analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah … · sma negeri kalabahi alor tahun 1983. kemudian...
Post on 08-Mar-2019
252 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN
DI KABUPATEN ALOR
YUNUS ADIFA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2007
ABSTRAK
YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor. (ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Strategi perencanaan yang berspektif keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari penyusunan tata ruang wilayah sebagai induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang efisien, adil dan berkelanjutan, sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah. Tujuan penelitian ini adalah: menganalisis besarnya kesenjangan pembangunan antar satuan Wilayah Pengembangan (SWP), dan menentukan sektor-sektor basis/komoditi unggulan yang mendukung satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor guna memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah, Indeks Williamson, Indeks Skalogram, Indeks Entropy dan Entropy Interaksi Spasial tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model) dan analisis deskriptif, Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA).
Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor. Dari ketiga Satuan Wilayah Pengembangan yang ada, SWP-B memperlihatkan tingkat perkembangan wilayah yang lebih baik. Tingkat kesenjangan pembangunan yang paling lebar ditemukan pada SWP-C. Ini terjadi karena lemahnya keterkaitan/keterpaduan antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, terutama berkaitan dengan pendistribusian sumberdaya yang bersifat asimetrik. Kata Kunci : Kesenjangan pembangunan, Sektor/komoditi basis, Wilayah
pembangunan, Interaksi spasial.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “ Analisis Kesenjangan Pembangunan
antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur “
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka.
Bogor, Mei 2007
Yunus Adifa Nrp.A155030121
ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR - PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
YUNUS ADIFA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2007
Judul Tesis : Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor - Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama : Yunus Adifa Nomor Pokok : A155030121 Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Dr. Ir. Setia Hadi, MSi Ketua Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Wilayah dan Perdesaan Prof.Ir. Isang Gonarsyah,Ph.D Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal Ujian : 05 Mei 2007 Tanggal Lulus :.........................
@ hak cipta milik Yunus Adifa, Tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
hanya atas tuntunan dan karunia-Nya, sehingga penyusunan Tesis yang berjudul
“Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten
Alor” dapat diselesaikan.
Pengambilan Judul penelitian sebagaimana tersebut di atas, didasari pada
suatu kerangka pemikiran Penulis, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang
sementara bergulir, akan dapat lebih efektif, jika setiap daerah otonom lebih dahulu
memahami apa yang menjadi kesenjangan pembangunan selama ini, seberapa
besar kesenjangan itu dapat terjadi dan apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk
mereduksi kesenjangan pembangunan dimaksud. Setiap daerah otonom yang selalu
membuka diri dan berupaya memahami dan menyadari berbagai kesenjangan
pembagunan di daerahnya, dipastikan akan menekan tingkat ketidakpastian
(uncertainty) dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan
wilayah yang cenderung asimetrik dan stagnan.
Salah satu tolok ukur untuk mereduksi tingkat kesenjangan pembangunan
adalah bagaimana membangun suatu keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan
antar spasial yang mendasari pada Tata ruang wilayah sebagai Induk dari proses
pembangunan suatu wilayah yang lebih efisien, adil dan berkelanjutan. Namun
demikian kelangkaan sumber daya manusia pada berbagai wilayah otonom,
terutama wilayah wilayah marjinal, sering menjadi tantangan untuk menemukan
berbagai kesenjangan pembangunan baik antar sektor maupun antar wilayah
pembangunan sebagai dasar pengambilan keputusan alokasi sumber daya
pembangunan yang simetrik dan dinamik.
Sehubungan dengan itu penelitian ini, selain sebagai syarat akademik bagi
Penulis dalam mengakhiri proses Studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu-Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan – IPB, diharapkan sedikitnya
bisa menjawab berbagai tantangan daerah otonom khususnya Kabupaten Alor
dalam upaya menemukan informasi yang lebih konsisten sebagai acuan
transformasi perencanaan pembangunan wilayah ke depan.
Disadari bahwa penulisan Tesis ini dapat terselesaikan, karena kontribusi
setiap pihak, sehingga tiada sesuatu yang lebih berharga, kecuali ungkapan
terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada :
1. Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, dan Dr. Ir. Setia Hadi, MSi selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran dan Literatur
sejak proses penelitian hingga terselesaikannya penulisan Tesis ini.
2. Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D, Selaku Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan Prof.Dr.Ir.Khairil
Anwar Notodiputro,MS, selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
bersama civitas Akedemiknya yang telah meluangkan waktu, pikiran dan legalitas
administrasi selama proses studi hingga terselesaikannya Tesis ini.
3. Para Dosen dan Karyawan Program Study Ilmu-Ilmu Perencanaan dan
Perdesaan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan Ilmu
dan dukungan administrasi selama dalam proses study.
4. Prof.Dr.W.H.Limbong, Msc selaku Moderator Kolokium II dan Dr.Hedi.M.Idris,
selaku Dosen Penguji Luar Komisi dari Bappenas, atas masukan perbaikan Draft
selama dalam proses Seminar dan ujian Tesis.
5. Rekan-rekan Mahasiswa Angkatan 2003, Angkatan 2004, Angkatan 2005,
Senior S3 PWD dan teman-teman bimbingan Pak Ernan yang berkenan
meluangkan waktu menghadiri kolokium dan berbagai kesempatan diskusi yang
cukup memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi
terselesaikannya penulisan Tesis ini.
6. Pemerintah Kabupaten Alor dan DPRD, yang telah merekomendasikan dan
memfasilitasi Penulis selama dalam proses studi di PWD-IPB dan kegiatan
penelitian. Termasuk Pimpinan dan staf seunit kerja Bappeda dan unit kerja
terkait, yang cukup memberikan dukungan data, tenaga dan moril dalam proses
Studi dan proses penelitian di Kabupaten Alor, hingga terselesaikannya Tesis ini.
7. Istri dan anak-anak serta keluarga, yang dalam segala ketabahan memberikan
dukungan doa dan materi, sehingga Penulisan Tesis ini dapat terselesai.
Kendatipun berbagai pihak telah ada andil di dalamnya, namun demikian
Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenanya Penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari setiap pihak yang
peduli bagi penyempurnaan tulisan ini, dihaturkan terimakasih.
Bogor, Mei 2007
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Weman - Alor Selatan Kabupaten Alor Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada tanggal 12 Nopember 1965. Merupakan anak kedua dari dua
bersaudara kandung dari pasangan suami istri Karel Adifa dan Juliana Letsibuda
dan 7 saudara tiri. Namun sejak balita Penulis diasuh, dibesarkan dan disekolahkan
sebagai anak asuh dari 6 bersaudara pasangan ayah dan ibu asuh Anderias
Letsibuda dan Sarci Lakatina.
Penulis mengawali Pendidikan Dasar (SD) pada SD GMIT Kabola Kalabahi Alor
Tahun 1971-1974 dan menamatkannya Tahun 1976 pada SD GMIT Silaipui Alor
Selatan, setelah itu tamat pada SMP Negeri Kalabahi Alor Tahun 1980 dan pada
SMA Negeri Kalabahi Alor Tahun 1983. Kemudian menamatkan Sarjana Peternakan
Tahun 1990 pada Fakultas Peternakan Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 2003 Penulis melanjutkan Pendidikan
pada Program Magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan, Institut Pertanian Bogor.
Sebelum melanjutkan Pendidikan pada Program Magister Ilmu-ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor,
Penulis bekerja sebagai Asisten Manager Koperasi Unit Desa di Alor Selatan dan
Alor Timur Laut Tahun 1992 – 1994. Kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil pada Kantor Camat Pembantu Alor Timur Tahun 1994 -1996 dalam jabatan Plt.
Sekertaris wilayah Kecamatan. Setelah itu bekerja dalam jabatan Kepala Sub bidang
Pertanian pada Bagian Ekonomi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Kabupaten Alor Tahun 1996 - 2003. Disamping itu sebagai Dosen
pengajar Luar Biasa pada Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial Politik Universitas
Muhamadyah Kupang kelas Khusus Kalabahi Tahun 2000-2003.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................. xiiDAFTAR GAMBAR ........................................................................... xivI PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2. Permasalahan ..................................................................... 4 1.3. Perumusan Masalah .................................................................... 13 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 14 1.5. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 14II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 15 2.1. Pengertian dan Deskripsi ............................................................. 15 2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial ................. 21 2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah ................................................... 24 a.Urgensi keberimbangan Pembangunan wilayah ................... 24 b.Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah .................. 24 c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan ............ 27 d. Penataan Ruang .............................................................. 30 e.Teori Pusat Pertumbuhan ......................................................................... 32 f.Teori Interaksi Spasial .......................................................... 36 g.Teori Resource Endowment .................................................... 39 h.Teori Eksport Base ............................................................ 40 i.Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ......................... 43 j.Teori Multiplier effect (dampak Pengganda) ........................ 45 k.Teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia ................. 48 l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ......................... 51 2.2. Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu ............................................ 54III METODE PENELITIAN ....................................................................... 56 3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 56 3.2. Hipotesis ........................................................................ 61 3.3. Lokasi dan waktu penelitian ......................................................... 63 3.4. Sumber dan Jenis data ........................................................ 63 3.5. Metode pengumpulan data ......................................................... 63 3.6. Metode analisis ........................................................ 64 3.6.1. Analisis kesenjangan antar wilayah pembangunan .................. 64 3.6.2. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan .......................................................................... 68IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 72 4.1. Profil wilayah Kabupaten Alor ....................................................... 72 4.1.1. Keadaan Fisik .......................................................................... 72 4.1.1.1. Letak geografis dan Administrasi wilayah ........................... 72
4.1.1.2. Topografi, Iklim, Sumberdaya air, dan Penggunaan lahan .......... 73 4.1.1.3. Sumberdaya Fisik Laut ..................................................... 75 4.1.2. Perkembangan kependudukan dan sosial–ekonomi ................. 76
4.1.2.1. Kependudukan .......................................................... 76 4.1.2.2. Sosial budaya .......................................................... 78 4.1.2.3. Ekonomi wilayah ......................................................... 83
4.1.3. Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi ........ 87 4.1.3.1. Fasilitas sosial ........................................................... 87 4.1.3.2. Infrastuktur ekonomi ........................................................... 89
4.2. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar SWP ......................... 93 4.3. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar SWP ................... 125 4.4.Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah Berimbang ........................................................................................ 134
V. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 143 5.1.Simpulan ....................................................................................... 143 5.2.Saran ...................................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 147LAMPIRAN .................................................................................. 151
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun 2003 .................................................................................. 3
2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 .................... 5
3 Prosentase Konstribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998 – 2003 Atas Dasar Harga Konsatan Tahun 1993 .................................................................................. 6
4 Data Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 ................................................. 10
5 Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002 ............ 11
6 Beberapa Indikator Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) .................................................................... 12
7 Matriks Analisis Skalogram ............................................................ 66 8 Matriks Rangkuman Kerangka Penelitian Analisis Kesenjangan
Pembangunan Antar Pembangunan Wilayah ................................... 70 9 Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan
Tahun 2003 ........................................................................................ 7410 Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian Penduduk
antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ......................................... 7811 Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas,
berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun 2003. ....................................................................................... 79
12 Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003 ............. 79
13 Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003 ...................................................................................... 80
14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003 ................................ 81
15 Ratio pertumbuhan PDRB Per kapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun 2000-2003 ............................................................................... 84
16 Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/ eksport dan Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor periode 2002-2004 ............................................................................. 86
17 Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 .............................................................. 88
18 Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 .......................................................... 90
19 Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999-2004 .............................. 93
20 Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan indeks Skalogram Tahun 2003 .................................................................... 96
21 Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun 2003 ...... 9922 Nilai Entropy penyebaran Alokasi APBD Pembangunan di
Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003 ................................................... 10123 Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial (Pengiriman dan
Penerimaan Berita melalui Saluran SSB ) di Kabupaten Alor Tahun 2004 ....................................................................................... 105
24 Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C 11425 Prosentase Kemiskinan Penduduk Antar SWP Di Kabupaten Alor
Tahun 2000 – 2004 ............................................................................ 12426 Hasil Analisis LQ Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah
Pengembangan di Kabupaten Alor Keadaan Tahun 2003 ................. 12627 Pergeseran Pertumbuhan komoditi unggulan antar Satuan
Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003 ...................................................................... 129
28 Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah di Kabupaten Alor ....................... 133
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor
Tahun 1991 ................................................................................... 92 Peta Kota hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
di Kabupaten Alor Tahun 1991 ........................................................... 93 Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan
Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor ......................... 624 Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar ...................... 765 Perkembangan penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003 .......... 776 Prosentase Pertumbuhan penduduk kabupaten Alor
Tahun 1990-2003 .......................................................................... 777 Prosentase perkembangan struktur ekonomi Kabupaten Alor
Tahun 1988 dan Tahun 1998-2003 ............................................. 858 Peta Penyebaran jalan di Kabupaten Alor ......................................... 929 Kesenjangan pembangunan antar-inter SWP A, B dan C di
Kabupaten Alor kurun waktu 1999-2004 .......................................... 9410 Peta Perkembangan hirarki wilayah di Kabupaten Alor Atas
dasar Indeks Skalogram Tahun 2003 ............................................ 9611 Nilai Entropy penyebaran APBD Pembangunan
di Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003 ............................................. 10112 Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP
TA.1997/1998-2003 ...................................................................... 10213 Entropi Interaksi Spasial (pengiriman berita melalui SSB)
antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 .................... 10614 Entropi Interaksi Spasial (Penerimaan Berita Melalui SSB )
antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 ................... 10615 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP A ................... 11516 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP B ................... 11517 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP C .................... 11518 Perkembangan jumlah interaksi spasial / pergerakan arus
penumpang, barang dan hewan yang menyinggahi Pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003 ................... 118
19 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, orang dan hewan yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003 .................... 118
20 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi .............................. 119
21 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi ............ 119
22 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi ............................. 120
23 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi ................. 120
24 Jalur interaksi spasial komoditi/barang antar pulau/antar regional Tahun 2003. ....................................................................... 122
25 Jumlah frekwensi pesawat dan bongkar/muat penumpang dan barang melalui Bandara Mali Tahun 2003 ......................................... 123
26 Proporsi penumpang dan barang yang dibongkar dan di muat melalui Bandara Mali Tahun 2003 .................................................. 123
27 Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Unggulan Antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003 ............................ 129
28 Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP)di Kabupaten Alor ................. 134
29 Model keterkaitan/keterpaduan didalam Rencana Strategis Pembangunan wilayah berimbang di Kabupaten Alor ..................... 136
30 Stadia Pengembangan Wilayah melalui demand side Strategy di Kabupaten Alor ............................................................................. 139
31 GERBADESTAN sebagai strategi opersional rencana Strategis pembangunan Kabupaten Alor Tahun 2005-2009. ....................... 142
32 Bagan kerangka keterkaitan sintesa hasil analisis kesenjangan pembangunan wilayah dan alternatif Rencana strategi pembangunan wilayah berimbang (Renstrabangwilbang) ................ 142
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Tabel Analisis Kesenjangan Pendapatan (Penerimaan PBB)
antar SWP Periode 1999-2004 (Model Indeks Williamson) ............. 1512 Tabel Rekapitulasi Analisis Skalogram Perkembangan kota
hirarki antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 .......................... 1533 Tabel Analisis Kesenjangan Alokasi APBD Antar SWP di Kab. Alor
Periode 1997/1998-2003 (Model Indeks Entropy) ......................... 1564 Tabel Data Interaksi Spasial (Arus informasi berita) melalui SSB
Pemerintah Kabupaten Alor Tahun 2004. ........................................ 158 5 Tabel Rekapitulasi hasil analisis entropi interaksi spasial
(pengiram dan penerimaan berita melalui saluran SSB) di Kabupaten Alor Tahun 2004 ............................................................ 160
6 Analisis Entropy Interaksi spasial (pengiram dan penerimaan berita ) melalui saluran SSB antar kota hirarki di Kabupaten Alor Tahun 2004 ................................................................................... 170
7 Tabel Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi unggulan antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ...................................... 176
8 Tabel Analisis Shift Share (SSA) Sektor/Komoditi unggulan antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 danTahun 2003 ……………. 177
9 Penyebaran Kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP menurut RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991 ............................................ 179
I. PENDAHULUAN
1.1. Latarbelakang Kabupaten Alor merupakan salah satu daerah otonom dari 16
Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kabupaten ini dibentuk seiring dengan Penetapan Undang-
Undang Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah–Daerah Tingkat
II Dalam Wilayah Daerah–Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1655). Dalam konteks Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional Posisi Kabupaten Alor sebagai salah satu
Kabupaten Kepulauan Nusa Tenggara dan juga sebagai Kawasan Perbatasan
Maritim dengan Negara Timor Leste. Sebagai Wilayah Kepulauan, Kabupaten
ini terdiri atas 17 gugusan pulau, dimana 9 pulau dihuni penduduk sedang 8
pulau di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi
pengembangan. Kabupaten ini memiliki luas daratan 2.864, 64 Km2 dan luas
wilayah perairan laut seluas 10.973, 62 km2 dengan penduduk yang berjumlah
168.965 jiwa, tersebar pada 9 kecamatan, 158 desa dan 17 kelurahan,
dengan rata-rata kepadatan penduduk 59 orang/km2. Sebahagian besar luas
daratan merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang
dalam, dengan kemiringan di atas 40 % seluas 64,25 % (BPS, 2003)*. Posisi Kabupaten Alor sebagai wilayah perbatasan negara, kondisinya tidak
jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Soegijoko (1997), bahwa
wilayah perbatasan sebagai bagian integral dari wilayah nasional pada umumnya
merupakan kawasan penyangga yang memungkinkan terjadinya gangguan
maupun kerja sama dengan wilayah negara tetangga. Untuk itu, daerah perbatasan
semestinya diberikan perhatian yang lebih besar untuk dibangun secara layak
sebagaimana daerah-daerah lain. Wilayah perbatasan merupakan kawasan
khusus karena perbatasan dengan wilayah negara tetangga,sehingga
penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan. Pada umumnya
daerah perbatasan nasional merupakan bagian wilayah yang terpencil dan
rendah aksesibilitasnya oleh moda transportasi umum, terbelakang dan
masih belum berkembang secara mantap, kritis dan rawan dalam ketertiban
dan keamanan. Daerah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori
daerah rawan, tetapi bersifat strategis. Bila dibandingkan dengan keadaan
2
wilayah negara tetangga yang berbatasan, pasti tampak adanya kesenjangan
sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Gejala seperti ini mudah menimbulkan
kerawanan, karena penduduk kawasan perbatasan cenderung berorientasi
ke kawasan negara tetangga untuk pemenuhan berbagai kepentingan
mereka. Apabila tidak diwaspadai dan dibina sejak dini, kerawanan itu dapat
tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional,
terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumberdaya alam strategis di
kawasan perbatasan dan sekitarnya.
Wilayah kepulauan dengan kondisi geofisik dan geostrategis wilayah
perbatasan seperti di atas, umumnya rawan terhadap pertahanan keamanan
teritorial serta rawan bencana seperti gempa, longsoran, banjir, kekeringan dan
kebakaran selalu memperparah laju pertumbuhan pembangunan wilayah yang
cenderung lamban. Sehingga tak dapat dipungkiri bila rata-rata penduduk masih
banyak yang miskin dan hidup terisolasi dari aksesibilitas aktivitas ekonomi dan
pelayanan sosial. Kondisi yang demikian apabila tidak diimbangi dengan suatu
kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif dan
akomodatif dalam perspektif keterpaduan dan keterkaitan akan berdampak pada
kemerosotan struktur ekonomi wilayah dan kualitas hidup masyarakat.
Kabupaten Alor sebenarnya memiliki sumberdaya domestik yang beraneka
ragam, baik migas dan non migas, serta panorama alam (sebagai obyek wisata
bahari dan alam) yang apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, tentu
memberikan kontribusi yang signifikan bagi struktur perekonomian wilayah baik
secara domestik, regional maupun nasional. Sumberdaya domestik wilayah
yang sudah atau sedang dan akan dikembangkan sebagai komoditas unggulan
dan andalan untuk memenuhi permintaan domestik, regional, dan nasional
antara lain seperti diperlihatkan dalam Tabel 1.
Dari sejumlah Potensi domestik, yang tertera pada Tabel 1, potensi
pertambangan dan penggalian masih dalam bentuk desain potensi kecuali batu
hitam sudah menjadi komoditi eksport/antar pulau. Khusus potensi minyak dan
gas (migas), serta sumberdaya laut di Selat Ombay merupakan potensi strategis
dalam kawasan perbatasan negara, telah menjadi ajang perebutan antara
negara Timor Leste, Australia dan Indonesia. Berkaitan dengan eksploitasi
migas di Celah Timor, Australia lebih unggul dalam teknologi pengelolaan
sumberdaya dasar laut dibandingkan dengan Indonesia dan Timor Leste.
3
Tabel 1 Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun 2003.
No Jenis Sektor/ Komoditi
Luas Areal/ Panen (Ha)
Kapasitas/ Jumlah
Produksi (Ton)
Kecamatan /Lokasi Basis Pengembangan Keterangan
I Pertambangan & penggalian 1 Minyak Bumi - - Pantar, Panbar,dan abad potensi 2 Emas - - Pantar,abad & Alsel potensi 3 Timah - - Alsel,Altim & Altim Laut potensi 4 Gypsum - - Panbar & Abad potensi 5 Sumber Panas - - Altim & Altim Laut potensi 6 Batu Hitam - 6000.00 Alsel,Altim, Abad ,Panbar eksport/AP II Pertanian Tanaman 7 Kemiri 6268.50 1589.50 9 Kec. eksport/AP 8 Kelapa 4737.84 845.07 9 Kec. eksport/AP 9 Kopi 693.56 18.25 9 Kec. - 10 Jambu Mente 8456.50 507.86 9 Kec. eksport/AP 11 Cengkeh 109.46 17.85 Abal,Alsel,Telmut,Abad, Pantar eksport/AP 12 Pinang 746.50 34.10 8 Kec. kecuali .Panbar eksport/AP 13 Vanili 124.10 15.00 Alsel eksport/AP 14 Kakao 169.64 0.86 Telmut, Abal & Alsel - 15 Lada 20.00 0.15 Abad, Alsel - 16 Asam - 500.00 9 Kec. eksport/AP 17 Sirlack - 59.16 9 Kec. eksport/AP 18 Kacang hijau 261.00 168.30 9 Kec. AP (2001) 19 Kacang tanah 44.00 37.20 7 Kec.kecuali Telmut , Altu - 20 Sawah 183.00 760.60 6 Kec.kecuali Telmut,Pantar - 21 Padi Ladang 3852.00 7991.90 9 Kec. - 22 Jagung 11790.00 18728.10 9 Kecamatan - III Perikanan dan Kelautan 23 Tangkapan Ikan 4164 1761.90 9 Kec (110 desa ) eksport/AP 24 Kerang Mutiara 20 15040 ekor Telmut dan Abad eksport/AP 25 Rumput laut 1200 - Telmut, Panbar, Pantar budidaya 26 Tambak 145 - Telmut, Abal budidaya 27 Ikan kerapu 60 - Pantar, Abad, Altim potensi 28 Teripang 40 - Telmut, Altim laut, Abal,Abad potensi 29 Ikan hias 35 - Abal,Telmut,Altim laut, Abad potensi IV Peternakan 30 Sapi - 1510 ekor 9 Kec. - 31 Kerbau - 13 ekor Pantar, Abad, Altim Laut, Alsel - 32 Kambing - 31138 ekor 9 Kec. - 33 Babi - 69 971 ekor 9 Kec. - 34 Rusa - 244 ekor 7 Kec. kecuali Alsel, Altim Laut -
Sumber : BPS ( Alor Dalam Angka, 2003). Katerangan : AP= Antara Pulau; Kec = Kecamatan: Telmut = Teluk Mutiara; Abal = Alor Barat
laut , Abad = Alor Barat Daya, Alsel = Alor Selatan; Altu =Alor Tengah Utara, Altim = Alor Timur, Altim Laut = Alor Timuir Laut dan Panbar =Pantar Barat.
Di lain sisi, mencermati akan potensi domestik yang dimiliki Kabupaten Alor
sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1 seharusnya masyarakat Alor tidak
harus miskin, apabila limpahan sumberdaya domestik tersebut dapat dikelola
secara efisien dan efektif. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya domestik
yang belum efisien dan efektif merupakan bias alokasi sumberdaya
pembangunan dari pemerintah pusat maupun provinsi yang sangat tidak
proporsional pada masa lalu, untuk membangun infrastruktur wilayah yang
dapat mendorong investasi sumberdaya manusia (human capital), modal usaha,
4
teknologi dan informasi untuk mengembangkan sumberdaya domestik
(resources endowment) yang ada menjadi produktif dalam skala ekonomik
(economic scale)
Sehubungan dengan itu Teori Resource endowment menyatakan bahwa
pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang
dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu,
dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan suatu
aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan (Perloff and Wingo,
1961). Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika
dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan.
Disamping kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan
yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang
dipaparkan di atas, kesenjangan tersebut juga terjadi karena pendekatan
perencanaan pembangunan daerah selama ini, juga lebih berbasis sektoral dan
administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan
pembangunan yang menekankan pada pembangunan sektoral, kurang
memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego
sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembagunan antar
sektor menjadi semakin melebar.
Menurut Rustiadi et al. (2004), salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan
pemerintahan (government failure) di masa lalu adalah kegagalan dalam
menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan
wilayah. Lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/ daerah sering
hanya menjadi berupa perpanjangan lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat
dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis
dengan lembaga yang dibutuhkan sektoral di tingkat daerah. Akibatnya lembaga
pemerintah daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di
wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat
sebagaimana mestinya. Sedangkan wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh
adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input
dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis.
1.2. Permasalahan.
Akibat krisis ekonomi 1997 (wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal
yang sama) pertumbuhan ekonominya lebih lambat pulih dari krisis moneter
1997 hampir selalu dibawah rata-rata proporsi. Hal ini memberikan kesadaran
5
bahwa dampak krisis yang meluas tidak luput dari kebijaksanaan pembangunan,
termasuk perencanaan wilayah yang tidak tepat masa lalu, sehingga saat krisis
merupakan saat untuk memikirkan kembali arah kebijaksanaan pembangunan
wilayah (Nurzaman, 2002). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor mencapai
tingkat minus 2,50% pada tahun 1998, namun mulai berangsur membaik pada
awal otonomi daerah seperti ditunjukkan pada Tabel 2
Tabel 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998 - 2003 Atas Dasar Harga Konstan (1993)
Tahun Kabupaten Alor Propinsi NTT Nasional 1998 -2,50 -2,73 -13,13 1999 -0,44 2,73 0,85 2000 4,44 4,17 4,84
2001 4,74 5,10 3,45
2002 5,49 5,96 3,69
2003 5,63 5,87 4,10 Sumber: BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003 dan PDB Nasional 2003).
Secara makro pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam 4 tahun terakhir
perberlakuan otonomi daerah atau setelah krisis, bahkan berada di atas rata-rata
nasional dan berada sedikit di bawah rata-rata Propinsi NTT. Akan tetapi timbul
pertanyaan: (1) apakah trend pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut
diikuti oleh semakin kuatnya keterkaitan antar sektor yang memperkokoh struktur
ekonomi wilayah yang lebih dinamik?; (2) apakah pertumbuhan ekonomi yang
cenderung meningkat tersebut masih tergantung pada sektor-setor tertentu yang
hanya memberikan nilai tambah ekonomi yang berkurang (diminishing)?. Hal ini
bisa diperlihatkan dengan perkembangan pangsa (share) masing-masing
sektor terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dalam kurun waktu lima tahun
terakhir seperti pada Tabel 3.
Dari Tabel 3, dapat disimak beberapa hal sebagai berikut: (1) sektor
pertanian pada satu sisi merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Alor, namun kontribusinya menurun dari 42,2% pada tahun
1998 menjadi 34,58% pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan telah terjadi
trasformasi struktur ekonomi dari sektor primer (sektor pertanian) ke sektor
modern (industri dan jasa). Walaupun demikian, sektor pertanian masih menjadi
sektor andalan di dalam penyerapan tenaga kerja 82,79%; (2) Pada sisi yang
lain, sektor industri yang diharapkan dapat menyerap surplus usaha dan tenaga
kerja sektor pertanian justru tidak memperlihatkan kinerja yang meningkat.
6
Tabel 3 Prosentase kontribusi Sektor terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan (1993)
No Sektor 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1 Pertanian 42.2 39.34 38.34 37.08 35.21 34.58
a.Tanaman bhn makanan 20.75 16.63 15.61 15.00 14.41 13.83 b.Perkebunan 5.25 6.47 6.45 6.21 5.90 6.16 c.Peternakan 9.27 8.94 8.33 7.96 7.58 7.41 d.Kehutanan 1.63 1.44 1.13 1.08 0.98 0.96 e.Perikanan 5.30 5.87 6.81 6.83 6.34 6.22
2 Pertambangan & penggalian 1.38 1.39 1.35 1.30 1.24 1.203 Industri Pengolahan 2.17 2.15 2.10 2.04 1.97 1.91 4 Listrik,Gas dan Air minum 0.61 0.61 0.59 0.57 0.55 0.55
a.Listrik 0.47 0.46 0.45 0.43 0.42 0.41 b.Air minum 0.15 0.15 0.14 0.14 0.13 0.13
5 Bangunan/Konstruksi 5.47 5.69 5.98 5.74 5.59 5.766 Perdagangan, rumah makan
dan hotel 12.81 14.47 13.45 13.01 12.7 12.7
a.Perdagangan besar & eceran 12.29 13.94 12.93 12.5 12.19 12.16 b.Restoran/rmh makan 0.48 0.50 0.50 0.48 0.48 0.51 c.Perhotelan 0.04 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03
7 Angkutan & Komunikasi 5.72 5.86 6.09 6.10 6.68 6.57
a.Angkutan 5.27 5.38 5.59 5.58 6.15 6.04 1.Jalan raya 4.36 4.49 4.46 4.39 4.78 4.66 2.Penyeberangan 0.11 0.13 0.15 0.17 0.24 0.28 3.Laut 0.39 0.48 0.67 0.73 0.84 0.83 4.Udara 0.04 0.03 0.04 0.04 0.04 0.03 5.Jasa penunjang 0.37 0.24 0.26 0.25 0.25 0.24 b.Komunikasi 0.45 0.48 0.51 0.51 0.53 0.53
8 Keuangan,Persewaan & Jasa Perusahaan
4.67 4.6 4.52 4.41 4.22 4.12
a.Bank 1.48 1.31 1.32 1.30 1.23 1.20 b.Nir Bank 1.31 1.37 1.34 1.32 1.28 1.24 c.Sewa Bangunan 1.77 1.80 1.74 1.68 1.61 1.58 d.Jasa perusahaan 0.11 0.12 0.12 0.11 0.11 0.11
9 Jasa-jasa 24.97 25.89 27.57 29.76 31.85 32.6
a.Pemerintahan umum 22.98 23.84 25.59 27.86 30.06 30.83 b.Swasta 1.99 2.05 1.98 1.90 1.79 1.76 1.Sosial kemasyarakatan 1.44 1.47 1.42 1.36 1.29 1.27 2.Hiburan dan rekreasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.Perorangan & rumahtangga 0.55 0.59 0.56 0.54 0.51 0.49
Total PDRB 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003). Pertumbuhan sektor industri cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan
dari 2,17% pada tahun 1998 menjadi 1,91% pada tahun 2003; dan hanya
mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,47% pada tahun 2003; (3) Hal yang
sama terjadi pada sektor perdagangan. Sebagai salah satu sektor modern,
sektor perdagangan juga mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pertumbuhan
sektor perdagangan pada tahun 1998 mencapai 12,81%, kemudian meningkat
naik 14,7% menurun lagi menjadi 12,7% pada tahun 2003, dan hanya mampu
menyerap tenaga kerja 3,58 persen; (4) Sektor jasa-jasa mengalami tingkat
pertumbuhan yang cukup signifikan dari 24,97% meningkat menjadi 32,6% pada
tahun 2003 dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 10,07%. Akan tetapi
7
prosentase terbesar terdapat pada jasa pemerintahan umum, sehingga perlu
dikritisi apakah surplus tenaga kerja di sektor pertanian terserap di sektor jasa
pemerintahan umum? (5) Pergeseran sektor pertanian dengan pertumbuhan
industri yang stagnan apakah dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
dinamik?
Lima hal yang dikritisi dari tabel tersebut di atas merupakan hal yang
menarik untuk dikaji apakah ada kaitan dengan keterkaitan antar sektor yang
masif atau lemah?, sementara Teori dualisme Lewis menegaskan bahwa
struktur ekonomi yang lebih didominasi hanya oleh satu sektor, perkembangan
wilayah tersebut akan menjadi stagnan. Teori dualisme Lewis tersebut,
mengisyaratkan agar resources endowment wilayah dapat diproduksi kembali
dalam wilayah menjadi barang dan jasa, sehingga dapat menyerap surplus
tenaga kerja subsisten dari sektor pertanian ke sektor industri yang memberikan
nilai tambah domestik yang lebih efisien dan indikasi terjadinya kebocoran
wilayah yang melebar dapat ditekan. Bagaimana dapat memenuhi isyarat teori
Lewis, maka pengenalan akan resources endowment suatu wilayah yang
memiliki kekuatan utama dalam penyediaan bahan baku industri domestik,
merupakan tekanan utama untuk dikaji, karena suatu industri domestik akan
berkembang jika didukung oleh bahan baku industri domestik yang cukup
tersedia secara kontinyu. Di lain sisi pengetahuan akan resources endowment
wilayah, diharapkan dapat menekan inefisiensi dalam alokasi sumber daya
antar pembangunan wilayah.
Secara spasial, perkembangan sektor-sektor ekonomi yang memberikan
nilai tambah yang cenderung menurun (diminishing) dan pergeseran sektor
pertanian yang semakin menurun tanpa diikuti pergeseran tenaga kerja yang
signifikan ke sektor modern seperti yang dikritisi di atas, apakah terkait dengan
pembangunan struktur wilayah yang belum memberikan rangsangan yang
berarti bagi introduksi investasi sektor modern ( industri dan jasa ) pada wilayah-
wilayah pengembangan yang di arahkan dalam Struktur Tata Ruang Wilayah
Kabupaten, adalah hal menarik yang perlu dikaji dalam kaitan dengan
kesenjangan pembangunan antar wilayah pembagunan.
Sehubungan dengan itu Pemerintah Kabupaten Alor secara de facto telah
menyusun Rencana Tata Ruang wilayah pada Tahun 1991, dan secara dejoure
di tetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor: 7 Tahun 1999
Tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Daerah
8
Tingkat II Alor. RUTRD tersebut membagi wilayah Kabupaten menjadi tiga
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), yakni SWP A, SWP B dan SWP C.
Setiap SWP ditetapkan beberapa hirarki/pusat aktivitas ekonomi dan sosial yang
terdiri atas Kota Ordo I (kota ordo utama) yang berpusat di Ibu kota Kabupaten
dan Kota Orde II yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan ibu kota
desa yang dapat dikembangkan sebagai wilayah kerja pelabuhan serta kota
Orde III dan IV yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan beberapa
ibu kota desa, seperti pada Gambar 1 dan 2.
RUTRD tersebut, diharapkan menjadi pedoman umum bagi semua
stakeholders dalam berbagai aktivitas pembangunan wilayah, akan tetapi
bagaimana implementasi yang konsisten dan simetrik sesuai dengan hakekat
RUTRD yang sebenarnya, sering menjadi dilema dalam kesenjangan
pembangunan wilayah. Apalagi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
disusun akhirnya mengalami stagnasi dan mengalami situasi Masterplan
syndrome, dari pada sebagai arahan kebijakan pembangunan wilayah (Rustiadi
et al. 2003 ) karena terkait dengan kebijaksanaan pembangunan yang sentralis
tik yang sangat syarat dengan ego kepentingan, dan sektoral, kemungkinan
besar untuk melakukan investasi sumberdaya pembangunan secara terpadu dan
terkait sesuai hakekat RUTRW untuk menciptakan keseimbangan pembangunan
wilayah menjadi masif atau tidak konsisten.
Pada kenyataannya wilayah-wilayah pengembangan di Kabupaten Alor
yang potensial sebagai sentra-sentra produksi yang seharusnya mendapat
prioritas pembangunan, karena dapat menciptakan multiplier effect bagi
pembangunan wilayah secara utuh selalu saja menjadi bagian kegiatan yang
kurang prioritas, sehingga wilayah–wilayah tersebut masih dililit ketertutupan dari
aksesibilitas jaringan transportasi dan informasi yang mendorong daya tarik
investasi sumberdaya produksi dan pemasaran. Pembangunan hirarki pusat-
pusat aktivitas sosial ekonomi yang mendorong kegiatan interaksi spasial dari
kota hirarki utama ke kota-kota hirarki II, III dan IV yang ditunjukkan dengan
jumlah dan kualitas infrastruktur wilayah, nampaknya belum menunjukkan
interaksi spasial yang memberikan efek sebar bagi wilayah-wilayah hinterland.
Sebagai contoh, transportasi jalan yang berkualifikasi baik hanya 32,34% dari
ruas panjang jalan (1 422,33 km).
9
Kondisi infrastruktur wilayah yang belum memadai tersebut, apakah ada
hubungannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Alor yang
masih memprihatinkan ?. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator
SEL
TPA
NTA
KEC. ALOR
KEC. ALORTENGAH UTARA
K EC . A LO RT I M U R
BA RAT LA UT
BARAT DAYA
KEC . TELUKM UTIA RAKEC . ALO R
TIMUR LAUTKEC. ALOR
Tg. Delaki
Tg. Margeta
Teluk
Blan
gmerang
Teluk Benlel
ang
Maritaing
Bukapiting
Moru
Mebung
Kokar
Kalabahi
KEC . ALO RSELATAN
R
A
KEC. PANTAR BARAT
P.PANTARBaranusa
Kabir BakalangKEC. PANTAR
0 6.7 13.4
P E T A SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP)
K A B U P A T E N A L O R
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR
“ B A P P E D A “BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) 21378
RENCANA TATA RUANG WILAYAHKABUPATEN ALOR
Ib u ko ta Ka b u p a te nIb u ko ta Ke ca m a ta nBa ta s Ka b u p a te nBa ta s Ke ca m a ta n
Ja la n Asp a lJa la n Ba tuSu n g a i
Ba ta s W P
20.1 26.8 Km
P. A L O RApui
Hirarki I
Hirarki II
Hirarki IIIHirarki IV
B T
U
S
Gambar 1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1991.
SEL
TPA
NTA
KEC. ALOR
KEC. ALORTENGAH UTARA
K EC . A LO RT I M U R
BA RAT LA UT
BARAT DAYA
KEC . TELUKM UTIA RAKEC . ALO R
TIMUR LAUTKEC. ALOR
Tg. Delaki
Tg. Margeta
Teluk
Blan
gmer
ang
Teluk Benlel
ang
Maritaing
Bukapiting
Moru
Mebung
Kokar
Kalabahi
KEC . ALO RSELATAN
R
A
KEC. PANTAR BARAT
P.PANTARBaranusa
Kabir BakalangKEC. PANTAR
0 6.7 13.4
P E T A SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP)
K A B U P A T E N A L O R
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR
“ B A P P E D A “BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) 21378
RENCANA TATA RUANG WILAYAHKABUPATEN ALOR
Ib u ko ta Ka b u p a te nIb u ko ta Ke ca m a ta nBa ta s Ka b u p a te nBa ta s Ke ca m a ta n
Ja la n Asp a lJa la n Ba tuSu n g a i
Ba ta s W P
20.1 26.8 Km
P. A L O RApui
Hirarki I
Hirarki II
Hirarki III
Hirarki IV
B T
U
S
Gambar 2 Peta kota hirarki antar satuan wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 1991.
10
kesejahteraan masyarakat antara lain berdasarkan Data Susenas Tahun 2003
bahwa prosentase kemiskinan penduduk Kabupaten Alor berdasarkan indikator
keluarga sejahtera (prasejahtera + sejahtera 1) mencapai 71,52 %; sedangkan
indikator kemiskinan berdasarkan daya beli masyarakat (rata-rata pengeluaran
rumahtangga penduduk), yang kurang dari Rp 500.000 per bulan mencapai
99,79% dan angka pengangguran terbuka mencapai 4,59% (BPS, 2003).
Selain tingkat pendapatan rendah yang ditunjukkan oleh daya beli
masyarakat tersebut di atas, maka secara relatif dapat pula diperlihatkan dari
Data realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah
satu representase penerimaan pendapatan daerah dari berbagai lapangan
usaha. Perkembangan realisasi penerimaan PBB pada kurun waktu Tahun
1999 – 2003 dapat diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Data realisasi penerimaan PBB di Kabupaten Alor Tahun 1998-2003.
No
Tahun
Jumlah Wajib Pajak
(RT)
Target Penerimaan
(Rp)
Realisasi Penerimaan
(Rp)
Prosentase
(%)
1 1998 50207 318451149 17474249 5.49
2 1999 50207 318451149 196846046 61.81
3 2000 50147 376192722 209113318 55.59
4 2001 54852 465941157 307024401 65.89
5 2002 54852 465941157 323152418 69.35
6 2003 61106 438883452 415201586 94.60 Sumber : Dispenda Kabupaten Alor, 2004 (Laporan Bulanan Penerimaan PBB Tahun 1998-2003).
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa prosentase realisasi penerimaan
PBB menurun tajam pada Tahun 1998 (masa krisis), kemudian mulai meningkat
di atas 60 persen antara Tahun 1999-2002, walaupun mengalami fluktuasi pada
Tahun 2000 (55,59 %), setelah itu mengalami pergeseran yang cukup
signifikan, yakni mencapai 94,60 persen pada Tahun 2003, namun masih di
bawah realisasi 100 persen.
Dampak lain dari buruknya Infrastruktur wilayah yang terkait dengan
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat adalah kondisi pendidikan dan
kesehatan yang disinyalir buruk. Kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk
berimplikasi pada indeks pembangunan manusia (IPM) Alor yang rendah dan
Indeks kemiskinan Manusia (IKM) Alor yang tinggi. Secara emperik, dapat dilihat
pada Laporan BPS–BAPPENAS dan UNDP Tahun 2004,seperti tertera pada
Tabel 5.
11
Tabel 5 Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM ) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002
Nomor Wilyah IPM IKM 1999 2002 1999 2002
1 Kabupaten Alor 55.3 57.1 26.7 28.4 2 Provinsi NTT 60.4 60.3 29.5 28.9 3 Indonesia 64.3 65.8 25.5 22.7
Sumber : Laporan Pembangunan Manusia (HDR. 2004).
Mencermati data pada Tabel 5, memperlihatkan IPM Alor, sedikit membaik
pada Tahun 2002 bila dibanding Tahun 1999, tetapi masih jauh lebih rendah
bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia.
Sedangkan IKM Alor, nampak memburuk pada tahun 2002 bila dibanding
Tahun 1999. Demikian pula bila dibandingkan dengan Tingkat Nasional, IKM
Alor nampak lebih buruk , tapi sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat
Provinsi.
Berdasarkan kondisi umum kesenjangan pembangunan tersebut di atas,
dapat diperlihatkan dengan data kesenjangan antar wilayah pembangunan
berdasarkan beberapa indikator pembangunan wilayah seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel 6. Tabel 6, menunjukkan bahwa (1) Dari aspek ekonomi,
memperlihatkan bahwa limpahan sumber daya domestik wilayah (resources
endowment) terbesar berada di wilayah pengembangan C, tetapi pengelolaan
dan pemanfaatan masih jauh dari optimal; bila dibanding dengan wilayah
Pengembangan A dan B; (2) Infrastruktur jalan sebagai sarana aksesibilitas
dalam proses produksi dan pemasaran sumber daya domestik terutama pada
wilayah pengembangan C, jauh lebih rendah bila dibanding dengan wilayah
pengembangan A dan B dan lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan
B; (3) Dari aspek Kesehatan, antara lain penyebaran Puskesmas /Pustu pada
ketiga wilayah pengembangan rata-rata berada di atas proporsi 1/1000
penduduk, tetapi tidak diimbangi dengan tenaga medis dan para medis secara
proporsional; (4) Dari aspek pendidikan, memperlihatkan bahwa rasio murid
terhadap ruang kelas dan guru hampir proporsional antar wilayah
pengembangan, tetapi dari status pendidikan guru pada wilayah pengembangan
C terlihat lebih rendah dari wilayah pengembangan A dan B, bahkan status
pendidikan guru Diploma/S1 lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan
B. Begitu pula murid putus Sekolah Dasar, wilayah pengembangan C lebih tinggi
dibanding wilayah pengembangan A dan B (5) Tingkat kemiskinan berdasarkan
indikator Keluarga prasejahtera pada wilayah pengembangan C lebih tinggi,
12
setelah itu diikuti wilayah pengembangan A dan B; (6) Apakah kesenjangan
yang ditunjukkan dalam Tabel 6 tersebut, terkait dengan lemahnya interaksi dan
keterkaitan atau keterpaduan antar wilayah pembangunan ?
Tabel 6 Beberapa Indikator Pembangunan pada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003.
No Potensi dan indikator pembangunan
Proporsi Satuan wilayah pengembangan (SWP) (%) Kabupaten
Alor SWP A SWP B SWP C 1 Proporsi luas wilayah 26.34 34.16 39.50 286 464 000 Ha 2 Proporsi jumlah peduduk 22.27 61.38 16.35 168 965 Jiwa 3 Kepadatan penduduk 50 106 59 58.98 org/km^2 4 Sumberdaya Alam 4.1 Lahan basah (sawah) A.Potensi 0.00 8.56 91.44 3 354.50 Ha B.Luas panen 0.00 25.14 74.86 183 Ha 4.2 Lahan kering A.Potensi 31.39 32.79 35.82 136237.88 Ha B.Luas panen 39.91 42.88 17.21 17892.60 Ha 4.3 Perkebunan A.Potensi 31.27 31.19 37.54 116892.88 Ha B.Luas produksi 38.26 37.47 24.27 24600.46 Ha 4.4 Kehutanan A.Lindung 26.74 18.60 54.66 5 910.62 Ha B.Produksi 61.94 8.39 29.68 28 147.09 Ha C.Konversi 0.00 32.31 67.69 20 657.86 Ha D.Cagar alam 29.71 0.00 70.29 8 751.05 Ha 4.5 Padang rumput 26.55 5.76 67.70 13 561.50 Ha 4.6 Produksi perikanan 48.97 44.82 6.22 1 764.90 Ton 5 Infrastruktur Jalan A.Aspal 31.85 50.00 18.15 463.18 KM B.Telfort 35.62 58.98 5.39 92.72 KM C.Tanah 14.59 42.51 42.90 882.10 KM 6 Kesehatan
A Jumlah Rumah sakit/
Puskesmas/Pustu 22.03 45.76 32.20 59 unit B.Jumlah tenaga medis/paramedis 20.94 52.99 26.07 234 orang
C.Rasio jumlah penduduk terhadap
rumah sakit/puskesmas/ pustu 2895 3841 1454 2864 orang
D.Rasio jumlah penduduk terhadap
tenaga medis/paramedis 768 836 453 722 orang 7 Pendidikan Dasar (SD) A.Jumlah ruang kelas 22.99 53.66 23.35 1379 unit B.Rasio murid-ruang kelas 25.24 24.32 16.14 21.90 % C.Rasio murid-guru 21.8 17.09 16.25 17.91 % D.Proporsi murid putus SD 0.34 1.04 2.98 0.01 % E.Proporsi guru SD menurut
Tingkat Pendidikan 1).SMTA Kejuruan 22.00 56.99 21.01 1 209 orang 2).DIPLOMA/S1 17.65 70.77 11.59 561 orang 8 Proporsi keluarga miskin 76,55 66,66 81.33 71.52 %
Sumber: Diolah dari Data BPS 2003; ( Alor Dalam Angka dan Kecamatan Dalam Angka 2003) dan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003 (Laporan Tahunan).
Tentu saja kesenjangan pembangunan tersebut di atas tidak terlepas dari
bias kebijakan pembangunan nasional masa lalu sebagai wilayah marjinal
dengan alokasi sumberdaya yang jauh di bawah proporsional sehingga untuk
membangun suatu struktur wilayah yang spesifik dan strategis seperti uraian di
13
atas secara berimbang dan cepat adalah sesuatu yang mustahil (impossible).
Namun yang lebih penting adalah apabila alokasi sumberdaya yang terbatas itu
direncanakan dan diimplementasikan dalam suatu pemahaman bersama, secara
terpadu dan terintegrasi yang berorientasi pada skala prioritas dalam kerangka
pengembangan wilayah, maka kesenjangan pembangunan antar sektor dan
antar wilayah seharusnya tidak terlalu melebar.
Pelaksanaan otonomi daerah akan lebih efektif jika didukung dengan
informasi mengenai kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah
pembangunan yang konsisten sebagai arah berpijak bagi proses pembangunan
yang berimbang. Proses pembangunan yang berimbang tidak selalu berarti
bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau
mempunyai tingkat industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi
yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi
yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari
potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan
demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara
semua wilayah yang terlibat (Murty , 2000 ).
Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab dan seberapa besar kesenjangan
pembangunan antar wilayah pembangunan, diperlukan suatu kajian sistematis
dengan penggunaan alat analisis ekonomi wilayah yang lebih memperjelas
adanya kesenjangan wilayah, sehingga menjadi acuan transformasi kebijakan
perencanaan pembangunan wilayah ke depan. Hal inilah yang mendorong
sebagai langkah awal untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “ Analisis
Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor “
1.3. Perumusan Masalah Dari deskripsi latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas,
maka di berikan batasan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Seberapa besar tingkat kesenjangan Pembangunan antar wilayah
Pembangunan, yang berdampak terhadap pendapatan per kapita dan
kesejahteraan masyarakat, yang ditinjau dari aspek :
(1) Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
(2) Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar
Satuan Wilayah Pengembangan
14
(3) Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan
Wilayah Pengembangan
(4) Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan.
2. Seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan Wilayah
Pengembanga yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan
masyarakat.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis seberapa besar kesenjangan Pembangunan antar wilayah
pembangunan, yang berdampak pada pendapatan per kapita dan
kesejahteraan masyarakat; yang ditinjau dari aspek :
(1) Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
(2) Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar
Satuan Wilayah Pengembangan.
(3) Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan
Wilayah Pengembangan.
(4) Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan.
2. Menganalisis seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan
wilayah Pengembangan yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan
pendapatan masyarakat
1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah
Kabupaten Alor dalam rangka perumusan kebijaksanaan perencanaan
pembangunan wilayah kedepan, terutama dalam merumuskan kebijaksanaan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan wilayah yang
berorientasi pada skala prioritas serta keterpaduan dan keterkaitan antar sektor
dan antar wilayah pembangunan yang konsisten dan simetris.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Deskripsi Menurut Chaniago et al. (2000), bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai
suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau
ketidaksemetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan sektor dan
wilayah, maka kesenjangan pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi
ketidakberimbangan/ketidaksemetrisan pembangunan antar sektor dan antar
wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah
lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Dimana
kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tersebut sangat tergantung pada
perkembangan struktur ekonomi (perkembangan sektor-sektor ekonomi) dan
struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi
seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi
(darat, laut dan udara), telekominikasi, air besih, penerangan) serta keterkaitan
dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan ketrampilan) serta
penguatan kelembagaan.
Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan
definisi yang bermacam-macam. Namun secara umum ada suatu kesepakatan
bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga
secara sederhana pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan
perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Sedangkan
Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan
yang terencana (terorganisasikan) kearah tersedianya alternatif-alternatif /pilihan-
pilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi
sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut
Siagian (1994) yang diacu Riyadi dan Bratakusumah (2003), Pembangunan
sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan
bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan
sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk
terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan
sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Definisi ini memberikan
suatu pemahaman bahwa pembangunan tidak dapat dipisahkan dari
pertumbuhan, dalam arti pembangunan dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya
16
pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan atau
perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang
dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Sedangkan Wiranto (1997)
mendefinisikan pembangunan dalam konsep pembangunan yang bertumpuh
pada masyarakat adalah untuk mengembangkan kehidupan suatu masyarakat
dan harus dapat dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Selain itu Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu
rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan
global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya
nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja
daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan
masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara
merata dan berkeadilan.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak akan bisa lepas dari
perencanaan maka perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu
proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang
didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan
untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan,
baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spritual), dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003).
Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur
wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan akan dilaksanakan, sehingga
Riyadi dan Bratakusumah (2003) mendefinisikan perencanaan pembangunan
wilayah/daerah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang
dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang
lebih baik, bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungan dalam
wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai
sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh,
lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Sedangkan Hadi (2001)
mengartikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau
tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang
17
melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain,
termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi.
Selanjutnya Istilah “wilayah“ atau “daerah” sering di pertukarkan
penggunaannya dalam beberapa Literatur, namun berbeda dalam cakupan
ruang, dimana ‘wilayah’ digunakan untuk pengertian ruang secara umum,
sedangkan istilah ‘daerah’ digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas
administrasi pemerintahan (Tarigan 2004). Tarigan mendefinisikan wilayah
sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu
tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat
didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan
jurisdiksi administratif.
Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang mendefinisikan wilayah
sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud
sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik dan perdesaan.Tapi suatu
wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area,
melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, polotik, sosial administrasi, iklim
hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang,
Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan atau aspek fungsional. Kemudian menurut Rustiadi et al.
(2003), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas
spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen di dalamnya (sub wilayah) satu
sama lain saling berinteraksi secara fungsional (memiliki keterkaitan dan
hubungan fungsional). Dari definisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada batasan
spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat ”meaningful”
untuk perencanaan, pelaksanaan, monotoring dan evaluasi.
Sedangkan pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas
bagian (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3)
wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka
konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah
yang telah dikenal selama ini, dimana dalam pendekatan klasifikasi konsep
wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari
konsep wilayah sistem, sedangkan dalam kelompok konsep wilayah
18
perencanaan, terdapat wilayah administratif - politis dan wilayah perencanaan
fungsional (Rustiadi et al. 2003).
Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen).
Secara umum terdapat dua penyebab homogenitas wilayah yakni (1)
homogenitas alamiah (kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor alam
lainnya); dan (2) homogenitas artifisial, penyebab homogenitas yang bukan
berasal dari faktor alam (fisik) tetapi faktor sosial, misalnya wilayah kemiskinan
karena faktor penciri yang menonjol pada wilayah tersebut adalah kemiskinan.
Pemahaman terhadap wilayah homogen ini penting karena bermanfaat dalam
proses perencanaan dan kebijakan yang akan dibuat, karena pembangunan
suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan
yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan suatu wilayah terutama
keunggulan potensi sumberdaya alam dan iklim yang memiliki ”comparative
adventage”.
Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh sumberdaya
alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep
wilayah homogen sangat bermanfaat dalam (1) menentukan sektor basis
perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada
(comparative advantage); (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai
dengan permasalahan masing-masing wilayah. Sehingga wilayah homogen
biasanya berhubungan dengan program perwilayahan komoditas karena
beberapa alasan mendasar diantaranya: (1) budidaya bermacam-macam
komoditas dalam satuan wilayah yang kecil tidak efisien; (2) upaya untuk
menurunkan biaya pendistribusian input dan pendistribusian output; dan (3)
untuk memudahkan manajemen. Sedangkan wilayah fungsional atau wilayah
sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu
dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi (Hoover
1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas
yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki
keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak
terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa
struktur-komponen-komponen yang membentuk wilayah fungsional dapat dipilah
atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis).
19
Sistem dikotomis adalah sistem yang bertumpuh atas ketergantungan atau
keterkaitan antara dua komponen wilayah, dimana bentuk wilayah tersebut
mencakup wilayah nodal, wilayah (kawasan) perkotaan dan perdesaan,
kawasan budidaya dan non budidaya. Sedangkan sistem kompleks menunjukkan
suatu deskripsi wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya
(komponen-komponen) didalamnya bersifat kompleks baik jumlah, jenis serta
keragaman bentuk hubungan yang banyak. Bentuk wilayah sistem kompleks
tersebut mencakup sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial dan sistem
ekonomi.
Menurut Hoover (1985) bahwa bentuk wilayah nodal didasarkan pada
hirarki suatu hubungan perdagangan. Struktur pusat wilayah diasumsikan
menyerupai kehidupan sel atau atom yang dikelilingi oleh plasma (nucleus).
Dimana inti (simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman
sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland), yang mempunyai sifat-
sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Lebih
lanjut diutarakan bahwa Inti (pusat) wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat
terkonsentrasinya penduduk (permukiman); (2) sebagai pusat pelayanan
terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian
maupun industri; dan (4) sebagai lokasi pemusatan industri manufaktur
(manufactory) yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor
produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland
berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau
bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting
(menglaju); (3) sebagai daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur;
dan (4) penjaga keseimbangan ekologis.
Kemudian Konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya
dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi
tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi.
artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan
kebijaksanaan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya,
misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan.
Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembagunan wilayah/daerah seperti
di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang
secara spasial di tetapkan atau diarahkan untuk perencanaan pembangunan wilayah
20
yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain,
termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Dimana wilayah
pembangunan tersebut bisa mencakup kawasan perkotaan, kawasan perdesaan,
kawasan pengembangan ekonomi, kawasan budidaya, dan lain sebagainya.
Lebih spesifik wilayah pembangunan yang dimaksudkan dalam konteks
penelitian ini adalah satuan wilayah pengembangan (SWP) dengan Hirarki/pusat
aktivitasnya, yang diarahkan dalam Struktur Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan salah satu
wujud Perecanaan Tata Ruang yang diatur dalam pasal 22 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang
wilayah Kabupaten /kota yang berisikan: (1) tujuan pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan; (2) rencana struktur ruang dan pola pemanfaatan wilayah kabupaten;
(3) pengelolaan kawasan lindung dan budidaya; (4) pengelolaan kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan budidaya dan kawasan tertentu; (5)
rencana pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan system permukiman
pedesaan dan perkotaan; (6) rencana pengembangan system prasarana
transportasi, telekominikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan
lingkungan; penata gunaan tanah, penata gunaan air, penata gunaan udara dan
penataan sumberdaya alam lainnya serta memperhatikan keterpaduan dengan
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; (7) pedoman pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan (8) penetapan dan pengelolaan
kawasan prioritas kabupaten.
Selanjutnya RTRW Kabupaten yang disusun, dimaksudkan untuk menjadi
pedoman bagi: (1) perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten; (2) program-program pembangunan daerah kabupaten; (3)
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar
wilayah didalam wilayah kabupaten serta keserasian antar sektor; (4) penetapan
lokasi investasi di wilayah kabupaten; (5) penyusunan rencana rinci tata ruang di
kabupaten; dan (6) pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan
ruang.
21
Sehubungan dengan definisi kesenjangan pembangunan di atas, maka perlu
kelengkapan kerangka teori yang dapat menginspirasi kerangka pemikiran dasar
perlunya penelitian ini antara lain:
2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial. Keterkaitan antar sektor dan antar spasial, sebenarnya bertujuan untuk
mencapai suatu perubahan struktur ekonomi dan struktur wilayah yang dapat
bertumbuh secara berimbang. Ada keseimbangan keterkaitan antar sektor untuk
memberikan kontribusi bagi struktur ekonomi wilayah. Perubahan struktur
ekonomi wilayah yang diharapkan dari dampak keterkaitan adalah pergeseran
surplus produksi dan tenaga kerja subsisten dari sektor primer (pertanian,
pertambangan) ke sektor sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan sektor
tersier (transportasi dan komunikasi, perdagangan, pemerintah dan jasa lainnya)
Fisher (1935) sebagai orang pertama yang memperkenalkan kegiatan
usaha primer, sekunder dan tersier menilai bahwa negara perlu diklasifikasikan
berdasarkan proporsi tenaga kerja yang ada di tiap sektor. Kemudian Clark
(1951) juga mendukung pandangan Fisher dengan kumpulan analisis data
untuk mengukur dan membandingkan karakteristik ekonomi sektoral pada
tingkat pendapatan per kapita yang berbeda. Menurut Clark (1951) bahwa pada saat ekonomi negara tinggi, proporsi
tenaga kerja yang terkait dengan sektor primer menurun; proporsi tenaga kerja
pada sektor sekunder meningkat mencapai tingkat tertentu; proporsi tenaga
kerja pada sektor tersier meningkat setelah sektor primer dan sekunder telah
mencapai keseimbangan. Perubahan proporsi tenaga kerja di setiap sektor
menunjukkan bahwa pergerakan tenaga kerja akan terjadi dari sektor primer
menuju sektor sekunder dan tersier karena adanya perbedaan produktivitas
tenaga kerja dan kemajuan teknologi di setiap kegiatan.
Teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Lewis yang diacu Rustiadi
et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami
stagnasi bila hanya satu sektor saja di kembangkan. Misalkan perkembangan
sektor pertanian yang tanpa diikuti oleh perkembangan sektor industri akan
memperburuk tawar-menawar (term of trade) sektor pertanian tersebut akibat
kelebihan produksi atau tenaga kerja, akhirnya pendapatan disektor pertanian
menjadi anjlok (depresif) dan rangsangan penanaman modal dan pembaharuan
menjadi tidak terangsang.
22
Demikian juga pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang
mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan itu
sendiri. Adanya sektor industri yang mampu menampung surplus produksi
pertanian akan meningkatkan pendapatan sektor pertanian. Demikian juga bila
terjadi surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang dapat ditampung di sektor
industri akan menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian.
Tingkat pendapatan yang tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barang-
barang non pertanian. Demikian juga perkembangan sektor pertanian dan
industri pengolahan tanpa diikuti sektor ekonomi lain seperti sektor Perbankan,
swasta serta sektor infrastruktur dalam menopang kegiatan pertanian dan
industri pengolahan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi
stagnan. Misalnya pembangunan sektor infrastruktur yang tidak memadai dalam
mendukung sektor pertanian dan industri maka pergerakan ekonomi wilayah
menjadi tidak efisien.
Laporan Bappenas (2002), mengisyaratkan bahwa Sektor infrastruktur
dituntut untuk makin mampu berperan mendukung pergerakan orang, barang
dan jasa nasional demi mendukung timbulnya perekonomian nasional dan
pengembangan wilayah dan sekaligus mempersempit kesenjangan
pembangunan antar daerah. Infrastruktur dituntut untuk memiliki korelasi yang
tinggi dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, kesesuaian tata ruang, dan
kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur harus menjadi salah
satu alternatif bagi pemulihan pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 untuk
dapat menyerap banyak tenaga kerja, membangkitkan sektor riil, dan memicu
produksi dan konsumsi masyarakat serta dapat mengurangi kesenjangan antar
daerah dan mengurangi kemiskinan.
Sehubungan dengan itu Sipayung (2000) menyatakan bahwa sektor
pertanian dan non petanian merupakan suatu sistem dalam perekonomian oleh
karena itu sektor pertanian dengan sektor non pertanian memiliki keterkaitan
ekonomi yang saling mempengaruhi kinerja kedua sektor.
Rangrajan (1982) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) mekanisme
keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian dan non petanian sebagai berikut
:Pertama, sektor pertanian dan non pertanian menghasilkan bahan baku bagi
sektor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non
pangan merupakan input utama dari sektor non petanian seperti industri
pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran. Ke dua, sektor non
23
pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor pertanian. Pupuk,
pestisida, mesin peralatan pertanian dan berbagai jenis jasa merupakan hasil
sektor non pertanian yang menjadi input sektor pertanian. Ke tiga, sektor
pertanian (rumahtangga pertanian) merupakan pasar bagi output akhir sektor
non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenis
jasa-jasa merupakan hasil sektor non pertanian di konsumsi oleh rumahtangga
pertanian. Ke empat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan investasi
publik. Peningkatan output sektor akan secara langsung meningkatkan
penerimaan pajak tak langsung pemerintah yang selanjutnya digunakan untuk
membiayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan
permintaan barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima,
keterkaitan melalui prilaku investasi swasta. Harga komoditas pertanian yang
relatif rendah dan stabil, akan merangsang investasi swasta pada sektor non
pertanian. Hal ini disebabkan karena naik turunnya harga komoditas pertanian
baik melalui kenaikan atau penurunan biaya bahan baku maupun upah tenaga
kerja. Dengan keterkaitan demikian, pertumbuhan sektor pertanian dengan
pertumbuhan sektor non pertanian secara teoritis akan saling mendukung
pertumbuhan ekonomi secara agregat.
Namun demikian berbagai hasil studi emperis menggambakan bahwa
keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian menunjukkan
keterkaitan yang lemah dimana antara pertumbuhan sektor pertanian dengan
sektor non pertanian cenderung menurunkan peranan sektor pertanian dalam
pembentukan PDB. Namun belum menunjukkan faktor-faktor apa yang dapat
menyebabkan lemahnya keterkaitan tersebut.
Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang bertumbuh
disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu penurunan harga relatif komoditas
pertanian terhadap harga produk non pertanian, perbedaan laju perubahan
teknologi dan perubahan relatif faktor produksi (Martin and Warr, 1993).
Budiharsono (1996) mengemukakan bahwa terjadinya penyimpangan pola
normal transformasi struktur produksi antar daerah terutama disebabkan karena
relatif kecilnya keterkaitan antar sektor pertanian dan dengan sektor industri.
Dari hasil analisis dengan menggunakan model input-output ternyata keterkaitan
sektor pertanian dengan sektor industri relatif kecil. Sedangkan salah satu
ukuran kemajuan suatu daerah adalah adanya keseimbangan antar sektor
pertanian dan industri (Todaro, 1978).
24
2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah. a. Urgensi keberimbangan pembangunan wilayah.
Menurut Rustiadi et al. (2003 ) bahwa setiap pemerintah baik di negara
berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed
countries) selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar
wilayah dan mengurangi kesenjangan karena beberapa alasan, antara lain: (1) Untuk
mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) Untuk
mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) Untuk mengoptimalkan pengembangan
kapasitas dan mengkonservasi sumber daya; (4) Untuk meningkatkan lapangan kerja;(5)
Untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) Untuk mendorong desentralisasi; (7)
Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif; (8) Untuk
meningkatkan Ketahanan Nasional.
Menurut Hill (1996) yang diacu Hadi (2001), isu pemerataan pembangunan wilayah
sangat penting dengan beberapa alasan pokok: (1) terdapat ketimpangan antar wilayah
dalam berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, potensi
sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia; (2) alasan politis dalam bentuk
permasalahan etnis yang mendiami wilayah yang tersebar, dimana isu ketidakmerataan
distribusi sumberdaya alam daerah yang harus diserahkan seluruhnya kepada pusat dan
bukannya kepada daerah penghasil itu sendiri; dan (3) permasalahan dinamika spasial
yang terjadi di daerah-daerah, yaitu sebagai suatu warisan historis dengan adanya
ketidakseimbangan yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa.
b. Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah. Menurut Tamenggung (1997) bahwa Teori ketidakseimbangan pertumbuhan
wilayah muncul terutama sebagai reaksi terhadap konsep kestabilan dan
keseimbangan pertumbuhan dari teori Neoklasik. Tesis utama dari teori ini adalah
bahwa kekuatan pasar sendiri tidak dapat menghilangkan perbedaan-
perbedaan antar wilayah dalam suatu negara; bahkan sebaliknya kekuatan-
kekuatan ini cenderung akan menciptakan dan bahkan memperburuk
perbedaan-perbedaan itu.
Dalam kritiknya terhadap teori keseimbangan pertumbuhan, Myrdal
(1975) berpendapat bahwa perubahan-perubahan dalam suatu sistem sosial
tidak diikuti oleh penggantian perubahan-perubahan pada arah yang
berlawanan. Beranjak dari pendapat ini, ia mengembangkan teori penyebab
kumulatif dan berputarnya proses sosial untuk menjelaskan ketimpangan
internasional dan antar wilayah. Menurut Myrdal, terdapat dua kekuatan yang
25
bekerja dalam proses pertumbuhan ekonomi, efek balik negatif (backwash effect)
dan efek penyebaran (spread effect). Kedua kekuatan itu digunakan untuk
menunjukkan konsekuensi spasial dari pertumbuhan ekonomi terpusat baik
negatif maupun positif. Kekuatan efek penyebaran mencakup penyebaran
pasar hasil produksi bagi wilayah belum berkembang, penyebaran inovasi
dan teknologi; sedangkan kekuatan efek balik negatif biasanya melampaui
efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja
dari wilayah tidak berkembang ke wilayah berkembang. Jadi, interaksi antar
wilayah pada sistem pasar bebas cenderung memperburuk kinerja ekonomi
wilayah yang belum berkembang. Menurut Myrdal, kondisi ini memberikan
pengesahan terhadap intervensi mekanisme pasar untuk mengatasi efek balik
negatif yang akan menimbulkan kesenjangan wilayah.
Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah lebih jauh dikembangkan
oleh Kaldor (1970) dan berdasarkan pandangan Kaldor teori ini diperjelas
oleh Dixon dan Thirwall (1975). Menurut Kaldor, pertumbuhan output wilayah
ditentukan oleh adanya peningkatan skala pengembalian, terutama dalam
kegiatan manufaktur. Hal ini berarti bahwa wilayah dengan kegiatan utama
sektor industri pengolahan akan mendapat keuntungan produktivitas yang
lebih besar dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer, sehingga
dapat disimpulkan bahwa wilayah dengan sektor industri akan tumbuh lebih
cepat dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer. Dixon dan
Thirwall mengembangkan teori Kaldor dengan menekankan dampak proses
penyebab kumulatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan
output wilayah menentukan tingkat perubahan teknologi dan pertumbuhan rasio
modal dan tenaga kerja. Kedua faktor ini lebih lanjut akan menentukan
pertumbuhan dan tingkat produktivitas wilayah. Pertumbuhan ekspor suatu
wilayah bergantung pada daya saing relatif terhadap wilayah lainnya; dengan
kata lain, pertumbuhan wilayah bergantung pada produktivitas wilayah itu
sendiri, dan hal ini berarti bahwa suatu peningkatan produktivitas akan
mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat ekspor suatu wilayah. Pada
masalah ini, proses penyebab kumulatif pertumbuhan ekonomi akan terjadi
secara menyeluruh, karena pertumbuhan ekspor wilayah menentukan
pertumbuhan output wilayah. Keterkaitan antara pertumbuhan output wilayah
dan pertumbuhan produktivitas juga dikenal sebagai efek Verdoorn.
26
Teori pertumbuhan yang tidak seimbang menggambarkan bahwa pada
saat suatu wilayah mencapai manfaat pertumbuhan, manfaat itu akan terus
dipertahankan melalui efek Verdoorn. Semakin sering suatu wilayah
memproduksi barang-barang dengan elastisitas permintaan yang tinggi
terhadap pasar-pasar ekspor, semakin cepat tingkat pertumbuhan produktivitas
sehingga wilayah lain akan menemukan kesulitan untuk menahan persaingan
terhadap wilayah itu.
Hirchman (1958) dan Myrdal (1957) yang diacu Alonso (1979)
menemukan mode - model polarisasi spatial ekonomi yang mirip sekali di dalam
proses perkembangan. Pada tahap-tahap permulaan perkembangan,
keuntungan terletak pada pusat-pusat yang sudah maju, yang menikmati fasilitas
yang lebih lengkap, keuntungan-keuntungan ekstern, kekuatan politik, preferensi
wilayah dari pada pembuat keputusan, masuknya unsur-unsur yang lebih
bersemangat dan terpelajar dari daerah-daerah yang masih terbelakang,
mengalirnya dana yang berasal dari tanah yang kaya di daerah pedalaman ke
pasar-pasar uang di kota-kota, serta berbagai macam faktor-faktor lainnya.
Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan polarisasi, yakni konsentrasi di kota-
kota besar dan bertambah besarnya perbedaan pendapatan antara daerah-
daerah. Akan tetapi setelah melewati titik tertentu efek-efek penurunan (tricle
down effect) tertentu akan kelihatan.
Di lain sisi meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf, peluasan
pelaksanaan birokrasi, meningkatnya pengetahuan pada daerah-daerah
terbelakang, pembukaan jaringan-jaringan angkutan untuk mencapai daerah-
daerah terbelakang, dapat membuka akses pasar bagi pusat-pusat yang sudah
maju juga memberikan kemungkinan bagi terbukanya daerah-daerah itu bagi
kegiatan-kegiatan yang produktif, pendidikan yang merata dan standardisasi
seluruh segi kehidupan akan membawah integrasi pada ekonomi wilayah (space
economy) dan dengan mengusahakan berbagai eksternalitas menjadi hampir
sama untuk semua daerah, peluang-peluang yang terletak lebih jauh akan
semakin berarti dan semakin penting bagi pembangunan.
Demikianlah dalam pandangan ini pada tahap-tahap permulaan
perkembangan, terjadi kesenjangan yang makin meningkat antar daerah yang
sudah maju dengan daerah yang masih terbelakang, akan tetapi kemudian
terdapat kecenderungan kearah pemerataan pendapatan pada waktu
perekonomian mulai memasuki tahap pendewasaan. Myrdal lebih pesemis dari
27
pada Hischman dalam hal konfergensi akhir (eventual convergence)” ini dan
menghentikan analisisnya dengan apa yang disebutnya Lingkaran setan
backwash effects yang dapat disamakan dengan polarisasi Hirschman.
Pandangan Hirschman dan Myrdal diperkuat dengan penemuan Williamson
(1965) bahwa: (1) disparitas regional lebih besar di negara-negara berkembang
dan lebih kecil di negara-negara maju; (2) disparitas ini makin lama makin
meningkat di negara-negara berkembang, sebaliknya akan menurun di negara-
negara maju, penemuan ini benar-benar menunjukkan bahwa ketidak merataan
regional jika digambarkan dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi
akan menghasilkan kurva berbentuk lonceng yang beberapa titik puncaknya
dicapai pada saat peralihan dari tahap lepas landas menuju tahap pendewasaan.
c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan.
Sebagaimana pada uraian di atas bahwa kesenjangan antar daerah dalam
suatu perekonomian nasional maupun regional merupakan fenomena dunia. Hal
ini terjadi pada semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah struktur sosial
ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan. Pada umumnya
kesenjangan antar daerah lebih tajam terjadi pada negara sedang berkembang
karena kekakuan sosial ekonomi (social economic rigidities) dan imobilitas
faktor (factor immobilities). Dalam mengatasi masalah kesenjangan tersebut,
hampir semua negara berusaha menerapkan kebijakan khusus untuk
pembangunan daerah terbelakang (Uppal dan Handoko 1986 yang diacu
Budiharsono 1996). Namun yang terjadi di Indonesia, proses pembangunan
yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan
kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup melebar.
Sehubungan dengan itu, Hanafiah (1988) menyatakan bahwa secara alami
tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu daerah atau negara adalah tidak
sama. Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya
wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin,
tradisional, statis, dan terbelakang. Wilayah yang kaya adalah wilayah yang mempunyai
sumberdaya alam melimpah dan diikuti oleh kegiatan manusia yang tinggi sehingga
berkembang menjadi wilayah yang maju. Sedangkan wilayah yang miskin adalah
wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang terbatas dan kegiatan penduduk
yang masih rendah sehingga wilayah tersebut lambat berkembang atau wilayah tersebut
belum berkembang akibat sumberdaya alamnya yang belum dieksploitasi secara optimal
28
dan berkelanjutan. Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat
pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah tertentu maka terjadi jurang
kesejehteraan masyarakat antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada
campur tangan pemerintah secara aktif, keadaan tersebut akan bertambah buruk bagi
corak pembangunan selanjutnya. Campur tangan pemerintah yang efektif akan mengatasi
kekurangan penyediaan modal dan kapasitas teknologi di wilayah pendukung dalam
proses pertumbuhan (Gerschenkron 1962).
Hadi (2001), juga menandaskan bahwa pertimbangan pemerataan dan
keberlanjutan pembangunan antar wilayah, sering menjadi masalah yang belum
dapat di atasi secara baik sampai saat ini. Apabila hal ini tidak diperhatikan
maka daerah terbelakang tetap tertinggal dan yang sudah berkembang melaju
lebih berkembang.
Secara umum penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar sektor dan
antar wilayah antara lain faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah,
administrasi , sosial dan ekonomi ( Murty 2000; Rustiadi et al . 2004 ).
Secara geografis, pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi
perbedaan spasial baik jumlah maupun mutu sumberdaya mineral, sumberdaya
pertanian, topografi, iklim, curah hujan dan sebagainya. Apabila wilayah
tersebut memiliki kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan lebih
berkembang.
Faktor sejarah memberikan inspirasi bahwa tingkat perkembangan suatu
masyarakat dalam suatu wilayah cenderung tergantung pada apa yang telah
dilakukan pada masa yang lalu. Bentuk organisasi/kelembagaan dan kehidupan
perekonomian pada masa yang lalu merupakan penyebab yang cukup penting,
terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan
enterpreneurship. Sebagai contoh sistem feodalistik atau sistem kolonial
cenderung tidak memberikan iklim yang bisa memacu prestasi dan kerja keras;
contoh lain adanya budaya-budaya paternalistik dan egalatarian, dilain sisi dapat
menguatkan social capital, tetapi dalam kenyataannya cenderung melemahkan
sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Oleh karenanya
perlu sistem yang dapat menciptakan kebebasan atau menekan tekanan psikis
untuk bekerja dan berusaha yang dapat mendorong orang untuk berkembang
lebih cepat.
Faktor instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan
pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan
29
ketidakpastian atau keraguan orang atau investor untuk mengembangkan usaha
atau menanamkan modal disuatu wilayah, sehingga wilayah tersebut tidak akan
mengalami pertumbuhan. Bahkan seringkali terjadi pelarian modal keluar
wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah lain yang kondisinya relatif lebih stabil
(Rustiadi et al, 2004).
Lebih lanjut Rustiadi et al. (2004) menyatakan bahwa kesenjangan yang
terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah, diantaranya adalah kebijakan
pembangunan nasional masa lalu yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan
membangun pusat-pusat pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan
pembangunan yang luar biasa. Tricle down effect yang diharapkan bisa terjadi,
dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect (pengurasan
sumberdaya berlebihan) dari wilayah belakang (hinterland). Di katakan pula
bahwa dalam era desentralisasi dan otonomi daerah kesenjangan
pembangunan bisa terjadi, jika kebijakan pemerintah daerah untuk memperoleh
PAD yang besar, kemudian menetapkan retribusi daerah yang tinggi bisa saja
berdampak terhadap insentif permintaan yang rendah terhadap produksi rakyat.
Melakukan eksplorasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan aspek
keberlanjutan, keterkaitan antar sektor dan wilayah sering menjadi dilema., dan
lain sebagainya.
Rustiadi et al. (2004) menyatakan pula bahwa kesenjangan pembangunan
yang terjadi sebagai akibat dari faktor administrasi, sering terjadi pada wilayah-
wilayah dengan sumberdaya manusia yang menjalankan fungsi administrator
tersinyalir kurang jujur, kurang terpelajar, kurang terlatih dengan sistem
administrasi yang kurang efisien. Sehingga pelayanan publik dalam bentuk
perizinan usaha dll, menjadi rumit dan berbelit. Wilayah yang demikian
dipastikan tidak memiliki insentif untuk kegiatan investasi dan pertumbuhan
wilayah menjadi stagnan.
Selanjutnya kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari
faktor sosial, sering terjadi pada wilayah-wilayah yang masih tertinggal atau
terisolasi dan yang masih kental dengan kehidupan atau kepercayaan-
kepercayaan primitif, kepercayaan-kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial
yang sangat kontra produktif terhadap perkembangan ekonomi. Ciri sosial
budaya masyarakat seperti itu umumnya tidak memiliki institusi dan prilaku yang
kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Sebaliknya wilayah dengan
masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan prilaku yang
30
kondusif untuk berkembang. Mereka percaya pada agama, tradisi, nilai-nilai
sosial yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya intelektualisme,
profesionalisme, moralitas dan social cohesiveness bagi “kemajuan untuk
semua” (Rustiadi et al. 2004)
Rustiadi et al. (2004) juga menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan
yang terjadi sebagai akibat dari faktor ekonomi, antara lain mencakup :
(1) Perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki seperti lahan,
tenaga kerja, modal , teknologi, infrastruktur, organisasi dan perusahaan.
(2) Proses akumulasi dari berbagai faktor seperti lingkaran setan kemiskinan
(Comulative causation of poverty propensity). Ada dua tipe lingkaran setan
kemiskinan di wilayah-wilayah tertinggal. Pertama, sumberdaya terbatas dan
ketertinggalan masyarakat menjadi sebab dan akibat dari kemiskinan.
Kedua, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidupnya rendah,
efisiensi rendah, produktivitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah,
tabungan rendah, investasi rendah, pengangguran meningkat dan pada
akhirnya masyarakat menjadi semakin tertinggal.
(3) Pengaruh pasar bebas yang berpengaruh pada spread effect dan backwash
effect. Pengaruh atau kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-
faktor ekonomi (tenaga kerja, modal, perusahaan) dan aktivitas ekonomi
(industri, perdagangan, perbankan dan asuransi) yang dalam ekonomi maju
memberikan hasil (return) yang lebih besar cenderung terkonsentrasi di
wilayah-wilayah berkembang (maju). Perkembangan wilayah-wilayah ini
ternyata terjadi karena penyerapan sumberdaya dari wilayah-wilayah
sekitarnya (backwash effect). Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata
lebih lemah dibanding dengan backwash effect . Sebagai akibatnya wilayah-
wilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang
sedangkan wilayah-wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan
semakin tertinggal.
(4) Terjadi distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan
spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya
d. Penataan Ruang.
Berbicara menyangkut kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar
wilayah pembangunan, tidak akan bisa terlepas dari kebijaksanaan penataan
ruang karena penataan ruang merupakan salah satu bagian dari perencaan
pembangunan wilayah, dimana kedudukannya adalah sebagai induk dari
31
semua proses perencanaan pembangunan wilayah. Penataan ruang merupakan
bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari
pembangunan yang berkeadilan. Penataan ruang mengisyaratkan, bagaimana
membangun struktur keterkaitan pembangunan sektor dan wilayah yang
seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan
yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan
tingkat pertumbuhan antar wilayah.
Undang-Undang No. 24 1992 Tentang Penataan Ruang menegaskan
bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk
lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya. Akan tetapi Ruang yang merupakan bagian dari alam tersebut dapat
pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan
dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu perlunya
suatu perencanaan “tata ruang” yang lebih komprehensif dan akomodatif
terhadap semua kepentingan yang berspektif efisien, adil dan keberlanjutan.
Dalam hal ini sejalan dengan apa yang diulas oleh Rustiadi et al. (2003) bahwa
di masa sekarang dan akan datang diperlukan suatu pendekatan baru penataan
ruang yang berbasis pada hal- hal berikut: (1) sebagai bagian dari upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya
untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2) menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah; (3) menciptakan keseimbangan
pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang
(pembangunan berkelanjutan); dan (4) disesuaikan dengan kapasitas
pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang
disusun.
Untuk melakukan suatu perencanaan tata ruang yang berbasis pada
paradigma baru sebagaimana yang di ungkapkan diatas, tentunya diperlukan
suatu kajian yang mendalam terhadap pola dan struktur tata ruang suatu wilayah
yang sudah ada, karena pada umumnya suatu perencanaan wilayah yang di
lakukan sebelum era otonomi daerah, dapat diprediksi banyak kekurangannya
baik dari sisi proses perencanaan maupun pada implementasi dan
pengendaliannya.
Menurut Rustiadi, et al (2003) bahwa setidaknya terdapat dua unsur
penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang
32
dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non
fisik). Dimana unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang
dan aspek-aspek mengenai Aturan-aturan main penataan ruang. Sedangkan
unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2)
penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3)
pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4)
pengembangan infrastruktur.
Pada umumnya proses perencanaan tata ruang hanya di lihat sebagai suatu
kegiatan pembagian zonasi (pengaturan penggunaan lahan) dan dianggap
sebagai perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang,
namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan (tata
guna tanah) tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya, tidak
akan pernah efektif, karena penatagunaan lahan tidak bersifat independent dari
perencanaan struktur hirarki pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan dan
perencanaan infrastruktur lainnya yang menyeluruh, termasuk unsur-unsur
kelembagaan yang berperan (Rustiadi et al. 2003).
Rustiadi et al. (2003) menyatakan pula bahwa penataan struktur hirarki
sebenarnya penting sebagai upaya meningkatkan fungsi dan peran wilayah-
wilayah pusat pertumbuhan agar lebih berkembang sesuai potensi yang
dimilikinya sekaligus dapat memberikan manfaat sosial (social benefit) yang
optimal. Tetapi konsentrasi spatial (Aglomerasi) jika tidak diimbangi dengan
implementasi perencanaan yang baik maka akan terjadi ketimpangan
pertumbuhan wilayah karena perbedaan economic rent antara lokasi yang satu
dengan lokasi yang lain. Di lain sisi suatu aktivitas pusat ekonomi tidak akan
memberikan economic rent, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan
jaringan keterkaitan (linkage) antara pusat-pusat aktivitas yang dapat
memfasilitasi ”aliran barang, jasa dan informasi”. Demikian pula pengembangan
infrastruktur yang mencirikan suatu aktivitas ekonomi wilayah dapat bertumbuh
dan berkembang.
e. Teori Pusat Pertumbuhan Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata
ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 (dua)
hipotesa dasar, yaitu: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan
mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu; (2) pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di pusat-pusat pertumbuhan ini,
33
secara nasional melalui hirarkhi kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan
(urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing .
Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler (1933)
yang kemudian dikenal sebagai teori tempat sentral (Central Theory) yang selanjutnya
dikembangkan oleh Losh, Berry dan Garrison (Hanafiah 1985, Pradhan 2003).
Menurut teori ini pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang
dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah
perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya,
sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan
permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan
(Richardson, 1969 yang diacu Sitohang, 1991).
Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah
dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: (1) pusat pelayanan pada tingkat lokal;
(2) titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; (3) pusat pertumbuhan pada tingkat
wilayah; (4) kutub pertumbuhan pada tingkat nasional.
Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara
terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi
perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan
bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding
terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya
transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi
Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh
seseorang untuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat.
Model teori pusat pertumbuhan yang dinyatakan oleh Christaler ini dapat
digunakan jika memenuhi asumsi-asumsi berikut: (1) populasi penduduk tersebar di
suatu wilayah secara homogen; (2) pusat menyediakan barang-barang dan jasa-jasa
untuk hinterland-hinterland-nya, sehingga jika terdapat dua tempat sentral yang
mampu menyediakan pelayanan yang sama akan mempunyai hinterland dengan
ukuran yang sama pula; (3) pusat mempunyai pola memaksimumkan lokasi spasialnya
(misalnya: dalam penggunaan lahan); (4) pusat membentuk suatu hirarkhi.
Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek
tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteraan
masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia.
Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas
34
ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa
sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan
wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat,
yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata
ruang baru bagi kegiatan manusia.
Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan
pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan
atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland) dalam ruang
lingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa spread effect yang
menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu fenomena back-wash
effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland). Dengan demikian dari
penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang erat antara pusat-pusat
pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dengan aktivitas-aktivitas
dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik yang berada di daerah pusat
pertumbuhan itu sendiri maupun daerah belakangnya.
Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara pusat pertumbuhan dan wilayah
pendukung dapat dikategori atas 3 bentuk hubungan, yakni :
(1) Hubugan generatif, yakni hubungan yang saling menguntungkan atau saling
menyumbangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya.
Daerah kota atau wilayah pusat dapat menyerap tenaga kerja atau memasarkan produksi
dari daerah pedalaman (wilayah yang lebih terbelakang). Sedangkan wilayah pedalaman
berfungsi untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan
sekaligus dapat memenuhi kebutuhan wilayah belakang. Selain itu wilayah pusat (kota)
berperan sebagai tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh daerah
pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara wilayah pusat dan wilayah belakang.
(2). Hubungan Parasitif, yakni hubungan yang terjadi dimana wilayah kota (wilayah yang lebih
maju) tidak banyak membantu atau menolong wilayah belakangnya (hinterland). Wilayah
kota yang bersifat parasit, umumnya kota yang belum banyak berkembang industrinya dan
masih berciri wilayah pertanian, tetapi berciri wilayah perkotaan sekaligus.
(3) Hubungan enclave (tertutup), yakni hubungan dimana wilayah pusat (kota yang lebih
maju), seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.
Buruknya sarana dan prasarana, perbedaan taraf hidup dan pendidikan yang mencolok dan
faktor-faktor lainnya dapat menyebabkan kurang hubungan antar wilayah pusat dan
hinterland. Untuk menghindari hal ini, wilayah-wilayah terbelakang perlu didorong
35
pertumbuhannya, sedangkan wilayah yang lebih maju dapat berkembang atas
kemampuannya sendiri.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua kota generatif dapat dikategorikan
sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yakni :
(1) Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi.
Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara
sektor dan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan
mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Pertumbuhan tidak
terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lainnya yang tidak
terkena imbas sama sekali. Berbeda halnya dengan sebuah kota, yang fungsinya
sebagai perantara (transit). Dimana kota tersebut hanya berfungsi mengumpulkan
berbagai macam komoditi dari wilayah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang
lebih besar dan selanjutnya dapat membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat dari
kota lain untuk didistribusikan ke wilayah yang ada di belakangnya. Kota dengan ciri
perantara, tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang dapat menciptakan
nilai tambah (value edded) atau tidak ada proses industri yang menghasilkan value
edded.
(2) Adanya efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait
dan saling mendukung akan menciptakan efek ganda. Apabila ada suatu sektor disuatu
wailayah mengalami kenaikan permintaan yang berasal dari luar wilayah, maka produksi
sektor tersebut akan meningkat, karena ada keterkaitan dengan sektor-sektor lain, maka
produksi sektor-sektor lain juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran
pertumbuhan, sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan
dengan kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek
pengganda tersebut sangat berperan untuk membuat sebuah kota dapat memacu
pertumbuhan wilayah di belakangnya, karena terjadi peningkatan produksi pada sektor
di wilayah yang lebih maju, akan memacu dan meningkatkan permintaan bahan baku
dari wilayah-wilayah yang berada di belakangnya.
(3) Adanya konsentarasi geografis. Konsentarasi geografis dari berbagai sektor atau
fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling
membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractivennes) dari wilayah yang lebih
maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut, dapat memperoleh berbagai
kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan demikian dapat menghemat waktu,
tenaga dan biaya. Hal tersebut menjadi daya tarik untuk dikunjungi orang, karena volume
36
interaksi yang semakin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga terjadi
efisiensi lanjutan.
(4) Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara wilayah
yang lebih maju dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Wilayah
yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya untuk
mengembangkan diri, apabila wilayah yang lebih maju memiliki hubungan yang harmonis
dengan daerah belakangnya dan juga memiliki ketiga ciri di atas, maka wilayah tersebut
akan berfungsi mendorong wilayah belakangnya.
f. Teori Interaksi spasial.
Interaksi antar wilayah (interaksi spasial) merupakan suatu mekanisme yang
menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas yang dilakukan oleh
sumber daya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan
mencakup diantaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas
pelajar dan aktivitas-aktivitas konferensi, seminar, lokakarya atau kegiatan sejenisnya,
pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum bahkan tukar menukar pengetahuan
(Kingsley E. Hayes, 1984 yang diacu Saefulhakim, 2003).
Analisis interaksi spasial mempelajari hubungan berupa pergerakan komoditi, barang-
barang, orang, informasi dan lainnya antara titik-titik dalam ruang. Analisis ini menekankan
pada saling ketergantungan dari tempat dan area. Interaksi spasial semakin menurun karena
jarak. Salah satu persamaan kurva yang menggambarkan hubungan aliran dan jarak adalah
F = aD-ß , dimana F adalah aliran , D adalah jarak dan ß adalah nilai konstanta. Para analis
spasial lebih tertarik pada nilai konstanta ß. Nilai ß yang rendah mengindikasikan slope
yang rendah dengan aliran-aliran dalam area yang lebih luas. Nilai ß yang tinggi
mengindikasikan penurunan yang tajam dari aliran-aliran yang disebabkan oleh jarak,
sehingga aliran-aliran hanya akan terjadi di area yang terbatas.
Salah satu metode yang banyak digunakan untuk meduga besarnya interaksi spasial
adalah model gravitasi. Persamaan model gravitasi tersebuit dapat digunakan untuk
menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Model gravitasi tersebut pada dasarnya
merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Gravitasi Newton yang kemudian
dikembangkan untuk ilmu sosial. Secara klasik, konsep gravitasi interaksi manusia
mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi diantara dua wilayah dari aktivitas
manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah, dan jarak kedua wilayah. Yaitu
bahwa interaksi antara dua (2) pusat pemusatan populasi bervariasi, berbanding lurus
dengan fungsi ukuran populasi dari dua pusat dan bebanding terbalik fungsi jarak di antara
keduanya (Carrothers,1956 yang diacu Saefulhakim 2003). Hipotesis tersebut didasarkan
37
pada alasan bahwa : (a) Untuk memproduksi interaksi , individu-individu harus berkominikasi,
secara langsung atau tidak langsung dengan yang lainnya; (b) individu sebagai unit dari
group yang besar, mungkin dipertimbangkan untuk membentuk pengaruh interaksi yang
sama dengan individu lainnya dan (c) Frekwensi interaksi yang dibentuk oleh individu dalam
lokasi tertentu berbanding terbalik secara proporsional dengan kesulitan pencapaian, atau
kominikasi dalam lokasi tersebut.
Konsep model gravitasi yang dikembangkan dari persamaan gravitasi Newton tersebut
berkaitan dengan 2 hal pokok ; (a) dampak skala, yaitu sejauhmana dampak yang telah
ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu di suatu lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya.
Sebagai contoh suatu lokasi dengan jumlah populasi lebih besar cenderung akan
membangkitkan dan menarik aktivitas lebih banyak dibandingkan dengan kota lain yang
mempunyai populasi lebih sedikit. Dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas
berkaitan dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut; (b) dampak jarak, yaitu seberapa
jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas di suatu lokasi terhadap lokasi
disekitarnya. Sebagai contoh, makin jauh jarak antara 2 lokasi, maka kecil interaksi yang
terjadi antara 2 lokasi tersebut. Pengertian jarak yang dimaksudkan tidak selalu berarti jarak
fisik, tetapi juga yang mencakup pengertian jarak tempuh (waktu), biaya transportasi, hingga
jarak psikologis (Saefulhakim, 2003).
Selain itu salah satu penurunan dari model gravitasi adalah model potensial, yang dapat
digunakan untuk menghitung indeks derajat aksesibilitas setiap sub-sub wilayah terhadap
total wilayah. Wilayah dengan indeks potensial tertinggi merupakan wilayah-wilayah dengan
potensi/hirarki sebagai pusat pelayanan yang tinggi.
Model lain dari penurunan model gravitasi adalah model entropy interaksi spasial
(Hukum entropy) yang dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu
Saefulhakim (2003) menyatakan bahwa apabila terdapat N buah indi’vidu yang
melakukan mobilitas spasial (misalnya: commuting, transportasi, perdagangan,
dsb.) antara satu dan i buah alternatif tempat asal (origins) dengan satu dan j
buah alternatif tempat tujuan (destinations). Yang dimaksud dengan individu bisa
berupa orang, kendaraan, barang, informasi dsb. Yang dimaksud dengan tempat (lokasi) bisa berupa desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dsb. Model
entropi interaksi spasial secara matematis dapat dirumuskan sebagai
memaksimumkan fungsi entropi:
Max S(Eij) =!
!
,Eij
ji
N
Π .................................................. (1)
Eij
38
dengan fungsi-fungsi kendala:
(a). ij
ijj
ij OFE == ∑∑ ....................................................... (2)
(b). ii
iji
ij DFE == ∑∑ .............................................. (3)
(c). TFdEd ij
i jijij
i jij == ∑∑∑∑ ........................................... (4)
Keterangan :
Fij : banyak individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j.
Eij : nilai harapan (expected value) banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j
dij : jarak tempuh (rataan biaya mobilitas spasial per individu) antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j
Oi : banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial berasal dan tempat asal ke-i.
Di : banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial menuju ke tempat tujuan ke-j
T : total jarak tempuh yang dilakukan (total biaya mobilitas spasial yang dikeluarkan) oleh keseluruhan N buah individu.
N : keseluruhan individu yang melakukan mobilitas spasial
S(Eij) : nilai entropi dan mobilitas spasial yang diharapkan dilakukan oleh keseluruhan N buah individu antar berbagai altematif tempat asal i (1=1,2, ..., i) dengan berbagai alternative tempat tujuan j (j=1,2, ., j)
Untuk memudahkan perhitungan maka pemaksimuman fungsi entropi pada
Persamaan (1) adalah ekivalen dengan pemaksimuman nilai Ioganitma dari
fungsi entropi tersebut. Dan dengan menggunakan aproksimasi Stirling maka
dapat ditulis:
( )[ ] ( ) ( )∑ ∑∏
−−=⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
=i j
ijijij
j,iij
ij EElnE!NlnE
!NlnESln...... (5)
Dengan demikian yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial adalah
pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada Persarnaan (5) dengan
memperhatikan kendala-kendala pada Persamaan (2) sampai dengan
Persamaan (4). Secara umum Model Entropi Interaksi Spasial dikategorikan
kedalam 4 jenis, yaitu:
39
1) Model Entropi Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy
Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5)
dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).
2) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Produksi (Production-
Constrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi
pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (a) pada
persamaan (2) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).
3) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Tarikan (Attraction-
Constrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi
pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (b) pada
persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).
4) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda (Doubly Constrained
Entropy Model). yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada
persamaan (5) dengan memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan
(2), fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada
persamaan (4).
Berpijak pada model-model interaksi spasial tersebut di atas, Edward Ullman
(1995) yang diacu Rustiadi et al. (2004), menyatakan bahwa terdapat tiga hal
yang mendasari adanya interaksi , yaitu (1) Hubungan komplemeter antara dua
tempat (hubungan supply-demand) yang saling melengkapi antara dua tempat;
(2) adanya penghalang kesempatan (intervieving opporttunities), yang
menyebabkan adanya interaksi antara dua tempat yang komplementer sehingga
diperlukan sumber alternatif supply dari tempat lain; dan (3) Adanya biaya
pergerakan (transferability cost) yang berlebihan dapat mengurangi interaksi
meskipun hubungan antara dua tempat bersifat komplementer dan tidak ada
penghalang, hal ini menyiratkan lebih dari sekedar jarak. Transferability merujuk
kepada biaya transportase yang karakteristik setiap produknya berbeda.
g. Teori Resource Endowment Teori resource endowment dari suatu wilayah menyatakan bahwa
pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang
dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya
itu (Perloff and Wingo 1961). Dalam jangka pendek, sumberdaya yang dimiliki
40
suatu wilayah merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa
yang dibutuhkan. Nilai dari suatu sumberdaya merupakan nilai turunan dan
permintaan terhadapnya merupakan permintaan turunan. Suatu sumberdaya
menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi.
Tingkat dan distribusi pendapatan, pola perdagangan, dan struktur produksi
merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat permintaan (permintaan
menengah dan permintaan akhir) terhadap sumberdaya wilayah. Variabel-
variabel itu dapat mengubah keuntungan relatif wilayah dalam memberikan
masukan yang dibutuhkan perekonomian regional dan nasional. Teori resource
endowment secara implisit mengasumsikan bahwa dalam perkembangannya,
sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah akan digunakan untuk memproduksi
barang dan jasa yang berbeda bila terjadi perubahan permintaan (Tamenggung
1997). Selain itu Ghalib (2005) juga menyatakan bahwa Perubahan wilayah
kepada kondisi yang lebih makmur tergantung kepada usaha-usaha di wilayah
tersebut, dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, serta usaha-usaha
pembangunan yang diperlukan.
h.Teori Export Base
Teori export base atau teori economic base, pertama kal i
dikembangkan oleh North (1955). Menurut North, pertumbuhan wilayah jangka
panjang bergantung pada kegiatan industri ekspornya. Kekuatan utama dalam
pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang
dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi
penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan
komoditas ekspor. Dengan kata lain, permintaan komoditas ekspor akan
membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun
ke depan (sektor pelayanan).
Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena sektor itu menghasilkan
keuntungan dalam memproduksi barang dan jasa, mempunyai sumberdaya
yang unik untuk memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran
yang unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Dalam
perkembangannya, perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan
pendukung yang dapat menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sektor
ekspor di wilayah itu. Penekanan teori ini ialah pentingnya keterbukaan
wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan
untuk kelanjutan pembangunan wilayah.
41
Teori export base mengandung daya tarik intui t i f dan kesederhanaan,
seperti halnya dianggap sebagai dasar teori, berdasarkan konsep beberapa
sektor ekonomi lokal mengantarkan kekuatan ekonomi eksternal ke dalam
wilayah untuk menstimulasikan perubahan secara cepat. Perubahan
pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan ekspor. Ekspor
meningkat jika permintaan bergeser ke kanan atau terjadi peningkatan posisi
menguntungkan dalam wilayah, sedangkan ekspor menurun pada saat
permintaan bergeser ke kiri atau kehilangan posisi menguntungkan. Sasaran
pertama teori export base sebagai teori umum pembangunan ekonomi wilayah
adalah sebagai teori economic base yang lebih tepat diperuntukkan bagi
wilayah-wilayah yang kecil dengan ekonomi sederhana dan untuk penelitian
jangka pendek tentang pengembangan ekonomi wilayah. Dalam kasus yang
lebih besar, semakin kompleks perekonomian dan semakin panjang analisis
pertumbuhan wilayahnya, variabel-variabel lain dapat berperan penting seperti
ekspor. Sasaran kedua, teori economic base gagal menjelaskan bagaimana
pengembangan wilayah dapat terjadi walaupun terjadi penurunan ekspor,
sedangkan di lain pihak sektor nonekspor lainnya dapat tumbuh untuk
mengimbangi penurunan itu (Tibout, 1956; Richardson, 1973 yang diacu
Tamenggung 1997).
Menurut Bendavid (1991), bahwa fondasi analisis ekonomi dasar adalah
teori ekonomi dasar. Jantung atau Inti dari teori ekonomi dasar merupakan
masalah pertumbuhan ekonomi wilayah yang pada akhirnya tergantung pada
permintaan keluar tehadap produknya, Dan berbicara tentang economi dasar
berarti berbicara tentang ”industri export yang menjadi ekonomi dasar atau
sektor basis wilayah”. Apakah suatu daerah tumbuh atau merosot dan apa
nilainya ditentukan oleh bagaimana memainkan wilayahnya sebagai suatu
eksportir kepada dunia lainnya, dalam wujud barang-barang dan jasa-jasa,
termasuk tenaga kerja, yang mengalir keluar daerah ke para pembeli, atau
dalam wujud pembelian di dalam daerah oleh para pembeli yang biasanya
berada atau bertempat tinggal di tempat lain. Jika permintaan terhadap ekspor
wilayah meningkat, maka ada ekspansi sektor basis, yang pada gilirannya,
menghasilkan suatu aktivitas pendukung bagi ekspansi sektor non basis.
Merujuk pada pendapat Bendavid diatas, Ghalib (2005) menyatakan bahwa
ditinjau dari segi akademis aktivitas ekonomi wilayah dapat dibedakan atas dua
jenis sektor aktivitas, yakni sektor aktivitas basis (basic sector) dan sektor
42
aktivitas bukan basis (non-basic sector). Aktivitas basis merupakan kegiatan
yang mengeksport barang-barang dan pelayanan ke luar wilayah ekonominya
atau memasarkan barang-barang dan pelayanan untuk keperluan penduduk
yang tinggal di wilayah ekonomi sendiri. Sedangkan aktivitas bukan basis tidak
mengeksport barang atau pelayanan ke luar wilayah.
Ghalib (2005) menegaskan pula bahwa meningkatnya jumlah aktivitas
ekonomi basis disuatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah
tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut akan meningkat pula
permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa di wilayah tersebut yang
dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya menurunya aktivitas sektor basis
di suatu wilayah akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir
ke wilayah tersebut, dan akan mengurangi permintaan akan sektor bukan basis.
Oleh karena itu aktivitas sektor basis sewajarnya berperan sebagai penggerak
utama bagi setiap perubahan dan berpengaruh ganda (multiplier) terhadap
wilayah tersebut. Sektor basis akan memperluas kesempatan kerja, baik di
sektor basis sendiri maupun sektor bukan basis sebagai pengaruh aktivitasnya.
Seberapa besar perluasan kesempatan kerja yang diciptakan dapat dihitung
sebagai angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja seperti formula berikut :
Total tenaga kerja Pengganda basis = ------------------------------------- (1) Tenaga kerja sektor basis
Total tenaga kerja = Tenaga kerja sektor basis x Pengganda basis
Apabila memiliki data sektor basis dan prospeknya dimasa yang akan
datang, serta angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja perekonomian di
wilayah tersebut dapat diperkirakan jumlah tenaga kerja yang akan diserap di
masa yang akan datang maka perlu dilakukan modifikasi formula (1) sebagai
berikut :
Perubahan pada total tenaga kerja Pengganda basis = -------------------------------------------------------- (2) Perubahan pada tenaga kerja sektor basis Menurut Glasson (1990), yang diacu Ghalib (2005) bahwa teori basis
tersebut memiliki kelemahan terutama adanya kesulitan dalam menilai sektor
basis dan bukan basis di lapangan, misalnya kasus sebuah produk industri
(tambang) yang dijual terlebih dahulu kepada perusahaan dalam wilayah,
kemudian sebagian menyalurkannya ke pabrik-pabrik didalam wilayah dan
sebagian lain mengekspor ke luar wilayah. Hasil perhitungan angka pengganda
43
industri pertambangan jelas menjadi bukan sektor basis, yang basis adalah
sektor perdagangan. Kelemahan ini kemudian dapat di atasi dengan analisis
Location Quotient (LQ).
i. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif tidak dapat terlepas dari teori
resouces endowment dan exsport base atau economic base yang telah
diuraikan di atas, karena teori keunggulan komparatif dan kompettif,
menyatakan konsentrasi sektor atau komoditi pada suatu wilayah (memiliki
keunggulan komparatif), dimana nilai strategis dari sektor atau komoditi tersebut
menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan wilayah, dalam arti
bahwa sektor tersebut memberikan keuntungan ganda dalam menciptakan
barang dan jasa sebagai sektor basis yang memiliki daya saing dengan
pergeseran pertumbuhan yang cepat (memiliki keunggulan kompetitif).
Sehubungan dengan itu menurut Samuelson (1955) yang diacu Setiawan
(2006), bahwa setiap wilayah perlu mengetahui sektor atau komoditi apa yang
memiliki potensi besar (comparative advantage) dan dapat dikembangkan
dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki
keunggulan kompetitif (Competitif advantage) untuk dikembangkan, artinya
dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai
tambah (value added) yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif
singkat dan sumbangan untuk perekonomian wilayah menjadi cukup besar.
Produk tersebut bisa menjamin pasar untuk dieksport keluar daerah atau
keluar negeri dan selanjutnya bisa mendorong sektor lain untuk turut
berkembang sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat
bertumbuh karena ada saling keterkaitan antar sektor yang memberikan
multiplier effect.
Menurut Rustiadi at al. (2004) bahwa untuk mengetahui potensi aktivitas
ekonomi yang merupakan basis atau bukan basis dan atau sektor/komoditi
mana yang terkonsentrasi atau tersebar dapat digunakan metode Location
Quotient (LQ). Hal tersebut sejalan dengan Bendavid (1991) bahwa Location
Quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif)
suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif
disini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah
yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan
bagian dari wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat
44
dinyatakan dalam beragam ukuran, namun yang sering digunakan adalah
ukuran kesempatan kerja (employment) sektor atau sub sektor dan ukuran nilai
tambah produk (value added).
Selain itu menurut Blakely (1994), yang diacu Saefulhakim (2003),
manyatakan bahwa LQ merupakan suatu teknis analisis yang digunakan untuk
melengkapi analisis lain yaitu Shift Share Analisis (SSA). Namun secara umum,
metode analisis ini digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu
wilayah yakni mengetahui kapasitas eksport suatu wilayah serta tingkat
kecukupan barang/jasa dari produk lokal suatu wilayah. Secara opersional, LQ
didefinisikan sebagai ratio presentase dari total aktivitas dari sub wilayah ke-i
terhadap prosentase aktivitas terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang
digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam,
(2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan
produk yang sama.
Selanjutnya untuk mengukur aktivitas ekonomi suatu wilayah apakah
mengalami pergeseran struktur aktivitas yang cepat atau lamban dan atau
memiliki kemampuan berkompetisi yang memberikan gambaran kinerja aktivitas
ekonomi suatu wilayah, dapat digunakan Shift share analysis (Rustiadi et al.
2004).
Shift share analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik
analisis untuk memahami pergerseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu,
dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas)
dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis Shift
share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas
tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam
cakupan wilayah lebih luas.
Hasil analisis shift share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktivitas
di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam
wilayah total. Analisis Shift share mampu memberikan gambaran sebab-sebab
terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang
dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika
lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktivitas/sektor (total wilayah) dan
sebab dari dinamika wilayah secara umum.
Dari hasil analisis shift share akan diperoleh gambaran kinerja aktivitas
suatu wilayah. Gambaran kinerja tersebut akan dapat dijelaskan dari tiga
45
komponen hasil analisis, yaitu (a) Komponen laju pertumbuhan total (komponen
share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik
waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (b) Komponen pergeseran
proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan
pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan
pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika
sektor/aktivitas total dalam wilayah; dan (c) Komponen pergeseran diferensial
(Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat
kompitisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan
pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini
menggambarkan dinamika keunggulan dan ketidak unggulan suatu
sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub
wilayah lain.
j. Teori Multiplier effect (Dampak pengganda). Pengganda (multiplier) adalah pengukuran suatu respon atau merupakan
dampak dari stimulus ekonomi. Pengganda juga didefinisikan sebagai koefisien yang
menyatakan kelipatan dampak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu
sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor di suatu daerah
(Miller and Blair, 1985, Rustiadi et al. 2004). Stimulus ekonomi yang dimaksud dapat
berupa output, pendapatan dan atau kesempatan kerja, dimana masing-masing
pengganda tersebut dikategori atas dua tipe yaitu Tipe I dan Tipe II. Masing-masing
pengganda dapat diuraikan sebagai berikut::
(1) Pengganda Output (output multiplier ). Untuk Pengganda output tipe I bertujuan
untuk mengestimasi berapa besar pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu
sektor didalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan tipe II bertujuan untuk
mengestimasi berapa besar pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor
didalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lain, baik secara
langsung, tidak langsung maupun induksi (dampak dari peningkatan pendapatan
rumah tangga terhadap perubahan-perubahan konsumsi rumah tangga).
(2) Pengganda pendapatan (income multiplier). Untuk pengganda pendapatan tipe I
menyatakan besarnya peningkatan pendapatan pada sektor perekonomian
sebagai dampak dari meningkatnya permintaan akhir output suatu sektor
sebesar satu unit. Apabila permintaan terhadap output sektor tertentu
meningkat sebesar satu Dollar atau Rupiah, maka akan meningkatkan
46
pendapatan rumah tangga yang bekerja pada seluruh sektor perekonomian
sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Sedangkan
untuk pengganda pendapatan tipe II selain menghitung pengaruh langsung dan
tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induce effects).
(3) Pengganda tenaga kerja (employment multiplier). Untuk pengganda tenaga
kerja tipe I menunjukkan kesempatan kerja yang tersedia pada sektor tersebut
dan sektor lainnya akibat penambahan permintaan akhir dari suatu sektor
sebesar satu satuan secara langsung dan tidak langsung. Sedangkan
pengganda tenaga kerja tipe II, dapat memperhitungkan pula pengaruh induksi
(induce effects).
(4) Pengganda Pajak (Tax multiplier) yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir
terhadap peningkatan pajak tak langsung netto.
(5) Pengganda PDRB (Total value edded) multiplier ) adalah dampak meningkatnya
permintaan akhir sesuatu sektor terhadap peningkatan PDRB.
(6) Pengganda penggunaan tanah (Land use multiplier) dampak meningkatnya
permintaan akhir sesuatu sektor terhadap perluasan tanah.
Menurut Kuncoro (2003), Perilaku perusahan-perusahan dalam suatu
Agroindustri tidak pernah lepas dari struktur industri dan pasar yang dihadapi oleh
masing-masing perusahaan. Prilaku yang ditempu oleh perusahaan, yang
didasarkan pada struktur industri yang ada, akan berpengaruh terhadap kinerja
perusahan dan industri yang bersangkutan. Untuk menganalisis prilaku sub sektor
industri, digunakan alat analisis ”efek multiplier ” type I dan II untuk output,
pendapatan dan tenaga kerja dari tiap-tiap sektor agroindustri. Untuk menghitung
ratio multiplier type I dan II, Kuncoro membangun formula sebagai berikut :
direct+indirect effect Ratio type I = ------------------------------ initial effect direct, indirect and induced effect Rati type II = ---------------------------------------------- Initial effect
Lebih lanjut dikatakan bahwa efek total multiplier pada dasarnya
merupakan penjumlahan dari empat macam elemen efek yang saling berkaitan,
yaitu efek peningkatan output sektor yang bersangkutan (initial effect), efek
pembelian langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect) dan
efek peningkatan konsumsi (consumption induced). Initial effect merupakan
besarnya perubahan output pada sektor yang bersangkutan akibat adanya
47
perubahan permintaan akhir di sektor itu sendiri. Efek pembelian langsung
(direct effect) adalah besarnya nilai transaksi yang akan terjadi secara langsung
antar industri jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu mata uang.
Efek tidak langsung (indirect effect) merupakan dampak peningkatan pembelian
dari suatu sektor kepada sektor lain dalam perekonomian akibat terjadi
peningkatan permintaan akhir dalam sektor yang bersangkutan. Efek
pendapatan rumah tangga adalah (induced effect) adalah efek peningkatan
pembelian input sector yang bersangkutan terhadap sector rumah tangga, yang
diwujudkan dalam peningkatan permintaan tenaga kerja,pada gilirannya
berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga.
Berdasarkan hasil perhitungan multiplier output terhadap Agroindustri
Indonesia Tahun 1980,1985 dan 1990, menunjukkan adanya kecenderungan
positif, yakni semakin meningkatnya keterkaitan antar sektor dalam
agroindustri. Peningkatan keterkaitan yang diiringi dengan peningkatan nilai
multiplier effect akan berakibat pada peningkatan kinerja sektor-sektor ekonomi
dalam perekonomian secara simultan. Peningkatan volume produksi suatu
sektor akibat peningkatan permintaan pasar akan berdampak posotif dan luas
terhadap sektor ekonomi lain. Gejala yang muncul adalah bahwa sektor-sektor
yang memiliki nilai multiplier output tinggi umumnya adalah industri pengolahan
output yang menghasilkan produk pertanian primer dan atau dengan kata lain
multiplier output terkecil adalah sektor pertanian penghasil output primer.
Selain itu dampak yang ditimbulkan dari hasil perhitungan multiplier income
dan employment menunjukkan kecenderungan yang sama, walaupun terdapat
perbedaan kecil dalam nilai nominal total effect dan initial effect. Apabila suatu
sektor memiliki multiplier tenaga kerja tinggi, maka berarti peningkatan
permintaan akhir pada sektor tersebut akan menyebabkan peningkatan
permintaan terhadap tenaga kerja dalam jumlah yang relative lebih besar.
Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada akhirnya akan meningkatkan
permintaan terhadap tenaga kerja dan dampak yang terjadi kemudian adalah
peningkatan nilai upah nominal dan peningkatan jumlah pekerja. Pada tahap
selanjutnya efek tersebut berakibat pada peningkatan pendapatan rumah
tangga. Sektor rumah tangga akan mengalami peningkatan pendapatan sejalan
dengan peningkatan upah dan kesempatan kerja yang terbuka di sektor
produktif.
48
k.Teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia Secara hakiki, kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata
nilai dan norma – norma yang berlaku di masyarakat. Sesuatu tingkat
kemiskinan tertentu menyebabkan sekelompok masyarakat tidak
berkesempatan pergi ke mesjid atau gereja karena harus berjuang mengejar
”sesuap nasi”. Jika suatu kelompok masyarakat juga tidak mempunyai
kemampan membeli pakaian yang layak bagaimana anggota masyarakat yang
memiliki tata nilai kesopanan dalam berpakaian , maka kelompok tersebut
dikatakan miskin (Rustiadi et al. 2004).
Lebih lanjut dikatakan bahwa berbagai upaya menetapkan tolok ukur
kemiskinan telah bayak dilakukan oleh banyak pakar. Beberapa tolok ukur yang
telah banyak dikenal selama ini adalah :
(1) Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good service ratio.=GSR).
Konsep ini bertolak dari fakta yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
kesejahteraan seseorang semakin besar prosentase pendapatan (income)
yang digunakan untuk konsumsi jasa. Dengan demikian semakin kecil nilai
rasio barang dan jasa yang dikonsumsi, makin tinggi kesejahteraan
seseorang. Tetapi konsep ini memiliki kelemahan selama tidak ada
kejelasan perbedaan antara barang dan jasa. Dilain pihak sering
diperhadapkan dengan ketidak jelasan dalam membedakan antara
konsumsi dengan biaya.
(2) Persentase/rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan.
Sebagai kebutuhan pokok yang paling hakiki, konsumsi terhadap makanan
akan selalu menjadi prioritas utama dalam pola konsumsi manusia. Konsep
ini bertolak dari pemikiran bahwa seseorang akan terlebih dahulu
memenuhi kebutuhan konsumsi makanannya sebelum mengkonsumsi
komoditi-komoditi lainnya. Seseoarang akan mengkonsumsi komoditi
lainnya setelah terlebih dahulu memenuhi konsumsi makanannya. Semakin
tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi
komoditi selain makanan. Dengan demikian berdasarkan tolok ukur ini
semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total
pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya.
49
(3) Pendapatan setara harga beras. Profesor Sayogyo dari IPB telah membuat
ambang batas kemiskinan berdasarkan harga setara beras. Dengan
didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun,
ditentukan ambang kemiskinan di desa dan di kota masing-masing jika
pendapatannya kurang dari 240 kg/kapita/tahun. Dengan adanya
perkembangan, aspirasi masyarakat telah meningkat, sehingga ukuran
relatif dari ambang kemiskinan tersebut menurut Profesor Teken perlu
ditingkatkan menjadi 360 kg/kapita/tahun untuk perkotaan. Namun konsep
ini juga mempunyai beberapa kelemahan karena (a) tidak semua
masyarakat dan golongan masyarakat di Indonesia memilih beras sebagai
makanan pokoknya, (b) terjadinya diferensiasi harga yang terlalu besar
terutama di perdesaan dan (c) harga komoditi beras yang ada tergantung
pada harga komoditi yang disubsidi atau kredit dari pemerintah (pupuk,
pestisida dan sebagainya).
(4) Kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan
sembilan bahan pokok ini dikembangkan oleh Direktorat Jendral Tata
Guna Tanah atas prakarsa Prof.I. Made Sandy, dengan menetapkan
kebutuhan baku minimal, kemudian kebutuhan bahan baku minimal
tersebut dikalikan dengan harga dan ditotalkan sembilan kebutuhan pokok
tersebut. Tingkat pengeluaran tiap keluarga dihitung dalam rupiah,
kemudian baru disusun suatu kriteria perbandingan antara total pendapatan
dengan indeks kebutuhan sembilan bahan pokok. Hasil yang diperoleh
kurang dari 75 % tergolong sangat miskin, 75-100 persen hampir sangat
miskin, 100-125 miskin dan lebih dari 125 % tidak miskin. Konsep inipun
memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah (a) kesulitan dalam
menentukan satuan fisik kebutuhan minimal karena kebutuhan tiap wilayah
beragam, (b) sebagian dari sembilan bahan pokok tersebut disubsidi
pemerintah dan sebagian lainnya tidak sehingga kurang homogen.
Disamping itu penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering
meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin,
sangat miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari seringkali
berkonotasi merendahkan.
Pada prinsipnya ketiga kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
(a) semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan akan barang-barang dibandingkan terhadap jasa maka seseorang
50
dikategori semakin miskin. (b) Semakin besar persentase pendapatan yang
dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan dari pada non
pangan maka seseorang dikategorikan semakin miskin, dan (c) Semakin besar
kemampuan seseorang untuk memenuhi sembilan bahan pokok maka
seseorang dikategori semakin kaya.
Mencermati beberapa indikator kemiskinan dari para pakar yang di ulas di
atas, pada prinsipnya ukuran kemiskinan atau angka kemiskinan yang
diperoleh, menggunakan pendekatan pendapatan. Ukuran kemiskinan dengan
pendekatan pendapatan (angka kemiskinan) yang mengukur proporsi
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, yakni ukuran yang
menggunakan derivasi pada standar kehidupan yang dicapai, nampaknya
mempunyai sudut pandang yang berbeda menurut ukuran Indeks Kemiskinan
Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan United
Nation Development Programme (UNDP) dalam Laporan Pembangunan
Manusia (Human development report=HDR), namun kedua ukuran tersebut
(IKM dan Angka kemiskinan) akan memberikan gambaran yang menarik jika
digabungkan (HDR, 2004).
Indeks pembangunan manusia dapat dihitung dengan menggunakan
indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketidak
tersediaan pendidikan dasar serta ketidak tersediaan akses terhadap
pelayanan dasar (sumber daya publik dan sumber daya privat). Masing-masing
indikator diwakili oleh persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai
usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, persentase
penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air
bersih dan persentase anak berumur lima tahun ke bawah dengan berat badan
rendah. Ukuran indikator IKM tersebut dapat diformulasikan dalam rumus
sebagai berikut :
IKM = [1/3 (P13 + P23 + P33 (1/3 (P31 +P32+P33)]1/3
Dimana : IKM = Indeks Kemiskinan manusia,
P1 = Persentase penduduk wilayah ke-i yang tidak mencapai usia 40 tahun.
P2 = Angka buta huruf penduduk umur dewasa (15 tahun ke atas)
P3 = Keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar.
P31 = Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih (Persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air
51
PAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septik –tank)
P32 = Persentase penduduk yang tidak memiliki akses sarana kesehatan (prosentase penduduk yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih dari sarana kesehatan)
P33 = Persentase anak berumur kurang dari lima tahun (Balita) dengan status gizi kurang ( prosentase balita yang tergolong dalam golongan status gizi rendah dan menengah).
Untuk mengatasi kesenjangan kemiskinan, Kuncoro (2003) menyimpulkan
beberapa alternatif solusi dari beberapa pakar ekonomi berdasarkan
pengalaman di negara-negara Asia yang menunjukkan adanya berbagai model
mobilasai perekonomian perdesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu
Pertama mendasarkan pada mobilisasi tenaga kerja yang masih belum
didayagunakan dalam rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan
modal di perdesaan (Nurkse, 1951); Kedua menitik beratkan pada transfer
sumber daya dari pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (Lewis, 1954,
Fei dan Ranis, 1964); Ketiga menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam
sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan
sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin (Schultz,1963; Mellor, 1976).
l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut PBB adalah nilai yang
menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan
hidup, dan faktor-faktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Indeks ini
dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq, dan
telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya
(http://id.wikipedia.org/wiki/PBB).
Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga
dimensi dasar pembangunan manusia, yakni:
Usia yang panjang dan sehat, yang diukur dengan angka harapan hidup
Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis dengan
pembobotan dua per tiga; serta angka partisipasi kasar dengan pembobotan
satu per tiga
Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB)
per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS.
Dalam laporan pembangunan manusia yang di publikasi United Nations
Development Programme (UNDP) Tahun 1990, menyatakan bahwa
52
pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan
yang dimiliki manusia. Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting
adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk
mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup
secara layak. Diantara pilihan lain yang tak kalah pentingnya adalah kebebasan
politik, jaminan atas hak asasi dan harga diri. Hal ini berarti konsep
pembangunan manusia mempunyai cakupan yang lebih luas dari teori
konvensional pembangunan ekonomi.
Model pembangunan ekonomi konvensional lebih menekankan pada
peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) dari pada memperbaiki kualitas hidup
manusia. Pembangunan sumber daya manusia cenderung untuk memperlakukan
manusia sebagai input proses produksi, yakni sebagai alat, bukannya sebagai
tujuan akhir. Pendekatan kesejahteraan melihat manusia sebagai penerima dan
bukan sebagai agen dari perubahan dalam proses pembangunan. Adapun
pendekatan ”kebutuhan dasar” terfokus pada penyediaan barang-barang dan
jasa-jasa untuk kelompok masyarakat tertinggal, bukannya memperluas pilihan
yang dimiliki manusia di segala bidang. Sedangkan pendekatan pembangunan
manusia menggabungkan aspek produksi dan distribusi komoditas, serta
peningkatan pemanfaatan kemampuan manusia. Pembangunan manusia melihat
secara bersamaan semua isu dalam masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi,
perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari
sudut pandang manusia. Dengan demikian pembangunan manusia tidak hanya
memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif
dari semua sektor.
Pembangunan manusia mempunyai empat elemen utama (HDR, 1995 yang
diacu HDR 2004), yakni :
Produktivitas. Masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka
dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan
pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu
jenis pembangunan manusia.
Ekuitas. Masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang
adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus
agar masyarakat dapat berpartisipasi didalam dan memperoleh manfaat dari
kesempatan-kesempatan ini.
53
Kesinambungan. Akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan
tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang.
Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup harus dilengkapi.
Pemberdayaan. Pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat, dan bukan
hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam
mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan
mereka.
Indeks pembangunan manusia merupakan angka agregat yang dapat
diartikan sebagai jarak yang harus ditempu ” shortfall ” suatu wilayah untuk
mencapai nilai maksimum 100. Bagi suatu wilayah angka IPM yang diperoleh
menggambarkan kemajuan pembangunan manusia di daerah tersebut dan
merupakan tantangan yang harus dihadapi, dan upaya apa yang harus dilakukan
untuk mengurangi jarak yang harus ditempu. Dengan demikian IPM mengukur
pencapaian keseluruhan dari suatu negara atau wilayah dalam tiga dimensi
dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, yang diukur dari harapan
hidup sejak lahir, pengetahuan / tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi
antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga)
dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot satu per tiga) dan suatu standar hidup
yang layak, diukur dengan pengeluaran perkapita dalam Dollar atau Rupiah.
Ukuran IPM tersebut dapat diformulasikan dalam Rumus sebagai berikut :
IPM = 1/3 (indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3)
Dimana : X1 = lama hidup (angka harapan hidup),
X2 = Tingkat pendidikan (angka melek huruf/rerata lama sekolah)
X3 = Tingkat kehidupan (Pengeluaran per kapita)
Kemudian Indeks X1, Indeks X2 dan Indeks X3 dihitung dengan formula :
Indeks X (i,j) = (X(i,j) – X (i-min)) / (X(i-max) – X(i-min) )
Dimana : X (i,j) = Indikator ke-i dari daerah j (i=1,2,3 j=1,2...n)
X (i-min) = Nilai minimum dari Xi
X(i-max) = Nilai maksimum dari Xi
Mencermati sejumlah kerangka teori yang diulas di atas maka untuk
menganalisis kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah
pembangunan biasanya didekati dengan beberapa metode antara lain: (1)
metode analisis I-O untuk melihat keterkaitan dan kerekaan antar sektor; (2)
Indeks Williamson untuk melihat kesenjangan pertumbuhan PDRB, Pendapatan
perkapita, penyebaran tenaga kerja dan aprosimaksinya; entropy interaksi
54
spasial untuk melihat kuat lemahnya interaksi spasial antar wilayah
pembangunan; (3) Indeks skalogram untuk melihat perkembangan kemajuan
suatu wilayah melalui penyediaan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, (4)
berbagai indikator kesejahteraan masyarakat seperti IPM,IKM; (5) Metode
Location quotient (LQ), Shift share analysis (SSA), dan Margin Tataniaga untuk
melihat sektor basis atau komoditi unggulan setiap daerah dengan tingkat
pergeseran dan daya kompetetif yang didukung dengan tingkat kelembagaan
pemasaran yang efisien ( Rustiadi et al. 2004).
2.2. Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu
Salah satu alat analisis ekonomi yang digunakan untuk melihat kesenjangan
pembangunan antar negara atau wilayah adalah Indeks williamson. Indeks
Williamson lazim digunakan untuk melihat Kesenjangan PDRB antar wilayah.
Semakin tinggi indeks williamson maka proses kesenjangan antar daerah
semakin besar. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Budiharsono (1996) untuk
menganalisis Trasformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar Daerah di
Indonesia Tahun 1969 sampai dengan 1987, dengan menggunakan Indeks
Williamson menunjukkan bahwa Indeks williamson di Indonesia pada kurun
waktu 1969 sampai 1987 berkisar antara 0,8864 sampai 0,9199 sedangkan
apabila tanpa minyak, Indeks Williamson berkisar antara 0,340 sampai 0,5240 .
Sedangkan Indeks Williamson untuk KBI berkisar 0,8569 sampai 0,9015 dan
untuk KTI berkisar antara 0,8121 sampai 0,8461.
Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan (PDRB) antar daerah
lebih tinggi untuk seluruh Indonesia dibandingkan dengan di KBI dan KTI.
Demikian juga kesenjangan pandapatan (PDRB) antar daerah di KBI lebih tinggi
dari pada di KTI. Fenomena ini menunjukkan bahwa Pendapatan Daerah (PDRB)
di KTI relatif lebih seragam jika dibandingkan dengan Indonesia maupun KBI,
tetapi pada tingkat pendapatan yang rendah. Relatif tingginya kesenjangan
pendapatan (PDRB) antar daerah di KBI jika dibandingkan dengan di KTI
disebabkan karena beberapa provinsi pertumbuhannya cepat sedangkan provinsi
lainnya pertumbuhannya lambat. Pertumbuhan PDRB KBI yang cepat karena
berkembangnya sektor (primer, sekunder dan tersier) berkembang lebih cepat
dibanding KTI. Begitupula pendapatan perkapita penduduk KTI lebih rendah
dibanding KBI. Kondisi ini kurang mendorong pertumbuhan sektor-sektor riil yang
mendorong pertumbuhan PDRB.
55
Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Nurzaman (2002) terhadap
perkembangan struktur ekonomi di Indonesia untuk membandingkan dampak
krisis tahun 1997 terhadap kesenjangan sektor di Indonesia 1975-1998 dengan
menggunakan Indeks Williamson (Vw), memperlihatkan bahwa sektor yang
secara relatif merata dan terkonsentrasi di seluruh Indonesia adalah sektor
pertanian. Dimana sub sektor yang mempunyai peranan besar terhadap
meratanya sektor pertanian adalah sub sektor bahan makanan (0,3077) dan
peternakan (0,5598). Akan tetapi hal ini bisa dimengerti karena kedua sub sektor
tersebut merupakan kebutuhan dasar yang sudah mengakar kuat di setiap
wilayah. Sektor Industri hampir mempunyai penyebaran yang sama dengan
sektor ekonomi Indonesia secara keseluruhan, akan tetapi dirinci berdasarkan
industri migas dan migas, terlihat bahwa industri nonmigas lebih merata.
Selain dari dua kasus di atas masih banyak kasus kesenjangan wilayah yang
diduga dengan Indeks Williamson, namun pada umumnya penelitian
kesenjangan pembangunan dengan indeks williamson belum banyak diterapkan
pada struktur wilayah yang terbawa, baru pada tingkat nasional dan provinsi.
Sedangkan kesenjangan pembangunan lebih terasa adalah wilayah-wilayah level
bawah yang membutuhkan keadilan dan derajat hidup yang perlu diperbaiki,
kondisi ini juga berlaku untuk indeks entropy (IE), entropy interaksi spasial, SSA
dan LQ lebih memperlihatkan kondisi makro secara agregat dibanding mikro
ditingkat perdesaan dan kecamatan sebagai wilayah kerja pembangunan masih
sangat kurang untuk mendapat perhatian .
56
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran. Kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah memang
merupakan fenomena semua negara di dunia, apakah negara maju maupun
negara berkembang. Sehingga merupakan suatu kewajaran apabila dalam suatu
negara terdapat daerah terbelakang dibanding daerah lainnya karena ada faktor-
faktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain faktor struktur sosial ekonomi
dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan yang mencakup faktor geografi,
sejarah, polotik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi
(Budiharsono 1996; Murty 2000; Rustiadi et al. 2003). Namun demikian pada
negara-negara maju kondisi itu bisa dieliminir sekicil mungkin, dengan kebijakan
pemerintah yang optimal dalam proses pembangunan, bila dibandingkan dengan
negara-negara berkembang tingkat kesenjangannya sangat tajam. Proses
pembangunan yang dilakukan pada negara-negara berkembang selama ini
belum banyak mereduksi ketajaman kesenjangan pembangunan antar sektor
dan antar wilayah karena faktor kekakuan sosial ekonomi (sosio-economic
regidities) dan imobilitas faktor (factor immobilities).
Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan nasional
yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah
pembangunan yang cukup melebar dan kompleks. Proses pembangunan yang
dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah
pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya bagi pencapaian sasaran utama pertumbuhan makro ekonomi
yang tinggi, tetapi tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah
memicu kesenjangan pertumbuhan yang amat melebar antar wilayah/daerah di
Indonesia. Daerah-daerah di pulau Jawa relatif mengalami perkembangan
ekonomi yang lebih baik bila dibandingkan dengan daerah-daerah di luar pulau
Jawa. Kawasan Barat Indonesia (KBI) relatif lebih maju di bandingkan dengan
Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah kota berkembang lebih cepat dibanding
daerah perdesaan.
Trickle down effect yang diharapkan dari sasaran perencanaan
pembangunan masa lalu ternyata pergerakannya sangat lamban. Di lain sisi
sumberdaya di beberapa daerah semakin terkuras tidak terkendali mengalir ke
pusat, sehingga terjadi apa yang di sebut sebagai backwash effect, sementara
daerah-daerah yang sumberdayanya dianggap terbatas dan terisolasi
57
dimarjinalkan, distribusi alokasi sumberdaya amat di bawah proporsional.
Akibatnya, wilayah seperti itu tidak mampu membangun struktur wilayah yang
mendorong kemampuan endowment atau sumberdaya domestik wilayah untuk
berkembang, sehingga yang diharapkan bahwa pusat pertumbuhan dengan
daerah belakang (hinterland) dapat berkembang bersama-sama secara
berimbang kurang diwujudkan dalam implementasinya bahkan hanya
merupakan suatu retorika perencanaan.
Sedangkan pembangunan yang sebenarnya, harus menghasilkan otonomi
yang lebih besar bagi masyarakat secara internal maupun eksternal
(Goenarsyah 2004), lebih lanjut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan
antara KBI dan KTI, bukan saja lebih disebabkan karena kesenjangan dalam
redistribusi pendapatan, tetapi kesenjangan yang terjadi adalah bagaimana
membangun struktur/hirarki pertumbuhan wilayah yang mendorong iklim
investasi ke wilayah KTI.
Kesenjangan tersebut apabila tidak dieliminir secara hati-hati dalam
kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan kedepan bisa saja akan
menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks dan dalam konteks makro
sangat merugikan proses pembangunan yang ingin di capai sebagai suatu
bangsa yang utuh. Kenyataan emperik menunjukkan bahwa cukup banyak
wilayah wilayah di KTI yang tergolong sebagai wilayah-wilayah marjinal yang
memerlukan proses pembangunan yang spesifik. Proses pembangunan itu
hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik pemerintah pusat dengan
memberikan investasi yang proporsional serta pemberian kesempatan
perdagangan internasional dan mendorong peningkatan investasi swasta
(Budiharsono 1996; Hadi 2001).
Sebagai wilayah marjinal, bukan berarti tidak ada proses pembangunan
sama sekali, akan tetapi pendekatan pembangunan yang sektoral dengan
alokasi sumberdaya yang sangat tidak proporsional tak akan mungkin
membangun suatu struktur wilayah yang simetrik. Berbagai program
pembangunan telah digalakan pemerintah baik yang berbasis kawasan ekonomi
maupun yang berbasis perdesaan. Program pembangunan yang berbasis
kawasan ekonomi seperti Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(KAPET), Program Pengembangan Wilayah Strategis/Wilayah Perbatasan,
Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Program Pengembangan
Kawasan sentra produksi (KSP) dan sebagainya. Sedangkan program yang
58
berbasis pada pengembangan desa Tertinggal seperti Inpres Desa Tertinggal
(IDT), Inpres Sekolah Dasar, Inpres Sarana Kesehatan, Program Pembangunan
Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK)
dan lain sebagainya tetapi belum banyak mereduksi kesenjangan pembangunan
antar sektor dan antar wilayah. Hal ini berarti kesenjangan yang terjadi bukan
saja karena alokasi sumber dana yang terbatas, tetapi yang terpenting adalah
bagaimana memanfaatkan alokasi sumber dana terbatas yang ada, dalam suatu
keterpaduan antar sektor dan antar wilayah secara dinamis dalam kerangka
pengembangan wilayah belum mendapat peran sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan diberlakukannya Undang–Undang Nomor 22 Tahun
1999 (sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1999
Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang sekarang sudah
diperbaharui pula dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004), secara
langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi luas dalam sistem
perencanaan pembangunan di daerah. Pemerintah daerah sudah diberikan
kewenangan yang lebih besar didalam merencanakan arah pembangunannya.
Pada sisi lain, pemerintah daerah juga ditantang kemandiriannya didalam
memecahkan permasalahan-permasalahan di daerahnya. Otonomi daerah juga
mengisyaratkan semakin pentingnya pendekatan pembangunan berbasis
pengembangan wilayah dibanding pendekatan pembangunan dengan
pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah
memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar
pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah (Rustiadi et al. 2003).
Salah satu aspek pembangunan berbasis wilayah yang harus diperhatikan
adalah aspek “penataan ruang” karena penataan ruang merupakan bagian dari
proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari
pembangunan yang berkeadilan atau berimbang. Dengan demikian
implementasi otonomi daerah akan kurang efektif, apabila suatu wilayah otonom
kurang memperhatikan aspek penataan ruang sebagai pedoman dalam berbagai
kegiatan pembangunan sektor ekonomi wilayah oleh karena hakekat penataan
ruang adalah bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan antar
sektor dan antar wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya
kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau
mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah.
59
Menurut Rustiadi et al. (2003) bahwa ruang merupakan bagian dari alam
yang dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan
direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh
karena itu penyusunan suatu perencanaan “tata ruang” wilayah yang lebih
komprehensif dan akomodatif terhadap semua kepentingan yang berspektif
efisien, adil dan keberlanjutan, akan menjadi landasan dalam membangun
keterpaduan antar sektor dan antar spasial yang lebih optimal. Oleh karenanya
penyusunan Tata Ruang Wilayah Kabupten yang lebih komprehensif dan
akomodatif, berdasarkan paradigma otonomi yang melibatkan semua pihak
sebagai pelaku pembangunan di daerah sudah seharusnya menjadi kebutuhan
yang tak pelu ditunggu lagi.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis
antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program pembangunan di
dalam kelembagaan sektoral hendaknya dilakukan dalam kerangka
pembangunan wilayah. Keterpaduan tersebut tidak hanya mencakup hubungan
antar lembaga pemerintah tetapi juga antar pelaku-pelaku ekonomi secara luas
dengan latar sektor yang berbeda. Dimana pada perencanaan pembangunan
masa lalu hal ini kurang mendapat tempat, sehingga ego sektor lebih dominan
ketimbang keterkaitan sektor sehingga kesenjangan antar sektor semakin
melebar dan berimplikasi pada struktur ekonomi wilayah yang rapuh. Sedangkan
menurut Rustiadi et al. (2004) bahwa wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh
adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer
input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis.
Demikianpula keterpaduan spasial membutuhkan adanya interaksi spasial
yang optimal antar berbagai wilayah pembangunan baik intra maupun inter
wilayah dengan maksud terjadi struktur keterkaitan antar wilayah yang dinamis.
Keterpaduan spasial ini dibutuhkan karena didasari pada suatu kenyataan
bahwa sumberdaya alam serta aktivitas sosial ekonomi di suatu wilayah tak akan
mungkin tersebar secara merata dan seragam, sehingga diperlukan adanya
mekanisme interaksi didalam dan keluar wilayah secara optimal. Di lain sisi
keterpaduan spasial juga diperlukan agar pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi
yang sudah diruangkan dapat dimanfaatkan secara berimbang dalam menjawab
tantangan kesejahteraan masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang
dibutuhkan. Penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang optimal antar
60
wilayah akan mendorong intensitas interaksi spasial yang optimal dan saling
memperkuat.
Disadari bahwa dalam suatu proses perencanaan, keterbatasan
sumberdaya selalu menjadi constraint, maka pemahaman bersama dalam
menentukan skala prioritas pembangunan amat diperlukan. Dari sudut dimensi
sektor pembangunan, suatu skala perioritas didasarkan pada pemahaman
bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang
berbeda terhadap pencapaian sasaran–sasaran pembangunan seperti
penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, pendapatan perkapita regional
dan masyarakat); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor
lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral
tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki
aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam,
sumberdaya buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial yang ada (Rustiadi
et al. 2004).
Berpijak pada pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah
selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan
yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan
spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung
dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud akibat
perkebangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lainnya,
dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran.
Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi
sumbangan sektoral, serta keterkaitan sektoral dan regional perekonomian
wilayah, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan Analisis Input-
Output (Analisis I-O) walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu.
Selain Analisis I-O keterkaitan aktivitas ekonomi wilayah biasanya didekati
pula dengan model entropy interaksi spasial. Namun demikian akumulasi nilai
yang dihasilkan dari keterkaitan sektor antar wilayah sering tidak berimbang.
Kesenjangan nilai tambah yang dicerminkan dalam PDRB perkapita atau
indikator indikator lain yang bisa menggambarkan nilai pendapatan dari semua
unit lapangan usaha antar wilayah. Kesenjangan seperti ini lazim diduga
dengan Indeks Williamson, sekalipun memiliki kelemahan yaitu tidak mampu
menjelaskan adanya keterkaitan dan interaksi antar wilayah. Dilain sisi
keterkaitan sektor dan interaksi antar wilayah akan optimal apabila hirarki-pusat-
61
pusat aktivitas sosial ekonomi wilayah didukung dengan fasilitas ekonomi dan
pelayanan yang berimbang dan memadai antar wilayah maka diperlukan analisis
indeks skalogram untuk mengestimasi perkembangan hirarki wilayah. Suatu
wilayah akan memiliki keterkaitan kuat apabila wilayah tersebut memiliki
sumberdaya domestik yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif
dalam arti memiliki komoditi unggulan yang didukung dengan kelembagaan
pemasaran yang efisien, maka dibutuhkan analisis Location Quontient (LQ)
untuk mengestimasi sektor basis atau komoditi unggulan pada setiap wilayah
pembangunan, dan bagaimana perkembangan pergeseran dan daya saingnya
diperlukan analisis Shift share.
Berpijak pada pemahaman tersebut di atas, maka dalam kerangka otonomi
yang sedang bergulir ini, urgensi keterpaduan antar sektor dan antar wilayah
dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya domestik wilayah yang
mendasari pada Rencana Tata Ruang wilayah sebagai pedoman perwujudan
keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam menciptakan pembangunan
wilayah yang berimbang sudah semestinya menjadi juru kunci efektifnya
pelaksanaan otonomi daerah. Atas dasar pemahaman tersebut dibangun
kerangka pemikiran dasar seperti yang dilukiskan pada Gambar 3.
3.2 Hipotesis. Berdasarkan Latarbelakang permasalahan dan kerangka-kerangka teori
serta kerangka pemikiran dasar yang dipaparkan di atas, dapat ditarik hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1. Diduga kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah
pengembangan (SWP), yang diduga dari aspek kesenjangan:
penerimaan pendapatan, ketersediaan infrastruktur wilayah (sarana dan
prasarana wilayah), penyebaran alokasi APBD Pembangunan dan
intensitas interaksi spasial (arus barang, orang dan informasi) antar
hirarki/pusat aktivitas SWP menunjukkan SWP C lebih senjang dan atau
keterkaitan dan interaksi yang lebih lemah bila dibandingkan SWP A
dan SWP B. Dimana SWP B diduga lebih berkembang dan atau
keterkaitan dan interaksi lebih kuat sehingga berdampak pada
pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat lebih baik atau
lebih tinggi dibanding SWP A dan C.
2. Diduga satuan wilayah pengembangan (SWP) B lebih banyak atau lebih
cepat mengelola dan memanfaatkan aneka potensi komoditas unggulan
62
wilayah, menjadi sektor /komoditi basis yang memperkuat struktur
ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat dibanding SWP A dan
SWP C. Dimana SWP C diduga lebih lamban.
Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor.
63
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara
Timur, dengan waktu pengumpulan data berlangsung kurang lebih 3 bulan terhitung
bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2005. Sedangkan proses analisis data
sampai finalisasi penulisan Tesis dilakukan terhitung bulan Nopember 2005 sampai
dengan akhir Desember 2006.
3.4. Sumber dan Jenis Data Jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini mencakup :
a. Data Primer.
Data primer yang dimaksudkan disini adalah data yang diperoleh di tingkat
lapangan yang ada relavansi dengan tujuan penelitian ini, yakni untuk
memperoleh sumber dan jenis data yang berada di Ibu kota kecamatan dan
desa/kelurahan yang diarahkan sebagai pusat-pusat aktivitas ekonomi dalam
RUTRW Kabupaten (46 kota hiarki) yang tersebar pada 3 satuan wilayah
pengembangan (SWP), yakni SWP A (13 lokasi), SWP B (18 lokasi) dan
SWP C (15 lokasi). Data primer yang dibutuhkan terutama yang terkait
dengan jaringan interaksi spasial antar kota-kota hirarki melalui jaringan
informasi SSB yang berada di Kantor Kecamatan dan orientasi interaksi
spasial (bepergian) penduduk dalam aktivitas memenuhi kebutuhan dan
kegiatan usaha sekaligus mereview perkembangan wilayah pembangunan
berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari BPS dan Dinas/ Instansi
Daerah yang ada relevansinya dengan tujuan penelitian ini.
b. Data Sekunder.
Data sekunder yang dimaksudkan disini adalah data yang telah diperoleh
dari BPS dan instansi-instansi terkait di Kabupaten Alor yang relevan
dengan tujuan penelitian ini.
3.5 Metode Pengumpulan Data.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pengambilan sampel non-probabilitas/non acak, yakni dengan teknik “quota sampling”.
Teknik “quota sampling” ini digunakan dengan pertimbangan bahwa responden yang
dapat dipilih adalah orang-orang yang terkait secara fungsional dapat menjawab atau
dapat memberikan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan dapat mewakili
populasi yang ada. Namun jumlah responden yang terpilih sebanyak 20 persen dari
populasi (jumlah rumah tangga penduduk Tahun 2003) pada masing-masing lokasi
64
sebagai kota hirarki /pusat aktivitas pelayanan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun
1991, dengan menggunakan Model Sloven dan Gay yang diacu Umar ( 2005). Model
Sloven sebagai berikut : eN
Nn 21+=
Di mana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan ( 20 % ).
Menurut Gay yang diacu Umar (2005), bahwa ukuran minimum sampel yang dapat
diterima berdasarkan pada desain penelitian yang digunakan untuk metode deskriptif,
minimal 10 %, namun untuk populasi yang relatif kecil minimum 20 % dari populasi.
Dengan demikian data yang dikumpulkan dalam penelitian ini telah semaksimal
menggunakan data sekunder yang tersedia di Kantor BPS dan atau diberbagai
Lembaga atau intansi yang terkait, dengan cara wawancara secara semi struktural
dengan informan-informan kunci, yakni dengan pihak Pemerintah Daerah, Bappeda
Kabupaten, Dispenda, Kantor SSB dan Dinas/Instansi terkait yang ada di
Kabupaten serta beberapa Stakeholder selain lingkup pemerintah daerah, yakni
LSM, Direktur perusahaan daerah, Perguruan Tinggi setempat, swasta, dan
beberapa organisasi sosial politik dan masyarakat.
Kemudian dilanjutkan dengan review dan pengumpulan data di tingkat
lapangan dengan metode wawancara dengan sumber-sumber informan kunci di
Tingkat Kecamatan dan beberapa desa/kelurahan sebagai lokasi pusat-pusat
aktivitas sosial ekonomi yang diarahkan dalam RUTRW Kabupaten dengan
berpedoman pada Daftar koesioner. Informan kunci ditingkat lapangan yang
diwawancarai sebanyak 20-25 responden atau 20 persen dari populasi (lihat
Lampiran 11) untuk setiap lokasi yang meliputi unsur-unsur antara lain Camat,
Kepala desa/Lurah, Petugas/operator SSB, Petugas UPTD Kecamatan dan desa,
Pengelola Pasar, Ketua Kontak Tani, Penyuluh lapangan, para kader desa dan
Institusi lain ditingkat kecamatan dan desa sebagai lokasi hirarki/pusat aktivitas.
3.6. Metode Analisis 3.6.1. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah 1) Analisis kesenjangan pendapatan berdasarkan Indeks Williamson. Salah satu alat analisis kuantitatif yang lazim digunakan untuk menganalisis
kesenjangan pembangunan antar wilayah adalah dengan menggunakan
Williamson index (Williamson 1965). Indeks ini umumnya membandingkan
kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah
65
aktivitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita, proporsi
penyerapan tenaga kerja sektor suatu wilayah dalam Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Namun demikian data PDRB kecamatan jarang dipublikasi, maka
salah satu parameter yang akan dipakai dalam analisis kesenjangan pembangunan
antar wilayah kecamatan dalam penelitian ini adalah data Penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) karena dengan asumsi bahwa PBB merupakan salah satu
representasi penerimaan pendapatan seluruh penduduk dari berbagai lapangan usaha
di suatu wilayah Pembangunan. Indeks Williamson dihitung dengan menggunakan
formula:
10,
_
__
2
<<=
∑ ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
Vwnfi
Vw
y
yyi
Dimana:
Vw = indeks Williamson yi = penerimaan PBB wilayah Pengembangan i
y__
= total penerimaan PBB Kabupaten
fi = jumlah wajib PBB Pengembangan i n = jumlah wajib PBB Kabupaten
Semakin tinggi Indeks Williamson, maka proses kesenjangan antar daerah
semakin besar. Namun kelemahan dari indeks williamson adalah bahwa pertumbuhan
suatu wilayah tidak ada keterkaitan satu wilayah dengan wilayah lain.
2) Analisis kesenjangan perkembangan infrastruktur berdasarkan Indeks Skalogram. Indeks Skalogram merupakan salah satu alat analisis untuk mengukur tingkat
kesenjangan perkembangan suatu wilayah pengembangan sebagai hirarki
pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi . Metoda ini digunakan untuk menghitung
jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang ada pada
suatu pusat aktivitas sosial ekonomi. Sarana dan prasarana yang akan di hitung
dalam penelitian ini mencakup fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan,
fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan, fasilitas informasi dan fasilitas ibadah
keagamaan, yang tersebar pada 9 Kecamatan. Dimana jumlah sarana dan
jumlah jenis sarana tersebut selalu berkorelasi dengan jumlah penduduk.
Pendekatan dengan metode analisis skalogram didasarkan pada suatu
asumsi bahwa semakin banyak/tinggi tingkat penyediaan fasilitas pada suatu
lokasi, maka wilayah itu semakin berkembang sebaliknya semakin sedikit jumlah
66
sarana dan jenis sarana prasarana pelayanan maka wilayah tersebut dikategori
terbelakang.
Secara statistik metoda analisis skalogram dapat diformulasikan
berdasarkan formula yang dibangun Rustiadi et al. (2003 ) sebagai berikut:
∑=n
jiki fk
nJIP ).'( k
kikik SD
JJJ min' −=
Dimana :
Iik
= indeks perkembangan ke-k di wilayah i
I’ik = nilai indeks perkembangan ke-k yang terkoreksi (terstandarisasi) wilayah ke-i
Ik min = nilai indeks perkembangan ke-k terkecil (minimum) SDk = standar deviasi perkembangan ke –k
IPi = indeks perkembangan wilayah ke –i
Untuk keperluan analisis tersebut di atas, terlebih dahulu semua nama pusat
wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat terlebih
dahulu dalam format matriks seperti pada Tabel 7.
Tabel 7 Matriks Analisis skalogram
No WPi JPi F(j) JJF JF RJF PI(i) R(i) J1 ... Jk ... Jm 1 W1 J11 ... J1k ... J1m F1 F1/m 2 W2 J12 J2k J2m F2 F2/m . . . . . . . . . . . . i Wi Ji1 ... Jik ... Jim Fi Fi /m . . . . . . . . . . . . . . n Wn Jn1 ... Jn2 ... Jnm Fn Fn /m
Jumlah WP memiliki fasilitas
f1 ... fk ... fm
Ratio WP memiliki fasilitas fi/n ... n/fm ... fm/m
Bobot fasilitas (Fk) n/f1 ... n/fk ... n/fm
SDk Keterangan: WP(i)= Wilayah Pengembangan, JP(i) = Jumlah penduduk,
F(j) = Fasilitas, JJF= Jumlah jenis fasilitas, JF= Jumlah fasilitas, RJF= Rasio jenis fasilitas, Ipi= Indeks perkembangan, R= Ranking, SDk=Standar deviasi .
3) Analisis kesenjangan penyebaran proporsi APBD Pembangunan berdasarkan Indeks Entropy (IE) Perkembangan suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya
komponen wilayah yang antara lain ditunjukkan dengan semakin luasnya hubungan
67
yang dapat dijalin antara sub wilayah - sub wilayah dalam sistem tersebut maupun
sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktivitas tersebut diduga dengan
indeks entropi penyebaran. Pemanfaatan konsep entropy ini dapat digunakan untuk
banyak hal. Dalam penelitian ini Konsep entropy penyebaran ini digunakan untuk
menganalisis Penyebaran alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah
Pembangunan (SWP), dimana alokasi APBD pembangunan dalam suatu SWP
merupakan akumulasi alokasi APBD pada Sub-Sub wilayah Kecamatan sebagai Unit
Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Bagaimana perkembangan SWP yang
ditunjukkan dengan jumlah komponen aktivitas alokasi APBD Pembangunan antar
sub-sub wilayah, digunakan analisis Entropy penyebaran dengan formula yang
dibangun Saefulhakim , (2003) sebagai berikut :
PP i
n
iiIE ln
1∑
=
−=
Dimana :
IE : Indeks EntropiPi : Xi /ΣxiXi : Alokasi APBD SWP ke-i (Rp)
Untuk menjustifikasi tingkat perkembangan, maka ada ketentuan bahwa jika
Indeks entropy (IE) semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi
atau semakin merata
4) Analisis kesenjangan interaksi spasial (arus informasi pelayanan pemerintah) berdasarkan model entropi interaksi spasial tanpa kendala (unconstrained entropy model ).
Untuk menganalisis kesenjangan interaksi spasial (arus informasi pelayanan
pemerintah ) antar wilayah pembangunan berdasarkan hirarki aktivitas sosial ekonomi
dari kota Ordo utama ke kota ordo II, III, IV dan sebaliknya dapat diduga dengan model
entropi interaksi spasial tanpa kendala (Unconstrained Entropy Model) yang
dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu Saefulhakim (2003 ). Secara
matematis diformulasikan sebagai berikut :
( )εβijijij dF kExp ++= . atau εβ
ijijij dF k ++= .ln
Dimana:
Fij = Banyaknya intensitas interaksi spasial antara tempat asal
ke-i dengan tempat tujuan ke- j
dij = kendala yang berkaitan dengan tempat asal ke-i dengan
tempat tujuan ke –j
68
k = Parameter konstanta yang besarnya diduga dengan model dari data
β = Parameter hambatan mobilitas spasial, yang besarnya diduga dengan model dari data
εij = Parameter Galat yaitu besarnya kesalahan pendugaan
model terhadap banyaknya interaksi spasial dari tempat asal ke -i dengan tempat tujuan ke-j.
Model analisis interaksi spasial ini dimaksudkan untuk menganalisis
hubungan timbal balik antara pusat-pusat kegiatan sosial ekonomi dalam suatu
wilayah pembangunan yang difokuskan pada aliran informasi aktivitas pelayanan
pemerintah melalui alat komunikasi pemerintah daerah yang tersedia antar
hirarki wilayah pembangunan.
Model analisis interaksi spasial ini digunakan untuk melihat kuat lemahnya
intensitas interaksi spasial antar hirarki wilayah dalam kaitannya dengan aktivitas
pelayanan pemerintah.
Selain analisis entropi interaksi spasial tanpa kendala (uncostrained
entropy model), untuk menganalisis arus informasi pelayanan pemerintah, juga
digunakan analisis “ Deskriptif “ untuk melihat pola interaksi spasial (arus
distribusi barang (komoditi) dan orang antar hirarki/pusat aktivitas sosial ekonomi
antar SWP.
3.6.2.Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan Sektor basis/komoditi unggulan adalah sektor/komoditi yang memiliki
keunggulan dalam memenuhi permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang
dihasilkan dan diekspor dari wilayah tersebut, dan memiliki kekuatan utama
dalam memenuhi pertumbuhan wilayah. Dengan kata lain sebagai
sektor/komoditas eksport yang membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke
belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan).
Metode analisis yang umum dipakai dalam pembangunan ekonomi wilayah,
terutama untuk mengetahui sektor basis atau komoditi unggulan suatu wilayah
adalah:
1) Metode Location Quotient (LQ) Secara matematik, perhitungan LQ dilakukan dengan menggunakan formulasi
sebagai berikut:
PPpp
LQj
iij
ij*
*=
69
Dimana:
LQij = Nilai LQ untuk aktifitas ke-j di wilayah Pengembangan ke-i pij = produksi/aktifitas sektor/komoditi ke-j pada
wilayah pengembangan ke-i pi.* = produksi/ aktifitas sektor/komoditi total pada
wilayah pengembangan ke-i P* = Produksi/ aktifitas sektor/komoditi total wilayah Kabupaten Pj = Produksi/aktifitas sektor/komoditi ke-j pada
total wilayah Kabupaten i = Wilayah pengembangan yang diteliti j = Aktifitas ekonomi yang dilakukan
Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut:
a. Apabila nilai LQij > 1, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut merupakan sektor basis/komoditi unggul/andalan, mempunyai pangsa relatif yang lebih besar dibanding sektor lainya
b. Apabila nilai LQij = 1, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut setara dengan sektor daerah atau mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total.
c. Apabila nilai LQij < 1, menunjukan bahwa sektor tersebut tergolong sektor/komoditi non basis, yang mempunyai pangsa relatif yang lebih kecil dan hanya memenuhi konsumsi lokal.
2) Shift Share Analysis (SSA)
Merupakan salah satu teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur
aktivitas di suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan cakupan wilayah yang
lebih luas pada dua titik waktu. Secara matematik dapat diformulasikan sebagai
berikut :
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡−⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡− += X
XXX
XX
XX
XX
toi
ti
toij
tij
cto
t
toi
ti
bto
tSSA
a
)(
)1(
)(
)1(
)..(
)1..(
)(
)1(
)..(
)1..( 1
Dimana: SSA = komponen shift share a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen diferential shift X = nilai total produksi komoditas/aktivitas dalam total wilayah
(kabupaten) Xi = nilai total jenis komoditas/aktivitas tertentu dalam total
wilayah kabupatenXij = nilai jenis komoditas/aktivitas tertentu dalam wilayah
Pengembangan (WP) t1 = titik tahun terakhir (2003) t0 = titik tahun awal (1998)
70
Intepretasi hasil analisis SSA sebagai berikut:
a. Apabila nilai SSA > 0, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran yang cepat.
b. Apabila nilai SSA = 0, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor/komoditi basis
c. Apabila nilai SSA < 0, menunjukan bahwa sektor /komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhannya lamban.
Secara singkat rangkuman kegiatan pengumpulan jenis dan sumber data dan
pendekatan metode analisis serta output yang akan di hasilkan diperlihatkan pada
Tabel 8 berikut :
Tabel 8 Matriks rangkuman kerangka penelitian analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan di Kabupaten Alor
Tujuan
Metode analisis
Jenis dan sumber data
Output yang diharapkan
1. Menganalisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan :
(1) Kesenjangan pendapatan
♦ Indeks Williamson
♦ Data Penerimaan PBB
Kecamatan Tahun 1999-2004 (Rp)
♦ Mengetahui kesenjangan pendapatan antar SWP
♦ Sumber : Dispenda Kab. Alor (2) Kesenjangan ♦ Indeks ♦ Data fasilitas ekonomi ♦ Mengetahui perkembangan Skalogram (pasar, Bank, took/kios, kesenjangan infrastruktur perusahaan,Koperasi perkembangan Sosial-ekonomi obyek wisata, dan hirarki/ pusat pertamina aktivitas Social ♦ Data fasilitas ekonomi antar SWP Perhubungan (darat, laut dan udara) ♦ Data fasilitas pendidikan (SD,SLTP,SLTA dan PT) ♦ Data fasilitas Kesehatan (Rumah sakit,Puskesmas, Pustu,Polindes dan Balai Pengobatan) ♦ Data fasilitas informasi dan Telekomunikasi ♦ Data fasilitas Penerangan ♦ Data fasilitas penyediaan air bersih ♦ Data fasilitas Peribadatan ♦ Data fasilitas Publik dan swasta. ♦ Sumber : BPS Kab.Alor
Dengan unit data: desa/kelurahan.
71
Sambungan Tabel 8. (3) Kesenjangan
penyebaran alokasi APBD
♦ Indeks Entropy (IE)
♦ Data alokasi RAPBD Kab.Alor TA: 1997/1998 - 2003 per Kecamatan
♦ Mengetahui kesen- jangan proporsi aloksi APBD
pembangunan dalam unit (Rp) pembangunan wilayah ♦Sumber : Bappeda Kab.Alor (4) Kesenjangan ♦ Entropy inte- ♦ Data arus informasi ♦ Mengetahui kesen- interaksi spasial raksi spasial pelayanan pemerintah jangan interaksi antar hirarki/ tanpa kendala melalui saluran SSB pelayanan peme- pusat aktivitas (unconstrained (informasi pasar, bencana rintah antar hirarki/ wilayah Entropy model) alam, kegiatan program/ pusat aktivitas pembangunan Proyek, kunjungan kerja) wilayah pemba- Tahun 2003 per kecamatan ngunan ♦ Deskriptif ♦ Data aliran orang ♦ Mengetahui pola antar SWP Tahun 2004 interaksi spasial ♦Data aliran orang, barang antar hirarki/pusat dan angkutan antar -inter aktivitas wilayah regional Tahun 2002 - pembangunan dan 2003 antar regional ♦ Data IPM,IKM,Tahun 1999♦ Mengetahui derajat dan 2002 per Kabupaten kesejahteraan ♦ Data kemiskinan,Tahun masyarakat 2000-2004 per kecamatan ♦ Penyebaran penduduk, Per desa Tahun 2003 ♦ Data perkembangan kesehatan dan pendidikan Per kecamatan (2003) ♦ Data pendapatan Perkapita Kabupaten Tahun 2000-2003 ♦ Data RUTRW 1991 ♦ Sumber : Kantor SSB Kab.Alor, BPS Pusat dan Alor, Syahbandar Alor, Koperasi TKBM dan data Primer (orientasi interaksi Spasial antar SWP)
2.Menganalisis ♦ Location ♦ Data produksi dan harga ♦ Mengetahui jumlah seberapa besar Quotient komoditas unggulan/ dan jenis komoditas sektor/komoditi (LQ) Strategis Tahun 2003 unggulan/ strategis unggulan/strate- antar SWP (yang gis antar wilayah memiliki keunggul- pembangunan an komparatif/ dan pendapatan sentra) masyarakat ang memperkuat ♦ Shift Share ♦ Data produksi dan harga ♦ Mengetahui perge-
struktur ekonomi Analysis konstan komoditas ung- seran pertumbuhan dan pendapatan (SSA) gulan/strategis dengan dan kemampuan masyarakat tahun awal 1998 dan ta- kompetitif komodi- hun akhir 2003 tas unggulan/stra- ♦ Sumber : BPS Kab.Alor, gis antar SWP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Alor
72
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Umum Kabupaten Alor. 4.1.1. Keadaan Fisik 4.1.1.1. Letak geografis dan Administrasi wilayah Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten dari 16 Kabupaten/Kota di
Propinsi Nusa Tenggara Timur, secara geografis terletak antara 8o – 6o Lintang
Selatan arah Utara, 8o – 36o Lintang Selatan arah Selatan dan 1250 – 8o Bujur
Timur arah Timur dan 123o – 48o Bujur Timur arah Barat. Sedangkan secara
Administratif wilayah, batas Kabupaten Alor adalah sebagai berikut :
• Di sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Flores (Propinsi Sulawesi
Selatan).
• Di sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Ombay (Negara Timor
Leste, dan Timor Barat ).
• Di sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Lomblen (Kabupaten
Lembata)
• Di sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau-Pulau Maluku Tenggara.
Kabupaten Alor mempunyai luas wilayah daratan 2.864,64 Km2 atau
286.464 Ha. Merupakan Kabupaten kepulauan yang mencakup 17 buah gugusan
pulau dengan luas wilayah perairan laut seluas 10.973, 62 km2. Dari 17 buah
gugusan pulau – pulau tersebut, hanya 9 pulau yang dihuni penduduk sedangkan
8 pulau diantaranya merupakan pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi
pengembangan kedepan. Dari kesembilan pulau yang dihuni penduduk, hanya
terdapat dua pulau yang relatif lebih besar yaitu pulau Alor (210.476 Ha) dan
pulau Pantar (68.652 Ha). Kemudian diikuti pulau Pura ( 2.753 Ha), pulau
Kangge (1.368 Ha ), Sedangkan pulau-pulau berpenghuni lain seperti pulau
Treweng, pulau Ternate, pulau Buaya, pulau Kepa, dan pulau Kura memiliki luas
dibawah 400 Ha. Delapan pulau – pulau kecil yang tidak berpenghuni adalah
pulau Rusa, pulau Kambing, pulau Lapang, pulau Batang, pulau Sika, pulau
Kapas, pulau Tikus dan pulau Nuba ( BPS, 2002).
Kabupaten Alor yang dibentuk dari 17 buah gugusan pulau, pada awal
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 1991, wilayah
administratif Pemerintahan hanya terdiri dari 6 Kecamatan, 3 Kecamatan
Pembantu dan 58 desa. Dalam kurun waktu tahun 1990 – tahun 2004 wilayah
administrasi pemerintahan mengalami 2 tahap pemekaran, sehingga sampai
keadaan tahun 2004 wilayah administratif pemerintahan terdiri dari 9 Kecamatan
73
dan 175 Desa/Kelurahan (301,72 %) dari tahun 1990. Dari 175 desa /Kelurahan
tersebut, 62,86 persen (110 desa/kelurahan) merupakan desa/kelurahan pesisir.
Perkembangan wilayah administratif yang meningkat drastis tersebut, lebih
mempertimbangkan kemudahan jangkauan pelayanan pemerintah, karena faktor
keterisolasian dan permukiman yang tersebar. Dari 9 Kecamatan tersebut
dimekarkan lagi menjadi 17 Kecamatan pada Tahun 2005 berdasarkan PERDA
Kabupaten Alor Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Kecamatan di
Kabupaten Alor.
4.1.1.2. Topografi, Iklim,Sumberdaya air dan Penggunaan lahan.
Kabupaten Alor secara geofisik, sebagian besar luas wilayah daratan
merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang dalam,
dengan kemiringan di atas 40 derajat seluas 184.053,12 Ha (64,25 %);
Kemiringan 15 - 40 derajat seluas 67.691,44 Ha (23,61 %); kemiringan 00-15
derajat seluas 34.776,72 Ha (12,14 %). Dengan kondisi geomorfologi yang
demikian juga memberikan iklim yang variatif bagi pengembangan aneka
komoditi, namun dalam upaya pengembangannya, memerlukan penerapan
tekhnologi konservasi yang intensif.
Kabupaten Alor, termasuk dalam daerah dengan keadaan iklim subtropis
(semiarid) dengan rata – rata temperatur 27,41 derajat celcius atau rata - rata
berkisar antara (23,15 - 31,73 o C). Rata-rata penyinaran matahari 80,5 persen
dan kelembaban nisbih (79,58 %). Musim hujan (3-4 bulan) berlangsung pada
bulan Nopember/Desember sampai dengan Maret/April dan Musim panas (8-9
bulan) berlangsung bulan April/Mei sampai dengan Oktober/Nopember.
Sumber daya air di Kabupaten Alor, pada umumnya didominasi oleh tipe
sungai kering ( 64,88 %) dari jumlah sungai di Kabupaten Alor (168 sungai) dan
air tanah dalam. Dari 59 (32.12 % ) sungai berair, dimana 18 sungai ( 30.51 % )
berada di SWP A, 26 sungai (40.07 %) berada di SWP B dan 15 sungai (25.42
%) berada di SWP C (Alor Dalam Angka 2002). Sungai-Sungai berair di SWP A
pada umumnya memiliki debet air yang sangat kecil, sehingga wilayah ini lebih
krisis dalam penyediaan sumber daya air. Sistem pertanian hanya mengandalkan
pada pertanian lahan kering. Sedangkan pada SWP B dan SWP C, sumber daya
air sungai yang sudah diarahkan untuk irigasi pertanian setengah tekhnis 227 Ha
dan pengairan sederhana 1 684,25 Ha dari luas potensi lahan sawah (3354,50
Ha ) di Kabupaten Alor. Dimana 93,16 persen Irigasi pertanian tersebut berada
di SWP C.
74
Penggunaan lahan di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan Tahun 2003.
NO Uraian penggunaan lahanSWPA SWP B SWP C Kabupaten
1 Lahan sawah 0.00 287.00 3067.50 3354.502 Lahan kering (tegalan+Ladang) 12598.97 13160.88 14377.03 40136.883 Lahan perkebunan 16061.03 17079.76 19918.43 53059.224 Hutan lindung 1580.76 19218.90 30994.29 51793.955 Hutan produksi 17433.14 2360.69 0.00 19793.836 Hutan konversi 0.00 6675.41 16184.66 22860.077 Hutan cagar alam 6151.05 0.00 2600.00 8751.058 Padang rumput 3599.07 5781.91 9180.52 18561.509 Lahan pekarangan/pemukiman 1292.00 6120.00 1888.00 9300.0010 Kolam/empang 1000.00 325.00 14662.00 15987.0011 Lahan tidak diusahakan/kritis 15580.00 16622.00 10661.00 42863.0012 Lainya 0.00 3.00 0.00 3.00
Jumlah 75296.02 87634.55 123533.43 286464.00
Luas lahan (Ha)
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka ,2003). Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2004
(Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Alor Tahun 2003). Penggunaan lahan sebagaimana pada Tabel 9, pada umumnya didominasi
potensi lahan kering (99,88 %) luas wilayah Kabupaten Alor. Lahan yang bisa
diarahkan untuk pengembangan sawah hanya 1,17 persen dan tersebar pada 16
daerah irigasi di Kabupaten Alor. Luas lahan sawah tersebut yang sudah
dimanfaatkan menjadi irigasi setengah tekhnis dan irgasi sederhana seluas
1911,25 Ha (56.98 %), dan 43,02 persen masih merupakan potensi. Sedangkan
penggunaan lahan kering untuk pertanian (tegalan, ladang dan perkebunan),
produktivitas penggunaannya baru mencapai 17 210 Ha (18.47 %) dari luas
potensi 93 196,10 Ha (32.53 % ) luas daratan Kabupaten Alor. Pengarahan
penggunaan lahan untuk pertanian tersebut, sedikit mengalami pergeseran
(bertambah ) 10, 63 persen dari Tahun 1990 (83 289,50 Ha ) sebagai tahun awal
penyusunan RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991.
Penggunaan lahan untuk hutan (Lindung, produksi, konversi dan cagar
alam) seluas 103 198,90 Ha (36,03 %) luas daratan Kabupaten Alor. Luas hutan
juga mengalami perkembangan seluas 33 498,90 Ha (32,46 %) dari Tahun 1990
(69 700,00 Ha). Demikian juga Padang rumput (padang penggembalaan)
mengalami perluasan dari 7149,00 Ha menjadi 18561.50 Ha atau bertambah
61.48 persen pada tahun 2003 dan telah di investigasi pada lima kawasan
(Lawalu, et al. 2003).
75
Sedangkan danau/kolam/empang/ mengalami pergeseran dari 197 Ha tahun
1990 menjadi 15 987.00 Ha pada tahun 2003, karena ada penggunaan lahan,
untuk pembangunan embung-embung bagi kegiatan konservasi dan irigasi lahan
pertanian. Selain itu arahan penggunaan lahan yang mengalami pengurangan
adalah lahan yang sementara tidak diusahakan/kritis, pada tahun 1990 seluas 62
709,50 mengalami penurunan menjadi 42 863.00 Ha pada tahun 2003 atau
menurun 31,65 persen.
4.1.1.3. Sumberdaya fisik Laut. Kabupaten Alor secara geografis seperti uraian di atas, merupakan wilayah
kepulauan, dengan luas laut 10.973,62 Km2 atau kurang lebih 4 kali (383,07
persen) luas daratan Kabupaten Alor. Panjang garis pantai mencapai 669,64
Km2. Dari garis pantai seluas 669,64 Km2 tersebut, dikelilingi hutan bakau
(mangrove) seluas 1 665,71 Ha.
Perairan laut cukup kaya dengan keaneragaman biota laut, karena fungsi
natural bawah laut masih tersinyalir alamih dan sangat unik dan belum tersentuh
ulah tangan manusia. Maka oleh beberapa petualangan atau penggemar wisata
bahari mancanegara antara lain Karl Muller seorang dave master asal Australia,
Cedrik Lechat seorang warga Perancis dan Prof.Dr.John Steward seorang ahli
kelautan berkebangsaan Kanada yang melakukan observasi bawah laut di
perairan laut Alor, menyatakan bahwa diving di selat Pantar (Gambar 4) sangat
unik dan mengasyikan, dan mereka mengkategorikan Taman laut selat Pantar
sebagai “Taman laut berkelas dunia” yang memiliki luas 19 584 hektar dengan
26 titik diving (Bentara Wisata, 2006). Hasil pengamatan mereka terhadap jenis
flora dan fauna yang hidup diperairan laut Alor, jarang ditemukan di perairan
lainya yang mempunyai ekosistem sejenis. Adanya gua-gua dan kontur dasar
perairan lebih dari 60 – 90 derajat yang ditumbuhi terumbu karang yang khas,
sehingga memiliki keunikan tersendiri. Prosentase keunikan untuk flora (70 %)
dan fauna (66 %) di banding dengan yang mereka temukan di Taman laut
Maldavic di laut Karabia, Great Barier Rief di Australia, Bunaken di Manado,
Padaido di Biak dan Seram di perairan Maluku. Adanya keunikan alam bawah
laut Alor, telah mengikat seorang petualang diving dunia asal Perancis “Cedrik
Lechat sekeluarga “ untuk menetap di Alor (pulau Kepa) sejak 1997 sampai
sekarang.
Disamping itu Potensi lestari sumber daya perikanan Kabupaten Alor
diperkirakan 164 604 ton pertahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
76
sebear 131 683, 44 ton pertahun. Total Produksi perikanan di Kabupaten Alor
Tahun 2004 baru mencapai 19 701 ton (14,96 %) dari jumlah potensi
penangkapan yang diperbolehkan. Hal ini berarti peluang untuk potensi
penangkapan masih sangat besar yakni 111 982 ton pertahun ( 85,04 % ).
Gambar 4. Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar.
Disamping Sumber daya perikanan, perairan laut Alor (selat ombai) juga
tersimpan sumber daya tambang migas. Hasil investigasi Dinas Pertambangan
Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2003, menemukan adanya dua titik
rembesan minyak bumi, yakni di Sifala Alor Barat Daya dan di Beang Pantar
Barat. Selain itu Galian C berupa Batu hias (batu hitam), sudah dieksploitasi
sebagai salah satu komoditi eksport di Kabupaten Alor.
4.1.2. Perkembangan kependudukan dan sosial - ekonomi 4.1.2.1. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Alor pada tahun 2003, mencapai 168 965
orang atau naik 16,83 persen dari tahun 1990 (144 629 orang). Penduduk
perempuan berjumlah 86 382 orang (51.12 %) dan laki-laki 82 583 orang (48.88
%). Sedangkan rumah tangga penduduk sebanyak 36 333 rumah tangga,
dengan rata–rata kepadatan penduduk 59 orang/Km2. Perkembangan tingkat
pertumbuhan penduduk Kabupaten Alor tahun 1990-2003, diperlihatkan pada
Gambar 5 dan 6.
Keterangan : 26 titik penyelaman (1. Kal's Dream - 2. The Bullet - 3. Tri-Top - 4. School's Out - 5. Sharks Galore - 6. Clown Valley - 7. Slab City - 8. The Boardroom - 9. Smart's Lament - 10. Coconut Grove - 11. The Arch - 12. Babylon - 13. Coral Cliffs - 14. The Edge - 15. Cave Point - 16. Crocodile Rock - 17. Peter's Prize - 18. Half Moon Bay - 19. Fault Line - 20. The Patch - 21. Nite Delight - 22. The Mini Wall - 23. No Man's Land - 24. The Cathedral - 25. Sea Apple Slopes - 26. Batu Pantar)
77
Perkembangan Jumlah Penduduk Alor Tahun 1990-2003
148938
155836
164042
158188
168965168921168277
154360152880 153564
147646
146383145827
144629
140000
145000
150000
155000
160000
165000
170000
175000
1985 1990 1995 2000 2005Tahun
Jum
lah
Pend
uduk
(Jiw
a)PerkembanganJumlah PendudukAlor Tahun1990-2003
Gambar 5 Perkembangan Penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003
Prosentase pertumbuhan penduduk Alor Tahun 1990-2003
3.93
2.65
0.96
3.70
2.58
1.51
0.45 0.52
0.03
0.86 0.880.83
0.38 0.380.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004Tahun
% p
ertu
mbu
han Prosentase
pertumbuhanpenduduk AlorTahun 1990-2003
Gambar 6 Prosentase pertumbuhan penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003.
Perkembangan tingkat pertumbuhan dari tahun ke tahun nampak
berfluktuasi, hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor yakni kelahiran, kematian dan
migrasi.
Jumlah angkatan kerja penduduk sebanyak 80 432 orang (62,61%), yang
bekerja 74 533 orang (92,67%) dan yang masih mencari kerja 5 899 orang (7.33
%). Sedangkan yang dikategori sebagai bukan angkatan kerja sebanyak 48 038
orang (37,39%). Dari 92,67 persen angkatan kerja penduduk yang bekerja, pada
umumnya mengguluti pada mata pencaharian sebagai Petani (78,40%). Secara
rinci penyebaran jumlah dan kepadatan penduduk serta mata pencaharian
penduduk antar satuan wilayah pengembangan (SWP) diperlihatkan pada Tabel
10.
78
Tabel 10 Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian penduduk antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003.
No
Jumlah penduduk dan mata pencahaian
SWP A SWP B SWP C Kabupaten
Orang % Orang % Orang % Orang %
1 Rumah Tangga (RT) 7750 21.33 22315 61.42 6268 17.25 36333 100.00
2 Penduduk 37631 22.27 103708 61.38 27626 16.35 168965 100.00
3 Laki-laki 18329 48.71 50570 48.76 13684 49.53 82583 48.88
4 Perempuan 19302 51.29 53138 51.24 13942 50.47 86382 51.12
5 Kepadatan 50 22.27 105 61.38 24 16.35 59 100.00
6 Petani 27331 91.63 20415 62.78 10688 87.72 58434 78.40
7 Peternak 664 2.23 631 1.94 365 3.00 1660 2.23
8 Nelayan 551 1.85 955 2.94 103 0.85 1609 2.16
9 Penambang 25 0.08 54 0.17 45 0.37 124 0.17
10 Pedagang 194 0.65 2390 7.35 86 0.71 2670 3.58
11 Industri kerajinan 245 0.82 788 2.42 16 0.13 1049 1.41
12 PNS/TNI/POLRI/ Pensiunan
457 1.53 6541 20.11 511 4.19 7509 10.07
13 lainya 332 1.11 746 2.29 310 2.56 1478 1.98
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka 2003, Kecamatan Dalam Angka 2003, Podes dan Profil desa 2003).
Secara agregat jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan
usaha utama yakni disektor pertanian sebanyak 61 703 orang (82,79%),
pertambangan dan penggalian sebanyak 124 orang (0,17% ), industri
pengolahan sebanyak 1 049 orang (1,41 %), perdagangan sebanyak 2 670 orang
(3,58%), jasa sebanyak 7 509 orang (10,07 %), angkutan sebanyak 663 orang
(0,89 %) dan lainnya sebanyak 815 orang (1,09 %).
4.1.2.2. Sosial budaya
Perkembangan sosial budaya di kabupaten Alor keadaan Tahun 2003, yang
diperlihatkan dari beberapa indikator pembangunan wilayah sebagai berikut :
a. Aspek pendidikan.
Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia, khususnya aspek tingkatan pendidikan yang dicapai dari berbagai
displin ilmu. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2003, tercatat 5 192 orang
(4,04%) penduduk Alor berumur 10 tahun keatas, yang tidak atau belum pernah
sekolah (tidak berijazah). Yang tidak atau belum tamat SD/MI (23,58 %) dan
diantaranya sebanyak 6 262 orang (4,87%) adalah tidak mengenal huruf (tidak
bisa baca dan tulis), tamat SD/MI (39,91%), tamat SMTP (18,59 %), tamat
SMTA (11,9 %) dan yang tamat perguruan tinggi hanya (1,98 %).
Perkembangan tingkatan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa kualitas
79
sumber daya pembangun wilayah di Alor masih sangat riskan. Secara rinci
perkembangan penduduk berumur 10 tahun ke atas berdasarkan tingkatan
Ijazah pendidikan yang dimiliki, terlihat pada Tabel 11 berikut:
Tabel 11 Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas, berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun 2003.
No Status pendidikan Jumlah penduduk (orang) Prosentase (%)
1 Tidak/belum sekolah 5 192 4.04
2 Tidak/belum tamat SD/MI 30 289 23.58
3 SD/MI 51 273 39.91
4 SMTP sederajat 23 888 18.59
5 SMU Sederajat 11 338 8.83
6 SMK sederajad 3 947 3.07
7 Diploma I-II 955 0.74
8 Diploma III 538 0.42
9 Universitas (S1+ S2) 1 050 0.82
Total Alor 128 470 100.00
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka, 2003)
Selain dari perkembangan penduduk berdasarkan tingkatan pendidikan yang
dicapai, maka dapat ditunjukkan pula perkembangan jumlah murid, Guru dan
rasio murid terhadap Guru antar tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun
2003, seperti pada Tabel 12.
Tabel 12 Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003.
No Tingkatan pendidikan SWP A SWP B SWPC Kabupaten
I Taman kanak –kanak (TK)1 Murid 151 987 144 1 282
2 Guru 11 97 17 125
3 Rasio 13.73 10.18 8.47 10.26
II Sekolah Dasar
1 Murid 7 957 18 564 5 185 31 706
2 Guru 365 1086 319 1 770
3 Rasio 21.80 17.09 16.25 17.91
III Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) 1 Murid 1 667 6 273 792 8 732
2 Guru 97 379 61 537
3 Rasio 17.19 16.55 12.98 16.26
IV Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) 1 Murid 472 4 530 0 5 002
2 Guru 23 230 0 253
3 Rasio 20.52 19.70 0.00 19.77
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka ,2003).
80
b.Aspek kesehatan.
Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator pembangunan wilayah
yang mencerminkan tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM)
secara dinamik sebagaimana aspek pendidikan. Oleh karena produktivitas
pembangunan wilayah yang selalu berkembang secara dinamik sangat
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang sehat. Pada umumnya
perkembangan pembangunan kesehatan yang ingin dicapai, ditentukan oleh
beberapa indikator pembangunan kesehatan seperti yang tertera pada Tabel 13.
Tabel 13 Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003.
Indikator Pembangunan Kesehatan
Wilayah Pembangunan SWP A SWP B SWP C Kabupaten
1.Angka harapan hidup (%) 66.70 67.46 65.40 66.52 2.Angka Kelahiran Bayi/1000 kelahiran (%) 5.10 12.80 6.10 21.60 3.Angka Kematian Bayi/1000 kehamilan (%) 3.00 6.60 6.20 15.80 4.Angka kematian Ibu hamil/melahirkan/ 1000 ibu hamil (%) 3.20 5.70 5.40 25.40
5.Gizi buruk/KEP Nyata (%) 4.00 3.10 2.60 3.23 6. Jumlah Dokter (orang) 2 13 7 22 7.Jumlah paramedis (orang) 17 62 19 98 8.Jumlah Bidan Desa (orang) 30 49 35 114 9. Pekarya (Orang) 12 36 14 62
10.Posyandu (Buah) 92 183 104 379 11.Aksektor KB Aktif (orang) 322 6255 570 7147 12.Cakupan air bersih/rumah tangga (%) 2.36 52.27 3.37 57.99 Sumber : Dinas Kesehatan , 2003 (Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003).
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata angka harapan hidup (AHH)
masyarakat Kabupaten Alor berada dibawah 70 tahun, sementara angka
kematian per seribu kehamilan ibu/kelahiran bayi mencapai 15.80 persen,
sedangkan angka kematian ibu hamil per seribu ibu hamil mencapai 25.40
persen. Sedangkan Status gizi buruk (kronik energi protein/KEP nyata) rata-rata
3.2 persen, nilai KEP ini lebih baik dibanding Tahun 2002 mencapai 10 persen.
Demikian pula cakupan air minum bersih rata-rata mencapai 57.99 persen dari
total rumah tangga penduduk Alor (36 333 RT). Demikian pula penyediaan
tenaga Dokter, Paramedis, dan Bidan masih sangat terbatas, belum
mengimbangi jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun. Sejumlah fasilitas
kesehatan yang sudah dibangun seperti PUSTU dan Polindes banyak yang
mubazir karena keterbatasan tenaga medis/bidan untuk ditempatkan disana.
81
c. Aspek Agama (Religion). Pada umumnya terdapat lima (5) agama yang dianut penduduk Kabupaten
Alor, yakni Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan Hindu/Budha.
Perkembangan masing-masing jumlah penganut agama antar satuan wilayah
pengembangan di Kabupaten Alor, diperlihatkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003.
SWP Jumlah Penganut Agama (orang)
Islam K.Khatolik K.Protestan Hindu/Budha Total antar SWP A 12202 661 24765 3 37631 B 24435 4591 74523 155 103704 C 36 1087 26494 9 27626
Kabupaten 36673 6339 125782 167 168961 Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003).
Tabel 14, memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah penganut Agama
di Kabupaten Alor, didominasi agama Kristen Protestan (74.44%), diikuti agama
Islam (21.71%), agama Kristen Khatolik (3.75%) dan agama Hindu/Budha (0.10
%).
Dalam hubungannya dengan kerukunan hidup antar agama di Kabupaten
Alor, kerukunannya masih sangat harmonis, belum ada intimidasi dari pihak
agama manapun yang mencedrai kebebasan umat beragama untuk
menjalankan ibadahnya masing-masing. Kekentalan hubungan kekeluargaan
dalam menjalani silahturahmi antar umat beragama, baik pada peringatan hari-
hari raya keagamaan, pembangunan tempat ibadah, MTQ, hubungan kawin–
mawin, khitanan dan hubungan kekerabatan lainya merupakan potensi sosial
yang masih sangat dihargai sampai saat ini. Namun demikian seiring dengan
perkembangan global dan stabilitas politik Dalam Negeri yang labil, tidak
menutup kemungkinan adanya infiltrasi kepentingan dan teroris, untuk mencedrai
kerukunan kehidupan beragama di Kabupaten Alor yang selama ini terpelihara,
bisa saja dapat terjadi, maka perlu diwaspadai, dengan upaya meningkatkan
intensitas dialog antar umat beragama yang dinamik, merupakan solusi yang
lebih humanis, dalam menjamin ketahanan wilayah yang lebih kondusif terhadap
penyusupan konflik horisontal yang berdampak SARA.
d. Aspek keragaman ethnis, budaya dan kekerabatan sosial.
82
Penduduk Kabupaten Alor memiliki keragaman suku asli (50 suku asli) dan
kelompok suku pendatang dari luar Kabupaten Alor antara lain suku Cina, Bugis
Makasar, Buton, Batak, Ambon, Padang, Jawa, Manado, Dayak, Bali, Bima ,
Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, dll. Dalam hubungannya dengan interaksi
sosial baik antar suku asli maupun suku pendatang, masih sangat harmonis
karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang mutualisme.
Dalam kaitannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama
dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku –suku
tetangga di luar pulau Alor telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang
dikenal dengan “ hubungan bela “ dan “hubungan egalatarian” . Kedua nilai
kekerabatan sosial tersebut, masih dijunjung tinggi sampai saat ini, sebagai
salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan
perbedaan suku, agama, adat-istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antara suku asli dan suku pendatang,
yang masih terpelihara keharmonisan, karena suku asli memandang suku
pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk
suku asli, yang masih berorientasi produk tradisional. Namun demikian
kesenjangan pendapatan antar suku asli dan suku pendatang serta kebocoran
wilayah yang tak terkendali, merupakan dilema yang perlu diwaspadai saat ini
dan kedepan, sehingga selalu dalam keseimbangan. Dampak negatif lain yang
sering timbul dari hubungan bela dan egalatarian yang tak terkendali adalah
mengurasnya ekonomi penduduk (pemborosan) demi suatu prestise sosial
merupakan salah satu lingkaran setan kemiskinan di Alor.
Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari
keragaman ethnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun
bahasa, yang satu sama lain sangat berbeda untuk dimengerti, sehingga dalam
interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan bahasa
Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor.
Selain keragaman ethnolinguistik, juga memiliki keragaman budaya, kurang
lebih terdapat 37 jenis peninggalan benda-benda cagar budaya atau megalitik
termasuk “Al’quran kuno” bertuliskan tangan yang masih dilestarikan dan sedang
tersimpan dalam museum daerah. Disamping itu terdapat tari-tarian dan syair
budaya, yang intinya sebagai media dalam menjamin kekerabatan atau interaksi
sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian “lego-lego” dan untaian syair
pemersatu “ Taramiti Tominuku (bersehati kita teguh, bersama kita bisa)”,
83
“Webuk wangkape (yang jauh/ berbeda diikat menjadi dekat/satu)”. Nilai-nilai
budaya ini masih dihormati dalam kelembagaan adat, dan jauh lebih ampuh
sebagai alat penyelesaian konflik konflik horisontal dan atau berbagai aspek
pembangunan lainnya.
Seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, nilai-nilai budaya ini haruslah
mendapat tempat yang lebih strategis, untuk menjawab tantangan pembangunan
wilayah, namun nilai – nilai budaya dan peran kelembagaan adat dan lembaga
non formal lainnya belum diintigrasikan secara optimal dalam pengambilan
kebijakan pembangunan wilayah. Seharusnya diperlukan suatu “regulasi “ yang
mengintegrasikan peran kelembagaan adat dan nilai – nilai budaya sebagai
suatu modal sosial yang menggerakan dan memberdayakan ekonomi penduduk
dan aspek pembangunan lainnya untuk berkembang maju adalah suatu prestise
sosial yang lebih humanis dan dinamis.
4.1.2.3. Ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator
pembangunan sebagai berikut :
a.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan pertumbuhan ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan nilai
PDRB sebagaimana pada Tabel 2, pada tahun 1998 menunjukkan minus 2,50
persen dan tahun 1999 (0,44%), namun mulai berangsur membaik menjadi 5,63
persen pada Tahun 2003, namun dari sisi prosentase kontribusi PDRB
Kabupaten Alor tehadap PDB Nasional pada tahun 2000-2003 masih sangat
rendah rata-rata 0,03 persen. Sedangkan kontribusinya terhadap PDRB Propinsi
NTT pada tahun 2000 sebesar 3,97 persen, tahun 2001 (3,96 %), tahun 2002
(3,91%) dan tahun 2003 (3,92 %)
b.Pendapatan Perkapita.
Perkembangan pendapatan perkapita yang ditunjukkan oleh PDRB
perkapita, memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Namun demikian
bagaimana rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB
Nasional dan Provisi NTT dapat ditunjukkan pada Tabel 15
Tabel 15 memperlihatkan bahwa rasio perkembangan PDRB perkapita
Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional masih rendah yakni pada tahun 2000
dan 2001 hanya mencapai 0,11 %, sedangkan tahun 2002 dan 2003 sedikit
bergeser menjadi 0,12 %. Sedangkan rasio pertumbuhan PDRB per kapita
Kabupaten Alor terhadap PDRB Provinsi NTT cukup tinggi, pada tahun 2000
84
mencapai 88,17 persen, dan sedikit menurun tahun 2001 (87,62%), kemudian
meningkat menjadi 90,35 persen pada tahun 2002 dan tahun 2003 (94,94%).
Tabel 15 Ratio Pertumbuhan PDRB Perkapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun 2000-2003 Tahun Kabupaten Alor Provinsi NTT Indonesia
PDRB Per kapita
(Rp)
PDRB Per kapita
(Rp)
Ratio PDRB Alorterhadap Per kapita NTT
(%)
PDB Per kapita
(Rp)
Ratio PDRB Alor terhadap Per kapita
Indonesia (%)
2000 1443624 1637322 88.17 1264918748 0.11
2001 1667071 1902590 87.62 1467654835 0.11 2002 1954572 2163295 90.35 1610564951 0.12 2003 2177729 2293762 94.94 1786690919 0.12
Sumber : BPS, 2003 ( PDRB Kabupaten Alor Tahun 2003 dan PDB Indonesia Tahun 2003).
Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi PDRB Kabupaten Alor terhadap rata-rata
PDRB Perkapita NTT cukup signifikan, namun terhadap PDB Nasional amat
lemah.
C. Struktur ekonomi. Struktur ekonomi wilayah, sebagaimana pada Tabel 3 masih didominasi
pada sektor pertanian (primer), walaupun prosentase proporsi sektor primer dari
tahun 1998-2003 menunjukkan pergeseran yang menurun. Pada Tahun 1998
prosentase proporsi Sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 42,2 persen
menurun menjadi 34,58 persen, bila dibanding tahun 1988 sebagai tahun dasar
penyusunan RUTRW Kabupaten Alor, proporsi Sektor pertanian terhadap
PDRB mencapai 56,9 persen. Pertambangan dan penggalian tahun 1998
sebesar 1,38 persen, tahun 2003 menurun menjadi 1,2 persen , sedangkan
tahun 1988 (0,6 %).
Kemudian sektor industri (sekunder) perkembangannya masih tidak menentu
(berfluktuatif), tahun 1988 sebesar 0,8 persen meningkat 2,17 persen pada tahun
1998, namun menurun drastis menjadi 1,91 persen pada tahun 2003. Namun
ada peningkatan sektor sekunder pada sektor bangunan dan konstruksi, pada
tahun 1988 sebesar 0,4 persen, meningkat menjadi 5,47 persen pada tahun
1998 dan 5,76 persen tahun 2003. Sedangkan Sektor tersier (perdagangan ,
komunikasi dan jasa) mengalami peningkatan yang berfluktuatif kecuali sektor
sektor angkutan dan jasa-jasa, mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Sektor perdagangan, rumah makan dan hotel pada tahun 1988
memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 10,7 persen, tahun 1998 12,81
persen dan sedikit menurun menjadi 12,7 persen tahun 2003. Pengangkutan dan
85
komunikasi tahun 1988 sebesar 5,4 persen, tahun 1998 sebesar 5.72 persen
dan tahun 2003 6.57 persen. Sektor jasa keuangan , persewahan dan jasa
perusahaan, tahun 1988 sebesar 3.3 persen, tahun 1998 sebesar 4.67 persen
dan tahun 2003 sedikit menurun menjadi 4.12 persen. Sedangkan jasa
pemerintahan umum, listrik dan air minum serta jasa swasta pada tahun 1988
sebesar 16,8 persen, meningkat menjadi 25,58 persen tahun 1998 dan 35,15
persen pada tahun 2003. Secara Grafik prosentase perkembangan Struktur
ekonomi Kabupaten Alor tahun 1998 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 7.
0.60.8
5.1
0.4
10.75.4
3.3
16.8
56.9
24.974.67
5.72
12.81
5.47
0.61
2.17
42.2
1.38
39.34
1.39
2.15
0.615.69
14.47
5.86 4.625.89
27.57
4.526.09
13.45
5.98
0.592.1
38.34
1.35
37.08
1.3 2.040.57
5.74
13.016.1
4.41
29.7631.85
4.22
6.68
12.7
0.55
1.97 5.59
35.21
1.24
5.76
4.12
34.58
1.21.91 0.55
12.7
6.57
32.6
-10
0
10
20
30
40
50
60
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1988
1998
1999
2000
2001
2002
2003Sektor
%Tah
Gambar 7 Prosentase Perkembangan Struktur ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1988 dan Tahun 1998-203.
Secara parsial Tabel 3 dan Gambar 7 menunjukkan keterkaitan
perkembangan struktur ekonomi wilayah yang lemah, pergeseran sektor
pertanian yang menurun tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan sektor
industri yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari prosentase proporsi sektor
industri terhadap PDRB Kabupaten Alor yang semakin menurun. Perkembangan
industri masih terbatas pada industri kecil dan rumah tangga. Sedangkan
keterkaitan antara sektor primer (pertanian) dengan sektor tersier menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan, walaupun pada beberapa komoditi
menunjukkan fluktuatif. Hal ini bisa dilihat dari data perdagangan komoditi antar
pulau di Kabupaten Alor Tahun 2002 – 2004 pada Tabel 16.
Penerimaan jasa sumbangan Pihak ketiga (SP3), sebagaimana pada Tabel
16 adalah jasa perizinan perdagangan komoditi antar pulau sebagai salah satu
Pos penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun dalam realitasnya
86
Tabel 16 Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/eksport dan Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor periode 2002-2004
No
Jenis komoditi
2002
2003
2004
Jumlah komoditi
(Kg/Liter/P)
SP3 (Rp)
Jumlah komoditi
(Kg/Liter/P)
SP3 (Rp)
Jumlah komoditi
(Kg/Liter/P)
SP3 (Rp)
1 Kemiri 2074102 534572008 819285 157079975 2387397 4,559,931,3412 Kopra 102455 6813805 36456 3624500 28701 1808100
3 Biji Mente 369501 66769600 263005 43088250 717959 113669440
4 Serlack 64120 10777000 30175 5270249 148909 29005800 5 Asam 816418 49875957 358787 18178850 446495 24323975 6 Cengkeh 2900 2925000 530 99000 11337 5818375 7 Pinang 59667 18834997 51063 4151175 91812 4560985 8 Kenari 5155 4161450 375 168750 1600 759500 9 Vanili 2761 17949425 15 0 0 0
10 Kunyit 35817 7772537 18150 1471050 38250 3059200 11 Madu 217 283075 160 156000 1240 620000
12 Ubur-ubur 25000 3250000 438.006 0 15.426 0
13 Anakan Mutiara 10000 1000000 0 0 0 0
14 Agar-agar/R.laut 3200 351000 0 0 0 0
15 Batu hitam 3810780 342970200 3268640 309518250 3550980 355098000
16 Batu puyu 0 0 190350 10895625 88380 4419000
Total 7382093 1068306054 5037429.006 55370167 7513075.426 5103073716 Sumber : Dispenda 2005 (Laporan Bulanan Penerimaan SP3 Komoditi Antar Pulau di Kabupaten Alor Tahun 2002-2004).
terdapat indikasi kebocoran wilayah (penyulundupan) yang tidak terkendali
karena regulasinya yang masih lemah. Jumlah komoditi yang diantarpulaukan
selalu melampoui izin yang diberikan, rata-rata 23.50 persen/tahun dan atau
menimbulkan kerugian daerah sebesar Rp 2 803 934 615 (Dua Milyart
Delapan ratus tiga juta Sembilan ratus tiga puluh empat ribu enam ratus lima
belas rupiah) /tahun. Selisih perhitungan ini diperoleh dari jasa perizinan
perdagangan komoditi yang di keluarkan oleh Dinas pendapatan Kabupaten Alor
Tahun 2002-2004 sebagaimana pada Tabel 16, dibandingkan dengan data
perdagangan komoditi pada tahun yang sama, pada Koperasi Tenaga Kerja
Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Kalabahi. Data TKBM dianggap cukup
konsisten, karena upah tenaga kerja pelabuhan dibayar berdasarkan berat
barang yang diangkut setiap bongkar muat Kapal. Kondisi ini apabila tidak
segera dieleminir dengan suatu Peraturan Daerah yang mengatur tugas dan
fungsi serta mekanisme pengelolaan SP3 komoditi antar pulau, maka kebocoran
87
wilayah akan lebih besar dan juga tidak menutup kemungkinan adanya indikasi
“rent seekers “ yang turut mengkerdilkan struktur ekonomi wilayah.
4.1. 3. Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi. Perkembangan suatu wilayah, umumnya ditentukan oleh jumlah dan kualitas
infrastruktur sosial ekonomi yang dibangun pada suatu wilayah pembangunan.
Secara parsial perkembangan fasilitas sosial ekonomi tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
4.1.3.1. Fasilitas sosial. Pembangunan fasilitas sosial, penting untuk dibangun dalam rangka
memaksimalkan interaksi sosial, pelayanan publik dan memudahkan system
aliran informasi dan sumber daya antar pusat atau antar sub wilayah
pengembangan yang diharapkan berimbang (simetrik). Beberapa indikator
pembagunan fasilitas sosial yang dimaksukan antara lain fasilitas pendidikan,
kesehatan, air bersih, olahraga dan seni budaya, keagamaan, penerangan dan
telekomunikasi serta fasilitas pelayanan publik dan swasta. Perkembangan
masing-masing infrastruktur/fasilitas sosial dimaksud antar satuan wilayah
pengembangan (SWP) dapat ditunjukkan pada Tabel 17.
Secara parsial perkembangan infrastruktur sosial sebagaimana pada Tabel
17, menunjukkan adanya kesenjangan antar wilayah, kecuali fasilitas pelayanan
publik setempat (Kantor desa/Lurah) sudah dimiliki oleh seluruh desa/kelurahan
di Kabupaten Alor. Setelah itu fasilitas pendidikan dasar (SD) sudah cukup
tersebar (93,14 %), dari jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Alor, tetapi belum
diimbangi dengan penempatan guru yang merata. Pembangunan fasilitas
Pendidikan Menengah Tingkat Pertama, untuk ketiga wilayah pengembangan,
cukup tersedia namun masih kekurangan guru, untuk beberapa mata pelajaran
Sains dan Bahasa Inggris dan fasilitas Laboratorium. Demikian pula fasilitas
pendidikan SLTA, selain kekurangan guru dan fasilitas Laboratorium
sebagaimana pada tingkat SLTP, masih ada kesenjangan pada SWP C yang
belum ada fasilitas pendidikan SLTA. Para lulusan SLTP pada SWP C harus
melanjutkan pendidikan SLTA ke kota (SWP B), dengan jarak tempuh 31-85 Km
untuk jalan darat dan 66 -130 Km dengan pelayaran laut.
Dari aspek fasilitas kesehatan, untuk ketiga pengembangan wilayah,
khusunya penyediaan Puskesmas, Pustu dan Polindes hampir berimbang antar
wilayah, namun belum diimbangi dengan ketersediaan Medis dan Paramedis,
serta fasilitas rawat dan obat-obatan yang tersedia secara kontinue.
88
Selain itu terdapat Pustu dan Polindes yang sudah dibangun tetapi mubazir,
karena keterbatasan tenaga medis dan paramedis, serta penyebaran Bidan desa
yang belum merata, sementara ratio ketersediaan Bidan desa dan ketersediaan
polindes 1,46. Seharusnya 144 Bidan desa yang ada, minimal seorang Bidan
desa sudah harus ditempatkan pada 98 Polindes yang tersebar pada 98 desa.
Sedangkan 46 Bidan desa lainnya bisa melengkapi tenaga paramedis pada
Rumah sakit, Puskesmas dan Pustu. Tetapi pada kenyataanya 80 persen
Polindes di Alor belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Tabel 17 Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003. No
Jenis Infrastruktur/ fasilitas sosek
Penyebaran jumlah jenis fasilitas pada desa antar SWP SWP A SWP B SWP C Kabupaten
unit
Desa/ Lurah
unit
Desa/ Lurah
unit
desa/ Lurah
Unit
Desa/ Lurah
A Pendidikan 1 Taman Kanak (TK) 8 8 27 21 6 4 41 33 2 Sekolah Dasar (SD) 56 41 110 84 46 38 212 163 3 SMTP 7 5 20 17 5 5 32 27 4 SMTA 3 3 8 6 0 0 11 9 5 Perguruan Tinggi 0 0 2 1 0 0 2 1 B Kesehatan 1 Rumah sakit 0 0 1 1 0 0 1 1 2 Puskesmas 4 4 7 7 6 6 17 17 3 Pustu 9 9 19 19 13 13 41 41 4 Balai pengobatan 0 0 2 2 1 1 3 3 5 Polindes 22 22 43 43 33 33 98 98 6 Air bersi (Leding) 17 14 7738 47 787 13 8542 74 C Keagamaan 1 Mesjid/Mushola 31 21 61 48 0 0 92 69 2 Gereja 70 34 249 80 165 38 484 152 3 Puri 0 0 1 1 0 0 1 1
D Olahraga dan seni budaya
1 stadiun olah raga 0 0 2 2 0 0 0 0 2 Sanggar seni budaya 0 0 3 2 1 1 4 3 3 Musem 0 0 1 1 0 0 0 0
E Penerangan dan Telekomunikasi
1 PLN 115 13 7517 50 282 2 7914 65 2 Listrik Non PLN 20 8 802 39 54 5 876 52 3 Listrik Tenaga Surya 395 7 403 9 454 6 1252 22
4 Pemancar Telekom 2 2 1 1 1 1 4 4 5 Pemancar Televisi 0 0 1 1 0 0 1 1 6 Telephon umum/
Sellular 0 0 623 19 0 0 623 19 7 Telp. Satelit T.Surya 1 1 2 2 4 4 7 7 8 Saluran SSB 5 5 6 3 9 9 20 17
F Pelayanan publik dan swasta (Perkantoran)
1 Pemerintahpusat/ Cabang/Kabupaten 21 4 75 10 22 3 118 17 2 Pemerintah setempat 46 46 91 91 38 38 175 175
3 Kerjasama Luar Negari 0 0 2 1 0 0 2 1
4 Kantor Swasta 0 0 59 14 2 2 61 16 Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003, Potensi dan Profil Desa 2003).
89
Dari aspek Penerangan, menunjukkan bahwa dari 175 desa/ kelurahan di
Kabupaten Alor memperlihatkan 65 desa/kelurahan (37,14%) yang mendapat
fasilitas penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Non PLN 52 desa
(29,71 %) yakni listrik tenaga disel yang diperoleh dari swadaya masyarakat desa
dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Sedangkan perusahaan listrik
tenaga surya (PLTS) mencakup 22 desa (12,57 %). Dengan demikian masih
terdapat 36 desa/kelurahan (20,57 %) yang sama sekali belum terjamah oleh
penerangan listrik.
Dari aspek infrastruktur telekomunikasi, menunjukkan bahwa, saluran
telephon/sellular masih terbatas pada sub wilayah pengembangan B (kota hirarki
utama). Komunikasi antar SWP lebih banyak menggunakan Saluran SSB
(channel single Band) yang sudah terpasang pada 17 desa/kelurahan pada tiga
SWP. Namun 87 persen penggunaannya didominasi oleh informasi aktivitas
pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat antar SWP.
4.1.3.2. Infrastuktur ekonomi. Pembangunan infrastruktur ekonomi suatu wilayah amat penting, untuk
mendorong aliran sumber daya (informasi, barang dan jasa) yang efisien,
meningkatkan produktivitas dan interaksi spasial yang saling memperkuat.
Pembangunan infrastruktur ekonomi yang dimaksudkan adalah fasilitas pasar,
tokoh, perusahaan, jaringan perhubungan dan obyek wisata yang mendorong
interaksi dan keterkaitan ekonomi antar SWP dan antar regional. Perkembangan
infrastruktur ekonomi antar SWP tersebut, dilihat pada Tabel 18.
Perkembangan infrastruktur ekonomi wilayah sebagaimana pada Tabel 18,
menunjukkan bahwa terdapat 53 pasar yang telah dibangun di Kabupaten Alor,
dan tersebar pada 52 desa/ Kelurahan. Dalam opersionalnya hanya 2 pasar yang
beroperasi secara kontinue 7 hari, sedangkan pasar lainnya masih bersifat pasar
mingguan yang beroperasi rata – rata 3 hari dalam seminggu, kecuali tokoh/kios
rata-rata dibuka secara kontinue dalam seminggu; namun diantara 175
desa/kelurahan masih dijumpai 24 (13,71 %) desa yang belum ada toko atau
kios yang menyediakan sembako bagi pemenuhan kebutuhan dasar. Desa-desa
tersebut tergolong yang paling terisolasi.
Perkembangan pembangunan fasilitas Bank di Kabupaten Alor, mencakup 3
unit Bank (BNI 1946, BRI dan Bank Pembangunan Daerah NTT). Dari ketiga unit
Bank tersebut, hanya Bank BRI yang sudah membuka tiga unit Cabang, 2 unit
cabang berada di SWP B dan 1 unit cabang berada di SWP A. Dengan demikian
90
terdapat 6 unit Bank di Kabupaten Alor, yang memperkuat Struktur ekonomi
wilayah. Demikian juga Lembaga keuangan lainnya (Nir Bank) terdiri dari 6 unit.
Selain Bank dan Nir Bank, Koperasi sebagai salah satu Lembaga ekonomi
masyarakat, yang berperan untuk memperkuat basis ekonomi masyarakat
perdesaan, juga telah berkembang sebanyak 66 unit pada 47 desa/kelurahan,
Tabel 18 Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003. No Jenis Infrastruktur/
fasilitas sosek Penyebaran jumlah jenis fasilitas antar SWP
SWP A SWP B SWP C Kabupaten unit desa unit desa unit desa unit Desa
A Pasar 13 13 24 24 16 15 53 52 B Bank 1 1 5 3 0 0 6 4 C Nir Bank 1 1 5 4 0 0 6 5 D Tokoh/Kios 88 29 764 86 74 36 926 151 E Koperasi/KUD 4 4 59 40 3 3 66 47 F Perusahan/Pabrik 0 0 11 6 0 0 11 6 G Restoran/R.makan 1 1 38 6 0 0 39 7 H Hotel/Wisma 1 1 5 4 0 0 6 5 I Obyek Wisata 0 0 7 6 2 1 9 7 J Depot pertamina 0 0 2 2 0 0 2 2 K Perhubungan darat
1 Jalan aspal 32 32 57 57 15 15 104 104 2 Kend.roda 4 penumpang 1 1 275 23 3 2 279 26 3 K.roda 4 non penumpang 6 6 56 10 25 12 87 28 4 Kendaraan roda dua 125 19 1520 55 35 13 1680 87
L Perhubungan laut 1 Pel. niaga/Pangkalan AL 0 0 1 1 1 1 2 2 2 Pelabuhan ferri (ASDP) 0 0 1 1 0 0 1 1 3 Pel. Tengker Pertamina 0 0 1 1 0 0 1 1 4 Pel. Pelayaran rakyat 2 2 0 0 1 1 0 0 5 Kapal niaga 0 0 4 4 0 0 4 4 6 Kapal Perintis 0 0 3 3 0 0 3 3 7 Kapal ferri 2 1 4 4 0 0 4 4 8 Perahu motor 89 30 137 36 13 4 239 70 9 Speadbood 0 0 4 2 0 0 4 2
M Perhubungan Udara 1 Bandara 0 0 1 1 0 0 1 1 2 Pesawat F 27 0 0 1 1 0 0 1 1 3 Pesawat cassa 0 0 1 1 0 0 1 1
Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003, Potensi dan Profil Desa 2003).
kendatipun 89,40 persen masih berada di kota (Sub wilayah B). Dari 66 unit
Koperasi tersebut, 18 unit diantaranya merupakan fasilitas pembangunan tempat
pelayanan koperasi (TPK) unit desa dari 9 Koperasi Unit Desa di Kabupaten Alor.
Akan tetapi dari 18 TPK unit desa yang tersedia, yang berfungsi hanya 55,56
persen, sedangkan 44,44 persen tidak berfungsi. Hal ini disebabkan oleh
kendala organisasi dan manajemen.
Perkembangan suatu wilayah tidak bisa terlepas dari pembangunan fasilitas
perusahaan/pabrik, restoran/rumah makan dan hotel/wisma, yang memperkuat
keterkaitan struktur ekonomi wilayah. Terdapat 11 unit perusahaan/pabrik
berskala mikro dan menengah di Kabupaten Alor, 39 unit Rumah makan/restoran
91
dan 6 unit Hotel/Wisma, dimana 97,44 persen ketiga pembangunan fasilitas
tersebut masih terpusat di kota (Sub SWP B). Khusus perkembangan fasilitas
hotel, rata-rata masih pada kelas melati, jumlah kamar tidur yang tersedia masih
terbatas (87 unit) dengan rata–rata kunjungan tamu 166 orang perbulan pada
tahun 2003. Dari rata-rata kunjungan tamu tersebut 8,35 persen merupakan
tamu mancanegara, dan bila dibanding tahun 2002, jumlah kunjungan
mancanegara meningkat 14,18 persen dari tahun 2002 sebanyak 134
pengunjung. Sedangkan pengunjung nusantara mengalami penurunan 0,76
persen pada tahun 2003 dari jumlah pengunjung nusantara tahun 2002
sebanyak 1 847 orang. Perkembangan jumlah pengunjung baik mancanegara
maupun nusantara, terkait dengan daya tarik wilayah, antara lain potensi
parawisata daerah. Terdapat 19 obyek parawisata daerah (wisata bahari, seni-
budaya dan panorama alam), namun belum didukung dengan infrastruktur yang
memadai. Pengelolaan obyek Parawisata daerah yang sudah dibangun fasilitas
sederhana, baru mencapai 47,37 persen dari 19 obyek potensi wisata yang
teridentifikasi.
Untuk melaksanakan semua aktivitas sosial ekonomi suatu wilayah, harus
diimbangi dengan pasokan sumber energi yang cukup dan kontinue, maka
fasilitas energi yang sudah dibangun berupa sebuah pelabuhan tengker
pertamina dan sebuah Depot distribusi. Namun demikian Depot distribusi
pertamina yang hanya satu, sering mnyebabkan kemacetan lalulintas setiap hari,
pada saat antrian distribusi energi pada kendaraan dan tempayan untuk
konsumsi rumah tangga penduduk.
Selain pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial sebagaimana pada
Tabel 17 dan Tabel 18 yang diuraikan di atas, maka pembangunan infrastruktur
perhubungan atau transportasi merupakan bagian pembangunan fasilitas
pembangunan wilayah yang sangat vital dalam rangka membangun jaringan
keterkaitan dan interaksi sosial ekonomi antar dan inter wilayah pembangunan.
Perkembangan infrastruktur jaringan transportasi di Kabupaten Alor
sebagaimana pada Tabel 18, pada umumnya menunjukkan perkembangan yang
masih jauh dari optimal untuk membangun jaringan keterkaitan dan interaksi
spasial yang kuat. Pembangunan jalan aspal yang menghubungkan kota hirarki
utama dan kota-kota hinterland (kota kecamatan) baru menjangkau 59,43 persen
dari 175 desa/kelurahan di Kabupaten Alor. Dari 59, 43 persen desa/kelurahan
yang telah dijangkau jalan aspal tersebut, 33,40 persen dari 463,18 Km panjang
92
jalan beraspal di Kabupaten Alor adalah berkualitas jelek (rusak). Rata-rata
klasifikasi jalan di Kabupaten Alor adalah jalan kelas III, dengan rincian: panjang
jalan negara 95,20 Km dari total panjang jalan di Kabupaten Alor (1 432,33 Km),
jalan propinsi 172 Km dan jalan kabupaten 1 164,93 Km (Gambar 8 Peta
penyebaran jalan di Kabupaten Alor). Selain itu penyediaan kendaraan roda 4
dan roda 2 juga masih sangat terbatas antar satuan wilayah pengembangan.
0 8.56 17.12
P E T A JARINGAN JALAN
DI KABUPATEN ALOR
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR
“ B A P P E D A “BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) 21378
RENCANA TATA RUANG WILAYAHKABUPATEN ALORDATA DASAR
25.68 34.24 Km1 : 856.000
Ibukota KabupatenIbukota Kecamatan
Jalan Negara
Jalan Propinsi
Jalan Kabupaten
Jalan Desa
B T
U
S
Gambar 8. Peta penyebaran jalan di Kabupaten Alor
Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten kepulauan, maka
pembangunan infrastruktur transportasi laut dan udara, memiliki peran strategis
dalam membangun keterkaitan dan interaksi spasial antar regional dan inter
wilayah Pembangunan. Untuk antar regional Kabupaten Alor sudah memiliki 2
Pelabuhan niaga, dengan lokasi Kalabahi dan Maritaing (berperan pula sebagai
pangkalan Angkatan Laut) untuk menjaga teritorial wilayah NKRI dengan negara
Timor Leste, dan satu unit pelabuhan ferri di Kalabahi. Sedangkan antar inter
wilayah pembangunan di Kabupaten Alor sudah di bangun 3 unit pelabuhan
pelayaran rakyat (PELRA) yakni 1 unit pada SWP C di Marataing dan 2 unit pada
SWP A masing-masing di Bakalang dan Baranusa dan sejumlah pembangunan
tambatan perahu pada pulau-pulau kecil dan jalur selatan pulau Alor. Dari 3 unit
PELRA tersebut, yang sudah secara kontinue disinggahi Kapal niaga dan kapal
93
ferri adalah pelabuhan Baranusa (untuk kapal ferri 2 kali seminggu sebagai
pelabuhan transit jalur Kalabahi – Leoleba-Larantuka Flores PP). Sedangkan
pelabuhan Bakalang dan Marataing masih insedentil, untuk disinggahi kapal ferri
maupun niaga. Jumlah kapal yang secara kontinue menyinggahi Pelabuhan
Kalabahi, terdiri dari 4 unit Kapal ferri, dengan jalur pelayaran sebagai berikut : 2
unit jalur Kupang – Kalabahi- Baa Rote PP) dan 2 unit jalur Kalabahi-Baranusa-
Leoleba-Larantuka PP dan Kalabahi–Atapupu Kabupaten Belu, PP). 3 Kapal
perintis yakni Awu, Serimau dan Tatamaulau yang menyinggahi pelabuhan
Kalabahi 2 minggu sekali secara kontinue serta 4 kapal niaga yang masuk
pelabuhan Kalabahi seminggu sekali secara bergantian.
Selain Pelabuhan laut, Kabupaten Alor juga sudah miliki 1 unit Bandara
dengan panjang landasan 1 450 M, yang sudah disinggahi 1 unit Pesawat Cassa
dan 1 unit Pesawat sejenis Foker 27 secara kontinue dalam seminggu dengan
jalur penerbangan Kupang-Kalabahi PP dan Kupang–Maumere–Kalabahi PP,
dan Kalabahi–Kupang-Denpasar ( 2 X seminggu).
4.2. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). 4.2.1. Kesenjangan Pendapatan Antar SWP berdasarkan Indeks Williamson
Salah satu parameter yang digunakan dalam analisis kesenjangan
pembangunan (kesenjangan pendapatan) antar satuan wilayah pengembangan
adalah data Penerimanaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sebagaimana
diasumsikan bahwa PBB merupakan salah satu representasi penerimaan
pendapatan seluruh penduduk dari berbagai lapangan usaha di suatu wilayah
pembangunan; dilain sisi Penerimaan PBB merupakan kontribusi Penerimaan
Pendapatan Daerah dari setiap SWP yang dapat direlokasi dalam RAPBD bagi
kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah setiap tahun anggaran.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Indeks williamson, dapat
diketahui kesenjangan antar satuan wilayah Pengembangan (SWP) A, B dan C
di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999 – 2004. Hasil perhitungan Indeks
Williamson tersebut diperlihatkan pada Tabel 19 dan secara grafik ditunjukkan
pada Gambar 9
94
Tabel 19 Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C Di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999-2004.
Tahun SWP A SWP B SWP C Kabupaten
1999 0.5449 0.2801 0.5365 0.9264
2000 0.5118 0.2639 0.5046 0.8721
2001 0.3918 0.1723 0.3393 0.5940
2002 0.3723 0.1118 0.5494 0.5643
2003 0.2734 0.1290 0.2601 0.4392
2004 0.2690 0.1113 0.2294 0.3935
Sumber : Hasil analisis Data Penerimaan PBB Tahun 1999-2004
Kesenjangan Pembangunan antar-inter SWP Periode 1999-2004
0.26900.2734
0.37230.3918
0.51180.5449
0.11130.12900.11180.1723
0.26390.2801
0.22940.2601
0.3393
0.50460.53650.5494
0.39350.4392
0.56430.5940
0.87210.9264
0.0000
0.1000
0.2000
0.3000
0.4000
0.5000
0.6000
0.7000
0.8000
0.9000
1.0000
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Inde
ks W
illiam
son
SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten
Gambar 9 Kesenjangan Pembangunan antar-inter SWP A,B dan C di Kabupaten Alor Kurun waktu 1999-2004.
Dari Tabel 19 dan Gambar 9, dapat memberikan gambaran bahwa Indeks
Williamson pada kurun waktu 1999 – 2004 untuk tingkat Kabupaten berkisar
antara 0,3935 – 0,9264. Sedangkan masing-masing SWP terlihat bahwa pada
SWP A Indeks Williamson berkisar antara 0,2690 – 0,5449; SWP C berkisar
antara 0,2294 – 0,5494 dan SWP B berkisar antara 0,1113 – 0,2801. Hasil
tersebut memperlihatkan bahwa rata-rata Indeks Williamson tingkat Kabupaten
jauh lebih tinggi dari ketiga SWP, dimana Indeks williamson tertinggi mencapai
0,9264 dan indeks terendah berada pada nilai 0,3935. Sedangkan diantara
ketiga SWP terlihat bahwa rata-rata Indeks Williamson SWP B lebih rendah
dibanding SWP A dan SWP C. Antara SWP A dan SWP C menunjukkan Indeks
Williamson yang tidak jauh berbeda. Indeks Williamson tertinggi pada SWP A
mencapai 0,5449 sedangkan SWP C mencapai 0,5494, sedangkan Indeks
terendah untuk SWP A berada pada nilai 0,2690 dan SWP C berada pada nilai
95
0,2294; Sedangkan pada SWP B nilai Indeks tertinggi mencapai 0,2801 dan
terendah berada pada angka 0,1113.
Dari Indeks Williamson tersebut memberikan indikasi bahwa Kesenjangan
pendapatan pada kurun waktu 1999 – 2004 menunjukkan bahwa rata-rata
kesenjangan pendapatan tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari pada rata-rata
kesenjangan pendapatan antara ketiga SWP. Hal ini disebabkan oleh variasi
didalam pemerataan penerimaan pendapatan (PBB) antar SWP. Sedangkan
rata-rata kesenjangan pendapatan antar SWP terlihat bahwa rata-rata SWP B
lebih rendah dibanding SWP A dan SWP C. Sedangkan antara SWP A dan SWP
C, rata-rata kesenjangan pendapatan relatif tidak jauh berbeda walaupun Indeks
tertinggi berada pada SWP C. Kesenjangan tersebut mengindikasikan bahwa
pemerataan pembangunan pada SWP B jauh lebih baik karena SWP B
merupakan pusat aktivitas ekonomi wilayah, sehingga sebahagian wilayah
wilayah yang berada dalam SWP B akses aktivitas sosial ekonominya lebih
berkembang dibanding SWP A dan SWP C.
Namun demikian rata-rata kesenjangan pendapatan dari ketiga Satuan
Wilayah Pengembangan pada kurun waktu Tahun 1999 – 2004 semakin
mengarah kepada perbaikan, kecuali pada SWP C nilai Indeks Williamson
meningkat tajam pada Tahun 2002, yang mencapai 0,5494. Hal ini disebabkan
oleh pemerataan pendapatan antar wilayah dalam SWP C yang tidak sama
karena pada wilayah tertentu mayoritas penduduk yang tergantung pada
komoditi pertanian yang monokultur mengalami kegagalan panen, disamping
faktor-faktor eksternal lain yang tidak bisa dihindari dapat mempengaruhinya.
Rata-rata kesenjangan pendapatan dari ketiga SWP yang cenderung mengarah
pada perbaikan sangat berpengaruh terhadap kesenjangan pendapatan Daerah
(Kabupaten) yang juga mengarah kepada perbaikan, yakni pada tahun 1999
kesenjangan pendapatan mencapai 0,9264 menurun menjadi 0,3935 pada tahun
2004.
Berdasarkan hasil review terhadap 46 sampel Juru pungut desa pada 46
desa/keluarahan menyatakan bahwa secara umum kesenjangan pendapatan
(penerimaan PBB) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor pendapatan
masyarakat (wajib pajak) yang berfluktuatif/rendah (60 %), faktor akses pasar
uang nominal yang rendah (22.50 %), sehingga penerimaan PBB sering
dilakukan secara barter yang tentunya nilai barangnya lebih tinggi dari nilai
nominal penerimaan PBB, hal ini sangat merugikan masyarakat, tetapi secara
96
terpaksa dilakukan Juru pungut desa sebagai suatu kewajiban. Sedangkan 12,50
persen dipengaruhi faktor sosial politik sebagai suatu bentuk protes kepada
pemerintah terhadap kebijaksanaan pembangunan wilayah yang tidak berimbang
dan 5 persen lainnya dipengaruhi oleh faktor kelalean wajib pajak.
4.2.2. Kesenjangan Perkembangan wilayah berdasarkan Indeks Skalogram.
Hasil perhitungan Indeks skalogram terhadap perkembangan wilayah yang
dicirikan oleh penyediaan jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana
yang tersedia pada desa-desa antar satuan wilayah pengembangan, dapat
tertera pada Tabel 20 dan Gambar 10. Peta Cluster desa hirarki Tahun 2003.
Tabel 20 Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan Indeks Skalogram Tahun 2003.
Cluster/Hirarki SWP
Jumlah desa
hirarki
Prosentase Perkembangan
(%)
Nilai Indeks Antara
Jlh Hirarki Dalam RUTRW
I A 0 0.00 > 0.370 0 B 8 4,57 0.372-0.378 1 C 0 0.00 > 0.370 0
Jumlah 8 4,57 1 II A 14 8,00 0.272-0.369 1 B 37 21,14 0.266-0.370 2 C 11 6,29 0.274-0.365 2
Jumlah 62 35,43 5 III A 5 2,86 0.016-0.265 4 B 21 12,00 0.003-0.263 7 C 3 1,71 0.052-0.092 2
Jumlah 29 16,57 13 IV A 27 15,43 (-0.459)-(-0.001) 8 B 25 14,28 (-0.459)-(-0.003) 8 C 24 13,71 (-0.459)-(-0.021) 11
Jumlah 76 43,43 27 Total 175 100 46
Sumber : Hasil analisis data infrastruktur pada desa/kelurahan Tahun 2003
P. MARICA
P. LAPANG
P. BATANG
SEL
TPA
NTA
P. KEPA
P. TERNATE
P. BUAYA
KEC. ALOR
P. NUBU P. SIKA
KEC. ALORTENGAH UTARA
K E C. A LORT I M U R
P. KAMBING
P. TREWENG
P. PURA
BARAT LAUT
BARAT DAYA
KEC. TELUKMUTIARAKEC. ALOR
TIM UR LAUTKEC. ALOR
P. RUSA
Tg. Delaki
Tg. Margeta
Teluk
Blangm
erang
Teluk Benlelang
Maritaing
Bukapiting
Moru
Mebung
Kokar
Kalabahi
KEC. ALORSELATAN
R
AKEC. PANTAR BARAT
P.PANTARBaranusa
Kabir BakalangKEC. PANTAR
0 6.7 13.4
Keterangan :
SUMBER ;HASIL PENELITIAN PWD , 2005
P E T A
Ib u ko ta Ka b u p a te n
Ib u ko ta Ke ca m a ta nBa ta s Ka b u p a te nBa ta s Ke ca m a ta nJa la n Asp a l
Ja la n Ba tuSu n g a i
Ba ta s W P
20.1 26.8 Km
P. A L O RApui
Hirarki I
Hirarki II
Hirarki III
Hirarki IV
B T
U
S
PERKEMBANGAN HIRARKIWILAYAH ATAS DASAR INDEKS SKALOGRAMTAHUN 2003
G a m b r : 6 . 3 . P e t a p e r k e m b a n g a n h i r a r k i w i l a y a h d i K a b u p a t e n A l o r a t a s d a s a r i n d e k s s k a l o g r a m T a h u n 2 0 0 3 .
SEKOLAH PASCASARJANAI P B - BOGOR
Gambar 10 Peta perkembangan hirarki wilayah di Kabupaten Alor atas dasar indeks skalogram Tahun 2003
97
Pada Tabel 20 dan Gambar 10, memperlihatkan penyediaan sarana dan
prasarana sosial ekonomi yang senjang atau timpang antar SWP, desa-desa
hirarki yang di kategori memiliki indeks perkembangan sedikit tinggi (> 0.370)
hanya tersebar pada 8 (4.57 %) kota hirarki desa/kelurahan pada SWP B.
Kedelapan desa tersebut merupakan pengembangan dari kota Kalabahi sebagai
Ibu Kota Kabupaten yang berperan sebagai kota hirarki utama yang memobilisasi
segala aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi di Kabupaten Alor. Sementara
desa/Kelurahan hirarki pada SWPA dan SWP C, berada pada cluster II,III dan IV.
Pada Tabel 20, tersebut terlihat bahwa desa/Kelurahan hirarki yang dicluster
sebagai Indeks perkembangan sedang ( 0.270 – 0.370 ), terdapat 62 (35,43 % )
dari 175 desa/Kelurahan di Kabupaten Alor. Dari 62 desa/kelurahan tersebut
59,68 persen terdapat pada SWP B, 22,58 persen pada SWP A dan 17,74
persen pada SWP C. Sedangkan Pada cluster III dengan indeks perkembangan
kurang (0.001-0.269) sebanyak 29 desa/kelurahan (16,57%) dari 175
desa/kelurahan. Dari 29 desa dengan indeks perkembangan kurang tersebut
75.86 persen berada pada SWP B, 17.24 persen berada pada SWP A dan 10.34
persen berada pada SWP C. Kemudian pada Cluster IV dengan kategori indeks
perkembangan sangat kurang (<0.001) jauh lebih banyak dibanding cluster I,II
dan III. Terdapat 76 (43,43 %) desa/kelurahan yang dikategori sangat kurang
indeks perkembangan hirarkinya dari 175 desa/kelurahan. Dari 76 desa
dimaksud 35,53 persen berada di SWP A. Sedangkan pada SWP B 32,89
persen dan SWP C 31,58 persen. Perkembangan masing-masing
desa/kelurahan hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) tersebut di
atas dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dari potret perkembangan wilayah berdasarkan indeks Skalogram seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 20, menunjukkan pula bahwa kota-kota hirarki yang
ditetapkan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW)
Kabupaten Alor Tahun 1991 antar SWP hingga tahun 2003 menunjukkan
perkembangan yang tidak signifikan, bahkan pada beberapa hirarki yang
berperan sebagai pusat aktivitas Pemerintahan Kecamatan menunjukkan indeks
perkembangan kurang sampai sangat kurang, antara lain Marataing sebagai Ibu
kota Kecamatan Alor Timur dalam RUTRW tergolong hirarki II, namun indeks
skalogram menunjukkan minus 0,021 atau berada pada hirarki IV. Sedangkan
Apui sebagai Ibu kota Kecamatan Alor Selatan dalam RUTRW tergolong hirarki
II, namun indeks skalogram menunjukkan perkembangan kurang (0.052) atau
98
berada pada kategori hirarki III, demikian pula Baranusa sebagai Ibu kota
Kecamatan Pantar Barat dalam RUTRW tergolong hirarki II, indeks
perkembangan menunjukkan hirarki III (0,265). Dilain sisi beberapa kota hirarki
dalam RUTRW Kabupaten dikategori dalam hirarki III dan IV, namun indeks
perkembangan menunjukkan berada pada hirarki II. Kota – Kota dimaksud antara
lain, Moru Ibu kota Kecamatan Alor Barat Daya, dalam RUTRW tergolong hirarki
IV, indeks perkembangan menunjukkan hirarki II (0.348), Kokar Ibu kota
Kecamatan Alor Barat Laut dan Mebung Ibu kota Kecamatan Alor Tengah Utara,
dalam RUTRW keduanya tergolong hirarki III, namun indeks perkembangan
menunjukkan hirarki II masing-masing untuk Kokar (0.358) dan Mebung (0.359).
Ketiga kota ini adalah satu kesatuan dalam SWP B yang ideks
perkembangannya jauh lebih baik dibanding kota-kota hirarki lain pada SWP A
dan SWP C karena ketiga kota ini lebih dekat dengan Kota hirarki Utama
sehingga spreat effect untuk mendorong perkembangan wilayah lebih nyata.
Namun demikian pada Kota Kabir Ibu kota Kecamatan Pantar pada SWP A dan
kota Bukapiting Ibu kota Kecamatan Alor Timur Laut pada SWP C, keduanya
dalam RUTRW Kabupaten ditetapkan pada hirarki III, tetapi indeks
perkembangan berada pada hirarki II, masing-masing untuk Kabir (0.369 ) dan
Bukapiting (0.365).
Beberapa kota hirarki selain Ibu kota Kecamatan, yang ditetapkan dalam
RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991, dalam kategori hirarki II, III dan IV,
ternyata dalam perkembangannya, beberapa kota diantaranya menunjukan
indeks perkembangan yang signifikan tetapi ada sebahagian yang masih belum
berkembang. Beberapa kota diantaranya sudah dibahas DPRD Kabupaten dan
ditetapkan menjadi PERDA Kabupaten Alor Tahun 2005 sebagai pusat aktivitas
Ibu Kota Kecamatan Pemekaran seperti diperlihatkan pada Tabel 21
Kota – kota dimaksud pada Tabel 21, antara lain pada SWP A adalah Kota
Bakalang. Dalam RUTRW, Kota Bakalang dikategori dalam hirarki III, namun
hasil perhitungan skalogram menunjukkan indeks perkembangan menjadi hirarki
II (0.274) dan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi
Kecamatan Pantar Timur (Hasil Pemekaran Kecamatan Pantar Tahun 2005).
Kemudian Kota Marica dan Kota Maliang dalam RUTRW tergolong hirarki IV,
tetapi hasil perhitungan skalogram menunjukkan indeks perkembangan menjadi
hirarki II (0.272) untuk Marica dan hirarki III (0.087) untuk Maliang. Kota Marica
99
dan Kota Maliang menjadi Ibu kota Kecamatan Pantar Barat Laut dan
Kecamatan Pantar Tengah (Hasil Pemekaran dari Kecamatan Pantar Barat).
Pada SWP B Kota Kopidil dalam RUTRW tergolong hirarki IV, kini menjadi
pusat aktivitas Kecamatan Kabola, dengan indeks perkembangan dalam kategori
hirarki II (0,369). Kota Kalunan dalam RUTRW tergolong hirarki III, kini menjadi
pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Mataru, dengan
indeks perkembangan masih tetap pada hirarki III (0,005). Kota Alemba desa
Lembur Timur dalam RUTRW dalam kategori hirarki II, kini sebagai pusat
aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Lembur dengan indeks
perkembangan tetap pada hirarki II ( 0,336 ). Selain itu Kota Limarahing dalam
RUTRW tidak dalam kategori kota hirarki, kini menjadi pusat aktivitas
pemerintahan Kecamatan Pura, dengan indeks perkembangan dalam kategori
hiraki II (0,327 ).
Tabel 21 Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun 2003. SWP Nama Kota Hirarki Dalam
RUTRW Indeks
Perkembangan Hirarki
A 1.Baranusa II 0.265 III
2.Kabir III 0.369 II
3.Bakalang III 0,274 II
4.Maliang IV 0,087 III
5.Marica IV 0,272 II
B 6.Kalabahi I 0.378 I
7.Kokar III 0.358 II
8.Mebung III 0.359 II
9.Moru IV 0.348 II
10.Kopidil IV 0,369 II
11.Alemba II 0.336 II
12.Kalunan III 0.005 III
13.Limarahing
(Bolamelang )
Non hirarki 0.327 II
C 14.Apui II 0.052 III
15.Bukapiting III 0.365 II
16.Marataing II -0.021 IV
17.Peitoko IV -0.034 IV
Keterangan : © Ibu kota Kecamatan pemekaran Tahun 2005. Sumber : PERDA Kabupaten Alor No.15 Tahun 2005 Tentang
Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor
Kemudian pada SWP C, terlihat bahwa kota Peitoko dalam RUTRW
Kabupaten berada pada kategori hirarki IV, kini menjadi pusat aktivitas
100
pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Puraiman, dengan perkembangan
masih tetap pada hirarki IV (-0.034 ).
Dari hasil indeks perkembangan hirarki wilayah, sebagaimana ulasan di
atas memberikan indikasi bahwa 1) Perkembangan hirarki wilayah yang
mendorong proses pertumbuhan ekonomi wilayah terutama pada SWP A dan C
serta sebagian wilayah – wilayah pada SWP B terutama Alor Barat Daya bagian
Selatan dan Alor Tengah Utara Bagian Selatan, indeks perkembangan hirarki
wilayah masih sangat rendah (belum banyak berkembang); 2) Adanya
inkonsistensi dalam pengarahan alokasi sumber daya yang mendorong proses
pertumbuhan hirarki wilayah sesuai arahan RUTRW, sehingga RUTRW disusun
lebih berprentensi pada ” Masterplan syndrome ” 3) Beberapa kota hirarki
memang sudah ditetapkan sebagai Pusat Aktivitas Pemerintahan dan sosial
ekonomi wilayah, berdasarkan hasil pemekaran Kecamatan Baru Tahun 2005.
Namun demikian berdasarkan hasil analisis hirarki wilayah seharusnya belum
pada waktunya; karena beberapa Ibu kota kecamatan sebagai kota hirarki II dan
III, yang dibangun dalam suatu kurun waktu yang panjang, belum menunjukkan
suatu hirarki yang efektif dalam mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.
Asumsi Penambahan Pusat aktivitas Pemerintahan yang baru, mungkin
lebih berpretensi pada pertimbangan politis dan geofisik wilayah untuk
memperpendek jangkauan pelayanan pemerintah dan pemerataan alokasi
sumber daya pembangunan, namun asumsi tersebut tanpa mempertimbangkan
kemampuan alokasi sumber daya pembangunan daerah (kemampuan investasi
pembangunan Wilayah) akan lebih menambah kelambanan pertumbuhan
wilayah karena inefisiensi dalam alokasi sumber daya pembangunan yang
mendorong pertumbuhan wilayah secara cepat dan proporsional; karena proporsi
APBD Pembangunan akan cenderung menurun sebab ada kecenderungan
peningkatan alokasi APBD bagi belanja Apratur 4) Penetapan hirarki wilayah,
yang sudah dilaksanakan selama ini lebih bersifat parsial dengan pertimbangan
politis dan geografis.
4.2.3. Kesenjangan proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP berdasarkan Model Indeks Entroyp (IE). Perkembangan/pertumbuhan suatu wilayah, tidak akan mungkin terlepas
dari kegiatan investasi, baik investasi pemerintah maupun investasi swasta pada
suatu wilayah. Untuk itu pada wilayah – wilayah marginal seperti Kabupaten Alor,
yang perkembangan infrastruktur wilayahnya belum mendukung investasi
swasta, maka investasi pemerintah dalam bentuk APBD Pembangunan sangat
101
menentukan pertumbuhan suatu wilayah. Namun demikian dalam alokasi APBD
Pembangunan tersebut apakah secara spasial, penyebarannya sudah
proporsional antar satuan wilayah pengembangan (SWP), maka untuk
menghitungnya digunakan Indeks Entropy (IE), dengan pertimbangan bahwa
alokasi APBD Pembangunan dalam suatu SWP merupakan akumulasi alokasi
APBD pada sub-sub wilayah sebagai Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).
Dengan demikian hasil perhitungan indeks Entropy untuk menduga proporsi
penyebaran APBD Pembangunan Antar SWP di Kabupaten Alor pada Tahun
Anggaran 1997/1998 – 2003 dapat diperlihatkan pada Tabel 22 dan secara
grafis diperlihatkan pada Gambar 11
Tabel 22 Nilai Entropy Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP di Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003.
No Tahun Anggaran
Indeks Entropy Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP
SWP A SWP B SWP C Kabupaten
1 1997/1998 0.69 1.33 1.08 3.10
2 1998/1999 0.69 1.33 1.09 3.11
3 2000 0.67 1.34 1.09 3.09
4 2001 0.64 1.36 1.09 3.08
5 2002 0.69 1.35 1.09 3.13
6 2003 0.69 1.35 1.09 3.13
Sumber : Hasil analisis Data alokasi APBD Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003.
Indeks pemerataan Alokasi APBD Kab.Alor TA.1997/1998-2003
0.690.690.640.670.690.69
1.351.351.361.341.331.331.091.091.091.091.091.08
3.133.133.083.093.113.10
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
1997/1998 1998/1999 2000 2001 2002 2003
Tahun Anggaran
Nila
i ent
ropy
SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten
Gambar 11 Nilai Entropy Alokasi APBD Pembangunan antar SWP di Kab.Alor TA.1997/1998-2003
Dari Tabel 22 dan Gambar 11, menggambarkan bahwa Pertumbuhan
proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP menunjukkan indikasi
kesenjangan, yakni pada SWP A terlihat lebih senjang dibanding SWP B dan
102
SWP C. Hasil perhitungan indeks entropy menunjukkan SWP B mendapat
proporsi alokasi APBD Pembangunan yang lebih merata dan berkembang sedikit
dinamis. Sedangkan antara SWP A dan SWP C, terlihat SWP C lebih merata
proporsinya tetapi alokasi setiap tahun menunjukkan proporsi yang cenderung
statis, sedangkan SWP A mengalami kecenderungan perkembangan
pemerataan yang fluktuatif menurun.
Kesenjangan alokasi APBD pembangunan tersebut, dapat terjadi bukan lebih
disebabkan oleh besar kecilnya prosentase alokasi APBD Pembangunan antar
SWP, tetapi kesenjangan terjadi karena alokasi APBD Pembangunan yang tidak
proporsional antar sub-sub wilayah dan atau sub wilayah cakupannya yang
terbatas. Hal ini bisa dilihat pada SWP A yang hanya memiliki dua sub wilayah
Kecamatan (lihat Lampiran 7), dimana sub wilayah yang memperoleh prosentasi
alokasi APBD yang lebih besar ternyata menunjukkan indeks entropy yang lebih
kecil dari sub wilayah yang memperoleh prosentase alokasi APBD
Pembangunan yang lebih kecil. Selain itu prosentase alokasi APBD
Pembangunan antara SWP A dan SWP C, menunjukkan SWP A lebih besar
dibanding SWP C, misalnya pada TA. 1997/1998,2000 dan 2001 seperti terlihat
pada Gambar 12, tetapi indeks entropy menunjukkan SWP C lebih besar, dan
karena SWP C mencakup 3 sub wilayah Kecamatan dan SWP B mencakup 4
sub wilayah Kecamatan (yang lazim sebagai unit daerah kerja pembangunan
=UDKP).
Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/1998 - 2003
100 100 100 100 100 100
3022 26 30
22 22
50 55 51 45 53 53
20 23 23 25 25 25
0
20
40
60
80
100
120
1997/1998 1998/1999 2000 2001 2002 2003
Tahun Anggaran
% A
loka
si A
PBD
SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten
Gambar 12 Prosentase alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/1998-2003
Pada umumnya perkembangan nilai entropy, pada SWP B dan C yang
mencakup lebih dari dua sub wilayah sebagaimana pada Lampiran 7, untuk
masing-masing sub wilayah didapati perkembangan nilai entropy sejalan dengan
proporsi alokasi APBD Pembangunan, berbeda dengan SWP A, dimana Sub
103
wilayah yang memperoleh proporsi alokasi APBD Pembangunan lebih besar
justru menunjukkan indeks pemerataan yang kecil. Hal ini sejalan dengan prinsip
indeks entropy bahwa semakin luas jangkauan spasial (cakupan sub wilayah
lebih banyak), maka semakin tinggi entropy (pemerataan) wilayah
(Saefulhakim,2003).
Terkait dengan trend perkembangan nilai entropy setiap tahun yang
cenderung statis, ada kaitannya dengan prosentase proporsi alokasi APBD
Pembangunan pada beberapa sub wilayah yang cenderung statis atau bahkan
menurun sebagaimana pada Gambar 12 dan Lampiran 7. Kecenderungan
proporsi alokasi APBD yang statis dan fluktuatif, terkait dengan proporsi alokasi
APBD Pembangunan yang terbatas, disertai penentuan alokasi Anggaran yang
cenderung pada skala proporsi sektor atau proporsi unit kerja daerah dan
proporsi wilayah kecamatan, ketimbang skala prioritas kegiatan pembangunan
yang berbasis wilayah terutama yang berbasis wilayah perdesaan secara
proporsional. Hal ini sangat terkait dengan masih lemahnya kualitas sumber daya
pengelola APBD, baik Eksekutif maupun Legislatif dalam membangun
pemahaman yang rasional.
4.2.4. Analisis Interaksi Spasial Antar hirarki/pusat aktivitas wilayah pembangunan. Salah satu indikator pertumbuhan suatu wilayah, tidak dapat terlepas dari
meningkatnya mobilitas spasial antar wilayah, baik dalam wujud jumlah orang,
jumlah barang, jumlah transportasi maupun jumlah informasi. Namun demikian
secara parsial jaringan interaksi spasial antar wilayah belum menunjukkan
jaringan interaksi yang “network”. Pola interaksi antar wilayah pembangunan
yang ada adalah pola “dendretik”, yakni jaringan interaksi masih terbatas pada
interaksi vertikal dari hirarki utama ke hirarki II (ibu kota kecamatan) dan
sebaliknya. Salah satu indikator jaringan interaksi spasial yang menunjukkan
network adalah “arus informasi”. Oleh karena itu dalam konteks penelitian ini,
fokus pendugaan analisis kuantitatif interaksi spasial diarahkan pada “ arus
informasi pengiriman dan penerimaan berita melalui saluran SSB/ Channel
Single Band (SSB) Pemerintah Kabupaten Alor “. Sedangkan interkasi spasial
dalam wujud jumlah orang, barang dan transportasi dapat dianalisis secara
deskriptif.
104
a. Analisis interaksi spasial (Aliran informasi pelayanan pemerintah) antar hirarki/pusat aktivitas wilayah pengembangan. Sebagaimana uraian di atas bahwa salah satu alat informasi pelayan
pemerintah antar hirarki/pusat aktivitas wilayah pengembangan adalah alat
komunikasi satu arah (SSB), yang sudah dioperasikan di Kabupaten Alor, sejak
Tahun 1975 dan pengadaan pada saat itu digunakan sebagai alat informasi
pelaksanaan PEMILU Tahun 1975.
Fokus penelitian dengan menggunakan data arus informasi melalui SSB
dengan pertimbangan bahwa alat tersebut dalam perkembangannya masih eksis
sampai sekarang untuk digunakan sebagai alat komunikasi utama antar wilayah
hirarki yang masih sangat tertinggal pembangunan infrastruktur. Sedangkan
dilain pihak arus informasi melalui sarana telekomunikasi yang lebih modern
seperti Telephon maupun Telephon Sellular, hingga kini masih terbatas pada
Kota hirarki utama (Kota Kalabahi sebagai Ibu kota Kabupaten). Dengan
demikian hampir semua aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
kemasyarakatan antar hirarki wilayah diinformasikan melalui SSB sebagai alat
komunikasi utama Pemerintah Daerah. Selain itu aktivitas sosial dan ekonomi
antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah
antar hirarki wilayah diinformasikan melalui SSB sebagai satu-satunya alat
komunikasi yang bisa dijangkau masyarakat pedesaan secara cepat dengan
biaya murah dan konstan (tanpa dipengaruhi limit waktu dan jarak).
Karena itu, gangguan/hambatan yang berpengaruh dalam melakukan
interaksi komunikasi tentu berbeda antar hirarki wilayah, yang turut berpengaruh
terhadap intensitas interaksi (kelambanan informasi ). Dilain sisi penggunaan alat
komunikasi ini, hampir 87 persen didominasi oleh aktivitas pemerintah, sehingga
intensitas pelayanan pemerintah antar satuan wilayah pengembangan melalui
saluran SSB secara nyata bisa diduga, hirarki wilayah mana yang intensitas
pelayanan pemerintah lebih tinggi dan mana yang lebih rendah dan bagaimana
dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat antar hirarki wilayah. Maka
diperlukan suatu pendugaan alat analisis interaksi spasial, dan dalam penelitian
ini telah digunakan “Model Entropi Interaksi spasial Tanpa Kendala
(Unconstrained Entropy Model )” dengan bantuan “software Minitab”.
Hasil Analisis Entropy Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained
Entropy Model ) dalam wujud interaksi informasi (terutama informasi harga,
bencana alam, program/proyek dan kunjungan kerja) melalui saluran SSB antar
105
hirarki wilayah Tahun 2004, dapat diperlihatkan pada Tabel 23 dan secara Grafik
diperlihatkan pada Gambar 13 dan 14
Tabel. 23 Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial (Pengiriman dan Penerimaan Berita melalui Saluran SSB ) di Kabupaten Alor Tahun 2004.
A.Hasil Analisis Entropy Pengiriman Berita (Berita Keluar ) NO
KOTA ASAL
KOTA TUJUAN ln Fij Kabir ln Fij Baranusa ln Fij Kalabahi ln Fij
Kokar 1 Kabir 0.000 6.406 6.434 6.022 2 Baranusa 4.680 0.000 6.082 5.188 3 Kalabahi 5.011 5.001 0.000 5.207 4 Kokar 6.636 6.496 6.002 0.000 5 Mebung 4.634 5.408 4.840 5.292 6 Moru 5.076 5.176 5.422 5.494 7 Apui 2.860 3.292 5.374 5.170 8 Bukapiting 4.134 4.962 5.748 4.722 9 Maritaing 4.332 4.564 5.456 4.536 9 Maritaing 4.332 4.564 5.456 4.536
Lanjutan A. ln Fij Mebung ln Fij
Moru ln Fij Apui ln Fij
Bukapiting ln Fij-
Marataing 4.992 5.950 5.688 5.430 5.192 4.794 4.296 5.024 4.492 4.754 5.217 5.227 5.023 5.061 5.033 6.088 6.886 5.606 5.698 6.592 0.000 6.366 5.962 5.796 5.894 5.972 0.000 5.182 4.928 5.006 4.678 3.724 0.000 5.260 4.920 5.670 5.146 6.448 0.000 6.572 4.908 4.988 5.562 5.184 0.000 4.908 4.988 5.562 5.184 0.000
B. Hasil Analisis Entropy Penerimaan Berita (Berita Masuk )
NO
KOTA ASAL
KOTA TUJUAN ln Fij Kabir ln Fij
Baranusa ln Fij Kalabahi ln Fij Kokar
1 Kabir 0.00 4.540 4.755 5.93 2 Baranusa 6.29 0.000 5.347 6.40 3 Kalabahi 7.47 7.470 0.000 7.45 4 Kokar 5.06 4.746 4.959 0.00 5 Mebung 4.70 4.930 4.871 5.42 6 Moru 5.21 4.372 4.993 5.93 7 Apui 5.21 5.092 4.373 5.15 8 Bukapiting 4.97 4.694 4.560 5.15 9 Maritaing 5.13 5.174 4.959 6.33
Lanjutan B ln Fij
Mebung ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting ln Fij-
Marataing 4.716 4.993 4.270 4.298 4.368 5.024 5.616 4.944 5.342 5.068 7.426 7.483 7.403 7.293 7.376 4.936 5.236 5.210 4.438 4.368 0.000 5.757 5.200 5.230 4.920 5.908 0.000 4.642 4.784 4.864 5.042 5.122 0.000 5.568 5.364 5.415 5.259 5.662 0.000 5.038 5.798 5.310 5.540 6.064 0.000
Sumber : Diolah dari Laporan Bulanan Operasi SSB pada Kantor SSB dan Kecamatan Tahun 2004.
106
Entropy interaksi spasial ( Berita keluar melalui SSB)Tahun 2004
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
Kota Tujuan
Nila
i ent
ropy
Kabir
Baranusa
Kalabahi
Kokar
Mebung
Moru
Apui
Bukapiting
Maritaing
Kabir 0.000 6.406 6.434 6.022 4.992 5.950 5.688 5.430 5.192
Baranusa 4.680 0.000 6.082 5.188 4.794 4.296 5.024 4.492 4.754
Kalabahi 5.011 5.001 0.000 5.207 5.217 5.227 5.023 5.061 5.033
Kokar 6.636 6.496 6.002 0.000 6.088 6.886 5.606 5.698 6.592
Mebung 4.634 5.408 4.840 5.292 0.000 6.366 5.962 5.796 5.894
Moru 5.076 5.176 5.422 5.494 5.972 0.000 5.182 4.928 5.006
Apui 2.860 3.292 5.374 5.170 4.678 3.724 0.000 5.260 4.920
Bukapiting 4.134 4.962 5.748 4.722 5.670 5.146 6.448 0.000 6.572
Maritaing 4.332 4.564 5.456 4.536 4.908 4.988 5.562 5.184 0.000
ln Fij Kabir ln Fij Baranusa
ln Fij Kalabahi ln Fij Kokar ln Fij Mebung ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting
ln Fij-Marataing
Gambar 13 Entropi Interaksi Spasial (pengiriman berita melalui SSB) Antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004
Entropy interaksi spasial (Berita masuk melalui SSB) Tahun 2004
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
Kota tujuan
Nila
i ent
ropy
Kabir
Baranusa
Kalabahi
Kokar
Mebung
Moru
Apui
Bukapiting
Maritaing
Kabir 0.00 4.540 4.755 5.93 4.716 4.993 4.270 4.298 4.368
Baranusa 6.29 0.000 5.400 6.40 5.024 5.616 4.944 5.342 5.068
Kalabahi 7.47 7.470 0.000 7.45 7.426 7.483 7.403 7.293 7.376
Kokar 5.06 4.746 4.959 0.00 4.936 5.236 5.210 4.438 4.368
Mebung 4.70 4.930 4.871 5.42 0.000 5.757 5.200 5.230 4.920
Moru 5.21 4.372 4.993 5.93 5.908 0.000 4.642 4.784 4.864
Apui 5.21 5.092 4.373 5.15 5.042 5.122 0.000 5.568 5.364
Bukapiting 4.97 4.694 4.560 5.15 5.415 5.259 5.662 0.000 5.038
Maritaing 5.13 5.174 4.959 6.33 5.798 5.310 5.540 6.064 0.000
ln Fij Kabir ln Fij Baranusa
ln Fij Kalabahi
ln Fij Kokar ln Fij Mebung
ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting
ln Fij-Marataing
Gambar 14 Entropi Interaksi Spasial (Penerimaan Berita Melalui SSB ) Antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004
107
Pada Tabel 23 dan Gambar 13 dan 14, memperlihatkan intensitas interaksi
spasial (banyaknya berita yang dikirim dan diterima ) melalui saluran SSB antar
hirarki wilayah, yakni terdapat 9 hirarki/pusat aktivitas wilayah yang tersebar
pada tiga Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), yakni Kota Kabir dan
Baranusa mewakili SWP A, Kota Kalabahi, Kokar, Mebung dan Moru mewakili
SWP B dan Kota Apui, Bukapiting dan Marataing mewakili SWP C. Kesembilan
wilayah hirarki ini masing – masing melakukan interaksi sebagai Kota Asal dan
Kota Tujuan. Dari Hasil Analisis Entropi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained
Entropy Model ) dapat diuraikan secara berurut dari intensitas interaksi (Fij)
pengiriman dan penerimaan berita melalui saluran SSB mulai dari Fij tertinggi
sampai Fij terendah antar hirarki wilayah adalah sebagai berikut :
A. Intensitas Interaksi (Fij) Pengiriman Berita (Berita Keluar). Dari kota asal Kabir ke kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi pengiriman berita adalah Kalabahi, Baranusa, Kokar,
Moru, Apui, Bukapiting,Marataing dan Mebung. Koefisien hambatan (β)
yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah
sebesar (-0,163) dengan nilai R2 (72,20%) dan Pvalue (0,008),sedangkan
parameter konstanta sebesar (7,11). Varibel-variabel hambatan (R2) yang
mempengaruhi intensitas interaksi pengiriman berita disini adalah
“gangguan teknis alat komunikasi dan gangguan modulasi yang dipicu
oleh jarak dan cuaca”. Kedua variabel gangguan tersebut berlaku untuk
semua hirarki wilayah. Nilai P (0,008) menunjukkan signifikansi
penggunaan model sebesar 99,992 persen. Sedangkan parameter
konstanta sebesar 7,11 menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Kabir
menuju kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB dengan
asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi.
Dari kota asal Baranusa menuju kota tujuan secara berurutan
berdasarkan intensitas interaksi adalah Kalabahi, Kokar, Apui , Mebung ,
Marataing, Kabir, Bukapiting dan Moru. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar
(-0,179) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (62,70%) dan
Pvalue (0,019) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.981
persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan jumlah berita
yang keluar dari Baranusa menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap
jam operasi SSB sebesar 7,03.
108
Dari kota asal Kalabahi menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi adalah Moru, Mebung, Kokar, Bukapiting, Marataing,
Apui, Kabir dan Baranusa . Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi
intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,0541)
dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (59,20 %) dan Pvalue
(0,026) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.974 persen.
Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan jumlah berita yang
keluar dari Kalabahi menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 6,18.
Dari kota asal Kokar menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi adalah Moru, Kabir, Marataing, Baranusa, Mebung,
Kalabahi, Bukapiting, dan Apui. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar
(-0,187) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (74,40 %) dan
Pvalue (0,006) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.994
persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang
keluar dari Kokar menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 7,20.
Dari kota asal Mebung menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi adalah Moru, Apui, Marataing, Bukapiting, Kokar,
Baranusa, Kalabahi, dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar
(-0,166) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (70,50 %) dan
Pvalue (0,009) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.991
persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang
keluar dari Mebung menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 6,87.
Dari kota asal Moru menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi adalah Mebung, Kokar, Kalabahi, Apui, Baranusa,
Kabir, Marataing dan Bukapiting. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar
(-0,127) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (51,90 %) dan
Pvalue (0,044) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.56
persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang
109
keluar dari Moru menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 6,47.
Dari kota asal Apui menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi adalah Kalabahi, Bukapiting, Kokar, Marataing,
Mebung, Moru, Baranusa dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar
(-0,256) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (62,00 %) dan
Pvalue (0,020) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.98
persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang
keluar dari Apui menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 7,61.
Dari kota asal Bukapiting menuju kota tujuan secara berurutan
berdasarkan intensitas interaksi adalah Marataing, Apui (6,448), Kalabahi
Mebung, Moru, Kokar, Baranusa, dan Kabir. Koefisien hambatan (β)
yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah
sebesar (-0,212) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (65,50 %)
dan Pvalue (0,015) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar
99.985 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan
berita yang keluar dari Bukapiting menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk
setiap jam operasi SSB sebesar 7,50.
Dari kota asal Marataing menuju kota tujuan secara berurutan
berdasarkan intensitas interaksi adalah Apui, Kalabahi, Bukapiting, Moru,
Mebung, Baranusa, Kokar, dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar
(-0,151) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (53.10 %) dan
Pvalue (0,040) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.60
persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang
keluar dari Marataing menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 6,71 B. Intensitas Interaksi (Fij) Penerimaan Berita (Berita Masuk).
Intensitas interaksi berita yang diterima Kabir dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Baranusa, Moru, Apui. Marataing, Kokar , Bukapiting,
dan Mebung. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,139) dengan nilai R2
110
(62,20 %) dan Pvalue (0,020), sedangkan parameter konstanta sebesar
(6,56). Varibel-variabel hambatan (R2) yang mempengaruhi intensitas
interaksi penerimaan berita sama halnya dengan variabel pengiriman
berita yakni “gangguan teknis alat komunikasi dan gangguan modulasi “.
Kedua variabel gangguan tersebut berlaku untuk interaksi penerimaan
berita pada semua hirarki wilayah. Nilai P (0,020 ) menunjukkan
signifikansi penggunaan model sebesar 99,98 persen. Sedangkan
parameter konstanta sebesar 6,56 menunjukkan jumlah berita yang
masuk (diterima) Kabir dari kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam
operasi SSB dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi.
Intensitas interaksi berita yang diterima Baranusa dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi Marataing, Apui, Mebung. Kokar, Bukapiting, Kabir dan
Moru. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan
berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,147) dengan nilai variabel
hambatan (R2) sebesar (60,30 %) dan Pvalue (0,023) atau signifikansi
penggunaan model sebesar 99,997 persen. Sedangkan parameter
konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,91. Nilai ini
menunjukkan berita yang masuk atau diterimai Baranusa dari Kota-kota
hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB, dengan asumsi tidak terjadi
gangguan teknis dan modulasi.
Intensitas interaksi berita yang diterima Kalabahi dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Baranusa, Moru. Kokar, Marataing, Mebung. Kabir, Bukapiting
dan Apui, Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,0367) dengan nilai
variabel hambatan (R2) sebesar (62,20 %) dan Pvalue (0,020) atau
signifikansi penggunaan model sebesar 99,98 persen. Sedangkan
parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar
6,87.
Intensitas interaksi berita yang diterima Kokar dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Baranusa, Marataing, Moru, Kabir, Mebung, Bukapiting
dan Apui. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,128) dengan nilai
111
variabel hambatan (R2) sebesar (50,60 %) dan Pvalue (0,048) atau
signifikansi penggunaan model sebesar 99,952 persen. Sedangkan
parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar
6,35.
Intensitas interaksi berita yang diterima Mebung dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Moru, Marataing, Bukapiting, Apui, Baranusa, Kokar
dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,105) dengan nilai
variabel hambatan (R2) sebesar (54,30 %) dan Pvalue (0,037) atau
signifikansi penggunaan model sebesar 99,963 persen. Sedangkan
parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar
6,21.
Intensitas interaksi berita yang diterima Moru dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Mebung, Baranusa, Marataing, Bukapiting, Kokar, Apui
dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,123) dengan nilai
variabel hambatan (R2) sebesar (71.50 %) dan Pvalue (0,008) atau
signifikansi penggunaan model sebesar 99,963 persen. Sedangkan
parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar
6,34.
Intensitas interaksi berita yang diterima Apui dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Bukapiting, Marataing, Kokar, Mebung, Baranusa , Moru
dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,112) dengan nilai
variabel hambatan (R2) sebesar (61.50 %) dan Pvalue (0,021) atau
signifikansi penggunaan model sebesar 99,979 persen. Sedangkan
parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar
6,26.
Intensitas interaksi berita yang diterima Bukapiting dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Marataing, Apui, Baranusa, Mebung, Moru, Kokar dan
Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan
112
berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,089) dengan nilai variabel
hambatan (R2) sebesar (50.70 %) dan Pvalue (0,047) atau signifikansi
penggunaan model sebesar 99,953 persen. Sedangkan parameter
konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,14.
Intensitas interaksi berita yang diterima Marataing dari kota asal secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk
adalah Kalabahi, Apui, Baranusa, Bukapiting, Mebung, Moru, Kokar , dan
Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan
berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,134) dengan nilai variabel
hambatan (R2) sebesar (77,90 %) dan Pvalue (0,004) atau signifikansi
penggunaan model sebesar 99,996 persen. Sedangkan parameter
konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,70.
Secara umum Tabel 23 dan Gambar 13 dan 14 juga memperlihatkan
bahwa:
Rata –rata intensitas interaksi spasial yang masuk ke kota hirarki utama
(Kalabahi) dari kota – kota hirarki bawahnya jauh lebih tinggi, rata - rata di
atas 7 berita perjam operasi SSB bila dibanding dengan intensitas
interaksi sebaliknya, dari hirarki utama ke hirarki bawahnya. Hal ini ada
hubungannya dengan Kalabahi sebagai pusat kebijakan aktivitas
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan yang
dilaksanakan oleh seluruh Kelembagaan Pemerintah Daerah kepada
masyarakat, hampir seluruhnya diinformasikan melalui saluran SSB.
Rata-rata intensitas interaksi antara kota hirarki utama dengan kota –kota
hirarki dalam satu SWP (SWP B) sedikit lebih kuat dibanding antar kota-
kota hirarki pada SWP A dan C.
Intensitas interaksi spasial yang terkait dengan penyampaian informasi
pelayanan pemerintah berupa informasi pasar, bencana alam, informasi
kegiatan program/proyek dan kunjungan kerja dalam rangka supervisi
dan sosialisai kepada masyarakat menunjukkan intensitas pelayanan
pemerintah yang tidak simetrik antar hirarki wilayah. Hal ini
memperlihatkan signifikansi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah.
b. Analisis deskriptif pola interaksi spasial antar hirarki/pusat aktivitas inter wilayah pengembangan dan antar dan inter regional. Analisis entropi interaksi spasial tanpa kendala (unconstrained entropy
model) untuk menduga arus informasi pelayanan pemerintah pada masyarakat
melalui saluran SSB pemerintah daerah, sebenarnya sudah memberikan sinyal
113
adanya asimetrik interaksi spasial antar wilayah, akan tetapi hasil pendugaan
tersebut belum merepresentasikan perkembangan jaringan interaksi spasial yang
komprehensif, oleh karena itu perlu juga analisis deskriptif untuk melihat pola
interaksi spasial berdasarkan jaringan interaksi yang diarahkan dalam RUTRW
Kabupaten Alor Tahun 1991. Hal ini didasari pada asumsi bahwa suatu
wilayah memiliki potensi sumber daya dan karakteristik yang berbeda baik dari
aspek resource endowment maupun aspek artificial resources berupa teknologi
dan hasil interaksi sosial-ekonomi antar wilayah lainnya. Perbedaan sumber
daya (supply side) serta disisi lainnya perbedaan kebutuhan (demand side)
menyebabkan terjadinya transaksi dan interaksi sosial maupun ekonomi wilayah.
Mobilisasi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing wilayah
sehingga terjadinya hubungan/interaksi wilayah dapat berwujud arus atau
pergerakan orang, kendaraan atau barang serta komponen wilayah lainnya
(seperti teknologi, modal dan informasi) melalui jalan dan transportasi, system
atau kelembagaan yang melaksanakannya dan tingkat dan sifat interaksi akan
menentukan perkembangan suatu wilayah.
Sifat pergerakan penduduk sendiri secara garis besar terbagi dua
karakteristik. Yang pertama adalah pergerakan yang bersifat sementara
(commuting), yakni perjalanan atau bepergian untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan atau usahanya kemudian selanjutnya akan kembali lagi ketempat asalnya.
Sedangkan yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap, yakni
perpindahan penduduk dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan untuk
menetap secara permanent. Namun dalam konteks penelitian ini hanya
difokuskan pada karakteristik yang pertama.
Pergerakan penduduk yang bersifat sementara (commuting), tergambar dari
orientasi perjalanan/bepergian penduduk pada masing-masing SWP dapat dilihat
pada Tabel 24 dan secara Grafik dapat terlihat pada Gambar 15, 16 dan 17.
Pada Tabel 24, dan Gambar 15,16 dan 17, menggambarkan bahwa rata-
rata orientasi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dan usaha untuk masing-
masing SWP menunjukkan bahwa rata-rata orientasi ke kota Kabupaten lebih
besar walaupun ada perbedaan proporsi antar ketiga SWP, dimana SWP A
(54,05 %), SWP B (56,01 %) dan SWP C (65,94 %). Orientasi interaksi spasial
penduduk lebih besar kedua, adalah orientasi Luar Kabupaten, untuk SWP A
(20,02 %), SWP B (14,80%) dan SWP C (10,32%), Kemudian orientasi
bepergian dalam Kota Kecamatan, untuk SWP A (9,22 %), SWP B (10,13 %) dan
114
Tabel 24 Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C. No Keperluan DD/K DDL DKK DKK
L1-SWPDKKL L-SWP
DK-Kab.
L-Kab
Jlh
SWP A 1 Membeli sembako 15.42 12.32 30.04 6.05 0.00 31.57 4.60 1002 Membeli Pakaian 0.05 1.02 4.26 3.22 0.00 66.15 25.30 1003 Membeli bahan
rumah 1.20 1.50 10.36 0.08 0.00 82.65 4.21 1004 Membeli elektronik 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 84.35 15.65 1005 Membeli alat dan
mesin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 80.75 19.25 1006 Membeli saprotan 0.00 0.00 1.24 2.60 0.00 55.48 40.68 100
7 Membeli kendaraan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 64.30 35.70 100
8 Menjual hasil usaha 6.30 7.64 10.20 5.40 4.60 30.40 35.46 100
9 Urusan adat/keluarga 30.20 22.20 7.50 7.30 12.40 15.20 5.20 100
10 Rekreasi/traveling 0.00 5.20 28.60 16.30 6.20 29.60 14.10 100 Rata-rata 5.32 4.99 9.22 4.10 2.32 54.05 20.02 100 SWP B 1 Membeli sembako 20.40 14.20 24.30 0.00 8.30 25.40 7.40 1002 Membeli Pakaian 0.80 1.30 6.70 0.00 1.20 69.40 20.60 1003 Membeli bahan
rumah 2.40 3.50 12.36 0.00 2.40 72.14 7.20 1004 Membeli elektronik 1.20 1.50 4.50 0.00 1.30 79.30 12.20 1005 Membeli alat dan
mesin 0.50 0.30 3.20 0.00 2.40 78.35 15.25 1006 Membeli saprotan 1.40 1.50 4.80 0.00 3.60 62.02 26.68 1007 Membeli
kendaraan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 84.30 15.70 1008 Menjual hasil
usaha 8.30 9.60 12.20 0.00 8.60 46.26 15.04 1009 Urusan
adat/keluarga 24.00 18.20 12.60 9.40 10.20 18.20 7.40 10010 Rekreasi/traveling 1.60 15.50 20.64 10.20 6.80 24.76 20.50 100 Rata-rata 6.06 6.56 10.13 1.96 4.48 56.01 14.80 100 SWP C 1 Membeli sembako 12.36 9.60 22.30 4.20 0.00 51.54 0.00 1002 Membeli Pakaian 0.00 0.00 1.20 1.20 0.00 91.80 5.80 1003 Membeli bahan
rumah 1.20 4.60 10.05 0.50 0.00 83.65 0.00 1004 Membeli elektronik 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 89.35 10.65 1005 Membeli alat dan
mesin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 89.35 10.65 1006 Membeli saprotan 0.00 0.00 0.90 0.90 0.00 68.06 30.14 1007 Membeli
kendaraan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 70.30 29.70 1008 Menjual hasil
usaha 7.80 10.60 20.35 2.40 0.00 58.85 0.00 1009 Urusan
adat/keluarga 36.24 27.20 8.31 6.30 5.60 12.15 4.20 10010 Rekreasi/traveling 0.00 6.40 20.60 12.36 4.20 44.34 12.10 100 Rata-rata 5.76 5.84 8.37 2.79 0.98 65.94 10.32 100
Sumber : Hasil analisis data primer Keteranagn : DD/K = Dalam desa/kelurahan DDL = Dalam desa lain DKK = Dalam kota kecamatan DKKL1-SWP = Dalam kota kecamatan lain dalam satu SWP DKKLL-SWP = Dalam kota kecamatan lain luar SWP DK-Kab. = Dalam kota Kabupaten L-Kab. = Luar Kabupaten
115
Rataan orientasi keperluan bepergian pada SWP A Tahun 2004
5.32
4.99
9.22
4.10
2.32
54.05
20.02DD/KDDLDKKDKKL1-SWPDKKLL-SWPDK-Kab.L-Kab
Gambar 15 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP A.
Rataan orientasi keperluan bepergian pada SWP B Tahun 2004
6.06 6.5610.13
1.96
4.48
56.01
14.80 DD/K
DDL
DKK
DKKL1-SWP
DKKLL-SWP
DK-Kab.
L-Kab
Gambar 16 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP B
Rataan orientasi keperluan bepergian pada SWP C Tahun 2004
5.76 5.848.37
2.79
0.98
65.94
10.32 DD/K
DDL
DKK
DKKL1-SWP
DKKLL-SWP
DK-Kab.
L-Kab
Gambar 17 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP C
116
SWP C (8,37%). Orientasi bepergian didalam desa/kelurahan sendiri, untuk SWP
A (5,32 %), SWP B (6,06 %) dan SWP C (5,76 %). Orientasi kedesa lain, untuk
SWP A (4,99 %), SWP B (6,56 %) dan SWP C (5,84%). Sedangkan orientasi ke
kota Kecamatan dalam satu SWP menunjukkan proporsi untuk SWP A ( 4,10 %),
SWP B (1,96 %) dan SWP C (2,79 %). Kemudian orientasi ke kota Kecamatan
diluar SWP, dimana SWP A (2,32 %), SWP B (4,48 %) dan SWP C (0,98 %).
Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa prosentase orientasi bepergian
penduduk untuk memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha keluar Kabupaten
pada SWP A menunjukkan proporsi lebih besar, hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain (1) kedekatan wilayah secara geografis dengan
wilayah Flores mendorong interaksi yang lebih kuat (2) sebagai wilayah
pelabuhan transit jalur 2 unit kapal feri Kalabahi – Leoleba – Larantuka PP,
mendorong akses ekonomi dan sosial yang lebih terbuka dan kuat (3) perbedaan
harga komoditi yang sangat menyolok rata-rata 12 persen lebih tinggi dari harga
yang berlaku di kota asal, sehingga orientasi pemenuhan kebutuhan dan usaha
penduduk SWP A antar interregional ke wilayah Flores lebih terbuka dan
dianggap memberikan nilai tambah (value added) yang lebih signifikan.
Perbedaan harga komoditi yang menyolok terutama jambu mente, asam
dan beberapa hasil laut, dilain sisi memberikan nilai tambah yang signifikan bagi
penduduk SWP A dan keterkaitan ekonomi interregional dengan wilayah Flores,
namun disisi yang lain menunjukkan indikasi kebocoran wilayah (penyulundupan)
mencapai 16, 74 persen, karena lemahnya keterkaitan antar sektor dan wilayah
dalam hal menjaring informasi pasar (market information) yang kompetitif dan
aturan main (regulation) pengelolaan dan pengendalian perdagangan komoditi
antar pulau yang terkait dengan sistem perizinan dan sistem insentif (allow and
allowance system) yang lemah.
Pada Tabel 24 dan Gambar 15,16 dan 17, menunjukkan pula bahwa
ketersediaan 10 indikator keperluan untuk melakukan interaksi spasial, rata-rata
memperlihatkan bahwa (1) hanya keperluan sembako, menjual hasil usaha dan
urusan keluarga yang sedikitnya dapat terpenuhi di dalam desa, atau di desa
sekitar dan ibu kota kecamatan, sedangkan kebutuhan lainnya masih terpusat
di Kota Kabupaten dan luar Kabupaten. (2) ketersedian kebutuhan baik sembako
dan kebutuhan lainnya antar kota kecamatan dalam satu SWP maupun antar
kota kecamatan luar SWP menujukkan karakteristik interaksi spasial yang
berbeda, dimana pada SWP A dan C, interaksi spasial untuk memenuhi
117
kebutuhan dan usaha sedikit diperoleh pada kota kecamatan dalam satu SWP
ketimbang luar SWP dan sebaliknya SWP B memenuhi kebutuhan dan usaha
pada kota kecamatan luar SWP ketimbang satu SWP,
Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa jaringan keterkaitan spasial
antar hirarki/pusat aktivitas antar hirarki utama dan hirarki bawah maupun antar
hirarki bawah masih sangat lemah atau belum berkembang, sehingga distribusi
bahan dan barang kebutuhan dari kota kabupaten ke kota kecamatan dan
desa/kelurahan yang ditetapkan sebagai hirarki/pusat aktivitas sosial – ekonomi
wilayah sesuai arahan RUTRW Kabupaten masih sangat terbatas dan asimetrik
antar hirarki. Penyediaan bahan / barang kebutuhan dan usaha penduduk
yang masih sangat terbatas dan asimetrik antar hirarki wilayah tersebut, sangat
tergantung pada infrastruktur jaringan keterkaitan dan interaksi sosial ekonomi
antar dan inter wilayah pembangunan sebagaimana pada ulasan Tabel 18.
Dalam kaitannya dengan interaksi spasial inter dan antar wilayah regional,
dilakukan melalui dua jalur interaksi yakni jalur laut dan jalur udara. Banyaknya
pelabuhan dan jumlah kapal yang secara kontinue atau berkala menyinggahi
Pelabuhan Kalabahi dan atau jumlah dan jenis pesawat yang masuk di Bandara
udara Mali Kalabahi , dilihat pada Tabel 18.
a. Interaksi spasial /pergerakan bongkar/muat penumpang dan barang antar dan interregional melalui Pelabuhan Kalabahi.
Pelabuhan Kalabahi merupakan salah satu Pelabuhan nasional, yang
berpusat di kota Kabupaten. Perkembangan jumlah dan Prosentase pergerakan
penumpang, barang dan hewan periode 1998-2003 yang menyinggahi
pelabuhan Kalabahi diperlihatkan pada Gambar 18 dan 19.
Gambar 18 dan 19 menunjukkan bahwa jumlah dan prosentase
perkembangan interakasi spasial atau pergerakan arus kunjungan kapal ( KJG
KPL), arus penumpang turun (PNPG-T), arus penumpang naik (PNPG-N), arus
barang yang dibongkar (BRG-BKR), arus barang yang dimuat (BRG-MT), arus
hewan yang dibongkar (HWN-BKR) dan arus hewan yang dimuat (HWN-MT),
pada umumnya memperlihatkan trend perkembangan yang fluktuatif
Jumlah kunjungan kapal mengalami penurunan tajam pada tahun 1999 dan
2000, tetapi mulai menunjukkan perkembangan intensitas kunjungan pada tahun
2001 mencapai 13,41 persen, meningkat menjadi 18,43 persen pada tahun 2002
dan menurun lagi menjadi 8,99 persen. Fluktuasi intensitas interaksi kunjungan
Kapal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, penangguhan pelayaran
118
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
KJG KPL(KALI)
PNPG-T(ORG)
PNPG-N(ORG)
BRG-BKR(TON)
BRG-MT (TON)
HWN-BKR(EKOR)
HWN-MT (EKOR)
KJG KPL (KALI) 2255 1630 1201 1362 1613 1758
PNPG-T (ORG) 60691 63702 57398 52829 55889 45075
PNPG-N (ORG) 59948 72645 49018 51092 61148 65655
BRG-BKR (TON) 32098 44399.7 58415 47237 72346 59324.1
BRG-MT (TON) 13055 15708.1 19418 32475 25423.9 15182.8
HWN-BKR (EKOR) 46 26 37 195 126 275
HWN-MT (EKOR) 1079 545 198 254 35 20
1998 1999 2000 2001 2002 2003
Gambar 18 Perkembangan jumlah interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, barang dan hewan yang menyinggahi Pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003.
-200.00-100.00
0.00100.00200.00300.00400.00500.00
1999
2000
2001
2002
2003
1999 -27.72 4.96 21.18 38.33 20.32 -43.48 -49.49
2000 -26.32 -9.90 -53.21 31.57 23.62 42.31 -63.67
2001 13.41 -7.96 4.23 -19.14 67.24 427.03 28.28
2002 18.43 5.79 19.68 53.16 -21.71 -35.38 -86.22
2003 8.99 -19.35 7.37 -18.00 -40.28 118.25 -42.86
KJG KPL (Kali)
PNPG-T (Org)
PNPG-N
(Org)
BRG-BKR
BRG-MT
HWN-BKR
HWN-MT
Gambar 19 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, orang dan hewan yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003
karena gangguan tekhnis pada Kapal, perubahan trayek serta daya tarik dan
daya dorong pasar. Selain itu prosentase arus penumpang turun, jauh lebih
lemah dari arus penumpang naik. Namun ada pengecualian pada tahun 2000
intensitas penumpang yang naik atau keluar wilayah mengalami penurunan,
yakni minus 53,21 persen pada tahun 2000, setelah itu meningkat ke level
posotif 4,23 persen tahun 2001, dan meningkat tajam menjadi 19,68 persen
tahun 2002 dan menurun lagi menjadi 7,37 persen. Hal ini mengindikasikan
bahwa daya tarik wilayah sendiri yang mendorong arus orang di wilayah lain
untuk masuk di wilayah sendiri masih lemah, dilain sisi daya tarik wilayah lain
yang mendorong orang dari wilayah sendiri untuk keluar ke wilayah lain lebih
tinggi. Hal ini juga memberikan indikasi bahwa daya dorong wilayah untuk
memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha di wilayahnya sendiri masih sangat
lemah.
119
Demikian pula intensitas pergerakan barang dan hewan, prosentase
perkembangan yang dibongkar atau yang didatangkan dari wilayah lain masuk
ke wilayah sendiri masih jauh lebih tinggi dari yang keluar dari wilayah sendiri.
Hal ini mengindikasikan bahwa daya dorong wilayah sendiri untuk mensuplai
sumber daya wilayah menjadi barang dan jasa yang menjadi daya tarik wilayah
untuk memperkuat intensitas interaksi masih sangat lemah. Hal ini akan
membuat struktur ekonomi wilayah semakin melemah karena kebocoran
wilayah sulit ditekan, karena tingkat permintaan (demand) wilayah sendiri akan
kebutuhan jauh lebih tinggi dari kegiatan usaha yang ditawarkan ke wilayah lain.
Sehubungan dengan itu jenis barang yang menjadi daya tarik dan daya
dorong pergerakan spasial antar dan inter regional pada dua tahun terakhir
(Tahun 2002-2003 ) dapat ditujukkan pada Gambar 20, 21, 22 dan 23 berikut .
159.1
2120.0
3960.0
4180.0
303.0
848.1
856.4
341.51456.7
946.9
11573.5
7893.8
10874.0
1678.8
2545.0 5298.0
3410.0
71.8
787.9
512.3893.1
2494.11139.6
10073.710028.710697.2
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
12000.0
14000.0
Beras
Gusir
Terigu
Garam
Zink Besi
Semen
balok
Premium
Solar
M.tanah
Aspal
B.Cam
puran
Tahun 2002
Tahun 2003
Gambar 20 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi
0.7
4.79.2
8.7
0.31.91.9
0.82.13.2
17.3
25.423.9
20.3
0.1
5.1 6.9
10.7
3.41.6
1.0
5.0
1.82.3
20.221.6
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Beras
Gusir
Terigu
Garam
Zink Besi
Semen
balok
Premium
Solar
M.tanah
Aspal
B.Cam
pura
n
Tahun 2002
Tahun 2003
Gambar 21 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi
120
11.46
694.561
164.074
327.679
44.305 10.90
3810.78
1995.03
338.113190.9
277.222
58.575 0343.64433.59
3919.48
2222.341
0500
10001500200025003000350040004500
Kemiri
Kopra
Biji men
te
serla
ck
Asam
Batu hita
m
Cengk
eh
Ubur-ubu
r
Pina
ng
2002
2003
Gambar 22 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang Di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi
0.150.000.16
9.84
2.324.640.63
28.26
53.99
0.004.65
0.45
4.58
2.593.750.79
30.10
53.08
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Kemiri
Kopra
Biji m
ente
serla
ck
Asam
Batu hitam
Ceng
keh
Ubur-ubu
r
Pina
ng
Tahun 2002
Tahun 2003
Gambar 23 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi
Gambar 20 dan 21, menunjukkan bahwa pergerakan jenis barang yang di
bongkar atau masuk ke pelabuhan Kalabahi adalah hampir semua produk
manufacture. Prosentase jenis produk manufaktur yang terbanyak adalah
barang campuran mencapai 25,4 persen tahun 2002 dan 20,3 persen tahun
2003 dari jumlah jenis barang yang masuk/di bongkar di pelabuhan Kalabahi.
Kemudian Bahan bangunan rumah dan aspal, dimana Permintaan semen
menduduki prosentase tertinggi mencapai 20,2 persen tahun 2003 dibanding
tahun 2002 (17,3 %). Bahan energi (premium,solar dan minyak tanah),
permintaan solar mencapai 10,7 persen tahun 2003 dibanding tahun 2002 (8,7
%), minyak tanah (9,2 %) tahun 2002 menurun menjadi 6,9 persen tahun 2003
sedangkan premium (5,1 %) tahun 2003 dibanding tahun 2002 (4,7 %). Selain
bahan campuran, bahan bangunan dan bahan energi, permintaan terhadap
sembako antara lain beras, gula pasir, terigu dan garam cukup besar,
permintaan beras mencapai 23, 9 persen tahun 2002 dan sedikit menurun
menjadi 21,6 persen tahun 2003 dari jumlah jenis barang yang
121
dibongkar/masuk, garam mencapai 5,0 persen tahun 2002 dibanding tahun 2003
(0,8 %). Gula pasir 3,2 persen tahun 2002 menurun menjadi 2,3 persen tahun
2003, sedangkan terigu 2,1 persen tahun 2002 menurun menjadi 1,8 persen
tahun 2003.
Gambar 22 dan 23, menunjukkan bahwa jenis barang/komoditi yang
dimuat /keluar wilayah masih tergantung pada sektor primer (sektor pertanian),
namun jumlah yang dimuat masih jauh dibawah dari jumlah yang dibongkar,
sebagaimana pada ulasan di atas. Hal ini mengindikasikan produktivitas wilayah
dalam mensuplai sumber daya wilayah masih lemah. Prosentase jenis komoditi
yang paling besar dimuat/keluar wilayah melalui pelabuhan kalabahi adalah batu
hitam mencapai 53,99 persen tahun 2002 dan menurun menjadi 53,08 persen
tahun 2003, kemudian diikuti kemiri (28,26%) tahun 2002, meningkat menjadi
30,10 persen tahun 2003. Setelah itu diikuti komoditi asam, ,jambu mente,
sirlak, pinang, kopra, cengkeh dan ubur-ubur.
Pada umumnya sebagai jalur wilayah tujuan dan wilayah interaksi spasial
terutama pergerakan jenis barang/komoditi antar dan inter regional yang masuk
(di bongkar/di import) dan yang keluar (di muat /di eksport) melalui pelabuhan
Kalabahi tahun 2003 dapat terlihat pada Gambar 24. Apabila mencermati
Gambar 24, memperlihatkan bahwa secara parsial jalur interaksi spasial antar
regional dalam aktivitas eksport dan import komoditi atau barang melalui jalur
Surabaya (Pelabuhan Tanjung Perak) terlihat lebih kuat, kemudian diikuti
melalui Jalur Pelabuhan Makassar (Ujung Pandang), setelah itu Denpasar
(Pelabuhan Benoa) dan Bima (Pelabuhan Lembar). Sedangkan jalur interaksi
spasial interregional, melalui jalur Kupang terlihat lebih kuat setelah itu Atapupu.
Tabel 24 juga, menunjukkan adanya indikasi kebocoran wilayah (regional
leakages) yang cukup lebar, karena semua produk yang mengalir keluar
wilayah (di eksport) semua masih dalam wujud bahan primer, sehingga tidak ada
nilai tambah dari proses bahan primer dalam wilayah dan nilai tambah yang akan
diproses dari bahan primer selalu mengalir ke wilayah lain, keadaan ini dapat
dikatakan sebagai fenomena backwash yang memperlemah produktivitas
wilayah. Selain fenomena backwash, kebocoran wilayah yang tak terkendali
karena penyulundupan komoditi yang mengalir keluar daerah, rata-rata mencapai
23,50 persen/tahun seperti penjelasan pada Tabel 16.
122
123
b. Interaksi spasial /pergerakan bongkar/muat penumpang dan barang antar dan interregional melalui Bandara Mali Kalabahi.
Salah satu jalur interaksi spasial antar dan inter regional adalah melalui jalur
lintas udara. Jumlah jenis Pesawat yang masuk dan keluar pada Bandara Mali
Kalabahi dapat terlihat pada ulasan Tabel 18. Pada bagian ini dapat
digambarkan jumlah dan proporsi pergerakan bongkar/muat penumpang dan
barang yang masuk dan keluar melalui Bandara Mali Kalabahi keadaan tahun
2003, dapat di lihat pada Gambar 25 dan 26 berikut :
Gambar 25 Jumlah frekwensi pesawat dan bongkar/muat penumpang dan barang melalui Bandara Mali Tahun 2003 Gambar 26 Proporsi penumpang dan barang yang dibongkar dan di muat melalui Bandara Mali Tahun 2003. Gambar 25 dan 26, memperlihatkan bahwa frekwensi jumlah pesawat yang
datang/landas (leanding) dan berangkat (take off) pada tahun 2003 sebanyak
222 kali dan jika dibanding tahun 2002 frekwensinya meningkat 20,63 persen.
Proporsi penumpang yang datang sedikit lebih besar (1,03 %) dibanding proporsi
penumpang yang berangkat (1,02%). Proporsi barang bagasi yang
datang/dibongkar jauh lebih besar (23,2 %) sedangkan proporsi barang bagasi
yang dimuat/berangkat mencapai minus 18,83 %. Kemudian proporsi paket
Tahun 2003
25677.6
31634.5
2535
2561
222981
866
222
1 Pesaw at masuk/datang (kali)
2 Pesaw at keluar/berangkat (kali)
3 Penumpang masuk/datang(orang)4 Peumpang keluar/berangkat(orang)5 Bongkar barang/bagasi (kg)
6 Muat barang/bagasi (kg)
7 Bongkar barang paket Pos (kg)
8 Muat barang paket pos (kg)
Tahun 2003
-11.72-18.83
13.28
23.21.02
1.03 1 Proporsi penumpang datang(+/-%)2 Proporsi penumpang berangkat(+/-%)3 Proporsi bongkarbarang/bagasi (+/-%)4 Proporsi muat barang/bagasi(+/-%)5 Proporsi bongkar barang paketPos (+/-%)6 Proporsi muat barang paketPos (+/-%)
124
barang Pos datang (bongkar) jauh dibawah minus 11,72 persen dibanding
proporsi paket barang berangkat (muat) sebesar 13,28 persen. Jalur interaksi
penerbangan pesawat yang datang dan berangkat dari Bandara Mali sampai
dengan keadaan 2003 masih bersifat linier dari Kota Kupang (Kota Popinsi NTT
– Kalabahi PP (Kota Kabupaten).
Kesenjangan pertumbuhan atau perkembangan antar wilayah, baik dilihat
dari sisi pertumbuhan sektor/komoditi wilayah, Penerimaan pendapatan,
penyediaan sarana dan prasarana wilayah, penyebaran proporsi APBD
Pembangunan dan interaksi spasial seperti yang diulas di atas, sepertinya
menunjukkan signifikansi terhadap kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan
masyarakat antar SWP. Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat yang
semestinya menjadi tolak ukur kinerja pembangunan wilayah adalah menurunkan
kesenjangan tingkat kemiskinan penduduk antar wilayah yang cenderung
meningkat. Hal ini secara parsial bisa dilihat dari prosentase penyebaran
penduduk miskin berdasarkan Indikator Keluarga prasejahtera dan Sejahtera 1
yang cendrung melebar antar SWP, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 25
Tabel 25 Prosentase Kemiskinan Penduduk Antar SWP Di Kabupaten Alor Tahun 2000 – 2004
No
Tahun
Rumah Tangga Penduduk Miskin
SWP A SWP B SWP C Kabupaten
Jlh KK % Miskin Jlh KK % Miskin Jlh KK % Miskin Jlh KK % Miskin
1 2000 7921 82.86 22342 71.12 5931 88.20 36194 76.49
2 2001 8475 76.11 22646 67.83 6251 84.00 37372 72.41
3 2002 8475 79.87 22759 68.90 6481 85.91 37715 74.29
4 2003 8843 76.55 23524 66.66 6804 81.83 39171 71.52
5 2004 9316 81.13 24026 71.45 6916 92.97 40258 77.39
Sumber : Diolah dari Laporan Kantor BKKBN Kabupaten Alor Tahun 2005.
Pada Tabel 25 memperlihatkan bahwa rata-rata penduduk miskin di
Kabupaten Alor keadaan Tahun 2000 - 2004 berada pada trend di atas 70
persen, kendatipun antar SWP sedikit bervariatif. Misalnya pada SWP B terlihat
sedikit berada di bawah 70 persen antara tahun 2001-2003. Sedangkan pada
SWP A dan C rata-rata di atas 70 persen. Namun yang paling menyolok terlihat
pada SWP C, rata-rata penduduk miskin berada di atas 80 persen bahkan
hampir mencapai 93 persen pada Tahun 2004. Perkembangan penduduk miskin
yang fluktuatif meningkat dan melebar antar wilayah, mengindikasikan adanya
125
kesenjangan dalam kinerja pembangunan wilayah, disamping faktor lain seperti
bencana alam.
4.3. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Pertumbuhan suatu wilayah Pengembangan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang sangat bergantung pada sumberdaya alam yang
dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya
itu dan atau tergantung pada permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang
dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu (North, 1955; Perloff dan Wingo, 1961).
Oleh karena itu pengenalan terhadap komoditas eksport suatu wilayah
pengembangan adalah penting, untuk mengetahui komoditas atau sektor yang
memiliki kekuatan utama dalam memenuhi pertumbuhan suatu wilayah
pengembangan. Sektor atau komoditi mana yang secara spasial memiliki
kekuatan utama membentuk keterkaitan ekonomi, baik kebelakang (kegiatan
produksi) maupun kedepan (sektor pelayanan). Dimana sektor/komoditi tersebut
secara spasial, dapat dikategori sebagai sektor/komoditi basis dan non basis ,
yang memiliki keunggulan kompetitif dengan pergeseran cepat atau lamban,
dalam penelitian ini diduga dengan analisis Location Quotient (LQ) dan Shift
share Analysis (SSA).
4.3.1. Analisis Location Quotient (LQ). Hasil analisis LQ terhadap 17 komoditi yang tersebar pada tiga Satuan
Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003, dapat
terlihat pada Tabel 26
Pada SWP A terdapat Sembilan (9) Komoditi yang tergolong sebagai
komoditi Basis/sentra (Nilai LQ > 1) , atau komoditi yang memiliki pangsa relatif
yang lebih besar dibanding komoditi lainnya. Kesembilan Komoditi basis
tersebut, diurut berdasarkan Nilai LQ adalah kelapa (kopra), jagung, ikan, kacang
hijau, padi, ternak kambing, sirlack (sejenis lendir serangga pada kusambi
sebagai bahan baku vernis), asam dan jambu mente. Sedangkan delapan
komoditi lainnya tergolong sebagai Komoditi Non Basis/Non sentra yakni dengan
(Nilai LQ < 1 ). Kedelapan komoditi ini memiliki pangsa relatif yang lebih kecil,
dimana kapasitas produksinya masih sebatas dalam memenuhi konsumsi lokal.
Salah satu dari kedelapan komoditi non basis tersebut yakni ternak babi dengan
nilai LQ hampir mendekati 1 (0.9) bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi
komoditi unggulan daerah, karena daya dukung wilayah masih memungkinkan
126
untuk pengembangan lebih lanjut. Peluang komoditi Ternak Babi untuk
dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor/komoditi basis atau komoditi unggulan
daerah ditunjukkan juga dengan nilai SSA pada Tabel 27.
Tabel 26 Hasil Analisis LQ Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Keadaan Tahun 2003.
No Jenis Komoditi SWP A @ SWP B @ SWP C @
Nilai LQ Nilai LQ Nilai LQ
1 Padi 1.6 1.5 0.4
2 Jagung 1.8 1.4 0.3
3 Kacang hijau 1.7 0.8 0.7
4 Jambu Mente 1.0 0.8 1.1
5 Kemiri 0.7 2.1 0.7
6 Kelapa(Kopra) 2.1 0.2 0.7
7 Kopi 0.2 2.9 0.5
8 Cengkeh 0.1 4.1 0.1
9 vanili basah 0.0 0.0 2.1
10 Pinang 0.2 0.5 0.5 11 Asam 1.1 0.0 0.5 12 Sirlack 1.2 1.1 0.9 13 Ikan laut 1.7 1.9 0.1 14 Sapi 0.4 2.2 0.8 15 Kambing 1.4 2.1 0.2 16 Babi 0.9 2.4 0.4 17 Batu hitam 0.3 0.7 1.5 Rataan 1.0 1.5 0.7
Sumber : Hasil analisis data produksi Komoditi Tahun 2003
Keterangan : @ = Komoditi Basis/Sentra pada SWP A
@ = Komoditi Basis/Sentra pada SWP B
@ = Komoditi Basis/sentra pada SWP C.
Pada SWP B terdapat 10 komoditi yang tergolong sebagai komoditi
basis/sentra (Nilai LQ > 1 ). Urutan Nilai LQ dari kesepuluh komoditi basis/sentra
tersebut adalah cengkeh, kopi, ternak babi, ternak sapi, kemiri, ternak kambing,
ikan, padi, jagung dan sirlack . Sedangkan tujuh komoditi lainnya tergolong
Komoditi Non Basis/Non Sentra (LQ < 1), atau komoditi-komoditi tersebut
memiliki pangsa relatif yang lebih kecil, dimana rata-rata kapasitas produksinya
masih sebatas dalam memenuhi konsumsi lokal. Akan tetapi dari ketujuh
komoditi non basis tersebut, terdapat dua komoditi yakni kacang hijau dengan
nilai LQ (0.847) dan jambu mente (0.8) dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi
127
komoditi basis karena daya dukung lahan masih tersedia. Peluang
pengembangan kedua komoditi dimaksud menjdi komoditi basis atau komoditi
unggulan daerah, diperlihatkan juga dengan nilai SSA pada Tabel 27
Pada SWP C, hanya terdapat tiga komoditi yang tergolong sebagai komoditi
basis/sentra (Nilai LQ >1). Ketiga komoditi tersebut adalah Vanili, batu hitam dan
jambu mente. Akan tetapi dari ketiga komoditi tersebut, batu hitam merupakan
sumber daya yang dipakai karena batu hitam merupakan salah satu sumber
daya alam yang non renewable. Sedangkan empat belas komoditi lainnya
tergolong komoditi non basis/non sentra (Nilai LQ <1). Namun dari empat belas
komoditi yang tergolong non basis, beberapa komoditi diantaranya bisa
dikembangkan lebih lanjut, menjadi komoditi basis karena daya dukung lahan
baik kesesuain komoditas maupun luas areal masih sangat memungkinkan untuk
dikembangkan, antara lain sirlack dengan nilai LQ (0,9), ternak sapi (0,8),
kelapa/kopra (0,7), kemiri (0,7), kacang hijau (0,7) dan kopi (0,5).
Jika dicermati secara parsial berdasarkan daya dukung wilayah seharusnya
SWP C, merupakan wilayah sentra berbagai jenis komoditi Perkebunan dan
sentra Pangan, karena memiliki areal pertanian yang lebih luas, dibanding SWP
A dan SWP B. Sebagai sentra pangan SWP C memiliki areal persawahan seluas
91,44 persen dari 3 354,50 Ha luas areal sawah di Kabupaten Alor. Demikian
juga sentra perkebunan, pada SWP C memiliki potensi seluas 35,82 persen dari
136 237,88 Ha luas lahan perkebunan di Kabupaten Alor, tetapi hasil analisis LQ
menunjukkan hanya tiga komoditi yang tergolong komoditi Basis/Sentra.
Kondisi tersebut ada hubungannya dengan kesenjangan alokasi
pembangunan yang cenderung statis dalam membangun struktur wilayah dan
sumber daya manusia yang mendukung peningkatan produktivitas wilayah.
Desa-desa sentra produksi pada SWP C, masih dililit keterisolasian, sehingga
produktivitas ekonomi wilayah masih lebih bersifat konsumtif ketimbang dalam
skala ekonomik. Secara parsial hal ini bila dilihat dari sisi daya dukung lahan,
SWP C memiliki luas lahan basah mencapai 91,44 persen namun yang sudah
produktif baru mencapai 0,55 persen dari 183 Ha luas panen lahan sawah di
Kabupaten Alor, hal ini berarti sebagian besar lahan basah masih merupakan
potensi. Hal yang sama juga diperlihatkan pada lahan perkebunan, dimana 35,82
persen potensi lahan perkebunan pada SWP C, yang sudah diproduktifkan baru
mencapai 17.21 persen, hal ini berarti sebagian besar lahan kering masih
merupakan potensi pengembangan.
128
Dari sisi infrastruktur wilayah khususnya transportasi jalan yang memperkuat
mobilitas spasial dalam akses pasar terlihat bahwa hanya 18,15 persen jalan
beraspal dan 5,39 persen pengerasan (telefort), dan 42.90% persen masih jalan
tanah. Dari sisi kualitas SDM rata-rata masyarakat pada SWP C memiliki
pengetahuan dan ketrampilan usaha tani rendah, karena hampir 80 persen
masyarakat hanya menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD), bahkan masih
ada tingkat putus SD mencapai 2,98 persen.
4.3.2. Analisis Shift Share ( SSA ). Untuk menjastifikasi pertumbuhan komoditas unggulan antar SWP yang
mengisyaratkan kapasitas ekonomi suatu wilayah dapat bertumbuh dengan
cepat atau lamban dan komoditi tersebut apakah memiliki keunggulan kompetitif
untuk dikembangkan menjadi sektor basis, maka telah menggunakan Analisis
Shift Share (SSA) terhadap 17 jenis komoditi pada tiga Satuan Wilayah
Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor dengan menggunakan dua titik waktu
yakni Tahun 1998 dan Tahun 2003, dimana gambaran tentang pergeseran
pertumbuhan komoditas unggulan sebagai basis pertumbuhan wilayah
berdasarkan SSA tersebut, dapat diperlihatkan pada Tabel 27 dan secara Grafik
ditunjukkan pada Gambar 27.
Dari Tabel 27 dan Gambar 27, memperlihatkan bahwa hampir 17 Komoditi
yang diduga dengan analisis shift share (SSA) pada ketiga SWP memiliki
keunggulan kompetitif (SSA > 0), kecuali komoditi Vanili pada SWP A dan SWP
B memperlihatkan nilai SSA = 0 artinya komoditi tersebut masih bisa
dikembangkan lebih lanjut menjadi komoditi Basis. Hal ini ada hubungannya
dengan pengembangan vanili pada SWP A dan SWP B, merupakan komoditi
baru yang di introduksi dari SWP C, yang masih dalam areal dan produksi yang
terbatas. Sedangkan dari sisi pergeseran pertumbuhan komoditi antar SWP
memperlihatkan nilai SSA yang bervariatif.
Pada SWP A terlihat bahwa komoditi unggulan yang memiliki pergeseran
cepat (SSA > 0) secara berurutan adalah jambu mente, ternak babi, kelapa
(kopra), jagung, kacang hijau, ikan, padi, sirlack, cengkeh, ternak kambing, batu
hitam , asam, ternak sapi, kemiri, pinang dan kopi.
129
Tabel 27 Pergeseran Pertumbuhan komoditi unggulan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003
No
Jenis sektor/Komoditi
unggulan
Komponen Shift share ( SSA )
SWP A @ SWP B @ SWP C @
1 Padi 2.7 0.9 0.6
2 Jagung 6.2 0.7 0.8
3 Kacang hijau 5.5 0.4 1.0
4 Jambu Mente 213.4 8562.2 33641.9
5 Kemiri 0.3 0.6 1.3
6 Kelapa(Kopra) 6.6 0.1 0.2
7 Kopi 0.1 0.3 0.1
8 Cengkeh 1.7 3.3 1.2
9 vanili basah 0.0 0.0 125.0
10 Pinang 0.2 0.3 0.4
11 Asam 1.1 1.0 1.0
12 Sirlack 2.6 2.0 2.0
13 Ikan laut 5.0 3.2 4.1
14 Sapi 0.8 0.2 0.4
15 Kambing 1.4 4.9 1.3
16 Babi 12.2 3.3 1.2
17 Batu hitam 1.3 0.9 1.0
Sumber : Data analisis produksi komoditi Tahun 1998 dan 2003. Keterangan : @= Komoditi pada SWP A yang memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhan yang cepat. @= Komoditi pada SWP B yang memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhan yang cepat. @= Komoditi pada SWP C yang memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhan yang cepat.
2.7
0.9
0.6
6.2
0.7
0.8 5.5
0.4
1.0
213.4
8562
.2
33641.9
6.6
0.1
0.2 0.1
0.3
0.1 1.7
3.3
1.2 0.0
0.0 125.
00.
20.
30.
4 1.1
1.0
1.0 2.6
2.0
2.0
5.0
3.2
4.1
0.8 0.2
0.4
1.4
4.9 1.3
12.2
3.3 1.2 1.3
0.9
1.0
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
20000.0
25000.0
30000.0
35000.0
Nila
i SS
A
Padi
Jagu
ng
K. h
ijau
J. M
ente
Kela
pa
Kopi
Ceng
keh
vani
li
Pina
ng
Asam
Sirla
ck
Ikan
Sapi
Kam
bing
Babi
B. h
itam
Jenis komoditi
Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Antar SWP Tahun 1998 dan Tahun 2003
SWP A
SWP B
SWP C
Gambar 27 Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Unggulan Antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003.
130
Kendatipun nilai SSA menunjukkan 16 komoditi dari 17 komoditi yang diduga
menunjukkan pergeseran yang cepat untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi
Komoditi basis, namun pada kenyataannya hanya beberapa komoditi yang
memiliki pangsa pasar yang lebih luas dan dapat bertahan atau cocok terhadap
kondisi agroklimat wilayah secara dinamik. SWP A lebih didominasi lahan
kering dan beriklim panas dengan sumber daya air yang sangat terbatas,
sehingga hanya beberapa komoditi yang dianggap bertahan atau cocok
terhadap kondisi agroklimat wilayah dan memiliki pangsa pasar yang relatif lebih
luas (komoditi eksport/antar pulau) untuk seperlunya mendapat insentif
pengembangan lebih lanjut sebagai sektor Basis adalah terutama jambu mente,
sirlack, asam dan penangkapan ikan, kemudian sebagai komoditi ikutan adalah
kelapa, ternak kambing dan ternak babi. Sedangkan padi, jagung dan kacang
hijau nilai LQ dan SSA menunjukkan sebagai sektor basis dengan pergeseran
yang cukup cepat, yang tentu juga mendapat insentif untuk dikembangkan lebih
lanjut bagi ketahanan pangan daerah, tetapi kapasitas produksi sering
berfluktuasi seiring dengan perubahan iklim dan kerapkali terancam bahaya
elnino.
Pada SWP B terlihat bahwa komoditi unggulan yang memiliki pergeseran
cepat (SSA >0), secara berurutan adalah jambu mente, ternak kambing,
cengkeh, ternak babi, ikan, serlack, asam, batu hitam, padi, jagung, kemiri,
kacang hijau, pinang, kopi, ternak sapi, dan kelapa (kopra). Keenam belas
komoditi ini memiliki keunggulan kompetitif untuk dikembangkan lebih lanjut
menjadi sektor basis. Untuk insentif pengembangan bagi sektor/komoditi yang
memiliki pangsa pasar yang lebih luas (komoditi eksport/antar pulau), maka
diperlukan efisiensi berdasarkan daya dukung wilayah yang dilihat dari aspek
luas potensi pengembangan, variasi agroklimat maupun aspek sosial dan
ekonomi, bahwa sektor/komoditi tersebut dapat bertumbuh secara dinamis.
Beberapa komoditi/sektor yang dianggap memiliki pangsa pasar yang luas dan
bertumbuh secara dinamik antara lain Tanaman Perkebunan dan Kehutanan
(cengkeh,kopi,kemiri,sirlack, kopra dan jambu mente), ternak ( kambing, babi dan
sapi), penangkapan ikan dan batu hitam. Batu hitam merupakan sumber daya
alam yang akan habis terpakai jika eksploitasinya tidak mempertimbangkan
kelestariannya. Sedangkan padi, jagung dan kacang hijau, kendatipun nilai LQ
dan Nilai SSA menunjukkan keunggulan komparatif dan kompetitif, namun
131
insentif pengembangan selama ini masih mengarah pada ketahanan pangan
daerah.
Pada SWP C terlihat bahwa dari 17 komoditi yang diduga dengan SSA,
ternyata semuanya memiliki keunggulan kompetitif (SSA > 0) dengan pergeseran
pertumbuhan secara berturut adalah jambu mente, vanili, ikan, sirlack, kemiri,
ternak kambing, ternak babi, cengkeh, kacang hijau, asam, batu hitam, jagung,
padi, ternak sapi, pinang, kelapa (kopra) dan kopi.
Pada Tabel 27 dan Gambar 27, memperlihatkan pula bahwa pergeseran
pertumbuhan komoditi jambu mente jauh lebih pesat untuk ketiga wilayah
pengembangan. Hal ini disebabkan karena peningkatan luas areal penanaman
dan kapasitas produksi yang sangat signifikan dari tahun 1998 ke tahun 2003.
Pada SWP A kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 718 Ton, dengan luas
areal lahan 26 Ha menjadi 153192 Ton pada tahun 2003, dengan luas areal
lahan 3 497 Ha. Pada SWP B kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 10
950 Ton, dengan luas areal 1 678,8 Ha menjadi 93 756 Ton pada tahun 2003,
dengan luas areal lahan 3 282 Ha. Sedangkan pada SWP C kapasitas produksi
pada tahun 1998 sebesar 8 350 Ton, dengan luas areal lahan 405,50 Ha
menjadi 280 910 Ton dengan luas areal 1 678 Ha pada Tahun 2003. Demikian
pula beberapa komoditi lain pada tiga SWP juga memperlihatkan peningkatan
kapasitas produksi yang signifikan dari tahun 1998 ke tahun 2003. Pergeseran
pertumbuhan beberapa komoditi yang begitu cepat (SSA >1) dalam kurun waktu
antara tahun 1998 dan 2003, ada hubungannya dengan Strategi Kebijakan
Pembangunan Daerah yang dikenal dengan nama: “ Gerakan Kembali ke Desa
dan Pertanian (GERBADESTAN )” yang dideklarasikan pada 1 April 1999 sampai
sekarang.
GERBADESTAN selain menjadi acuan program pemerintah daerah, juga
telah dijelmakan sebagai gerakan swadaya masyarakat dan acuan dalam
menjaring kemitraan. Secara opersional Gerbadestan mencakup empat program
pokok yaitu (1) pemberdayaan ekonomi rakyat, (2) peningkatan kualitas sumber
daya manusia, (3) pembangunan sarana dan prasarana dan (4) penguatan
kelembagaan. Salah satu kegiatan operasional dari program pemberdayaan
ekonomi rakyat adalah ‘Gerakan pengembangan tanaman perdagangan,
perikanan dan kelautan serta keamanan pangan masyarakat dan daerah “.
Dalam Gerakan ini Pemerintah daerah memberikan subsidi berupa bibit,
pupuk dan alsintan untuk pengembangan beberapa komoditi unggulan pada
132
setiap SWP. Sedangkan bagi nelayan Pemerintah daerah memberikan subsidi
berupa perahu motor dan alat penangkapan lainya kepada setiap kelompok
nelayan. Begitu pula bantuan ternak. Selain itu sebagai gerakan swadaya
masyarakat, Pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada
petani/nelayan dan peternak. Misalnya petani diberikan perhargaan jika dapat
mengembangkan tanaman perdagangan di atas 100 pohon dalam satu tahun
secara swadaya. Penghargaan tersebut diberikan dalam wujud sertifikat
penghargaan dan modal usaha minimal Rp 1000.000 per orang, melalui suatu
proses penilaian yang disebut Penilaian Lomba GERBADESTAN. Insentif yang
diberikan untuk menghargai swadaya masyarakat semenjak tahun 1999 sampai
sekarang, nampaknya cukup signifikan untuk mendorong kreatifitas
petani/nelayan dan peternak dalam mengembangkan kapasitas produksinya,
sehingga pergeseran pertumbuhan beberapa komoditi menjadi lebih cepat.
Akan tetapi terdapat pula beberapa komoditi yang mengalami penurunan
kapasitas produksi, yakni pada SWP A, ditemukan pada komoditi pinang dan
ternak sapi. Pada tahun 1998 kapasitas produksi untuk pinang 11,16 Ton dan
ternak sapi dengan produksi 27,440 Ton daging menurun menjadi 2 Ton untuk
komoditi pinang dan 22,960 Ton untuk daging Sapi pada Tahun 2003.
Penurunan produksi komoditi pinang, ada kaitannya dengan agroklimat wilayah
sentra yang terbatas untuk pengembangan komoditi pinang karena SWP A
termasuk wilayah dengan tingkat kekeringan yang sangat tinggi, sumber daya air
terbatas dan termasuk wilayah rawan elnino. Sedangkan penurunan produksi
ternak sapi ada hubungannya dengan produktivitas usaha yang masih rendah.
Demikian juga pada SWP B dan SWP C, ditemukan beberapa komoditi dengan
kapasitas produksi yang cenderung menurun atau pergeseran pertumbuhan
sedikit lamban (Nilai SSA antara 0,00 - 0,9426). Hal ini disebabkan oleh
produktivitas yang masih rendah, bencana alam (hama,elnino dan lanina) dan
deposit bahan galian batu hitam yang mulai berkurang (devisit). Rendahnya
produktivitas usaha ada kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang
rendah disertai struktur wilayah yang belum mendorong akses pasar yang
memberikan ekspektasi yang lebih dinamik dalam skala ekonomik.
Hasil analisis LQ dan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah
sebagaimana uraian di atas dapat dijustifikasi kedalam matriks kombinasi
seperti pada Tabel 28.
133
Tabel 28 Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah di Kabupaten Alor .
SWP
SSA
LQ >1 ≤ 1
A
> 0
I II 1.Padi 2.Jagung 3.K. hijau 4.J. mente 5.Kelapa
6.Asam 7.Sirlack 8.Ikan laut 9.Kambing
1.Kemiri 2. Cengkeh 3.Sapi
4. Babi 5. Batu hitam
≤ 1
III IV
1.Pinang 2.Kopi
3.Vanili
B
> 0
I II 1.Padi 2.Jagung 3.Kemiri 4.Kopi 5.Cengkeh
6.Sirlack 7.Ikan laut 8. Sapi 9. Kambing 10. Babi
1.K. hijau 2.J. mente 3. Pinang
4.Asam 5. Batu hitam
≤ 1
III IV
1.Kelapa
2.Vanilii
C
> 0
I II 1.J. mente 2.Vanilii 3. Batu hitam
1.Padi 2.Jagung 3.K. hijau 4.Kemiri 5.Kopi 6.Kelapa 7.Cengkeh
8.Pinang 9.Asam 10.Sirlack 11.Ikan laut 12. Sapi 13. Kambing 14. Babi
≤ 1
III IV
Sumber : Hasil analisis LQ dan SSA Komoditi unggulan daerah Tahun 1998 dan 2003.
Tabel 28 menunjukkan bahwa Komoditi yang berada pada Kwadran I,
merupakan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan juga keunggulan
kompetitif untuk dikembangkan sebagai komoditi unggulan pada masing-masing
SWP. Pada kwadran II, merupakan komoditi yang tidak memiliki keunggulan
komparatif tetapi memiliki keunggulan kompetitif. Jenis komoditi tersebut pada
masing-masing SWP dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi komoditi basis.
Pada Kwadran III, merupakan kategori komoditi yang memiliki keunggulan
komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan dalam hasil analisis
tidak ditemukan komoditi yang demikian. Sedangkan pada kwadran IV,
merupakan kategori komoditi yang tidak memiliki keunggulan komparatif maupun
keunggulan kompetitif. Kategori jenis komoditi tersebut hanya ditemukan pada
SWP A dan SWP B, Jenis komoditi tersebut dikategori sebagai jenis komoditi
non basis pada SWP tersebut.
134
4.4. Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah berimbang.
Mencermati hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah
pengembangan (SWP), yang ditinjau dari aspek pendapatan antar SWP,
perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar SWP, perkembangan
proporsi alokasi APBD pembangunan dan interaksi spasial antar SWP dan antar
dan interregional, serta analisis sektor/komoditi basis antar SWP menunjukkan
satu kesatauan yang saling terkait atau saling mempengaruhi satu sama lain
yang menunjukkan indikasi ”lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan
spasial” dalam kinerja pembangunan wilayah. Hal tersebut dapat dijelaskan
dalam bentuk bagan keterkaitan pada Gambar 28 berikut :
Gambar 28 Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor.
135
Gambar 28, menunjukkan bahwa lemahnya keterkaitan dan keterpaduan
antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, mengakibatkan
adanya kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat antar SWP. Hal
ini disebabkan oleh adanya kesenjangan investasi/ alokasi APBD Pembangunan
antar SWP yang proporsional dalam membangun infrastruktur wilayah dan
potensi wilayah (dalam wujud modal kerja dan introduksi teknologi dan sumber
daya manusia). Alokasi APBD Pembangunan antar SWP yang tidak
proporsional menunjukkan adanya kesenjangan pembangunan infrastruktur antar
SWP, demikian pula kesenjangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi
ekonomi wilayah seperti yang ditunjukkan pada analisis LQ dan SSA. Adanya
kesenjangan pembangunan infrastruktur antar SWP, menyebabkan lemahnya
interaksi spasial antar SWP maupun antar dan interregional. Lemahnya interaksi
spasial antar SWP, menghambat aliran modal, teknologi dan sumber daya
manusia yang tidak berimbang antar wilayah dalam mengelola dan
memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia secara optimal, adil dan
berkelanjutan. Dilain sisi kesenjangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
potensi ekonomi secara optimal berdampak pada kesenjangan pendapatan, juga
berdampak pada daya tarik wilayah (Bargaining position) yang lemah dalam
melakukan interaksi spasial antar dan interregional. Interaksi spasial yang lemah
juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat (Kemiskinan tinggi dan SDM
rendah). Kemiskinan tinggi dan SDM yang rendah berdampak pada produktivitas
kerja yang rendah dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi secara
optimal, untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Kemudian pendapatan
perkapita yang rendah, menyebabkan kemiskinan dan SDM yang rendah
karena akses terhadap pendidikan dan kesehatan melemah.
Dari hasil sintesa kesenjangan pembangunan antar SWP, sebagaimana
uraian di atas, maka untuk mereduksi kesenjangan pembangunan tersebut
maka memerlukan suatu “ Rencana strategis pembangunan wilayah berimbang”.
Maka untuk menyusun suatu rencana pembangunan wilayah berimbang, aspek
“keterkaitan dan keterpaduan “ merupakan tolok ukur kinerja pembangunan
wilayah berimbang. Dengan demikian mengawali penyusunan rencana strategis
pembangunan wilayah berimbang harus dibangun suatu model keterkaitan/
keterpaduan yang menjadi acuan dalam proses pembangunan wilayah
berimbang.
136
Mengingat Kabupaten Alor sebagai salah satu wilayah perbatasan maritim
dengan negara Timor Leste, maka model keterkaitan/keterpaduan yang
tergambar pada Gambar 29 di bawah ini merupakan penjabaran dari Model
keterkaitan/keterpaduan di dalam wilayah perbatasan yang dibangun ,
Pandiadi,et al. (2005) sebagai berikut :
Gambar 29 Model keterkaitan/keterpaduan didalam Rencana Strategis Pembangunan wilayah berimbang di Kabupaten Alor.
Model keterkaitan/keterpaduan sebagaimana pada Gambar 29 di atas, dapat
dijelaskan bahwa dalam menyusun model rencana strategis pembangunan
wilayah berimbang, harus memilah unsur-unsur yang termasuk sebagai input,
process, output, outcome dan Impact. Yang termasuk dalam kategori input
antara lain (1) Kebijaksanaan spasial dan sektoral pada tingkat nasional, tingkat
propinsi dan tingkat Kabupaten (Jak Nas, Jak Prop, dan Jak Kab.) dan (2)
Potensi /sumber daya wilayah, yakni sumber daya alam (SDA), sumber daya
manusia (SDM), sumber daya sosial (SDS), sumber daya buatan (SDB) dan
sumber daya investasi (SDI). Masukan (input) merupakan unsur-unsur yang akan
137
diproses melalui mekanisme keterkaitan dan keterpaduan untuk menghasilkan
output atau outcome yang berimbang. Output yang harus dicapai dalam proses
keterkaitan/ keterpaduan adalah menguatnya institusi (dalam wujud kapasitas
dan hirarki pelayanan) dan interaksi spasial secara dinamis serta optimalisasi
pengelolaan dan pemanfaatan potensi/sumber daya yang adil/berimbang dan
sustainable antar wilayah pembangunan (SWP). Hasil (output) dari proses
keterkaitan pembangunan spasial, institusi, sektor ekonomi dan rentang/sistem
usaha hulu-hilir tersebut, menghasilkan outcome dalam wujud : (1) Peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh tingginya/meningkatnya sumber
daya manusia (SDM) dan Indeks kemiskinan manusia (IKM) yang
rendah/menurun; (2) Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapita wilayah dan masyarakat yang dinamis; dan (3) Keamanan dan
ketertiban wilayah yang terkendali sehingga terasa aman, tertib dan nyaman,
sebagai dampak dari kesejahteraan masyarakat yang terpenuhi. Apabila ada
keberimbangan outcome berarti ada implikasi kinerja pembangunan antar
wilayah berimbang sebagai dampak terakhir (impact) dari suatu proses
keterkaitan/keterpaduan pembangunan wilayah yang mendasari RUTRW dalam
kerangka otonomi daerah yang efektif.
Sehubungan dengan itu, setelah unsur-unsur input teridentifikasi, maka
dilanjutkan dengan proses klasifikasi aspek – sapek keterkaitan/keterpaduan
(aspek spasial, aspek institusi, aspek sektor ekonomi dan aspek rentang/sistem
usaha ekonomi hulu-hilir ). Ke empat aspek keterkaitan /keterpaduan dalam
proses pembangunan wilayah tersebut, masing-masing dipilah lagi atas proses
keterkaiatan/keterpaduan sebagai berikut :
a.Aspek spasial diklasifikasikan atas keterkaitan /keterpaduan sebagai (1)
Wilayah perbatasan negara (Wilayah perbatasan maritim) dengan negara
Timor Leste; (2) Wilayah perbatasan tetangga (wilayah perbatasan maritim
dengan Kabupaten Lembata, Flores Timur, Kupang, Timor Tengah Utara, Belu
dan Propinsi Maluku Tenggara ); (3) Wilayah lain diluar perbatasan dalam satu
kesatuan nusantara (posisi strategis antara KTI dan KIB) dan (4) Satuan
Wilayah Pengembangan(SWP)/Kota-desa dalam wilayah sendiri.
b. Aspek Institiusi mencakup proses keterkaitan/keterpaduan antara (1) Institusi
Pemerintah (Pusat,Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan desa/kelurahan); (2)
Institusi swasta (Besar, Menengah dan Kecil) dan (3) Institusi masyarakat
(Formal maupun Non formal ).
138
c. Aspek sektor ekonomi diklasifikasikan atas keterkaitan/keterpaduan antar (1)
Sektor primer (pertanian dan pertambangan tertentu); (2) Sektor sekunder
(industri dan konstruksi); dan (3) Sektor Tersier (sektor perdagangan dan jasa-
jasa).
d. Aspek rentang / sistem, yakni proses keterkaitan/keterpaduan antara sistem
usaha ekonomi hulu dan hilir, terutama kegiatan Agroindustri. Proses
keterkaitan /keterpaduan dalam kegiatan Agroindustri harus menjadi kegiatan
”basis ” yang harus didorong sebagai wilayah agraris, yang mayoritas
penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor primer (pertanian).
Dengan demikian keterkaitan antara sektor pertanian sebagai hulu dan sektor
industri dan sektor perdagangan dan jasa sebagai hilir dalam proses produksi
dan pemasaran yang saling memperkuat baik kedepan (forward linkages ) dan
kebelakang (backward linkages) harus menjadi prioritas untuk didorong, dalam
rangka optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi wilayah secara
adil/berimbang dan sustainable.
Mengacu pada ulasan model keterkaitan/ keterpaduan rencana strategis
pembangunan wilayah berimbang di atas, maka hasil sintesa kesenjangan
pembangunan wilayah sebagaimana pada Gambar 28, merupakan input yang
dapat diproses dalam kerangka keterkaitan/keterpaduan untuk mencapai
outcome yang berdampak pada kinerja pembangunan wilayah berimbang.
Sehubungan dengan itu untuk membangunan keterkaitan /keterpaduan
dalam mereduksi atau mengurangi kesenjangan wilayah yang diuraikan di atas,
memerlukan sumber daya investasi (SDI) yang proporsional (Rustiadi et al.
2004), namun demikian investasi sumber daya yang diperlukan harus diikuti
dengan perbaikan kualitas kinerja Pengelola pembangunan wilayah termasuk
Pengelola anggaran daerah secara dinamis, baik Eksekutif maupun Legislatif.
Berdasarkan hasil sintesa kesenjangan pembangunan wilayah yang di ulas
di atas, maka disarankan lima alternatif strategi pengembangan pembangunan
wilayah berimbang (Rustiadi et al. 2006, 2007), yakni :
1 Peningkatan Supply and demand side strategy.
Supply side strategy, diarahkan pada upaya investasi modal untuk
meningkatkan penawaran (Supply) dari kegiatan produksi yang
berorientasi keluar (Global dan antar dan interregional). Strategi ini
diprioritaskan pada komoditi unggulan wilayah yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif, terutama yang tertera pada Tabel 28. Upaya
139
peningkatan penawaran (supply) akan meningkatkan ekspor wilayah yang
akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Hal ini akan menarik
kegiatan-kegiatan lain untuk masuk ke wilayah pengembangan.
Demand side strategy, diarahkan pada upaya peningkatan taraf hidup
penduduk, dengan upaya peningkatan permintaan terhadap barang-
barang non pertanian (industri dan jasa-jasa) yang dapat mendorong
produktivitas wilayah pengembangan. Sebagai wilayah kepulauan dengan
karakteristik penduduk yang menyebar dengan pola produksi yang pada
umumnya masih subsisten, maka upaya pemusatan penduduk pada
kawasan-kawasan pengembangan termasuk pulau – pulau kecil belum
berpenghuni harus menjadi sasaran pengembangan ke depan. Stadia
pengembangan wilayah melalui demand side strategy yang dibangun
Rustiadi et al .(2007) sebagaimana pada Gambar 30, dianggap relevan
untuk diterapkan di tingkat daerah.
140
2 Peningkatan kapasitas dan hirarki pelayanan.
Strategy ini diarahkan pada pengembangan pusat-pusat pelayanan,
antara lain selain ibu kota kecamatan (kota menengah), perlu dilakukan
pengembangan kota-kota kecil yang diklaster dari beberapa desa yang
secara geografis sulit dibangun jaringan interaksi yang network antar
wilayah desa, termasuk pulau-pulau kecil yang belum berpenghuni untuk
dilakukan desain Tata ruangnya. Selain itu klaster desa-desa dalam satu
pusat pelayanan sebagai kota-kota kecil juga dapat disesuaikan
berdasarkan homogenitas potensi wilayah. Penentuan klaster pusat-pusat
pelayanan harus ditentukan secara partisipatif oleh desa-desa yang
terlibat dengan mempertimbangkan kajian ketersediaan infrastruktur
(sarana-prasarana) berdasarkan indeks skalogram (Lampiran 2). Dengan
demikian hukum nodal (keterkaitan pusat dan hinterland dapat lebih
menguat) dan dampak backwash yang dapat memperlebar kebocoran
wilayah (regional leakages) dapat ditekan.
3. Perluasan pengembangan Pertanian. Strategi pengembangan pertanian harus diarahkan pada agribisnis dan
agroindustri serta agrowisata dan bahari dalam rangka peningkatan
produktivitas usaha dan daya saing pasar.
Sebagai wilayah agraris dengan mayoritas masyarakat yang adalah
masyarakat petani lahan kering dan kehutanan, peternak dan nelayan,
maka pengembangan pertanian berbasis agribisnis dan agroindustri,
serta agrowisata merupakan strategi yang paling tepat dalam mengurangi
kemiskinan masyarakat antar wilayah.
Sebagai wilayah perbatasan negara maritim, dan juga secara geofisik
wilayah administratif, yang dibentuk dari gugusan pulau-pulau sedang
dan kecil, maka strategi perluasan pengembangan pertanian terutama
yang berbasis pada sumber daya kelautan dan pesisir secara
efisien,adil/berimbang dan sustainable, harus diawali dengan suatu kajian
spesifik dan penyusunan penataan ruang wilayah kelautan dan pesisir
yang belum pernah ada.
4. Peningkatan Kapasitas SDM dan Social Capital Masyarakat lokal
Strategi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan sosial kapital
masyarakat lokal diarahkan pada :
Pemberdayaan masyarakat lokal baik dari sisi pengembangan sumber
daya manusia maupun kelembagaan (social capital)
141
Pengembangan fasilitas pendukung pendidikan dan kesehatan serta
peningkatan dan distribusi tenaga pendidikan dan kesehatan yang
proporsional dan berkualitas.
Hak akses terhadap sumberdaya utama lokal harus diperkuat antara lain
akses terhadap lahan, pendidikan, kesehatan, air minum, energi,
komunikasi dan penerangan dan sebagainya.
Pengembangan kapasitas (capacity building) institusi lokal harus dipenuhi
melalui peningkatan investasi dan penguatan social capital.
5 . Pengembangan infrastruktur
Strategi pengembangan infastruktur diarahkan pada :
Pengembangan infrastruktur yang menjamin akses pada air bersih,
energi, komunikasi , informasi, layanan pendididkan, kesehatan dan
interaksi sosial-ekonomi. Namun demikian dalam jangka menengah
pengembangan infrastruktur transportasi darat dan laut yang
menghubungkan kota utama dan kota – kota menengah (kota kecamatan)
dan beberapa kota – kota kecil yang diarahkan pada RUTRW, harus
menjadi prioritas, untuk mendukung supply and demand side strategy.
Dalam jangka panjang strategi pengembangan struktur jaringan
transportasi/komunikasi harus diatur untuk meminimalkan pola dendritik
dan memaksimalkan pola network (minimal jaringan antar klaster wilayah
sudah harus dbangun).
Kelima strategi pengembangan wilayah berimbang sebagaimana uraian di
atas masih memerlukan kajian yang spesifik, namun secara parsial cukup
relevan untuk dilaksanakan sebagai solusi untuk mengurangi atau mereduksi
kesenjangan wilayah karena bisa disinergikan dan dioperasionalkan dalam
rencana strategis pembangunan daerah Kabupaten Alor Tahun 2005-2009, yang
dikenal dengan nama ” Gerakan Kembali ke Desa dan Pertanian
(GERBADESTAN), yang terdiri dari 4 pilar strategi, yang substansinya saling
terkait dan relevan dengan lima strategi di atas, dimana strategi 1 dan 3 relevan
dengan strategi 1 Gerbadestan, strategi 2 dan 5 relevan dengan strategi 3
Gerbadestan dan strategi 4 relevan dengan strategi 2 dan 4 Gerbadestan.
Keempat pilar GERBADESTAN sebagai rencana strategi operasional
Pembangunan di Kabupaten Alor tersebut, ditunjukkan pada Gambar 31
142
Gambar 31 GERBADESTAN sebagai strategi opersional rencana Strategis pembangunan Kabupaten Alor Tahun 2005-2009.
Berdasarkan hasil sintesa analisis kesenjangan pembangunan wilayah dan
alternatif rencana strategis pembangunan wilayah berimbang, sebagaimana
uraian di atas dapat dibangun bagan keterkaitan seperti pada Gambar 32 berikut:
143
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan. Berpijak pada permasalahan, tujuan dan hipotesa serta uraian hasil dan
pembahasan diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pembangunan wilayah yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Alor
berdasarkan acuan Rencana Umum Tataruang Wilayah (RUTRW)
Kabupaten, menunjukkan adanya kesenjangan antar Satuan Wilayah
Pengembangan (SWP). Hal ini mengacu pada hasil analisis beberapa
indikator pembangunan wilayah menunjukkan bahwa SWP- B berkembang
lebih baik dibanding SWP A dan SWP - C. Sedangkan antara SWP- A dan
SWP- C menunjukkan bahwa SWP- A lebih berkembang dibanding SWP- C.
2. Hakekat pembangunan wilayah antara lain menciptakan keberimbangan
pembangunan wilayah secara dinamis. Namun hasil analisis beberapa
indikator pembangunan wilayah, menunjukkan adanya kesenjangan
pembangunan antar SWP dan atau antar hirarki wilayah, sebagai berikut :
Kesenjangan pembangunan wilayah yang terkait dengan kesenjangan
pendapatan menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan Tingkat
Kabupaten nampak lebih tinggi dibanding kesenjangan pendapatan pada
ketiga SWP. Sedangkan kesenjangan pendapatan antar SWP
menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan pada SWP- B jauh lebih
rendah atau lebih baik dibanding SWP-A dan SWP-C. Namun demikian
rata-rata kesenjangan pendapatan antara Tahun 1999-2004 mulai
berangsur membaik.
Kesenjangan perkembangan wilayah yang terkait dengan kesenjangan
pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana) wilayah, menunjukkan
bahwa kota-kota hirarki yang berada pada sub wilayah utama pada SWP-
B menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibanding kota-kota hirarki
pada SWP- A dan SWP- C serta sebagian kota hiraki dari Sub wilayah
hinterland pada SWP- B, yakni sub wilayah Bagian Selatan Alor Barat
Daya dan Alor Tengah Utara.
Kesenjangan pembangunan wilayah yang terkait dengan kesenjangan
alokasi APBD Pembangunan menunjukkan bahwa SWP- B
memperlihatkan proporsi aloakasi APBD Pembangunan yang lebih
merata dan berkembang cenderung dinamis bila dibanding SWP- A dan
144
SWP- C yang cenderung fluktuatif dan statis. Namun demikian SWP A
lebih senjang (tidak merata) dibanding SWP C.
3. Salah satu ciri perkembangan atau pertumbuhan suatu wilayah ditunjukkan
oleh kuat atau lemahnya intensitas interaksi spasial antar wilayah melalui
saluran informsi yang tersedia pada suatu wilayah. Salah satu media
informasi untuk melakukan aktivitas interaksi spasial antar kota-kota hirarki di
Kabupaten Alor adalah interaksi spasial melalui saluran SSB (channel
Single Band ) Pemerintah Kabupaten Alor, yang menunjukkan bahwa :
Intensitas interaksi spasial antar kota – kota hirarki dalam satu kesatuan
Wilayah pengembangan relatif terlihat lebih kuat bila dibanding dengan
intensitas interaksi spasial antar kota-kota hirarki pada satuan wilayah
pengembangan lainnya.
Intensitas interaksi spasial antar Kota hirarki utama dengan kota –kota
hirarki bawahnya (hinterland) yang mencerminkan intensitas pelayanan
pemerintah, nampak tidak simetrik antar wilayah. Dalam hal ini kota –
kota hirarki pada SWP- B lebih kuat dibanding SWP- A dan SWP- C.
Namun interaksi yang paling lemah terdapat pada kota-kota hirarki pada
SWP-C. Hal ini memperlihatkan signifikansi kesenjangan pertumbuhan
antar wilayah.
4. Kesenjangan Pembangunan wilayah, yang diperlihatkan oleh masing-
masing indikator kesenjangan pembangunan wilayah seperti pergeseran
pertumbuhan sektor/komoditi wilayah yang tidak berimbang, Penerimaan
pendapatan yang tidak berimbang, penyediaan sarana dan prasarana
wilayah yang tidak berimbang, penyebaran proporsi APBD Pembangunan
yang tidak berimbang dan intensitas interaksi spasial yang lemah antar
hirarki wilayah pengembangan, menunjukkan signifikansi terhadap
kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan
dengan tingkat kesenjangan kemiskinan penduduk yang cendrung
meningkat/melebar antar satuan wilayah pengembangan. Dimana
kesenjangan yang lebih signifikan ditemukan pada SWP C.
5. Spesifikasi sektor basis/komoditi unggulan antar SWP merupakan salah satu
wujud pembangunan wilayah untuk memperkuat struktur ekonomi wilayah
dan pendapatan masyarakat, hasil analisis menunjukkan adanya
kesenjangan pergeseran pertumbuhan antar SWP. Pada SWP- A
menunjukkan sembilan komoditi yang bertumbuh menjadi komoditi basis
145
yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada SWP- B
menunjukkan sepuluh komoditi yang bertumbuh menjadi komoditi basis.
Sedangkan pada SWP- C hanya tiga komoditi basis. Dilain sisi SWP- C
memiliki potensi yang lebih luas dengan beberapa keragaman komoditi yang
kompetitif, tetapi pergeseran pertumbuhannya masih enggan untuk didorong
segera menjadi komoditi basis.
6. Mencermati kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah
pengembangan yang cenderung melebar, mengindikasikan masih lemahnya
keterkaitan dan keterpaduan dalam kinerja pembangunan wilayah yang
berbasis pada Rencana Umum Tata Ruang Wilayah secara konsisten dan
simetrik.
B. Saran. Mengacu pada beberapa penggarisan kesimpulan hasil penelitian di atas,
maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Dalam rangka mereduksi atau mengurangi kesenjangan pembangunan antar
wilayah pembangunan, maka “keterkaitan dan keterpaduan antar sektor,
dan spasial” yang dinamis, harus menjadi tolok ukur penentuan prioritas
kebijaksanaan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan
wilayah dalam konteks implementasi Rencana Tata ruang Wilayah yang
konsisten dan simetrik.
2. Model atau strategi keterkaitan/keterpaduan sektoral dan spasial yang
dinamis dalam mengelola dan mendistribusikan sumber daya investasi (SDI)
yang terbatas secara proporsional antar wilayah pembangunan, terutama
yang berbasis perdesaan harus menjadi solusi pembangunan wilayah
berimbang.
3. Dalam rangka efisiensi alokasi sumber daya pembangunan wilayah untuk
mendorong pergeseran pertumbuhan sektor basis/ komoditi unggulan
wilayah, maka spesifikasi perwilayahan sektor basis/komoditi unggulan,
harus menjadi perhatian dalam Rencana Tata ruang wilayah.
4. Dalam rangka memperkuat struktur ekonomi wilayah dan perbaikan
pendapatan masyarakat, serta menekan kebocoran wilayah (regional
leakages) maka keterkaitan antar sektor dan antar wilayah pembangunan
yang berorientasi pada industri skala mikro dan atau menengah yang
berbasis pada sumber daya lokal (resource endowment) di tingkat daerah
harus mendapat prioritas kebijakan pembangunan wilayah kedepan.
146
5. Dalam rangka posisi Kabupaten Alor sebagai wilayah perbatasan maritim
dengan negara Timor Leste, maka keterkaitan dan keterpaduan pemerintah
pusat dan daerah harus diperkuat dengan kemauan politik terutama
pemerintah pusat untuk investasi pembangunan wilayah perbatasan yang
konsisten dan simetrik. Jika ini tidak dilakukan, kesenjangan pembangunan
wilayah akan lebih melebar dan bisa berimplikasi luas bagi ketahanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kedepan.
6. Penelitian yang sudah dilaksanakan ini, masih merupakan penelitian tahap
awal, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk mengungkap secara rinci
antara lain faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan wilayah,
keterkaitan antar sektor pembentuk struktur ekonomi wilayah, program-
program strategis yang lebih spesifik dan indikator lainnya yang masih
relevan dengan pembangunan wilayah baik lokal maupun regional.
147
DAFTAR PUSTAKA Alonso, W. 1979 . Ketidakseimbangan Kota dan Daerah Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta. Ekonomi Komunikasi Indonesia Vol XX VII No 3.
Bendavid, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners.London.Praeger Wesport Connecticut. Fourth edition.
Budiharsono, S. 1996. Transformasi Struktural dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia, 1969-1987. Disertasi. Bogor. Program Pasca Sarjana IPB.
Bappenas, 1999. Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Menata Ke Depan Perekonomian Nasional.
Bappenas, 2002. Laporan Infrastruktur, Jakarta. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas, Oktober 2002.
Badan Pusat Statistik, 2002 Alor Dalam Angka Tahun 2002 Kalabahi. BPS Kabupaten Alor
Badan Pusat Statistik, 2003. Alor Dalam Angka Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor.
__________________, 2003. PDB Indonesia Tahun 2003. Jakarta. BPS Indoenesia.
__________________, 2003. PDRB Kabupaten Alor Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor.
__________________, 2003. Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor.
__________________, 2003. Potensi Desa Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor.
__________________, 2003. Profil desa Tahun 2003. Kalabahi. Kerjasama Publikasi BPS dan BPMD Kabupaten Alor .
BKKBN, 2005. Laporan Perkembangan Keluarga Sejahtera di Kabupaten Alor Tahun 2000-2004. Kalabahi. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi.
Bappeda 1991. Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Alor Tahun 1991. Kalabahi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi.
Bappeda 2005. Rencana Strategis Pembangunan (Renstra) Kabupaten Alor Tahun 2005-2009. Kalabahi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi.
Bentara Wisata, 2006. Eksotisme Alor. Jakarta. Buletin Wisata vol.01 Edisi 01
Clark , C . 1951. The Conditions of Economic Progress . London. MacMillan,and Co.Ltd.
Dispenda, 2004. Laporan Bulanan Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Alor Tahun 1999-2003. Kalabahi. Dinas Pendapatan (Dispenda) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi.
148
Dispenda,2005. Laporan Bulanan Realisasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) Komoditi Antar Pulau di Kabupaten Alor Tahun 2002-2004. Kalabahi. Dinas Pendapatan (Dispenda) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi.
Dinas Kesehatan, 2003. Laporan Tahunan Perkembangan Pembangunan Kesehatan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Kalabahi. Dinas Kesehatan Kabupaten Alor.Tidak Publikasi.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2004. Laporan Tahunan Perkembangan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Kalabahi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Alor. Tidak dipublikasi.
Chaniago,N.A, Sugirati, E dan Pangiribuan, T, 2000. Kamus Sinonim-Antonim Bahasa Indonesia. Bandung. CV. Pustaka Setia.Edisi Mei 2000.
Dixon, R dan Thirwall 1975. A Model Of Regional Growth Rate Differences on Kaldorians Lines, Oxford Economic Papers. Fisher, A .G.B. 1935. Economic Implication of Material Progress. International
Labour Review , July 1935.
Gerschenkron, A . 1962. Economic Backwardness in Historical Perspectives. Cambridge, Massachusetts: Harward University Press.
Goenarsyah, I. 2004. Ketimpangan dan Pemerataan Pembangunan. Materi Kuliah Ekonomi Pembangunan. Program Studi Ilmu Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Bogor. Institut Pertanian Bogor. Tidak di publikasi.
Ghalib, R . 2005. Ekonomi Regional. Bandung. Penerbit Pustaka Ramadan.
Hanafiah, T. 1985. Pendekatan Wilayah Terhadap Masalah Pembangunan Desa. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial ekonomi Pertanian, Bogor. Fakultas Pertanian IPB.
Hanafiah, T. 1988. Pengembangan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan Kecil dalam Rangka Pembangunan Wilayah Pedesaan. Bogor. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB.
Hirchman A,O. 1958. The Strategy of Economic Development. New Heven: Yale University Press.
Hadi, S 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah. Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hoover, E.M. 1985. An Introduction To Regional Economics. Distinguished service Professor of Economics, New York. Emeritus University of Pittsburgh.
Kaldor, N. 1970. The case for Regional Policies, scttish Journal of polotical economy.
Kuncoro, M. 2003. Ekonomi Pembangunan.Teori, masalah dan kebijakan.Jogjakarta. Penerbit AMP YKPM. Edisi ketiga
Lawalu,H et al. 2003. Laporan Survai dan Investigasi Padang Penggembalaan Ternak di Kabupaten Alor. Kupang. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Alor dan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang.
149
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report =HDR), 2004. Ekonomi dari Demokrasi membiayai Pembangunan Manusia di Indonesia. Jakarta. Kerjasama Publikasi BPS-BAPPENAS dan UNDP.
Myrdal, G. 1975. Economic Theory and Underdeveloped Regions. Duckwoth.
Miller,R.E dan Blair, P.D, 1985. Input-Output Analysis : Foundations and Extensions. New Yersey.Prentice-Hall,Inc, Englewood Cliffts.University of Pensylvania.
Martin, W and P.G.Warr. 1993. Explaining the relative Decline of Agriculture: A Supply Side Analysis for Indonesia. The World Bank Economic Review.
Murty, S, 2000 Regional Disparities : Need and Measurs for Balanced Development, dalam Regional Planning and Sustainable Development, New Delhi. Kanishka Publisher.
North,D.C 1955.Location Theory and Regional Economic Growth", Journal of Political Economy, LXIII (June, 1955),
Nurzaman, S.S, 2002.Perencanaan Wilayah di Indonesia pada masa sekitar krisis. Bandung. Penerbit ITB.
Perloff H dan Wingo, L Jr.,1961. "Natural Resources Endowment and Regional Economic Growth", Natural Resources and Economic Growth, ed. Joseph. Spengler Washington D.C.: Resouces for the Future,
Pradhan, P.K , 2003. Manual For Urban Rural Linkage and Rural Development Analysis
Pandiadi,et al 2005. Pengembangan Model Transmigrasi Terpadu di Wilayah Perbatasan. Jakarta. Pusat Litbang Ketransmigrasian.Badan Litbang dan Informasi Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi.
Perda No.15, 2005. Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor. Kalabahi. Tidak Publikasi.
Rangrajan,C. 1982. Agricultural Growth and Industrial Performance In India. Washington. International Food Policy Research Institute.
Riyadi dan Bratakusumah, D.S. 2003. Prencanaan Pembangunan Daerah, Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama .
Rustiadi, E; Saifulhakim, S dan Panuju,D.R, 2003, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor. Materi Kuliah Program Studi PWD Pasca Sarjana IPB. Tidak di publikasi.
Rustiadi, E; Saifulhakim, S dan Panuju,D.R, 2004, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor. Materi Kuliah Program Studi PWD Pasca Sarjana IPB. Edisi Tambahan. Tidak di publikasi.
Rustiadi, E, Pribadi, D.O. 2006. Mempercepat Pertumbuhan Pembangunan Wilayah Perbatasan. Jakarta. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Wilayah Perbatasan : Sinergitas Kebijakan dalam mewujudkan Wilayah Perbatasan sebagai Halaman Depan Negara. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah. Departemen Dalam Negeri. Jakarta 18-20 September 2006.
Rustiadi, E, Damai, A.A, 2007. Perencanaan Pembangunan dan Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil. Bali. Makalah disajikan pada : Semiloka Strategi Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil.
150
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Bali, 28 April 2007.
Soegijoko, S, 1997. Percepatan Pembangunan Daerah Perbatasan. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta. Crasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Saifulhakim, S. 2003. Prinsip-Prinsip Ekonomi Regional dan Perdesaan. Bogor. Program Studi Ilmu-Ilmu Prencanaan Pembangunan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Tidak di Publikasi.
Sipayung, T.2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Terhadap Sektor Pertanian Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Tesis. Bogor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Setiawan, I D.M.D, 2006. Peranan Sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Pendekatan Input-Output Multi Regional, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Disertasi. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Tamenggung S.A, 1997. Paradigma Ekonomi Wilayah : Tinjauan Teori dan Praksis Ekonomi Wilayah dan Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta Crasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Todaro, M.P. 1978. Economic Development in the Tird World. New York. Longman Inc.
Tarigan, R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta. Bumi Aksara,
Umar,H, 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta.Devisi Buku Perguruan Tinggi. PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 24, 1992. Penataan Ruang. Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia.
Williamson, J. 1965. Regional Inequality and the Process of National Development : A Description of the Paterns. Reprinted Economic Development and Cultural Change, Voll 13, no,4 pt,2 with permission of the author and the University of Chicago Press.
Wiranto, T. 1997.Model Keterkaitan Desa-Kota Sebagai Pendekatan Pengembangan Perdesaan. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta. Crasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
151
Lampiran 1 Analisis Kesenjangan Pendapatan ( Penerimaan PBB) Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Periode 1999 - 2004.(Model Indeks Williamson).
No Tahun Jumlah wajib PBB (fi) Jumlah
wajib PBB Kabupaten
(n)
Jumlah penerimaan PBB (yi)
SWP A SWP B SWP C SWP A SWP B SWP C 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1999 10285 30112 9810 50207 23633571 145087896 28124579
2 2000 10227 30140 9780 50147 24542582 164580564 19990172
3 2001 14135 30291 10426 54852 53515937 217487034 36021430
4 2002 14135 30291 10426 54852 56787179 227810481 38554758
5 2003 14023 34598 12485 61106 45103795 317192543 52905248
6 2004 16890 32059 12084 61033 52370569 344292666 66805116
Rataan/∑ 13283 31249 9288 47458 36564806 202350170 34628759
Lanjutan Lampiran 1
Total penerimaan
PBB Kabupaten(Ŷ )
fi/n (yi-Ŷ )
SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten SWP A SWP B
10 11 12 13 14 15 16 196846046 0.2049 0.5998 0.1954 1 -173212475 -51758150 209113318 0.2039 0.6010 0.1950 1 -184570736 -44532754 307024401 0.2577 0.5522 0.1901 1 -253508464 -89537367 323152418 0.2577 0.5522 0.1901 1 -266365239 -95341937 415201586 0.2295 0.5662 0.2043 1 -370097791 -98009043 463468351 0.2767 0.5253 0.1980 1 -411097782 -119175685 273543733 0.2799 0.6585 0.1957 1 -236978927.14 -71193562.57
Lanjutan Lampiran 1
(yi-Ŷ ) (yi-Ŷ )²
SWP C Kabupaten SWP A SWP B 17 18 19 20
-168721467 -131230697 30002561495625600 2678906091422500
-189123146 -139408879 34066356587581700 1983166178824520
-271002971 -204682934 64266541319639300 8016940089292690
-284597660 -215434945 70950440547527100 9090084950911970
-362296338 -276801057 136972374903080000 9605772509775850
-396663235 -308978901 169001386365320000 14202843895219200
-238914974 -182362488 56159011909779600 5068523351611910
152
Lanjutan Lampiran 1
(yi-Ŷ )² ∑(yi-Ŷ )².fi/n SWP C Kabupaten SWP A SWP B
21 22 23 24
28466933426632100 17221495922592900 11504281026392400 3039882390179420
35767564352937300 19434835451097400 11453092204943800 3046349608502660
73442610290826800 41895103470848400 14471808381549200 2798998046446370
80995828077475600 46412215670776300 14471808381549200 1306125165445830
131258636528210000 76618825340851300 12887733185134700 2869779905722340
157341722000665000 95467961057181900 15541194290894700 2662359545316900
57080364801420700 33256076994814400 15717872896516700 3337375832457610
Lanjutan Lampiran 1
∑(yi-Ŷ )².fi/n √∑(yi-Ŷ )².fi/n SWP C Kabupaten SWP A SWP B
25 26 27 28
11152994178141200 33256076994814400 107258011.4788 55135128.4589
11132190714457400 33256076994814400 107019120.7446 55193746.0996
10849556687442800 33256076994814400 120298829.5103 52905557.8030
31521573145916900 33256076994814400 120298829.5103 36140353.6984
11662493937514100 33256076994814400 113524152.4308 53570326.7278
11301412813729700 33256076994814400 124664326.4567 51598057.5731
11171292847834500 33256076994814400 125370941.1966 57770025.3804
Lanjutan Lampiran 1
√∑(yi-Ŷ )².fi/n Vw = (√(∑(yi-Ŷ )².fi/n)/Ŷ) SWP C Kabupaten SWP A SWP B SWP C Kabupaten
29 30 31 32 33 34
105607737.3024 182362487.9048 0.5449 0.2801 0.5365 0.9264
105509197.2979 182362487.9048 0.5118 0.2639 0.5046 0.8721
104161205.2899 182362487.9048 0.3918 0.1723 0.3393 0.5940
177543158.5444 182362487.9048 0.3723 0.1118 0.5494 0.5643
107993027.2634 182362487.9048 0.2734 0.1290 0.2601 0.4392
106308103.2364 182362487.9048 0.2690 0.1113 0.2294 0.3935
105694336.8768 182362487.9048 0.4583 0.2112 0.3864 0.6667
Sumber : Diolah dari Data Laporan Tahunan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Kantor Dinas Pendapatan Kabupaten Alor Tahun 1999-2003.
153
Lampiran 2 Rekapitulasi Analisis Skalogram Perkembangan Kota/desa hirarki Antar Satuan
Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 2003
No Desa/Kel Antar SWP
Ibu kota Jumlah Penduduk
Jumlah Jenis Fasili- tas (Jjfi)
Jumlah Fasilitas (Jfi)
Indeks Perkem- Bangan (IP)
Hirarki Alter- natif
Hirarki Dalam RUTRW (1991)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 SWP A 1 Baranusa Baranusa 902 22 147 0.265 3 II 2 Kabir Kabir 1939 17 630 0.369 2 III 3 Kaleb Tamalabang 1637 14 192 0.330 2 IV 4 Batu Bakalang 1530 14 101 0.274 2 IV 5 Muriabang Maliang 1015 14 39 0.087 3 IV 6 Beangonong Beangonong 710 11 60 0.236 3 II 7 Mauta Kakamauta 1834 11 21 -0.054 4 8 Bungabali Abangiwang 941 10 73 0.276 2 9 Nule Nuhawala 1157 10 21 -0.013 4 10 Bandar Bolangada 513 9 83 0.016 3 11 Baraler Baraler 751 9 72 0.286 2 12 Kayang Marica 619 9 64 0.272 2 IV 13 Tude Puntaru 989 9 15 -0.119 4 IV 14 Helangdohi Helangdohi 650 8 125 0.338 2 15 Madar Padang 419 8 86 0.313 2 16 Blangmerang Blangmerang 1249 8 66 0.289 2 17 Kalondama
Tengah Boloang 413 8 57 0.273 2
18 Leer Sebarang 1051 8 30 0.165 3 19 Tamakh Tamakh 1231 8 12 -0.176 4 20 Munaseli Lamalu 1237 8 11 -0.227 4 21 Kalondama Latuna 687 8 11 -0.227 4 IV 22 Tubbe Air panas 523 8 9 -0.365 4 23 Allumang Wolu 377 8 11 -0.227 4 24 Bukit Mas Panea 591 7 104 0.335 2 25 Marisa Kengge 879 7 13 -0.066 4 26 Ombay Kolijahi 779 7 9 -0.270 4 27 Ekajaya Kappas 585 7 8 -0.353 4 28 Bagang Bagang 466 7 8 -0.353 4 29 Merdeka Bukalabang 1280 6 108 0.345 2 30 Lekom Lebang 629 6 53 0.296 2 31 Illu Illu 510 6 13 -0.001 4 32 Aramaba Airmama 1234 6 9 -0.176 4 33 Mawar Manatang 1065 6 6 -0.459 4 34 Baolang Baolang 335 6 6 -0.459 4 35 Kalondama
Barat Mobobaa 384 5 69 0.331 2
36 Kaera Padangsul 1035 5 8 -0.140 4 37 Pandai Pandai 687 5 8 -0.140 4 38 Wailawar Lawar 463 5 7 -0.216 4 39 Delaki Alimakke 747 5 6 -0.318 4 40 Treweng Tereweng 760 5 5 -0.459 4 41 Bana Bana 585 5 5 -0.459 4 42 Bouweli Karang
Indah 548 5 5 -0.459 4
43 Piringsina Pulau Kura 467 5 5 -0.459 4 44 Lamma Nadda 348 5 5 -0.459 4 45 Lalafang Tonte 546 3 4 -0.247 4 46 Toang Toang 334 3 3 -0.459 4 Jlh 46 46 37631 366 2403
SWP B47 Kalabahi
Kota Kalabahi 2991 28 1623 0.378 1 I
48 Mutiara Padang Tekukur
2906 25 1050 0.372 1
49 Kalabahi Tengah
Tongbang 3738 24 1132 0.374 1
50 Kalabahi Timur Kadelang 4275 22 1203 0.377 1 51 Wetabua Wetabua 2063 21 943 0.373 1 52 Moru Moru 1939 21 405 0.348 2 IV
154
53 Nusa Kenari Nusa kenari 2602 20 1134 0.377 1 Sambungan Lampiran 2 54 Air Kenari Air kenari 1468 19 714 0.370 2 55 Binongko Binongko 2964 18 961 0.376 1 56 Alim Mebung Mebung 1476 18 466 0.359 2 III 57 Lendola Hombul 2804 17 981 0.003 4 58 Kabola Buyunta 2795 17 62 0.159 3 59 Alor kecil Alor Kecil 1257 16 348 0.353 2 III 60 Adang Kokar 2069 15 376 0.358 2 III 61 Welai Timur Watatuku 1649 15 371 0.358 2 62 Pailelang Pailelang 911 14 94 0.265 3 63 Wolwal Faaming 866 14 20 -0.204 4 64 Motongbang Motongbang 2208 13 941 0.381 2 65 Adang Buom Buono 1230 13 625 0.375 1 66 Kalabahi
Barat Kenarilang 3093 13 357 0.361 2
67 Dulolong Dulolong 1322 13 207 0.339 2 68 Alor besar Albes 954 13 181 0.331 2 69 Pintu Mas Maiwal 1599 13 28 -0.003 4 70 Petleng Petleng 1380 12 280 0.356 2 71 Aimoli Sei'eng 921 12 101 0.291 2 72 Probur Mataraben 1756 12 91 0.280 2 IV 73 Morba Morba 950 12 80 0.265 3 74 Fungafeng Mabu 481 12 80 0.265 3 75 O'Amate Ihingdon 796 12 71 0.248 3 76 Tribur Buraga 1749 12 30 0.052 3 II 77 Wolwal Barat Matap 313 12 27 0.014 3 III 78 Probur Utara Habolat 1017 12 25 -0.017 4 79 Welai Barat Welai Barat 2081 11 320 0.363 2 80 Teluk Kenari Afengmale 716 11 219 0.349 2 81 Lembur
Timur Lembur 806 11 167 0.336 2 II
82 Ampera Ampera 537 11 146 0.328 2 83 Moramam Moramam 1278 11 125 0.317 2 84 Alaang Alaang 941 11 122 0.315 2 85 Kopidil Kopidil 818 10 369 0.369 2 IV 86 Lefokisu Alukae 792 10 267 0.360 2 87 Fanating Fanating 1478 10 228 0.355 2 88 Otvai Pitungbang 1054 10 169 0.342 2 89 Lewalu Lewalu 492 10 151 0.336 2 90 Pura Limarahing 1172 10 131 0.327 2 Non
Hirarki 91 Tuleng Tuleng 581 10 93 0.301 2 92 Lembur
Barat Takalelang 1198 10 88 0.295 2
93 Alila Bota 641 10 76 0.280 2 94 Pura Timur Harilolong 548 10 66 0.263 3 95 Wolwal
Tengah Waluom 807 10 60 0.250 3
96 Dulolong Barat
Papajahi 588 10 47 0.211 3
97 Lawahing Tabolang 1418 10 26 0.065 3 98 Mataru
Selatan Kalunan 699 10 22 0.005 3 III
99 Wakapsir Sifala 645 10 9 -0.554 4 100 Nurbenlelang Benlelang 789 9 53 0.248 3 101 Pante Deere Pante Deere 626 9 33 0.160 3 102 Manatang Manatang 575 9 17 -0.059 4 IV 103 Likuwatang Likuwatang 706 9 14 -0.155 4 104 Pura Barat Dolabang 781 8 143 0.345 2 105 Hulnani Hulnani 333 8 94 0.320 2 106 Fuisama Fuisama 302 8 58 0.275 2 107 Maru Apuri 848 8 54 0.266 2 108 Alila Selatan Alaindonu 1099 8 22 0.083 3 109 Alila Timur Batu putih 579 8 19 0.034 3 110 Pura Utara Abila 744 8 18 0.014 3 111 Mataru Utara Bunggeta 1077 8 14 -0.094 4 112 Mataru Timur Bagalbui 504 8 12 -0.176 4 113 Luba Luba 578 8 9 -0.365 4 114 Pulau Buaya Pulau Buaya 1299 7 62 0.296 2 115 Ternate Umapura 951 7 27 0.171 3 116 Halerman Arakblub 1062 7 18 0.061 3
155
117 Kamaifui Kamaifui 543 7 11 -0.150 4 Sambungan Lampiran 2. 118 Waimi Waimi 587 6 110 0.346 2 119 Manetwati Manetwati 504 6 58 0.304 2 120 Lembur
Tengah Atengmelang 1032 6 12 -0.034 4
121 Lakatuli Tukbur 733 6 10 -0.119 4 122 Pura Selatan Reta 1030 6 9 -0.176 4 123 Bampalola Bampalola 579 6 8 -0.247 4 124 Wolwal
Selatan Watakika 408 6 6 -0.459 4
125 Taman Mataru
Legiman 662 5 44 0.295 2
126 Ternate Selatan
Biatabang 815 5 27 0.235 2
127 Kuifana Kuifana 684 5 19 0.168 3 128 Kafakbeka Kafakbeka 348 5 8 -0.140 4 129 Dapitau Dapitau 314 5 8 -0.140 4 130 Margeta Tranter 356 5 6 -0.318 4 131 Lakwati Lakwati 516 5 6 -0.318 4 132 Tasi Tasi 413 5 5 -0.459 4 133 Wakapsir
Timur Bomara 524 4 11 0.083 3
134 Kafelulang Kafelulang 810 4 8 -0.034 4 135 Talwai Talwai 661 4 6 -0.176 4 136 Mataru Barat Lelmang 936 4 5 -0.289 4 137 Orgen Orgen 568 4 4 -0.459 4 JlH 91 91 103708 972 18956
SWP C 138 Waisika Bukapiting 2350 19 593 0.365 2 III 139 Kelaisi
Timur Apui 932 18 45 0.052 4 II
140 Maritaing Marataing 724 16 33 -0.021 4 II 141 Nailang Pumai 1368 12 222 0.346 2 142 Tanglapui Lantoka 896 12 17 -0.209 4 IV 143 Welai
Selatan Mainang 684 11 17 -0.159 4 IV
144 Taramana Taramana 825 10 135 0.329 2 IV 145 Kolana
Selatan Naumang 901 10 15 -0.176 4
146 Langkuru Mademang 780 10 12 -0.318 4 III 147 Kamot Kilakawa 714 9 94 0.311 2 148 Kelaisi Barat Masape 605 9 91 0.303 2 149 Air Mancur Tipiting 674 9 86 0.303 2 150 Silaipui Weisak 594 9 65 0.274 2 IV 151 Kenarimbala Alata 718 8 169 0.352 2 152 Pido Pumi 1037 8 126 0.338 2 153 Kiraman Kiraman 563 8 16 -0.034 4 IV
154 Padang Panjang
Padang Panjang
760 8 13 -0.132 4
155 Kolana Utara
Kolana 1022 8 11 -0.227 4
156 Padang Alang
Padang Alang 1019 8 10 -0.289 4 IV
157 Tamanapui Tamanapui 495 7 13 -0.066 4 158 Purnama Peitoko 816 7 14 -0.034 4 IV 159 Maukuru Maukuru 405 7 11 -0.150 4 160 Malaipea Malaipea 583 6 125 0.351 2 161 Elok Sawarana 599 6 57 0.303 2 162 Kuneman Aukalpui 863 6 17 0.092 3 IV 163 Langkuru
Utara Langkuru 948 6 14 0.027 4 IV
164 Manmas Manmas 404 6 10 -0.119 4 165 Kailesa Mazmu 686 6 9 -0.176 4 166 Mausamang Kiralela 382 6 9 -0.176 4 167 Subo Tungma 546 6 8 -0.247 4
156
168 Kelaisi Tengah Kabailu 730 6 7 -0.338 4 Sambungan Lampiran 2. 169 Maikang Maikang 523 6 6 -0.459 4 170 Tanglapui
Timur Kobra 419 6 6 -0.459 4
171 Lella Lella 347 5 7 -0.216 4 172 Tominuku Tominuku 377 5 6 -0.318 4 173 Belemana Bangkalela 355 5 5 -0.459 4 174 Lipang Pido 570 4 7 -0.094 4 175 Sidabui Silonang 412 4 6 -0.176 4 IV Jlh 38 38 27626 312 2107 Sumber : Data olah /analisis dari data Podes, Profil Desa dan Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003.
Lampiran 3 Analisis Entropy Penyebaran ( IE) Alokasi APBD Pembangunan Antar
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor Periode 1997/1998 -2003.
No
SWP
1997/1998 Alokasi APBD
(Rp) Xi
(%) Pi Ln Pi -Pi Ln Pi
1 Pantar 1,617,958,300 14 0.47 -0.76 0.36
2 Pantar Barat 1,849,095,200 16 0.53 -0.63 0.34
A 3,467,053,500 30 1.00 -1.39 0.69 3 Teluk Mutiara 2,080,232,100 18 0.36 -1.02 0.37 4 Alor Barat Laut 1,733,526,750 15 0.30 -1.20 0.36 5 Alor Tengah Utara 808,979,150 7 0.14 -1.97 0.28 6 Alor Barat Daya 1,155,684,500 10 0.20 -1.61 0.32 B 5,778,422,500 50 1.00 -5.80 1.33 7 Alor Selatan 577,842,250 5 0.25 -1.39 0.35 8 Alor Timur Laut 924,547,600 8 0.40 -0.92 0.37 9 Alor Timur 808,979,150 7 0.35 -1.05 0.37 C 2,311,369,000 20 1.00 -3.35 1.08Jumlah 11,556,845,000 100 3.00 -10.54 3.10
Lanjutan Lampiran 3. No
SWP
1998/1999 Alokasi APBD
(Rp) Xi
(%) Pi Ln Pi -Pi Ln Pi
1 Pantar 813,139,950 10 0.45 -0.79 0.36
2 Pantar Barat 975,767,940 12 0.55 -0.61 0.33
A 1,788,907,890 22 1.00 -1.39 0.69 3 Teluk Mutiara 1,626,279,900 20 0.36 -1.01 0.37 4 Alor Barat Laut 1,301,023,920 16 0.29 -1.23 0.36 5 Alor Tengah Utara 731,825,955 9 0.16 -1.81 0.30 6 Alor Barat Daya 813,139,950 10 0.18 -1.70 0.31 B 4,472,269,725 55 1.00 -5.76 1.337 Alor Selatan 487,883,970 6 0.26 -1.34 0.35 8 Alor Timur Laut 731,825,955 9 0.39 -0.94 0.37 9 Alor Timur 650,511,960 8 0.35 -1.06 0.37 C 1,870,221,885 23 1.00 -3.34 1.09 Jumlah 8,131,399,500 100 3.00 -10.49 3.11
157
Lanjutan Lampiran 3 No
SWP
2000
Alokasi APBD(Rp)
Xi(%)
Pi Ln Pi -Pi Ln Pi
1 Pantar 1,589,733,075 10 0.38 -0.96 0.37
2 Pantar Barat 2,543,572,920 16 0.62 -0.49 0.30
A 4,133,305,995 26 1.00 -1.35 0.67
3 Teluk Mutiara 2,861,519,535 18 0.35 -1.04 0.37
4 Alor Barat Laut 1,589,733,075 10 0.20 -1.63 0.32
5 Alor Tengah Utara 1,271,786,460 8 0.16 -1.85 0.29
6 Alor Barat Daya 2,384,599,613 15 0.29 -1.22 0.36
B 8,107,638,683 51 1.00 -5.75 1.34
7 Alor Selatan 953,839,845 6 0.26 -1.34 0.35
8 Alor Timur Laut 1,271,786,460 8 0.35 -1.06 0.37
9 Alor Timur 1,430,759,768 9 0.39 -0.94 0.37
C 3,656,386,073 23 1.00 -3.34 1.09
Jumlah 15,897,330,751 100 3.00 -10.43 3.09
Lanjutan Lampiran 3 No
SWP
2001 Alokasi APBD
(Rp) Xi
(%) Pi Ln Pi -Pi Ln Pi
1 Pantar 1,469,934,819 10 0.33 -1.10 0.37 2 Pantar Barat 2,939,669,637 20 0.67 -0.41 0.27 SWP A 4,409,604,456 30 1.00 -1.50 0.64 3 Teluk Mutiara 2,057,768,746 14 0.31 -1.17 0.36 4 Alor Barat Laut 1,322,851,337 9 0.20 -1.61 0.32 5 Alor Tengah Utara 1,175,867,855 8 0.18 -1.73 0.31 6 Alor Barat Daya 2,057,768,745 14 0.31 -1.17 0.36 SWP B 6,614,256,683 45 1.00 -5.67 1.367 Alor Selatan 1,028,884,373 7 0.28 -1.27 0.36 8 Alor Timur Laut 1,175,867,855 8 0.32 -1.14 0.36 9 Alor Timur 1,469,834,819 10 0.40 -0.92 0.37 SWP C 3,674,587,047 25 1.00 -1.39 1.09 Jumlah 14,698,448,186 100 3.00 -8.56 3.08
Lanjutan Lampiran 3 No
SWP
2002 Alokasi APBD
(Rp) Xi
(%) Pi Ln Pi -Pi Ln Pi
1 Pantar 4,232,715,151 12 0.55 -0.61 0.33 2 Pantar Barat 3,527,262,626 10 0.45 -0.79 0.36 SWP A 7,759,977,777 22 1.00 -1.39 0.69 3 Teluk Mutiara 6,349,072,727 18 0.34 -1.08 0.37 4 Alor Barat Laut 3,527,262,626 10 0.19 -1.67 0.31 5 Alor Tengah Utara 3,527,262,626 10 0.19 -1.67 0.31 6 Alor Barat Daya 5,290,893,939 15 0.28 -1.26 0.36 SWP B 18,694,491,918 53 1.00 -0.63 1.357 Alor Selatan 2,469,083,838 7 0.28 -1.27 0.36 8 Alor Timur Laut 2,821,810,101 8 0.32 -1.14 0.36 9 Alor Timur 3,527,262,626 10 0.40 -0.92 0.37 SWP C 8,818,156,565 25 1.00 -1.39 1.09Jumlah 35,272,626,260 100 3.00 -3.42 3.13
158
Lanjutan Lampiran 3 No
SWP
2003 Alokasi APBD
(Rp) Xi
(%) Pi Ln Pi -Pi Ln Pi
1 Pantar 5,580,757,096 12 0.55 -0.61 0.33 2 Pantar Barat 4,650,630,913 10 0.45 -0.79 0.36 SWP A 10,231,388,009 22 1.00 -1.39 0.69 3 Teluk Mutiara 8,371,135,644 18 0.34 -1.08 0.37 4 Alor Barat Laut 4,650,630,913 10 0.19 -1.67 0.31 5 Alor Tengah Utara 4,650,630,913 10 0.19 -1.67 0.31 6 Alor Barat Daya 6,975,946,370 15 0.28 -1.26 0.36 SWP B 24,648,343,840 53 1.00 -5.68 1.35 7 Alor Selatan 3,255,441,639 7 0.28 -1.27 0.36 8 Alor Timur Laut 3,720,504,732 8 0.32 -1.14 0.36 9 Alor Timur 4,650,630,913 10 0.40 -0.92 0.37 SWP C 11,626,577,284 25 1.00 -3.33 1.09 Jumlah 46,506,309,133 100 3.00 -10.40 3.13 Sumber : Diolah dari Buku APBD Kabupaten Alor Tahun Anggaran 1997/1998 –
2003 pada Kantor Bappeda Kabupaten Alor. Keterangan : Xi = Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP ke-i Pi = Xi/Σxi IE = - Σ Pi Ln Pi
Lampiran 4 Data Interaksi Spasial (Arus Informasi Berita) Melalui SSB Pemerintah Kabupaten Alor Tahun 2004. A. DATA PENGAMATAN No
Kota hirarki Asal
Kota hirarki Tujuan Kabir Baranusa
Rata-rata Jam
Berita/tahun (Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun
(dij)
Rata-rata Jam Berita/tahun
(Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun
(dij)
1 Kabir (H 3 ) 0 0 330 10 2 Baranusa ( H2) 132 9 0 0 3 Kalabahi (H1) 339 6 342 6 4 Kokar (H3) 267 8 285 9 5 Mebung (H3) 147 13 144 12 6 Moru (H3) 150 10 165 13 7 Apui (H2) 102 12 114 12 8 Bukapiting (H3) 252 10 279 11 9 Maritaing (H2) 120 13 150 12 Lanjutan Lampiran 4. A.
Kota hiraki TujuanKalabahi Kokar Mebung
Rata-rata Jam
Berita/tahun (Fij)
Gangguan Jam
Berita/tahun (dij)
Rata-rata Jam Berita/tahun
(Fij)
Gangguan Jam
Berita/tahun (dij)
Rata-rata Jam Berita/tahun
(Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun
(dij)
810 6 249 6 120 13 820 6 288 6 108 14
0 0 324 7 264 10 826 4 0 0 234 9 820 4 204 8 0 0815 4 195 6 156 7 720 7 108 12 120 12 775 6 303 8 276 7 710 7 180 7 180 9
159
Lanjutan Lampiran 4. A. Kota hirarki Tujuan
Moru ApuiRata-rata Jam Berita/tahun
(Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun
(dij)
Rata-rata Jam Berita/tahun (Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun (dij)
159 11 108 15 144 11 117 14 312 7 315 8 174 9 138 10 180 7 135 11
0 0 126 13 111 12 0 0 111 13 126 10 171 11 177 10
Lanjutan Lampiran 4. A. Kota hirarki Tujuan
Bukapiting MarataingRata-rata Jam Berita/tahun
(Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun (dij)
Rata-rata Jam Berita/tahun
(Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun (dij)
138 14 129 14 141 12 138 13 351 8 348 8 180 12 192 12 162 10 180 11 180 11 165 11 174 8 171 9
0 0 336 7 234 7 0 0
Lanjutan Lampiran 4 B. DATA KONVERSI LOGARITMA (ENTROPY). No
Kota Asal
Kota Tujuan ln Fij Kabir
dij-Kabir
ln Fij Baranusa
dij-Baranusa
lnFij Kalabahi
dij- Kalabahi
1 Kabir 0.00 0 5.80 10 6.70 6 2 Baranusa 4.88 9 0.00 0.00 6.71 6 3 Kalabahi 5.83 6 5.83 6 0.00 0.00 4 Kokar 5.59 8 5.65 9 6.72 4 5 Mebung 4.99 13 4.97 12 6.71 4 6 Moru 5.01 10 5.11 13 6.70 4 7 Apui 4.62 12 4.74 12 6.58 7 8 Bukapiting 5.53 10 5.63 11 6.65 6 9 Maritaing 4.79 13 5.01 12 6.57 7 Lanjutan Lampiran 4 B
Kota Tujuan lnFij
Kokar dij-
Kokar lnFij
Mebung dij-
Mebung ln Fij Moru
dij- Moru
5.52 6 4.79 13 5.07 11 5.66 6 4.68 14 4.97 11
5.78 7 5.58 10 5.74 7 0.00 0 5.46 9 5.16 9 5.32 8 0.00 0 5.19 7
5.27 6 5.05 7 0.00 0 4.68 12 4.79 12 4.71 12 5.71 8 5.62 7 4.71 13 5.19 7 5.19 9 5.14 11
160
Lanjutan Lampiran 4 B
Kota Tujuan
ln Fij Apui
dij- Apui
lnFij Bukapiting dij-Bukapiting lnFij-Marataing dij Marataing
4.68 15 4.93 14 4.86 14
4.76 14 4.95 12 4.93 13
5.75 8 5.86 8 5.85 7 4.93 10 5.19 12 5.26 12
4.91 11 5.09 10 5.19 11 4.84 13 5.19 11 5.11 11 0.00 0 5.16 8 5.14 9
4.84 10 0.00 0 5.82 8
5.18 10 5.46 7 0.00 0
Lampiran 5 Rekapitulasi Hasil Analisis Entropy Interaksi Spasial (Pengiriman Dan Penerimaan Berita Melalui Saluran SSB ) Di Kabupaten Alor Tahun 2004
A. Hasil Analisis Entropy Pengiriman Berita (Berita Keluar). No
Kota Asal
Kota Tujuan
Kabir k β dij R²
1 2 3 4 5 6 1 Kabir 0.00 0.000 0 0.00 % 2 Baranusa 7.03 -0.179 10 62.70% 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 6 59.20% 4 Kokar 7.20 -0.187 6 74.40% 5 Mebung 6.87 -0.166 13 70.50% 6 Moru 6.47 -0.127 11 51.90% 7 Apui 7.61 -0.256 15 62.00% 8 Bukapiting 7.50 -0.212 14 65.50% 9 Maritaing 6.71 -0.151 14 53.10%
Lanjutan Lampiran 5 A. Kabir No
Kota TujuanP Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij
7 8 9 10 11 1 0.000 0.00 0.00 0.00 0.000 2 0.019 5.24 5.8 -0.56 4.680 3 0.026 5.86 6.7 -0.84 5.011 4 0.006 6.08 5.52 0.56 6.636 5 0.009 4.71 4.79 -0.08 4.634 6 0.044 5.07 5.07 0.00 5.076 7 0.020 3.77 4.68 -0.91 2.860 8 0.015 4.53 4.93 -0.40 4.134 9 0.040 4.60 4.86 -0.26 4.332 Lanjutan Lampiran 5 A. Baranusa. No
Kota Asal
Kota Tujuan Baranusa
k β dij R² 12 13 14 15
1 Kabir 7.11 0.0000 9 0.722 %2 Baranusa 0.00 0.0000 0 0.00% 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 6 59.20% 4 Kokar 7.20 -0.187 6 74.40% 5 Mebung 6.87 -0.166 11 70.50% 6 Moru 6.47 -0.127 11 51.90% 7 Apui 7.61 -0.256 14 62.00% 8 Bukapiting 7.50 -0.212 12 65.50% 9 Maritaing 6.71 -0.151 13 53.10%
161
Lanjutan Lampiran 5 A Baranusa No
Kota TujuanP Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij
16 17 18 19 20
1 0.008 5.643 4.88 0.763 6.406 2 0.000 0.00 0.00 0.00 0.0003 0.026 5.86 6.71 -0.85 5.001 4 0.006 6.08 5.66 0.42 6.496 5 0.009 5.04 4.68 0.36 5.408 6 0.044 5.07 4.97 0.10 5.176 7 0.020 4.03 4.76 -0.73 3.292 8 0.015 4.96 4.95 0.01 4.962 9 0.040 4.75 4.93 -0.18 4.564
Lanjutan Lampiran 5 A. Kalabahi No
Kota Asal
Kota Tujuan Kalabahi
k β dij R² 21 22 23 24
1 Kabir 7.11 -0.163 6 72.20% 2 Baranusa 7.03 -0.179 6 62.70% 3 Kalabahi 0.00 0.000 0 0.00% 4 Kokar 7.20 -0.187 7 74.40% 5 Mebung 6.87 -0.166 10 70.50% 6 Moru 6.47 -0.127 7 51.90% 7 Apui 7.61 -0.256 8 62.00% 8 Bukapiting 7.50 -0.212 8 65.50% 9 Maritaing 6.71 -0.151 7 53.10%
Lanjutan Lampiran 5 A. Kalabahi No
Kota Tujuan P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij
25 26 27 28 29 1 0.008 6.132 5.83 0.302 6.434
2 0.019 5.956 5.83 0.126 6.082
3 0.000 0.000 0.00 0.000 0.000
4 0.006 5.891 5.78 0.111 6.002
5 0.009 5.21 5.58 -0.37 4.84
6 0.044 5.581 5.74 -0.159 5.422
7 0.02 5.562 5.75 -0.188 5.374
8 0.015 5.804 5.86 -0.056 5.748
9 0.04 5.653 5.85 -0.197 5.456
l Lanjutan Lampiran 5 A. Kokar No
Kota Asal
Kota Tujuan
Kokar
k β dij R²
30 31 32 33
1 Kabir 7.11 -0.163 8 72.20%
2 Baranusa 7.03 -0.179 9 62.70%
3 Kalabahi 6.18 0.000 4 0.592
4 Kokar 0.00 0.000 0 0.00%5 Mebung 6.87 -0.166 9 70.50%
6 Moru 6.47 -0.127 9 51.90%
7 Apui 7.61 -0.256 10 62.00%
8 Bukapiting 7.50 -0.212 12 65.50%
9 Maritaing 6.71 -0.151 12 53.10%
162
Lanjutan Lampiran 5 A. Kokar No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD -FijP ln Fij=k+β.dij+ εij 34 35 36 37 38
1 0.008 5.806 5.59 0.216 6.022
2 0.019 5.419 5.65 -0.231 5.188
3 0.026 5.9636 6.72 -0.7564 5.2072
4 0.000 0.000 0.00 0.000 0.0005 0.009 5.376 5.46 -0.084 5.292
6 0.044 5.327 5.16 0.167 5.494
7 0.02 5.05 4.93 0.12 5.17
8 0.015 4.956 5.19 -0.234 4.722
9 0.04 4.898 5.26 -0.362 4.536
Lanjutan Lampiran 5 A. Mebung
No
Kota Asal
Kota Tujuan Mebung
k β dij R² 39 40 41 42
1 Kabir 7.11 -0.163 13 72.20% 2 Baranusa 7.03 -0.179 12 62.70% 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 4 59.20% 4 Kokar 7.20 -0.187 8 74.40% 5 Mebung 0.00 0.000 0 0.00 6 Moru 6.47 -0.127 7 51.90% 7 Apui 7.61 -0.256 11 62.00% 8 Bukapiting 7.50 -0.212 10 65.50% 9 Maritaing 6.71 -0.151 11 53.10%
Lanjutan Lampiran 5 A. Mebung No
Kota Tujuan P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij
43 44 45 46 47 1 0.008 4.9910 4.99 0.0010 4.9920
2 0.019 4.8820 4.97 -0.0880 4.7940
3 0.026 5.9636 6.71 -0.7464 5.2172
4 0.006 5.7040 5.32 0.3840 6.0880
5 0.000 0.0000 0.00 0.0000 0.0000 6 0.044 5.5810 5.19 0.3910 5.9720
7 0.020 4.7940 4.91 -0.1160 4.6780
8 0.015 5.3800 5.09 0.2900 5.6700
9 0.040 5.0490 5.19 -0.1410 4.908
Lanjutan Lampiran 5 A.Moru No
Kota Asal
Kota Tujuan Moru
k β dij R² 1 2 48 49 50 51 1 Kabir 7.11 -0.1630 10 72.20% 2 Baranusa 7.03 -0.1790 13 62.70% 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 4 59.20% 4 Kokar 7.20 -0.1870 6 74.40% 5 Mebung 6.87 0.0000 7 0.71% 6 Moru 0.00 0.0000 0 0.00% 7 Apui 7.61 -0.2560 13 62.00% 8 Bukapiting 7.50 -0.2120 11 65.50% 9 Maritaing 6.71 -0.1510 11 53.10%
163
Lanjutan Lampiran 5 A.Moru No
Kota TujuanP Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij 52 53 54 55 56
1 0.008 5.4800 5.01 0.4700 5.9500
2 0.019 4.7030 5.11 -0.4070 4.2960
3 0.026 5.9636 6.70 -0.7364 5.2272
4 0.006 6.0780 5.27 0.8080 6.8860
5 0.009 5.7080 5.05 0.6580 6.3660
6 0.000 0.0000 0.00 0.0000 0.00007 0.020 4.2820 4.84 -0.5580 3.7240
8 0.015 5.1680 5.19 -0.0220 5.1460
9 0.040 5.0490 5.11 -0.0610 4.9880
Lanjutan Lampiran 5 A.Apui
No
Kota Asal
Kota TujuanApui
k β dij R²
1 2 57 58 59 60
1 Kabir 7.11 -0.1630 12 72.20% 2 Baranusa 7.03 -0.1790 12 62.70% 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 7 59.20% 4 Kokar 7.20 -0.1870 11 74.40% 5 Mebung 6.87 -0.1660 9 70.50% 6 Moru 6.47 -0.1270 12 51.90% 7 Apui 0.00 0.0000 0 0.00 8 Bukapiting 7.50 -0.2120 8 65.50% 9 Maritaing 6.71 -0.1510 9 53.10%
Lanjutan Lampiran 5 A.Apui No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij 61 62 63 64 65
1 0.008 5.1540 4.62 0.5340 5.6880 2 0.019 4.8820 4.74 0.1420 5.0240 3 0.026 5.8013 6.58 -0.7787 5.0226 4 0.006 5.1430 4.68 0.4630 5.6060 5 0.009 5.3760 4.79 0.5860 5.9620 6 0.044 4.9460 4.71 0.2360 5.1820 7 0.000 0.0000 0.00 0.0000 0.00008 0.015 5.8040 5.16 0.6440 6.4480 9 0.040 5.3510 5.14 0.2110 5.5620
Lanjutan Lampiran 5 A.Bukapiting No
Kota Asal
Kota Tujuan Bukapiting
k β dij R² 66 67 68 69
1 Kabir 7.11 -0.1630 10 72.20% 2 Baranusa 7.03 -0.1790 11 62.70% 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 6 59.20% 4 Kokar 7.20 -0.1870 8 74.40% 5 Mebung 6.87 -0.1660 7 70.50% 6 Moru 6.47 -0.1270 13 51.90% 7 Apui 7.61 0.0000 10 0.62 8 Bukapiting 0.00 0.0000 0 0.00%9 Maritaing 6.71 -0.1510 8 53.10%
164
Lanjutan Lampiran 5 A.Bukapiting No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij 70 71 72 73 74
1 0.008 5.4800 5.53 -0.0500 5.4300 2 0.019 5.0610 5.63 -0.5690 4.4920 3 0.026 5.8554 6.65 -0.7946 5.0608 4 0.006 5.7040 5.71 -0.0060 5.6980 5 0.009 5.7080 5.62 0.0880 5.7960 6 0.044 4.8190 4.71 0.1090 4.9280 7 0.020 5.0500 4.84 0.2100 5.2600 8 0.000 0.0000 0.00 0.0000 0.0000 9 0.040 5.5020 5.82 -0.3180 5.1840
Lanjutan Lampiran 5 A.Marataing No
Kota Asal
Kota Tujuan Marataing
k β dij R² 75 76 77 78
1 Kabir 7.11 -0.1630 13 0.722 2 Baranusa 7.03 -0.1790 12 0.627 3 Kalabahi 6.18 -0.0541 7 0.592 4 Kokar 7.20 -0.1870 7 0.744 5 Mebung 6.87 -0.1660 8 0.705 6 Moru 6.47 -0.1270 11 0.519 7 Apui 7.61 -0.2560 10 0.620 8 Bukapiting 7.50 -0.2120 7 0.655 9 Maritaing 0.00 0.0000 0 0.00
Lanjutan Lampiran 5 A.Marataing No
Kota Tujuan P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+ εij
79 80 81 82 83 1 0.008 4.9910 4.79 0.2010 5.192
2 0.019 4.8820 5.01 -0.1280 4.754
3 0.026 5.8013 6.57 -0.7687 5.033
4 0.006 5.8910 5.19 0.7010 6.592
5 0.009 5.5420 5.19 0.3520 5.894
6 0.044 5.0730 5.14 -0.0670 5.006
7 0.02 5.0500 5.18 -0.1300 4.920
8 0.015 6.0160 5.46 0.5560 6.572
9 0.000 0.0000 0.00 0.0000 0.000
Lampiran 5 B. Hasil Analisis Entropy Berita Masuk.
No
Kota Asal
Kota TujuanKabir
k β dij R² 1 2 3 4 5 6
1 Kabir 0.00 0.000 0 0.00 2 Baranusa 6.91 -0.147 9 60.30% 3 Kalabahi 6.87 -0.037 6 62.20% 4 Kokar 6.35 -0.128 8 50.60% 5 Mebung 6.21 -0.105 13 54.30% 6 Moru 6.34 -0.123 10 71.50% 7 Apui 6.26 -0.112 12 61.50% 8 Bukapiting 6.14 -0.089 10 50.70% 9 Maritaing 6.70 -0.134 13 77.90%
165
Lanjutan Lampiran 5 B. Kabir.
No
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij
7 8 9 10 11
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 0.023 5.59 4.88 0.71 6.29 3 0.020 6.65 5.83 0.82 7.47 4 0.048 5.33 5.59 -0.26 5.06 5 0.037 4.85 4.99 -0.15 4.70 6 0.008 5.11 5.01 0.10 5.21 7 0.021 4.92 4.62 0.30 5.21 8 0.047 5.25 5.53 -0.28 4.97 9 0.004 4.96 4.79 0.17 5.13
Keterangan : Fij D = Fij Dugaan; Fij P = Fij Pengamatan.
Lanjutan Lampiran 5 B. Baranusa No
Kota Asal
Kota Tujuan
Baranusa
k β dij R²
12 13 14 15
1 Kabir 6.56 -0.139 10 62.20%
2 Baranusa 0.00 0.000 0 0.00
3 Kalabahi 6.87 -0.037 6 62.20%
4 Kokar 6.35 -0.128 9 50.60%
5 Mebung 6.21 -0.105 12 54.30%
6 Moru 6.34 -0.123 13 71.50%
7 Apui 6.26 -0.112 12 61.50%
8 Bukapiting 6.14 -0.089 11 50.70%
9 Maritaing 6.70 -0.134 12 77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Kalabahi
No
Kota Asal
Kota Tujuan
Kalabahi
k β dij R²
21 22 23 24 1 Kabir 6.56 -0.139 6 62.20% 2 Baranusa 6.91 -0.147 6 60.30% 3 Kalabahi 0.00 0.000 0 0.00 4 Kokar 6.35 -0.128 4 50.60% 5 Mebung 6.21 -0.105 4 54.30% 6 Moru 6.34 -0.123 4 71.50% 7 Apui 6.26 -0.112 7 61.50% 8 Bukapiting 6.14 -0.089 6 50.70% 9 Maritaing 6.70 -0.134 7 77.90%
166
Lanjutan Lampiran 5 B. Kalabahi No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij
25 26 27 28 29 1 0.020 5.726 6.70 -0.97 4.755 2 0.023 6.028 6.71 -0.68 5.347 3 0.000.00 0.000 0.00 0.00 0.000 4 0.048 5.838 6.72 -0.88 4.959 5 0.037 5.790 6.71 -0.92 4.871 6 0.008 5.848 6.70 -0.86 4.993 7 0.021 5.476 6.58 -1.10 4.373 8 0.047 5.607 6.65 -1.05 4.560 9 0.004 5.762 6.57 -0.80 4.959 Lanjutan Lampiran 5 B. Kokar
No
Kota Asal
Kota Tujuan
Kokar
k β dij R²
30 31 32 33 1 Kabir 6.56 -0.139 6 62.20% 2 Baranusa 6.91 -0.147 6 60.30% 3 Kalabahi 6.87 -0.037 7 62.20% 4 Kokar 0.00 0.000 0 0.00 5 Mebung 6.21 -0.105 8 54.30% 6 Moru 6.34 -0.123 6 71.50% 7 Apui 6.26 -0.112 12 61.50% 8 Bukapiting 6.14 -0.089 8 50.70% 9 Maritaing 6.70 -0.134 7 77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Kokar No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij
34 35 36 37 38 1 0.020 5.7260 5.52 0.21 5.93 2 0.023 6.0280 5.66 0.37 6.40 3 0.020 6.6131 5.78 0.83 7.45 4 0.000 0.0000 0.00 0.00 0.00 5 0.037 5.3700 5.32 0.05 5.42 6 0.008 5.6020 5.27 0.33 5.93 7 0.021 4.9160 4.68 0.24 5.15 8 0.047 5.4288 5.71 -0.28 5.15 9 0.004 5.7620 5.19 0.57 6.33
167
Lanjutan Lampiran 5 B. Mebung
No Kota Asal Kota Tujuan
k β dij R²
39 40 41 42
1 Kabir 6.56 -0.139 13 62.20%
2 Baranusa 6.91 -0.147 14 60.30%
3 Kalabahi 6.87 -0.037 10 62.20%
4 Kokar 6.35 -0.128 9 50.60%
5 Mebung 0.00 0.000 0 0.00
6 Moru 6.34 -0.123 7 71.50%
7 Apui 6.26 -0.112 12 61.50%
8 Bukapiting 6.14 -0.089 7 50.70%
9 Maritaing 6.70 -0.134 9 77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Mebung No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij
43 44 45 46 47
1 0.020 4.753 4.79 -0.04 4.716
2 0.023 4.852 4.68 0.17 5.024
3 0.020 6.503 5.58 0.92 7.426 4 0.048 5.198 5.46 -0.26 4.936
5 0 0 0.00 0.00 0.000 6 0.008 5.479 5.05 0.43 5.908 7 0.021 4.916 4.79 0.13 5.042
8 0.047 5.5177 5.62 -0.10 5.415
9 0.004 5.494 5.19 0.30 5.798
Lanjutan Lampiran 5 B. Moru No Kota Asal Kota Tujuan
k β dij R²
48 49 50 51
1 Kabir 6.56 -0.139 11 62.20%
2 Baranusa 6.91 -0.147 11 60.30%
3 Kalabahi 6.87 -0.037 7 62.20%
4 Kokar 6.35 -0.128 9 50.60%
5 Mebung 6.21 -0.105 7 54.30%
6 Moru 0.00 0.000 0 0.00
7 Apui 6.26 -0.112 12 61.50%
8 Bukapiting 6.14 -0.089 13 50.70%
9 Maritaing 6.70 -0.134 11 77.90%
168
Lanjutan Lampiran 5 B. Moru
No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij
52 53 54 55 56
1 0.020 5.0310 5.07 -0.04 4.99
2 0.023 5.2930 4.97 0.32 5.62
3 0.020 6.6131 5.74 0.87 7.48
4 0.048 5.1980 5.16 0.04 5.24
5 0.037 5.4750 5.19 0.28 5.76
6 0.000 0.0000 0.00 0.00 0.00
7 0.021 4.9160 4.71 0.21 5.12
8 0.047 4.9843 4.71 0.27 5.26
9 0.004 5.2260 5.14 0.08 5.31
Lanjutan Lampiran 5 B. Apui No Kota Asal Kota Tujuan
k β dij R²
57 58 59 60
1 Kabir 6.56 -0.139 15 62.20%
2 Baranusa 6.91 -0.147 14 60.30%
3 Kalabahi 6.87 -0.037 8 62.20%
4 Kokar 6.35 -0.128 10 50.60%
5 Mebung 6.21 -0.105 11 54.30%
6 Moru 6.34 -0.123 13 71.50%
7 Apui 0.00 0.000 0 0.00
8 Bukapiting 6.14 -0.089 10 50.70%
9 Maritaing 6.70 -0.134 10 77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Apui
No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij
61 62 63 64 65
1 0.020 4.4750 4.68 -0.21 4.27
2 0.023 4.8520 4.76 0.09 4.94
3 0.020 6.5764 5.75 0.83 7.40
4 0.048 5.0700 4.93 0.14 5.21
5 0.037 5.0550 4.91 0.15 5.20
6 0.008 4.7410 4.84 -0.10 4.64
7 0.000 0.0000 0.00 0.00 0.00
8 0.047 5.2510 4.84 0.41 5.66
9 0.004 5.3600 5.18 0.18 5.54
169
Lanjutan Lampiran 5 B. Bukapiting
No Kota Asal Kota Tujuank β dij R²
66 67 68 69 1 Kabir 6.56 -0.139 14 62.20% 2 Baranusa 6.91 -0.147 12 60.30% 3 Kalabahi 6.87 -0.037 8 62.20% 4 Kokar 6.35 -0.128 12 50.60% 5 Mebung 6.21 -0.105 10 54.30% 6 Moru 6.34 -0.123 11 71.50% 7 Apui 6.26 -0.112 8 61.50% 8 Bukapiting 0.00 0.000 0 0.00 9 Maritaing 6.70 -0.134 7 77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Bukapiting
No Kota Tujuan P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP ln Fij=k+β.dij+Eij 70 71 72 73 74
1 0.020 4.614 4.93 -0.316 4.298 2 0.023 5.146 4.95 0.196 5.342 3 0.020 6.576 5.86 0.716 7.293 4 0.048 4.814 5.19 -0.376 4.438 5 0.037 5.160 5.09 0.070 5.230 6 0.008 4.987 5.19 -0.203 4.784 7 0.021 5.364 5.16 0.204 5.568 8 0.000 0.000 0.00 0.000 0.000 9 0.004 5.762 5.46 0.302 6.064
Lanjutan Lampiran 5 B. Marataing
No Kota Asal Kota Tujuan k β dij R² 75 76 77 78
1 Kabir 6.56 -0.139 14 62.20% 2 Baranusa 6.91 -0.147 13 60.30% 3 Kalabahi 6.87 -0.037 7 62.20% 4 Kokar 6.35 -0.128 12 50.60% 5 Mebung 6.21 -0.105 11 54.30% 6 Moru 6.34 -0.123 11 71.50% 7 Apui 6.26 -0.112 9 61.50% 8 Bukapiting 6.14 -0.089 8 50.70% 9 Maritaing 0.00 0.000 0 0.00%
Lanjutan Lampiran 5 B. Marataing
No Kota Tujuan
P Fij D= k+β.dij Fij P εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
79 80 81 82 83 1 0.020 4.6140 4.86 -0.25 4.37 2 0.023 4.9990 4.93 0.07 5.07 3 0.020 6.6131 5.85 0.76 7.38 4 0.048 4.8140 5.26 -0.45 4.37 5 0.037 5.0550 5.19 -0.14 4.92 6 0.008 4.9870 5.11 -0.12 4.86 7 0.021 5.2502 5.14 0.11 5.36 8 0.047 5.4288 5.82 -0.39 5.04 9 0.000 0.0000 0.00 0.00 0.00
170
LAMPIRAN 6 ANALISIS ENTROPY INTERAKSI SPASIAL (PENGIRIMAN DAN PENERIMAAN BERITA ) MELALUI SALURAN SSB ANTAR KOTA HIRARKI DI KABUPATEN ALOR TAHUN 2004.
————— 11/1/2006 2:47:55 AM ————————————————————
1. ENTROPY BERITA KELUAR.
Regression Analysis: ln Fij Kabir Keluar versus dij Kabir Keluar The regression equation is ln Fij Kabir Keluar = 7.11 - 0.163 dij Kabir Keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 7.1118 0.4804 14.80 0.000 dij Kabi -0.16342 0.04137 -3.95 0.008 S = 0.3900 R-Sq = 72.2% R-Sq(adj) = 67.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 2.3734 2.3734 15.61 0.008 Residual Error 6 0.9125 0.1521 Total 7 3.2860 Unusual Observations Obs dij Kabi ln Fij K Fit SE Fit Residual St Resid 3 6.0 5.520 6.131 0.253 -0.611 -2.06R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Barnusa Keluar versus dij Barnusa Keluar The regression equation is ln Fij Barnusa Keluar = 7.03 - 0.179 dij Barnusa Keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 7.0270 0.5995 11.72 0.000 dij Barn -0.17898 0.05640 -3.17 0.019 S = 0.4494 R-Sq = 62.7% R-Sq(adj) = 56.4% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 2.0341 2.0341 10.07 0.019 Residual Error 6 1.2119 0.2020 Total 7 3.2459 Unusual Observations Obs dij Barn ln Fij B Fit SE Fit Residual St Resid 2 6.0 6.710 5.953 0.288 0.757 2.19R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Kalabahi keluar versus dij Kalabahi keluar The regression equation is ln Fij Kalabahi keluar = 6.18 - 0.0541 dij Kalabahi keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.1765 0.1372 45.03 0.000 dij Kala -0.05411 0.01835 -2.95 0.026 S = 0.06323 R-Sq = 59.2% R-Sq(adj) = 52.4% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.034763 0.034763 8.70 0.026 Residual Error 6 0.023987 0.003998 Total 7 0.058750
171
Unusual Observations Obs dij Kala ln Fij K Fit SE Fit Residual St Resid 7 8.0 5.8600 5.7437 0.0251 0.1163 2.00R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Kokar keluar versus dij Kokar keluar The regression equation is ln Fij Kokar keluar = 7.20 - 0.187 dij Kokar keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 7.2041 0.4223 17.06 0.000 dij Koka -0.18730 0.04480 -4.18 0.006 S = 0.3001 R-Sq = 74.4% R-Sq(adj) = 70.2% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 1.5742 1.5742 17.48 0.006 Residual Error 6 0.5404 0.0901 Total 7 2.1146 Regression Analysis: ln Fij Mebung keluar versus dij Mebung keluar The regression equation is ln Fij Mebung keluar = 6.87 - 0.166 dij Mebung keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.8706 0.4328 15.88 0.000 dij Mebu -0.16573 0.04372 -3.79 0.009 S = 0.3442 R-Sq = 70.5% R-Sq(adj) = 65.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 1.7028 1.7028 14.37 0.009 Residual Error 6 0.7110 0.1185 Total 7 2.4138 Unusual Observations Obs dij Mebu ln Fij M Fit SE Fit Residual St Resid 3 4.0 6.710 6.208 0.269 0.502 2.35R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Moru Keluar versus dij-Moru keluar The regression equation is ln Fij Moru Keluar = 6.47 - 0.127 dij-Moru keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.4714 0.4911 13.18 0.000 dij-Moru -0.12655 0.04971 -2.55 0.044 S = 0.4386 R-Sq = 51.9% R-Sq(adj) = 43.9% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 1.2471 1.2471 6.48 0.044 Residual Error 6 1.1545 0.1924 Total 7 2.4016 Unusual Observations Obs dij-Moru ln Fij M Fit SE Fit Residual St Resid 3 4.0 6.700 5.965 0.309 0.735 2.36R R denotes an observation with a large standardized residual
172
Regression Analysis: ln Fij Apui keluar versus dij Apui keluar The regression equation is ln Fij Apui keluar = 7.61 - 0.256 dij Apui keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 7.6132 0.8329 9.14 0.000 dij Apui -0.25607 0.08187 -3.13 0.020 S = 0.4332 R-Sq = 62.0% R-Sq(adj) = 55.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 1.8360 1.8360 9.78 0.020 Residual Error 6 1.1261 0.1877 Total 7 2.9622 Unusual Observations Obs dij Apui ln Fij A Fit SE Fit Residual St Resid 3 7.0 6.580 5.821 0.289 0.759 2.36R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Bukapitin versus dij Bukapiting keluar The regression equation is ln Fij Bukapiting keluar = 7.50 - 0.212 dij Bukapiting keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 7.4973 0.5887 12.73 0.000 dij Buka -0.21190 0.06280 -3.37 0.015 S = 0.3814 R-Sq = 65.5% R-Sq(adj) = 59.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 1.6557 1.6557 11.38 0.015 Residual Error 6 0.8727 0.1454 Total 7 2.5284 Regression Analysis: ln Fij Marataing keluar versus dij Marataing keluar The regression equation is ln Fij Marataing keluar = 6.71 - 0.151 dij Marataing keluar Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.7149 0.5548 12.10 0.000 dij Mara -0.15121 0.05800 -2.61 0.040 S = 0.3997 R-Sq = 53.1% R-Sq(adj) = 45.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 1.0861 1.0861 6.80 0.040 Residual Error 6 0.9587 0.1598 Total 7 2.0448 Unusual Observations Obs dij Mara ln Fij M Fit SE Fit Residual St Resid 3 6.0 6.570 5.808 0.236 0.762 2.36R R denotes an observation with a large standardized residual
173
2. ENTROPY BERITA MASUK.
Results for: Worksheet 2 Regression Analysis: ln Fij Kabir masuk versus dij Kabir masuk The regression equation is ln Fij Kabir masuk = 6.56 - 0.139 dij Kabir masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.5613 0.4587 14.30 0.000 dij Kabi -0.13889 0.04416 -3.15 0.020 S = 0.2892 R-Sq = 62.2% R-Sq(adj) = 56.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.82710 0.82710 9.89 0.020 Residual Error 6 0.50170 0.08362 Total 7 1.32880 Regression Analysis: ln Fij Baranusa masuk versus dij Baranusa masuk The regression equation is ln Fij Barnusa masuk = 6.91 - 0.147 dij Barnusa masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.9070 0.5288 13.06 0.000 dij Barn -0.14725 0.04881 -3.02 0.023 S = 0.2923 R-Sq = 60.3% R-Sq(adj) = 53.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.77783 0.77783 9.10 0.023 Residual Error 6 0.51272 0.08545 Total 7 1.29055 Regression Analysis: ln Fij Kalabahi masuk versus dij Kalabahi masuk The regression equation is ln Fij Kalabahi masuk = 6.87 - 0.0367 dij Kalabahi masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.86917 0.06579 104.40 0.000 dij Kala -0.03667 0.01168 -3.14 0.020 S = 0.04045 R-Sq = 62.2% R-Sq(adj) = 55.9% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.016133 0.016133 9.86 0.020 Residual Error 6 0.009817 0.001636 Total 7 0.025950 Regression Analysis: ln Fij Kokar masuk versus dij Kokar masuk The regression equation is ln Fij Kokar masuk = 6.35 - 0.128 dij Kokar masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.3515 0.3995 15.90 0.000 dij Koka -0.12804 0.05168 -2.48 0.048 S = 0.2735 R-Sq = 50.6% R-Sq(adj) = 42.3% Analysis of Variance
174
Source DF SS MS F P Regression 1 0.45901 0.45901 6.14 0.048 Residual Error 6 0.44868 0.07478 Total 7 0.90769 Unusual Observations Obs dij Koka ln Fij Fit SE Fit Residual St Resid 6 12.0 4.6800 4.8151 0.2519 -0.1351 -1.27 X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Regression Analysis: ln Fij Mebung masuk versus dij Mebung masuk The regression equation is ln Fij Mebung masuk = 6.21 - 0.105 dij Mebung masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.2088 0.4100 15.14 0.000 dij Mebu -0.10506 0.03934 -2.67 0.037 S = 0.2750 R-Sq = 54.3% R-Sq(adj) = 46.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.53950 0.53950 7.13 0.037 Residual Error 6 0.45390 0.07565 Total 7 0.99340 Regression Analysis: ln Fij Moru masuk versus dij Moru masuk The regression equation is ln Fij Moru masuk = 6.34 - 0.123 dij Moru masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.3365 0.3288 19.27 0.000 dij Moru -0.12348 0.03180 -3.88 0.008 S = 0.1878 R-Sq = 71.5% R-Sq(adj) = 66.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.53172 0.53172 15.07 0.008 Residual Error 6 0.21167 0.03528 Total 7 0.74339 Regression Analysis: ln Fij Apui masuk versus dij Apui masuk The regression equation is ln Fij Apui masuk = 6.26 - 0.112 dij Apui masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.2639 0.4203 14.90 0.000 dij Apui -0.11232 0.03626 -3.10 0.021 S = 0.2290 R-Sq = 61.5% R-Sq(adj) = 55.1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.50305 0.50305 9.60 0.021 Residual Error 6 0.31454 0.05242 Total 7 0.81759 Unusual Observations Obs dij Apui ln Fij A Fit SE Fit Residual St Resid 3 8.0 5.7500 5.3653 0.1467 0.3847 2.19R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Bukapiting masuk versus dij Bukapiting masuk
175
The regression equation is ln Fij Bukapiting masuk = 6.14 - 0.0889 dij Bukapiting masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.1395 0.3754 16.36 0.000 dij Buka -0.08886 0.03575 -2.49 0.047 S = 0.2303 R-Sq = 50.7% R-Sq(adj) = 42.5% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.32765 0.32765 6.18 0.047 Residual Error 6 0.31823 0.05304 Total 7 0.64589 Unusual Observations Obs dij Buka ln Fij B Fit SE Fit Residual St Resid 3 8.0 5.8600 5.4287 0.1145 0.4313 2.16R R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Marataing masuk versus dij Marataing masuk The regression equation is ln Fij Marataing masuk = 6.70 - 0.134 dij Marataing masuk Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.6985 0.3177 21.09 0.000 dij Mara -0.13445 0.02923 -4.60 0.004 S = 0.1891 R-Sq = 77.9% R-Sq(adj) = 74.2% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.75694 0.75694 21.16 0.004 Residual Error 6 0.21466 0.03578 Total 7 0.97160 Unusual Observations Obs dij Mara ln Fij M Fit SE Fit Residual St Resid 7 9.0 5.1400 5.4885 0.0820 -0.3485 -2.04R R denotes an observation with a large standardized residual
176
Lampiran 7 Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor Tahun 2003
No
Jenis sektor/ Komoditi unggulan
Jumlah produksi persatuan komoditi pada SWP (pij)
Jumlah Produksi persatuan komoditi pada Kabupaten (Pj)
(Rp 000)
pij/pi*(∑pij)
SWPA
( 3/∑3)
A
(Rp 000)
B
(Rp 000)
C
( Rp 000)
1 2 3 4 5 6 7 1 Padi 13811000 10599050 6223700 30,633,750 0.01181 2 Jagung 18532400 11866400 5057400 35456200 0.01585 3 Kacang hijau 399000 166,500 276000 841500 0.00034 4 Jambu Mente 612,768,000 375024000 1123640000 2111432000 0.52401 5 Kemiri 1208000 3146000 2008000 6362000 0.00103 6 Kelapa(Kopra) 634187.5 45625 376525 1056337.5 0.00054 7 Kopi 9000 100000 37000 146000 0.00001 8 Cengkeh 4,000 170000 4500 178500 0.00000 9 vanili basah 0 0 3975000 3975000 0.00000
10 Pinang 10000 118000 42500 170500 0.00001 11 Asam 126686840 195620550 89792610 412100000 0.10834 12 Sirlack 333,634,000 253827000 414099000 1,001,560,000 0.28531 13 Ikan laut 6,567,920 6011600 833720 13413240 0.00562 14 Sapi 492000 2310000 1728000 4530000 0.00042 15 Kambing 6347000 7650500 1571500 15569000 0.00543 16 Babi 8899000 19381000 6705500 34985500 0.00761 17 Batu hitam 39375000 78356250 337464750 455196000 0.03367
Total (pi*/P*) 1169377348 964392475 1993835705 4,127,605,528 0.05882 (pi*/P*) (pi*/P*) (pi*/P*)
Lanjutan Lampiran 7. Jenis sektor/ Komoditi unggulan
pij/pi*(∑pij) SWPB ( 4/∑4)
pij/pi*(∑pij) SWPC ( 5/∑5)
Pj/P*(∑Pj) Kabupaten (6/∑6)
Location Quotient (LQij)= pij/pi* / Pj/P* SWP A (7/10)
SWPB ( 8/10)
SWPC (9/10)
8 9 10 11 12 13 Padi 0.01099 0.00312 0.00742 1.591 1.481 0.421 Jagung 0.01230 0.00254 0.00859 1.845 1.432 0.295 Kacang hijau 0.00017 0.00014 0.00020 1.674 0.847 0.679 Jambu Mente 0.38887 0.56356 0.51154 1.024 0.760 1.102 Kemiri 0.00326 0.00101 0.00154 0.670 2.116 0.653 Kelapa(Kopra) 0.00005 0.00019 0.00026 2.119 0.185 0.738 Kopi 0.00010 0.00002 0.00004 0.218 2.932 0.525 Cengkeh 0.00018 0.00000 0.00004 0.079 4.076 0.052 vanili basah 0.00000 0.00199 0.00096 0.000 0.000 2.070 Pinang 0.00002 0.00002 0.00004 0.207 0.516 0.516 Asam 0.04504 0.04504 0.09984 1.085 0.042 0.451 Sirlack 0.26320 0.20769 0.24265 1.176 1.085 0.856 Ikan laut 0.00623 0.00042 0.00325 1.728 1.918 0.129 Sapi 0.00240 0.00087 0.00110 0.383 2.183 0.790 Kambing 0.00793 0.00079 0.00377 1.439 2.103 0.209 Batu hitam 0.08125 0.16925 0.11028 0.305 0.737 1.535 Total (pi*/P*) 0.04953 0.05882 0.05882 0.967 1.458 0.672
sumber : Diolah dari data BPS Kab.Alor Tahun 2003
177
Lampiran 8 Analisis Shift Share Sektor/Komoditi Unggulan Antar Satuan WilayahPengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor Tahun 1998 Dan Tahun 2003.
No
Jenis Sektor/ Komoditi Unggulan
Nilai Produksi Persatuan Komoditi Pada SWP (Xij) A B C 1998 (to) (Rp)
2003 (t1) (Rp)
1998 (to) (Rp)
2003 (t1) (Rp)
1998 (to) (Rp)
2003 (t1) (Rp)
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Padi 3648750 9865000 8428250 7570750 7643500 4445500
2 Jagung 2235600 13899300 12799200 8899800 4669706 3793050
3 Kacang hijau 50750 279300 317450 116550 189098 193200
4 Jambu Mente 2154000 459576000 32850 281268000 25050 842730000
5 Kemiri 5013000 1359000 6021000 3539250 1679625 2259000
6 Kelapa(Kopra) 38500 253675 355000 18250 76650 150610
7 Kopi 135000 8438 318375 93750 264000 34688
8 Cengkeh 3600 6000 76950 255000 5850 6750
9 vanili basah 0 0 15625 0 15000 1875000
10 Pinang 94860 17000 638350 200600 179775 72250
11 Asam 175050944
190030260 286780586
293430825 132655235
134688915
12 Sirlack 81902597 214479000 81394142 163174500 131255685
266206500
13 Ikan laut 1296300 6481500 1855125 5932500 200250 822750
14 Sapi 960400 803600 10388000 3773000 6541500 2822400
15 Kambing 3236400 4569840 1116000 5508360 874800 1131480
16 Babi 1155135 14149410 9303885 30815790 8999400 10661745
17 Batu hitam 10500000 13500000 28500000 26865000 116233800
115702200
Total/Rataan 340036650 1072420473 538638652 1087323025 488306973 1468960913
Lanjutan Lampiran 8 Nilai total jenis komoditas dalam total Kabupaten (Xi)
Xij(t1) / Xij(to)
X..(t1) / X..(to) (10/9)
Komponen Share ( a ) X..(t1)/X..(to)-1 (∑10/∑9) -1
1998 (to) (Rp)
2003 (t1) (Rp)
SWPA (4/3)
SWPB (6/5)
SWP C (8/7)
9 10 11 12 13 14 15 19720500 21881250 2.7037 0.8983 0.5816 1.1096 019704506 26592150 6.2173 0.6953 0.8123 1.3495 0
557298 589050 5.5034 0.3671 1.0217 1.0570 0 2211900 1583574000 213.3593 8562.1918 33641.9162 715.9338 0
12713625 7157250 0.2711 0.5878 1.3449 0.5630 0470150 422535 6.5890 0.0514 1.9649 0.8987 0 717375 136875 0.0625 0.2945 0.1314 0.1908 0 86400 267750 1.6667 3.3138 1.1538 3.0990 0 30625 1875000 0.0000 0.0000 125.0000 61.2245 0
912985 289850 0.1792 0.3142 0.4019 0.3175 0 594486764 618150000 1.0856 1.0232 1.0153 1.0398 0 294552423 643860000 2.6187 2.0047 2.0282 2.1859 0
3351675 13236750 5.0000 3.1979 4.1086 3.9493 0 17889900 7399000 0.8367 0.3632 0.4315 0.4136 0
178
5227200 11209680 1.4120 4.9358 1.2934 2.1445 0
19458420 55626945 12.2491 3.3121 1.1847 2.8588 0
155233800 156067200 1.2857 0.9426 0.9954 1.0054 0
1147325545 3148335285 3.1538 2.0187 3.0083 2.7441 1.7441
Sambungan Lampiran 8 Komponen proportional Shift (b) (14-15)
Komponen differential shift ( c ) Komponen Shift share ( SSA )
SWP A ( 11-14)
SWP B (12-14)
SWP C (13-14)
SWP A (15+16+17)
SWP B (15+16+18)
SWP C (15+16+19)
16 17 18 19 20 21 22 -0.6345 1.5941 -0.2113 -0.5280 2.7037 0.8983 0.5816
-0.3945 4.8677 -0.6542 -0.5373 6.2173 0.6953 0.8123
-0.6871 4.4465 -0.6898 -0.0353 5.5034 0.3671 1.0217
714.1897 -502.5745 7846.2580 32925.9824 213.3593 8562.1918 33641.9162
-1.1811 -0.2919 0.0249 0.7820 0.2711 0.5878 1.3449
-0.8453 5.6902 -0.8473 1.0662 6.5890 0.0514 0.2208
-1.5533 -0.1283 0.1037 -0.0594 0.0625 0.2945 0.1314
1.3549 -1.4323 0.2149 -1.9451 1.6667 3.3138 1.1538
59.4804 -61.2245 -61.2245 63.7755 0.0000 0.0000 125.0000
-1.4266 -0.1383 -0.0032 0.0844 0.1792 0.3142 0.4019
-0.7043 0.0458 -0.0166 -0.0245 1.0856 1.0232 1.0153
0.4418 0.4328 -0.1811 -0.1577 2.6187 2.0047 2.0282
2.2052 1.0507 -0.7514 0.1593 5.0000 3.1979 4.1086
-1.3305 0.4231 -0.1811 0.0179 0.8367 0.2324 0.4315
0.4004 -0.7325 2.7913 -0.8511 1.4120 4.9358 1.2934
1.1147 9.3904 0.4534 -1.6740 12.2491 3.3121 1.1847
-0.7387 0.2803 -0.0627 -0.0099 1.2857 0.9426 0.9954
1.0000 0.4098 -0.9896 0.2642 3.1538 1.7544 3.0083
Sumber : Diolah dari data BPS Kabupaten Alor Tahun 1998 dan 2003.
179
Lampiran 9 Penyebaran kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP menurut RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991*) SWP
Kota hirarki/ pusat aktivitas
Jumlah Rumah Tangga Pendudk Tahun 2003 (N)
Jumlah Penduduk Tahun 2003
Jumlah Responden (n)
Sistem hirarki
A
1.Baranusa 176 903 22 II 2.Kabir 708 2 939 24 III 3.Bakalang 288 1530 23 III 4.Beangonong 149 710 21 III 5.Mauta 381 2 834 23 III 6.Pandai 125 688 21 IV 7.Tamalabang 351 2 637 23 IV 8.Nuhawala 197 2 157 22 IV 9.Maliang 204 2 015 22 IV 10.Marica 115 619 21 IV 11.Puntaru 215 989 22 IV 12.Latuna 150 687 21 IV 13.Sebarang 203 1 051 22 IV
Jlh A 13 Kota 3262 6126 289
B
14.Kalabahi 596 2991 24 I 15.Alemba 189 806 22 II 16.Buraga 374 645 23 II 17.Buyunta 653 2795 24 III 18. Kokar 496 2069 24 III 19.Alor kecil 271 1257 23 III 20.Mebung 323 1476 23 III 21.Moru 374 1756 23 III 22.Faaming 132 575 21 III 23 Kalunan 152 699 21 III 24.Pitungbang 268 1054 23 IV 25.Tabolang 306 1418 23 IV 26.Mainang 155 684 22 IV 27.Mataraben 374 1756 23 IV 28.Manatang 132 575 21 IV 29.Tranter 77 356 19 IV 30. Sifala 165 645 22 IV 31. Bomara 107 524 20 IV
Jlh B 18 Kota 5144 22081 402
C
32.Apui 214 932 22 II 33.Maritaing 193 724 22 II 34.Bukapiting 514 2 350 24 III 35.Mademang 193 780 22 III 36.Taramana 181 825 22 IV 37.Lantoka 192 896 22 IV 38.Kolana 242 1022 23 IV 39.Peitoko 175 816 22 IV 40.Mazmur 170 686 22 IV 41.Aukalpui 201 863 22 IV 42.Kiraman 132 563 21 IV 43.Padang Alang 209 1019 22 IV 44.Weisak 159 594 22 IV 45. Silonang 80 412 19 IV 46.Manmas 70 404 18 IV
Jlh C 15 Kota 2925 10536 326 Total Kab. 46 Kota 11331 38743 1017
top related