analisis kritis praktik murabahah di bank syariah
Post on 25-Jun-2015
1.154 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS KRITIS PRAKTIK MURABAHAH DI BANK SYARIAH Kategori : Muamalah/Ek.Islam | Oleh: Rahmat Dahlan | Tgl posting: 12/08/2010 | Jumlah komentar: 0
ANALISIS KRITIS PRAKTIK MURABAHAH DI BANK SYARIAH
Rahmat Dahlan[1]
A. Pendahuluan
Badai krisis yang menghantam Indonesia tahun 1998 telah memporak porandakan
kehidupan perekonomian Indonesia. Tidak terkecuali negara-negara di kawasan Asia Tenggara
juga tidak luput dari krisis ekonomi moneter. Namun secara faktual, Indonesialah yang paling
lama melaksanakan proses pemulihannya (economy recovery).[2]Atas dasar tersebut, dan untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional harus terciptanya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan demokrasi ekonomi maka perlu dikembangkannya suatu sistem ekonomi yang
berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai
dengan prinsip syariah/ Islam.[3]
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,[4] selanjutnya diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998.[5] Sejak saat itu berdirilah bank-bank yang berlandasakan sistem syariah
yang mana pada sisi penghimpunan dana masyarakat diberlakukan sistem bagi hasil terhadap
hasil usaha bank. Pada sisi penyaluran dana kepada masyarakat yang merupakan usaha bank
terdiri dari produk jual beli (murabahah, salam, istishnâʻ), produk sewa (ijârah), produk
penyertaan modal dengan bagi hasil (mudhârabah, musyârakah), dan pinjaman kebajikan (al-
Qardhu al-Hasan).[6]
Pada tanggal 16 Juli 2008, pemerintah dan DPR RI mengesahkan Undang Undang
Perbankan Syariah yaitu UU No. 21 tahun 2008. Dengan terbitnya UU ini akan menggenjot
pengembangan bank syariah dengan pertumbuhan sebesar 5% tahun ini. Dengan UU ini pelaku
usaha dan pengguna jasa perbankan berbasis syariah akan memperoleh kepastian hukum. Hal ini
akan menggenjot pertumbuhan bank syariah dari segi aset.[7]
Prinsip pokok dalam transaksi keuangan yang sesuai dengan syariah, antara lain
penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran system bagi hasil, dan larangan terhadap riba
(bunga), gharar (tipuan), dan maysir (spekulasi), diyakini menjadi prinsip dasar berinvestasi
yang bukan hanya menguntungkan dan halal, tetapi juga aman.[8]
Berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR 12 Mei 1999
tentang bank berdasarkan prinsip syariah, prinsip kegiatan usaha bank syariah adalah : hiwalah,
ijarah, ijarah wa iqtina, istishna, kafalah, mudharabah, murabahah, musyarakah, qardh, al
qardhul hasan, rahn, salam, sharf, ujr, wadiah dan wakalah.[9]
Berkaitan dengan data perkembangan asset bank syariah, dijumpai bahwa
pertumbuhannya sangat siginifikan dan menggembirakan. Data per Mei 2009 menunjukkan
bahwa total asset bank syariah mencapai Rp. 53.194 juta.[10]
Penyaluran dana pembiayaan kepada masyarakat oleh perbankan syariah pada Desember
2004 mencapai 81%, pada Desember 2005 mencapai 79%, pada Desember 2006 mencapai 81%,
pada Desember 2007 mencapai 82%, pada Desember 2008 mencapai 84%, dan pada Mei 2009
mencapai 83.3%.[11] Artinya, asset dana pihak ketiga pada perbankan syariah diorientasikan
untuk disalurkan kepada sektor riil dalam bentuk pembiayaan.[12]
Perbankan syariah memiliki kesamaan fungsi dengan perbankan konvensional dalam hal
mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
pemberian fasilitas pembiayaan, akan tetapi perbankan syariah memiliki perbedaan-perbedaan
dengan perbankan konvensional. Perbedaan yang paling mendasar adalah bank syariah
menerapkan sistem bebas bunga (free interest) atau memakai sistem bagi hasil (profit sharing),
jual beli dan sewa. Sedangkan bank konvensioanl menerapkan sistem bunga.
B. Permasalahan
Dalam perbankan syariah kita mengenal beberapa macam istilah yang menggambarkan
bentuk atau model kerjasama antara nasabah dan bank syariah dalam pengelolaan dana
investasinya. Model kerjasama itu salah satunya adalah murabahah. Murabahah adalah jual beli
komoditas di mana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang harga pokok
pembelian barang dan tingkat keuntungan yang diinginkan.[13] Dalam murabahah, penjual harus
memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya.
Sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang ada, bank tidak dimungkinkan
berfungsi pula sebagai retailer dengan memiliki persediaan barang untuk dijual. Maka dalam
praktiknya yang diterapkan bukanlah murabahah murni tetapi murabahah kepada pemesan
pembelian (murabahah KPP). Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-âmir
bi al-Syirâ’.[14] Dalam murabahah jenis ini dua pihak atau lebih saling bernegosiasi dan berjanji
untuk melaksanakan kesepakatan di mana pemesan meminta pembeli membeli asset yang
selanjutnya akan dibeli oleh pemesan dengan harga pokok ditambah keuntungan.[15] Jadi, jual
beli murabahah dalam perbankan syariah adalah: kesepakatan antara bank sebagai pihak pertama
dan pembeli (nasabah) sebagai pihak kedua untuk membelikan barang tertentu, di mana pihak
pertama harus menjual barang pesanan tersebut kepada pihak kedua dengan harga aslinya
ditambah keuntungan yang disepakati bersama, dan pembayarannya ditentukan dengan cara yang
disepakati kedua pihak.
Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Mei 2009 yang dikeluarkan oleh Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia, bahwa per Mei 2009 pembiayaan murabahah mencapai Rp.
23.490 juta dari total pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah Rp. 40.715 juta.
Data tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan murabahah masih mendominasi jenis
pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan
dominasi murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah, yaitu: Pertama, murabahah
adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem profit and
loss sharing (PLS), cukup memudahkan. Kedua, murabahah menjauhkan ketidakpastian yang
ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS. Ketiga, murabahah tidak
memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah
mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan
debitur. Keempat, mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga
memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan
bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank syariah.[16]
Murabahah sebagai salah satu produk bank syariah harus memenuhi ketentuan syariah,
antara lain: “Penjualan yang menggunakan sistem murabahah, harus berdasarkan pada dasar
adanya pembelian barang oleh pihak bank dan atas namanya, kemudian setelah pihak bank
memiliki barang tadi dan ada dalam tanggungannya, ia boleh melakukan penjualan kembali pada
pihak lain dengan cara murabahah, sehingga dengan itu kepemilikan barang tersebut bisa
berpindah dari pihak bank kepada pihak lain (pembeli/nasabah)”. Artinya bahwa transaksi
penjualan tadi benar-benar terjadi atas barang milik bank yang dibelinya dari pihak
pabrik/supplier dengan cara sah, kemudian barang tersebut berpindah dari kepemilikan bank ke
kepemilikan klien/nasabah dengan transaksi jual beli yang menggunakan sistem murabahah.
Jadi, jual beli tersebut tidak terjadi atas dasar formalitas semata, dan bukan sekedar untuk
mendapatkan pinjaman uang tunai dengan menggunakan kedok formalitas murabahah tapi benar-
benar melalui cara jual beli. Meskipun demikian, dalam operasional bank syariah praktik
murabahah sering kali tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah, seperti berikut ini:
Pertama, membayar harga barang kepada pihak klien (pemesan barang), baik itu dalam
pembayaran tunai atau transfer pada nomor rekening miliknya, dan mencukupkan dengan adanya
laporan kwitansi pembelian dari pihak sumber barang/supplier atas nama bank dengan harga
barangnya. Hal itu tanpa melalui transaksi jual beli langsung antara pihak bank dan pihak sumber
barang, dan tanpa ada wakil bank yang menerima penyerahan barang atas nama pihak bank yang
akan menyerahkan barangnya kepada pihak klien sebagai pemesan barang.
Kedua, penandatanganan transaksi jual beli dengan cara murabahah yang bersamaan
waktunya dengan penandatanganan transaksi perjanjian untuk membeli barang (fase awal). Hal
itu dilangsungkan ketika barang yang dipesan belum ada dan bank belum memilikinya.
Ketiga, pihak bank melepas tanggung jawabnya dari berbagai risiko operasional
transaksi, barang pesanan dianggap aman, padahal barang tersebut masih dalam proses
pengiriman, dan pihak klien menerima barang tersebut saat kedatangannya langsung dari pihak
pabrik/toko dan kebijakan bank tersebut direkomendasi oleh pihak klien dengan membebaskan
pihak bank dari tanggung jawab atas kecacatan barang yang dikirim.
Keempat, pemberian dana untuk transaksi proyek jasa pelayanan dengan cara murabahah,
seperti membayar tarif cukai, khususnya pada kondisi di mana harga cukainya sangat mahal atau
bahkan lebih mahal dari barangnya itu sendiri, atau melakukan transaksi murabahah pada proyek
pemasangan alat-alat tertentu (assembling) dan lainnya. Semua itu tidak dibolehkan oleh syariat
karena jual beli murabahah itu hanya terbatas pada bentuk barang saja dan tidak boleh pada jasa
pelayanan.
Kelima, murabahah atas utang-piutang yang disebabkan murabahah sebelumnya,
bentuknya adalah pihak bank menggantikan posisi pihak kreditur pertama dalam melaksanakan
kewajibannya dan menuntut haknya dalam mendapatkan keuntungan sebagai imbalan pemberian
dana dan penguluran waktu.[17]
Penyimpangan dari prinsip syariah juga dapat dilihat pada pengenaan denda kepada
nasabah yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar utang pada waktunya sesuai akad
karena force majeur. Pada fatwa Dewan syariah Nasional terdapat ketentuan tentang sanksi atas
nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Sanksi tersebut dapat dikenakan denda.
Denda tersebut hanya dikenakan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan, bukan karena force
majeur dan terbukti tidak beritikad baik. Denda yang dibayar atau diterima bank dari
nasabahnya tadi juga telah ditentukan peruntukannya, yaitu sebagai dana sosial.[18]
Penyimpangan pembiayaan murabahah lainnya, yaitu: Pertama, dalam hal pengikatan
akad jual beli yang umumnya dilakukan mendahului kepemilikan barang oleh bank. Hal ini jelas
telah menyalahi baik prinsip fiqh itu sendiri maupun hukum universal bahwa hak menjual
merupakan hak turunan dari kepemilikan. Kedua, dalam pembiayaan murabahah terdapat praktik
pencairan dana pembiayaan ke rekening nasabah yang selanjutnya nasabah diminta untuk
melakukan pembayaran kepada supplier. Hal ini akan menimbulkan kesan adanya transaksi
utang piutang antara bank dan nasabah, dan bukan transaksi jual beli.[19]
Penyimpangan dari ketentuan syariah dalam praktik pembiayaan murabahah yang
dilakukan oleh perbankan syariah, telah mengundang kritikan-kritikan dari kalangan akademisi,
antara lain kritikan dari Kursyid Ahmad: Murabahah pendanaan tambah-ongkos (cost plus
financing) dan bayʻ muajjal (penjualan dengan pembayaran jangka panjang) dibolehkan dalam
syariat dengan beberapa syarat tertentu. Secara teknis, ia bukanlah bentuk mediasi keuangan
melainkan semacam partisipasi bisnis. Syariat mengasumsikan bahwa penyandang dana benar-
benar membeli barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah. Sayangnya, praktik
“pembelian kembali dengan mark up” sekarang ini tidak memenuhi syarat-syarat yang
membolehkan murabahah atau bayʻ muajjal. Yang dilakukan adalah transaksi fiktif yang
menjanjikan suatu laba yang ditetapkan sebelumnya kepada bank tanpa benar-benar melakukan
transaksi barang atau berbagi resiko riil apapun. Ini bertentangan dengan isi dan spirit ajaran
syariat.[20]
Kritikan lebih tajam disampaikan oleh Hasanuz Zaman: Dari fakta-fakta ini terbukti
bahwa secara praktis tidaklah mungkin bagi bank-bank besar atau sistem perbankan untuk
mempraktikkan mark up, bayʻ salam, pembelian kembali, murabahah, dan sebagainya dengan
cara yang memenuhi ketentuan-ketentuan syariat. Tetapi agar memenuhi syarat untuk
mendapatkan laba hasil operasi bank-bank terpaksa menyiasati isi Undang-Undang. Mereka
benar-benar tidak membeli, tidak memiliki, sama sekali tidak menjual dan mengantarkan barang;
tetapi transaksinya diasumsikan telah terjadi. Dengan menandatangani sejumlah dokumen
pembelian, penjualan, dan transfer mereka bisa memenuhi persyaratan hukum tetapi dengan cara
melanggar spirit pelarangan.[21]
Murabahah yang merupakan salah satu bentuk pembiayaan yang diberikan lembaga
keuangan syariah masuk dalam kajian ilmu ekonomi Islam atau fiqh muʻâmalah mâliyah. Dalam
menetapkan legalitas murabahah ini, para fuqaha berusaha mengistinbathkan hukumnya dari
sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan sunnah. Jika tidak ditemukan dasar
hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, maka ijtihad[22] atau iftâ merupakan satu-
satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum
masalah tersebut.
Dalam hal ini, menurut Yûsuf Qardhâwî bidang ekonomi dan keuangan merupakan salah
satu lapangan ijtihad yang relatif baru pada masa kini. Kehadiran ijtihad di bidang ini memiliki
makna signifikan tersendiri karena di bidang inilah telah terjadi perubahan yang cukup intens
dan berskala besar. Semakin modernnya dunia bisnis, munculnya berbagai lembaga keuangan
dengan beragam jasa yang ditawarkan memunculkan pertanyaan seputar keabsahan berbagai
transaksi yang terjadi antara nasabah dengan pihak lembaga keuangan syariah.[23]
Ketika tantangan tersebut dicoba untuk direspon, muncul berbagai reaksi. Ada sebagian
ulama yang tergesa-gesa mencari jalan termudah untuk menentukan hukum atas persoalan-
persoalan tersebut dengan sikap penolakan, pengharaman dan lebih jauh pada sikap ekstrim. Ada
sebagian lain yang membuka pintu lebar-lebar untuk menerima segala sesuatu yang baru dan
membolehkannya dengan alasan demi kepentingan umum (mashlahat) atau alasan darurat. Ada
pula yang berusaha keras mengadakan penelitian pada setiap bentuk muamalah baru kemudian
dicarikan hukumnya dari pendapat ulama-ulama terdahulu untuk dikeluarkan hukum-hukum
yang sama dengan pendapat ulama-ulama terdahulu dan disesuaikan dengan dasarnya. Jika
hukum itu tidak didapatkan, maka bentuk muʻâmalah baru ini ditolak.[24] Sebenarnya pada
masalah inilah ijtihad atau iftâ memainkan peranan yang signifikan dengan memberikan jalan
penyelesaian yang baik karena ia memiliki metodologi yang diabsahkan bahkan dianjurkan oleh
agama.
Dengan demikian, ijtihad atau iftâ mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menyelesaikan permasalahan yang belum diketahui status hukumnya. Khusus untuk permaslahan
yang terkait dengan ekonomi Islam, lembaga di Indonesia yang berwenang melakukan ijtihad
atau menetapkan sebuah fatwa ketika muncul suatu permasalahan dalam masyarakat adalah
Dewan Syariah Nasional.[25] Lembaga ini bertugas, antara lain, untuk menggali, mengkaji dan
merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam
kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syariah, serta mengawasi pelaksanaan dan
implementasinya.[26] Pedoman inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk fatwa.
Terkait dengan legalitas pembiayaan murabahah, Dewan Syariah Nasional telah
menetapkan kebolehannya selama praktik yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
sebagaimana ditetapkan dalam fatwa tentang murabahah.
Dari latar belakang permasalahan di atas, menunjukan bahwa ada sebagian ulama yang
tergesa-gesa mencari jalan termudah untuk menentukan hukum murabahah dengan sikap
penolakan atau pengharaman. Ada sebagian lain yang membolehkannya dengan alasan demi
kepentingan umum (mashlahat). Ada pula yang mencarikan hukumnya dari pendapat ulama-
ulama terdahulu untuk dikeluarkan hukum-hukum yang sama dengan pendapat ulama-ulama
terdahulu dan disesuaikan dengan dasarnya. Jika hukum itu tidak didapatkan, maka murabahah
ditolak.
Sebenarnya dalam menetapkan legalitas murabahah ini, yang harus dilakukan adalah
melakukan istinbath hukum dari sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah
dengan menggunakan metode istinbath hukum yakni metode bayânî, taʻlîlî dan istishlâhî,
sehingga kesimpulan hukum murabahah benar-benar didasarkan atas ketiga metode istinbath
hukum tersebut.
Mengenai murabahah sebagai salah satu bentuk pembiayaan yang diberikan bank kepada
nasabah telah ditetapkan kebolehannya melalui fatwa Dewan Syariah Nasional yang harus
dilaksanakan oleh lembaga keuangan syariah, karena penyimpangan atas fatwa tersebut akan
merubah status hukumnya dari boleh menjadi dilarang serta dari segi praktik menjadi tidak ada
bedanya dengan transaksi kredit yang biasa dilakukan oleh bank konvensional.
Penyimpangan dari fatwa yang mengatur murabahah sangat mungkin dilakukan oleh
perbankan syariah di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: keterbatasan
sumber daya manusia yang dimiliki oleh perbankan syariah di Indonesia dan rendahnya
moralitas pelaku ekonomi Islam sehingga dalam praktiknya hanya “berlabel syariah” namun
tidak sesuai dengan prinsip syariah. Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap fiqh yang
menjelaskan murabahah baik dari segi hukumnya maupun ketentuan-ketentuan pelaksanaannya
turut berperan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam praktik murabahah pada
perbankan syariah di Indonesia.
Di tengah menjamurnya bank syariah di Indonesia yang notabene menggunakan label
syariah adalah sangat naif jika dalam praktik pembiayaan murabahah di bank syariah
bertentangan dengan prinsip syariah.
C. Syarat dan Rukun Murabahah
Wahbah Zuhaely menjelaskan bahwa syarat-syarat jual beli dengan cara murabahah
adalah:[27] Pertama, penjual dan pembeli mengetahui harga pembelian benda yang akan dijual.
Kedua, penjual dan pembeli mengetahui jumlah keuntungan yang akan diberikan oleh pembeli
kepada pihak penjual. Ketiga, benda yang akan dijual memiliki bandingan sehingga dapat diukur
dengan timbangan, takaran, atau yang lainnya sehingga dapat diketahui harganya. Keempat,
benda yang diperjualbelikan tidak termasuk benda yang diharamkan untuk diperdagangkan.
Kelima, akad jual beli yang pertama (sebelum benda tersebut dijual lagi) termasuk transaksi yang
benar.
Adapun syarat jual beli dengan cara murabahah menurut Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Bank Syariah (LPPBS) adalah:[28] Pertama, penjual hendaknya menyatakan
modal yang sebenarnya dari barang yang hendak dijual. Kedua, kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) menyetujui besarnya keuntungan yang ditetapkan sebagai tambahan terhadap modal,
sehingga modal ditambah dengan untung merupakan harga barang yang dijual dalam jual beli
murabahah. Ketiga, barang yang dijual secara murabahah dan harga barang itu bukan dari jenis
yang sama dengan barang ribawi, yang dicegah diperjual belikan kecuali dengan timbangan dan
sukatan yang sama.
Menurut Usmani syarat pokok murabahah antara lain sebagai berikut:[29] murabahah
merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara eksplisit menyatakan biaya perolehan
barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat
keuntungan yang diinginkan. Tingkat keuntungan tersebut dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya. Semua biaya
yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang, seperti biaya pengiriman, pajak dan
sebagainya dimasukkan ke dalam biaya perolehan untuk menentukan harga agregat dan margin
keuntungan didasarkan pada harga agregat ini. Akan tetapi, pengeluaran yang timbul karena
usaha, seperti gaji pegawai, sewa tempat usaha, dan sebagainya tidak dapat dimasukkan ke
dalam harga untuk suatu transaksi. Margin keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover
pengeluaran-pengeluaran tersebut.
Melihat dari bentuknya, murabahah merupakan salah satu dari pembiayaan yang
berdasarkan konsep jual beli yaitu menjual suatu barang dengan harga asal (modal) ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati. Dengan demikian hukum dan rukunnya berpedoman
pada hukum dan rukun jual beli yang disyaratkan dalam fiqh muamalah Islam. Adapun rukun
jual beli yaitu adanya penjual, pembeli, barang, harga dan shigat (îjâb qabȗl).
D. Aplikasi Murabahah dalam Perbankan Syariah
Murabahah yang dipraktikkan bank syariah adalah murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’,
yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan
sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut
secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan
yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment
(cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.[30]
Adapun tahapan-tahapan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ dalam operasional perbankan
syariah adalah sebagai berikut:[31] Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan
barang/komoditas kepada pihak bank dengan spesifikasi tertentu. Kemudian keduanya membuat
kesepakatan bahwa pihak bank berjanji akan menjual komoditas yang telah dimiliki, dan nasabah
berjanji akan membeli komoditas dengan adanya tambahan profit/margin atas harga pokok
pembelian, dalam tahapan ini belum terjadi akad jual beli, namun baru berupa kesepakatan.
Kemudian pihak bank membeli komoditas dari supplier atas nama bank sendiri, dan jual
beli ini harus sah dan bebas dari riba. Setelah komoditas tersebut resmi menjadi milik bank,
kemudian bank menawarkan aset tersebut kepada nasabah, dan tentunya aset tersebut harus
sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Setelah itu, pihak bank dan nasabah baru bisa
melakukan akad jual beli secara murabahah. Dalam hal ini, bank harus menyampaikan segala hal
yang berkaitan dengan pembelian, seperti harga pokok pembelian, besarnya margin, termasuk
jika pembelian dilakukan secara utang. Jika telah terjadi kesepakatan dalam jual beli tersebut,
barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, dan selanjutnya nasabah membayar harga
barang yang telah disepakati pada jangka waktu yang telah ditentukan.
Jika pihak bank ingin mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga (supplier), maka kedua pihak harus menandatangani kesepakatan agensi (agency
contract), di mana pihak bank memberikan otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya guna
membeli komoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain, nasabah menjadi wakil
bank untuk membelikan komoditas. Kemudian, nasabah membeli komoditas atas nama bank, dan
kepemilikannya hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank. Selanjutnya, nasabah memberikan
informasi kepada pihak bank bahwa ia telah membeli komoditas, kemudian pihak bank
menawarkan komoditas tersebut kepada nasabah, dan terbentuklah akad jual beli dan komoditas
kemudian pindah menjadi milik nasabah dengan segala risikonya.
Bentuk murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ dimunculkan sebagai alternatif dari pemberian
kredit yang biasa dilakukan oleh bank konvensional dan untuk membantu nasabah yang tidak
mempunyai uang untuk memiliki barang yang diperlukan. Dalam praktik bank konvensional,
ketika nasabah mengalami kesulitan dana tunai untuk memiliki/membeli barang, pihak bank
memberikan kredit sejumlah uang dengan persentase suku bunga yang telah ditentukan oleh
pihak bank. Artinya, bank konvensional membantu nasabah dengan memberikan bantuan dana
tunai secara kredit atau utang, dimana kredit tadi mengandung suku bunga yang harus dibayar
bersama jumlah kredit aslinya. Sedangkan suku bunganya ditentukan berdasarkan jumlah dana
dan jangka waktu pembayarannya.
Hal ini berbeda dengan praktik yang dilakukan oleh bank syariah, dimana bank syariah
sebagai pembeli pertama berupaya membeli barang yang dibutuhkan nasabah dari
pedagang/pemasok melalui transaksi jual beli. Kemudian setelah bank memiliki barang tersebut,
ia menjual kembali barang tersebut kepada nasabah yang memerlukan barang tersebut dengan
harga pembelian awal ditambah keuntungan yang disepakati kedua belah pihak. Adapun
pembayarannya dilakukan dengan cara cicilan dan dalam waktu yang disepakati bersama.
Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal
kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme
pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
1. Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti
pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya.
Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank
syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah
meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan
untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada
pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin
mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun,
maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain
memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi
yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee
base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya
asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.[32]
2. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli
murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan
pembelian barang berulang-ulang.[33] Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak
terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam
bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudhârabah (bagi hasil) atau
musyârakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang
menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance
(pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi
dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah
menggunakan transaksi jual beli.
3. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah.
Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk
renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lain-lain. Transaksi dalam
pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.[34]
Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:[35] Tuan A,
pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna
pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya
layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil
bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut
kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas
pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar
menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan
berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut
terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.
F. Jenis-Jenis Murabahah
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Murabahah tanpa
pesanan maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah
menyediakan barang dagangannya.[36] Penyedian barang pada murabahah ini tidak terpengaruh
atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli. Murabahah tanpa pesanan tidak
peduli ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah selalu menyediakan
barang dagangannya. Jadi nasabah tidak perlu memesan barang terlebih dahulu karena barang
yang diminta sudah disediakan oleh bank syariah.
Gambar : Alur Murabahah Tanpa Pesanan
PROSES PENGADAAN BARANG PROSES JUAL BELI MURABAHAH
NASABAHDilakukan sebelum transaksi jual beli murabahah
Membeli cash/tangguhMembuat sendiri/pesan (istishnâʻ)Memproduksi sendiri/pesan (salam)Barang mudhârabah, musyârakah Ada yang beli atau tidak 1. Negosiasi dan Persyaratan
Pengadaan 2. Akad Jual beli murabahah
BANK SYARIAHBarang (Perse
diaan Barang) 3. B 4.Bayar kewajiban/harga barang
3. Kirim/penyerahan barang
Pada prinsipnya, dalam transaksi murabahah pengadaan barang menjadi tanggung jawab
bank syariah sebagai penjual. Dalam murabahah tanpa pesanan, bank syariah menyediakan
barang atau persediaan barang yang akan diperjualbelikan dilakukan tanpa memperhatikan ada
nasabah yang membeli atau tidak. Sehingga proses pengadaan barang dilakukan sebelum
transaksi jual beli murabahah dilakukan.
Adapun murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya adalah bank syariah baru akan
melakukan transaksi murabahah apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan
barang baru dilakukan jika ada pesanan. Pengadaan barang sangat bergantung langsung dengan
pesanan barang tersebut.[37] Kedua belah pihak akan mengakhiri penjualan setelah kepemilikan
aset pindah ke nasabah.
Alur Murabahah Berdasarkan Pesanan
Pesan beli barang
top related