analisisanalisis keadaan mantapkeadaan mantapkeadaan ... · kanan yang menyatakan bahwa: jika kawat...
Post on 29-May-2019
256 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ii
Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian
Sudaryatno Sudirham
Darpublic
Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian SiSiSiSistemstemstemstem TenagaTenagaTenagaTenaga AnalisisAnalisisAnalisisAnalisis Keadaan MantapKeadaan MantapKeadaan MantapKeadaan Mantap
i
Analisis Keadaan Mantap
Rangkaian Sistem Tenaga
oleh
Sudaryatno Sudirham
ii
Hak cipta pada penulis, 2011
SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Oleh Sudaryatmo Sudirham
Darpublic, Bandung
arst-711
edisi Juli 2011
http://www.ee-cafe.org
Alamat pos: Kanayakan D-30, Bandung, 40135.
Fax: (62) (22) 2534117
iii
Daftar Isi
Daftar Isi iii
Pengantar v
Bab 1: Rangkaian Magnetik 1
Hukum-Hukum. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik.
Rugi-Rugi dalam Rangkaian Magnetik. Gaya Magnetik.
Induktor.
Bab 2: Transformator 25
Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.
Diagram Fasor. Rangkaian Ekivalen. Impedansi Masukan.
Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi
Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada
Sistem Tiga Fasa.
Bab 3: Mesin Sikron 45
Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris.
Rangkaian Ekivalen
Bab 4: Motor Asinkron 65 Konstruksi Dan Cara Kerja. Rangkaian Ekivalen.
Penentuan Parameter Rangkaian. Torka.
Bab 5: Pembebanan Seimbang – Sistem Polifasa 85
Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban.
Daya Pada Sistem Tiga Fasa Seimbang. Model Satu Fasa
Sistem Tiga Fasa Seimbang. Sistem Enam Fasa Seimbang.
Bab 6: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Waktu) 99
Sinyal Nonsinus. Elemen Linier Dengan Sinyal Nonsinus.
Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi. Pembebanan
Nonlinier Dilihat Dari Sisi Beban. Pembebenan Nonlinier
Dilihat Dari Sisi Sumber. Kasus Penyearah Setengah
Gelombang. Perambatan Harmonisa. Ukuran distorsi
Harmonisa.
Bab 7: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Fasor) 131
Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai
Efektif. Sumber Tegangan Sinus Dengan Beban Nonlinier.
Contoh-contoh Perhitrungan. Transfer Daya. Kompensasi
Daya Reaktif.
iv Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Bab 8: Pembebanan Nonlinier Sistem Tiga Fasa dan Dampak
Pada Piranti 163
Komponen Harmonisa Pada Sistem Tiga Fasa. Relasi
Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber
dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke
Beban. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis. Dampak
Harmonisa Pada Piranti.
Bab 9: Pembebanan Tak Seimbang 199
Pernyataan Komponen Simetris. Mencari Komponen
Simetris. Impedansi dan Rangkaian Urutan. Daya Pada
Sistem Tak Seimbang. Sistem Per-Unit. Sistem Tiga Fasa
Dalam Per-Unit.
Bab 10: Saluran Transmisi 215
Resistansi. Induktansi. Impedansi dan Transposisi.
Admitansi dan Transposisi.
Bab 11: Rangkaian Ekivalen 241
Persamaan Saluran Transmisi. Rangkaian Ekivalen π.
Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Kinerja saluran Transmisi.
Pembebanan Saluran Transmisi. Batas Thermal. Tegangan
dan Arus di Ujung Kirim. Pembebanan Maksimum.
Diagram Lingkaran.
Pustaka 267
Indeks 269
Biodata 271
v
Pengantar
Buku ini berisi analisis rangkaian piranti-piranti dalam sistem tenaga
listrik yang berada dalam keadaan mantap, dengan pembebanan
seimbang, non-linier, maupun pembebanan tak-seimbang. Pembahasan
akan diawali dengan analisis rangkaian magnetik yang menjadi dasar
dibangunnya mesin-mesin konversi energi elektrik. Analisis rangkaian
magnetik ini disusul dengan pengenalan pada mesin-mesin konversi
energi mencakup transformator, mesin sinkron, dan mesin asinkron.
Setelah mesin-mesin konversi, pembahasan dilanjutkan dengan sistem
banyak-fasa dengan pembebanan seimbang. Masih dalam keadaan
seimbang, pembahasan berikutnya adalah mengenai pembebanan
nonlinier; pokok bahasan pembebanan nonlinier mencakup tinjauan di
kawasan waktu, tinjauan di kawasan fasor pada sistem satu fasa dan tiga
fasa, serta dampak harmonisa pada piranti. Pembahasan berikutnya
adalah mengenai pembebanan tak-seimbang yang diawali dengan
bahasan tentang komponen simetris, rangkaian urutan, serta penggunaan
sistem per-unit; selanjutnya adalah bahasan mengenai saluran transmisi
yang mencakup parameter saluran transmisi seperti impedansi,
admitansi, impedansi karakteristik, disusul dengan persamaan saluran
transmisi, rangkaian ekivalen dan pembebanan saluran transmisi.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat
penulis harapkan.
Bandung, 26 Juli 2011.
Wassalam,
Penulis.
vi Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
<< La plus grande partie du savoir humain
est déposée dans des documents et des livres,
mémoires en papier de l’humanité.>>
A. Schopenhauer, 1788 – 1860
dari
Mini-Encyclopédie, France Loisirs
ISBN 2-7242-1551-6
1
BAB 1
Rangkaian Magnetik Rangkaian magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan
listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang
bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik
yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita
akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian
magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.
Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa
hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian
magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum
Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua
hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,
yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun
demikian, kita tidak akan membahas mengenai material magnetik itu
sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang kita perlukan
dalam kaitannya dengan pembahasan peralatan listrik. Kita juga hanya
akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak lama
digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.
1. 1. Hukum-Hukum
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :
dt
de
λ−= (1.1)
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan
mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1.1)
menjadi
2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
dt
de
φ−= (1.2)
Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.
Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan
percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai
timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.
Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai
2
21 II
r
lF
πµ
= (1.3)
dengan I1 dan I2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah
panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua
konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh
medium dimana kedua kawat tersebut berada.
Arus I2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit
di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah
r
IB
2
2
π
µ= (1.4)
Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.
Savart. Dengan (4), maka (3) menjadi lebih sederhana yaitu
1BlIF = (1.5)
Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika
kawat ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5)
menjadi
θ= sin1BlIF (1.6)
Secara umum (1.6) dapat ditulis
)( θ= fIBKF B (1.7)
dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan KB
adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti
3
misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter2];
hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
Menurut (1.5), satuan B adalah : ][][
][][
meteramp
newtonB
×=
sedangkan ][
]detik[ ][ ][
][
]detik].[[][
meter
ampvolt
meter
watt
panjang
energinewton ===
sehingga ][
][
][
]detik[ ][
][ ][
]detik[ [amp] ][][
222 meter
weber
meter
volt
meteramp
voltB === .
Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan
[weber/m2] atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan
kanan yang menyatakan bahwa: jika kawat yang dialiri arus digenggam
dengan tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka
arah B adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang
menggenggam kawat tersebut.
Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium tempat kedua
konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk ruang
hampa, permeabilitas ini adalah
70 104 −×π=µ (1.8)
dengan satuan ][
][
meter
henry. Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
][
][
][ ][
]detik[ ][
][ ][
]detik[ ][ ][
][
][][
220meter
henry
meteramp
volt
meteramp
ampvolt
amp
newton====µ
karena ][ ][
]detik[ ][henry
amp
volt= yaitu satuan induktansi.
Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan
sebagai
0µ×µ=µ r (1.9)
dengan µr adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan
antara permeabilitas medium terhadap vakum.
4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian
magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik
yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada
mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam
medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas
medan magnetik , yaitu
µ≡
BH (1.10)
dengan satuan ][
][
]/[][
][ ]/[][][
2 meter
amp
ampnewton
meterampnewtonH == .
Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung
dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan
bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh
belitan yang terdiri dari banyak lilitan.
Hukum Rangkaian Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik
Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan
magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang
membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai
mFHdl =∫ (1.11)
Fm dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut
magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan
jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang
tertutup.
Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk
perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi
magnit adalah L, maka total Fm yang diperlukan untuk membangkitkan
fluksi tersebut adalah
LL µ
==B
HFm (1.12)
Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang
luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah
BA=φ (1.13)
5
dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh
µφ==
AHFm
LL (1.14)
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,
karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.
Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan
ℜ=
µ=φ m
m
FF
A
L (1.15)
Pada (1.15) ini, Fm merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya
fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran ℜ yang kita
sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan
Aµ=ℜ
L (1.16)
Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian
magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini
dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.
Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.
1.2. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik
Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya
melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua
kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan
(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ
apabila geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui
(permasalahan ini kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus
mengetahui fluksi gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang
dikendalikan oleh lebih dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat
perhitungan-perhitungan rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.
6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material
ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnet yang
terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.
Material a adalah besi nikel
(nickel iron) dengan panjang
rata-rata La = 0.4 m. Material b
adalah baja silikon (medium
silicon sheet steel) dengan
panjang rata-rata Lb = 0.2 m.
Kedua bagian itu mempunyai
luas penampang sama, yaitu 0.001 m2. a). Tentukan Fm yang
diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ= 6×10−4
weber. b).
Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi
tersebut tercapai.
Penyelesaian :
Untuk memperoleh Fm total yang diperlukan kita aplikasikan hukum
rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.
bbaabmamtotalm HHFFF LL +=+=
Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10−4
weber,
sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi
kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu
tesla6.0001.0
0006.0==
φ==
ABB ba
Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material
memerlukan intensitas medan yang berbeda. Besarnya intensitas
medan yang diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masing-
masing material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva
B-H yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1 di
halaman berikut.
Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh
AT/m 65 diperlukan tesla6.0untuk : Material
AT/m 10 diperlukan tesla6.0untuk : Material
==
==
bb
aa
HBb
HBa
Dengan demikian Fm total yang diperlukan adalah
AT 172.0654.010LL =×+×=+= bbaatotalm HHF
+
− E
R
Lb La
7
b). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus
mengalir di belitan untuk memperoleh Fm total sebesar 17 AT adalah
A 17.0100
17==I
Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material magnetik.
Pemahaman :
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karak-
teristik B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan
kurva B-H Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak
linier. Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besarnya
permeabilitas masing-masing material, kita dapat menghitungnya
sebagai berikut.
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik
operasi ini adalah
7340104
0092.0rhenry/mete 0092.0
65
6.0
47740104
06.0rhenry/mete 06.0
10
6.0
70
70
=×π
=µ
µ=µ→===µ
=×π
=µ
µ=µ→===µ
−
−
bbr
b
bb
aar
a
aa
H
B
H
B
0
0.25
0.5
0.75
1
1.25
1.5
1.75
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Nickel-iron alloy , 47%
Medium silicon sheet
steel
Soft steel casting
Cast iron
H [ampre-turn / meter]
B
[tes
la]
8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a
dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu
21670001.06.0
13 ; 6670
001.06.0
4 ≈×
=φ
=ℜ≈×
=φ
=ℜ bmb
ama
FF
Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,
reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik
yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar
28340216706670 =+≈ℜ+ℜ=ℜ batot .
Untuk meyakinkan, kita hitung balik besarnya fluksi magnet
weber10628340
17 4 −×==ℜ
=φtot
totalmF
dan ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam
persoalan ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnet yang
dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri
pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah
reluktansi yang diserikan.
CO&TOH-1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh-1.1. di atas,
berapakah fluksi magnet yang akan dibangkitkan bila arus pada
belitan dinaikkan menjadi 0.35 A ?
Penyelesaian :
Dengan arus 0.35 A, Fm total menjadi
Untuk menghitung besarnya fluksi yang terbangkit, kita perlu
mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari
masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena
untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui Fm dan B
untuk masing-masing bagian sedangkan untuk menghitungnya perlu
diketahui besarnya fluksi φ yang justru ditanyakan.
Dari apa yang diketahui, yaitu Fm total dan ukuran toroid, kita
dapatkan hubungan
4.0
2.035 352.04.0LL
bababbaatotalm
HHHHHHF
−=⇒=+=+=
Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0.001
m2, maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita
mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-
AT 3535.0100 =×=totalmF
9
H. Kita perkirakan suatu nilai Hb dan menghitung Ha, kemudian kita
mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai Ha dan Hb ini terdapat
Ba = Bb . Jika tidak, kita koreksi nilai Hb dan dihitung lagi Ha dan
dilihat lagi apakah Ba = Bb. Jika tidak dilakukan koreksi lagi, dan
seterusnya sampai akhirnya diperoleh Ba ≈ Bb.
Kita mulai dengan Hb = 100 AT yang memberikan Ha = 37.5. Kedua
nilai ini terkait dengan Bb = 0.75 dan Ba = 0.9 tesla. Ternyata Ba ≠
Bb. Kita perbesar Hb agar Ha mengecil dan akan menyebabkan Bb
bertambah dan Ba berkurang. Pada nilai Hb = 110 AT, maka Ha =
32.5; dan terdapat Bb = 0.8 dan Ba = 0.85 tesla. Kita lakukan koreksi
lagi dan akan kita dapatkan Ba ≈ Bb ≈ 0.825 pada nilai Hb = 125 dan
Ha = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah
weber.1025.8001.0825.04−×=×=×=φ AB
Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika
kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini
dapat dianggap memadai.
Pemahaman :
Jika kita bandingkan hasil pada contoh-1.1. dan 1.2. maka akan
terlihat hal berikut.
Contoh-1.1 :
weber106 tesla6.0 A 17.04−×=φ→=→= BI
Contoh-1.2 :
weber1025.8 tesla825.0 A 35.0 4−×=φ→=→= BI
Menaikkan arus belitan menjadi dua kali lipat tidak menghasilkan
fluksi dua kali. Hal ini disebabkan oleh karakteristik magnetisasi
material yang tidak linier.
10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf
yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0.0014 weber
di “kaki” sebelah kanan. Rangkaian magnetik ini mempunyai luas
penampang sama yaitu 0.002 m2, kecuali “kaki” tengah yang
luasnya 0.0008 m2. Material yang digunakan adalah medium silicon
steel.
Penyelesaian :
Rangkaian magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu
efab dengan reluktansi ℜ1;
be dengan reluktansi ℜ2 dan
bcde dengan reluktansi ℜ3.
Rangkaian ekivalen dari rangkaian magnetik ini dapat digambarkan
seperti di bawah ini.
Fluksi yang diminta di kaki kanan adalah φ3 = 0.0014 weber. Karena
dimensi kaki ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung,
yaitu
tesla7.0002.0
0014.03 ==B .
Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi
ini memerlukan H3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan
adalah
Fm
ℜ1
ℜ2 ℜ3
0.15 m 0.15 m
0.1
5 m
a b c
d e f
11
AT 36)15.03(80L33=××=×= bcdem HF
Rangkaian ekivalen memperlihatkan bahwa ℜ2 terhubung paralel
dengan ℜ3. Hal ini berarti bahwa Fm3 juga harus muncul pada ℜ2,
yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain Fm2 = Fm3. Dengan
demikian kita dapat menghitung H2.
AT/m 2400.15
36
L
F
L be
m322 ====
be
mFH
Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H2 ini
tesla125.12 =B .
Luas penampang kaki tengah adalah 0.0008 m2. Maka
weber0009.00008.0125.10008.022 =×=×=φ B
Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah
weber0023.00009.00014.0321 =+=φ+φ=φ
Luas penampang kaki kiri adalah 0.002 m2, sama dengan kaki
kanan. Kerapatan fluksinya adalah
tesla1.15002.0
0023.0
002.0
11 ==
φ=B
Dari kurva B-H, untuk B1 ini diperlukan AT/m 2401 =H , sehingga
AT 108)15.03(240L11=××=×= efabm HF
Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar
0.0014 weber di kaki kanan adalah
AT 1803636108321=++=++= mmmmtot FFFF
12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada Contoh-1.3. jika
kaki tengah ditiadakan?
Penyelesaian :
Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian
magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ=φ3=0.0014
weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama
karena luas penampangnya sama, yaitu
tesla7.0002.0
0014.03 === BB
Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang
diperlukan adalah
AT 72)15.06(80L =××=×= abcdefam HF
Pemahaman :
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas
penampangnya ?
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi
kerapatan fluksi di kaki ini sebab Fm3 tetap harus muncul di kaki
tengah. H2 tak berubah, yaitu H2 = Fm3/Lbe = 240 AT/m dan B2 juga
tetap 1.125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ2 akan
bertambah sehingga φ1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan naik-
nya B1 yang berarti naiknya H1 sehingga Fm1 akan bertambah pula.
Dengan demikian Fm total akan lebih besar. Penjelasan ini
menunjukkan seolah-olah kaki tengah berlaku sebagai “pembocor”
fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar mmf yang diperlukan.
1.3. Rugi-Rugi Dalam Rangkaian Magnetik
Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani
dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif
dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat
kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan
magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H
membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop
histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan
membahas akibat dari karakteristik material seperti ini dalam rekayasa.
13
Loop histerisis ini menunjukkan bahwa untuk satu nilai H tertentu
terdapat dua kemungkinan nilai B. Dalam memecahkan persoalan
rangkaian magnetik pada contoh-contoh di sub-bab 1.2. kita
menggunakan kurva B-H yang kita sebut kurva B-H normal atau kurva
magnetisasi normal, dimana satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai
B, yaitu kurva B-H pada Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan
sebesar ± 5 % masih dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H
normal karena sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal,
melainkan tergantung dari riwayat magnetisasi material.
Perhatikan integrasi :
bdcbHdBabdaHdBc
b
b
a
B
B
B
B bidang luas ; bidang luas == ∫∫
dan satuan dari HB :
332.][
meter
joule
meter
meternewto
meter
newton
meterampre
newton
meter
ampereHB =
⋅==×=
Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang
abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.
Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B
naik, atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia
menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas
bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan
magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.
H [AT/m]
B [tesla]
Gb.1.2. Loop histerisis.
a
b
c
d
e
0
14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda.
Ini berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari
kerapatan energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan
digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang
diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)
sehingga disebut rugi energi histerisis.
Analisis di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu
siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari
loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas
loop histerisis) kita sebut wh , dan jumlah siklus per detik (frekuensi)
adalah f , maka untuk material dengan volume v m3 besar rugi energi
histerisis per detik atau rugi daya histerisis adalah
[watt] v ikdet
v fwjoule
fwP hhh =
= (1.17)
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai
)( v nmhh BKfP = (1.18)
dengan Bm adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai
antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. Kh adalah konstanta
yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon
sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.
Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain
rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.
Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet.
Jika material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan
rugi arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus
pusar kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material
magnetik yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi
arus pusar adalah
watt v 222e τ= me BfKP (1.19)
dengan Ke = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi
(Hz); Bm = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume
material.
Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari
frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu
15
frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama
disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur
rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.
1.4. Gaya Magnetik
Energi yang tersimpan dalam
medan magnetik dapat
digunakan untuk melakukan
kerja mekanik (misalnya
menarik tuas rele). Untuk
mempelajari bagaimana gaya
ini dapat timbul, kurva B-H
normal yang tidak linier
seperti terlihat pada Gb.1.3.a,
kita dekati dengan suatu
kurva linier seperti pada
Gb.1.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H1, maka B naik dari 0 ke B1.
Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam
material, dan besarnya adalah
311 joule/m
2
1HBw f =
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar
3joule/m
2
1BHw f = (1.20)
Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi
kurva B-H.
Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi
joule 2
1L))((
2
1L
2
1mFHBABHAW φ=== (1.21)
Antara fluksi φ dan Fm terdapat hubungan φ = Fm / ℜ , sehingga (1.21)
dapat juga dituliskan
Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.
H H
B B
a) b)
H1 0
a b B1
16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
joule 2
1
2
1
2
1 22
ℜφ=ℜ
=φ= mm
FFW (1.22)
Untuk memahami timbulnya gaya magnetik, kita lakukan percobaan
dengan suatu rangkaian magnetik yang terdiri dari tiga bagian yaitu
gandar, celah udara, dan jangkar, seperti terlihat pada Gb.1.4. Rangkaian
ini dicatu oleh sumber tegangan Vs
yang diserikan dengan resistor variabel
R. Luas penampang gandar sama
dengan luas penampang jangkar. Untuk
suatu kedudukan jangkar tertentu,
dengan Vs dan R tertentu, terjadi
eksitasi sebesar Fm yang akan membuat
simpanan energi dalam rangkaian
magnetik ini sebesar
( )jjuuggW ℜφ+ℜφ+ℜφ= 222
2
1(1.23)
Indeks g, u, dan j berturut-turut
menunjukkan gandar, udara dan
jangkar. Karena ketiga bagian
rangkaian terhubung seri maka jika penyebaran fluksi di bagian pinggir
di celah udara diabaikan fluksi di ketiga bagian tersebut akan sama.
Kerapatan fluksi juga akan sama di ketiga bagian tersebut. Dengan
demikian maka persamaan (1.23) dapat kita tulis
( ) totaljugW ℜφ=ℜ+ℜ+ℜφ= 22
2
1
2
1 (1.24)
Besar reluktansi total adalah
AAA
u
j
j
g
gtotal
0
LLL
µ+
µ+
µ=ℜ (1.25)
Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas
material menjadi konstan.
Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µg dan µj dianggap
konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ0 .
x
Gb.1.4. Rangkaian
magnetik dengan jangkar
gandar
jangkar
Lg
Lj
+
− Vs
R
17
Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan
menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus
catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (Fm+∆Fm) dan simpanan energi
pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan
energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆Fm
tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu
gandar, jangkar dan celah udara.
Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan
semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi
kembali menjadi Fm dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan
sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan
menyebabkan reluktansi ℜu menurun sehingga secara keseluruhan ℜtot
juga menurun. Menurunnya ℜtot akan memperbesar fluksi karena eksitasi
Fm dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam
rangkaian magnetik bertambah.
Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini
berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada
percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan
masukan, yaitu ∆Fm . Pada percobaan ke-dua, Fm dipertahankan tetap.
Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah
dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan
tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita
dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah
menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial
jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian
magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.
Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), Fx adalah gaya mekanik
pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar
adalah
dxFdW xj = (1.26)
Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.
Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka
dWdxFdWdxFdWdW xxj −=→=+=+ 0 (1.27)
Karena Fm kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)
bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh
18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
( )dx
d
dx
dFF
dx
dF
FddWdxF
tottot
tot
mtotmx
totmx
ℜφ−=
ℜ
ℜ−=ℜ−=→
ℜ−=−=
−
−
2
2
212
12
2
1
2
1
2
1
) (2
1
(1.28)
Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang
memanfaatkan gaya magnetik.
1.5. Induktor
Perhatikan rangkaian
induktor (Gb.1.5).
Apabila resistansi belitan
dapat diabaikan, maka
menurut hukum
Kirchhoff
dt
diLevev
f==→=+− 1111 0 (1.29)
Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari
sumber v1 dan beban induktor L. Tegangan e1 adalah tegangan jatuh
pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis
rangkaian listrik.
Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti
induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).
Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan
oleh arus if. Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi
pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.
dt
det
φ−= 1 (1.30)
Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi et harus
mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian
tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi
lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan
kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e1 pada Gb.1.5. Jadi
Gb.1.5. Rangkaian induktor.
φ ≈ +
e1
−
1
if
+
v1
−
19
tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas et sedangkan
nilai et tentulah sama dengan tegangan jatuh e1. Jadi
dt
diLe
dt
de
ft ==
φ= 11 (1.31)
Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi
mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor dapat kita
gunakan untuk melakukan analisis pada sistem ini, yang merupakan
gabungan dari rangkaian listrik dan rangkaian magnetik. Jika resistansi
belitan diabaikan, persamaan (1.29) dan (1.31) dapat kita tulis dalam
bentuk fasor sebagai
LjjLj ftf IEEIE ω==Φω=ω= 111 ; (1.32)
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.
Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi
dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan
adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi
yaitu Iφ sama dengan If.
Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada
pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti
menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar
γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.
dimana arus magnetisasi fI mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan
ini, fI dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu φI yang
Gb.1.6. Diagram fasor induktor
a). ideal
Φ Φ
b). ada rugi-rugi inti
γ
c). ada resistansi belitan
Φ
θ
tEE =1 tEE =1 tEE =1
Rf 1I
1V fI
fI f φ= II φI φI
cIcI
20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
diperlukan untuk membangkitkan φ, dan cI yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi φ+= III cf .
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E1 akan
memberikan rugi-rugi inti
watt)90cos(o
11 γ−== fcc IEEIP (1.33)
Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V1 ≠ E1 . Misalkan
resistansi belitan adalah R1 , maka
111 RfIEV += (1.34)
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu.
Jadi θ=+=+= cos112
ffccucin IVRIPPPP (1.35)
dengan V1 dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.
CO&TOH-1.5: Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.
Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.
Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum
fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari
1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya?
Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka
weber00108,0602400
2115
1152
111
=×π×
=Φ⇒
=Φω
→=
maks
maksVE
Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka
.cm 9m 1,2
00108,0
2,1 12
22 ==Φ
≥⇒≤Φ maksmaks A
A
Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah
ℜ=
µ=φ m
m
FF
A
L.
21
Dengan mengabaikan fluksi bocor, iFm = dan jika φ ini
dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh
dt
diL
dt
dii
dt
d
dt
d
fff=
ℜ=
ℜ=
φ 211
11
sehingga
µ=
ℜ=
L 2
1
21 A
L (1.36)
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah
dt
dii
dt
d
dt
de
ff
ℜ=
ℜ=
φ= 121
222 (1.37)
Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita
tahu dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama
bahwa
dt
diM
dt
diM
dt
diLe
ff=+= 2
22
sehingga kita peroleh induktansi bersama
µ=
ℜ=
L 12
12 A
M (1.38)
Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat
kita analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan
mengaplikasikan hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan
persamaan (1.29). Kita dapat pula memandangnya sebagai rangkaian
magnetik dan mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik
yang berubah terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi if)
menimbulkan tegangan induksi pada belitan.
22 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-1.6: Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti
udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan
dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.
Penyelesaian :
Induktansi:
H 106,981
)4/10()104(10
L
647
621
21 −
−−×=
π××π=
µ=
ℜ=
A
L
Resistansi :
Ω=××π
×π×Ω×=ρ=
−
−− 77,2
4/)105,0(
101000]m.[100173,0
23
26
A
lR
CO&TOH-1.6: Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan
140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai
reluktansi 160000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan
fluksi bocor.
Penyelesaian : Induktansi bersama :
H 1,1094,1160000
140125012 ≈=×
=ℜ
=
M
CO&TOH-1.7: Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai
1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%
fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi
kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan
membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masing-
masing kumparan dan induktansi bersama.
Penyelesaian :
Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan
1000 maka reluktansi dapat dihitung
8
310
1005,0
51000=
×
×=ℜ
−
Induktansi masing-masing
23
mH. 10H 1010
1000 2
8
22
===ℜ
= −L
Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah
88
10667,16,0
10
6.0×==
ℜ=ℜM
Induktansi bersama
mH 6 H 106,010667,1
10001000 2
8
21 =×=×
×=
ℜ= −
M
M
Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan
induksi tE , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil
tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah tE merupakan
tegangan jatuh pada belitan, sama dengan 1E , dan hal ini
ditunjukkan oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang
tegangan terbangkit tE sebagai tegangan naik 1EE −=t , dengan
mengikut sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan
bukan menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita
lakukan maka
ft Ljj IEE ω−=−=Φω−= 11 (1.39)
Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi
untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan
terbangkit Et berada 90o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.
Fasor Φ sefasa dengan Iφ = If dan tertinggal 90o dari E1.
Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan
memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.
24 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.
tE
a). Induktor ideal.
b). ada rugi-rugi inti
c). ada resistansi belitan
Φ
1E
Φ
γ
tE
Φ
θ
LV
cI
fI
φ= II f
φI
cI
φIfI
LV
1RfIsV
tE
25
BAB 2
Transformator
2.1. Transformator Satu Fasa
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem
komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio
sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita
mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output
transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi
agar tercapai transfer daya maksimum.
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator
tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak
jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi
listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan
menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan
kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada
umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita
akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal
sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas
hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari
secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk
mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi
elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan
sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi
energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal
tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik.
26 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
2.2. Teori Operasi Transformator
Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.2.5.
kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua
belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan
primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.
Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah tmaks ωΦ=φ sin , maka
fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar
tdt
de maks ωωΦ=
φ= cos111 (2.1)
atau dalam bentuk fasor
efektif nilai ; 02
0 1o1o
11 =∠Φω
=∠= E
Emaks
E (2.2)
Karena ω = 2π f maka
maksmaks ff
E Φ=Φπ
= 11
1 44.42
2 (2.3)
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar
maksfE Φ= 22 44.4 (2.4)
Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh
masi transforrasio 2
1
2
1 =≡= a
E
E (2.5)
Perhatikan bahwa 1E sefasa dengan 2E karena dibangkitkan oleh fluksi
yang sama. Karena 1E mendahului φ dengan sudut 90o maka 2E juga
mendahului φ dengan sudut 90o. Jika rasio transformasi a = 1, dan
sV
+ −
2 1
Gb.2.1. Transformator dua belitan.
φ
+
− ≈ 1E 2E
fI
27
resistansi belitan primer adalah R1 , diagram fasor tegangan dan arus
adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus fI adalah arus
magnetisasi, yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen
yaitu φI (90o dibelakang 1E ) yang menimbulkan φ dan cI (sefasa
dengan 1E ) guna mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R1 dalam
diagram fasor ini muncul sebagai tegangan jatuh 1RfI .
Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh
arus yang mengalir di
belitan primer. Dalam
kenyataan, tidak semua
fluksi magnit yang
dibangkitkan tersebut akan
melingkupi baik belitan
primer maupun sekunder.
Selisih antara fluksi yang
dibangkitkan oleh belitan
primer dengan fluksi
bersama (yaitu fluksi yang
melingkupi kedua belitan) disebut fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya
melingkupi belitan primer saja dan tidak seluruhnya berada dalam inti
transformator tetapi juga melalui udara. (Lihat Gb.2.3). Oleh karena itu
reluktansi yang dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi
udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis
sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini ditunjukkan
dalam diagram fasor Gb.2.2.b.
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di
belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan 1E ). Tegangan induksi
1V
Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban
a). tak ada fluksi bocor
φ
b). ada fluksi bocor
φ
φl
fI fIφI φI
21 EE =
21 EE =1RfI
1RfI
lf XjIcI
cI1V
Gb.2.3. Transformator tak berbeban.
Fluksi bocor belitan primer.
≈ φl1
φ
sV
fI
2E
28 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya 1E 90
o mendahului φ) dan dapat
dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, 1lE , di rangkaian
primer dan dinyatakan sebagai
11 XjI fl =E (2.6)
dengan X1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan
dan arus di rangkaian primer menjadi
1111111111 XjRR l IIEEIEV ++=++= (2.7)
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah
Gb.2.2.b.
Transformator Berbeban. Rangkaian transformator berbeban resistif,
RB, diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi 2E (yang telah timbul
dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di
rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder 2I . Arus 2I ini
membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ
dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).
Fluksi bocor ini, φl2 , sefasa dengan 2I dan menginduksikan tegangan
2lE di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2. Seperti halnya untuk
belitan primer, tegangan 2lE ini diganti dengan suatu besaran ekivalen
yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X2 di
rangkaian sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R2 , maka
untuk rangkaian sekunder kita peroleh hubungan
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++= (2.8)
dengan 2V adalah tegangan pada beban RB.
Gb.2.4. Transformator berbeban.
φ
φl1 ≈
1I2I
φl2 RB
sV2V
29
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang
melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung
mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer
juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung
ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik.
Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban
hanyalah arus magnetisasi fI , bertambah menjadi 1I setelah
transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa
sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan 1E juga tetap seperti
semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap
terpenuhi.
Pertambahan arus primer dari fI menjadi 1I adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh 2I sehingga φ
dipertahankan. Jadi haruslah
( ) ( ) 02211 =−− III f (2.9)
Pertambahan arus primer )( 1 fII − disebut arus penyeimbang yang akan
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari
(2.9) kita peroleh arus magnetisasi
( )a
f
212
1
21
IIIII −=−= (2.10)
2.3. Diagram Fasor
Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara
lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita
mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:
Gambarkan 2V dan 2I . Untuk beban resistif, 2I sefasa dengan 2V .
Selain itu kita dapat gambarkan a/22 II =′ yaitu besarnya arus
sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari 2V dan 2I kita dapat menggambarkan 2E sesuai dengan
persamaan (2.8) yaitu
30 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++=
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian
sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena 1E sefasa dengan 2E maka 1E
dapat kita gambarkan yang besarnya 21 EE a= .
Untuk menggambarkan arus magnetisasi fI kita gambarkan lebih
dulu φ yang tertinggal 90o dari 1E . Kemudian kita gambarkan fI
yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus
belitan primer adalah '21 III += f .
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai
dengan persamaan (2.7), yaitu
XjRR l 111111111 IIEEIEV ++=++=
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.
Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan
mengambil rasio transformasi 1/2 = a > 1
CO&TOH-2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk
tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini
dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V
(rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)
pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan
φ γ
Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,
transformator berbeban resistif . a > 1
fI
1V
11 XjI
11RI1E
22 XjI2E
22 RI2V2I'2I
1I
31
sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasus-
kasus tersebut di atas?
Penyelesaian :
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φm
adalah
ω=
ω=
ω=Φ
160
222022
1
1
1
1
V
Em
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka
ω=
ω
′=Φ′
160
21102
1
1
Vm
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′m = Φm / 2.
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,
ω=
ω=
ω
′′=Φ ′′
160
2110
80
255
)2/1(
2
1
1
Vm
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″m = Φm / 2.
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka
ω=
ω=
ω
′′′=Φ ′′′
160
2220
80
2110
)2/1(
2
1
1
Vm
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″m =Φm.
d). Dengan 1/2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,
tegangan sekunder adalah 55 V.
CO&TOH-2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan
primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas
penampang inti efektif adalah 60 cm2. Jika belitan primer
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di
belitan sekunder.
Penyelesaian :
32 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka
2
11
weber/m94.0006.0
00563.0 : maksimum fluksi Kerapatan
weber00563.0502400
2500500
2
==→
=×π×
=Φ→=Φω
=
m
mm
B
V
Tegangan belitan sekunder adalah V 1250500400
10002 =×=V
CO&TOH-2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu
perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan
jumlah lilitan primer dan sekunder.
Penyelesaian :
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,
75.184506000
250
45006.0502
260006000
2
2
11
1
=×=⇒
=××π
=→=Φω
=
V m
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φm tidak akan
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan
lilitan 48020250
6000 lilitan 20 12 =×=⇒=⇒
2.4. Rangkaian Ekivalen
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik
biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang
sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara
rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan
perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang
menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),
yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).
33
a
XjRXjR
f
22
1
2'2
'21
222222111111
dengan
; ;
III
III
IIVEIIEV
==
+=
++=++=
(2.11)
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan ke-dua dari
(2.11) dapat ditulis sebagai
; ; dengan
)()(
22
222
222
2222222
222
221
222221
XaXRaRaVV
XjRXajRaa
XjaRaa
=′=′=′
′′+′′+′=′+′+=⇒
′+′+=
IIVIIVE
IIVE
(2.12)
Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi
21
222221
111111
;
;
III
IIVE
IIEV
′+=
′′+′′+=
++=
f
XjRa
XjR
(2.13)
'2I , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang
dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian
ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.
Gb.2.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).
Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu Ic dan Iφ . Ic sefasa
dengan E1 sedangkan Iφ 90o dibelakang E1. Dengan demikian maka
impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai
hubungan paralel antara suatu resistansi Rc dan impedansi induktif jXφ
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi
seperti Gb.2.7.
Z
R′2
∼
B
jX′2 R1 jX1
E1
1I '2I
2'2 VV a=fI
1V
34 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Gb.2.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.
Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang
digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi
yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga
listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari
arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti
transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik
yang tinggi. Oleh karena itu, jika If diabaikan terhadap I1 kesalahan yang
terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat
rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.
2.5. Impedansi Masukan
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi
tersebut menjadi
R′2
∼
B
jX′2 R1 jX1
jXc Rc
22 VV a=′
1I '2I
fI
φI1E1V
cI
'2I
Gb.2.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
∼
B
jXe =j(X1+ X′2) Re = R1+R′2
'21 II =
1V 2V ′
1V
2V ′eXj '
2I
35
BB RaI
Va
aI
aV
I
VR
2
2
22
2
2
2
2
/===
′
′=′ (2.14)
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,
impedansi masukan adalah
eBein jXRaRZ ++== 2
1
1
I
V (2.15)
2.6. Penentuan Parameter Transformator
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter
transformator yang harus ditentukan, R1 , X1 , R′2 , X′2 , Rc , dan Xφ .
Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung
menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter
yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.
Uji Tak Berbeban ( Uji Beban *ol ). Uji beban nol ini biasanya
dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah
maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi
tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber
tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan
rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan
daya (aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan
jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan tegangan induksi Er.
Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di
resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan kehilangan daya pada Rcr (Rc
dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.
θ==
θ==⇒
θ=θ=⇒
−=θ→
==θ=
φφ
φ
sin ;
cos
sin ; cos
sin
cos ; :masukan kompleks Daya
22
r
r
r
rr
r
r
cr
rcr
rrrcr
r
rr
rr
r
r
rrrr
I
V
I
VX
I
V
I
VR
IIII
S
PS
IV
P
S
PIVS
(2.16)
36 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan
tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan
tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah
masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi
dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan Vt,
arus masukan It, dan daya (aktif) masukan Pt. Tegangan masukan yang
dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita
dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan
demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang
disederhanakan Gb.2.9. Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk
mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen
yang dilihat dari sisi tegangan tinggi Ret.
22
2
2
;
etetet
tetettt
t
tetettt
RZXI
VZZIV
I
PRRIP
−=→=→=
=→=
(2.17)
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai Ret = R1 + R′2 . Nilai
resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran
terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai Xet = X1 + X′2 . Kita tidak dapat
memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing
belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan
kita dapat mengambil asumsi bahwa X1 = X′2 . Kondisi ini sesungguhnya
benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.
CO&TOH-2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50
Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil
Vr = 240 volt, Ir = 1.6 amper, Pr = 114 watt
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi
tegangan tinggi
Vt = 55 volt, It = 10.4 amper, Pt = 360 watt
37
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan
tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada
beban penuh ?
Penyelesaian :
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc dan
Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan
rendah, kita sebut Rcr dan Xφr.
Ω=×
==Ω=×
=θ
==
=×
−×=θ=
×==θ
φφ 158
95.06.1
240 ; 500
3.06.1
240
cos
240
95.06.1240
114)6.1240(sin ; 3.0
6.1240
114cos
22
I
VX
II
VR
VI
P
rc
cr
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :
Ω==
Ω=×
==
φφ k 8.15
k 50500240
2400
2
22
rt
crct
XaX
RaR
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan
tinggi ini memberikan
Ω===→Ω===
Ω===
1.433.329.5 29.54.10
55
; 33.3(10.4)
360
22
22
ett
tet
t
tet
XI
VZ
I
PR
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator
hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi
inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga
tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban
penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan
hubung singkat, yaitu
W36033.3)4.10(A 4.102400
25000 221
11 =×==→=== etcu RIP
V
SI
38 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
[watt]masukan daya
[watt]keluaran daya=η (2.18)
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi
daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai
[watt]masukan daya
[watt] daya rugi-rugi1 −=η (2.19)
Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugi-
rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung
singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban
nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi
2
21
2
21
2
21
penuhbeban 2
penuhbeban 2nolbeban 2
/
Tegangan Regulasi
V
VV
V
VV
V
VV
′
′−=
−=
−=
−=
a
aa
V
VV
(2.25)
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi
2
222 )(Tegangan Regulasi
V
VIV
′
′−+′+′= ee jXR
(2.26)
CO&TOH-2.6 : Transformator pada Contoh-5. mencatu beban 25 KVA
pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah
regulasi tegangannya.
Penyelesaian :
39
a).
% 97.6atau 976.020
474.01 : Efisiensi
KW 208.025000 :keluaran Daya
KW 0.474 W474360114 : daya rugi Total
o
=−=η
=×=
==+=+
P
P cuc
b). Mengambil V2 sebagai referensi : V′2 = 10×240 = 2400∠0o V.
% 2.2atau 022.0
2400
2400)1.433.3(8.364.1002400 Tegangan Reg.
8.364.108.0cos10/)240/25000(/
oo
o122
−+−∠+∠=
−∠=−∠==′ −
j
aII
2.8. Konstruksi Transformator
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan
satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti
dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan
tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan
sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di
setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris
dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini
fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi
bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih
tinggi.
Gb.2.9. Dua tipe konstruksi transformator.
T : jumlah lilitan tegangan tinggi
R : jumlah lilitan tegangan rendah.
R / 4
T / 2
R / 2
T / 2
R / 4
T /
2
R / 2 R / 2
T /
2
a). tipe inti. a). tipe sel.
40 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder
yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti
yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini
sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah
ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini
sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi
ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.
2.9. Transformator Pada Sistem Tiga Fasa
Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu :
(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,
(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.
Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki
mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang
sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,
lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit
transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator
satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu
unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika
untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit
ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya
kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh
penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari
berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga
unit transformator satu fasa.
Hubungan ∆∆∆∆−−−−∆∆∆∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu
fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus
diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini
diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W
sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer
kita sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa sekunder
kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai tegangan saluran
(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut VLP dan VLS . Nilai
41
arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut ILP dan ILS
sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS . Rasio tegangan fasa primer
terhadap sekunder aVV FSFP =/ . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk
hubungan ∆-∆ kita peroleh :
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FP
FP
LS
LP 1
3
3 ; ==== (2.27)
Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.
Hubungan ∆∆∆∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan
tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder
dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan rugi-rugi kita
peroleh
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP 33 ;
33==== (2.28)
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.
Gb.2.11. Hubungan ∆-Y
VUV = VUO
VXY
VXO
VYO
VZO
VUV = VUO
VXY = VXO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
42 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer
dengan perbedaan sudut fasa 30o, tegangan fasa-fasa sekunder sama
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30o.
Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP 1 ;
3
3==== (2.29)
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat
perbedaan sudut fasa.
Gb.2.12. Hubungan Y-Y
VUV VXY
VXO
VYO
VZO
VUO
VVO
VWO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
43
Hubungan Y-∆∆∆∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer
dengan perbedaan sudut fasa 30o, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder
sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi
diperoleh
3
1
3 ; 3
3
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP ==== (2.30)
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.
Gb.2.13. Hubungan Y-∆
CO&TOH-2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;
(d) Y-∆ .
VUV
VXY = VXO
VYO
VZO
VUO
VVO
VWO
U
V
W
X
Y
Z
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
44 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penyelesaian :
a). Untuk hubungan ∆-∆ :
A. 120101233
33
; V 55012
6600
=×====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
IaaIII
a
V
a
VVV
b). Untuk hubungan Y-Y :
A. 1201012
; V 55012
66003
333
=×=====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
aIaIII
a
V
a
VVV
c). Untuk hubungan ∆-Y :
A. 3,693
1012
3
; V 953312
6600333
=====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
IaaIII
a
V
a
VVV
d) Untuk hubungan Y-∆ :
.A 20831012333
; V 3183
6600
12
1
3
1
=××====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
aIaIII
V
aa
VVV
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya
masukan.
kVA. 3,1143106,63 =×=== LPLPmasukankeluaran IVSS
45
BAB 3
Mesin Sinkron
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti
konversi energi dari energi elektrik ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari
energi mekanis ke energi elektrik atau disebut konversi energi
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari
mekanis ke elektrik tetapi juga dari elektrik ke mekanis, dan
dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum
Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini
dinyatakan dalam dua persamaan berikut
dt
d
dt
de
φ−=
λ−= dan )( θ= fiBKF B
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan
dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis
ditimbulkan.
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat
luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut
generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat
yaitu konstruksi kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.
46 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
3.1. Mesin Kutub Menonjol
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.1.a.
Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan
a1a11 sampai c2c22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar
yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor
yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut
belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu
siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut
sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar sudut 360
o ini
melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120o
antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan belitan b1b11
berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi 120
o, dan
mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan
yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o.
a) b) c)
konstruksi kutub tonjol belitan fluksi magnetik
Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub
(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran
rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan
antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah
][2][ derajatderajat mekanikmagnetik θ×=θ
atau secara umum
a1 a11
S
U
S
U a2 a1
b1 a11 c1
b2 c2
b11
c22
a22
b22
c11 φ
φ φ
180o mekanis = 360
o
47
][2
][ derajatp
derajat mekanikmagnetik θ×=θ (3.1)
dengan p adalah jumlah kutub.
Kecepatan sudut mekanik adalah
mekanikmekanik
mekanik fdt
d 2π=
θ=ω (3.2)
Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik
yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.
Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah
rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah 60
n atau
60
nfmekanis =
siklus per detik.
Kecepatan sudut magnetik adalah
magnetikmagnetik
magnetik fdt
d 2π=
θ=ω (3.3)
Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi
120
2
602
2 2
22
npnpf
ppmekanikmekanikmagnetik π=π=π=ω=ω
yang berarti 120
npf magnetik = siklus per detik (3.4)
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi
di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi
Hz 120
npf magnetik = maka tegangan pada belitanpun akan
mempunyai frekuensi
Hz 120
npf tegangan = (3.5)
48 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi
tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah
kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =
3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000
rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol
seperti pada Gb.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak
sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi
silindris.
Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk
setiap pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan
ec1 pada c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2
dan ec2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi
setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa
pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan
yang sefasa, misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk
memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk
memperoleh arus yang lebih besar.
Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan
berbentuk gelombang sinus tAv ω= cos , dengan pergeseran 120o
untuk belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu
Gb.3.2. Perhitungan fluksi.
180o mekanis = 360
o magnetik
φs
a1
a11
θ
49
ini pada transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder
karena fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron,
fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus
searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi
fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi
waktu agar persamaan (3.1) dapat diterapkan untuk memperoleh
tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran
rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki
celah udara antara rotor dan stator dengan nilai konstan maka,
dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan fluksi yang
ditangkap oleh belitan stator adalah
magnetikmagnetiks
dt
d
dt
dωφ=
θφ=
φ (3.6)
Karena 120
2 2
npfmagnetikmagnetik π=π=ω , maka
60
np
dt
d s πφ=φ
(3.7)
Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu
60
np
dt
dv s πφ−=
φ−= (3.8)
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu t
egangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda
berikutnya. Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang
tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus
berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi
sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu
terhadap θmaknetik . Jadi jika
maknetikm θφ=φ cos (3.9)
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah
50 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
( )
magnetikmmmagnetikmagnetikm
magnetikmagnetikmmagnetikm
s
np
dt
d
dt
d
dt
d
dt
d
θ
πφ−=θωφ−=
θθφ−=θφ=
φ=
φ
sin 120
2sin
sincos (3.10)
sehingga tegangan belitan
tf
np
dt
de
mmagnetikm
magnetikms
ωφω=θφπ=
θφπ=φ
−=
sin sin 2
sin60
(3.11)
Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang
dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini
adalah
Volt mm E φω= (3.12)
dan nilai efektifnya adalah
Volt 44,4
2
2
2
2
m
mmm
rms
f
fE
E
φ=
φπ
=φω
== (3.13)
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan
perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.2. yang merupakan
penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada
Gb.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan
a1a11, yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun
gulungan itu terdiri dari lilitan. Belitan semacam ini kita
sebut belitan terpusat.
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a1 dan a11
adalah 180o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut
kisar penuh.
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,
melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati
beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan
terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh
51
(60o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati
sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu
kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180o akan tetapi hanya 80%
sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi
dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan
fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi
komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan
suatu faktor Kw yang kita sebut faktor belitan. Biasanya Kw
mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor
belitan ini formulasi tegangan (3.13) menjadi
Volt 44,4 mwrms KfE φ= (3.14)
Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol
dalam keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan
kita pelajari lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesin-
mesin listrik. Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor
silindris.
CO&TOH-3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan
jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan
setiap alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara
sinus dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan
perputaran rotor 1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar
dan nilai rms tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar adalah
Hz 50120
15004
120
=
×==
npf
Jumlah alur per kutub adalah 34
12= yang berarti setiap pasang
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga
fasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah
V 6,6603,0105044,4 44,4 =×××=φ= mak fE
52 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2
× 66,6 = 133 V.
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.
CO&TOH-3.2: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur
pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain
tetap.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.
Jumlah alur per kutub adalah 64
24= yang berarti setiap
pasang kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem
tegangan tiga fasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub
terdiri dari 2 belitan yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai
rms tegangan jangkar untuk setiap belitan adalah
V 6,6603,0105044,4 V 44,41 =×××=φ= ma fE .
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda,
maka terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah
oo
1524
360= mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau
2 pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2
o listrik. Jadi
selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o
elektrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub
adalah jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa
30o tersebut.
3,338,124)30sin30(cos6,666,66 oo jjak +=++=E
Karena ada 2 pasang kutub maka
V 258)3,33()8,124(2 22 =+×=aE
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V
53
CO&TOH-3.3: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur
pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat
16 (8 pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375
rpm. Ketentuan yang lain tetap.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar : Hz 50120
37516=
×=f
Jumlah alur per kutub 916
144= yang berarti terdapat 9 belitan
per pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap
fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah
V 6,6603,0105044,41 =×××=aE ; sama dengan tegangan per
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan
dan fluksi maksimum tidak berubah.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan
adalah o
o
5,2144
360= mekanik. Karena mesin mengandung 16
kutub (8 pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8
o listrik,
sehingga beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah o
2085,2 =× listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah
jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing
berselisih fasa 20o.
( )6,652,180
)40sin20(sin40cos20cos16,66
406,66206,666,66
oooo
oo
j
j
ak
+=
++++=
∠+∠+=E
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah
V 15348,1918)6,65()2,180(8 22 =×=+×=aE
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V
54 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai
untuk perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin
rotor silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.
Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk
menempatkan belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi
magnetik jauh lebih merata dibandingkan dengan mesin kutub
tonjol. Di samping itu kendala mekanis untuk perputaran tinggi
lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin kutub tonjol. Belitan
eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah sehingga rotor
membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat pada
gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa1 , bb1 dan
cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu
rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-
belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi
rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi
mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada
transformator kita mempunyai fluksi konstan, sedangkan pada mesin
sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva
magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.
Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000
rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran
pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus
medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran
Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.
a
b
a1
c1 b1
c
U
S
55
sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.3.4 disebut
karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada
kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis
mesin sinkron.
Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat
yang dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung
singkat ini mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan
terminal belitan jangkar dihubung singkat (belitan jangkar
terhubung Y). Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus
eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada
Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan
arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan
tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan
jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang
diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi
tegangan jatuh di impedansi belitan jangkar.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
11000
12000
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500Arus medan [A]
Teg
an
gan
Fasa-
Netr
al [V
]
Gb.3.4. Karakteristik beban-nol dan hubung
singkat.
beban-nol
V=V(If )|I =0
hubung singkat
I = I (If ) |V=0
celah
udara
V=kI
0 0
Aru
s fa
sa [
A]
56 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus
medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf
(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang
mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan
karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak
dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor
yang akan kita pelajari beikut ini.
Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada
transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya
merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap
waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan
menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan
dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor,
walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu
tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya.
Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke
dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan
berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang
dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini
mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai
dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.
Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar
melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru
karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai
dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan
imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat
oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga
arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.
57
Gb.3.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.
Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa1
maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang
dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu arus di
belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus
mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat
pada Gb.3.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan
keluaran mesin dipertahankan.
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami
reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor.
Hal ini berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat
analisis mesin kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita
tidak melakukannya dalam bab pengenalan ini.
Diagram fasor (Gb.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.
U
S
sumbu emaks
sumbu magnet
(a)
a
a1
a
a1
U
S
sumbu imaks
sumbu magnet
(b)
θ
58 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
2. Tegangan terminal aV dan arus jangkar aI adalah
nominal.
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi
tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang
membangkitkannya.
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi
Ra.
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai referensi,
arus jangkar Ia tertinggal dengan sudut θ dari Va (beban induktif).
Tegangan imbas pada jangkar adalah
( )laaaa jXR ++= IVE (3.15)
Tegangan imbas aE ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara
Φa yang dinyatakan dengan arus ekivalen faI mendahului aE 90o.
Arus jangkar aI memberikan fluksi jangkar Φa yang dinyatakan
dengan arus ekivalen aφI . Jadi fluksi dalam celah udara merupakan
jumlah dari fluksi rotor Φf yang dinyatakan dengan arus ekivalen
fI dan fluksi jangkar. Jadi
affa φ+= III atau afaf φ−= III (3.16)
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor fI haruslah cukup untuk
membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan aE dan
mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit aE dapat
dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. fI membangkitkan tegangan
aaE 90o di belakang fI dan lebih besar dari aE .
59
Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.
Hubungan antara nilai aE dan faI diperoleh dari karakteristik
celah udara, sedangkan antara nilai aI dan aφI diperoleh dari
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti
terlihat pada Gb.3.6., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan
fava IkE = dan aia IkI φ= atau vafa kEI /=
dan iaa kII /=φ (3.17)
dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan
kurva. Dari (3.7) dan Gb.3.6. kita peroleh
θ−∠−γ∠=
θ−∠+γ+∠=−= φ
i
a
v
a
i
a
v
aafaf
k
I
k
Ej
k
I
k
E
)180()90(oo
III
(3.18)
Dari (3.18) kita peroleh aaE yaitu
ai
vaa
i
va
i
a
v
avfvaa
k
kjI
k
kjE
k
I
k
Ejjkjk
IE
IE
+=θ−∠+γ∠=
θ−∠−γ∠−=−=
(3.19)
afaf φ−= III
θ
γ
aaE
aE
la XjI
aa RIaV
aIaφI
aφ− I
faI
60 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai aajX Iφ dengan
i
va
k
kX =φ (3.20)
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis
( )( )aaaa
aalaaaaaaaa
jXR
jXjXRjX
++=
+++=+= φφ
IV
IIVIEE
(3.21)
dengan ala XXX φ+= yang disebut reaktansi sinkron.
Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7.
untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi
sinkron.
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan
dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik
linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh
karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak
jenuh.
θ
γ
Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;
reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa).
afaf φ−= III
aaE
aa Xj φI
aa XjI
la XjI
aE
aa RIaV
aIaφI
aφ− I
faI
61
3.3. Rangkaian Ekivalen
Dengan pengertian
reaktansi sinkron
dan memperhatikan
persamaan (3.21)
kita dapat
menggambarkan
rangkaian ekivalen
mesin sinkron
dengan beban
seperti terlihat pada Gb.3.8. Perhatikanlah bahwa rangkaian
ekivalen ini adalah rangkaian ekivalen per fasa. Tegangan aV
adalah tegangan fasa-netral dan aI adalah arus fasa.
CO&TOH-3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,
terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai
karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai
V 78,53 fa IE = dan karakteristik hubung singkat
A 7,2 fa II = (If dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa
adalah 0,08 Ω dan reaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah
arus eksitasi (arus medan) yang diperlukan untuk
membangkitkan tegangan terminal nominal jika generator
dibebani dengan beban nominal seimbang pada faktor daya 0,8
lagging.
Penyelesaian :
Tegangan per fasa adalah V 4,79673
13800==aV .
Arus jangkar per fasa : A 4,418313800
1010 6
=×
×=aI .
Reaktansi reaksi jangkar : Ω===φ 92,197,2
78,53
i
va
k
kX
Reaktansi sinkron : Ω=+=+= φ 82,2192,199,1ala XXX
+ −
Ra jXa
Beban
+
−
Gb.3.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron.
aI
aaE aV
62 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Dengan mengambil aV sebagai referensi, maka aV = 7967,4
∠0o V dan aI = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :
6,73031,1344513,535,912904,7967
)82.2108.0(87,364,41804,7967
)(
oo
o
j
j
jXaRaaaaa
+=∠+∠≈
+−∠+∠=
++= IVE
V 15300)6,7303()1,13445( 22 =+=aaE
Arus eksitasi yang diperlukan adalah
A 5,28478,53
15300===
v
aaf
k
EI
Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah
θ= cosaaf IVP (3.22)
Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil
dibandingkan dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan
mengabaikan resistansi jangkar maka diagram fasor mesin sinkron
menjadi seperti Gb.3.9.
Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; resistansi
jangkar diabaikan.
aV
aaE
aa XjI
aI
θ
δ
θ
63
Gb.3.9. memperlihatkan bahwa
θ=δ cossin aaaa XIE atau δ=θ sincosa
aaa
X
EI .
Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai
δ= sina
aaaf
X
EVP (3.23)
Persamaan (3.23) ini memberikan formulasi daya per fasa dan sudut
δ menentukan besarnya daya; oleh karena itu sudut δ disebut sudut
daya (power angle).
Daya Pf merupakan fungsi sinus dari sudut daya δ seperti terlihat
pada Gb.3.10.
Untuk 0 < δ < 180o daya bernilai positif, mesin beroperasi sebagai
generator yang memberikan daya. (Jangan dikacaukan oleh
konvensi pasif karena dalam menggambarkan diagram fasor untuk
mesin ini kita menggunakan ketentuan tegangan naik dan bukan
tegangan jatuh). Untuk 0 > δ > −180o mesin beroperasi sebagai
motor, mesing menerima daya.
Dalam pengenalan mesin-mesin elektrik ini, pembahasan mengenai
mesin sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut
akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin
listrik.
-1.1
0
1.1
-180 -90 0 90 180
Pf
δ (o
listrik)
generator
motor
Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.
64 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
65
BAB 4
Motor Asinkron
4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja
Motor merupakan
piranti konversi dari
energi elektrik ke energi
mekanik. Salah satu
jenis yang banyak
dipakai adalah motor
asinkron atau motor
induksi. Di sini kita
hanya akan melihat
motor asinkron tiga fasa.
Stator memiliki alur-alur
untuk memuat belitan-
belitan yang akan
terhubung pada sistem
tiga fasa. Gb.4.1. hanya
memperlihatkan tiga
belitan pada stator sebagai belitan terpusat, yaitu belitan aa1 , bb1
dan cc1 yang berbeda posisi 120o mekanik. Susunan belitan ini sama
dengan susunan belitan pada stator generator sinkron. Ketiga belitan
ini dapat dihubungkan Y ataupun ∆ untuk selanjutnya
disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor mempunyai alur-alur yang
berisi konduktor dan semua konduktor pada rotor ini dihubung
singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi rotor yang
disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu berbentuk
sangkar).
Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita
melihat kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor
generator yang mendukung kutub magnetik konstan berputar pada
porosnya. Magnet yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada
belitan stator yang membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila
rangkaian belitan stator tertutup, misalnya melalui pembebanan,
akan mengalir arus tiga fasa pada belitan stator. Sesuai dengan
Gb.4.1. Motor asinkron.
a
b
a1
c1 b1
c
66 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan membangkitkan fluksi yang
melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal sebagai reaksi jangkar.
Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar sesuai perputaran
rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar sesuai
perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz
dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada
belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan
stator dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi
konstan berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada
reaksi jangkar generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi
berputar timbul jika belitan stator motor asikron dihubungkan ke
sumber tiga fasa.
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai
tiga belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120o mekanis satu
sama lain seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-
masing dialiri arus ia , ib , dan ic yang berbeda fasa 120o elektrik
seperti ditunjukkan oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan
membangkitkan fluksi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan
arus yang mengalir padanya. Kita perhatikan situasi yang terjadi
pada beberapa titik waktu.
Perhatikan Gb.4.2. Pada t1 arus ia maksimum negatif dan arus ib = ic
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φa , φb
dan φc yang memberikan fluksi total φtot . Kejadian ini berubah pada
t2 , t3 , t4 dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total
berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa.
Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron.
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi
antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran
sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu
Hz 120
1
snpf = atau rpm
120 1
p
fns = (4.1)
dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan
perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah
kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator
67
seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub
adalah 2, sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran
sinkron adalah 3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4,
belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.4.1.
Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar.
Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titik
netral. Fluksi total φtot tetap dan berputar.
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator
akan mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena
konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir
arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang
berputar dan timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan
gaya inilah terbangun torka yang akan membuat rotor berputar
dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi
φa φb
φc
φtot
ia ib
ic
t1
φa
φb φc
φtot
t2
ia ib
ic
φa
φtot
φb
φc
t3
ia ib
ic
φa
φtot
φb
φc
t4
ia ib
ic
b). a).
ia ib ic
t
t1 t2 t3 t4
-1.1
0
1.1
-180 -135 -90 -45 0 45 90 135 180
a a1
b
c c1
b1
68 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
torka, harus ada arus mengalir di konduktor rotor dan untuk itu
harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor. Agar terjadi
tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil
dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan
perputaran sinkron ns) sebab jika kecepatannya sama tidak akan ada
fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus terjadi
beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip
yang besarnya adalah :
s
s
n
nns
−= (4.2)
Nilai s terletak antara 0 dan 1.
Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron,
kita melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan
rotor sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk
meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan
stator maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal
belitan rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar
bersama rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada
resistor untuk keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan
belitan stator dan rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu
operasi normal belitan rotor dihubung singkat. Hubungan seperti ini
mirip dengan transformator. Medan putar akan mengimbaskan
tegangan baik pada belitan stator maupun rotor.
Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor
mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus
menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.
belitan stator
E1
belitan rotor
E2
69
Tegangan imbas pada stator adalah :
mwKfE φ= 111 44,4 (4.3)
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator, ==120
snpf frekuensi
tegangan stator, φm adalah fluksi maksimum di celah udara, 1
adalah jumlah lilitan belitan stator.
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan
imbas pada belitan rotor adalah
mwKfE φ= 222 44,4 (4.4)
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, ==120
snpf frekuensi
tegangan stator (karena rotor tidak berputar), φm adalah fluksi
maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan
tegangan pada belitan stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan
imbas pada rotor menjadi
Hz 120
120
)( 2 fs
nspnnpf ss ==
−= (4.5)
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan
frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut
frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan
berputar menjadi
222 sEE = (4.6)
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan
(4.6) kita peroleh
aK
K
E
E
w
w ==22
11
2
1 (4.7)
Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.
70 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-4.1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan
kepada motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor
melayani beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah
0,05. Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif
terhadap stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan
perputaran medan rotor relatif terhadap rotor; (d) kecepatan
perputaran medan rotor relatif terhadap stator; (e) kecepatan
perputaran medan rotor relatif terhadap medan rotor.
Penyelesaian:
(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator
(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub
adalah 120
snpf = . Jadi kecepatan perputaran medan putar
adalah
15004
50120120=
×==
p
fns rpm
(b) Frekuensi arus rotor adalah 5,25005,012 =×== sff Hz.
(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga
fasa dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor
akan menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus
belitan stator menimbulkan medan putar. Kecepatan
perputaran medan putar rotor relatif terhadap rotor adalah
754
5,2120120 22 =
×==
p
fn Hz
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor
harus sama dengan kecepatan perputaran medan stator,
yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm.
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan
kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran
relatifnya adalah 0.
71
4.2. Rangkaian Ekivalen
Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian
ekivalen per fasa.
Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa
adalah R1 dan reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti
dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi Rc dan
reaktansi Xφ seperti halnya pada transformator. Jika V1 adalah
tegangan masuk per fasa pada belitan stator motor dan E1 adalah
tegangan imbas pada belitan stator oleh medan putar seperti
diberikan oleh (4.3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor
( ) 11111 EIV ++= jXR (4.8)
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan ini
adalah pada frekuensi sinkron ωs = 2π f1. Rangkaian ekivalen stator
menjadi seperti pada Gb.3.4. yang mirip rangkaian primer
transformator. Perbedaan terletak pada besarnya If yang pada
transformator berkisar antara 2 − 5 persen dari arus nominal,
sedangkan pada motor asinkron arus ini antara 25 − 40 persen arus
nominal, tergantung dari besarnya motor.
Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena
adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan
dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada
intinya. Tegangan E1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini
haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor.
1I
1V cI
fI
φI
Gb.4.4. Rangkaian ekivalen stator.
R1 jX1
jXc Rc
E1
A
B
72 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Rangkaian Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar
maka tegangan imbas pada rotor adalah 22E . Jika resistansi rotor
adalah R22 dan reaktansinya adalah X22 maka arus rotor adalah:
( )2222
2222
jXR +=
EI (4.9)
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai
reaktansi pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω2 =
2π f2 , berbeda dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan
rangkaian untuk persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.
Menurut (4.6) E22 = sE2 dimana E2 adalah tegangan rotor dengan
frekuensi sinkron ωs. Reaktansi rotor X22 dapat pula dinyatakan
dengan frekuensi sinkron; jika L2 adalah induktansi belitan rotor
(yang merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh
konstruksinya) maka kita mempunyai hubungan
2212222 sXLsLX =ω=ω= (4.10)
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron
212 LX ω= . Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita
nyatakan resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan demikian maka
arus rotor menjadi
22I 2I
2I2I
2Es22E
2E2E
Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.
R22 jX22
A′
B′
R2 jsX2
A′
B′ a)
s
R2jX2
A′
B′ c)
b)
s
sR
−12
jX2
A′
B′ d)
R2
73
22
22
jsXR
s
+=
EI (4.11)
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang
terlihat pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah
tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian
ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor
per fasa, yaitu
222 RIPcr = (4.12)
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.11) kita bagi
dengan s kita akan mendapatkan
22
22
jXs
R+
=E
I (4.13)
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian
dari persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun
demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada
terminal rotor A´B´ sekarang adalah tegangan imbas pada belitan
rotor dalam keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti
diberikan oleh (4.14) dan bukan tegangan karena ada slip. Jika pada
Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi
konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip,
maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian ekivalen rotor
dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi yang
tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir
ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya
yang diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :
s
RIPg
222 = (4.14)
Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (4.12). Pada mesin besar nilai
s adalah sekitar 0,02 sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan
antara (4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan
74 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
rotor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan
frekuensi sinkron. Daya nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang
pada resistansi belitan saja tetapi mencakup daya mekanis dari
motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya keluaran
dari poros motor untuk memutar beban ditambah daya untuk
mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan
angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut daya celah udara artinya
daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang
meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan
daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika
kita menuliskan
−+=
s
sRR
s
R 122
2 (4.15)
Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor
(per fasa) 222 RIPcr = dan suku kedua memberikan daya keluaran
mekanik ekivalen
−=
s
sRIPm
1 2
22 (4.16)
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor
seperti pada Gb.4.5.d.
Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian
ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar
dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita
harus melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator yang memberikan
21 aEE = . Jika 2E pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan 21 EE a= ,
yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan
semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi
, '2
'2 RI dan '
2X . Dengan demikian kita dapat menghubungkan
terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada
Gb.4.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat
pada Gb.4.6.
75
Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita
baca dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk
ke stator motor melalui tegangan V1 dan arus I1 digunakan untuk :
• mengatasi rugi tembaga stator : 121 RIPcs =
• mengatasi rugi-rugi inti stator : Pinti
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara
s
RIPg
'22'
2 )(= , yang digunakan untuk
• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : '2
2'2 )( RIPcr =
• memberikan daya mekanis rotor
−=
s
sRIPm
1 )(
'2
2'2 , yang terdiri dari :
• daya untuk mengatasi rugi rotasi
(gesekan dan angin) : Protasi
• daya keluaran di poros rotor : Po.
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :
rotasim PPP −=o ; crgm PPP −= ;
csing PPPP −−= inti
1I
1V
fI
Gb.4.6. Rangkaian ekivalen lengkap motor asikron.
'2I
s
sR
−1'2
R1 jX1
jXc
Rc
A
B
'2R
'2jX
76 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor
asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan
yang lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-
rugi tembaga stator dan rotor disatukan menjadi eRI 2'2 )( .
Bagaimana Re dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini.
4.3. Penentuan Parameter Rangkaian
Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan
rotor dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran
dilakukan dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan
pengukuran dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan
koreksi-koreksi. Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat
bahwa resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dibandingkan
dengan resistansi pada arus searah karena adanya gejala yang
disebut efek kulit. Selain dari itu, pada kondisi kerja normal,
temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur kamar yang berarti
nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.
Uji Beban *ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan
nominal sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis.
Pada uji ini kita mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya
masuk yang kita ukur adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga
pada beban nol, rugi inti, dan daya celah udara untuk mengatasi rugi
rotasi pada beban nol. Dalam uji ini slip sangat kecil, arus rotor
cukup kecil untuk diabaikan sehingga biasanya arus eksitasi
dianggap sama dengan arus uji beban nol yang terukur.
Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi
1I
fI
1V
Gb.4.7. Rangkaian ekivalen pendekatan.
'21 jXjXjX e +=
'21 RRRe +=
s
sR
−1'2
jXc Rc
77
rotor ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya
mekanis keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat
cukup rendah untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak
melebihi nilai nominal. Selain itu, tegangan stator yang rendah
(antara 10 – 20 % nominal) membuat arus magnetisasi sangat kecil
sehingga dapat diabaikan. Rangkaian ekivalen dalam uji ini adalah
seperti pada Gb.4.8. Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan
fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini.
Gb.4.8. Rangkaian ekivalen motor asikron pada uji rotor diam.
Jika Pd adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, Id
adalah arus saluran dan Vd adalah tegangan fasa-fasa yang terukur
dalam uji ini, maka
'21
22
2
'21
3
3
XXRZX
I
VZ
I
PjXXR
eee
d
de
d
de
+=−==
=
=+=
(4.17)
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan
antara X1 dan X2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan
Xe.
CO&TOH-4.2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga
fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-
rugi inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah
2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A..
Hitunglah efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%.
0I
fnV
'21 jXjXjXe +=
'21 RRRe +=
78 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penyelesaian:
Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah
−=
s
sRIPm
1)(
'2
2'2 .
Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor
dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah
daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui
900 W sehingga
Pm = 75000 + 900 = 75900 W
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
W29570375,01
0375,075900
1)(
'2
2'2 =
−×
=−
==s
sPRIP m
cr
Efisiensi motor adalah
%45,87
%10029579002700420075000
75000
%100
=
×++++
=
×−+
=ηrugirugiP
P
keluaran
keluaran
CO&TOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga
fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data
berikut: daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd =
65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1
= 0,02 Ω per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.
Penyelesaian :
Menurut (4.17) kita dapat menghitung
Ω=×
== 0533,0)250(3
10000
3 22d
de
I
PR per fasa
Ω=−=−= 0333,002,00533,01'2 RRR e per fasa
79
CO&TOH-4.4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4
kutub, 220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan
uji rotor diam.
Beban nol : V0 = 220 V; I0 = 9,2 A; P0 = 670 W
Rotor diam : Vd = 57 V; Id = 30 A; Pd = 950 W.
Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω
per fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung:
(a) parameter-parameter yang diperlukan untuk
menggambarkan rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus
eksitasi dan rugi-rugi inti.
Penyelesaian :
a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah
V 1273
2201 ==V .
Uji rotor diam memberikan :
Ω=×
== 35,0)30(3
950
)(3 22d
de
I
PR ;
Ω=−=−= 2,015,035,01'2 RRR e
Ω=×
=×
= 1,1303
57
3 d
de
I
VZ ;
Ω=−=−= 14,3)35,0()1,1(2222
eee RZX
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan;
jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap
arus eksitasi If .
Daya pada uji beban nol 3cos670 00 θ== fIVP
⇒ 19,02,93220
670cos =
×=θ lagging.
Jadi : o
792,92,9 −∠=θ∠=fI .
80 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Rugi inti :
W63215,02,936703 21
200inti =××−=×−= RIPP
CO&TOH-4.5 : Motor pada Contoh-4.3. dikopel dengan suatu
beban mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan
data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah
: (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip
yang terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika
diketahui rugi rotasi 500 W.
Penyelesaian :
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data
pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu: o
1 3528 −∠=I . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :
( ) ( )A 183,22
94,62,2198,019,02,957,00,8228
792,93528
o
oo1
'2
−∠=
−=−−−=
−∠−−∠=−=
jjj
fIII
b). Daya mekanik rotor adalah :
W78672,03,22315,02836329150
22
nti
=××−××−−=
−−−= crcsiinm PPPPP
c). Slip dapat dicari dari formulasi
s
RIPPPP csing
'2
2'2
inti
)(3×=−−= .
0365,015,02836329150
2,03,223)(3
2
2'2
2'2 =
××−−
××==
gP
RIs
1I
fI
14,3jjX e =
35,0=eR
s
s−12,0
127∠0o
V
jXc Rc
81
atau 3,65 %
e). Rugi rotasi = 500 W.
Daya keluaran sumbu rotor :
W73675007867o =−=−= rotasim PPP
Efisiensi motor : %80%1009150
7367%100o =×=×=η
inP
P
4.4. Torka
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator
menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga
rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini
memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan
perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka
sg TP ω= atau s
gPT
ω= (4.18)
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang
dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol.
Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen
Gb.4.7. dengan s = 1 adalah
( ) ( )2'21
2'21
1'2
XXRR
VI
+++
= (4.19)
Besar torka asut adalah
( )( ) ( )2'
21
2'21
'2
21
'22'
2
31 3
1
XXRR
RV
s
RI
PT
sss
ga
+++ω=××
ω=
ω=
(4.20)
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi
besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi
dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus.
Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka
asut. Persamaan (4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan
dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi
seperempatnya.
82 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi
pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka
ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan
kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan
motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa
saat saja. Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan
secara kontinyu
sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi.
Karena torka sebanding dengan daya celah udara Pg , maka torka
maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum.
Dari rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya
maksimum mensyaratkan bahwa alih daya ke s
R'2 akan maksimum
jika
( )2'21
21
'2 XXR
s
R
m
++= atau
( )2'21
21
'2
XXR
Rsm
++
= (4.21)
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar
dengan memperbesar '2R . Suatu motor dapat dirancang agar torka
asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai
resistansi rotor.
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah
1I
fI
Gb.4.9. Rangkaian ekivalen pendekatan.
1R
s
R'2
jXc Rc
)( '21 XXj +
1V
83
( ) ( ) ( )
( ) ( )(4.22)
222
2'
21
2'21
211
21
1
2'21
22'
21211
1
2'21
2'2
1
12
XXXXRRR
V
XXXXRR
V
XXs
RR
VI
m
'
+++++
=
++
+++
=
++
+
=
Torka maksimum adalah
( )( )
+++
ω=×
ω=
2'21
211
21
'22'
2
2
313
1
XXRR
V
s
RIT
smsm (4.23)
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21)
slip maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi
mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan
memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya
torka maksimum itu sendiri.
Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan
bagaimana torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip.
Pada gambar ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor
terhadap karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan
rotor, makin besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran
0
100
200
300
1
0
sm 0
ns
slip
perputaran
tork
a d
alam
% n
om
inal
resistansi rotor rendah
resistansi rotor tinggi
sm1
84 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut
karakteristik spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam
penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum
digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan
konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang terlalu tinggi.
Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin, blower,
alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan
tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan
jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan
karena akan terjadi pemanasan.
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan
pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut
dan menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa
merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung
pada sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu
diperhatikan dalam pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut
(agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi
terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan
tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya salah satu fasa (yang
dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan sampai di sini
pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut
akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin
listrik.
Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi
HP 2p Ta
[%]
Tmaks
[%]
Ia
[%]
s
[%] f.d.
η [%]
0,5
s/d
200
2 150 200
s/d
250
500
s/d
1000
3
s/d
5
0,87
s/d
0,89
87
s/d
89
4 150
6 135
8 125
10 120
12 115
14 110
16 105
2p : jumlah kutub; Ta : torka asut; Tmaks : torka maks
Ia : arus asut; s : slip; f.d. : faktor daya; η : efisiensi.
85
BAB 5
Pembebanan Seimbang
Sistem Polifasa
5.1. Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban
Suatu sumber tiga fasa membangkitkan tegangan tiga fasa, yang dapat
digambarkan sebagai tiga sumber tegangan yang terhubung Y (bintang)
seperti terlihat pada Gb.5.1.a. Tiga sumber tegangan ini dibangkitkan
oleh satu mesin sinkron. Titik hubung antara ketiga tegangan itu disebut
titik netral, . Antara satu tegangan dengan tegangan yang lain berbeda
fasa 120o. Jika kita mengambil tegangan VA sebagai referensi, maka kita
dapat menggambarkan diagram fasor tegangan dari sistem tiga fasa ini
seperti terlihat pada Gb.5.1.b. Urutan fasa dalam gambar ini disebut
urutan positif. Bila fasor tegangan VB dan VC dipertukarkan, kita
akan memperoleh urutan fasa negatif.
Sumber tiga fasa pada umumnya dihubungkan Y karena jika
dihubungkan ∆ akan terbentuk suatu rangkaian tertutup yang apabila
ketiga tegangan tidak tepat berjumlah nol akan terjadi arus sirkulasi yang
merugikan. Sumber tegangan tiga fasa ini dihubungkan ke beban tiga
fasa yang terdiri dari tiga impedansi yang dapat terhubung Y ataupun ∆
seperti terlihat pada Gb.5.2. Dalam kenyataan, beban tiga fasa dapat
berupa satu piranti tiga fasa, misalnya motor asinkron, ataupun tiga
piranti satu fasa yang dihubungkan secara Y atau ∆, misalnya resistor
pemanas.
Gb.5.1. Sumber tiga fasa.
a). Sumber terhubung Y
B
A
C
VA VB
VC
− +
+ −
− +
b). Diagram fasor.
120o
120o
CV
AV
BV
86 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Gb.5.2. Sumber dan beban tiga fasa.
Dengan mengambil tegangan fasa-netral VA sebagai tegangan referensi,
maka hubungan antara fasor-fasor tegangan tersebut adalah:
o
o
o
240
120
0
−∠=
−∠=
∠=
fnC
fnB
fnA
V
V
V
V
V
V
(5.1)
Tegangan fasa-fasa yaitu VAB , VBC , dan VCA yang fasor-fasornya adalah
ACACCA
CBCBBC
BABAAB
VVVVV
VVVVV
VVVVV
−=+=
−=+=
−=+=
(5.2)
5.2. Daya Pada Sistem Tiga Fasa Seimbang
Daya kompleks yang diserap oleh beban 3 fasa adalah jumlah dari daya
yang diserap oleh masing-masing fasa, yaitu:
θ∠=θ∠=
θ+∠−∠+
θ+∠−∠+θ∠∠=
++=
Afnffn
ffn
ffnffn
CCBBAAf
IVIV
IV
IVIV
S
33
)240(240)(
)120(120)()(0)(
oo
ooo
***3 IVIVIV
(5.3)
B
A
C
N
≈≈ ABV A
B
C
A
B
C
AV
87
Karena hubungan antara tegangan fasa-netral dan tegangan fasa-fasa
adalah Vff = Vfn √3, maka kita dapat menyatakan daya kompleks dalam
tegangan fasa-fasa, yaitu
θ∠= 33 Afff IVS (5.4)
Daya nyata dan daya reaktif adalah
θ=θ=
θ=θ=
sinsin3
coscos3
33
33
fAfff
fAfff
SIVQ
SIVP
(5.5)
Formulasi daya kompleks (5.4) berlaku untuk beban terhubung Y
maupun ∆. Jadi tanpa melihat bagaimana hubungan beban, daya
kompleks yang diberikan ke beban adalah
33 Afff IVS = (5.6)
CO&TOH-5.1: Sebuah beban terhubung ∆ mempunyai impedansi di
setiap fasa sebesar Z = 4 + j3 Ω. Beban ini dicatu oleh sumber tiga
fasa dengan tegangan fasa-fasa Vff = 80 V (rms). Dengan
menggunakan AV sebagai fasor tegangan referensi, tentukanlah:
a). Tegangan fasa-fasa dan arus saluran; b). Daya kompleks, daya
rata-rata, daya reaktif.
Penyelesaian :
a). Dalam soal ini kita diminta untuk menggunakan tegangan VA
sebagai referensi. Titik netral pada hubungan ∆ merupakan titik
fiktif; namun perlu kita ingat bahwa sumber mempunyai titik
netral yang nyata. Untuk memudahkan mencari hubungan fasor-
fasor tegangan, kita menggambarkan hubungan beban sesuai
dengan tegangan referensi yang diambil yaitu VA..
Dengan menggambil VA sebagai referensi maka tegangan fasa-
netral adalah
o
ooo
240220
; 120220 ; 022003
380
−∠=
−∠=∠=∠=
C
BA
V
VV
88 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Tegangan-tegangan fasa-fasa adalah
o
o
oo
210380
90380
30380)30(3
−∠=
−∠=
∠=+θ∠=
CA
BC
AAAB V
V
V
V
Arus-arus fasa adalah
A 8,246762408,676
A 8,126761208,676
A 8,6768,365
30380
34
30380
ooo
ooo
o
o
oo
−∠=−−∠=
−∠=−−∠=
−∠=∠
∠=
+∠
==
CA
BC
ABAB
jZ
I
I
VI
dan arus-arus saluran adalah
A 8.2766,131)2408,36(6.131
A 8,1566,131)1208,36(6.131
A 8,366.1318,36376)308,6(3
ooo
ooo
oooo
−∠=−−∠=
−∠=−−∠=
−∠=−∠=−−∠=
C
B
ABA I
I
I
I
b). Daya kompleks 3 fasa adalah
kVA 523,69 8.3664.86
8.676303803 3
o
oo*3
j
S ABABf
+=∠=
+∠×∠×== IV
ABV
Re
Im
θ θ
θ
BV−
AV
BV
CV
ABI
CAI
BCICI
AI
BI
CAI
ABI
BCI
89
Jika kita mengkaji ulang nilai P3f dan Q3f , dengan menghitung daya
yang diserap resistansi dan reaktansi beban, akan kita peroleh:
kVAR 52)76(333
kW 3,69)76(433
22
3
22
3
=××=××=
=××=××=
ABf
ABf
XQ
RP
I
I
CO&TOH-5.2: Sebuah beban 100 kW dengan faktor daya 0,8 lagging,
dihubungkan ke jala-jala tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa 4800 V
rms. Impedansi saluran antara sumber dan beban per fasa adalah 2 +
j20 Ω . Berapakah daya kompleks yang harus dikeluarkan oleh
sumber dan pada tegangan berapa sumber harus bekerja ?
Penyelesaian :
Dalam persoalan ini, beban 100 kW dihubungkan pada jala-jala
4800 V, artinya tegangan beban harus 4800 V. Karena saluran antara
sumber dan beban mempunyai impedansi, maka sumber tidak hanya
memberikan daya ke beban saja, tetapi juga harus mengeluarkan
daya untuk mengatasi rugi-rugi di saluran. Sementara itu, arus yang
dikeluarkan oleh sumber harus sama dengan arus yang melalui
saluran dan sama pula dengan arus yang masuk ke beban, baik
beban terhubung Y ataupun ∆.
Daya beban :
kVA 75100
kVAR 756,0125sin
kVA 1258,0
100 coskW 100
jjQPS
SQ
SSP
BBB
BB
BBB
+=+=⇒
=×=ϕ=
==→ϕ==
Besarnya arus yang mengalir ke beban dapat dicari karena tegangan
beban diharuskan 4800 V :
b e b a n
Z = 2+j20 Ω
100 kW
4800 V
cosϕ = 0,9 lag ≈ ≈
sV
sI BI
BV
90 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
A 1538,04800
100 3cos =
××=→ϕ= BBBB IIVP
Daya kompleks yang diserap saluran adalah tiga kali (karena ada
tiga kawat saluran) tegangan jatuh di saluran kali arus saluran
konjugat, atau tiga kali impedansi saluran kali pangkat dua besarnya
arus :
22
**33 3 3
salsalsalsalsalsalsal ZIZZS ==== IIIIV
Jadi
kVA 5,1335,1
VA 13500135015)202(3 2
j
jjS sal
+=
+=×+×=
Daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber adalah
kVA 5,1345,8835,101
kVA 5,8835,101 5,1335,175100
22 =+=
+=+++=+=
S
salBS
S
jjjSSS
Dari daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber ini kita dapat
menghitung tegangan sumber karena arus yang keluar dari sumber
harus sama dengan arus yang melalui saluran.
rms V 5180315
10005,134
3
33
=×
==⇒
==
B
SS
BSSSS
I
SV
IVIVS
5.3. Model Satu Fasa Sistem Tiga Fasa Seimbang
Sebagaimana terlihat dalam pembahasan di atas, perhitungan daya
ke beban tidak tergantung pada hubungan beban, apakah Y atau ∆.
Hal ini berarti bahwa kita memiliki pilihan untuk memandang beban
sebagai terhubung Y walaupun sesungguhnya ia terhubung ∆,
selama kita berada pada sisi sumber. Hubungan daya, tegangan, dan
arus sistem tiga fasa adalah:
91
Y) hubung(beban ter
3
33
fL
fnff
f
II
VV
SS
=
=
=φ
(5.7)
dengan
fasa ke fasa tegangan fasa,satu daya fasa, 3 daya 3 ===φ fff VSS
fasa. arus saluran, arus netral, ke fasa tegangan === fLfn IIV
Dengan mengingat relasi (5.7), kita dapat melakukan analisis sistem
tiga fasa seimbang dengan menggunakan model satu fasa. Hasil
perhitungan model satu fasa digunakan untuk menghitung besaran-
besaran tiga fasa. Akan kita lihat dalam bab berikutnya bahwa model
satu fasa memberi jalan kepada kita untuk melakukan analisis
sistem tiga fasa tidak seimbang, yaitu dengan menguraikan besaran
tiga fasa yang tidak seimbang menjadi komponen-komponen
simetris; komponen simetris merupakan sistem fasa seimbang
sehingga dapat dimodelkan dengan sistem satu fasa.
Berikut ini adalah contoh penggunaan model satu fasa.
CONTOH-5.3: Sebuah sumber tiga fasa, dengan tegangan fasa-fasa
2400 V, mencatu dua beban parallel. Beban pertama 300 kVA
dengan factor daya 0,8 lagging, dan beban ke-dua 240 kVA
dengan factor daya 0,6 leading.
a). Gambarkan rangkaian ekivalen (model) satu fasa.
b). Hitunglah arus-arus saluran.
Penyelesaian:
Perhatikanlah bahwa beban dinyatakan sebagai daya yang
diserapnya dan bukan impedansi yang dimilikinya. Cara
pernyataan beban semacam inilah yang biasa digunakan dalam
analisis sistem tenaga listrik.
a) Kita ambil salah satu fasa misalnya fasa A sebagai referensi
V 23863
2400==AV
Beban dan arus beban:
92 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
A 9,362,7201386
9,36100
0
) dayafaktor karena positif ini fasa(sudut
9,36)8,0(cos
kVA 1003
300
3
o
oo
11
o11
131
−∠=∠
∠=
∠=
+==ϕ
===
∗
−
φ
An
f
f
V
S
lagging
SS
I
A 1,537,5701386
1,5380
0
) dayafaktor karena negatif ini fasa(sudut
1,53)6,0(cos
kVA 803
240
3
o
o
o
o
22
o12
232
+∠=∠
−∠=
∠=
−==ϕ
===
−
φ
A
f
f
V
S
leading
SS
I
Impedansi ekivalen
Ω+=
∠=∠
∠==
52,1136,15
9,362,1936,9-72,2
01386
o
o
11
j
VZ A
I
Ω−=
−∠=+∠
∠==
2,194,14
1,53241,3557,7
01386
o
o
22
j
VZ A
I
Ω 36,15
Ω 52,11jV 1386
=AV∼ Ω 4,14
Ω− 2,19j
93
b) Arus saluran
Ω∠=+=
−++=+=
8,14,929,23,92
2,194,1452,1136,15
o
21
j
jjA III
Ω−∠=−∠= 2,11892,4)1208,1(4,92 oooBI
Ω∠=+∠= 8,12192,4)1208,1(4,92 oooCI
(urutan ABC)
5.4. Sistem Polifasa
Pada sistem polifasa (polyphase system), yang secara umum kita
sebut N-fasa, kita mempunyai N penghantar fasa dan satu
penghantar netral. Tegangan fasa-netral dan arus di pengahantar
dapat kita nyatakan sebagai
dst. .... BBBB
AAAA
V
V
α∠==
α∠==
VV
VV
dst. .... BBB
AAA
I
I
β∠=
β∠=
I
I (5.8)
Dalam system ini, jika I adalah arus penghantar netral, maka
0=+⋅⋅⋅⋅+++ CBA IIII (5.9)
Daya kompleks total pada sistem N-fasa adalah jumlah daya dari
setiap fasa, yaitu:
∑∑∑ === ∗
i
i
ii QQPPS ; ;IV (5.10)
dengan iV adalah tegangan fasa-netral dari penghantar fasa ke-i
dan iI adalah arus penghantar ke-i.
Tegangan fasa-fasa adalah
jjiijiij VV α∠−α∠=−= VVV (5.11)
94 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Sistem Seimbang. Jika sistem beroperasi seimbang maka
ϕ=β−α=β−α
===
===
dst ....
dst ....
....dst
iiii
LCBA
fCBA
IIII
VVVV
(5.12)
di mana Vf adalah tegangan fasa-netral, IL arus saluran, dan cosϕ
adalah factor daya. Dalam kondisi seimbang
ϕ=
ϕ=
=
sin
;cos
;
Lf
Lf
Lf
IVQ
IVP
IVS
(5.13)
Jika beda sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah θ maka
o360=θ (5.14)
Relasi antara tegangan fasa-fasa dan tegangan fasa adalah
θ−= cos22 222ffij VVV
atau
)cos1(2 θ−=f
ij
V
V (5.15)
95
Hubungan Beban. Beban terhubung bintang dan poligon terlihat
pada Gb.5.8.
Hubungan bintang. Hubungan poligon.
Gb.5.8. Hubungan beban.
Dalam pembebanan seimbang daya yang diserap setiap impedansi
haruslah sama besar. Dengan demikian relasi antara impedansi ZY
dan Z∆ dapat dicari.
)cos1(2 )cos1(2 222
θ−=⇒=θ−
= ∆
∆∆ YY
ffij
Z
Z
Z
V
Z
V
Z
V (5.16)
Tabel-5.1 memuat nilai θ, rasio tegangan fasa-fasa terhadap
tegangan fasa ( fij VV / ), dan rasio impedansi hubungan polygon
terhadap impedansi hubungan bintang ( Y/ ZZ ∆ ).
Tabel.5.1. θ, fij VV / dan Y/ ZZ ∆
θ [o] fij VV / Y/ ZZ ∆
2 180 2,000 4,0000
3 120 1,732 3,0000
6 60 1,000 1,0000
9 40 0,684 0,4679
12 30 0,518 0,2679
ZY
ZY
ZY
Z∆
Z∆
Z∆
Z∆
LI LI
∆I
96 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
5.4. Sistem Enam Fasa Seimbang
Kita mengambil contoh sistem enam fasa seimbang. Pada sistem ini,
perbedaan sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah 60o.
Jika fasa A dipakai sebagai referensi dengan urutan ABC, maka enam
fasa tersebut adalah
;300
;240
;180
;120
;60
;0
o
o
o
o
o
o
−∠=
−∠=
−∠=
−∠=
−∠=
∠=
fnF
fnE
fnD
fnC
fnB
fnA
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
(5.17)
Gb.5.9. Fasor tegangan sistem enam fasa seimbang.
Dalam diagram fasor ini hubungan tegangan fasa-fasa dan fasa-
netral adalah sebagai berikut:
Im
FV
AV
BV
Re
60ο θ
CV
DV
EV
Ν
97
o
o
o
ooo
ooo
ooo
240
180
120
60180120
012060
60600
−∠=
−∠=
−∠=
−∠=−∠−−∠=−=
∠=−∠−−∠=−=
∠=−∠−∠=−=
fFA
fEF
fDE
fffDCCD
fffCBBC
fffBAAB
V
V
V
VVV
VVV
VVV
V
V
V
VVV
VVV
VVV
(5.18)
CONTOH-5.9: Satu sumber enam fasa seimbang dengan o01000∠=AV V, mencatu beban seimbang yang menyerap daya
sebesar 900 kVA pada factor daya 0,8 lagging. Jika urutan fasa
adalah ABC, hitunglah
a). arus saluran;
b). tegangan fasa-fasa AEV ;
c). impedansi ekivalen untuk hubungan bintang;
d). impedansi ekivalen untuk hubungan segi enam.
Penyelesaian:
a). Arus saluran:
A 1501
6/900
1000
6/6====
f
A
fL
S
V
SI
b). Tegangan fasa-fasa AEV :
V 301732
303500260100001000
o
ooo
∠=
−∠×=−∠+∠=−= EAAE VVV
c). Impedansi ekivalen untuk hubungan bintang
Ω=== 67,6150
1000
L
fY
I
VZ
o1 9,36)8,0(cos +==ϕ − ( factor daya lagging)
→ Ω∠= 9,3667,6 oYZ
98 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
d). Impedansi ekivalen untuk hubungan segi-enam:
)cos1(2 θ−=∆
YZ
Z
Ω∠==−=∆ 9,3667,6 )60cos1(2 ooYY ZZZ
99
BAB 6
Pembebanan Nonlinier
(Analisis Di Kawasan Waktu)
Penyediaan energi elektrik pada umumnya dilakukan dengan
menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang
mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun
perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada
peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alat-
alat seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke
mesin cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan
semua peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan
elektronik, yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga
semakin banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus.
Pembebanan-pembebanan semacam ini membuat arus beban tidak lagi
berbentuk gelombang sinus.
Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk
sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus
dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini
mengandung harmonisa.
6.1. Sinyal &onsinus
Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal
nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi
gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di
sistem tenaga.
Dalam Analisis Rangkaian Listrik kita telah membahas bagaimana
mencari spektrum amplitudo dan sudut fasa dari bentuk sinyal nonsinus
yang mudah dicari persamaannya [2]. Berikut ini kita akan membahas
cara menentukan spektrum amplitudo sinyal nonsinus melalui
pendekatan numerik. Cara ini digunakan jika kita menghadapi sinyal
nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya. Cara pendekatan ini
dapat dilakukan dengan bantuan komputer sederhana, terutama jika
sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari suatu pengukuran analog.
Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan menggunakan alat ukur
100 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
elektronik yang dapat menunjukkan langsung spektrum amplitudo dari
sinyal nonsinus yang diukur.
Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu
sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier
dengan formula seperti berikut ini.
∫
∫
∫
−
−
−
>ω=
>ω=
=
2/
2/0
0
2/
2/0
0
2/
2/00
0
0
0
0
0
0
0 ; )sin()(2
0 ; )cos()(2
)(1
T
Tn
T
Tn
T
T
ndttntyT
b
ndttntyT
a
dttyT
a
dengan T0 adalah perioda sinyal.
Integral ∫−2/
2/
0
0
)(T
Tdtty adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)
dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam
rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T0), yang berarti dibagi
dengan T0, akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen
searah a0.
Integral ∫− ω2/
2/0
0
0
)cos()(T
Tdttnty adalah luas bidang yang dibatasi oleh
kurva )cos()( 0tnty ω dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika
luas bidang ini dikalikan dengan (2/T0), yang berarti dibagi (T0/2), akan
diperoleh an. Di sini T0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T0
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω0.
Integral ∫− ω2/
2/0
0
0
)sin()(T
Tdttnty adalah luas bidang yang dibatasi oleh
kurva )sin()( 0tnty ω dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika
luas ini dikalikan dengan (2/T0) akan diperoleh bn. Seperti halnya
penghitungan an, T0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T0
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω0.
Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka
pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas
101
bidang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat
dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponen-
komponennya diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah
untuk diintegrasi.
Prosedur Pendekatan *umerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)
dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.
1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar
masing-masing ∆tk; ∆tk bisa sama untuk semua segmen bisa juga
tidak, tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤
q dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang
tersebut. Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu
segmen merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi
kanan suatu segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya.
Jika sisi kanan segmen (trapesium) adalah Ak maka sisi kirinya
adalah Ak-1, maka luas segmen ke-k adalah
( ) 2/1 kkkk tAAL ∆×+= − (6.1)
Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah
∑∫=
≈m
k
k
q
pLdttf
1
)( (6.2)
2. Nilai ∆tk dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih
berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal
diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari
harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n
segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak
lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi
menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat
memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan
mudah dilakukan namun cukup teliti.
3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti
berikut:
102 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
[ ]
[ ]
[ ]∑ ∑
∑∑
∑∑
=
−−
=
−−
=
−
=∆ω+ω
=
=∆ω+ω
=
=∆+
=
m
k
kbnkkkkn
kanm
k
kkkkn
kam
k
kkk
T
LttnAtnA
Tb
T
LttnAtnA
Ta
T
LtAA
Ta
1 0
1010
0
01
1010
0
0
0
1
1
00
2/2
)sin()sin(2
2/
2
)cos()cos(2
2
1
(6.3)
4. Formula untuk sudut fasa adalah
=ϕ −
n
nn
a
b1tan (6.4)
5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan
numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.
Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a1 = 0 dan b1 =
150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang
sedikit menyimpang, misalnya a1 = 0,01 dan b1 = 150,2.
6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah 22nnn baA += .
Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan
mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas
pada waktu kita membahas spektrum sinyal. Persamaan sinyal
nonsinus adalah
)cos()(
1
022
0 ∑∞
=
ϕ−ω++=
n
nnn tnbaaty (6.5)
Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva
yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik
dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil
pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut
ini.
103
CO&TOH-6.1:
Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal
periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang
diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini
adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam
0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.
Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t
dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan Ak
untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan
sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian
selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula
sisi kanan segmen terakhir pada t = T0. Hasil perhitungan yang
diperoleh dimuatkan dalam Tabel-1.1 (hanya ditampilkan sebagian),
dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan
sampai 2 angka di belakang koma.
-200
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
0 0,002
0,004
0,006
0,008
0,01
0,012
0,014
0,016
0,018
0,02
y[volt]
t[detik]
104 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Tabel-6.1. Analisis Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-6.1.
T0 = 0,02 s
∆tk = 0,0004 s
Komp.
searah
Fundamental
f0 = 1/T0 = 50 Hz Harmonisa ke-3
t Ak Lka0 Lka1 Lkb1 Lka3 Lkb3
0 50
0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006
0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019
0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035
: : : : : : :
0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005
0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001
0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001
Jumlah Lk 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211
a0 19,90
a1, b1 0,36 150,05
a3, b3 −21,18 21,13
Ampli-1, ϕ1 150,05 1,57
Ampli-3, ϕ3 29,92 -0,78
Tabel ini memberikan
78,0)18,21/13,21(tan
92,2913,21)18,21( 13,21 ;18,21
57,1)36,0/05,150(tan
05,15005,15036,0 05,150 ;36,0
90,19
13
22333
11
22111
0
−=−=ϕ
=+−=⇒=−=
==ϕ
=+=⇒==
=
−
−
Aba
Aba
a
Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa ke-
dua. Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil
43,492 =a dan 36,02 −=b
43,49 2 =Aamplitudo dan 01,02 −=ϕ
105
Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal
yang diberikan adalah
)78,06cos(92,29
)01,04cos(43,49)57,12cos(05,15090,19)(
0
00
+π+
+π+−π+=
tf
tftfty
6.2. Elemen Linier Dengan Sinyal &onsinus
Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal
sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.
CO&TOH-6.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus
)5,15sin(10)2,03sin(20)5,0sin(100 +ω+−ω++ω= tttv V
(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,
dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)
kurva tegangan dan arus kapasitor.
Penyelesaian:
(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah dt
dvCiC =
Oleh karena itu arus kapasitor adalah
A )07,35sin(50
)37,13sin(60)07,2sin(100
)5,15cos(50
)2,03cos(60)5,0cos(100
)5,15sin(10)2,03sin(20)5,0sin(100
+ωω+
+ωω++ωω=
+ωω+
−ωω++ωω=
+ω+−ω++ω=
tC
tCtC
tC
tCtC
dt
tttdCiC
(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.
detik
[V]
vC
iC
-150
-100
-50
0
50
100
150
0 0.005 0.01 0.015 0.02
[A] 5
2,5
0
−5
−2,5
106 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi
nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata
fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik
memberikan nilai rata-rata
14108,1 −×=rrv V dan 17105 −×=rri A.
*ilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai rata-
rata sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T0 adalah
∫=T
rr dttyT
Y00
)(1
(6.6)
Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal
tersebut.
*ilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T0
adalah
∫=T
rms dttyT
Y0
2
0
)(1
(6.7)
Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y1 = Ym1 sin(ωt + θ)
adalah
2)(sin
1 1
0
221
01
mT
mrms
YdttY
TY =θ+ω= ∫ (6.8)
Nilai efektif sinyal nonsinus ∑∞
=
θ+ω+=1
00 )sin()(
n
nmn tnYYty adalah
∫ ∑
θ+ω+=
∞
=
T
n
nmnrms dttnYYT
Y0
2
1
000
)sin(1
Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan
∫ ∑
θ+ω+=
∞
=
T
n
nmnrms dttnYYT
Y0
2
1
000
2 )sin(1
atau
107
∫
∑
∑
∑
∫ ∑
+
θ+ωθ+ω+
θ+ωθ+ω+
θ+ω
+
θ+ω+=
∞
=
∞
=
∞
=
∞
=
T
n
nmnm
n
nmnm
n
nmn
T
n
nmnrms
dt
tnYtY
tnYtY
tnYY
T
dttnYYT
Y
0
3
0202
2
0101
1
00
0
01
0222
00
2
.................................
)sin()2sin(2
)sin()sin(2
)sin(2
1
)(sin1
(6.9)
Melalui kesamaan trigonometri
)cos()cos(sinsin2 β+α−−α=βα b
dan karena Y0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (6.8)
merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing
memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh
karena itu (6.9) dapat kita tulis
∫ ∑
θ+ω+=
∞
=
T
n
nnmrms dttnYYT
Y0
1
0222
02 )(sin
1 (6.10)
atau
∑
∑ ∫∫∞
=
∞
=
+=
θ+ω+=
1
220
10
022
0
20
2
)(sin11
n
nrms
n
T
nnm
t
rms
YY
dttnYT
dtYT
Y
(6.11)
Persamaan (6.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non
sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua
nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah
untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus
sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y0),
108 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
komponen fundamental (y1), dan komponen harmonisa (yh). Komponen
searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah
komponen dengan frekuensi fundamental ω0, sedangkan komponen
harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang
memiliki frekuensi nω0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat
dinyatakan sebagai
hyyyy ++= 10
Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri
dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen
harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen
searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses
transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang
sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya
kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang
ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai
hyyy += 1 (6.12)
dengan )sin( 1011 θ+ω= tYy m
dan ∑=
θ+ω+=k
n
nnmh tnYYy
2
00 )sin( .
Dengan demikian maka relasi (1.11) menjadi
221
2hrmsrmsrms YYY += (6.13)
Dalam praktik, komponen harmonisa yh dihitung tidak melibatkan
seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita
spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi
tertinggi yang ditentukan yaitu kω0; sinyal dengan frekuensi di atas batas
frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup
kecil untuk diabaikan.
CO&TOH-6.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji
memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per
detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;
(b) uraian harmonisa.
Penyelesaian:
109
(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: ttv 400)( = .
Nilai efektif:
V 55,11 3
1600
05,0
1)400(
05,0
105,0
0
305,0
0
2 ≈
== ∫ tdttVrms
(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam
contoh di Bab-3, yaitu
V 7sin909,06sin061,15sin273,1
4sin592,13sin122,22sin183,3sin366,610)(
000
0000
ttt
tttttv
ω−ω−ω−
ω−ω−ω−ω−=
Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,
tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.
V 5,42
366,61 ≈=rmsV
V 5,102
10,2
2
166,310
222 ≈++=hrmsV
V 4,1135,1049,4 22221 ≈+=+= hrmsrmsrms VVV
Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai
efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen
fundamentalnya.
CO&TOH-6.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus
A sin 0ti ω= sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:
A )10cos(007.0)8cos(010.0)6cos(018,0
)4cos(042,0 ) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,0)(
000
000
ttt
tttti
ω+ω+ω+
ω+ω+−ω+=
Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,
dan arus total.
Penyelesaian:
Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total
berturut-turut adalah
110 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
354,02
5,01 ==rmsI A
A 5430,
2
007,0
2
01,0
2
018,0
2
042,0
2
212,0318,0
222222
=
+++++=hrmsI
A 5,0354,0354,02222
1 ≈+=+=hrmsrmsrms III
Contoh-6.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang
nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen
harmonisanya.
CO&TOH-6.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua
komponen yaitu tv ω= sin2001 dan tv ω= 15sin2015 . Jika
diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai
efektif arus yang diberikan oleh v1; (b) nilai efektif arus yang
diberikan oleh v15; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga
arus tersebut sebagai fungsi waktu.
Penyelesaian:
a). Komponen tegangan pertama adalah )100sin(2001 tv π= V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
ttdtdvi π=ππ×××=×= −− 100cos257,1 100cos1002001020/1020 61
61
Nilai efektifnya adalah: A 89,02
257,11 ==rmsI
b). Komponen tegangan ke-dua adalah )1500sin(2015 tv π= V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
t
tdtdvi
π=
ππ×××=×= −−
1500cos885,1
1500sin1500201020/10206
156
15
Nilai efektifnya adalah: A 33,12
885,115 ==rmsI
c). Tegangan gabungan adalah
)1500sin(20)100sin(200 ttv π+π=
111
Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah
tt
vvdt
ddtdvi
1500cos885,1100cos257,1
)(1020/1020 15166
+π=
+×=×= −−
Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang
berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.
Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di
jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah
A 60,133,189,0 22215
21 =+=+= rmsrmsrms III
d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.
CO&TOH-6.5: Arus tti ω+ω= 3sin2,0sin2 A, mengalir pada beban
yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan
induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva
tegangan dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban
dan arus beban.
Penyelesaian:
(a) Arus beban adalah tti ω+ω= 3sin2,0sin2 . Tegangan beban
adalah
V 3cos3,0cos3sin20sin200
tttt
dt
diLiRvvv LR
ωω+ωω+ω+ω=
+=+=
Kurva tegangan dan arus beban dibuat dengan sumbu mendatar
dalam detik. Karena frekuensi 50 Hz, satu perioda adalah 0,02
detik.
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 detik
A i1 i i15
112 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
(b). Nilai efektif arus beban adalah
A 42,12
2,0
2
2 2223
21 =+=+= rmsrmsrms III
Tegangan beban adalah
V 3cos3,0cos3sin20sin200 ttttv ωω+ωω+ω+ω=
Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah
V 272 2
)3,0(20
2
2002222
=ω+
+ω+
=rmsV
6.3. Daya Pada Sinyal &onsinus
Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula
pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,
sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.
Kita tinjau resistor Rb yang menerima arus berbentuk gelombang
nonsinus
hRb iii += 1
Nilai efektif arus ini adalah 22
12
hrmsrmsRbrms III +=
Daya nyata yang diterima oleh Rb adalah
bhrmsbrmsbRbrmsRb RIRIRIP 221
2 +=×= (6.14)
-600
-400
-200
0
200
400
600
0 0.005 0.01 0.015 0.02
2
4
0
−2
−4
AV
detik
v
i
113
Formulasi (6.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri
dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata
diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.
CO&TOH-6.6: Seperti pada contoh-1.5, arus tti ω+ω= 3sin2,0sin2
A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan
induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan
dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban
sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya
yang diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus
resistor; (b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada
pertanyaan b; (c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.
Penyelesaian:
(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i
sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: pR =
i2R = vRiR
Kurva dari p dan pR terlihat pada gambar berikut.
(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.
Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif
yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-3.5. yaitu
1,42 A. Daya nyta yang diterima beban adalah
202100)42,1( 22 =×== RIP rmsR W.
Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya
rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan
dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah
-400
-200
0
200
400
600
0 0.005 0.01 0.015 0.02
W p = vi pR = i2R = vRiR
detik
114 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Prr = 202 W
(c) Kurva pR selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W
yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif
yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p
ini sama dengan nilai rata-rata kurva pR yang menunjukkan
bagian nyata dari daya tampak.
CO&TOH-6.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah
)5,15sin(10)2,03sin(20)5,0sin(100 +ω+−ω++ω= tttv V
Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang
diserap resistor.
Penyelesaian:
Arus yang mengalir adalah
)5,15sin(5,0)2,03sin()5,0sin(5 +ω+−ω++ω== tttR
vi A
Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah
2
5,0 ;
2
1 ;
2
5531 === rmsrmsrms III
Arus efektif yang mengalir adalah
A 62,32
25,26
2
25,0
2
1
2
25==++=rmsI
Daya nyata yang diserap resistor adalah
W5,262202
25,0
2
1
2
252 =×
++== RIP rmsR
CO&TOH-6.8: Tegangan nonsinus ttv ω+ω= 3sin10sin100 V, terjadi
pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung
paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah
50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya
nyata yang diserap beban.
Penyelesaian:
115
(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (iR) dan
kapasitor (iC).
ttR
viR ω+ω== 3sin1,0sin
( )ttdt
dvCiC ωω+ωω×== −
3cos30cos10010506
Arus total beban:
tttti ωω+ω+ω+ω= 3cos0015.0cos005,03sin1,0sin
(b). Arus efektif melalui resistor
A 71,02
1,0
2
1 22
=+=RrmsI
Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap
resistor:
W5010071,0 2 =×=RP
6.4. Resonansi
Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam
frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa
bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi
resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan
melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi
harmonisa.
CO&TOH-6.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025
H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total
sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung
kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan
resonansi.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah
4,2828105025,0
11
6=
××==ω
−LCr
Hz 4502
4,2828=
π=rf
116 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Inilah frekuensi harmonisa ke-9.
CO&TOH-6.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu
beban melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam
keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total
rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari
sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak
ada beban tersebut.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah
rad/det 4,15691003,202,0
11
6=
××==ω
−LCr
atau Hz 78,2492
4,1569=
π=rf
Resonansi akan terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.
6.5. Pembebanan &onlinier Dilihat Dari Sisi Beban
Rangkaian yang akan kita tinjau terlihat pada Gb.6.1. Sebuah sumber
tegangan sinus memberikan arus pada resistor Rb melalui saluran dengan
resistansi Rs dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah;
pengubah arus inilah yang
menyebabkan arus yang
mengalir di Rb berbentuk
gelombang nonsinus.
Menurut teorema Tellegen,
transfer daya elektrik hanya bisa
terjadi melalui tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban
ini, Rb hanya melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara
bagaimana arus ini sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.
hRb iii += 1 (6.15)
dengan )sin( 1011 θ+ω= tIi m
∑=
θ+ω+=k
n
nnmh tnIIi
2
00 )sin(
Inilah arus yang diterima oleh Rb.
inonsinus
Rb
p.i. vs + −
Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.
Rs
117
Daya nyata yang diterima oleh Rb adalah
bhrmsbrmsRb RIRIP 221 += (6.16)
6.6. Pembebanan &onlinier Ditinjau Dari Sisi Sumber
Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu tVv ss 0sinω= .
Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus
sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari
sumber adalah
θ+ω+ω+θ+ωω=
=
∑=
k
n
nnss
sss
tnIItVttIV
titvp
2
0001001 )sin(sin )sin(sin
)()(
(6.17)
Suku pertama (6.17) memberikan daya
)2cos(2
cos2
2
)2cos(cos)sin(sin
101
11
101110011
θ+ω−θ=
θ+ω−θ=θ+ωω=
tIVIV
tIVttIVp
ss
sss
(6.18)
Walaupun suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol
akan tetapi suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti ps1
memberikan transfer energi netto.
Suku kedua (6.17) memberikan daya
[ ]
20
2
0000
sin)sin(sin
shs
n
nnsssh
pp
ttnIVtIVp
+=
ωθ+ω+ω= ∑∞
= (6.19)
Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku kedua
juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam tanda
kurung pada (6.19) berbentuk fungsi cosinus.
( ) ( ) ∑∞
=
θ+ω−−θ+ω+=
2
00 )1(cos)1(cos2
n
nnn
s tntnI
Vy
yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa psh tidak
memberikan transfer energi netto.
118 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan
nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu
shss ppp += 1 (6.20)
Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, ps1, yang
memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya ps1 yang
memberikan daya nyata, yaitu sebesar
1111
1 coscos2
θ=θ= rmssrmss
s IVIV
P (6.21)
dengan θ1 adalah beda susut fasa antara vs dan i1. Sementara itu Psh
merupakan daya reaktif.
Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang
diterima oleh Rb adalah PRb , jadi daya nyata yang diberikan oleh sumber,
yaitu Ps1, haruslah diserap oleh Rb dan Rs.
6.7. Kasus Penyearah Setengah Gelombang
Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan
mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal
sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda. Rangkaian
penyearah yang kita tinjau terlihat pada Gb.6.2.a.
a).
b).
Gb.6.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.
vs
is
iR
pR 0 0 90 180 270 360 450 540 630 720
Vs
−Vs
vs
iR
pR pR ωt [o]
vs R vR
119
Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah
perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai
nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6adalah
V )6cos(018,0 )4cos(042,0
) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,0)(
00
00
ω+ω+
ω+−ω+×=
tt
ttIti m (6.22)
Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang
mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi,
arus sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung
seri; tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda
dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan
bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus
sumber sama dengan nol. Gb.6.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva
tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya
merupakan fungsi nonsinus.
Pada persamaan (6.22) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi
cosinus yaitu
)57,1cos(5,0 01 −ω= tIi m
Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90o ke arah positif
dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus
)sin(5,0 01 tIi m ω=
Pernyataan i1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk
gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan
yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;
ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.
CO&TOH-6.11: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi
internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui
penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah
V sin380 0tvs ω= dan resistansi beban Rb adalah 3,8 Ω. Hitung
daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan
oleh sumber.
Penyelesaian:
120 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.
Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi
A )6cos(8,1 )4cos(2,4
) 2cos(2,21)57,1cos(508,31)(
00
00
ω+ω+
ω+−ω+=
tt
ttti
yang memberikan arus-arus efektif pada beban
A; 31,35 2
8,1
2
2,4
2
2,218,31
A; 2
50
2222
1
=+++=
=
bhrms
rmsb
I
I
Daya yang diterima beban adalah
( ) kW 5,9 W94888,3221
2 ≈=×+== bhrmsrmsbbrms IIRIP
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah
tvs 0sin380 ω= . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh
sumber adalah sama dengan arus fundamental beban
ttii Rbs 0011 sin50)57,1cos(50 ω=−ω== A
dengan nilai efektif 2/501 =srmsI A
Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.
Daya dikeluarkan oleh sumber adalah
kW 5,92
50
2
380rms 1rms 1 =×== sss IVP
Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang
diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah
( )
( ) ( ) kW 2cos(119 2cos(12
50380
2cos(12
00
01
1
tt
tIV
p ss
ω−=ω−×
=
ω−=
Gb.6.3 memperlihatkan kurva ps1 pada Contoh-2.1 di atas. Kurva ps1
bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,
121
dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari
nilai puncak yaitu 9,5 kW.
Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, ps0 yaitu suku
pertama (6.19), dan komponen harmonisa psh2 yaitu suku ke-dua
persamaan (6.19), juga diperlihatkan dalam Gb.6.3. Kurva kedua
komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki
nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen
harmonisa tidak memberikan daya nyata.
Gb.6.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.
Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada
penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir
sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di
keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah
kW )2cos1(382
0cos2cos38000
sin38000sin
00
02
02
tt
ttIVp sss
ω+=+ω
=
ω=ω=
Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap
setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber
menjadi setengahnya, sehingga
kW )2cos1(19 0tp gelsetengah ω+= , dan inilah ps1.
CO&TOH-6.12: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi
internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel
dengan resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang.
Tegangan sumber adalah V sin380 0tvs ω= dan resistansi beban R
adalah 3,8 Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.
t [det]
W ps0
ps1
psh2
-15000
-10000
-5000
0
5000
10000
15000
20000
0 0.005 0.01 0.015 0.02
122 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penyelesaian:
Rangkaian sistem ini adalah seperti berikut
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah
A 952,08,3
380=
+=mI
Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi
A )6cos(71,1)4cos(09,4
)2cos(14,20)57,1cos(5,4721,30
)6cos(018,0 )4cos(042,0
) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,095)(
00
00
00
00
tt
tt
tt
ttti
ω+ω+
ω+−ω+=
ω+ω+
ω+−ω+×=
Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah
A 54,332
71,1
2
09,4
2
14,2021,30
A; 33,592
5.47
2222
1
=+++=
==
hrms
rms
I
I
Daya yang diterima Rb adalah
W85638,3)54,3359,33( 222 =×+== brmsRb RIP
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental
sumber adalah
V sin380 0tvs ω=
A sin5,47)57,1cos(5,47 001 ttii Rbs ω=−ω==
vs=380sinω0t Rb=3,8Ω Rs=0,2Ω
123
Tidak ada beda fasa antara vs dan is1. Daya nyata yang diberikan oleh
sumber adalah
W90252
5,47
2
3800cos
o1 =×== rmssrmss ivP
Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran
adalah
W7,450 )55,336,33(02,0
)(02,002,0
22
221
2
=+×=
+×=×= hrmsrmssrmssaluran iiiP
Perbedaan angka perhitungan PRb dengan (Ps – Psaluran) adalah
sekitar 0,2%.
6.8. Perambatan Harmonisa
Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,
melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban
linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan
demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier
saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut
perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada
suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.6.4. memperlihatkan
rangkaian yang dimaksud.
Gb.6.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.
Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni tVv sms 0sin ω= .
Sumber ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi Rs.
Beban yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari
beban linier Ra dengan arus ia dan beban Rb yang dialiri arus nonlinier ib
= ib1 + ibh dengan ib1 adalah komponen fundamental dari ib dan ibh adalah
komponen harmonisa total dari ib.
vs Rb Ra
ia ib=ib1+ibh
is
Rs
A
B
124 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi
Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua
beban, memberikan
0)(//)( 1 =+++− bhbaAssA iiRvRvv
dan dari sini kita peroleh
)( 1 bhbas
ass
as
aA ii
RR
RRv
RR
Rv +
+−
+= (6.23)
Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan
tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat
selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminal-
bersama ini juga mengandung harmonisa.
)( 1 bhbas
s
as
s
a
Aa ii
RR
R
RR
v
R
vi +
+−
+== (6.24)
Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus
tVv sms 0sin ω= , keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu
)(
)()(
1
11
bhbas
a
as
s
bhbbhbas
s
as
s
bas
iiRR
R
RR
v
iiiiRR
R
RR
v
iii
+
++
+=
++++
−+
=
+=
(6.25)
Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang
seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan
penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.
CO&TOH-6.13: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, V sin240 0tv ω=
memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber
ini mencatu beban resistif Ra = 5 Ω melalui saluran yang memiliki
resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu Rb = 5 Ω dengan
penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan Ra.
Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap Ra sebelum Rb dan
penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap Rb sesudah Rb
dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap Ra sesudah
125
Rb dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran
Rs; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata
yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian
rangkaian yang lain.
Penyelesaian:
(a) Sebelum Rb dan penyearah dihubungkan, rangkaian adalah
seperti di bawah ini.
Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang
diserap Ra dan Rs , serta daya nyata yang diberikan sumber
adalah
A 28,28)15/()2/240( =+=RarmsI
W4000528,28 2 =×=RaP ; W800128,28 2 =×=RsP
RsRas PPP +==×= W 48002/24028,28
(b) Setelah Rb dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi
Untuk menghitung iRb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin
terlebih dulu di terminal A-B.
V sin200sin24051
500 ttvsTh ω=ω×
+= ;
Ω=+×
= 833,0 51
51sThR
Setelah Rb dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,
rangkaian menjadi
is
Rs=1Ω
A
B
Ra = 5Ω vs=
240sinω0t
vs Rb Ra
ia iRb=
iRb1+iRbh
is
Rs
A
B
126 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Nilai maksimum arus iRb adalah
A 29,345833,0
200=
+=RbmI
Arus yang melalui Rb menjadi
)6cos(62,0)4cos(47,1
)2cos(27,7)57,1cos(14,179,10
)6cos(018,0)4cos(042,0
)2cos(212,0)57,1cos(5,0318,029,34
00
00
00
00
tt
tt
tt
ttiRb
ω+ω+
ω+−ω+=
ω+ω+
ω+−ω+×=
Dari sini kita peroleh
A 1.122/62,02/47,12/27,79,10
A 12,122
14,17
2222
1
=+++=
==
Rbhrms
rmsRb
I
I
Daya yang diserap Rb adalah
W14705)1.1212,12( 22 ≈×+=RbP
(c) Untuk menghitung daya yang diserap Ra setelah Rb
dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus
Kischhoff untuk simpul A memberikan
Rbs
s
asARb
a
A
s
sA iR
v
RRvi
R
v
R
vv−=
+⇒=++
− 110
isTh
0,833Ω
A
B
5Ω vsTh =
200sinω0t
ib=ib1+ibh
127
( )
AhAbh
bh
bhbas
ass
as
aA
vvit
itt
iiRR
RRv
RR
Rv
−=−ω=
+ω××
−ω×=
++
−+
=
10
00
1
V 6
5sin71,185
sin14,176
15sin240
6
5
)(
V 32,1312
71,1851 ==⇒ rmsAV
)6cos(51,0)4cos(23,1)2cos(06,609,9
)6cos(62,0)4cos(47,1
)2cos(27,79,10
6
5
6
5
000
00
0
ttt
tt
tiv bhAh
ω+ω+ω+=
ω+ω+
ω+×=×=
V 09,102
51,0
2
23.1
2
06,609,9
2222 =+++=⇒ AhrmsV
Daya yang diserap Ra adalah
W34695
09,10
5
32,1312222
1 =+=+=a
Ahrms
a
rmsARa
R
V
R
VP
(d) Tegangan jatuh di saluran adalah
V sin29,54sin71,185sin240 000
11
ttt
vvv Ass
ω=ω−ω=
−=∆
→ V 39,382
29,541 ==∆ rmssV
→ V 09,10==∆ Ahrmsshrms VV
Daya yang diserap saluran adalah
W1575 1
09,10
1
39,382222
1 =+=∆
+∆
=s
shrms
s
rmssRs
R
V
R
VP
128 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
(e) Tegangan sumber adalah
V sin240 0tv ω=
Arus fundamental sumber adalah
A sin29,54 01
1 tR
vi
s
ss ω=
∆=
Daya nyata yang diberikan sumber
W65152
29,54
2
24011 =×==
RIVp rmsssrmss
(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah Rs,
Ra, dan Rb. Daya nyata yang diserap adalah
W6512146834691575 =++=++= RbRaRsRtotal PPPP
Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan
sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain
dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatan-
pembulatan).
6.9. Ukuran Distorsi Harmonisa
Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh
karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan
diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.
Crest Factor. Crest factor didefinisikan sebagai
efektif nilai
puncak nilai =factorcrest
Total Harmonic Distortion (THD). THD digunakan sebagai ukuran
untuk melihat berapa besar pengaruh keseluruhan adanya harmonisa
terhadap sinyal sinus. Pengaruh keseluruhan harmonisa diperbandingkan
terhadap komponen fundamental, karena komponen fundamental-lah
yang memberikan transfer energi nyata.
129
Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai
rms
hrmsV
V
VTHD
1
= (6.26)
Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai
rms
hrmsI
I
ITHD
1
= (6.27)
CO&TOH-6.14: Arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai
puncak arus 100 A, memiliki sampai harmonisa ke-enam sebagi
A )6cos(8,1 )4cos(2,4
) 2cos(2,21)57,1cos(508,31)(
00
00
ω+ω+
ω+−ω+=
tt
ttti
Hitunglah crest factor dan THDI.
Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal
tersebut
A 31,35 2
8,1
2
2,4
2
2,218,31
A; 2
50
2222
1
=+++=
=
bhrms
rmsb
I
I
Nilai efektif arus adalah
A 7,4931,352/50 22 =+=rmsI
Crest factor adalah: 22,49
100.. ==fc ;
THDI adalah: 12/50
31,35
1
≈==rms
hrmsI
I
ITHD atau 100%
Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung
dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai
puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan
arus secara umum adalah
130 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
ϕ−ω+= ∑
=
maksn
n
nnm tnAAIti
1
00 )cos()(
sehingga dalam perhitungan Irms, I1rms, dan Ihrms faktor Im akan
terhilangkan.
131
BAB 7
Pembebanan Nonlinier
(Analisis Di Kawasan Fasor)
7.1. Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, suatu sinyal sinus di
kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus
] cos[)( 0 φ−ω= tVtv A
dengan VA adalah amplitudo sinyal, ω0 adalah frekuensi sudut, dan φ
adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi
cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil
sebagai pernyataan standar.
Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal
sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan
sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu
dinyatakan sebagai )cos()( θ+ω= tAtv maka di kawasan fasor ia
dituliskan dalam format kompleks sebagai θ= jAeV dengan A adalah
nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan
sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan
sebagai
θ+θ=θ∠= sincos jAAAV
yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti
pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0o maka pernyataan sinyal di
kawasan waktu menjadi )cos()( tAtv ω= yang dalam bentuk fasor
menjadi o0 ∠= AV dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu
sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai
)2/cos()sin()( π−ω=ω= tAtAtv di kawasan fasor menjadi
o90 −∠= AV dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c
132 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
a). b).
c).
Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:
a) )cos()( θ+ω= tAtv ; b) )cos()( tAtv ω= ; c) )sin()( tAtv ω= .
Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal
nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena
walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi
(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi
mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus
terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen
sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.
Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponen-
komponennya dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen
sinus sinyal ini adalah
tnbtnati nnn ω+ω= sincos)(
yang dapat dituliskan sebagai
)cos()( 22nnnn tnbati θ−ω+=
yang dalam bentuk fasor menjadi
nnnn ba θ−∠+= 22I dengan n
n
a
b1tan −=θ
Mengacu pada Gb.7.1, diagram fasor komponen sinyal ini adalah seperti
pada Gb.7.2.
Im
Re
o90 −∠= AV
Im
Re
θ∠= AV
θ
Im
Re
o0 ∠= AV
133
Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan an > 0 dan bn > 0.
Fasor nI pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika an positif dan bn
positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90o − θ). Gb.7.3
berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai an dan bn yang lain.
Gb.7.3. Fasor komponen arus nonsinus untuk berbagai kombinasi nilai
an dan bn.
θ−∠+= 22 nnn baI
Im
Re
an
bn
θ
)180( o22 θ+∠+= nnn baI
Im
Re
an
bn
θ
an < 0, bn > 0
In lagging (900 − θ)
terhadap sinyal sinus
)180( o22 θ−∠+= nnn baI
Im
Rean
bn
θ an < 0, bn < 0
In lagging (900 + θ)
terhadap sinyal sinus
θ∠+= 22 nnn baIIm
Rean
bn
θ an > 0, bn < 0
In leading (900 + θ)
terhadap sinyal sinus
134 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang
dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar
fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh
karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal
nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.
CO&TOH-7.1: Uraian di kawasan waktu arus penyearahan setengah
gelombang dengan nilai maksimum Im A adalah
A
)10cos(007.0
)8cos(010.0)6cos(018,0 )4cos(042,0
) 2cos(212,0)57,1cos(5,0318,0
)(
0
000
00
ω+
ω+ω+ω+
ω+−ω+
×=
t
ttt
tt
Iti m
Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.
Penyelesaian:
Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret
Fourier yang komponen fundamentalnya adalah
tti 01 sin5,00)( ω+= ; jadi sesungguhnya komponen ini adalah
fungsi sinus di kawasan waktu.
Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka
pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah
;02
007,0 ;0
2
010,0 ;0
2
018,0
;02
042,0 ;0
2
212,0 ;90
2
5,0 ;318,0
o10
o8
o6
o4
o2
o10
∠=∠=∠=
∠=∠=−∠==
mmm
mmmm
III
IIII
III
IIII
Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan
(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.
Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4
I1
I2 I4
135
Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus
dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi
A
)10cos(007.0)8cos(010.0
)57,16sin(018,0 )57,14sin(021,0
1,57) 2sin(212,0)sin(5,0318,0
)(
00
00
00
ω+ω+
+ω++ω+
+ω+ω+
=
tt
tt
tt
Iti m
Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi
dengan pernyataan fasornya o11 0∠= rmsII , maka masing-masing
komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:
..;.........902
018,0 ;90
2
042,0
;902
212,0 ;0
2
5,0 ;318,0
o6
o4
o2
o10
∠=∠=
∠=∠==
mm
mmm
II
III
II
III
Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada
Gb.7.5.
Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4
Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada
Gb.7.4 yang diputar 90o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan
referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar
fasor tidak berubah. Pada Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa komponen
harmonisa ke-2 ‘leading’ 90o dari komponen fundamental; demikian juga
dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor harmonisa ke-2
berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat dibanding dengan
komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4 berputar kearah positif
dengan frekuensi empat kali lipat dibanding komponen fundamental.
Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara langsung dijumlahkan.
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara
penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah
fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan
memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus
nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus
I1 I2 I4
136 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.
Fasor tegangan sumber akan berbentuk osrmss V 90−∠=V dan relasi-
relasi sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.
Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus
berkut ini
V sin100sin ttVv srmss ω=ω= , A 301 =rmsI 30o lagging dari
tegangan sumber dan A 502 =rmsI 90o leading dari tegangan
sumber.
Penyelesaian:
7.2. Impedansi
Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka
pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan
terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap
komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang
rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan
berbeda.
CO&TOH-7.3: Arus ttti 000 5sin303sin70sin200 ω+ω+ω= A
mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor
20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan
puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen
harmonisa.
(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah
15,159)1020502/(1 61 =×××π= −
CX →
23,15915,1595 221 =+=Z Ω
Im
Re
Vs
I1 30o
I2
137
Tegangan puncak fundamental adalah
kV 85,3120023,159111 ≈×=×= mm IZV
(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah
05,533/13 == CC XX → 29,5305,535 223 =+=Z Ω
Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah
kV 73,37029,53333 =×=×= mm IZV
(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah
83,315/15 == CC XX → 22,3283,315 223 =+=Z Ω
Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah
kV 97,03022,32555 =×=×= mm IZV
7.3. &ilai Efektif
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal
periodik nonsinus y, adalah
221 hrmsrmsrms YYY += (7.1)
dengan
rmsY1 : nilai efektif komponen fundamental.
hrmsY : nilai efektif komponen harmonisa total.
Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan
gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka
komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya
menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan
kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin
terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.
138 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban &onlinier
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier
terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus
nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh
pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam
analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini.
7.4.1. Daya Kompleks
Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif Vbrms V
dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif Ibrms A,
maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar
VA brmsbrmsb IVS ×= (7.2)
Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada
persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai *VI=S . Definisi ini adalah untuk
sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan
fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa
menyatakan besarnya, yaitu persamaan (3.2), tetapi kita tidak
menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya
untuk komponen fundamental.
Sisi Sumber. Daya kompleks |Ss| yang diberikan oleh sumber tegangan
sinus tVv sms ω= sin V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai
efektif A 221 shrmsrmsssrms III += adalah
VA 2
srmssm
srmssrmss IV
IVS ×=×= (7.3)
7.4.2. Daya &yata
Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi Rb, maka beban tersebut
menyerap daya nyata sebesar
( ) W221
2bbhrmsrmsbbbrmsb RIIRIP +== (7.4)
di mana rmsbI 1 adalah arus efektif fundamental dan bhrmsI adalah arus
efektif harmonisa total.
139
Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui
komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak
memberikan transfer energi netto.
Wcos 111 ϕ= rmssrmss IVP (7.5)
ϕ1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,
dan cosϕ1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut
displacement power factor.
7.4.3. Faktor Daya
Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti
diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung
sebagai
b
b
S
P=beban f.d. (7.6)
Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah
s
ss
S
P 1.d.f = (7.7)
7.4.4. Impedansi Beban
Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masing-
masing harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.
Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat
dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai
Ω= brms
brmsb
I
VZ (7.8)
Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita
hitung besarnya dengan relasi (3.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam
format kompleks seperti (a + jb).
7.4.5. Teorema Tellegen
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di
setiap rangkaian elektrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya
yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen
aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah
140 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satu-
satunya cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu
bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.
Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.
Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor
untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah
pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi
pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang
dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama
dengan perhitungan di kawasan waktu.
7.5. Contoh-Contoh Perhitungan
CO&TOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor Rb=10
Ω terhubung seri dengan induktor Lb = 0,05 H terdapat tegangan
nonsinus V sin2200100 0tvs ω+= . Jika frekuensi fundamental
adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)
impedansi beban; (c) faktor daya beban;
Penyelesaian:
(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen
searah dan komponen fundamental:
V 1000 =V dan o1 90200 −∠=V
Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah
A 1010/100/00 === bb RVI
Arus efektif komponen fundamental di beban adalah
A 74,10
)05,0100(10
200
22
11rms =
×π+==
b
rmsb
Z
VI
Nilai efektif arus rangkaian total adalah
A 14,6874,1010 2221
20 =+=+= rmsbbbrms III
Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap
Rb karena hanya Rb yang menyerap daya nyata.
141
W21541068,14 22 =×== bbrmsRb RIP
(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus
efektif beban.
V 5100200100 2221
20 =+=+= rmsbrms VVV
Ω=== 24,1568,14
5100
brms
brmsbeban
I
VZ
(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya
kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap
beban adalah:
VA 328168,145100 =×=×= brmsbrmsb IVS
Sehingga faktor daya beban
656,03281
2154f.d. ===
b
bb
S
P
CO&TOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal
beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V
dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki
nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor
5 Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan
efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)
tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen
harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total
daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil
perhitungan (a) dan (c).
Penyelesaian:
(a) Tegangan efektif komponen fundamental V 1062
1501 ==rmsV
Reaktansi pada frekuensi fundamental
Ω=×××π= − 26,1104502 31LX
142 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Impedansi pada frekuensi fundamental adalah
Ω=+= 16,526,15 221Z
Arus efektif fundamental A 57,2016,5
106
1
11 ===
Z
VI rms
rms
Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental
W2083557,20 2211 =×== RIP rms
Daya kompleks komponen fundamental
VA 218257,20106111 =×== rmsrms IVS
Faktor daya komponen fundamental 97,02182
2083 f.d.
1
11 ===
S
P
Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan
formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus
murni.
VAR 9,53120832182222
12
11 =−=−= PSQ
(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5
V 21,212
303 ==rmsV ; V 54,3
2
55 ==rmsV
Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5
Ω=×=×= 77,326,133 13 LL XX ;
Ω=×=×= 28,626,155 15 LL XX
Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:
Ω=+= 26,677,35 223Z ; Ω=+= 03,828,65 22
5Z
Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:
143
A 39,326,6
21,21
3
33 ===
Z
VI rms
rms ;
A 44,003,8
54,3
5
55 ===
Z
VI
rmsrms
Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5
W4,57539,3 2233 =×== RIP rms ;
W97,0544,0 2255 =×== RIP rms
(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya
nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat
komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili
satu sumber)
( )( )
W2174
221
25
23
21
25
23
21531
RIRIRIIRI
RIIIPPPP
hrmsrmsrmsrmsrms
rmsrmsrmsb
+=++=
=×++=++=
Tegangan efektif beban
V 22,1082
5
2
30
2
150 222
=++=brmsV
Arus efektif beban
A 86,2044,039,357,20 222 =++=brmsI
Daya kompleks beban
VA 225786,2022,108 =×=×= brmsbrmsb IVS
Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan
formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.
(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita
lakukan menghasilkan
W20831 =P , VA 21821 =S , dan
VAR 9,5312
12
11 =−= PSQ .
Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan
144 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
W2174=bP , dan VA 2257=bS ; ?=bQ
Perbedaan antara P1 dan Pb disebabkan oleh adanya harmonisa
P3 dan P5 .
RIP rms211 = sedang
( ) RIRIIIPPPP brmsrmsrmsrmsb22
523
21321 =++=++= .
Daya reaktif beban Qb tidak bisa kita hitung dengan cara seperti
menghitung Q1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga
daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan
komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan
komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif
sebagai nnrmsn XIQ 2= dan kemudian menjumlahkan daya
reaktif Qn untuk memperoleh daya reaktif ke beban Qb.
Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:
( )5253
231
21531 LrmsLrmsLrmsb XIXIXIQQQQ ++=++=
Hasil perhitungan memberikan
VAR 4,5762,13,439,531
5253
231
21321
=++=
++=++= LrmsLrmsLrmsb XIXIXIQQQQ
Perhatikan bahwa hasil perhitungan
VAR 9,5311211 == Lrms XIQ sama dengan
VAR 9,5312
12
11 =−= PSQ .
Jika untuk menghitung Qb kita paksakan menggunakan
formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa
menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen
hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh
VAR 604217422572222 =−=−= bbb PSQ
lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masing-
masing komponen harmonisa dihitung dengan formula
nnrmsn XIQ 2= .
145
CO&TOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal V sin21000 tvs ω=
mencatu beban resistif Rb = 10 Ω melalui dioda mewakili
penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo
arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks
sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang
berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)
faktor daya komponen fundamental.
Penyelesaian:
a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini
adalah
Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-
10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus
fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam
perhitungan tidak akan terlalu besar.
b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah
7.0 ;1 ;8,1
;3,4 ;2,21 ;50 ;45
1086
421rms0
===
====
rmsrmsrms
rmsrms
III
IIII
Nilai efektif arus fundamental A 501 =rmsI
Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:
A 507,018,13,42,218,312 222222 =+++++×=hrmsI
A
45.00
70.71
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 4 6 8 10 harmonisa
146 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Nilai efektif arus total adalah
A 7,705050 22221 =+=+= shrmsrmsrms III
c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah
kVA 7,707,701000 =×=×= rmssrmss IVS
d). Daya nyata yang diserap beban adalah
kW 50 1067,70 22 =×== brmsb RIP
e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.
Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah
11 cos ϕ= rmssrmss IVP
Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,
sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan
arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ1 tidak diketahui.
Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen
yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya
nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah
kW 50== bs PP
f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah
7,07,70/50// ==== sbsss SPSPf.d.
g). Faktor daya komponen fundamental adalah
1501000
50000cos
11 =
×==ϕ
rmssrms
s
IV
P
Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental
sefasa dengan tegangan sumber.
h). 100%atau 150
50
1
===rms
hrmsI
I
ITHD
Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber
lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental
147
menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,
sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya
nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita
tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada
sinyal nonsinus.
Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.
Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus
fundamental saja, akan kita peroleh
kW 2510502211 =×== brmsRb RIP
Jadi daya nyata yang diserap Rb melalui arus fundamental hanya
setengah dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah
setengah gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang
diserap Rb tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus
harmonisa, sesuai dengan relasi
( ) bbrmsrmsbbrmsRb RIIRIP ×+== 221
2
Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat
lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda
namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan
sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.
CO&TOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai
efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif Rb=10 Ω, namun
kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua
dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo
arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan
arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang
diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)
faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen
fundamental.
Penyelesaian:
(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:
Rb
10 Ω vs Vsrms =1000 V
is saklar sinkron
iRb
∼
148 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah
Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa
ke-11 adalah seperti di bawah ini.
Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di
atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitungan-
perhitungan yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo
ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal
ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat
amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus
fundamental baru pada harmonisa ke-55.
(b) Arus fundamental yang mengalir ke Rb
A 25,592
79,831 ==rmsI
0.00
83.79
44.96
14.83 14.838.71 8.71
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 7 0 1 3 5 7 9 11 harmonisa
A
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0,01 0,02
iRb(t)
vs(t)/5
[V]
[A]
[detik]
149
Arus harmonisa total
A 14,36
2
71,8
2
71,8
2
83,14
2
83,14
2
96,440
22222
=
+++++=hrmsI
Arus total : A 4,69 14,3625,59 22 =+=rmsI
(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah
kVA 4,694,691000 =×== rmssrmss IVS
(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya
nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap Rb
karena hanya Rb yang menyerap daya nyata
kW 17,48104,69 22 =×=== brmsbs RIPP
(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah
69,04,69/17,48/ === sss SPf.d.
(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen
fundamental.
11 cos ϕ= rmssrmss IVP
813,025,591000
48170cos..
111 =
×==ϕ=
rmssrms
s
IV
(g) 61%atau 61,025,59
14,36
1
===rms
hrmsI
I
ITHD
Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan
spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila
tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.
150 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui
pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier
adalah
( ))sin(7,0)cos(5.0)( 001 ttIti m ω+ω−=
Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada
Contoh-7.7.
Penyelesaian:
Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:
( ))sin(7,0)cos(5.0)( 001 ttIti m ω+ω−=
Sudut o1 6,57)5.0/7.0(tan ==θ − . Mengacu ke Gb.3.3, komponen
fundamental ini lagging sebesar (90o−57,6
o) = 32,4
o dari tegangan
sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian
maka faktor daya komponen fundamental adalah
844,0)4,32cos(cos.. o11 ==ϕ=df
Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat
menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan
menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu
kW 50844.04,591000cos 11 =××=ϕ= rmssrmss IVP
Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang
diterima resistor di rangkaian beban sbrmsb PRIP == 2 . Dengan
demikian arus total adalah
A 7,7010/50000/ === bsrms RPI
Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang
berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi
arus harmonisa yaitu
A 63,3825,597,70 2221
2 =−=−= rmsrmshrms III
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi
kVA 7,707,701000 =×== rmssrmss IVS
151
Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi
7,07,70/50/.. === sss SPdf
65%atau 65,025,59
63,38==ITHD
Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)
dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan
spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan
spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah
setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa
ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa
terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih
sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus
penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari
ampltudo fundamentalnya.
Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor
hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh
kW 1,351025,59 2211 =×== brmsRb RIP
Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus
fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus
fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang
sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada
Contoh-7.6.
7.6. Transfer Daya
Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-3.6 dan Contoh-3.7, daya
nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih
kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus
fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆PRb; kekurangan ini
diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh
Rb tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus
harmonisa, sesuai formula
bbhrmsrmsbRb RIIP )( 221
+=
Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi
transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa
152 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh Rb , dan
sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban
selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan
piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin
menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan
menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata
yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera
meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total
sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata
tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan
oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini
dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh Rb melalui arus
harmonisa sebesar
bbhrmsrmsbhrmsRbh RIIRIP ×+== )( 221
2 .
Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d.1 < 1,
menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus
fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor
hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap
daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus
menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor
dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif
ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.
7.7. Kompensasi Daya Reaktif
Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah
dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen
fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d.1 = 1 yang berarti
arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya
komponen fundamental pada saklar sinkron f.d.1 = 0,844. Nilai faktor
daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan
menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang
“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.
Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya
total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,
meskipun f.d.1 = 1, faktor daya total f.d.s = 0,7. Dalam kasus saklar
sinkron f.d.1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d.s = 0,7. Sebuah
pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa
153
dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan
nonlinier?
Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya
reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian
rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke
nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d.1 = 1, sudah
mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d.s yang hanya 0,7. Dalam
kasus saklar sinkron f.d.1 = 0,844 dan f.d.s = 0,7. Kita coba melihat kasus
saklar sinkron ini terlebih dulu.
CO&TOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-3.7 membuat arus
fundamental lagging 32,4o dari tegangan sumber yang sinusoidal.
Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh
sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan
pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan
kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang
keluar dari sumber.
Penyelesaian:
a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor
paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan
berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental
yang lagging 32,4o. Rangkaian menjadi sebagai berikut:
Sebelum pemasangan kapasitor:
A 25,591 =rmsI ; A 63,38=hrmsI ; 7,0.. =sdf
kVA 59,2559,25100011 =×== rmssrms IVS ;
f.d.1 = 0,844;
kW 500,84459,251 =×=P
kVAR 75,312
12
1 =−= PSQs
∼ Rb vs
is saklar sinkron
iRb
C
iC
154 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya
reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR
CVZVQ srmsCsrmss ω=×= /221
→ F 991001000
31000
2
1 µ=π×
=ω
=srms
s
V
QC ; kita tetapkan 100 µF
Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah
kVAR 4,31101001001000 62 =××π×= −CQ
Arus kapasitor adalah
A 4,31)100/(1
1000=
π==
CZ
VI
C
srmsCrms .
Arus ini leading 90o dari tegangan sumber dan hampir sama
dengan nilai
A 75,31)4,32sin( o1 =rmsI
Diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.
Dari diagram fasor ini kita lihat bahwa arus o
1 4,32sindan IIC tidak saling meniadakan sehingga beban
akan menerima arus )4,32cos( o1rmsI , akan tetapi beban tetap
menerima arus seperti semula. Beban tidak merasakan adanya
perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap terhubung langsung
ke sumber. Sementara itu sumber sangat merasakan adanya
beban tambahan berupa arus kapasitif yang melalui C. Sumber
yang semula mengeluarkan arus fundamental dan arus
harmonisa total ke beban, setelah pemasangan kapasitor
Im
Re
Vs
I1
32,4o
I1cos32,4o
I1sin32,4o IC
155
memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke beban
ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian arus
fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi
A 05)4,32cos( o11 =≈ rmsrmsC II
turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.
Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi
A 2,6363,3850 22221 =+=+= hrmsrmsCsrmsC III
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi
kVA 2,632,631000 =×=sCS
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi
8,02,63/50.. ==sCdf
sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor
7,0.. =sdf
b). Arus sumber, is, adalah jumlah dari arus yang melalui resistor
seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.
- bentuk gelombang arus yang melalui resistor iRb adalah
seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;
- gelombang arus kapasitor, iC, 90o mendahului tegangan
sumber.
Bentuk gelonbang arus is terlihat pada gambar berikut:
-300
-200
-100
0
100
200
300
vs/5
is
iRb
iC [detik]
[V]
[A]
0 0.005 0.01 0.015 0.02
156 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen
fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh
sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah
gelombang.
Dalam analisis rangkaian listrik [2], kita membahas filter kapasitor pada
penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan
untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun
fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan searah. Kita akan
mencoba menghubungkan kapasitor seperti pada Gb.7.6 dengan harapan
akan memperbaiki faktor daya.
Gb.7.6. Kapasitor paralel dengan beban.
CO&TOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal V sin21000 tvs ω=
mencatu beban resistif Rb = 10 Ω melalui penyearah setengah
gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk
“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.
Penyelesaian:
Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-3.5:
tegangan sumber V 1000=srmsV ;
arus fundamental A 501 =rmsI ;
arus harmonisa total A 50=hrmsI
arus efektif total A 7,70=rmsI ;
daya kompleks sumber kVA 7,70=sS ;
daya nyata kW 501 == PPs ;
faktor daya sumber 7,07,70/50/.. === sss SPdf ;
faktor daya komponen fundamental 1.. 1 =df .
Spektrum amplitudo arus maksimum adalah
vs R C
iR iC
is
157
Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan
sumber vs/5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang
iR, dan arus kapasitor iC seandainya dipasang kapasitor (besar
kapasitor belum dihitung).
Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan
jumlah iR + iC yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk
lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan
bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang iR.
Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.
-400
-200
0
200
400
0 0.01 0.02 0.03iC
vs/5
iR
[V]
[A]
t [s]
45.00
70.71
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 4 6 8 10 harmonisa
A
158 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.
a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.6 menyebabkan sumber
mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus
sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti
dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya
memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titik-
tolak untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,
dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d.1 = 1; arus
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.
Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan
menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.
kVAR 50507.702222 =−=−= sss PSQ
Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya
sekitar
kVAR 300,9)sin(cos-1 ≈= ss SQ
Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak
dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh
karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu
memberikan kompensasi daya reaktif QC sekitar 25 kVAR. Dari
sini kita menghitung kapasitansi C.
kVAR 2510)(1/
1000 62
2
=ω=ω
== CCZ
QC
s
C
V
-400
-200
0
200
400
0 0.01 0.02 0.03iC
vs/5
iR
[V]
[A]
t [s]
iR+iC
iR
159
Pada frekuensi 50 Hz F 6,7910010
25000
6µ=
π×=C .
Kita tetapkan 80 µF
Arus kapasitor adalah
A 13,25)1080100/(1
1000
6=
××π==
−Z
s
C
VI
yang leading 90o dari tegangan sumber atau o9013,25 ∠=CI
Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus
fundamental semula, yaitu
A 2196,559013,25050 ooo11 ∠=∠+∠=+= CsemulasCs III
Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari
sumber adalah
A 755096,55 22221 =+=+= hrmsCrmsssCrms III
Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:
A 96,551 =CrmssI ; ini adalah arus pada frekuensi
fundamental yang keluar dari sumber
sementara arus ke beban tidak berubah
A 50=hrmsI ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.
A 75=sCrmsI ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang
semula A 7,70=rmsI .
Daya kompleks sumber menjadi
kVA 75751000 =×== sCrmssrmssC IVS
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi
67,075/50/ === sCssC SPf.d.
Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus
serta spektrum amplitudo arus sumber.
160 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total
bahkan arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.
Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus
kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus
dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di
bawah ini.
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0.005 0.01 0.015 0.02iC
iRb isC
vs/5
V
A
45.00
79.14
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 70 1 2 4 6 8 10
harmonisa
A
161
Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 kita dapat melihat
bahwa perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat
dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental
yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental
sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak
terjadi dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total
masih lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan
akibat dari arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan
adalah menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan
tidak dicakup dalam buku ini melainkan dalam Elektronika Daya.
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 0.005 0.01 0.015 0.02iC
iRb
isC
vs/5 V
A
A
45.00
79.14
30.04
6.032.60 1.46 0.94
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1 2 3 4 5 6 70 1 2 4 6 8 10
harmonisa
162 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
163
Bab 8
Pembebanan Nonlinier Sistem Tiga
Fasa dan Dampak pada Piranti
8.1. Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa
Frekuensi Fundamental. Pada pembebanan seimbang,
komponen fundamental
berbeda fasa 120o antara
masing-masing fasa.
Perbedaan fasa 120o antar
fasa ini timbul karena
perbedaan posisi kumparan
jangkar terhadap siklus
medan magnet, yaitu sebesar
120o sudut magnetik. Hal ini
dijelaskan pada Gb.8.1.
Gb.8.1. memperlihatkan
skema generator empat kutub; 180o sudut mekanis ekivalen dengan 360
o
sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang pertama sebesar 360o
magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U berikutnya, terdapat tiga
kumparan yaitu kumparan fasa-a (a1-a11), kumparan fasa-b (b1-b11),
kumparan fasa-c (c1-c11).
Antara posisi kumparan fasa-a dan fasa-b
terdapat pergeseran sudut magnetik 120o; antara posisi kumparan fasa-b
dan fasa-c terdapat pergeseran sudut magnetik 120o; demikian pula
halnya dengan kumparan fasa-c dan fasa-a. Perbedaan posisi inilah yang
menimbulkan perbedaan sudut fasa antara tegangan di fasa-a, fasa-b,
fasa-c.
Harmonisa Ke-3. Hal yang sangat berbeda terjadi pada komponen
harmonisa ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen
fundamental, atau 360o, berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti
bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120o dalam skala
komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara
komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada
180o mekanis = 360o magnetik
S
U
S
U a2 a1
b1
a11 c1
b2 c2
b11
c22
b22
c11
Gb.8.1. Skema generator empat kutub
164 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang
sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.8.2
Gb.8.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3
pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.
Pada gambar ini tegangan v1a, v1b, v1c, adalah tegangan fundamental dari
fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120o. Tegangan v3a, v3b, v3c,
adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing
digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.
Diagram fasor harmonisa ke-3 digambarkan pada Gb.8.3. Jika V3a, V3b,
V3c merupakan fasor tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line
to line) harmonisa ke-3 adalah nol.
Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti
harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang
berarti lebar satu siklus adalah 40o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3
siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,
sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,
fasa-b, dan fasa-c.
Harmonisa ke-5. Gb.8.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental
dan harmonisa ke-5. Tegangan v1a, v1b, v1c, adalah tegangan fundamental
dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v5a, v5b, v5c, adalah tegangan harmonisa
ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk
menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.
Gb.8.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.
V3a
V3b
V3c
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 90 180 270 360 [o]
V
v3a
v1b v1c
v3b v3c
v1a
165
Gb.8.4. Fundamental dan harmonisa ke-5
Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus
harmonisa mempunyai lebar 72o dalam skala fundamental. Perbedaan
fasa antara v5a dan v5b adalah (2 × 72o − 120
o) = 24
o dalam skala
fundamental atau 120o dalam skala harmonisa ke-5; beda fasa antara v5b
dan v5c juga 120o. Diagram fasor
dari harmonisa ke-5 terlihat pada
Gb.8.5. Jika V5a, V5b, V5c
merupakan fasor tegangan fasa-
netral maka tegangan fasa-fasa
(line to line) harmonisa ke-5
adalah 3 kali lebih besar dari
tegangan fasa-netral-nya.
Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43o
dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v7a dan v7b adalah (3 ×
51,43o − 120
o) = 34,3
o dalam skala fundamental atau 240
o dalam skala
harmonisa ke-7; beda fasa antara v7b dan v7c juga 240o. Diagram fasor
dari harmonisa ke-7 terlihat
pada Gb.8.6. Jika V7a, V7b, V7c
merupakan fasor tegangan
fasa-netral maka tegangan
fasa-fasa (line to line)
harmonisa ke-7 adalah 3
kali lebih besar dari tegangan
fasa-netral-nya.
-300
-200
-100
0
100
200
300
0 90 180 270 360
v1a
V v1b v1c
v5a v5b v5c
[o]
Gb.8.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.
V5a
V5c
V5b
Gb.8.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.
V7a
V7b
V7c
166 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
8.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-&etral
Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasa-
netral dalam pembebanan seimbang adalah
fnfnff VVV 732,13 ==
di mana Vff tegangan fasa-fasa dan Vf-n tegangan fasa-netral. Apakah
relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita
akan melihat melalui contoh berikut.
CO&TOH-8.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung
bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak
200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak
berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa
terhadap tegangan fasa-netral.
Penyelesaian:
Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah
harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini
masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.
Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa
ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2 :
V 42,1411 =−nfV ; V 28,283 =−nfV ; V 68,175 =−nfV
V 14,147 =−nfV ; V 07,79 =−nfV
Nilai efektif tegangan fasa-netral total
V 16,146 7,0714,1417,6828,2842,14122222 =++++=−nfV
Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah
V 95,2441 =− ffV ; V 03 =− ffV ; V 26,27 5 =− ffV
V 11,227 =− ffV ; V 09 =− ffV
Nilai efektif tegangan fasa-fasa total
167
V 35,247 011,2227,62095,244222 =++++=− ffV
Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral
70,116,146
35,247==
−
−
nf
ff
V
V
Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan
efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan
fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.
8.3. Hubungan Sumber Dan Beban
Generator Terhubung Bintang. Jika belitan jangkar generator terhubung
bintang, harmonisa kelipatan tiga yang terkandung pada tegangan fasa-
netral tidak muncul pada tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya
pada contoh berikut.
CO&TOH-8.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang
membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang
nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan
V 5sin1003sin200sin800 000 tttv ω+ω+ω=
Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang
masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.
Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.
Penyelesaian:
Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah
V 2/8001 =rmsfnV ; V 2/2003 =rmsfnV ;
V 2/1005 =rmsfnV .
Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali
tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen
merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masing-
masing komponen adalah 3 kali tegangan fasa-netral-nya.
( ) V 3/280032/8001 ==rmsffV ; V 03 =rmsffV ;
V 2/31005 =rmsffV
168 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
V 4,987)2/3(100)2/3(80022 =+=ffrmsV
Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen
Ω=××π= 42,311,05021X ; Ω== 25,943 13 XX ;
Ω== 08,1575 15 XX
Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen
Ω=+= 24,3742,3120 221fZ
Ω=+= 35,9625,9420 223fZ
Ω=+= 35,15808,15720 225fZ
Arus fasa:
A 3,2624,37
2/3800
1
11 ===
f
rmsffrmsf
Z
VI
A 0
1
33 ==
f
rmsffrmsf
Z
VI
A 77,035,158
2/3100
5
55 ===
f
rmsffrmsf
Z
VI
A 32,2677,03,2622 =+=frmsI
Daya nyata diserap beban
kW 41,6 W41566203 2 ≈=××=frmsb IP
Daya kompleks beban
kW 78 W 7796732,264,9873 3 ≈=××=××= fffb IVS
Faktor daya beban
53,078
6,41.. ===
b
b
S
169
Generator Terhubung Segitiga. Jika belitan jangkar generator terhubung
segitiga, maka tegangan harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan
terjadinya arus sirkulasi pada belitan jangkar generator tersebut.
CO&TOH-8.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.
Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam
keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa
ke-3, -7, dan -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%,
2% dan 1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus
sirkulasi dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan
sedemikian rupa sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.
Penyelesaian:
Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh
adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah
harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif
masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah
V 601500%43 =×=mV ; V 2/603 =rmsV
V 301500%29 =×=mV ; V 2/309 =rmsV
V 151500%115 =×=mV ; V 2/1515 =rmsV
Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah
Ω=×××π= − 283,0109,0502 31X
Ω=×= 85,03 13 XX
Ω=×= 55,29 19 XX
Ω=×= 24,415 115 XX
Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa
Ω=+= 85,085,006,0 223Z
Ω=+= 55,254,206,0 229Z
Ω=+= 24,424,406,0 2215Z
Arus sirkulasi adalah
170 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
A 89,4985,0
2/603 ==rmsI
A 33,855,2
2/309 ==rmsI
A 5,224,4
2/1515 ==rmsI
A 6,505,233,889,48222
)( =++=rmssirkulasiI
Sistem Empat Kawat. Pada sistem empat kawat, di mana titik netral
sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan
mengalir melalui penghantar netral. Arus di penghantar netral ini
merupakan jumlah dari ketiga arus di setiap fasa; jadi besarnya tiga kali
lipat dari arus di setiap fasa.
CO&TOH-8.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing
kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.
Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan
kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral
mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5
dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.
Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.
Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;
(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.
Penyelesaian:
(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen
V 4,35
V; 4,42
V; 6,254
5
3
1
=
=
=
rmsfn
rmsfn
rmsfn
V
V
V
Reaktansi per fasa
Ω=××π= 70,1505,05021X
Ω=×= 12,473 13 XX
Ω=×= 54,785 15 XX
171
Impedansi per fasa
Ω=+= 53,2970,1525 221Z
Ω=+= 35,5312,4725 223Z
Ω=+= 42,8254,7825 225Z
Arus saluran
A 62,853,29
6,2541 ==rmsI
A 795,035,53
4,423 ==rmsI
A 43,042,82
4,355 ==rmsI
A 67,843,0795,062.8 222 =++=rmssaluranI
(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen
V 24,61 V; 0 V; 9,440 531 === −−− ffffff VVV
Tegangan fasa-fasa
V 4452,6109,440 22 =++=− ffV
Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,
yang merupakan arus urutan nol.
A 39,2795,033 3 =×=×= rmsnetral II
(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen
resistif 25 Ω, yaitu RIP nf ××= −23 . Arus beban terhubung
bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap
beban adalah
kW 5,64 W 5636 2567,833 22 ==××=××= RIPb
172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Sistem Tiga Kawat. Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik
netral sumber dan titik netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak
mengalir. Kita akan melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh
berikut.
CO&TOH-8.5: Persoalan seperti pada contoh-29-4 akan tetapi
penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan
beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)
tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap
beban.
Penyelesaian:
(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak
mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung
pada contoh-6.4. yaitu
A 62,853,29
6,2541 ==rmsI
A 43,042,82
4,355 ==rmsI
Arus saluran menjadi A 63,843,062,8 22 =+=rmssaluranI
(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasa-
netral harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak
muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan
sebelum penghantar netral diputus
V 4452,6109,440 22 =++=− ffV
(c) Arus di penghantar netral = 0 A
(d) Daya yang diserap beban
kW 5,59 W 5589 2563,833 22 ==××=××= RIPb
8.4. Sumber Bekerja Paralel
Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga
harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral
masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi
melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.
173
CO&TOH-8.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,
terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar
20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3
dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua
generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing
ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di
pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.
Penyelesaian:
Tegangan kedua generator adalah
V 10000=ffrmsV
V 5774 3
10000==fnrmsV
Reaktansi jangkar 20% : Ω=×
××= 1
1000000 20
57743%20
2
aX
Reaktansi pentanahan 10% : Ω=×
××= 5,0
1000000 20
57743%10
2
gX
Reaktansi pentanahan untuk urutan nol : Ω=×= 5,15,030X
Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :
V 4,5773 =rmsfnV
Kedua generator memiliki Xa dan Xg yang sama besar dengan
tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi
akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah
( )A 231
5,2
4,577
0
3==
+=
XX
VI
a
rmsfnsirkulasi
8.5. Penyaluran Energi ke Beban
Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan
penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari
transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan
beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita
menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.
174 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penyulang. Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai
memiliki resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen
ini bisa diabaikan.
Transformator. Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan
111111 XjR IIEV ++=
222222 XjR IIVE ++=
a
f
22
1
2221 dengan
IIIIII ==′′+=
11111 , , , , XREIV berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan
induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.
22222 , , , , XREIV berturut-turut adalah tegangan terminal, arus,
tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian
sekunder; 2V sama dengan tegangan pada beban. 1E sefasa dengan 2E
karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai
masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, 1 dan 2. Jika
21 / a = maka dilihat dari sisi sekunder nilai E1 menjadi
aEE /' 11 = , I1 menjadi 11 ' aII = , R1 menjadi R1/a2, X1 menjadi X1/a
2.
Rangkaian ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada
Gb.5.7.a. Dengan mengabaikan arus eksitasi If dan menggabungkan
resistansi dan reaktansi menjadi 21 RRRT +′= dan 21 XXXT +′=
maka rangkaian ekivalen menjadi seperti pada Gb.8.7.b.
(a)
(b)
Gb.8.7. Rangkaian ekivalen transformator berbeban.
R′1
∼
If
B
X′1 R2 X2
V1 E1
V2
Xc Rc
Ic
B
RT XT
∼ V1
V2
175
8.6. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis
Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi
sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula
diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber Vs menjadi Vs/a, resistansi
penyulang menjadi Rp/a2, reaktansi penyulang menjadi Xp/a
2 . Jika
resistansi penyulang Rp/a2 maupun resistansi transformator RT diabaikan,
maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi
seperti pada Gb.8.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana
untuk melakukan analisis lebih lanjut. Vs/a adalah tegangan sumber.
Gb.8.8. Rangkaian ekivalen penyaluran energi dari sumber ke
beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian
serta arus eksitasi transformator.
Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya
memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan
nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.8.9.
Gb.8.9. Rangkaian ekivalen pada pembebanan nonlinier.
Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang
bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa
digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak
memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya
komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan
pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa
melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu
sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan
terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini
B
XT
Vs/a V2
Xp/a2
XC
B
XT ibeban Xp/a
2
XC
176 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu
sistem seperti terlihat pada Gb.8.10.
Gb.8.10. Rangkaian ekivalen untuk analisis arus harmonisa.
8.7 Dampak Harmonisa Pada Piranti
Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,
dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam
bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,
baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.
Pengaruh ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:
a). Dampak langsung yang merupakan peningkatan susut energi yaitu
energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan, yang secara
alamiah berubah menjadi panas. [5,6].
b). Dampak taklangsung yang merupakan akibat lanjutan dari
terjadinya dampak langsung. Peningkatan temperatur pada
konduktor kabel misalnya, menuntut penurunan pengaliran arus
melalui kabel agar temperatur kerja tak terlampaui. Demikian
pula peningkatan temperatur pada kapasitor, induktor, dan
transformator, akan berakibat pada derating dari alat-alat ini dan
justru derating ini membawa kerugian (finansial) yang lebih
besar dibandingkan dengan dampak langsung yang berupa susut
energi.
Dampak taklangsung bukan hanya derating piranti tetapi juga
umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu
kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang
waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi
temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat
tertentu. Kenaikan tegangan akibat adanya harmonisa dapat
menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges dalam
piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function bisa
terjadi pada piranti.
XT sumber arus
harmonisa
Xp/a2
XC
177
8.7.1. Konduktor
Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan
daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan
temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita
sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus
dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan
kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.
Misalkan arus efektif nonsinus rmsI mengalir melalui konduktor yang
memiliki resistansi Rs, maka susut daya di konduktor ini adalah
( ) ( )221
221
2 1 Isrmsshrmsrmssrmss THDRIRIIRIP +=+== (8.1)
Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( )21 ITHD+ pada
(8.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.
Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THDI
tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan
yang diberikan di Bab-4, THDI besar terjadi misalnya pada arus
penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus
melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap
setengah perioda yang mencapai 61%.
CO&TOH-8.7: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,
menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini
beroperasi normal pada temperatur 70o C sedangkan temperatur
sekitarnya adalah 25o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel
menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan
nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)
perubahan temperatur kerja pada konduktor.
(a) Susut daya semula pada konduktor adalah
W80008,010021 =×=P
Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah
W12808,04027 =×=P
Susut daya berubah menjadi
W928128800 =+=kabelP
178 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut
daya sebesar 16%.
(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula
adalah (70o − 25
o) = 45
o C. Perubahan kenaikan temperatur
adalah
C 2,74516,0oo =×=∆T
Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah
C 52C 2,7C45ooo ≈+=T
dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah
C 775225 ooo =+=′T
10% di atas temperatur kerja semula.
CO&TOH-8.8: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω
digunakan untuk mencatu beban resistif Rb yang tersambung di
ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa
pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah
gelombang (ideal) di depan Rb. (a) Hitunglah perubahan susut daya
pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak
berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan
mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.
Penyelesaian:
(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah
W802,0202 =×=kP
Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak
berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20
A. THDI pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.
Susut daya pada kabel menjadi
( ) W160112,020 22* =+×=kP
Susut daya menjadi dua kali lipat.
179
(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di
kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu
W802,0202 =×=k
P
Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental
yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,
yaitu
20)1( 2221
221
2 =+=+= THDIIII mshmsmsrms
Dengan THD 100%, maka /220221 =rmsI
jadi A 14,142/201 ==rmsI
Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental
turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak
berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi
5,07,02 ≈ dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.
(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada
saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur
dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65oC pada
temperatur sekitar 25o, maka temperatur kerja yang baru bisa
mencapai lebih dari 100oC.
Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat
maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai
menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat
diartikan sebagai derating kabel.
8.7.2. Kapasitor
Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki
permitivitas relatif εr disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki
luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang
semula (tanpa bahan dielektrik)
00 ε=d
AC
berubah menjadi
rCC ε= 0
Jadi kapasitansi meningkat sebesar εr kali.
180 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.8.11.
Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif IC ideal
yang 90o mendahului tegangan kapasitor VC , dan arus ekivalen losses
pada dielektrik RpI yang sefasa dengan tegangan.
Gb.8.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.
Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah
δ== tanCCRpCP IVIV (8.2)
atau
δε=δε= tan π2tanω2
000 rr CfCP VVV (8.3)
tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)
εrtanδ disebut faktor kerugian (loss factor)
Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai εr tergantung dari frekuensi,
yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.8.12.
Gb.8.12. εr dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.
Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai
im
re
δ
CI totI
RpI CV
frekuensi
frekuensi listrik
frekuensi optik
power audio radio
εr
loss factor
εr
εrtanδ
181
fCX C π
=2
1
Gb.8.12. memperlihatkan bahwa εr menurun dengan naiknya frekuensi
yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun
perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi
dibanding dengan penurunan εr; oleh karena itu dalam analisis kita
menganggap kapasitansi konstan.
Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, εr juga tergantung
dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun
tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena
itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor
konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi
panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan
kuadrat tegangan.
Tegangan *onsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang
tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen
fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.
Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal
kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:
.........)()()()( 531 +++= tvtvtvtv CCCC (8.4)
Arus kapasitor akan berbentuk
.........)(5)(3)()( 503010 +ω+ω+ω= tCvtCvtCvti CCCC (8.5)
Dengan memperbandingkan (8.4) dan (8.5) dapat dimengerti bahwa
bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang
arusnya.
CO&TOH-8.9: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta
harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.
Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.
Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.
182 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penyelesaian:
Jika persamaan tegangan
ttvC π+π= 300sin30100sin150 V
maka persamaan arus adalah
t
tiC
ππ×××+
ππ×××=−
−
500cos5001050030
100cos10010500150
6
6
Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada
Gb.8.13.
Gb.8.3. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-8.9.
CO&TOH-8.10: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz,
serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak
berturut-turut 30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms,
50 Hz) dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus
efektif komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD
tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik
0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik
dalam situasi ini.
Penyelesaian:
(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah
Ω=×××π
=−
37,610500502
1
61CX
-200
-100
0
100
200
0 0.005 0.01 0.015 0.02t [detik]
[V]
[A] vC
iC
183
Arus efektif untuk komponen fundamental
A 7,1637,6
2/1501 ==rmsCI
(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut
adalah
Ω== 12,23
13
CC
XX ; Ω== 27,1
5
15
CC
XX
Arus efektif harmonisa
A 1012,2
2/303 ==rmsCI
A 8,227,1
2/55 ==rmsCI
62%atau 62,07,16
8,210 22
1
=+
==rmsC
hrmsI
I
ITHD
(c)
% 20atau 20,0106
5,21
2/150
2
5
2
30
22
1
==+
==rms
hrmsV
V
VTHD
(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan
kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,
losses adalah 0,6 watt.
W6,0V110,Hz 50 =P
W134,0 6,0110
30
50
1502
V30,Hz 150 =×
×=P
W006,0 6,0110
5
50
2502
V5,Hz 250 =×
×=P
Losses dielektrik total:
W74,0006,0134,06,0 =++=totalP
184 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
8.7.3. Induktor
Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan
sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.
Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita
melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan
satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai
tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila
resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk
gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi
dt
diLv
f=
dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan if adalah arus eksitasi.
Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding
dengan if dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor
sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.
dt
dei
φ−=
Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,
sehingga nilai ei sama dengan v.
dt
diL
dt
dee
fi =
φ==
Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai
frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk
fasor
Ljj fi IEV ω=Φω==
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan
maksmaksrms f fV φ=φπ
= 44,42
2
185
fmaksfmaksrms fL ifLiV 44,42
2=
π=
Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di
samping ini dimana arus yang membangkitkan
fluksi yaitu φI sama dengan fI .
CO&TOH-8.11: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang
mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan
harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.
Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor
adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.
Penyelesaian:
Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen
fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah
LLV rmsL ×=×××= 11100505044,41 V
LLV rmsL ×=×××= 66601015044,43 V
LLV rmsL ×=×××= 5550525044,45 V
sedangkan 25
23
21 rmsrmsrmsLrms VVVV ++= . Jadi
LL ×=++×= 3,14084555066601110075222
Induktansi kumparan adalah
H 0053,03,14084
75==L
Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif Vrms dan
frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam
inti dihitung dengan formula
f
Vrmsm ××
=φ44,4
Φ
iEV =
φ= II f
186 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
mφ adalah nilai puncak fluksi, dan adalah jumlah lilitan. Melalui
contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila
tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.
CO&TOH-8.12: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat
tegangan nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan
nilai efektif V1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif
V3rms = 50 V yang tertinggal 135o dari komponen fundamental.
Gambarkan kurva tegangan dan fluksi.
Penyelesaian:
Persamaan tegangan adalah
)1355sin(250sin2150 o00 −ω+ω= ttvL
Nilai puncak fluksi fundamental
Wb 563 12005044,4
1501 µ=
××=φ m
Fluksi φ1m tertinggal 90o dari tegangan (lihat Gb.4.4). Persamaan
gelombang fluksi fundamental menjadi
Wb )90sin(563 o01 µ−ω=φ t
Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3
Wb 6,62120050344,4
503 µ=
×××=φ m
Fluksi φ3m juga tertinggal 90o dari tegangan harmonisa ke-3;
sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135o dari tegangan
fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah
Wb )2253sin(6,62 )901353sin(6,62 o0
oo03 µ−ω=−−ω=φ tt
Persamaan fluksi total menjadi
Wb )2253sin(6,62)90sin(563 0o
0 µ−ω+−ω=φ tt
Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.8.14.
187
Gb.8.14. Kurva tegangan dan fluksi.
Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi
magnetik yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar γ yang
disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.8.15. dimana
arus magnetisasi If mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar
dengan memperhitungkan rugi hiterisis
Gb.8.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)
Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti
transformator, If dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ
yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi If = Iφ + Ic.
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan
memberikan rugi-rugi inti
)90cos( o γ−== fcc VIVIP watt (8.6)
Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus
pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan
vfwP hh = (8.7)
-600
-400
-200
0
200
400
600
0 0.01 0.02 0.03 0.04
t [detik]
[V]
[µWb] φ
vL
Φ
γ φI fI
cI iEV =
188 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Ph rugi histerisis [watt], wh luas loop kurva histerisis dalam
[joule/m3.siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,
Steinmetz memberikan formulasi empiris
( )nmhh BKvfP = (8.8)
di mana Bm adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari
jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan Kh yang
juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, Kh =
0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi
harmonisa.
Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar
dalam inti
v222 τ= mee BfKP (8.9)
di mana Ke konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan
fluksi [Hz], Bm adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan
laminasi inti, dan v adalah volume material inti.
Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E1 .
Misalkan resistansi belitan adalah R1 , maka
11 RfIEV += (8.10)
Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan
resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.8.16.
Gb.8.16. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu. Jadi
θ=+=+= cos12
ffccucin VIRIPPPP (8.11)
dengan V dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.
Φ
θ
iE
1RfI
VfIφI
cI
189
8.7.4. Transformator
Ulas Ulang Transformator Berbeban. Rangkaian transformator
berbeban dengan arus beban 2I , diperlihatkan oleh Gb.8.17. Tegangan
induksi 2E (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak
berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan
arus sekunder 2I . Arus 2I ini membangkitkan fluksi magnetik yang
melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian
akan bocor, φl2; φl2 yang sefasa dengan 2I menginduksikan tegangan
2lE di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2.
Gb.8.17. Transformator berbeban.
Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan
sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan
menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung
mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang
tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer
yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus
magnetisasi fI , bertambah menjadi 1I setelah transformator berbeban.
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama
φ dipertahankan dan 1E juga tetap seperti semula. Dengan demikian
maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.
Karena pertambahan arus primer sebesar fII −1 adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh 2I agar φ
dipertahankan, maka haruslah
( ) 02211 =−− III f (8.12)
Pertambahan arus primer fII −1 disebut arus penyeimbang yang akan
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
φ
φl1 φl2
2I1I
2V1V
190 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.
Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,
φl1, yang menginduksikan tegangan El1. Tegangan induksi yang
dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu El1 dan El2, dinyatakan
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada
reaktansi bocor ekivalen, X1 dan X2, masing-masing di rangkaian primer
dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R1 dan belitan
sekunder adalah R2, maka kita peroleh hubungan
untuk rangkaian di sisi primer
1111111111 XjRR l IIEEIEV ++=++= (8.13)
untuk rangkaian di sisi sekunder
2222222222ˆ XjRR l IIVEIVE ++=++= (8.14)
Rangkaian Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah
penafsiran secara rangkaian elektrik dari suatu persamaan matematik
yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,
rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.
Dengan relasi 112 / EEE ′== a dan 112 III ′== a di mana
21 / a = , tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali
sebagai satu set persamaan sebagai berikut.
Untuk rangkaian di sisi sekunder, (8.14) kita tuliskan
222221
2 XjRa
IIVE
E ++==
Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (4.13), kita peroleh
111111 XjR IIVE −−=
sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan
22222111111
2 XjRa
XjR
aIIV
IIVEE ++=
−−==
191
Karena a
21
II = maka persamaan ini dapat kita tuliskan
( ) ( ) 2122122
22
1222
122
2
12
2
1222222
1
IIV
IIV
IIIIV
V
XXjRR
a
XXj
a
RR
a
Xj
a
RXjR
a
′++′++=
++
++=
++++=
(8.15)
dengan 2
112
11 ;
a
XX
a
RR =′=′
Persamaan (8.15) ini, bersama dengan persamaan (8.12) yang dapat kita
tuliskan ff aaa IIIII −′=−= 112 , memberikan rangkaian ekivalen
untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang
digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,
jika fI diabaikan terhadap 1I maka kesalahan dalam menghitung 2I
bisa dianggap cukup kecil.
Pengabaian ini akan membuat 112 III ′== a . Dengan pendekatan ini,
dan persamaan (8.15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang
disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.4.8. memperlihatkan
rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.
Gb.8.18. Rangkaian ekivalen transformator dan diagram fasor.
∼
jXe = j(X2+ X′1) Re = R2+R′1
I2 = I′1
V1/a V2
I2
I2Re
V2
V1/a
jI2Xe
192 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi. Seperti halnya pada induktor,
transformator memiliki rugi-rugi inti, yang terdiri dari rugi hiterisis dan
rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik, rugi-rugi histerisis, dan rugi-
rugi arus pusar pada inti dihitung seperti halnya pada induktor.
Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar Pcu = I2R, pada belitan
terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, Pl, yang ditimbulkan oleh fluksi
bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor ini menimbulkan
tegangan induksi El1 dan El2, karena fluksi ini melingkupi sebagian
belitan; El1 dan El2 dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu
tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen, X1 dan X2. Selain
melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini juga menembus konduktor
belitan dan menimbulkan juga arus pusar dalam konduktor belitan; arus
pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi tambahan arus pusar, Pl.
Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat
diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material
magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan
cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan
kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang
kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan.
Rugi arus pusar Pl diperhitungkan sebagai proporsi tertentu dari rugi
tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut, dengan tetap mengingat
bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat ferkuensi. Proporsi ini
berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari ukuran transformator.
Kita lihat dua contoh berikut.
Contoh-8.13: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi
0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.
Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang
diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga Pcu = I2R.
Penyelesaian:
Rugi tembaga W8005,0402 =×=cuP
Rugi arus pusar W48005.0%5 =×=× cuP
Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.
193
Contoh-8.14: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi
0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen
fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai
efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus
pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga Pcu = I2R.
Penyelesaian:
Rugi tembaga total adalah
W8,8105,0)640( 222 =×+== RIP rmscu
Rugi arus pusar komponen fundamental
W805,0401,01,0 2211 =××=×= RIP rmsl
Rugi arus pusar harmonisa ke-7
W8,805,0671,071,0 2227
27 =×××=××= RIP rmsl
Rugi daya total adalah
W6,988,888,8171 =++=++= llcutotal PPPP
Contoh-8.14 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki
nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus
pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini
bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.
Faktor K. Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar
pada belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul
secara keseluruhan.
Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar
adalah
A
1
2∑=
=k
n
nrmsTrms II (8.16)
dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.
Dalam relasi (8.16) kita tidak memasukkan komponen searah karena
komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.
Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang
ditimbulkan oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus
194 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
menimbulkan rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan
kuadrat arus masing-masing.
Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R0,
dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g
terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total
adalah
W
1
220 ∑
=
=k
n
nrmsK IngRP (8.17)
Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah
W 2
0
1
20 Trms
k
n
nrmscu IRIRP == ∑=
(8.18)
Dengan (8.18) maka (8.17) dapat ditulis sebagai
W20 TrmsK IgKRP = (8.19)
dengan
2
1
22
Trms
k
n
nrms
I
In
K
∑== (8.20)
K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).
Faktor K dapat dituliskan sebagai
∑∑==
==k
n
pun
k
n Trms
nrms InI
InK
1
2)(
2
12
22
(8.21)
dengan Trms
nrmspun
I
II =)(
Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik
sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk
mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.
195
CO&TOH-8.15: Di belitan primer transformator yang memiliki
resistansi 0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari
komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11
bernilai efektif berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai
efektif arus total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini
jika rugi arus pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.
Penyelesaian:
(a) Nilai efektif arus total adalah
A 4351540 222 =++=TrmsI
(b) Faktor K adalah
59,343
51115340
2
22222
=×+×+
=K
(c) Rugi daya total Ptot, terdiri dari rugi tembaga Pcu dan rugi arus
pusar Pl.
W14808,0432 =×=cuP
W6,2659,314805,0 =××== KgPP cul
W6,1746,26148 =+=totP
8.7.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti
Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti
mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa
terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung
harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah
contoh.
CO&TOH-8.16: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai
resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini
mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total
2,9µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah
tte 00 13sin170sin17000 ω+ω= . Dalam keadaan tak ada beban
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada
kabel.
196 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penyelesaian:
Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi
fundamental terdapat impedansi internal
Ω+= 5,61int1 jZ ernal ; Ω=+= 58,65,6122
int1Z
Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi
Ω×+= 5,6131int13 jZ ; Ω=×+= 5,84)5,613(1 22int13Z
Impedansi kapasitif kabel
Ω−=××ω
−=
− 6,1097
109,2 60
1 jj
ZC ;
Ω−=××ω×
−=
− 4,84
109,213 60
13 jj
ZC
Impedansi total rangkaian seri R-L-C
Ω−+= 6,10975,611 jjZ tot ; Ω= 1,10911totZ
Ω−×+= 4,845,613113 jjZ tot ; Ω= 0,113totZ
Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental
V 17101170001,1091
6,10971
1
11 =×=×= m
tot
Cm e
Z
ZV
V 143151700,1
4,8413
13
1313 =×=×= m
tot
Cm e
Z
ZV
Nilai puncak V1m dan V13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada
seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang
penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam
setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang
diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental
dantegangan maksimum harmonisa ke-13.
kV 31,4 V 314161431517101131 ≈=+=+= mmm VVV
Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum
fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini
memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.
197
Gb.8.19. Bentuk gelombang tegangan.
8.7.6. Partial Discharge
Contoh-8.16 memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat
menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi
tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya
harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge
pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada
gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang
akan menimbulkan kerugtian finansial besar.
8.7.7. Alat Ukur Elektromekanik
Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus
sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat
ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter
elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu
kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan
dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika
masing-masing arus di kedua kumparan adalah tIki vv ω= sin1 dan
)sin(2 ϕ+ω= tIki ii , maka kedua arus menimbulkan medan magnit
yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang
terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan
sebanding dengan perkalian kedua arus
)sin(sin3 ϕ+ω×ω= tItIkm ive
Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan
defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ
yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
0 0.005 0.01 0.015 0.02
[kV]
v1
v1+v13
[detik]
198 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
ϕ=ζ cosirmsvrms IkI
Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang
masih banyak digunakan,
kumparan tegangan
dihubungkan pada
tegangan sumber
sementara kumparan arus
dialiri arus beban. Bagan
alat ukur ini terlihat pada
Gb.8.20. Gb.8.20. Bagan KWh-meter tipe induksi.
Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik
yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus
induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan
tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan
fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik
tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar
βΦΦ= sinive kfM
di mana f adalah frekuensi, Φv dan Φi fluksi magnetik efektif yang
ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah
selisih sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan
k adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan
yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar
dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua
momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme
penghitung.
Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φi.
Jika Φv berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka Me
akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.
Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.
Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena
kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya
50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup
kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa
menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.
piringan Al
S1 S1 S2
S2
199
BAB 9
Pembebanan Tak Seimbang
Pada pembebanan seimbang, model satu fasa mempermudah
analisis sistem tiga fasa. Apabila beban tidak seimbang, sistem
akan mengandung fasor-fasor tidak seimbang, baik arus
maupun tegangannya. Apabila fasor-fasor tidak seimbang
tersebut dapat diuraikan kedalam komponen-komponen yang
seimbang maka masing-masing komponen seimbang dapat
dianalisis menggunakan model satu fasa. Jadi kita memandang
sistem tak seimbang sebagai superpoisi dari sistem seimbang.
Komponen-komponen seimbang itu disebut komponen simetris.
Dalam pembahasan komponen simetris ini kita hanya akan
melihat sistem tiga fasa.
Bahwa fasor tegangan (ataupun arus) dalam sistem tak
seimbang dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fasor tegangan
(atau arus-arus) yang seimbang dikemukakan oleh C.L.
Fortesque memaparkan dalam papernya, pada 1918.
9.1. Pernyataan Komponen Simetris
Hanya ada tiga kemungkinan fasor tiga fasa seimbang yang
dapat digunakan untuk menyatakan komponen-komponen dari
fasor tiga fasa tak seimbang, yaitu:
a) Fasor tiga fasa seimbang urutan positif, ABC.
b) Fasor tiga fasa seimbang urutan negatif, CBA.
c) Fasor tiga fasa tanpa beda sudut fasa yang disebut
urutan nol
Ketiga sistem fasor tersebut diperlihatkan pada Gb.9.1.
200 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
a) Fasor urutan positif (ABC):
b) Fasor urutan negatif (CBA)
c) Fasor urutan nol
Operator a. Untuk menyatakan komponen simetris kita
menggunakan operator a yaitu
o1201∠=a (9.1)
Operator semacam ini telah kita kenal yaitu operator j di mana o901∠=j .
Dengan menggunakan operator a maka fasor urutan positif
dapat kita tuliskan
1112
111 ; ; VVVVVV aa CBA === (9.2)
o22
o22
o22
240
120
0
+∠=
+∠=
∠=
V
V
V
C
B
A
V
V
V
A2V
B2V
C2V
o120
o120
Im
Re
o11
o11
o11
240
120
0
−∠=
−∠=
∠=
V
V
V
C
B
A
V
V
V
A1VB1V
C1V
o120
o120
Im
Re
θ∠=
θ∠=
θ∠=
00
00
00
V
V
V
C
B
A
V
V
V
0000 VVVV === CBAIm
Re
201
dan fasor urutan negatif sebagai
22
22222 ; ; VVVVVV aa CBA === (9.3)
Fasor Tak Seimbang. Fasor tak seimbang merupakan jumlah
dari komponen-komponen simetrisnya.
22
10210
212
0210
210210
VVVVVVV
VVVVVVV
VVVVVVV
aa
aa
CCCC
BBBB
AAAA
++=++=
++=++=
++=++=
(9.4)
yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks
=
2
1
0
2
2
1
1
111
V
V
V
V
V
V
aa
aa
C
B
A
(9.5)
9.2. Mencari Komponen Simetris
Komponen-komponen simetris adalah besaran-besaran hasil
olah matematik. Ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur
dalam praktek adalah besaran-besaran yang tak seimbang yaitu
CBA VVV , , . Komponen simetris dapat kita cari dari (9.4)
dengan menjumlahkan fasor-fasor dan dengan mengingat
bahwa (1+a+a2) = 0, yaitu
( )CBA VVVV ++=3
10 (9.6)
22
10
212
0
210
VVVV
VVVV
VVVV
aa
aa
C
B
A
++=
++=
++=
02
12
0 3 )1()1(3 VVVVVVV =++++++=++ aaaaCBA
+
202 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Jika baris ke-dua (9.4) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
( )CBA aa VVVV2
13
1++= (9.7)
Jika baris ke-dua (9.4) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
( )CBA aa VVVV ++= 22
3
1 (9.8)
Relasi (9.6), (9.7), (9.8) kita kumpulkan dalam satu penulisan
matriks:
=
C
B
A
aa
aa
V
V
V
V
V
V
1
1
111
3
1
2
2
2
1
0
(9.9)
Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran
fasa dan komponen simetrisnya yaitu (9.5) dan (9.9) yang dapat
kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut.
24
13
022
22
13
0
210
VVVV
VVVV
VVVV
aaaa
aaaa
C
B
A
++=
++=
++=
122
1022 3 )1(3)1( VVVVVVV =++++++=++ aaaaaa CBA
+
23
12
0
23
14
022
210
VVVV
VVVV
VVVV
aaaa
aaaa
C
B
A
++=
++=
++=
2212
022 3 3)1()1( VVVVVVV =++++++=++ aaaaaa CBA
+
203
[ ][ ] ABC
ABC
VV
VV
~T
~
~ T
~
1012
012
−=
= (9.10)
dengan
[ ]
1
1
111
T2
2
=
aa
aa dan [ ]
=−
aa
aa2
21
1
1
111
3
1T (9.10.a)
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk
arus
=
2
1
0
2
2
1
1
111
I
I
I
I
I
I
aa
aa
C
B
A
dan
=
C
B
A
aa
aa
I
I
I
I
I
I
1
1
111
3
1
2
2
2
1
0
(9.11)
sehingga secara keseluruhan kita dapatkan relasi untuk
tegangan dan arus:
[ ] [ ][ ] [ ] ABCABC
ABCABC
IIII
VVVV
~T
~dan
~ T
~
~T
~dan
~ T
~
1012012
1012012
−
−
==
== (9.12)
CONTOH-9.1: Pada suatu pembebanan tak seimbang terukur
arus-arus sebagai berikut:
A 0 A, 6060 A, 6090 oo =−∠=∠= CBA III
Hitunglah arus-arus komponen simetrisnya.
Penyelesaian:
( )( ) A 3,43256050060606090
3
1
3
1
ooo
21
j
aa CBA
+=∠=+∠+∠=
++= IIII
204 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
( )( )
A 9,255209,2515
18020603001806060903
1
3
1
oooo
22
jj
aa CBA
+−=−+=
∠+∠=+∠+∠=
++= IIII
( )
( )A 6,8253,17109,2515
602060300606060903
1
3
1
oooo
0
jjj
CBA
+=−++=
−∠+∠=+−∠+∠=
++= IIII
Dalam Contoh-9.1 ini, IC = 0. Dengan diperolehnya nilai arus
komponen simetris, kita dapat melakukan verifikasi dengan
menghitung arus CI . Dari (9.11) kita peroleh
A 032,171098,2515506,825
602030030180506,825 oo
22
10
=++−+−+=
∠+∠+∠++=
++=
jjj
j
aaC IIII
Sesuai dengan yang diketahui.
9.3. Impedansi Urutan
Jika impedansi CBA Z ZZ ,, merupakan impedansi seri dengan
tegangan CBA VVV , , maka
[ ]
[ ] ABCABCABC
C
B
A
ABC
B
B
A
Z
Z
IV
I
I
I
V
V
V
~
~
atau
=
=
(9.13)
205
AV~
adalah tegangan antar terminal impedansi dan aI adalah
arus yang melalui impedansi. [ ]ABCZ adalah matriks 3 × 3, yang
elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri dari
impedansi sendiri dan bersama. Matriks ini belum tentu
diagonal tetapi memiliki simetri tertentu. Simetri ini adalah
sedemikian rupa sehingga matrik impedansi urutan, yaitu
[ ]012Z merupakan matriks diagonal atau hampir diagonal. Kita
akan melihat sebuah contoh.
CONTOH-9.2: Suatu saluran tiga fasa masing masing memiliki
reaktansi sediri Xs sedangkan antar fasa terdapat reaktansi
bersama Xm. Tentukanlah impedansi urutan.
Perhatikan bahwa Xs adalah reaktansi sendiri dan Xm adalah
reaktansi bersama sehingga tegangan antara terminal
impedansi adalah
CsBmAmCC
CmBsAmBB
CmBmAsAA
jXjXjX
jXjXjX
jXjXjX
IIIVV
IIIVV
IIIVV
++=′−
++=′−
++=′−
yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks
=
′
′
′
−
C
B
A
smm
msm
mms
B
B
A
C
B
A
XXX
XXX
XXX
I
I
I
V
V
V
V
V
V
206 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak
[ ] ABCABCABCABC Z IVV~
~~=′−
Dari (9.12) kita turunkan
[ ][ ][ ] 012
012
012
~ T
~
~ T
~
~ T
~
II
VV
VV
=
′=′
=
ABC
ABC
ABC
sehingga
[ ] [ ] [ ][ ]
[ ] [ ][ ] 0121
012012
012012012
~ T T
~
~
dan
~ T
~T
~T
IVV
IVV
ABC
ABC
Z
Z
−=′−
=′−
Pada relasi terakhir ini:
[ ] [ ][ ]
−
−
+
=
++++−
++++−
+++
=
=
ms
ms
ms
msmsms
msmsms
msmsms
smm
msm
mms
ABC
XX
XX
XX
j
aa
aa
XaaXXaXaXX
XaXaXaaXXX
XXXXXXj
aa
aa
XXX
XXX
XXX
j
aa
aaZ
00
00
002
1
1
111
)1()1(
)1()1(
222
3
1
1
111
1
1
111
3
1T T
2
2
22
22
2
2
2
21-
sehingga
−
−
+
=
′
′
′
−
2
1
0
2
1
0
2
0
00
00
002
1
I
I
I
V
V
V
V
V
V
ms
ms
ms
XX
XX
XX
j
yang dapat ditulis secara kompak
[ ] 012012012012~
~~
IVV Z=′−
207
Untuk rangkaian dalam contoh di atas, dapat didefinisikan
Impedansi urutan nol )2(0 ms XXjZ +=
Impedeansi urutan positif )(1 ms XXjZ −=
Impedansi urutan negatif )(2 ms XXjZ −=
Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam ini
digambarkan sebagai berikut:
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif
Gb.9.1. Rangkaian ekivalen urutan.
9.3. Daya Pada Sistem Tak Seimbang
Daya pada sistem tiga fasa adalah adalah jumlah daya setiap
fasa.
[ ]
∗
∗
∗
∗
∗∗∗
=
=
++=
ABCABCT
C
B
A
CBA
CCBBAAfS
IV
I
I
I
VVV
IVIVIV
3
(9.14)
Relasi (9.12) memberikan
[ ] [ ][ ] [ ] ∗∗∗ =⇒=
=⇒=
012012
012012
~ T
~
~ T
~
T~~
~
T~
IIII
VVVV
ABCABC
TTABCTABC (9.15)
sehingga (9.14) menjadi
[ ] [ ] ∗∗= 0120123 TT~
IV TTfS (9.16)
0Z
0V 0V ′1Z
1V 1V ′2Z
2V 2V ′
208 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pada (9.16) ini kita hitung [ ] [ ]∗TT T
[ ] [ ]
=
=
=∗
100
010
001
3
300
030
003
1
1
111
1
1
111
TT2
2
2
2
aa
aa
aa
aaT
Dengan demikian (9.16) dapat dituliskan
( )∗∗∗
∗
++=
=
221100
0120123
3
atau ~
3
IVIVIV
IV TfS (9.17)
CONTOH-9.3: Hitunglah daya tiga fasa pada kondisi tidak
seimbang seperti berikut:
A
10
10
10
dan kV
0
10
10
−
−=
−=
j
ABCABC IV
Penyelesaian:
[ ]
−
−
−
=−= ∗
10
10
10
dan 01010
j
ABCABCT IV
Kita akan memperoleh daya tiga fasa langsung dengan
mengalikan kedua matriks kolom ini
[ ]
kVA )100100(
0100100
10
10
10
010103
j
j
j
S f
−=
++−=
−
−
−
−=
Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung
formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan
arus yang tiadak simetris. Berikut ini kita akan
menyelesaikan soal ini melalui komponen simetris.
Tegangan urutan adalah:
209
[ ]
+−
+−=
−
== −
01010
01010
0
3
1
0
10
10
1
1
111
3
1~T
~
22
21012
a
a
aa
aaABCVV
Dari sini kita hitung T012~V
[ ]1010101003
1~ 2012 aaT −−=⇒ V
Arus urutan adalah:
[ ]
+−
+−=⇒
+
+=
−−
−−=
−
−
==
∗
−
1010
1010
0
3
1~
1010
1010
0
3
1
101010
101010
0
3
1
10
10
10
1
1
111
3
1~T
~
012
2
2
2
21012
j
j
j
j
aaj
aaj
j
aa
aaABC
I
II
Daya tiga fasa adalah seperti dinyatakan oleh (9.17).
[ ]
[ ]( ) kVA )100100(300300
3
1
)1010)(1010()1010)(1010(03
1
1010
1010
0
101010-1003
1
3
13
~3
2
2
0120123
jj
jaja
j
jaa
S Tf
−=−=
+−−++−−+=
+−
+−−××=
= ∗IV
Hasil ini sama dengan yang diperoleh pada perkalian langsung.
(catatan: 12 −=+ aa ).
210 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
9.4. Sistem Per-Unit
Sistem per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau
normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,
tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm,
ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit
(disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit
dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan
perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu
sudah tidak berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa keuntungan
yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan kita lihat
kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan pelajari.
Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran
tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi
sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit besaran
itu menjadi tidak berdimensi
basis nilai
yasesungguhn nilai unit -per Nilai =
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun
nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu
sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa
sesungguhnya.
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks
)( β−α∠== ∗ VIS IV (9.18)
di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus.
Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan Sbasis yang berupa
bilangan nyata, sehingga
)()(
β−α∠=β−α∠
= pubasis
pu SS
SS (9.19)
Didefinisikan pula bahwa
basisbasisbasis IVS ×= (9.20)
211
Nilai Sbasis dipilih secra bebas. Oleh karena itu, kita dapat memilih
salah satu Vbasis atau Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi
tidak kedua-duanya.
Jika kita ambil rasio dari (9.18) dan (9.20) kita peroleh
∗=β−∠α∠
== pupubasisbasisbasis
pu IVIV
IV
S
SS (9.21)
Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi
basis
basis
basis
basisbasis
S
V
I
VZ
2
== (9.22)
Dengan Zbasis ini relasi arus dan tegangan
I
VIV == atau Z Z
akan memberikan
basisbasisbasis IVZ
Z
/
/ IV= atau
pupupu IVZ = (9.23)
Karena jXRZ += maka
basisbasisbasisbasis Z
Xj
Z
R
Z
jXR
Z
Z+=
+= atau
pupupu jXRZ += (9.24)
Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara
sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai
basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri.
basisbasis S
jQP
S
S += atau
pupupu QPS += (9.25)
212 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-9.4: Nyatakanlah besaran-besaran pada rangkaian satu
fasa berikut dalam per-unit dengan mengambil Sbasis = 1000 VA
dan Vbasis = 200 V.
Penyelesaian:
V 200 VA; 1000 == basisbasis VS
A 5200
1000===
basis
basisbasis
V
SI
Ω=== 405
200
basis
basisbasis
I
VZ
Maka: pu 01200
0200 oo
∠=∠
=puV
pu 1,040
4==puR ; pu 1,0
40
4==CpuX ;
pu 2,040
8==LpuX
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi
pu 4521,01,01,02,01,01,0o∠=+=+−= jjjZ pu
pu 45254520,1
01 o
o
o
−∠=∠
∠==
pu
pupu
Z
VI
pu 4525452501ooo ∠=∠×∠== ∗
pupupu IVS
V 0200 o∠=VΩ4 Ω− 4j
Ω 8j
pu 1,0 pu 1,0j−pu 2,0jpu 01
o∠ ≈
213
Sistem Tiga Fasa. Sistem tiga fasa sangat luas dipakai dalam
penyediaan energy listrik. Oleh karena itu dikembangkan pengertian
nilai basis tambahan sebagai berikut.
3/
3
3
33
basisbasis
basisYbasis
basisLbasis
basisbasis
basisYbasis
basisLbasis
basisfbasis
II
II
II
ZZ
ZZ
VV
SS
=
=
=
=
=
=
=
∆
∆ (9.26)
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat
pada contoh berikut ini.
CO&TOH-9.5: Sebuah sumber tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa
6 kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel.
Beban-A: 600 kVA, factor daya 0,8 lagging.
Beban-B: 300 kVA, factor daya 0,6 leading.
Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus saluran dalam
per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.
Penyelesaian: Penentuan nilai basis adalah sembarang.
Kita pilih Sbasis3f = 600 kVA dan VLbasis = 6 kV, sehingga
Ω===
===
==
==
6074,57
3464
A 74,573/6
200
V 34643
6
kVA 2003
600
basis
basisbasis
basis
basisbasis
basis
basis
I
VZ
V
SI
V
S
Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan
positif. Besaran per fasa adalah:
214 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Beban-A:
6,08,09,3619,36101
9,361
;013/6
3/6
9,361200
9,36200kVA 9,36200
) (f.d. 9,36)8,0(cos kVA; 2003
600
o
o
o
o
oo
o1
jIV
SI
V
S
SSS
lagS
ApuApu
ApuApu
Apu
basis
AApuA
AA
−=−∠=⇒∠=∠
∠==
∠==
∠=+∠
==→∠=
+==ϕ==
∗
−
Beban-B:
4,03,01,535,0
1,535,001
1,535,0
01
1,535.0200
1,53100
kVA 1,53100
) (f.d. 1,53)6,0cos( kVA; 1003
300
o
o
o
o
o
oo
o
o
jI
V
SI
VV
S
SS
S
leadS
Bpu
Bpu
BpuBpu
ApuBpu
basis
BBpu
B
BB
+=∠=⇒
−∠=∠
−∠==
∠==
−∠=−∠
==⇒
−∠=
−==ϕ==
∗
Arus saluran:
2,01,14,03,06,08.0 jjjIII BpuApupu −=++−=+=
A3,1055,6455,1151,6374,57)2,01,1( o−∠=−=×−= jjI
Impedansi beban-A: o
o
o
9,361361
01∠=
−∠
∠==
Apu
ApuApu
I
VZ
Ω+=∠=⇒ )3648(9,3660 o jZ A
215
BAB 10
Penyulang dan
Saluran Transmisi
Saluran transmisi penyulang merupakan koridor yang harus dilalui
dalam penyaluran energi listrik Kita akan membahas saluran udara
(dengan konduktor terbuka) dan pembahasan kita bagi dalam dua
bab. Di bab ini kita membahas impedansi dan admitansi saluran
transmisi, sedangkan di bab berikutnya akan kita bahas rangkaian
ekivalen dan pembebanan.
Walaupun rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana,
ada empat hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
• Resistansi konduktor,
• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir
di konduktor yang lain,
• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar
konduktor,
• Arus bocor pada isolator
Arus bocor pada isolator biasanya diabaikan karena cukup kecil
dibandingkan dengan arus konduktor. Namun masalah arus bocor
sangat penting dalam permbahasan isolator
Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi,
perlu kita lihat besaran-besarn fisis udara yang akan masuk dalam
perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:
Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama dengan
permeabilitas ruang hampa:
H/m 104 700
−×π=µ≈µµ=µ r
Permitivitas: permitivitas elektrik udara dianggap sama dengan
permitivitas ruang hampa:
F/m 36
10 9
00 π=ε≈εε=ε
−
r
216 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
10.1. Resistansi
Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga
atau aluminium. Untuk saluran transmisi banyak digunakan
aluminium dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminium,
seperti:
• Aluminium: AAL (all aluminium coductor)
• Aloy aluminium: AAAL (all aluminium alloy conductor)
• Dengan penguatan kawat baja: ACSR (aluminium
conductor steel reinforced)
Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km],
radius [cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta
kemampuan mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar /
spesifikasi namun untuk sementara kita tidak membahasnya.
Relasi resistansi untuk arus searah adalah
Ωρ
= A
lRAS (10.1)
dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor [m2],
ρ adalah resistivitas bahan.
C] [20 .m 1077,1
C] [20 .m 1083,2
o8
o8
Ω×=ρ
Ω×=ρ−
−
Cu
Al
Resistansi tergantung dari temperature,
01
0212
TT
TTTT +
+ρ=ρ (10.2)
agauntuk temb C 241
aluminiumuntuk C228
o
o0
=
=T
Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk
arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolak-
balik untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang
konduktor.
217
Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan
konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari
panjang lateral yang kita ukur.
10.2. Induktansi
Arus pada suatu konduktor menimbulkan medan magnit di
sekeliling konduktor dan juga di dalam konduktor walaupun tidak
merata di seluruh penampang. Menurut hukum Ampere, jika arus
yang mengalir pada konduktor adalah i maka medan magnet H di
sekitar konduktor adalah ∫ =
l
iHdl . Di titik berjarak x di luar
konduktor relasi ini menjadi
xH x π
=2
1 (10.3)
Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu segmen
dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi segmen ini
sampai jarak Dx dari konduktor adalah
r
Dildx
x
il xD
r
x
ln22 πµ
=π
µ=λ ∫ (10.4)
dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (10.4) ini adalah
fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam
konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di
dalam konduktor itu didefinisikan suatu radius ekivalen yang
disebut Geometric Mean Radius (GMR), r’, sehingga (10.4) menjadi
r
Dil x
′πµ
=λ′ ln2
(10.5)
Sistem Dua Konduktor. Kita perhatikan suatu saluran kirim dialiri
arus i dengan saluran balik yang juga dialiri arus i tetapi dengan arah
yang berlawanan seperti terlihat pada Gb.10.1. Kita pandang sistem
dua konduktor ini sebagai satu segmen dari loop yang sangat
panjang. Pada ujung-ujung segmen loop ini terdapat tegangan di
antara kedua ujung konduktor, yaitu AA vv ′dan .
218 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Gb.10.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.
Jika panjang segmen ini adalah l maka arus iA di saluran A
memberikan fluksi lingkup di bidang segmen loop ini sebesar
A
AAA
r
Dli
′π
µ=λ ln
21 (10.6.a)
Arus iA di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar
AAA
r
Dli
′π
µ=λ ln
22 (10.6.b)
Fluksi 1Aλ dan 2Aλ saling menguatkan di bidang segmen loop
ini sehingga fluksi lingkup total menjadi
A
AAAAA
rr
Dli
′′π
µ=λ+λ=λ
2
21 ln2
(10.6.c)
Aλ adalah fluksi lingkup konduktor A-N yang ditimbulkan oleh
iA, dan merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi
sendiri LAA.
Sistem Tiga Konduktor. Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor
A-B-N seperti terlihat pada Gb.10.2 dengan arus iA dan iB yang
masing-masing menglir di A dan B. Konduktor N adalah saluran
balik yang mengalirkan arus balik )( BA ii + . Kita akan menghitung
fluksi lingkup segmen loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi
lingkup pada segmen loop A-N.
N′
A
N
A′Ai
Ai
Av Av′
Nkonduktor :
Akonduktor :
N keA jarak :
GMRr
GMRr
D
A
A
′
′
219
Gb.10.2. Saluran kirim A dan B, dan saluran balik N.
Dalam situasi ini arus iA di konduktor A dan arus (iA+iB) di N
memberikan fluksi lingkup sebesar
ABA
A
AAAB
r
Dlii
r
Dli
′π
+µ+
′π
µ=λ ln
2
)(ln
21 (10.7.a)
sedangkan arus iB di konduktor B memberikan
B
BB
B
ABBAB
r
Dli
r
Dli
′π
µ+
′π
µ=λ ln
2ln
22 (10.7.b)
Karena arus iB searah dengan iA maka suku pertama (10.7.b)
memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua
memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan N
dengan kehadiran B menjadi
′+
′−
′πµ
+
′+
′πµ
=
λ+λ=λ
B
B
B
AB
AB
A
A
AA
ABABAB
r
D
r
D
r
Dli
r
D
r
Dlilnlnln
2lnln
2
21
atau
′π
µ+
′′π
µ=λ
AB
BAB
A
AAAB
Dr
DDli
rr
Dliln
2ln
2
2
(10.7.c)
ABλ adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran
arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (10.6.c)
terlihat bahwa suku ke-dua (10.6.c) adalah tambahan yang
disebabkan oleh adanya arus iB..
A
B
N
A′
B′
N′
Ai
Bi
BA ii +
220 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara
konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus di B
dan arus di N adalah
BAB
B
BBBA
r
Dlii
r
Dli
′π
+µ+
′π
µ=λ ln
2
)(ln
21 (10.8.a)
dan fluksi yang ditimbulkan oleh iA yang memperkuat fluksi 1BAλ
adalah
AB
AA
A
AB
A
AABA
D
Dli
r
D
r
Dliln
2lnln
22 π
µ=
′−
′π
µ=λ (10.8.b)
sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi
AB
ABA
B
BB
BABABA
rD
DDli
rr
Dli
′π
µ+
′′π
µ=
λ+λ=λ
ln2
ln2
2
21
(10.8.c)
Kita lihat bahwa formulai (10.8.c) mirip dengan (10.7.c)
Sistem Empat Konduktor. Dengan cara yang sama, kita menghitung
fluksi-fluksi lingkup pada sistem empat konduktor dengan tiga
konduktor A, B, dan C masing-masing dengan arus iA, iB, dan iC ,
dan satu konduktor balik N dengan arus )( CBA iii ++ seperti
terlihat pada Gb.10.3.
N C, B, A, : ,
konduktor
; dan konduktor jarak :
ji
GMRr
jiD
i
ij
=′
Gb.10.3. Sistem empat konduktor.
A
B
C
N
A′
B′
C′
N′
Av
Bv
Cv
Av′
Bv′
Cv′
Bi
Ci
CBA iii ++
221
Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N:
′+
′+
′′πµ
=
′−
′π
µ+
′−
′π
µ+
′+++
′π
µ=λ
AC
CAC
AB
BAB
A
AA
C
ACC
C
CC
B
ABB
B
BB
ACBA
A
AAA
Dr
DDi
Dr
DDi
rr
Di
l
r
Di
r
Di
r
Di
r
Di
r
Diii
r
Di
l
lnlnln2
lnln2
lnln2
ln)(ln2
2
(10.9.a)
′++
′′+
′πµ
=
′−
′πµ
+
′−
′πµ
+
′+++
′πµ
=λ
BC
CBC
B
BB
AB
ABA
C
BCC
C
CC
A
ABA
A
AA
BCBA
B
BBB
Dr
DDi
rr
Di
Dr
DDi
l
r
Di
r
Di
r
Di
r
Di
r
Diii
r
Di
l
lnlnln2
lnln2
lnln2
ln)(ln2
2
(10.9.b)
′′+
′+
′πµ
=
′−
′πµ
+
′−
′πµ
+
′+++
′πµ
=λ
C
CC
BC
BCB
AC
ACA
B
BCB
B
BB
A
ACA
A
AA
CCBA
A
CCC
rr
Di
Dr
DDi
Dr
DDi
l
r
Di
r
Di
r
Di
r
Di
r
Diii
r
Di
l
2
lnlnln2
lnln2
lnln2
ln)(ln2
(10.9.c)
222 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Penurunan relasi (10.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya
untuk empat konduktor. Akan tetapi kita mengaitkannya dengan
keperluan kita untuk meninjau sistem tiga fasa. Oleh karena itu kita
batasi tinjauan pada sistem empat konduktor. Dalam bentuk matriks,
(10.9) dapat kita tuliskan
′′πµ
′πµ
′πµ
′π
µ′′π
µ′π
µ
′πµ
′πµ
′′πµ
=
λ
λ
λ
C
B
A
C
C
BC
BC
AC
AC
BC
CB
B
B
AB
AB
AC
CA
AB
BA
A
A
C
B
A
i
i
i
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
l
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
2
2
2
(10.10)
Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan
imbas
′′π
µ′π
µ′π
µ
′π
µ′′π
µ′π
µ
′π
µ′π
µ′′π
µ
=
′
′
′
dt
didt
didt
di
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
v
v
v
l
C
B
A
C
C
BC
BC
AC
AC
BC
CB
B
B
AB
AB
AC
CA
AB
BA
A
A
CC
BB
AA
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
1
2
2
2
(10.11)
Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas
dapat kita tuliskan dalam fasor
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
ω=
′
′
′
C
B
A
C
C
BC
BC
AC
AC
BC
CB
B
B
AB
AB
AC
CA
AB
BA
A
A
CC
BB
AA
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
jl
I
I
I
V
V
V
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
1
2
2
2
(10.12)
Persamaan ini memberikan tegangan imbas pada setiap konduktor.
223
10.3. Impedansi
Jika resistansi konduktor dimasukkan maka kita dapatkan matriks
impedansi yang tidak hanya memberikan tegangan imbas tetapi
tegangan jatuh di konduktor. Dalam memasukkan resistansi ini kita
amati hal berikut:
Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa, dan
melalui konduktor netral secara bersama-sama. Oleh karena itu
impedansi sendiri suatu fasa akan mengandung resistansi
konduktor fasa dan resistansi konduktor netral, sedangkan
impedansi bersama akan mengandung resistansi konduktor netral
saja. Persamaan (10.12) berubah menjadi:
=
′
′
′
C
B
A
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
CC
BB
AA
ZZZ
ZZZ
ZZZ
lI
I
I
V
V
V
1
(10.13.a)
dengan
AC
CAAC
AB
BAAB
A
AAAA
Dr
DDjRZ
Dr
DDjRZ
rr
DjRRZ
′πωµ
+=
′πωµ
+=′′π
ωµ++=
ln2
;ln2
;ln2
2
BC
CBBC
B
BBBB
AB
ABBA
Dr
DDjRZ
rr
DjRRZ
Dr
DDjRZ
′πωµ
+=
′′π
ωµ++=
′π
ωµ+=
ln2
;ln2
;ln2
2
C
CCCC
BC
BCCB
AC
ACCA
rr
DjRRZ
Dr
DDjRZ
Dr
DDjRZ
′′πωµ
++=
′πωµ
+=′π
ωµ+=
2
ln2
;ln2
;ln2
(10.13.b)
Walaupun matriks impedansi pada (10.13.a) terlihat simetris namun
tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal
jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada
konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi.
224 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Konfigurasi ∆∆∆∆ (Segitiga Sama-sisi). Konfigurasi ini adalah
konfigurasi segitiga sama-sisi di mana konduktor fasa berposisi di
puncak-puncak segitiga; DDDD ACBCAB === . Konduktor
netral berposisi di titik berat segitiga sehingga
3/DDDD CBA === .
Gb.10.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).
Jika kita misalkan resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R dan
GMR-nya pun sama yaitu r maka jika kita masukkan besaran-
besaran ini ke (10.13.b) kita peroleh
CC
CB
CA
BC
BB
BA
AC
AB
AA
rr
DjRRZ
r
DjRZ
r
DjRZ
r
DjRZ
rr
DjRRZ
r
DjRZ
r
DjRZ
r
DjRZ
rr
DjRRZ
′′π
ωµ++=
′π
ωµ+=
′π
ωµ+=
′π
ωµ+=
′′π
ωµ++=
′π
ωµ+=
′π
ωµ+=
′π
ωµ+=
′′π
ωµ++=
3ln
2
;3
ln2
;3
ln2
3ln
2
;3
ln2
;3
ln2
3ln
2
;3
ln2
;3
ln2
2
2
2
(10.14)
Pada (10.14) ini terlihat bahwa
mCABCAB ZZZZ ===
sCCBBAA ZZZZ ===
D D
D
3/D
225
sehingga (10.13.a) dapat dituliskan:
=
′
′
′
C
B
A
smm
msm
mms
CC
BB
AA
ZZZ
ZZZ
ZZZ
lI
I
I
V
V
V
1
(10.15.a)
dengan
/m 3
ln2
/m 3
ln2
2
Ω′π
ωµ+=
Ω′′π
ωµ++=
m
s
r
DjRZ
rr
DjRRZ
(10.15.b)
Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti pada
Contoh-9.2 di bab sebelumnya.
[ ] [ ] [ ][ ]T T1
012 ABCZZ−=
[ ] [ ][ ]
−
−
+
=
++++−
++++−
+++
=
=
ms
ms
ms
msmsms
msmsms
msmsms
smm
msm
mms
ABC
ZZ
ZZ
ZZ
aa
aa
ZaaZZaZaZZ
ZaZaZaaZZZ
ZZZZZZ
aa
aa
ZZZ
ZZZ
ZZZ
aa
aaZ
00
00
002
1
1
111
)1()1(
)1()1(
222
3
1
1
1
111
1
1
111
3
1T T
2
2
22
22
2
2
2
21-
Dengan memasukkan (10.15.b) kita peroleh
/m ln2
/m )(27
ln2
32
21
3
4
0
Ω′π
ωµ+=−==
Ω′′π
ωµ++=+=
r
DjRZZZZ
rr
DjRRZZZ
ms
ms
(10.16)
226 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-10.1: Penyulang tiga fasa, 20 kV, 50 Hz, panjang 20 km.
Konduktor penyulang berpenampang 95 mm2 dan memiliki
radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah 0,0286
Ω.mm2/m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆ dengan
jarak antar konduktor 1m. Hitunglah impedansi sendiri dan
impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan
mengabaikan kapasitansi.
Penyelesaian:
Resistansi konduktor: /m 00031,095
0286,0Ω==
ρ=
A
lRA
Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi
bersama fasa A dihitung menggunakan formulasi (10.14):
ABAC
AB
AA
ZZ
j
jZ
j
jZ
=
Ω∠=+=
×
×π×π×π
+=
Ω∠=+=
×
××π×π×π
+
+
=
−
−
96,3986,705,502,6
20000006,03
1ln
2
10410000031,0
86,4661,1785,1204,12
20000
006,0006,03
1ln
2
104100
00031,000031.0
o
27
o
27
Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (10.16)
Ω∠=+=
+−+=
−=−=
35,5286,98,702,6
05,502,685,1204,12
o
1
j
jj
ZZZZZ ABAAms
CO&TOH-10.2: Beban 5000 kW dengan factor daya 0,8 dicatu
melalui penyulang tiga fasa, 20 kV, 50 Hz, sepanjang 20 km
yang diberikan pada Contoh-10.1. Dengan mengabaikan
kapasitansi antar konduktor, hitunglah tegangan di ujung kirim
apabila tegangan di ujung terima (beban) ditetapkan 20 kV
dengan cara: a) menggunakan besaran-besaran fasa; b)
menggunakan besaran urutan.
227
Penyelesaian:
a) Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan
antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh
impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang,
perhitungan dilakukan menggunakan model satu fasa. Kita
amati fasa A. Impedansi sendiri dan impedansi bersama
fasa A telah dihitung pada contoh-10.1:
Ω∠=+==
Ω∠=+=
96,3986,705,502,6
86,4661,1785,1204,12
o
o
jZZ
jZ
ACAB
AA
Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima
fasa A sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung
terima fasa A, B, dan C adalah
kV 24055,11
kV 12055,11
kV 055,1103
20
o
o
oo
−∠=
−∠=
∠=∠=
rC
rB
rA
V
V
V
Arus fasa A, B, dan C adalah
A 87,2764,180
A 87,1564,180
A 87,364,180A 4,1808,055,11
3/5000
o
o
o
−∠=
−∠=
−∠=→=×
=
C
B
AA
I
I
II
Tegangan jatuh di fasa A adalah:
84,47404,1714
43,118790,77393,126339,64134,55133,3129
87,2764,18096,3986,7
87,1564,18096,3986,7
87,364,18086,4661,17
oo
oo
oo
j
jjj
ZZZ CACBABAAAAA
+=
+−−−+=
−∠×∠+
−∠×∠+
−∠×∠=
++=′ IIIV
228 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:
kV 22,1348,071,155,11 o∠=++=+= ′ jAArAsA VVV
Tegangan fsa-fasa di ujung kirim: kV 8,2232,13 ==LLsV
b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada hanyalah
urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung pada
contoh-10.1.
Ω∠=+= 35,5286,98,702,6 o1 jZ
Tegangan jatuh di fasa A adalah:
V 48,071,148,1559,1778
87,364,18035,5286,9
o
oo1
j
Z AAA
+=∠=
−∠×∠=×=′ IV
kV 22,1348,071,155,11 o∠=++=+= ′ jAArAsA VVV
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim: kV 8,2232,13 ==LLsV
Transposisi. Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi
simetris adalah melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi
konduktor sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi
mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris seperti
terlihat pada Gb.10.4. Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga
seksi dan posisi konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan.
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.10.5 memiliki
resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jari-jari
serta GMR-nya; RRRR CBA === , rrrr CBA === dan
rrrr CBA ′=′=′=′ . Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan
impedansi urutan dengan melihat seksi per seksi.
229
3
2
1
DD
DD
DD
C
B
A
=
=
=
1
3
2
DD
DD
DD
C
B
A
=
=
=
2
1
3
DD
DD
DD
C
B
A
=
=
=
Gb.10.5. Transposisi.
Kita lihat konduktor A di seksi pertama:
′πωµ
+=′π
ωµ+=
′′π
ωµ++=
ACAC
ABAB
AA
rD
DDjRZ
rD
DDjR
dZ
rr
DjRR
dZ
3121
21
ln23
1 ;ln
23
;ln23
(10.17.a)
Konduktor A di seksi ke-dua:
′π
ωµ+=
′π
ωµ+=
′′π
ωµ++=
ACAC
ABAB
AA
rD
DDjRZ
rD
DDjR
dZ
rr
DjRR
dZ
1232
22
ln23
1 ;ln
23
;ln23
(10.17.b)
Konduktor A di seksi ke-tiga
′πωµ
+=
′πωµ
+=
′′π
ωµ++=
ACAC
ABAB
AAA
rD
DDjRZ
rD
DDjR
dZ
rr
DjRR
dZ
2313
23
ln23
1 ;ln
23
;ln23
(10.17.c)
230 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Impedansi per satuan panjang konduktor A di seluruh seksi dapat
dinyatakan sebagai:
3/123
3/1
12
3/131
3/113
3/132
3/1
21
3/123
3/122
3/121
ln2
ln2
ln2
′
′
′πωµ
+=
′
′
′πωµ
+=
′′
′′
′′πωµ
++=
ACACACAC
ABABABAB
AA
rD
DD
rD
DD
rD
DDjRZ
rD
DD
rD
DD
rD
DDjRZ
rr
D
rr
D
rr
DjRRZ
(10.18)
Jika didefinisikan:
3321 DDDDh = dan 3
ACBCABf DDDD = (10.19)
maka formulasi (10.18) menjadi
′πωµ
+=
′πωµ
+=
′′πωµ
++=
f
hAC
f
hAB
hAA
rD
DjRZ
rD
DjRZ
rr
DjRRZ
22
2
ln2
; ln2
; ln2
(10.20)
Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A dan kita
mendapatkan relasi
=
′
′
′
C
B
A
smm
msm
mms
CC
BB
AA
ZZZ
ZZZ
ZZZ
lI
I
I
V
V
V
1
(10.21.a)
dengan
231
/m ln2
/m ln2
2
2
Ω
′πωµ
+=
Ω
′′πωµ
++=
f
hm
hs
rD
DjRZ
rr
DjRRZ
(10.21.b)
Impedansi urutan
[ ] [ ] [ ][ ]T T1
012 ABCZZ−=
dan dengan (10.21.b) kita peroleh:
r
DjRZZZZ
rrD
DjRRZZZ
fms
f
hms
′πωµ
+=−==
′′πωµ
++=+=
ln2
)(ln
232
21
32
6
0
(10.22)
CO&TOH-10.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang
mempunyai konfigurasi sebagai berikut:
Penyelesaian: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km)
Untuk menggunakan relasi (10.22), kita hitung lebih dulu Df
dengan menggunakan relasi (10.19):
m 29,58443 =××=fD
Jadi:
/km 3896,0088,0
01073,0
29,5ln
2
1000104502088,0
7
1
Ω+=
π××π××π
+=−
j
jZ
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′
====
Ω===
m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
232 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
10.4. Admitansi
Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga dan
mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satual panjang. Pada
konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk
menghitung displacement D menjadi sederhana.
lDds
S
ρ=∫
dengan S adalah luas dinding silinder dengan sumbu pada konduktor
sepanjang l. Bidang equipotensial di sekitar konduktor akan
berbentuk silindris dengan sumbu pada konduktor tersebut. Kuat
medan listrik di suatu titik berjarak x dari konduktor adalah:
xlx
lDEx πε
ρ=
×π×ε
ρ=
ε=
22
Untuk udara F/m 1036
1 90
−×π
=ε=ε
Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan potensial
antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan pada
Gb.10.5.
Gb.10.5. Dua titik di luar konduktor.
A
Bx
x
x
xAB
x
xdx
xEdxv
B
A
B
A
ln22 περ
=περ
== ∫∫ (10.23)
ABv adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai posistif
jika xB > xA. Jika ρ adalah muatan negatif maka ABv adalah
kenaikan potensial.
Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan. Kita lihat
sekarang satu konduktor k dengan jari-jari rk dan bermuatan ρk. Dua
konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j, berjarak Dik dan Djk
dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.10.6.
A BAx
Bx
233
Gb.10.6. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor tak
bermuatan.
Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di
konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan
konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial antara
konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan
konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara konduktor
i dan j adalah selisih antara keduanya.
ij
ikk
k
jk
k
ikk
kikjij
D
D
r
D
r
D
vvvkkk
ln2
lnln2
πε
ρ=
−
πε
ρ=
−=ρρρ
(10.24.)
Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan. Tiga konduktor
bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.10.7. Setiap muatan di
setiap konduktor akan menyebabkan beda potensial di dua
konduktor yang lain.
Gb.10.7. Tiga konduktor bermuatan.
CBABCBCBCBC vvvv
ρρρ++=
AB
ACABC
D
Dv
A
ln2πε
ρ=
ρ
ABD BCD
AAr ρ , ,A BBr ρ , ,B CCr ρ , ,C
ACD
i j
ikDjkD
kkrk ρ , ,
234 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
B
BCBBC
r
Dv
B
ln2πε
ρ=
ρ
BC
CCBC
D
rv
c
ln2περ
=ρ
Jadi
ρ+ρ+ρ
πε=
BC
CC
B
BCB
AB
ACABC
D
r
r
D
D
Dv lnlnln
2
1 (10.25)
Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan. Empat konduktor
bermuatan terlihat pada Gb.10.8:
Gb. 10.8. Sistem empat konduktor.
Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada
gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu
0=ρ+ρ+ρ+ρ AAAA (10.26)
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
A
AC
CC
AB
BB
A
AAA
D
r
D
D
D
D
r
Dv lnlnlnln
2
1
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
B
BC
CC
B
BB
AB
AAB
D
r
D
D
r
D
D
Dv lnlnlnln
2
1
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
C
C
CC
BC
BB
AC
AAC
D
r
r
D
D
D
D
Dv lnlnlnln
2
1
0lnlnlnln2
1=
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
C
CC
B
BB
A
AA
D
D
D
D
D
D
D
Dv
(10.27)
Jika kita terapkan relasi konservasi muatan (10.26)
0=ρ+ρ+ρ+ρ ncba atau ( )cban ρ+ρ+ρ−=ρ
maka ρ akan ter-eliminasi dari persamaan (10.27)
AAr ρ , ,A BBr ρ , ,B CCr ρ , ,Cr ρ , ,N
235
ρ+ρ+ρ
πε=
AC
CAC
AB
BAB
A
AAA
rD
DD
rD
DD
rr
Dv lnlnln
2
12
ρ+ρ+ρ
πε=
BC
CBC
B
BB
AB
BAAB
rD
DD
rr
D
rD
DDv lnlnln
2
12
ρ+ρ+ρ
πε=
C
CC
BC
BCB
AC
ACAC
rr
D
rD
DD
rD
DDv
2
lnlnln2
1
(10.28.a)
yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:
ρ
ρ
ρ
πεπεπε
πεπεπε
πεπεπε
=
C
B
A
nc
C
nBCB
BC
nAC
AC
nBC
CB
nb
B
nAB
AB
nAC
CA
nAB
BA
na
A
C
B
A
rr
D
rD
DD
rD
DD
rD
DD
rr
D
rD
DD
rD
DD
rD
DD
rr
D
v
v
v
ln2
1ln
2
1ln
2
1
ln2
1ln
2
1ln
2
1
ln2
1ln
2
1ln
2
1
2
2
2
(10.28.b)
atau secara singkat
ρ
ρ
ρ
=
C
A
A
CCCBCA
BCBBAB
ACABAA
C
B
A
fff
fff
fff
v
v
v
(10.28.c)
atau
[ ] ABCABCABC ρFv ~ ~ = (10.28.d)
dengan
CBAji
rD
DDf
nij
jninij
, ,,
ln2
1
=
πε=
(10.28.e)
Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, dapat kita tuliskan:
236 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
=
C
B
A
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
C
B
A
fff
fff
fff
ρ
ρ
ρ
V
V
V
(10.29.a)
atau
=
−
C
B
A
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
C
B
A
fff
fff
fff
V
V
V
ρ
ρ
ρ1
(10.29.b)
atau
[ ] [ ] ABCABCABCABCABC VCVFρ~
~~ -1 == (10.29.c)
Kita ingat relasi kapasitor CVQ = . Dari (10.25.c) kita turunkan
[ ] [ ] F/m -1
ABCABC FC = (10.30)
dan kita peroleh admitansi
[ ] [ ] /m Ωω= ABCABC j CY (10.31)
Namun kita tidak menghitung [YABC] dengan menggunakan (10.31)
melainkan dari (10.30) dengan menghitung [ ]ABCF dan sini
menghitung [ ]012F sehingga diperoleh [ ]012C dan [ ]012Y .
[ ]
=
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
ABC
fff
fff
fff
F (10.32)
nilai urutannya adalah
[ ] [ ] [ ][ ]TFTF 1
012 ABC−= (10.33)
dan akan kita peroleh
[ ] [ ] 1012012
−= FC sehingga [ ] [ ]012012 CY ω= j (10.34)
237
Konfigurasi ∆∆∆∆.
DDDD ACBCAB === ; 3/DDDD CBA === .
[ ]
=
πεπεπε
πεπεπε
πεπεπε
=
smm
msm
mms
nnn
nnn
nnn
ABC
fff
fff
fff
rr
D
r
D
r
D
r
D
rr
D
r
D
r
D
r
D
rr
D
F
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
2
2
2
(10.35)
[ ] [ ] [ ]
−
−
+
=
= −
ms
ms
ms
smm
msm
mms
ff
ff
ff
fff
fff
fff
F
00
00
002
T T1
012
(10.36)
r
DffFF
rr
DffF
ms
n
ms
ln2
1
)(27
ln2
12
21
3
4
0
πε=−==
πε=+=
(10.37)
Kapasitansi
)/ln(
21
])(27/ln[
21
21
1
340
0
rDC
FC
rrDFC
πε===
πε==
(10.38)
238 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Admitansi
)/ln(
2
])(27/ln[
2
211
3400
rDjYCjY
rrDjCjY
πεω==ω=
πεω=ω=
(10.39)
Transposisi. Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan
maka impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang
sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks [FABC]
berbentuk
[ ]
=
smm
msm
mms
ABC
fff
fff
fff
F (10.40)
Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun dalam
analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi, impedansi,
serta admitansi difahami sebagai konstanta proporsiaonalitas
rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka adalah besaran-
besaran dimensional. Mereka merupakan besaran yang tergantung
dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat fisis material yang
membentuknya. Oleh karena itu, selama dimensinya sama,
pengolahan aritmatika dapat dilakukan.
Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana ditunjukkan
oleh matriks [FABC] di atas, konduktor-konduktor memiliki nilai
sama jika dilihat dalam selang saluran yang ditransposisikan yaitu
yang terdiri dari tiga seksi. Dengan demikian maka admitansi dapat
kita peroleh dengan mengambil nilai rata-rata dari admitansi per
seksi.
( )
jiff
jiff
ffff
mif
sij
ijijijij
≠=
==
++=
jika
jika dengan
3
13-seksi 2-seksi 1-seksi
(10.41)
Kita memperoleh (lihat Gb.10.4.)
239
3
133221
33
23
22
21
ln6
1
ln6
1
ACBCAB
m
s
rDDD
DDDDDDf
rr
DDDf
πε=
πε=
(10.41)
Dengan definisi (10.19)
3321 DDDDh = dan 3
ACBCABf DDDD =
kita peroleh
f
hm
hs
rD
Df
rr
Df
2
2
ln2
1
ln2
1
πε=
πε=
(10.42)
sehingga
r
DffFF
rrD
DffF
fms
nf
hms
ln2
1
)(
ln2
12
21
32
6
0
πε=−==
πε=+=
(10.43
Kapasitansi adalah
F/m )/ln(
21
F/m ])(/ln[
21
21
1
3260
0
rDC
FC
rrDDFC
f
fh
πε===
πε==
(10.44)
Admitansi adalah
S/m )/ln(
2
S/m )/ln(
2
21
32600
rDjYY
rrDDjCjY
f
fh
πεω==
πεω=ω=
(10.45)
240 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-10.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang
mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-10.3:
Penyelesaian:
Dengan menggunakan relasi (10.37), di mana Df sudah dihitung
pada Contoh-10.2 dan F/m 10)36/1( 9−×π=ε maka:
S/km 923,2S/m 10923,2
)01350,0/29,5ln(
10)36/1(2502
)/ln(
2
9
9
1
µ=×=
×π×π××π=
πεω=
−
−
jj
jrD
jYf
Catatan: Formulasi untuk Y0 pada (10.39) tidak terlalu cocok untuk
menghitung admitansi urutan nol. Kopling kapasitif tidak
hanya terjadi antar konduktor tetapi juga dengan tanah.
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′
====
Ω===
m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
241
BAB 11
Rangkaian Ekivalen
Saluran Transmisi
Di bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi dan
admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu kita
telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat
menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang
diagonal.
Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi
sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Dengan
menggunakan model satu fasa, kita akan melihat bagaimana
perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita
akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis jika
saluran transmisi ini terhubung dengan peralatan lain, transformator
misalnya.
11.1. Persamaan Saluran Transmisi
Karena impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran
maka dalam penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan
arus antara setiap posisi yang berbeda. Kita lihat saluran transmisi
dua konduktor lebih dulu, seperti pada Gb.11.1.
Gb.11.1 Model satu fasa saluran transmisi.
sV rVxVxs ∆+V
xs ∆+I xIxxZ I∆
xxY V∆
x∆
x
rI
242 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Saluran transmisi ini bertegangan sV di ujung kirim dan rV di
ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan
kita perhatikan suatu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada
segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:
Tegangan xV di x.
Tegangan xx ∆+V di (x + ∆x) karena terjadi tegangan jatuh
xx xZ IV ∆=∆ (Z adalah impedansi per satuan panjang).
Arus xI mengalir dari x menuju ujung terima.
Arus xx xY VI ∆=∆ mengalir di segmen ∆x (Y adalah admitansi
per satuan panjang).
Arus xx ∆+I mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung kirim.
xxxx
xxxx
xxxx
xxxx
Yx
xY
Zx
xZ
VII
VII
IVV
IVV
=∆
−∆=−
=∆
−∆=−
∆+∆+
∆+∆+
atau
atau
Jika ∆x mendekati nol, maka
xx
xx Y
dx
dZ
dx
dV
II
V== dan (11.1)
Jika (11.1) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh
dx
dY
dx
d
dx
dZ
dx
d xxxx VIIV==
2
2
2
2
dan (11.2)
Substitusi (11.1) ke (11.2) memberikan
xx
xx
ZYdx
dZY
dx
dI
IV
V==
2
2
2
2
dan (11.3)
243
Konstanta Propagasi. Persamaan (11.3) ini telah menjadi sebuah
persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama
sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi tersebut
didefinisikan
ZYZY =γ=γ atau 2 (11.4)
γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m dan
Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter. Selain itu
karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ juga
merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai
β+α=γ j (11.5)
α disebut konstanta redaman
β disebut konstanta fasa
Impedansi Karakteristik. Dengan menggunakan pengertian
konstanta propagasi maka persamaan (11.3) dapat dituliskan
menjadi
xx
xx
dx
d
dx
dI
IV
V 2
2
22
2
2
dan γ=γ= (11.6.a)
atau
0dan 0 2
2
22
2
2
=γ−=γ− xx
xx
dx
d
dx
dI
IV
V (11.6.b)
Solusi persamaan (11.6.b) adalah (lihat bahasan analisis transien
orde ke-dua di pustaka [3]):
dan 2121x
ix
ixx
vx
vx ekekekek γ−γγ−γ +=+= IV (11.6.c)
Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (11.6.c) yaitu
xv
xvx ekek γ−γ += 11 V (11.7.a)
Persamaan (11.1) dan (11.7.a) memberikan
244 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
xv
xvx
x ekekZdx
d γγ γ−γ== 21 IV
(11.7.b)
Persamaan (11.7.a) dan (11.7.b serta definisi (11.4) memberikan
xxx
vx
vY
Z
ZY
Zekek II ==− γγ
21 (11.7.c)
Perhatikan bahwa ruas paling kiri (11.7.c) adalah tegangan. Hal ini
berarti bahwa ruas paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh
karena itu
Y
Z di ruas paling kanan (11.7.c) haruslah berdimensi impedansi;
impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Zc.
Y
ZZc = (11.8)
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (11.7.c) kita
tulis menjadi
xcx
vx
v Zekek I=− γγ21 (11.9.a)
sementara persamaan pertama (11.6.c) dapat kita tulis
21 xx
vx
v ekek V=+ γ−γ (11.9.b)
Pada x = 0 persamaan (11.9.a) dan (11.9.b) memberikan
rvv
rcvv
kk
Zkk
V
I
=+
=−
21
21
sehingga diperoleh
2
2
2
1
rcrv
rrcv
Zk
Zk
IV
VI
−=
+=
(11.9.c)
Dengan (11.9.c) ini maka persamaan pertama (11.6.c) menjadi
245
)sinh()cosh(
22
2
2
21
xZx
eeZ
ee
eZ
eZ
ekek
rcr
xx
rc
xx
r
xrcrxrrc
xv
xvx
λ+γ=
−+
+=
−+
+=
+=
γ−γγ−γ
γ−γ
γ−γ
IV
IV
IVVI
V
(11.9.d)
Persamaan ke-dua (11.6.c) kita olah dengan cara yang sama.
xc
xi
xi
xx
ix
ixx
ix
ix
Zekek
Yekekdx
dekek
V
VI
I
1
21
2121
=−→
=γ−γ=→+=
γ−γ
γ−γγ−γ
(11.10.a)
Untuk x = 0,
rc
ii
rii
Zkk
kk
V
I
1
21
21
=−
=+ dan diperoleh
2
/
2
/
2
1
crri
crri
Zk
Zk
VI
VI
−=
+=
(11.10.b)
Dengan (11.11.c) ini kita peroleh
)cosh()sinh(
22
2
/
2
/
xxZ
eeee
Z
eZ
eZ
rc
r
xx
r
xx
c
r
xcrrxcrrx
γ+λ=
++
−=
−+
+=
γ−γγ−γ
γ−γ
IV
IV
VIVII
(11.10.c)
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
xxZ
xZx
rc
rx
rcrx
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
(11.11)
246 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Persamaan (11.11) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x
pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima
diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk
melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat
dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi
karakteristik Zc. Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter
yang ditunjukkan oleh persamaan (11.4); impedansi karakteristik
mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan
oleh (11.8).
11.2. Rangkaian Ekivalen ππππ
Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim
adalah ss IV dan maka dari (11.11) kita peroleh
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
(11.12)
Rangkaian ekivalen diperlukan dalam analisis saluran transmisi jika
terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu rangkaian
ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti terlihat pada
Gb.11.2.
Gb.11.2. Rangkaian ekivalen π.
Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang
terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan
admitansi tergumpal ekivalen. Aplikasi hukum Kirchhoff pada
rangkaian ini memberikan:
sV rV
sI rI
tZ
2
tY
2
tY
247
rtrtt
rt
rtrs ZYZY
Z IVVIVV +
+=
++=
21
2 (11.13.a)
rtt
rttt
rtrttt
rt
r
st
rt
rs
YZYYZ
ZYZYY
YY
IV
IVVI
VVII
++
+=
+
+++=
++=
21
222
21
22
22
(11.13.b)
Kita ringkaskan (11.3.a dan b) menjadi :
rtt
rttt
s
trtt
s
YZYYZ
ZYZ
IVI
IVV
++
+=
+
+=
21
222
21
(11.14)
Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan (11.12),
kita dapatkan
)sinh(1
222
)sinh(
)cosh(2
1
dZ
YYZ
dZZ
dYZ
c
ttt
ct
tt
γ=
+
γ=
γ=+
(11.15)
Substitusi persamaan pertama (11.15 ke persamaan ke-tiga
memberikan
( )
γ=
+
−=
+
+×−=
++
−=
+γ
γ=
γ−γ
γ−γ
γ−γ
γ−γγ−γ
γ−γ
γ−γ
2tanh
1
)(
)(
)(
)()(
2/)2(
2/)(
1)cosh(
)sinh(
2
2/2/
2/2/
22/2/
2/2/2/2/
d
ZeeZ
ee
eeZ
eeee
eeZ
ee
dZ
dY
cdd
c
dd
ddc
dddd
ddc
dd
c
t
248 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Jadi dalam rangkaian ekivalen π
)sinh( dZZ ct γ= dan
γ=
2tanh
1
2
d
Z
Y
c
t (11.16)
kirim ujungdan terimaujungjarak =d
tikkarakteris impedansi =cZ
Rangkaian ekivalen π diturunkan dari model satu fasa rangkaian tiga
fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga fasa tak-seimbang, fasor-fasor
tak seimbang kita uraikan menjadi komponen-komponen simetris.
Masing-masing komponen simetris merupakan fasa-fasa seimbang
sehingga masing-masing komponen dapat di analisis menggunakan
rangkaian ekivalen satu fasa. Dengan kata lain masing-masing
komponen memiliki rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen
urutan positif, urutan negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada
Gb.11.3.
Besaran rangkaian ekivalen adalah:
Konstanta propagasi urutan:
222
111
000
YZ
YZ
YZ
=γ
=γ
=γ
(11.17)
Impedansi karakteristik urutan:
22
111
000
/2
/
/
YZZ
YZZ
YZZ
c
c
c
=
=
=
(11.18)
Impedansi urutan:
dZZ
dZZ
dZZ
c
c
c
222
111
000
sinh
sinh
sinh
γ=
γ=
γ=
(11.19)
249
Admitansi urutan:
2tanh
1
2
2tanh
1
2
2tanh
1
2
2
2
2
1
1
1
0
0
0
d
Z
Y
d
Z
Y
d
Z
Y
c
c
c
γ=
γ=
γ=
(11.20)
Rangkaian Urutan Nol
Rangkaian Urutan Positif
Rangkaian Urutan Negatif
Gb.11.3. Rangkaian ekivalen urutan.
2sV 2rV
2sI 2rI
2tZ
2
2tY
2
2tY
0sV 0rV
0sI 0rI
0tZ
2
0tY
2
0tY
1sV 1rV
1sI 1rI
1tZ
2
1tY
2
1tY
250 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-11.1: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-10.2, tentukan (a)
impedansi karakteristik; (b) konstanta propagasi; (c) rangkaian
ekivalen π.
Penyelesaian:
Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah
dihitung pada contoh-10.2 dan 10.3.
/km 3896,0088,01 Ω+= jZ
S/km 923,21 µ= jY
a) Impedansi karakteristik adalah
Ω∠=
+×=
×
+==
−
6,4-67,369
923,2
3896,0088,010
10923,2
3896,0088,0
o
3
6 j
j
j
j
Y
ZZc
b) Konstanta propagasi
kmper 10)074,11198,0(
)10923,2)(3896,0088,0(
3
6
−
−
×+=
×+==γ
j
jjZY
c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km,
elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah
Ω∠=+=
×+−∠=
γ=−
77.339.87 89,3877,8
]10)074,11198,0sinh[()4,667,369(
)sinh(
o
1o
j
j
dZZ ct
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′
====
Ω===
m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
251
mS 1463,0
101463,01014,3
2
10010)074,11207,0(tanh
4,667,369
1
2tanh
1
2
38
3
o
j
j
j
d
Z
Y
c
t
≈
×+×=
××+
−∠=
γ=
−−
−
11.3. Rangkaian Ekivalen Pendekatan
Apabila kita melakukan perhitungan-perhitungan dengan
menggunakan komputer pendekatan ini sebenarnya tidak
diperlukan. Namun untuk saluran pendek, perhitungan secara
manual kadang-kadang diperlukan sehingga kita memerlukan
besaran pendekatan.
Pada saluran yang pendek, 1<<γd . Dalam situasi ini kita dapat
membuat pendekatan
22/
1
2
1
2tanh
1
2
)(sinh
Ydd
ZY
YZ
d
Z
d
Z
Y
ZddZYY
ZdZdZZ
cc
t
cct
==γ
≈γ
=′
==γ≈γ=′
(11.21)
Rangkaian ekivalen π yang dibuat dengan menggunakan nilai-nilai
pendekatan ini juga disebut rangkaian ekivalen nominal.
sV rV
sI rI89,3877.8 j+
1463,0j 1463,0j
252 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
CO&TOH-11.2: Tentukan rangkaian ekivan π pendekatan untuk
saluran pada Contoh-11.1.
Penyelesaian: Dengan menggunakan relasi (11.21) elemen
rangkaian ekivalen pendekatan adalah:
mS 1461,0
1002
10923,2100
22
96,388,8100
61
1
j
jYY
jZZ
t
t
=
××
=×=′
Ω+=×=′
−
Lebih Lanjut Tentang Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Kinerja
saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (11.12) yaitu
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
(11.12)
Pada saluran yang pendek, 1<<γd . Dalam situasi ini kita dapat
membuat pendekatan
1)cosh(
dan )sinh(
≈γ
γ≈γ
d
dd
Dengan pendekatan ini persamaan kinerja saluran transmisi
pendek dapat ditulis dengan lebih sederhana:
rr
cs
rcrs
Z
d
dZ
IVI
IVV
+γ
=
γ+=
) (
(11.22.a)
Sementara itu
YYZ
ZY
ZZZY
Y
ZZ
cc ==
γ=×=γ
/dan (11.22.b)
sehingga (11.22.a) menjadi
253
rrs
rrs
Yd
Zd
IVI
IVV
+=
+=
)(
) ( (11.22.c)
Persamaan (11.22.c) ini memberikan diagram rangkaian ekivalen
seperti tergambar terlihat pada Gb.11.4. di bawah ini, yang kita
sebut rangkaian ekivalen pendekatan untuk saluran pendek
Gb.11.4. Diagram rangkaian ekivalen pendekatan
Rangkaian ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita
perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan
rangkaian ekivalen π yang sebenarnya
11.4. Kinerja Saluran Transmisi
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (11.12) yaitu
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
(11.12)
Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan konstanta
A, B, C, D:
rrs
rrs
IDVCI
IBVAV
+=
+= (11.23.a)
dengan
ADBC
BA
=γ==γ
=
γ=γ=
xZZ
x
xZx
cc
c
cosh ; 1sinh
sinh ; cosh
2
(11.23.b)
sV rV
sI rI
Zd
Yd
254 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Konstanta-konstanta ini dapat dapat pula diturunkan dari rangkaian
ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (11.14) yaitu
rtt
rttt
s
trtt
s
YZYYZ
ZYZ
IVI
IVV
++
+=
+
+=
21
222
21
(11.14)
yang jika kita perbandingkan dengan (11.23.a) kita dapatkan
ADC
BA
=
+=
+=
=
+=
21
222
2
1
ttttt
ttt
YZYYZ
ZYZ
(11.23.c)
Memperbandingkan (11.23.c) dengan (11.23.b) akan kembali
kita peroleh (11.15).
Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan
kompleks karena Zt maupun Yt adalah bilangan kompleks yang
nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang
saluran. Kita lihat lagi Contoh-11.1. untuk memberi gambaran
tentang nilai konstanta-konstanta ini.
CO&TOH-11.3: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-11.1,
tentukan konstanta A, B, C, D saluran transmisi ini.
Penyelesaian:
γ dan Zc telah dihitung pada Contoh-11.1:
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′
====
Ω===
m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
255
Ω∠= 6,4-67,369 ocZ
kmper 10)074,11198,0( 3−×+=γ j
Menggunakan formulasi (11.23.b), nilai konstanta adalah
o
o
2
o
o
0,070,9943cosh
90,020,00031sinh
77,3039,87sinh
0,070,9943cosh
∠==γ=
∠==γ
=
∠=γ=
∠=γ=
AD
BC
B
A
x
ZZ
x
xZ
x
cc
c
Dengan menggunakan konstanta-konstanta saluran, kita akan
mecermati kinerja saluran.
CO&TOH-11.4: Jika saluran transmisi pada soal-11.2 mencatu
beban sebesar 250 MVA dengan factor daya 0.9 lagging pada
tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di
ujung kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,
faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.
Penyelesaian:
Dengan model satu fasa, tegangan beban 270 kV digunakan
sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah
kV 0 88,5513
270 o∠==rV
Karena factor daya 0,9 lagging maka arus beban:
kA 25,8-0.5339,0270
250 o∠=××
=rI
256 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:
kV 5.7169.1
16.713.30.2155
77,3039,870,070,9943
o
oo
∠=
+++=
∠+∠=
jj
rrs IVV
Arus di ujung kirim:
kV 21,2-0.51
0.230.480.0510-2
o
-5
∠=
−++×=+= jjrrs IDVCI
Tegangan jatuh di saluran adalah
kV 53,72116,912,4
088,1557,51,169
o
oo
∠=+=
∠−∠=−=∆
j
rs VVV
atau 12%1001,169
21≈× dari tegangan di ujung kirim.
Daya kompleks ujung kirim
MVA 272602,2151,07,51,16933 o∠=∠×∠×=×= ∗sssS IV
Faktor daya ujung kirim 0.89)27cos( o =
Daya nyata ujung kirim MW 23289,0260 =×=sP
Daya nyata ujung terima MW 2259.0250 =×=rP
Susut yang terjadi di saluran adalah
3.1%%100 =×−
=s
rssaluran
P
PPP .
257
Pengaruh Pembebanan. Dalam Contoh-11.4 di atas,
pembebanan 250 MVA dengan factor daya 0,9 menyebabkan
tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,12% sementara factor
daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan melihat akibat
dari perubahan pembebanan
CO&TOH-11.5: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi
pada Contoh-11.4 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor
daya tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran,
daya di ujung kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya
di saluran.
Penyelesaian:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
Contoh-11.4. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Beban [MVA]
200 250 300
Panjang 100 km 100 km 100 km
rV [kV] 155,88∠0o 155,88∠0o 155,88∠0o
rI [kA] 0.43∠-25.8o 0.53∠-25.8o 0.64∠-25.8o
sV [kV] 166.2∠4.7o 169.1∠5.7o 172.1∠6.7o
sI [kA] 0.40∠-20o 0.51∠-21.2o 0.62∠-22o
V∆ [kV] 16.7∠54.3o 21∠53.7o 25.2∠53.3o
V∆ [%] 10 12 15
Ss [MVA] 203 260 320
f.d. 0.9 0.89 0.88
Susut [%] 2.5 3.1 3.75
258 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pengaruh Panjang Saluran. Perubahan panjang saluran akan
mengubah konstanta saluran. Kita lihat contoh berikut.
CO&TOH-11.6: Dengan beban tetap 250 MVA dan factor daya 0,9
lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung
kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran
untuk panjang saluran 100, 150, 200 km
Penyelesaian:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
Contoh-11.4. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Panjang Saluran
100 150 200
Beban 250 MVA 250 MVA 250 MVA
A 0.9943∠0.07o 0.9872∠0,17o 0.9773∠0.3o
B [Ω] 39.867∠77.3o 59.658 ∠77.3o 79.28∠77.4o
C [mS] 0.2917∠90.02o 0.4366 ∠90.06o 0.5802∠90.1o
D 0.9943∠0.07o 0.9872∠0.17o 0.9773∠0.3o
rV [kV] 155.88∠0o 155.88∠0o 155.88∠0o
rI [kA] 0.53∠-25.8o 0.53∠-25.8o 0.53∠-25.8o
sV [kV] 169.1∠5.7o 175.6∠8.3o 181.9∠10.8o
sI [kA] 0.51∠-21.2o 0.50∠-18.7o 0.49∠-16o
V∆ [kV] 21∠53.7o 31∠54.9o 41∠56.1o
V∆ [%] 12 18 22
Ss [MVA] 260 264 267
f.d. 0.89 0.89 0.89
Susut [%] 3.1 4.5 5.8
259
11.5. Batas Pembebanan
Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan
peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan
yang kita hitung pada contoh-11.5 sebesar 250 MVA, tegangan
jatuh sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika
kita mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya
saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,
daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah
MVA 42039,02703fasa =××=rS
Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di
saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.
Batas Thermal. Sebagian energy yang melalui saluran transmisi
terkonversi menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.
saluranfasasaluran RIP ××= 23
Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang diperkenankan
mengalir pada konduktor agar tidak terjadi pemanasan yang
berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur konduktor akan
menyebabkan pemuaian; jika temperature meningkat maka
andongan akan bertambah .
Dari relasi daya tiga fasa
33 VIS fasa =
kita dapat menghitung berapa daya yang dapat dipasok melalui
suatu saluran transmisi. Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa
150 kV misalnya, setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya
sebesar MVA 5,23150 = ; pada transmisi 500 kV berarti
penyaluran daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan
daya ini yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu
saluran transmisi.
260 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Tegangan dan Arus di Ujung Kirim. Jika konstanta saluran kita
misalkan α∠= AA dan β∠= BB , tegangan ujung terima
digunakan sebagai referensi o0∠= rr VV , arus beban lagging
oϕ−∠= rr II , maka persamaan pertama (11.23.a) menjadi:
)()0(
ϕ−β∠++α∠=
+=
rr
rrs
BIAV
IBVAV (11.24.a)
Sudut α∠A dan β∠B adalah konstanta yang ditentukan hanya
oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran
tidak berubah. Oleh karena itu jika factor daya beban
dipertahankan pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di
ujung kirim ditentukan hanya oleh arus beban Ir . Gb.11.5.
memperlihatkan peristiwa tersebut.
Gb.11.5. Perubahan arus beban dari rI menjadi rI ′
menyebabkan perubahan tegangan di ujung kirim dari
sV menjadi sV ′ .
Jika kita misalkan θ∠= cc ZZ , maka persamaan ke-dua
(11.23.a) menjadi:
)()20(
2
2
ϕ−α∠+θ−∠=
+=
r
c
r
rr
c
s
AIZ
BV
ZIAV
BI
(11.24.b)
rV
rI
rVA
rIB
sV
α Re
Im
ϕ−β
rI ′
sV ′
261
Impedansi karakteristik Zc juga merupakan besaran konstan
untuk satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban
dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung
terima dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter
saluran.
Pembebanan. Peningkatan arus Ir berarti peningkatan
pembebanan. Selain batas thermal sebagaimana telah
dikemukakan di atas, ada pembatasan lain yang akan kita lihat
berikut ini.
Jika δ adalah sudut antara rs VV dan
Gb.11.6. Perubahan sudut δ.
maka dari relasi tegangan rrs IBVAV += kita peroleh arus
beban
)()(
β−α∠−β−δ∠=
−=
B
AV
B
V rs
rsr
B
VA
B
VI
(11.25)
Daya per fasa di ujung terima adalah
)()(
2
r1fasa
α−β∠−δ−β∠=
= ∗
B
AV
B
VV
S
rsr
rr IV
(11.26)
rV
rI
rVA
rIB
sV
α Re
Im
δ
262 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai
tertentu, kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di
ujung kirim. Jika hal ini dilakukan maka srVV dan 2rV pada
persamaan daya (11.26) akan bernilai konstan. Persamaan ini
akan menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi
apabila terjadi perubahan penerimaan daya di ujung terima. Sudut
ini, δ, disebut sudut daya.
Diagram Lingkaran. Dari (11.26), daya tiga fasa di ujung
terima adalah
)(3
)(3 2
3fasa α−β∠−δ−β∠=B
AV
B
VVS rsr
r (11.27)
Jika Vr dan Vs dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat
bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan daya
akan mengikuti bentuk kurva lingkaran. Kita akan mencoba
menggambarkannya.
Pada Contoh-11.2 kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari
sudut β. Oleh karena itu sudut fasa suku ke-dua (12.4) akan berada
di sekitar nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih
dari 10% seperti halnya hasil perhitungan pada Contoh-11.2, nilai
VrVs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan nilai 2rV di
suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita akan
menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala. Diagram lingkaran
diperlihatkan pada Gb.11.7. dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pada bidang kompleks kita gambarkan fasor )(3 2
α−β∠B
AVr
yaitu OM kemudian kita gambar )(3 2
α−β∠−B
AVr yaitu
MO ′ .
263
2. Pada fasor MO ′ kita tambahkan fasor )(3
δ−β∠B
VV sr yaitu
fasor NM ′
3. Sudut antara NM ′ dengan sumbu mendatar adalah )( δ−β .
4. Pada perubahan sudut δ fasor NM ′ akan bergerak mengikuti
lingkaran yang berpusat di M′ berjari-jari NM ′ .
5. Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor NM ′ dengan garis
MM ′′′ yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.
6. Daya nyata maksimum terjadi jika 0)( =δ−β yaitu pada
waktu NM ′ menjadi NM ′′
7. Daya reaktif maksimum terjadi jika o90)( =δ−β
Gb.11.7. Diagram lingkaran.
O
M
M ′
N
δ−βα−β
N ′
N ′′M ′′
δ
Re
Im
264 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Daya Maksimum di Ujung Terima. Dalam meninjau daya
maksimum ini, kita akan menyederhanakan relasi (11.27) dengan
melihat saluran transmisi pada tegangan pengenalnya yang kita
sebut V, misalnya transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak
memperbedakan Vr atau Vs. Dengan pengertian ini maka (11.27)
menjadi:
)(3
)(3
22
1fasa α−β∠−δ−β∠=B
AV
B
VSr (11.28.a)
Daya tiga fasa menjadi
)()(22
3fasa α−β∠−δ−β∠=B
AV
B
VSr (11.28.b)
Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan daya
nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian nyata dari
relasi daya ini.
)cos()cos(
)()(Re
Re
22
22
3fasa 3fasa
α−β−δ−β=
α−β∠−δ−β∠=
=
B
AV
B
V
B
AV
B
V
SP rr
(11.29.a)
dan daya reaktif Q adalah
)sin()sin(
)()(Im
Im
22
22
3fasa 3fasa
α−β−δ−β=
α−β∠−δ−β∠=
=
B
AV
B
V
B
AV
B
V
SQ rr
(11.29.b)
Daya nyata pada relasi (11.29.a) akan mencapai nilai maksimum
pada waktu 0)( =δ−β atau β=δ . Daya nyata maksimum ini
merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan
keadaan mantap (steady state); besarnya adalah
265
[ ])cos(12
mantap maks 3fasa α−β−= AB
VPr (11.30)
Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai
maksimum mantap, daya reaktif adalah
)sin(2
mantap maks 3fasa α−β−=B
AVQr (11.31)
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah
)cos(21 22
22mantap maks 3fasa
α−β−+=
+=
AAB
V
QPS
(11.32)
Ini merupakan daya kompleks tiga fasa maksimum yang bisa
dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang
digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar
Ic, maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa
dibebankan pada saluran transmisi adalah
3saluran fasa 3 cVIS = (11.33)
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi
batas pembebanan saluran transmisi
saluran fasa 3mantap maks 3fasa SS <
CONTOH-11.7: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi pada Contoh-11.3. di mana saluran transmisi mencatu beban
sebesar 100 MW dengan factor daya 0.9 lagging pada tegangan 270
kV.
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′
====
Ω===
m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
266 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Sistem ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV.
Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim
telah dihitung pada Contoh-11.3 sebesar 279 kV. Konstanta A
dan B telah dihitung pada Contoh-11.2 yaitu
oo 77,3039,87dan 0,070,9943 ∠=∠= BA
Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini
menurut (11.32) adalah
MVA 417
)07,030,77(cos(09943,029943,0187,39
275
)cos(21 22
mantap maks 3fasa
=
−×−+=
α−β−+= AAB
VS
Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan
saluran
MVA 42839,02753saluran fasa 3 =××== cVIS
saluran fasa 3mantap maks 3fasa SS <
Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.
267
Pustaka
1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit
ITB, Bandung, 2002.
2. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1”, e-
book, Darpublic, Bandung, 2010
3. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-2”, e-
book, Darpublic, Bandung, 2010
4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam
Permasalahan Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, ITB,
Bandung, 2008.
5. Vincent Del Toro : “Electric Power System”, Prentice-Hall
International, Inc., 1992.
6. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &
Son, 1986.
7. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System
Engineering”, John Willey & Son, 1988.
268 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Daftar Simbol
φ : fluksi magnet
λ : fluksi lingkup
γ : konstanta propagasi saluran transmisi
ε : permitivitas
µ : permeabilitas
A, B, C, D : konstanta saluran transmisi
Zc : impedansi karakteristik
269
INDEKS
a
admitansi 336
Ampère 2, 4
arus pusar 13
asinkron, motor 65, 71
b
batas pembebanan 263
c
Crest Factor 128
d
daya 138, 139, 151, 209
diagram lingkaran 266
f
Faraday 1
Fourier 100
h
harmonisa 123, 128, 163, 176
histerisis 12
n
impedansi 206, 227
impedansi karakteristik 247
inductor 17, 184
induktansi 221
k
kapasitor 179
kompensasi 152
komponen simetris 201, 203
konduktor 177
konstanta ABCD 257
konstanta propagasi 247
m
magnetik 1, 14
model satu fasa 90
n
nilai efektif 137
nonlinier 99, 116, 117, 131,
163
nonsinus 99, 105, 112
o
operator a 202
p
partial discharge 197
permeabilitas 3
per unit 212, 215
polifasa 85, 93
r
rangkaian ekivalen π 250
resistansi 220
resonansi 115
s
sinkron, mesin 45, 54, 56, 61
t
torka 81
THD 128
transformator 25, 26, 32, 35,
39, 40, 189
transmisi 209
270 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
271
Biodata
Nama: Sudaryatno Sudirham
Lahir: di Blora pada 26 Juli 1943
Istri: Ning Utari
Anak: Arga Aridarma
Aria Ajidarma.
1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.
1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.
1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia.
1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis.
1981 : INPT - Toulouse − Perancis; 1982 DEA; 1985 Doktor.
Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar
Teknik Elektro”, “Pengantar Rangkaian Listrik”, “Material
Elektroteknik”, “Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”,
“Dielektrika”, “Material Biomedika”.
Buku: “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, Bandung, 2002;
“Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut Energi Jaringan
Distribusi”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Fungsi dan Grafik,
Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Analisis
Rangkaian Listrik (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung, 2010;
“Analisis Rangkaian Listrik (2)”, Darpublic, e-Book, Bandung,
2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung,
2010; “Analisis Keadaan Mantap Rangkaian Sistem Tenaga”,
Darpublic, Bandung, 2011;
272 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Analisis Analisis Analisis Analisis Keadaan MantapKeadaan MantapKeadaan MantapKeadaan Mantap Rangkaian Sistem TenagaRangkaian Sistem TenagaRangkaian Sistem TenagaRangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Seimbang
Pebebanan Nonlinier
Pembebanan Tak Seimbang
top related