analisis tax audit coverage ratio indonesia dalam
Post on 23-Oct-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
ANALISIS TAX AUDIT COVERAGE RATIO INDONESIA DALAM PENINGKATAN EFEKTIVITAS PEMERIKSAAN PAJAK
Freddy S, Rini Yulius
1. Program Ekstensi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Jakarta
2. Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Jakarta
E-mail: freddy.sipayung27@gmail.com
ABSTRAK
Pemeriksaan pajak merupakan bentuk penegakan hukum oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang bertujuan untuk mengamankan penerimaan pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak adalah persepsi kemungkinan diperiksa. Jika kemungkinan diperiksa tinggi, maka kemungkinan ketidakpatuhan terdeteksi juga tinggi. Untuk meningkatkan kemungkinan wajib pajak diperiksa tinggi, maka DJP seharusnya memperluas lingkup pemeriksaan atau biasa yang disebut dengan rasio cakupan pemeriksaan pajak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab rendahnya rasio tersebut dan sektor yang seharusnya menjadi fokus pemeriksaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rasio cakupan pemeriksaan rendah karena masalah pemilihan bahan baku dan kurang berbasis risiko dan potensi penerimaan.
Analyze of Indonesia Tax Audit Coverage Ratio to Increase Tax Audit Effectivity
ABSTRACT
Tax audit as one of the law enforcements is conducted by Directorate General of Taxes (DGT) Indonesia to achieve tax national revenue targeted and increase voluntary compliance. One cause of taxpayer’s compliance is the probability of being audited. The higher taxpayer’s probability is audited, the higher of non-compliance will be detected. To ensure that taxpayer’s probability of being audited is high, DGT should enlarge the scope of audit or audit coverage ratio. This study uses qualitative approach and analyzes the factor that cause audit coverage ratio in Indonesia is low, and primary sector that should become the focus of tax audit. The result of this research indicates that low of audit coverage ratio because of the selection of taxpayer’s that has less risk-based assessment and less potential revenue keyword: tax audit, tax compliance, tax audit coverage ratio, focus of tax audit Pendahuluan
Dalam rangka pencapaian tujuan negara, pemerintah sebagai penyelenggara negara
melakukan kegiatan dengan menggunakan anggaran yang dituangkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan negara
yang dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan APBN adalah belanja negara yang
bersumber dari pendapatan negara. Salah satu pendapatan di dalam APBN adalah Pendapatan
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
2
Perpajakan. Porsi pendapatan perpajakan (yang menjadi domain DJP) dalam pendapatan
negara semakin meningkat. Hal ini menunjukkan Pendapatan Negara semakin bergantung
terhadap Pendapatan Pajak dan menjadikan DJP sebagai insitusi terbesar pengemban
pendapatan negara.
DJP memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya dengan menganut sistem self assessment. Self assessment system
adalah sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang. Untuk itu dalam rangka
menguji pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, DJP menempuh jalan penegakan
hukum dengan pemeriksaan.
Berdasarkan data yang bersumber dari Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan
(ALPP), dalam realisasinya pemeriksaan pajak berhasil mencapai target penerimaan hasil
pemeriksaan yang telah ditetapkan. Namun, dinilai dari tren tax ratio dari 2011-2014 pada
Grafik 2, pemeriksaan pajak tidak menunjukkan efektivitasnya pada peningkatan kepatuhan
Wajib Pajak. Bahkan pada tahun 2014 terjadi penurunan tax ratio yang merupakan indikasi
penurunan kepatuhan perpajakan. Seharusnya pemeriksaan pajak mempunyai semangat untuk
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan merealisasikan potensi pajak menjadi penerimaan
pajak melalui pembayaran pajak secara sukarela sesuai dengan prinsip self assessment.
Prosedur pemeriksaan pajak yang diterapkan oleh DJP harus mencakup potensi
perpajakan yang masih belum direalisasikan karena ketidakpatuhan. Alat yang digunakan
dalam menghitung lingkup pemeriksaan pajak adalah Tax Audit Coverage Ratio. Tax Audit
Coverage Ratio merupakan perbandingan antara jumlah pemeriksaan dibandingkan dengan
wajib pajak yang wajib melaporkan SPT. Semakin tinggi Tax Audit Coverage Ratio maka
semakin tinggi kemungkinan ketidakpatuhan terdeteksi dan pada akhirnya mempengaruhi
peningkatan kepatuhan perpajakan masyarakat.
Berdasarkan keterangan Gunadi pada situs web dengan alamat
http://www.pajak.go.id/content/article/gunadi-tax-audit-coverage-indonesia-perlu-diperbesar,
Tax Audit Coverage Ratio Indonesia masih sangat rendah yaitu pada tingkat 0.34%. Ukuran
ini sangat rendah karena berarti kemungkinan masyarakat yang wajib SPT kemungkinan
diperiksa sebesar 0.34%. Menurut beliau untuk pemeriksaan dapat memberikan detterent
effect, Tax Audit Coverage Ratio (ACR) harus ditingkatkan.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
3
Untuk meningkatkan ACR, DJP memiliki keterbatasan yaitu sumber daya manusia.
Karena itu, pemeriksaan pajak harus difokuskan pada potensi penerimaan pajak dan risiko
ketidakpatuhan yang tinggi. Hal ini yang mendorong peneliti untuk menganalisis Analisis Tax
Audit Coverage Ratio Indonesia Dalam Peningkatan Efektivitas Pemeriksaan Pajak.
Rumusan Masalah
Penelitian ini melingkup periode tahun 2013 sampai dengan 2014 dan merumuskan beberapa
masalah sebagai berikut
1. Bagaimana gambaran umum pengelolaan pemeriksaan pajak oleh DJP?
2. Bagaimana kondisi Tax Audit Coverage Ratio?
3. Bagaimana efektivitas pemeriksaan pajak?
4. Bagaimana perbandingan tax audit coverage ratio DJP dengan kepatuhan perpajakan?
5. Bagaimana perbandingan antara tax audit coverage ratio dengan efektivitas
pemeriksaan pajak?
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui gambaran umum pengelolaan pemeriksaan pajak oleh DJP.
2. Mengetahui kondisi tax audit coverage ratio
3. Mengetahui efektivitas pemeriksaan pajak.
4. Mengetahui perbandingan tax audit coverage ratio DJP dengan kepatuhan perpajakan
5. Mengetahui gambaran perbandingan antara tax audit coverage ratio dengan efektivitas
pemeriksaan pajak
Teori Dan Tinjauan Pustaka
Pajak
Pajak merupakan kewajiban untuk berkontribusi kepada negara dalam bentuk iuran
oleh orang pribadi dan badan yang sifatnya memaksa berdasarkan undang-undang, tidak
disertai imbalan langsung, dan digunakan untuk membiayai pembangunan nasional demi
kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Dalam menjalankan administrasi perpajakan, DJP
memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan
melapor kewajiban perpajakannya sendiri. Sistem ini dikenal dengan self assessment system.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
4
Kepatuhan Pajak
Menurut Ken Devos (2004) mengutip definisi oleh Roth et al, kepatuhan pajak
merupakan kesadaran pembayar pajak untuk melaporkan semua penghasilan kena pajak
secara tepat waktu dan berdasarkan penghasilan tersebut, secara akurat melaporkan kewajiban
perpajakan sesuai dengan Internal Revenue Code (arsip aturan-aturan perpajakan di Amerika
Serikat), peraturan-peraturan dan putusan pengadilan yang diterapkan pada saat penghasilan
tersebut dilaporkan. Berdasarkan OECD, kepatuhan pajak dilihat dari pemenuhan kewajiban
berupa mendaftarkan ke sistem perpajakan, mengisi dan melaporkan informasi perpajakan
yang ditetapkan secara tepat waktu, melaporkan informasi secara lengkap dan akurat,
membayar kewajiban pajak dengan tepat waktu.
Dalam sistem perpajakan di Indonesia, wajib pajak yang patuh harus mendaftarkan
diri (orang pribadi/badan) untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mengisi
dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan tepat waktu, melampirkan
informasi-informasi lain yang lengkap dan akurat seperti laporan keuangan fiskal/komersil,
bukti potong, daftar bukti potong, dan lain-lain membayar kewajiban perpajakan melalui
sistem pemotongan/pemungutan pajak dan menyetorkan ke kas negara dengan Surat Setoran
Pajak (SSP). Apabila subjek pajak tidak memenuhi salah satu kriteria di atas, maka wajib
pajak tersebut dianggap tidak patuh.
Dalam aturan perpajakan yang dikenal dengan Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak
yang memenuhi kriteria tertentu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
192/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-74/PMK.03/2012.
Kriteria tersebut adalah wajib pajak yang tepat waktu dalam menyampaikan Surat
Pemberitahuan, tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut,
dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5
(lima) tahun terakhir.
Menurut Benno Torgler (2007) kepatuhan atau ketidakpatuhan pajak merupakan
fungsi dari kesempatan (celah pada sistem dan aturan), tarif pajak, kemungkinan terdeteksi,
dan keinginan untuk patuh atau menghindar (tax morale).
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
5
Dalam model yang dibuat oleh Allingham and Sandmo (1972), penghasilan yang
dilaporkan merupakan fungsi dari pendapatan, tarif pajak, kemungkinan diperiksa, dan tarif
sanksi.
Tax Ratio dan Tax Buoyancy Ratio
Tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan perpajakan dengan Pendapatan
Domestik Bruto (PDB). Secara matematis, tax ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
Tax Buoyancy Ratio mengukur respon kenaikan penerimaan pajak terhadap setiap
persen pertumbuhan PDB. Tax buoyancy mengeliminasi efek dari perubahan tarif dan dasar
pengenaan pajak. Secara matematis, tax buoyancy dapat dirumuskan sebagai berikut :
Tax Buoyancy Ratio tahun x =
dimana :
T : Total penerimaan pajak
Y : Total PDB
Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan OECD, pemeriksaan pajak merupakan pengujian kepatuhan dan
ketepatan penilaian dan pelaporan pajak, serta pemenuhan kewajiban perpajakan yang lain.
Pemeriksaan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 merupakan
kegiatan yang dilakukan dengan mengumpulkan dan mengolah data dan informasi, serta
keterangan dan bukti yang terkait secara objektif, profesional berdasarkan pada standar
pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhaan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanaan ketentuan perundang-
undangan.
Menurut Liucija BirskyteI dalam jurnal tahun 2013 yang berjudul “Effects Of Tax
Auditing: Does The Deterrent Deter?”, ada 2 efek dari pemeriksaan pajak yaitu :
1. Direct effect yaitu penambahan penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
6
2. Indirect effect yaitu efek pencegahan, dengan peningkatan pemahaman dan kepatuhan
Wajib Pajak.
Peran Pemeriksaan
Berdasarkan buku yang berjudul Risk-Based Tax Audits: Approaches and Country
Experiences yang disusun oleh The World Bank, ada tiga peran yang dimiliki oleh
pemeriksaan pajak yaitu:
1. pemeriksaan digunakan untuk mendeteksi dan memperbaiki kasus ketidakpatuhan
individu
2. meningkatkan kepatuhan sukarela dengan meningkatkan kemungkinan terdeteksi dan
diberikan sanksi atas ketidakpatuhan.
3. merupakan administrasi perpajakan dalam mendapatkan informasi kesehatan sistem
perpajakan dan teknik yang digunakan oleh wajib pajak untuk menghindari pajak.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2014 salah satu
indikator pengukuran kinerja pemeriksaan adalah Audit Coverage Ratio (ACR). Berdasarkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor 28/PJ/2013 tentang Kebijakan Pemeirksaan,
ruang lingkup pemeriksaan pajak dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Pemeriksaan rutin dan khusus); dan 2)
Pemeriksaan tujuan lain. Jenis pemeriksaan menurut SE tersebut adalah: 1) Pemeriksaan
lapangan (di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak)
dan 2) Pemeriksaan kantor (di kantor DJP).
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman
Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, ada dua metode dalam melakukan pemeriksaan
yaitu: 1) metode langsung; dan 2) metode tidak langsung. Pada metode langsung,
pemeriksaan dilakukan dengan langsung menguji atau meninjau pada pos-pos yang dapat
ditelusuri bukti transaksinya. Sementara pada metode tidak langsung dilakukan apabila
pemeriksa pajak tidak dapat melakukan pemeriksaan langsung, sehingga untuk memperoleh
keyakinan dari kewajaran nilai yang dilaporkan, mengacu pada pendekatan tertentu.
Dalam rangka memberikan pedoman untuk pemeriksa pajak dalam menjalankan tugas
pemeriksaan, Dirjen Pajak telah menyusun serangkaian pedoman teknik pemeriksaan pajak
dan dituangkan dalam Surat Edaran nomor SE-65/PJ/2013. Di antaranya adalah konfirmasi,
sampling, dan teknik lainnya.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
7
Tax Audit Coverage Ratio
Berdasarkan model yang dibuat oleh Allingham and Sandmo (1972) sebagaimana
telah dijabarkan sebelumnya, yang menjadi indikator kemungkinan terperiksanya wajib pajak
adalah Tax Audit Coverage Ratio (ACR). ACR adalah tingkat keterperiksaan Wajib Pajak
yang memiliki kewajiban penyampaian SPT.
Menurut Plumley (1996), melalui penelitian yang berjudul The Determinant of
Individual Income Tax Compliance, variabel utama dalam penegakan hukum untuk
meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak adalah tingkat ketercakupan pemeriksaan.
Dalam penelitian tersebut, disebutkan banyak observasi yang telah dilakukan selama dua
dekade sebelumnya sejak 1996 kepatuhan secara sukarela oleh wajib pajak tampaknya turun
seiring dengan penurunan ACR. Untuk itu pemerintah perlu mengendalikan pergerakan
tingkat ketercakupan pemeriksaan untuk membentuk persepsi wajib pajak akan kemungkinan
ketidakpatuhan terdeteksi.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini DJP, telah mempunyai misi untuk meningkatkan
nilai ACR menjadi 5% sejak tahun 2006 melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
19/PJ./2006. Tetapi ACR baru menjadi salah satu indikator dalam menilai efektivitas kinerja
pemeriksaan sejak tahun 2014 dalam rencana dan strategi pemeriksaan melalui Surat Edaran
Dirjen Pajak nomor SE-15/PJ/2014. DJP menargetkan ACR untuk tahun 2014 yaitu sebesar
5% untuk wajib pajak badan dan 0.1% untuk wajib pajak orang pribadi.
Penelitian yang membahas tentang ACR belum banyak dilakukan. Salah satu
penelitian terdahulu yang relevan dengan ACR adalah disertasi yang berjudul “The
Determinants of Individual Income Tax Compliance” oleh Plumley (1996) seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada teori. Pada penelitian ini, peneliti tidak menguji kebenaran dari
penelitian Plumley (1996) tersebut tentang hubungan antara ACR dengan kepatuhan wajib
pajak. Hubungan tersebut menjadi teori yang melatarbelakangi dari penelitian ini yaitu
membandingkan ACR berdasarkan wilayah dan sektor usaha dengan efektivitas pemeriksaan
khususnya dari sisi kepatuhan wajib pajak pada masing-masing wilayah dan sektor usaha.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan
tujuan untuk meningkatkan pengetahuan mendasar tentang sesuatu. Berdasarkan dimensi
waktu, penelitian ini merupakan cross sectional research yaitu menyandingkan data antara
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
8
tahun 2013-2014. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer yang bersumber dari wawancara dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam
kebijakan pemeriksaan dan pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa, dan data sekunder
yang bersumber dari skripsi, jurnal, dan buku yang relevan dengan pembahasan pada
penelitian ini.
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan beberapa metode yaitu penelitian
lapangan dan studi kepustakaan. Sampling yang digunakan pada penelitian ini tidak seperti
sampling yang digunakan dalam penelitian kuantitatif.
Wawancara pada penelitian ini dilakukan terhadap:
1. Yustinus Prastowo (Akademisi - Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Katholik
Atmajaya; Direktur Eksekutif CITA –Center of Indonesia Taxation Center) – R1
2. Night Li (Fungsional Pemeriksa Pajak di KPP Pratama Gambir; Trainer Diklat
Fungsional Pemeriksa Pajak) – R2
3. Sri Indriyanta (Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Orang Pribadi,
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP; Mitra Manajer Kerjasama Organisasi –
bagian Audit Coverage Ratio) – R3
Analisis Data dan Pembahasan
Dalam rangka pencapaian target pemeriksaan, Kepala Sub Direktorat Perencanaan dan
Pemeriksaan dan Tim menyusun ulang proses bisnis pemeriksaan dalam rangka peningkatan
fokus pemeriksaan yang lebih realistis dibandingkan dengan rencana dan strategi pemeriksaan
yang telah ditetapkan.
Gambar 1 merupakan ringkasan kegiatan yang dilaksanakan Dit.P2 yang dirancang
oleh Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan tim yaitu merupakan proses
bisnis dalam pengelolaan kegiatan pemeriksaan pajak di DJP melibatkan:
• Input bersumber dari: 1) bahan baku yang dipilih berdasarkan analisis data antara lain
data tax gap, diagram kepatuhan dan pengawasan atas wajib pajak; 2) Sumber Daya
Manusia yaitu fungsional pemeriksa pajak; dan 3) Peraturan perpajakan di bidang
teknis dan bidang pemeriksaan merupakan salah satu input dalam meningkatkan
standarisasi kualitas pemeriksaan. Jumlah fungsional pemeriksa pajak pada tahun 2013
dan 2014 berturut-turut adalah 4.192 (13% dari total pegawai DJP) dan 4.587 (12%
dari total pegawai pajak)
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
9
• Proses dalam pengelolaan pemeriksaan merupakan pelaksanaan pemeriksaan itu
sendiri. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audit tools, teknik
dan metode pemeriksaan, dan berdasarkan tata cara prosedur yang telah distandarisasi.
• Output
Output dari pemeriksaan adalah LHP dan Surat Ketetapan Pajak.
Gambar 1 Refine Proses Bisnis Pemeriksaan
Sumber: wawancara dengan narasumber
Analisis Tax Audit Coverage Ratio
Dari cara perhitungan yang diatur dalam rencana dan strategi (renstra) pemeriksaan
2014, ACR dihitung dengan membandingkan SKP yang diterbitkan sebagai indikator dari
jumlah Wajib Pajak yang diperiksa dengan SPT Tahunan (satu tahun pajak sebelum tahun
pajak dilakukannya perhitungan ACR) yang disampaikan sebagai indikator dari Wajib Pajak
yang wajib menyampaikan SPT Tahunan. Perhitungan ini berbeda dengan teori pada
umumnya yang membandingkan antara jumlah wajib pajak yang diperiksa dengan jumlah
wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT. Perbedaan ini karena ada perbedaan intensitas
antar jenis pajak yang diperiksa dan master file wajib pajak yang masih banyak terdapat data
yang bias.
Dari sejak ditetapkan tingkat ACR 5% pada tahun 2006, DJP tidak pernah
mencapainya. Termasuk pada tahun 2013 dan 2014, ACR tidak mencapai target sebesar 5%.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
10
Perbandingan ACR 2013 dan 2014 seperti pada Tabel 4.2 menunjukkan fokus
pemeriksaan pada tahun-tahun tersebut adalah wajib pajak badan. Hal ini menggambarkan
bahwa tingkat keterperiksaan wajib pajak badan lebih tinggi dibandingkan dengan orang
pribadi.
Tabel 2 ACR 2013 dan 2014
2014 2013
ACR Badan 4,65% 1,58%
ACR Orang pribadi 0,12% 0,03% sumber: Analisis Deskriptif Pemeriksaan 2013-2014 (telah diolah kembali)
Porsi jumlah wajib pajak badan hanya sekitar 8,3% sementara wajib pajak orang
pribadi 89,67%. Dengan denominator ACR (jumlah wajib pajak) yang begitu rendah, tetapi
kontribusi penerimaan pajak yang tinggi, adalah hal yang tepat untuk memfokuskan
pemeriksaan pada wajib pajak badan.
ACR berdasarkan wilayah yang dianalisa dari data yang bersumber dari Sistem
Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), terlihat bahwa untuk pemeriksaan wajib pajak
orang pribadi, kontribusi cakupan terbesar adalah dari Kanwil DJP Jawa Tengah I dan II yaitu
sebesar 10.41% dan 10.15% (total Jawa Tengah 20.56%) pada tahun 2013 dan sebesar 8.31%
dan 8.01% (total Jawa Tengah 16.32%) pada tahun 2014. Sementara jika jumlah pemeriksaan
kantor-kantor wilayah digabungkan berdasarkan provinsi, wilayah Jakarta kecuali Jakarta
Khusus memberikan kontribusi sebesar sekitar 20.01% pada tahun 2013 dan 17.18% pada
tahun 2014. Dengan demikian, Jakarta dan Jawa Tengah saja sudah memberikan kontribusi
pemeriksaan orang pribadi sebesar 40.57% pada 2013 dan 33.5% pada tahun 2014.
Pemeriksaan selama 2013 dan 2014 banyak difokuskan pada wilayah Jawa Tengah
dan Jakarta selain Jakarta. Selain karena jumlah penduduk Jawa Tengah yang cukup besar
yaitu sekitar 13.7% penduduk Indonesia dan perekonomian yang cukup maju yaitu
memberikan kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 8.23% pada tahun
2013. Sementara Jakarta dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar yaitu sebesar
3.85% penduduk Indonesia, perekonominya paling baik yaitu memberikan kontribusi PDRB
sebesar 16.57% pada tahun 2013, sehingga potensi pajak yang tergali dari kegiatan
pemeriksaan juga diharapkan tinggi.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
11
Sementara untuk pemeriksaan wajib pajak badan, kontribusi terbesar dari DKI Jakarta
yaitu 21.85% pada tahun 2013 dan 21.05% pada tahun 2014. Sementara untuk pulau Jawa,
kontribusi pemeriksaan pajak badan adalah sebesar 35.49% pada tahun 2013 dan 36.68%
pada tahun 2014. Dari data tersebut, pemeriksaan pajak badan pada tahun 2013-2014
difokuskan pada DKI Jakarta dan Pulau Jawa. Sama halnya dengan pemeriksaan pajak orang
pribadi, alasan pemeriksaan pajak yang fokus pada DKI Jakarta dan Pulau Jawa adalah karena
wilayah ini yang paling besar memberikan kontribusi PDB yaitu pada tahun 2013 sebesar
16.57% untuk DKI Jakarta dan 41.42% untuk pulau Jawa.
Untuk wilayah di luar DKI Jakarta dan pulau Jawa, kontribusi jumlah pemeriksaan
terbesar adalah Sumatera. Untuk pemeriksaan wajib pajak orang pribadi Sumatera
memberikan kontribusi sebesar 9.21% pada tahun 2013 dan 11.05% pada tahun 2014. Untuk
pemeriksaan wajib pajak badan Sumatera memberiksan kontribusi sebesar 15.56% pada tahun
2013 dan 15.50% pada tahun 2014. Jika dilihat dari PDRB tahun 2013, Sumatera memberikan
kontribusi sebesar 23.81% terhadap PDB secara nasional.
ACR berdasarkan jenis usaha dan dianalisas dari data yang bersumber dari SIDJP
dibagi berdasarkan kategori Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-321/PJ/2012 tentang Perubahan Atas Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 233/PJ/2012 Tentang Klasifikasi Lapangan Usaha
Wajib Pajak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan,
pemeriksaan yang paling banyak memberikan kontribusi jumlah pemeriksaan pajak adalah
sektor Jasa (orang pribadi), Perdagangan (orang pribadi dan badan), industri pengolahan
(badan) dan konstruksi (badan).
Analisis Efektivitas Pemeriksaan Pajak
Tabel 3 menggambarkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan selama tahun
2013 dan 2014
Tabel 3 Target dan Realisasi Penerimaan dari Kegiatan Pemeriksaan
Tahun Target
(triliun rupiah)
Realisasi
(triliun rupiah)
Pencapaian (%)
2014 24 24,723 103.01%
2013 18,462 21,265 115.18% Sumber: Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan DJP
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
12
Pada Tabel 3, terlihat persentase realisasi pemeriksaan pada 2013 lebih tinggi daripada
tahun 2014. Walaupun demikian, penerimaan pemeriksaan secara nominal mengalami
pertumbuhan pada tahun 2014, yaitu sebesar 16.26%. Selain rencana penerimaan dari
pembayaran atas surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan juga menghasilkan refund
discrepancy. Refund discrepancy merupakan nilai nominal restitusi yang tidak dikabulkan
oleh Dirjen Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan. Untuk refund discrepancy pada tahun 2013
sebesar Rp 5.2 trilyun dan pada tahun 2014 sebesar Rp 8.1 triliun.
Penerimaan dari kegiatan pemeriksaan dapat dirinci berdasarkan wilayah dan jenis
usaha. Penerimaan dari kegiatan pemeriksaan berdasarkan wilayah dan diolah dari data SIDJP
bahwa pemeriksaan selama 2013 - 2014 berpotensi pada wilayah Jakarta dan Jawa. Untuk
analisis penerimaan pemeriksaan berdasarkan wilayah ini, tidak diperhitungkan Kanwil
Khusus dan Wajib Pajak Besar karena wajib pajaknya tidak dikategorikan dalam wilayah
melainkan berdasarkan skala usaha. Sementara berdasarkan jenis usaha terlihat penyumbang
terbesar dari sisi pemeriksaan adalah pertambangan, industri pengolahan dan perdagangan
besar motor dan sepeda motor.
Efektivitas pemeriksaan pajak dari sisi kepatuhan
Kepatuhan yang akan dianalisis pada penelitian ini menggunakan indikator tax gap
yaitu tax ratio dan tax buoyancy ratio. Berdasarkan data yang diperoleh melalui Dit.P2 yang
merupakan hasil analisis Centre for Tax Analysis (CTA), tax buoyancy ratio dapat
digambarkan dengan Grafik 1.
Grafik 1 Tax Buoyancy Ratio 2011-2014
Sumber: CTA melalui Dit.P2
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
13
Secara umum, tax buoyancy Indonesia cukup menurun drastis selama tahun 2012 dan
2014. Selain faktor perekonomian yang sedang menurun, beberapa faktor lain terkait struktur
perpajakan layak untuk dikaji, misalnya seperti penerapan PP 46, penyesuaian PTKP,
registrasi ulang PKP dan penurunan batasan PKP. Sehingga tren penurunan tax buoyancy ini
bukan hanya akibat dari penurunan tingkat kepatuhan pajak tetapi juga ketidakefisienan
administrasi perpajakan.
Dari Grafik 4.3 secara umum, tax buoyancy beberapa sektor dominan mengalami
penurunan, kecuali jasa keuangan dan asuransi. Sektor Industri, konstruksi, real estate dan
pertambangan turun drastis pada tahun 2014, hanya sektor perdagangan yang tidak begitu
turun secara signifikan.
Sementara berdasarkan tax ratio, kepatuhan wajib pajak di Indonesia juga relatif
rendah. Tax ratio Indonesia pada tahun 2013 sebesar 11,86% dan pada tahun 2014 sebesar
11,4%. Namun tax ratio ini masih dapat diperkecil lagi dengan mengganti pembaginya
dengan potensi pajak yang seharusnya diterima. Perbandingan antara penerimaan pajak yang
berhasil dihimpun dengan potensi pajak disebut dengan tax coverage ratio.
Analisis Perbandingan Antara Tax Audit Coverage Ratio Dengan Efektivitas Pemeriksaan
Pajak
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disampaikan peringkat fokus pemeriksaan
dan peringkat penerimaan pemeriksaan pada Grafik 2. Grafik 2 diolah untuk peringat 7 besar
provinsi dengan kontribusi jumlah pemeriksaan pajak tertinggi. Dari tabel-tabel tersebut
terlihat adanya hubungan yang tidak konsisten antara fokus pemeriksaan dengan peringkat
penerimaan pemeriksaan pajak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya SKP dengan nilai yang
rendah dan banyaknya SKP yang tidak berhasil direalisasikan menjadi penerimaan melalui
pembayaran oleh wajib pajak.
Demikian halnya dengan perbandingan peringkat penerimaan dan peringkat ACR
berdasarkan KLU (Daftar Kategori KLU berdasarkan KEP-321/PJ/2012). Berdasarkan Grafik
3, tampak bahwa intensitas pemeriksaan yang tinggi pada suatu KLU tidak selalu
menghasilkan penerimaan pajak hasil pemeriksaan yang tinggi pula. Jika dilihat dari bentuk
grafik tersebut, kesenjangan yang lebar antara peringkat jumlah pemeriksaan dan penerimaan
pajak hasil pemeriksaan terjadi pada pemeriksaan WP Badan. Pada tahun 2014 penerimaan
pemeriksaan pajak badan dari KLU pertambangan dan penggalian menempati posisi pertama
sementara peringkat intensitas pemeriksaanya berada pada peringkat ke-6. Pada tahun 2013,
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
14
penerimaan pemeriksaan pajak badan dari KLU Jasa Keuangan dan Asuransi menempati
posisi pertama sementara peringkat intensitas pemeriksaannya berada pada peringkat ke-4.
Grafik 2 Perbandingan Peringkat Penerimaan dan Peringkat ACR Berdasarkan
Wilayah
Sumber: Diolah dari data SIDJP
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
15
Grafik 3 Perbandingan Peringkat Penerimaan dan Peringkat ACR Berdasarkan KLU
Sumber: Diolah dari data SIDJP
Untuk menganalisa hubungan ACR dengan kepatuhan berdasarkan wilayah, perlu
diketahui tingkat kepatuhan wilayah tersebut. Pada penelitian ini, analisa kepatuhan
berdasarkan wilayah menggunakan konsep tax ratio yaitu membandingkan antara penerimaan
pajak berdasarkan wilayah yang diperoleh dari aplikasi berbasis internet milik DJP yang
disebut dengan approweb, dengan PDRB yang diperoleh dari situs resmi Badan Pusat
Statistik.
Data data yang dihitung dengan membandingkan penerimaan per kanwil dengan
PDRB seperti konsep pada tax ratio. Dengan mengasumsikan tax ratio yang ideal adalah
seperti yang ditetapkan dalam APBN 2014, maka seharusnya tax ratio Indonesia adalah
12,4%. Selisih dari 12.4% tax ratio adalah tax gap yang dapat menggambarkan potensi dan
tingkat ketidakpatuhan dari suatu wilayah. 5 wilayah kerja Kanwil DJP dengan tingkat
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
16
potensi paling tinggi yaitu di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Riau dan Kepulauan
Riau, dan Kalimantan Timur dan Utara. Tetapi terlihat ACR pada tahun 2013 dan 2014 yang
telah dibahas sebelumnya, fokus pemeriksaan ada pada DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Dengan demikian terlihat bahwa pemeriksaan pajak
tahun 2013- 2014 sudah fokus pada beberapa wilayah dengan potensi yang tertinggi kecuali
Riau dan Kepualaun Riau, Kalimantan Timur dan Utara.
Berdasarkan analisa kepatuhan yang sudah dibahas sebelumnya, sektor-sektor yang
tax coverage ratio-nya masih rendah, berarti potensi penerimaan pajak yang belum dipenuhi
masih tinggi. Sektor yang masih tinggi potensi pajak yang belum diterima selama 2013 s.d.
2014 adalah sektor pertambangan dan penggalian, industri, dan konstruksi. Hal ini
merupakan indikasi bahwa sektor-sektor tersebut memiliki kepatuhan pajak yang rendah.
Namun sektor yang tinggi kontribusi ACR nya adalah perdagangan besar dan eceran; reparasi
dan perawatan mobil dan sepeda motor, industri pengolahan, dan konstruksi. Fokus
pemeriksaan tidak sejalan dengan potensi yang tersedia. Seharusnya perdagangan besar dan
eceran; reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor tidak mendapatkan konsentrasi
pemeriksaan yang begitu tinggi. Sebaliknya pertambangan dan penggalian seharusnya
diperiksa lebih intens lagi.
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas ACR
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas
ACR adalah:
1. Jumlah SDM Pemeriksa yang sedikit
Berdasarkan data yang bersumber dari analisis deskriptif pemeriksaan tahun 2013-
2014 jika diilustrasikan dengan asumsi semua wajib pajak diperiksa selama 5 tahun (sesuai
dengan daluarsa penetapan pajak) maka setiap pemeriksa harus memeriksa minimal 20% dari
jumlah WP/pemeriksa yaitu sebesar 1184 wajib pajak pada tahun 2013 dan 1221 pada tahun
2014. Bahkan jika mengikuti rencana ACR berdasarkan SE-19/PJ./2006 yaitu ACR sebesar
5%, maka setiap pemeriksa harus memeriksa 296 wajib pajak di tahun 2013 dan 306 wajib
pajak di tahun 2014.
2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pemeriksaan
Berdasarkan dijelaskan sebelumnya, untuk melakukan pengujian dalam rangka
pemeriksaan lapangan diberikan jangka waktu 6 bulan untuk pemeriksaan lapangan dan 4
bulan untuk pemeriksaan kantor. Jangka waktu pengujian ini dapat diperpanjang s.d. 2 bulan.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
17
Apabila dalam rangka pemenuhan target ACR 5% dengan asumsi semua pemeriksaan
dilakukan dengan pemeriksaan kantor dan dapat diselesaikan tepat waktu tanpa melakukan
perpanjangan jangka waktu pengujian, maka pemeriksa pajak harus menyelesaikan
pemeriksaan setiap 4 bulan sekali secara bersamaan sebanyak 99 wajib pajak pada tahun 2013
dan 102 wajib pajak pada tahun 2014. Padahal berdasarkan fakta yang terjadi pada tahun
2013, setiap pemeriksa berhasil menyelesaikan 15 pemeriksaan pada tahun 2013 dan 9
pemeriksaan pada tahun 2014. Tingkat penyelesaian pemeriksaan tepat waktu selama 2013
hanya sebesar 69% dan selama 2014 sebesar 67%. Artinya apabila setiap tahun melakukan
100 pemeriksaan, 31 di antaranya terlambat di tahun 2013 dan 33 terlambat di tahun 2014.
Sementara faktor yang mempengaruhi kualitas ACR adalah banyaknya pemeriksaan
yang dilakukan karena pelayanan dalam rangka pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan
kewajiban atau tujuan lain oleh wajib pajak yaitu pemeriksaan rutin dan tujuan lain.
Berdasarkan data yang bersumber dari Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan,
pemeriksaan rutin dan tujuan lain sudah mendominasi pemeriksaan selama tahun 2013 dan
2014. Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang harus dilakukan oleh DJP tanpa melihat
potensi dan risiko ketidakpatuhan. Sehingga untuk DJP menyalurkan sumber daya
pemeriksaannya pada sektor-sektor dan wilayah yang berpotensi atau berisiko memiliki batas
dengan memperhatikan beban kerja tenaga pemeriksa.
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Pemeriksaan pajak sebagai bagian dari kegiatan DJP dalam usaha peningkatan
penerimaan pajak diberikan target atas dasar ukuran-ukuran kuantitatif.
2. Sampai dengan saat ini, DJP belum dapat mencapai target ACR sebesar 5% seperti
yang diamanatkan sejak tahun 2006 melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
19/PJ./2006 yang kemudian dijadikan pengukuran kinerja pemeriksaan berdasarakan
15/PJ/2014
3. Selama 2013-2014, ACR difokuskan pada wajib pajak Badan
4. Selama tahun 2013 dan 2014, pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP dinilai
efektif dari sisi target penerimaan hasil pemeriksaan pajak namun kurang efektif dari
sisi peningkatan kepatuhan pajak berdasarkan tax ratio dan tax buoyancy ratio.
5. Berdasarkan wilayah, selama 2013 dan 2014, ACR tinggi pada wilayah Jakarta dan
Pulau Jawa. Di luar Jakarta dan Pulau Jawa, Riau/Kepulauan Riau dan Sumatera Utara
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
18
yang tingkat ACR nya tinggi. Hal ini terlihat sejalan dengan kontribusi wilayah dalam
PDB.
6. Berdasarkan Jenis Usaha, sektor yang memberiksan kontribusi besar dalam ACR
adalah jasa lain orang pribadi, industri pengolahan, konstruksi, dan Perdagangan Besar
dan Eceran; Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor.
7. Dari sisi penerimaan yang dihasilkan kegiatan pemeriksaan, wilayah yang Kantor
Wilayah DJP-nya berkontribusi besar dalam ACR memberikan kontribusi penerimaan
hasil pemeriksaan yang besar juga. Wilayah tersebut adalah Jakarta, Jawa, dan
Sumatera. Tetapi berdasarkan jenis usaha, sebagian jenis usaha yang berkontribusi
besar dalam ACR tidak menunjukkan kontribusi hasil penerimaan dari kegiatan
pemeriksaan yang signifikan.
8. Pemeriksaan pajak selama 2013-2014 sudah fokus pada wilayah dengan potensi
ketidakpatuhan perpajakan yang tinggi kecuali untuk Riau dan Kepulauan Riau dan
Kalimantan Timur dan Utara.
9. Permasalahan yang terjadi pada pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP adalah
kurangnya kapasitas DJP untuk mengarahkan pemeriksaan pajak.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan, peneliti dengan segala keterbatasan
penelitian, memberikan saran untuk DJP dalam pelaksanaan pemeriksaan, khususnya untuk
mencapai target ACR yang baik dan dalam rangka meningkatkan penerimaan dan kepatuhan
pajak, yaitu:
1. Melakukan penelitian tentang analisis komposisi PDB sektoral dalam batasan wilayah
dan jenis usaha untuk memproyeksikan potensi perpajakan yang seharusnya diterima
dari sektor-sektor tersebut.
2. Meningkatkan analisis atas risiko dan potensi perpajakan sektoral dalam rangka
pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa.
3. Pemeriksaan rutin dan wajib pajak kecil dialihkan ke petugas dengan kompetensi
tertentu yang diberikan wewenang memeriksa untuk menambah sumber daya manusia,
dan memfokuskan fungsional pemeriksa pajak untuk pemeriksaan khusus yang lebih
memberikan efek penggentar dan potensi pajak yang besar.
4. Meningkatkan efisiensi pemeriksaan pajak, salah satunya dengan meningkatkan
kualitas audit plan, dan peningkatan kualitas pertukaran data melalui konfirmasi
dengan pihak ketiga
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
19
5. Memfokuskan dan memperluas cakupan (ACR) pemeriksaan pajak pada sektor-sektor
yang masih tinggi risiko dan potensi perpajakannya.
Daftar Referensi
Allingham, M.G.,& Sandmo, A. (1972). Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis.
Journal of Public Economics 1 (1972), 323-338
Alm, J., Jackson, B.R., & McKee,M. (2004). Audit Information Dissemination, Taxpayer
Communication And Tax Compliance: An Experimental Investigation Of Indirect Audit
Effects. Minneapolis: 97th Annual Conference of the National Tax Association.
Anciūtė,A.,& Kropienė, R.(2010). The Model Of Tax Evasion Its Corrrrections And
Coherence To The Practical Tax Administration. Ekonomika Vol. 89(4), 49-65
Birskyte, L. (2013). Effect of Tax Auditing : Does The Deterrent Deter? Research Journal of
Economic and ICT.
Bernasconi, M. (1997). Tax evasion and orders of risk aversion. Journal of Public Economics
67, 123-134
Devos, Ken.(2004). Penalties and Sanctions for Taxation Offences in Anglo Saxon Countries
: Implications for Tax Payer Compliance and Tax Policy. Revenue Law Journal, 14, 32-91.
Direktorat Jenderal Pajak. (2011). Laporan Tahunan 2010 Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (2012). Laporan Tahunan 2011 Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (2013). Laporan Tahunan 2012 Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (2014). Laporan Tahunan 2013 Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak.
Lethbridge, C. (2013). Detailed Guidelines for Improved Tax Administration in Latin America
and the Caribbean.Amerika Serikat: Deloitte Consulting LLP
Murray, M.N. (1995). Sales Tax Compliance And Audit Selection. National Tax Journal
Vol.48, No.4, 515-530
Plumley. A.H. (1996). The Determinants of Individual Income Tax Compliance. Washington,
DC: Internal Revenue Service
Rosemarie A. Rhines, Scott M. Bennett and Silke Bacht. (2003). Tax Audits in Germany: a
Primer and a Plan. The International Lawyer, 997-1008.
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
20
Tagkalakis, A. O. (2015). Estimating The Elasticity Of Personal Income Tax To Gross
Earnings From. Public Finance and Management, 47-64.
The World Bank.(2011). Risk-Based Tax Audits: Approach and Country Experiences.
Washington DC: The World Bank.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
-----------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan
Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
-----------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.
-----------, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 19/PJ/2006 tentang Penataan Ulang
Fungsi Pemeriksaan Pajak.
-----------, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 65/PJ/2013 tentang Pedoman
Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan.
-----------, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 28/PJ/2013 tentang Kebijakan
Pemeriksaan.
-----------, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 65/PJ/2013 tentang Pedoman
Penggunaan Metode Dan Teknik Pemeriksaan.
-----------, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 11/PJ/2013 tentang Rencana dan
Strategi Pemeriksaan Tahun 2013.
-----------, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ/2014 tentang Rencana dan
Strategi Pemeriksaan Tahun 2014.
Direktorat Jenderal Anggaran. (2015, April 07). Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Retrieved from http://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/budget-brief-apbn-p-2015
OECD (2004). Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance.
Paris: OECD Publishing
OECD (2006). Strengthening Tax Audit Capabilities: General Principles and Approaches.
Paris: OECD Publishing
Analisis tax ..., Freddy S, FEB UI, 2016
top related