anti histamin
Post on 25-Dec-2015
40 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
CLINICAL SCIENCE SESSION
ANTI HISTAMIN
Oleh:
Ignatia Ratna Prativi 1301-1213-0524Annisa Lidra M 1301-1213-0587Tasya Aniza 1301-1212-0638
Preseptor:Rasmia Rowawi, dr., SpKK(K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKINBANDUNG
2014
PENDAHULUAN
Histamin adalah amina molekular ringan yang merupakan turunan dari L-
histidine dan diproduksi oleh tubuh. Dari empat jenis histamin yang diketahui,
histamin dapat mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi sel, memodulasi
inflamasi, dan menjadi neurotransmitter.1,2 Antihistamin (AH) adalah zat yang
digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya.
Aktivitas antihistamin H1 pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh
Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa
ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi marmut dari berbagai
dosis letal histamin, menghambat spasme berbagai otot polos yang diinduksi oleh
histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis. Obat ini terlalu
toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet dkk telah
memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi salah satu
antagonis histamin yang efektif, selanjutnya diikuti perkembangan AH di
Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin, difenhidramin dan
prometazin pada tahun 1945 dan 1946.5 Pada akhir tahun 1980 hingga tahun
1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH yang tidak menembus
sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu.
Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua atau AH
non-sedatif.2
Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis tahun 1969. Reseptor H2
terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan reseptor
H3 pada manusia diyakini terdapat pada otak dan paru, tetapi tidak terdapat di
kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan terdapat pada sel-
sel dan jaringan tubuh tetapi tidak pada kulit.1 Antagonis reseptor H3 dan H4 belum
tersedia untuk penggunaan klinis, namun, eksperimen selektif dan poten untuk
antagonis reseptor H3, thiperamida dan clobenpropit, sedang dikembangkan.7
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin
sangatlah penting untuk dikuasai sebagai kompetensi dasar dokter umum.
2
KLASIFIKASI DAN STRUKTUR KIMIA
1. Antihistamin H1
a. AH-1 generasi I (klasik/sedatif)
Yang termasuk golongan ini adalah:
Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin
maleat dan tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin
maleat, dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin
maleat/pirilamin maleat
Etanolamin (Aminoalkil eter) :karbioksamin maleat, difenhidramin
sitrat dan hidroklorida, doksilamin suksinat, embramin
hidroklorida, mefenhidramin metilsulfat, trimetobenzamin sitrat,
dimenhidrinat, klemastin fumarat
Etilendiamin : mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin
sitrat dan hidroklorida, antasolin fosfat
Fenotiazin : dimetotiasin mesilat, mekuitasin, metdilasin dan
metdilasin hidroklrida, prometasin hidroklorida dan teoklat,
trieprain tartrat
Piperidin : azatadin maleat, siproheptadin hidroklorida,
difenilpralin hidroklorida, fenindamin tartrat
Piperazin : hidroksisin hidroklorida dan pamoat1
Struktur kimia
Antihistamin pada umumnya
3
Difenhidramin Tripelenamin
Siproheptadin Hidroksisin
Klorfeniramin Prometasin
b. AH-1 non sedatif (AH-1 generasi II dan III )
Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir
ditemukan dengan cara menyaring beberapa komponen dan secara
kimiawi berhubungan dengan AH-1 generasi lama. Sebagai contoh ialah
akrivastin berhubungan dengan tripolidin, setirisin adalah metabolit dari
hidroksisin, levocetirisin adalah enantiomer dari setirisin, desloratadin
adalah metabolik dari terfenadin.9
AH 1 generasi II
Yang termasuk golongan ini adalah:
Akrivastin, astemisol, setirisin, loratadin, mizolastin, terfenadin,
ebastin
4
Struktur Kimia
Astemisol Loratadin
Terfenadin Setirisin
AH 1 generasi III
Yang termasuk golongan ini adalah:
- Levosetirisin
- Desloratadin
- Feksofenadin
Rumus bangun
Feksofenadin Desloratadin
5
Levosetirisin
2. Antihistamin tipe H2
Yang termasuk golongan ini adalah :
Simetidin
Ranitidin
Famotidin
Nizatidin
Struktur Kimia
Simetidin Ranitidin
Famotidin Nizatidin
FARMAKOLOGI
1. Antihistamin H1 Klasik
Mekanisme kerja:
Antihistamin H1 bekerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap histamin
pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan pada reseptornya
6
serta mencegah aktivasi dari reseptor tersebut.1,2,4,7 Ikatan antara AH dan
reseptornya bersifat reversibel dan dapat digantikan oleh histamin dalam kadar
yang tinggi.1,7 Dengan menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh
yang ditimbulkan histamin, yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang secara klinis berupa eritem, bentol (urtika) dan rasa
gatal. Obat ini lebih efektif jika diberikan sebelum terjadinya pelepasan histamin.3
Antihistamin klasik, juga memiliki aktivitas antikolinergik, efek anestesi lokal,
antiemetik, dan anti mabuk perjalanan.1,5 Beberapa obat golongan AH-1
mempunyai kemampuan untuk menghambat reseptor α-adrenergik atau reseptor
muskarinik kolinergik, sedangkan obat lainnya seperti siproheptadin mempunyai
efek antiserotonin.1
Farmakodinamik dan Farmakokinetik
Setelah pemberian secara oral, AH-1 akan diabsorbsi dengan baik dalam
saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 30 menit, mencapai konsentrasi
puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam,
sedangkan beberapa obat lainnya dapat bertahan lebih lama1,2,5,7,8 Antihistamin H1
generasi I mempunyai waktu paruh bervariasi antara 9-24 jam, hampir semua
diikat oleh protein dan dimetabolisme melalui sistem sitokrom P-450 (CYP) di
hepar. Waktu paruh ini akan memanjang pada penderita yang lebih tua atau yang
menderita sirosis hepatis. Hampir seluruh obat ini diekskresikan ke urin setelah
24 jam pemberian.1
Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H1 klasik digunakan untuk menghilangkan pruritus pada
penderita dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi dan bentuk lain dermatitis,
liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena penyakit
lain atau yang bersifat idiopatik. Digunakan juga untuk pengobatan cold urticaria,
angioedema dan reaksi alergi kulit lainnya temasuk reaksi obat.1,3 Pada pemberian
awal, AH dapat mencegah edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas,
sehingga banyak keuntungan yang didapat jika digunakan untuk pencegahan
7
urtikaria kronik idiopatik. Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe H1
tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain.1
Panduan penggunaan AH-1 pada wanita hamil terbatas. Sebagian besar
AH-1 untuk wanita hamil oleh United States of Food and Drug Administration
(FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C.1
Kontra Indikasi3
Bayi baru lahir atau bayi prematur
Kehamilan
Ibu menyusui
Glaukoma sudut sempit
Retensi urin
Asma
Efek samping:
Sifat lipofilik dari antihistamin tipe H1 klasik menyebabkan distribusi
jaringan yang luas. Obat ini dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air
susu ibu,3 karena itu dapat memberikan efek pada:
Sistem saraf pusat
Komplikasi yang sering terjadi pada orang dewasa adalah depresi
SSP, sedasi dan pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat
berupa: kecemasan, iritabilitas, insomia, tremor dan mimpi buruk.
Bangkitan dapat terjadi, walaupun jarang. Pernah dilaporkan
terjadinya diskinesia wajah dan mulut pada penggunaan kombinasi
antihistamin-dekongestan.1,2,3,5,7
Gastrointestinal
Gejala yang terjadi dapat berupa mual, muntah, anoreksia,
konstipasi dan diare.1,2,3,5
Kardiovaskular
Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara.1,2
Difenhidramin dapat menghambat potassium channels,
8
memperpanjang interval QT, bahkan menyebabkan aritmia
ventrikular.
Genitourinaria
Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin2,4
Darah
Klorfeniramin dapat menyebabkan pansitopenia, agranulositosis,
trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik.1,3,5
Kulit
Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed
drug eruption dan fotosensitif.1
Efek samping lainnya
Terdapat efek antikolinergik yang dapat berupa muka merah,
dilatasi pupil, hipertermia, kekeringan pada membran mukosa dan
penglihatan yang buram.1,4,5
Antihistamin lain yaitu siproheptadin dapat menyebabkan
peningkatan berat badan3
Interaksi obat
Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin H1
diminum bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap
SSP seperti diazepam.
2. Antihistamin H-1 non sedatif / antihistamin H-1 generasi ke-2 dan ke-3
Mekanisme kerja
Antihistamin tipe H1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada
reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh histamin,
dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama.1,2,3 Antihistamin H1 non
sedatif ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak,
dan lebih mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik.1,2,3,4 Walaupun
golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan
efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih
9
sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya
lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik.3 Salah satu penelitian yang
membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda,
yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin
paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh
feksofenadin, akrivastin dan setirisin. Setirisin memiliki efek anti inflamasi seperti
hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan jalan
menghambat:
- Adhesi leukosit ke endotel
- Efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat
radang
- Aktivasi sel radang/ pelepasan mediator
- Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target
Farmakodinamik dan farmakokinetik:
Antihistamin tipe H1 non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan
mencapai puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat
menghilangkan urtikaria dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin,
astemisol, loratadin, aktivastin, mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme
di hepar melalui sistem enzim sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin,
feksofenadin, dan desloratadin tidak dimetabolisme dalam hepar sehingga
mengurangi risiko interaksi obat.1
Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1
yang lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H1
sehingga khasiat anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat
dihentikan. Waktu paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak
sama dengan dewasa yaitu 7-8 jam.1
Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H1 non sedatif digunakan terutama untuk pengobatan
rinitis alergi dan urtikaria kronis.3,7
10
Kontraindikasi
Kehamilan3
Ibu menyusui.3
Efek samping
Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit,
sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antihistamin tipe H-1 klasik.1
Sistem saraf pusat
Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan
loratadin memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan
antihistamin H1 klasik.3
Kardiovaskular
Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel,
pemanjangan interval QT serta aritmia ventrikular torsades de
pointes yang berhubungan dengan pemakaian astemizol dan
terfenadin. Kelainan ini dapat terjadi terutama pada wanita dan
penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya telah
ada (seperti iskemia, kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita
dengan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan
hipomagnesemia)9
Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus
hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama
5 bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan
sampai sedang dapat terjadi.3
Kulit
Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta
pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan
adanya reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan
dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus
11
psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan
terfenadin.3
Efek samping lainnya
Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa
mulut dan beberapa efek antikolinergik lainnya, namun
insidensinya sangat rendah.3
Interaksi obat
Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang
mengkonsumsi terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol,
antibiotik makrolid, seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin,
lovastatin, protease inhibitor dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit
juice.1,16,17
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar
antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human
Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton. 2
Berikut ini merupakan obat-obat antihistamin yang sering digunakan, antara lain:
Klorfeniramin
Klorfeniramin merupakan antihistamin sedatif dari golongan alkilamin
yang paling poten dan stabil. Setelah pemberian dosis tunggal peroral,
klorfeniramin diabsorbsi dengan baik dan cepat pada saluran pencernaan,
mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 30-60 menit, melalui metabolisme
pertama di hati dan di mukosa saluran pencernaan selama proses absorbsi,
kemudian didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk susunan saraf
pusat.14 Sebanyak 50% dari dosis yang diberikan diekskresikan terutama melalui
urin dalam waktu 12 jam dalam bentuk asal dan metabolitnya.
Lama kerja dari klorfeniramin adalah 4-6 jam.5 Dosis yang diberikan 4-6
mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per hari baik
pada anak-anak dan dewasa.4
Sediaan:
12
- Klorfeniramin eliksir, 2 mg/5ml: 120 ml, 480 ml.4
- Klorfeniramin tablet 2 mg dan 4 mg.4
- Klorfeniramin retard tablet 8 mg dan 12 mg.4
Difenhidramin
Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam
praktek sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini
mengalami metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60% dari dosis
pemberian yang mencapai sirkulasi sistemik, didistribusikan secara luas ke
seluruh tubuh, termasuk sistem saraf pusat. Kadar puncak plasma dicapai dalam
waktu kurang lebih 1-5 jam dan bertahan selama 2 jam. Waktu paruh bervariasi
dari 2,4 sampai 10 jam.5
Difenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau
perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapat menyebabkan nekrosis
setempat pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Difenhidramin tidak
dapat menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan
dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Dosis pemberian adalah 25 mg-50 mg per oral, dosis maksimal 300
mg/hari, dengan lama kerja 4-6 jam.4,5 Pemberian 100 mg atau lebih dapat
menyebabkan hipertensi, takikardia, perubahan gelombang T dan pemendekan
dari diastol.4
Sediaan :
- Difenhidramin kapsul 25 dan 50 mg.4
- Difenhidramin eliksir (12,5 mg/5 ml): 120 cc, 480 cc.4
- Difenhiramin injeksi (50 mg/ml) : 1 ml ampul.4
- Difenhidramin semprot : 60 ml.4
Hidroksisin
Hidroksisin merupakan derivat dari piperasin, sering digunakan sebagai
transquilizer, sedatif, antipruritus dan antiemetik. Kadar plasma biasanya dicapai
dalam 2-3 jam setelah pemberian peroral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian
diekskresikan ke dalam urin. Hidroksizin merupakan obat pilihan untuk
13
pengobatan dermatografisme dan urtikaria kolinergik, dapat digunakan sendirian
ataupun kombinasi dengan antihistamin lainnya untuk pengobatan urtikaria
kronis, urtikaria akut, dermatitis kontak, dermatitis atopik dan pruritus yang
diinduksi oleh histamin. Lama kerja dari obat ini adalah 6-24 jam dengan dosis
pemberian 10 mg sampai 50 mg peroral, setiap 4 jam.4
Sediaan:
- Hidroksisin tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg dan 100 mg.4
- Hiroksisin injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml.4
- Hidroksisin sirup 10 mg/5ml: 240 ml, 480 ml.4
Loratadin
Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas
yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis
yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja
yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal
aktifnya.1
Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari
dan cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi waktu paruhnya
sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu
0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik
pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari
miocardial potassium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung.1
Loratadin merupakan antihistamin long acting dengan lama kerja 24 jam.5
Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah
0,5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi
pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang
diberikan.2,3
Sediaan:
- Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml2,4
- Loratadin tablet 10 mg2,4
- Loratadin reditabs 10 mg2,4
14
Setirisin
Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini pada
manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk
metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena setirisin cepat
diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka
dosis obat ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.2
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar
7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%.2 Setirisin dapat
menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta
menurunkan prostaglandin D2. Setirisin diindikasikan untuk terapi urtikaria
kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin
untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.3
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg)
dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien
dengan gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari.
Lama kerja dari setirisin adalah 12-24 jam.5
Sediaan:
- Setirisin tablet 5 mg, 10 mg.4
- Setirisin sirup 5mg/ml: 120 ml.4
Feksofenadin
Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor
kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping
antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.2,3,4
Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua
kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3
jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar
60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh
15
feksofenadin adalah 11-15 jam,2 diekskresikan sebanyak 80% pada urin dan 12%
pada feses.1,2
Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria
idiopatik kronis.4 Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid
dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat
sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.2
Sediaan :
- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg4
- Feksofenadin tablet 60 mg, 120 mg dan 180 mg4
Antihistamin yang aman digunakan:
- Pada wanita hamil dan menyusui:
Antihistamin yang teraman untuk wanita hamil dan meyusui adalah
golongan klorfeniramin maleat, meskipun AH non sedatif sangat sedikit
menembus plasenta, namun penggunaannya sebaiknya dihindari karena
masih kurangnya penelitian AH non sedatif pada wanita hamil dan
menyusui.3
- Pada anak-anak:
Bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, difenhidramin HCL,
loratadin, desloratadin, feksofenadin, setirisin.
- Pada bayi:
Penggunaan antihistamin pada bayi sebaiknya dihindari, karena efek
samping antikolinergik dari obat-obatan AH yang dapat membahayakan.
Pada satu penelitian mengatakan AH yang aman digunakan adalah
desloratadin (clarinex®), dapat digunakan pada bayi berumur 6 bulan
dengan gejala alergi dan urtikaria.
3. Antihistamin H-2
Mekanisme kerja
Mirip dengan AH-1, AH-2 bekerja dengan menginhibisi secara kompetitif pada
reseptornya, yaitu mukosa gaster, otot polos, otot jantung, epitel, endotel, dan
16
bahkan pada sel mast serta dendritik. AH-2 ini juga memediasi permeabilitas
vaskular kutan, pelepasan mediator inflamasi, rekruit sel-sel, dan presentasi
antigen, namun alurnya dan signifikansinya masih belum diketahui.1
Farmakodinamik dan Farmakokinetik
Setelah pemberian secara oral, AH-2 akan diabsorbsi dengan baik dalam
saluran cerna dalam 1-2 jam. Antihistamin H2 mempunyai waktu paruh bervariasi
antara 2-8 jam. Setelah melewati metabolisme di liver, nantinya akan
diekskresikan dalam bentuk tidak terubah di urin sebanyak 69%.1,5
Kegunaan klinis
Kebanyakan obat ini digunakan sebagai tambahan AH-1 pada kasus
urtikaria kronis dan angioedema refraktori. Kombinasi AH-1 dan AH-2 juga dapat
membantu mengurangi pruritus dan wheal pada mastocytosis sistemik serta
urtikaria pigmentosa.1,3
Pertimbangan
Kehamilan: masih memungkinkan karena AH-2 diklasifikasikan kat B
Ibu menyusui: efek masih dalam studi
Orang tua: dosis dapat diturunkan, disesuaikan dengan fungsi ginjal.
Orang tua juga lebih rentan efek samping pusing dan kebingungan
Efek samping:
Sistem saraf pusat
Kebingungan, pusing, sakit kepala1,2,5
Gastrointestinal
Gejala yang terjadi dapat berupa mual, muntah, anoreksia,
konstipasi dan diare.1,2,3,5
Ginekomastia
Darah (jarang)
trombositopenia dan anemia 1,3,5
17
Interaksi obat
Simetidin berinteraksi dengan banyak obat jantung. Ranitidine berinteraksi
dengan fentanyl, midazolam, nifedipine, dan warfarin. Ranitidin dapat
mengurangi absorpsi diazepam dan mengurangi konsentrasi plasmanya sebanyak
25%. Famotidine dan nizatidine diasosiasikan dengan interaksi obat lain yang
rendah.1
RINGKASAN
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
menghambat kerja histamin pada reseptornya. Terdapat 4 reseptor AH, namun
yang memiliki reseptor di kulit adalah AH-1 dan AH-2. Anti histamin tipe H1
banyak digunakan dalam bidang dermatologi, terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1
non sedatif.
Antihistamin sedatif bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara
luas terutama pada sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP.
Antihistamin non sedatif kurang bersifat lipofilik dan sangat sedikit menembus
sawar darah otak, sehingga efek samping yang terjadi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan AH-1 yang sedatif.
AH-2 lebih jarang digunakan untuk dermatologi dibandingkan dengan
AH-1. AH-2 biasanya digunakan sebagai terapi tambahan jika terapi dengan AH-
1 tidak cukup.
18
KEPUSTAKAAN
1. Soter NA. Antihistamines. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6.
2. Greaves MW. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, penyunting. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B. Saunders Company; 2001.h.360-74.
3. Del Rosso JQ. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, Wilkin JK, penyunting. Systemic drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991.h.285-321.
4. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatologic therapeutics with essentials of diagnosis. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.h.294-303.
5. Brown JN, Roberts LJ. Histamines, bradykinin, and their antagonists. Dalam: Wonsiewicz MJ, Morris JM, penyunting. Goodman & Gillman’s the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill Publisher; 2001.h.645-67.
6. Cotteril JA, Finlay YA.Sistemic therapy. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford: Blackwell Scientific Publisher; 2004.h.72.5.-72.8.
7. Katzung GB, Julius DJ. Histamine, serotonin, and the ergot alkaloids. Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-6. San Fransisco: Prentice-Hall International Incorporation; 1995.h.265-91.
8. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Pharmacology, autacoids and autacoid antagonists. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2000.h.419-27.
9. Simons FER. Advances in H1-antihistamines. The new England journal of medicine 2004;35:2203-15.
19
top related