telah dilakukan analisis kejadian gempa bumi di Jawa Timur dengan
menggunakan model rantai Markov. Jawa Timur merupakan wilayah
dengan aktivitas kegempaan tinggi yang berasal dari aktivitas
subduksi dan sesar darat. Dibandingkan dengan model stokastik
lainnya, rantai Markov mampu menganalisis urut-urutan kejadian
gempa bumi di suatu wilayah dengan tingkat kegempaan tinggi. Data
yang digunakan adalah katalog gempa di Jawa Timur dan sekitarnya
tahun 1960 – 2017. Data diklasifikasikan menjadi gempa subduksi
dan gempa sesar darat. Data gempa didekluster dengan algoritma
Reasenberg (1985) untuk menghilangkan gempa susulan. Analisis
secara spasial dilakukan dengan membagi wilayah penelitian ke
dalam 9 region. Matriks probabilitas transisi yang memberikan
informasi probabilitas transisi terbesar kejadian gempa di setiap
regionnya dihitung untuk batas magnitudo yang berbeda.
Selanjutnya, uji Chi Kuadrat dilakukan untuk melakukan uji
independensi antarkejadian gempa. Analisis secara magnitudo
dilakukan dengan menentukan 3 keadaan magnitudo untuk gempa
kecil, moderat, dan besar. Dalam upaya analisis bahaya kegempaan
maka analisis rantai Markov dilakukan secara temporal dengan
menentukan periode aktif (1) dan inaktif (0) di setiap region
berdasarkan kejadian gempa 5 dan kedalaman 70 km di
setiap interval waktu yang telah ditentukan. Dari probabilitas transisi
dua keadaan ini dapat ditentukan durasi rata-rata periode aktif dan
inaktif di setiap region. Secara spasial dan magnitudo, kejadian
gempa subduksi 4 dan 5 serta gempa sesar darat 3 di
wilayah penelitian menunjukkan sifat rantai Markov orde pertama
dengan kuat. Secara temporal durasi rata-rata periode inaktif di
wilayah penelitian bervariasi dari 2,5 – 13,5 tahun. Hasil analisis ini
dapat digunakan dalam melakukan penilaian bahaya kegempaan di
wilayah Jawa Timur.
Kata Kunci: Rantai Markov, Kejadian Gempa, Jawa Timur, 1960 –
2017, Spasial, Magnitudo, Temporal.
viii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
ix
ANALYSIS OF EARTHQUAKE OCCURRENCE IN EAST JAVA
BETWEEN 1960 – 2017 USING MARKOV CHAIN MODEL
ABSTRACT
Earthquake occurrence in East Java has been analyzed using Markov
chain model. East Java is one of region prone to high seismicity
associated with subduction and inland fault activities. Compared
with another stochastic models, Markov chain enables to analyze
earthquake occurrence sequence in a high seismicity region. The
used catalog data comprised of earthquake events from East Java and
its vicinity for the time interval 1960 until 2017. Data were classified
into subduction earthquake and inland fault earthquake. Thereafter,
the data were declustered using Reasenberg (1985) algorithm for
removing the aftershock. Spatial analysis was conducted by dividing
the research area into 9 regions. Transition probability matrixes
which give information about the highest transition probability of
earthquake occurrence in each region were calculated for different
magnitude thresholds. Furthermore, Chi Square test has been applied
in order to examine the independence between earthquakes
occurrence. Magnitude analysis was carried by considering 3 states
of magnitude (small, moderate, and large earthquake). For seismic
hazard analysis purpose, the temporal Markov chain analysis has
been employed by determining the active (1) and inactive (0) period
in each region based on the occurrence of earthquake with 5
and depth 70 km. From the two state probability transition, the
mean duration of active and inactive periods in each region have
been obtained. Both spatial and magnitude analysis results inferred
that subduction earthquake with 4, 5, and inland fault
earthquake with 3 exhibited strong first order Markov property,
i.e. there was a robust dependency between an earthquake occurrence
and the successive occurrence. The mean duration of inactive period
in research area varied from 2.5 until 13.5 years. Thus, these analysis
results were very useful in assessing the seismic hazard in East Java.
Keywords: Markov Chain, East Java, Earthquake Occurrence, 1960
– 2017, Spatial, Magnitude, Temporal.
x
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin. Puji syukur kehadirat Allah
S.W.T. Penulis panjatkan karena atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya, Penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan judul
“Analisis Kejadian Gempa Bumi di Jawa Timur Tahun 1960 –
2017 dengan Model Rantai Markov”. Laporan Tugas Akhir ini
Penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Brawijaya.
Motivasi Penulis untuk melakukan penelitian Tugas Akhir
dengan judul ini beranjak dari sebuah kutipan salah satu surat kabar
nasional bertanggal 30 Oktober 2010 (empat hari pascabencana
erupsi Merapi dan gempa Mentawai 2010) yang Penulis baca di lobi
sebuah penginapan – sekitar 24,5 kilometer sebelah Selatan dari
puncak Merapi:“Bahwa kita hidup di atas bara api, tinggal di
perbatasan tiga lempengan Eropa-Asia, Asia-Pasifik, dan Australia-
Asia yang setiap saat berderak-derak”. Dengan demikian, perlunya
pemahaman yang baik mengenai kondisi seismisitas Indonesia dalam
upaya kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan bencana geologi
yang terjadi adalah sebuah keniscayaan.
Penyelesaian laporan Tugas Akhir ini juga tidak akan tercapai
tanpa adanya bantuan dari sejumlah pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah S.W.T. atas 86.400 sekon yang telah Dia berikan
setiap harinya. Hva mer trenger du? 2. Keluarga Penulis atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang
selama ini tidak pernah berhenti diberikan: Bapak, ayah
serba bisa (superdad) yang memperkenalkan ketertarikan
Penulis akan sejarah (arkeologi!) dan pengetahuan umum.
Ibu, yang selalu menyisipkan motivasi dan mengingatkan
Penulis untuk tidak boleh berkecil hati karena semua anak
memiliki kesempatan yang sama. Adik, teman bermain dan
bertengkar masa kecil, yang memiliki tujuan sama meskipun
mencapainya dengan cara yang berlainan. 3. Bapak Muhammad Nurhuda, selaku ketua jurusan Fisika
Universitas Brawijaya dan Bapak Alamsyah M. Juwono
xii
selaku ketua program studi Geofisika Universitas Brawijaya
yang telah mengizinkan Penulis untuk melaksanakan
penelitian Tugas Akhir ini.
4. Bapak Adi Susilo, selaku dosen Pembimbing Akademik
Penulis selama menempuh S1 dan Pembimbing I yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, saran, dan masukan
kepada Penulis.
5. Bapak Wasis, selaku dosen Pembimbing II, atas kesediaan
waktu, bimbingan, dan perbaikan penulisan yang diberikan
hingga selesainya penulisan laporan ini.
6. Bapak Sugeng Rianto, selaku dosen Penguji, atas masukan
dan perbaikan yang diberikan kepada Penulis dalam
penulisan laporan ini.
7. Teman-teman seperjuangan Geofisika 2011 dan 2012
(dualisme angkatan!) Universitas Brawijaya, atas sambutan
hangatnya selama menjadi bagian dari keluarga besar
Geofisika Universitas Brawijaya dan telah menemani hari-
hari Penulis dalam 5 tahun ini. Ambisi, daya juang, dan
semangat belajar mereka menyadarkan Penulis bahwa di atas
troposfer masih ada stratosfer dan di bawah litosfer masih
ada astenosfer.
8. Teman-teman Teknik Pengairan 2011 Universitas Brawijaya
yang menemani tahun pertama Penulis di Universitas
Brawijaya dengan kegiatan probin maba, tugas (maha)besar,
dan kebetulan atau tidak, pergi ke tempat-tempat yang
berawalan dengan huruf “B”. Satu tahun yang luar biasa
bersama kalian! Vivere pericoloso!
9. Ibu Wahyu Widiastuti dan Mbak Sarah Sausan yang telah
“menjerumuskan” Penulis untuk mempelajari ilmu
Kebumian – ilmu yang telah membesarkan Penulis.
10. Teman-teman dan adik-adik seperjuangan dalam belajar ilmu
Kebumian: Ika, Dean, Irma, Apre, Mila, Fatma, Eta, Nando,
Lisya, Tania, Cindy, Mita, Ana, Uli, Izzah, Jason, Nanda,
Mala, dan lainnya yang tidak bisa ditulis satu per satu di sini.
Dari mereka, Penulis tahu arti perjuangan dan pengorbanan
dalam meraih impian.
11. Tenaga pendidik jurusan Fisika Universitas Brawijaya yang
mengampu sejumlah mata kuliah yang telah ditempuh oleh
xiii
Penulis: Pak Adi, Pak Sukir, Pak Sunaryo, Pak Juwono, Pak
Wasis, Pak Rouf, Pak Gancang, Pak Didik, Pak Johan, Pak
Dayat, Pak Djamil, Pak Mauludi, Pak Nadhir, Pak Nurhuda,
Pak Unggul, Pak Naba, Bu Iswarin, Mas Koko, dan Mas
Irwan. Terima kasih atas ilmunya.
12. Keluarga besar jurusan Fisika Universitas Brawijaya: staff
dan karyawan yang telah membantu Penulis dalam
kelancaran administrasi selama proses studi S1 ini, serta
kakak tingkat dan adik tingkat Penulis atas masukan, materi,
dan pengalaman yang telah dibagikan kepada Penulis.
13. Pemerintah Republik Indonesia yang telah memberi bantuan
finansial kepada Penulis melalui beasiswa OSI tahun
anggaran 2012 – 2014.
14. Semua pihak yang secara sengaja maupun tidak sengaja
memberikan dukungan dan inspirasi bagi Penulis sehingga
membantu dalam kelancaran proses “FEXIT”.
15. Pembaca tulisan ini ^^
Penyusunan laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun
dari Pembaca sangat diharapkan demi perbaikan penulisan di masa
mendatang dan dapat disampaikan kepada Penulis melalui alamat e-
mail: hishamfarizky@gmail.com. Penulis berharap laporan Tugas
Akhir ini dapat bermanfaat dan menjadi kontribusi kecil dalam
kemajuan perkembangan ilmu Geofisika, khususnya Seismologi, di
Indonesia. Amin.
Malang, Oktober 2017
Penulis
xiv
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................. v
ABSTRAK/ABSTRACT ......................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xix
DAFTAR TABEL .................................................................... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................... xxiv
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN............................... xxvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................... 5
1.3 Batasan Masalah ........................................................ 5
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 7
2.1 Struktur Interior Bumi................................................ 7
2.2 Teori Tektonik Lempeng ........................................... 8
2.3 Teori Elastisitas .......................................................... 11
2.4 Modulus Elastisitas .................................................... 13
2.5 Teori Bingkas Elastis (Elastic Rebound Theory) ....... 15
2.6 Gelombang Seismik ................................................... 18
2.6.1 Gelombang Badan .............................................. 20
2.6.2 Gelombang Permukaan ...................................... 22
2.7 Parameter Gempa Bumi ............................................. 23
2.7.1 Hiposenter .......................................................... 23
2.7.2 Episenter ............................................................. 24
2.7.3 Magnitudo Gempa Bumi .................................... 25
2.7.4 Intensitas Gempa Bumi ...................................... 28
2.7.5 Waktu Asal (Origin Time) .................................. 29
2.8 Tipe Gempa Bumi ...................................................... 29
2.9 Hipotesis Kesenjangan Gempa (Seismic Gap)........... 31
2.10 Sekuen Gempa Bumi ................................................. 32
2.11 Metode Dekluster ....................................................... 35
2.12 Geologi Regional Jawa Timur ................................... 36
xvi
2.13 Fisiografi Jawa Timur ................................................ 39
2.14 Pola Kegempaan Jawa Timur ..................................... 41
2.14.1 Gempa Subduksi ................................................. 43
2.14.2 Gempa Sesar Darat ............................................. 47
2.14.3 Kala Ulang Gempa di Jawa Timur ..................... 49
2.15 Teori Probabilitas ....................................................... 49
2.16 Teorema Bayes ........................................................... 51
2.17 Hipotesis ..................................................................... 52
2.18 Uji Chi Kuadrat .......................................................... 53
2.19 Proses Stokastik ......................................................... 54
2.20 Matriks ....................................................................... 55
2.21 Proses Markov ............................................................ 56
2.21.1 Definisi dan Sifat Proses Markov ....................... 56
2.21.2 Klasifikasi Proses Markov .................................. 57
2.21.3 Matriks Probabilitas Transisi -Langkah .......... 58
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................. 63
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ............... 63
3.2 Rancangan Penelitian ................................................. 63
3.3 Material Penelitian ..................................................... 64
3.4 Langkah Penelitian ..................................................... 65
3.4.1 Pengumpulan Data .............................................. 65
3.4.2 Dekluster Data .................................................... 66
3.4.3 Pembuatan Peta Seismisitas ............................... 68
3.4.4 Penentuan Keadaan ............................................ 68
3.4.5 Perhitungan Probabilitas Transisi Spasial dan
Magnitudo........................................................... 71
3.4.6 Pengujian Hipotesis ............................................ 74
3.4.7 Perhitungan Probabilitas Transisi Temporal ...... 76
3.4.8 Interpretasi Data ................................................. 77
3.5 Diagram Alir Penelitian ............................................. 78
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................. 79
4.1 Hasil Dekluster ........................................................... 79
4.2 Peta Seismisitas .......................................................... 83
4.3 Analisis Rantai Markov Spasial ................................. 85
4.3.1 Pembahasan Penentuan Region Berdasarkan
Pola Seismisitas dan Geologi ............................. 85
4.3.2 Gempa Sesar Darat ............................................. 89
4.3.3 Gempa Subduksi ................................................. 102
xvii
4.3.4 Korelasi Analisis Rantai Markov Gempa
Subduksi dan Sesar Darat ................................... 116
4.4 Analisis Rantai Markov Magnitudo ........................... 117
4.5 Analisis Rantai Markov Temporal ............................. 119
4.6 Prediksi Kejadian Gempa di Jawa Timur .................. 122
4.6.1 Prediksi Kejadian Gempa Secara Spasial di
Jawa Timur ......................................................... 122
4.6.2 Prediksi Kejadian Gempa Secara Temporal di
Jawa Timur ......................................................... 126
BAB V PENUTUP ................................................................... 129
5.1 Kesimpulan ................................................................ 129
5.2 Saran .......................................................................... 130
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 131
LAMPIRAN ............................................................................. 141
xviii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Struktur dan tatanan tektonik wilayah Indonesia
dan Asia Tenggara ............................................... 3
Gambar 2.1 Struktur interior Bumi ......................................... 7
Gambar 2.2 Distribusi lempeng tektonik di Bumi beserta
batas antarlempeng .............................................. 9
Gambar 2.3 Tiga tipe batas lempeng tektonik (a) divergen,
(b) konvergen, dan (c) transform ......................... 10
Gambar 2.4 Evolusi lempeng samudera yang membentuk
siklus melalui tektonik lempeng .......................... 11
Gambar 2.5 Sebuah silinder pejal diberi gaya F pada kedua
ujungnya .............................................................. 12
Gambar 2.6 Hubungan tegangan (stress) dan regangan
(strain) ................................................................. 13
Gambar 2.7 Sebuah bola dalam kasus modulus bulk dan
balok dalam kasus modulus geser ....................... 14
Gambar 2.8 Penjelasan terjadinya gempa menurut teori
bingkas elastis ..................................................... 16
Gambar 2.9 Analogi teori bingkas elastis dengan sebuah
blok kayu yang ditarik oleh sebuah pegas ........... 17
Gambar 2.10 Siklus gempa bumi sebagai suatu perubahan
tegangan terhadap waktu ..................................... 18
Gambar 2.11 Mekanisme terpicunya gelombang seismik dari
sumber gempa (fokus) yang merupakan bidang
sesar ..................................................................... 19
Gambar 2.12 Arah gerak partikel suatu medium apabila
dilalui oleh gelombang P dan SV ........................ 21
Gambar 2.13 Tipe gelombang permukaan Rayleigh dan Love
beserta arah gerak partikel medium yang
dilaluinya ............................................................. 23
Gambar 2.14 Diagram yang menunjukkan episenter, fokus
(hiposenter), dan bidang sesar ............................. 25
Gambar 2.15 Penentuan waktu asal dengan diagram Wadati ... 29
Gambar 2.16 Tipe sekuen gempa bumi..................................... 32
Gambar 2.17 Gempa susulan dan gempa pendahuluan di
sekitar fokus ........................................................ 33
xx
Gambar 2.18 Profil sayatan melintang Pulau Jawa dari arah
Selatan (S) ke Utara (N) ..................................... 37
Gambar 2.19 Arah pola struktur di Jawa Timur ....................... 38
Gambar 2.20 Zonasi fisiografi Jawa Timur. ............................. 41
Gambar 2.21 Model lajur sumber gempa bumi subduksi
berdasarkan sudut kemiringan ............................ 42
Gambar 2.22 Segmentasi zona sumber gempa subduksi dan
sesar dangkal di wilayah Busur Sunda ............... 43
Gambar 2.23 Diagram ilustrasi terjadinya sesar anjak yang
berasosiasi dengan gempa interplate/megathrust
............................................................................ 44
Gambar 2.24 Profil penampang gempa bumi di wilayah Jawa
Timur dari arah Selatan ke Utara ........................ 45
Gambar 2.25 Profil vertikal citra tomografi di sepanjang
busur Sunda. ....................................................... 46
Gambar 2.26 Distribusi sesar dangkal di wilayah Jawa Timur 48
Gambar 2.27 Peta jalur sesar aktif di wilayah Jawa Timur dan
sekitarnya ............................................................ 48
Gambar 2.28 Irisan dan gabungan kejadian dan ............... 50
Gambar 2.29 Dua kejadian yang saling lepas dan tidak saling
bergantung (independen) .................................... 51
Gambar 2.30 Contoh diagram transisi dua keadaan ................. 60
Gambar 2.31 Diagram transisi dan matriks probabilitas
transisi untuk kasus peramalan cuaca ................. 62
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ....................................... 78
Gambar 4.1 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi
episenter gempa bumi sesar darat di wilayah
penelitian setelah dekluster ................................. 79
Gambar 4.2 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi
episenter gempa bumi subduksi di wilayah
penelitian setelah dekluster ................................. 80
Gambar 4.3 Grafik frekuensi kumulatif kejadian gempa
subduksi sebelum dan setelah dekluster ............. 81
Gambar 4.4 Grafik frekuensi kumulatif kejadian gempa
sesar darat sebelum dan setelah dekluster ........ 82
Gambar 4.5 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi
gempa sesar darat di wilayah penelitian ............. 84
xxi
Gambar 4.6 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi
gempa subduksi di wilayah penelitian ................ 85
Gambar 4.7 Pembagian region sebagai keadaan dalam
pemodelan kejadian gempa subduksi secara
spasial .................................................................. 86
Gambar 4.8 Pembagian region sebagai keadaan dalam
pemodelan kejadian gempa sesar darat secara
spasial .................................................................. 88
Gambar 4.9 Diagram transisi di setiap region untuk kasus
gempa sesar darat 3 wilayah penelitian ...... 92
Gambar 4.10 Diagram transisi utama di setiap region untuk
kasus gempa sesar darat 4 wilayah
penelitian ............................................................. 95
Gambar 4.11 Diagram transisi utama di setiap region untuk
kasus gempa sesar darat 5 wilayah
penelitian ......................................................... 98
Gambar 4.12 Peta hasil penampalan laju regangan hasil
pengukuran GPS di wilayah darat Pulau Jawa
dengan diagram transisi ....................................... 101
Gambar 4.13 Diagram transisi utama di setiap region untuk
kasus gempa subduksi 4 wilayah
penelitian ............................................................. 105
Gambar 4.14 Diagram transisi utama di setiap region untuk
kasus gempa subduksi 5 wilayah
penelitian ............................................................. 109
Gambar 4.15 Diagram transisi utama di setiap region untuk
kasus gempa subduksi 6 wilayah
penelitian ............................................................. 112
Gambar 4.16 Profil sayatan vertikal zona Benioff Wadati
berdasarkan distribusi fokus gempa di zona 1, 2,
dan 3 .................................................................... 116
Gambar 4.17 Histogram yang menampilkan durasi rata-rata
(tahun) periode aktif dan inaktif untuk setiap
region................................................................... 121
Gambar 4.18 Transisi kejadian gempa subduksi untuk ≥ 5
di wilayah penelitian pada tahun 2017 ................ 124
Gambar 4.19 Transisi kejadian gempa sesar darat untuk ≥
3 di wilayah penelitian sejak tahun 2016 ............ 125
xxii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xxiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi gempa bumi berdasarkan magnitudo ... 28
Tabel 2.2 Klasifikasi gempa tektonik .................................... 30
Tabel 2.3 Klasifikasi proses Markov ..................................... 58
Tabel 3.1 Alokasi waktu pelaksanaan penelitian Tugas
Akhir ...................................................................... 63
Tabel 3.2 Parameter yang digunakan dalam dekluster untuk
kasus gempa sesar darat dan gempa subduksi ....... 67
Tabel 3.3 Batas koordinat masing-masing region di wilayah
penelitian untuk kasus gempa subduksi ................. 69
Tabel 3.4 Batas koordinat masing-masing region di wilayah
penelitian untuk kasus gempa sesar darat .............. 70
Tabel 3.5 Format matriks probabilitas transisi untuk
keadaan region dan elemennya .............................. 72
Tabel 3.6 Format matriks probabilitas transisi untuk
keadaan magnitudo dan elemennya ...................... 73
Tabel 3.7 Format matriks probabilitas transisi untuk
keadaan periode aktif dan inaktif beserta
elemennya .............................................................. 76
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi kejadian gempa sesar darat
≥ 3 di masing-masing region ................................ 89
Tabel 4.2 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan
region, vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi
Kuadrat kejadian gempa sesar darat ≥ 3 ............ 90
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi kejadian gempa sesar darat
≥ 4 di masing-masing region ............................... 93
Tabel 4.4 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan
region, vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi
Kuadrat kejadian gempa sesar darat ≥ 4 ............ 94
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi kejadian gempa sesar darat
≥ 5 di masing-masing region ................................. 96
Tabel 4.6 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan
region, vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi
Kuadrat kejadian gempa sesar darat ≥ 5 ............ 97
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi kejadian gempa subduksi
≥ 4 di masing-masing region ................................. 102
xxiv
Tabel 4.8 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan
region, vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi
Kuadrat kejadian gempa subduksi ≥ 4 .............. 103
Tabel 4.9 Distribusi frekuensi kejadian gempa subduksi
≥ 5 di masing-masing region ................................. 106
Tabel 4.10 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan
region, vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi
Kuadrat kejadian gempa subduksi ≥ 5 .............. 106
Tabel 4.11 Distribusi frekuensi kejadian gempa subduksi
≥ 6 di masing-masing region ................................. 109
Tabel 4.12 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan
region, vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi
Kuadrat kejadian gempa subduksi ≥ 6 .............. 110
Tabel 4.13 Distribusi frekuensi kejadian gempa untuk
masing-masing magnitudo .................................... 117
Tabel 4.14 Matriks frekuensi – probabilitas transisi, vektor
probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat untuk
keadaan magnitudo ............................................... 118
Tabel 4.15 Matriks Frekuensi Transisi Keadaan Periode
Aktif (1) dan Periode Inaktif (0) Region A1 ......... 119
Tabel 4.16 Matriks Probabilitas Transisi keadaan Periode
Aktif (1) dan Periode Inaktif (0) Region A1 ......... 119
Tabel 4.17 Matriks frekuensi dan probabilitas transisi
keadaan periode aktif (1) dan periode inaktif (0)
semua region ......................................................... 120
Tabel 4.18 Tahun terakhir aktif dan probabilitas transisi dari
keadaan inaktif menjadi aktif untuk masing-
masing region ........................................................ 126
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Tabel nilai Chi Kuadrat .......................................... 141
Lampiran 2 Tabel skala Modified Mercalli Intensity ................ 142
Lampiran 3 Tabel skala waktu geologi ..................................... 144
Lampiran 4 Data gempa sesar darat .............................. 145
Lampiran 5 Perhitungan nilai Chi Kuadrat gempa sesar darat
≥3 ........................................................................ 148
Lampiran 6 Data gempa sesar darat .............................. 150
Lampiran 7 Perhitungan nilai Chi Kuadrat gempa sesar
darat ≥4 ............................................................... 152
Lampiran 8 Data gempa sesar darat .............................. 154
Lampiran 9 Perhitungan nilai Chi Kuadrat gempa sesar darat
≥5 ........................................................................ 155
Lampiran 10 Data gempa subduksi ................................ 157
Lampiran 11 Perhitungan nilai Chi Kuadrat gempa subduksi
≥4 ........................................................................ 189
Lampiran 12 Data gempa subduksi ................................ 191
Lampiran 13 Perhitungan nilai Chi Kuadrat gempa subduksi
≥5 ....................................................................... 199
Lampiran 14 Data gempa subduksi ................................ 201
Lampiran 15 Perhitungan nilai Chi Kuadrat gempa subduksi
≥6 ....................................................................... 202
xxvi
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
xxvii
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN
Simbol Keterangan
keadaan periode inaktif
1 keadaan periode aktif
elemen matriks
luas, amplitudo, matriks
transpos matriks
komplemen dari kejadian
konstanta
kecepatan gelombang Love
kecepatan gelombang Rayleigh
kedalaman hiposenter/fokus gempa
perpindahan rata-rata
elemen matriks frekuensi transisi harapan
gaya
hipotesis awal
matriks identitas
modulus bulk, kelas frekuensi
konstanta
panjang
baris matriks
magnitudo gelombang badan
magnitudo gempa
magnitudo lokal/Richter
magnitudo gelombang permukaan
magnitudo momen
momen gempa
kolom matriks, jumlah/frekuensi kejadian
elemen matriks frekuensi transisi
orde rantai Markov
elemen matriks frekuensi transisi pengamatan
elemen matriks probabilitas transisi
tekanan
P1 ukuran keyakinan untuk mengamati adanya kejadian
gempa selanjutnya
probabilitas kejadian
xxviii
probabilitas bersyarat (probabilitas terjadinya kejadian
setelah terjadi kejadian )
fungsi koreksi
faktor radius interaksi
himpunan semesta
waktu
waktu tiba gelombang P di stasiun
waktu tiba gelombang S di stasiun
periode
waktu minimum untuk membentuk sebuah kluster
waktu maksimum untuk membentuk sebuah kluster
kelajuan
volume
lebar
jarak, panjang
xk faktor peningkatan magnitudo cutoff bawah
magnitudo cutoff
proses Markov
kecepatan gelombang P, probabilitas transisi keadaan 0
menjadi 1
kecepatan gelombang S, probabilitas transisi keadaan 1
menjadi 0
perubahan, jarak episenter
regangan
sudut
modulus rigiditas
koefisien gesek dinamis
koefisien gesek statis
anggota himpunan
densitas
tegangan
interval waktu
Chi Kuadrat
Chi kuadrat kritis
irisan dua himpunan
gabungan dua himpunan
himpunan kosong
xxix
Singkatan Keterangan
BB
BMKG
BT
C
CSV
DJA
FPV
GCMT
GMT
GPS
HRV
ISCGEM
LU
LS
MMI
MPV
NC
NOAA
P
R
rms
S
SH
SV
US
USGS
VPT
Bujur Barat
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Bujur Timur
Cloudy (berawan)
Comma Separated Value
Lembaga Meteorologi dan Geofisika, Jakarta
Fixed Probability Vector
Global Centroid Moment Tensor
Generic Mapping Tool
Global Positioning System
Harvard University
International Seismological Centre Global
Earthquake Model
Lintang Utara
Lintang Selatan
Modified Mercalli Intensity
Margin Probability Vector
National Earthquake Information Center NEIC
National Oceanic and Atmospheric Administration
Gelombang P/Kompresi/Primer
Rainy (hujan)
Root mean square
Gelombang S/Shear/Sekunder, Sunny (Cerah)
Shear Horizontal
Shear Vertical
National Earthquake Information Center USGS
United States Geological Survey
Vektor Probabilitas Tetap
xxx
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa gempa besar sering menyebabkan kerusakan di
permukaan Bumi, kerugian material, hingga korban jiwa.
Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar kerugian dan
korban akibat gempa bumi ini disebabkan oleh kerusakan dan
kegagalan infrastruktur (Irsyam dkk., 2010). Permasalahan utama
dari bahaya gempa bumi adalah gempa bumi terjadi secara tiba-tiba
dan tanpa adanya pertanda sebelumnya sehingga waktu, lokasi, serta
magnitudonya sulit untuk diprediksi dengan pasti (Andersson, 2015).
Alasan ini tentunya menjadi dorongan bagi ahli Seismologi selama
beberapa dekade terakhir untuk mempelajari metode yang paling
akurat dalam memprediksi kejadian gempa bumi.
Pendekatan yang dianggap valid dalam memprediksi waktu,
magnitudo, dan lokasi terjadinya suatu gempa bumi adalah
pemodelan statistik (Allen, 1982 dalam Mostafei dan Kordnoori,
2013). Pemodelan statistik gempa bumi semakin penting untuk
dilakukan. Hal ini didukung dengan peningkatan jumlah data
kejadian gempa bumi dalam katalog dan jaringan stasiun perekam
gempa yang tersedia belakangan ini (Bağci, 1996). Pemodelan
statistik kejadian gempa yang dapat digunakan untuk memperkirakan
kejadian gempa adalah pemodelan stokastik (Votsi dkk., 2013).
Pemodelan stokastik kejadian gempa bumi dibagi menjadi dua, yaitu
dengan memori (with-memory) dan tanpa memori (memoryless).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan memori adalah memori
kejadian (lokasi, waktu, dan magnitudo) gempa bumi saat ini yang
akan mempengaruhi kejadian gempa bumi yang akan datang.
Model Poisson maupun distribusi Gutenberg-Richter
merupakan model stokastik yang sering digunakan untuk
mendeskripsikan kejadian gempa bumi di suatu wilayah (Stein dan
Wysession, 2003). Dalam model ini diasumsikan bahwa kejadian
gempa bumi tidak bergantung (independent) pada waktu dan lokasi
kejadian gempa yang telah terjadi sebelumnya (memoryless) di
wilayah yang sama. Tentunya hal ini kurang sesuai dengan teori
bingkas elastis yang telah berkembang dalam ilmu Seismologi.
Setelah tegangan yang terakumulasi dalam batuan dilepaskan dalam
2
kejadian gempa, maka tegangan akan meningkat secara perlahan dan
terakumulasi kembali hingga kejadian gempa berikutnya. Dalam
kasus ini, probabilitas gempa besar di suatu wilayah akan segera
berubah menjadi kecil setelah terjadi gempa dan untuk selanjutnya
akan meningkat dengan bertambahnya waktu (Stein dan Wysession,
2003).
Model Markov merupakan model stokastik yang dapat
digunakan sebagai alternatif dalam pemodelan kejadian gempa bumi.
Model Markov ini bersifat memori satu langkah (one step memory)
(Patwardhan, 1980), yaitu kejadian gempa bumi di suatu wilayah
bergantung (dependent) secara waktu dan lokasi dari kejadian gempa
bumi sebelumnya. Model ini juga memungkinkan untuk dilakukan
perkiraan kejadian gempa bumi di suatu wilayah berdasarkan data
dalam katalog gempa yang tersedia (Cavers dan Vasudevan, 2014).
Hal ini dilakukan dengan menganalisis probabilitas transisi kejadian
gempa bumi, yaitu probabilitas kejadian gempa di suatu lokasi saat
ini akan segera diikuti dengan kejadian gempa di lokasi lainnya.
Oleh sebab itu, pertanyaan yang sering muncul setelah terjadi gempa
besar adalah tentang lokasi dan waktu terjadi gempa besar
selanjutnya.
Model Markov telah digunakan dalam analisis bahaya
kegempaan sejak tahun 1980 (Votsi dkk., 2013). Beberapa peneliti
telah menggunakan model Markov dan pengembangannya untuk
memodelkan kejadian gempa di beberapa wilayah dengan tingkat
kegempaan tinggi. Patwardhan dkk. (1980) telah memodelkan
perulangan kejadian gempa besar di Sirkum Pasifik (Ring of Fire)
dengan model Markov. Selain itu, model Markov dapat
mendeksripsikan kejadian gempa bumi yang berasosiasi dengan
sistem sesar besar, seperti Sesar Anatolia di Turki (Bağci, 1996;
Doğaner dan Çalik, 2013; Altinok dan Kolcak, 1999; Ünal dan
Çelebioğlu, 2011), maupun gempa di zona subduksi di Yunani
(Polimenakos, 1995; Votsi dkk., 2013), Iran (Mostafei dan
Kordnoori, 2013; Sadeghian, 2012), Sumatera bagian Utara
(Orfanogiannaki dkk., 2014), serta Kepulauan Azores (Rodriguez
dan Oliveira, 2016). Pemodelan Markov juga dapat menunjukkan
adanya migrasi kejadian gempa di wilayah Alaska Selatan dan
Kepulauan Aleutian (Tsapanos dan Papadopoulou, 1999). Lebih
lanjut, Nava dkk. (2005) telah menerapkan pemodelan Markov untuk
3
melakukan evaluasi bahaya gempa bumi di wilayah Jepang. Dengan
demikian, pemodelan kejadian gempa bumi dengan model Markov
dapat diterapkan pada wilayah dengan aktivitas kegempaan yang
tinggi.
Sementara itu, wilayah dengan tingkat kegempaan paling
tinggi di dunia adalah Indonesia (Yozo, 2005). Kondisi kegempaan
di wilayah Indonesia ini tidak terlepas dari lokasinya yang berada
pada zona konvergensi empat lempeng sekaligus (Gambar 1.1), yaitu
lempeng Indo-Australia yang bergerak dengan arah Utara-Timur
Laut (7 cm/tahun), lempeng Filipina yang bergerak dengan arah
Utara-Barat Daya (8 cm/tahun), lempeng Caroline yang bergerak
dengan arah Barat-Barat Laut (10,2 cm/tahun), dan lempeng Eurasia
yang bergerak lebih lambat, yakni 0,4 cm/tahun (Simandjuntak dan
Barber, 1996).
Gambar 1.1 Struktur dan tatanan tektonik wilayah Indonesia dan
Asia Tenggara (Simandjuntak dan Barber, 1996)
Berdasarkan aspek tenaga tektonik, Indonesia bagian Timur
memiliki potensi ancaman bencana gempa bumi dua kali lipat
dibandingkan dengan Indonesia bagian Barat. Hal ini diperkuat
dengan beberapa bukti tumbukan maupun papasan lempeng yang
teramati dengan baik di kawasan Indonesia Timur. Namun,
berdasarkan aspek kerentanan, Indonesia bagian Barat, khususnya
4
Pulau Jawa dan Sumatera, dinilai lebih rentan terhadap bencana
gempa bumi karena populasi penduduk yang lebih padat dan
infrastruktur yang lebih berkembang (Natawidjaja dan Triyoso, 2007
dalam Pakpahan dkk., 2015). Dengan proyeksi populasi penduduk
mencapai 145.143.600 jiwa, Pulau Jawa merupakan pulau dengan
populasi penduduk terbesar di Indonesia atau bahkan di dunia.
Sekitar 38.847.600 jiwa dari populasi tersebut tersebar di Provinsi
Jawa Timur (Badan Pusat Statistik, 2015).
Wilayah Jawa Timur sering mengalami gempa berintensitas
moderat hingga besar yang tercatat secara historis maupun
instrumen. Potensi gempa merusak di Jawa Timur bersumber pada
aktivitas subduksi maupun sesar di darat. Gempa terbesar di wilayah
Jawa Timur yang pernah tercatat oleh instrumen adalah gempa bumi
yang terjadi pada tanggal 3 Juni 1994 dengan 7,8. Pada
prinsipnya, apabila pada suatu wilayah pernah terjadi kejadian
gempa besar yang merusak, maka dapat dipastikan bahwa wilayah
tersebut rawan terhadap bahaya gempa bumi dengan magnitudo
paling tidak sama dengan yang pernah terjadi. Wilayah tersebut
harus siap menghadapi kejadian gempa bumi serupa atau lebih besar
di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan, proses gempa bumi
mempunyai siklus dan berulang dengan kisaran periode ulang
tertentu (Wijaya dkk., 2014). Dengan demikian, penelitian mengenai
karakteristik kejadian gempa bumi di wilayah Jawa Timur perlu
dilakukan dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi.
Penelitian mengenai kegempaan di wilayah Jawa Timur telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Amalia (2016) telah
menganalisis variasi spasial maupun temporal nilai-b dan diperoleh
periode ulang kejadian gempa di Jawa Timur berdasarkan relasi
Gutenberg-Richter. Analisis tersebut dilakukan dengan model yang
bersifat tanpa memori. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan
model Markov untuk melakukan analisis kejadian gempa bumi di
wilayah Jawa Timur secara spasial, magnitudo, dan temporal. Hal ini
mencakup penentuan probabilitas transisi suatu kejadian gempa dari
suatu region ke region lainnya (spasial) maupun magnitudo ke
magnitudo berikutnya. Selanjutnya, untuk penilaian bahaya
kegempaan dilakukan perhitungan durasi rata-rata periode aktif
maupun inaktif terjadinya gempa bermagnitudo moderat kedalaman
dangkal di masing-masing region (temporal).
5
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang mendasari penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana transisi kejadian gempa bumi dari region ke
region di Jawa Timur berdasarkan model rantai Markov?
2. Bagaimana transisi kejadian gempa bumi dari magnitudo ke
magnitudo di Jawa Timur berdasarkan model rantai Markov?
3. Bagaimana durasi rata-rata periode aktif dan inaktif kejadian
gempa moderat dengan kedalaman dangkal di masing-
masing region di Jawa Timur?
4. Bagaimana prediksi kejadian gempa bumi selanjutnya di
Jawa Timur berdasarkan analisis spasial dan temporal rantai
Markov?
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini dilakukan sejumlah batasan, di antaranya:
1. Wilayah penelitian berada pada koordinat 05o29’24” LS –
11o54’07” LS dan 111
o00’00” BT – 114
o56’32” BT.
2. Gempa bumi yang dianalisis adalah gempa bumi tektonik
dan merupakan gempa utama (mainshock) dengan
magnitudo 4 untuk gempa subduksi dan 3 untuk
gempa akibat sesar darat.
3. Data yang dianalisis merupakan data sekunder yang
diperoleh dari United States Geological Survey (USGS) pada
tanggal 1 Januari 1960 – 27 April 2017.
4. Pemodelan stokastik yang digunakan adalah model rantai
Markov waktu diskrit orde pertama (one step memory).
5. Analisis durasi rata-rata periode aktif dan inaktif hanya
dilakukan untuk gempa bermagnitudo moderat ( 5) dan
berkedalaman dangkal ( 70 km).
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian Tugas Akhir ini di antaranya untuk:
1. menganalisis transisi kejadian gempa dari region ke region di
Jawa Timur dengan rantai Markov;
2. menganalisis transisi kejadian gempa dari magnitudo ke
magnitudo di Jawa Timur dengan rantai Markov;
6
3. menganalisis durasi rata-rata periode aktif dan inaktif untuk
gempa dangkal bermagnitudo moderat di masing-masing
region di Jawa Timur;
4. memprediksi kejadian gempa bumi di Jawa Timur
berdasarkan analisis spasial dan temporal rantai Markov.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi tambahan dalam melakukan evaluasi dan penilaian bahaya
kegempaan di wilayah Jawa Timur yang merupakan langkah awal
dalam upaya pengurangan risiko bahaya gempa bumi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Interior Bumi
Bentuk Bumi mendekati sebuah bola yang pepat (oblate
spheroid). Radius rata-rata Bumi adalah 6.371 km. Bila diukur di
kutub dan ekuator akan memiliki nilai yang berbeda, yaitu secara
berurutan 6.357 km dan 6.378 km (Kennet dan Bunge, 2008).
Berdasarkan komposisi kimianya, struktur inferior Bumi dapat
dibagi ke dalam tiga lapisan, yaitu kerak (crust), mantel (mantle),
dan inti (core) (Lutgens dkk., 2012) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1. Lapisan kerak merupakan lapisan paling luar dan relatif
tipis. Ada dua tipe kerak berdasarkan komposisi dominan yang
menyusunnya, yaitu kerak samudera dan kerak benua. Kerak
samudera memiliki ketebalan sekitar 7 km dan tersusun dari batuan
basalt. Kerak benua memiliki ketebalan hingga mencapai 70 km dan
tersusun dari batuan granodiorit. Kerak samudera berumur lebih
muda dan bersifat lebih berat daripada kerak benua.
Gambar 2.1 Struktur interior Bumi (Carlson dkk., 2008)
8
Di bawah lapisan kerak yang tipis terdapat lapisan mantel
yang bersifat padat dengan ketebalan 2.900 km. Batuan dominan
yang dijumpai di lapisan mantel adalah peridotit. Lapisan atas mantel
beserta kerak membentuk sebuah lapisan bersifat kaku yang disebut
sebagai litosfer (Yunani, lithos, “batuan”). Lapisan litosfer berada di
atas lapisan astenosfer (Yunani, asthenia, “lemah”) yang lebih
“lunak”. Lapisan mantel bawah dijumpai pada kedalaman 660 km
hingga 2.900 km. Adanya peningkatan tekanan terhadap kedalaman
menyebabkan lapisan ini bersifat lebih kuat daripada astenosfer. Lapisan paling dalam adalah inti yang tersusun dari campuran
logam besi dan nikel. Lapisan inti berdasarkan sifat fisisnya dibagi
menjadi dua. Lapisan pertama dikenal sebagai inti luar dengan
ketebalan 2.270 km yang bersifat cair. Gerak dari lapisan ini
menghasilkan medan magnet Bumi. Lapisan paling dalam adalah inti
dalam dengan radius 1.216 km. Tekanan yang sangat tinggi di pusat
Bumi mengakibatkan inti dalam berwujud lapisan yang bersifat
padat.
2.2 Teori Tektonik Lempeng
Teori mengenai tektonik lempeng (plate tectonic) pertama kali
diusulkan sebagai suatu hipotesis pada awal tahun 1960-an. Teori ini
didahului oleh hipotesis apungan benua (continental drift) yang
dikemukakan Alfred Wegener pada tahun 1912. Menurut hipotesis
tersebut, benua-benua yang ada di Bumi mengapung serta relatif
bergerak hingga akhirnya berada di posisinya seperti saat ini
(Takeuchi dkk., 1969). Teori tektonik lempeng menjelaskan bahwa
bagian paling luar dari Bumi (litosfer) dibagi ke dalam sejumlah
fragmen tipis dan kaku yang disebut sebagai lempeng (Fowler,
2005). Secara umum terdapat tujuh lempeng mayor di Bumi yang
menyusun sekitar 94% dari luas permukaan Bumi (Lutgens dkk.,
2012). Ketujuh lempeng mayor tersebut adalah lempeng Amerika
Utara, Amerika Selatan, Pasifik, Afrika, Eurasia, Indo-Australia, dan
Antartika. Sementara itu, terdapat sejumlah lempeng berukuran
sedang yang meliputi lempeng Karibia, Nazca, Filipina, Arabia,
Cocos, Scotia, dan Juan de Fuca. Selain itu juga terdapat beberapa
lempeng berukuran lebih kecil yang dikenal sebagai lempeng mikro
(microplates). Distribusi lempeng-lempeng tersebut dapat dilihat
9
pada Gambar 2.2. Lempeng-lempeng ini saling bergerak relatif satu
dengan lainnya dengan kecepatan relatif mencapai puluhan milimeter
per tahun (Turcotte dan Schubert, 2002).
Gambar 2.2 Distribusi lempeng tektonik di Bumi beserta batas
antarlempeng. Simbol merupakan batas lempeng divergen,
simbol untuk batas lempeng konvergen, dan simbol untuk batas
lempeng transform (Carlson dkk., 2008).
Terdapat tiga macam batas lempeng berdasarkan tipe
pergerakannya (Lutgens dkk., 2012) (Gambar 2.3), di antaranya: 1. Batas lempeng divergen (tepi konstruktif), ketika dua
lempeng bergerak saling menjauh sehingga mengakibatkan
material panas dari mantel bergerak ke permukaan dan
membentuk lempeng samudera baru. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya rangkaian pegunungan di bawah laut yang
dikenal sebagai pematang tengah samudera (mid oceanic
ridge) (Gambar 2.3 a).
2. Batas lempeng konvergen (tepi destruktif), ketika dua
lempeng saling bergerak mendekat yang mengakibatkan
lempeng samudera menunjam (subduksi) di bawah lempeng
lainnya atau tumbukan (kolisi) antara dua lempeng benua
yang membentuk sistem rangkaian pegunungan (Gambar 2.3
b).
10
3. Batas lempeng transform (tepi konservatif), ketika dua
lempeng saling berpapasan tanpa terbentuknya lempeng baru
maupun hancurnya lempeng lainnya (Gambar 2.3 c).
a) b)
c) Gambar 2.3 Tiga tipe batas lempeng tektonik (a) divergen, (b)
konvergen, dan (c) transform (Thompson dan Turk, 1998)
Pergerakan lempeng tektonik ini akibat adanya transfer panas
secara konveksi di lapisan astenosfer. Selain itu lempeng-lempeng
secara kontinyu terbentuk dan terhancurkan. Pada pematang tengah
samudera, lempeng saling menjauh sehingga batuan panas astenosfer
bergerak ke atas untuk mengisi celah yang terbentuk melalui proses
yang dikenal sebagai pemekaran lantai samudera (oceanic seafloor
spreading). Di sisi lain dari pematang tengah samudera, lempeng
akan terdesak, melengkung dan menunjam ke dalam Bumi melalui
proses subduksi. Peristiwa ini terjadi di palung samudera (Turcotte
dan Schubert, 2002). Seiring dengan bertambahnya kedalaman, maka
terjadi peningkatan temperatur dan tekanan. Sebagian lempeng yang
telah menunjam secara bertahap akan mengalami peleburan
(reworking) hingga akhirnya bercampur dengan material yang ada di
dalam astenosfer (Bolt, 1978). Hal ini menyebabkan peristiwa
magmatisme dan gempa bumi di sepanjang batas lempeng
konvergen. Proses ini terjadi terus-menerus dan membentuk siklus
11
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.4. Siklus ini dikenal
sebagai pabrik subduksi (subduction factory) yang telah berlangsung
sejak tektonik lempeng terbentuk di Bumi (Tatsumi, 2005).
Gambar 2.4 Evolusi lempeng samudera yang membentuk siklus
melalui tektonik lempeng (modifikasi Tatsumi, 2005)
2.3 Teori Elastisitas
Untuk memahami sifat fisis suatu gempa bumi, maka
pemahaman akan parameter tegangan sebelum, saat, dan setelah
terjadinya gempa bumi sangat diperlukan (Kanamori, 1994).
Tegangan (stress) selain berkaitan dengan gaya juga berkaitan
dengan luas penampang benda yang dikenainya. Dengan demikian,
tegangan adalah gaya yang bekerja pada suatu luas penampang
benda atau:
(2.1)
12
Satuan internasional dari tegangan adalah pascal (Pa). Satu pascal
didefinisikan sebagai gaya satu newton yang bekerja pada suatu area
dengan luas satu meter persegi (1 N/m2 = 1 Pa) (Davis dan Reynolds,
1996). Umumnya, dalam ilmu Geologi tegangan dinyatakan dalam
satuan bar (1 bar = 105 Pa) (Ragan, 2009).
Ketika suatu benda diberikan tegangan, maka benda akan
mengalami perubahan bentuk dan dimensi. Perubahan relatif dari
suatu dimensi atau bentuk suatu benda akibat tegangan ini dikenal
sebagai regangan (strain) (Sheriff dan Geldart, 1995). Sebagai
ilustrasi, ditinjau sebuah silinder pejal dengan panjang awal yang
diberi tegangan sebesar . Akibatnya, silinder mengalami perubahan
panjang. Panjang silinder setelah diberi tegangan berubah menjadi . Dalam hal ini, regangan ekstensional didefinisikan sebagai
perubahan panjang suatu material terhadap panjang awal material
tersebut (Shearer, 2009):
(2.2)
Dari persamaan (2.2) dapat disimpulkan bahwa regangan merupakan
besaran yang tidak memiliki dimensi. Sebagai ilustrasi tentang
tegangan dan regangan dapat ditunjukkan pada Gambar 2.5.
a) b)
Gambar 2.5 (a) Sebuah silinder pejal diberi gaya F pada kedua
ujungnya. (b) Gaya ini bekerja secara merata pada area dengan luas
penampang A. Gaya per satuan luas ini disebut sebagai tegangan
(Tipler dan Mosca, 2008).
Adanya perpindahan partikel material dari posisi semula
ketika suatu material diberi tegangan merupakan tanda terjadinya
suatu deformasi. Jika tegangan tersebut besarnya tidak melebihi
suatu nilai kritis, perpindahan partikel yang terjadi bersifat
reversibel. Artinya, partikel tersebut akan kembali ke posisi semula
jika tegangan tersebut dihilangkan. Benda yang memiliki sifat seperti
ini disebut sebagai elastis. Untuk benda yang memiliki sifat elastis,
13
maka regangan yang dihasilkan akan sebanding dengan tegangan
yang diberikan. Hubungan linier antara regangan dan tegangan ini
disebut sebagai hukum Hooke yang merupakan dasar dari teori
elastisitas (Lowrie, 2007). Hubungan tegangan dan regangan ini
dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Hubungan tegangan (stress) dan regangan (strain)
(Lowrie, 2007)
Jika tegangan yang diberikan melebihi batas kesebandingan
(proportionality limit), hukum Hooke tidak berlaku lagi. Walaupun
benda tersebut masih bersifat elastis, hubungan regangan-tegangan
bersifat tidak linier. Selanjutnya, jika benda tersebut terdeformasi
dengan diberikan tegangan yang nilainya melebihi batas elastis
(elastic limit), benda tidak dapat kembali ke bentuk semula ketika
tegangan dihilangkan. Dengan demikian, benda dikatakan telah
berubah sifatnya menjadi plastis. Seandainya tegangan yang
diberikan melebihi kekuatan material, akan terjadi keruntuhan
(failure). Material yang menunjukkan sifat seperti ini disebut rapuh
(brittle).
2.4 Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas didefinisikan sebagai rasio antara tegangan
terhadap regangan atau deformasi yang dihasilkannya (Mussett dan
Khan, 2000):
(2.3)
14
Semakin besar nilai modulus suatu material, maka material tersebut
semakin kuat dan regangan yang dihasilkan akibat suatu tegangan
bernilai semakin kecil.
Modulus kompresibilitas atau modulus bulk, , adalah ukuran
kemudahan untuk mengubah volume suatu material tanpa mengubah
bentuk benda tersebut (Mussett dan Khan, 2000). Sebagai ilustrasi
ditinjau suatu benda berbentuk bola (Gambar 2.7 (a)). Peningkatan
tekanan pada benda menyebabkan benda tersebut menyusut.
Tegangan yang bekerja sebanding dengan tekanan yang diberikan
sedangkan regangan yang dihasilkan sebanding dengan perubahan
volume . Modulus kompresibilitas dinyatakan dalam persamaan:
(2.4)
Penambahan tanda negatif pada persamaan bertujuan supaya nilai
tetap positif.
Gambar 2.7 (a) Sebuah bola dalam kasus modulus bulk dan (b) balok
dalam kasus modulus geser (modifikasi Mussett dan Khan, 2000)
Modulus geser atau modulus rigiditas, , adalah ukuran
kemudahan suatu benda untuk mempertahankan bentuknya tanpa
mengubah volumenya ketika diberi tegangan (Mussett dan Khan,
2000). Ditinjau sebuah benda berbentuk balok (Gambar 2.7 (b)).
Gaya dengan besar sama tetapi berlawanan arah, , diberikan pada
permukaan atas dan bawah benda dengan luas , sehingga mengubah
bentuk penampang vertikal benda dari persegi panjang menjadi jajar
15
genjang. Regangan yang dihasilkan adalah yang sebanding
dengan sudut . Modulus rigiditas dinyatakan dengan persamaan:
(2.5)
Ketika fluida diberi tegangan, maka fluida tersebut dengan mudah
akan berubah bentuk. Oleh karena itu, pada kasus fluida, modulus
gesernya sama dengan nol (Mussett dan Khan, 2000).
2.5 Teori Bingkas Elastis (Elastic Rebound Theory)
Pasca terjadinya gempa bumi San Fransisco 1906, Henry
Fielding Reid pada tahun 1910 mengemukakan sebuah teori yang
menjelaskan perulangan gempa bumi pada suatu sesar aktif yang
dikenal sebagai teori bingkas elastis (elastic rebound theory)
(Grotzinger dan Jordan, 2014). Teori bingkas elastis ini merupakan
sebuah terobosan terbaru dalam dunia Seismologi. Selama ini sesar
yang tersingkap di permukaan lebih dianggap sebagai efek samping
atau dampak yang ditimbulkan dari gempa bumi dibandingkan
dengan penyebab terjadinya gempa. Teori ini dianggap mampu
menjelaskan mekanisme terjadinya gempa bumi dengan baik
(Afnimar, 2009). Berdasarkan teori bingkas elastis (Gambar 2.8),
peristiwa gempa bumi merupakan sebuah siklus yang terdiri dari tiga
fase, yaitu fase interseismic, coseismic, dan postseismic (Hanifa,
2014).
Terjadinya gempa bumi melibatkan rekahnya kerak atau
mantel Bumi secara tiba-tiba akibat gaya tektonik (Kanamori, 1994).
Pergerakan lempeng tektonik menghasilkan gaya besar yang
terakumulasi di batas lempeng. Gaya ini mampu menyebabkan
batuan kerak yang rapuh mengalami deformasi. Batuan tersebut akan
runtuh (failure). Artinya, batuan tersebut kehilangan kohesi dan
rekah menjadi dua bagian terpisah. Hal ini terjadi ketika batuan
tersebut diberi gaya hingga melebihi nilai kritisnya (Grotzinger dan
Jordan, 2014). Gempa bumi akan terjadi ketika batuan yang dikenai
tegangan secara tiba-tiba patah di sepanjang sesar geologi (fase
coseismic).
16
Gambar 2.8 Penjelasan terjadinya gempa menurut teori bingkas
elastis. Grafik menunjukkan fungsi tegangan terhadap waktu
berdasarkan teori bingkas elastis mulai dari terakumulasinya
tegangan yang menyebabkan deformasi batuan (A – C), hingga
pelepasan tegangan (D) yang menyebabkan terjadinya pergeseran
blok batuan dan memicu terjadinya gempa (modifikasi Grotzinger
dan Jordan, 2014).
Sebagian besar gempa bumi disebabkan oleh proses rekahan
pada sesar yang sebelumnya telah ada. Gempa bumi yang telah
terjadi sebelumnya telah melemahkan tegangan pada batuan di
bidang sesar. Dua blok batuan yang saling berseberangan di
17
sepanjang bidang sesar akan bergeser secara tiba-tiba. Akibatnya,
energi akan dilepaskan dalam bentuk gelombang seismik yang
dirasakan sebagai getaran ketika terjadi gempa bumi. Setelah batuan
bergeser, maka tegangan pada batuan akan berkurang (fase
postseismic). Setelah terjadi gempa, tegangan akan meningkat
kembali (fase interseismic) dan dapat memicu gempa berikutnya.
Sesar yang melibatkan perulangan siklus gempa ini disebut sebagai
sesar aktif (Grotzinger dan Jordan, 2014). Sesar seperti ini banyak
dijumpai pada batas lempeng. Teori bingkas elastis dapat dianalogikan dengan sebuah model
sederhana, yaitu sebuah blok kayu yang ditarik dengan sebuah pegas
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.9. Dalam model ini,
koefisien gesek statis bernilai lebih besar daripada koefisien gesek
dinamik . Pegas ditarik dengan laju . Selanjutnya, blok akan
menunjukkan perilaku stick-slip, yaitu ketika gaya yang dikerjakan
oleh pegas mencapai gesekan statis, maka blok akan bergeser hingga
gesekan dinamis mengimbangi penurunan tingkat tegangan. Jika
parameter , , dan konstan, gempa bumi akan terjadi secara
berulang dengan interval yang teratur (recurrence interval) sehingga
gempa bumi dapat diprediksi dengan mudah. Kenyataannya,
parameter-parameter tersebut tidak konstan sehingga siklus gempa
yang terjadi menjadi lebih kompleks (Shearer, 2009).
Gambar 2.9 Analogi teori bingkas elastis dengan sebuah blok kayu
yang ditarik oleh sebuah pegas dengan laju (Shearer, 2009)
Untuk kasus gesekan dinamis yang bervariasi secara acak,
maka ukuran (magnitudo) dari gempa tidak dapat diprediksi tetapi
waktu kejadian gempa masih dapat diprediksi (time predictable).
Waktu untuk terjadinya kejadian berikutnya sebanding dengan
jumlah pergeseran yang terjadi pada kejadian sebelumnya.
Sementara itu, jika gesekan statis yang bervariasi, waktu kejadian
18
gempa tidak dapat diprediksi. Akan tetapi, jumlah pergeseran untuk
suatu kejadian gempa dapat diprediksi (slip predictable). Kenyataan
di lapang, baik gesekan statis maupun dinamis bervariasi secara acak
sehingga baik waktu maupun jumlah pergeseran tidak dapat
diprediksi dengan mudah. Perbandingan siklus gempa untuk kejadian
gempa yang dapat diprediksi dan tidak dapat diprediksi dapat dilihat
pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Siklus gempa bumi sebagai suatu perubahan tegangan
terhadap waktu. (a) Tegangan tektonik terakumulasi di sepanjang
sesar hingga mencapai kekuatan lokal (tegangan kritis yang
diperlukan untuk menghasilkan failure ditunjukkan garis putus-putus
merah) dan memicu terjadinya gempa sehingga terjadi penurunan
tegangan secara tiba-tiba. (b) Gambaran siklus gempa bumi yang
lebih realistis dengan lebih kompleksnya variasi kekuatan, laju
pembebanan, dan penurunan tegangan (Kanamori dan Brodsky,
2001).
2.6 Gelombang Seismik
Gelombang merupakan fenomena alam yang terjadi akibat
perambatan usikan atau energi dari suatu sumber ke titik-titik lain
(Afnimar, 2009). Ketika gempa bumi atau ledakan di bawah tanah
terjadi, sebagian energi akan dilepaskan dalam bentuk gelombang
elastis yang merambat di dalam Bumi. Gelombang elastis ini dikenal
sebagai gelombang seismik dan termasuk ke dalam gelombang
mekanik. Artinya, gelombang ini membutuhkan medium dalam
perambatannya dan medium tersebut akan berosilasi ketika
19
gelombang melewatinya (Afnimar, 2009). Gelombang ini dapat
dideteksi oleh sebuah instrumen yang disebut sebagai seismograf.
Instrumen ini terdiri dari sebuah seismometer yang mengukur dan
memperkuat gerak tanah yang timbul pada sebuah rekaman yang
relatif diam dan menyalurkan data ke dalam kertas, pita magnetik,
atau disket (Fowler, 2005). Selanjutnya, gelombang seismik tercatat
sebagai seismogram yang merepresentasikan osilasi partikel di titik
stasiun seismik tersebut (Afnimar, 2009). Karakteristik amplitudo, temporal, dan spektral dari gerak
tanah yang ditimbulkan gempa bumi di suatu tempat merupakan
fungsi dari mekanisme sumber gempa, jarak episenter, maupun sifat
fisis dan geometri dari struktur geologi yang dilewati oleh
gelombang seismik dari sumber ke tempat tersebut (Gambar 2.11).
Kecepatan gelombang seismik merambat di dalam Bumi bergantung
pada densitas dan modulus elastisitas dari batuan yang dilaluinya
(Lillie, 1999). Ada dua macam gelombang seismik, yaitu gelombang
badan (P dan S) dan gelombang permukaan (Love dan Rayleigh).
Gambar 2.11 Mekanisme terpicunya gelombang seismik dari sumber
gempa (fokus) yang merupakan bidang sesar. Selanjutnya,
gelombang seismik direkam oleh instrumen seismograf dan
ditampilkan dalam bentuk seismogram (Hays, 1980).
Penjelasan dari masing-masing gelombang seismik adalah
sebagai berikut.
20
2.6.1 Gelombang Badan
Gelombang badan merupakan gelombang seismik yang
menjalar melalui suatu tubuh batuan di dalam Bumi. Ada dua macam
gelombang badan berdasarkan gerak partikel dari medium yang
dilaluinya.
Tipe pertama adalah gelombang dilatasi, kompresional,
longitudinal, primer, atau P. Gelombang ini disebut gelombang P
karena gelombang ini memiliki kecepatan rambat paling tinggi (Bolt,
1978) sehingga tercatat pertama kali (primer) dalam perekam
gelombang seismik (Sheriff dan Geldart, 1995). Gelombang P
memiliki gerak seperti gelombang suara, yakni ketika gelombang ini
menyebar dari sumber dan merambat di medium, maka medium yang
dilaluinya secara berurutan akan terdorong (kompresi) dan tertarik
(dilatasi). Dengan kata lain, partikel yang dilaluinya akan bergerak
sejajar dengan arah perambatan gelombang (Sheriff dan Geldart,
1995). Gelombang P mampu melalui material padat (batuan), cair
(magma hingga air di samudera) dan bahkan gas (atmosfer). Tipe kedua adalah gelombang shear, transversal, sekunder,
atau S. Gelombang ini memiliki kecepatan rambat lebih rendah
daripada gelombang P sehingga gelombang S terekam dalam
perekam gempa sebagai gelombang kedua yang datang (Sheriff dan
Geldart, 1995). Gelombang S akan menggeser partikel medium yang
dilaluinya ke arah samping tegak lurus terhadap arah rambat
gelombang (Kearey dan Brooks, 1984). Arah gerak partikel ketika
dilalui oleh gelombang S tak hingga banyaknya sehingga arah tegak
lurus terhadap arah rambat gelombang jumlahnya juga tak hingga.
Karena itu, didefinisikan dua tipe gelombang S, yaitu gelombang SV
(shear vertical) dan SH (shear horizontal) (Afnimar, 2009).
Pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa jika cairan digeser
ke arah samping, cairan tidak akan kembali ke bentuk semula. Oleh
sebab itu, gelombang S tidak mampu menjalar melalui medium
cairan maupun fluida lainnya (Bolt, 1978). Ilustrasi gerak partikel
material ketika dilalui gelombang badan dan arah rambatannya dapat
dilihat pada Gambar 2.12.
Kecepatan rambat gelombang P dan S hanya bergantung pada
densitas dan sifat elastisitas medium yang dilaluinya. Dalam kasus
medium elastis homogen isotropi, gelombang P akan merambat
dalam medium dengan kecepatan:
21
(2.6)
Sementara itu, untuk kecepatan gelombang S dapat diperoleh melalui
persamaan:
(2.7)
Dengan adalah kecepatan gelombang P, adalah kecepatan
gelombang S, adalah modulus bulk, adalah modulus rigiditas,
dan adalah densitas material (Bolt, 1978).
Gambar 2.12 Arah gerak partikel suatu medium (a) apabila dilalui
oleh gelombang (b) P dan (c) SV. Urutan keadaan medium ketika
dilalui gelombang ditunjukkan dari atas ke bawah. Gelombang
menjalar dari arah kiri ke kanan. Tanda panah kecil di setiap gembar
menunjukkan posisi rapatan dan puncak. Untuk gelombang P baik
volume dan bentuk partikel medium yang diarsir dengan warna
hitam berubah ketika gelombang melaluinya. Untuk gelombang S
volume partikel medium tidak berubah dan hanya mengalami rotasi.
Gerak partikel gelombang SH sama dengan gelombang SV hanya
saja terjadi pada bidang horisontal (Fowler, 2005).
22
2.6.2 Gelombang Permukaan
Gelombang permukaan merupakan gelombang seismik yang
menjalar di sepanjang permukaan Bumi. Sebagian besar gerak
partikel medium yang terjadi akibat gelombang ini akan diamati di
permukaan Bumi. Semakin bertambah kedalaman, maka gerak
partikelnya akan semakin berkurang dan tidak teramati (Bolt, 1978).
Gelombang permukaan terbentuk dari interferensi gelombang-
gelombang badan. Ada dua macam gelombang permukaan. Gelombang pertama adalah gelombang Love. Gelombang ini
diberi nama sesuai dengan penemunya, Augustus Edward Hough
Love pada tahun 1911 (Fowler, 2005). Gelombang ini terbentuk
akibat adanya interferensi gelombang-gelombang pantul SH (Shear
Horizontal) pada suatu lapisan dekat permukaan Bumi (Afnimar,
2009). Gerak partikel yang dilaluinya menyerupai gerak partikel
gelombang S tetapi tanpa adanya pergerakan secara vertikal.
Gelombang ini akan menjalar di permukaan tanah dari satu sisi ke
sisi lainnya sejajar dengan permukaan Bumi. Arah gerak partikelnya
tegak lurus dengan arah rambatnya (Kearey dan Brooks, 1984). Gelombang kedua adalah gelombang Rayleigh. Gelombang ini
diberi nama berdasarkan tokoh yang memprediksi keberadaan
gelombang tersebut pada tahun 1887, yakni Lord Rayleigh (Fowler,
2005). Istilah ground roll merupakan nama lain yang umum
diberikan untuk gelombang ini (Sheriff dan Geldart, 1995).
Gelombang Rayleigh terbentuk akibat interferensi gelombang-
gelombang pantul P dan SV (Shear Vertical). Gerak partikel medium
yang dilaluinya akan berbentuk elips yang merupakan perpaduan
antara gerak partikel gelombang P dan SV (Afnimar, 2009). Gerak
orbital partikelnya akan berlawanan dengan arah gerak melingkarnya
yang sering disebut sebagai retrograde (Kearey dan Brooks, 1984). Gelombang permukaan bersifat dispersif. Artinya, kecepatan
gelombangnya akan bergantung pada frekuensi. Semakin besar
frekuensinya, maka semakin kecil kecepatannya dan semakin
dangkal penetrasi kedalamannya (Afnimar, 2009). Umumnya,
gelombang Love merambat lebih cepat daripada gelombang
Rayleigh. Kecepatan gelombang Rayleigh dinyatakan dengan
persamaan:
(2.8)
23
Sementara itu, untuk kasus gelombang Love pada medium berlapis,
berlaku:
(2.9)
Dengan adalah kecepatan gelombang Rayleigh, adalah
kecepatan gelombang Love, adalah kecepatan gelombang S,
dan adalah kecepatan gelombang S di permukaan dan di lapisan
yang lebih dalam (Bolt, 1978). Ilustrasi gerak partikel material ketika
dilalui gelombang permukaan dan arah rambatannya dapat dilihat
pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Tipe gelombang permukaan a) Rayleigh dan b) Love
beserta arah gerak partikel medium yang dilaluinya. Tanda panah
menunjukkan arah rambat gelombang (Mussett dan Khan, 2000).
2.7 Parameter Gempa Bumi
2.7.1 Hiposenter
Titik di dalam Bumi yang merupakan sumber dari gelombang
seismik disebut sebagai fokus atau hiposenter gempa bumi. Titik
fokus merupakan pusat dari gempa bumi yang merupakan titik awal
rekahnya batuan sehingga menghasilkan pergeseran pada suatu
bidang sesar. Rekahan bersumber dari fokus dan menyebar secara
cepat di bidang patahan (Carlson dkk., 2008). Lokasi hiposenter
dinyatakan dalam koordinat berupa lintang, bujur, dan kedalaman di
bawah permukaan Bumi. Faktanya, gempa bumi tidak bersumber
pada sebuah titik, tetapi berasal dari suatu volume kecil atau
sepanjang bidang sesar yang melepaskan energi (Fowler, 2005).
24
Berdasarkan kedalaman fokus atau hiposenter, gempa bumi dapat
diklasifikasikan menjadi (Lay dan Wallace, 1995): 1. Gempa Dalam
Jika kedalaman hiposenter di antara 300 hingga 700 km.
2. Gempa Intermediet
Jika kedalaman hiposenter di antara 70 hingga 300 km.
3. Gempa Dangkal
Jika kedalaman hiposenter kurang dari 70 km.
2.7.2 Episenter
Titik di permukaan Bumi yang secara vertikal berada tepat di
atas fokus disebut sebagai episenter. Lokasi episenter hanya
dinyatakan dalam lintang dan bujur. Untuk kasus gempa yang terjadi
pada koordinat 37o LU, 122
o BB, dan kedalaman 10 km, maka
episenter gempa tersebut adalah 37o LU, 122
o BB. Jarak antara
episenter gempa dengan seismometer perekam gempa tersebut
disebut jarak episenter (Fowler, 2005). Gempa bumi dapat
diklasifikasikan berdasarkan jarak episenter (Kayal, 2008), di
antaranya: 1. Gempa Teleseismik
Gempa bumi yang direkam oleh stasiun dengan jarak yang
sangat besar disebut sebagai gempa teleseismik atau
teleseismo. Konvensi internasional mendefinisikan gempa
teleseismik sebagai gempa yang jarak episenternya lebih dari
1.000 km. Ada juga yang mendefinisikan gempa teleseismik
sebagai gempa dengan jarak ≥ 300. Amplitudo gempa ini
memiliki rentang sangat besar. 2. Gempa Regional
Gempa bumi yang terjadi dengan jarak episenter antara 500
km hingga 1.000 km disebut sebagai gempa regional. Gempa
bumi ini juga memiliki amplitudo dengan rentang besar
seperti gempa teleseismik tetapi dengan periode yang lebih
kecil daripada gempa teleseismik.
3. Gempa Lokal Gempa bumi yang terjadi pada jarak beberapa ratus
kilometer dari stasiun disebut sebagai gempa lokal. Gempa
ini dicirikan dengan onset impulsif dan memiliki frekuensi
yang tinggi.
25
Perbandingan antara hiposenter dan episenter dapat dilihat
pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Diagram yang menunjukkan episenter, fokus
(hiposenter), dan bidang sesar (modifikasi Bolt, 1999 dalam Kayal,
2008)
2.7.3 Magnitudo Gempa Bumi
Magnitudo merupakan parameter penting yang menjelaskan
ukuran kekuatan dari gempa bumi (Kayal, 2008). Sejumlah skala
magnitudo telah didefinisikan berdasarkan tipe gelombang seismik,
rentang frekuensi, maupun instrumen yang digunakan (McCalpin,
2009).
2.7.3.1 Magnitudo Lokal/Richter ( )
Magnitudo Richter pertama kali digunakan secara luas di
Amerika Serikat. Skala ini dibuat berdasarkan amplitudo (mm)
terbesar dari tras gelombang di seismogram pada sebuah seismograf
Wood-Anderson dan dinormalisasi terhadap suatu jarak episenter
standar 100 km. Richter mendefinisikan gempa bumi bermagnitudo 0
yang menghasilkan amplitudo maksimum sebesar 0,001 mm pada
jarak 100 km. Setiap peningkatan magnitudo yang lebih besar
merupakan peningkatan sepuluh kali lipat pada amplitudo. Dengan
kata lain, amplitudo maksimum seismogram pada jarak 100 km
sebesar 0,01 mm mewakili 1; 0,1 mm setara dengan 2,0 dan
seterusnya. Skala magnitudo Richter dapat mewakili energi yang
dilepaskan oleh gempa dengan akurat hingga 6,5. Lebih dari
magnitudo tersebut, skala Richter akan menunjukkan nilai energi
yang lebih rendah dari nilai energi sebenarnya. Dengan kata lain,
skala Richter mengalami saturasi di atas 6,5 (McCalpin, 2009).
26
Secara matematis, magnitudo Richter dapat diperoleh dari
persamaan:
(2.10)
dengan adalah amplitudo maksimum tanah (mm) dan
adalah jarak episenter (km).
2.7.3.2 Magnitudo Gelombang Permukaan ( )
Permasalahan saturasi pada magnitudo Richter di atas 6,5
dapat diselesaikan dengan dikembangkannya skala magnitudo
gelombang permukaan. Prosedur pengukurannya sama dengan
magnitudo Richter. Hanya saja puncak amplitudo gelombang diukur
untuk gelombang permukaan dengan periode 20 s dari seismograf
periode panjang pada jarak teleseismik. Karena perhitungan
magnitudo gelombang permukaan tidak membutuhkan rekaman
seismogram pada jarak 100 km dari episenter, maka rekaman
teleseismik gempa moderat hingga besar dapat dinyatakan dalam
skala ini. Skala ini juga dapat digunakan sebagai perbandingan
empiris antara magnitudo terhadap panjang rekahan atau
perpindahan akibat gempa bumi. Namun, skala magnitudo
gelombang permukaan juga menunjukkan saturasi untuk > 8
(McCalpin, 2009). Skala magnitudo gelombang permukaan
dinyatakan dengan persamaan:
(2.11)
Secara berurutan, , , , dan adalah amplitudo (mm), periode
(s), jarak episenter (km), dan koreksi kedalaman hiposenter (Mussett
dan Khan, 2000).
2.7.3.3 Magnitudo Gelombang Badan ( )
Magnitudo gelombang badan merupakan magnitudo yang
sering digunakan di wilayah yang secara tektonik stabil, misalnya di
wilayah Amerika Utara. Magnitudo ini diukur dari puncak
gelombang yang terekam pada jarak hingga 1.000 km pada
instrumen dengan rentang frekuensi 1 – 10 Hz. Saturasi akan terjadi
pada skala yang lebih rendah daripada . Namun, konversi ke
skala magnitudo lainnya maupun sebaliknya masih memungkinkan
27
untuk dilakukan. Skala magnitudo gelombang badan diperoleh
melalui persamaan:
(2.12)
dengan adalah amplitudo (mm) dan adalah periodenya (s).
Sementara itu, adalah koreksi jarak episenter dan kedalaman
hiposenter (Mussett dan Khan, 2000).
2.7.3.4 Magnitudo Momen ( )
Semakin besar suatu gempa bumi, maka semakin kecil
frekuensi gelombang dengan amplitudo terbesar. Namun, sebagian
besar seismometer kehilangan sensitivitas pada frekuensi terendah
suatu gelombang gempa bumi sehingga skala magnitudo gelombang
badan dan permukaan akan mengukur magnitudo gempa besar
dengan nilai lebih kecil daripada seharusnya. Oleh karena itu,
dikembangkan skala magnitudo momen (Mussett dan Khan, 2000).
Magnitudo momen tidak bergantung pada puncak gelombang yang
terekam seismogram, tetapi berdasarkan pada momen seismik ( ).
Momen seismik didefinisikan sebagai:
(2.13)
dengan adalah rata-rata perpindahan pada bidang sesar,
merupakan luas dari bidang sesar, dan merupakan modulus
rigiditas rata-rata dari batuan yang mengalami pergeseran. Dalam hal
ini bidang sesar diasumsikan memiliki geometri segiempat. Dengan
demikian, momen seismik lebih mencerminkan jumlah energi yang
dilepaskan di sumber gempa. Selanjutnya, magnitudo momen dihitung menggunakan
hubungan:
(2.14)
dengan merupakan magnitudo momen dan merupakan
momen seismik. Skala momen seismik dikembangkan untuk
mengatasi masalah saturasi pada skala magnitudo lainnya dan
umumnya digunakan untuk mendeskripsikan suatu gempa besar.
28
Pada mulanya, ahli seismologi hanya mengklasifikasikan
gempa bumi berdasarkan ukurannya menjadi gempa kecil, gempa
sedang, maupun gempa besar. Namun, dengan ditemukannya skala
magnitudo Richter, klasifikasi gempa berdasarkan magnitudonya
lebih jelas untuk didefinisikan (Kayal, 2008) seperti pada Tabel 2.1.
Semakin kecil magnitudo suatu gempa, maka semakin banyak
frekuensi gempa itu terjadi (Kayal, 2008). Jumlah kejadian gempa
bumi meningkat sepuluh kali lipat setiap penurunan satu satuan
magnitudo. Sebagai gambaran, jika suatu area menghasilkan satu
gempa bumi dengan magnitudo 4 dalam satu bulan, akan dihasilkan
10 kali gempa bumi dengan magnitudo 3, 100 gempa bumi dengan
magnitudo 2, dan 1.000 gempa bumi dengan magnitudo 1 dalam
waktu satu bulan.
Tabel 2.1 Klasifikasi gempa bumi berdasarkan magnitudo
(Hagiwara, 1964 dalam Kayal, 2008)
Magnitudo ( ) Klasifikasi
≥ 8 Great earthquake
7 ≤ ≤ 8 Major / Large earthquake
5 ≤ ≤ 7 Moderate earthquake
3 ≤ ≤ 5 Small earthquake
1 ≤ ≤ 3 Microearthquake
< 1 Ultra-microearthquake
2.7.4 Intensitas Gempa Bumi
Intensitas merupakan ukuran dari dampak yang ditimbulkan
akibat suatu gempa bumi di suatu tempat tertentu. Salah satu skala
yang sering digunakan dalam penentuan intensitas gempa adalah
Mercalli Modification Intensity (MMI) yang dikembangkan oleh ahli
seismologi Italia, Giuseppe Mercalli, pada tahun 1902 (McCalpin,
2009). Skala Mercalli dibagi ke dalam 12 tingkat. Skala intensitas
Mercalli bersifat subjektif dan dibuat berdasarkan efek getaran dan
kerusakan pada bangunan (Fowler, 2005). Skala Mercalli dapat
dilihat pada Lampiran 2.
29
2.7.5 Waktu Asal (Origin Time)
Waktu asal adalah waktu saat terjadi gempa bumi di suatu
hiposenter. Sementara itu, arrival time (waktu tiba) atau transit time
adalah waktu ketika suatu gelombang seismik tiba atau direkam pada
suatu stasiun seismograf. Waktu asal suatu gempa bumi dapat
ditentukan dengan menggunakan teknik grafis, yaitu plot Wadati
seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.15. Berdasarkan diagram
ini, selisih antara waktu tiba gelombang P dan S ( diplot
terhadap waktu tiba gelombang P ( ). Di hiposenter ,
sehingga . Oleh karena itu, perpotongan antara kurva
dengan sumbu waktu tiba gelombang P merupakan waktu asal
gempa bumi tersebut.
Gambar 2.15 Penentuan waktu asal dengan diagram Wadati. Waktu
asal diperoleh dari perpotongan kurva dengan sumbu waktu tiba
gelombang P (tp). Waktu asal gempa adalah pukul 20:13:40,5 (Kayal,
2008).
2.8 Tipe Gempa Bumi
Berdasarkan sumber penyebabnya, gempa bumi dapat dibagi
ke dalam tiga kategori (Kayal, 2008), di antaranya: 1. Gempa Bumi Tektonik
Gempa bumi tektonik merupakan gempa yang paling umum
terjadi. Gempa ini terjadi akibat adanya pelepasan tegangan
pada batuan yang terakumulasi akibat gaya tektonik, yaitu
gaya yang berasal dari pergerakan lempeng-lempeng. Gempa
bumi tektonik sangat penting untuk digunakan dalam
mempelajari struktur interior Bumi. Gempa tektonik juga
mendapat perhatian karena sering menimbulkan kerusakan
parah. Lebih dari 90 persen gempa bumi tektonik terjadi di
30
batas lempeng (Trueit, 2003). Gempa bumi yang terjadi
karena berasosiasi dengan batas lempeng ini dikenal sebagai
gempa bumi interplate. Namun, di beberapa tempat gempa
juga terjadi di area yang jauh dari batas lempeng (di tengah-
tengah lempeng). Gempa bumi intraplate ini umumnya
disebabkan gaya yang bersifat lokal yang timbul akibat
adanya variasi temperatur, kedalaman, dan kekuatan dari
batuan di permukaan (Bolt, 1978). Salah satu cara untuk
membedakan antara gempa bumi interplate dan intraplate
adalah dengan meninjau laju pergeseran dari sesar dan kala
ulangnya (recurrence time) seperti pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi gempa tektonik (modifikasi Scholz, 2002)
Tipe Laju Pergeseran
(mm per tahun)
Kala Ulang
(tahun)
I. Interplate > 10 ~100
II. Intraplate,
tepi lempeng 0,1 ≤ ≤ 10 10
2 – 10
4
III. Intraplate,
tengah
lempeng < 0,1 > 10
4
2. Gempa Bumi Vulkanik
Gempa bumi vulkanik didefinisikan sebagai gempa bumi
yang terjadi atau berkaitan dengan aktivitas vulkanik. Gempa
vulkanik terjadi melalui dua cara (Kayal, 2008). Pertama,
gempa vulkanik yang terjadi sebelum terjadinya erupsi
gunung api. Gempa ini berukuran kecil dan akan terus
meningkat kejadiannya sebelum erupsi. Di dalam pipa
gunung api maupun di dapur magma, magma yang sangat
panas dan kental bergerak perlahan dengan tekanan uap yang
sangat tinggi. Akibat gerak ini, sejumlah batuan terpanaskan
dan mengalami tegangan. Selanjutnya, batuan tersebut akan
mengalami rekahan dan terjadi gempa berukuran kecil
maupun sedang. Kedua, gempa yang terjadi akibat
pergeseran batuan sehingga memicu terjadinya pergerakan
magma dan erupsi. Gelombang seismik yang dilepaskan
akan menggetarkan magma yang berada di dapur magma.
Akibatnya, material gas yang terkandung di dalam magma
31
akan mempercepat terjadinya erupsi maupun memicu
terjadinya gempa bumi vulkanik. 3. Gempa Bumi Terimbas
Gempa bumi tipe ini terjadi akibat aktivitas manusia. Gempa
bumi ini meliputi gempa yang dipicu ledakan nuklir, ledakan
di bawah permukaan tanah, pengisian bendungan, maupun
injeksi fluida ke dalam suatu lapisan reservoar di bawah
tanah.
2.9 Hipotesis Kesenjangan Gempa (Seismic Gap)
Hipotesis kesenjangan gempa menyatakan bahwa bahaya
gempa di suatu wilayah akan segera berubah menjadi kecil setelah
terjadinya gempa dan akan meningkat terhadap waktu sejak
terjadinya gempa tersebut (Sykes dan Nishenko, 1984 dalam Kagan
dan Jackson, 1991). Kesenjangan gempa sendiri merupakan wilayah
yang aktivitas kegempaannya relatif sedikit apabila dibandingkan
dengan wilayah lain yang juga berada di sepanjang sesar atau batas
lempeng (Mohita, 2016). Kemungkinan besar kejadian gempa besar
pernah terjadi di wilayah kesenjangan gempa. Akan tetapi, saat ini
dalam keadaan tanpa adanya aktivitas seismik. Bahkan, untuk
beberapa kasus, pada wilayah kesenjangan gempa tidak pernah
tercatat aktivitas kegempaan secara historis. Namun, wilayah ini
diyakini mampu untuk menghasilkan gempa besar (USGS, 2016).
Hipotesis ini semakin berkembang sejak dikemukakannya
teori bingkas elastis dan tektonik lempeng. Hipotesis ini juga telah
digunakan untuk memperkirakan terjadinya gempa bumi di
sepanjang tepi Samudera Pasifik (Kagan dan Jackson, 1991).
Hipotesis kesenjangan gempa ini berdasarkan beberapa asumsi, di
antaranya: (1) batas lempeng dan sesar besar dibagi ke dalam
beberapa segmen; (2) tegangan tektonik dalam sebuah segmen harus
dikurangi dengan terjadinya suatu gempa di sepanjang segmen
tersebut; (3) kejadian gempa tersebut akan mengurangi tegangan di
bawah titik kritis sehingga memungkinkan untuk memicu terjadinya
gempa besar di segmen lain; (4) setelah tegangan berkurang,
tegangan akan terakumulasi perlahan dan membutuhkan waktu
hingga beberapa dekade sebelum terjadi gempa besar lainnya (Kagan
dan Jackson, 1991).
32
2.10 Sekuen Gempa Bumi
Pengamatan di lapangan sering kali menunjukkan bahwa
gempa bumi bukanlah kejadian yang bersifat terisolasi, melainkan
merupakan bagian dari suatu rangkaian (sekuen) yang
karakteristiknya dapat didefinisikan dengan baik. Mogi pada tahun
1963 membagi sekuen ini menjadi tiga tipe: gempa utama-gempa
susulan (Gambar 2.16 (a)), gempa pendahuluan-gempa utama-gempa
susulan (Gambar 2.16 (b)), dan swarm. Kadang, terdapat dua atau
lebih gempa utama yang terjadi dalam waktu dan ruang yang
berdekatan. Peristiwa ini dikenal sebagai doublet dan multiplet
(Scholz, 2002).
Gambar 2.16 Tipe sekuen gempa bumi, a) tanpa gempa pendahuluan,
b) dengan gempa pendahuluan (Lee dkk., 2002)
Gempa pendahuluan (foreshock) (Gambar 2.17 (a)) umumnya
lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan gempa susulan. Gempa
pendahuluan adalah gempa bumi berukuran kecil yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya sebuah gempa utama di sekitar fokus gempa
utama. Ahli seismologi telah mencoba menggunakan gempa
pendahuluan untuk memperkirakan terjadinya gempa utama. Namun,
aktivitas gempa pendahuluan umumnya sangat bervariasi baik secara
temporal maupun spasial sehingga penentuan gempa utama dengan
metode ini sering kali tidak berhasil. Mogi pada tahun 1985
membagi dua macam gempa pendahuluan, yaitu tipe C dan D. Tipe
C menunjukkan peningkatan frekuensi gempa susulan sebelum
terjadinya gempa utama. Sebaliknya, tipe D menunjukkan adanya
33
penurunan frekuensi gempa susulan sebelum terjadinya gempa utama
(Lee dkk., 2002).
Gambar 2.17 (a) Gempa pendahuluan terjadi sesaat sebelum terjadi
gempa utama, di sekitar fokus. (b) Gempa utama. (c) Gempa susulan
(c) merupakan gempa kecil yang terjadi setelah gempa utama
(modifikasi Grotzinger dan Jordan, 2014).
34
Hampir semua gempa bumi berukuran sedang hingga besar
akan memicu sejumlah gempa bumi bermagnitudo lebih kecil di
sekitar area utama gempa yang berlangsung beberapa jam hingga
beberapa bulan berikutnya (Bolt, 1978, Grotzinger dan Jordan,
2014). Fenomena ini dikenal sebagai gempa susulan atau aftershock
(dependent earthquake, triggered earthquake, offspring). Sementara
itu, gempa yang memicu terjadinya gempa susulan disebut sebagai
gempa utama atau mainshock (independent earthquake, background
earthquake, parent earthquake).
Peristiwa gempa susulan ini menunjukkan bahwa kejadian
gempa tidak bisa dijelaskan dengan teori bingkas elastis secara
sederhana. Gempa susulan berlangsung selama periode penyesuaian
setelah terjadinya gempa utama, yaitu ketika tegangan kecil yang
terlokalisasi akan dilepas (Fowler, 2005). Setelah terjadinya gempa
utama, maka tegangan di sepanjang bidang sesar akan menurun.
Namun, tegangan ini akan meningkatkan tegangan di area lain di
sekitar sesar yang sebelumnya belum mengalami pergeseran. Gempa
susulan (Gambar 2.17 (c)) terjadi ketika area tersebut tidak mampu
lagi menahan tegangan yang diberikan (Grotzinger dan Jordan,
2014). Secara temporal, frekuensi kejadian gempa susulan akan
berkurang dengan bertambahnya waktu sejak terjadinya gempa
utama (Fowler, 2005). Frekuensi kejadian gempa susulan bergantung
pada magnitudo gempa utama. Semakin besar gempa utama, maka
semakin lama durasi terjadinya gempa susulan (Grotzinger dan
Jordan, 2014). Pada tahun 1894, Omori mencatat bahwa frekuensi
kejadian gempa susulan akan meluruh dengan laju (Parsons,
2002). Berdasarkan pengamatannya terhadap frekuensi gempa
susulan per harinya untuk kasus gempa Nobi 1891, Jepang
( 8,0), frekuensi kejadian gempa akan berkurang terhadap waktu
sesuai dengan persamaan:
(2.15)
dengan dan adalah konstanta dan merupakan durasi waktu
yang diukur sejak terjadinya gempa utama (Lee dkk., 2002). Secara
spasial, umumnya gempa susulan terjadi di dalam area yang jaraknya
sekitar setengah dari panjang rekahan bidang sesar (Fowler, 2005).
35
2.11 Metode Dekluster
Telah disebutkan sebelumnya dalam subbab 2.10 bahwa
terdapat dua macam gempa, yaitu gempa bumi yang bebas (gempa
utama) dan gempa bumi yang bergantung pada gempa bumi lainnya
(gempa susulan). Untuk mengisolasi gempa utama dari gempa
susulan yang ada di sekitarnya, maka dilakukan dekluster. Gempa-
gempa ini akan membentuk sebuah kluster. Oleh karena itu, proses
pemisahan gempa ini dikenal sebagai “dekluster”. Tahap dekluster
ini penting dalam melakukan penilaian bahaya kegempaan maupun
penelitian mengenai prediksi gempa bumi (Van Stiphout dkk., 2012).
Untuk dapat dilakukan dekluster, maka katalog gempa
setidaknya harus memiliki informasi mengenai waktu kejadian
gempa, lokasi episenter dan hiposenter, serta magnitudonya. Pada
prinsipnya, dekluster memisahkan gempa utama dengan gempa
susulan melalui pendekatan secara spasio-temporal, yakni
menganalisis gempa yang terjadi pada jarak tertentu dari fokus suatu
gempa dan pada durasi tertentu setelah terjadinya gempa. Umumnya,
ada dua metode dekluster yang sering digunakan, yaitu metode
jendela (window method) dan kluster (cluster method) (Van Stiphout
dkk., 2012).
Dalam metode jendela, pada prinsipnya, untuk setiap gempa
bumi dengan magnitudo dalam katalog, maka serangkaian gempa
yang terjadi selanjutnya diidentifikasi sebagai gempa susulan jika
gempa tersebut terjadi dalam interval waktu tertentu setelah
kejadian gempa dan dalam radius jarak tertentu dari episenter
gempa tersebut. Hal ini juga berlaku untuk gempa pendahuluan.
Tentunya, dalam sebuah rangkaian kejadian gempa, maka gempa
bermagnitudo paling besar diidentifikasi sebagai gempa utama.
Pada metode jendela, gempa susulan sekunder maupun gempa
susulan orde tinggi lainnya (yaitu gempa susulan dari gempa
susulan) diabaikan. Sebagai contoh, seandainya terjadi gempa C pada
rentang jendela gempa A dan B (keduanya berpotensi sebagai gempa
utama dari gempa C), maka gempa utama dari gempa C adalah
gempa dengan magnitudo tertinggi meskipun kemungkinan gempa C
justru dipicu oleh gempa dengan magnitudo yang lebih kecil. Hal ini
tentunya menjadi kelemahan dari metode jendela dalam melakukan
dekluster. Selain itu, metode jendela tidak mempertimbangkan efek
sesar untuk gempa dengan magnitudo besar.
36
Oleh karenanya, Reasenberg pada tahun 1985 menyusun
algoritma yang memungkinkan menghubungkan gempa-gempa
susulan ke dalam sebuah kluster. Sebagai contoh, jika A adalah
gempa utama dari B dan B adalah gempa utama dari C, maka baik
gempa A, B, dan C dianggap sebagai satu kluster. Dalam kluster
tersebut, gempa utama adalah gempa yang memiliki nilai magnitudo
terbesar. Gempa dengan magnitudo lebih kecil dikategorikan sebagai
gempa pendahuluan maupun gempa susulan. Metode ini
mempertimbangkan distribusi tegangan dan pergeseran di sekitar
gempa utama dalam menentukan interaksi spasial melalui
persamaan:
(2.16)
Variabel adalah jarak dari pusat gempa utama dalam satuan km
sedangkan adalah konstanta yang bernilai 1 untuk gempa terbesar.
Sementara, interaksi secara spasial ditentukan berdasarkan hukum
Omori.
Parameter-parameter yang diperlukan dalam metode ini adalah
dan yang merupakan waktu minimum dan maksimum
setelah terjadi gempa utama dengan probabilitas . Hal ini sesuai
dengan persamaan:
(2.17)
Pangkat laju peluruhan Omori diasumsikan bernilai 1. Sementara itu:
(2.18)
dengan merupakan magnitudo cutoff dari katalog gempa.
2.12 Geologi Regional Jawa Timur
Sejarah geologi Jawa Timur tidak terlepas dari sejarah geologi
wilayah Indonesia bagian barat lainnya maupun wilayah Asia
Tenggara. Wilayah Jawa Timur terletak di sebelah ujung tenggara
kraton Sunda dengan batuan dasar berupa batuan bancuh (melange)
berumur Kapur hingga Tersier (Darman dan Sidi, 2000). Pulau Jawa
merupakan bagian dari sistem subduksi busur Sunda yang
membentang 5.000 km dari Burma hingga Flores dan Sumba
(Shulgin dkk., 2011). Di sebelah Selatan Pulau Jawa, tepatnya di
Palung Jawa, terdapat zona subduksi lempeng Indo-Australia yang
37
menunjam di bawah lempeng Eurasia. Proses subduksi ini
berlangsung sejak kala Eosen Awal hingga sekarang. Tegangan yang
disebabkan oleh pergerakan lempeng Indo-Australia ke arah Utara
ini merupakan pengontrol utama pembentukan struktur di Jawa
Timur dan sekitarnya (Susilohadi, 1995). Segmen subduksi di sebelah Selatan Pulau Jawa memiliki
keunikan tersendiri yang tidak dijumpai di segmen lain Busur Sunda.
Jika di wilayah Sumatera dijumpai adanya sistem sesar memanjang
yang berasosiasi dengan arah subduksi miring, di Pulau Jawa
struktur yang dijumpai berbeda (Handayani, 2010). Jawa merupakan
contoh busur kepulauan yang dihasilkan dari proses subduksi yang
berarah tegak lurus (ortogonal). Arah pergerakan lempeng Indo-
Australia berarah Utara sehingga busur vulkanik dan struktur geologi
yang mendominasi wilayah Pulau Jawa akan memanjang dengan
orientasi Timur-Barat (Hall dkk., 2007). Di samping itu juga terdapat
sesar dengan orientasi Utara-Selatan yang berperan penting dalam
mempengaruhi pola geomorfologi di Pulau Jawa (Verstappen, 2010).
Apabila dibuat penampang melintang yang memotong Pulau
Jawa, maka dari arah Selatan hingga Utara (Gambar 2.18) akan
dijumpai unsur-unsur struktur sebagai berikut (Darman dan Sidi,
2000): 1) Palung Jawa (Java Trench)
2) Busur kepulauan luar yang bersifat nonvulkanik
(Nonvolcanic outer island arc)
3) Cekungan busur depan (Fore-arc Basin)
4) Busur magmatik/vulkanik (Magmatic/Volcanic Arc)
5) Cekungan busur belakang (Back-arc Basin)
6) Kraton kontinen Sunda (Sundaland Continental Craton)
Gambar 2.18 Profil sayatan melintang Pulau Jawa dari arah Selatan
(S) ke Utara (N) (modifikasi Simandjuntak dan Barber, 1996 dalam
Koulali dkk., 2016)
38
Arah penunjaman lempeng ini selalu berubah di sepanjang
waktu geologi (Hamilton 1979 dalam Putra, 2007). Posisi jalur
subduksi ini akan searah dengan jalur magmatik yang dihasilkan dan
membentuk orientasi struktur yang juga searah. Secara umum ada
dua pola orientasi struktur geologi di wilayah Jawa Timur (Gambar
2.19), yaitu Timur Laut-Barat Daya dan Timur-Barat (Putra, 2007).
Gambar 2.19 Arah pola struktur di Jawa Timur (modifikasi
Sribudiyani dalam Yulianto dkk., 2011)
Adanya dua pola orientasi ini tidak terlepas dari perubahan
posisi dan arah dari jalur subduksi tersebut. 1. Pola Timur Laut-Barat Daya dapat ditemukan dengan jelas
di sebelah Timur Laut Jawa (Susilohadi, 1995). Sistem sesar
dengan orientasi ini diduga merupakan sisa dari sistem
subduksi yang lebih tua. Sistem sesar ini menerus hingga
wilayah Kalimantan Selatan dengan ditemukannya
singkapan batuan ultrabasa dengan baturijang yang
mengindikasikan keberadaan sistem subduksi (Susilohadi,
1995). Menurut Martodjojo (1990) dalam Putra (2007) pola
struktur Timur Laut-Barat Daya diperkirakan merupakan
hasil subduksi pada zaman Kapur yang menghasilkan jalur
magmatik di daerah Pegunungan Meratus (Kalimantan
Selatan), Karangsambung (Jawa Tengah), dan Ciletuh (Jawa
Barat). Subduksi Jawa-Meratus ini terjadi antara mikrobenua
39
Australia (dalam Husein dan Nukman (2015) disebut sebagai
mikro benua Jawa Timur) dengan Eurasia. 2. Pola Timur-Barat searah dengan busur magmatik tua yang
berasosiasi dengan Formasi Andesit Tua dijumpai di daerah
Kulon Progo hingga Pantai Selatan Jawa Timur. Busur
magmatik ini membentuk Pegunungan Selatan di Pulau Jawa
(Helen dkk., 2005). Pola ini terbentuk pada kala Oligosen-
Miosen Awal. Dengan demikian, pada saat itu sistem
subduksi Jawa-Meratus telah berhenti dan lempeng Indo-
Australia mulai bergerak ke arah Utara hingga kala Miosen
Tengah. Dengan adanya keberadaan busur magmatik modern
(resen) yang berada sekitar 50 km di sebelah Utara dari
busur magmatik Oligo-Miosen (Husein dan Nukman, 2015),
maka pola orientasi Timur-Barat ini semakin dominan. Pada
Miosen Tengah hingga Plio-Pleistosen berlangsung fase
tektonik inversi yang dicirikan dengan terbentuknya lipatan-
lipatan dan sesar naik dengan orientasi Timur-Barat
(Lemigas, 2003 dalam Putra, 2007).
2.13 Fisiografi Jawa Timur
Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa berdasarkan
fisiografi dan struktural ke dalam empat bagian, yaitu Jawa Barat
(sebelah barat Cirebon), Jawa Tengah (antara Cirebon dan
Semarang), Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya) dan ujung
timur Pulau Jawa (Oosthoek) beserta Selat Madura dan Kepulauan
Madura.
Di sepanjang wilayah Jawa Timur secara berurutan, dari Utara
hingga Selatan, Van Bemmelen mendeskripsikan adanya beberapa
zona seperti yang diilustrasikan pada Gambar (2.20):
1. Zona Rembang dikenal sebagai zona yang kaya akan
kandungan hidrokarbon di Jawa Timur (Susilohadi, 1995).
Zona ini berupa daerah berbukit-bukit dengan antiklinorium
yang memanjang berarah Barat-Timur dan diselingi
sejumlah dataran aluvial. Zona ini memiliki lebar sekitar 50
km dengan puncak tertinggi mencapai 500 m di atas muka
air laut (Van Bemmelen, 1949). Secara umum, zona ini
tersusun dari sekuen Eosen-Pliosen yang diendapkan di
lingkungan pengendapan tepi paparan (sedimen klastik laut
40
dangkal dan karbonat). Struktur yang dijumpai di zona ini
berupa sesar berorientasi Timur Timur Laut-Barat Barat
Daya dan lipatan berorientasi Barat-Timur (Smyth dkk.,
2005). Di area Tuban-Paciran, lipatan tersebut menunjam ke
arah barat (Susilohadi, 1995). 2. Zona Kendeng merupakan zona yang mengandung sedimen
vulkanogenik dan pelagis tebal berumur Eosen-Miosen. Hal
ini ditandai dengan keberadaan anomali Bouguer bernilai
negatif di sepanjang zona ini (Ben-Avraham dan Emery,
1973 dalam Susilohadi, 1995). Struktur yang dijumpai
berupa sabuk lipatan anjak dengan orientasi Barat-Timur.
Zona ini merupakan antiklinorium dengan panjang 250 km
dan lebar 40 km hingga 20 km. Ketinggiannya tidak
melebihi 500 m di atas muka laut dan lipatan yang ditemui
semakin menghilang di arah timur dengan tertutupi endapan
aluvial (Delta Brantas) di Mojokerto (Susilohadi, 1995, Van
Bemmelen, 1949). Zona Kendeng dan Zona Rembang
dipisahkan oleh suatu sinklin yang disebut sebagai Zona
Randublatung. Zona ini memanjang dari Semarang,
Purwodadi, Randublatung, Ngimbang, hingga Wonokromo
(Van Bemmelen, 1949). 3. Zona Solo tersusun dari rangkaian gunung api Kuarter yang
diselingi dengan dataran intramontane (intramontane plain)
(Van Bemmelen, 1949). Zona Solo merupakan busur
vulkanik yang aktif sejak Miosen Akhir hingga saat ini
(Smyth dkk., 2005). Puncak tertinggi adalah Mahameru
dengan elevasi 3.676 m di atas muka laut dan merupakan
puncak tertinggi di Pulau Jawa. Puncak lainnya adalah Lawu
(3.265 m), Wilis (2.563 m), Kelud (1.731 m), Kawi (2.651
m), Butak (2.868 m), Anjasmoro (2.282 m), Welirang (3.156
m), Arjuno (3.339 m), Lamongan (1.671 m), Argopuro
(3.088 m), dan Raung (3.332 m). Dataran intramontane yang
dijumpai di antara puncak-puncak tersebut adalah dataran
Madiun, Kediri, Malang, Klakah, Jember-Bondowoso, dan
Banyuwangi. 4. Zona Pegunungan Selatan merupakan busur vulkanik
berumur Eosen-Miosen yang terbentuk di atas batuan dasar
berumur Mesozoikum. Zona Pegunungan Selatan memiliki
41
lebar 55 km hingga 25 km (Van Bemmelen, 1949). Zona ini
tersusun dari sekuen batuan vulkanik maupun vulkaniklastik
yang disisipi dan selanjutnya ditumpangi dengan
batugamping terumbu Miosen. Karenanya, zona ini
didominasi oleh topografi karst yang berumur relatif muda
(Kalan dkk., 1996). Material sedimen yang dijumpai
(sedimen silisiklastik, vulkaniklastik, vulkanik, dan
karbonat) umumnya miring ke arah Selatan akibat proses
pengangkatan yang diikuti dengan erosi (Smyth dkk., 2005).
Di beberapa wilayah di bagian Timur dari Jawa Timur,
pegunungan ini terisolasi dan tidak menerus.
Gambar 2.20 Zonasi fisiografi Jawa Timur berdasarkan Van
Bemmelen yang disederhanakan (Smyth dkk., 2003)
2.14 Pola Kegempaan Jawa Timur
Menurut Kertapati (2006) terdapat tiga lajur sumber gempa
bumi di wilayah Indonesia (Gambar 2.21), tidak terkecuali di Jawa
Timur: 1. Zona subduksi, yaitu lajur terjadinya gempa yang
diakibatkan pertemuan antara dua lempeng, yaitu lempeng
samudera dan lempeng benua atau lempeng samudera
dengan lempeng samudera. Crouse (1992) dalam Kertapati
(2006) membagi lajur gempa di zona subduksi menjadi dua
dalam upaya menganalisis bahaya goncangan gempa bumi.
Lajur pertama dikenal sebagai lajur “interplate” atau yang
sering dikenal dengan “megathrust”. Lajur ini merupakan
42
gempa di zona subduksi yang berada pada kedalaman 0 – 50
km. Lajur kedua dikenal sebagai lajur “intraplate” atau juga
dikenal sebagai “Benioff” yang ditandai dengan kedalaman
sumber gempa mulai dari 70 – 250 km atau bahkan lebih
dalam. 2. Zona sesar kerak bumi dangkal (shallow crustal fault zone),
yaitu zona yang berasosiasi dengan sumber gempa yang
berkaitan dengan aktivitas sesar di kerak bumi dengan
kedalaman dangkal, yakni kurang dari 30 km (Soehaimi,
2008). 3. Zona menyebar (diffuse), yaitu lajur sumber gempa yang
diasumsikan sebagai daerah dengan potensi kegempaan yang
sama, misalnya kejadian gempa bumi yang berhubungan
dengan aktivitas tektonik di busur belakang maupun
fragmen-fragmen benua.
Gambar 2.21 Model lajur sumber gempa bumi subduksi berdasarkan
sudut kemiringan (modifikasi Kertapati, 2006)
Sementara untuk wilayah Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur,
berdasarkan distribusi sumber gempa ini dapat dibuat segmentasi
43
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.22. Zona dengan kode yang
diawali 0 dan 1 secara berurutan menunjukkan zona sumber gempa
subduksi dan sesar dangkal.
Gambar 2.22 Segmentasi zona sumber gempa subduksi dan sesar
dangkal di wilayah Busur Sunda (Kertapati, 2006)
2.14.1 Gempa Subduksi
Menurut Soehaimi (2008) disebutkan bahwa wilayah Jawa
Timur bersama dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah tergolong ke
dalam daerah satuan seismotektonik busur aktif Sunda. Di daerah ini
gempa bumi > 8,5 pernah terjadi, gempa bumi > 7 sering
terjadi, dan gempa 5 ≤ ≤ 6 umum terjadi. Potensi kegempaan di
Pulau Jawa berasosiasi dengan keberadaan zona subduksi Jawa yang
membentang dari Selat Sunda hingga sebelah Selatan Pulau Bali
(Puspita dkk., 2014). Zona subduksi ini ditandai dengan penunjaman
lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia. Akibat subduksi
ini, dihasilkan bidang kontak yang luas antara lempeng samudera
yang menunjam dengan lempeng benua di atasnya. Laju penunjaman
yang relatif konstan ditambah dengan adanya bidang kuncian pada
zona seismogenik menyebabkan terakumulasinya tegangan di zona
44
tersebut. Gempa interplate akan terjadi jika tegangan yang
terakumulasi dilepaskan. Pada bidang kontak ini terjadi gesekan
yang akan menghasilkan gempa bumi interplate (Hanifa, 2014).
Bidang kontak ini merupakan zona seismogenik (Gambar 2.23) yaitu
zona terjadinya sesar naik.
Gambar 2.23 Diagram ilustrasi terjadinya sesar anjak yang
berasosiasi dengan gempa interplate/megathrust pada zona subduksi
(modifikasi Lay dan Bilek, 2007)
Gempa bumi lajur subduksi ini menunjukkan mekanisme
gempa bumi dengan sesar naik. Gempa dengan mekanisme sesar
normal juga ditemukan pada lajur subduksi pada kedalaman > 300
km di sebelah Utara Jawa. Gempa dengan mekanisme normal ini
berasosiasi dengan proses peregangan pada zona di bawah
kesenjangan gempa (seismic gap). Kesenjangan gempa di wilayah
Jawa Timur berada pada kedalaman antara 250 – 350 km (Soehaimi,
2008), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.24. Di wilayah Jawa
Timur, kedalaman gempa bumi terdalam yang berasosiasi dengan
zona Benioff Wadati dapat mencapai 670 km (Handayani, 2010).
45
Gambar 2.24 Profil penampang gempa bumi di wilayah Jawa Timur
dari arah Selatan ke Utara. Warna merah menunjukkan gempa
kedalaman dangkal, kuning untuk gempa kedalaman sedang, dan
hijau untuk gempa kedalaman dalam. Terlihat adanya zona
kesenjangan gempa (seismic gap) pada kedalaman 300 – 450 km
(Soehaimi, 2008).
Widiyantoro dan Van der Hilst (1996) telah memodelkan
lempeng yang menunjam di bawah busur Sunda dan Banda
berdasarkan pencitraan tomografi seismik (Gambar 2.25).
Berdasarkan citra tomografi tersebut, teridentifikasi adanya
kesenjangan gempa pada kedalaman 300 – 500 km yang dideteksi
memiliki nilai kecepatan rata-rata seismik lebih tinggi dengan
amplitudo kecil. Inversi yang dilakukan terhadap model yang telah
dibuat menunjukkan bahwa zona ini merupakan penipisan dari
lempeng samudera yang menunjam di bawah Pulau Jawa.
Dengan keberadaan lempeng samudera yang tua di Selatan
Pulau Jawa, maka lempeng akan menunjam lebih dalam. Di Pulau
Jawa sudut penunjaman menjadi sekitar 60o dengan arah penunjaman
46
ke Utara (Widiyantoro dan Van der Hilst, 1996). Selanjutnya akan
dihasilkan gempa dengan kedalaman > 600 km dengan episenter
berada di wilayah busur belakang melalui mekanisme kompresi
downdip. Sementara itu gempa terdangkal (0 – 20 km) di dekat
palung umumnya berasosiasi dengan pelepasan tegangan yang terjadi
pada lempeng yang tersubduksi (Ghose dan Oike, 1988).
Gambar 2.25 Profil vertikal citra tomografi di sepanjang busur Sunda
(A) Sunda Timur (antara Flores dan Jawa) (B) Sunda Tengah (Jawa).
Profil vertikal diambil dari sisi busur belakang di Utara (kiri) hingga
busur depan (kanan). Dari profil terlihat adanya penipisan lempeng
yang menunjam di antara kesenjangan gempa (hiposenter ditandai
lingkaran putih) (modifikasi Widiyantoro dan Van der Hilst, 1996).
Berdasarkan pemodelan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa wilayah subduksi di Selatan Jawa berpotensi menimbulkan
gempa besar dengan magnitudo antara 8,3 – 9,5 (Horspool dkk.,
2014). Sementara itu, menurut plot hubungan magnitudo gempa,
umur lempeng samudera yang menunjam, dan rata-rata laju benturan
lempeng yang dimodelkan oleh Heaton dan Kanamori tahun 1984
menunjukkan magnitudo gempa yang lebih kecil. Dengan umur
lempeng samudera di sepanjang busur Jawa dari Barat ke Timur
meningkat dari 80 juta tahun menjadi 140 juta tahun dan laju
A
B
47
penunjaman sekitar 6,7 cm per tahun, akan dihasilkan gempa dengan
kekuatan maksimum 7,1 (Stern, 2002). Irsyam dkk. (2010)
memodelkan magnitudo maksimum dari gempa megathrust yang
berada di zona subduksi Jawa, yaitu mencapai 8,1.
2.14.2 Gempa Sesar Darat
Selain terbentuknya sumber zona gempa subduksi,
konvergensi lempeng di sebelah Selatan Jawa Timur juga
menyebabkan terbentuknya zona sesar anjak busur belakang (back-
arc thrusting zone) Flores maupun sesar-sesar darat lainnya (Prasetya
dkk., 2001). Umumnya lajur sesar aktif dangkal ini menunjukkan
mekanisme sesar naik maupun normal yang sejajar dengan Pulau
Jawa. Beberapa lajur sesar aktif yang ditemukan di wilayah Jawa
Timur antara lain Sesar Pacitan, Sesar Pasuruan, dan Sesar Jember
(Soehaimi, 2008). Sesar anjak busur belakang Flores membentang
dari Timur sebelah Utara Flores dan kemudian menerus ke daratan
bagian Utara Jawa. Menurut pemodelan yang dibuat Irsyam dkk.
(2010) berdasarkan data parameter sumber gempa, sesar busur
belakang Flores dapat menghasilkan magnitudo maksimum hingga
7,8. Wijaya dkk. (2014) telah melakukan penilaian sesar aktif di
Jawa Timur dengan menggabungkan data gempa selama 50 tahun
terakhir dan peta struktur yang telah ada. Hasilnya diperoleh peta
distribusi sesar aktif di Jawa Timur seperti pada Gambar 2.26. Sesar
berwarna putih menunjukkan sesar aktif di permukaan. Sesar dengan
warna kuning menunjukkan sesar tidak aktif di permukaan. Sesar
aktif di bawah permukaan ditunjukkan dengan warna hitam
sedangkan sesar tidak aktif di bawah permukaan ditunjukkan dengan
warna merah. Dari 448 struktur sesar, 418 sesar di antaranya berada
di permukaan dan 30 sesar lainnya berada di bawah permukaan.
Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, sekitar 44 sesar di
permukaan dan 4 sesar di bawah permukaan teridentifikasi sebagai
sesar aktif. Penelitian terbaru mengenai keberadaan sesar darat aktif di
Jawa Timur yang dilakukan oleh tim revisi peta gempa bumi
nasional tahun 2016 menunjukkan bahwa beberapa kota di Jawa
Timur dilalui oleh sesar aktif yang dapat menghasilkan gempa
hingga 6,8 (Gambar 2.27).
48
Gambar 2.26 Distribusi sesar dangkal di wilayah Jawa Timur
(modifikasi Wijaya dkk., 2014)
Gambar 2.27 Peta yang menunjukkan jalur sesar aktif di wilayah
Jawa Timur dan sekitarnya (modifikasi Ismawadi, 2017)
49
2.14.3 Kala Ulang Gempa di Jawa Timur
Amalia (2016) telah melakukan perhitungan kala ulang
kejadian gempa bumi moderat di Jawa Timur berdasarkan distribusi
Gutenberg-Richter. Gempa bumi dengan magnitudo 5 di Jawa Timur
memiliki kala ulang berkisar 0,3 hingga 1,4 tahun. Untuk wilayah
Jawa Timur bagian Selatan, kala ulang gempa = 5 sekitar 5 hingga
7 bulan. Kala ulang kejadian gempa yang lebih lama ditemukan di
wilayah Jawa Timur bagian Utara dengan kala ulang di atas 1,4
tahun. Sementara itu, untuk kejadian gempa bumi yang lebih besar
( = 6) kala ulangnya berkisar 2 hingga 5 tahun. Kala ulang di atas 5
tahun adalah kejadian gempa bumi yang terjadi di wilayah Jawa
Timur bagian Utara.
2.15 Teori Probabilitas
Teori probabilitas merupakan cabang dari ilmu matematika
yang mempelajari tentang ketidakpastian (Benjamin dan Cornell,
1970). Teori ini mempelajari rata-rata gejala yang terjadi secara
berurutan atau bersama-sama. Rata-rata tersebut akan mendekati
suatu harga konstan jika jumlah pengamatan bertambah besar. Nilai-
nilai tersebut tetap sama bila dihitung pada suatu barisan bagian yang
ditentukan sebelum dilakukan percobaan. Gambaran dan taksiran
rata-rata tersebut dalam bentuk probabilitas kejadian merupakan
tujuan dari teori probabilitas.
Probabilitas kejadian , , didefinisikan sebagai suatu
percobaan yang dilakukan sebanyak kali dan kejadian terjadi
kali. Frekuensi relatif
mendekati adalah (Papoulis, 1992):
(2.19)
dengan syarat bernilai cukup besar.
Suatu himpunan merupakan kumpulan objek yang disebut
sebagai elemen atau anggota. Himpunan bagian dari himpunan
adalah himpunan yang elemen-elemennya juga anggota .
Himpunan-himpunan tersebut merupakan himpunan bagian dari
himpunan yang disebut semesta. Umumnya, anggota himpunan
dilambangkan dengan huruf Yunani . Jadi, himpunan dengan
anggota-anggotanya dapat dinyatakan:
(2.20)
50
Sementara itu, himpunan kosong atau hampa adalah himpunan yang
tidak mempunyai anggota dan dilambangkan dengan . Probabilitas kejadian adalah bilangan positif yang
ditetapkan:
(2.21)
Probabilitas kejadian pasti adalah satu:
(2.22)
Probabilitas kejadian mustahil adalah nol:
(2.23)
Untuk sebarang kejadian , maka:
(2.24)
(2.25)
Simbol merupakan komplemen dari kejadian .
Gambar 2.28 Irisan kejadian A dan B merupakan kejadian yang
merupakan bagian dari anggota himpunan kejadian A dan kejadian B.
Sementara itu, gabungan kejadian A dan kejadian B adalah gabungan
kejadian A maupun B adalah kumpulan anggota-anggota kejadian A
dan kejadian B yang terjadi paling sedikit satu kali (modifikasi
Benjamin dan Cornell, 1970).
Untuk sebarang kejadian dan maka probabilitas baik
kejadian maupun terjadi, berlaku:
51
(2.26)
Simbol menunjukkan gabungan (union) dari dua atau lebih
kejadian. Dalam kasus kejadian dan , maka gabungan kejadian
maupun adalah kumpulan anggota-anggota kejadian dan
kejadian yang terjadi paling sedikit satu kali. Simbol berarti
irisan dari dua kejadian. Perbedaan dari gabungan dan irisan dari
kejadian A dan B dapat dilihat pada gambar (2.28)
Bila kejadian dan saling asing (mutually exclusive), yakni
seperti yang diilustrasikan pada Gambar (2.29), maka:
(2.27)
Gambar 2.29 Kejadian A dan kejadian B sebagai dua kejadian yang
saling lepas dan tidak saling bergantung (independen) (modifikasi
Benjamin dan Cornell, 1970).
2.16 Teorema Bayes
Terjadinya dua kejadian bisa saling mempengaruhi sehingga
pada kasus kejadian dan , terjadinya kejadian bergantung pada
kejadian . Hal ini disebut sebagai kejadian bersyarat. Probabilitas
terjadi kejadian setelah terjadinya kejadian didefinisikan sebagai
rasio probabilitas irisan kejadian dan terhadap probabilitas
kejadian sebagai berikut.
(2.28)
Persamaan (2.28) merupakan persamaan dasar dari teorema Bayes,
yang diberi nama sesuai dengan tokoh yang pertama kali
mempelajarinya, Thomas Bayes, pada abad kesembilanbelas (Davis,
52
1986). Sebaliknya, probabilitas terjadi kejadian setelah terjadinya
kejadian didefinisikan:
(2.29)
Substitusi persamaan (2.28) ke persamaan (2.29) dan
menyederhanakannya, akan diperoleh persamaan:
(2.30)
Persamaan ini sangat penting karena dengan mengetahui probabilitas
bersyarat suatu kejadian, probabilitas bersyarat kejadian lainnya
dapat dengan mudah diketahui (Davis, 1986). Dua kejadian dan disebut bebas (tidak saling bergantung)
jika dan hanya jika:
(2.31)
Berdasarkan definisi tersebut dan substitusi persamaan (2.31) dengan
persamaan (2.28) diperoleh bahwa (Benjamin dan Cornell, 1970):
(2.32)
(2.33)
Oleh sebab itu, untuk dua kejadian yang saling bebas, probabilitas
terjadinya kejadian setelah terjadi kejadian adalah probabilitas
terjadinya kejadian itu sendiri (Davis, 1986).
2.17 Hipotesis
Secara etimologi, hipotesis berasal dari kata “hypo” yang
artinya “di bawah” dan “tesa” yang berarti “pernyataan yang diakui
kebenarannya”. Secara harfiah, hipotesis berarti pernyataan yang
belum diakui kebenarannya dan merupakan jawaban sementara atas
rumusan masalah penelitian. Oleh sebab itu, hipotesis masih harus
dibuktikan kebenarannya (Rozak, 2012). Hipotesis dalam statistik
berarti hipotesis yang digunakan dalam analisis statistik. Hipotesis
53
nol (null hypotesis) adalah hipotesis dalam statistika yang perlu
diuji kebenarannya.
Dalam pengujian hipotesis, keyakinan untuk mengambil
kesalahan ragam disebut sebagai taraf signifikansi (significance
level). Biasanya taraf ini dinyatakan dalam satuan persen. Semakin
tinggi nilai taraf signifikansi, maka semakin jelek kualitas datanya.
Sebagai contoh, untuk taraf signifikansi 5% dalam kasus 100 kali
percobaan, maka akan ada 5 kali kasus menolak hipotesis yang benar
dan 95 kali kasus yang menerima hipotesis yang benar.
2.18 Uji Chi Kuadrat
Uji Chi Kuadrat merupakan uji hipotesis yang hanya
dilakukan untuk data diskrit. Uji ini disebut juga sebagai uji
independensi. Artinya, uji untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
atau hubungan suatu variabel dengan variabel lain. Selain itu, uji
tersebut berfungsi untuk menduga barangkali ada beberapa faktor
selain faktor eror yang mampu mempengaruhi adanya hubungan
antarvariabel. Hipotesis nol dari uji Chi Kuadrat selalu menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antarvariabel (Djarwanto, 2011).
Misalkan dari suatu populasi data terdapat kelas frekuensi,
maka persamaan Chi Kuadrat adalah:
(2.34)
dengan adalah frekuensi pengamatan kelas , adalah frekuensi
teoritis kelas dan adalah banyaknya kelas frekuensi (Limantara
dan Soetopo, 2009). Nilai Chi Kuadrat selalu positif. Terlihat bahwa
persamaan Chi Kuadrat tersebut mengukur tingkat kesesuaian antara
data dengan hipotesis nol (McClave dan Sincich, 2000). Dalam uji
Chi Kuadrat apabila dilakukan kesesuaian distribusi (goodness of fit)
maka hipotesisnya adalah:
: sampel memenuhi syarat distribusi yang diuji;
: sampel tidak memenuhi syarat distribusi yang diuji.
Harga Chi Kuadrat Kritis, , diperoleh dari tabel distribusi
Chi Kuadrat. Untuk memperoleh nilai Chi Kuadrat Kritis dari tabel
distribusi tersebut harus diketahui derajat kebebasan (degree of
freedom) dan taraf signifikansi (significance level). Biasanya untuk
54
taraf signifikansi digunakan 5%. Sementara itu, derajat kebebasan
didefinisikan sebagai jumlah pengamatan dalam sampel dikurangi
dengan jumlah parameter yang diperkirakan dari sampel (Davis,
1986). Selanjutnya, apabila , maka ditolak dan jika
sebaliknya, , maka diterima (Limantara dan Soetopo,
2009).
2.19 Proses Stokastik
Kata “stokastik” berasal dari bahasa Yunani (στοχάζεσθαι
yang berarti “bertujuan, menebak”) yang secara harfiah berarti
“acak” atau “kesempatan”. Lawan dari stokastik adalah “pasti”,
“deterministik”, atau “tentu”. Model deterministik memprediksi
suatu keluaran tunggal dari beberapa kemungkinan keadaan yang
ada. Sebaliknya, model stokastik memprediksi beberapa
kemungkinan keluaran yang kejadiannya dipengaruhi oleh
probabilitasnya (Taylor dan Karlin, 1998). Dengan demikian, proses
stokastik merupakan suatu model probabilistik untuk sebuah sistem
yang berkembang terhadap waktu secara acak (Kulkarni, 2017). Terdapat dua macam proses stokastik (Kulkarni, 2017).
Apabila suatu sistem diamati pada suatu titik diskrit waktu, yaitu
dan jika adalah keadaan sistem pada waktu , maka
disebut sebagai proses atau rantai stokastik waktu diskrit. Dalam
kasus ini, sistem hanya diamati dalam waktu yang bersifat diskrit
(pengamatan tidak harus dilakukan dengan interval waktu yang sama
di sepanjang waktu). Contoh dari kasus proses stokastik waktu
diskrit adalah jumlah pengunjung museum pada minggu ke- ,
jumlah bakteri pada jam ke- , maupun intensitas gempa bumi ke-
yang terjadi di wilayah Amerika Serikat pada abad ini. Sementara
itu, untuk sistem yang diamati secara kontinyu sepanjang waktu,
merupakan fungsi keadaan pada waktu . Sebagai contoh
proses stokastik waktu kontinyu adalah jumlah uang di suatu akun
bank pada waktu , jumlah komponen yang rusak pada suatu sistem
kompleks pada saat , atau posisi siklon pada waktu ke- . Proses stokastik kadang disebut sebagai fungsi acak (random
function) karena keluaran dalam suatu proses stokastik mengikuti
salah satu jalur dengan acak. Salah satu tujuan utama mempelajari
proses stokastik adalah untuk memahami perilaku jalur sampel acak
yang diikuti oleh sistem. Lebih jauh, tujuan akhir mempelajari proses
55
stokastik yakni memprediksi dan mengendalikan yang akan terjadi
pada sebuah sistem ke depannya (Limnios dan Oprisan, 2001).
2.20 Matriks
Sebuah matriks adalah susunan angka-angka dalam
bentuk segiempat dengan jumlah baris dan kolom (Blum dan
Lototsky, 2006). Umumnya matriks dinotasikan dengan huruf
Romawi, misalnya yang berarti bahwa adalah elemen
matriks di baris dan kolom . Definisi dari transpos matriks
dinyatakan . Matriks persegi memiliki jumlah baris dan
kolom yang sama. Matriks disebut simetri jika . Matriks
diagonal adalah matriks persegi dengan nilai nol di setiap
elemennya, kecuali pada diagonal utama matriks, yaitu
untuk . Untuk matriks dengan ukuran maka:
(2.35)
(2.36)
Matriks identitas adalah sebuah matriks persegi yang memiliki
diagonal utama bernilai 1 dan selain itu bernilai nol.
(2.37)
Sebuah vektor baris adalah matriks berukuran . Sebaliknya,
sebuah vektor kolom adalah matriks berukuran .
Operasi penjumlahan dua buah matriks dengan
ukuran yang sama didefinisikan oleh persamaan:
(2.38)
Perkalian dua buah matriks didefinisikan oleh persamaan:
(2.39)
56
Secara umum, perkalian dua buah matriks bersifat tidak komutatif,
. Sifat perkalian matriks lainnya adalah asosiatif dan distributif .
2.21 Proses Markov
2.21.1 Definisi dan Sifat Proses Markov
Teori mengenai proses stokastik yang merupakan
pengembangan dari teori probabilitas telah memasuki babak baru dan
semakin berkembang sejak dikembangkannya mengenai konsep sifat
Markov. Teori proses Markov modern berawal dari studi mengenai
urutan peristiwa yang dihubungkan dengan sebuah “rantai” (Barbu
dan Limnios, 2008). Studi pertama dilakukan oleh matematikawan
Rusia, Andrei Andreyevich Markov (1856 – 1922). Penemuan teori
proses Markov bermula dari ketertarikan Markov dalam mempelajari
pola huruf vokal dan konsonan pada puisi Eugene Onegin dalam
novel Alexander Pushkin (Hayes, 2013). Penerapan proses Markov
dalam dunia sains telah berkembang luas, mulai dari identifikasi gen
dalam DNA, analisis gerak Brown, hingga algoritma pengenalan
suara dan mesin pencari jejaring. Proses Markov juga sering
diaplikasikan dalam suatu pengambilan keputusan.
Proses Markov memberikan ide baru dalam teori probabilitas
yang telah lama berkembang. Berbeda dengan teori lama yang
menekankan pada probabilitas suatu kejadian yang bersifat tidak
saling bergantung satu sama lain, maka dalam proses Markov
penekanan dilakukan pada probabilitas beberapa kejadian yang
saling terhubungkan (keadaan sistem selanjutnya bergantung pada
keadaan sistem saat ini) (Hayes, 2013). Dengan kata lain, proses
Markov lebih berfokus pada probabilitas terjadinya transisi dari satu
keadaan ke keadaan lainnya (kecenderungan suatu keadaan akan
diikuti dengan keadaan lainnya) daripada probabilitas terjadinya
suatu keadaan dalam sekuen kejadian tersebut (Davis, 1986). Dengan
demikian, seperti halnya proses stokastik lainnya, pemodelan suatu
sistem dengan proses Markov bertujuan meramal keadaan sistem
tersebut di masa yang akan datang.
Papoulis (1992) mendefinisikan proses Markov sebagai proses
stokastik dengan masa lalu tidak mempunyai pengaruh pada masa
yang akan datang bila masa sekarang diketahui. Sementara itu, Ibe
(2009) menyebutkan bahwa proses Markov sebagai proses stokastik
57
yang apabila diketahui keadaan (state) dalam proses saat ini, keadaan
di masa mendatang tidak bergantung pada keadaan di masa lampau.
Dengan demikian, proses Markov merupakan proses stokastik yang
memiliki sifat Markov, yaitu keadaan yang terjadi selanjutnya pada
sebuah sistem hanya bergantung pada keadaan sekarang dan tidak
bergantung pada keadaan-keadaan yang sebelumnya telah terjadi.
Secara matematis, dapat dinyatakan bahwa untuk suatu proses
Markov waktu kontinyu dengan dan diketahui nilai dari
, maka probabilitas
hanya bergantung pada sehingga:
(2.40)
Untuk kasus proses stokastik waktu diskrit dengan maka:
(2.41)
Dalam proses Markov diasumsikan bahwa sistem harus
bersifat stasioner atau homogen, yaitu perilaku sistem (probabilitas
transisi sistem dari satu keadaan ke keadaan lain) selalu sama di
sepanjang waktu dan memiliki keadaan yang teridentifikasi dengan
jelas. Misalnya, sistem dengan dua atau tiga keadaan (Nawangsari
dkk., 2014). Syarat lainnya yang berlaku dalam menyelesaikan suatu
sistem atau permasalahan dengan menggunakan proses Markov,
yaitu jumlah probabilitas transisi untuk suatu keadaan awal dari
sistem adalah 1, probabilitas transisi berlaku untuk semua anggota
dalam sistem dan bersifat konstan sepanjang waktu, serta kondisi
sistem yang bersifat saling tidak bergantung terhadap waktu
(Kusumobroto, 2010).
2.21.2 Klasifikasi Proses Markov
Proses Markov dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk
parameter waktu (time) maupun keadaan (state) (Ibe, 2009).
Berdasarkan keadaan, proses Markov dibagi menjadi proses Markov
keadaan diskrit dan proses Markov keadaan kontinyu. Proses
Markov keadaan diskrit ini disebut juga sebagai rantai Markov (Ibe,
2009). Berdasarkan waktu, proses Markov dapat diklasifikasikan
58
menjadi proses Markov waktu diskrit dan proses Markov waktu
kontinyu. Oleh sebab itu, terdapat empat tipe dasar proses Markov
(Tabel 2.3): 1. Rantai Markov waktu diskrit (proses Markov waktu diskrit
keadaan diskrit)
2. Rantai Markov waktu kontinyu (proses Markov waktu
kontinyu keadaan diskrit)
3. Proses Markov waktu diskrit (proses Markov waktu diskrit
keadaan kontinyu)
4. Proses Markov waktu kontinyu (proses Markov waktu
kontinyu keadaan kontinyu)
Tabel 2.3 Klasifikasi proses Markov (modifikasi Ibe, 2009)
Keadaan
Diskrit Kontinyu
Waktu
Diskrit Rantai Markov
waktu diskrit
Proses Markov
waktu diskrit
Kontinyu Rantai Markov
waktu kontinyu
Proses Markov
waktu kontinyu
Rantai Markov waktu diskrit merupakan urutan-urutan
(sekuen) variabel diskrit dengan keadaan bersifat
diskrit, yaitu dengan ruang keadaan . Dalam
rantai Markov, nilai probabilitas hanya bergantung pada .
Hal ini dapat dinyatakan bahwa untuk sekuen variabel diskrit acak
( ) maka:
(2.42)
Dengan kata lain, rantai Markov merupakan proses Markov dengan
keadaan bersifat finit dan dapat dihitung (Taylor dan Karlin, 1998).
Nilai disebut sebagai probabilitas transisi keadaan, yaitu
probabilitas bersyarat bahwa proses akan berada dalam keadaan pada waktu sesaat setelah transisi selanjutnya, apabila keadaan saat
ini adalah pada waktu . Untuk kasus rantai Markov homogen,
maka (Ibe, 2009).
59
2.21.3 Matriks Probabilitas Transisi -Langkah
Probabilitas transisi keadaan dalam persamaan (2.42)
dinyatakan ke dalam sebuah matriks . Dengan adalah
nilai elemen matriks pada baris ke- dan kolom ke- :
(2.43)
yang nilainya diperoleh dari persamaan:
(2.44)
Dengan adalah jumlah transisi dari keadaan ke keadaan dan
adalah jumlah transisi dari keadaan ke keadaan lainnya (Tsapanos
dan Papadopoulou, 1999). Nilai berkisar antara 0 hingga 1 karena
nilai tersebut merupakan probabilitas. Cara pembacaan matriks
tersebut adalah dari “baris ke kolom” (Davis, 1986). Oleh karena itu,
pada proses Markov berlaku bahwa (Tsapanos dan
Papadopoulou, 1999).
Matriks disebut sebagai matriks probabilitas transisi.
Matriks tersebut merupakan sebuah matriks stokastik karena untuk
setiap baris ,
, yakni jumlah nilai komponen matriks
untuk setiap barisnya, adalah 1 (Ibe, 2009). Nilai elemen di setiap
baris matriks merupakan probabilitas perubahan dari keadaan ke
keadaan . Matriks probabilitas transisi dapat disederhanakan dengan
menampilkannya dalam bentuk diagram transisi keadaan. Diagram
ini diwakili oleh lingkaran-lingkaran yang menunjukkan keadaan,
tanda panah yang menunjukkan transisi dari suatu keadaan ke
keadaan lainnya, dan angka yang menunjukkan probabilitas transisi
keadaan. Sebagai contoh, untuk matriks probabilitas transisi:
60
maka dapat ditampilkan dalam sebuah diagram probabilitas transisi
seperti yang diilustrasikan pada Gambar (2.30) berikut.
Gambar 2.30 Contoh diagram transisi dua keadaan (keadaan 1 dan
keadaan 2) (Ibe, 2009)
Probabilitas transisi untuk langkah ke- dari sebuah proses
Markov diskrit memenuhi:
(2.45)
dengan merupakan delta Kronecker:
(2.46)
dan:
(2.47)
Persamaan (2.45) merupakan rumus perkalian matriks, sehingga:
(2.48)
Jadi, probabilitas transisi ke- , , adalah elemen matriks , yaitu
pangkat ke- . Secara umum, persamaan (2.45) dikenal sebagai
persamaan Chapman-Kolmogorov (Taylor dan Karlin, 1998).
Kasus matriks probabilitas transisi yang diagram transisinya
ditunjukkan Gambar 2.30 dikenal sebagai rantai Markov dua
keadaan (two-state Markov process). Rantai Markov dua keadaan
merupakan bentuk paling sederhana (Cox dan Miller, 1994) dari
model rantai Markov. Misalkan, untuk keadaan “berhasil” akan
dinyatakan dengan “1” sedangkan keadaan “gagal” dinyatakan
dengan “0”. Dalam kasus tersebut hanya ada dua keadaan, yakni
“berhasil” dan “gagal”. Pada kasus rantai Markov dua keadaan
berlaku (Cox dan Miller, 1994):
61
(2.49)
Dengan dan masing-masing adalah probabilitas transisi dari
keadaan 0 ke keadaan 1 dan dari keadaan 1 ke keadaan 0. Untuk rantai Markov dengan keadaan yang lebih tinggi dapat
ditinjau tiga kemungkinan keadaan cuaca di sebuah kota:
cerah/sunny (S), berawan/cloudy (C), dan hujan/rainy (R). Transisi
keadaan ini dapat dinyatakan dalam sebuah matriks probabilitas
transisi . Dengan tiga keadaan, maka terdapat sembilan
transisi yang mungkin terjadi, termasuk transisi identitas, yaitu
transisi ke keadaan yang sama dengan keadaan sebelumnya. Sebagai
contoh matriks probabilitas transisi keadaan beserta diagram transisi
keadaannya dapat dilihat pada Gambar 2.31.
Dari diagram transisi juga dapat dihitung probabilitas keadaan
suatu sistem setelah mengalami lebih dari satu kali transisi (transisi
-langkah). Sebagai contoh kasus, ditanyakan probabilitas dua hari
berikutnya akan terjadi hujan apabila diketahui cuaca hari ini
berawan. Karena yang ditanyakan adalah keadaan cuaca dua hari
lagi, probabilitas yang diperoleh merupakan perkalian atau .
Hal ini juga disebut sebagai rantai Markov orde dua. Dalam rantai
Markov orde dua, keadaan sistem yang terjadi berikutnya bergantung
pada keadaan yang terjadi saat ini dan keadaan yang terjadi sesaat
sebelum saat ini. Hal yang sama juga berlaku untuk rantai Markov
dengan orde yang lebih tinggi (Ibe, 2009). Selanjutnya, dengan cara
yang sama, probabilitas untuk tujuh hari ke depan adalah .
Dari hasil perpangkatan matriks dapat diamati bahwa semakin
besar orde pangkat matriks, maka nilai elemen matriks dalam setiap
kolomnya bernilai identik atau dengan kata lain mengalami
konvergensi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk kasus -langkah,
maka model rantai Markov telah “kehilangan memori” dan
membuktikan bahwa berdasarkan model ini kejadian di masa
mendatang hanya bergantung pada keadaan saat ini dan tidak
bergantung pada kejadian-kejadian sebelumnya. Tentunya hal ini
dapat dengan mudah dijelaskan dalam kasus perkiraan cuaca.
Misalkan, apabila cuaca saat ini berawan, perkiraan cuaca besok atau
lusa masih memungkinkan untuk diprediksi. Namun, dengan hanya
62
menggunakan informasi cuaca hari ini, akan sulit untuk
memperkirakan cuaca pada 3 minggu yang akan datang.
Gambar 2.31 (a) Diagram transisi dan matriks probabilitas transisi
untuk kasus peramalan cuaca dengan keadaan Cerah (Sunny),
Berawan (Cloudy), dan Hujan (Rainy) (b) Untuk meramal cuaca
keesokan harinya, dua hari ke depan, hingga sepekan ke depan dapat
dilakukan dengan mempangkatkan matriks probabilitas transisi
dengan N (langkah transisi atau orde rantai Markov). Jika hari ini
cuaca berawan, probabilitas dua hari berikutnya akan hujan adalah
dengan melihat elemen matriks orde 2 (P2) untuk transisi dari
keadaan Berawan ke Hujan, yakni 0,420. Terlihat dengan semakin
besar orde rantai Markov, maka elemen matriks mengalami
konvergensi, yakni nilai semua baris identik. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini hanya dilakukan analisis rantai Markov dengan satu
langkah (modifikasi Hayes, 2013).
(a)
(b)
63
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian
Penelitian Tugas Akhir ini dilaksanakan pada tanggal 1 Maret
– 30 Juni 2017 di Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya.
Penelitian tersebut terbagi ke dalam beberapa tahap. Tahap studi
literatur dilaksanakan pada tanggal 1 Maret – 31 Maret 2017. Tahap
pengambilan data katalog gempa sebagai data sekunder dilaksanakan
pada tanggal 13 Maret 2017 dan 27 April 2017. Tahap pengolahan
data dilaksanakan pada tanggal 25 April – 28 Mei 2017. Sementara
itu, penulisan laporan Tugas Akhir dilaksanakan pada tanggal 1 April
– 30 Juni 2017. Secara umum, pelaksanaan Tugas Akhir ini
ditampilkan dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alokasi waktu pelaksanaan penelitian Tugas Akhir
Kegiatan
Waktu Pengerjaan (Minggu ke-)
Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi
Literatur
Pengambilan
Data
Pengolahan
Data
Interpretasi
Data
Penulisan
Laporan
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan model rantai Markov untuk
menganalisis kejadian gempa bumi di Jawa Timur secara spasial,
magnitudo, maupun temporal. Kejadian gempa dipisahkan antara
gempa yang berasosiasi dengan sesar darat berkedalaman dangkal
(selanjutnya disebut sebagai gempa sesar darat) dengan gempa yang
berasosiasi dengan aktivitas subduksi (selanjutnya disebut sebagai
gempa subduksi). Sebelum dianalisis, data gempa perlu didekluster
64
untuk memperoleh data gempa utama. Dalam melakukan analisis
gempa secara spasial, wilayah penelitian dibagi ke dalam 9 region.
Matriks probabilitas transisi satu langkah kejadian gempa dibuat
dengan masing-masing region sebagai keadaan. Setelah diperoleh
matriks probabilitas transisi, dibuat diagram transisi untuk
mengetahui transisi kejadian gempa dominan di wilayah penelitian.
Untuk mengetahui adanya keterkaitan antarkejadian gempa di
wilayah penelitian secara spasial, dilakukan uji hipotesis dengan Chi
Kuadrat. Analisis rantai Markov secara spasial ini dilakukan untuk
magnitudo batas yang berbeda-beda. Sementara itu, untuk
melakukan analisis secara magnitudo, magnitudo gempa
dikategorikan ke dalam 3 keadaan, yaitu gempa kecil, gempa
moderat, dan gempa besar. Selanjutnya, dalam upaya analisis bahaya
kegempaan di wilayah penelitian dilakukan analisis rantai Markov
secara temporal. Setiap region ditentukan keadaannya, yaitu aktif (1)
dan inaktif (0), di setiap interval waktu yang ditentukan (1 tahun).
Penentuan keadaan ini berdasarkan kejadian gempa bermagnitudo
moderat dengan kedalaman dangkal di masing-masing region. Dari
matriks probabilitas transisi periode aktif maupun inaktif diperoleh
durasi rata-rata periode aktif dan inaktif di masing-masing region.
3.3 Material Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian Tugas Akhir ini diperlukan
sejumlah materi, yaitu terdiri dari alat dan bahan sebagai berikut:
1. Laptop Acer Aspire 4652 32-bit Operating System dengan
kapasitas memori 2 GB sebagai perangkat keras yang
digunakan dalam penelitian ini dan telah terpasang sejumlah
perangkat lunak, di antaranya:
a) Microsoft Excel 2007, merupakan program pengolah
angka yang digunakan dalam tahap pemilahan dan
pengolahan awal data gempa. Selain itu juga digunakan
dalam melakukan analisis rantai Markov (perhitungan
matriks frekuensi dan probabilitas transisi) serta uji Chi
Kuadrat.
b) Notepad yang digunakan untuk menyimpan data yang
telah diolah Microsoft Excel dalam format “.dat”.
c) Notepad++ yang digunakan untuk mengolah data dalam
format “.dat”.
65
d) Matlab versi 7.10.0.499 (R2010a) yang digunakan untuk
menjalankan kode program ZMAP versi 6.
e) ZMAP versi 6, merupakan kumpulan kode program yang
dikembangkan oleh Wyss dan Wiemer (2003) untuk
melakukan tahap dekluster.
f) Generic Mapping Tool (GMT) merupakan kumpulan
paket yang digunakan untuk membuat peta seismisitas
wilayah penelitian.
2. Data sekunder berupa data kejadian gempa bumi yang
diperoleh dari katalog gempa USGS mulai tanggal 1 Januari
1960 hingga 27 April 2017 dengan ≥ 3 untuk gempa sesar
darat dan ≥ 4 untuk gempa subduksi. Data gempa
mencakup kejadian gempa di wilayah penelitian dengan
batas koordinat 05o29’24” LS – 11
o54’07” LS dan
111o00’00” BT – 114
o56’32” BT.
3.4 Langkah Penelitian
3.4.1 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang diperoleh dari katalog gempa bumi USGS. Katalog ini
merupakan gabungan dari data gempa yang dikeluarkan oleh Global
Centroid Moment Tensor (GCMT), Harvard University (HRV),
National Earthquake Information Center USGS (US), Lembaga
Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, Indonesia (DJA), National
Earthquake Information Center NEIC (NC), dan International
Seismological Centre Global Earthquake Model (ISCGEM). Data
tersebut dapat diunduh melalui laman:
https://earthquake.usgs.gov/earthquakes/search/.
Dalam pengunduhan data gempa digunakan sejumlah kriteria.
Kriteria tersebut meliputi rentang tanggal kejadian gempa,
magnitudo minimum gempa, kedalaman minimum, dan batas
koordinat. Data diperoleh dalam format comma separated value
(CSV). Data tersebut memberikan informasi mengenai waktu
kejadian gempa (origin time) dalam format YYYY-MM-
DDTHH:MM:SS.SZ, lintang dan bujur (derajat desimal) sumber
gempa, kedalaman (km) sumber gempa, letak geografis gempa (jarak
dalam km dari sebuah kota kabupaten atau kecamatan terdekat), root
mean square (rms), magnitudo dan tipenya, maupun tingkat eror
66
posisi horisontal, vertikal, dan magnitudo. Selanjutnya, data dalam
format CSV dibuka melalui lembar kerja Microsoft Excel 2007.
Informasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah waktu asal
gempa, lintang, bujur, kedalaman sumber gempa, dan magnitudonya.
Informasi mengenai eror horisontal dan kedalaman sumber gempa
digunakan dalam tahap dekluster.
3.4.2 Dekluster Data
Data yang diperoleh dari pengunduhan sebelumnya masih
mencakup semua data gempa bumi, yakni gempa utama dan gempa
ikutan (gempa pendahuluan dan susulan). Dalam penelitian ini hanya
digunakan data gempa utama. Oleh karena itu, gempa pendahuluan
dan gempa susulan perlu dipisahkan dari data gempa utama melalui
tahap dekluster. Tahap dekluster dilakukan dengan bantuan
perangkat lunak ZMAP versi 6 yang dioperasikan melalui Matlab.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk dekluster adalah
metode cluster yang algoritmanya dikembangkan oleh Reasenberg
(1985). Pemilihan metode dekluster dengan algoritma Reasenberg
dikarenakan metode ini merupakan metode yang sering digunakan
dalam tahap dekluster (Van Stiphout dkk., 2012). Selain
mempertimbangkan kepraktisan penerapannya, penggunaan
algoritma Reasenberg juga berdasarkan kenyataan pembentukan
kluster gempa susulan di sekitar gempa utama.
Dalam tahap dekluster dengan algoritma Reasenberg
diperlukan informasi awal sejumlah parameter, yaitu taumin yang
merupakan waktu minimum untuk membentuk sebuah kluster jika
gempa pertama tidak diklusterkan, taumax yang merupakan waktu
maksimum untuk membentuk sebuah kluster, P1 merupakan tingkat
keyakinan untuk mengamati adanya kejadian gempa selanjutnya
dalam sekuen tersebut, xk merupakan faktor peningkatan magnitudo
cutoff bawah dalam kluster (xmeff), rfact merupakan faktor dalam
menentukan radius interaksi dari sebuah gempa susulan, epicenter-
error yakni besar eror dalam penentuan lokasi horisontal, dan depth-
error yakni besar eror dalam penentuan lokasi hiposenter. Informasi
lebih lengkap mengenai parameter yang digunakan dalam tahap
dekluster dapat dilihat pada Tabel 3.2.
67
Tabel 3.2 Parameter yang digunakan dalam dekluster untuk kasus
gempa sesar darat dan gempa subduksi
Parameter Gempa Sesar
Darat
Gempa
Subduksi
taumin (hari) 1 1
taumax (hari) 790 970
P1 0,95 0,95
Xk 0,5 0,5
Xmeff 4,3 4,8
Rfact 10 10
epicenter-error (km) 6 7
depth-error (km) 7 10
Dalam penelitian ini, taumin bernilai 1 hari sedangkan taumax
bernilai 780 hari untuk kasus gempa sesar darat dan 970 hari untuk
kasus gempa subduksi. Penentuan nilai taumax ini mengadopsi
metode dekluster jendela waktu Gardner dan Knopoff (1974).
Magnitudo terbesar yang terdapat dalam katalog gempa, yaitu
6,6 untuk gempa sesar darat dan 7,8 untuk gempa subduksi.
Menurut algoritma Gardner dan Knopoff, kasus gempa 7,8
memiliki nilai jendela waktu sebesar 970 hari. Artinya, untuk gempa
7,8 diperlukan waktu hingga 970 hari untuk membentuk sebuah
kluster di sekitar sumber gempa. Kluster ini terdiri dari kumpulan
gempa susulan dan gempa utama. Tentunya sebagai gempa utama
dalam kluster adalah gempa dengan magnitudo terbesar.
Nilai xmeff diperoleh dengan mengeplot kejadian gempa pada
grafik hubungan logaritma frekuensi kejadian dan magnitudo. Nilai
xmeff merupakan magnitudo gempa yang sudah tidak lagi mengikuti
kelinieran kurva pada grafik tersebut. Nilai rfact menggunakan nilai
standar, yaitu 10. Nilai epicenter-error dan depth-error dalam
penelitian ini menggunakan nilai eror rata-rata. Penentuan nilai eror
ini sangat penting untuk kasus wilayah dengan jumlah data gempa
yang relatif sedikit (Van Stiphout dkk., 2012). Selanjutnya, grafik
frekuensi kumulatif kejadian gempa sebelum dan setelah didekluster
dibandingkan untuk mengevaluasi tahap dekluster gempa yang telah
dilakukan.
68
3.4.3 Pembuatan Peta Seismisitas
Peta seismisitas memberikan informasi mengenai lokasi
(lintang dan bujur) episenter, kedalaman sumber gempa, dan
magnitudo gempa. Pemetaan dilakukan dengan perangkat lunak
GMT. Data gempa utama yang diperoleh dari proses dekluster
ditampilkan dalam peta dengan menggunakan simbol yang berbeda.
Episenter gempa disimbolkan dengan lingkaran. Radius lingkaran
mewakili magnitudonya. Semakin besar radius lingkaran, semakin
besar magnitudo gempa tersebut. Warna lingkaran menunjukkan
kedalaman dari episenter. Dalam pembuatan peta seismisitas ini
terdapat tiga macam warna yang mewakili jenis gempa berdasarkan
kedalaman, yakni gempa dangkal, gempa menengah, dan gempa
dalam. Peta seismisitas ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan
dalam menentukan batas dari region-region di wilayah penelitian.
3.4.4 Penentuan Keadaan
Tahap ini merupakan salah satu tahap penting dalam analisis
rantai Markov. Dalam penelitian ini dilakukan analisis rantai Markov
secara spasial (dari region ke region), magnitudo (dari magnitudo ke
magnitudo), dan temporal (dari periode aktif ke periode inaktif atau
sebaliknya) dengan keadaan yang digunakan bersifat diskrit.
Seperti yang telah diketahui bahwa terdapat dua macam
gempa tektonik yang terjadi di wilayah Jawa Timur, yaitu gempa
yang berkaitan dengan peristiwa subduksi di Samudera Hindia
maupun gempa akibat sesar lokal di darat yang umumnya memiliki
kedalaman relatif dangkal. Untuk menghindari adanya kerancuan
dalam interpretasi hasil analisis, maka analisis rantai Markov secara
spasial pada kasus gempa subduksi dan gempa sesar darat dibedakan.
Hal ini disebabkan kedua gempa tersebut terjadi melalui mekanisme
yang berbeda. Selain itu, frekuensi kejadian gempa subduksi di
wilayah penelitian jauh lebih tinggi daripada gempa sesar darat.
Apabila dua kejadian gempa tersebut tidak dibedakan, kejadian
gempa subduksi akan lebih mendominasi daripada kejadian gempa
sesar darat.
Gempa subduksi di wilayah penelitian adalah gempa yang
terjadi di wilayah dengan batas koordinat 111o00’00” BT –
114o56’32” BT dan 08
o25’52” LS – 11
o54’07” LS serta gempa
dengan kedalaman hiposenter > 70 km di wilayah dengan batas
69
koordinat 111o00’00” BT – 114
o56’32” BT dan 05
o29’24” LS –
08o25’52” LS.
Untuk menganalisis kejadian gempa subduksi secara spasial,
wilayah penelitian dibagi ke dalam sembilan region. Region-region
tersebut diwakili dengan grid-grid yang tidak seragam ukurannya.
Penentuan masing-masing grid wilayah berdasarkan kluster gempa
yang diketahui dari peta seismisitas maupun pembagian kejadian
gempa di zona subduksi Jawa menurut Kertapati (2006). Pembagian
region ini juga mempertimbangkan hasil beberapa penelitian
sebelumnya, yaitu Puspita (2015), Amalia (2016), dan Handayani
(2010). Kesembilan region tersebut dibatasi oleh koordinat seperti
yang diperlihatkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Batas koordinat masing-masing region di wilayah
penelitian untuk kasus gempa subduksi
Region Bujur Lintang
A1 111o00’00” – 112
o19’36” -05
o29’24” – -08
o25’52”
A2 112o19’36” – 113
o40’23” -05
o29’24” – -08
o25’52”
A3 113o40’23” – 114
o56’32” -05
o29’24” – -08
o25’52”
B1 111o00’00” – 112
o19’36” -08
o25’52” – -10
o03’31”
B2 112o19’36” – 113
o40’23” -08
o25’52” – -10
o03’31”
B3 113o40’23” – 114
o56’32” -08
o25’52” – -10
o03’31”
C1 111o00’00” – 112
o19’36” -10
o03’31” – -11
o54’07”
C2 112o19’36” – 113
o40’23” -10
o03’31” – -11
o54’07”
C3 113o40’23” – 114
o56’32” -10
o03’31” – -11
o54’07”
Berdasarkan pembagian region ini, maka suatu kejadian
gempa dapat diidentifikasi keadaan regionnya dengan meninjau
koordinat episenter gempa tersebut. Sebagai contoh, gempa yang
terjadi pada tanggal 28 September 1998 ( 6,6) dengan koordinat
episenternya 112,413o BT dan 8,194
o LS serta kedalaman fokus
151,60 km. Berdasarkan informasi parameter gempa tersebut, gempa
ini terjadi di region A2.
Sementara itu, gempa sesar darat adalah gempa yang terjadi di
wilayah dengan batas koordinat 111o00’00” BT – 114
o56’32” BT
dan 08o25’52” LS – 11
o54’07” LS (region dengan kode A pada kasus
gempa subduksi) dan kedalaman fokus < 70 km. Penentuan
kedalaman sesar darat ini sesuai dengan definisi gempa dangkal
menurut Lay dan Wallace (1995) yang menyebutkan bahwa gempa
70
dangkal adalah gempa dengan kedalaman hiposenter kurang dari 70
km. Untuk menganalisis secara spasial kasus gempa sesar darat,
wilayah penelitian dibagi ke dalam sembilan region. Pembagian
tersebut mempertimbangkan fisiografi wilayah penelitian menurut
Van Bemmelen (1949). Kesembilan region tersebut dibatasi oleh
koordinat seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Batas koordinat masing-masing region di wilayah
penelitian untuk kasus gempa sesar darat
Region Bujur Lintang
1a 111o00’00” – 112
o19’36” -05
o29’24” – -06
o35’50”
1b 111o00’00” – 112
o19’36” -06
o35’50” – -07
o31’36”
1c 111o00’00” – 112
o19’36” -07
o31’36” – -08
o25’52”
2a 112o19’36” – 113
o40’23” -05
o29’24” – -06
o35’50”
2b 112o19’36” – 113
o40’23” -06
o35’50” – -07
o31’36”
2c 112o19’36” – 113
o40’23” -07
o31’36” – -08
o25’52”
3a 113o40’23” – 114
o56’32” -05
o29’24” – -06
o35’50”
3b 113o40’23” – 114
o56’32” -06
o35’50” – -07
o31’36”
3c 113o40’23” – 114
o56’32” -07
o31’36” – -08
o25’52”
Selanjutnya, juga dilakukan pembagian keadaan berdasarkan
magnitudonya. Dalam katalog gempa yang digunakan pada
penelitian ini, magnitudo gempa terkecil adalah 4 dan magnitudo
terbesar adalah 7,8. Berdasarkan informasi ini, kejadian gempa di
wilayah penelitian dapat dikategorikan ke dalam tiga keadaan:
1. M1 adalah gempa dengan magnitudo
2. M2 adalah gempa dengan magnitudo
3. M3 adalah gempa dengan magnitudo
Pada kasus gempa 28 September 1998 sebelumnya, karena
magnitudo gempa ini 6,5, gempa tersebut diklasifikasikan ke
dalam gempa bermagnitudo M3. Di wilayah penelitian pernah terjadi
gempa dengan magnitudo ≥ 7. Namun, jumlah kejadian gempa
dengan magnitudo ≥ 7 di wilayah penelitian sangat terbatas
sehingga dapat diasumsikan bahwa hasil analisis untuk gempa 6
valid untuk kejadian gempa terbesar ( ≥ 7) di wilayah penelitian
(Tsapanos dan Papadopoulou, 1999).
Dalam melakukan analisis kejadian gempa dengan rantai
Markov ada hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kelengkapan
data dalam katalog. Meskipun katalog telah menyediakan data
71
gempa mulai dari tahun 1960, gempa dengan ≥ 4 baru tersedia
mulai tahun 1973. Oleh karena itu, dalam analisis secara spasial dan
magnitudo untuk kasus gempa ≥ 3 dan ≥ 4, data yang dianalisis
adalah data setelah tahun 1973. Sementara untuk kasus gempa ≥
5, data sudah tersedia sejak tahun 1960 sehingga analisis dapat
dilakukan mulai dari tahun 1960.
Dalam upaya analisis bahaya kegempaan di wilayah
penelitian, dilakukan analisis temporal untuk kejadian gempa bumi
moderat berkedalaman dangkal, yakni gempa dengan dan
kedalaman km, di setiap region yang telah ditentukan
sebelumnya. Pemilihan kriteria ini berdasarkan pengamatan bahwa
gempa yang sering menimbulkan kerusakan adalah gempa
bermagnitudo moderat hingga besar dengan kedalaman fokus relatif
dangkal.
Untuk melakukan analisis temporal, data gempa moderat
dengan kedalaman dangkal dikelompokkan menurut region
terjadinya. Selanjutnya, di setiap region dilakukan analisis mulai dari
tahun 1960 hingga 2017. Periode tersebut dibagi ke dalam satuan
waktu diskrit dengan interval 1 tahun. Alasannya, karakteristik
kejadian gempa moderat di setiap region di wilayah penelitian
umumnya terjadi sekitar satu tahun sekali. Interval waktu yang
ditandai dengan terjadinya gempa moderat berkedalaman dangkal
menunjukkan periode aktif dari suatu region. Periode aktif ini diberi
nilai dengan angka “1” yang diadaptasi dari sistem bilangan biner.
Sebaliknya, interval waktu yang tidak ditemukan kejadian gempa
serupa diberi nilai “0” yang menunjukkan periode tidak aktif
(inaktif) suatu region.
3.4.5 Perhitungan Probabilitas Transisi Spasial dan Magnitudo
Setelah semua kejadian gempa ditentukan keadaannya
berdasarkan region, maka dilakukan perhitungan frekuensi (jumlah
kejadian) transisi dari satu region ke region berikutnya. Jumlah
keseluruhan transisi adalah , dengan adalah jumlah kejadian
gempa bumi di wilayah penelitian. Untuk kejadian gempa yang
terjadi pada region yang selanjutnya disusul dengan kejadian
gempa di region , maka transisi kejadian gempa tersebut dihitung
sebagai bagian dari elemen matriks , yaitu matriks frekuensi
72
transisi. Jadi, cara memperoleh informasi frekuensi transisi kejadian
gempa dari suatu matriks adalah dari “baris” ke “kolom”.
Probabilitas transisi merupakan probabilitas proses Markov
berada pada keadaan jika selanjutnya akan memasuki keadaan . Dalam kasus dua kejadian bersyarat, probabilitas transisi dapat
dinyatakan dalam bentuk . Probabilitas transisi ini dinyatakan
dengan sebuah matriks yang berukuran . Dengan
merupakan jumlah keadaan dalam sistem tersebut. Probabilitas
transisi diperoleh dengan cara membagi frekuensi transisi dengan
jumlah dari frekuensi di setiap barisnya .
(3.1)
Dalam kasus ini, dapat ditinjau sebagai kejadian gempa bumi.
Perhitungan probabilitas transisi merupakan metode paling penting
dalam analisis rantai Markov karena dapat memberikan informasi
mengenai jumlah transisi, migrasi, atau kunjungan kejadian gempa di
setiap keadaannya. Transisi yang terjadi dapat diasumsikan sebagai
suatu fenomena fisis (Tsapanos dan Papadopoulou, 1999).
Dalam penelitian ini akan dilakukan perhitungan probabilitas
transisi untuk keadaan region dan magnitudo. Untuk keadaan region,
matriks probabilitas transisi yang diperoleh adalah matriks
karena wilayah penelitian dibagi menjadi 9 region seperti pada Tabel
3.5.
Tabel 3.5 Format matriks probabilitas transisi untuk keadaan region
dan elemennya
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
73
Dengan demikian, jumlah probabilitas transisi untuk setiap
barisnya adalah 1. Probabilitas transisi bernilai atau jika
dinyatakan dalam satuan persen akan bernilai .
Untuk kasus gempa sesar darat, analisis dilakukan pada kasus
gempa dengan batas magnitudo yang berbeda, yaitu ≥ 3, ≥ 4,
dan ≥ 5, sebab umumnya gempa tersebut memiliki karakteristik
magnitudo relatif kecil. Sementara itu, untuk kasus gempa subduksi
analisis dilakukan dengan batas magnitudo ≥ 4, ≥ 5, dan ≥ 6
karena umumnya magnitudo gempa yang dihasilkan relatif lebih
besar.
Selanjutnya, untuk keadaan magnitudo akan diperoleh matriks
probabilitas transisi berupa matriks (Tabel 3.6) karena
terdapat 3 keadaan magnitudo yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3.6 Format matriks probabilitas transisi untuk keadaan
magnitudo dan elemennya
M1 M2 M3
M1
M2
M3
Jika setiap elemen dari matriks frekuensi transisi dijumlahkan
setiap barisnya, lalu dibagi dengan jumlah keseluruhan transisi yang
terjadi, akan diperoleh vektor probabilitas marginal (Margin
Probability Vector/MPV) atau vektor probabilitas tetap (Fixed
Probability Vector/FPV). Vektor ini merupakan matriks berukuran
. Berdasarkan persamaan (2.33) yang diturunkan dari teorema
Bayes tentang kejadian bersyarat dan dua buah kejadian yang saling
lepas, maka probabilitas terjadinya keadaan setelah terjadi keadaan
adalah probabilitas terjadinya keadaan tersebut. Sebagai contoh,
probabilitas terjadinya gempa di zona A1 setelah terjadinya gempa di
zona B1 adalah probabilitas terjadinya gempa di zona A1 tersebut.
Hal ini berlaku dengan asumsi bahwa terjadinya keadaan tidak
dipengaruhi oleh keadaan dan sebaliknya.
Untuk memudahkan dalam penyajian informasi tentang
transisi kejadian gempa paling dominan dari satu region ke region
berikutnya, maka dibuat diagram transisi. Diagram transisi ini terdiri
dari lingkaran-lingkaran berkode setiap keadaan, yaitu masing-
74
masing region. Selanjutnya, antarlingkaran dihubungkan dengan
tanda panah yang menunjukkan arah transisi dari region satu ke
region lainnya. Dalam penelitian ini transisi yang ditampilkan dalam
diagram transisi hanya 2 transisi, yakni dua transisi dengan
probabilitas terbesar di masing-masing region. Hal ini bertujuan
mengurangi jumlah transisi yang ditampilkan sehingga tidak
membuat tampilan diagram menjadi rumit. Dengan 9 region, maka
terdapat 9 kemungkinan transisi yang terjadi di setiap region dan 81
kemungkinan keseluruhan transisi yang terjadi.
3.4.6 Pengujian Hipotesis
Untuk mengetahui transisi kejadian gempa di wilayah
penelitian merupakan sebuah proses Markov atau bukan, maka
digunakan pengujian hipotesis dengan metode uji Chi Kuadrat.
Pemilihan uji Chi Kuadrat dalam penelitian ini karena uji ini mampu
diterapkan untuk keadaan yang bersifat diskrit seperti dalam kasus
rantai Markov. Dalam penelitian ini, uji Chi Kuadrat tidak dilakukan
pada analisis temporal dan hanya dilakukan pada analisis spasial
serta magnitudo. Hal ini disebabkan analisis rantai Markov secara
temporal hanya melibatkan dua keadaan, yaitu aktif dan tidak aktif.
Dalam melakukan uji Chi Kuadrat, tahap pertama yang
dilakukan adalah perhitungan matriks probabilitas transisi harapan
maupun matriks frekuensi transisi harapan. Matriks probabilitas
transisi harapan (seperti halnya matriks probabilitas pengamatan)
merupakan matriks berukuran untuk analisis spasial dan
untuk analisis magnitudo. Karena probabilitas transisi kejadian ke
kejadian adalah probabilitas terjadinya kejadian tersebut, semua
nilai elemen matriks probabilitas transisi harapan pada baris yang
sama akan memiliki nilai yang sama, yakni elemen dari masing-
masing baris dalam vektor probabilitas tetap.
Sebagai contoh, probabilitas harapan terjadinya transisi
kejadian gempa dari region B1 ke B2 adalah sama dengan
probabilitas terjadinya gempa di region B2. Hal yang sama juga
berlaku untuk menentukan probabilitas harapan terjadinya transisi
gempa dari region A1, A2, A3, B2, B3, C1, C2, maupun C3 ke
region B2, yaitu probabilitas terjadinya gempa di region B2 itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat matriks probabilitas transisi dalam
75
rantai Markov dan teorema Bayes yang telah dibuktikan sebelumnya,
yaitu:
(3.2)
Selanjutnya, setiap elemen matriks probabilitas transisi
harapan dikalikan dengan jumlah elemen matriks frekuensi transisi
pengamatan di setiap barisnya sehingga diperoleh matriks frekuensi
transisi harapan. Matriks frekuensi transisi harapan memberikan
gambaran tentang frekuensi transisi yang diharapkan terjadi jika
seandainya kejadian gempa saat ini tidak dipengaruhi kejadian
gempa sebelumnya dan kejadian gempa berikutnya tidak dipengaruhi
kejadian gempa saat ini.
Matriks frekuensi transisi harapan dapat dibandingkan dengan
matriks frekuensi transisi pengamatan untuk menguji hipotesis nol
bahwa kejadian gempa di wilayah penelitian bersifat acak dan tidak
saling mempengaruhi. Hal ini dilakukan dengan menghitung nilai
Chi Kuadrat. Nilai Chi Kuadrat diperoleh dengan persamaan berikut:
(3.3)
dengan adalah elemen matriks frekuensi transisi pengamatan dan
adalah elemen matriks frekuensi transisi harapan.
Kemudian, nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan ini
dibandingkan dengan nilai Chi Kuadrat kritis yang dapat dilihat pada
Lampiran 1. Untuk mengetahui nilai Chi Kuadrat kritis, diperlukan
informasi tentang derajat kebebasan (degree of freedom) dan taraf
signifikansi (level of significant) yang digunakan. Dalam penelitian
ini digunakan taraf signifikansi 5%. Sementara itu, dalam rantai
Markov jumlah derajat kebebasannya sebesar . Dengan
merupakan jumlah keadaan dalam rantai Markov tersebut. Dalam
perhitungan derajat kebebasan, jumlah keadaan dikurangi dengan 1
sebelum dikuadratkan karena dalam setiap barisnya akan kehilangan
satu derajat kebebasan. Hal ini disebabkan jumlah probabilitas di
setiap barisnya sama dengan 1 (Polimenakos, 1995, Davis, 1986).
Dalam analisis secara spasial penelitian ini terdapat 9 keadaan
sehingga diperoleh nilai derajat kebebasan sebesar (9 1)2 64
sedangkan untuk analisis secara magnitudo diperoleh (3 1)2 4
derajat kebebasan.
76
Apabila nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih kecil
daripada nilai Chi Kuadrat kritis, hipotesis nol diterima. Hal ini
berarti bahwa kejadian gempa yang terjadi di wilayah penelitian
bersifat acak. Artinya, tidak ada keterkaitan antara kejadian gempa di
suatu region dengan region lainnya. Sebaliknya, jika nilai Chi
Kuadrat hasil perhitungan lebih besar daripada nilai Chi Kuadrat
kritis, hipotesis nol ditolak. Dengan kata lain, terdapat korelasi secara
spasial maupun magnitudo antara kejadian gempa saat ini dengan
kejadian gempa selanjutnya (Polimenakos, 1995).
3.4.7 Perhitungan Probabilitas Transisi Temporal
Dalam analisis rantai Markov kejadian gempa bumi secara
temporal, matriks frekuensi transisi yang digunakan adalah matriks
dua keadaan, yakni keadaan 0 (periode inaktif) dan keadaan 1
(periode inaktif). Oleh karena itu, baik matriks frekuensi transisi dan
probabilitas transisi dalam analisis temporal ini merupakan matriks
berukuran 2 2. Dengan cara yang sama seperti dalam analisis
secara spasial dan magnitudo, matriks probabilitas transisi dalam
kasus temporal diperoleh dengan cara membagi setiap elemen
matriks frekuensi transisi dengan jumlah elemen matriks pada setiap
barisnya.
Analisis temporal dengan sistem dua keadaan ini
memungkinkan dilakukannya perhitungan probabilitas transisi dari
keadaan periode aktif menjadi inaktif maupun sebaliknya (Tsapanos
dan Papadopoulou, 1999). Berdasarkan hal ini, akan terdapat empat
kemungkinan transisi keadaan yang terjadi, yaitu dari keadaan 0
menjadi 0 ( yaitu transisi dari periode inaktif menjadi inaktif,
dari keadaan 0 menjadi 1 ( ) yaitu transisi dari periode inaktif
menjadi aktif, dari keadaan 1 menjadi 0 ( ) yaitu transisi dari
periode aktif menjadi inaktif, dan dari keadaan 1 menjadi 1 ( )
yaitu periode aktif yang diikuti dengan periode aktif.
Bentuk umum dari matriks probabilitas transisi dua keadaan
ini dapat dilihat pada Tabel 3.7. Dengan menggunakan sifat dari
matriks probabilitas transisi tersebut diperoleh bahwa:
(3.4)
77
Tabel 3.7 Format matriks probabilitas transisi untuk keadaan periode
aktif dan inaktif beserta elemennya
0 1
0
1
Selanjutnya, dengan menghitung kebalikan probabilitas
transisi dari keadaan 1 menjadi 0
akan diperoleh durasi rata-
rata periode aktif di suatu region. Dengan cara yang sama, kebalikan
probabilitas transisi dari keadaan 0 menjadi 1
akan didapatkan
durasi rata-rata periode inaktif di suatu region. Durasi rata-rata
periode aktif maupun inaktif yang diperoleh ini dinyatakan dalam
satuan tahun.
3.4.8 Interpretasi Data
Setelah menganalisis kejadian gempa bumi dengan rantai
Markov, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah interpretasi.
Interpretasi khususnya ditujukan pada matriks probabilitas transisi
dan kemungkinan adanya migrasi kejadian gempa di wilayah
penelitian. Dalam tahap interpretasi perlu ditinjau kembali hasil uji
hipotesis dengan metode Chi Kuadrat. Apabila hipotesis ditolak,
kemungkinan besar terdapat keterkaitan kejadian gempa di wilayah
penelitian.
Untuk memahami keterkaitan transisi kejadian gempa secara
spasial dan magnitudo dengan keadaan fisis di wilayah penelitian,
maka frekuensi kejadian gempa di setiap region dianalisis.
Berdasarkan informasi frekuensi kejadian gempa di setiap region,
dilakukan korelasi dengan keberadaan struktur geologi aktif di region
tersebut maupun kondisi seismotektoniknya. Hal ini mampu
menjelaskan alasan tentang adanya suatu region yang kemungkinan
sering “dikunjungi” atau menjadi tujuan transisi setelah terjadi
gempa di region lainnya.
Penjelasan fisis transisi kejadian gempa secara spasial maupun
magnitudo juga dapat dikorelasikan dengan teori bingkas elastis
maupun hipotesis kesenjangan gempa yang telah berkembang luas.
Korelasi hasil analisis dengan studi sebelumnya mengenai tomografi
seismik, pemodelan gravitasi, pengukuran kecepatan pergeseran
78
dengan GPS, maupun kala ulang kejadian gempa di wilayah
penelitian diharapkan mampu menjelaskan hasil penelitian ini.
3.5 Diagram Alir Penelitian
Secara umum, tahap-tahap dalam penelitian ini dapat
ditampilkan dalam diagram alir yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
79
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Dekluster
Jumlah awal data gempa sesar darat yang diperoleh dari
periode 1970 hingga 2017 adalah 73 kejadian. Magnitudo minimum
gempa yang terjadi adalah 3,4 sedangkan magnitudo maksimum
sebesar 6,6. Rentang kedalaman hiposenter bervariasi dari yang
paling dangkal 9,77 km hingga paling dalam 68 km. Dari tahap
dekluster yang telah dilakukan ditemukan adanya sebuah kluster
gempa yang terdiri dari dua kejadian gempa. Salah satu dari dua
gempa dalam kluster tersebut merupakan gempa susulan. Dalam hal
ini sebagai gempa utama adalah gempa dengan magnitudo terbesar di
dalam kluster. Data gempa yang diperoleh setelah dekluster adalah
72 kejadian. Data gempa hasil dekluster dan kluster yang
teridentifikasi dapat dilihat pada peta seismisitas berikut (Gambar
4.1).
Gambar 4.1 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi episenter
gempa bumi sesar darat di wilayah penelitian setelah didekluster.
Kluster gempa yang terbentuk ditunjukkan dengan warna magenta.
Lokasi gempa terbesar ditunjukkan dengan tanda bintang.
80
Jumlah data gempa subduksi yang diperoleh dari katalog
gempa dalam periode 1960 – 2017 adalah 1.338 kejadian. Dalam
penelitian ini, magnitudo terkecil gempa yang dianalisis adalah 4.
Magnitudo gempa terbesar yang tercatat dalam katalog adalah 7,8.
Kedalaman gempa subduksi bervariasi dari sangat dangkal (1 km)
hingga kedalaman mencapai lebih dari 600 km. Dari proses dekluster
ditemukan adanya 34 kluster di wilayah penelitian. Dari keseluruhan
kluster tersebut terdapat 384 kejadian gempa yang merupakan
gabungan dari gempa utama maupun gempa ikutan. Dari katalog
yang telah didekluster didapatkan 988 kejadian gempa yang
merupakan gempa independen. Data gempa hasil dekluster beserta
kluster yang teridentifikasi dapat dilihat pada peta seismisitas berikut
(Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi episenter
gempa bumi subduksi di wilayah penelitian setelah didekluster.
Kluster gempa yang terbentuk ditunjukkan dengan warna magenta.
Lokasi gempa terbesar ditunjukkan dengan tanda bintang.
81
Evaluasi terhadap tahap dekluster dapat dilakukan dengan
membandingkan grafik frekuensi kumulatif kejadian gempa sebelum
dan setelah dilakukan dekluster. Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa
untuk gempa yang belum didekluster (kurva biru), ditemukan adanya
peningkatan frekuensi kumulatif kejadian gempa secara signifikan
sesaat setelah terjadinya gempa bermagnitudo besar. Peningkatan
signifikan frekuensi kumulatif kejadian gempa ini merupakan
kontribusi dari gempa susulan yang tercatat setelah terjadi gempa
besar. Setelah dilakukan dekluster (gempa susulan telah dipisah dan
dihilangkan), peningkatan frekuensi kumulatif kejadian gempa
terlihat relatif konstan.
Gambar 4.3 Grafik frekuensi kumulatif kejadian gempa subduksi
(1960 – 2017) sebelum (kurva biru) dan setelah (kurva merah)
dilakukan dekluster. Tanda elips merah putus-putus menunjukkan
peningkatan frekuensi kumulatif secara signifikan akibat adanya
gempa susulan.
Hal ini teramati dengan jelas pada kasus gempa subduksi yang
umumnya magnitudo gempa utama yang dihasilkan relatif besar
82
sehingga frekuensi kejadian gempa susulan yang dihasilkan juga
tinggi. Sebaliknya, perbedaan hasil dekluster pada gempa sesar darat
tidak terlihat dengan jelas (Gambar 4.4) karena magnitudo gempa ini
relatif kecil. Akibatnya, gempa susulan yang dihasilkan juga
bermagnitudo kecil dan frekuensi kejadiannya tidak sebanyak untuk
kasus gempa subduksi.
Gambar 4.4 Grafik frekuensi kumulatif kejadian gempa sesar darat
(1970 – 2017) sebelum (kurva biru) dan setelah (kurva merah)
dilakukan dekluster
Dari grafik frekuensi kumulatif terhadap waktu tersebut juga
terlihat bahwa peningkatan frekuensi kejadian gempa sebelum tahun
1973 cenderung landai. Hal ini disebabkan tidak tersedianya data
untuk gempa < 5 sebelum tahun 1973. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini analisis rantai Markov untuk gempa berkisar 3
5 hanya dilakukan setelah tahun 1973.
83
4.2 Peta Seismisitas
Informasi mengenai distribusi episenter gempa di wilayah
penelitian beserta kedalaman hiposenter dan magnitudonya dapat
diperoleh dari peta seismisitas. Sumber gempa yang berada pada
kedalaman dangkal ( 70 km) disimbolkan dengan lingkaran
merah. Untuk gempa intermediet (70 300 km) dan gempa
dalam ( 300 km) masing-masing disimbolkan dengan lingkaran
kuning dan hijau. Magnitudo dari gempa yang menunjukkan
kekuatan gempa diketahui dari ukuran lingkaran dari simbol
episenter gempa. Semakin besar radius lingkaran maka semakin
besar magnitudo gempa.
Dalam penelitian ini kejadian gempa yang berasosiasi dengan
aktivitas subduksi dan sesar darat dibedakan sehingga didapatkan
dua peta seismisitas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 untuk
peta seismisitas gempa sesar darat dan Gambar 4.6 untuk peta
seismisitas gempa subduksi. Informasi distribusi episenter gempa
dari peta seismisitas ini menjadi pertimbangan dalam pembagian
region di wilayah penelitian. Region tersebut berperan sebagai
keadaan dalam analisis rantai Markov secara spasial.
Dari peta seismisitas gempa sesar darat dapat dilihat bahwa
distribusi episenter gempa tipe ini relatif acak. Umumnya, gempa ini
berasosiasi dengan sesar-sesar lokal aktif di wilayah penelitian.
Beberapa gempa ini terpusat di sesar aktif dan membentuk sebuah
kluster. Hal ini bisa dilihat pada kasus sesar aktif di Bali bagian
Barat yang merupakan kemenerusan dari sesar anjak busur belakang
Flores.
Berdasarkan peta seismisitas gempa subduksi, zona Benioff
Wadati teridentifikasi melalui distribusi episenter gempa yang ada.
Gempa dengan kedalaman fokus dangkal tersebar di Selatan wilayah
penelitian, khususnya di daerah dekat zona penunjaman hingga di
daerah cekungan busur depan. Selanjutnya, semakin menjauhi zona
penunjaman, distribusi gempa yang ditemukan di wilayah daratan
memiliki kedalaman intermediet. Bahkan, pada daerah cekungan
busur belakang gempa yang ditemukan memiliki kedalaman fokus
hingga lebih dari 600 km yang merupakan daerah mantel. Di antara
gempa intermediet dan gempa dalam di cekungan busur belakang
terdapat daerah yang tidak ditemukan adanya episenter gempa
subduksi baik untuk gempa intermediet maupun gempa dalam. Hal
84
ini mencirikan keberadaan zona kesenjangan gempa di dalam zona
Benioff Wadati di wilayah Jawa Timur.
Gambar 4.5 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi gempa
sesar darat di wilayah penelitian
85
Gambar 4.6 Peta seismisitas yang menunjukkan distribusi gempa
subduksi di wilayah penelitian
4.3 Analisis Rantai Markov Spasial
4.3.1 Pembahasan Penentuan Region Berdasarkan Pola
Seismisitas dan Geologi
Penentuan keadaan merupakan hal yang penting dalam analisis
rantai Markov. Dalam analisis spasial, keadaan yang dimaksud
adalah region-region di wilayah penelitian. Dalam penelitian ini
pembagian wilayah ke dalam region-region beserta batasnya
mempertimbangkan hasil beberapa penelitian sebelumnya, yakni
penelitian Puspita (2015) tentang relokasi sumber gempa di wilayah
86
Jawa Timur, Amalia (2016) tentang pemetaan nilai di wilayah
Jawa Timur dan sekitarnya, serta Handayani (2010) tentang model
kedalaman zona Benioff Wadati dan kaitannya dengan distribusi
gunung api di wilayah Jawa Timur. Selain itu, penentuan batas
region juga mempertimbangkan tatanan tektonik dan fisiografi di
wilayah penelitian menurut Kertapati (2006) dan Van Bemmelen
(1949).
Region-region di wilayah penelitian untuk kasus gempa
subduksi yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada
Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Pembagian region berdasarkan peta seismisitas yang
telah dibuat dalam analisis kejadian gempa subduksi secara spasial
dengan rantai Markov di wilayah penelitian
87
Wilayah penelitian dibagi ke dalam 9 region. Region-region
ini diberi label yang terdiri dari dua digit kode. Digit pertama
merupakan alfabet kapital, yakni A, B, dan C. Pembagian ketiga
region ini berdasarkan pola kegempaan di wilayah Jawa Timur yang
dilakukan oleh Kertapati (2006). Digit kedua merupakan nomor,
yaitu 1, 2, dan 3.
Region berkode “A” merupakan region yang dicirikan dengan
adanya episenter gempa Benioff dan gempa akibat sesar dangkal di
darat. Region-region ini meliputi daerah daratan Jawa Timur dengan
konfigurasi cekungan busur belakang. Region berkode “B”
merupakan region yang berasosiasi dengan gempa bumi intraplate
tepi lempeng. Kedalaman pusat gempa di region ini mulai dari
dangkal hingga intermediet. Region-region ini mencakup daerah
cekungan busur depan. Region paling selatan adalah region berkode
“C” yang berasosiasi dengan gempa bumi interplate atau megathrust
berkedalaman dangkal serta daerah yang disebut sebagai Roo Rise.
Region-region ini berada di sekitar zona subduksi (Palung Jawa).
Region dengan kode “1” merupakan region paling barat dan
mencakup wilayah di antara Gunung Kelud hingga sebelah barat
Gunung Lawu. Region dengan kode “2” kedua mencakup wilayah
yang berada di antara Gunung Kelud hingga Gunung Lamongan.
Region dengan kode “3” adalah wilayah yang membentang dari
Gunung Lamongan hingga Pulau Bali bagian Barat. Pemilihan batas
region 2, yaitu garis yang melintasi Gunung Kelud dan Gunung
Lamongan, mengacu pada penelitian Amalia (2016) tentang adanya
pola kegempaan tinggi di wilayah ini dibanding region lainnya.
Handayani (2010) juga menemukan pola bahwa gunung api yang
berada di antara Gunung Kelud dan Gunung Lamongan memiliki
jarak vertikal relatif lebih dekat terhadap zona Benioff Wadati
dibandingkan dengan Gunung Lawu maupun Gunung Raung.
Puspita (2014) juga melakukan pemodelan zona Benioff Wadati di
Jawa Timur dengan membuat sayatan vertikal gempa Benioff yang
melintasi Gunung Kelud dan Gunung Lamongan dari arah Selatan ke
Utara.
Dengan pembagian wilayah penelitian menjadi 3 region
berorientasi Timur-Barat (kode A, B, dan C) serta 3 region
berorientasi Utara-Selatan (kode 1, 2, dan 3), maka secara
keseluruhan untuk kasus gempa subduksi didapatkan 9 region di
88
wilayah yang diteliti, di antaranya A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2,
dan C3.
Tipe gempa berikutnya yang dianalisis adalah gempa sesar
darat. Distribusi gempa ini mencakup wilayah daratan di daerah
penelitian yang merupakan region A pada pembagian region kasus
gempa subduksi. Terdapat 9 region yang digunakan dalam analisis
kasus gempa sesar darat, yaitu region 1a, 2a, 3a, 1b, 2b, 3b, 1c, 2c,
dan 3c. Region-region ini dapat dilihat pada peta seismisitas pada
Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Pembagian region berdasarkan peta seismisitas yang
telah dibuat dalam analisis kejadian gempa sesar darat secara spasial
dengan rantai Markov di wilayah penelitian
89
Sistem penamaan region tersebut hampir sama dengan kasus
gempa subduksi. Dalam kasus gempa sesar darat ini, wilayah darat
Jawa Timur dapat dibagi ke dalam 3 region dengan orientasi Utara-
Selatan, yaitu region dengan kode 1, 2, dan 3. Batas region dengan
orientasi Utara-Selatan ini sama dengan kasus gempa subduksi.
Selanjutnya, juga dilakukan pembagian wilayah penelitian dengan
orientasi Barat-Timur. Terdapat tiga region dengan kode berupa
alfabet kecil. Region dengan kode “c” adalah region yang mencakup
fisiografi Pegunungan Selatan dan busur vulkanik aktif. Region
dengan kode “b” adalah daerah cekungan busur belakang yang
meliputi fisiografi Zona Kendeng dan Zona Rembang. Region
dengan kode “a” merupakan daerah cekungan busur belakang yang
berada di wilayah Laut Jawa. Region “a” merupakan bagian dari
kraton Sunda yang relatif stabil. Meskipun demikian, beberapa
episenter gempa dangkal ditemukan di wilayah perairan Laut Jawa.
4.3.2 Gempa Sesar Darat
Analisis rantai Markov secara spasial dalam kasus gempa
sesar darat dilakukan untuk gempa dengan ≥ 3, ≥ 4, dan ≥ 5.
4.3.2.1 Analisis Rantai Markov Gempa Sesar Darat ≥ 3
Pada kasus gempa sesar darat ≥ 3 terdapat 72 kejadian (71
transisi). Distribusi frekuensi kejadian gempa ini di setiap regionnya
dapat dilihat pada Tabel 4.1 Sebagian besar episenter gempa tersebar
di region dengan kode c. Region dengan jumlah kejadian lebih kecil
adalah region dengan kode a dan b.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi kejadian gempa sesar darat M ≥ 3 di
masing-masing region
1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c Total
1 8 1 7 6 2 15 11 21 71
Hasil analisis rantai Markov berupa matriks frekuensi dan
probabilitas transisi yang disajikan dalam Tabel 4.2. Setiap baris
dalam matriks terdiri dari dua subbaris. Subbaris pertama
menunjukkan frekuensi transisi sedangkan subbaris kedua
menunjukkan probabilitas transisi. Nilai probabilitas transisi
dinyatakan dalam satuan persen. Jumlah elemen matriks probabilitas
90
transisi dalam setiap barisnya adalah 100. Sebagai tambahan, dalam
tabel tersebut ditampilkan nilai vektor probabilitas tetap (VPT) yang
memberikan informasi tentang region dengan frekuensi kejadian
gempa tertinggi. Secara tidak langsung, VPT digunakan untuk
memperkirakan nilai probabilitas transisi seandainya kejadian gempa
bersifat saling tidak bergantung (acak). Pada tabel juga ditampilkan
nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan, nilai Chi Kuadrat kritis, taraf
signifikansi yang digunakan, dan jumlah derajat kebebasan. Proses
perhitungan Chi Kuadrat dapat dilihat pada Lampiran 5 – 15.
Tabel 4.2 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan region,
vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat kejadian gempa sesar
darat M ≥ 3
1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c VPT
1a 0 0 0 0 0 0 0 0 1
1,4 0 0 0 0 0 0 0 0 100
2a 0 4 0 0 1 1 0 0 2
11,3 0 50,0 0 0 12,5 12,5 0 0 25,0
3a 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1,4 0 0 0 0 0 100 0 0 0
1b 0 1 0 0 0 0 2 2 2
9,9 0 14,3 0 0 0 0 28,6 28,6 28,6
2b 0 1 0 0 2 0 1 1 1
8,5 0 16,7 0 0 33,3 0 16,7 16,7 16,7
3b 0 0 0 0 0 0 2 0 0
2,8 0 0 0 0 0 0 100 0 0
1c 0 0 1 2 1 0 5 3 3
21,1 0 0 6,7 13,3 6,7 0 33,3 20,0 20,0
2c 0 0 0 0 1 0 1 2 6
14,1 0 0 0 0 10,0 0 10,0 20,0 60,0
3c 1 2 0 5 1 0 3 3 6
29,6 4,8 9,5 0 23,8 4,8 0 14,3 14,3 28,6
91
χ2 92,220
χ2
cr(0,05;64) 83,700
Kesimpulan ditolak
Hasil kesimpulan diperoleh dengan membandingkan nilai Chi
Kuadrat hasil perhitungan dengan nilai Chi Kuadrat kritis. Secara
sederhana hal ini merupakan “uji independensi” antarvariabel.
Dengan nilai Chi Kuadrat 92,220 dan nilai Chi Kuadrat kritis pada
taraf signifikansi 5% (0,05) dan derajat kebebasan 64 adalah 83,700,
maka diperoleh kesimpulan bahwa hipotesis model ini ditolak.
Dengan kata lain, gempa sesar darat ≥ 3 di wilayah penelitian
tidak terjadi secara acak, tetapi terdapat keterkaitan antara kejadian
gempa saat ini dengan kejadian gempa berikutnya secara spasial.
Davis (1986) menyebutkan bahwa secara statistik, hal ini
menunjukkan adanya kecenderungan terjadi gempa di suatu region
yang akan diikuti dengan kejadian gempa di region tertentu. Dalam
hal ini, kejadian gempa sesar darat ≥ 3 di wilayah penelitian
menunjukkan sifat Markov orde pertama dengan kuat (strong first
order Markov), yakni adanya keterkaitan spasial secara kuat antara
kejadian gempa di suatu region saat ini dengan kejadian gempa
berikutnya.
Gambar 4.9 (b) menampilkan diagram transisi yang
menunjukkan transisi kejadian gempa dari region satu ke region
lainnya untuk dua probabilitas transisi tertinggi di masing-masing
region. Transisi region tertinggi disimbolkan dengan tanda panah
berupa garis menerus sedangkan transisi region tertinggi kedua
disimbolkan dengan tanda panah dengan garis putus-putus. Arah
transisi kejadian gempa juga ditampilkan dalam peta seismisitas yang
telah dibuat. Akan tetapi, hanya ditampilkan arah transisi dengan
probabilitas yang tertinggi.
Dari diagram transisi untuk kasus gempa sesar darat pada
Gambar 4.9 dapat diperoleh informasi bahwa region 3c merupakan
region yang paling sering “dikunjungi”. Artinya, kecuali di region 3a
dan 3b, gempa yang terjadi di region lain akan memiliki
kecenderungan untuk disusul dengan kejadian gempa di region 3c.
Region lain yang juga memiliki probabilitas tertinggi untuk
dikunjungi adalah region 1c dan 2c.
92
(a)
(b)
Gambar 4.9 (a) Diagram transisi utama di setiap region untuk kasus
gempa sesar darat M 3 dengan latar peta seismisitas wilayah
penelitian. (b) Diagram transisi untuk transisi tertinggi pertama
(tanda panah menerus) dan transisi tertinggi kedua (tanda panah
putus-putus) di setiap region.
93
Dalam kejadian gempa di region 2a, 2b, 1c, dan 3c,
probabilitas terbesar kejadian gempa berikutnya akan terjadi lagi di
region tersebut. Karena data gempa sudah didekluster, kejadian
gempa di suatu region yang disusul dengan kejadian gempa di region
yang sama ini bukan merupakan sebuah gempa susulan. Polimenakos
(1995) menyebut peristiwa ini sebagai “reaktivasi” sebuah region,
yakni aktifnya kembali suatu region setelah sebelumnya terjadi
gempa di region tersebut. Hal ini mungkin sekali terjadi karena
menurut teori bingkas elastis, gempa terjadi sebagai bagian dari
sebuah siklus pelepasan dan pengakumulasian energi. Oleh karena
itu, kejadian gempa di tempat yang sama dengan magnitudo yang
sama memungkinkan untuk terjadi kembali di masa yang akan
datang.
4.3.2.2 Analisis Rantai Markov Gempa Sesar Darat ≥ 4
Dalam kasus gempa sesar darat dengan ≥ 4 diperoleh 59
kejadian gempa (58 transisi) di wilayah penelitian. Secara berurutan,
region yang memiliki frekuensi kejadian paling tinggi hingga paling
rendah adalah region dengan kode c, b, dan a seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi kejadian gempa sesar darat M ≥ 4 di
masing-masing region
1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c Total
1 8 1 7 4 2 13 6 17 59
Berdasarkan Tabel 4.4 nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan
sebesar 81,968 sedangkan Chi Kuadrat kritis sebesar 83,700. Nilai
Chi Kuadrat ini lebih kecil daripada nilai kritisnya sehingga
disimpulkan bahwa hipotesis dalam model ini diterima. Hal ini
berimplikasi bahwa tidak ada keterkaitan antara kejadian gempa
sesar darat ≥ 4 di suatu region dengan region lain (kejadian gempa
bersifat acak). Hasil perhitungan matriks probabilitas dan frekuensi
transisi serta nilai Chi Kuadrat dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut.
94
Tabel 4.4 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan region,
vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat kejadian gempa sesar
darat M ≥ 4
1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c VPT
1a 0 0 0 0 0 0 0 0 1
1,7 0 0 0 0 0 0 0 0 100
2a 0 4 0 0 1 1 0 0 2
13,8 0 50,0 0 0 12,5 12,5 0 0 25,0
3a 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1,7 0 0 0 0 0 100 0 0 0
1b 0 1 0 1 0 0 2 2 1
12,1 0 14,3 0 14,3 0 0 28,6 28,6 14,3
2b 0 1 0 0 1 0 1 0 1
6,9 0 25,0 0 0 25,0 0 25,0 0 25,0
3b 0 0 0 0 0 0 1 1 0
3,4 0 0 0 0 0 0 50,0 50,0 0
1c 0 0 1 2 1 0 5 0 3
20,7 0 0 8,3 16,7 8,3 0 41,7 0 25,0
2c 1 1 0 0 0 0 0 1 3
10,3 16,7 16,7 0 0 0 0 0 16,7 50,0
3c 0 1 0 4 1 0 3 2 6
29,3 0 5,9 0 23,5 5,9 0 17,6 11,8 35,3
χ2 81,968
χ2cr(0,05;64) 83,700
Kesimpulan diterima
Berdasarkan diagram transisi pada Gambar 4.10, region 3c
masih menjadi region yang paling sering dikunjungi jika sebelumnya
terjadi gempa di region 1a, 2b, 1c, 2c, dan 3c. Peristiwa reaktivasi
untuk gempa dengan ≥ 4 juga masih terjadi di region 2a, 2b, 1c
dan 3c.
95
(a)
(b)
Gambar 4.10 (a) Diagram transisi utama di setiap region untuk kasus
gempa sesar darat M 4 dengan latar peta seismisitas wilayah
penelitian. (b) Diagram transisi untuk transisi tertinggi pertama dan
kedua di setiap region.
96
4.3.2.3 Analisis Rantai Markov Gempa Sesar Darat ≥ 5
Selanjutnya, untuk kasus gempa sesar darat ≥ 5 didapatkan
adanya 15 kejadian (14 transisi) di wilayah penelitian. Berdasarkan
informasi dari Tabel 4.5, sebagian besar kejadian gempa tersebut
terjadi di region dengan kode c, khususnya region 1c dan 3c. Namun,
region 2a memiliki jumlah kejadian gempa ≥ 5 paling besar, yaitu
5 kejadian gempa.
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi kejadian gempa sesar darat M ≥ 5 di
masing-masing region
1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c Total
0 5 0 1 1 1 4 0 3 15
Matriks frekuensi dan probabilitas transisi untuk gempa sesar
darat ≥ 5 ditampilkan pada Tabel 4.6. Berdasarkan Tabel 4.6 nilai
Chi Kuadrat hasil perhitungan adalah 21,292. Nilai ini jauh lebih
kecil dibandingkan dengan nilai Chi Kuadrat kritis. Oleh karena itu,
untuk kasus gempa sesar darat ≥ 5 kejadian di region satu dengan
kejadian di region lainnya bersifat acak. Berdasarkan diagram
transisi yang ditunjukkan pada Gambar 4.11, peristiwa reaktivasi
sudah tidak terjadi di setiap regionnya, kecuali untuk region 2a. Hal
ini dikarenakan bahwa dengan bertambah besar magnitudo gempa,
waktu yang diperlukan untuk reaktivasi semakin lama.
97
Tabel 4.6 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan region,
vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat kejadian gempa sesar
darat M ≥ 5
1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c VPT
1a 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2a 0 1 0 0 1 1 0 0 1
28,6 0 25,0 0 0 25,0 25,0 0 0 25,0
3a 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1b 0 1 0 0 0 0 0 0 0
7,1 0 100 0 0 0 0 0 0 0
2b 0 1 0 0 0 0 0 0 0
7,1 0 100 0 0 0 0 0 0 0
3b 0 1 0 0 0 0 0 0 0
7,1 0 100 0 0 0 0 0 0 0
1c 0 1 0 0 0 0 1 0 2
28,6 0 25,0 0 0 0 0 25,0 0 50,0
2c 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3c 0 0 0 1 0 0 2 0 0
21,4 0 0 0 33,3 0 0 66,7 0 0
χ2 21,292
χ2
cr(0,05;64) 83,700
Kesimpulan diterima
98
(a)
(b)
Gambar 4.11 (a) Diagram transisi utama di setiap region untuk kasus
gempa sesar darat M 5 dengan latar peta seismisitas wilayah
penelitian. (b) Diagram transisi untuk transisi tertinggi pertama dan
kedua di setiap region.
99
4.3.2.4 Pembahasan Analisis Rantai Markov Gempa Sesar Darat
Pada kasus gempa sesar darat ≥ 4 dan ≥ 5 disimpulkan
bahwa antarkejadiannya bersifat acak. Namun, sebenarnya kejadian
gempa tersebut tidak acak. Menurut Davis (1986) dalam
Polimenakos (1995) bahwa analisis dengan rantai Markov relatif
sensitif terhadap jumlah data yang tersedia. Jumlah data kejadian
gempa sesar darat ≥ 4 dan ≥ 5 di wilayah penelitian memang
sedikit. Sesar darat di wilayah Jawa Timur umumnya bersifat lokal.
Artinya, sesar ini memiliki bidang rekahan yang relatif pendek
dengan laju pergeseran yang relatif kecil (hanya beberapa mm per
tahun). Diperlukan waktu cukup lama untuk mengumpulkan
tegangan sehingga mampu dilepaskan dalam bentuk gempa yang
bermagnitudo besar. Tegangan yang terakumulasi merupakan fungsi
dari kala ulang kejadian suatu gempa (Scholz, 2002).
Kala ulang adalah waktu yang diperlukan untuk terjadi gempa
dengan magnitudo yang sama atau lebih besar di wilayah tersebut. Di
sisi lain, data yang digunakan dalam penelitian ini hanya dalam
periode 1960 – 2017 sehingga diperlukan data dalam periode yang
lebih panjang untuk membuktikan hal ini. Sebagai gambaran, dari
hasil perkiraan kala ulang kejadian gempa Sesar Baribis 1780 dengan
7 dan panjang rekahan 41 km serta diasumsikan laju pergeseran
sesar 5 mm/tahun, maka kala ulang yang didapatkan sekitar 600
tahun (Nguyen dkk., 2015). Peta yang dikeluarkan oleh Tim Revisi
Gempa Bumi Nasional 2017 (Ismawadi, 2017) memberikan
informasi bahwa sesar aktif di Jawa Timur memiliki laju pergeseran
0,1 mm/tahun hingga 0,5 mm/tahun. Oleh karenanya, diperlukan
waktu yang lebih lama untuk mengakumulasikan tegangan sehingga
mampu dilepaskan menjadi gempa besar. Tentunya waktu tersebut
tidak tercakup dalam rentang periode penelitian ini.
Sebagai tambahan, menurut Scholz (2012) bahwa gempa
akibat sesar darat yang berasosiasi dengan zona subduksi atau batas
lempeng diklasifikasikan sebagai gempa tektonik tipe II, yaitu gempa
intraplate tepi lempeng. Gempa seperti ini juga sering terjadi di
wilayah daratan Jepang akibat proses konvergensi antara lempeng
Pasifik dan Eurasia. Gempa ini memiliki laju pergeseran sekitar 0,1
hingga 10 mm per tahun dengan kala ulang 100 hingga 10.000 tahun.
Gempa sesar darat di wilayah Jawa Timur juga dikategorikan sebagai
100
gempa tektonik tipe II yang merupakan akibat dari gaya kompresi
yang ditimbulkan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia.
Salah satu faktor penyebab tingginya frekuensi transisi
kejadian gempa sesar darat ke region 1c, 2c, maupun 3c
dibandingkan dengan region lainnya adalah lokasi ketiga region
tersebut relatif dekat dengan zona subduksi dan berada di busur
vulkanik aktif. Aktivitas gempa subduksi dan vulkanik yang terjadi
dapat memicu aktifnya sesar di region ini yang ditandai dengan
terjadinya gempa sesar darat (Wijaya dkk., 2014). Faktor lain adalah
keadaan geologi di wilayah penelitian. Region 1c, 2c, dan 3c berada
di fisiografi Zona Solo dan Pegunungan Selatan yang litologinya
didominasi oleh batuan vulkanik Kuarter maupun Tersier dengan
kekuatan sedang hingga tinggi. Batuan tersebut mengalami
deformasi secara brittle. Batuan seperti ini disebut sebagai batuan
yang bersifat kompeten. Sementara itu, region 1b, 2b, dan 3b berada
di fisiografi Zona Kendeng dan Rembang yang litologinya lebih
kompleks dengan didominasi oleh batuan sedimen yang tebal
maupun endapan aluvial. Litologi berupa endapan sedimen ini
bersifat ductile jika diberi tegangan. Batuan seperti ini dikenal
sebagai batuan yang bersifat inkompeten.
Penjelasan region 3c sebagai region yang paling sering
dikunjungi gempa sesar darat dapat diketahui setelah
menggabungkan diagram transisi setiap region dengan peta yang
menunjukkan kecepatan regangan blok lempeng di wilayah
penelitian berdasarkan hasil pengukuran GPS yang dilakukan
Koulali dkk. (2016). Berdasarkan Gambar 4.12 terlihat bahwa arah
pergeseran yang dominan konsisten dengan arah konvergensi
lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia yang berlawanan
dengan arah jarum jam. Besar kecepatan ini bervariasi dari 3
mm/tahun di Jawa bagian Barat hingga 7 mm/tahun di Jawa bagian
Timur.
101
Gambar 4.12 Peta hasil penampalan kecepatan regangan dari
pengukuran GPS (tanda panah merah) di wilayah darat Pulau Jawa
(Koulali dkk., 2016) dengan pembagian region dan diagram transisi
(tanda panah biru) yang diperoleh dari penelitian ini.
Blok lempeng di region 3c memiliki nilai kecepatan regangan
yang lebih besar dibandingkan dengan blok di region lain. Hal ini
mengakibatkan frekuensi kejadian gempa di region 3c lebih tinggi
dibandingkan region lainnya. Gempa sesar darat dengan magnitudo
terbesar di wilayah penelitian juga terjadi di region 3c, yaitu pada
tanggal 14 Juli 1976 ( 6,6). Secara geografis, region 3c meliputi
wilayah Bali bagian Barat. Menurut Widiyantoro dan Fauzi (2005)
dalam Nguyen dkk. (2015), sejak tahun 1991 semua gempa dangkal
yang berada di Bali dan Bali Utara merupakan gempa yang
berasosiasi dengan sesar anjak busur belakang.
Selain sesar-sesar lokal, sesar darat lain di wilayah Jawa
Timur yang teridentifikasi masih aktif, yaitu Sesar Kendeng. Sesar
ini merupakan perpanjangan ke arah barat dari Sesar anjak busur
belakang Flores. Namun, ujung dari sesar ini masih belum diketahui.
Kemungkinan Sesar Kendeng menerus lebih jauh ke arah barat dan
menyambung dengan Sesar Baribis di Jawa Barat (Koulali dkk.,
2016). Aktifnya Sesar Kendeng ini, selain dari pantauan GPS, juga
diindikasikan dengan kehadiran gunung api lumpur (mud volcano) di
bagian timur Cekungan Kendeng akibat overpressure hasil
konvergensi yang masih aktif di wilayah ini (Istadi dkk., 2009 dalam
U
102
Koulali dkk., 2016). Catatan pada abad kesembilanbelas
menunjukkan adanya kejadian gempa signifikan yang kemungkinan
besar terjadi di wilayah Sesar Kendeng (Simanjuntak dan Barber,
1996 dalam Koulali dkk., 2016). Namun, tidak teramatinya gempa
signifikan saat ini memunculkan adanya dua dugaan, yaitu sesar ini
bergeser secara aseismik atau saat ini sesar dalam keadaan terkunci
penuh.
4.3.3 Gempa Subduksi
Untuk kasus gempa yang berasosiasi dengan aktivitas
subduksi di wilayah penelitian maka dilakukan analisis rantai
Markov secara spasial dengan ≥ 4, ≥ 5, dan ≥ 6.
4.3.3.1 Analisis Rantai Markov Gempa Subduksi ≥ 4
Dalam periode 1973 – 2017 di wilayah penelitian telah terjadi
973 kejadian (972 transisi) gempa subduksi dengan ≥ 4.
Berdasarkan informasi Tabel 4.7, sebagian besar gempa terjadi di
region dengan kode B, yaitu daerah cekungan busur depan yang
merupakan gempa intraplate. Selain itu, region dengan kode 2
cenderung memiliki jumlah kejadian gempa yang lebih tinggi
dibandingkan dengan region 1 dan 3. Sebaliknya, region dengan
kode 3 cenderung memiliki jumlah kejadian gempa paling sedikit
dibandingkan dengan region 1 dan 2.
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi kejadian gempa subduksi M ≥ 4 di
masing-masing region
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
68 76 20 203 238 142 70 82 74 973
Hasil analisis rantai Markov berupa matriks frekuensi dan
probabilitas transisi untuk gempa subduksi dengan ≥ 4 dapat
dilihat pada Tabel 4.8. Nilai Chi Kuadrat yang diperoleh dari proses
perhitungan adalah 104,594. Karena nilainya lebih besar daripada
nilai Chi Kuadrat kritis, hipotesis pemodelan ditolak. Dengan
demikian, kejadian gempa subduksi dengan ≥ 4 di wilayah
penelitian saling berkaitan secara spasial.
103
Tabel 4.8 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan region,
vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat kejadian gempa
subduksi M ≥ 4
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 VPT
A1 3 7 1 22 11 12 5 6 1
7,0 4,4 10,3 1,5 32,4 16,2 17,6 7,4 8,8 1,5
A2 5 6 2 19 21 10 3 6 4
7,8 6,6 7,9 2,6 25,0 27,6 13,2 3,9 7,9 5,3
A3 3 2 1 3 3 3 3 2 0
2,1 15,0 10,0 5,0 15,0 15,0 15,0 15,0 10,0 0
B1 16 13 5 56 54 27 10 13 9
20,9 7,9 6,4 2,5 27,6 26,6 13,3 4,9 6,4 4,4
B2 20 17 3 38 74 28 14 22 21
24,4 8,4 7,2 1,3 16,0 31,2 11,8 5,9 9,3 8,9
B3 8 14 2 30 29 32 7 8 12
14,6 5,6 9,9 1,4 21,1 20,4 22,5 4,9 5,6 8,5
C1 5 6 2 13 9 8 13 6 8
7,2 7,1 8,6 2,9 18,6 12,9 11,4 18,6 8,6 11,4
C2 5 4 1 12 24 13 9 10 4
8,4 6,1 4,9 1,2 14,6 29,3 15,9 11,0 12,2 4,9
C3 3 7 3 9 13 9 6 9 15
7,6 4,1 9,5 4,1 12,2 17,6 12,2 8,1 12,2 20,3
χ2 104,594
χ2cr(0,05;64) 83,700
Kesimpulan ditolak
104
(a)
105
Gambar 4.13 (a) Diagram transisi utama di setiap region untuk kasus
gempa subduksi M 4 dengan latar peta seismisitas wilayah
penelitian. (b) Diagram transisi untuk transisi tertinggi pertama dan
kedua di setiap region.
Dari diagram transisi pada Gambar 4.13 didapatkan informasi
bahwa kejadian gempa di seluruh region di wilayah penelitian
(kecuali region B3 dan C3) akan cenderung diikuti dengan kejadian
gempa di region B1 dan B2. Hal ini disebabkan berdasarkan
distribusi frekuensi kejadian di setiap regionnya, region B1 dan B2
merupakan region dengan frekuensi kejadian tertinggi di wilayah
penelitian. Untuk region C3, kejadian gempa di region tersebut akan
disusul dengan kejadian gempa di region C3 lagi yang merupakan
reaktivasi region tersebut. Namun, dari matriks probabilitas transisi
tersebut juga diketahui bahwa setelah terjadi gempa di region C3,
probabilitas tertinggi berikutnya akan terjadi gempa di region B2.
4.3.3.2 Analisis Rantai Markov Gempa Subduksi ≥ 5
Dalam periode 1960 – 2017 telah terjadi 224 kejadian gempa
(223 transisi) subduksi dengan ≥ 5 di wilayah penelitian. Pola
kejadian gempa subduksi dengan ≥ 5 tidak berbeda jauh dengan
gempa subduksi ≥ 4. Berdasarkan Tabel 4.9, region dengan kode
B masih memiliki jumlah kejadian gempa terbanyak.
(b)
106
Tabel 4.9 Distribusi frekuensi kejadian gempa subduksi M ≥ 5 di
masing-masing region
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
20 27 2 48 49 29 13 14 22 224
Tabel 4.10 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan region,
vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat kejadian gempa
subduksi M ≥ 5
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 VPT
A1 1 1 0 7 4 5 2 0 0
9,0 5,0 5,0 0 35,0 20,0 25,0 10,0 0 0
A2 1 5 0 3 7 4 1 3 3
12,1 3,7 18,5 0 11,1 25,9 14,8 3,7 11,1 11,1
A3 2 0 0 0 0 0 0 0 0
0,9 100 0 0 0 0 0 0 0 0
B1 2 4 0 14 11 8 2 2 5
21,5 4,2 8,3 0 29,2 22,9 16,7 4,2 4,2 10,4
B2 6 6 0 14 13 1 2 3 4
22,0 12,2 12,2 0 28,6 26,5 2,0 4,1 6,1 8,2
B3 1 4 1 3 9 4 3 2 2
13,0 3,4 13,8 3,4 10,3 31,0 13,8 10,3 6,9 6,9
C1 2 4 0 1 1 2 1 1 1
5,8 15,4 30,8 0 7,7 7,7 15,4 7,7 7,7 7,7
C2 2 2 1 2 1 3 0 2 1
6,3 14,3 14,3 7,1 14,3 7,1 21,4 0 14,3 7,1
C3 3 1 0 4 2 2 2 1 6
9,4 14,3 4,8 0 19,0 9,5 9,5 9,5 4,8 28,6
χ2 84,288
χ2cr(0,05;64) 83,700
Kesimpulan ditolak
107
Hasil analisis rantai Markov secara spasial yang telah
dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.10. Kejadian gempa subduksi
dengan ≥ 5 di hampir semua region akan diikuti dengan kejadian
gempa di region B1, B2, dan B3. Beberapa di antaranya memiliki
probabilitas transisi lebih dari 20%. Nilai Chi Kuadrat hasil
perhitungan yang didapat sebesar 84,288 atau bernilai lebih besar
dibandingkan dengan nilai kritisnya. Dengan demikian, seperti
halnya pada kasus gempa subduksi dengan ≥ 4, kejadian gempa
subduksi untuk ≥ 5 di wilayah penelitian menunjukkan saling
berkaitan secara spasial.
Berdasarkan diagram transisi pada Gambar 4.14, untuk
kejadian gempa di region B3 cenderung akan disusul dengan
kejadian gempa di region B2 (probabilitas transisi 31 %). Kemudian,
untuk kejadian gempa di region B2 cenderung akan disusul dengan
kejadian gempa di region B1 (probabilitas transisi 28,6 %).
Sebelumnya, untuk kasus gempa dengan ≥ 4 pola ini tidak terlalu
dominan dan hanya memiliki probabilitas transisi tertinggi kedua.
Pola seperti ini mengingatkan akan pola migrasi kejadian gempa
besar dari Timur ke Barat di wilayah Alaska Selatan dan Kepulauan
Aleutian (Tsapanos dan Papadopoulou, 1999) yang mengindikasikan
adanya zona rekahan yang sangat panjang. Dalam kasus ini kejadian
suatu gempa dapat memicu terjadinya gempa lainnya di sepanjang
zona rekahan tersebut.
Namun, untuk wilayah Jawa Timur yang skalanya lebih kecil,
hal ini masih harus dibuktikan dengan dilakukan analisis lebih lanjut
mengenai pola kegempaan yang terjadi di region B1, B2, dan B3.
Selain itu, juga harus dilakukan analisis rantai Markov untuk wilayah
penelitian yang lebih luas. Kemungkinan penjelasan lain, yaitu
adanya perbedaan waktu pelepasan dan pengakumulasian tegangan
di region-region tersebut. Ketika terjadi gempa di region B2, yang
merupakan pelepasan tegangan di region tersebut, maka di region B1
tegangan sedang diakumulasikan. Sebaliknya, ketika tegangan di
region B1 sudah mencapai batasnya dan segera dilepaskan dalam
bentuk gempa di region B1, maka region B2 sedang
mengakumulasikan tegangan untuk menghasilkan kejadian gempa
berikutnya. Kemungkinan adanya interaksi (transfer) tegangan di
antara ketiga region tersebut perlu diselidiki lebih lanjut terkait
dengan pola transisi kejadian gempa secara spasial ini.
108
(a)
109
(b)
Gambar 4.14 (a) Diagram transisi utama di setiap region untuk kasus
gempa subduksi M 5 dengan latar peta seismisitas wilayah
penelitian. (b) Diagram transisi untuk transisi tertinggi pertama dan
kedua di setiap region.
4.3.3.3 Analisis Rantai Markov Gempa Subduksi ≥ 6
Berdasarkan Tabel 4.11, kejadian gempa subduksi dengan ≥
6 di wilayah penelitian sejak tahun 1960 – 2017 tercatat telah terjadi
sebanyak 19 kali (18 transisi). Distribusi kejadian gempa subduksi
dengan ≥ 6 di setiap lajur region lebih merata. Untuk kejadian
gempa di region A, umumnya berasosiasi dengan gempa di zona
Benioff Wadati yang terjadi pada kedalaman > 600 km. Kejadian
gempa subduksi dengan ≥ 6 lebih merata di setiap region dengan
kode B. Gempa terbesar yang pernah tercatat secara instrumen di
wilayah penelitian terjadi di region C2.
Tabel 4.11 Distribusi frekuensi kejadian gempa subduksi M ≥ 6 di
masing-masing region
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
4 5 0 2 3 3 0 1 1 19
Matriks probabilitas dan frekuensi transisi hasil analisis dapat
dilihat pada Tabel 4.12. Nilai Chi Kuadrat yang diperoleh dari proses
perhitungan adalah 25,195. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan
110
dengan nilai kritisnya. Hal ini menunjukkan keacakan kejadian
gempa subduksi dengan ≥ 6 di wilayah penelitian.
Tabel 4.12 Matriks frekuensi – probabilitas transisi keadaan region,
vektor probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat kejadian gempa
subduksi M ≥ 6
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 VPT
A1 1 3 0 0 0 0 0 0 0
22,2 25,0 75,0 0 0 0 0 0 0 0
A2 1 1 0 0 1 2 0 0 0
27,8 20,0 20,0 0 0 20,0 40,0 0 0 0
A3 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
B1 1 0 0 0 1 0 0 0 0
11,1 50,0 0 0 0 50,0 0 0 0 0
B2 1 0 0 1 0 0 0 1 0
16,7 33,3 0 0 33,3 0 0 0 33,3 0
B3 0 0 0 1 0 1 0 0 1
16,7 0 0 0 33,3 0 33,3 0 0 33,3
C1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C2 0 1 0 0 0 0 0 0 0
5,6 0 100 0 0 0 0 0 0 0
C3 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
χ2 25,195
χ2cr(0,05;64) 83,700
Kesimpulan diterima
111
(a)
112
(b)
Gambar 4.15 (a) Diagram transisi utama di setiap region untuk kasus
gempa subduksi M 6 dengan latar peta seismisitas wilayah
penelitian. (b) Diagram transisi untuk transisi tertinggi pertama dan
kedua di setiap region.
Berdasarkan diagram transisi yang ditampilkan pada Gambar
4.15, diperoleh informasi bahwa kejadian gempa ini cenderung acak.
Arah transisi dari region B3 ke B2 dan dari B2 ke B1 yang cukup
dominan seperti pada kasus gempa subduksi dengan ≥ 4 dan ≥
5 tidak ditemukan untuk gempa ≥ 6. Dari diagram transisi juga
terlihat belum ada kejadian gempa besar di region A3 maupun C1.
Setelah terjadi gempa di C3 tidak diketahui transisi yang terjadi
selanjutnya karena kejadian gempa besar di region ini baru terjadi
satu kali dalam catatan instrumen maupun historis. Dengan
demikian, kemungkinan besar diterimanya hipotesis bahwa kejadian
gempa subduksi dengan ≥ 6 di wilayah ini yang cenderung acak
secara spasial lebih dipengaruhi oleh ketersediaan data.
4.3.3.4 Pembahasan Analisis Rantai Markov Gempa Subduksi
Dari analisis rantai Markov spasial gempa subduksi yang telah
dilakukan, umumnya kejadian gempa di suatu region di wilayah
penelitian akan disusul dengan kejadian gempa di zona intraplate
(region dengan kode B), terutama untuk kasus gempa subduksi ≥
4 dan ≥ 5. Berdasarkan tabel frekuensi kejadian di masing-masing
region, region ini merupakan daerah dengan aktivitas kegempaan
113
tertinggi di wilayah penelitian. Rendahnya frekuensi kejadian gempa
subduksi dengan ≥ 6 di region dengan kode C, yang merupakan
gempa interplate atau megathrust, juga diamati di sepanjang busur
Sunda di segmen Pulau Jawa. Region C1 perlu diwaspadai terkait
dengan hipotesis kesenjangan gempa karena region tersebut belum
melepaskan energi yang terakumulasi sehingga berpotensi terjadi
gempa besar di masa mendatang. Sementara itu, region C2 dan C3
pernah terjadi gempa dengan ≥ 6 di wilayah tersebut.
Menurut Newcomb dan McCan (1987), gempa besar tercatat
beberapa kali terjadi di wilayah Jawa sejak abad ke-19. Namun, dari
semua gempa besar tersebut tidak ada yang merupakan gempa
megathrust atau interplate. Sebagian besar gempa besar tersebut
terjadi di cekungan busur depan. Dalam penelitian ini cekungan
busur depan meliputi region B1, B2, dan B3. Salah satunya adalah
gempa yang terjadi pada tahun 1937 ( 7,2). Berdasarkan hasil
relokasi yang telah dilakukan pada tiga gempa besar (1921, 1937,
dan 1943) dalam catatan sejarah di Selatan Jawa, Okal (2012) juga
menyimpulkan bahwa ketiga gempa besar tersebut bukan merupakan
gempa lajur interplate atau megathrust.
Lebih lanjut, Newcomb dan McCann (1987) mengemukakan
bahwa untuk wilayah Jawa Timur kemungkinan tegangan yang
terakumulasi bersifat aseismik (tegangan tidak dilepaskan dalam
bentuk aktivitas kegempaan yang signifikan). Hal ini berbeda dengan
pola kegempaan di wilayah Sumatera yang memiliki magnitudo
besar dan merupakan gempa megathrust. Gempa terbesar di Selatan
Jawa yang bersumber di zona interplate dan tercatat oleh instrumen
adalah gempa 1994 ( 7,8) dan 2006 ( 7,7). Koulali dkk.
(2016) juga menegaskan bahwa aktivitas kegempaan megathrust di
Jawa umumnya bersifat aseismik. Kemungkinan hal ini disebabkan
akumulasi tegangan yang tidak cukup untuk menghasilkan gempa
megathrust yang signifikan atau gempa yang terjadi di wilayah ini
memiliki kala ulang di luar jangkauan dari periode pengamatan
secara instrumen.
Dalam penelitian yang dilakukan Sabrina (2016) tentang irisan
vertikal maupun lateral, gempa region ini diidentifikasi sebagai
daerah kesenjangan gempa. Kesenjangan gempa ini diduga terjadi
akibat efek topografi dari lempeng samudera yang menunjam di
bawah lempeng Eurasia. Di Samudera Hindia sebelah Selatan Pulau
114
Jawa tersebar seamount (gunung bawah laut), yakni gunung yang
memiliki kaki di dasar laut dan tumbuh secara vertikal. Beberapa
seamount di Samudera Hindia mampu tumbuh hingga di atas
permukaan laut, yakni Pulau Christmas dan Pulau Cocos. Selain
seamount juga ditemukan plato samudera Roo Rise yang merupakan
wilayah di bawah laut dengan ketinggian beberapa ratus meter dari
lantai samudera. Plato ini dijumpai di perairan Samudera Hindia
wilayah Jawa Timur (Shulgin dkk., 2011). Plato ini tersusun dari
batuan vulkanik. Keberadaan seamount dan plato ini kemungkinan
besar berpengaruh pada aktivitas kegempaan subduksi di wilayah
penelitian.
Lempeng samudera dengan batimetri yang kasar (misalnya
akibat keberadaan seamount atau struktur horst-graben) akan
menghasilkan proses subduksi yang berbeda dan lebih kompleks.
Peristiwa ini juga ditemukan di Kostarika, Jawa, dan Alaska (Bilek,
2007). Menurut Bilek (2007) bahwa keberadaan topografi yang tidak
rata pada lempeng samudera meningkatkan asperitas (kekasaran).
Akibatnya, lempeng yang menunjam akan terkunci. Energi yang
diakumulasikan harus besar dan diperlukan waktu lama sehingga
mampu menggerakkan lempeng ini. Akan tetapi, sekali energi yang
terakumulasi ini lepas maka akan memicu gempa besar di region
tersebut. Dengan demikian, keberadaan seamount yang tersubduksi
memungkinkan menjadi lokasi sumber gempa besar. Berdasarkan
pemodelan dan interpretasi fokal mekanisme yang dilakukan oleh
Abercrombie dkk. (2001) menunjukkan bahwa gempa 3 Juni 1994
( 7,8) di region C2 terjadi pada seamount yang tersubduksi.
Grevemeyer dan Tiwari (2006) meneliti pengaruh geometri
lempeng yang tersubduksi terhadap distribusi spasial gempa
megathrust di zona subduksi Sunda-Andaman dan Jawa dengan
pemodelan gravitasi. Berdasarkan hasil pemodelan gravitasi
ditemukan adanya anomali Bouguer yang cukup tinggi di sepanjang
perairan Selatan Jawa. Anomali positif ini diinterpretasikan sebagai
adanya pembajian mantel pada kedalaman yang dangkal (~10 km)
atau yang dikenal sebagai shallow mantle wedge. Jika mantel ini
bersifat lemah untuk menghasilkan gesekan kuat, maka batas zona
seismogenik di wilayah daratan Jawa bergeser sekitar 80 kilometer
ke arah Selatan atau mendekati palung.
115
Jika pemodelan ini benar, hal ini dapat menjelaskan alasan
region B1, B2, dan B3 pada penelitian ini sebagai region yang paling
sering dikunjungi (jumlah VPT dari ketiga region ini mencapai
59,9% untuk gempa subduksi ≥ 4). Sebab, zona seismogenik atau
zona coupling, yang merupakan region dengan aktivitas kegempaan
tertinggi di wilayah penelitian, bergeser ke arah cekungan busur
depan, yakni ke region B1, B2, dan B3. Dengan sempitnya zona
seismogenik di Selatan Jawa Timur (sekitar 30 – 40 km) ini, maka
gempa yang dihasilkan pada zona seismogenik akan bermagnitudo
kecil hingga sedang. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa energi yang
dilepaskan suatu gempa sebanding dengan ukuran dari zona rekahan.
Karenanya, gempa dengan ≥ 7 di wilayah Jawa Timur jarang
terjadi. Hal ini juga berpengaruh pada analisis rantai Markov untuk
kejadian gempa subduksi ≥ 6 secara spasial.
Penjelasan tentang kecenderungan akan terjadi gempa di
region 1 dan 2 daripada region 3 disebabkan aktivitas kegempaan
yang tinggi di kedua region tersebut. Hal ini dapat dijelaskan melalui
konsep pengaruh sudut penunjaman lempeng dengan aktivitas
kegempaan subduksi di suatu wilayah. Semakin landai sudut
penunjaman lempeng samudera, maka semakin besar kemungkinkan
lempeng samudera yang menunjam untuk berinteraksi dengan
lempeng benua di atasnya sehingga menghasilkan efek gesekan yang
besar di antara keduanya. Hal ini berakibat terakumulasinya
tegangan dan akan dilepaskan dalam bentuk gempa besar.
Sebaliknya, dengan semakin curam sudut penunjaman, maka efek
gesekan ini semakin kecil. Gempa yang dihasilkan juga tidak terlalu
besar magnitudonya.
Informasi mengenai umur lempeng samudera yang menunjam
pada busur Sunda menunjukkan bahwa semakin ke timur, maka
umur lempeng samudera yang dijumpai semakin tua. Akibatnya,
densitas lempeng samudera yang tua ini lebih besar daripada
lempeng samudera yang lebih muda. Densitas ini akan berpengaruh
pada efek apungan pada lempeng samudera yang tersubduksi.
Lempeng samudera yang lebih tua dan densitas lebih besar akan
menunjam dengan sudut penunjaman lebih besar daripada lempeng
samudera yang lebih muda dengan densitas lebih kecil.
Gambar 4.16 menunjukkan profil sayatan secara melintang
gempa subduksi di wilayah penelitian untuk region 1, 2, dan 3. Dari
116
gambar tersebut terlihat jelas keberadaan zona Benioff Wadati yang
menunjukkan profil lempeng yang mengalami subduksi. Zona pada
kedalaman antara 250 hingga 500 km yang tidak dijumpai adanya
gempa yang dalam penelitian terdahulu dianggap sebagai daerah
kesenjangan gempa (Soehaimi, 2008) dan berasosiasi dengan
penipisan lempeng samudera yang menunjam (Widiyantoro dan Van
der Hilst, 1996) juga dapat diamati pada profil tersebut. Dapat dilihat
bahwa sudut penunjaman lempeng Indo-Australia di sepanjang
region 1 dan 2 lebih landai dibandingkan dengan region 3.
Karenanya, frekuensi kejadian gempa di region 1 dan 2 lebih tinggi
dibandingkan dengan region 3.
Gambar 4.16 Profil sayatan vertikal zona Benioff Wadati
berdasarkan distribusi fokus gempa di zona 1 (biru), 2 (merah), dan 3
(hijau)
4.3.4 Korelasi Analisis Rantai Markov Gempa Subduksi dan
Sesar Darat
Secara keseluruhan, untuk kasus gempa subduksi, transisi
yang terjadi antarregion di wilayah penelitian sangat dipengaruhi
oleh aktivitas kegempaan di lajur intraplate/cekungan busur depan,
khususnya di wilayah barat penelitian (region B1 dan B2). Region ini
0
100
200
300
400
500
600
700
800
-12 -10 -8 -6
Ked
ala
ma
n (
km
)
Lintang (o)
1
2
3
117
merupakan region dengan aktivitas kegempaan tertinggi akibat
pelepasan tegangan yang telah terakumulasi melalui mekanisme
penunjaman lempeng. Sementara untuk kasus gempa sesar darat,
transisi yang terjadi di wilayah penelitian cenderung dipengaruhi
oleh aktivitas gempa di region c, khususnya di wilayah timur
penelitian (region 3c) yang memiliki laju regangan terbesar.
Hal ini sesuai dengan pemodelan kinematik hasil pengukuran
GPS yang dilakukan Koulali dkk. (2016) yang menunjukkan bahwa
pergerakan relatif lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia
semakin kecil ke arah Timur. Sebaliknya, gerak relatif di sepanjang
busur belakang meningkat dari Barat ke Timur. Analisis rantai
Markov secara spasial untuk wilayah Jawa Timur hingga Timor
dapat dilakukan untuk membuktikan hal ini.
4.4 Analisis Rantai Markov Magnitudo
Dalam melakukan analisis kejadian gempa bumi di wilayah
penelitian secara magnitudo dengan model rantai Markov, maka
digunakan seluruh data gempa bumi di wilayah Jawa Timur sejak
tahun 1973 – 2017 dengan batas minimum 4. Tercatat dalam
periode yang dianalisis terdapat 1.119 kejadian (1.118 transisi)
gempa bumi utama. Dalam analisis rantai Markov ini digunakan tiga
keadaan magnitudo, yaitu gempa dengan (M1),
(M2), dan ≥ 6 (M3).
Berdasarkan informasi dari Tabel 4.13, jumlah kejadian gempa
di wilayah penelitian di setiap rentang magnitudonya dari tertinggi
ke terendah secara berurutan adalah gempa dengan magnitudo M1,
M2, dan M3. Hal ini sesuai dengan relasi Gutenberg-Richter bahwa
jumlah kejadian gempa akan menurun secara logaritmik setiap
peningkatan magnitudo gempa.
Tabel 4.13 Distribusi frekuensi kejadian gempa untuk masing-
masing magnitudo
M1 M2 M3 Total
900 209 10 1.119
Matriks probabilitas dan frekuensi transisi yang merupakan
hasil analisis rantai Markov dapat dilihat pada Tabel 4.14.
118
Tabel 4.14 Matriks frekuensi – probabilitas transisi, vektor
probabilitas tetap, dan nilai Chi Kuadrat untuk keadaan magnitudo
χ2 11,134
χ2cr(0,05;4) 9,490
Kesimpulan ditolak
Nilai Chi Kuadrat yang diperoleh dari proses perhitungan
sebesar 11,134. Nilai ini lebih besar daripada nilai Chi Kuadrat kritis
dengan taraf signifikansi 5% dan derajat kebebasan 4. Karenanya,
untuk kejadian gempa dengan magnitudo tertentu di wilayah
penelitian juga akan disusul dengan gempa bermagnitudo tertentu
(bersifat tidak acak). Jika terjadi gempa dengan magnitudo M1, maka
82,4% gempa berikutnya yang terjadi akan memiliki magnitudo M1.
Hanya 10% kejadian berikutnya yang merupakan gempa dengan
dengan magnitudo M3. Sementara itu, untuk gempa yang
bermagnitudo M3, 70% gempa yang terjadi berikutnya adalah gempa
dengan magnitudo yang lebih kecil, yaitu M1. Dengan nilai
probabilitas transisi 0%, maka tidak ada gempa dengan M3 yang
terjadi setelah berikutnya terjadi gempa dengan M3.
Hal ini sesuai dengan konsep teori bingkas elastis. Semakin
besar magnitudo suatu gempa, maka semakin besar tegangan yang
perlu diakumulasikan sehingga mampu dilepaskan dalam bentuk
gempa. Dengan meninjau kembali siklus gempa, diperlukan waktu
yang lama untuk mengakumulasikan tegangan tersebut. Sebaliknya,
untuk gempa dengan magnitudo kecil hanya diperlukan tegangan
yang kecil untuk dilepas menjadi gempa. Akibatnya, gempa dengan
magnitudo kecil lebih sering terjadi dibandingkan dengan gempa
M1 M2 M3 VPT
M1 741 149 9
80,4 82,4 16,6 1,0
M2 152 56 1
18,7 72,7 26,8 0,5
M3 7 3 0
0,9 70,0 30,0 0,0
119
dengan magnitudo besar. Dampak lebih jauh, setelah terjadi gempa
dengan magnitudo lebih besar, maka gempa berikutnya yang terjadi
adalah gempa dengan magnitudo yang lebih kecil.
Seperti yang disebutkan Patwardhan (1980) bahwa peluang
kejadian gempa besar di lokasi yang sama akan kecil sesaat setelah
terjadi gempa dengan ukuran (magnitudo) yang sama. Sebaliknya,
untuk wilayah yang sebelumnya belum pernah terjadi gempa besar,
maka peluang terjadi gempa besar di wilayah tersebut juga besar. Hal
ini disebabkan magnitudo gempa yang terjadi selanjutnya
dipengaruhi oleh jumlah tegangan yang diakumulasikan dan waktu
yang diperlukan untuk mengakumulasikan energi tersebut. Hal ini
berimplikasi bahwa dengan bertambahnya waktu, maka probabilitas
terjadinya gempa besar di wilayah yang sebelumnya belum
mengalami gempa besar juga semakin besar.
4.5 Analisis Rantai Markov Temporal
Matriks frekuensi dan probabilitas transisi dua keadaan (aktif
dan inaktif) untuk region A1 dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan Tabel
4.16. Probabilitas transisi dinyatakan dalam satuan persen.
Tabel 4.15 Matriks frekuensi transisi keadaan periode aktif (1) dan
periode inaktif (0) region A1
0 1 Total
0 48 4 52
1 4 2 6
Tabel 4.16 Matriks probabilitas transisi keadaan periode aktif (1) dan
periode inaktif (0) region A1
0 1 Total
0 92,3 7,7 100
1 66,7 33,3 100
Nilai elemen matriks probabilitas transisi dari keadaan 0
menjadi 1 sebesar 0,077. Dari informasi ini maka dapat diperoleh
durasi rata-rata periode inaktif di region A1, yaitu 1/0,077 = 13
tahun. Sementara itu, nilai elemen matriks probabilitas transisi dari
keadaan 1 menjadi 0 sebesar 0,667 sehingga durasi rata-rata periode
120
aktif di region A1 adalah 1/0,667 = 1,5 tahun. Dengan cara yang
sama, diperoleh matriks frekuensi dan probabilitas transisi dua
keadaan (aktif dan inaktif) untuk region lainnya yang dapat dilihat
pada Tabel 4.17 berikut.
Tabel 4.17 Matriks frekuensi dan probabilitas transisi keadaan
periode aktif (1) dan periode inaktif (0) region (a) A1, A2, A3; (b)
B1, B2, B3; (c) C1, C2, C3
(a)
A1 0 1 A2 0 1 A3 0 1
0 48 4
0 49 4
0 50 4
92,3 7,7 92,5 7,5 92,6 7,4
1 4 2
1 4 1
1 4 0
66,7 33,3 80,0 20,0 100 0
(b)
B1 0 1 B2 0 1 B3 0 1
0 24 16
0 28 12
0 35 10
60,0 40,0 70,0 30,0 77,8 22,2
1 16 2
1 12 6
1 10 3
88,9 11,1 66,7 33,3 76,9 23,1
(c)
C1 0 1 C2 0 1 C3 0 1
0 45 6
0 39 8
0 30 14
88,2 11,8 83,0 17,0 68,2 31,8
1 6 1
1 8 3
1 12 2
85,7 14,3 72,7 27,3 85,7 14,3
Durasi periode aktif maupun tidak aktif dari seluruh region di
wilayah penelitian dapat dikompilasikan dalam histogram yang
disajikan pada Gambar 4.17. Durasi rata-rata masing-masing periode
dinyatakan dalam satuan tahun.
121
Gambar 4.17 Histogram yang menampilkan durasi rata-rata (tahun)
periode aktif dan inaktif untuk setiap region
Dapat disimpulkan bahwa region A1, A2, dan A3 memiliki
durasi rata-rata periode aktif yang relatif pendek sedangkan durasi
rata-rata periode inaktifnya cukup panjang, yakni mencapai lebih
dari 13 tahun. Region B1, B2, dan B3 memiliki durasi rata-rata
periode aktif yang lebih panjang (mencapai 1,5 tahun). Sementara
itu, durasi rata-rata inaktif dari region-region tersebut hanya berkisar
2,5 hingga 4,5 tahun. Region C1, C2, dan C3 memiliki durasi rata-
rata aktif dan inaktif yang bervariasi. Untuk region C1, yang dalam
analisis rantai Markov secara spasial dan penelitian lain disebut
sebagai daerah kesenjangan gempa, terlihat memiliki nilai durasi
rata-rata periode aktif yang singkat, yaitu 1,17 tahun dan durasi rata-
rata periode inaktif cukup lama, sekitar 8,5 tahun.
Hasil analisis rantai Markov secara temporal untuk
mengetahui durasi rata-rata periode inaktif dan aktif ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2016) sebelumnya
tentang kala ulang gempa 5 di wilayah Jawa Timur dengan
menggunakan distribusi Gutenberg-Richter dan model Poisson.
Menurut penelitian tersebut disebutkan bahwa daerah di sebelah
Utara Jawa memiliki rata-rata kala ulang gempa M ≥ 5 sekitar 1,4
tahun. Daerah tersebut dalam penelitian ini mencakup region A1, A2,
dan A3 yang memiliki durasi rata-rata periode inaktif yang lama,
yaitu berkisar 13 hingga 13,25 tahun. Periode inaktif suatu region
0
2
4
6
8
10
12
14
16
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Du
rasi
(ta
hu
n)
Aktif
Inaktif
122
dapat diasumsikan sebagai keadaan suatu region sedang
mengakumulasikan tegangan untuk dilepaskan saat memasuki
periode aktif dalam bentuk gempa.
Lebih lanjut, dari penelitian Amalia (2016) juga dihasilkan
kala ulang yang relatif singkat untuk kejadian gempa ≥ 5 di
wilayah Selatan Jawa Timur, yakni 0,3 tahun. Wilayah Selatan Jawa
Timur dalam penelitian ini meliputi region B dan C yang durasi rata-
rata periode inaktifnya berkisar antara 2,5 tahun hingga 8,5 tahun.
Selain disebabkan perbedaan pemodelan yang digunakan, adanya
perbedaan perolehan angka kala ulang ini disebabkan gempa yang
dianalisis dalam penelitian ini adalah gempa dengan batasan ≥ 5
dan kedalaman kurang dari 70 km. Namun, secara umum penelitian
ini juga menunjukkan pola yang serupa bahwa daerah Selatan Jawa
Timur memiliki durasi rata-rata periode inaktif yang lebih singkat
daripada Jawa Timur bagian Utara. Hal ini disebabkan tingginya
aktivitas kegempaan di wilayah Selatan Jawa Timur akibat
keberadaan zona subduksi.
4.6 Prediksi Kejadian Gempa di Jawa Timur
4.6.1 Prediksi Kejadian Gempa Secara Spasial di Jawa Timur
Setelah gempa bumi terjadi di suatu wilayah, permasalahan
utama yang umum muncul dalam melakukan analisis kejadian gempa
bumi adalah mengenai lokasi kejadian gempa bumi berikutnya. Hal
ini dapat diperkirakan dengan menggunakan analisis rantai Markov
secara spasial. Sebagai contoh menarik adalah kejadian gempa
subduksi dengan ≥ 5 di wilayah Jawa Timur. Umumnya, gempa
subduksi dengan magnitudo ini dapat dirasakan getarannya apabila
kedalaman lokasi fokusnya relatif dangkal. Selain itu, dari uji
hipotesis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat
keterkaitan secara spasial antara kejadian gempa subduksi ≥ 5
dengan kejadian gempa serupa selanjutnya.
Data katalog yang digunakan dalam analisis rantai Markov
untuk gempa subduksi ≥ 5 merupakan data gempa subduksi di
wilayah Jawa Timur dalam rentang tanggal 1 Januari 1960 hingga 27
April 2017. Gempa subduksi dengan ≥ 5 yang terakhir terdapat
dalam katalog tersebut adalah gempa pada tanggal 16 Maret 2017
( 5,5) di region C3. Berdasarkan diagram transisi yang telah
123
dibuat, maka region yang memiliki probabilitas terbesar akan terjadi
gempa berikutnya (jika sebelumnya terjadi gempa di region C3)
adalah region C3 itu sendiri dengan probabilitas transisi sebesar
28,57%. Artinya, akan terjadi proses reaktivasi di region C3. Namun,
kenyataannya gempa berikutnya terjadi di region B1, yakni pada
tanggal 29 April 2017 ( 5,7) (lihat Gambar 4.18).
Apabila ditinjau ulang, region B1 adalah region dengan
probabilitas transisi terbesar kedua (19,05%) jika sebelumnya terjadi
gempa di region C3. Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa
reaktivasi masih berlangsung tetapi dalam tahap reaktivasi tersebut
disela oleh kejadian gempa di region B1. Setelah terjadi gempa di
region B1, maka probabilitas terbesar akan terjadi gempa di region
B1 kembali, yakni sebesar 29,17%. Hal ini dikonfirmasi dengan
terjadinya gempa pada tanggal 24 Mei 2017 ( 5,4) dengan pusat
gempa pada 8,946o LS dan 111,977
o BT serta kedalaman fokus 73,79
km. Berdasarkan batas region yang telah disepakati, gempa pada
tanggal 24 Mei 2017 ini terjadi pada region B1.
Dengan informasi bahwa telah terjadi gempa di B1, maka
probabilitas terbesar gempa berikutnya akan terjadi di region B1.
Akan tetapi, peluang lebih besar akan terjadi gempa di region lain
karena kejadian gempa tidak akan terjadi secara berulang dalam
waktu yang relatif singkat di region yang sama. Karenanya, kejadian
gempa berikutnya akan terjadi di region B2 dengan probabilitas
terbesar kedua, yaitu sebesar 22,92%. Terlebih berdasarkan analisis
rantai Markov secara temporal yang telah dibuat menunjukkan
bahwa probabilitas transisi keadaan dari periode inaktif menjadi aktif
di region B2 cukup besar, yaitu 30%.
Terakhir kali region B2 tercatat dalam keadaan aktif adalah
tahun 2015. Sementara itu, untuk kejadian gempa dengan ≥ 5
(tanpa memasukkan syarat batas kedalaman) di region B2 terakhir
kali terjadi pada tanggal 16 November 2016 ( 5,7) dengan
kedalaman 85 km. Artinya, sejak November 2016 hingga Mei 2017
masih belum terjadi gempa dengan ≥ 5 di region ini. Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Amalia (2016) bahwa region ini
memiliki kala ulang gempa ≥ 5 sekitar 5 hingga 7 bulan.
124
Gambar 4.18 Transisi kejadian gempa subduksi untuk M ≥ 5 di
wilayah penelitian pada tahun 2017. Tanda panah merah putus-putus
merupakan perkiraan transisi kejadian gempa yang akan terjadi
berikutnya. Tanda lingkaran merupakan lokasi episenter gempa.
Warna merah pada lingkaran menunjukkan kedalaman fokus dangkal
dan warna kuning menunjukkan kedalaman fokus intermediet.
Kasus gempa sesar darat dengan ≥ 3 terakhir kali terjadi
pada tanggal 8 April 2017 ( 3,9) di region 2c. Dengan asumsi
probabilitas transisi yang konstan di sepanjang waktu, maka
kemungkinan besar gempa sesar darat berikutnya terjadi di region 3c
dengan probabilitas sebesar 60%. Hal ini kemungkinan besar terjadi
karena dari pantauan GPS (Koulali dkk., 2016) menunjukkan bahwa
arah peregangan dan deformasi terbesar di wilayah darat penelitian
16/3/2017
29/4/2017
24/5/2017
A1 A2 A3
B1
a
B2 B3
C1 C2
C3
125
adalah di wilayah Bali bagian Barat (region 3c). Gempa akibat sesar
aktif sering terjadi di wilayah ini sehingga mempengaruhi transisi
kejadian gempa secara spasial di wilayah penelitian. Terakhir kali
terjadi gempa di region ini pada tanggal 27 Juli 2016.
Gambar 4.19 Transisi kejadian gempa sesar darat untuk M ≥ 3 di
wilayah penelitian sejak tahun 2016. Tanda panah merah putus-putus
merupakan perkiraan transisi kejadian gempa yang akan terjadi
berikutnya. Tanda lingkaran merupakan lokasi episenter gempa.
Berdasarkan peta yang terdapat pada Gambar 4.19, sejak
terjadi gempa di region 3c pada tanggal 27 Juli 2016, kejadian gempa
secara berurutan bertransisi ke region 1b (4 November 2016), 1c (10
Desember 2016), 2b (20 Februari 2017), sebelum akhirnya ke region
2c (8 April 2017). Apabila dibandingkan dengan probabilitas transisi
3b 2b 1b
1c 2c 3c
10/12/2016
1a 2a 3a
4/11/2016
27/7/2016
8/4/2017
20/2/2017
126
untuk gempa sesar darat ≥ 3, transisi kejadian gempa dari region
3c ke 1b mencapai 23,81% (transisi tertinggi kedua dari region 3c),
dari region 1b ke 1c mencapai 28,57% (transisi tertinggi dari region
1b selain transisi ke region 2c dan 3c), dan dari 1c ke 2b sebesar
6,67% (transisi tertinggi keempat dari region 1c). Sementara itu,
transisi dari region 2b ke 2c mencapai 16,70% yang merupakan
transisi tertinggi kedua dari region 2b.
4.6.2 Prediksi Kejadian Gempa Secara Temporal di Jawa
Timur
Selanjutnya, berdasarkan nilai matriks probabilitas transisi
dalam rantai Markov secara temporal dilakukan prediksi setiap
region di wilayah penelitian akan memasuki periode aktif pada tahun
2017. Dari katalog gempa tercatat bahwa di sepanjang tahun 2016
hanya region B1 yang berada dalam periode aktif. Region lain di
wilayah penelitian selama tahun 2016 berada dalam periode inaktif.
Data mengenai tahun terakhir berada dalam periode aktif dan
probabilitas transisi dari keadaan 0 menjadi 1 ( ) di setiap region
dapat diringkas dalam Tabel 4.18.
Tabel 4.18 Tahun terakhir aktif dan probabilitas transisi dari keadaan
inaktif menjadi aktif untuk masing-masing region
Region Tahun Terakhir
Aktif (%)
A1 1992 7,69
A2 2004 7,55
A3 2003 7,41
B1 2016 40,00
B2 2015 30,00
B3 2014 22,22
C1 2015 11,76
C2 2014 17,02
C3 2013 31,82
Dengan asumsi bahwa seluruh region berada dalam keadaan
inaktif pada tahun 2016 dan probabilitas transisi bersifat konstan,
maka region dengan probabilitas terbesar hingga terkecil akan
memasuki periode aktif pada tahun 2017 adalah region B1, C3, B2,
127
B3, C2, C1, A1, A2, dan A3. Sebagai catatan, berhubung region B1
sudah dalam keadaan aktif pada tahun 2016, maka probabilitas
region B1 akan kembali aktif pada tahun 2017 ( ) adalah 88,89%.
Dalam periode Januari – Mei 2017 diketahui bahwa gempa dengan
≥ 5 dan kedalaman dangkal kurang dari 70 km telah terjadi dua
kali di wilayah penelitian. Gempa pertama adalah gempa pada
tanggal 16 Maret 2017 dengan 5,5 dan kedalaman 10 km yang
episenternya berada pada 11,539o LS, 114,574
o BT. Gempa ini
terjadi di region C3. Gempa kedua terjadi pada tanggal 29 April 2017
dengan 5,6, kedalaman 10 km, dan koordinat episenter 9,662o
LS, 111,845o BT. Gempa ini terjadi di region B1.
Dari korelasi antara hasil analisis ini dengan data gempa
selama tahun 2017 disimpulkan bahwa region yang telah memasuki
periode aktif pada tahun 2017 adalah region dengan probabilitas
transisi dari keadaan inaktif menjadi aktif lebih besar daripada 30%.
Region yang berpeluang besar akan memasuki periode aktif di tahun
2017 selanjutnya adalah region B2 dengan probabilitas 30%. Region
ini masih dalam keadaan inaktif sejak tahun 2015.
Prediksi kejadian gempa di suatu wilayah dengan tingkat
kegempaan tinggi memang menarik. Namun, ada beberapa tantangan
yang dihadapi dalam melakukan prediksi ini. Menurut Keilis-Borok
dkk. (2001) bahwa litosfer merupakan suatu sistem yang bersifat
nonlinier dengan ketidakstabilan dan chaos. Oleh sebab itu,
sebagaimana halnya dengan analisis perkiraan kejadian gempa
dengan model lainnya, perlu dilakukan penyelidikan dalam skala
yang lebih luas, baik dari segi luas wilayah maupun rentang waktu
penelitian untuk memahami karakter kejadian gempa bumi di
wilayah Jawa Timur dengan lebih baik. Penelitian ini masih
merupakan tahap pendahuluan dan masih terbuka untuk dilakukan
analisis dengan pendekatan lain.
128
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
129
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis kejadian gempa bumi di wilayah Jawa
Timur dalam periode 1960 – 2017 dengan model rantai Markov
diperoleh kesimpulan:
1. Secara spasial, kejadian gempa subduksi 4 dan 5
dan gempa sesar darat 3 di wilayah penelitian bersifat
tidak acak, tetapi menunjukkan adanya kecenderungan
terjadi gempa di suatu region yang akan diikuti dengan
kejadian gempa di region tertentu (strong first order
Markov). Gempa subduksi 4 dan 5 yang terjadi di
region yang diteliti akan disusul dengan kejadian gempa
serupa di region B1 dan B2 sedangkan gempa sesar darat di
wilayah penelitian akan disusul dengan kejadian gempa
serupa di region 3c. Kejadian gempa subduksi dengan 6
dan gempa sesar darat dengan 4 dan 5 secara
spasial terlihat acak. Hal ini lebih disebabkan gempa-gempa
tersebut jarang terjadi di wilayah penelitian dan rantai
Markov relatif sensitif terhadap jumlah data yang tersedia.
2. Secara magnitudo, probabilitas terbesar kejadian gempa
dengan magnitudo M1 akan disusul dengan kejadian dengan
magnitudo M1 (82,4%). Untuk gempa dengan magnitudo
M3, maka akan disusul dengan kejadian gempa magnitudo
M1 sebanyak 70% dan tidak ada yang disusul dengan
kejadian dengan gempa magnitudo M3.
3. Secara temporal, durasi rata-rata periode aktif di wilayah
penelitian bervariasi dari 1 – 1,5 tahun sedangkan durasi
rata-rata periode inaktif berkisar 2,5 – 13,5 tahun. Region
dengan durasi rata-rata periode inaktif terbesar adalah A1,
A2, dan A3 (13 – 13,5 tahun) sedangkan region dengan
durasi rata-rata periode inaktif terkecil adalah region B1, B2,
dan B3 (2,5 – 4,5 tahun).
4. Secara spasial, untuk kejadian gempa sesar darat 3,
probabilitas terbesar akan terjadi pada region 3c (60%)
sedangkan untuk kejadian gempa subduksi ,
probabilitas terbesar akan terjadi pada region B1 (29,17%)
130
dan B2 (22,92%). Secara temporal, region yang memiliki
probabilitas terbesar akan memasuki periode aktif di tahun
2017 adalah region B1 (40,00%), C3 (31,82%), dan B2
(30,00%).
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dalam
penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan:
1. Penambahan data gempa 5 dan 6 di wilayah
penelitian dalam periode yang lebih lama (hingga awal tahun
1900-an) dari katalog gempa lain, misalnya katalog gempa
Engdahl, BMKG, NOAA, dan lain-lain.
2. Pembagian region di wilayah penelitian berdasarkan
informasi geologi maupun parameter kegempaan lainnya.
3. Relokasi episenter dan hiposenter gempa di wilayah
penelitian. Berdasarkan data lokasi gempa yang didapatkan,
masih menunjukkan nilai eror horisontal dan kedalaman
yang relatif besar.
4. Perluasan wilayah penelitian untuk mendapatkan
kemungkinan adanya interaksi dengan wilayah lain yang
mempengaruhi kejadian gempa di wilayah penelitian saat ini.
131
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, R.E., M. Antolik, K. Felzer, dan G. Ekström. 2001.
The 1994 Java Tsunami Earthquake: Slip Over a Subducting
Seamount. Journal of Geophysical Research, 106(B4):6595-
6607.
Afnimar. 2009. Seismologi. Bandung: Penerbit ITB.
Altinok, Y. dan D. Kolcak. 1999. An Application of the Semi-
Markov Model for Earthquake Occurrences in North Anatolia,
Turkey. Journal of the Balkan Geophysical Society, 2(4):90-
99.
Amalia, R. 2016. Studi Variasi Spasial dan Temporal Seismotektonik
Jawa Timur, Malang: Skripsi Jurusan Fisika, FMIPA,
Universitas Brawijaya.
Andersson, S. 2015. b-Value Variations Preceding the Devastating,
1999 Earthquake, near Izmit, Turkey, Uppsala: Dissertation
Uppsala Universitet.
Badan Pusat Statistik. 2015. Badan Pusat Statistik.
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274
Tanggal akses: 27 Maret 2017.
Bağci, G. 1996. Earthquake Occurrence in Western Anatolia by
Markov Model. Jeofizik, Volume 10:67-75.
Barbu, V.S. dan N. Limnios. 2008. Semi-Markov Chains and Hidden
Semi-Markov Models Toward Applications Their Use in
Reliability and DNA Analysis. 9th ed. New York: Springer.
Benjamin, J.R. dan C.A. Cornell. 1970. Probability, Statistics, and
Decision for Civil Engineers. 1st ed. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Bilek, S.L. 2007. Influence of subducting topography on earthquake
rupture. The Seismogenic Zone of Subduction Thrust
Faults:123-146.
Blum, E.K. dan S.V. Lototsky. 2006. Mathematics of Physics and
Engineering. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte.
Ltd.
Bolt, B.A. 1978. Earthquakes A Primer. San Fransisco: W. H.
Freeman & Company.
Carlson, D.H., C.C. Plummer dan T.L.D. McGeary. 2008. Physical
Geology: Earth Revealed. 7th ed. New York: Mc Graw Hill.
132
Cavers, M. dan K. Vasudevan. 2014. Spatio-Temporal Complex
Markov Chain (SCMC) Model Using Directed Graphs:
Earthquake Sequencing. Pure Applied Geophysics, Volume
172:225-241.
Cox, D.R. dan H.D. Miller. 1994. The Theory of Stochastic
Processes. 1st ed. London: Chapman & Hall.
Darman, H. dan F.H. Sidi. 2000. An Outline of The Geology of
Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Davis, G.H. dan S.J. Reynolds. 1996. Structural Geology of Rocks
and Regions. 2nd ed. New York: John Wiley & Sons.
Davis, J.C. 1986. Statistics and Data Analysis in Geology. 2nd ed.
Toronto: John Wiley & Sons.
Djarwanto. 2011. Statistik Nonparametrik. 4th ed. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
Doğaner, A. dan S. Çalik. 2013. Estimates of Earthquake with
Markov Models in East Anatolian Fault Zone. Turkish Journal
of Science dan Technology, 8(1):55-61.
Fowler, C.M.R. 2005. The Solid Earth An Introduction to Global
Geophysics. 2nd ed. Cambridge: Cambridge University Press.
Gardner, J.K. dan L. Knopoff. 1974. Is the Sequence of Earthquakes
in Southern California, with Aftershocks Removed,
Poissonian?. Bulletin of the Seismological Society of America,
64(5):1363-1367.
Ghose, R. dan K. Oike. 1988. Characteristics of Seismicity
Distribution along the Sunda Arc: Some New Observations.
Bulletin Disaster Kyoto University, 38(332):29-48.
Grevemeyer, I. dan V.M. Tiwari. 2006. Overriding Plate Controls
Spatial Distribution of Megathrust Earthquakes in the Sunda-
Andaman Subduction Zone. Earth and Planetary Science
Letters Elsevier, Volume 251:199-208.
Grotzinger, J.P. dan T.H. Jordan. 2014. Understanding Earth. 7th ed.
New York: W. H. Freeman & Company.
Hall, R., B. Clements, H.R. Smyth, dan M.A. Cottam. 2007. A New
Interpretation of Java's Structure. Jakarta, Indonesian
Petroleum Association.
Handayani, L. 2010. Thermal Structure of Subducting Slab along the
Java Arc and Its Significance to the Volcanoes Distribution.
ITB Journal Science, 42(2):127-134.
133
Hanifa, N.R. 2014. Interplate Earthquake Potential off Western
Java, Indonesia, based on GPS data, Nagoya: Dissertation
Doctor of Science Graduate School of Environment Studies
Nagoya University.
Hayes, B. 2013. First Links in the Markov Chain. American
Scientist, March-April, Volume 101:92-97.
Hays, W.W. 1980. Procedures for Estimating Earthquake Ground
Motions. Washington: United States Government Printing
Office.
Helen, S., R. Hall, J. Hamilton dan P. Kinny. 2005. East Java:
Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient Basement. Jakarta,
Indonesian Petroleum Association.
Horspool, N., I. Pranantyo, J. Griffin, H. Latief, D.H. Natawidjaja,
W. Kongko, A. Cipta, B. Bustaman, S.D. Anugrah dan H.K.
Thio. 2014. A Probabilistic Tsunami Hazard Assessment for
Indonesia. National Hazard Earth System Science, Volume
14:3105-3122.
Husein, S. dan M. Nukman. 2015. Rekonstruksi Tektonik
Mikrokontinen Pegunungan Selatan Jawa Timur: Sebuah
Hipotesis Berdasarkan Analisis Kemagnetan Purba.
Yogyakarta, Seminar Nasional Kebumian Ke-8 Academian-
Industry Linkage.
IAGI. 2010. Sandi Stratigrafi Indonesia Edisi 1996. Jakarta: IAGI.
Ibe, O. C. 2009. Markov Processes for Stochastic Modeling. 1st ed.
London: Elsevier Inc..
Irsyam, M., I W. Sengara, F. Aldiamar, S. Widiyantoro, W. Triyoso,
D.H. Natawidjaja, E. Kertapati, I. Meilano, Suhardjono, M.
Asrurifak dan M. Ridwan. 2010. Ringkasan Hasil Studi Tim
Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, Bandung: Tim Revisi Peta
Gempa Indonesia 2010.
Ismawadi. 2017. Kota-kota Besar Dilintasi Sesar Besar. Kompas, 26
Mei:14.
Kagan, Y.Y. dan D.D. Jackson. 1991. Seismic Gap Hypothesis: Ten
Years After. Journal of Geophysical Research, 96(B13):419-
431.
Kalan, T., P. Lunt. dan D. Schiller. 1996. IPA Field Trip to Eastern
Java, Jakarta: Indonesian Petroleum Association.
134
Kanamori, H. 1994. Mechanics of Earthquakes. Annual Revision
Earth Planet Science, Volume 22:207-237.
Kanamori, H. dan E.E. Brodsky. 2001. The Physics of Earthquakes.
American Institutes of Physics, June:34-40.
Kayal, J.R. 2008. Microearthquake Seismology and Seismotectonics
of South Asia. New Delhi: Springer.
Kearey, P. dan M. Brooks. 1984. An Introduction to Geophysical
Exploration. 1st ed. Oxford: Blackwell Scientific Publication.
Keilis-Borok, V., A. Ismail-Zadeh, V. Kossobokov dan P. Shebalin.
2001. Non-linear Dynamics of the Lithosphere and
Intermediate-term Earthquake Prediction. Tectonophysics
Elsevier, Volume 338:247-260.
Kennet, B. dan H.P. Bunge. 2008. Geophysical Continua. 1st ed.
New York: Cambridge University Press.
Kertapati, E.K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia: Perspektif
Regional pada Karakteristik Gempabumi Merusak. Bandung:
Pusat Survei Geologi.
Koulali, A., S. McClusky, S. Susilo, Y. Leonard, P. Cummins, P.
Tregoning, I. Meilano, J. Efendi dan A.B. Wijanarto. 2016.
The Kinematics of Crustal Deformation in Java from GPS
Observations: Implications for Fault Slip Partitioning.
Elsevier, Issue http://dx.doi.org/10.1016/j.epsl.2016.10.039:1-
11.
Koulali, A., S. Susilo, S. McClusky, I. Meilano, P. Cummins, P.
Tregoning, G. Lister, J. Efendi dan M.A. Syafi’i. 2016. Crustal
Strain Partitioning and the Associated Earthquake Hazard in
the Eastern Sunda-Banda Arc. Geophysical Letter, Volume
10.1002/2016GL067941: 1943-1949.
Kulkarni, V.G. 2017. Modeling and Analysis of Stochastic System.
3rd ed. Boca Raton: CRC Press.
Kusumobroto, B.P. 2010. Rantai Markov dan Aplikasinya Sebagai
Bagian dari Ilmu Probabilitas. Bandung, Sekolah Teknik
Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung.
Lay, T. dan T.C. Wallace. 1995. Modern Global Seismology. San
Diego: Academic Press.
Lay, T. dan S. Bilek. 2007. Anomalous earthquake ruptures at
shallow depths on subduction megathrust. The Seismogenic
Zone of Subduction Thrust Faults:476-511.
135
Lee, W.H.K., H. Kanamori, P.J. Jennings, dan C. Kisslinger. 2002.
International Handbook of Earthquake and Engineering. 1st
ed. s.l.:AP.
Lillie, R. J. 1999. Whole Earth Geophysics: An Introductory
Textbook for Geologists and Geophysicists. New Jersey:
Prentice - Hall Inc..
Limantara, L.M. dan W. Soetopo. 2009. Statistika Terapan untuk
Teknik Pengairan. 1st ed. Malang: CV Citra Malang.
Limnios, N. dan G. Oprisan. 2001. Semi-Markov Processes and
Reliability. 1st ed. Boston: Springer Science & Business
Media.
Lowrie, W. 2007. Fundamental of Geophysics. 2nd ed. New York:
Cambridge University Press.
Lutgens, F.K., E.J. Tarbuck dan D. Tasa. 2012. Essentials of
Geology. 1th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
McCalpin, J.P. 2009. Paleoseismology. 2nd ed. San Diego:
Academic Press.
McClave, J.T. dan T. Sincich. 2000. Statistics. 8th ed. New Jersey:
Prentice dan Hall.
Mohita, N. 2016. Your Article Library, Earthquakes Prediction: 9
Methods to Predict Earthquake.
http://www.yourarticlelibrary.com/earthquake/earthquakes-
prediction-9-methods-to-predict-earthquake/13915/ Tanggal
akses: 5 April 2017.
Mostafei, H. dan S. Kordnoori. 2013. The Application of the semi-
Markov Model in Predicting the Earthquake Occurrence in
Alborz Fault Region, Northern Iran. Earth Science India,
6(4):147-159.
Mussett, A.E. dan M.A. Khan. 2000. Looking Into the Earth:
Introduction to Geological Geophysics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nava, F.A., H. Claudia, J. Frez dan E. Glowacka. 2005. Seismic
Hazard Evaluation Using Markov Chains: Application to the
Japan Area. Pure and Applied Geophysics, Volume 162:1347-
1366.
Nawangsari, S., F.M. Iklima dan E.P. Wibowo. 2014. Konsep
Markov Chains untuk Menyelesaikan Prediksi Bencana Alam
di Wilayah Indonesia dengan Studi Kasus Kotamadya Jakarta
136
Utara, Depok: Jurusan Teknik Informatika Universitas
Gunadarma.
Newcomb, K.R. dan W.R. McCann. 1987. Seismic History and
Seismotectonics of the Sunda Arc. Journal of Geophysical
Research, 92(B1):421-439.
Nguyen, N., J. Griffin, A. Cipta dan P.R. Cummins. 2015.
Indonesia's Historical Earthquakes: Modelled examples for
improving the national hazard map. Canberra: Geoscience
Australia.
Okal, E.A. 2012. The South of Java Earthquake of 1921 September
11: a Negative Search for a Large Interplate Thrust Event at
the Java Trench. Geophysics Journal International, Issue
190:1657-1672.
Orfanogiannaki, K., D. Karlis dan G.A. Papadopoulos. 2014.
Identification of Temporal Pattern in the Seismicity of
Sumatra Using Poisson Hidden Markov Models. Research in
Geophysics, 4(4969):1-6.
Pakpahan, S., D. Ngadmanto, Masturyono, S. Rohadi, Rasmid, H.S.
Widodo dan P. Susilanto. 2015. Analisis Kegempaan di Zona
Sesar Palu Koro, Sulawesi Tengah. Jurnal Lingkungan dan
Bencana Geologi, 6(3):253-264.
Papoulis, A. 1992. Probabilitas, Variabel Random, dan Proses
Stokastik. 2nd ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Parsons, T. 2002. Global Omori Law Decay of Triggered
Earthquakes: Large Aftershocks Outside the Classical
Aftershock Zone. Journal of Geophysical Research, Volume
107:900-920.
Patwardhan, A.S. 1980. A Semi-Markov Model for Characterizing
Recurrence of Great Earthquakes. Bulletin of Seismological
Society of America, 70(1):323-347.
Polimenakos, I.C. 1995. Shallow Seismicity in the Area of Greece:
Its Character as Seen by Means of A Stochastic Model.
Nonlinear Processes in Geophysics, Volume 2:136-146.
Prasetya, G.S., W.P. De Lange dan T.R. Healy. 2001. The Makassar
Strait Tsunamigenic Region, Indonesia. Natural Hazards,
Volume 24:295-307.
137
Puspita, A., A.D. Nugraha dan T.N. Puspito. 2014. Earthquake
Hypocenter Relocation Using Double Difference Method in
East Java and Surrounding Areas. Bandung, AIP Publishing.
Putra, S.P. 2007. Sekuen Pengendapan Sedimen Miosen Tengah
Kawasan Selat Madura. Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan, 17(1):20 - 36.
Ragan, D.M. 2009. Structural Geology An Introduction to
Geometrical Techniques. 4th ed. Cambridge: Cambridge
University Press.
Reasenberg, P. 1985. Second-order moment of central California
seismicity, 1969-1982. Journal of Geophysical research,
90(87):5479-5495.
Rodriguez, M.C. dan C.S. Oliveira. 2016. Using Spatial Markovian
Chain for the Statistical Analysis of Seismic Occurrences in
the Azores Region. Vienna, Natural Hazards and Earth System
Sciences.
Rozak, A. 2012. Pengantar Statistika. Malang: Intimedia.
Sabrina, U.E. 2016. Pola Subduksi Daerah Jawa Timur dengan
Metode Segmen Irisan Vertikal dan Seismisitas Lateral,
Malang: Skripsi Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas
Brawijaya.
Sadeghian, R., G.R. Jalali-Naini, J. Sadjadi dan N.H. Fard. 2008.
Applying Semi-Markov Models for Forecasting the Triple
Dimension of Next Earthquakes Occurrences: with Case Study
in Iran Area. International Journal of Industrial Engineering
dan Production Research, 19(4):57-67.
Scholz, C.H. 2002. The Mechanics of Earthquakes and Faulting. 2nd
ed. Cambridge: Cambridge University Press.
Shearer, P.M. 2009. Introduction to Seismology. 2nd ed. New York:
Cambridge University Press.
Sheriff, R.E. dan L.P. Geldart. 1995. Exploration Seismology. 2nd
ed. New York: Cambridge University Press.
Shulgin, A., H. Kopp, C. Mueller, L. Planert, E. Lueschen, E.R.
Flueh dan Y. Djajadihardja. 2011. Structural Architecture of
Oceanic Plateau Subduction Offshore Eastern Java and The
Potential Implications for Geohazards. Geophysics Journal
International, Volume 184:12-28.
138
Simandjuntak, T.O. dan A.J. Barber. 1996. Contrasting Tectonic
Styles in the Neogene Orogenic Belt of Indonesia. Tectonic
Evolution of Southeast Asia, Issue 106:185-201.
Smyth, H., R. Hall, J. Hamilton dan P. Kinny. 2003. Volcanic Origin
of Quartz-Rich Sediments in East Java. Jakarta, Indonesian
Petroleum Association.
Smyth, H., R. Hall, J. Hamilton dan P. Kinny. 2005. East Java:
Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient Basement. Jakarta,
Indonesian Petroleum Association.
Soehaimi, A. 2008. Seismotektonik dan Potensi Kegempaan Wilayah
Jawa. Jurnal Geologi Indonesia, 3(4):227-240.
STATEXT. 2016. Statistical Table.
http://www.statext.com/table.php#ChiSqValueFromRight
Tanggal akses: 20 April 2017.
Stein, S. dan M. Wysession. 2003. An Introduction to Seismology,
Earthquakes, and Earth Structure. 1st ed. Oxford: Blackwell
Publishing.
Stern, R. J. 2002. Subduction Zones. American Geophysical Union,
40(2):1012-1054.
Sulaeman, C. dan A. Cipta. 2012. Model Intensitas Gempa Bumi di
Maluku Utara. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi,
3(2):79-88.
Susilohadi. 1995. Late Tertiary and Quarternary Geology of the East
Java Basin, Indonesia., Wollongong: Doctor of Phylosophy
Thesis, School of Geosciences, University Wollongong.
Takeuchi, H., S. Uyeda dan H. Kanamori. 1969. Debate About the
Earth: Approach to Geophysics through Analysis of
Continental Drift. San Fransisco: Freeman, Cooper &
Company.
Tatsumi, Y. 2005. The subduction factory: How it operates in the
evolving Earth. GSA Today, 15(7):4-10.
Taylor, H.M. dan S. Karlin. 1998. An Introduction to Stochastic
Modeling. 3rd ed. San Diego: Academic Press.
Thompson, G.T. dan J. Turk. 1998. Introduction to Physical
Geology. Massachusetts: Broooks Cole.
Tipler, P.A. dan G. Mosca. 2008. Physics For Scientists and
Engineers. 6th ed. New York: W. H. Freeman and Company.
Trueit, T.S. 2003. Earthquake. Toronto: Watt's Library.
139
Tsapanos, T.M. dan A.A. Papadopoulou. 1999. A Discrete Markov
Model for Earthquake Occurrences in Southern Alaska and
Aleutian Islands. Journal of the Balkan Geophysical Society,
2(3):75-83.
Turcotte, D.L. dan G. Schubert. 2002. Geodynamics. 2nd ed.
Cambridge: Cambridge University Press.
Ünal, S. dan S. Çelebioğlu. 2011. A Markov Chain Modelling of the
Earthquakes Occuring in Turkey. Gazi University Journal of
Science, 24(2):263-274.
USGS. 2016. USGS Glossary.
https://earthquake.usgs.gov/learn/glossary/?term=seismic%20
gap
Tanggal akses: 5 April 2017.
USGS. 2017. USGS: Search Earthquake Catalog.
https://earthquake.usgs.gov/earthquakes/search/
Tanggal akses: 27 April 2017.
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia Vol IA:
General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago.
Hague: Geovernment Printing Office.
Van Stiphout, T., J. Zhuang dan D. Marsan. 2012. Seismicity
Declustering, Community Online Resource for Statistical
Seismicity Analyisis.
http://www.corssa.org/export/sites/corssa/.galleries/articles-
pdf/vanStiphout_et_al.pdf
Tanggal akses: 3 April 2017.
Verstappen, H.T. 2010. Indonesian Landforms and Plate Tectonics.
Jurnal Geologi Indonesia, 5(3):197-207.
Votsi, I., G. Tsaklidis, N. Limnios, E. Papadimitriou dan F.
Vallianatos. 2013. A Markov Model for Seismic Hazard
Analysis Along the Hellenic Subduction Zone (Greece).
Bulletin of the Geological Society of Greece, Volume
XLVII:1376-1385.
Widiyantoro, S. dan R. Van der Hilst. 1996. Structure and Evolution
of Lithospheric Slab Beneath the Sunda Arc, Indonesia.
Science, 15 March:1566-1570.
Wyss M., S. Wiemer dan R. Zuniga. 2011. ZMAP – A Tool for
Analyses of Seismicity Patterns, Version 6,0. ETH Zürich.
140
Yozo, G. 2005. The Damage Induced by Sumatra Earthquake and
Associated Tsunami of December 26, 2004, Kyoto: Japan
Society of Civil Engineers.
Yulianto, M.N., R. Galena dan C. Prasetyadi. 2011. Karakteristik
Sesar Anjak dan Pemodelan Struktur Geologi Menggunakan
Metode Balanced Cross Section Daerah Kedungjati, Jawa
Tengah (Kendeng Barat) dan Daerah Ngawi, Jawa Timur
(Kendeng Timur). Makassar, HAGI dan IAGI.
top related